analisis kasus gabungan tindak pidana

26
Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana (Concursus) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut samenloop yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang menerjemahkannya dengan gabungan. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang- undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan secara berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan tersebut masing- masing merupakan delik tersendiri, dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili. Ajaran mengenai samenloop ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan- permasalahan yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan paham-paham mengenai perkataan

Upload: yayansaptra

Post on 27-Jun-2015

2.335 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana (Concursus)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan

masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut

samenloop yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau

concursus. Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang

menerjemahkannya dengan gabungan. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah

perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau

beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang telah terjadi itu

sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri

dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan secara

berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan tersebut masing-masing merupakan delik tersendiri,

dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili.

Ajaran mengenai samenloop ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu

pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya

dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan-permasalahan

yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan paham-

paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur

masalah samenloop itu sendiri.

Perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan

pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri, khususnya yang terdapat didalam

rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP, terjemahan perkataan feit di pasal ini dengan perkataan

perbuatan menunjukkan bahwa team penerjemah Departemen Kehakiman R.I. (sekarang

Departemen Hukum dan HAM) Secara resmi telah menafsirkan perkataan feit di dalam rumusan

pasal 63 ayat (1) KUHP itu sebagai suatu perbuatan yang nyata, yakni suatu penafsiran yang oleh

Hoge Raad (HR) sendiri telah ditinggalkan sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Kiranya tim

penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman itu juga tidak akan

menerjemahkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu dengan perkataan

Page 2: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

perbuatan, seandainya tim tersebut mengetahui bahwa sudah sejak setengah abad yang lalu

terdapat keberatan-keberatan terhadap penggunaan perkataan perbuatan itu sendiri.

Sebelum kita membicarakan apa yang disebut samenloop van strafbare feiten itu sendiri,

perlu diketahui bahwa orang hanya dapat berbicara mengenai adanya suatu samenloop van

strafbare feiten, apabila di dalam suatu jangka waktu yang tertentu, seseorang telah melakukan

lebih daripada satu tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan

belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari tindakan-tindakan yang

telah ia lakukan.

Apa yang disebut samenloop van strafbare feiten atau gabungan tindak-tindak pidana itu,

oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Bab ke-VI dari Buku ke-1 KUHP atau

tegasnya di dalam pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan

mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang

tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, yang perkaranya telah

diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama.

Dalam suatu samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah

tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana, atau ia telah melakukan lebih daripada satu

tindak pidana. Prof. Simons berpendapat, bahwa apabila tertuduh itu hanya melakukan satu

tindak pidana dan dengan melakukan tindakan tersebut, tindakannya itu ternyata telah memenuhi

rumusan-rumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan

melakukan satu tindak pidana itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana,

maka di situ terdapat apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa

yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau

gabungan ketentuan-ketentuan pidana.

Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya studi kasus berupa suatu

gabungan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang secara sadar maupun tidak sadar

serta pembedaan yang sangat mendasar untuk mengetahui sebatas mana gabungan tindak pidana

dapat ditafsirkan menjadi sebuah eendaadse samenloop ataukah meerdaadse samenloop.

Perumusan Masalah

Dari pembahasan diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa inti permasalahan, antara

lain:

Page 3: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

Apakah dalam kasus benturan truk dan kereta api dapat digolongkan tindakan satu perbuatan

(eendaadse samenloop) ataukah beberapa perbuatan (meerdaadse samenloop)?

Apakah Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, ataupun Mahkamah Agung sudah tepat?

BAB II

KASUS

Paulus Arisman Bin Suripto (PA) adalah seorang pengemudi truk AB 2282 D, yang memiliki

SIM B1 Umum, dengan pengalaman kerja selama sepuluh tahun sebagai sopir truk. Pada suatu

hari, pada April 1988 PA mengemudikan truk dibantu dengan keneknya, mengangkut bahan

bangunan berupa 4000 genteng, karena bak truk masih ada ruangan yang kosong, maka PA

bermaksud mengambil lagi genteng di tempat lain untuk diangkutnya.

Dalam perjalanannya, truk yang dikemudikan PA tersebut harus melewati rel kereta api yang

tidak ada pintu pengamannya, melainkan hanya dipasang beberapa rambu, yang menunjukan

adanya Rel Kereta Api tanpa pintu. Beberapa puluh meter sebelum truk melintasi rel kereta api,

PA kurang memperhatikan situasi kanan kiri dari rel tersebut. PA baru sadar ketika kereta api

akan melintasi rel tersebut, setelah kenek truk berteriak-teriak ada kereta api akan lewat.

Mendengar teriakan kenek tersebut, maka PA berusaha mempercepat jalannya truk yang akan

melintasi kereta api tersebut. Akan tetapi, karena truk sarat muatannya, maka truk tidak bisa lari

lebih cepat seperti yang dikehendaki oleh PA. Dari jarak ± 200 meter, masinis kereta api telah

melihat ada truk akan melintasi rel kereta api, ia telah membunyikan tanda semboyan 35 dan

berusaha mengurangi kecepatan lokomotifnya.

Tabrakan dan benturan antara kereta api dengan truk yang dikemudikan PA tidak dapat

dihindarkan. Truk terbelah menjadi 2 (dua), cabin dengan baknya. PA dengan keneknya

terlempar keluar dari truk dan menderita luka-luka. Demikian pula masinis lokomotif menderita

luka-luka terkena genteng yang dimuat truk yang jatuh berterbangan dan berhamburan,

sedangkan tutup mesin lokomotifnya menjadi rusak berat.

DAKWAAN

Dakwaan Pertama: Pasal 360 ayat (2) KUHP, yaitu

“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka

sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan

jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

Page 4: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu

lima ratus rupiah.”

Dakwaan Kedua: Pasal 409 KUHP, yaitu

“Barangsiapa yang karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan bangunan-

bangunan tersebut dalam pasal di atas dihancurkan, dirusakkan atau dibuat tak dapat

dipakai, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling

banyak seribu lima ratus rupiah.”

PUTUSAN

Pengadilan Negeri No. Register Perkara 60/Pid.S/1987/PN.KBM

1. Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

kejahatan:

Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;

Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.

2. Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman Penjara selama 2 bulan dan 15 hari.

3. ..........

Pengadilan Tinggi No. Register Perkara 762/Pid/1987/PN.SMG

1. Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

kejahatan:

Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;

Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.

2. Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman Penjara selama 10 bulan.

3. ..........

Mahkamah Agung No. Register Perkara 1286 K/Pid/1988

1. Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

kejahatan:

Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;

Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.

2. Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman

Untuk kejahatan ke-1 dengan pidana Penjara selama 3 bulan;

Untuk kejahatan ke-2 dengan pidana Kurungan selama 15 hari.

3. ..........

Page 5: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

BAB III

LANDASAN TEORI

Samenloop / concursus dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan. Dalam makalah

ini akan digunakan istilah “gabungan”. Gabungan tindak pidana yaitu apabila seseorang atau

lebih melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa

peraturan pidana atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi

putusan hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa

peraturan pidana itu diadili sekaligus.

Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan

adanya gabungan adalah:

Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;

Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal

penyertaan);

Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan

Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.

Sistem Pemidanaan

Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa

dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah

melakukan lebih dari satu tindak pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel

pemidanaan, yaitu:

Sistem Absorpsi

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang

masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan

satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.

Sistem Kumulasi

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang

diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang

diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.

Sistem Absorpsi Diperberat

Page 6: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik

yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya

hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini

diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).

Sistem Kumulasi Terbatas

Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis

delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini,

semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan

tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat

ditambah 1/3 (sepertiga).

Bentuk-Bentuk Gabungan Tindak Pidana

Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:

Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)

Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan

satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan

beberapa tindak pidana.Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan

satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam

putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP

adalah tindakan nyata atau tindakan materiil.

Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari

dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada

kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari

pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal

terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.

Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan

tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan

Page 7: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

dan beberapa perbuatan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raad

menyelesaikan perkara secara kasuistis.

Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu

saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe

mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat,

namun harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih

dari satu tujuan atau cukupan.

Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2) sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex general,

yang artinya ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud

dengan ketentuan pidana khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau

tercakup semua unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih

ada unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis

menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang terberat.

Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)

Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan

tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi

diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan

yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang

dilakukan. Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak

pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 dan 70 bis.

Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan

pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal

66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana

pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.

Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan

terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah

pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP

mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang

melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran.

Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal

70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran

Page 8: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri,

sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri

dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi

pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai

hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan

kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan

ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika

dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan

bulan.

Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan

tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya

satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan

lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem

absorpsi.

Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai

perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan

berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing

merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah

digabungkan menjadi satu delik.

Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal

vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk

gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang

dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang

dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan

menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu,

Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/

meerdaadse samenloop.

Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:

Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;

Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan

Page 9: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.

Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat

hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam

hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari sau

kehendak jahat tersebut.

BAB IV

ANALISIS KASUS

Perbuatan Terdakwa merupakan Concurus Realis

Setelah menganalisa kasus tersebut berdasarkan teori-teori penggabungan seperti yang

sudah diterangkan diatas, kelompok kami mengambil kesimpulan bahwa kasus tersebut

merupakan kasus yang termasuk ke dalam penggabungan. Bentuk penggabungan yang terjadi

dalam kasus tersebut adalah Concursus Realis Heterogenius. Walaupun istilah concursus realis

dan idealis masih diperdebatkan oleh para sarjana, akan tetapi penulis menggunakan istilah ini

untuk memudahkan dengan landasan teori yang telah dijabarkan sebelumnya.

Putusan Mahkamah Agung (MA) pada kasus tersebut memang sudah tepat bahwa

memang terdapat penggabungan yaitu Concursus Realis dalam kasus tersebut. Akan tetapi, MA

tidak menerangkan dasar hukum dari Concursus Realis secara tepat karena mencantumkan baik

pasal 65 dan 66 KUHP secara bersamaan padahal kedua pasal tersebut mengatur dua hal yang

berbeda. Hal ini membuktikan bahwa MA tidak tahu secara pasti bentuk dari Concursus Realis

yang terjadi. Selain itu, MA juga tidak mencantumkan dasar-dasar hukum lainnya yang

menguatkan posisi dari Concursus Realis dalam kasus tersebut dan hanya mencermati dari

pemidanaan yang seharusnya diberikan kepada terdakwa. Oleh karena itu, pasal yang tepat

dalam menjelaskan dan menggali pertimbangan tersebut kami menjelaskan Pasal 66 ayat (1)

KUHP yang menjadi landasan kami untuk menganalisis, yang menyebutkan:

“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.”Dalam rumusan pasal tersebut terdapat kata ”beberapa perbuatan” yang membuat

perbuatan pidana yang mendasari Concursus Realis terlihat menjadi sempit, yaitu hanya

perbuatan fisik semata. Akan tetapi, dalam rumusan pasal 66 ayat (1) KUHP pun disebutkan

bahwa ”masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri

Page 10: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

sehingga merupakan beberapa kejahatan.” Rumusan ini menjelaskan bahwa diantara

perbuatan-perbuatan yang terjadi yang merupakan kejahatan dan dapat dihukum pidana, harus

berdiri sendiri-sendiri. Jadi, untuk menentukan apakah suatu penggabungan tindak pidana

merupakan Concursus Realis atau Concursus Idealis maka hubungan dari perbuatan-perbuatan

tersebut adalah sangat penting.

Walaupun demikian, kami juga berusaha mencari dari sumber hukum lainnya yaitu

berupa doktrin dari beberapa sarjana, seperti Jonkers secara negatif mengatakan bahwa segala

yang tidak termasuk concursus idealis atau perbuatan terus-menerus merupakan concursus

realis. Dengan membuat definisi yang negatif ini, Jonkers merasa bahwa dirinya telah terbebas

dari kewajiban membuat satu uraian tersendiri tentang apa itu concursus realis. Definisi Jonkers

tentang concursus realis tersebut memang tidak memberikan penjelasan yang tepat dan pasti dari

concursus realis apalagi membahas tentang ”beberapa perbuatan” yang merupakan unsur dari

concursus realis, akan tetapi telah memberikan sedikit pemahaman bahwa concursus idealis,

concursus realis, dan juga perbuatan berlanjut, adalah tiga jenis bentuk perbuatan yang berbeda.

VOS membuat definisi bahwa concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta yang

harus dipandang sebagai perbuatan yang tersendiri-sendiri dan yang masing-masing merupakan

peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu terjadinya masing-masing fakta

itu tidak diputuskan hukuman terhadao salah satu fakta-fakta tersebut, dan juga tidak tidak perlu

ada hubungan antara fakta-fakta itu.

VOS berpendapat bahwa yang harus dimaksud dengan ”perbuatan” dalam pasal 65-66

KUHP adalah seluruh kompleks (gedraging), akibat, unsur-unsur kesalahan yang subjektif, serta

fakta-fakta lain yang menyertai terjadinya delik. Dengan kata lain, tiap-tiap kompleks kejadian

yang tercangkup dalam satu ketentuan pidana.

Pompe juga mengemukakan keberatan-keberatan baik yang ditinjau dari sudut teoritis

mapun yang ditinjau dari sudut praktis, terhadap penafsiran tentang perbuatan (feit) sebagai satu

perbuatan yang dilihat sebagai perbuatan fisik (materiil) saja. Menurut Pompe, pendapat klasisk

tersebut sebenarnya hanya tepat untuk delik-delik yang terjadi karena dilakukan perbuatan-

perbuatan materiil (fisik). Jadi, hanya tepat untuk delik-delik komisi (commisie delicten) saja.

Dalam hal dilakukannya delik-delik lain maka ajaran klasik ini tidak dapat digunakan, dan harus

dicari ukuran lain yang tidak begitu materiil dan tidak begitu fisik.

Page 11: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

Ukuran yang dimaksud oleh Pompe juga lebih sesuai dengan sifat dari hukum karena

dalam hukum tidak dipermasalahkan tentang gerak badan tertentu, tetapi yang dipersoalkan

adalah apakah sikap tertentu seseorang berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai orang

tersebut. R.Soesilo dalam penjelasan pasal 63 KUHP mengatakan bahwa seseorang yang

mengendarai kendaraan bermotor di malam hari tanpa memakai penerangan dengan tidak

membawa SIM, lalu menabrak orang sehingga luka berat, meskipun ia hanya melakukan satu

perbuatan fisik yaitu mengedarai sepeda motor tetapi tidak bisa dianggap sebagai concursus

idealis, karena, peristiwa pidana tersebut dapat dipisah-pisah satu sama lain tanpa

melenyapkan salah satu peristiwa. Maka, perbuatan tersebut termasuk concursus realis dan

hukuman yang dipakai adalah ketentuan dalam pasal 70 KUHP.

Kasus yang dapat menjelaskan suatu perbuatan tidak hanya dilihat dari perbuatan fisik

saja, atau dengan kata lain tidak hanya apa yang terlihat secara kasat mata antara lain:

A mengendarai sebuah mobil tanpa memasang lampu dan pada saat itu juga berada dibawah

pengaruh minuman keras. Hoge Raad melihat apa yang dilakukan oleh A sebagai concursus

realis karena tidak mungkin ada concursus apabila yang bersangkutan tidak melakukan suatu

perbuatan yang berjiwa satu. Dapat pula dicatat bahwa peristiwa yang satu dapat dilihat

terlepas dari peristiwa yang lain.

A dengan mobilnya menabrak sekaligus tiga orang yang naik sepeda. Satu diantara tiga orang

tersebut mati dan dua diantaranya luka berat. Biarpun satu tabrakan tetapi HR beranggapan

bahwa perbuatan tersebut adalah concursus realis.

Pertimbangan Hoge Raad menyatakan bahwa “Tertuduh telah mengendarai mobilnya pada

waktu ia sedang dalam keadaan mabuk. Dalam pada itu mobilnya tersebut tidak dilengkapi

dengan dua buah lampu. Yang penting di dalam kenyataan yang pertama itu adalah keadaan

tertuduh, sedang id dalam kenyataan yang kedua adalah keadaan mobilnya. Kenyataan-

kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan-kenyataan yang berdiri sendiri-sendiri.

Masing-masing merupakan pelanggaran yang berdiri sendiri-sendiri dengan sifat yang berbeda-

beda. Bahwa dua kenyataan itu telah timbul pada waktu yang bersamaan, bukanlah merupakan

sesuatu yang bersifat menentukan. Kenyataan yang satu itu tidak ada kaitannya dengan

kenyataan yang lain dan kenyataan yang satu itu bukan merupakan syarat bagi tumbulnya

kenyataan yang lain. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan-

kenyataan yang berdiri sendiri-sendiri. Disini terdapat suatu meerdaadse samenloop.”

Page 12: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

Selain itu, Hoge Raad pada kasus poin 2 diatas menjelaskan pertimbangannya yaitu “Di dalam

suatu kecelakaan itu seorang pengemudi mobil telah menyebabkan matinya seorang pengendara

sepeda dan telah menyebabkan seorang lainnya mendapat luka-luka berat pada tubuhnya. Apa

yang sesungguhnya telah terjadi itu bukanlah pelanggaran-pelanggaran ataupun suatu

pelanggaran – oleh karena hal tersebut dengan sendirinya tidaklah relevan – melainkan

perbuatan menimbulkan dua akibat yang terlarang oleh undang-undang. Ini merupakan dua

tindakan, dimana undang-undang sendiri telah menggunakan perkataan tersebut untuk

menunjukan segala sesuatu yang dapat termasuk ke dalam suatu ketentuan pidana. Pasal 65

KUHP telah menyebut tindakan-tindakan tersebut kejahatan-kejahatan yang berbeda-beda.

Dalam hal ini yang harus diberlakukan itu bukanlah Pasal 63 ayat (1) KUHP melainkan Pasal

65 KUHP.” Artinya dalam suatu perbuatan yang terlihat dengan kasat mata hanya terlihat satu

tindak pidana saja, sedangkan Hoge Raad sudah menafsirkan sebagai kenyataan, sebagai

tindakan dan sebagai segala sesuatu yang dapat termasuk ke dalam suatu ketentuan pidana,

sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila pelaku melakukan suatu perbuatan yang mau tidak

mau akan mengakibatkan beberapa akibat, harus dipandang sebagai suatu perbuatan, dan begitu

sebaliknya.

Mengutip dari pendapat Prof. Simons yang mengatakan didalam suatu samenloop itu orang

harus membedakan apakah si pelaku hanya melakukan satu tindakan – diartikan menurut arti

sebenarnya, jadi sebagai pelaksanaan secara material – ataupun ia telah melakukan beberapa

tindakan sehingga dapat ditarik benang merah yaitu perkataan feit itu menurut paham yang baru

harus diartikan lebih sempit dari pada tindakan dalam arti material dan pada saat yang sama ia

juga harus diartikan lebih luas dari pada tindak pidana.

Dari kasus tabrakan truk dengan kereta diatas, memang apabila dilihat dari sudut

perbuatan materiil (fisik) semata maka unsur ”beberapa perbuatan” tidak terpenuhi. Akan

tetapi, apabila menggunakan ukuran lain dalam menentukan perbuatan dalam pasal tersebut

seperti yang sudah diuraikan dalam doktrin-doktrin para sarjana hukum dan yurisprudensi diatas,

maka dapat terlihat bahwa sebenarnya telah terjadi beberapa perbuatan yang merupakan

kejahatan yang dapat dipidana.

Walaupun demikian, untuk menentukan concursus realis dalam kasus diatas adalah

dengan melihat pasal yang didakwakan pada terdakwa (P.Aris) yaitu pasal 360 ayat (2) KUHP

tentang karena kealpaan menyebabkan orang lain luka-luka dan pasal 409 KUHP tentang

Page 13: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

kesengajaan merusakkan fasilitas umum. Apabila melihat akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan

yang muncul dari kasus diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa ”perbuatan yang

menimbulkan akibat-akibat pidana tersebut dapat dipisah-pisah satu sama lain tanpa

melenyapkan salah satu peristiwa.” Maksudnya, untuk dengan sengaja merusakan fasilitas

umum, PA tidak harus dengan lalainya menyebabkan orang lain terluka. Dua akibat tersebut

merupakan hal-hal yang tidak bisa diprediksikan sebelumnya dan dapat dipisah-pisahkan. Jadi,

tidak perlu ada keterkaitan antara akibat-akibat yang terjadi. Selain itu, perbuatan yang dilakukan

seharusnya bukan mau tidak mau akan terjadi, akan tetapi PA mengetahui apabila truk di gas dan

ada kemungkinan untuk tidak bisa mengejar target untuk sampai melawati rel, maka akan terjadi

suatu tabrakan, selain itu ada perbuatan lain yaitu PA juga mengetahui seandainya terjadi

tabrakan akan menyebabkan rusaknya lokomotif atau rel kereta api. Memang PA tidak bisa

menyadari, akan tetapi dapat memperkirakan bahwa apa yang terjadi yaitu tabrakan dan

rusaknya fasilitas umum dapat diperhitungkan, khususnya menjadi 2 perbuatan akibat lalainya

PA.

Maka dari itu, bentuk yang terjadi dalam kasus diatas adalah concursus realis

heterogenius, dan karena diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka dasar

pemidanaannya cukup dengan pasal 66 ayat (1) KUHP.

Penjatuhan Pidana

Dalam kasus diatas dapat dilihat yaitu penerapan pasal 66 ayat (1) KUHP tidak dipergunakan

sebagaimana mestinya, karena sudah terbuktinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh PA.

Pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) tidak bisa menjadi patokan karena

Hakim PN hanya menjatuhkan pidana dengan jenis Penjara saja, tanpa melihat bahwa ketentuan

pasal yang diancamkan pada Pasal 360 ayat (2) KUHP dan Pasal 409 KUHP mempunyai jenis

yang berbeda yaitu penjara dan kurungan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi juga tidak

mempertimbangkan masalah yang sama, sehingga memperbaiki putusan PN hanya masalah

beratnya pidana yang dijatuhkan tanpa melihat ada dasar-dasar yang meringankan pidana non-

yuridis yang lebih banyak dibandingkan dasar pemberat pidana non-yuridis, yaitu:

Hal-hal yang meringankan

1. Terdakwa mengaku terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan

2. Terdakwa bersikap sopan

3. Terdakwa masih muda

Page 14: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

4. Terdakwa belum pernah dihukum

Hal-hal yang memberatkan

1. Akibat perbuatan terdakwa menimbulkan keterlambatan perjalanan kereta api sampai 5

jam.

Apabila kita meneliti dari hal-hal yang meringankan dan memberatkan non-yuridis, maka kita akan

menyimpulkan bahwa hal-hal yang meringankan lebih banyak dari pada hal-hal yang memberatkan,

artinya penjatuhan pidana yang maksimal akan dikurangi lebih banyak ketimbang ditambahkan

pemidanaannya. Terlepas dari hukuman yang dijatuhkan, maka apabila kita melihat ancaman hukuman

pasal yang didakwakan, yaitu:

Pasal Dakwaan Ancaman Pidana Vonis

Pasal 360 ayat

(2) KUHP

Penjara 9 bulan, atau

Kurungan 6 bulan, atau

Denda Rp. 4500,-

Pasal 409 KUHP Kurungan 1 bulan, atau

Denda Rp. 1500,-

PENGADILAN NEGERI Penjara 2 bulan dan 15 hari

PENGADILAN TINGGI Penjara 10 bulan

MAHKAMAH AGUNG Kejahatan I: Penjara 3 Bulan

Kejahatan II: Kurungan 15 hari

Dalam penentuan pidana pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menerapkan

hukum dalam menjatuhkan sanksi pemidanaan, seharusnya Hakim menjatuhkan maksimum

penjara adalah sebagai berikut:

Kejahatan I: Penjara 12 bulan

Kejahatan II: Kurungan 1 bulan 10 hari

Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah Agung dari segi penjatuhan pidana sudah tepat, dan

kelompok kami setuju dengan amar putusan tersebut, karena berdasarkan pasal 66 ayat (1)

KUHP, maka perbuatan yang diancamkan berbeda jenisnya (vide pasal 10 KUHP), sehingga

harus dijatuhkan pidana yang berbeda terhadap kejahatan yang berbeda pula.

BAB IV

Page 15: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah

dirumuskan, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa:

Perbuatan yang dilakukan yang terdapat dalam pasal 65-66 KUHP tidak dapat hanya diartikan

sebagai perbuatan materiil atau fisik saja. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan yang terjadi

harus dilihat dalam suatu kompleks perbuatan dan juga akibat-akibat yang terjadi.

Selain itu, ukuran dari concursus realis (juga untuk membedakan dengan concursus idealis)

yang terbaik adalah melihat keterkaitan atau hubungan dari peristiwa-peristiwa pidana yang

terjadi beserta akibat-akibatnya. Apakah suatu peristiwa pidana A merupakan syarat dari

peristiwa pidana B dan seterusnya. Apakah peristiwa-peristiwa pidana yang terjadi

merupakan perbuatan yang tidak dapat dipisah-pisah yang satu dengan lainnya tanpa

melenyapkan peristiwa yang lain ataukah dapat dipisah-pisah satu dengan lainnya tanpa

melenyapkan salah satu peristiwa? Apabila ternyata dapat dipisah-pisah tanpa melenyapkan

peristiwa yang lain maka bentuk penggabungan yang terjadi adalah concursus realis. Hal

tersebut merupakan ukuran yang paling mudah dimengerti dan digunakan untuk menentukan

apakah bentuk penggabungan yang terjadi merupakan concursus realis atau bukan, sehingga

dalam kasus yang dibahas akan menjadi terang suatu permasalahan yang dihadapi di

prakteknya. Dengan demikian, dalam kasus benturan Truk dan Kereta Api terdapat suatu

gabungan tindak pidana berupa concursus realis atau perbarengan beberapa perbuatan.

Dalam Putusan Mahkamah Agung sudah tepat, sedangkan Putusan Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Tinggi tidak tepat, karena tidak mempertimbangkan dasar-dasar dikenakannya

suatu penjatuhan hukuman berupa vonis maupun masalah gabungan tindak pidana tidak

dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana, sehingga putusan tersebut haruslah diperbaiki..

Saran

Kelompok kami memberikan beberapa rekomendasi yang penting bagi para aparatur penegak

hukum termasuk calon aparatur penegak hukum kelak di masa datang, agar selalu

mempertimbangkan dan menganalisis suatu permasalahan dengan menyeluruh sehingga

mendapatkan suatu penafsiran yang tidak salah, terutama Hakim. Selain itu, perlu suatu pelatihan

mengenai teori-teori hukum pidana yang dipelajari bagi para penegak hukum nantinya,

khususnya mengenai pemidanaan yang terkadang tidak adil dirasakan oleh terdakwa.

Page 16: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

Pemahaman ataupun konsep yang salah akan menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut dan

kontroversial. Dengan demikian, teori-teori gabungan tindak pidana hendaknya tidak ditafsirkan

secara leterlijk saja yaitu yang berdasar pada undang-undang, tetapi juga sumber hukum tidak

terbatas dari perundang-undangan, akan tetapi meliputi juga doktrin, yurisprudensi hakim dan

lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Jonkers “Alles, wat niet eendaadsche samanloop of voortgezette handeling is, is meerdaadsche

samanloop.”

Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.

(Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002).

Lamintang, P.A.F.. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1997).

Loqman, Loebby. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana. (Jakarta: Universitas

Tarumanegara, 1996).

Marpaung, Leden .Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005).

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987).

Prodjodikoro, Wirjono.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Eresco, 1967).

Prodjodikoro, Wirjono.Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta: Eresco, 1967).

Sianturi, S.R.. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Rineka Cipta,

1985).

Simons, Leerboek van het Nederlandsee Straftrecht, P. Noordhoff N. V., (Groningen: Batavia,

1937).

Soesilo, R..Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal

demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1993).

Utrecht, E.. Rangkaian Sari Kuliah: Hukum Pidana II. (Bandung: PT. Penerbitan Universitas,

1958).

Putusan

Keputusan HR tertanggal 11 April 1927, NJ 1927, W Nr 11673.

Keputusan HR tertanggal 24 Oktober 1932, NJ 1932.

Keputusan HR tertanggal 8 Februari 1932, NJ 1932.

Page 17: Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana

Jonkers “Alles, wat niet eendaadsche samanloop of voortgezette handeling is, is meerdaadsche samanloop.”, hal. 136.

Vos (hal 312).Pompe, Kritik terhadap Keputusan HR tertanggal 11 April 1927, NJ 1927, W Nr 11673.E. Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah: Hukum Pidana II. (Bandung: PT. Penerbitan Universitas, 1958), hal 145.Keputusan HR tertanggal 8 Februari 1932, NJ 1932, hal.289.Keputusan HR tertanggal 24 Oktober 1932, NJ 1932, hal. 16.P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal.

680.Ibid, hal. 681.Prof. Mr. Simons, Leerboek van het Nederlandsee Straftrecht, P. Noordhoff N. V., (Groningen: Batavia,

1937), hal. 464.Lamintang, op. cit., hal. 682