analisis jurnal prwtn luka dg madu
TRANSCRIPT
PENGARUH PERAWATAN LUKA DENGAN PENGGUNAAN MADU TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA DIABETIK PADA PASIEN
DIABETES MELLITUS DI RSUD ULIN BANJARMASIN
Oleh: Hammad
ABSTRAK
Diabetes Melitus merupakan gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi pada pembuluh darah dan persyarafan yang salah satunya akan menyebabkan luka Diabetik. Luka Diabetik ini sangat sulit sembuh karena pada pasien Diabetes Melitus mengalami ketidakseimbangan fungsi organ tubuhnya yanitu gangguan vaskularisasi. Perawatan luka diabetik ini cukup mahal dan memerlukan waktu yang lama dalam penyembuhannya . penelitian ini bertujuan menggambarkan keadaan luka diabetik pada pasien Diabetes Melitus yang dirawat di rumah sakit sebelum dan sesudah perawatan luka dengan penggunaan madu.
Metode yang digunakan adalah eksperimen dengan pre-post design dengan pengambilan sampel pasien di RSUD Ulin Banjarmasin di ruang Penyakit Dalam menggunakan tehnik purposive sampling dengan jumlah sampel 15 orang. Data diambil melalui instrumen observasi (checklist) tentang keadaan luka sebelum dan sesudah dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu kemudian data diolah dan dianalisa dengan statistic Non parametric (Wilcoxon Sign Rank Test) dengan SPSS 11,5 Windows.
Hasil penelitian didapatkan gambaran keadaan luka diabetik sebelum dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu dan sesudah dilakukan perawatan luka dengan madu, nilai exact significant sebesar 0,002 menunjukkan adanya perbedaan hasil pada pre dan post treatment, karena nilai tersebut berada dibawah tingkat kesalahan (p= 0,002<=0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan keadaan luka diabetik sebelum dilakukan perawatan luka dengan madu dan sesudah menggunakan madu.
Sehingga disimpulkan bahwa madu dapat digunakan untuk penyembuhan luka diabetik pada pasien Diabetes Mellitus.
Kata kunci: luka diabetik, perawatan, madu.
1
EFFECTS OF WOUND TREATMENT USING HONEY TO HEAL DIABETIC WOUND IN PATIENT WITH DIABETES MELLITUS IN RSUD BANJARMASIN
By Hammad
ABSTRACTDiabetes mellitus is a hormonal disorder that causes complications in vascular
and neurological that one of them will lead to diabetic wounds . Diabetic wounds are very difficult to heal because of diabetes mellitus in patients experiencing an imbalance of body organ function yanitu vascularization disorders . Diabetic wound care is quite expensive and requires a long time in healing . This study aims to describe the state of diabetic wounds in patients with diabetes mellitus who were treated at the hospital before and after the use of honey in wound care .
The method used was experimental pre - post design with a sample of patients in hospitals in the space Ulin Banjarmasin Disease In using purposive sampling technique with a sample of 15 people . Data retrieved through observation instrument ( checklist ) about the state of the wound before and after wound care with the use of honey and then the data is processed and analyzed with non parametric statistics ( Wilcoxon Sign Rank test ) with SPSS 11.5 Windows .
Results, the picture of the state of diabetic wounds prior to wound care with the use of honey and after treatment wound with honey, exact value of 0.002 indicates a significant difference in the results of the pre and post treatment, because the value is below error level (p = 0.002 <= 0,05). Thus there are different circumstances prior to the treatment of diabetic wounds wound with honey and after using the honey.
Therefore concluded that honey can be used for wound healing in diabetic patients with Diabetes Mellitus.
Keywords: diabetic wounds, care, honey.
2
1. LATAR BELAKANG PEMILIHAN JURNAL
Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang
melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya
komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis. Diabetes Mellitus
digolongkan sebagai penyakit endokrin atau hormonal karena gambaran produksi atau
penggunaan insulin. Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit kronik yang kompleks
disertai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
komplikasi pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membrane
basalis dalam pemeriksaan dengan membrane electron (Nasrul Effendi,1998).
Berdasarkan konsep endokrinologi bahwa Diabetes Mellitus adalah gangguan
metabolisme yang ditandai dengan menurunnya kemampuan atau hilangnya sama
sekali kesanggupan tubuh untuk memanfaatkan karbohidrat. Karbohidrat biasanya
diproses dalam sel tubuh menjadi glukosa, sumber energi tubuh yang utama. Insulin,
hormon yang dihasilkan oleh pankreas dibutuhkan untuk memasukkan glukosa dari
darah ke dalam sel.
Pada pasien Diabetes Mellitus, insuin yang dihasilkan tidak memadai, itu
sebabnya glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga terkumpul dalam darah
menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang semakin berat dari kekacauan mental sampai
koma. Berbagai macam komplikasi akibat penyakit Diabetes Mellitus ini, ada yang
memerlukan tindakan khusus, tetapi juga ada yang hanya memerlukan pengawasan
kadar glukosa secara ketat. Komplikasi menahun yang sering terjadi antara lain gangguan
mikrosirkulasi dan makrosirkulasi; ulkus, gangrene. Pada pasien Diabetes Mellitus, luka
atau jaringan tubuh yang rusak akan lebih sulit sembuh karena
ketidakseimbangan fungsi organ tubuhnya, yaitu vaskularisasi (gangguan saraf tepi)
dan sistem peredaran darah. Luka di tubuh pasien menjadi membusuk karena tidak
mendapatkan asupan darah yang cukup. Perawatan luka diabetik ini cukup
mahal. Di klinik perawatan luka dan stoma rumah sakit kanker ”Dharmais” sekurangnya
3
perawatan luka tersebut menghabiskan rata-rata dua atau tiga juta rupiah dengan
lama penyembuhan berkisar dua setengah bulan (2003).
Berdasarkan apa yang praktikkan lihat di bangsal rawat inap Dahlia RSST
Klaten selama 1 minggu bahwa bangsal Dahlia merupakan salah satu ruangan kelas 2
yang menampung pasien bedah maupun pasien interna (penyakit dalam). Di bangsal
Dahlia kadang-kadang didapatkan data bahwa hampir 25% pasien yang dirawat
merupakan pasien dengan tindakan bedah seperti luka pasien Diabetes Mellitus, Hernia,
Trauma karena kecelakaan maupun pasien post operasi. Maka sangat diharapkan bahwa
perawat yang berada di ruang Dahlia maupun diruang lain yang mempunyai pasien
bedah agar dapat mengimplementasikan manfaat madu dalam perawatan luka Diabetes
Mellitus, penggunaan madu tidak hanya dapat dimanfaatkan pada pasien dengan ulkus
diabetikum saja, tetapi pasien lain dengan luka cedera karena kecelakaan atau post
operasi dapat digunakan untuk meminimalisir terjadinya infeksi.
Penggunaan madu dalam dunia medis adalah sebagai antibakteri karena dengan
madu memiliki tekanan osmotik yang tinggi, madu memiliki effect
terhadap Hydrogen Peroxide, dan madu memiliki Ph antara 3.2-4.5 yang dapat
mencegah pertumbuhan bakteri yang dapat menimbulkan infeksi.
Madu juga dipergunakan dalam penanganan atau perawatan gangrene pada daerah
perineum atau daerah genetalia (Tahmaz L,et al). Pada pasien postoperasi sectio
caesarea dan hysterectomi juga digunakan antara lain untuk mencegah infeksi
bakteri, meminimalkan pembentukan scar (Al-Waili NS. Saloom KY).
4
2. ANALISIS JURNAL
A. RANGKUMAN JURNAL
1) Judul Jurnal
“Pengaruh Perawatan Luka dengan Penggunaan Madu Terhadap Penyembuhan
Luka Diabetik pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUD Ulin Banjarmasin”
2) Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen pre post
design yang menggambarkan kondisi luka diabetik pada pasien Diabetes Mellitus
sebelum dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu dan sesudah
dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu.
3) Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini menggunakan lembar observasi dalam bentuk
chekslist.
4) Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien Diabetes Mellitus yang
sedang dan selama menjalani perawatan luka diabetik di RSUD Ulin
Banjarmasin. Sampelnya adalah pasien Diabetes Mellitus yang sedang dan
selama menjalani perawatan luka Diabetik di ruang Penyakit dalam Wanita
(PDW) dan di ruang Penyakit Dalam Pria (PDP).
Sampel diambil dengan tehnik purposive sampling yang memenuhi
kriteria pasien mau bekerjasama, pasien yang mengalami luka diabetik di daerah
kaki, luka diabetic yang dilakukan perawatan luka tapi belum diberikan madu, tidak
mendapatkan antibiotik atau obat-obatan yang langsung dengan perawatan luka.
Jumlah sampel adalah sebanyak 15 sampel, pemilihan sampel dilakukan selama 2
bulan dari bulan Juli s/d Agustus 2007.
5
5) Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data awal (pre-test) dilakukan terhadap setiap pasien dengan
luka diabetik sebelum dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu melalui
instrumen observasi (checklist) meliputi warna luka, kebersihan luka, nyeri, bau dan
ukuran luka kemudian pasien dengan luka diabetik tersebut dilakukan perawatan luka
dengan penggunaan madu selama 10 hari sebanyak 2 x sehari. Postest
dilakukan pada hari terakhir menjelang pulang atau maksimal 10 hari selama
pasien dirawat.
6) Analisa Data
Data yang telah didapatkan selama 2 bulan kemudian dilakukan editing,
coding dan dianalisa dengan statistik nonparametrik yaitu Wilcoxon Sign Rank
Test dengan menggunakan program SPSS 11.5 windows.
7) Hipotesis
Ho = Tidak ada perbedaan antara perawatan luka diabetik
dengan madu dengan yang tidak menggunakan madu.
H1 = Ada perbedaan antara perawatan luka diabetik dengan
madu dengan yang tidak menggunakan madu.
8) Lokasi dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan sejak bulan April sampai dengan
September 2007 di RSUD Ulin Banjarmasin.
B. ANALISIS JURNALDisini kelompok akan menampilkan beberapa hal yang telah kami
diskusikan bersama terkait dengan jurnal yang kami ambil:
1. Judul “Pengaruh Perawatan Luka Dengan Penggunaan Terhadap Penyembuhan
Luka Diabetik Pada Pasien Diabetes Mellitus Di RSUD Ulin Banjarmasin”
Judul yang dituliskan diatas menurut pendapat kelompok belum terlalu spesifik,
karena tidak disebutkan di ruang mana penelitian tersebut dilaksanakan dan
6
tahun berapa, karena peneliti lain barangkali ingin menganalisa jurnal untuk
dijadikan referensi penelitian mereka.
2. Jurnal ini merupakan jurnal trending topic masalah keperawatan dimana
perawatan luka seringkali dilakukan dirumah sakit yang menampung pasien
interna maupun bedah yang membutuhkan perawatan luka seperti, ulkus
diabetic, luka cedera karena kecelakaan, luka post operasi dan lain-lain.
3. Penelitian jurnal ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan perawatan luka
dengan madu memberikan hasil yang efektif dalam meminimalisirkan
terjadinya infeksi.
4. Metode penelitian dari jurnal ini menurut kami sudah sesuai karena penelitian
ini bersifat penelitian nyata yaitu eksperimen pre post design yang
menggambarkan kondisi luka diabetic pada pasien Diabetes Mellitus sebelum
dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu dan sesudah dilakukan
perawatan luka dengan penggunaan madu.
5. Di dalam latar belakang hanya menjelaskan pengertian dari diabetes mellitus,
namun tidak menjelaskan pengertian dari luka diabetik dan madu itu sendiri,
sehingga membuat pembaca baru yang membaca jurnal belum paham terkait
dengan manfaat madu dalam penyembuhan luka diabetik secara ilmiah.
6. Peneliti tidak memasukkan saran setelah kesimpulan pada jurnal tersebut,
sehingga peneliti lanjutan atau pembaca jurnal tidak mempunyai arah bahwa
apa yang seharusnya peneliti lanjut lakukan dalam penelitian manfaat madu
perawatan luka pada kasus lain selain kasus luka diabetik. Seharusnya saran
yang dimasukkan adalah saran untuk peneliti selanjutnya, untuk instansi
kesehatan atau rumah sakit yang menampung pasien bedah, atau instansi
pendidikan untuk lebih mempelajari dan memahami fungsi madu untuk
kebutuhan penyakit lainnya.
7
TINJAUAN TEORI
1. Diabetes Mellitus
1.1 Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul padaseseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa dara hakibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995).
Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia dan
berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Istilah
diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe I (insulin dependen
diabetes mellitus atau IDDM), diabetes mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang
berhubungan dengan nutrisi. Selain itu, terdapat dua kategori lain tentang
abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa dan diabetes
mellitus gestasional (Sukaton, 1985 dikutip dari Waspadji, 1988).
Diabetes mellitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor resiko diabetes
mellitus tipe II antara lain usia, obesitas, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus
tipe II, etnis, penyebaran lemak adroid (tubuh bagian atas atautipe apel). Kebiasaan diet
dan kurang berolahraga. Pada diabetes mellitus tipe II keterbatasan respon sel beta pankreas yang
memproduksi insulin terhadap hiperglikemia tampak menjadi faktor utama
berkembangnya penyakit ini. Klien dengan diabetes mellitus tipe II mengalami
penurunan sensivitas terhadap kadar glukosa, yang berakibat pada pembukaan kadar
glukosa tinggi. Keadaan inidisertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak
untuk meningkatkan ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya
resistensi insulin perifer (Tjokroprawiro, 1982). Komplikasi akut mayor diabetes
mellitus adalah diabetik ketoasidosis (DKA), sindrom nekrotik hiperosmolar
hiperglikemia (SKNH), dan hipoglikemia.
8
Pada diabetes mellitus tipe II komplikasi yang sering terjadi adalah penyakit
mikrovaskuler dan neuropati. Gangguan kesehatan komplikasi diabetes mellitus
antara lain gangguan mata (retinopati), gangguan ginjal (nefropati), gangguan pembuluh
darah (vaskulopati), dan kelainan pada kaki. Komplikasi yang sering terjadi adalah perubahan
patologis pada anggota gerak yang bias menyebabkan luka ulkus, atau luka gangren yang bila
tidak ditangani dengan tepatakan menimbulkan kecacatan bahkan berujung pada amputasi
(Iqbal,2008).
1.2 Patofisiologi
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak.
Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik.
Sumber energi bagi tubuh berasal dari bahan makanan yang kita makan sehari-hari, terdiri
dari karbohidrat, protein, dan lemak.
Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke lambung dan
selanjutnya usus. Di dalam saluran pencernaan makanan diolah menjadi bahan dasar dari
makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino, dan lemak
menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu, akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam
pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di
dalam tubuh sebagai sumber energi.Supaya dapat berfungsi sebagai bahan energi, zat
makanan itu harus masuk terlebih dahulu kedalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel,
zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang hasil akhirnya adalah
timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme insulin
memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa dalam sel, untuk
selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi. Insulin adalah suatu zat atau hormon
yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai
anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian di dalam
sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada,maka glukosa
9
akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya didalam darah meningkat.
Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak ada sumber energi didalam sel
(Suyono, 2004).
Pada diabetes mellitus tipe I tidak ditemukan insulin karena pada jenis
initimbul reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel beta yangdisebut ICA
(Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) yang
ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta. Insulitas bisa disebabkan macam-
macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain.
Umumnya yang diserang pada insulitas itu adalah sel beta, dan biasanya sel alfa dan delta
tetap utuh (Suyono, 2004).
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu
jelas,tetapi faktor-faktor seperti obesitas, diet tinggi lemak, dan rendah
karbohidrat,kurang aktivitas, dan faktor keturunan. Pada DM tipe II jumlah sel beta berkurang
sampai 50-60% dari normal, jumlah sel alfa meningkat. Yang menyolok adalah
adanya peningkatan jumlah jaringan amiloid pada sel beta yang disebut amilin. Baik pada DM
tipe II kadar glukosa darah jelas meningkat bila kadar itu melewati batas ambang ginjal,
maka glukosa akan keluar melalui urin (Suyono, 2004).
1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus
1.3.1 Gaya Hidup
Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjadinya diabetes mellitus. Diit
dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap timbulnya diabetes
mellitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga meningkatkan
jumlah kalori dalam tubuh.
1.3.2 Usia
Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang
penting. Di bandingkan wanita pada usia 20-an, wanita yang berusia diatas 40
tahunberisiko enam kali lipat mengalami kehamilan dengan diabetes. Kadar
10
gula darahyang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif
setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.
1.3.3 Ras dan Suku Bangsa
Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika,
Hawai, dan sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan penyakit
jantung yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka
tekanan darah tinggi,obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.
1.3.4 Riwayat Keluarga
Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan
tidak diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia muda dengan
dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka
kesempatan untuk menyandang diabetes maupun meningkat. Ada empat bukti yang
menunjukkan transmisi penyakit sebagai ciri dominal autosomal. Pertama
transmisi langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20 keluarga. Kedua
didapatkan perbandingan anak diabetes dan tidak diabetes
1:1 jika satu orang tua menderita diabetes. Pengaruh genetik sangat kuat, kare
naangka konkordansi diabetes tipe 2 pada kembar monozigot mencapai 100
persen.Resiko keturunan dan saudara kandung pasien penderita NIIDM lebih
tinggi dibanding diabetes tipe 1. Hampir empat persepuluh saudara kandung
dan sepertiga keturunan akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal
atau diabetes yang jelas.
1.3.5 Kegemukan (Obesitas)
Overweight dan obesitas erat hubungannya dengan peningkatan resiko
sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan.
Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa
hipertensi, dislipidemia, penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes tipe
11
II, penyakit gallblader, disfungsi pernafasan, gout, osteoarthritis, dan jenis
kanker tertentu. Penyakit kronik yang paling sering menyertai obesitas adalah
diabetes tipe II, hipertensi,dan hiperkolesterolemia. NHANES III menyebutkan bahwa
kurang lebih 12% orang dengan BMI 27 menderita dibetes tipe 2. Obesitas merupakan
faktor resikoutama pada penderita diabetes tipe 2.
1.4 Komplikasi Diabetes Mellitus
Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling banyak. Hal ini
berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya
pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat kompleks yang terdiri dari
gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan
mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang
menuju aliran saraf dan kulit. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung
menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini
2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi darah yang buruk melalui
pembuluh darah besar bisa melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki (makroangiopati),
sedangkan pembuluh darah kecil bisamelukai mata, saraf, dan kulit serta memperlambat
penyembuhan luka. Penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang
jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik. Komplikasi yang lebih sering terjadi dan
mematikan adalah serangan jantung dan stroke. Kerusakan pada pembuluh darah
mata bias menyebabkan gangguan penglihatan, akibat kerusakan pada retina mata (retinopati
diabetikum).
Kelainan fungsi ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus
menjalani cuci darah. Gangguan saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk, misalnya jika
satu saraf mengalami kelainan fungsi, maka sebuah lengan atau tungkai bisa secara tiba-tiba menjadi
lemah. Jika saraf yang menuju ketangan, dan tungkai mengalami kerusakan, makapada lengan
dan tungkai bisa merasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar atau kelemahan.
12
Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit sering mengalami cedera karena penderita tidak
dapat merasakan perubahan tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah kekulit juga
bisa menyebabkan ulkus atau borok diamana proses penyembuhannya akan berjalan secara
lambat hingga menyebabkan amputasi (Soegondo, 2007).
2. Luka Diabetik
2.1 Definisi
Luka diabetik adalah : luka yang terjadi pada pasien diabetik yang melibatkan
gangguan pada saraf peripheral dan autonomik (Suryadi, 2004). Luka diabetik adalah
luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainanpembuluh darah dan
kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut
menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007).
Terjadinya kaki diabetik tidak terlepas dari tingginya kadar glukosa
darahpenyandang diabetes. Tingginya kadar gula darah berkelanjutan dan dalam jangkawaktu
yang lama dapat menimbulkan masalah ada kaki penyandang diabetes (nita-
edicastore.com).
Komponen saraf yang terlibat adalah saraf sensori, autonomik dan system
pergerakan. Kerusakan pada saraf sensori akan menyebabkan klien kehilangan
sensasi nyeri sebagian atau keseluruhan pada kaki yang terlibat. Peripheral vascular
disease ini terjadi karena arteriosklerosis dan aterosklerosis. Pada arteriosklerosis
adalah terjadi penurunan elastisitas dinding arteri. Pada aterosklerosis adanya akumulasi
”plaques” pada dinding arteri berupa ; kolesterol, lemak, sel-sel otot halus, monosit, pagosit,
dan kalsium (Suriadi, 2004). Kelangsungan hidup pasien dalam 5 tahun setelah
amputasi adalah rendah, diperkirakan hanya sekitar 25%.
2.2 Klasifikasi Luka Diabetik
Wagner (1983) berdasarkan luas dan kedalaman luka membagi gangrene
diabetik menjadi 6 bagian yaitu, (1) kulit utuh tapi ada kelainan pada kaki akibat neuropati, (2)
draft I : terdapat ulkus superfisial, terbatas pada kulit, (3) draft II: ulkus dalam,
13
menembus tendon/tulang, (4) draft III : Ulkus dengan atau tanpa osteomilitis, (5)
draft IV : gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa selulitis (infeksi
jaringan), (6) draft V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah
(Misnadiarly, 2008). Sedangkan Brand dan Ward (1987) membagi gangren
berdasarkan faktor pencetusnya menjadi 2 golongan yaitu : (1) kaki diabetik akibat
iskemia (KDI), disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya
makroangiopati (arterosklerosis) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama
daerah betis. Gambaran klinis KDI adalah penederita mengeluh nyeri saat istirahat,
pada perabaan terasa dingin, pulsasi pembuluh darah kurangkuat, didapatkan ulkus
sampai gangren. (2) Kaki diabetik akibat neuropati (KDN), terjadi kerusakan saraf
somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi. Pada klinis ini di jumpai
kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, edemkaki, dengan pulsasi pembuluh darah
kaki teraba baik.
2.3 Gangren Diabetik
Gangren diabetik adalah luka diabetik yang sudah membusuk dan bias melebar, ditandai
dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan membau karena diseratai pembusukan
oleh bakteri (Ismayanti, 2007). Beberapa factor secara bersama-sama berperan pada
terjadinya ulkus atau gangren diabetes. Banyak faktor yang mempengaruhi luka diabetes, dimulai
dari faktor pengelolaan kaki yang tidak baik pada penderita diabetes, adanya neuropati ,
faktor komplikasi vaskuler yang memperburuk aliran darah ke kaki tempat luka, faktor
kerentanan terhadap infeksi akibat respons kekebalan tubuh yang menurun pada keadaan DM tidak
terkendali, serta kemudian faktor ketidaktahuan pasien sehingga terjadi masalah
gangren diabetik (Rinne, 2006).
Secara umum, gangren diabetik biasanya terjadi akibat, (1) neuropatiperifer,
(2) insufisiensi vaskuler perifer (iskemik), (3) infeksi, (4) penderita yang berisiko tinggi
mengalami gangren diabetik yaitu pasien dengan lama penyakit diabetes yang melebiihi 10 tahun,
usia pasien yang lebih dari 40 tahun, riwayatmerokok, penurunan denyut nadi perifer,
14
penurunan sensibilitas, deformitas anatomis atau bagian yang menonjol (seperti bunion atau
kalus), riwayat ulkus kaki atau amputasi, pengendalian kadar gula darah yang buruk (Rinne, 2006).
Rangkaian yang khas dalam proses timbulnya gangren diabetik pada kaki
dimulai dari edem jaringan lunak pada kaki, pembentukan fisura antara jari-jari kaki
atau didaerah kaki kering, atau pembentukan kalus. Jaringan yang terkena mula-mula
berubah warna menjadi kebiruan dan terasa dingin bila disentuh. Kemudian jaringan
akan mati, menghitam dan berbau busuk. Rasa sakit pada waktu cedera tidak dirasakan
oleh pasien yang kepekaannya sudah menghilang dan cedera yang terjadi bisa berupa cedera termal,
cedera kimia atau cedera traumatik. Pengeluaran nanah, pembengkakan, kemerahan
(akibat selulitis) pada gangren biasanya merupakan tanda-tanda pertama masalah kaki yang
menjadi perhatian penderita (Rinne, 2006).
Prinsip dasar pengelolaan gangren diabetik, adalah (1) evaluasi keadaan kaki
dengan cermat, keadaan klinis luka, gambaran luka radiologi (adakah benda asing, osteomielitis,
gas subkutis), lokasi luka, vaskularisasi luka, (2)pengendalian keadaan metabolik sebaik-
baiknya, (3) debridement luka yang adekuat dan radikal, sampai bagian yang hidup, (4) biakan
kuman baik aerob maupun anaerob, (5) antibiotik yang adekuat, (6) perawatan luka yang
baik,balutan yang memadai sesuai dengan keadaaan luka, (7) mengurangi edem, (8) non weight
bearing: tirah baring, tongkat penyangga, kursi roda, alas kaki khusus, total contact
casting, (9) perbaikan sirkulasi-vakuler, (10) tindakan bedah atau rehabilitatif untuk
mencegah perluasan luka dan kecepatan penyembuhan,(11) rehabilitasi.
2.4 Patofisiologi
Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi
terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik terkait dengan adanya
pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal sebagai neuropati
perifer. Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami gangguan pada sirkulasi.
Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan dengan“ pheripheral vasculal diseases”.
Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan
15
diabetik neuropati yang berdampak pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-
otot halus, kelenjar dan organ visceral.
Dengan adanya gangguan pada saraf autonom pengaruhnya adalah terjadinya
perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan demikian
kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian anti biotik tidak mencukupi atau
tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga tidak memenuhi kebutuhan metabolisme pada
lokasi tersebut. Efek pada autonomi neuropati ini akan menyebabkan kulit menjadi
kering, anti hidrosis; yang memudahkan kulit menjadi rusak dan mengkontribusi
untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah karena adanya neuropati perifer yang
mempengaruhi kapadatan saraf sensori dan sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi
nyeri, tekanan dan perubahan temparatur (Suryadi, 2004).
2.5 Perawatan luka diabetik
Luka diabetik terdiri dari luka ulkus dan gangren. Tujuan perawatan luka diabetik adalah
mencegah terjadinya komplikasi dan mempercepat proses pemulihan luka. Ulkus yang
tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya luka gangren. Gangren adalah luka yang
sudah membusuk dan sudah melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan
membau disertai pembusukan oleh bakteri. Gangren diabetik diklasifikasikan menjadi lima
tingkatan yaitu (1) Tingkat 0, Resiko tinggi untuk megalami luka pada kaki, tidak ada
luka. (2) Tingkat 1, luka ringan tanpa adanya infeksi, biasanya luka taerjadi akibat kerusakan
saraf, kadang timbul kalus. (3) Tingkat 2 luka yang lebih dalam, sering kali dikaitkan
dengan peradangan jaringan sekitarnya. Tidak ada infeksi pada tulang dan
pembentukan abses. (4) Tingkat 3 luka yang lebih dalam hingga ketulang dan berbentuk abses.
(5) Tingkat 4 gangren yang teralokasi, seperti pada jari kaki, bagian depan kaki atau
tumit. (6) Tingkat 5, gangren pada seluruh kaki (Rinne,2006).
Pasien dapat diberikan antiagregasi trombosit, hipolipidemik dan hipotensif
bila membutuhkan. Antibiotik pun diberikan bila ada infeksi. Pilihan antibiotik
berupa golongan penisilin spektrum luas, kloksasilin/diklosasilin dan golongan aktif
seperti klindamisin atau metronidazol untuk kuman anaerob. Prinsip terapi bedah
16
pada kaki diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan
nekrotik dan mengeliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh. Tindakan operatif
pada luka diabetes dapat berupa tindakan bedah kecil seperti insisi dan pengaliran
abses, debridement dan nekrotomi. Tindakan bedah dilakukan berdasarkan indikasi
yang tepat. Prioritas tinggi harus diberikan untuk mencegah tejadinya luka baru, jangan
membiarkan luka kecil, sekecil apapun luka tersebut dapat menjadi besar dan akhirnya mengarah
pada luka gangren yang proses penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama (Yumizone,
2008).
Penyembuhan luka terjadi melalui tahapan yang berurutan mulai
prosesinflamasi, proliferasi, pematangan dan penutupan luka. Pada gangren, tindakan
debridement yang baik sangat penting untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang perawatan luka
diabetik yang memuaskan dengan melihat kondisi luka terlebih dahulu, apakah luka yang dialami
pasien dalam keadaan kotor atau tidak, ada pusa atau ada jaringan nekrotik (mati) atau tidak.
Setelah dikaji , barulah dilakukan perawatan luka. Untuk perawatan luka biasanya
menggunakan antiseptik dan kassa steril. Jika ada jaringan nekrotik sebaiknya dibuang daengan
cara digunting sedikit demi sedikit sampai kondisi luka mengalami granulasi (jaringan baru yang
mulai tumbuh). Lihat kedalam luka, pada pasien diabetes dilihat apakah terdapatsinus
(luka dalam yang sampai berlubang) atau tidak. Bila terdapat sinus, sebaiknya disemprot
(irigasi) dengan NaCl sampai pada kedalaman luka, sebab pada sinus terdapat banyak
kuman. Lakukan pembersihan luka sehari minimal dua kali (pagi dan sore), setelah dilakukan
perawatan lakukan pengkajian apakah sudah tumbuh granulasi, (pembersihan dilakukan
dengan kassa steril yang dibasahi larutan NaCl). Setelah luka dibersihkan lalu tutup
dengan kassa basah yang diberi larutan NaCl lalu dibalut disekitar luka, dalam penutupan dengan
kassa jaga agar jaringan luar luka tertutup. Sebab jika jaringan luar ikut tertutup akan
menimbulkan maserasi (pembengkakan). Setelah luka ditutup dengan kassa basah bercampur
NaCl, lalu tutup kembali dengan kassa steril yang kering untuk selanjutnya dibalut
(Ismayati, 2007).Jika luka sudah mengalami penumbuhan granulasi, selanjutnya akan
ada penutupan luka (skin draw). Penanganan luka diabetik, harus ekstra agresif sebab
17
pada luka diabetik kuman akan terus menyebar dan memperparah kondisi luka (Hermawati,
2007).
2.6 Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena proses penyembuhan
luka adalah kegiatan bio-seluler, bio-kimia yang terjadi berkesinambungan.
Penggabungan respon vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai
substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses
penyembuhan luka. Besarnya perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme
penyembuhan luka dan aplikasi klinis saat ini telah dapat diperkecil dengan
pemahaman dan penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan
pemakaiaan bahanpengobatan yang berhasil memberikan kesembuhan.
Peran fibroblast sangat besar dalam proses perbaikan, yaitu
bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan
digunakan selama proses konstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal tanpa perlukan,
pemaparan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya tersembunyi di matriks jaringan penunjang.
Sesudah terjadi luka fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam
daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa
substansi (Kolagen, elastin, Inyalruounc acid, fibronectin dan profeoglycans) yang
berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru.Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan
dikeluarkannya substrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh
darah baru dan juga fibroblast sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.
Sejumlah sel pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru
tersebut berfungsi sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas
dengan aktivitas sintetiknya di sebut fibroblasia, migrasi, deposit jaringan matriks,
kontraksi luka.
Angiogenesis suatu pembentukan pembuluh kapiler baru di dalam luka,
mempunyai peran penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka.
18
Vaskularisai yang tidak lancar, penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat
(preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus
yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka merupakan suatu respon untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup didaerah luka karena oksigen. Pada fase ini fibroplasia
dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan di pengaruhi oleh substansi yang di
keluarkan oleh plateletdan makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah epitelasi, dimana fibroblas mengeluarkan
“karatinocyle growth factor” (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis selepitel.
Keratinasasi akan di mulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barier yang
menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis
ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan
granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka,
fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas
melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan leibh menonjol pada luka dengan defek
luas dibandingkan dengan defek luka. Minimal Fase proliferasi akan berakhir jika epitel
dermis dan lapisan kolagen terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan di percepat
oleh berbagai growth factor yang dibentuk makrofag dan platelet.
Fase maturasi fase ini terjadi pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali
jaringan yang berlebihan, pengerutan sesuai dengan gravitasi, pada minggu ke 3 setelah
perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah
penyempurnaan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan
granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai
regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan
parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke 10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan di dilanjutkan
pada fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen muda (gelatinious collagen) yang terbentuk
pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat
danstruktur yang lebih baik (proses re-modelling).
19
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal di perlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang di pecahkan. Kolagen yang berlebihan akan
mengakibatkan terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya
produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka di katakan sembuh apabila telah terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan
jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses
penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari
kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda
dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan yang kurang gizi, dan yang
disertai oleh penyakit sistemik (diabetes mellitus) (Tawi,2004).
2.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi luka gangren diabetes mellitus
Faktor-faktor yang mempengaurhi penyembuhan luka gangren diabetes
mellitus secara umum adalah faktor intrinsika yaitu; (1) usia, semakin tua akan
semakin lama proses penyembuhan luka berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan
elastisitas dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen yang mempengaurhi penyembuhan
luka, (2) status penyakit dan pengobatan, penderita yang mengalami penyakit seperti DM,
yang dapat menyebabkan terjadinya mikroangiopai, neuropati dan masalah khusus yang terjadi pada
penderita akan mempersulit penyembuhan, (3) status nutrisi, zat makanan yang masuk
kedalam tubuh seperti protein sangat dibutuhkan dalam proses neo-vaskularisasi,
proliferasi fibroblast, sintesa kolagen dan remodeling luka. Asam amino adalah
komponen struktural protein dan merupakan bagian penting dari
deoxyribonucleicacid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA). Ini memberikan pola untuk
mitosis seldan enzim yuang dibutuhkan dalam pembentukan jaringan, (4) oksigenasi dan perfusi
jaringan, oksigen berpengaruh dalam angiogenesis, fungsi fibroblast, epitelisasi dan
resistensi terhadap infeksi.
Perfusi jaringan saling terkait dengan oksigenasi jaringan.Perfusi jaringan yang baik
merupakan hal yang essensial untuk oksigenasi. Volume darah beredar yang adekuat membawa
hemoglobin yang kaya 02
20
ke jaringan. Masalah yang berkaitan dengan perfusi jaringan dan oksigenasi dapat
diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, paru dan hipovolemia, (5) merokok, hal ini
juga mengurangi perfusi dan oksitgenasi jaringan dan menimbulkan efek merugikan
pada proses penyembuhan luka. Kemudian faktor Ekstrinsika yaitu, (1) adanya teknik pembedahan
yang buruk, jika jaringan di tangani secara kasarselama pembedahan, maka jaringan mengalami
kerusakan yang luas, mengakibatkan hematom. Hal ini dapat meningkatkan resiko infeksi akibat
hematom yang pecah. Ruang mati (dead space) mungkin juga terjadi jika jaringan tidak diperbaiki
secara tepat selama pembedahan dan memberi peluang untuk berkembangnya infeksi
luka, (2) drug treatment , obat juga mempengaruhi penyembuhan luka seperti steroid,
obat anti inflamasi, obat antimitotik dan terapira diasi. Steroid menghambat seluruh
fase penyembuhan luka, menghambat fagositosis, sintesa kolagen dan angiogenesis,
(3) manajemen luka yang tidak tepat, penggunaan teknik pembalutan yang tidak
tepat, pemilihan dan penggunaan bahan balutan yang kurang tepat atau penggunaan antiseptik
solution yang semestinya tidak diperlukan dapat menghambat proses penyembuhan
luka, (4) psikososial yang merugikan, berbagai jenis faktor psikososial dapat memberikan efek
merugikan pada penyembuhan luka seperti: buruknya pemahaman dan penerimaan
terhadap program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan dengan perubahan pada pekerjaan,
penghasilan, hubungan pribadi dan body image (Morison, 1992), (5) infeksi, dari semua
faktor yang memperlambat penyembuhanluka, infeksi adalah yang paling penting. Infeksi
dapat terjadi jika selamapersiapan pembedahan, selama pembedahan dan setelah pembedahan
tidak dilakukan dengan prinsip aseptik dan antiseptik yang baik. Jenis luka dan lokasi
pembedahan juga mempengaurhi resiko infeksi pada luka insisi.
2.8 Kriteria Luka Sembuh
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap
cedera jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada cedera
jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis,
misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah.
21
Push Score (length x widht, tissue type, exudate amount) adalah salah satu acuan
dalam identifikasi proses penyembuhan luka. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika
mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase
proliferatif, dan fase maturasi (Morison,2004). Kemudian disertai dengan berkurangnya
luasnya luka, jumlah exudates berkurang, jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 1997).
3. Madu
3.1 Definisi
Madu berasal dari nektar bunga yang disimpan oleh lebah dari kantung madu. Oleh lebah
nektar tersebut diolah sebelum akhirnya menghasilkan madu dalam sarangnya. Madu dihasilkan
oleh serangga lebah madu (Apis mellifera) termasuk dalam superfamili apoidea. Madu
adalah obat alami karena tidak perlu diolah di laboratorium. Madu sudah ada di alam dan
tinggal diolah dari sarangnya (Susan, 2008).
3.2 Kandungan Madu
Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida yang bersifatdapat membunuh
mikroorganisme patogen. Berdasarkan hasil penelitian Kamaruddin (1997), peneliti
dari fakultas kedokteran Universitas Malaysia, di Kuala Lumpur adanya senyawa organik
yang bersifat antibakteri antara lain seperti polypenol, dan glikosida. Selain itu dalam madu
terdapat banyak sekali kandungan vitamin, asam mineral, dan enzim yang sangat berguna bagi
tubuh sebagai pengobatan secara tradisional, antibod, dan penghambat pertumbuhan
sel kanker, atau tumor. Madu juga mengandung antioksidan, asam amino essensial, dan non
essensial.
3.3 Pemanfaatan Madu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa madu bermanfaat sebagai anti septik dan
antibakteri (mengatasi infeksi pada daerah luka dan memperlancar proses sirkulasi yang
berpengaruh pada proses penyembuhan luka) (Yudith,2003). Madu juga merangsang pertumbuhan
22
jaringan baru sehinga selain mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya parut atau
bekas luka pada kulit. Madu memiliki efek osmotik dengan tinginya kadar gula dalam madu
terutama fruktosa, dan kadar air yang sangat sedikit menyebabkan madu memiliki efek osmotik
yang tinggi. Dengan adanya efek tersebut memungkinkan mikroorganisme yang ada dalam tubuh
sukar tumbuh dan berkembang. Madu memiliki kadar asam yang tingi dengan pH sekitar
antara 3.2 - 4.5 (sangat asam). Dengan adanya kadar asam yang tingi inilah mikroorganisme
yang tidak tahanasam (seperti kuman TBC) akan mati. Madu mampu mengabsorbsi pus atau nanah
atau luka, sehingga secara tidak langsung madu akan membersihkan luka tersebut. Madu
menimbulkan efek analgetik (penghilang nyeri), mengurangi iritasi, dan dapat
mengeliminasi bau yang menyengat pada luka. Madu juga berfungsi sebagai antioksidan karena
adanya vitamin C yang banyak terkandung pada madu. Secara tidak langsung madu mengeliminasi
zat radikal bebas yang ada pada tubuh kita (Abdillah, 2008). Dari beberapa penelitian yang
dilakukan salah satunya oleh Dr. Jamal Burhan dari universitas Iskandariyah Mesir pada
tahun 1991 menyebutkan madu sangat efektif untuk pengobatan luka dan telah dilakukan
eksperimen pengobatan terhadap luka bakar dengan menggunakan madu dan setelah dilakukan
perbandingan dengan pengobatan modern yaitu SS, hasilnya setelah 7 hari, kelompok
yang diobati dengan madu 91% bebas dari infeksi sedangkan yang diobati dengan SS hanya
7% yang bebas infeksi. Setelah pengobatan berjalan 15 hari, 87% pasien yang diobati
madu sembuh sedangkan yang diobati dengan SS hanya 10%yang sembuh. Penelitian pada tahun
1992 dan 1993 juga membuktikan bahwa pasien luka bakar yang diobati dengan madu, hanya 20%
yang menyisakan luka luka ditubuhnya, sedangkan pengobatan modern dengan obat
farmakologis menyisakan sekitar 65% pasien meninggalkan bekas luka (Suryadhine,
2007).
Pengobatan madu yang dicampur dengan minyak zaitun dan lilin lebah paradokter di
Dubai Specialized Medical Centre dibawah pimpinan Noori Al Walitelah berhasil
mencapai tingkat penyembuhan tertingi 86% untuk penyakit infeksi kulit karena
jamur (Iqbal, 2008). Peneliti Jennifer Edy dari Universitas Wisconsin menyebutkan
madu efektif dalam mengobati luka diabetes karena kandungan airnnya rendah, juga
pH madu yang asam serta kandungan hidrogen peroxidanya mampu membunuh bakteri dan
23
mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh kita (Iqbal, 2008). Dalam perawatan luka diabetes
madu dapat digunakan dengan cara madu ditaruh pada balutan, kemudian sebelum luka di
balut terlebih dahulu luka haruslah terlebih dahulu diolesi dengan madu sampai
merata menutup seluruh permukaan luka. Setelah itu luka dibalut dengan balutan yang telah
diolesi madu terlebih dahulu. Namun pada kondisi luka yang penuh dengan cairan cara ini
tidak dianjurkan (Iqbal, 2008). Untuk luka yang mengeluarkan cairan yang banyak, pembalut
madu yang kedua dapat diterapkan diatas pembalut yang pertama untuk menampung rembesan
cairan dari pembalut pertama. Madu aman untuk dioleskan langsung ke daerah luka
yang terbuka karena madu selalu larut dalam air dan mudah dibersihkan.
3.4 Terapi Madu pada luka Gangren
Penggunaan madu pada luka gangren tergantung dari jumlah cairan yang
keluar dari luka. Frekuensi penggantian pembalut madu tergantung dari beberapa
cepat madu tercampur dengan cairan yang keluar dari luka. Luka yang tidak mengeluarkan
cairan, penggantian pembalut dapat dilakukan 3 kali semingu. Cara pemberian madu
yang baik adalah madu ditaruh dahulu pada pembalut yang dapat menyerap madu, karena apabila
dituangkan langsung, madu akan menyebar kemana-mana dan tidak mengenai sasaran. Balutan
yang digunakan harus yang berpori agar madu dapat mencapai bagian tubuh yang luka.
Pembalut alginate yang diisi madu dapat juga di pakai sebagai pengganti pembalut
dari selulosa karena alginate akan berubah menjadi gel yang lunak yang mengandung madu.
Madu aman untuk dioleskan langsung ke daerah luka yang terbuka karena madu selalu larut dalam
air dan mudah dibersihkan. Dianjurkan selama penggunaan madu ini, pasien tetap dalam
pengawasan dokter (Iqbal, 2008) penerapan terapi madu pada luka gangren
diabetes dapat dilihat pada protokol penelitian efektivitas madu terhadap penyembuhan
luka DM.
24
3. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL
A. Kelebihan Jurnal
Jurnal yang berjudul “Pengaruh Perawatan Luka Dengan Penggunaan Madu Terhadap Penyembuhan Luka Diabetik Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Rsud Ulin Banjarmasin” ini memiliki beberapa kelebihan sehingga menurut kami sangat sesuai untuk kami angkat, berikut beberapa rangkuman kelebihan jurnal ini:
1. Jurnal ini merupakan jurnal trending topic masalah keperawatan dimana
perawatan luka seringkali dilakukan dirumah sakit yang menampung pasien
interna maupun bedah yang membutuhkan perawatan luka seperti, ulkus
diabetic, luka cedera karena kecelakaan, luka post operasi dan lain-lain. Madu
juga dipergunakan dalam penanganan atau perawatan gangrene pada daerah
perineum atau daerah genetalia (Tahmaz L,et al). Pada pasien postoperasi
sectio caesarea dan hysterectomi juga digunakan antara lain untuk mencegah
infeksi bakteri, meminimalkan pembentukan scar (Al-
Waili NS. Saloom KY).
2. Penelitian jurnal ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan perawatan
luka dengan madu memberikan hasil yang efektif dalam meminimalisirkan
terjadinya infeksi.
3. Metode penelitian ini adalah eksperimen pre post design yang
menggambarkan kondisi luka diabetic pada pasien Diabetes Mellitus sebelum
dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu dan sesudah
dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu.
B. Kekurangan Jurnal
1. Judul “Pengaruh Perawatan Luka Dengan Penggunaan Terhadap Penyembuhan Luka Diabetik Pada Pasien Diabetes Mellitus Di RSUD Ulin Banjarmasin”. Judul yang dituliskan diatas menurut pendapat kelompok belum terlalu spesifik, karena tidak disebutkan di ruang mana penelitian tersebut dilaksanakan dan tahun berapa, karena peneliti lain barangkali ingin menganalisa jurnal untuk dijadikan referensi penelitian mereka.
25
2. Di dalam latar belakang hanya menjelaskan pengertian dari diabetes mellitus, namun tidak menjelaskan pengertian dari luka diabetik dan madu itu sendiri, sehingga membuat pembaca baru yang membaca jurnal belum paham terkait dengan manfaat madu dalam penyembuhan luka diabetik secara ilmiah.
3. Peneliti tidak memasukkan saran setelah kesimpulan pada jurnal tersebut, sehingga peneliti lanjutan atau pembaca jurnal tidak mempunyai arah bahwa apa yang seharusnya peneliti lanjut lakukan dalam penelitian manfaat madu perawatan luka pada kasus lain selain kasus luka diabetik. Seharusnya saran yang dimasukkan adalah saran untuk peneliti selanjutnya, untuk instansi kesehatan atau rumah sakit yang menampung pasien bedah, atau instansi pendidikan untuk lebih mempelajari dan memahami fungsi madu untuk kebutuhan penyakit lainnya.
4. SARAN
1. Setiap ruangan yang memiliki pasien dengan kasus bedah diharapkan
dapat memberikan program terapi madu dalam perawatan luka pada
pasien dengan luka diabetik untuk mempercepat penyembuhan luka serta
meminimalisir terjadinya infeksi pada luka tersebut. Melibatkan keluarga
dan berikan penyuluhan kesehatan mengenai kateter yang terpasang pada
tubuh pasien bagaimana untuk perawatannya.
2. Selain penggunaan madu pada pasien dengan kasus luka diabetik, perawat
juga diharapkan dapat mengaplikasikan penggunaan madu pada pasien
dengan luka terbuka lainnya, seperti cedera karena kecelakaan serta pasien
dengan post operasi.
26