analisis jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan …repository.ub.ac.id/8381/1/khanifuddin akhsan...
TRANSCRIPT
ANALISIS JUMLAH LEUKOSIT, LIMFOSIT, MONOSIT, DAN
NEUTROFIL SEBAGAI PREDIKTOR SYOK PADA ANAK YANG
TERINFEKSI DENGUE DI RS SAIFUL ANWAR MALANG
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
Khanifuddin Akhsan Fikri
NIM: 145070101111019
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS AKHIR
ANALISIS JUMLAH LEUKOSIT, LIMFOSIT, MONOSIT, DAN NEUTROFIL
SEBAGAI PREDIKTOR SYOK PADA ANAK YANG TERINFEKSI DENGUE DI
RS SAIFUL ANWAR MALANG
Oleh:
Khanifuddin Akhsan Fikri
NIM 145070101111019
Telah diuji pada
Hari: Selasa
Tanggal: 5 Desember 2017
dan dinyatakan lulus oleh:
Penguji-I
dr. Happy Kurnia Permatasari, Ph.D.
NIK. 2012018603182001
Pembimbing-I/Penguji-II Pembimbing-II/Penguji-III
dr. Agustin Iskandar, M.Kes., Sp.PK dr. Desy Wulandari, M.Biomed, Sp.A
NIP.197308171999032001 NIK. 2016078410212001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kedokteran,
dr. Triwahju Astuti, M.Kes., Sp.P(K)
NIP. 196310221996012001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Khanifuddin Akhsan Fikri
NIM : 145070101111019
Program Studi : Program Studi Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya
tulis ini benar benar hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilan
tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran
saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas
Akhir ini adalah jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Malang, 23 November 2017
Yang membuat pernyataan,
Khanifuddin Akhsan F.
NIM. 145070101111019
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberi bimbingan-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul “
Analisis Jumlah Leukosit, Limfosit, Monosit, dan Neutrofil sebagai
Prediktor Syok pada Anak yang Terinfeksi Dengue di RS Saiful Anwar
Malang “
Dengan selesainya Tugas Akhir ini penulis mengucapkan
terimakasih yang tak terhingga kepada :
1. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya yang telah memberikan saya kesempatan
menutut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
2. dr. Triwahju Astuti, M.Kes, SpP(K), selaku Ketua Program Studi
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
3. dr. Happy Kurnia Permatasari, Ph.D yang telah meluangkan waktu
dan bersedia menjadi dosen penguji dalam sidang Tugas Akhir
serta memberikan saran sehingga saya dapat menyempurnakan
Tugas Akhir ini.
4. dr. Agustin Iskandar, M.Kes, SpPK, sebagai pembimbing pertama
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing saya
dengan sabar dan senantiasa memberi semangat sehingga saya
dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
5. dr. Desy Wulandari, M.Biomed, SpA, sebagai pembimbing kedua
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing saya
dengan sabar dan senantiasa memberi semangat sehingga saya
dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
v
6. Kedua orang tua saya, yaitu Subandoko dan Sumiarti yang selalu
memberikan doa , motivasi, dan semangat tanpa henti.
7. dr. Yuyun, residen Patologi Klinik RS Saiful Anwar yang dengan
sabar membantu serta membimbing saya dalam menyelesaikan
penelitian ini.
8. Teman teman satu penelitian Demam Berdarah Dengue yang ikut
memberikan ide serta saran dalam proses pembuatan Tugas
Akhir ini.
9. Semua teman-teman Program Studi Kedokteran Angkatan 2014,
kakak tingkat, dan adik tingkat yang memberikan doa dan
semangat.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Tugas
Akhir ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang
membangun.Akhirnya, semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi
yang membutuhkan.
Malang, 27 November 2017
Penulis
vi
ABSTRAK
Fikri, Khanifuddin Akhsan. 2017. Analisis Jumlah Leukosit, Limfosit, Monosit, dan Neutrofil sebagai Prediktor Syok pada Anak yang Terinfeksi Dengue di RS Saiful Anwar Malang. Tugas Akhir. Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing : (1) dr. Agustin Iskandar, M.Kes, Sp.PK. (2) dr. Desy Wulandari, M.Biomed, Sp.A.
Penyakit infeksi Dengue adalah penyakit yang sering terjadi pada daerah
tropis seperti Indonesia. Jumlahnya kian meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit ini umumnya dinilai dari kondisi klinis pasien, jumlah trombosit dan nilai hematokrit sebagai indikator terjadinya kebocoran plasma. Jumlah leukosit, limfosit, monosit dan neutrofil seringkali diabaikan walaupun pada infeksi virus biasanya disertai dengan leukopenia, limfositosis, monositosis dan neutropenia. Oleh sebab itu dilakukan analisis mendalam terhadap parameter tersebut sebagai prediktor terjadinya Sindroma Syok Dengue (SSD). Penelitian ini merupakan penelitian cohort retrospektif menggunakan rekam medis subyek anak yang dirawat dari bulan Mei 2016-April 2017 di RS Saiful Anwar Malang. Subjek kasus dipilih secara consecutive. Subjek terdiri dari 50 dengan rincian 23 subjek non syok dan 27 subjek syok. Dengan analisis ROC curve didapatkan subyek DBD dengan leukopenia mempunyai risiko mengalami syok 0,9 kali lebih besar sehingga tidak dapat dijadikan prognosis, limfositosis mempunyai resiko mengalami syok 1,5 kali lebih besar, monositosis mempunyai resiko mengalami syok 1,8 kali lebih besar dan neutropenia mempunyai resiko 1,2 kali lebih besar namun nilai diagnostiknya rendah sehingga tidak dapat dijadikan prognosis. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa limfosit dan monosit bisa dipakai sebagai prediktor terjadinya syok pada anak dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Kata kunci: Syok, Leukosit, Limfosit, Monosit, Neutrofil.
vii
ABSTRACT
Fikri, Khanifuddin Akhsan. 2017. Analysis Number of Leucocytes, Lymphocytes, Monocytes, and Neutrophils as Predictors of Shock in Children Infected with Dengue in Saiful Anwar Hospital Malang. Final Assignment. Medical Program Faculty of Medicine Brawijaya University. Superivors: (1) dr. Agustin Iskandar, M.Kes, Sp.PK. (2) dr. Desy Wulandari, M.Biomed, Sp.A.
Dengue infection is a common disease in tropical regions such as Indonesia.
The number is increasing every year. The disease is generally assessed from the patient's clinical condition, platelet count and hematocrit value as an indicator of plasma leakage. The number of leukocytes, lymphocytes, monocytes and neutrophils is often overlooked even in viral infections usually accompanied by leukopenia, lymphocytosis, monocytosis and neutropenia. Therefore, an in-depth analysis of these parameters was used as a predictor of the occurrence of Dengue Shock Syndrome (DSS). This study is a retrospective cohort study using a child's medical record of children treated from May 2016-April 2017 at Saiful Anwar Hospital Malang. The case subject is chosen consecutively. Subjects consisted of 50 with details of 23 non-shock subjects and 27 subjects of shock. With ROC curve analysis, the subject of dengue fever with leukopenia had a risk of having 0.9 times greater shock so that it could not be used as prognosis, lymphocytosis had a risk of shock 1.5 times greater, monocytosis had a risk of shock 1.8 times greater and neutropenia has a risk of 1.2 times greater but low diagnostic value so can not be used as a prognosis. From this research can be concluded that lymphocytes and monocytes can be used as a predictor of shock in children with Dengue Hemorrhagic Fever. Keywords: Shock, Leucocytes, Lymphocytes, Monocytes, Neutrophils.
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Pengesahan ii
Pernyataan Keaslian Tulisan iii
Kata Pengantar iv
Abstrak vi
Abstract vii
Daftar Isi viii
Daftar Gambar xi
Daftar Tabel xii
Daftar Lampiran xiii
Daftar Simbol, Singkatan dan Istilah xiv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Masalah Penelitian 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat 5
1.4.1 Manfaat Akademik 5
1.4.2 Manfaat Praktis 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi 6
2.2 Patogenesis 7
2.3 Gejala, Klasifikasi dan Berat Penyakit 9
2.4 Manifestasi Klinis 11
2.5 Diagnosis 12
ix
2.6 Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit Pada Demam Berdarah Dengue 15
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 17
3.1 Kerangka Konsep Penelitian 17
3.2 Hipotesis Penelitian 18
BAB 4. METODE PENELITIAN 19
4.1 Rancangan Penelitian 19
4.2 Populasi dan Subjek Penelitian 19
4.3 Variabel Penelitian 21
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 21
4.5 Instrumen Penelitian 21
4.6 Definisi Operasional 21
4.7 Pengumpulan Data 22
4.8 Analisis Data 23
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 24
5.1 Karateristik Subjek 24
5.2 Analisis Hasil Pemeriksaaan Leukosit, Limfosit, Monosit, dan Neutrofil 27
5.2.1 Uji Normalitas 27
5.2.2 Hasil Uji Beda T 28
5.2.3 Hasil Uji Prognostik 29
BAB 6 PEMBAHASAN 33
6.1 Pembahasan Hasil Penelitian 33
6.2 Implikasi terhadap Bidang Kedokteran 37
6.3 Keterbatasan Penelitian 37
BAB 7 PENUTUP 38
7.1 Kesimpulan 38
7.2 Saran 38
x
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 42
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Grafik distribusi subjek berdasar usia 24
Gambar 5.2 Grafik distribusi subjek berdasar jenis kelamin 25
Gambar 5.3 Grafik distribusi subjek berdasar derajat keparahan 25
Gambar 5.4 Grafik rerata jumlah leukosit berdasar terjadinya syok 25
Gambar 5.5 Grafik rerata jumlah limfosit berdasar terjadinya syok 26
Gambar 5.6 Grafik rerata jumlah monosit berdasar terjadinya syok 26
Gambar 5.7 Grafik rerata jumlah neutrofil berdasar terjadinya syok 26
Gambar 5.8 Kurva ROC leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil 28
Gambar 5.9 Kurva ROC delta leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil 28
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas 27
Tabel 5.2 Hasil Uji Beda T 28
Tabel 5.3 Hasil Uji Prognostik 30
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Rekam Medis Pasien Hari Pertama 44
Lampiran 2 Data Rekam Medis Pasien Hari Berikutnya 46
Lampiran 3 Hasil Uji Statistik 48
xiv
DAFTAR SIMBOL, SINGKATAN, DAN ISTILAH
DD : Demam Dengue
DBD : Demam Berdarah Dengue
SSD : Sindrom Syok Dengue
WHO : World Health Organization
CFR : Case Fatality Rate
ADE : Antibody Dependent Enhancement
IL : Interleukin
TNF : Tumor Necrosis Factor
PAF : Platelet Activating Factor
PCR : Polymerase Chain Reaction
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
PPV : Positive Predictive Value
NPV : Negative Predictive Value
OR : Odd Ratio
RR : Relative Risk
IgG : Immunoglobulin G
IgM : Immunoglobulin M
ROC : Reeiver Operating System
AUC : Area Under Curve
Delta : Selisih
ii
vi
ABSTRAK
Fikri, Khanifuddin Akhsan. 2017. Analisis Jumlah Leukosit, Limfosit, Monosit, dan Neutrofil sebagai Prediktor Syok pada Anak yang Terinfeksi Dengue di RS Saiful Anwar Malang. Tugas Akhir. Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing : (1) dr. Agustin Iskandar, M.Kes, Sp.PK. (2) dr. Desy Wulandari, M.Biomed, Sp.A.
Penyakit infeksi Dengue adalah penyakit yang sering terjadi pada daerah
tropis seperti Indonesia. Jumlahnya kian meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit ini umumnya dinilai dari kondisi klinis pasien, jumlah trombosit dan nilai hematokrit sebagai indikator terjadinya kebocoran plasma. Jumlah leukosit, limfosit, monosit dan neutrofil seringkali diabaikan walaupun pada infeksi virus biasanya disertai dengan leukopenia, limfositosis, monositosis dan neutropenia. Oleh sebab itu dilakukan analisis mendalam terhadap parameter tersebut sebagai prediktor terjadinya Sindroma Syok Dengue (SSD). Penelitian ini merupakan penelitian cohort retrospektif menggunakan rekam medis subyek anak yang dirawat dari bulan Mei 2016-April 2017 di RS Saiful Anwar Malang. Subjek kasus dipilih secara consecutive. Subjek terdiri dari 50 dengan rincian 23 subjek non syok dan 27 subjek syok. Dengan analisis ROC curve didapatkan subyek DBD dengan leukopenia mempunyai risiko mengalami syok 0,9 kali lebih besar sehingga tidak dapat dijadikan prognosis, limfositosis mempunyai resiko mengalami syok 1,5 kali lebih besar, monositosis mempunyai resiko mengalami syok 1,8 kali lebih besar dan neutropenia mempunyai resiko 1,2 kali lebih besar namun nilai diagnostiknya rendah sehingga tidak dapat dijadikan prognosis. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa limfosit dan monosit bisa dipakai sebagai prediktor terjadinya syok pada anak dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Kata kunci: Syok, Leukosit, Limfosit, Monosit, Neutrofil.
vii
ABSTRACT
Fikri, Khanifuddin Akhsan. 2017. Analysis Number of Leucocytes, Lymphocytes, Monocytes, and Neutrophils as Predictors of Shock in Children Infected with Dengue in Saiful Anwar Hospital Malang. Final Assignment. Medical Program Faculty of Medicine Brawijaya University. Superivors: (1) dr. Agustin Iskandar, M.Kes, Sp.PK. (2) dr. Desy Wulandari, M.Biomed, Sp.A.
Dengue infection is a common disease in tropical regions such as Indonesia.
The number is increasing every year. The disease is generally assessed from the patient's clinical condition, platelet count and hematocrit value as an indicator of plasma leakage. The number of leukocytes, lymphocytes, monocytes and neutrophils is often overlooked even in viral infections usually accompanied by leukopenia, lymphocytosis, monocytosis and neutropenia. Therefore, an in-depth analysis of these parameters was used as a predictor of the occurrence of Dengue Shock Syndrome (DSS). This study is a retrospective cohort study using a child's medical record of children treated from May 2016-April 2017 at Saiful Anwar Hospital Malang. The case subject is chosen consecutively. Subjects consisted of 50 with details of 23 non-shock subjects and 27 subjects of shock. With ROC curve analysis, the subject of dengue fever with leukopenia had a risk of having 0.9 times greater shock so that it could not be used as prognosis, lymphocytosis had a risk of shock 1.5 times greater, monocytosis had a risk of shock 1.8 times greater and neutropenia has a risk of 1.2 times greater but low diagnostic value so can not be used as a prognosis. From this research can be concluded that lymphocytes and monocytes can be used as a predictor of shock in children with Dengue Hemorrhagic Fever. Keywords: Shock, Leucocytes, Lymphocytes, Monocytes, Neutrophils.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi Dengue merupakan masalah kesehatan di daerah tropis.
Jumlah kasus infeksi Dengue yang dilaporkan kepada World Health Organization
(WHO) meningkat tiap tahunnya. Infeksi virus Dengue memiliki spektrum klinis
yang sangat luas. World Health Organization (WHO) membagi klinis yang
bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Sindrom Syok
Dengue (DSS) (WHO, 2011).
Epidemiologi di Asia Tenggara dimulai dengan epidemi pertama tahun
1954 di Manila. Insiden meningkat 5 kali selama hampir 30 tahun sejak pertama
dilaporkan. Tahun 1960 di Singapura dan tahun 1961di Kamboja juga ditemukan
penyakit yang sama. Epidemiologi di Indonesia, tahun 1968 setelah 14 tahun
kejadian luar biasa di Manila baru dilaporkan kejadian di Indonesia. Dilaporkan di
Jakarta dan Surabaya, mencatat 58 kasus dan angka kematian kasus 41,5%.
Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2011, DBD termasuk 10
besar penyakit rawat inap di rumah sakit. Dari data profil kesehatan Indonesia
tahun 2013, diketahui total kasus DBD sebanyak 112.511, dengan kasus pasien
meninggal 871 dan case fatality rate (CFR) 0,77. Distribusi kasus berdasarkan
jenis kelamin pada tahun 2009, persentase penderita laki-laki dan perempuan
hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang
(53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini
2
menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan
hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin (Kemenkes, 2010).
Penyebab penyakit ini adalah virus Dengue, golongan Arbovirus, genus
Flavivirus, famili Flaviviridea, terdiri dari RNA rantai tunggal dan mempunyai
empat serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes
albopictus, atau Aedes polynesiensis. Infeksi memerlukan waktu 4-6 hari
sebelum menimbulkan sakit (Soegijanto, 2004).
Berdasarkan kriteria WHO diagnosis DBD ditegakkan apabila demam
atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, terdapat minimal satu dari manifestasi
perdarahan yaitu uji bendung positif, petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan
mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat
lain, hematemesis atau melena, trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul),
dan terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) yaitu
peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin, penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya, dan tanda kebocoran plasma
seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemia (WHO, 2011).
Beberapa data laboratorium rutin memang dapat dijadikan parameter
untuk mendiagnosis penyakit infeksi, tetapi sifatnya tidak langsung dan tidak
spesifik. Sebagai contoh, dari hasil pemeriksaan hematologi, kadar hemoglobin
yang rendah disertai eosinofil. Netrofilia atau lekositosis, leukopenia pada
umumnya terjadi pada infeksi virus. Trombositopenia pada umumnya dijumpai
pada penderita demam berdarah, dapat juga terjadi pada keadaan sepsis yang
berat. Laju Endap Darah (LED) yang meningkat dapat dijumpai pada keadaan
3
akut. Kadar SGOT/SGPT yang tinggi merupakan indikator penting lainnya.
Sebenarnya laboratorium dapat berperan lebih dominan, nyata dan
menghasilkan data yang akurat dan spesifik sehingga menghasilkan diagnosis
pasti, bila prosedur dilakukan secara rasional (Sardjono dkk, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian di FK Universitas Sam Ratulangi diperoleh
24 orang dari 37 pasien memenuhi kriteria yang mengalami leukopenia dengan
jumlah leukosit dibawa 4000/mm3, dengan nilai terendah 700/mm3, tertinggi
9700/mm3 dan nilai rata-rata 3600/mm3. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Risniati, dkk yang dilakukan pada 129 subjek penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi seluruhnya mengalami leukopenia dengan jumlah dibawah 5000/mm3.
Sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh maka pasien yang menjadi subjek
pada umumnya berada pada awal fase kritis. Sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa pada infeksi virus Dengue akan ditemukan leukopenia pada
awal fase kritis (Arruan dkk., 2015).
Limfosit berperan sebagai sistem imun yang spesifik. Imunitas spesifik
hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan
ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori
imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang
sama dikemudian hari. Peningkatan limfosit pada penelitian yang dilakukan di FK
Universitas Sam Ratulangi berbanding lurus dengan penelitian yang dilakukan di
FK Universitas Indonesia pada tahun 2002 bahwa hal yang menarik ialah
ditemukannya cukup banyak (20-50%) limfosit bertransformasi atau atipik dalam
sediaan apus darah tepi penderita Demam Berdarah Dengue, terutama pada
infeksi sekunder. Limfosit ini sudah dapat ditemukan pada hari ketiga terjadinya
4
panas, dan merupakan penunjang diagnosis Demam Berdarah Dengue
(Harahap dkk., 2015).
Pemeriksaan darah lengkap rutin dilakukan pada penderita infeksi
Dengue, namun data yang diperoleh belum digunakan secara maksimal. Data
darah lengkap biasanya hanya disimpan sebagai rekam medis saja padahal
dengan adanya data tersebut bisa digunakan untuk menentukan prognostik dari
suatu penyakit. Maka dari itu, peneliti ingin melakukan uji prognostik dengan cara
mengetahui jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil sebagai prediktor
syok pada anak yang terinfeksi Dengue.
1.2 Masalah Penelitian
Bagaimana jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil dapat
digunakan menjadi prediktor syok pada anak yang terinfeksi Dengue di RS Saiful
Anwar Malang?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui bagaimana jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan
neutrofil dapat dijadikan prediktor syok pada anak yang terinfeksi Dengue di
RS Saiful Anwar Malang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil pada
penderita anak yang terinfeksi Dengue dan dirawat di RS Saiful
Anwar Malang.
2. Menganalisis perbedaan antara leukosit, limfosit, monosit, dan
neutrofil baik keadaan non syok maupun syok pada anak yang
terinfeksi Dengue di RS Saiful Anwar Malang.
5
3. Mengetahui Relative Risk jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan
neutrofil sebagai prediktor syok pada anak yang terinfeksi Dengue di
RS Saiful Anwar Malang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
1. Sebagai acuan pembelajaran serta sumber informasi mengenai jumlah
leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil sebagai prediktor syok dari infeksi
Dengue.
2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai marker jumlah
leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil sehingga selanjutnya dapat
ditemukan vaksin Dengue.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Memberi informasi mengenai mediator kimia lain yang dapat dijadikan
sebagai marker prediktor syok dari infeksi Dengue.
2. Dapat memberi pengetahuan mengenai cara alternatif untuk menilai
prediktor syok pada infeksi Dengue.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Penderita DBD banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan
subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. Virus
Dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
berpenduduk padat dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun pada
hampir 40 persen populasi dunia tinggal di daerah endemis (Candra, 2010).
Epidemiologi di Asia Tenggara dimulai dengan epidemi pertama tahun
1954 di Manila. Insiden meningkat 5 kali selama hampir 30 tahun sejak pertama
dilaporkan. Tahun 1960 di Singapura dan tahun 1961di Kamboja juga ditemukan
penyakit yang sama. Epidemiologi di Indonesia, tahun 1968 setelah 14 tahun
kejadian luar biasa di Manila baru dilaporkan kejadian di Indonesia. Dilaporkan di
Jakarta dan Surabaya, mencatat 58 kasus dan angka kematian kasus CFR
41,5%. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, DBD termasuk
10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit. Dari data Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2013, diketahui total kasus DBD sebanyak 112.511, dengan
kasus pasien meninggal 871 dan case fatality rate (CFR) 0,77. Distribusi kasus
berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2009, persentase penderita laki-laki dan
perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah
10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini
menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan
hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin (Kemenkes, 2010).
7
2.2 Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis Demam
Berdarah Dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian
besar menganut The secondary heterologous infection hypothesis yang
mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi Dengue
pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus Dengue yang berlainan
dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5
tahun.
Respons imun yang diketahui berperan delam patogenesis DBD adalah
respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus Dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut
antibody dependent enhancement (ADE). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-
sitotoksik (CDS) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus Dengue.
Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan
makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun
meyebabkan terbentuknya terbentuknya C3a dan C5a (FKUI, 2014).
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus Dengue dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi
amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
8
tinggi. Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain menyatakan bahwa infeksi virus Dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus Dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin
dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet
activating factor), lL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadi kebocoran plasma (FKUI, 2014).
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi Dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang dan destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan
keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai
akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis
(FKUI, 2014).
Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis
sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, konsumsi trombosit selama
proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi
melalui mekanisme gangguan pelepasan Adenosin Diphosphate (ADP),
peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda
degranulasi trombosit.
9
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada Demam Berdarah Dengue stadium III dan IV.
Aktivasi koagulasi pada Demam Berdarah Dengue terjadi melalui aktivasi jalur
ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi
faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein Cl-inhibitor complex).
2.3 Gejala, Klasifikasi dan Berat Penyakit
Tanda-tanda dan gejala penyakit DBD adalah :
1. Demam
Penyakit DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus
menerus berlangsung 2 - 7 hari, kemudian turun secara cepat.
Demam secara mendadak disertai gejala klinis yang tidak spesifik seperti:
anorexia, lemas, nyeri pada tulang, sendi, punggung dan kepala.
2. Manifestasi Pendarahan
Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari 2-3
setelah demam. Sebab perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk
perdarahan dapat berupa petechiae, purpura, echymosis, perdarahan
konjunctiva, perdarahan dari hidung (epistaxis), perdarahan gusi, muntah
darah (hematemesis), buang air besar berdarah (melena), dan kencing
berdarah (hematuria)
Gejala ini tidak semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu
diperlukan torniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar
penderita DBD.
10
3. Pembesaran hati (Hepatomegali)
Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat
pembesaran hati tidak sejajar dengan berapa penyakit pembesaran hati
mungkin berkaitan dengan strain serotipe virus Dengue.
4. Renjatan (Shock)
Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7
mulai sakit. Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma
ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak. Adapun tanda-
tanda perdarahan:
- Kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari dan kaki.
- Penderita menjadi gelisah.
- Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.
- Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang)
5. Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau kurang). Renjatan yang terjadi pada saat demam, biasanya
mempunyai kemungkinan yang lebih buruk.
6. Gejala klinis lain
Gejala lainnya yang dapat menyertai ialah anoreksia, mual, muntah,
lemah, sakit perut, diare atau konstipasi dan kejang.
Diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan WHO 1997.
Kriteria Klinis
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus
menerus selama 2– 7 hari.
11
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan uji tourniquet
positif, petekie, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi, hemetamesis dan
atau melena.
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak
gelisah.
Kriteria Laboratorium
1. Trombositopenia (100.000 sel/ mm3 atau kurang)
2. Hemokonsentrasi peningkatan hematoksit 20% atau lebih
Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus Dengue
Derajat I: Demam disertai gejala tidak khas dan satu – satunya
manifestasi ialah uji tourniquet positif dan atau mudah memar
Derajat II: Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan rendah, kulit dingin atau lembab dan penderita tampak gelisah.
Derajat IV: Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, Demam Dengue, Demam Bedarah
Dengue atau Sindrom Syok Dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami
fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada
waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk
terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.
12
Fase febris biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan konjungtiva.
Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi. Pada fase ini dapat pula ditemukan
tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat
pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
Pembesaran dan nyeri tekan hepar sering tampak setelah beberapa hari demam.
Tanda abnormal pada pemeriksaan darah lengkap yang dapat di lihat
secara dini adalah penurunan progresif dari jumlah total leukosit. Setelah fase
febris, akan terjadi fase kritis pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan
penurunan suhu tubuh (37,5-38 0C atau kurang) disertai kenaikan permeabilitas
kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24
– 48 jam. Kebocoran plasma dapat terlihat dari adanya efusi pleura, asites, dan
sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan jumlah trombosit.
Pada fase ini dapat terjadi syok yang memiliki beberapa tanda peringatan seperti
penurunan temperatur suhu tubuh. Bila fase kritis terlewati maka terjadi fase
pemulihan yang berupa pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler
secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita
membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik.
2.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis DBD masih menggunakan kriteria WHO 2011,
yaitu kriteria klinis dan laboratoris berupa trombositopenia kurang dari 100.000/ul
atau peningkatan hematokrit ≥ 20%. Untuk mendapatkan peningkatan hematokrit
sebesar ≥ 20% secara tepat, sulit dilakukan, mengingat belum ada nilai standar
hematokrit orang Indonesia anak-anak maupun dewasa. Hal yang tak kalah
13
penting adalah memahami kelemahan pemeriksaan laboratorium tersebut.
Pemeriksaan hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hapusan darah tepi maupun
enzim hati seperti SGOT dan SGPT, juga diperlukan di samping trombosit dan
hematokrit, untuk memberi informasi lebih, dalam menunjang diagnosis DBD.
Terdapat juga uji serologis diantaranya
1. NS 1 antigen
Antigen NS1 terdapat baik pada infeksi primer maupun sekunder.
Antigen NS1 dapat dideteksi dalam 9 hari pertama demam, yang terdapat
baik pada serotipe DEN-1 (terbanyak), DEN-2, DEN-3 dan DEN-4).
Kumarasamy meneliti sensitivitas dan spesifisitas NS1 pada 554 donor
sehat dan 297 pasien terinfeksi virus Dengue dimana 157 pasien dengan
PCR positif dan pasien diperiksa juga IgM dan IgG antidengue.
Didapatkan spesifisitas 100% dan sensitivitas 91,0 % dari 157 subjekl
dengan hasil positif PCR dengan perbedaan yang tidak signifikan untuk
ke empat serotipe, sedangkan Blacksell meneliti NS1 dan didapatkan
sensitivitas NS1 63% dan spesifisitas 100% dengan memperhatikan
adanya perbedaan sekresi yang bervariasi antar serotipe.
2. Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan spesifik
terhadap serotipe tertentu. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari
spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia dan nyamuk.
Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak begitu
dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya
dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah
juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR. Selain untuk menentukan
14
adanya RNA virus Dengue juga dapat menentukan serotipe virus Dengue
yang ditemukan. Hal ini penting untuk dapat membuat pola distribusi
serotipe virus Dengue di berbagai wilayah khususnya yang berbeda
kondisi geografis dan klimatologisnya, seperti daerah dataran rendah,
dataran sedang dan dataran tinggi. Hingga saat ini telah diketahui ada 4
serotipe virus Dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4.
3. Haemagglutination Inhibition test (HI test)
Diantara uji serologi, uji HI adalah uji serologi yang paling sering
dipakai dan dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan
serologis.
4. Complement Fixation test (CF test)
Berbeda dengan antibody HI, antibodi komplemen fiksasi hanya
bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 sampai 3 tahun)
5. Uji neutralisasi
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitive
untuk virus Dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut
plaque reduction neutralization test (PRNT) yaitu berdasarkan reduksi
dari plaque yang terjadi. Saat antibody neutralisasi dapat dideteksi dalam
serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari
antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (> 48 tahun).
6. Uji ELISA Anti-Dengue IgM
Uji antibody-capture ELISA telah berhasil mengukur titer antibody
IgM terhadap virus Dengue. IgM anti-Dengue timbul pada infeksi primer
maupun sekunder. IgM timbul sekitar hari ke 3 dan kadarnya meningkat
pada akhir minggu pertama sampai dengan minggu ke-3 dan menghilang
15
pada minggu ke-6, sedang IgG timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar
tertinggi pada hari ke-14, kemudian bertahan sampai berbulan-bulan.
Pada infeksi sekunder kadar IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebihi
kadar IgM. Uji ini telah dipakai untuk membedakan infeksi virus Dengue
dari infeksi virus Japanese B ensefalitis.
7. Isolasi virus
Diagnosis pasti yaitu dengan cara isolasi virus Dengue dengan
menggunakan kultur sel. Ada beberapa cara isolasi yang dikembangkan
yaitu:
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 – 3 hari.
b.Inokulasi pada biakan jaringan mammalia dan nyamuk Aedes
albopictus.
c.Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada
larva.
2.6 Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit Pada Demam Berdarah Dengue
Pada infeksi Dengue, penurunan leukosit telah diketahui sejak lama.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa leukopeni selalu ada, umumnya
penurunan terjadi antara 3000-5000 sel/mm3, walau jumlahnya mungkin dapat
menurun sampai 1200 sel/mm3. Batasan leukopeni menurut WHO 2011 adalah
jika jumlah leukosit ≤ 5000 sel/mm3. Serupa dengan penelitian uji diagnostik
Sutaryo dan Nany yang menyebutkan sensitivitas tertinggi terdapat pada titik
potong leukosit <5000 sel/mm3, dengan masing-masing sensitivitas 65,69% dan
94,44%, Kalayanarooj dkk mencatat sensitivitas leukopeni pasien Dengue
91,19%, dengan spesifisitas, positive predictive value (PPV), dan negative
predictive value (NPV) masing-masing 59,83%, 68,56%, dan 87,61%. Penelitian
16
ini mendapatkan jumlah leukosit lebih rendah pada hari ke-3 dan ke-4 demam
pada pasien Dengue dibandingkan bukan Dengue, dengan nilai odd ratio (OR)
yang cukup tinggi yaitu 10,32 (IK95% 4,31-24,53) pada hari ke-3 dan OR 13,84
(IK95% 4,92-38,88) pada hari ke-4 sehingga dapat disimpulkan kejadian
leukopeni pada infeksi Dengue 10,32 dan 13,84 kali lebih besar dibandingkan
bukan Dengue pada hari ke-3 dan ke-4. Peningkatan risiko leukopeni pada hari
ke-4 dibandingkan dengan ke-3 dikarenakan perjalanan penyakit tersebut.
Penelitian ini mendapatkan jumlah neutrofil dan monosit pasien Dengue
lebih rendah dibandingkan dengan bukan Dengue, walaupun nilainya secara
statistik tidak bermakna dengan nilai OR pada hari ke-3 demam untuk neutropeni
1,91 (IK95% 0,71-5,62; p=0,189), nilai OR untuk neutropeni 1,98 (IK95% 0,67-
5,87; p=0,22) dan monositopeni 1,67 (IK95% 0,42-6,59; p=0,46) pada hari ke-4
demam. Penelitian yang dilakukan pada pasien anak oleh Suwandono dkk,
Karande dkk, dan Phuong dkk mendapatkan jumlah leukosit dan neutrofil yang
lebih rendah pada pasien infeksi Dengue dibandingkan dengan bukan Dengue,
Kalayanarooj dkk mencatat bahwa jumlah monosit pada pasien Dengue lebih
rendah dibandingkan non Dengue, dan mencatat perbedaan pada rata-rata hari
ke-3 demam. Limfosit memainkan peran yang penting dalam mekanisme
pertahanan terhadap virus Dengue. Pada pasien Dengue, didapatkan jumlah
limfosit tidak berbeda dibandingkan bukan Dengue pada hari ke-3 demam,
dengan nilai OR 1,82 (IK95% 0,50-5,63; p=0,297), sedangkan pada hari ke-4
demam menjadi bermakna OR 4,66 (IK95% 1,73-12,59; p=0,002). Limfosit belum
dapat membedakan infeksi Dengue dan bukan Dengue pada hari ke-4. Pada hari
tersebut dikhawatirkan pasien telah mengalami syok (Tanjung dkk., 2015).
17
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Infeksi virus Dengue
Penekanan langsung pada
sumsum tulang belakang
Hipoplasia
Gangguan sistem
hematopoiesis
Jumlah leukosit menurun
Granular
Proses inflamasi
akut
Neutrofil
bermigrasi ke
jaringan
Jumlah neutrofil
menurun
Basofil dan eosinofil
cenderung tetap karena
tidak berperan langsung
Agranular
Aktivasi
makrofag/monosit
yang
memfagositosis
kompleks virus-
antibodi
Jumlah monosit
meningkat Aktivasi
limfosit T
Jumlah
limfosit
meningkat
18
Mekanisme penekanan sumsum tulang pada infeksi virus dijelaskan
sebagai akibat dari proses penekanan virus secara langsung, ataupun
karena mekanisme tidak langsung melalui produksi sitokin-sitokin proinflamasi
yang menekan sumsum tulang. Beberapa peneliti mengatakan bahwa pada
pemeriksaan sumsum tulang penderita DBD pada awal masa demam, terdapat
hipoplasi sumsum tulang dengan hambatan dari semua sistem hemopoesis,
terutama megakariosit. Hal itu menyebabkan penurunan produksi leukosit
sehingga jumlahnya pun berkurang.
Pada saat inflmasi akut, neutrofil bermigrasi ke jaringan sebagai respon
innate terhadap virus. Hal itu menyebabkan jumlah neutrofil berkurang. Akan
tetapi jumlah basofil dan eosinofil tetap dikarenakan tidak berperan langsung
dalam infeksi virus. Infeksi virus Dengue menyebabkan aktivasi
makrofag/monosit yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi
sehingga virus bereplikasi di makrofag. Sehingga jumlah monosit meningkat. Di
lain sisi terinfeksinya makrofag akan mengaktifkan sel limfosit T baik CD4 atau
CD8. Hal tersebut menyebabkan jumlah limfosit meningkat terutama pada saat
syok dikarenakan syok timbul akibat pelepasan berbagai mediator inflamasi
seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin. Mediator
tersebut disekresi akibat adanya limfokin dan interferon gamma akibat aktivasi
limfosit diatas.
3.2 Hipotesis Penelitian
Jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil dapat dijadikan prediktor
syok pada infeksi Dengue.
19
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional yaitu
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui gambaran jumlah leukoist, limfosit,
monosit, dan neutrofil pada pasien infeksi Dengue anak periode Mei 2016 hingga
April 2017 di RS Saiful Anwar Malang. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan kohort retrospektif.
4.2 Populasi dan Subjek Penelitian
4.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien anak yang terinfeksi
virus Dengue yang menjalani rawat inap di RS Saiful Anwar Malang pada
bulan Mei 2016 hingga April 2017.
4.2.2 Subjek
Teknik pengambilan subjek berupa consecutive sampling, karena
semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan
dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. Dalam
penelitian ini subjek yang digunakan adalah pasien anak yang terinfeksi
virus Dengue yang melakukan pemeriksaan darah lengkap terutama
leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil di Laboratorium RS Saiful Anwar
Malang.
Sesuai dengan perhitungan rumus studi kohort maka rumus
subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah
20
n= 2 (Z1-α2+Z1-β)2δ2
---------------------
(U1-U2)2
Keterangan:
n= jumlah sampel
Z1-α2= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat
kemaknaan α (untuk α 0,05 adalah 196)
Z1-β = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kuasa
sebesar diinginkan (untuk β 0,10 adalah 1,28)
δ= standar deviasi kesudahan
U1= mean outcome kelompok tidak terpapar
U2= mean outcome kelompok terpapar
Perhitungan subjek untuk penelitian ini dengan nilai asumsi
standar deviasi adalah 5 dan selisih antara nilai mean kesudahan
mengacu pada penelitian pendahulu sebesar 1,45 maka perhitungannya
adalah
N= 2(1,96+1,28)2(5)
(1,45)2
= 49,92 dibulatkan menjadi 50.
Jadi subjek yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 50 pasien.
4.2.2.1 Kriteria Inklusi
Pasien infeksi Dengue anak yang diagnosis klinis Demam Dengue
atau Demam Berdarah Dengue dengan hasil laboratorium Ns-1 (+)
dan/atau IgM anti-Dengue (+) dan/atau IgG anti-Dengue (+).
21
4.2.2.2 Kriteria Eksklusi
Data pasien tidak lengkap dan diagnosis bukan pasien Demam
Dengue atau Demam Berdarah Dengue serta dengan kormobid lain
seperti AIDS, Rheumatoid Arthritis, Lupus, Hipertiroidsm dan penyakit
dengan penurunan jumlah leukosit.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pasien yang terinfeksi
virus Dengue.
4.3.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah leukosit,
limfosit, monosit, dan neutrofil.
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sentral RS Saiful Anwar Malang
yang dilakukan pada bulan Juni 2017.
4.5 Instrumen Penelitian
1. Rekam medis pasien infeksi Dengue di RS Saiful Anwar Malang
periode Mei 2016 sampai dengan April 2017.
2. Program komputer statistik SPSS 20.
4.6 Definisi Operasional
1. Leukosit diukur dalam pemeriksaan darah lengkap menggunakan alat
ukur hematologi otomatis. Darah dari pasien diberi EDTA 1cc lalu
dihomogenisasi. Kemudian sampel diukur dengan metode flowcytometri
dengan prinsip light scattering dan alat Sysmex XN-1000. Pada alat
tersebut terdapat sensing area dan berkas cahaya akan difokuskan di
22
sensing area tersebut. Apabila sel darah mengenai berkas cahaya
tersebut maka berkas cahaya akan dihamburkan, dipantulkan, atau
dibiaskan ke segala arah. Beberapa detektor yang diletakkan pada sudut-
sudut tertentu akan menangkap berkas-berkas cahaya tersebut,
mengubahnya menjadi sinyal listrik, dan kemudian sinyal tersebut akan
dianalisis oleh komputer. Keuntungan dari flow cytometry ini adalah
tingkat efisiensi dan sensitivitasnya yang tinggi. Untuk nilai rujukan
leukosit normal adalah 3200-10.000/mm3, limfosit normal dengan
persentase dari total leukosit adalah 15-45% atau jumlah absolut sebesar
800-4.000/mm3, monosit normal dengan persentase dari total leukosit
adalah 0-10% atau jumlah absolut sebesar 100-800/mm3 dan nilai
neutrofil normal dengan persentase dari total leukosit 36-73% atau jumlah
absolut sebesar 1.260-7.300/mm3 (Kemenkes, 2011).
2. Infeksi virus Dengue terdiri dari non syok dan syok. Non syok meliputi
Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue grade I dan II. Sedangkan
untuk syok meliputi Demam Berdarah Dengue grade III dan IV serta
Sindrom Syok Dengue (WHO, 2011).
4.7 Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara melihat data
rekam medis jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil pada sampel darah
pasien terinfeksi virus Dengue.
23
4.8 Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh dikumpulkan, dilakukan proses edit, coding
dan entry ke dalam file komputer. Data akan dianalisis oleh SPSS 20 melalui
proses sebagai berikut uji beda menggunakan T untuk memeriksa adanya
perbedaan antara rerata jumlah leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil pada
masing masing derajat infeksi Dengue. Nilai p bermakna apabila nilai p < α
(0.05). Selanjutnya analisis statistik dengan melakukan uji ROC Curve dan
analisa kohort observasional (relative risk) untuk melihat prognostik leukosit,
limfosit, monosit, dan neutrofil sebagai prediktor syok pada infeksi Dengue.
Memeriksa kelengkapan data pasien infeksi dengue sesuai
kriteria sampel dari rekam medik RS Saiful Anwar Malang
Mengumpulkan data berupa derajat klinik infeksi dengue
dan hasil pemeriksaan darah lengkap yaitu jumlah leukosit,
limfosit, monosit, dan neutrofil
Analisis
24
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Karakteristik subjek
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Klinik RS Saiful
Anwar dengan subjek penelitian adalah pasien anak yang menjalani rawat inap
akibat infeksi Dengue. Populasi subjek pada penelitian ini merupakan pasien
yang menjalani rawat inap di RS Saiful Anwar dalam kurun waktu Mei 2016
sampai April 2017. Dari populasi tersebut, dengan menggunakan teknik
consecutive sampling didapatkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi sejumlah
50 orang.
Kriteria derajat penyakit infeksi yang digunakan pada penelitian ini
berdasarkan kriteria WHO 2011 yang membagi derajat infeksi Dengue menjadi 2
kriteriayaitu non syok dan syok. Data derajat penyakit infeksi virus Dengue pada
penelitian ini didapatkan dari diagnosis yang tertulis di rekam medis.
0
5
10
15
20
0-3 tahun 3-6 tahun 6-9 tahun 9-12tahun
12-15tahun
15-18tahun
Jumlah pasien
Usia pasien
Jumlah Pasien Infeksi Dengue Berdasar Usia
Gambar 5.1. Grafik distribusi subjek berdasar usia. Pada usia 0-3 terdapat 18 pasien, usia 3-6 tahun terdapat 13 pasien, usia 6-9 tahun terdapat 7 pasien, usia 9-12 tahun terdapat 7 pasien, usia 12-15 tahun terdapat 5 pasien dan tidak terdapat pasien pada usia 15-18 tahun.
25
010203040
Laki-laki Perempuan
Jumlah pasien
Jenis kelamin
Jumlah Pasien Infeksi Dengue Berdasar Jenis Kelamin
20
22
24
26
28
Non syok Syok
Jumlah pasien
Derajat Dengue
Jumlah Pasien Infeksi Dengue Berdasar Derajat
0
5
10
15
20
Non Syok Syok
Jumlah leukosit
(x103/mm3)
Derajat Dengue
Leukosit
Gambar 5.4. Grafik rerata jumlah leukosit berdasarkan terjadinya syok. Kelompok pasien non syok memiliki rerata leukosit sebesar 8,90 sementara pasien syok memiliki rerata sebesar 6,48.
Gambar 5.2. Grafik distribusi subjek berdasar jenis kelamin. Pasien laki laki yang terinfeksi Dengue berjumlah 20 pasien dan perempuan berjumlah 30 pasien.
Gambar 5.3. Grafik distribusi subjek berdasar derajat keparahan. Pada derajat non syok terdapat 23 pasien dan pada syok terdapat 27 pasien.
p=0,088
26
0
5
10
15
20
Non syok Syok
Jumlah monosit (%)
Derajat Dengue
Monosit
0
20
40
60
80
Non syok Syok
Jumlah neutrofil (%)
Derajat Dengue
Neutrofil
Gambar 5.6. Grafik rerata jumlah monosit berdasarkan terjadinya syok. Kelompok pasien non syok memiliki rerata monosit sebesar 8,67 sementara pasien syok memiliki rerata sebesar 11,06.
Gambar 5.7. Grafik rerata jumlah neutrofil berdasarkan terjadinya syok. Kelompok pasien non syok memiliki rerata neutrofil sebesar 44,39 sementara
pasien syok memiliki rerata sebesar 44,17.
0
20
40
60
80
Non syok Syok
Jumlah limfosit (%)
Derajat Dengue
Limfosit
Gambar 5.5. Grafik rerata jumlah limfosit berdasarkan terjadinya syok. Kelompok pasien non syok memiliki rerata limfosit sebesar 45,04 sementara pasien syok memiliki rerata sebesar 45,94.
p= 0,933
p= 0,097
p= 0,971
27
5.2 Analisis Hasil Pemeriksaan Leukosit, Limfosit, Monosit, dan Neutrofil
Data diolah dengan program Statistical Product and Service Solution
(SPSS) 20. Data yang diolah adalah leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil pada
hari pertama dicek darah lengkap (hari 1). Selain itu juga diolah data selisih hari
berikutnya diperiksa dengan hari pertama diperiksa (delta) leukosit, limfosit,
monosit, dan neutrofil.
5.2.1 Uji Normalitas
Pertama-tama dilakukan uji normalitas. Uji normalitas terhadap
data sekunder hasil penelitian dilakukan untuk mengetahui sebaran data
penelitian. Oleh karena jumlah data subjek pada penelitian ini adalah 50
data subjek, peneliti melakukan uji normalitas menggunakan uji Shapiro-
Wilk. Hasil uji Shapiro-Wilk menunjukkan sebaran data penelitian
berdistribusi normal karena p > 0,05.
Tabel 5.1. Hasil uji normalitas Parameter Sig
Leukosit hari 1 0,108
Leukosit hari 2 0,390
Limfosit hari 1 0,081
Limfosit hari 2 0,083
Monosit hari 1 0,965
Monosit hari 2 0,398
Neutrofil hari 1 0,059
Neutrofil hari 2 0,058
28
5.2.2 Uji Beda T
Berdasarkan hasil uji beda Tyang dilakukan terhadap masing
masing parameter terhadap syok dan non syok diperoleh nilai probabilitas
yang disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5.2. Hasil Uji Beda T Parameter Nilai p
Leukosit hari 1 0,088
Limfosit hari 1 0,933
Monosit hari 1 0,097
Neutrofil hari 1 0,971
Delta leukosit 0,012
Delta limfosit 0,010
Delta monosit 0,014
Delta neutrofil 0,004
Dengan nilai p < 0,05 maka menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan jumlah leukosit hari pertama, limfosit hari
pertama, monosit hari pertama, neutrofil hari pertama pada derajat syok
maupun non syok. Untuk selisih hari berikutnya dengan pertama (delta)
untuk leukosit, limfosit, monosit, dan neutrofil terdapat perbedaan pada
syok dan non syok.
29
5.2.3 Uji Prognostik (Cut-off dan Relative Risk)
Gambar 5.8. Kurva ROC dari leukosit, limfosit, monosit dan neutrofil. Dengan nilai Area Under Curve masing-masing adalah 0,410; 0,510;
0,640; 0,477.
Gambar 5.9. Kurva ROC dari Delta leukosit, Delta limfosit, Delta monosit dan Delta neutrofil. Dengan nilai Area Under Curve masing-masing adalah 0,759; 0,291; 0,468; 0,735.
30
Berdasarkan hasil prognostik yang dilakukan terhadap masing
masing parameter terhadap syok dan non syok diperoleh nilai probabilitas
yang disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5.3. Hasil Uji Prognostik Parameter Area under curve Cut off Sensitivitas Spesifitas Relative
risk
Leukosit hari 1 0,410 3,73 81% 26% 0,9
Limfosit hari 1 0,510 34,95 77% 43% 1,5
Monosit hari 1 0.640 11,75 40% 87% 1,8
Neutrofil hari 1 0,477 51,80 33% 52% 1,2
Delta leukosit 0,759 0,34 74% 78% 0,4
Delta limfosit 0,291 -0,65 37% 34% 0,6
Delta monosit 0,468 0,26 51% 52% 1,1
Delta neutrofil 0,735 0,40 66% 69% 0,5
1. Leukosit hari pertama menggunakan kurva Receiver Operating
Charateristic (ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) yaitu 0,410.
Hal itu menunjukkan uji diagnostik lemah. Pada penelitian sebelumnya
untuk cut off leukosit adalah 3,72. Pada penelitian kali ini cut off yang
dipakai 3,73 dengan sensitivitas 81% dan spesifitas 26% menunjukkan
hasil dengan jumlah leukosit dibawah 3,73 didapat relative risk
sebesar 0,9 kali lebih berisiko menjadi syok.
2. Limfosit hari pertama menggunakan kurva Receiver Operating
Charateristic (ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) yaitu 0,510.
Hal itu menunjukkan uji diagnostik lemah. Pada penelitian sebelumnya
untuk cut off limfosit adalah 34,62. Pada penelitian kali ini cut off yang
dipakai 34,95 dengan sensitivitas 77% dan spesifitas 43%
menunjukkan hasil dengan jumlah limfosit diatas 34,95 didapat relative
risk sebesar 1,5 kali lebih berisiko menjadi syok.
3. Monosit hari pertama menggunakan kurva Receiver Operating
Charateristic (ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) yaitu 0,640.
Hal itu menunjukkan uji diagnostik cukup kuat. Pada penelitian
31
sebelumnya untuk cut off monosit adalah 11,61. Pada penelitian kali ini
cut off yang dipakai 11,75 dengan sensitivitas 40% dan spesifitas 87%
menunjukkan hasil dengan jumlah limfosit diatas 11,75 didapat relative
risk sebesar 1,8 kali lebih berisiko menjadi syok.
4. Neutrofil hari pertama menggunakan kurva Receiver Operating
Charateristic (ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) yaitu 0,477.
Hal itu menunjukkan uji diagnostik lemah. Pada penelitian sebelumnya
untuk cut off neutrofil adalah 51,92. Pada penelitian kali ini cut off yang
dipakai 51,80 dengan sensitivitas 33% dan spesifitas 52%
menunjukkan hasil dengan jumlah neutrofil dibawah 11,75 didapat
relative risk sebesar 1,2 kali lebih berisiko menjadi syok.
5. Delta leukosit menggunakan kurva Receiver Operating Charateristic
(ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) yaitu 0,759. Hal itu
menunjukkan uji diagnostik kuat. Pada penelitian kali ini cut off yang
dipakai 0,34 dengan sensitivitas 74% dan spesifitas 78% menunjukkan
hasil dengan peningkatan leukosit dibawah 0,34 dan terjadi penurunan
sejumlah berapapun pada hari berikutnya dari hari pertama didapat
relative risk sebesar 0,4 kali lebih berisiko menjadi syok.
6. Delta limfosit menggunakan kurva Receiver Operating Charateristic
(ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) yaitu 0,291. Hal itu
menunjukkan uji diagnostik sangat lemah. Pada penelitian kali ini cut
off yang dipakai -0,65 dengan sensitivitas 37% dan spesifitas 34%
menunjukkan hasil dengan penurunan dibawah 0,65 dan terjadi
peningkatan dengan jumlah berapapun limfosit pada hari berikutnya
32
dari hari pertama didapat relative risk sebesar 0,6 kali lebih berisiko
menjadi syok.
7. Delta monosit menggunakan kurva Receiver Operating Charateristic
(ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) yaitu 0,468. Hal itu
menunjukkan uji diagnostik sangat lemah. Pada penelitian kali ini cut
off yang dipakai 0,26 dengan sensitivitas 51% dan spesifitas 52%
menunjukkan hasil dengan peningkatan diatas 0,26 monosit pada hari
berikutnya dari hari pertama didapat relative risk sebesar 1,1 kali lebih
berisiko menjadi syok.
8. Delta neutrofil menggunakan kurva Receiver Operating Charateristic
(ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) yaitu 0,735. Hal itu
menunjukkan uji diagnostik kuat. Pada penelitian kali ini cut off yang
dipakai 0,40 dengan sensitivitas 66% dan spesifitas 69% menunjukkan
hasil dengan peningkatan dibawah 0,40 dan terjadi penurunan dengan
jumlah berapapun neutrofil pada hari berikutnya dari hari pertama
didapat relative risk sebesar 0,5 kali lebih berisiko menjadi syok.
33
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Pembahasan Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah jumlah leukosit, limfosit,
monosit, dan neutrofil dapat dijadikan penanda untuk menentukan prognosis
terjadinya syok pada infeksi Dengue. Hal tersebut dilakukan dengan metode
penelitian kohort dengan cara pengambilan consecutive sampling dan dilanjutkan
dengan melihat diagnosis pasien di rekam medis untuk mengetahui berapa
relative risk terjadinya syok pada pasien anak yang terinfeksi Dengue.
Pada penelitian ini didapatkan pasien yang terinfeksi Dengue pada
periode Mei 2016 sampai April 2017 adalah sebanyak 50 subjek terdiri dari 23
subjek non syok dan 27 subjek syok. Berdasar usia yang terbanyak adalah 0-3
tahun dan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan. Data di kota Malang tahun
2014 terdapat kasus Demam Berdarah Dengue sebanyak 160 kasus dengan 1
kasus mortalitas, dengan pasien laki-laki sejumlah 94 orang dan pasien
perempuan sejumlah 66 orang (Dinkes Malang, 2015).
Pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak dapat terdapat perbedaan
yang signifikan jumlah leukosit hari pertama, limfosit hari pertama, monosit hari
pertama, neutrofil hari pertama pada derajat syok maupun non syok. Menurut
peneliti ini dikarenakan ketidaktepatan peneliti pada saat pengambilan data di
laboratorium. Laboratorium Klinik RS Saiful Anwar menggunakan metode
flowcytometry untuk menghitung sel darah putih. Flowcytometry adalah metode
pengukuran jumlah dan sifat sel darah dengan cara sel darah dialirkan melalui
suatu celah sempit satu per satu. Pada celah tersebut terdapat sensing area dan
34
berkas cahaya akan difokuskan di sensing area tersebut sehingga terhitunglah
berbagai sel darah beserta ukurannya. Keuntungan dari flowcytometry ini adalah
tingkat efisiensi dan sensitivitasnya yang tinggi. Sedangkan kekurangan dari
metode ini adalah lebih mahal dari radioimmunoassay dan lebih lambat
dibanding dengan sistem otomatis image processing (Carey et al., 2010).
Pada penelitian pendahulu, penelitian merupakan penelitian analitik, yaitu
untuk mengetahui perbedaan hasil pemeriksaan hitung jenis leukosit dengan
teknik manual dan teknik laser-based flowcytometry menggunakan alat
hematology analyzer dari segi keakuratan hasil. Dari uji statistik menggunakan
Uji Wilcoxon diperoleh nilai signifikansi monosit 0,744 (>0,05). Hal ini
menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara hitung jenis
monosit metode otomatis dan manual. Sedangkan pada uji statistik
menggunakan Uji T-Berpasangan diperoleh nilai signifikansi netrofil 0,530
(>0,05) dan limfosit 0,310 (>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan
yang bermakna secara statistik pada hitung jenis netrofil dan limfosit metode
otomatis dan manual. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan tidak ada
metode yang menunjukan hasil keakuratan yang lebih dibanding yang lain. Jadi
alat yang digunakan sudah akurat namun peneliti yang kurang tepat dalam
pengambilan data (Wahid dkk., 2015).
Pada selisih hari berikutnya dengan pertama (delta) untuk leukosit,
limfosit, monosit dan neutrofil terdapat perbedaan pada syok dan non syok. Pada
syok Dengue didapat penurunan jumlah leukosit pada hari berikutnya dibanding
hari pertama dikarenakan penekanan pada sumsum tulang baik secara langsung
atau melalui produksi sitokin proinflamasi yang menekan sumsum tulang. Hitung
jumlah leukosit seperti limfosit dan monosit mengalami peningkatan, sedangkan
35
neutrofil mengalami penurunan pada keadaan syok Dengue. Mekanisme ini
disebabkan karena respon imun untuk melawan infeksi virus lebih banyak pada
sel sel tipe mononuklear. Peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif
dibanding netrofil disebut shift to the right. Penurunan jumlah neutrofil, baik
batang maupun segmen, serta peningkatan limfosit dan monosit, merupakan hal
yang lazim ditemukan terutama pada subjek yang diduga mengalami infeksi
virus. Ini sesuai dengan penelitian terdahulu di Manado dengan jumlah subjek 36
dan hasil pemeriksaan terhadap jumlah leukosit yang ditemukan 24 orang
(66,7%) mengalami leukopenia, 24 orang (64,8%) mengalami penurunan
neutrofil, 20 orang (54%) mengalami peningkatan limfosit dan 22 (59,4%) orang
mengalami peningkatan monosit (Harahap dkk., 2105).
Pada penelitian kali ini menggunakan leukosit, limfosit, monosit, dan
neutrofil baik jumlah pada hari pertama maupun selisih dari hari berikutnya dari
hari pertama (delta) yang dapat digunakan sebagai prognostik menjadi syok
pada infeksi Dengue adalah jumlah limfosit dan monosit. Antibodi terhadap virus
Dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE). Limfosit
T baik T-helper (CD4) dan T- sitotoksik (CDS) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus Dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi
IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus
dengan opsonisasi antibodi. Ini sesuai dengan penelitian di RS Hasan Sadikin
Bandung dengan menggunakan titik potong yang didapatkan dari kurva ROC
yaitu jumlah monosit >96/mm3 mempunyai sensitivitas 86%, spesifisitas 60%,
dan akurasi 73%, sedangkan jumlah limfosit >1.472/mm3 mempunyai sensitivitas
36
90%, spesifisitas 86%, dan akurasi 88%. Setelah dilakukan analisis regresi
ganda didapatkan bahwa monositosis dan limfositosis merupakan faktor risiko
syok dengan OR limfositosis (interval kepercayaan 95%) = 43,76 (11,37-168,41);
p < 0,001 dan OR monositosis (interval kepercayaan 95%) = 6,55 (1,55-27,70); p
= 0,011. Infeksi Dengue dengan limfositosis berpeluang 43,76 kali untuk
terjadinya syok dibandingkan dengan infeksi Dengue tanpa adanya limfositosis
dan pada infeksi Dengue dengan monositosis berpeluang 6,55 kali untuk
terjadinya syok dibandingkan dengan infeksi Dengue tanpa adanya monositosis
(Prihadi dkk., 2009).
Namun hasil dari uji prognostik ini masih lemah. Ini disebabkan data pada
hari berikutnya tidak sama antara pasien satu dengan pasien lain. Ada data hari
berikutnya yang diambil pada hari kedua, hari ketiga, bahkan hari ketujuh. Jika
data diambil sama pada hari keempat yaitu ketika terjadi puncak leukopenia
seperti penelitian yang dilakukan di Universitas Andalas mendapat hasil dengan
jumlah leukosit dibawah 5000/mm3 didapatkan risiko untuk menjadi syok sebesar
2,2. Pada penelitian lain di Universitas Indonesia dengan jumlah leukosit
dibawah 3500/mm3 didapat risiko untuk menjadi syok sebesar 2,9. Risiko ini
masih lebih kecil dibandingkan peningkatan nilai hematokrit. Sampai saat ini nilai
hematokrit masih menjadi prediktor yang paling kuat diantara parameter lain. Ini
dikarenakan peningkatan nilai hematokrit adalah efek langsung dari kebocoran
plasma sehingga merupakan penanda syok yang paling kuat. Sedangkan
aktivitas sel sel darah putih kurang berperan langsung menyebabkan kebocoran
plasma hanya lebih berpengaruh ke peningkatan permeabilitas kapiler. Ini sesuai
dengan penelitian di Universitas Andalas yang menunjukan jika terjadi
peningkatan hematokrit lebih dari 20% didapat risiko menjadi syok sebesar 2,7.
37
Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian di Universitas Indonesia dengan
peningkatan hematokrit lebih dari 20% didapat risiko menjadi syok sebesar 4.
Jadi nilai leukosit dan hitung jenis leukosit kurang kuat menjadi prediktor dan
belum ada yang mengalahkan nilai hematokrit sebagai prediktor paling kuat pada
syok (Mayetti dkk., 2012).
6.2 Implikasi terhadap Bidang Kedokteran
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengobatan terhadap pasien
infeksi Dengue. Dengan mengetahui jumlah leukosit limfosit, monosit, dan
neutrofil dapat memprediksi keparahan dari infeksi Dengue pada pasien.
Berpindahnya sel sel tersebut dari vaskuler ke jaringan akan menyebabkan
permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat sehingga cairan vaskuler yang
keluar semakin banyak. Hal ini lama lama bisa mengakibatkan terjadinya syok.
Perkiraan hilangnya cairan saat syok dapat diprediksi sehingga pengobatan
dengan menggunakan terapi cairan dapat mencapai hasil yang optimal.
6.3 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah pengambilan dan pemeriksaan sampel
darah tidak sama pada setiap pasien. Pemeriksaan yang baik dilakukan pada
hari pertama demam dan hari kedua demam tapi pada penelitian ini tidak sama.
Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah desain penelitian yang
masih cohort retrospektif sehingga tidak dapat melihat peningkatan atau
penurunan leukosit dan hitung jenis leukosit yang dinamis dari hari ke hari. Cara
pengambilan subjek yang masih menggunakan teknik consecutive sampling dan
juga menggunakan data sekunder juga menjadi keterbatasan dalam penelitian.
38
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
1. Tidak terdapat perbedaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit
yaitu limfosit, monosit, dan neutrofil pada keadaan syok maupun non
syok.
2. Terdapat perbedaan selisih hari berikutnya dengan hari pertama
(delta) jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit yaitu limfosit, monosit,
dan neutrofil pada keadaan syok maupun non syok.
3. Jumlah limfosit, monosit, delta leukosit, dan delta neutrofil dapat
digunakan sebagai prediktor syok pada infeksi Dengue.
7.2 Saran
1. Pemeriksaan pada hari berikutnya disama ratakan antara pasien satu
dengan pasien lainnya.
2. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan data primer
melalui pemeriksaan darah langsung.
3. Dibutuhkan lebih banyak sampel supaya hasil relative risk yang
diperoleh lebih baik dan bias menjadi lebih sedikit.
39
DAFTAR PUSTAKA
Arruan, R.D., Rambert, G., Mannopo, F. 2015. Limfosit Plasma Biru dan
Jumlah Leukosit Pada Pasien Anak Infeksi Virus Dengue di
Manado. Jurnal e Biomedik. 3: 386-389.
Baratawidjaja, Karnen G. 2014. Imunologi Dasar Edisi Ke 11. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI.
Chadwick, David. Distinguishing dengue fever from other infections on the
basisof simple clinical and laboratory features: Applicationof logistic
regression analysis. Journal of Clinical Virology. 2: 47-53.
Harahap, E.M., Mongan, A.E., Memah, M.F. 2015. Hitung Jenis Leukosit
Pada Pasien Anak Dengan Infeksi Virus Dengue di Manado. Jurnal
e Biomedik.3: 590-593.
Healsted and Lum. 2009. Assesing the prognosis of dengue-infected patients.
Medicine Report. 1000: 1-4.
Kliegman Robert M., 2016 . Nelson Textbook of Pediatrics 20th edition.
Philadelphia , Elsevier.
Lei Huan and Yeh Trai-Ming. 2001. Immunophatogenesis of Dengue Virus
Infection. J Biomed Sci. 8: 337-388.
Liu Meiling and Chen Dianhui. 2016. Cellular immune response of dengue
virus infection at different phases. Int J Clin Exp Med. 9: 1-9.
Mayetti. 2011. Hubungan Gambaran Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor
Risiko Syok pada Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri 11: 367-
372.
Nielsen, D.G. 2009. The relationship of interacting immunological
components indengue pathogenesis. Virology Journal. 6: 1-7.
40
Prihadi, Dana Nur. 2001. Monositosis dan Limfositosis Merupakan Faktor
Risiko Demam Berdarah Dengue pada Anak. Jurnal Pediatri. 4:1-6.
Raihan, Hadinegoro, Tumbelaka, A.R. 2010. Faktor Prognostik Terjadinya
Syok Pada Demam Berdarah Dengue.Sari Pediatri vol. 12: 47-52.
Rena, N.M.R., Utama, S., Parwati, T. 2009. Kelainan Hematologi Pada
Demam Berdarah Dengue. Jurnal Penyakit Dalam vol.10: 218-225.
Risniati, Y., Tarigan, L.H., Tjitra, E. 2011. Leukopenia Sebagai Prediktor
Terjadinya Sindrom Syok Dengue Pada Anak Dengan Demam
Berdarah Dengue Di RSPI. Prof. dr. Sulianto Saroso. Media Litbang
Kesehatan vol. 21: 96-103.
Roederer Mario and Stephen De Rosa. 2007. Flow Cytometry to Elucidate
Complex Leukocyte Heterogeneity. Cytometry Journal. 7: 330-334.
Sardjono, T.W., Ismanoe, G., Widjayanto, E. 2014. Peran Laboratorium
Dalam Diagnosis dan Penatalaksanaan Kasus Kasus Penyakit
Tropik dan Infeksi.Jurnal Kedokteran Brawijaya. 20: 19-24.
Sastri, N.L.P.P., Lestari, A.A.W. 2016. Gambaran Hasil Pemeriksaan Darah
Lengkap Pada Suspect Infeksi Virus Dengue di Rumah Sakit Surya
Husada Denpasar. E-Jurnal Medika. 5: 1-5.
Soedarmo Sumarmo S. Poorwo,. 2008. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis
Edisi kedua. Jakarta ,Badan Penerbit IDAI.
Soegijanto S, Sustini F, Wirahjanto. 2006. Epidemiologi Demam Berdarah
Dengue. Dalam: Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2.
Airlangga University Press. Surabaya: 1-10.
Srichaikul, T. 2013. Hematologic Changes in Dengue Hemmoragic Fever.
Journal Hematol Transfus Med.24: 47-52.
41
Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., Pohan, H.T., 2009. Infeksi Tropis
Demam Berdarah Dengue Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II
edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Tanjung, A.H., Nurnaingsih, Laksono, I.S. 2015. Jumlah Leukosit, Neutrofil,
Limfosit, dan Monosit sebagai Prediktor Infeksi dengue pada Anak
dengan Gizi Baik di Fasilitas Kesehatan dengan Sumber Daya
Terbatas. Sari Pediatri. 17: 175-179.
Wahid, Azis Ansori, Wahyu P. 2015. Perbandingan Pemeriksaan Hitung
Jenis Leukosit Menggunakan Metode Manual Dengan Laser-Based
Flowcytometry. Jurnal Kesehatan. 5: 24-27.
WHO. 1997. Dengue Hemorrhagic Fever.Diagnosis, treatment prevention
and control.Edisi kedua. WHO, Geneva.
WHO. 2009. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 1-146.
Wilder-Smith, Annelies. 2013. Use of Simple Laboratory Features to
Distinguish the Early Stage of Severe Acute RespiratorySyndrome
from Dengue Fever. Tan Tock Journal Singapore. 5: 1-6.
World Health Organization-South East Asia Regional Office. 2011.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;.p.1-67.