analisis intensitas bangunan baru

6
http://kk.pl.itb.ac.id/ppk © 2008 UPDRG - ITB 1 ANALISIS INTENSITAS BANGUNAN KORIDOR JALAN RAYA CIMAHI BERDASARKAN KAPASITAS JALAN Jenis : Tugas Akhir Tahun : 2007 Penulis : Beri Titania Pembimbing : Ir. Denny Zulkaidi, MUP Diringkas oleh : Rezky John Ananda, ST A. LATAR BELAKANG Permasalahan umum yang terjadi di area perkotaan adalah masalah pertumbuhan kegiatan dan kemacetan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menangani masalah tersebut adalah dengan mengembangkan Transport Demand Management (TDM). Tujuan TDM adalah membatasi jumlah kebutuhan pergerakan, yaitu dengan melakukan pengelolaan terhadap komponen-komponen yang dapat mempengaruhi jumlah pergerakan (http://www.vtpi.org/tdm ). Salah satu penanganan TDM yang dapat dilakukan di negara sedang berkembang adalah dengan melakukan pengendalian dalam penggunaan lahan (land use control) (World Bank dalam Indrawanto,1996). Oleh karena itu, untuk membatasi jumlah pergerakan yang ditimbulkan, diperlukan pengendalian dan pengaturan terhadap penggunaan lahan dan intensitas bangunannya. Penggunaan lahan dan penentuan intensitas bangunan harus didasarkan pada kemampuan kapasitas jalan yang tersedia. Salah satu komponen yang biasa digunakan untuk menunjukkan intensitas bangunan adalah Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Dari sudut pandang TDM, KLB memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan jumlah pergerakan yang ditimbulkan. Semakin tinggi nilai KLB, semakin tinggi pula jumlah pergerakan yang ditimbulkan (Institute of Transportation Engineers, 1992). Ketentuan mengenai fungsi guna lahan dan intensitas bangunan tersebut harus ditetapkan dalam setiap rencana tata ruang. Akan tetapi, ketentuan tersebut terkadang tidak didasarkan pada daya dukung sistem transportasinya, yaitu kemampuan kapasitas jalan. Dengan begitu, ketentuan tersebut mungkin saja tidak sesuai dengan kapasitas prasarana jalan yang tersedia. KLB maksimum yang terlalu tinggi tentu akan menimbulkan pergerakan yang tinggi pula. Apabila kondisi tersebut tidak dapat diakomodir oleh kapasitas jalan yang memadai, maka timbulah masalah kemacetan. Hal tersebut ditandai dengan volume lalu lintas yang tinggi dan level of service (LOS) jalan yang rendah. Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan sehubungan dengan penentuan intensitas bangunan. Pertama, melihat apakah ketentuan intensitas bangunan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang masih dapat ditampung dalam kapasitas jalan yang tersedia. Berdasarkan kapasitas jalan yang tersedia dapat ditentukan intensitas maksimum yang sebaiknya diterapkan untuk fungsi yang ditetapkan. Dalam hal ini, kapasitas jalan dipandang sebagai konstrain dan penentuan intensitas bangunan sebagai TDM. Oleh karena itu, yang diatur di sini adalah intensitas bangunan didasarkan pada kapasitas jalan sebagai konstrain. Apabila dengan menggunakan ketentuan RTRW ternyata LOS jalan rendah, berarti ketentuan intensitas bangunan maksimum terlalu tinggi untuk fungsi yang ditetapkan. Sedangkan apabila LOS jalan tinggi, berarti ketentuan intensitas bangunan maksimum masih dapat dilayani oleh kapasitas jalan yang ada. B. TUJUAN PENELITIAN Studi ini bertujuan untuk menentukan intensitas bangunan maksimum koridor Jalan Raya Cimahi berdasarkan fungsi dalam RTRW Kota Cimahi dan kapasitas jalannya. Dalam studi ini, kapasitas Jalan Raya Cimahi dianggap tidak mengalami penambahan

Upload: rps-sangadji

Post on 24-Oct-2015

48 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

sa uplod lagi yang baru supaya bisa download lagi gratis

TRANSCRIPT

Page 1: analisis intensitas bangunan baru

http://kk.pl.itb.ac.id/ppk © 2008 UPDRG - ITB 1

ANALISIS INTENSITAS BANGUNAN KORIDOR JALAN RAYA CIMAHI BERDASARKAN KAPASITAS JALAN Jenis : Tugas Akhir Tahun : 2007 Penulis : Beri Titania Pembimbing : Ir. Denny Zulkaidi, MUP Diringkas oleh : Rezky John Ananda, ST A. LATAR BELAKANG

Permasalahan umum yang terjadi di area perkotaan adalah masalah pertumbuhan kegiatan dan kemacetan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menangani masalah tersebut adalah dengan mengembangkan Transport Demand Management (TDM). Tujuan TDM adalah membatasi jumlah kebutuhan pergerakan, yaitu dengan melakukan pengelolaan terhadap komponen-komponen yang dapat mempengaruhi jumlah pergerakan (http://www.vtpi.org/tdm). Salah satu penanganan TDM yang dapat dilakukan di negara sedang berkembang adalah dengan melakukan pengendalian dalam penggunaan lahan (land use control) (World Bank dalam Indrawanto,1996). Oleh karena itu, untuk membatasi jumlah pergerakan yang ditimbulkan, diperlukan pengendalian dan pengaturan terhadap penggunaan lahan dan intensitas bangunannya. Penggunaan lahan dan penentuan intensitas bangunan harus didasarkan pada kemampuan kapasitas jalan yang tersedia. Salah satu komponen yang biasa digunakan untuk menunjukkan intensitas bangunan adalah Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Dari sudut pandang TDM, KLB memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan jumlah pergerakan yang ditimbulkan. Semakin tinggi nilai KLB, semakin tinggi pula jumlah pergerakan yang ditimbulkan (Institute of Transportation Engineers, 1992). Ketentuan mengenai fungsi guna lahan dan intensitas bangunan tersebut harus ditetapkan dalam setiap rencana tata ruang. Akan tetapi, ketentuan tersebut terkadang tidak didasarkan pada daya dukung sistem transportasinya,

yaitu kemampuan kapasitas jalan. Dengan begitu, ketentuan tersebut mungkin saja tidak sesuai dengan kapasitas prasarana jalan yang tersedia. KLB maksimum yang terlalu tinggi tentu akan menimbulkan pergerakan yang tinggi pula. Apabila kondisi tersebut tidak dapat diakomodir oleh kapasitas jalan yang memadai, maka timbulah masalah kemacetan. Hal tersebut ditandai dengan volume lalu lintas yang tinggi dan level of service (LOS) jalan yang rendah. Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan sehubungan dengan penentuan intensitas bangunan. Pertama, melihat apakah ketentuan intensitas bangunan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang masih dapat ditampung dalam kapasitas jalan yang tersedia. Berdasarkan kapasitas jalan yang tersedia dapat ditentukan intensitas maksimum yang sebaiknya diterapkan untuk fungsi yang ditetapkan. Dalam hal ini, kapasitas jalan dipandang sebagai konstrain dan penentuan intensitas bangunan sebagai TDM. Oleh karena itu, yang diatur di sini adalah intensitas bangunan didasarkan pada kapasitas jalan sebagai konstrain. Apabila dengan menggunakan ketentuan RTRW ternyata LOS jalan rendah, berarti ketentuan intensitas bangunan maksimum terlalu tinggi untuk fungsi yang ditetapkan. Sedangkan apabila LOS jalan tinggi, berarti ketentuan intensitas bangunan maksimum masih dapat dilayani oleh kapasitas jalan yang ada. B. TUJUAN PENELITIAN Studi ini bertujuan untuk menentukan intensitas bangunan maksimum koridor Jalan Raya Cimahi berdasarkan fungsi dalam RTRW Kota Cimahi dan kapasitas jalannya. Dalam studi ini, kapasitas Jalan Raya Cimahi dianggap tidak mengalami penambahan

Page 2: analisis intensitas bangunan baru

Analisis Intensitas Bangunan Koridor Jalan Raya Cimahi Berdasarkan Kapasitas Jalan – Beri Titania

http://kk.pl.itb.ac.id/ppk © 2008 UPDRG 2

hingga masa mendatang. Oleh karena itu, kapasitas jalan di sini dianggap sebagai konstrain. Berdasarkan tujuan tersebut, maka sasaran yang perlu dicapai adalah: 1. Menghitung LOS koridor Jalan Raya

Cimahi saat ini. 2. Menghitung perkiraan volume per

capacity ratio (VCR) koridor Jalan Raya Cimahi berdasarkan ketentuan intensitas bangunan yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi.

3. Menentukan intensitas bangunan maksimum di Koridor Jalan Raya Cimahi untuk fungsi yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi berdasarkan kemampuan kapasitas jalannya.

C. METODOLOGI PENELITIAN Studi ini menggunakan pendekatan permintaan dan penyediaan (supply demand analysis). Pendekatan penyediaan (supply) dilakukan untuk melihat berapa besar kapasitas Jalan Raya Cimahi. Pendekatan permintaan (demand) digunakan untuk melihat berapa besar permintaan dari sisi fungsi guna lahan dan intensitas bangunan, sehingga akan diketahui trip attraction yang dihasilkan. Kedua pendekatan tersebut digunakan untuk menghitung LOS koridor Jalan Raya Cimahi dan akhirnya dapat dirumuskan ketentuan intensitas bangunan maksimum dan jenis kegiatan yang dapat dibangun di koridor jalan tersebut didasarkan pada batas kemampuan jalannya. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode kuantitatif. Hal tersebut dikarenakan seluruh data yang diolah dan keluaran yang diharapkan dalam studi ini adalah berupa data kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menghitung LOS koridor Jl. Raya Cimahi saat ini, LOS koridor Jl.Raya Cimahi berdasarkan ketentuan intensitas bangunan yang berlaku dalam RTRW Kota Cimahi, dan penentuan intensitas bangunan maksimum. Adapun bila dilihat dari jenis penelitiannya, studi ini termasuk ke dalam penelitian eksploratif karena sifatnya terbuka dan masih mencari-

cari. Oleh karena itu, studi ini diharapkan dapat menghasilkan suatu output yang dapat menjawab pertanyaan yang timbul dari persoalan penelitian. D. PEMBAHASAN Telah dijelaskan sebelumnya bahwa ketentuan intensitas bangunan koridor Jalan Raya Cimahi telah ditetapkan dalam RTRW. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak dibuat berdasarkan kemampuan kapasitas jalannya. Oleh karena itu, ketentuan KLB maksimum yang ditetapkan saat ini mungkin saja tidak sesuai dengan kapasitas jalan yang tersedia. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu pengujian terhadap ketentuan intensitas bangunan koridor Jalan Raya Cimahi yang ditetapkan di dalam RTRW Kota Cimahi tersebut. Tujuan dari pengujian tersebut adalah untuk melihat apakah ketentuan intensitas bangunan (dalam hal ini, KLB) maksimum koridor Jalan Raya Cimahi masih dapat ditampung oleh kapasitas jalan yang tersedia atau tidak. Hasil dari pengujian tersebut menghasilkan suatu penilaian yang menentukan apakah ketentuan KLB koridor Jalan Raya Cimahi yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi masih sesuai atau harus diturunkan. Tahap pertama adalah melakukan simulasi penerapan ketentuan KLB maksimum RTRW pada kapling eksisting di setiap segmen koridor Jalan Raya Cimahi saat ini. Tahap ini menghasilkan luas lantai bangunan maksimum setiap segmen. Tahap kedua adalah memperkirakan bangkitan tarikan kendaraan (trip attraction) maksimum yang ditimbulkan dari setiap segmen tersebut. Tahap ketiga adalah memperkirakan volume kendaraan maksimum setiap segmen Jalan Raya Cimahi dan tahap terakhir adalah memperkirakan volume per capacity (VCR) setiap segmen Jalan Raya Cimahi. Perkiraan VCR inilah yang dijadikan acuan penilaian ketentuan KLB maksimum RTRW tersebut. Dari perkiraan VCR tersebut dapat terlihat apakah ketentuan KLB maksimum RTRW tersebut masih dapat ditampung oleh kapasitas jalan yang tersedia atau sudah melebihi kapasitas yang tersedia. Apabila

Page 3: analisis intensitas bangunan baru

Analisis Intensitas Bangunan Koridor Jalan Raya Cimahi Berdasarkan Kapasitas Jalan – Beri Titania

http://kk.pl.itb.ac.id/ppk © 2008 UPDRG 3

ternyata melebihi kapasitas yang tersedia saat ini, maka ketentuan KLB maksimum tersebut terlalu tinggi dan harus diturunkan. Penilaian ketentuan intensitas bangunan RTRW ini dilakukan dalam dua skenario. Perbedaan antara kedua skenario tersebut terletak pada aktivitas/fungsi yang dikembangkannya. Pada Skenario I, aktivitas/ fungsi koridor Jalan Raya Cimahi diarahkan untuk mengikuti aturan dalam RTRW Kota Cimahi. Sedangkan pada Skenario II, aktivitas/fungsi yang dikembangkan mengikuti proporsi aktivitas/fungsi eksisting Jalan Raya Cimahi. Penilaian Ketentuan Intensitas Bangunan Koridor Jalan Raya Cimahi dalam RTRW Kota Cimahi dimulai dengan penerapan ketentuan KLB maksimum RTRW Kota Cimahi pada koridor jalan raya Cimahi, perkiraan bangkitan tarikan kendaraan (trip attraction) maksimum jalan raya Cimahi, perkiraan volume lalu lintas maksimum jalan raya Cimahi, perkiraan VCR jalan raya Cimahi, perbandingan antara perkiraan volume lalu lintas maksimum skenario I dan skenario II dengan kapasitas jalan raya Cimahi, penilaian ketentuan KLB maksimum RTRW Kota Cimahi berdasarkan skenario I dan II. Setelah itu dilanjutkan dengan penentuan intensitas bangunan koridor jalan raya Cimahi berdasarkan kemampuan kapasitas jalan. Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa ketentuan KLB maksimum pada beberapa segmen masih sesuai dan pada beberapa segmen lainnya dapat terlihat bahwa ketentuan KLB maksimum Jalan Raya Cimahi tersebut terlalu tinggi. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan KLB maksimum tersebut terlalu tinggi. Walaupun pada segmen tertentu dapat terlihat bahwa kapasitas jalan masih dapat menampung ketentuan tersebut, namun bukan berarti ketentuan tersebut masih sesuai untuk

Jalan Raya Cimahi secara keseluruhan. Jalan Raya Cimahi terdiri dari beberapa segmen yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Jika ada salah satu segmen saja yang tidak dapat menampung ketentuan KLB maksimum tersebut, maka dapat diartikan bahwa ketentuan KLB tersebut terlalu tinggi untuk seluruh segmen Jalan Raya Cimahi dan harus diturunkan. Walaupun kapasitas jalan pada beberapa segmen (segmen dengan VCR rendah) masih dapat menerima tambahan bangkitan tarikan kendaraan, namun bukan berarti luas lantai bangunan pada masing-masing segmen dapat ditambah sesuai dengan kapasitas segmen tersebut. Ketentuan luas lantai bangunan maksimum yang boleh dibangun pada segmen tersebut tentu harus tetap mempertimbangkan kapasitas segmen yang sudah tidak dapat menerima tambahan bangkitan tarikan kendaraan lagi, yaitu segmen dengan nilai VCR tertinggi (Segmen 6 yang memiliki VCR 1,02) sebagai konstrain. Karena dalam hal ini, kendaraan yang dibangkitkan/ditarik oleh segmen ber VCR rendah tersebut tentu tidak akan menimbulkan masalah pada saat melewati segmen tersebut. Namun terdapat kemungkinan bahwa kendaraan tersebut akan melewati segmen yang menjadi konstrain (segmen 6). Hal inilah yang menjadi masalah, karena kapasitas jalan segmen 6 sudah tidak dapat menerima beban kendaraan lagi maka akibat yang ditimbulkan adalah kemacetan lalu lintas pada beberapa segmen jalan. Dalam menentukan intensitas bangunan, terdapat skenario yang dibuat dalam dua kondisi, yaitu kemungkinan terbaik yang dapat dicapai dan acceptable worst scenario, yaitu kemungkinan terburuk yang masih dapat ditolerir. Skenario tersebut kemudian diterapkan pada skenario yang telah ditetapkan pada tahap analisis sebelumnya, sehingga terdapat empat skenario.

Page 4: analisis intensitas bangunan baru

Analisis Intensitas Bangunan Koridor Jalan Raya Cimahi Berdasarkan Kapasitas Jalan – Beri Titania

http://kk.pl.itb.ac.id/ppk © 2008 UPDRG 4

Tabel 1 Skenario yang Digunakan dalam Menentukan Intensitas Bangunan Jalan Raya Cimahi

LOS yang diinginkan

Skenario A1: LOS B

(VCR ≤ 0,45)

Skenario B2: LOS C

(VCR ≤ 0,70) Fu

ngsi

yan

g ak

an

dike

mba

ngka

n Skenario I:

Mengikuti arahan aktivitas/fungsi yang

ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi

Skenario I-A 1. VCR ≤ 0,45 2. Fungsi yang

dikembangkan: - Komersial, - Perkantoran - Institusional

Skenario I-B 1. VCR ≤ 0,70 2. Fungsi yang

dikembangkan: - Komersial, - Perkantoran - Institusional

Skenario II: Mengikuti proporsi

aktivitas/fungsi eksisting koridor

Jalan Raya Cimahi saat ini

Skenario II-A 1. VCR ≤ 0,45 2. Fungsi yang

dikembangkan: - Hunian - Komersial - Jasa Komersial - Perkantoran - Institusional - Pelayanan Dan Jasa

Kendaraan Bermotor - Ruang Terbuka Hijau

Skenario II-B 1. VCR ≤ 0,70 2. Fungsi yang

dikembangkan: - Hunian - Komersial - Jasa Komersial - Perkantoran - Institusional - Pelayanan Dan Jasa

Kendaraan Bermotor - Ruang Terbuka Hijau

Sumber: Titania, 2007 Keterangan:

1. Skenario A: Kondisi dimana Jalan Raya Cimahi berada dalam kondisi ideal yang memungkinkan, yaitu LOS B dengan VCR ≤ 0,45 dan kecepatan 80-100 km/jam. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan No.KM 14 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa jalan arteri primer sekurang-kurangnya memiliki level of service (LOS) B. Sehingga dibuatlah suatu skenario untuk mewujudkan ketentuan tersebut.

2. Skenario B: Kondisi terburuk yang masih dapat ditolerir (acceptable worst scenario), yaitu kondisi Jalan Raya Cimahi berada pada LOS satu tingkat lebih rendah dari Skenario A, yaitu LOS C dengan VCR ≤ 0,7 dan kecepatan 65-80 km/jam.

Jalan Raya Cimahi memiliki peran sebagai jalan arteri primer. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan saat melakukan studi, karakteristik Jalan Raya Cimahi sama sekali tidak mencerminkan perannya sebagai jalan arteri primer. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006, ditetapkan bahwa jalan arteri primer seharusnya memiliki minimal kecepatan kendaraan 60 km/jam, tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal, jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian rupa, dan persimpangan sebidang pada jalan arteri primer harus disertai pengaturan tertentu. Pada kenyataannya, Jalan Raya Cimahi merupakan pusat orientasi Kota Cimahi dimana intensitas kegiatan dan pergerakan lalu lintas lokal di dalamnya sangat tinggi.

Dari hasil survey diketahui bahwa kecepatan rata-rata pada Jalan Raya Cimahi selalu berada di bawah 50 km/jam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Jalan Raya Cimahi tidak bisa mempertahankan perannya sebagai jalan arteri primer. Oleh karena itu, standar tingkat pelayanan jalan (LOS) arteri primer tidak mungkin dipenuhi di Jalan Raya Cimahi. Selain berfungsi sebagai jalan arteri primer, Jalan Raya Cimahi pun memiliki fungsi sebagai jalan propinsi dan jalan skala kota. Dengan begitu, timbul dugaan bahwa tingkat pergerakan menerus (through traffic) di Jalan Raya Cimahi ini cukup tinggi. Tetapi berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa ternyata jumlah pergerakan menerus di Jalan Raya Cimahi tidak begitu tinggi.

Page 5: analisis intensitas bangunan baru

Analisis Intensitas Bangunan Koridor Jalan Raya Cimahi Berdasarkan Kapasitas Jalan – Beri Titania

http://kk.pl.itb.ac.id/ppk © 2008 UPDRG 5

Pergerakan di Jalan Raya Cimahi masih didominasi oleh kegiatan dan pergerakan lokal. Nilai rata- rata presentase pergerakan through traffic terhadap volume total di Jalan Raya Cimahi adalah 31%. Luas lantai bangunan tidak selamanya dapat menjadi satu-satunya variabel penentu tingkat bangkitan tarikan yang ditimbulkan. Hal tersebut terlihat dari adanya perbedaan volume kendaraan segmen1 yang begitu signifikan antara kondisi eksisting dengan peramalan model trip rate. Rendahnya volume lalu lintas yang didapatkan dengan menggunakan trip rate tersebut dikarenakan luas bangunan segmen 1, sehingga trip attraction yang dihasilkan pun sangat rendah. Pada kenyataanya, volume kendaraan pada segmen 1 tidak serendah hasil perhitungan. Berdasarkan perhitungan traffic counting, diketahui bahwa volume lalu lintas maksimum segemen 1 adalah 2253,6 smp/jam. Sedangkan dari hasil permodelan trip rate, volume lalu lintas maksimum yang didapat adalah 919,59 smp/jam untuk Skenario I dan 832,88 smp/jam untuk Skenario II. Faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan intensitas bangunan adalah aktivitas/fungsi yang dikembangkan dan kemampuan kapasitas jalan. Dari hasil studi dapat terlihat bahwa aktivitas/fungsi yang dikembangkan pada suatu segmen dapat mempengaruhi volume lalu lintas maksimum pada segmen jalan tersebut. Oleh karena itu, untuk membatasi pergerakan kendaraan pada suatu ruas jalan, tidak hanya intensitas bangunannya saja yang perlu diatur, tetapi juga aktivitas/fungsi yang dikembangkan. Pengaturan tersebut tentu harus tetap mempertimbangkan kemampuan kapasitas jalannya. F. KESIMPULAN Dari hasil analisis dapat diketahui beberapa hal mengenai penentuan intensitas bangunan. Dalam menentukan ketentuan pemanfaatan ruang, pemerintah kota umumnya tidak mempertimbangkan kemampuan kapasitas jalan. Berdasarkan hasil analisis diketahui

bahwa ternyata ketentuan intensitas bangunan yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi untuk koridor Jalan Raya Cimahi ternyata tidak dapat ditampung oleh kapasitas jalan yang tersedia. Dari hasil analisis dapat terlihat bahwa apabila ketentuan KLB maksimum dalam RTRW Kota Cimahi diterapkan pada kondisi eksisting Jalan Raya Cimahi saat ini, maka kapasitas jalan tidak akan dapat menampung volume kendaraan di jalan tersebut. Hal tersebut terlihat dari tingginya VCR pada beberapa segmen Jalan Raya Cimahi dalam simulasi penerapan ketentuan KLB maksimum tersebut, terutama segmen Fly Over Cimindi – Jl.Kebon Kopi dengan nilai VCR 1,00 dan segmen Jl.Kebon Kopi sampai pertigaan Cibeureum dengan VCR 1,02. Dengan nilai VCR tersebut, maka Jalan Raya Cimahi berapa pada tingkat pelayanan jalan terburuk yaitu LOS F. Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan mengingat bahwa Jalan Raya Cimahi ini mengemban fungsi sebagai jalan arteri primer di Kota Cimahi. Oleh karena itu, penentuan intensitas bangunan ini dapat dijadikan suatu alternatif TDM dalam menangani masalah kemacetan yang terjadi. Dengan membatasi intensitas bangunan koridor Jalan Raya Cimahi, maka bangkitan tarikan kendaraan pun dapat ikut dibatasi. Berdasarkan proses penentuan intensitas bangunan koridor Jalan Raya Cimahi, didapatkan bahwa ketentuan intensitas bangunan yang dapat diterapkan di koridor Jalan Raya Cimahi cukup beragam tergantung dari skenario yang dikembangkan-nya. Akan tetapi, akan lebih baik jika ketentuan KLB maksimum yang digunakan adalah worst scenario yang dapat terjadi. Dengan begitu, maka kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi masih dapat diterima. Skenario terburuk yang digunakan dalam studi ini adalah jika seluruh kapling di koridor Jalan Raya Cimahi berubah fungsi menjadi aktivitas komersial. Berdasarkan analisa skenario terburuk, maka didapatkan ketentuan KLB maksimum yang dapat diterapkan di Koridor Jalan Raya Cimahi untuk mendapatkan VCR di bawah 0,45 (LOS B) dan VCR di bawah 0,7 (LOS C).

Page 6: analisis intensitas bangunan baru

Analisis Intensitas Bangunan Koridor Jalan Raya Cimahi Berdasarkan Kapasitas Jalan – Beri Titania

http://kk.pl.itb.ac.id/ppk © 2008 UPDRG 6

Akan tetapi, berdasarkan hasil studi dapat terlihat bahwa kondisi Jalan Raya Cimahi saat ini sangat sulit untuk mewujudkan nilai VCR maksimum 0,45 pada setiap segmen jalan. Dari hasil traffic counting dapat terlihat bahwa kondisi Jalan Raya Cimahi pada saat ini pun sudah memiliki tingkat pelayanan yang buruk. Apabila dilihat dari VCR nya, Jalan Raya Cimahi rata-rata berada pada VCR C dan B. Tetapi apabila didasarkan pada kecepatan kendaraannya, seluruh segmen Jalan Raya Cimahi memiliki LOS F, karena kecepatan rata-rata di Jalan Raya Cimahi adalah 29,43 km/jam. Tingkat kecepatan tersebut tergolong sangat rendah untuk ukuran jalan arteri primer. Karena sulitnya mewujudkan VCR ≤ 0,45 pada Jalan Raya Cimahi tersebut, maka diberikan satu acceptable worst scenario untuk memberikan kemungkinan lain, yaitu Jalan Raya Cimahi berada pada LOS C (VCR ≤ 0,7). Berikut ini adalah ketentuan KLB maksimum yang dapat diterapkan di Jalan Raya Cimahi didasarkan pada kondisi tersebut. KLB maksimum yang ditetapkan ini adalah KLB maksimum yang dibuat untuk aktivitas/fungsi komersial.

Tabel 2

Ketentuan KLB Maksimum berdasarkan Skenario Terburuk (Skenario I-B)

SEGMEN Ketentuan KLB Maksimum

SEGMEN 1 12,5 SEGMEN 2 6,5 SEGMEN 3 1,7 SEGMEN 4 2,3 SEGMEN 5 1,7 SEGMEN 6 1,9

Sumber: Titania, 2007

Selain KLB maksimum tersebut, terdapat alternatif lain yang dapat digunakan di koridor Jalan Raya Cimahi. Skenario ini adalah kemungkinan lain yang dapat diterapkan di Jalan Raya Cimahi dengan alternatif aktivitas/fungsi yang lebih beragam. Aktivitas/fungsi yang dikembangkan pada skenario ini bukan 100% komersial, melainkan aktivitas hunian, perkantoran, dan komersial. Dengan menetapkan proporsi

aktivitas/fungsi yang tepat, maka KLB maksimum yang diperbolehkan dapat lebih tinggi untuk nilai VCR yang sama. Berikut ini adalah ketentuan KLB maksimum yang dapat diterapkan pada proporsi aktivitas/fungsi eksisting.

Tabel 3

Alternatif Ketentuan KLB Maksimum yang dapat diterapkan di Koridor Jalan Raya Cimahi

(Skenario II-B)

SEGMEN KLB Max

Hunian

KLB Max

Komersial

KLB Max

Perkantoran

SEGMEN 1 3,1 8,1 4,7 SEGMEN 2 2,3 5,9 3,5 SEGMEN 3 0,5 1,4 0,8 SEGMEN 4 0,8 2,1 1,2 SEGMEN 5 0,6 1,6 0,9 SEGMEN 6 0,7 1,8 1,0 Sumber: Titania, 2007

Seluruh nilai KLB maksimum yang ditentukan dalam studi ini didasarkan pada kondisi eksisting Jalan Raya Cimahi, baik kondisi pemanfaatan ruang maupun kondisi lalu lintasnya. Perhitungan kapasitas jalan pun didasarkan pada sistem transportasi Jalan Raya Cimahi saat ini. Oleh karena itu, nilai KLB maksimum yang ditentukan dapat diterapkan dengan asumsi bahwa tidak adanya perubahan sistem transportasi yang dapat mempengaruhi nilai kapasitas jalannya, baik kondisi geometrik, kondisi gangguan samping, sistem angkutan dan pemakaian jalannya. DAFTAR PUSTAKA Indrawanto, Maz Tri. 1996. Pengaturan Pembangunan Gedung-gedung Tinggi Melalui Penentuan Batas Jumlah Luas Lantai Berdasarkan Kemampuan Kapasitas Prasarana Jalan. Studi Kasus: Kota Surabaya. Tesis. Bandung : Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Program Sarjana ITB. Institute of Transportation Engineers. 1992. Transportation Planning Handbook. New Jersey: Prentice Hall