analisis implementasi
TRANSCRIPT
i
ANALISIS IMPLEMENTASI
PENGANGGARAN PARTISIPATIF
PADA PERGURUAN TINGGI BADAN
HUKUM DI INDONESIA
Memed Sueb
Roebiandini Soemantri
Sofik Handoyo
Yusar Sagara
Universitas Padjadjaran
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdhulilah penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang
senantiasa memberikan rahmat serta hidayah-Nyah sehingga tim penulis dapat
menyelesaikan buku yang merupakan hasil Penelitihan Kualitatif yang berjudul
“Analisis Implementasi Penganggaran Partisipatif Pada Perguruan Tinggi
Badan Hukum di Indonesia” sesuai dengan waktu dan kaidah-kaidah penelitian
ilmiah serta telah sesuai dengan petunjuk penelitian yang diterbitkan oleh tim
Mariska FEB UNPAD. Buku ini ditulis sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dalam kegiatan Hubah Penelitian Dosen UNPAD.
Kegiatan penelitian ini seluruhnya difasilitasi oleh Direktorat Riset,
Pengabdian pada Masyarakat dan Inovasi (DRPMI) Universitas Padjadjaran
dalam rangka mencapai Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian. Dengan
terselesainya buku yang merupakan hasil Penelitihan Kualitatif ini, penulis tidak
lupa menyapaikan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Rina Indiastuti, M.SIE. selaku Rektor Universitas Padjajaran
2. Rizky Abdullah, Ph.D. selaku Direktur DRPMI
3. Prof. Yudi Azis, Ph.D. selaku Dekan FEB Universitas Padjajaran
4. Narasumber Pada Perguruan Tinggi Badan Hukum
5. Rekan-Rekan yang senantiasa mengembangkan ide kepada penulis
terselesainya buku hasil Penelitihan Kualitatif ini
Tim penulis menyadari bahwa ”Tiada gading yang tak retak” begitu pula
buku ini yang merupakan hasil penelitihan kualitatif ini yang masih banyak
kekurangan, meskipun demikian hal ini merupakan pengalaman berharga utnuk
menuju yang lebih baik. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan dan pengembangan
lebih lanjut.
Akhir kata peneliti berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi
peneliti khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Mei 2020
Roebinadini Soemantri
Memed Sueb
Sofik Handoyo
Yusar Sagara
iii
DAFTAR ISI
COVER ……………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ..…………………………………………………………….….. iii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. v
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..…….. vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …….……..…………………………………………… 01
1.2. Rumusan Masalah …………………………………………………… 18
1.3. Tujuan Penulisan …………………………………………………….. 19
1.4. Kegunaan Penulisan ………………………………………………….. 19
1.4.1. Kegunaan Pengembangan Ilmu …………………………… 19
1.4.2. Kegunaan Operasional atau Pemecahan Masalah …………… 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka ……………………………………………………….. 21
2.1.1. New Public Management (NPM) .......... …………………….. 21
2.1.2. Anggaran ................. …………………………….…………… 28
2.1.2.1. Pengertian Anggaran ................ …………………….. 28
2.1.2.2. Karakteristik Anggaran …………………................... 30
2.1.2.3. Manfaat Anggaran ...................... …………………... 31
2.1.2.4. Fungsi Anggaran ......................... …………………... 32
2.1.2.5. Siklus Anggaran .......................... …………………... 36
2.1.2.6. Pendekatan Anggaran ..................…………………... 37
2.1.3. Anggaran Partisipasi ..……..………………………………… 32
2.1.3.1. Pengertian Penganggaran Partisipatif ..……………. 38
2.1.3.2. Manfaat Penganggaran Partisipatif ….……………… 39
2.1.3.3. Masalah Penganggaran Partisipatif………………….. 40
2.1.3.4. Proses Berbegi Wewenang ………………………….. 41
2.1.3.5. Prasyarat Penganggaran Partisipatif ………………… 42
2.1.3.6. Maslahat Penganggaran Partisipatif ………………… 45
2.1.3.7. Batasan Penganggaran Partisipatif ………………….. 48
2.1.3.8. Indikator Penganggaran Partisipatif ………………… 50
2.1.4. Perguruan Tinggi Badan Hukum …. …………………………. 51
2.1.4.1. Pengertian Perguruan Tinggi Badan Hukum ..……. 51
2.1.4.2. Prinsip Perguruan Tinggi Badan Hukum ....………… 51
2.1.4.3. Landasan Implementasi Perguruan Tinggi Badan
Hukum ......................................... ………………….. 56
2.1.4.4. Tujuan Perguruan Tinggi Badan Hukum ………….. 60
2.1.4.5. Keunggulan Perguruan Tinggi Badan Hukum ……... 61
2.1.4.6. Kelemahan Perguruan Tinggi Badan Hukum …...….. 61
iv
2.2. Penelitian Terdahulu ………………………………..……………… 62
2.3. Kerangka Pemikiran ……………………………………………….. 65
BAB III METODOLOGI PENULISAN
3.1. Desain Penulisan………………..… ………………………………….. 72
3.2. Alasan Pemilihan Setting ......................................……………………. 74
3.3. Objek dan Waktu Penulisan .................................……………………. 75
3.4. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………... .. 75
3.4.1. Metode Pengolahan Data …………………………….………. 75
3.4.2. Pengolahan dan Analisis Data .....................………………….. 77
3.5. Teknik Pengambilan Sampel ..................................………………….. 79
3.6. Operasionalisasi Variabel ........................................………………….. 80
3.7. Narasumber/Informan ................................…………………………… 80
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan ……………………………………………………. 83
4.1.1. Perjalanan Perubahan Status Hukum Kelembagaan
Perguruan Tinggi Badan Hukum ...................……………….. 83
4.1.2. Potret Keadaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Aspek
Akademik dan Non Akademik .................……………………. 85
4.2. Pembahasan…………………………………………………………… 86
4.2.1. Implementasi Anggaran Partisipatif Aspek Non Akademik
Perguruan Tinggi Badan Hukum …………………………….. 88
4.2.2. Implementasi Anggaran Partisipatif Aspek Akademik
Perguruan Tinggi Badan Hukum …………………………….. 105
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan …..………………………………………………………… 124
5.2. Saran …………………………………………………………………. 125
5.3. Keterbatasan ………………………………………………….............. 125
Daftar Pustaka ………………………………………………………………. 126
Biodata Penulis……………………………………………………………….. 130
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Aspek Ketidakefektifan Penggunaan Anggaran
Universitas ..................................................................…… 13
Tabel 3.1 : Tempat Pengamatan …………………….. ….....………… 75
Tabel 3.2 : Operasionalisasi Instrumen Pengamatan . .….....………… 80
Tabel 3.3 : Narasumber ……………………………. .….....………… 81
Tabel 3.4 : Kuesioner ………………………………. ….....………… 82
Tabel 4.1 : Keadaan PT-Badan Hukum ……………….....………… 85
Tabel 4.2 : Deskripsi Variabel Partisipasi Penganggaran ….………… 86
Tabel 4.3 : Deskripsi Indikator Partisipasi Penganggaran …………… 87
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1: Kerangka Pikir Penelitian ………………………………… 65
Gambar 2. 2 : Model Penelitian Sandalgaard, et all (2011) ........................... .. 66
Gambar 2.3 : Model Penelitian Subramaniam (2002) ................................... .. 67
Gambar 2. 4 : Model Penelitian Karakoca & Ozer (2016) ............................. .. 69
Gambar 2.5 : Model Penelitian Aloysius (2012) .......................................... .. 70
Gambar 3. 1 : Strategi Analisis Data .............................................................. .. 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anggaran merupakan komponen penting dalam suatu organisasi, baik
organisasi sektor pengelola publik (masyarakat) maupun organisasi sektor
bukan publik (pemilik perseorangan). Menurut Hansen dan Mowen (2004:1)
entitas publik maupun entitas bukan publik yang secara operasional bertujuan
memperoleh laba ataupun tidak bertujuan memperoleh laba (nirlaba) bisa
mendapatkan manfaat dari perencanaan dan pengendalian yang diberikan oleh
anggaran. Perencanaan dan pengendalian merupakan dua hal yang saling
berhubungan. Perencanaan adalah pandangan ke depan untuk melihat
tindakan apa yang seharusnya dilakukan agar dapat mewujudkan tujuan-
tujuan tertentu. Pengendalian adalah melihat ke belakang, memutuskan apakah
yang sebenarnya telah terjadi dan membandingkannya dengan hasil yang
direncanakan sebelumnya. Penyusunan anggaran merupakan suatu proses
yang berbeda antara sektor bukan publik dengan sektor publik. Pada sektor
bukan publik, anggaran merupakan bagian dari rahasia organisasi yang
tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru
harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik dan didiskusikan dengan
tujuan untuk mendapatkan masukan.
Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas
pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dari
uang publik (Mardiasmo, 2005: 61). Anggaran digunakan sebagai pedoman
2
kerja sehingga proses penyusunannya memerlukan organisasi anggaran yang
baik, pendekatan yang tepat, serta model-model perhitungan besaran
(simulasi) anggaran yang mampu meningkatkan kinerja pada seluruh jajaran
manajemen dalam organisasi. Proses penyusunan anggaran, dapat dilakukan
dengan beberapa pendekatan yaitu topdown, bottom up dan partisipasi
(Ramadhani dan Nasution, 2009). Dalam sistem penganggaran top-down,
dimana rencana dan jumlah anggaran telah ditetapkan oleh atasan/pemegang
kuasa anggaran sehingga bawahan/pelaksana anggaran hanya melakukan apa
yang telah ditetapkan oleh anggaran tersebut. Penerapan sistem ini
mengakibatkan kinerja bawahan/pelaksana anggaran menjadi tidak efektif
karena target yang diberikan terlalu menuntut namun sumber daya yang
diberikan tidak mencukupi (overloaded). Atasan/pemegang kuasa anggaran
kurang mengetahui potensi dan hambatan yang dimiliki oleh
bawahan/pelaksana anggaran sehingga memberikan target yang sangat
menuntut dibandingkan dengan kemampuan bawahan/pelaksana anggaran.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
tentang keuangan negara mengamanatkan bahwa penganggran sektor publik
di Indonesia yang semula adalah tradisional budgeting menjadi performance
based budgeting (Mardhiana, 2018). Hal tersebut mengisyaratkan
penyusunan anggaran berbasis partisipasi diperlukannya partisipasi aktif unit-
unit organisasi pemerintah mulai dari level bawah sampai atas dalam
menyampaikan target anggaran dan target kinerja yang disusun agar dapat
mencapai keputusan yang lebih relistis dan selaras dengan tujuan organisasi
(Muharrom, 2014). Dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara
3
tidak langsung dapat memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota
organisasi yang terlibat kedalam keseluruhan proses anggaran. Secara luas
anggaran berperan dalam pengambilan keputusan yang dapat memastikan
kinerja yang tinggi dari bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi yang
termotivasi. Proses tersebut meningkatkan kapasitas dalam pemecahan
masalah dan komiten bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi untuk
mencapai kesuksesan organisasi (Bhuiyan, 2010).
Partisipasi memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi
memainkan peran penting dalam menentukan tingkat kepuasan kerja yang
pada akhirnya akan meningkatkan komitmen memotivasi bagian-bagian/unit-
unit dan anggota organisasi serta motivasinya (Ardichvili et.al, 2003). Hal
tersebut dikarenakan penganggaran partisipatif berfokus pada upaya untuk
meningkatkan motivasi memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Implementasi budgetary
participation tidak hanya sebagai alat perencanaan dan pengendalian namun
bisa sebagai alat atau sarana kepada memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan
anggota organisasi terkait dengan komitmen dan motivasi sebagai
pertanggungjawaban kinerja terhadap publik (Giusti et.al, 2018).
Dalam proses penyusunan anggaran diperlukan kerjasama antara atasan
dan bawahan dari berbagai jenjang organisasi dan keterlibatan tersebut tidak
terlepas dari aspek perilaku seperti rasa khawatir atau cemburu, serta rasa
kepuasan dari masing-masing individu akibat disetujui/tidaknya usulan
program kegiatan dan anggaran yang ditawarkan (Tapussa, 2015). Kegiatan
dalam penyusunan anggaran merupakan kegiatan yang penting, tapi
4
memungkinkan akan menimbulkan dampak fungsional dan disfungsional
terhadap sikap dan perilaku organisasi (Milani,1975). Salah satu masalah
perilaku yang ditemui dalam penganggaran yang menciptakan ruang bagi
bawahan untuk berpartisipasi mengkomunikasikan informasi yang tidak
akurat kepada atasan mereka (Otalor & Oti, 2017).
Partisipasi anggaran dapat menimbulkan efek positif yang mengacu
pada keterlibatan ego yang terlibat dalam kerjasama yang meningkatkan rasa
kebersamaan dalam kelompok untuk menetapkan tujuan dan dapat
mengurangi kesulitan serta perbedaan dalam alokasi sumber daya antar unit
dalam organisasi (Siegel et.al, 1989). Dari perspektif ini partisipasi mengarah
pada motivasi, komitmen, dan keputusan berkualitas yang lebih tinggi dan
karenanya kinerja menjadi lebih baik. Jadi budget partisipasi memeliki efek
positif dan negarif pada tujuan organisasi tergantung pada tingkat komitmen
pegawai (Otalor & Oti, 2017).
Menurut (Yuen, 2007) partisipasi anggaran bisa lebih efektif ketika
memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi memilki sikap
positif dan memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement)
yang berdampak pada peningkatan kinerjanya. Need for achievement
merupakan keinginan untuk berkerja dengan standar yang tinggi dan unggul
dalam pekerjaan mereka. memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota
organisasi dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi ingin mengetahui
feedback secara spesifik dan untuk mengetahui seberapa baik mereka dalam
melakukan pekerjaan dan bertanggung jawab atas produktivitas mereka
(Rayburn et.al, 2004).
5
Feedback tersebut membantu memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan
anggota organisasi mencapai sasaran kinerja mereka. Feedback dapat
membantu dalam dua cara. Pertama, membantu orang menentukan seberapa
baik yang mereka lakukan. Misalnya, tim olahraga perlu mengetahui skor
pertandingan, penembak jitu yang perlu melihat target, pemain golf perlu
mengetahui skornya. Hal yang sama dapat dikatakan untuk tim kerja,
departemen, atau organisasi, yang berarti feedback cenderung mendorong
kinerja yang lebih baik. Kedua, feedback membantu memotivasi bagian-
bagian/unit-unit dan anggota organisasi untuk menyesuaikan sifat dalam
meningkatkan kinerja yang dituntut untuk meningkat. Misalnya tim olahraga
menonton video tanding sehingga mereka dapat menyesuaikan permainan
mereka, penembaik jitu dapat menyesuaikan tembakannya, pemain golf dapat
menyesuaikan ayunannnya dan CEO dari suatu organisasi dapat mengukur
profitabilitas, dan kualitas lini produk (Abata, 2014).
Selain itu individu dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi akan
mencari tugas yang menantang dan bekerja keras untuk sukses. Sedangkan
orang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang rendah cenderung mengejar
tugas yang mudah atau peluang keberhasilannya tinggi. Karena itu individu
yang memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi akan memberikan
kepuasan besar dalam pekerjaan (Aloysius, 2012).
Menurut Mclnnes (1986) memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan
anggota organisasi perlu dimotivasi untuk bekerja lebih baik dalam aktivitas
penganggaran dan memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk berprestasi
sehingga dapat berpartisipasi lebih aktif dari pada mereka yang tidak
6
memiliki kebutuhan untuk berprestasi. Dari perpektif organisasi, memotivasi
bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi yang memiliki kebutuhan
dalan berprestasi terbukti dapat mengurangi keterlambatan untuk bekerja,
absensi dan pergantian staf (Randall, 1990). Dengan kata lain, kebutuhan
berprestasi merupakan sebuah konsep motivasi yang dapat mempengaruhi
individu untuk meningkatkan kinerjanya, percaya diri, dan berusaha untuk
sukses, bertahan dalam menghadapi kegagalan dan rasa kebanggaan dalam
suatu pencapaian (Mouloud & El-Kadder, 2016). Oleh karena itu berbagai
aspek pekerjaan sangat memerlukan need achievement karna dapat memicu
semangat kerja.
Sebagai contoh, pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Kabupaten Siak, adanya berpartisipasi dalam proses penyusunan
anggaran yang tinggi maka akan semangkin baik kinerja aparat
pemerintah (Nuraini et.al, 2014). Selain itu, hal yang sama juga
terjadi pada perusahaan manufaktur di daerah Tanggerang dan
Jakarta dimana proses partisipasi akan berpengaruh pada
kinerjanya (Gunawan & Santioso, 2015). Dari kedua fenomena
tersebut didasarkan pada pemikiran ketika suatu tujuan telah
disetujui yang dirancang dengan melibatkan pegawai level yang
lebih rendah akan membuat para bawahan merasa aspirasinya
dihargai. Hal tersebut akan meningkatkan tanggung jawab serta
konsekuensi moral mereka untuk meningkatkan kinerja, sesuai
dengan target yang ditetapkan dalam anggaran (Argyris, 1952).
Namun, adanya partisipasi anggaran tidak berdampak pada
peningkatan kinerja pada SKPD Kabupaten Pati. Hal tersebut
dikarenakan tingkat keterlibatan pegawai yang rendah pada
SKPD Pati. Karena partisipasi tersebut sebagai sebuah
kewajiban ikut serta, artinya pegawai SKPD Pati sudah terlibat
dalam penyusunan anggaran tapi hanya sebatas ikut
merencanakan tapi tidak benar-benar berpartisipasi dalam
mengeluarkan ide kreatif dalam membuat keputusan (Ernawati,
2017). Selain itu motivasi kerja pegawai SKPD Kabupaten Pati
dinilai kurang, dikarenakan kondisi kerja pegawai SKPD
berbeda dengan pegawai di perusahaan swasta. Karena sistem
kerja yang sudah ditentukan pemerintah sehingga pegawai
SKPD bekerja sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan.
Sehingga dalam proses penyusunan anggaran pegawai SKPD
7
Kabupaten Pati tidak memiliki motivasi yang tinggi dalam proses
penyusunan anggaran karena prestasi pegawai sudah ditetapkan
oleh peraturan, berbeda halnya dengan pegawai perusahaan
swasta yang memiliki motivasi yang tinggi dalam penyusunan
anggaran karena mengejarvprestasi kerja (Ernawati, 2017).
Telaah tersebut menunjukan bahwa adanya korelasi yang tinggi
antara motivasi berprestasi yang tinggi dengan berpartisipasi
dalam proses penganggaran dapat meningkatkan kinerja
pegawai untuk pencapaian tujuan organisasi yang telah tetapkan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuen (2007) mengenai
hubungan kebutuhan akan berprestasi berpengaruh terhadap partisipasi
anggaran pada departemen pelayanan publik di Macau. memotivasi bagian-
bagian/unit-unit dan anggota organisasi yang memiliki kebutuhan untuk
prestasi yang tinggi berusaha mendapatkan informasi yang relavan dalam
proses penyusunan anggaran. Menurut Mia, L (2002) mengenai hubungan
antara kebutuhan berprestasi dengan partsisipasi anggaran, menyatakan
bahwa individu dengan need for achievement yang tinggi dibandingkan
dengan mereka yang memiliki need for achievement yang rendah cenderung
untuk berpartisipasi dalam pengatiran anggaran bahkan dalam budaya
oriental.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Myint et.al (2019) mengenai
hubungan budgetary participation berpengaruh terhadap job performance
pada bank komersial swasta di Myanmmar, menyatakan bahwa partisipasi
merupakan faktor untuk mendapatkan komitmen pada sasaran anggaran
sehingga kinerja pekerjaan dapat lebih meningkat. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Karakoc & Ozer (2016) mengenai hubungan budgetary
participation berpengaruh terhadap job performance pada manajer sektor
otomotif di Marmara Turkey, menyatakan bahwa dengan berpartisipasi
8
memungkinkan para manajer untuk menetapkan tujuan anggaran departemen
mereka secara mandiri dan meningkatkan kinerja pekerjaan.
Implementasi anggaran dengan sistem bottom-up dimana
bawahan/departemen/bagian/unit menyusun rencana anggaran sesuai dengan
kebutuhannya sesuai dengan kemampuannya. Penerapan sistem ini
mengakibatkan bawahan/departemen/bagian/unit menetapkan kinerja terlalu
rendah yang memungkinkan manajer dengan mudah dapat mencapainya tanpa
memperhatikan yang lain (perilaku disfungsional anggaran) akibatnya kinerja
manajer dapat tercapai namun kinerja organisasi sulit dicapai karena anggaran
tidak efektif. Oleh karena itu, entitas mulai menerapkan sistem penganggaran
yang dapat menanggulangi masalah di atas yakni sistem penganggaran
partisipatif (participative budgeting). Melalui sistem ini, bawahan/pelaksana
anggaran dilibatkan dalam penyusunan anggaran yang menyangkut
subbagiannya sehingga tercapai kesepakatan antara atasan/pemegangkuasa
anggaran dan bawahan/pelaksana anggaran mengenai anggaran tersebut
(Omposunggu dan Bawono, 2007). Partisipasi penganggaran adalah proses
yang menggambarkan individu-individuyang terlibat dalam penyusunan
anggaran dan mempunyai pengaruhterhadap target anggaran.
Partisipasi penyusunan anggaran merupakan pendekatan yang secara
umum dapat meningkatkan kinerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan
efektivitas organisasi (Nor, 2007). Penyusunan anggaran secara partisipatif
diharapkan dapat meningkatkan kinerja manajer, yaitu ketika suatu tujuan
dirancang dan secara partisipasi disetujui maka karyawan akan
menginternalisasikan tujuan yang ditetapkan dan memiliki rasa tanggung
9
jawabpribadi untuk mencapainya, karena mereka ikut terlibat dalam
penyusunan anggaran (Milani, 1975). Indriantoro (1993) dan Supomo (1998)
dalam Kurnia (2010) menyatakan bahwa kinerja manajerial dikatakan efektif
jika tujuan anggaran dapat tercapai dan bawahan mendapatkan kesempatan
terlibat atau berpartisipasi dalam penganggaran.Partisipasi dari bawahan
dalam penyusunan anggaran dapat memberikankesempatan untuk
memasukkan informasi lokal. Bawahan dapat mengkomunikasikan atau
mengungkapkan beberapa informasi pribadi yang dapat dimasukkan dalam
anggaran yang dipakai sebagai dasar penilaian kinerja bilabawahan ikut serta
dalam proses penganggaran.
Efektivitas anggaran merupakan konsekuensi sikap dan perilaku
anggota organisasi yang akan mempengaruhi tingkat sasaran yang akan
dicapai pada akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi (Murray 1990). Nasir
(2017) mengatakan bahwa kinerja perguruan tinggi sulit dicapai karena
anggaran perguruan tinggi tidak efektif. Anggaran di perguruan tinggi
sebagian besar terserap untuk pembangunan gedung untuk perkuliahan,
fakultas hingga tunjangan para pejabat di perguruan tinggi, menambah ruang
kuliah atau ruang pimpinan. Menyambung tentang permasalahan anggaran
diperguruan tinggi, Indrawati (2017) mengatakan bahwa belanja negara terkait
pendidikan merupakan instrumen penting untuk menghasilkan pendidikan
berkualitas, namun harus digunakan secara efektif. Hal ini diperkuat dengan
hasil kajian yang dilakukan oleh Inspektorat VI Inspektorat Jenderal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap 43 universitas dengan
jumlah responden 390 unit kerja yang terdiri dari 198 fakultas, 15 program
10
pascasarjana, 134 lembaga/UPT dan 43 pusat/rektorat yang menyimpulkan
bahwa pengelolaan anggaran PTN belum efektif, Hal ini dibuktikan dengan 90
(23,08%) responden yang menyatakan pengelolaan anggarannya efektif, 261
(66,92%) responden kurang efektif, dan 39 (10%) responden tidak efektif.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ketidakefektifan
anggaran menyebabkan kinerja perguruan tinggi sulit dicapai.
Secara operasional anggaran di perguruan tinggi juga mengalami
banyak kendala. Revisi penerimaan dan penggunaan anggaran yang terjadi
pada pertengahan dan akhir tahun anggaran membutuhkan waktu yang lama.
Akibatnya serapan anggaran dan capaian (output) kegiatan tidak terpenuhi
secara maksimal pada tahun yang bersangkutan. Hal ini disebabkan tidak
sesuainya periode kegiatan yang diselenggarakan perguruan tinggi dengan
periode anggaran yang berlaku. Periode kegiatan perguruan tinggi terbagi
dalam semester ganjil dan semester genap, yaitu pada bulan Februari dan
September, sementara periode anggaran dimulai 1 Januari dan ditutup 31
Desember. Akibatnya terjadi masalah dalam penyelarasan program dan
ketersediaan anggaran (Wiyono, 2014). Masalah penyelarasan program dan
ketersediaan anggaran mengindikasikan terjadinya kelemahan perguruan
tinggi dalam fungsi manajemen terutama aspek perencanaan dan perlunya
memperbaiki efisiensi, ekuitas dan performa (World Bank, 2013). Pemerintah
melakukan upaya untuk meningkatkan efektivitas anggaran perguruan tinggi
dengan implementasi UU No 12 Tahun 2012 Pasal 89 Ayat 3, yang
menyatakan, perlu ditetapkan PTN badan hukum.
11
Secara bertahap pemerintah menetapkan perguruan tinggi badan
hukum di Indonesia. Diawali dengan satker pemerintah, satker pengelolaan
keuangan badan layanan umum selanjutnya disebut PTN-BLU, satker
perguruan tinggi badan hukum milik negara selanjutnya disebut PTN-BHMN,
dan terakhir satker perguruan tinggi badan hukum selanjutnya disebut PTN-
BH. Dalam kerangka reformasi keungan negara berdasarkan UU No.17/2003
Tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara
dan UU No.15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara. Pentingnya perubahan perguruan tinggi badan hukum
tercermin dari berbagai kondisi berikut. Pertama, tahun anggaran pemerintah,
Januari sampai Desember, tidak sama dengan tahun akademik (tahun ajaran)
yang dimulai Juli sampai Juni tahun berikutnya. Di PTN biasa, pada akhir
tahun sisa saldo kas harus disetorkan kembali ke negara. Di sisi lain, sering
kali kegiatan tri darma perguruan tinggi misalnya riset atau ujian tetap harus
berjalan awal tahun. Padahal, dana DIPA sering kali belum cair. Terkait
perbedaan siklus itu, bagi auditor, pertanyaan yang sering muncul adalah
mengapa di laporan keuangan akhir tahun PTN badan layanan umum atau eks
badan hukum milik negara (BHMN) menyisakan saldo kas, ini menimbulkan
kecurigaan, jangan-jangan saldo kas PTN itu adalah keuntungan. Perlu
diketahui, saldo kas tersebut adalah bagian dari penerimaan tahun ajaran
berjalan untuk semester kedua. Situasi semacam ini menunjukkan institusi
pendidikan, khususnya PTN, tidak dapat disamakan perlakuannya dengan
institusi pemerintah lainnya.
12
Kedua, sisi permasalahan sumber daya manusia. Meski PTN badan
hukum (dulu PT BHMN) bisa merekrut dosen dan tenaga kependidikan, karier
dan penggajian tak bisa disinkronkan dengan sistem penggajian PNS. Sistem
anggaran pemerintah bukan block grant yang memberi otonomi kepada PTN
untuk menggunakan anggarannya. Ketiga, sistem pelaporan keuangan
pemerintah kurang bisa mengakomodasi laporan keuangan PTN yang bisa
lebih kompleks dibandingkan laporan keuangan satuan kerja pemerintah.
Dalam menjalankan Tri Darma, PTN bisa punya rumah sakit, asrama, wisma,
laboratorium, dan unit usaha. Konsekuensinya, dalam hal sistem pelaporan
keuangan, PTN membuat laporan yang menggunakan standar akuntansi
nirlaba, yaitu PSAK 45 dan standar akuntansi instansi. Kewajiban
akuntabilitas dengan membuat dua jenis laporan keuangan tersebut sangat
tidak efisien waktu dan tenaga. Kerumitan ini ditambah dengan kewajiban
untuk dikonsolidasikan pada laporan keuangan kementerian/lembaga yang
hanya mengacu pada standar akuntansi instansi.
Keempat, ketika keuangan PTN mengacu kepada UU Keuangan
Negara, proses pengadaan barang dan jasa harus mengikuti peraturan
pemerintah yang belum tentu cocok dengan siklus akademik dan kebutuhan
hilirisasi produk penelitian. Dengan otonomi non-akademik, PTN bisa
merancang sistem pengadaan barang dan jasa yang sesuai dengan
karakteristiknya. Sebagai PTN yang pernah menjadi BHMN, banyak manfaat
yang dirasakan dari otonomi non-akademik. Di bidang keuangan, sebagai
contoh, penggunaan dana internal bisa menalangi keterlambatan cairnya
beasiswa mahasiswa dan dosen yang tugas belajar. Di kegiatan
13
kemahasiswaan, kegiatan yang sangat dinamis sering kali tidak terakomodasi
di sistem penganggaran pemerintah yang jadwalnya sangat kaku dan nilainya
kurang memadai. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
(Menristekdikti) Muhammad Nasir (2016) menyatakan bahwa sistem
keuangan PTN-BH selama ini masih kurang fleksibel dan dikhawatirkan akan
menghambat perkembangan yang ada. Data audit BPK laporan hasi
pemeriksaan tahun 2015 atas laporan keuangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tahun 2014, menunjukkan banyak ketidakefektifan anggaran
perguruan tinggi di beberapa perguruan tinggi
Tabel 1.1
Aspek Ketidakefektifan Penggunaan Anggaran Universitas
No Perguruan Tinggi Aspek Ketidakefektifan
1 UNAIR, ITSN,
UNP, UNANDA,
UPI
Terdapat Lebih Bayar Gaji Dan Tunjangan
Sebesar Rp1,45 Milyar dan Potensi Lebih
Bayar Gaji Kepada Pegawai Sebesar Rp365,85
juta
2 UNAIR, UNPAD,
UGM,
Terdapat 540 Rekening Pemerintah dengan
Saldo Per 31 Desember 2014 senilai Rp565,60
Miliar dan US1,06 Belum Memiliki Ijin dari
Menetri Keuangan dan Kas BLU
3 ITSN, UNPAD,
UNM, UNHAS,
UNDIP
Aset Senilai Sekurang-kurangnya Rp218,94
Miliar pada 13 Satuan Kerja Dikuasai oleh
dan/atau Dalam Sengketa dengan Pihak Lain
4 UNAIR, UNPAD, Aset Tanah Seluas 2.137.394 m2 Minimal
14
UNM, ITB, UT,
UNAND, UNP,
UNY, UPI, ITSN,
UI.
Senilai Rp1,16 Triliun dan Aset Peralatan dan
Mesin Sebanyak 275 Unit Minimal Senilai
Rp17,74 Miliar pada Sejumlah Satuan Kerja
Belum Didukung Bukti Kepemilikan Berupa
Sertifikat/BPKB dan atau Bukti
Sertifikat/BPKB Masih Atas Nama Pihak Lain
5 UNPAD, UNM,
UNP, UNAND,
UGM, UNY, IPB,
UI, UNDIP, USU,
UNM, UPI
Kelebihan Pembayaran Pekerjaan Atas
Kegiatan Belanja Modal pada 12 Satuan Kerja
sebesar Rp3,47 Miliar
6 UNPAD, UNAIR,
ITSN, UNP,
Pertanggungjawaban Belanja Barang pada
Enam Satuan Tidak Akuntabel atau Dilengkapi
Bukti yang Valid Senilai Rp52,36 Miliar
Sumber : LHP BPK, tahun 2015
Berdasarkan tabel tersebut maka dapat disimpulkan bahwa masih terdapat adanya
ketidakefektifan penggunaan anggaran perguruan tinggi terutama pada perguruan
tinggi yang berstatus badan hukum. Beradasrkan data hasil temuan BPK terhadap
anggaran yang kelola oleh UI, UPI, UGM, USU, UNAIR, IPB, UNPAD belum
efektif. Perguruan tinggi tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai
perguruan tinggi berstatus Badan Hukum dengan tujuan Dengan otonomi ini
perguruan tinggi juga dapat menyusun program kerja pendidikan dan pengajaran
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja, penelitian yang bermanfaat, pengabdian
kepada masyarakat, organisasi yang sesuai, sumber daya manusia yang kompeten,
15
sarana-prasarana yang memadai dan dirumuskan visi, misi, tujuan, sasaran yang
dirancang dalam rancangan kerja tahunan, rencana operasionalkan, dan strategi
jangja pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk mencapai puncak
keuanggulan karya-karya ilmiah yang dihasilkan (Fuad, 2014).
Irianto (2012) mengatakan bahwa otonomi perguruan tinggi akan
menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan,
argumentasi dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan. budaya akademik
yang demikian akan melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas
dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuan. Apabila
perguruan tinggi dijadikan bagian dari birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya
birokrasi yang lamban, tidak efisien dan korup. Perguruan tinggi di indonesia
akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu dan akan kalah bersaing
dengan perguruan tinggi di dunia. Ketidakefektifan anggaran yang dikelola
perguruan tinggi mengakibatkan sulinya perguruan tinggi badan hukum di
Indonesia masuk ke dalam jajaran pemeringkatan universitas kelas dunia. Saat ini
Indonesia berada di peringkat ke-11 secara jumlah penelitian dan berdasarkan
kualitas penelitian (h-index), jauh tertinggal dari negara-negara lainnya di ASIA
seperti China, Singapura, Malaysia. Tidak ada satupun perguruan tinggi Indonesia
yang masuk daftar 500 universitas terbaik dunia versi Times Higher Education
dan Academic Ranking of World Universities tahun 2017. Selanjutnya QS World
Ranking pada tahun 2017 merilis laporan hanya Universitas Indonesia (peringkat
358) dan Institut Teknologi Bandung (431-440) yang masuk peringkat 500
universitas papan atas dunia.
16
Secara internal perguruan tinggi mulai menata kembali peran dan fungsi
masing-masing unit yang ada sebagai respon atas penerapan perguruan tinggi
badan hukum. Pola anggaran line item atau sebagai satker selama ini menjadi
perhatian penyelenggaran perguruan tinggi. Salah satunya adalah penyusunan
anggaran melibatkan jurusan, prodi, departemen, fakultas dan seluruh unit atau
lembaga yang dituangkan kedalam dokumen kinerja yaitu RKAT dan masing-
masing manajer setiap tahun anggaran wajib menandatangani kontrak kinerja.
Selanjutnya pelibatan seluruh manajer unit-unit ini dalam menyusun dan
mengimplementasikan anggaran disebut anggaran partisipatif. Anggaran
partisipatif menggambarkan konsep di mana anggota organisasi atau manajer
berpartisipasi dalam menciptakan dan mempengaruhi proses melalui proses
pengambilan keputusan. Partisipasi bukan berkaitan dengan melakukan partisipasi
atau tidak melainkan bagaimana melibatkan anggota organisasi unuk seluas-
luasnya terlibat dalam anggaran sesuai bidangnya (Milani, 1975).
Brownell (1983) menyatakan anggaran partisipatif akan mengakibatkan
terjadinya interaksi antara anggota organisasi di berbagai tingkatan organisasi.
Penganggaran yang melibatkan berbagai anggota organisasi dari berbagai
tingkatan, sering kali bekerja dalam tim dimana para anggota organisasi dapat
bertukar informasi dan ide untuk membuat anggaran yang kemudian
dikoordinasikan dan dikomunikasikan ke atas "bottom-to-top", sehingga fungsi
perencanaan, koordinasi dan pengendalian lebih efektif (Poon et al, 2001).
Akibatnya, pencapaian tujuan secara logis lebih mungkin terjadi (Campbell,
1985). Shields and Shields (1998) berpendapat bahwa kondisi dan proses
anggaran partisipatif berkontribusi terhadap efektivitas anggaran.
17
Banyak penelitian dibidang akuntansi manajemen yang memperhatikan
masalah partisipasi penyusunan anggaran. Hasil-hasil penelitian belum konsisten
dan sering terjadi kontradiksi. Penelitian Brownell & Mc Innes (1986)
menemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara partisipasi
dalam penyusunan anggaran dan kinerja manajerial. Milani (1975) dan Brownell
& Hirst (1986) menemukan bahwa partisipasi penyusunan anggaran tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manajerial. Para peneliti
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara partisipasi
penyusunan anggaran dan kinerja manajerial (Gul dkk, (1995) dalam Nanda
Hapsari (2010)). Hubungan positif dan negatif antara partisipasi penyusunan
anggaran dengan kinerja manajerial dipengaruhi oleh kondisi dan situasi tertentu.
Hal semacam ini dijelaskan dengan pendekatan kontingensi (contingency
approach), di mana pendekatan ini memberi gagasan bahwa sifat hubungan yang
ada dalam partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial harus sesuai dengan
aspek-aspek organisasi dan berbeda bagi tiap situasi. Pendekatan kontingensi
mempelajari perilaku manajerial sebagai reaksi atas sejumlah keadaan tertentu
guna menyarankan praktek-praktek manajemen yang dianggap paling cocok
dalam rangka usaha menghadapi situasi tertentu (Winardi, 2000: 16).
Govindarajan (1986) dalam Eker (2008) mengatakan perlu digunakan
pendekatan kontingensi untuk menyelesaikan berbagai perbedaan pendapat
tersebut. Pendekatan kontingensi antara penyusunan anggaran dengan kinerja
manajerial memungkinkan adanya variabel-variabel lain yang dapat bertindak
sebagai variabel intervening atau moderating yang mempengaruhi hubungan
antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial (Brownell, 1980). Penelitian
18
terdahulu banyak yang menghubungkan partisipasi penyusunan anggaran dengan
kinerja manajerial secara tidak langsung (faktor kontingensi) misalnya
menggunakan komitmen tujuan, kultur organisasi, komitmen tujuan, locus of
control dan sebagainya. Faktor kontingensi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Job Relevant Information (JRI) sebagai variabel moderating karena
dianggap dapat memperkuat hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja
manajerial.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, tema pokok penulisan buku dapat
diidentifikasi dengan berbagai permasalahan (research identificatioins) sebagai
berikut:
1. Bagaimana praktik implementasi anggaran partisipatif secara empiris
berdasarkan kajian peraturan perundang-undangan tentang pendidikan tinggi
dalam rangka otonomi non akademik.
2. Bagaimana praktik ideal implementasi anggaran partisipatif secara empiris di
perguruan tinggi badan hukum berdasarkan perkembangan status PTN dari
segi hukum yang berlaku dalam rangka otonomi non akademik
3. Bagaimana pemecahan masalah dan ditemukanya alternatif konsep bentuk
landasan hukum anggaran partisipatif secara empiris PTN yang ideal menuju
otonomi perguruan tinggi.
19
1.3 Tujuan Penulisan Buku
Tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan buku ini
adalah sebagai berikut:
1. Ditemukanya jawaban mengenai dukungan segi hukum terhadap praktik
implementasi anggaran partisipatif berdasarkan kajian peraturan perundang-
undangan tentang pendidikan tinggi dalam rangka otonomi non akademik.
2. Ditemukanya jawaban praktik ideal implementasi anggaran partisipatif di
perguruan tinggi badan hukum berdasarkan perkembangan status PTN dari
segi hukum yang berlaku dalam rangka otonomi non akademik
3. Ditemukanya pemecahan masalah dan ditemukanya alternatif konsep bentuk
landasan hukum anggaran partisipatif PTN yang ideal menuju otonomi
perguruan tinggi.
1.4 Kegunaan Penulisan Buku
Penulisan buku ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik untuk
pengembangan ilmu maupun untuk tujuan pemecahan masalah yang dihadapi oleh
perguruan tinggi badan hukum dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya.
1.4.1 Pengembangan Ilmu
Penulisan buku ini diharapkan dapat menambah, memperkuat dan
memperluas cakrawala ilmu pengetahuan di bidang akuntansi, manajemen dan
perilaku organisasi terutama yang terkait dengan penelitian berbasiskan teori
anggaran Penelitian dengan setting perusahaan jasa masih sangat perlu dilakukan
dalam menemukan kesesuaian teori anggaran ditengah berbagai kritikan yang
terus dilakukan para ahli mengenai implementasi anggaran menuju kesesuaian
20
1.4.2 Pemecahan Masalah
Penulisan buku ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengelola
perguruan tinggi dalam merespon dinamika lingkungan bisnis yang sangat
dinamis guna meningkatkan dan mempertahankan keunggulan bersaing dan
kinerja organisasi. Mengelola organisasi dengan ekonomis, efesien dan efektif
dapat berfungsi dengan baik. Yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja
organisasi. bahwa dalam meningkatkan kinerja organisasi melalui implementasi
anggaran partisipatif perguruan tinggi.
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1 New Public Management (NPM)
Sejak pertengahan tahun 1980-an, telah terjadi perubahan manajemen
sektor public yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan
kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang
fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar
perubahan kecil dan sederhana, tetapi perubahan besar yang telah mengubah peran
pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dan masyarakat
(Djedje Abdul Aziz dkk, 2007). Paradigma baru yang muncul dalam manajemen
sektor publik tersebut adalah pendekatan New Public Management (NPM). Model
NPM berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja,
bukan pada kebijakan. Penggunaan paradigma baru tersebut menimbulkan
beberapa konsekuensi pada pemerintah, diantaranya adalah tuntutan untuk
melakukan efisiensi,pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di era NPM adalah model pemerintahan
yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1995) adalah sebagai berikut:
a. pemerintahan katalis (fokus pada pemberian arahan bukan produksi layanan
publik),
b. pemerintah milik masyarakat (lebih memberdayakan masyarakat dari pada
melayani),
22
c. pemerintah yang kompetitif (mendorong semangat kompetisi dalam
pemberian pelayanan publik),
d. pemerintah yang digerakkan oleh misi (mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan menjadi digerakkan oleh misi),
e. pemerintah yang berorientasi hasil (membiayai hasil bukan masukan),
f. pemerintah berorientasi pada pelanggan (memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi),
g. pemerintah wirausaha (mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar
membelanjakan),
h. pemerintah yang antisipatif (berupaya mencegah daripada mengobati),
i. pemerintah desentralisasi (dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja), dan
j. pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (mengadakan perubahan
dengan mekanisme pasar/sistem insentif dan bukan mekanisme
administratif/sistem prosedur dan pemaksaan).
Tujuan New Public Management adalah untuk mengubah administrasi
yang sedemikian rupa sehingga administasi publik sebagai penyedia jasa bagi
masyarakat harus sadar akan tugasnya untuk menghasilkan layanan yang efisien
dan efektif, namun tidak berorientasi kepada laba (Osborne dan Gaebler, 1995).
Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan
syarat didukung oleh birokrat, politisi dan masyarakat. Adapun perangkat-
perangkat dari New Public Management (Djedje Abdul Aziz dkk, 2007) adalah
beberapa hal berikut ini.
23
1) Manajemen Kontrak
Manajemen kontrak adalah penyelenggaraan administrasi melalui
kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai. Kesepakatan ini
mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih sampai dengan pengawasan
terhadap proses pencapaian tujuan tersebut. Landasan manajemen kontrak
adalah kontrak atau perjanjian antara pihak politisi (Parlemen atau DPR)
dengan pihak yang akan memberikan layanan atau pemerintah sebagai
pelaksana. Kontrak ini menyangkut kesepakatan tujuan yang bersifat mengikat
tentang jangka waktu yang telah ditetapkan, yang mengandung unsur-unsur,
yaitu ditetapkannya produk atau kinerja yang harus dilakukan berdasarkan
kuantitas dan kualitas serta anggaran yang dibutuhkan. Si pemberi order
menjelaskan produk yang diinginkan, tetapi tidak menentukan bagaimana
proses kerja tersebut dilakukan. Artinya, bagaimana pihak pelaksana
mengerjakan produk yang diinginkan oleh pemberi order merupakan urusan
mereka sendiri dengan diberikan kewenangan untuk menentukan sendiri cara
untuk menghasilkan produk yang diminta. Unsur lainnya yang mendukung
berfungsinya manajemen kontrak adalah penerapan sistem pelaporan yang
menyediakan seluruh informasi mengenai pelaksanaan kinerja kepada pihak
pemberi order dengan mendokumentasikan kemajuan kinerja sedemikian rupa
sehingga di dalam pembahasan didukung oleh data-data kinerja untuk
kepentingan evaluasi.
2) Orientasi pada Hasil Kerja (Output)
Administrasi hanya dapat dikendalikan secara efisien apabila titik tolak di
dalam penyelenggaraannya berorientasi pada hasil (output) kerja. Namun
24
sampai dengan hari ini masih banyak negara yang pengendalian administrasi
publiknya masih dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber
daya secara sentral. Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak
uang yang boleh dikeluarkan oleh administrasi dan bagaimana mereka harus
menggunakan uang itu, namun tidak ada bagian penjelasan atau keterangan
dalam anggaran itu yang menyatakan dengan jelas kinerja atau produk apa
yang akan dihasilkan dengan uang itu dan apa yang benar-benar diharapkan
pemerintah dari anggaran tersebut.
3) Controlling
Controlling diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikan
administrasi secara efisien dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh politik. Untuk bisa berfungsi dengan baik, pengawasan
harus menyediakan informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat dengan
tujuan mengendalikan proses. Controlling sebagai pendukung manajemen
sangat tergantung pada, pertama, kalkulasi biaya dan produk kerja, dimana
penerapan kalkulasi biaya kerja ini merupakan beban yang berat dalam
adminstrasi publik karena itu dibutuhkan perombakan cara berpikir karena
instrumen ini merupakan satu persyaratan untuk mencapai efisiensi. Kalkulasi
biaya administrasi memberikan data mengenai seberapa jauh produksi yang
hendak dilakukan dalam administrasi publik dan bidang apa saja yang bisa
diserahkan pada pihak swasta untuk dikerjakan, untuk dapat menekan biaya.
Kedua, adanya pelaporan. Keleluasaan yang muncul dengan adanya
desentralisasi dan pendelegasian wewenang harus dihubungkan oleh
kewajiban membuat laporan oleh pihak yang diberikan keleluasaan dan
25
wewenang kepada si pemberi order mengenai apa yang telah mereka lakukan
dengan dana yang telah dipercayakan kepada mereka dan apakah mereka telah
mencapai tujuan dan standar mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga
adalah penganggaran. Penganggaran dalam konteks new public management
berangkat dari metode arus balik, di mana politik atau parlemen menetapkan
kerangka acuan bagi administrasi (pemerintah) untuk menentukan
anggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down ini
diperbandingkan dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottom-up
untuk dirundingkan suatu anggaran yang akan ditetapkan.
4) Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan
Prinsip new public management menekankan bahwa “segala sesuatu yang
tidak bermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengandung
makna bahwa administrasi bukanlah tujuan akhir, mempunyai satu tugas yaitu
memberikan layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di
beberapa negara pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta”
(piagam warga) yang merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga
sebagai warga pembayar pajak kepada negara. Ini artinya, warga tidak dilihat
sebagai abdi, melainkan sebagai pelanggan yang karena pajak yang
dibayarkannya, mempunyai hak atas layanan dalam jumlah dan kuantitas
tertentu. Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang
kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tetapi di lain pihak, dalam
bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, dengan memberikan layanan
dengan kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi
publik lainnya. Tugas admistrasi (pemerintah) adalah menciptakan
26
transparansi dan tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam
melayani masyarakat, serta menciptakan kondisi yang berorientasi pada
pelayanan.
5) Personalia
Personalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi.
Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber
daya manusia dimanfaatkan secara maksimal dan memperbaiki jika ada
kekurangan. Dalam proses modernisasi penting sekali melibatkan karyawan
dengan menentukan tujuan-tujuan yang jelas dan menunjukkan keuntungan
apa saja yang mereka miliki dengan tujuan yang jelas tersebut, meningkatkan
kompetensi dan kualitas pegawai, di mana proses untuk menjadi karyawan
dalam kantor publik harus berdasarkan kualifikasi dan reliabilitas.
6) Teknik Informasi
Prinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas serta berbagai bentuk
pengendaliannya membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna.
Penggabungan informasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk
pengendalian dan kemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi
keinginan pelanggan, membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga
pekerjaan bisa dilakukan dengan cepat, akurat dan dapat dipercaya.
7) Manajemen Mutu
Manajemen mutu di sini adalah bahwa ‘administrasi’ melakukan segala
sesuatu dalam rangka mengorganisir proses-proses produksi, standar dan
sumber daya bersama para pegawai. Tujuannya adalah merespon kebutuhan
pelanggan (dalam hal ini adalah masyarakat).
27
Kriteria pokok yang mendasari pelaksanaan manajemen publik dewasa ini
adalah ekonomi, efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas
publik.Tujuan yang dikehendaki masyarakat yang mencakup pertanggungjawaban
mengenai pelaksanaan value for money, yaitu ekonomis (hemat cermat) dalam
pengadaan dan alokasi sumber daya, efisiensi (berdaya guna) dalam penggunaan
sumber daya, serta efektif (berhasil guna) dalam mencapai tujuan dan sasaran.
Menurut Mardiasmo (2002:127) “Value for money merupakan inti pengukuran
kinerja keuangan dan non keuangan pada organisasi sektor publik. Kinerja
anggaran sektor publik harus dinilai dari sisi output, input dan outcome secara
bersama-sama”.
Agar dalam menilai kinerja keuangan sektor publik dapat dilakukan secara
objektif, maka diperlukan indikator kinerja. Menurut Mardiasmo (2002:130)
“Indikator kinerja value for money dapat dibagi menjadi dua, yaitu :petama
Indikator alokasi biaya (ekonomi dan efisiensi) dan Indikator kualitas pelayanan
(efektivitas)”. “Indikator value for money menekankan pada tiga elemen utama
yanitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas atau lebih dikenal 3E”, (Mardiasmo,
2002:4). Ekonomi berhubungan dengan biaya pengadaan (cost of inputs). Dengan
kata lain, ekonomi adalah praktek pembelian barang dan jasa input dengan tingkat
kualitas tertentu pada harga terbaik yang dimungkinkan, mencakup juga
pengelolaan secara hati-hati atau cermat dan tidak ada pemborosan. Efisiensi
menggambarkan hubungan antara masukan sumber daya dengan keluaran yang
dihasilkan. Kegiatan dikatakan efisiensi apabila output tertentu dapat dicapai
sumber daya seminimal mungkin. Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya
28
suatu organisasi mencapai tujuannnya. Efektifitas menggambarkan kontribusi
output terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
2.1.2 Anggaran
2.1.2.1 Pengertian Anggaran
Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak
dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial
(Mardiasmo, 2009). Lebih rinci lagi, Halim (2013: 22) mengartikan anggaran
yaitu rencana kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk finansial, meliputi usulan
pengeluaran yang diperkirakan untuk suatu periode waktu, serta usulan cara-cara
memenuhi pengeluaran tersebut. Dalam konteks otonomi daerah dan
desentralisasi, anggaran menduduki posisi yang penting. Proses dan metode
untuk mempersiapkan suatu anggaran disebut dengan penganggaran. Dalam
sektor publik, penganggaran merupakan tahapan yang cukup rumit dan penuh
dengan nuansa politik. Berbeda dengan sektor swasta atau bisnis, anggaran
dianggap sebagai rahasia perusahaan yang tertutup bagi publik, sedangkan pada
sektor publik anggaran dianggap sebagai alat akuntabilitas publik di dalam
mengelola dana publik dan program-program yang didanai dengan uang publik
sehingga anggaran pada sektor publik justru harus diinformasikan untuk
didiskusikan secara terbuka.
Anggaran publik merupakan kegiatan yang direpresentasikan dalam
bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam
bentuk yang paling sederhana, anggaran publik merupakan suatu dokumen yang
menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi
29
mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. (Mardiasmo, 2009) Anggaran berisi
estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan datang.
Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan
dalam beberapa periode yang akan datang. Menurut Undang-Undang (UU)
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa anggaran
adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Anggaran sebagai
instrumen kebijakan ekonomi berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai
tujuan bernegara. Anggaran dapat diinterpretasikan sebagai paket pernyataan
perkiraan dan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam
satu atau beberapa periode mendatang. Di dalam tampilannya, anggaran selalu
menyertakan data penerimaan dan pengeluaran yang terjadi di masa lalu.
Kebanyakan organisasi sektor publik melakukan pembedaan krusial antara
tambahan modal dan penerimaan, serta tambahan pendapatan dan pengeluaran.
(Indra Bastian, 2006: 163-164)
Anggaran merupakan suatu rencana yang disusun secara sistematis yang
meliputi seluruh kegiatan perusahaan dan dinyatakan dalam unit (satuan) moneter
dan berlaku untuk jangka waktu (periode) mendatang. Dari pengertian tersebut,
dapat diketahui bahwa anggaran merupakan hasil kerja (output) terutama berupa
taksiran-taksiran yang akan dilaksanakan masa mendatang. Karena anggaran
merupakan hasil kerja (output), anggaran dituangkan dalam suatu naskah tulisan
yang disusun secara teratur dan sistematis. Sementara itu, penganggaran adalah
proses kegiatan yang menghasilkan anggaran tersebut sebagai hasil kerja, serta
proses kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi- fungsi anggaran, yaitu
30
fungsi-fungsi pedoman kerja, alat pengoordinasian kerja, dan alat pengawasan
kerja(Arfan Ikhsan Lubis, 2011: 226) Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai perkiraan rencana kerja yang
berisi penerimaan dan pengeluaran yang disusun secara sistematis untuk periode
yang akan datang.
2.1.2.2 Karakteristik Anggaran
Roman L. Weil and Michael W. Maher, (2005) menyebutkan bahwa
organisasi menggunakan anggaran untuk merencanakan, mengkoordinasikan, dan
mengkomunikasikan kinerja yang dituju, maka untuk mengevaluasi dan
menghargai kinerja yang sebenarnya. Anggaran operasional adalah pernyataan
kuantitatif tujuan disetujui dan rencana tindakan manajemen untuk unit organisasi
atau kegiatan untuk jangka waktu tertentu. Daftar berikut memperluas fitur
penting dari definisi ini:
1) Kuantitatif pernyataan. Anggaran berisi informasi kuantitatif, dinyatakan
dalam metrik keuangan.
2) Disetujui tujuan dan rencana. Manajer mengusulkan dan menyetujui anggaran.
3) Tindakan manajemen. Manajer memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan
rencana yang menetapkan anggaran untuk mencapai tujuan tertentu. hal ini
biasanya mengacu pada manajer sebagai atasan atau bawahan, tergantung
pada posisi relatif mereka dalam hirarki manajemen.
4) Organisasi unit atau kegiatan. Anggaran berlaku untuk unit organisasi (atau
kelompok unit) atau kegiatan. Sementara anggaran operasional ada di hampir
semua organisasi bisnis besar, jenis lain dari organisasi, seperti pemerintah
dan organisasi nirlaba, semakin menggunakannya.
31
5) Periode waktu. Organisasi menentukan anggaran mereka untuk jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun, sering dibagi menjadi empat).
Anggaran sektor publik mempunyai karakteristik sebagai berikut: (Indra
Bastian, 2009 : 81)
1) Anggaran dinyatakan dalam satuan keuangan dan satuan selain keuangan.
2) Anggaran umumnya mencakup jangka waktu tertentu, satu atau beberapa
tahun.
3) Anggaran berisi komitmen atau kesanggupan manajemen untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan.
4) Usulan anggaran ditelaah dan disetujui oleh pihak yang berwenang lebih
tinggi dari penyusun anggaran.
5) Sekali disusun, anggaran hanya dapat diubah dalam kondisi tertentu.
2.1.2.3 Manfaat Anggaran
Marconi dan Siegel (1989: 125) mengatakan bahwa anggaran mempunyai
manfaat sebagai berikut:
1) Anggaran merupakan hasil proses perencanaan. Anggaran sebagai hasil dari
negosiasi diantara anggota-anggota dominan didalam suatu organisasi, maka
anggaran mewakili konsensus mengenai tujuan kegiatan dimasa yang akan
datang.
2) Anggaran sebagai blueprimt kegiatan perusahaan, sehingga anggaran dapat
merefleksikan prioritas alokasi sumber daya yang dimiliki perusahaan.
3) Anggaran merupakan alat komunikasi internal yang menghubungkan
departemen atau divisi dengan departemen (divisi lain) dalam organisasasi
maupun dengan top management.
32
4) Anggaran menyediakan informasi tentang hasil kegiatan yang sesungguhnya
dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan.
5) Anggaran sebagai alat pengendalian yang mengarahkan manajemen untuk
menentukan bagian organisasi yang kuat dan yang lemah. Hal ini akan dapat
mengarahkan manajemen untuk menentukan tindakan koreksi yang harus
diambil.
6) Anggaran mempengaruhi dan memotivasi manajer dan karyawan untuk
bekerja dengan konsisten, efektif dan efisien dalam kondisi kesesuaian tujuan
antara tujuan perusahaan dengan tujuan karyawan.
Ada beberapa alasan penyebab anggaran dianggap penting (Mardiasmo,
2009), yaitu:
1) Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan
sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat;
2) Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat
yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada
terbatas; dan
3) Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah
bertanggungjawab terhadap rakyat.
2.1.2.4 Fungsi Anggaran
Mardiasmo (2009) dalam Abdul Halim (2013: 50-52) mengidentifikasi
beberapa fungsi anggaran dalam manajemen sektor publik adalah sebagai berikut:
1) Alat perencanaan; Anggaran sektor publik dibuat untuk merencanakan
tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang
33
dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut.
Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk:
a. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan
misi yang ditetapkan;
b. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan
organisasi serta alternatif pembiayaannya;
c. Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah
disusun; dan
d. Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi. ) Alat
pengendalian;
2) Anggaran sebagai instrumen pengendalian digunakan untuk menghindari
adanya pengeluaran yang terlalu besar (overspending), terlalu rendah
(underspending), salah sasaran (missappropriation), atau adanya penggunaan
yang tidak semestinya (misspending). Anggaran merupakan alat untuk
mengawasi kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau
kegiatan pemerintah. Sebagai alat pengendalian manajerial, anggaran sektor
publik digunakan untuk meyakinkan bahwa pemerintah mempunyai uang
yang cukup untuk memenuhi kewajibannya. Pengendalian anggaran sektor
publik dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:
a. Membandingkan kinerja aktual dengan kinerja yang dianggarkan;
b. Menghitung selisih anggaran;
c. Menemukan penyebab yang dapat dikendalikan dan tidak dapat
dikendalikan atas suatu varians;
d. Merevisi standar biaya atau target anggaran untuk tahun berikutnya.
34
3) Alat kebijakan fiskal;
Melalui anggaran organisasi sektor publik dapat menentukan arah atas
kebijakan tertentu. Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah,
digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Melalui anggaran sektor publik dapat diketahui arah kebijakan fiskal
pemerintah, sehingga dapat dilakukan prediksi dan estimasi ekonomi.
4) Alat politik;
Pada sektor publik, anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk
komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik
untuk kepentingan tertentu. Anggaran digunakan untuk memutuskan prioritas-
prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tertentu. Anggaran tidak
sekedar masalah teknik, melainkan diperlukan keterampilan berpolitik,
membangun koalisi, keahlian bernegosiasi, dan pemahaman tentang
manajemen keuangan sektor publik yang memadai oleh para manajer publik.
Oleh karena itu, kegagalan dalam melaksanakan anggaran akan dapat
menjatuhkan kepemimpinan dan kredibilitas pemerintah.
5) Alat koordinasi dan komunikasi;
Melalui dokumen anggaran yang komprehensif, sebuah bagian atau unit kerja
atau departemen yang merupakan sub-organisasi dapat mengetahui apa yang
harus dilakukan dan apa yang akan dilakukan oleh bagian/unit kerja lainnya.
Oleh karena itu, anggaran dapat digunakan sebagai alat koordinasi dan
komunikasi antara dan seluruh bagian dalam pemerintahan.
35
6) Alat penilaian kinerja;
Kinerja eksekutif dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran, efektivitas
dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer publik dinilai
berdasarkan berapa hasil yang dicapai dikaitkan dengan anggaran yang telah
ditetapkan. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk pengendalian dan
penilaian kinerja.
7) Alat motivasi;
Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer dan
stafnya agar dapat bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam
mencapai target dan tujuan organisasi yang ditetapkan. Agar dapat
memotivasi pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging.
8) Alat menciptakan ruang publik.
Fungsi ini hanya berlaku pada organisasi sektor publik, karena pada
organisasi swasta anggaran merupakan dokumen rahasia yang tertutup untuk
publik. Masyarakat dan elemen masyarakat lainnya nonpemerintah, seperti
LSM, Perguruan Tinggi, Organisasi Keagamaan, dan organisasi masyarakat
lainnya, harus terlibat dalam proses penganggaran publik. Keterlibatan
mereka dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Keterlibatan langsung
masyarakat dalam proses penganggaran dapat dilakukan mulai dari proses
penyusunan perencanaan pembangunan maupun rencana kerja pemerintah
(daerah), sedangkan keterlibatan secara tidak langsung dapat melalui
perwakilan mereka di lembaga legislatif (DPR/DPRD).
36
2.1.2.5 Siklus Anggaran
Siklus anggaran adalah masa atau jangka waktu mulai saat
anggarandisusun sampai dengan saat perhitungan anggaran disahkan dengan
undang-undang.Menurut Mardiasmo (2004) siklus anggaran meliputi empat
tahap, yaitu:
1) Tahap Persiapan Anggaran (Budget Preparation)
Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas
dasartaksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut,
yang perludiperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran,
hendaknya terlebihdahulu dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih
akurat. Selain itu, harusdisadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika
anggaran pendapatandiestimasi pada saat bersamaan dengan pembuatan
keputusan tentang anggaranpengeluaran.
2) Tahap Ratifikasi Anggaran (budget ratification)
Pada tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan
untukmenjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala
pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif.
3) Tahap Pelaksanaan Anggaran (budget implementation)
Dalam tahap pelaksanaan anggaran ini, hal terpenting yang harusdiperhatikan
manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem informasiakuntansi dan
sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalamhal ini
bertanggung jawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai
danhandal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah
37
disepakati, danbahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran
periode berikutnya.
4) Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran
Tahap ini terkait dengan aspek akuntabilitas. Jika tahap implementasitelah
didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemenyang
baik, maka diharapkan tahap budget reporting and evaluation tidak
akanmenemui banyak masalah.
2.1.2.6 Pendekatan dalam Penyusunan Anggaran
Secara garis besar, pendekatan dalam penyusunan anggaran dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu:
1) Top down approach (bersifat dari atas-ke-bawah)
Dalam penyusunan anggaran ini, manajemen senior menetapkan anggaran
bagi tingkat yang lebih rendah sehingga pelaksana anggaran hanya
melakukan apa saja yang telah disusun. Tapi pendekatan ini jarang berhasil
karena mengarah kepada kurangnya komitmen dari sisi pembuat anggaran dan
hal ini membahayakan keberhasilan rencana anggaran.
2) Bottom up approach (bersifat dari bawah-ke-atas)
Pada bottom up approach, anggaran sepenuhnya disusun oleh bawahan dan
selanjutnya diserahkan atasan untuk mendapatkan pengesahan. Dalam
pendekatan ini, manajer tingkat yang lebih rendah berpartisipasi dalam
menentukan besarnya anggaran. Pendekatan dari bawah ke atas dapat
menciptakan komitmen untuk mencapai tujuan anggaran, tetapi apabila tidak
dikendalikan dengan hati-hati dapat menghasilkan jumlah yang sangat mudah
atau yang tidak sesuai dengan tujuan keseluruhan perusahaan.
38
3) Kombinasi top down dan bottom up
Kombinasi antara kedua pendekatan inilah yang paking efektif. Pendekatan
ini menekankan perlunya interaksi antara atasan dan bawahan secara bersama
sama menetapkan anggaran yang terbaik bagi perusahaan.
2.1.3 Penganggaran Partisipatif
2.1.3.1 Pengertian Penganggaran Partisipatif
Partisipasi dalam proses penyusunan anggaran dianggap sebagian orang
sebagai obat mujarab untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri dan
aktualisasidari para anggota organisasi. Dengankata lain, pekerja dan manajer
tingkat bawah memiliki suara dalam proses manajemen. Partisipasi secara luas
pada dasarnya merupakan prosesorganisasional, di mana para individual terlibat
dan mempunyai pengaruh dalam pembuatan keputusan yang mempunyai
pengaruh secara langsung terhadap paraindividu tersebut (Supomo dan
Indriantoro, 1998). Partisipasi adalah suatu “proses pengambilan keputusan
bersama oleh dua bagian atau lebih pihak dimana keputusan tersebut akan
memiliki dampak masa depan terhadap mereka yang membuatnya.” Arfan dan
Muhammad, (2008: 173-175)
Menurut Brownell (1982) dalam Eka Yuda (2013) partisipasi merupakan
proses dimana individu-individu terlibat langsung didalamnya dan mempunyai
pengaruh pada penyusunan target anggaran yang kinerjanya akan dievaluasi dan
kemungkinan akan dihargai atas dasar pencapaian target anggaran mereka. Jadi,
partisipasi penyusunan anggaran adalah keterlibatan pihak – pihak secara
langsung dalam proses pengambilan kebijakan penyusunan anggaran.
39
2.1.3.2 Manfaat Penganggaran Partisipatif
Manfaat dari penganggaran partisipatif menurut Arfan Ikhsan dan
Muhammad Ishak (2005: 175) adalah:
1) Partisipan menjadi terlibat secara emosi dan bukan hanya secara tugas dalam
pekerjaan mereka. Partisipasi dapat meningkatkan moral dan mendorong
inisiatif yang lebih besar pada semua tingkatan manajemen.
2) Partisipasi juga berarti meningkatkan rasa kesatuan kelompok, yang pada
gilirannya cenderung meningkatkan kerja sama antar- anggota kelompok
dalam penetapan tujuan. Tujuan organisasi yang dibantu penetapannya oleh
orang-orang tersebut, kemudian akan dipandang sebagai tujuan yang selaras
dengan tujuan pribadi mereka.
3) Partisipasi berarti juga berkaitan dengan penurunan tekanan dan kegelisahan
yang berkaitan dengan anggaran. Hal ini disebabkan orang yang berpartisipasi
dalam penetapan tujuan mengetahui bahwa tujuan tersebut wajar dan dapat
dicapai.
4) Partisipasi juga dapat menurunkan ketidakadilan yang dipandang ada dalam
alokasi sumber daya organisasi antara subunit organisasi, serta reaksi negatif
yang dihasilkan dari persepsi semacam itu. Manajer yang terlibat dalam
penetapan tujuan akan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai
penyebab sumber daya dialokasikan dengan cara demikian.
5) Melalui proses negosiasi dan banyak diskusi anggaran yang terjadi dalam
rapat, manajer akan menyadari masalah dari rekan-rekannya di unit organisasi
lainnya dan memiliki pemahaman yang lebih baik atas saling ketergantungan
40
antar-departemen. Dengan demikian, banyak masalah potensial yang berkaitan
dengan anggaran dapat dihindari.
2.1.3.3 Masalah Penganggaran Partisipatif
Arfan Ikhsan dan Muhammad Ishak (2005: 175) menjelaskan bahwa
penganggaran partisipatif mempunyai tiga potensi masalah, yaitu:
1) Menetapkan standar yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jika anggaran
dibuat terlalu tinggi atau ketat akan menurunkan kinerja manajer, sebaliknya
jika anggaran dibuat terlalu mudah akan menurunkan minat dan tantangan
bagi manajer sehingga berakibat terhadap penurunan kinerja manajer.
2) Membuat kelonggaran dalam anggaran (budgetary slack). Budgetary slack
muncul ketika seorang manajer dengan sengaja memperkirakan pendapatan
terlalu rendah atau memperkirakan biaya terlalu tinggi.
3) Partisipasi semu (pseudoparticipation). Pseudoparticipation terjadi pada
perusahaan yang tidak sungguh-sungguh dalam menerapkan partisipasi.
Manajer tingkat bawah terpaksa menyatakan persetujuan terhadap keputusan
yang ditetapkan oleh manajemen puncak karena perusahaan memerlukan
persetujuan mereka. Hal ini akan mengakibatkan banyak sekali permasalahan
perilaku, antara lain: meningkatnya rasa ketegangan bawahan, dan timbulnya
perpecahan antara manajemen puncak dengan bawahan, seperti rasa saling
curiga. Partisipasi semu akan terjadi kalau semakin banyak orang yang duduk
dalam komite anggaran.
41
2.1.3.4 Proses Berbagi Wewenang Anggaran
Partisipasi dikaitkan dengan proses berbagi wewenang diantara para
manajer dan pegawai. Dalam hal berbagi wewenang ini manajer tidak
mengabaikan dan melimpahkan semua kepada pegawai. Tapi pegawai hanya ikut
andil terlibat dan secara aktif ikut memberikan kontribusi (Davis & Newstrom,
1997). Sama halnya dengan penyusunan anggaran berbasis partisipasi yang
memberikan kesempatan untuk terlibat dan memiliki pengaruh pada proses
pengaturan anggaran (Chong & Chong, 2002) melalui pertukaran informasi
dengan atasan mereka (Shields & Shields, 1998).
Pendekatan bottom-up ini bersifat partisipatif karena melibatkan pegawai
tingkat bawah. Manajemen puncak dapat memulai proses anggaran dan
memberikan pedoman umum sehingga pegawai level bawah akan
mengembangkan angaran untuk unit mereka. Pegawai biasanya terdiri dari
perwakilan setiap unit atau segmen yang memberikan wawasan berharga
mengenai kegiatan atau operasi mereka. Alokasi finalisasi sumberdaya
berdasarkan pada input mereka dan oleh karena sangat penting untuk bawahan
terlibat dalam proses penetapan anggaran (Abata, 2014).
Hal tersebut didasarkan pada gagasan bahwa ketika tujuan atau standar
yang dirancang pertisipatif disepakati, maka pemimpin yang lebih rendah dan
pegawai akan mengimplementasikan tujuan atau standar yang telah ditetapkan,
dan mereka juga memiliki rasa tanggung jawab pribadi karena ikut berpartisipasi
telibat dalam persiapan anggaran (Milani, 1975). Namun, disisi lain partisipasi
akan menjadikan bawahan yang menganggap tidak ada partisipasi dalam kegiatan
pengaturan anggaran. Indivu ini merasa bahwa tidak terlibat dalam kegiatan
42
pengaturan anggaran dan diskusi terkait anggaran. Ciri khasnya adalah perasaan
bahwa pengaruhnya terhadap anggaran sangat minim atau tidak ada dan bahwa
kontribusinya pada penetapan anggaran tidak penting (Milani ,1975).
2.1.3.5 Prasyarat Penganggaran Partisipatif
Menurut Uma (2015) menjelaskan prasyarat untuk partisipasi bagi
pegawai agar efektif antara lain sebagai berikut:
1) Harus ada yang kuat dan gerakan perwakilan untuk partisipasi yang sukses.
2) Baik pegawai dan manajemen harus memiliki keyakinan yang kuat terhadap
filosofi partisipasi pegawai.
3) Harus ada perasaan dan semangat yang kuat untuk berpartisipasi dalam
bagian pegawai.
4) Harus dirumuskan tujuan yang jelas dan disepakati bersama untuk partisipasi
pegawai.
5) Pegawai harus berkonsultasi secara efektif dalam hal partisipasi.
6) Harus ada pendidikan dan pelatihan yang tepat berkaitan dengan partisipasi
pegawai untuk keberhasilan partisipasi.
7) Harus ada bentuk spesifik dan bidang atau area partisipasi.
8) Pedoman untuk pelaksanaan keputusan yang diambil harus spesifik dan harus
ada tindak lanjut yang cepat dan umpan balik untuk perbaikan.
Menurut Laurian (2003) mengansumsikan dua prasyarat partisipasi yang
biasanya dipenuhi yaitu:
1) Para peserta partisipasi menyadari masalah yang dihadapi
2) Para peserta partisipasi memiliki informasi yang cukup untuk berpartisipasi
43
Menurut Solitare (2005) telah membagi karakteristik yang menjadi
prasyarat partisipasi yang biasanya dipenuhi yaitu:
1) Harus ada komitmen untuk keterlibatan peserta dari semua pemangku
kepentingan
2) Harus menyadari peluang atau kesempatan untuk berpartisipasi
3) Harus memiliki waktu, sebagai sumber daya, untuk berkomitmen pada saat
proses partisipasi
4) Harus percaya bahwa pemangku kepentingan lainnya adil dan jujur
5) Masalah yang sedang dipertimbangkan harus menjadi salah satu masalah yang
mereka anggap sebagai masalah
Hal tersebut menunjukan partisipasi akan lebih berhasil pada situasi
tertentu dari pada situasi lainnya dan bahkan dalam situasi tertentu lainnya
partisipasi sama sekali tidak berhasil. Menurut Davis & Newstrom (1997)
menjelaskan prasyarat partisipasi sebagai berikut:
1) Waktu yang tersedia untuk berpartisipasi sebelum diperlukan tindakan. Hal
tersebut dikarenakan partisipasi hampir tidak tepat dalam situasi darurat.
2) Kemungkinan maslahat seharusnya lebih besar dari kerugiannya.
3) Bidang garapan partisipasi harus relavan dan menarik bagi para pegawai. Jika
tidak, pegawai akan memandangnya sekedar kerja sibuk.
4) Peserta atau pegawai seharusnya memiliki kemampuan, seperti kecerdasan
dan kemampuan teknis untuk berpartisipasi.
5) Peserta atau pegawai yang berpartisipasi mampu berkomunikasi timbal balik
untuk berbicara dengan bahasa orang lain agar dapat bertukar gagasan atau
pikiran.
44
6) Masing–masing pihak seharusnya tidak merasa bahwa posisinya terancam
oleh partisipasi. Jika pegawai memandang status mereka akan terpengaruh
secara negatif, maka mereka cenderung untuk tidak berpartisipasi. Jika para
manajer memandang bahwa wewenangnya terancam, maka mereka akan
cenderung menolak partisipasi.
7) Partisipasi dalam memustuskan sebuah arah tindakan dalam organisasi hanya
boleh berlangsung dalam bidang keleluasaan kerja kelompok. Diperlukan
tingkat batasan tertentu dari organisasi dalam menjaga kesatuan bagi
keseluruhan masing-masing sub unit tidak boleh mengambil keputusan yang
melanggar kebijaksanaan, perjanjian, persyaratan hukum, dan batasan yang
sejenis lainnya.
Menurut Doll dan Torkzadeh (1991) menunjukan bahwa ketika ada pihak-
pihak yang kurang memperoleh kesempatan berpartisipasi atau memiliki tingkat
partisipasi lebih rendah dari pada yang mereka inginkan sehingga terdapat
keadaan "participatively deprived" (underparticipation). Maka akan cenderung
menyebabkan frustrasi dan ketidakpuasan pada proses pengambilan keputusan
serta informasi yang tidak lengkap untuk membuat keputusan. Akibatnya,
perampasan untuk berpartisipasi tersebut dapat berdampak buruk pada kualitas
dan kinerja keputusan yang di inginkan (Clinton & Hunton, 2001). Dalam hal ini,
keputusan akhir dibuat oleh atasan tanpa keterlibatan bawahan. Ini akan mengarah
pada partisipasi semu (pseudo-participation) karena menurut persepsi bawahan
pandangan mereka belum dipertimbangkan dan tidak mempengaruhi anggaran
akhir (Kanan et.al, 2018).
45
Sebaliknya, ketika ada pihak-pihak yang jenuh karena terlalu lebih banyak
menerima partisipasi dari yang mereka inginkan sehingga terdapat keadaan
"participatively saturated” (overpaticipation). Kejenuhan dapat menurunkan
kinerja individu, karena organisasi membuat penggunaan sumber daya manusia
tidak efisien karena mengeluarkan waktu dan energi yang berlebihan pada
kegiatan pengambilan keputusan partisipatif. Selain itu, dapat berdampak negatif
pada kualitas keputusan, karena frustrasi dan ketidakpuasan proses keputusan
meningkat. Dengan demikian, tampak seolah-olah kekurangan partisipasi
mengurangi efektivitas pengambilan keputusan dan kejenuhan partisipasi
menurunkan efisiensi pengambilan keputusan di seluruh organisasi (Clinton &
Hunton, 2001).
2.1.3.6 Maslahat Penganggaran Partisipatif
Menurut Tanase (2013) partisipasi dalam penyusunan anggaran memiliki
manfaat antara lain:
1) Membantu membangun komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan.
Karena penyusunan anggaran partisipasi melibatkan bawahan atas finalisasi
pada anggaran akhir dan membentuk komunikasi vertikal (dari atasan ke
bawahan dan dari bawahan ke atasan) tujuan (Parker & Kyj, 2006).
2) Membantu menjaga pertukaran informasi yang bermanfaat. Partisipasi
anggaran membuat tujuan antara bawahan dan atasan selaras, sehingga
memastikan bahwa anggaran dianggap adil oleh semua pihak (Tanase , 2013).
3) Mempertahankan alokasi sumberdaya yang efisien. Dalam agensi teori
anggaran dipandang sebagai negosiasi antara principal dan agent (Kilfoyle &
Richardson, 2011). Negosiasi anggaran dan partisipasi bawahan dalam
46
pengembangannya merupakan langkah penting. Bawahan lebih memiliki
informasi yang lebih baik dari pada atasan mereka, impikasinya dan
sumberdaya apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Parker & Kyj, 2006;
Nouri & Parker, 1998). Sehingga proses penganggaran memungkinkan
efisiensi alokasi sumberdaya. Anggaran partisipasi memperhitungkan alokasi
sumberdaya yang dibutuhkan bawahan dan dengan melakukan hal tersebut
dapat mengurangi resiko alokasi yang tidak efisien (Goncalves, 2013 ;
Akyeletal, 2012).
4) Membantu mendapatkan anggaran yang lebih andal, akurat dan realistis.
Proses partisipasi meningkatkan aliran informasi antara atasan dan bawahan
(Goncalves, 2013). Hal ini mengarah pada pengembangan yang realistis dan
adil, dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi (Nouri & Parker, 1998).
5) Menentukan bawahan untuk mengembangkan sikap positif terhadap anggaran,
manejemen, dan entitas. Pegawai yang menerima anggaran yang tidak
menguntungkan, tetapi jika memiliki kesempatan berpartisipasi dalam
pembuatannya, menjadikan pegawai memiliki sikap yang lebih toleran
terhadap mereka yang menetapkan anggaran, dan terhadap anggaran yang
sebenarnya (Magner, 1995).
6) Memotivasi bawahan. Kebutuhan dalam pengakuan dan pengaruh yang
dirasakan bawahan dalam proses partisipasi anggaran dapat memotivasi
bawahan (Tsui, 2001).
7) Meningkatkan kepuasan pegawai di tempat kerja. Terlibat dalam proses
anggaran memberi mereka rasa prestasi, dari kepuasan, kontrol dan
keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan (Sholihin et.al, 2011;
47
Hoozee & Bruggeman, 2010). Dengan demikian kepuasan kerja dapat
meningkat.
8) Memperjelas tugas-tugas pekerjaan. Partisipasi memungkinkan atasan
mendapatkan informasi yang relavan dengan berkomunikasi dan diskusi
antara atasan dan bawahan memungkinkan mereka menjelaskan tujuan dan
metode yang digunakan (Parker & Kyj, 2006).
9) Mengurangi ambiguitas peran. Karena partisipasi telah memperjelas tugas
pekerjaan sehingga dapat mengurangkan imbiguitas peran yang menghasilkan
peningkatan kinerja individu (Parker & Kyj, 2006; Sholihin et.al, 2011).
10) Meningkatkan komitmen organisasi. Rasa tanggungjawab yang timbul pada
individu yang berpartisipasi anggaran akan menimbulkan komitmen atas
organisasi serta memotivasi diri individu untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan (Giusti et.al, 2018).
Selain itu dalam penyusunan anggran secara partisipatif dapat memiliki
dampak positif seperti berkurangnya konflik antara bawahan dengan atasan. Hal
tersebut dikarenakan dengan berpartisipasi akan membuat para bawahan
merasakan berperan dalam pembuatan keputusan, dengan demikian akan
meningkatkan sikap mereka terhadap pekerjaan serta menghasikan internalisasi
tujuan organisasi yang meningkatkan efektifitas organisasi, karena konflik
potensial tujuan individu dan tujuan organisasi dapat diminimalkan bahkan
dihilangkan (Rahayu, 1997; Lowin 1968).
Meningkatkan motivasi bawahan yang berdampak pada peningkatan
kinerja organisasi secara keseluruhan. Dengan penyusunan anggaran secara
partisipatif diharapkan kinerja para individu akan meningkat. Hal tersebut didasari
48
oleh pemikiran individu yang berpatisipasi untuk merancang tujuan atau standar,
maka akan membentuk rasa tanggung jawab pribadi karena mereka ikut serta
terlibat dalam penyusunan anggaran (Milani, 1975).
Meningkatkan moral dan menimbulkan inisiatif seluruh level manajemen.
Jika ikut serta berpartisipasi para pegawai akan lebih memahami masalah yang
mungkin akan timbul saat pelaksanaan anggaran (Rahayu, 1997). Proses
partisipasi juga memberikan kesempatan bagi bawahan untuk untuk mengajukan
pertanyaan maupun penjelasan kepada atasan untuk memperoleh pemahaman
mengenai tugas dan strategi penyelesaiannya.(Nugraha et.al, 2018; Rahayu,
1997).
2.1.3.7 Batasan Penganggaran Partisipatif
Selain memiliki maslahat partisipasi juga dapat menimbulkan kerugian
(Juechter, 1979). Menurut Tanase (2013) partisipasi dalam penyusunan anggaran
memiliki kekurangan antara lain:
1) Komunikasi dua arah antara atasan dan abwahan sulit untuk dicapai.
2) Sulit untuk menentukan bawahan dalam berpartisipasi, berkomunikasi, dan
mengungkapkan informasi.
3) Atasan dan bawahan harus memiliki sikap terbuka.
4) Partisipasi harus terjadi pada tingkat yang lebih tinggi, yang sulit untuk
dicapai.
5) Bawahan dapat mencoba untuk memanipulasi anggaran dan alokasi
sumberdaya untuk keuntungan mereka.
49
6) Dalam beberapa kasus bawahan mungkin tidak memiliki informasi yang
relavan atau pengetahuan yang diperlukan yang dapat membenarkan
partisipasi mereka.
7) Partisipasi dapat dilihat bawahan sebagai suatu tugas.
8) Peningkatan tanggung jawab dapat menjadi tekanan bagi bawahan.
9) Implementasi sistem penganggaran partisipaif melibatkan biaya.
10) Proses partisipatif membutuhkan waktu dan upaya.
Selain itu, menurut Rahayu (1997) dengan proses penyusunan anggaran
secara partisipatif memungkinkan terjadinya perilaku disfungsional seperti slack
anggaran dan kemungkinan keputusan didominasi oleh pihak yang lebih kuat.
Asimetri informasi yang terjadi antara principal dan agen yang berpartisipasi
dapat menimbulkan budgetary slack (Ardianti et.al, 2015). Hal tersebut
disebabkan penilaian bawahan berdasar tingkat dari pencapaian anggaran maka
menyebabkan mereka tidak memberikan seluruh informasi yang mereka miliki
saat proses penyusunan anggaran (Dunk, 1993) yang mendorong melakukan
senjangan anggaran (budgetary slack) untuk jenjang karir yang lebih baik dimasa
mendatang.
Selain itu jugatimbul pseudo participation (partisipasi semu) saat
berpartisipasi dalam penyusunan anggaran oleh bawahan, yang pada
kenyataannya bawahan tidak diberi kewenangan dalam menetapkan isi anggaran
(Chong, 2002). Karena biasanya bawahan memiliki informasi lebih besar
dibandingkan atasan, namun atasan atas memiliki posisi dominan dengan merasa
lebih mampu menyusun anggaran. Hal tersebut dapat menurunkan usaha bawahan
untuk mencapai tujuan organiasi (Amertadewi & Dwiranda, 2013).
50
2.1.3.8 Indikator Penaggaran Partisipatif
Menurut Milani (1975) budgetary participation memiliki enam indikator
sebagai berikut:
1) Keterlibatan dalam pengaturan dan penyusunan anggaran. Individu merasakan
keterlibatannya yang luas dalam anggaran. Individu akan merasa menciptakan
semua atau sebagian besar dari anggarannya.
2) Alasan logis yang diberikan oleh atasan dalam merevisi anggaran. Revisi
permintaan anggaran umumnya tidak akan tejadi secara sewenang-wenang
(dari sudut pandang bawahan).
3) Frekuensi diskusi terkait dengan anggaran yang ingin diusulkan.Jika sebagian
permintaan atau pendapat bawahan direvisi, atasan memiliki alasan kuat
bertanggung jawab atas laporan yang tidak disetujui.
4) Besarnya pengaruh dalam finalisasi anggaran. Bawahan merasa memiki
pengaruh pada anggaran akhir.
5) Pentingnya kontribusi dalam penyusunan anggaran. Bawahan merasa bahwa
kontribusinya terhadap anggaran itu penting.
6) Frekuensi atasan meminta pendapat saat anggaran sedang disusun. Bawahan
sering membahas anggaran dengan atasannya.
Menurut Brownell (1982) partisipasi anggaran memiliki enam indikator
sebagai berikut:
1) Sejauh mana anggaran dipengaruhi oleh keterlibatan para pekerja.
2) Alasan-alasan penolakan pihak manajer saat anggaran diproses dan sikap
percaya diri pimpinan terhadap bawahan.
3) Sejauh mana manajer memiliki pengaruh dalam anggaran akhir.
51
4) Kepentingan manajer dalam partisipasinya terhadap anggaran.
5) Mendiskusikan anggaran antara pihak manajer puncak dengan manajer pusat
pertanggung jawaban pada saat penganggaran disusun.
2.1.4 Perguruan Tinggi Badan Hukum
2.1.4.1 Pengertian Perguruan Tinggi Badan Hukum
Pasal 1 UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan
menyebutkan, yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan adalah badan
hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Penjelasan UU No.9 Tahun
2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan alinea ke 4 menyebutkan, pengaturan
badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan
tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari dari kewajiban
konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga memberatkan masyarakat
dan/atau peserta didik. Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta
dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan.
2.1.4.2 Prinisp-Prinsip Perguruan Tinggi Badan Hukum
Pasal 4 ayat (2) UU BHP menyebutkan, pengelolaan pendidikan formal
secara keseluruhan oleh Badan Hukum Pendidikan (BHP) didasarkan pada
prinsip:
1) otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan
secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun nonakademik;
2) akuntabel, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan
semua kegiatan yang dijalankan BHP kepada pemangku kepentingan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
52
3) transparan, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang
relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;
4) penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan
pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui standar nasional
pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara
berkelanjutan;
5) layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan
pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan,
terutama peserta didik;
6) akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada
calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama,
ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;
7) keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai
perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras,
etnis, dan budaya masing-masing;
8) keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidkan formal
kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola
manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan;
9) partisipasi atas tanggungjawab negara, yaitu keterlibatan pemangku
kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara.
Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan
menyebutkan, badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan
53
pendidikan formal kepada peserta didik. Pasal 3 UU No.9 Tahun 2009 Tentang
Badan Hukum Pendidikan lebih lanjut menyebutkan, badan hukum pendidikan
bertujuan memajukan pendidikan nasional dan otonomi perguruan tinggi pada
jenjang pendidikan tinggi. Pasal 1 Ayat 12 UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan
Hukum Pendidikan menyebutkan, pimpinan organ pengelola pendidikan dan
semua pejabat dibawahnya yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh pemimpin
organ pengelola pendidikan atau ditetapkan lain sesuai anggaran dasar dan/atau
anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan. Bentuk badan hukum
pendidikan, mengakibatkan perguruan tinggi memiliki hak pengaturan dalam
bidang akademik, keuangan, administrasi, personalia, dan lainnya. Otoritas ini
disertai dengan akuntabilitas yang seoptimal mungkin di mana setiap Tahunnya
pimpinan perguruan tinggi harus menyampaikan laporan pertanggung jawaban
kepada Menteri Keuangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga
dalam kepemimpinan dan pengelolaan perguruan tinggi selama satu Tahun harus
dipertanggung jawabkan oleh pengelola badan hukum pendidikan.
Badan hukum pendidikan juga menggunakan prinsip nirlaba, seperti
halnya PTN badan hukum milik negara (PTNBH). Pasal 4 UU No. 9 Tahun 2009
Tentang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan, prinsip nirlaba yang dimaksud
adalah prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba (keuntungan),
akan tetapi seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan
ditanamka kembali ke dalam badan hukum pendidikan guna meningkatkan
kapasitas dan mutu layanan pendidikan. Pengaturan organ perguruan tinggi negeri
menurut Pasal 15 Ayat (2) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum
Pendidikan menyebutkan, organ badan hukum pendidikan yang menjalankan
54
fungsi badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2)
badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri atas:
(a) organ representasi pemangku kepentingan; (b) organ representsi pendidikan;
(c) organ audit bidang nonakademik dan (d) organ pengelola pendidikan.
Kekayaan yang dimaksud dalam UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan
Hukum Pendidikan (UU BHP) Pasal 37 menyebutkan:
a. Kekayaan awal BHP, BHPPD, dan BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang
dipisahkan
b. Kekayaan BHP Penyelenggara sama dengan kekayaan yayasan, perkumpulan,
atau badan hukum lain sejenis sebelum diakui sebagai badan hukum
pendidikan
c. Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang belum diakui
sebagai badan hukum pendidikan tidak hanya menyelenggarakan kegiatan
pendidikan, wajib menetapkan bagian kekayaan yang diperuntukkan bagi
BHP Penyelenggara
d. Kekayaan dan pendapatan BHPP, BHPD, dan BHPM, dikelola secara mandiri,
transparan, dan akuntabel oleg pimpinan organ pengelola pendidikan
e. Kekayaan dan pendapatan BHP Penyelenggara dikelola secara mandiri,
transparan, dan akuntabel
f. Kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara
langsung atau tidak langsung untuk:
Kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran
Pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi
55
Peningkatan pelayanan pendidikan
Penggunaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan kekayaan dan pendapatan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sampai dengan Ayat (6) diatur dalam
anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Pasal 4 Ayat (1) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan
menyebutkan, pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan
didasarkan pada prinsip nirlaba. Yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya
tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum
pendidikan untuk meningkatkan kapsitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
Johannes Gunawan, Guru Besar Hukum Perjanjian Unpar mengatakan, “berbeda
dengan sebuah perseroan terbatas (badan hukum laba) yang membagikan sisa
hasil usaha komersial kepada para pemegang saham. Pembagian sisa hasil usaha
seperti ini tidak mungkin terjadi pada BHP karena BHP tidak didirikan atas dasar
saham sehingga di dalam BHP tidak terdapat pemegang saham.” Pasal 55 Ayat
(2) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan terkait tenaga
pendidik dan kependidikan menyebutkan, sumber daya manusia badan hukum
pendidikan dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai
badan hukum pendidikan. Sebagai tenaga pendidikan dan kependidikan PNS yang
dipekerjakan memperoleh remunerasi dari pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan remunerasi dari
badan hukum pendidikan sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar dan/atau
anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan.
56
2.1.4.3 Landasan Implementasi PTN-BH
Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro (2012) berpendapat bahwa, landasan
implementasi PTN-BH mencakup 8 (delapan) poin:
1) Manfaat perubahan,
Manfaat perubahan sistem pendidikan tinggi terjadi di berbagai negara dan
perubahan tersebut umumnya meliputi kebutuhan untuk otonomi yang lebih
luas. Perubahan tersebut tidak terjadi tanpa adanya ketegangan. Oleh karena
itu seluruh pelaku perubahan harus yakin akan nilai/hakekat/norma perubahan
tersebut, paling tidak ditinjau dari perspektif kepentingan nasional dan bukan
dari perspektif kepentingan individu. Seperti halnya di berbagai negara,
pemahaman nilai/hakekat/norma perubahan tersebut ternyata masih rancu dan
rentan terhadap penyalahgunaan.Dalam konsep Badan Hukum Milik Negara
yang telah dicanangkan, ditetapkan bahwa otonomidiberikan kepada
perguruan tinggi negeri agar dapat berperan sebagai kekuatan moral, dan hal
ini merupakan salah satu aspek penting dalam reformasi pendidikan tinggi
yang saat ini sedang dijalankan.
2) Kerangka legislatif dan peraturan,
Kerangka legislatif dan peraturan untuk sistem pendidikan tinggi yang otonom
haruslah konsisten secara internal. Perkembangan yang ada selama ini di
Indonesia, tampak nya bahwa satu aspek lebih cepat berkembang dari yang
lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya kebuntuan proses. Paling
tidak saat ini terasa bahwa pihak pemerintah belum sepenuhnya yakin akan
validitas konsep otonomi pendidikan tinggit tersebut. Karena peraturan
pemerintah tentang Badan Hukum Milik Negara sudah terbit maka perlu
57
adanya konsensus dari seluruh pimpinan politik dan badan pemerintah untuk
menyiapkan perangkat peraturan dan perundangan yang mendukung.
3) Akuntabilitas,
Akuntabilitas, untuk menjamin akuntabilitas diperlukan tiga macam
mekanisme berikut ini perwakilan dalam keanggotaan dan mekanisnie kerja
Majelis Wali Amanat; valids iindependen terhdap keluaran penguruan tinggi;
pengaturan proses audit terhadap penggunaan dana publik untuk menghasilkan
keluaran tersebut. Adanya Majelis Wali Amanat merupakan mekanisme utama
untuk memperoleh akuntabilitas terhadap publik secara luas. Dengan cara ini
komunitas dapat memberikan pandangan nya terhadap formulasi strategi
pengembangan perguruan tinggi dan di lain pihak perguruan tinggi dapa
tmemberikan umpan balik kepada komunitas. Majelis Wali Amanat
merupakan lembaga tertinggi dari perguruan tinggi dan oleh karena itu harus
me nunjukkanakuntabilitasnya.
4) Rancangan pendanaan,
Keberhasilan proses akuntabilitas kelembagaan maka perlu dukungan
pendanaan yang sesuai dengan semangat akuntabilitas yaitu pendanaan yang
bersifat block-funding, adanya kebebasan dan keluwesan dalam penggunaan
dana yang diarahkan kepada pencapaian hasil yang optimal. Dengan demikian
pendanaan yang berbasis kepada keluaran (output/outcome based funding
mechanism )menjadi penting karena adanya beberapa alas an kebijakan yang
kuat. Pada saat ini pendanaan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi negeri
terdiri atas dana rutin (DIK) yang ditujukan untuk menanggung biaya
operasional perguruan tinggi (90% untuk gaji pegawai) dan dana
58
pembangunan (DIP) yang ditujukan untuk
pembangunan/investasi/pengembangan termasuk di dalamnya tambahan biaya
operasional sebesar 15% dari DIP tersebut. Sebuah pemikiran sedang
dikembangkan untuk bagaimana dana DIK tersebut dapat diberikan dalam
bentuk block-funding, dan tidak dalam bentuk seperti yang sekarang berlaku
(itemized allocation). Penetapan besarannya menggunakan suatu formula dan
kewenangan penggunaan sepenuhnya ada pada pimpinan institusi.
5) Formula pendanaan,
Besarnya pendanaan dari pemerintah memerlukan suatu formula yang dapat
diterapkan di semua perguruan tinggi, berlaku secara nasional. Besaran yang
perlu ditetapkan formulanya utamanya adalah pendanaan yang langsung untuk
kegiatan pendidikan (R1 dan R2). Untuk menetapkan besaran komponen R1,
tingkatan pendanaan harus dapat ditetapkan dan diterima di tingkat nasional,
dan menggunakan satuan biaya pendidikan yang saat ini berlaku. Besaran
tersebut kemudian didefinisikan sebagai kemampuan pemerintah untuk
mendanai pendidikan mahasiswa di perguruan tinggi. Besaran tersebut
diasumsikan cukup untuk mendanai berbagai kegiatan penyelenggaraan
pendidikan tinggi di perguruantinggi.
6) Pengawasan,
Bagi institusi yang memperoleh otonomi finansial, fungsi pengawasan
menjadi sangat penting dan konsep pengawasannya sangat berbeda dengan
pengawasan yang selama ini dikenal di instansi pemerintah. Pengawasan
tersebut akan diarahkan kepada pemenuhan kewajiban sesuai dengan
peruntukan block-funding, apakah telah sesuai dengan tujuan pendanaan
59
tersebut. Termasuk dalam pengawasan ini adalah pengawasan terhadap
tindakan korupsi dan penyalahgunaan dana pemerintah untuk sektor yang
seharusnya tidak disubsidi. Dengan demikian pengawasan dilakukan tidak
hanya terhadap perolehan dana dari pemerintah akan tetapi juga terhadap dana
yang diperoleh dan sumber lainnya secara komprehensif. Pola pengawasan
semacam ini sudah normal dilakukan untuk institusi yang otonomi secara
finansial. Untuk keperluan tersebut di atas, perlu ditetapkan adanya pengawas
eksternal yang mampumelakukan post-hoc auditing. Hasil pengawasan oleh
pengawas eksternal tersebut kemudian dijadikan dokumen publik.
7) Transisi,
Transisi, untuk menjembatani antara kondisi saatini (sebagai PTN) sampai
dengan saat sudah menjadi BHMN sepenuhnya, perlu adanya pola transisi
yang sesuai sehingga tidak terjadi stagnasi proses pendidikan di perguruan
tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah yang terbit untukke 4 PTN (UI, UGM,
ITB, IPB) dinyatakan bahwa masa peralihan untuk masalah kepegawaian (dari
semula PNS menjadi non-PNS) adalah selama 10 tahun. Untuk masa transisi
ini diperlukan pola pendanaan yang tepat karena masih tercampur antara
pegawai yang PNS dan non-PNS serta pendanaan berbasis block-funding
sudah harus dimulai
8) Kesiapan perguruan tinggi.
Kesiapan perguruan tinggi, sebelum perguruan tinggi siap melakukan proses
otonomi sebagai BHMN, maka paling tidak terdapat tujuh butir yang harus
dipersiapkan oleh perguruan tinggi sampai kepada tingkat sistem dan
operasionalnya: mahasiswa, matakuliah, manajemen, sumber daya manusia,
60
keuangan, perolehan pendapatan, dan administrasi yang
professional.Perguruan tinggi umumnya telah siap dengan sistem dan
operasional untuk ke dua butir teratas, yaitu sistem untuk mahasiswa
(misalnya pendaftanan, pendataan, pemantauan, hasil ujian, profil mahasiswa,
data alumni dll.) dan sistem untuk matakuliah (misalnya isi kurikulum,
tatacara dan modus penyajian, matakuliah yang terkait, dosen yang relevan,
pencatatan dan pendataan matakuliah, hasil pembelajaran yang diharapkan,
tuntutan mahasiswa, tingkat keberhasilan mahasiswa, dll). Kelima butir
lainnya perlu dipersiapkan baik secara khusus oleh perguruan tinggi maupun
bersama dengan pemerintah pusat (Ditjen Dikti dan instansi terkait lainnya).
Persiapan terhadap ke lima butir dimaksud hendaknya menjadi prioritas utama
demi terlaksananya proses perubahan menjadi PTN-BH.
2.1.4.4 Tujuan Badan Hukum Pendidikan
Adapun otonomi atau dalam istilah lain PTN-BH yang terjadi, pada
dasarnya telah menjadi cita-cita/ tujuan dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia
sebagaimana yang termaktub dalam UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS
pasal 24 yang juga menjadi dasar dari lahirnya UU PT:
1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar
akademik serta otonomi keilmuan.
2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelole sendiri lembaganya
sebagai pusat penyelengaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan
pengabdian kepada masyarakat.
61
3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang
pengelolaanya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas (Surachman,
2016).
2.1.4.5 Kunggulan Badan Hukum Pendidikan
Dengan diterbitkannya PP 58/2013 tentang Bentuk dan Mekanisme
Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), perguruan tinggi
negeri yang berbadan hukum dapat menggunakan pendanaan yang bersumber dari
masyarakat, biaya pendidikan, pengelolaan dana abadi dan usaha-usaha PTN-BH,
kerja sama Tridharma atau dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang diberikan
oleh Pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk kepentingan pengembangan
pendidikan tinggi (Menristekdikti, 2014). Keterbukaan dan kemampuan
menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku
kepentingan (Poengky, 2008).
2.1.4.6 Kekurangan Badan Hukum Pendidikan
Dengan perubahan bentuk menjadi badan hukum, maka dalam kondisi
yang paling buruk dapat terjadi 2 kemungkinan yaitu : perguruan tinggi menjadi
bangkrut secara teknis dan jika demikian perlu ditetapkan bagaimana
penanganannya, atau perguruan tinggi menjadi unit komersial yang menyimpang
dari tugasnya dalam bidang pendidikan dan penelitian serta pengabdian pada
masyarakat (Brodjonegoro, 2012). Potensi konflik akibat beralihnya yayasan
perguruan tinggi ke badan hukum pendidikan, komersialisasi biaya masuk
perguruan, sampai melambungnya biaya pendidikan di universitas setelah status
beroperasinya perguruan tinggi berbadan hukum berjalan seolah adem ayem
seiring perjalanan waktu. Hingga kini, belum jelas bentuk perguruan tinggi yang
62
ideal, betapapun pemerintah telah melegalisasi badan hukum pendidikan melalui
UU Sisdiknas (Tung, 2015). Biaya semakin mahal sehingga mengakibatkan
rakyat-rakyat kecil mengalami kesulitan untuk meneruskan pendidikan di
perguruan tinggi, padahal kalau ditinjau sesuai dengan tujuan negara sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan UUD pemerintah Indonesia berkewajiban
mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan(Soegito dkk, 2015: 162).
2.2 Penelitian Terdahulu
Anggaran yang telah disusun memiliki peranan sebagai perencanaan dan
sebagai kriteria kinerja, yaitu anggaran dipakai sebagai suatu sistem pengendalian
untuk mengukur kinerja manajer. Untuk mencegah dampak fungsional atau
disfungsionalnya, sikap dan perilaku anggota organisasi dalam penyusunan
anggaran, perlu melibatkan manajemen pada level yang lebih rendah sehingga
anggaran partisipatif dapat dinilai sebagai pendekatan manajerial yang dapat
meningkatkan kinerja setiap anggota organisasi ( Bambang Sardjito dan Osmad
Muthaher, 2007). Pengertian partisipasi dalam proses penyusunan anggaran lebih
rinci dijelaskan oleh French et al, (1960) dalam Krisler Bornadi Omposunggu
dan Icuk Rangga Bawono (2006) sebagai suatu proses kerjasama dalam
pembuatan keputusan yang melibatkan dua kelompok atau lebih yang
berpengaruh pada pembuatan keputusan di masa yang akan datang. Disini
partisipasi merupakan salah satu unsur yang sangat penting yang menekankan
pada proses kerjasama dari berbagai pihak, baik bawahan maupun manajer level
atas. Dengan kata lain bahwa anggaran yang disusun tidak semata-mata
63
ditentukan oleh atasan saja, melainkan juga keterlibatan atau keikutsertaan
bawahan, karena para pekerja atau manajer tingkat bawah merupakan bagian
organisasi yang memiliki hak suara untuk memilih tindakan secara benar dalam
proses manajemen.
Sebagian besar studi menunjukkan bahwa partisipasi anggaran lebih
banyak membawa manfaat pada organisasi. Beberapa manfaat partisipasi dalam
proses penyusunan anggaran antara lain (Siegel dan Marconi, 1989) dalam
Krisler Bornadi Omposunggu dan Icuk Rangga Bawono (2006) :
1) Seseorang yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran tidak saja task
involved melainkan juga ego involved dalam kerjasama.
2) Keterlibatan seseorang akan meningkatkan rasa kebersamaan dalam
kelompok, karena dapat meningkatkan kerjasama antara anggota kelompok di
dalam penetapan sasaran, serta dapat mengurangi rasa tertekan.
3) Keterlibatan seseorang akan mengurangi rasa keperbedaan di dalam
mengalokasikan sumber daya di antara unit-unit yang ada di organisasi.
Bukti empiris yang dijelaskan oleh Govindarajan (1986) menunjukkan
bahwa partisipasi anggaran secara khusus memberi manfaat bagi operasi pusat
pertanggungjawaban ketika organisasi dihadapkan pada ketidakpastian
lingkungan. Diikutsertakannya manajer pusat pertanggungjawaban dalam proses
penyusunan anggaran merupakan bagian terpenting, karena mereka yang paling
mengetahui informasi tentang variabel yang dapat mempengaruhi pendapatan dan
biaya. Disamping manfaat yang melekat pada partisipasi, tentu saja ada
keterbatasannya (Supriono, 2006) menemukan bahwa bilamana terdapat
kecacatan dalam penentuan tujuan (goal setting), maka partisipasi dapat merusak
64
motivasi pegawai dan menurunkan usaha pencapaian tujuan organisasi. Beberapa
studi menunjukkan bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan menunjukkan
bahwa tidak selamanya partisipasi dapat berhasil. Berbagai faktor yang dapat
menentukan ketidakberhasilan tergantung pada kedalaman, scope, dan bobot
partisipasi. Kedalaman partisipasi disini ditunjukkan oleh siapa yang seharusnya
berpartisipasi. Sedangkan scope partisipasi ditunjukkan oleh variabilitas
keputusan, sementara bobot partisipasi ditunjukkan oleh derajat kekuatan
partisipan dalam penentuan keputusan akhir.
Proses partisipasi dalam memberikan kekuatan, jika para manajer
diberikan kesempatan untuk menentukan atau menetapkan isi anggaran mereka,
sebaliknya akan menjadi lemah ketika mereka tidak diberikan kesempatan untuk
menentukan dan menetapkan isi anggaran. Hal ini dapat menimbulkan
konsekuensi dysfungtional behavior, sebagai contoh adanya partisipasi semu
(pseudo participation), yakni tampak berpartisipasi, tetapi dalam kenyataannya
tidak. Artinya para manajer ini (sebagai bawahan) ikut berpartisipasi, tetapi tidak
diberi wewenang atau pendapat untuk menentukan dan menetapkan isi anggaran
(Chong, 2002) dalam Krisler Bornadi Omposunggu dan Icuk Rangga Bawono
(2006). Padahal para manajer bawah ini sebenarnya memiliki informasi yang
lebih baik dibandingkan yang dipunyai manajer atas. Pada sebagian besar
organisasi, para manajer di tingkat menengah kebawah ini lebih banyak memiliki
informasi yang akurat dibandingkan dengan atasannya. Sementara pada sisi lain,
manajemen tingkat atas yang lebih dominan dalam posisinya akan merasa lebih
mampu menyusun anggaran. Karena adanya perbedaan status ini memunculkan
kendala partisipasi Untuk menghilangkan atau meminimisasi terjadi perbedaan
65
persepsi pada kedua tingkatan manajer ini, serta memaksimalkan partisipasi agar
menjadi efektif, maka para manajer bawah di tingkat organisasi harus diberi
kesempatan untuk memberikan pendapat dalam proses penyusunan anggaran
dengan mengungkapkan informasi yang dimiliki terkait pekerjaan sebagai
konstribusi dalam penetapan jumlah anggaran. Hasil penelitian Yusfaningrum
(2005) menunjukkan bahwa partisipasi penyusunan anggaran dapat
meningkatkan kinerja manajerial.Sedangkan Indriantoro (1993) dalam Bambang
Sardjito dan Osmad Muthaher (2007) pada sampel di Indonesia menunjukkan
bahwa partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial.
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kajian teori dan penelitian terdahulu sebagaimana
dimaksud di atas maka kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam penelitian
ini adalah:
Implementasi Anggaran Partisipasi Perguruan Tinggi Badan Hukum
New Public Management (NPM) Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara UU
No.17/2003 Tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 Tentang Perbendaharaan
Negara dan UU No.15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
jawab Keuangan Negara, PP No.23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum
Perubahan Pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri UU No.12/2012 Tentang
Pendidikan Tinggi, PP No. 58/2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan
PTN Badan Hukum
OTONOMI
NONAKADEMI
K
OTONOMI
AKADEMIK
66
Adapun model dalam penelitian ini diadopsi dari beberapa contoh
model-model penelitian sebagai berikut :
1) Sandalgaard et.al (2011)
Studi ini meneliti mengenai hubungan antara motive of subordinate dan
budgetary participation terhadap budget goal commitment. Selain itu studi ini
menggunakan pendekatan motivation psychology theory yang dikembangkan oleh
McClelland (1961) yang dikenal sebagai big three motivation yaitu achievement,
power, dan affiliation. Pada Gambar 2.1 berikut dijelaskan model penelitian
Sandalgaard et.al (2011).
Gambar 2.2
Model Penelitian Sandalgaard et.al (2011)
Dalam penelitiannya, Sandalgaard et.al (2011) yang memiliki fokus untuk
menguji pengaruh berbagai karakteristik dari motivasi bawahan yaitu kebutuhan
Praktik Ideal Implementasi Anggaran Partisipasi Perguruan Tinggi Badan Hukumdi
Indonesia
Motive of subordinate
Need for
achievement
Need for power
Need for affiliation
Budgetary participation
Budget goal
commitment
67
akan berprestasi (need for achievement), kebutuhan akan kekuasaan (need for
power), dan kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation) secara langsung
berinteraksi dengan berpartisipasi dalam penganggaran terkait untuk
meningkatkan motivasi bawahan dalam berkomitmen terhadap tujuan anggaran.
Studi ini menunjukan pentingnya interaksi antara variabel psikoligis tingkat
pribadi misalnya motivasi, dan variable situasional misalnya patisipasi anggaran,
yang menentukan suatu tindakan misalnya berkomitmen pada tujuan anggaran.
Implikasi praktisnya adalah bahwa efektivitas yang melibatkan bawahan
dalam proses penganggaran dan penetapan target anggaran tidak hanya akan
tergantung pada situasi situasional tetapi juga pada karakteristik pribadi dari yang
terlibat. Saran dari penelitian ini untuk penelitian yang mendatang terkait dengan
sample atau lingkungan yang berbeda misalnya organisasi yang menggunakan
target kinerja relatif.
2) Subramaniam (2002)
Studi ini menyelidiki peran struktur terdesentralisasi dan kebutuhan untuk
berprestasi sebagai anteseden penganggaran partisipatif, dan dampak dari
hubungan bersamaan dari ketiga variabel sebelumnya pada komitmen organisasi.
Pada Gambar 2.2 berikut dijelaskan model penelitian Subramaniam (2002).
Gambar 2.3
Model Penelitian Subramaniam (2002)
Decentralised
structure
Need for
Achievement
Participative
budgeting
Organisational
commitment
68
Dalam penelitiannya Subramaniam (2002) menjelaskan semangkin tinggi
level desentralisasi, maka semangkin besar kebijaksanaan dalam membuat
keputusan yang memungkinkan kecenderungan dalam meningkatkan tanggung
jawab mereka secara keseluruhan. Dengan demikian bahwa dengan meningkatnya
otonomi dan rasa tanggung jawab dalam struktur yang lebih terdesentralisasi akan
lebih suka penganggaran partisipatif karena dalam penetapan anggaran
memberikan kontrol yang lebih besar dalam menetapkan target kinerja yang pada
akhirnya menjadi sasaran mereka bertanggung jawab.
Pada saat yang bersamaan, meningkatkan partisipasi dalam proses
penganggaran menjadi berguna bagi individu dengan kebutuhan akan berprestasi
yang tinggi karena partisipasi membantu mereka mendapatkan informasi yang
relevan dengan pekerjaan dan menetapkan target yang lebih menantang namun
dapat dicapai. Dengan demikian, dari sudut pandang psikologis dengan kebutuhan
yang tinggi untuk berprestasi akan memiliki kontrol yang lebih besar terhadap
lingkungan kerja mereka untuk memaksimalkan probabilitas mencapai tujuan,
sehingga partisipasi anggaran memfasilitasi pencapaian kontrol tersebut.
Hasilnya menunjukkan bahwa individu diberikan tanggung jawab yang
lebih besar dan otonomi pengambilan keputusan, mereka menjadi lebih bersedia
dan termotivasi untuk berpartisipasi dalam menetapkan target anggaran mereka,
yang pada gilirannya meningkatkan komitmen mereka untuk pekerjaan mereka
dan organisasi. Saran dari penelitian ini untuk penelitian selanjutnya yaitu dapat
menyelidiki partisipasi anggaran melalui pendekatan variabel individu lainnya
seperti locus of control dan ambiguitas, serta faktor tingkat organisasi seperti
strategi bisnis dan budaya perusahaan.
69
3) Karakoc & Ozer (2016)
Studi ini menyelidiki pengaruh partisipasi penganggaran, komitmen dan
informasi tujuan anggaran terhadap kinerja pekerjaan. Pada Gambar 2.3 berikut
dijelaskan model penelitian Karakoc & Ozer (2016).
Gambar 2.4
Model Penelitian Karakoc & Ozer (2016)
Studi ini menggunakan pendekatan goal setting theory yang menjelaskan
individu yang memiliki komitmen tinggi pada tujuan anggaran akan berupaya
untuk mendapatkan dan menggunakan informasi yang diperlukan terkait
pekerjaan mereka. Dalam penelitiannya Karakoc & Ozer (2016) menjelaskan
partisipasi anggaran juga memiliki dampak tidak langsung pada kinerja pekerjaan
melalui komitmen tujuan anggaran dan berbagi informasi. Dengan kata lain,
peningkatan partisipasi anggaran juga meningkatkan komitmen tujuan anggaran
dan berbagi informasi di antara mereka. Jika individu memiliki komitmen tujuan
anggaran yang lebih tinggi, mereka akan melakukan lebih banyak upaya untuk
mencapai tujuan anggaran yang ditentukan secara partisipatif. Saran dari
Budgetary
participation
Job performance
Budget goal
commitment
Information sharing
70
penelitian ini untuk penelitian selanjutnya yaitu menambahkan variabel lainnya
yang dapat mempengaruhi job performance.
4) Aloysius (2012)
Studi ini menyelidiki motivasi individu untuk berprestasi yang pada
umumnya dianggap memiliki dampak pada kinerja dan kepuasan mereka. Fokus
penelitian ini ditunjukan untuk menguji kebutuhan untuk berprestasi (need for
achievement) terhadap job performance yang meliputi quality of work
performance, amount of effort expended on the job, productivity on the job, speed
on the job, dan overall work performance dan terhadap job satisfaction yang
meliputi the work itself, supervision co-workers, pay, dan opportunities for
promotion on the job. .Pada Gambar 2.4 berikut dijelaskan model penelitian
Aloysius (2012).
Gambar 2.5
Model Penelitian Aloysius (2012)
Dalam penelitiannya Aloysius (2012) menjelaskan beberapa individu
memiliki tingkat motivasi intrinsik untuk berprestasi yang tinggi, sementara yang
lain memiliki tingkat yang rendah pada suatu pekerjaan yang sama. Individu yang
memiliki kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi biasanya tidak memerlukan
intensif eksternal yang mendorong mereka bekerja untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan, karena mereka sudah memiliki keinginan untuk melakukannya. Salah
Need for
Achivement Job satisfaction
Job Performance
71
satu karakteristik individu yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi
cenderung mencari tugas yang menantang dan berusaha keras untuk
menyelesaikannya sehingga berdampak pada meingkatkan kinerja pekerjaan
mereka. Oleh karena itu individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
cenderung sangat puas pada hasil pekerjaan mereka.
72
BAB III
METODOLOGI PENULISAN BUKU
3.1 Desain Penulisan Buku
Penulisan buku ini menggunakan pendekatan yang mengombinasikan
metode studi kasus dan metode survei untuk menganalisis praktik implementasi
anggaran partisipatif pada perguruan tinggi badan hukum. Studi kasus digunakan
untuk pendekatan penelitian kualitatif dan survei digunakan untuk pendekatan
penelitian kuantitatif. Beberapa peneliti menggunakan terminologi yang berbeda
untuk penelitian yang mengintegrasikan kedua pendekatan (kuantitatif dan
kualitatif). Triangulasi dalam pengertian Bryman (1992) merupakan metode
penelitian yang menggunakan lebih dari satu metode investigasi dan karenanya
mendapatkan lebih dari satu data. Metode Triangulasi Bryman (1992) tidak
dimaksudkan untuk melihat konsistensi data/hasil satu metode dengan metode
lain, tetapi bahwa data/hasil dua metode bersifat komplementer, saling
melengkapi satu dengan lainnya.
Morse (2003) menggunakan terminologi multimethod design untuk
menggambarkan integrasi atau kombinasi metode yang digunakan untuk
menjawab sub-sub pertanyaan dalam suatu penelitian, yang mana metode-metode
yang digunakan dilakukan secara simultan dan masing-masing dilakukan secara
lengkap (must be complete). Sementara itu, Moleong (2004) menyatakan bahwa
kedua pendekatan dapat dikombinasikan dalam satu proyek riset, di mana satu
pendekatan mendukung pendekatan yang lain. Kedua pendekatan bisa
digabungkan bukan dalam penelitian kuantitatif menguji kualitatif atau
73
sebaliknya, melainkan kedua pendekatan tersebut digunakan bersama dan
digunakan untuk tujuan penyusunan teori.
Desain mixed method dalam penelitian ini dilakukan melalui Melalui
penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh data primer, yaitu data yang langsung
didapat dari perguruan tinggi. Tehnik pengumpulan data untuk penelitian
lapangan ini digunakan dengan menyusun daftar pernyataan (kuesioner) yang
ditanyakan secara langsung kepada responden yang telah ditentukan dan dianggap
pakar dalam bidang tata kelola PTBH. Untuk melengkapi data primer, diperlukan
pula data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Pengumpulan
data sekunder dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan,
jurnal-jurnal, buku teks, sumber lainnya yang dianggap menunjang pembahasan
dan analisis penelitian lapangan.
Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan mengkaji
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan penelitian
ini antara lain:
1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 Tentang PNBP
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
4. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendahaaan Negara
5. Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang BHP
6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
7. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi
8. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 Tentang PTNBH
9. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 Tentang PK BLU beserta revisinya
74
10. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan
11. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme
Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
3.2 Alasan Pemilihan Setting
Penelitian tentang Implementasi Anggaran Partisipatif ini menarik karena
penulis merasakan bahwa pelaksanaan anggaran partisipatif pada perguruan tinggi
badan hukum masih banyak masalah. Dari informasi pendahuluan yang
diperoleh, yaitu dari Bagian Akuntansi dan Pelaporan Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, mengindikasikan masih banyak pelaksanaan
anggaran yang tidak sesuai dengan perencanaan, seringnya revisi dokumen
pelaksanaan anggaran, serta lemahnya daya serap anggaran. Pertimbangan lain
karena perguruan tinggi badan hukum yang mengelola sumber dana APBN yang
sangat besar, sehingga diperlukan pertanggungjawaban keuangan yang sangat
besar juga. Di satu sisi, perguruan tinggi badan hukum ini mempunyai fleksibilitas
dalam mengelola keuangannya. Dengan fleksibilitas dan tanggungjawab yang
besar tentu saja banyak kendala yang dihadapi terutama dalam hal akuntabilitas
kinerja.
Disamping itu ada keunikan lain yaitu Perguruan Tinggi Badan Hukum
memiliki unit kerja yang banyak dengan karakteristik yang berbeda, yang terdiri
dari fakultas yang mempunyai penerimaan dari dana masyarakat dan unit kerja
non fakultas yang tidak mempunyai penerimaan. Unit kerja yang banyak dengan
karakteristik yang berbeda seperti rumah sakit, hotel, wisma, pom bensin, dan
75
masih banyak lagi ini tentu saja akan membuat perguruan tinggi badan hukum
mengalami kesulitan dalam mengelola anggaran dan menilai kinerjanya.
3.3 Obyek dan Waktu
Obyek studi kasus ini dilakukan di perguruan tinggi negeri yang telah
ditetapkan oleh pemerintah sebagai satuan kerja Badan Hukum Pendidikan
(BHP). Sampai dengan penelitian ini dilaksanakan dan selesai terdapat delapan
perguruan tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai satker BHP. Nama
perguruan tinggi dan peraturan yang menetapkan dijelaskan melalui tabel di
bawah ini.
Tabel 3.1
Tempat Pengamatan
Sumber : Data Pengamatan (2018)
Waktu penelitian yaitu bulan Maret tahun 2018 s/d bulan November 2018
karena pada bulan-bulan tersebut sebagian besar proses penganggaran sedang
berlangsung.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan
teknik wawancara, kuesioner ,studi pustaka dan dokumentasi.
No Nama Universitas Penetapan PenyelenggaraAkreditasi
InstitusiProvinsi
1 Universitas Hasanuddin PP No. 53 Tahun 2015 PTN-BH-Ristekdikti A SULSEL
2 Universitas Diponegoro PP No. 52 Tahun 2015 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Tengah
3 Univeristas Padjadjaran PP No. 51 Tahun 2015 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Barat
4 Universitas Airlangga PP No. 30 Tahun 2014 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Timur
5 Universitas Sumatera Utara PP No. 16 Tahun 2014 PTN-BH-Ristekdikti B SUMUT
6 Universitas Pendidikan Indonesia PP No. 15 Tahun 2014 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Barat
7 Universitas Indonesia PP No. 68 Tahun 2013 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Barat
8 Universitas Gadjah Mada PP No. 67 Tahun 2013 PTN-BH-Ristekdikti A DIY
76
a. Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data yang diperlukan secara face to face dengan
informan yang sesuai dengan bidang penelitian. Kerlinger (2006,p.770)
menyatakan bahwa wawancara adalah situasi peran antar pribadi bersemuka
(face to face) , ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan
masalah penelitian, kepada seseorang yang diwawancarai atau responden.
Wawancara juga dilakukan secara informal guna menggali informasi
mendalam tentang kondisi dan situasi internal. Pengumpulan data melalui
pengamatan berpartisipasi dengan para informan yang dilakukan secara tidak
terstruktur dan informal dalam berbagai situasi.
b. Kuesioner
Yaitu proses pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang disusun secara
sistematis dan bersifat tertutup yaitu responden memberikan jawaban
berdasarkan pilihan jawaban yang telah disediakan (Nur Indriyanto,
1999;254). Pertanyaan yang akan diberikan pada kuesioner ini adalah
pertanyaan menyangkut fakta dan pendapat responden, sedangkan kuesioner
yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner tertutup, dimana
responden diminta menjawab berdasarkan pilihan dari sejumlah jawaban
alternatif. Keuntungan bentuk tertutup ialah mudah diselesaikan, mudah
dianalisis, dan mampu memberikan jangkauan jawaban.
c. Riset Kepustakaan
Yaitu teknik penelitian yang dilakukan dengan mempelajari dan membaca
berbagai literature yang terkait dengan pembahasan penelitian sebagai
77
landasan teori yang menuntun penelitian tetap pada jalur penelitian ilmiah,
yaitu menelaah beberapa kajian ilmiah dari buku-buku, jurnal, surat kabar, e-
book di internet dalam memperkaya khasanah kajian literature.
d. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai berupa dokumen, catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya. Metode ini digunakan
untuk mengumpulkan berbagai informasi khususnya untuk melengkapi data
yang tidak diperoleh dalam observasi dan wawancara.
Adapun dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian Implementasi
Anggaran partisipatif ini adalah :
1. Data mengenai profil Perguruan Tinggi Badan Hukum mencakup : visi,
misi, struktur organisasi, sumberdaya manusia, kondisi sarana dan
prasarana, serta gambaran perencanaan dan penganggaran.
2. Data pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi Badan Hukum khususnya
perencanaan dan penganggaran yang meliputi Rencana, rencana kinerja
(renja), Rencana Kerja Anggaran Kementrian Negara/Lembaga (RKAKL),
Standar Pelayanan Minimal (SPM), Kerangka Acuan Kerja atau Term of
Reference (TOR), Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
3.4.2 Pengolahan dan Analisis Data
Menurut Hasan (2006: 24), pengolahan data adalah suatu proses dalam
memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara
atau rumus-rumus tertentu. Pengolahan data bertujuan mengubah data mentah dari
78
hasil pengukuran menjadi data yang lebih halus sehingga memberikan arah untuk
pengkajian lebih lanjut (Sudjana, 2001: 128). Pengolahan data menurut Hasan
(2006: 24 ) meliputi kegiatan:
a. Editing
Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah terkumpul,
tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada
pencatatan dilapangan dan bersifat koreksi.
b. Coding (Pengkodean)
Coding adalah pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam
katagori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka atau
huruf yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data
yang akan dianalisis.
c. Pemberian skor atau nilai
Dalam pemberian skor digunakan skala Likert yang merupakan salah satu cara
untuk menentukan skor. Kriteria penilaian ini digolongkan dalam lima
tingkatan dengan penilaian sebagai berikut:
Jawaban 5, diberi skor 5
Jawaban 4, diberi skor 4
Jawaban 3, diberi skor 3
Jawaban 2, diberi skor 2
Jawaban 1, diberi skor 1 (Sudjana, 2001: 106).
Analisis Data menurut Hasan ( 2006: 29) adalah memperkirakan atau
dengan menentukan besarnya pengaruh secara kuantitatif dari suatu (beberapa)
kejadian terhadap suatu (beberapa) kejadian lainnya, serta
79
memperkirakan/meramalkan kejadian lainnya. Kejadian dapat dinyatakan sebagai
perubahan nilai variabel. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh
data yang diperoleh baik melalui hasil kuesioner dan bantuan wawancara.
Pengolahan data dilakukan melalui sistem pengkodean dan penyimpanan
serta pengaksesan data agar mudah digunakan. Adapun strategi analisis data
melalui langkah sebagai berikut :
Gambar 3.1
Strategi analisis data
3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penulisan buku ini, metode pengambilan sampel yang digunakan
adalah metode nonprobability sampling. Pada teknik ini, unsur populasi yang
ditentukan menjadi sampel didasarkan pada tujuan penelitian. Teknik ini baru
dapat digunakan jika karakteristik populasinya, yang juga menjadi objek
penelitian yang dilakukan, telah diketahui. (Aritonang R., 2007, p103)
Non-probability sampling merupakan teknik penarikan sampel yang
memberi peluang /kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi
80
untuk terpilih menjadi sampel. Dimana teknik sampel yang dipilih adalah
Purposive Sampling, yaitu teknik penarikan sampel yang dilakukan untuk tujuan
tertentu saja. Seperti masalah yang akan diteliti adalah tentang implementasi
anggaran partisipatif, maka sampel yang dipilih adalah orang yang ahli atau yang
terlibat dalam penganggaran atau pengelolaan anggaran saja.
3.6 Operasional Variabel
Dalam penelitian ini penulis menganalisis variabel implementasi anggaran
partisipatif
Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel
1. Budgetary
participation
(Milani,
1975)
1. Keterlibatan dalam
penyusunan anggaran
2. Alasan logis yang diberikan
dalam merevisi anggaran
3. Frekuensi berdiskusi terkait
anggaran yang ingin
diusulkan
4. Pengaruh dalam finalisasi
anggaran
5. Kontribusi dalam
penyusunan anggaran
6. Frekuensi atasan meminta
pendapat saat anggaran
sedang disusun
1
2
3
4
5
6
Ordinal
3.7 Narasumber/Informan
Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui teknik wawancara
dengan narasumber/informan dan survey. Adapun narasumber yang
diwawawancarai adalah pejabat yang memahami perumusan konsep anggaran dan
pejabat yang berkompoten langsung terhadap perencanaan anggaran di
81
lingkungan kantor pusat/Universitas. Adapun informan yang menjadi target yaitu
wakil rektor II, kepala biro perencanaan, kasubag perencanaan dan kepala biro
keuangan. Pertimbangan pemilihan narasumber dan informan adalah dengan
memperhatikan kapasitas dan kompetensi masing-masing serta dengan
memperhatikan kebutuhan data dan informasi yang relevan dengan obyek dan
topik yang diteliti, yang umumnya adalah pejabat/pelaksana yang bersentuhan
langsung dalam proses penyusunan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan di
bidang penganggaran.
Sedangkan untuk pengambilan data melalui kuesioner adalah sampel dari
populasi dari semua unit kerja yang ada di lingkungan perguruan tinggi badan
hukumyaitu para pembantu dekan II, ketua/sekretaris jurusan prodi/jurusan,
kasubag keuangan dan bendahara di Unit kerja yang ada.
Tabel 3.3
Nama, Jabatan dan Asal Institusi Narasumber
No Nama Jabatan Nama Perguruan
Tinggi
1. Dr. Aristanti
Widyaningsih, S.Pd,
M.Si, Ak.
Peneliti Tata Kelola
Perguruan Tinggi
Universitas
Pendidikan
Indonesia (UPI)
Bandung
2. Ivan Yadianto, SE, M.Si,
Ak, CA, QIA.
Anggota SPI Universitas
Padjajaran Bandung
3. Dian Kusumastuti, SE,
M.Si, Ph.D.
Staf Ahli Wakil Rektor
Bidang Tata Kelola dan
Kelembagaan
Universitas
Sumatera Utara
(USU)
4. Prof. Dr. Bambang
Tjahjadi, MBA, Ak,
CMA.
Kepala Pusat Studi Tata
Kelola
Universitas
Airlangga
82
5. Prof. Dr. Unti Ludigdo,
M.Si, Ak, CA.
Dekan FISIP Universitas
Brawijaya
6. Irvan Yuliastono, SE. Kasubbag Akuntansi
dan Pelaporan
Kemenristekdikti
7. Doni Mahaputra, SE.,
M.Kom.
Bidang Perbendahaaran Direktorat Jenderal
Perbendaharaan
Kementerian
Keuangan
8. Diah Auditor Utama BPK BPK – Auditor
Satker PTBH
Sumber : Data Penelitian (2018)
Kuesioner
Pertanyaan Pengembangan
Bagaimana praktik otonomi akademik dan non akademik dapat dibandingkan
setelah menjadi perguruan tinggi badan hukum
No. Pernyataan STS TS ATS N AS S SS
1. Saya terlibat dalam pengusulan
dan penyusunan anggaran
2. Alasan yang diberikan oleh
atasan para manajer dalam
merevisi anggaran adalah logis
3. Saya sering mengajak atasan
untuk mendiskusikan anggaran
yang ingin diusulkan
4. Saya memiliki pengaruh yang
dalam penentuan anggaran final
5. Saya merasa mempunyai
kontribusi penting terhadap
anggaran
6. Saya sering dimintai pendapat
dalam penyusunan anggaran
oleh atasan
83
BAB IV
TEMUAN HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Temuan Hasil
4.1.1 Perjalanan Perubahan Status Hukum Kelembagaan Perguruan Tinggi
Pada awalnya, PTN yang ditetapkan sebagai PT BHMN berjumlah 4 pada
tahun 2000. Kemudian pada tahun 2003, USU ditetapkan sebagai PT BHMN.
Jumlahnya bertambah pada tahun 2004 yaitu dengan bergabungnya UPI. Sampai
dengan tahun 2006, perguruan tinggi negeri yang ditetapkan sebagai perguruan
tinggi badan hukum milik negara berjumlah 7:
Universitas Indonesia, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
152 Tahun 2000.
Universitas Gadjah Mada, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 153 Tahun 2000.
Institut Pertanian Bogor, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
154 Tahun 2000.
Institut Teknologi Bandung, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 155 Tahun 2000.
Universitas Sumatera Utara, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 2003.
Universitas Pendidikan Indonesia, ditetapkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004.
Universitas Airlangga, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun 2006.
84
Pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan sebagai landasan hukum BHP
berdampak kepada seluruh perguruan tinggi BHMN dikembalikan statusnya
menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Adanya masa
transisi status PT Eks-BHMN harus sudah selesai hingga tahun 2013. Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menyelesaikan masa transisi beberapa
Perguruan tinggi Eks-BHMN diantaranya:
Universitas Pendidikan Indonesia, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 43
Tahun 2012.[3]
Institut Teknologi Bandung, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun
2012.[4]
Lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi menjadi
pijakan dasar bagi Perguruan Tinggi Negeri Eks-BHMN untuk beralih status
menjadi PTN Badan Hukum. Setahun setelah UU disahkan, permasalahan status
PTN Eks-BHMN menjadi selesai dengan dikeluarkannya PP sebagai berikut:
Institut Teknologi Bandung, Bandung berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2013.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 2013.
Institut Pertanian Bogor, Kota Bogor berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 67 Tahun 2013.
Universitas Indonesia, Jakarta berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68
Tahun 2013.
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 2014.
85
Universitas Sumatera Utara, Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
16 Tahun 2014.
Universitas Airlangga, Surabaya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 2014.
Pada tahun 2015, pemerintah menambah jumlah perguruan tinggi negeri
(PTN) yang berstatus badan hukum (PTN BH) yang awalnya bersifat badan
layanan umum (BLU). Beberapa PTN BH tersebut diantaranya:
Universitas Padjadjaran, Bandung berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
51 Tahun 2015
Universitas Diponegoro, Semarang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
52 Tahun 2015
Universitas Hasanuddin, Makassar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
53 Tahun 2015
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2015
4.1.2 Keadaan Perguruan Tinggi Badan Hukum
Selanjutnya disajikan tabel mengenai perguruan tinggi badan hukum dari
aspek akreditasi institusi, jumlah dosen, jumlah mahasiswa, jumlah fakultas, lama
menjadi BHP serta daerah tempat universitas beroperasi bersumber dari forlap
ristekdikti sampai dengan 2018
NoPerguruan
Tinggi
Akreditasi
Institusi
Jumlah
Dosen
Jumlah
Mahasiswa
Jumlah
Fakultas
Lama
Menjadi BHPProvinsi
1 ITB A 1.413 11.155 12 5 Tahun Jawa barat
2 UNPAD A 1.893 31.752 16 3 Tahun Jawa barat
3 UPI A 1.239 32.782 10 4 Tahun Jawa barat
4 UI A 2.271 46.810 14 5 Tahun Jawa barat
5 IPB A 1.283 27.667 10 5 Tahun Jawa barat
6 UNAIR A 1.714 38.515 14 4 Tahun Jawa Timur
7 ITS A 984 17.850 10 3 Tahun Jawa Timur
8 UGM A 2.594 40.114 18 5 Tahun Jawa Tengah
9 UNDIP A 1.651 45.086 13 3 Tahun Jawa Tengah
9 USU A 1.568 22.912 15 4 Tahun Sumatera
10 UNHAS A 1.801 27.574 14 3 Tahun Sulawesi
86
4.2 Pembahasan
Penganggaran partisipatif 6 indikator. Hasil analisis penelitian disajikan
dalam Tabel 4.6 sebagai berikut:
Tabel 4.1
Deskripsi Variabel Budgetary Participation
No Indikator Skor
Riil
Skor
Max
Skor
Rata-
rata
%
Realisasi
%
GAP Kriteria
1
Keterlibatan dalam
penyusunan
anggaran
355 504 4,93 70,4% 29,6% Agak
Baik
2
Alasan logis yang
diberikan dalam
merevisi anggaran
388 504 5,39 77,0% 23,0% Baik
3
Frekuensi berdiskusi
terkait anggaran
yang ingin diusulkan
364 504 5,06 72,2% 27,8% Agak
Baik
4 Pengaruh dalam
finalisasi anggaran 338 504 4,69 67,1% 32,9%
Agak
Baik
5
Kontribusi dalam
penyusunan
anggaran
364 504 5,06 72,2% 27,8% Agak
Baik
6
Frekuensi atasan
meminta pendapat
saat anggaran sedang
disusun
355 504 4,93 70,4% 29,6% Agak
Baik
Skor Rata-rata 5,01 67,9% Agak Tinggi/
Agak Baik GAP 1,99 32,1%
Total seharusnya 100,0%
Sumber: Data Primer yang diolah, 2018
Data Tabel 4.2 menunjukan bahwa variabel Penganggaran partisipatif
(budgetary participation) memiliki nilai skor rata-rata sebesar 5,01 dalam kategori
agak tinggi/ agak baik. Namun demikian, masih terdapat GAP sebesar 32,1%.
Meskipun agak tinggi/ agak baik , indikator Pengaruh dalam finalisasi anggaran
merupakan indikator dengan skor terendah sebesar 4,69 dari skala 7,00. Adapun
87
hasil perhitungan tanggapan responden untuk setiap indikator pada variabel
budgetary participation sebagai berikut:
Tabel 4.3
Deskripsi Indikator Variabel Budgetary Participation
No Indikator Tanggapan Responden (%) Skor
Rata-
rata
Kriteria 1 2 3 4 5 6 7
1
Keterlibatan
dalam
penyusunan
anggaran
1,39 11,11 4,17 16,67 23,61 29,1
7
13,8
9 4,93
Agak
Baik
2
Alasan logis
yang diberikan
dalam merevisi
anggaran
0,00 1,39 0,00 23,61 12,50 58,3
3 4,17 5,39 Baik
3
Frekuensi
berdiskusi
terkait
anggaran
yang ingin
diusulkan
0,00 6,94 1,39 27,78 19,44 31,9
4
12,5
0 5,06
Agak
Baik
4
Pengaruh
dalam
finalisasi
anggaran
0,00 12,50 1,39 25,00 29,17 29,1
7 2,78 4,69
Agak
Baik
5
Kontribusi
dalam penyusunan
anggaran
1,39 2,78 2,78 20,83 29,17 40,2
8 2,78 5,06
Agak Baik
6
Frekuensi
atasan
meminta
pendapat saat
anggaran
sedang
disusun
1,39 6,94 4,17 23,61 23,61 29,1
7
11,1
1 4,93
Agak
Baik
Budgetary participation 5,01 Agak
Baik
Sumber: Data Primer yang diolah, 2018
Data pada Tabel 4.3 menunjukan. Pertama, indikator Keterlibatan dalam
penyusunan anggaran memiliki skor rata-rata sebesar 4,93 masuk kategori agak
baik, namun 33,3% pegawai merasa kurang mendapat kesempatan untuk terlibat
dalam kelompok diskusi pada proses penyusunan anggaran.
88
Kedua, indikator Alasan logis yang diberikan dalam merevisi anggaran
memiliki skor rata-rata sebesar 5,39 masuk kategori baik, namun 25% pegawai
merasa atasan belum memiliki alasan kuat bertanggung jawab atas laporan yang
tidak disetujui. Ketiga, indikator Frekuensi berdiskusi terkait anggaran yang ingin
diusulkan memiliki skor rata-rata sebesar 5.06 masuk ketegori agak baik, namun
36,1% pegawai belum mengajak atasan untuk mendiskusikan anggaran yang ingin
diusulkan secara rutin.
Keempat, indikator Pengaruh dalam finalisasi anggaran memiliki skor
rata-rata sebesar 4,69 masuk kategori agak baik, namun 38,9% pegawai merasa
belum memiliki pengaruh pada anggaran akhir. Kelima, indikator kontribusi
dalam penyusunan anggaran memiliki skor rata-rata sebesar 5.06 masuk dalam
kategori agak baik, namun 27,8% pegawai merasa bahwa kontribusinya
dikelompok diskusi anggaran yang disusun belum penting.
Keenam, indikator Frekuensi atasan meminta pendapat saat anggaran
sedang disusun memiliki skor rata-rata sebesar 4,93 masuk kategori agak baik,
namun 36,1% pegawai berpendapat bahwa atasan mereka jarang mengajak untuk
membahas terkait anggaran yang disusun.
4.2.1 Implementasi Penganggaran Partisipatif Aspek Nonakademik Pada
Perguruan Tinggi Badan Hukum
Praktik otonomi nonakademik PTNBH (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI,
dan Unair). Praktik otonomi nonakademik PTNBH pada UI dilakukan melalui
bidang pengembangan kelembagaan dengan menata desain organisasi agar dapat
mendukung proses kerja (working process). Keseluruhan unit-unit organisasi di
lingkungan UIBHMN mengembangkan dan memfasilitasi kegiatan yang telah ada
89
di setiap unit di lingkungan UI dan mendorong terciptanya ventura komersial, dan
penunjang yang sehat sebagai salah satu sumber pendapatan baru yang potensial
di lingkungan UIBHMN. Masa transisi pengalihan PNS Universitas Indonesia
(UI) dilakukan rasionalisasi dan revitalisasi staf nonakademik , pelatihan dan
pengembangan bagi jajaran manajemen dan pelaksana, perbaikan sistem
imbalan/balas jasa, percepatan jumlah Doktor dan Guru Besar, reorientasi pola
piker pada pelayanan, rekayasa ulang proses kerja, penataan dan peningkatan
kualitas prduk hukum.
UI mulai tahun 1999 menaikkan tariff biaya pendidikan mahasiswa untuk
meningkatkan pendapatan, selain juga berupaya meningkatkan daya tamping
mahasiswa. Dari tahun 1999-2007 terus terjadi kenaikan biaya pendidikan, hal ini
mengacu pada student unit cost yang seharusnya. UI juga menerapkan kebijakan
baru dengan mentapkan adanya pembayaran uang pangkal untuk mahasiswa S1
Reguler, besarnya berkisar 5 juta rupiah sampai dengan 25 juta rupiah.
Pada tahun 2007 UI melaporkan total asset yang dimiliki sebesar 938
milyar rupiah dan total kewajiban sebesar 45 milyar rupiah dengan total net 892
milyar rupiah. Dengan demikian terjadi kenaikan total net asset sebesar 21% dari
2004 ke 2005, sedangkan dari 2005 ke 2006 naik sebesar 18% dan dari 2006 ke
2007 mengalami kenaikan sebesar 19%. Net asset UI mengalami kenaikan sebesar
119 milyar di tahun 2005, 113 milyar di tahun 2006 dan, 171 milyar di tahun
2007. Untuk aktiva tetap dalam penyelesaian terjadi penurunan karena
pembangunan gedung baru untuk menunjang peningkatan pembiayaan capital
expenditures yang didapat melalui pinjaman bank.
90
Dilihat dari financial highlight di atas, tahun 2005 ke 2007 kenaikan net
asset dari operating revenue sangat bagus dari surplus sebesar 6 milyar rupiah
bisa menjadi surplus 14 milyar rupiah. UI mempunyai potensi yang cukup besar,
karena UI memiliki nilai lebih seperti nama baik, lokasi strategis di Ibu Kota
Negara, asset yang besar dan perubahan status menjadi UI BHMN. Perbandingan
data penerimaan yang bersumber dari APBN dan dari dana masyarakat. Untuk
DIPA 2006 sebesar 109.597.771.973 (14,5%) dan dana masyarakat sebesar
639.523.458.506 (85,5%). Sedangkan dana masyarakat 738.734.950.644 (85%)
Terkait dengan pengelolaan keuangan UI, pemerintah pada tahun 2010
menerbitkan PP No.66 Tahun 2010 Tentang Perubahan PP No.17 Tahun 2010
Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. UI diminta untuk
melakukan penyesuaian yaitu: (1) pengalihan status kepegawaian dan tenaga
pendidikan yang sebelumnya berstatus sebagai pegawai Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)
Menerapkan pola keungan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai dengan Peraturan
Pemerintah mengenai Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. (3)
Perguruan Tinggi BHMN yang telah memperoleh pemisahan kekayaan negara
yang ditempatkan sebagai awal Perguruan Tinggi BHMN wajib menyelesaikan
pengalihan kekayaan negara kepada Menteri.
Praktik otonomi nonakademik PTNBH pada Universitas Gadjah Mada
(UGM). Di bidang pengawasan dilakukan oleh Dewan Audit. Dalam tugasnya
memfokuskan pada pembangunan persepsi tentang pentingnya prinsip-prinsip
good university governance dan sosialisasi peran Dewan Audit yang berfungsi
bukan sekedar lembaga pembantu melainkan juga sebagai lembaga penjamin
91
kepatuhan (compliance office) di lingkungan UGM. Dewan Audit telah
menyiapkan piagam audit untuk dipergunakan sebagai pedoman dasar bagi
anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Manajemen perubahan dilakukan dengan disertai upaya untuk mereduksi
kompleksitas dalam memenuhi asas kepatuhan pelaporan keuangan. Fungsi-fungsi
keuangan ditata untuk menjamin tercapainya prinsip-prinsip transparansi dan
akuntabilitas kegiatan di UGM. Dewan Audit juga mengambil peran dalam
penyempurnaan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan serta peningkatan
kualitas laporan keuangan dalam hal lingkup kegiatan dan tingkat kepatuhan
pelaporan keuangan. Dewan Audit juga memandang perlunya perbaikan dan
penyempurnaan kegiatan penyelenggaraan PTNBH pada tahun-tahun selanjutnya
dalm hal:
1. Peningkatan kualitas hubungan kelembagaan dengan MWA. Pimpinan
Universitas, dan Satuan Audit Internal
2. Pengintegrasian audit keuangan, akademik, sumberdaya manusia, sarana-
prasarana dan energy
3. Peningkatan mekanisme pembahsan review hasil audit internal dari Dewan
Audit ke Majelis Wali Amanat
4. Diseminasi hasil audit internal dan eksternal ke unit-unit obyek pemeriksaan
(auditee) untuk keperluan tindak lanjut, dan
5. Peningkatan laporan keuangan
Dengan diberlakukannya PP No.153 Tahun 2000 Tentang Penetapan
UGM sebagai Badan Hukum Milik Negara, telah terjaadi perubahan jumlah dan
macam unit kelembagaan atau organ di tingkat universitas yang semula terdiri
92
atas Rektorat, Senat Universitas, dan Dewan Penyantun, dielaborasi menjadi
Rektorat (Pimpinan Universitas), Majelis Wali Amanat (MWA), Senat Akademik
(SA), Majelis Guru Besar (MGB) dan Dewan Audit (DA).
Pasal 16 Ayat (1) PP 153 Tahun 2000 Tentang Penetapan UGM sebagai
Badan Hukum Milik Negara menyebutkan, MGB UGM beranggotakan Guru
Besar Universitas. Arti Guru Besar Universitas ini kemudian diperjelas dengan
ketentuan Bab X Pasal 36 Ayat (1) Anggaran Rumah Tangga Universitas Gadjah
Mada yang ditetapkan dengan Keputusan Majelis Wali Amanat Universitas
Gadjah Mada Nomor 12/SK/MWA/2003 bertanggal 18 Oktober 2003, anggota
MGB terdiri atas Guru Besar Tetap, Guru Besar Emiritus, dan Guru Besar Luar
Biasa.
Pengalihan status PNS menjadi pegawai PTNBH sebagai tuntutan PTN
yang berubah bentuk menjadi PTNBH mengalami hambatan, dikarenakan belum
jelasnya status block grant bagi PTNBH. UGM saat PTNBH memasuki
PTNPKBLU pengalihan PNS menjadi pegawai PTNBH belum terlaksana, karena
ada beberapa masalah di antaranya: (a) beban anggaran gaji yang akan menjadi
tanggung jawab universitas terlalu tinggi, dan (b) tanggungan beban anggaran
pensiunnya. Oleh karena itu pegawai UGM yang berstatus PNS tetap menjadi
beban pemerintah. PNS yang ada sekarang diharapkan tetap sebagai PNS yang
dipekerjakan di UGM, dengan jumlah formasi yang tetap (zero growth) setiap
tahunnya.
Perekrutan pegawai (dosen dan nondosen) bukan PNS dilakukan
berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 726/P/SK/KP/2002, bertanggal 16
November 2002 dengan sistem penggajian mengacu Keputusan Rektor Nomor
93
376/P/SK/KP/2003 bertanggal 30 April 2003. Sebagai embrio pngangkatan
pegawai UGM BHMN telah diangkat sebanyak 42 orang dosen untuk Fakultas
Ekonomi, Fakultas Farmasi, Fakultas Isipol, dan Fakultas Kedokteran. Sedangkan
rekrutmen untuk nondosen bukan PNS sejak 2005 tidak diadakan.
Penyusun peraturan/pedoman di Direktorat SDM mengacu konsep
peraturan/pedoman tentang (a) pengangkatan pegawai UGM BHMN, (b)
employee handbook, (c) pembinaan jiwa korps dank ode etik pegawai UGM
BHMN, (d) peraturan gaji pegawai UGM BHMN, (e) pengukuran kinerja pegawai
UGM BHMN, (f) kenaikan pangkat pegawai UGM BHMN, (g) cuti pegawai
UGM BHMN, (h) pemberhentian pegawai UGM BHMN, dan (i) penyelenggaraan
program pension pegawai UGM BHMN.
Sistem akuntansi double entry telah dilakukan oleh semua unit kerja yang
melaporkan keuangan baik menggunakan aplikasi Simakun-GAMA maupun
manual sejak 2002. Penggunaan basis akuntansi berpasangan (double entry)
dicanangkan mulai 2002 sebagai bentuk penerapan Pernyataan Standar Akuntansi
(PSAK) Nomor 45. Penerapan akuntansi berpasangan dimulai dengan menyusun
daftar kode rekening (chart of account) yang mencakup kelompok rekening asset,
utang dan saldo dana (find balance) sebagai rekening nominal yang merupakan
saldo akumulasi yang disajikan dalam laporan posisi keuangan. Sedangkan kode
rekening yang mencakup penerimaan dan pengeluaran atau merupakan kelompok
rekening riil disajikan dalam laporan aktivitas dalam satu periode akuntansi.
Sesuai keputusan MWA Nomor 12/SK/MWA/2003 bertanggal 12
Desember 2003 Tentang Anggaran Rumah Tangga UGM Pasal 94 Tentang
Pengelolaan Penerimaan, maka penerimaan UGM meliputi dana yang diperoleh
94
universitas sebagai hasil kegiatan jasa layanan yang diselenggarakan dan dari
investasi yang dilakukan universitas dengan memanfaatkan sumberdaya yang
dimiliki. Laporan keuangan UGM telah mencakup pendapatan dan pengeluaran
seluruh organ di UGM yaitu (a) MWA, MGB, SAA, dan DA, (b) Pimpinan
Universitas, (c) Fakultas (S1, S2, S3, Diploma, Program Profesi, Program
Spesialis dan lain-lain), (d) Sekolah Pascasarjana, (e) Lembaga (Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Laboratorium, Penelitian dan
Pengujian Terpadu), (f) Pusat-pusat Studi dan/ atau Penelitian, (g) Unsur
Penunjang Universitas, (h) Unsur Pelaksana Administrasi, (i) Satuan Audit
Internal, (j) Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus.
Sesuai Pasal 3 PP No.153 Tahun 2000 Tentang UGM BHMN, Universitas
Gadjah Mada bersifat nirlaba, yang berbeda dengan organisasi bisnis. “Perbedaan
mendasar terletak pada cara organisasi memeroleh sumber dana yang dibutuhkan
untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Universitas Gadjah Mada sebagai
organisasi nirlaba memeroleh sumber dana dari pemerintah dan sumbangan dari
masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri di samping juga dari hasil usaha
dan tabungan. Tahun 2011perolehan dana UGM mencapai Rp718.640.981.468,32
terdiri dari Dana Masyarakat (DM) sebesar Rp81.611.737.478,32 dan subsidi
pemerintah sebesar Rp637.029.243.990,00.
Praktik otonomi nonakademik PTNBH pada Institut Pertanian Bogor
(IPB). Berdasarkan PP No.154 Tahun 2000, IPB ditetapkan sebagai perguruan
tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Penetapan IPB sebagai
PTNBH telah dijadikan momentum dalam melakukan penataan internal dari
seluruh penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pemberdaaan masyarakat,
95
manajemen, manajemen SDM, manajemen fasilitas dan property, sistem
keuangan, teknologi informasi dan pembangkitan pendapatan.
Melalui Majelis wali Amanat (MWA) IPB melakukan berbagai kegiatan
pemantapan organisasi ke dalam maupun ke luar bersama-sama segenap unsur
governance IPB. Hal ini dilakukan sejalan dengan tuntutan dari internal IPB,
selama kurun waktu 2006 baik dari sisi organisasi maupun stakeholders kesehatan
keuangan, MWA IPB menyusun (1) konsep pedoman umum pengelolaan asset
IPB, (2) pengkajian permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan asset IPB, (3)
penelaahan materi (aspek legal) khususnya terkait dengan kepentingan IPB
(PTNBH umumnya), (4) penurunan konsep kebijakan MWA sebagai solusi
lanjutan dari penyelesaian masalah atau solusi terhadap permasalahan IPB
lainnya, (5) penyempurnaan substansi dan format rencana kerja dan anggaran
tahunan (RKAT) IPB.
MWA IPB juga melakukan pemantapan organisasi berupa (1) pemantauan
cash flow berdasarkan RKAT untuk menghindari terjadinya kesulitan likuiditas,
terutama untuk menyelenggarakan pendidikan, (2) pembahasan (bersama
pimpinan institut) penyempurnaan sistem akuntansi IPB dengan mengacu pada
sistem akuntansi nasional, (3) perumusan tolak ukur dan mekanisme penilaian
kelembagaan dan organisai IPB, (4) pengkajian kelembagaan dan perubahan
organisasi IPB, (5) peningkatan jejaring kerja dengan berbagai kalangan
masyarakat dalam rangka pemberdayaan sumberdaya manusia IPB dan
penggalangan dana untuk peningkatan kesejahteraan pegawai, (6) penyelesaian
masalah pembangunan Bogor Agibusiness Centre, (7) peningkatan koordinasi
dengan organ Governance IPB yang lain terutama Senat Akademik, Dewan Audit,
96
dan Pimpina Institut dalam pengelolaan institut. Sebagai organ normative tertinggi
Senat Akademik IPB melakukan program (1) peningkatan partisipasi anggota
Senat Akademik (SA) melalui berbagai rapat, (2) melakukan tata kerja dan tata
tertib SA secara taat asas, (3) menelaah ulang semua keputusan SA sesuai dengan
perkembangan internal dan eksternal, (4) meningkatkan komunikasi internal dan
eksternal (5) mendokumentasikan semua notulen dan hasil rapat, (6) melayani
kebutuhan dan kpentingan anggota SA, (7) memelihara fasilitas organisasi (8)
memantau dan melakukan evaluasi program SA secara berskala dan terncana, (9)
melakukan rekstrukturisasi personalia komisi SA melalui proses rotasi. Dewan
Audit IPB melaksanakan program (1) pembentukan Satuan Pengawas Internal, (2)
penyusunan pedoman umum pelaksanaan tugas Dewan Audit, (3) penyusunan
pedoman sistem akuntansi BHMN IPB, (4) penyusunan neraca akhir, (5)
penyusunan pedman penilaian kinerja, (6) penyusunan penilaian pengendalian
manajemen, (7) evaluasi dan penilaian hasil audit eksternal, (8) evaluasi hasil
laporan keuangan IPB, (9) evaluasi rencana kerja, (10) evaluasi struktur organisasi
dan mekanisme kerja BHMN, (11) evaluasi kinerja IPB dan (12) evaluasi
pengendalian manajemen.
Program-program yang menjadi proiritas dan telah dilaksanakan Dewan
Audit antara lain (1) pembentukan satuan pengawas internal yang sekarang
menjadi kantor audit internal, (2) memberi masukan bagi penyusunan neraca awal
dan akhir, (3) memberi masukan bagi penyusunan sistem akuntansi, (4) evaluasi
dan panilaian hasil audit eksternal, dan (5) evaaluasi hasil laporan keuangan IPB.
Kegiatan Dewan Audit sebagian besar ditujukan untuk membantu IPB agar dapat
segera menghasilkan laporan keuangan dan diaudit oleh kantor akuntan publik.
97
Salah satu perubahan mendasar dalam era IPB BHMN adalah peningkatan
pengelolaan kepegawaian dari berbasis aturan PNs menjadi manajemen Human
Resource Development (HRD) berdasarkan budaya korporat. Engan manajemen
HRD diharapkan pengelolaan pegawai menjadi lebih komprehensif melalui
pengauran sistem perencanaan dan pengembangan SDM secara efektif dan
menyeluruh. Kewenangan untuk menentukan program dan manajemen sumber
daya manusia (SDM) merupakan otonomi yang diberikan kepada PTNBH sesuai
PP Nomor 154 Tahun 2000. Manajemen SDM mulai diterapkan untuk seluruh
pegawai PNS IPB. Hal ini dilakukan agar saat sistem BHMN secara penuh
diterapkan. SDM IPB benar-benar telah siap menjalankan visi misinya seperti
yang dicita-citakan.
Manajemen HRD di IPB meliputi seleksi masuk menjadi pegawai IPB
BHMN (recruitment), pengeloalaan dan pengembangan selama menjadi SDM
IPB serta manajemen pada saat kerja pegawai di IPB (PHK, pension dsb). Sistem
penerimaan tenaga-tenaga baru yang obyektif untuk mendapatkan SDM
berkualitas dilakukan melalui proses seleksi secara bertahap. Sistem hubungan
kerja yang mencakup perjanjian kontrak kerja yang jelas dan fair selanjutnya
dilakukan antara IPB BHMN dengan hak dan kewajiban berdasarkan budaya
korporat yang diserahkan sepenuhnya kepada IPB dengan mengacu aturan
BHMN. Di samping dalam proses penerimaan, rekrutmen juga diterapkan pada
saat pemilihan pejabat IPB.
Sistem manajemen PNS masih belum mendukung secara optimal
terciptanya kualitas PNS seperti yang dihaarapkan oleh IPB, baik dari segi
kedisiplinan maupun profesionalisme pegawai. Dengan manajemen HRD
98
diharapkan pengelolaan pegawai menjadi lebih komprehensif melalui pengaturan
sistem perencanaan dan pengembangan SDM secara efektif dan menyeluruh.
Kewenangan untuk menentukan program dan manajemen SDM tersebut adalah
salah satu otonomi yang diberikan kepada IPB sesuai PP No.154 Tahun 2000
Tentang IPB sebagai PTNBH.
IPB melakukan Merit System yaitu sistem pemberian penghargaan atas
kontribusi karyawan terhadap organisasi/institusi sehingga secara fairness dan
equity bagi seluruh pegawai di dalam sistem kerja. Penghargaan yang dimaksud
sudah terkandung pengertian reward and punishment sesuai prestasi dan
pelayanan yang dilakukan oleh seorang pegwai. Peningkatan manajemen jenjang
karir diterapkan tidak hanya untuk tenaga fungsional dosen dan pustakawan
melalui mekanisme kenaikan pangkat dan jabatan yang efektif, akan tetapi
diterapkan juga untuk pegawai teknisi/laboran dan administrasi. Modifikasi pola
fungsional menjadi pertimbangan sebagai acuan penerapan jenjang karir bagi
pegawai. Penerapan pola kerja dilakukan melalui rotasi pegawai dengan jenis
pekerjaan sejenis yang merupakan kegiatan rutin IPB dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerj, promosi karier, tour of duty, penyegaran suasana,
pembinaan SDM/unit, meminimalkan kesenjangan kecakapan pegawai antar unit
dan transfer ilmu/ keahlian sesuai bidang pekerjaan.
Penataan manajemen SDM yang masih terkait dengan merit sistem adalah
manajemen penugasan ddosen di luar IPB (sebagai pengajar, peneliti, konsultan,
tenaga ahli, dan lainnya sebagainya) yang akan dioptimalkan untuk kepentingan
IPB terutama dalam hal peningkatan kualitas profesionalisme dosen, perluasan
networking, termasuk dalam peningkatan financial secara bersama. Dalam
99
pelaksanaan merit sistem juga akan ditangani masalah peningkatan kesejahteraan
pegawai melalui pembinaan insentif berdasarkan kinerja dan peningkatan
pelayanan asuransi kecelakaan.
Sumberdaya manusia (SDM) IPB BHMN terdiri dari tenaga pendidikan
dan tenaga kependidikan masing-masing sebanyak 1.214 orang terdiri dari S1 77
orang, S2 417 orang dan S3 720 orang dan 1.642 orang terdiri dari SD 145 orang,
SMP 90 orang, SMA 882 orang, Diploma 182 orang, S1 294 orang, S2 45 orang,
dan S3 4 orang. Tahun 2011 perolehn dana IPB mencapai Rp777.082.313.600,00,
yang terdiri dari Dana Masyarakat (DM) sebesar Rp364.867.810.387,00 (SPP
Rp187.839.001.098,00 dan NonSPP Rp177.028.809.289,00), Subsidi Pemerintah
sebesar Rp412.214.503.2013,00. Asset Negara yang diinventarisasi di IPB tahun
2006 sebesar Rp 705.236.621.120,00
Dalam jangka panjang pengelolaan anggaran IPB menggunakan
perhitungan berbasis input. Besaran anggaran akan mempertimbangkan (a)
performance based block grant, baik kinerja akademik maupun manajemen
sumberdaya, (b) competitive block grant, (c) alokasi untuk rescue dan (d) alokasi
untuk menjalankan kegiatan yang dinilai sangat menunjang kepemimpinan
(leadership) IPB. Kebijakan pengelolaan keuangan akan ditempuh dengan tiga
sistem pendanaan (funding system) secara seimbang yaitu (1) pendanaan untuk
penyelenggaran dan pengembangan tridharma (operational fund) dengan dana
masyarakat (SPP, nonSPP, auxiliary enterprise, manfaat fund management dan
kerja sama), (2) pendanaan untuk penyelenggaraan ventures (enterprise fund) dan
(3) dana abadi (endowment fund).
100
Manajemen keuangan dari tiga funding system tersebut dilaksanakan
dengan manganut paradigm baru otonomi dan akuntabilitas serta asas-asas
korporasi. Dengan paradigm ini manajemen keuangan, khususnya untuk jenis
dana masyarakat disentralisasi. Unit kerja melakukan corrective action ketiga
funding system tersebut. Kantor pusat (c.q Direktorat Keuangan) IPB melakukan
fungsi akuntansi yang tersentralisasi, monitoring, evaluasi dan audit serta
mengkonsentrasi dana. Unit kerja tidak dapat menerima dana dari pihak luar.
Sesuai dengan karakternya, pengelolaan dana APBN masih dilakukan menurut
ketentuan APBN. Pengelolaan seluruh sistem pendanaan (termasuk dana
masyarakat) merujuk pada Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17/2003
dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara Nomor 1/2004.
Prakatik otonomi nonakademik PTNBH pada Institut Teknologi Bandung
(ITB). Satuan Kekayaan dan Dana ITB selanjutanya disebut SKD, merupakan
satuan pendukung yang bersifat mandiri dan bebas serta merupakan bagian
integral dari Institut Teknologi Bandung, bertindak selaku koordinator dari
satuan-satuan ITB lainnya dalam menangani pengelolaan kekayaan dan dana ITB
serta unsur lain yang dianggap perlu oleh Majelis Wali Amanat. Satuan Kekayaan
dan Dana (SKD) Institut bertanggung jawab untuk mengelola dana lestari dan
dana kekayaan intelektual untuk mendukung Satuan Akademik. Kegiatan SKD ini
lebih terfokus pada pengelolaan Dana Lestari Institut.
ITB sebagai PTNBH melakukan pengelolaan secara efektif, efesien,
transparan dan akuntabel dalam konteks PTNBH. Program perbaikan manajemen
akademik, finansial, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, serta informasi
secara bertahap terus dikembangkan untuk mewujudkan kondisi ITB yang
101
sepenuhnya auditable. Selain melakukan konsolidasi internal dengan melibatkan
pihak-pihak yang berhubungan seperti Dewan Audit, Satuan Pengawasan Internal,
dan Satuan Penjamin Mutu, ITB sejak tahun 2003 telah bekerja sama dengan
Kantor Akuntan Publik untuk mengevaluasi Laporan Tahunan ITB, khususnya
Laporan Keuangan.
Sistem akuntansi keuangan yang dilakukan ITB BHMN menganut dual
system, yaitu Akuntansi Keuangan (Financial Accounting) dan Akuntansi
Pemerintahan (Government Accounting). Hal ini dilaksanakan dikarenakan belum
adanya peraturan maupun pedoman resmi dari pemerintah mngenai kewajiban
akuntansi dan pelaporan dengan satu sistem yang dibakukan untuk perguruan
tinggi berbentuk Badan Hukum Milik Negara. Untuk tujuan pelaporan keuangan
ITB BHMN sebagai organisasi nirlaba, sejak 2003 proses akuntansi dan pelaporan
telah menggunakan Standar Akuntansi Keuangan nomor 45 sebagai prinsip
pelaporan keuangan. Laporan keuangan ITB 2011 menunjukkan tahun 2011
perolehan dana ITB mencapai Rp928.711.000.000,00, terdiri dari Dana
Masyarakat (DM) sebesar Rp568.807.000.000,00. Subsidi Pemerintah sebesar
Rp359.904.000.000,00. Asset negara yang diinventarisasi di ITB tahun 2011
sebesar Rp1.119.564.811.359,00. Kegiatan perasional bidang keuangan dijalankan
oleh Direktorat Keuangan yang berada dalam lingkup kerja Wali Rektor Senior
Bidang Sumberdaya. Fungsi Direktorat Keuangan ini adalah menjalankan
kegiatan penganggaran, perbendaharaan, monitoring dan pengendalian
implementasi anggaran, serta evaluasi kinerja keuangan ITB BHMN. Sejak tahun
2003 ITB mengaplikasikan sistem akuntansi dan keuangan berbasis akrual
102
(uccrual basis) dan menggunakan sistem akuntansi berpasangan (double entry
system).
Dalam bidang pengelolaan pegawai, ITB telah melaksanakan persiapan
untuk dapat mengalihkan status PNS menjadi pegawai ITB. Upaya yang
dilakukan antara lain (a) pendataan dan assessment kemampuan potensi semua
pegawai, (b) pengembangan program alih fungsi dan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan dan motivasi, (c) pengembangan skema pension dini
dan pemutusan hubungan kerja dengan kompensasi, (d) pengembangan sistem
manajemen SDM secara komprehensif mulai dari penerimaan, pembinaan dan
pengembangan karir, remunerasi, insentif, dan disinsentif, serta pemutusan
hubungan kerja dan pension.
Secara khusus sejak 2006 ITB telah menghilangkan status tenaga honorer,
yang sebagian besar adalah pegawai nonakademik. Tenaga honorer diubah
statusnya menjadi pegawai ITB BHMN melalui serangkaian tes saringan. Pada
bulan mei 2006 ITB tidak melanjutkan perpanjangan kontrak untuk 200 pegawai
honorer. Namun demikian penataan terus dilakukan untuk pegawai nonakademik
guna memperbaiki kualitas serta mengubah budaya PN yang sudah terlanjur
berakar. Salah satu isu penting yang dihadapi ITB adalah regenerasi dosen karena
sudah sejak 8 tahun ITB menghentikan pengangkatan dosen berstatus PNS,
walaupun pada Tahun 2006 secara sangat terbatas dibuka kembali untuk 25-30
orang berkualifikasi S3 atau hampir setara. Penerimaan mahasiswa baru secara
internal, yakni melalui program jalur khusus atau jalur mandiri yaitu melalui
Ujian Saringan Masuk (USM) ITB Terpadu yang terdiri dari 3 jalur, yakni Jalur
103
Penelusuran Minat Bakat dan Potensi (PMBP), jalur Penerimaan Fakultas Seni
dan Desain (PFSD), dan jalur Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM).
Praktik otonomi nonakademik PTNBH pada Universitas Sumatera Utara
(USU). Pada tahun anggaran 2011, USU berada dalam tahun kedelapan dengan
status PTNBH atau tahun ke dua dalam Rencana Strategi USU 2010-2014.
Berdasarkan Pasal 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No.17 Tahun 2010
Tentang Pengelolaan Dana Penyelenggaraan Pendidikan. Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 220A, Ayat (1) Pengelolaan pendidikan yang dilakukan
oleh USU masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolanya
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dana
Penyelenggaraan Pendidikan, yang dilakukan paling lama 3 tahun sebagai masa
transisi sejak peraturan pemerintah ini diundangkan.
Universitas Sumatera Utara (USU) memiliki sumber pendapatan di luar
pendapatan pendidikan, yaitu pendayagunaan asset baik melalui fomat
commercial ventures dan format academis ventures yang direfleksikan ke dalam
dua unit usaha yang bergerak sebagai revenue generating, yaitu Unit Usaha
Akademik dan Unit Penunjang yang berada di bawah Rektor. Kedua unit ini
sedang dalam taraf konsolidasi dan pemberdayaan sehingga dapat diharapkan
efektif drbagai penghasil pendapatan financial bagi USU. Beberapa asset USU
yang potensial sebagai sumber penerimaan yang saat ini menjadi objek
pemberdayaan ialah gedung serba guna, fasilitas olah raga, fasilitas angkutan,
fasilitas laboratorium, tenaga ahli/pakar dan lain-lain.
USU telah menyusun Pedoman Pengadaan Barang/Jasa dengan sumber
pendapatan dana masyarakat, dan penerimaan hibah yang tidak mengikat di
104
lingkungan USU yang disyahkan melalui surat keputusan Rektor
No.970/H5.1.R/PSS/2011, bertanggal 7 Februari 2011, juga telah mempunyai
LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Pedoman ini disusun dengan
mengacu pada peraturan perundangan tentang pengadaan barang/jasa yang
dikeluarkan pemerintah. Pada tahun 2011 sistem baru yang diatur dalam pedoman
tersebut sudah dapat dioperasikan secara penuh untuk meningkatkan efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas dalam pengadaan, pemeliharaan, dan
pengembangan asset USU ke depan. Jumlah tenaga akademik yang memiliki
potensi penelitian berjumlah 1.594 orang terdiri dari tenaga berpendidikan strata-1
sebanyak 218 orang, strata-2 sebanyak 1.043 orang, dan strata-3/guru besar
sebanyak 333 orang.
Sebagian besar dana-dana penelitian yang dilakukan oleh tenaga akademik
USU bersumber dari Skim Hibah Bersaing (SHB). Sepanjang tahun 2011, jumlah
topik-topik penelitian yang dibiayai sebesar Rp 2.942.803.000,00 terdiri dari
Hibah Bersaing (HB) sebesar Rp 907.846.000,00, Penelitian Strategis Nasional
(PSN) sebesar Rp 138.500.000,00, Hibah Fundamental (HF) sebesar
Rp78.000.000,00, Penelitian Unggul Strategis Nasional (PUSN) sebesar
Rp754.650.000,00, Hibah Kompetisi (HK) sebesar Rp180.500.000,00, RAPID
sebesar Rp295.000.000,00, Penelitian Disertasi Doktor sebesar Rp50.000.000,00
dan Dana Masyarakat LP USU Rp508.307.000,00. Untuk Insentif Penulisan Buku
Ajar sebesar Rp30.000.000,00.
Pengalokasian anggaran menurut Satuan Kerja (Satker) dalam
hubungannya dengan penetapan pimpinan satker sebagai kuasa pengguna
anggaran/kuasa pengguna barang dan penanggung jawab pencapaian
105
keluaran/output. Satker dikelompokkan menjadi (a) Satker Pusat, yaitu Pimpinan
Universitas (Rektor) yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan
mengelola anggaran; (b) Satker Vertikal/Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah
pimpinan fakultas/unit kerja
4.2.2 Implementasi Penganggaran Partisipatif Aspek Akademik Pada
Perguruan Tinggi Negeri
Otonomi perguruan tinggi seharusnya melekat pada perguruan tinggi itu.
Namun sejumlah peraturan perundang-undangan mengatur hampir segala aspek
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di negara ini perguruan tinggi swasta pun
tidak otonom. Membuka program studi harus seijin pemerintah. Berkenaan
dengan kenaikan jabatan dosen ke lektor kepala atau guru besar usul harus
disampaikan kepada pemerintah untuk diperiksa dan bila semua syarat dipenuhi,
diterbitkan surat keputusannya oleh Mendikbud.
Awal maret 2013 bahkan ada peraturan mendikbud yang mengatur
pemberian gelar doktor kehormatan (Dr HC) oleh semua perguruan tinggi di
indonesia harus dengan persetujuan Mendikbud. Ada juga jabatan guru besar
tidak tetap yang diundangkan sebagai peraturan Mendikbud No.40 Tahun 2012
Tentang Pengangkatan Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi
sejak 2012. Berdasarkan peraturan tersebut seseorang yang memiliki keahlian
dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi Profesor/Guru Besar tidak tetap
dengan demikian Mendikbud dapat mengangkat kalangan ninakademisi yang
dinilai memiliki Tacit knowledge sebagai guru besar tidak tetap
PP No. 61 Tahun 1999 itu tidak serentak memberlakukan semua PTN,
tetapi di awali dengan 4 PTN yag dianggap mampu untuk menjadi perintis
106
perubahan (moment of change) menjadi PTNBH, yaitu : Universitas Indonesia
(UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan
Institut Teknologi Bandung (ITB). Kemudian disusul 3 perguruan tinggi lagi yaitu
Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan
Universita Airlanggan(Unair). Namun dalam perjalannya berdasarkan perpres
No.43 Tahun 2012 dan Perpres No.44 Tahun 2012 , UPI dan ITB bukan lagi
sebagai PTN Badan Hukum.
UPI dan ITB sebagai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
pemerintah menegaskan bahwa semua kekayaan, mahasiswa, hak dan kewajiban
UPI dan ITB sebagai PTNBH menjadi kekayaan, mahasiswa, hak dan kewajiban
UPI dan ITB sebagai perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah. Bagi PNS
akan dialihkan menjadi PNS UPI dan PNS ITB, sementara untuk pegawai
nonPNS yang tidak dapat diangkat menjadi PNS UPI dan PNS ITB dapat diangkat
menjadi pegawai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Praktik otonomi akademik pada PTN badan hukum Universitas Indonesia.
Melalui PP No. 152 Tahun 2000, Universitas Indonesia (UI) ditetapkan sebagai
PTN mandiri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau autonomous
public university. UI mengedepankan kinerja pengelolaan sebuah universitas
publik dengan prinsip-prinsip efisien, efektif, akuntabilitas dan transparansi.
Sebagai pedoman pelaksanaan kinerja, pada tanggal 18 januari 2003 Majelis Wali
Amanat UI mengeluarkan surat penetapan No. 01/SK/MWA-UI/2003 dan
No.011/2007 tentang anggaran rumah tangga Universitas Indonesia.
Unsur pokok organisasi UI sebagai PTNBH terdiri dari (1) Majelis Wali
amanat, sebagai organ tertinggi yang mewakili kepentingan pemerintah,
107
masyarakat, dan universitas yang mempunyai tugas menetapkan kebijakan umum
universitas, mengangkat/memberhentikan pimpinan universitas, melaksanakan
fungsi pengawasan dan pengendalian umum atas pengelolaan universitas dan dan
melakukan penilaian kinerja universitas; (2) Dewan Audit sebagai organ
universitas yang berada di bawah rektor mempunyai tugas untuk dan atas nama
majelis yang secara independen melaksanakan evaluasi hasil audit internal atau
eksternal atas penyelenggaraan universitas; (3) Senat Akademik Universitas
sebagai badan normatif tertinggi universitas di bawah majelis bertanggung jawab
dalam menetapkan kebijakan umum universitas; (4) Dewan Guru Besar
merupakan organ universitas yang mempunyai anggota dari seluruh guru besar
universitas.
Pimpinan UI adalah Rektor dan Wakil Rektor yang mempunyai tugas
menjalankan fungsi pengelolaan fungsi pengelolaan universitas secara
keseluruhan dalam penyelanggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat, membina sivitas akademika, hubungan dengan alumni,
lingkungan universitas dan masyarakat. Rektor diangkat/diberhentikan oleh
Majelis Wali Amanat untuk masa jabatan 5 tahun setelah melalui proses
pemilihan rapat terbuka Majelis. Senat Akademik Fakultas merupakan badan
normatif tertinggi di tingkat fakultas yang bertugas dan bertanggung jawab dalam
menyusun kebijakan akademik tingkat fakultas, penilaian prestasi dan etika
akademik, kecakapan dan kepribadian sivitas akademika serta merumuskan norma
dan tolak ukur penyelenggaraan fakultas. Anggota Senat Fakultas diangkat untuk
masa jabatan 5 tahun dengan ketentuan dapat diangkat kembali untuk satu periode
berikutnya.
108
Sebagai badan hukum milik negara UI merupakan badan hukum nirlaba
dan mempunyai tujuan (1) mewujudkan Universitas Riset sebagai pusat unggulan
ilmu pengetahuan,teknologi,kebudayaan, dan seni; (2) menyiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang bermoral dan memiliki kempuan akademi
dan/atau profesional yang dapat menerapkan,mengembangkan dan/atau
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan kesenian;
(3) mengembangkan dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi,
kebudayaan dan seni serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional; (4)
mendukung pembangunan masyarakat demokratis dengan berperan sebagai
kekuatan moral yang mandiri; (5) mencapai keungguan kompetitif melalui
penerapan prinsip sumberdaya universitas yang dikelola dengan asas profesional.
Proses perjalanan sebagai PTNBH, Berbagai program diselenggarakan
Untuk Mengantisipasi permintaan masyarakat sesuai kebutuhan pasar kerja dan
mengoptimalkan sarana prasarana yang dimiliki untuk membuka program
nonreguler. Berdasarkan keputusan dirjen dikti nomor 28/DIKTI/Kep/2002 dalam
menimbang bagian b menyebutkan, bahwa program nonreguler di PTN dapat
membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menggunakan fasilitas belajar diluar
waktu penyelenggaraan program reguler.
UI memasuki era BHMN sejak 2002 dan telah membuka 12 program
nonreguler dari 9 fakultas yang ada. Data dari Rektorat UI menyebutkan, 9 dari 12
fakultas di UI saat ini rata-rata mengasuh satu hngga delapan program studi
ekstensi (nonreguler). DI antaran untuk Ilmu Komunikasi, Ilmu politik, Ilmu
Admistrasi dan Kriminologi pada Fisip; Manajamen dan Akuntansi pada Fakultas
109
Ekonomi; Teknik Elektro pada Fakultas Teknik; Ilmu Kepustakaan pada Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya. Fakultas yang mengelola program tersebut dalam
setahun rata-rata meneria 30-40 persen mahasiswa ekstensi dari total mahasiswa
barunya.
Praktik otonomi akademik PTNBH pada Universitas Gadjah Mada (UGM)
dalam struktur organisasinya mewadahi berbagai unsur pemangku kepentingan
(stakeholder) dan Senat Akademik yang terdiri dari Guru Besar perwakilan
Fakultas, unsur pimpinan fakultas, dan universitas. UGM melengkap diri dengan
majelis guru besar (MGB) yang merupakan organ universitas , berfungsi
melakukan pembinaan kehidupan akademik dan integritas moral serta etika dalam
lingkungan sivitas akademika Universitas Gadjah Mada. Dewan Audit merupakan
organ yang diamanatkan untuk dan atas nama Majelis Wali Amanat dalam
melaksanakan evaluasi atas penyelenggaraan universitas secara independen.
Proses perencanaan dijalankan secara partisipatif yang menggabungkan
pendekatan top down dan bottom up sehingga nilai kerakyatan yang erat dengan
demokrasi dan partisipasi dapat semakin teraktualisasi dalam praksis manajemen
universitas. Secara umum UGM telah melaksanakan mekanisme konsultasi antara
organ universitas dan telah melakukan restrukturisasi kelembagaan. Struktur
organisasi yang mengacu pada AD/ART tela ditetapkan dalam SK Rektor Nomor
259/P/SK/HT/2004 tentang organisasi dan rincian tugas kantor pimpinan
universitas, lembaga, direktorat, biro, dan unit kerja di lingkungan UGM.
Keberadaan Majelis Wali Amanat merupakan konsekuensi dari peralihan status
UGM dari PTN menjadi PTNBH bertemakan asas kemandirian dan pelibatan
unsur masyarakat dalam memberi perhatian dan memikirkan jalannya
110
penyelenggaraan universitas. Pelibatan unsur masyarakat direspons dalam
kelembagaan Majelis Wali Amanat(MWA) sebgai salah satu stakeholder bersama
dua yang lain, yaitu unsur universitas dan unsur pemerintah.
Keanggotaan MWA telah dibentuk melalui proses penjaringa,pemilihan
dan pengajuan usul peneapannya kepada menteri. Keanggotaan ditetapkan dengan
SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.38/MPN/KP/2000. Dalam
pengambilan kebijakan atas suatu masalah, Majelis Wali Amanat melakukan
pembicaraan dalam forum antar organ universitas dan dengan pihak-pihak yang
berkepentingan, seperti kelompok mahasiswa, kelompok pegawai, kelompok
pimpinan fakultas, lembaga pemerintah, swasta dan media masa. Beberapa
masalah yang memerlukan kebijakan MWA terkait dengan belum adanya
ketentuan dari menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri keuangan bagi
pengalihan sumber daya dari status PTN ke PTNBH.
Beberapa tugas yang dilakukan oleh MWA antara lain: (a) menetapkan
kebijakan umum universitas dalam bidang nonakademik; (b) mengangkat
pimpinan universitas, pimpinan senat akademik periode paro pertama dan kedua,
pimpinan dewan audit, dan pimpinan majelis guru besar; (c) mengesahkan
Renstra dan rencana kerja tahunan; (d) melakukan pengawasan dan pengendalian
umum melalui pertemuan dengan pimpinan universitas, khususnya yang
menyangkut ujian masuk UGM, dana dari universitas, penjaminan mutu,
pengembangan universitas riset, dan pencapaian taraf internasional sebagai visi
UGM; (e) menilai kinerja pimpinan universitas; (f) menyusun dan menyampaikan
laporan kepada menteri; (g) menangani penyelesaian tertinggi atas beberapa
masalah. Hal-hal yang masih harus dikerjakan oleh MWA antara lain: (a)
111
pengubahan status kepegawaian dari PNS ke pegawai UGM; (b)sistem
pengelolaan keuangan; (c) implementasi rekomendasi MWA, dan (d) pendalaman
pemahaman keadaan universitas oleh para anggota MWA agar dapat menyusun
kebijakan umum universitas yang semakin sesuai dengan keadaan, tuntutan
masyarakat, dan tantangan masa depan.
Pimpinan UGM berdasarkan pasal 17 PP No.153 tahun 2000 tentang
PTNBH, diangkat dan diberhentikan oleh majelis wali amanat. Sesuai keputusan
majelis wali amanat No. 12/SK/MWA/2003 bahwa pimpinan universitas terdiri
atas rektor, wakil rektor senior bidang akademik, wakil rektor senior bidang
administrasi dan sebanyak banyaknya 3 orang wakil rektor. Adapun tugas-tugas
pimpinan universitas sesuai SK majelis Wali Amanat sebagaimana tercantum
dalam pasal 48 adalah melaksanakan tugas-tugas yang telah diatur dalam pasal 21
peraturan pemerintah nomor153. Dalam pelaksanaan tugasnya pimpinan
universitas dipimpin oleh sekretaris eksekutif, berada dibawah dan
bertanggungjawab kepada Rektor.
Praktik otonomi akademik PTNBH pada institut Pertanian Bogor (IPB)
sebagai penyelenggara pendidikan tinggi milik negara, didirikan sejak 1
september 1963 berdasarkan keputusan menteri perguruan tinggi ilmu
pengetahuan Nomor 91 tahun 1963. Kemudian dikukuhkan dengan keputusaan
presiden nomor 279 tahun 1965, dan tahun 2000 IPB ditetapkan sebagai PTN
Badan Hukum Milik Negara yang bersifat nirlaba.
Sebagai PT Badan Hukum Milik Negara, membawa implikasi dalam
pengelolaan sumberdaya secara mandiri, sehingga kekayaan IPB merupakan
kekayaan negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan Belaja Negara,
112
mendapat anggaran pembiayaan dari pemerintah, selain juga dai masyarakat,
pihak luar negeri,hasil usaha dan tabungan IPB yang bukan merupakan dna
masyarakat atau penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Sesuai kompetensinya,
IPB menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang pertanian tropika,
menyelenggarakan kegiatan lain dan mendirikan unit usaha yang hasilnya
digunakan untuk mendukung penyelenggaraan fungsi-fungsi utamanya sebagai
perguruan tinggi BHMN.
Penetapan IPB sebagai PTNBH telah dijadikan momentum dalam
mealukan peataan internal dari seluruh penyelenggaran pendidikan tinggi di IPB,
baik menyangkut organisasi, program pendidikan, penelitian dan pemberdayaan
masyarakat, manajemen SDM, manajemen fasilitas dan properti, sistem keuangan,
teknoligi informasi dan pembangkitan pendapatan. Dewan Guru Besar (DGB) IPB
sebagai forum guru besar ditetapkan oleh MWA IPB melalui surat ketetapan
nomor 55/MWA-IB/2007, beranggotakan seluruh guru besar tetap IPB yang
bertanggungjawab atas tegaknya integritas moral dan etika seluruh sivitas
akademika dan atas kukuhnya kerjasama dilingkungan IPB. Kegiatan dewan guru
besar antara lain(1) melakukan evaluasi mutu karya ilmiah, (2) menyusun buku
daftar guru besar IPB, (3) memberi masukan untuk panduan orasi ilmiah dan
pengukuhan guru besar IPB, dan (4) menghandiri berbagai pertemuan di dalam
dan di luar IPB.
Organisasi IPB terdiri ata Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Dewan
Audit, Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Ketua Lembaga, Sekertaris
Lembaga, Direktur dan Kepala Sub-Direktorat. IPB juga mempunyai Direktur
Perpustakaan dan pimpinan unsur penunjang akademik lainnya, yaitu
113
laboratorium, bengkel, studio, pusat informasi, kebun percobaan dan unit
keamanan. IPB juga mempunyai satuan usaha komersial yang pmpinannya
diangkat dan diberhentikan oleh Rektor, serta bertanggung jawa kepada Rektor.
Sesuai kebutuhan masa transisi BHMN yang belum tuntas, IPB
menyempurnakan organisasi dengan mengubah Direktorat dan Kantor menjadi 12
Direktorat, yaitu: (1) Direktorat Administrasi Pendidikan, (2) Direktorat
Pengkajian dan Pengembangan Akademik, (3) Direktorat Kemahasiswaan, (4)
Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni, (5) Direktorat keuangan,
(6) Direktorat Sumber Daya Manusia, (7) DirektoratFasilitas dan Properti, (8)
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan, (9) Direktorat Riset da Kajian
Strategis, (10) Direktorat Kerjasama dan Program Internasional, (11) Direktorat
Bisnis dan Kemitraan, (12) Direktorat komunikasi dan Sistem Informasi, dan 6
kantor terdiri atas : (1)Sekreariat Ekskutif, (2) Kantor Audit Internal (3) Kantor
Hukum dan Organisasi, (4) Kantor Manajemen Mutu (5) Unit Keamanan
Kampus, dan (6) Unit Layanan Pengadaan.
Praktik otonomi akademik PTNBH pada Institut, Teknologi Bandung
(ITB) sebagai Badan Hukum Milik Negara berdaarkan PP Nomor 155 Tahun
2000 Tentang ITB sebagai BHMN. Semenjak itu kewenangan pengaturan dan
pengelolaan ITB dilaksanakan oleh 4 unsur utama yaitu Majelis Wali Alamat
(MWA), Senat Akademik (SA), Majelis Guru Besar (MGB) dan Rektor. ITB
merupakan institusi nirlaba berdasarkan pasal 5 PP Nomor 155 Tahun 2000
tentang ITB sebagai PTNBH, ITB merupakan lembaga pendidikan berbasis
penelitian yang memandu perkembangan dan perubahan yang dilakukan
114
masyarakat melalui kegiatan tridharma pergruan tinggi yag inovatif, bermutu,
tanggap terhadap perkembangan dan tantangan lokal maupun global.
Kegiatan institusi dilaksanakan oleh 3 satuan kerja sesuai bidang masing-
masing, yaitu: (1) Bidang Pendidikan, Penelitian dna Pengabdian kepada
Masyarakat dilaksanakan oleh satuan akademik (2) Bidang pengelolaan kekayaan
dan dana abad, kekeayaan intelektual, serta pemberian perlindungan dan
peningkatan kesejahteraan pegawai dilaksanakan oleh satuan kekayaan dan dana
(3) Bidang kegiatan yang menunjang pendanaan penyelenggaraan tridharma
perguruan tinggi dilaksanakan oleh satuan usaha komersial.
Susunan organisasi ITB memiliki 4 unsur utama yaitu : (1) Majelis Wali
Amanat, adalah organ tertinggi institut yang memiliki kepentingan pemerintah
dan masyarakat, bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan;
(2) Senat Akademik, merupakan badan normatif tertinggi institut di bidang
akademik; (3) Majelis Guru Besar, merupakan forum guru besar institut yang
beranggotakan seluruh Guru Besar ITB; (4) Rektor meupakan pimpinan Institut
Teknologi Bandung yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pendidikan di ITB.
ITB menerapkan birokrasi profesional (professional bureaucracy) yaitu
unit kegiatan akademik yang memiliki program tridharma yang terintegrasi
dengan arah pengembangan ITB. Kegiatan dan multi fungsi di ITB dikerjakan
oleh tim, sehingga ITB merupakan organisasi yang berbasi tim (team based
organization). Hirarki organisasional atau jumlah jenjang pada struktur organisasi
ITB dibuat secara proposional, rentang kendali atau span of control jumlah
jabatan yang berada di bawah suatu jabatan dibuat banyak.
115
Proses transformasi menuju perguruan tinggiriset dilakukan dengan
transformai pada tingkat budya, yaitu menuju budaya yang menjungjung tinggi
prestasi dan kemajuan. Penumbuhan budaya organisasi diharapkan mampu
menumbuhkan kesdaran insan ITB untuk terlibat dalam proses pembaharuan dan
pengembangan diri agar dapat memberikan kontribusi maksimal, baik terhadap
pengembangan profesionalisme pribadi maupun kesejahteraan ITB secara
keseluruhan.
Organisasi ITB diselenggarakan melalui pembagian peran yang dilakukan
oleh organ-organ MWA, Senat Akademik, Majelis Guru Besar, dan Rektor.
MWA adalah organ tertinggi ITB yang berfungsi menentukan kebijakan arah
pengembangan institusi serat manajemen kesehatan keuangan ITB. Senat
Akademik ITB merupakan organ yang membuat kebijakan normatif akademik.
Majelis Guru Besar adalah Organ yang memelihara sistem tata nilai ITB. Rktor
bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan tridharma dn pendukungnya
untuk mewujudkan visi dan misi ITB.
MWA adakah organ tertinggi institut yang mewakili kepentingan
pemerintah dan masyarakat, bertanggung jawab kepeda menteri. Senat Akademik
adalah badan normatif tertinggi institut di bidang akademik, sementara Majelis
Guru Besar (MGB) adalah forum Guru Besar yang mengemban tanggung jawab
atas tegaknya integritas moral dan etika profesional sivitas akademika dan atas
kukuhnya kerjasama dilingkungan institut. Rektor selaku pemimpin institut
berfungsi sebagai eksekutif dan bertanggungjawab secara keseluruhan atas
kegiatan operasional institut.
116
Praktik otonomi akademik PTNBH pada Universitas Sumatera Utara
(USU) ditetapkan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasarkan PP
No.56 Tahun 2003 Tentang USU PTNBH bersifat nirlaba. Sebagai PTN badan
hukum USU mempunyai tujuan: (1) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang bermoral, memiliki kemampuan akademik, profesi dan vokasi
yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya khasanah ilnu
pengetahuan teknologi dan/atau kesenian (2) Mengembangkan dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. USU sebagai
PTNBH dilengkapi dengan organ Majelis Wali Amanat, Dewan Audit, Senat
Akademik, dan Unsur Pimpinan terdiri dari Rektor, Pembantu Rektor, serta
Dewan Guru Besar. Senat Akademik sebagai badan normatif tertinggi dalam
bidang akademik memiliki 4 komisi yaitu: Komisi Program Akademik, Komisi
organisasi dan Tata Pamong, Komisi Penjaminan Mutu, dan Komisi Perencanaan
dan Anggaran.
Kendati USU telah berstatus PTNBH, sistem seleksi calon mahasiswa
hingga tahun akademik 2011 masih mengikuti pola lama yaitu menggunakan 8
jalur yang masing-masing adalah seleksi jalur Undangan, Bidik Misi, Ujian
Masuk Bersama (UMB), Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tnggi Negeri (SNMPTN). Penerimaan Mahasiswa
Program Diploma (SPMPD), Penerimaan Mahasiswa Program Reguler Mandiri
(PMPRM). Penerimaan Mahasiswa Program Ekstensi (PMPE), dan Penerimaan
Mahasiswa Program Pascasarjana (PMPPs).
Pengelolaan kegiatan penelitian diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP3M). LP3M membawahi Lembaga
117
Penelitian (LP) dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Di
samping itu beberapa fakultas masih dibenarkan memiliki Unit Pengembangan
Riset (UPR) dalam pelaksanaan administrasinya tetap berkoordinasi dengan
LP3M dan kegiatan penelitian di setiap UPR terekam di LP3M. Lembaga
penelitian berkewajiban membina tenaga akademik dalam hal penelitian bermutu
dan mengarahkan penelitian inovasi teknologi secara optimal serta berkelanjutan
yang berbasis industri.
Karya penelitian yang dilakukan oleh tenaga-tenaga akademik USU
sebagian besar dipublikasikan melalui media komunikasi penelitian internal yaitu
jurnal Penelitian Rekayasa MIPA dan Sosial Humaniora yang diterbitkan secara
berkala. Jumlah karya penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal ini adalah 77
buah. Di samping itu Lembaga Penelitian USU juga memiliki media komunikasi
lain yaitu sebuah majalah ilmiah yang memuat abstrak hasil-hasil penelitian yang
diterbitkan secara berkala. Karya tulis berupa buku-buku ajar yang diterbitkan
melalui USU Press dan lain-lain sepanjang tahun 2011 berjumlah 45 judul. Selain
itu masih terdapat jumal ilmiah dan majalah ilmiah yang diterbitkan oleh
fakultas/departemen dan program studi di lingkungan USU dalam tahun 2011
sebanyak 20 buah.
IKIP Bandung diubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
pada tanggal 7 oktober 1999. Untuk dapat memeroleh kemandirian, otonomi,
dan tanggung jawab yang lebih luas sebagai penyelenggara pendidikan tinggi,
melalui PP No.6 Tahun 2004 UPI diberi otonomi dan menjadi Perguruan Tinggi
Badan Hukum Milik Negara (PTNBH). Lebih lanjut dikatakan sebagai PTNBH
maka: (a) segala hak dan kewajiban, perlengkapan dan kekayaan, kecuali tanah,
118
penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk pegawai dialihkan menjadi aset dan
pegawai universitas; (b) kekayaan universitas merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (c) pengelolaan
sumberdaya menjadi mandiri; (d) untuk membiayai kegiatannya, UPI memeroleh
dana dari pemerintah, masyarakat, pihak luar negeri yang tidak mengika dan
usaha serta tabungan universitas, penerimaan universitas yang berasal dari
masyarakat bukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Organisasi UPI BHMN terdiri dari pengelola, pelaksana akademik,
pelaksana administrasi dan unsur penunjang. Pengelola terdiri dari Majelis Wali
Amanat, Dewan Audit, Senat Akademik dan Pimpinan Universitas. Pelaksana
akademik terdiri dari Fakultas, Jurusan, Program Studi, dan Lembaga. Unsur
penunjang terdiri dari perpustakaan, laboratorium, sekolah laboratorium (sekolah
percontohan), bengkel, kebun percobaan, dan pusat komputer. Susunan Majelis
Wali Amanat UPI Tahun 2010-2015 terdiri dari(a) Wakil Menteri, (b) Wakil
Senat Akademik, dan Wakil Masyarakat. Untuk unsur Pimpinan UPI terdiri dari
Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Hubungan Internasional. Pembantu
Rektor Bidang Keuangan dan Sumberdaya dan Usaha, serta Pembantu Rektor
Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan.
UPI menyelenggarakan 7 fakultas dan 5 kampus daerah, yaitu Fakultas
Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS),
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA),
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), Fakultas Pendidikan Teknologi
dan Kejuruan (FPTK), Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB),
Fakultas Pendidikan olah Raga dan Kesehatan (FPOK), dan Kampus Serang,
119
Kampus Purwakarta, Kampus Cibiru, Kampus Sumedang, serta Kampus
Tasikmalaya.
Praktik otonomi akademik PTNBH pada Universitas Airlangga (Unair)
Ditetapkan menjadi Badan Hukum Milik Negara (PTNBH) berdasarkan PP
No.30 Tahun 2006 merupakan pendidikan tinggi berprinsip nirlaba, dan dapat
mengelola dana secara mandiri dengan tujuan (l) Membentuk manusia yang
cakap, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai
keinsafan yang bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia
pada khususnya dan dunia pada umumnya, memiliki kemampuan akademik
dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (2)
Mengembangkan/menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat
dan memperkaya kebudayaan nasional ; (3) Mendukung pembangunan
masyarakat dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri; (4) Mencapai
keunggulan kompetitif melalui penerapan prinsip pengelolaan sumberdaya sesuai
dengan asas profesionalisme; (5) Berperan besar dalam pembangunan masyarakat
yang demokratis, adil, dan makmur; (6) Meningkatkan kualitas berlanjut untuk
menempati posisi yang baik dalam persaingan dan kerja sama global.
Unair menjalankan kegiatan yang menjadi tugas pokok-fungsinya antara
lain dalam bidang pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, memberikan layanan akademik dan umum sesuai kompetensi yang
dimiliki meliputi kegiatan pelatihan, pengembangan, konsultansi, pembinaan
dan pengembangan karier mahasiswa serta lulusan, juga pemeliharaan kesehatan.
120
Unair menggalang kerja sama saling menguntungkan dengan berbagai pihak
dalam penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi, pengembangan pendidikan,
dan meningkatkan kemampuan internal kelembagaan di berbagai bidang. Struktur
organissi Unair sebagai PTNBH (periode 2010 s d. 2015) adalah Rektor, Wakil
Rektor I, Wakil Rektor II, dan Wakil Rektor III. Majelis Wali Amanat (periode
2008 s d, 2012) terdiri dari Ketua Majelis Wali Amanat, dan Sekretaris Majelis
Wali Amanat. Susunan Dewan Audit terdiri dari Ketua Dewan Audit, dan
Sekretaris Dewan Audit.
Sistem pengelolaan keuangan USU sepanjang tahun 2011, sebagian besar
masih berdasarkan sistem konvensional dan dilakukan secara manual. Semua
penerimaan yang bersumber dari APBN disimpan atau disetorkan ke Kas Negara
(KPPN). Penerimaan yang bersumber dari APBD Pemerintah Provinsi dan APBD
Pemerintah Kabupaten/Kopta, Dana PNBP (bersumber dari SPP mahasiswa dan
lain-lain) disetorkan ke rekening USU dan setiap triwulan disahkan oleh KPPN,
dana tersebut dimanfaatkan menurut keperluannya dengan mengacu kepada
anggaran yang telah disahkan Pimpinan USU, dalam hal ini alokasi batas
penggunaan anggaran misalnya bagian pembiayaan honorarium, kegiatan
administrasi pembiayaan, pengembangan staf dan nlain-lain.
Sistem dan pengelolaan sumber daya manusia di USU masih dalam taraf
perampungan yang dilakukan melalui proyek I-MHERE. Salah satu masalah yang
terkait dengan peralihan sistem dan manajemen sumber daya manusia di PTNBH
USU ialah status USU yang belum full-fledge BHMN, sehingga pengendalian
sumber daya manusia di USU sebagian besar masih berada ditangan pemerintah
pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) tahun 2011 USU memeroleh
121
dana mencapai Rp.858.675.624.144,69. Terdiri dari Dana Masyarakat (DM)
sebesar Rp.387.563.648.756,69 dan Subsidi Pemerintah sebesar
Rp.471.111.975.388,00.
Praktik otonomi non-akademik PTNBH pada Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI). Untuk membiayai tridharma perguruan tinggi, UPI memeroleh
dana dari masyarakat, bantuan pemerintah pusat dan daerah, serta bantuan luar
negeri. Dana masyarakat berasal dari SPP mahasiswa yang mengikuti pendidikan
di UPI, termasuk mahasiswa tugas belajar dari lembaga pemerintah /non-
pemerintah. Non-SPP meliputi penerimaan dana dari penerimaan mahasiswa baru,
bantuan kerja sama penelitian ilmiah/non-ilmiah, kemasyarakatan, dan lembaga
masyarakat luar negeri dan pendapatan lain-lain (jasa giro, penggunaan sarana
olah raga dan gedung serbaguna). Dana bantuan dari pemerintah berasal dari
APBN, yang dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA),
bantuan dari pemerintah daerah setempat serta beasiswa dari instansi pemerintah.
Dana pinjaman luar negeri terutama untuk pembagunan sarana dan prasarana fisik
UPI.
Berdasarkan Pasal 9 PP No. 6 tahun 2004 Tentang Penetapan UPI sebagai
BHMN ditetapkan bahwa kekayaan awal universitas berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan dari APBN. Kekayaan awal ini adalah seluruh kekayaan negara
yanng tertanam pada universitas kecuali tanah. Besarnya nilai kekayaan awal ini
ditetapkan oleh Menteri keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan
bersama oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian
Keuangan. Nilai aset universitas yang berupatanah (milik negara), bangunan,
kendaraan, dan inventaris./ peralatan lainnya, disajikan berdasarkan hasil
122
inventarisasi yang dilakukan bersama oleh BPKP Pusat, BPKP Perwakilan Jawa
Barat dan SAI (Satuan Audit Internal) UPI, dan telah direvaluasi oleh perusahaan
penilai yang diakui pemerintah.n berkaitan dengan status UPI sebagai PTNBH
yang bersifat nirlaba, maka laporan keuangan UPI disusun dengan berpedoman
pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 45 Tentang
Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba.
Sistem dan alokasi penganggaran terpadu telah dikembangkan dan
dijadikan pola pengganggaran bagi setiap unit kerja, sehingga setiap unit kerja
mengetahui pasti jumlah dan yang dialokasikan, pencairan, serta pertanggung
jawabannya. Namun, pada pelaksanaannya pengelolaan keuangan masih
menghadapi kendala karena bellum didukung dengan sumber daya manusia yang
memadai. Tahun 2011 UPI memeroleh dana mencapai Rp.64.084.996.275,00.
Terdiri dari Dana Masyarakat (DM) sebesar Rp.33.542.605.326,00 dan Subsidi
Pemerintah (DIPA) sebesar Rp.30.542.390.950,00.
Praktik otonomi non-akademik PTNBH pada Universitas Airlangga
(Unair). Berdasarkan Peraturan pemerintah No.30 tahun 2006 status Unair
berubah menjadi PTNBH, dengan kekayaan awal sebesar Rp.318.699.008.702
terdiri atas (1) Bangunan sejumlah 43 unit seluas 151.865,58 m2 senilai
Rp.252.964.541.410,00 (2) Alat angkutan dan kendaraan bermotor sejumlah 134
unit, senilai Rp.7.073.466.500,00 (3) Peralatan kantor, mesin,
peralatanlaboratorium, dan aset tetap lainnya sejumlah 482.465 unit senilai
Rp.58.661.000.792,00. Kekayaan negara berupa tanah yang tidak termasuk
kekayaan awal Unair dan dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi Unair.
123
Sumber dana keuangan untuk penyelenggaraan, pengelolaan, dan
pengembangan berdasarkan Pasal 13 PP No. 30 tahun 2006 tentang Unair BHMN
adalah berasal dari (1) Pemerintah yaitu dana yang berasal dari penerimaan
melalui anggaran pemerintah yang terutang dalam DIPA dan Pelaksanaan
Operasional Kegiatan (POK), penerimaan hibah/subsidi serta hasil kontrak/kerja
sama di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan
lembaga/instansi pemerintah (2) Masyarakat yaitu dana yang berasal dari
masyarakat Indonesia antara lain untuk pendidikan seleksi masuk, kerja sama
sesuai peran dan fungsi perguruan tinggi (3) Usaha dan tabungan terdiri atas
penerimaan penjualan dan pemanfaatan sumberdaya Unair, penerimaan hasil
usaha tambahan (auxiliary enterprises), penerimaan bunga dan penerimaan hasil
investasi (4) Luar negeri yaitu dana yang merupakan perolehan dari luar negeri
dalam bentuk hibah, donasi maupun hasil kerja sama dan kontrak internasional
dan penerimaan dari pembayaran tuition dan admission fee oleh mahasiswa asing
yang tidak disalurkan melalui dana pemerintah (APBN/APBD). Tahun 2011
Unair memeroleh dana mencapai Rp.536,364.515.264,00. Terdiri dari Dana
Masyarakat (DM) sebesar Rp.301.060.493.294,00 dan subsidi Pemerintah (DIPA)
sebesar Rp.235.304.022.015,00.
124
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Implementasi penganggaran partisipatif di perguruan tinggi badan
hukum dalam praktik selama ini berdasarkan kajian peraturan perundang-
undangan PTN Badan Hukum dalam rangka otonomi akademik masih banyak
diintervensi oleh pemerintah. Hal ini berimplikasi terhadap belum sepenuhnya
PTNBH dapat menjalankan otonomi akademik dalam pembukaan program studi,
penerimaan mahasiswa baru, penetapan kurikulum, statuta perguruan tinggi,
pemilihan pimpinan perguruan tinggi, pengangkatan guru besar dan pemberian
penilaian DP3 pimpinan perguruan tinggi. implementasi anggaran partisipatif
PTN dalam praktik selama ini berdasarkan kajian peraturan perundang-undangan
PTN Badan Hukum dalam rangka otonomi non akademik belum sepenuhnya
diwujudkan seperti struktur organisasi, kepegawaian, keuangan, sarana dan
prasarana, kemahasiswaan, dan kerjasama internasional. Pola penganggaran masih
dalam bentuk rincian kegiatan sesuai mata anggaran yang telah ditetapkan, belum
dalam bentuk blok atau anggaran berdasarkan kinerja. Bentuk ideal landasan
implementasi anggaran partisipatif PTN menuju otonomi perguruan tinggi untuk
mewujudkan otonomi akademik dan otonomi nonakademik, adalah PTN badan
hukum nirlaba. Tata kelola PTN tidak lagi sebagai satuan kerja atau unit
pelaksana teknis pemerintah
125
5.2 Saran
Sebagai satuan kerja perguruan tinggi badan hukum, maka saran-saran
yang dapat diberikan: Tidak terlalu banyak intervensi pemerintah (over regulated)
baik kebijakan meupun peraturan perundang-undangan PTN dalam mewujudkan
otonomi akademik. Praktik tata kelola nonakademik pada PTN harus dirubah,
secara teoritis beradasarkan hasil penelitian ini tata kelola nonakademik dapat
menjadi dasar pengembangan ilmu dalam menyikapi PTN yang semakin dinamis.
PTN harus menjadi menjadi badan hukum nirlaba. Kebebasan akademik dan
kebebasan non akademik secara ideal dapat diwujudkan menuju otonomi PTN
yang dicita-citakan, baik dalam hal pendidikan/pengajaran, penelitian, pengabdian
masyarakat, maupun aspek organisasi, sumber daya manusia, pendanaan dan
kerjasama internasional.
5.3 Keterbatasan
Penelitian ini tidak lepas dari beberapa kelemahan diantaranya adalah
lingkup penelitian yaitu perguruan tinggi badan hukum sehingga hasil sulit untuk
digeneralisasi. Selain itu setiap perguruan tinggi badan hukum mempraktikan
anggaran dengan cara masing-masing akibatnya implementasi anggaran tidak
dapat disimpulkan secara teoritis. Penelitian ini tidak menemukan bagaimana
implementasi anggaran yang ideal sehingga penelitian selanjutnya dapat lebih
fokus terhadap variabel anggaran partisipatif berserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya serta menggunakan teori institusional yang cocok untuk
menguji anggran sektor publik.
126
DAFTAR PUSTAKA
Adji Suratman. 2010. Good Corporate Governance: Konsep dan
Permasalahanya. Penerbit: PT.Tintamas Indonesia.
Adrian Suteja. 2012. Good Corporate Governance. Penerbit: Sinar Grafika.
Asian Development Bank. 1999. Governance : Sound Development Management.
Fitri, 2016 “Seputar PTN-BH, PTN-BLU, PTN-Satker dan PTN-Baru”. Diambil
kembali dari Kopertis12: http://www.kopertis12.or.id.
IFAC. 2001. Governance in The Public Sector: A Governing Body Perspektive,
IFAC Public Sector Commite.
IFAC. 2014. International Framework: Good Governance in The Public Sector,
Juli 2014. IFAC dan CIPFA. ISBN: 978-1-60815-181-3.
IIA. 2006. The Role of Auditing in Public Sector Governance, The Institute of
Internal Auditors Research Foundation, Maitland avenue Almonte Spring.
Kelkar, Vijay ,2009, Good Governance: Accounting Reforms, National Academy
of Audit abd Accounts, Shimia, May 2009 p.1-11.
KNKG (2008).Konsep pedoman good public governance. Jakarta.
Krina. Loina Lalolo P. 2013. Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi.
Sekretariat Good Public Governance, Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional. Jakarta
Laily, Indra. 2015. ”Menristekdikti: keuangan PTN-BH kurang fleksibel”.
Diambil kembali dari Antara News: http://www.antaranews.com/.
LAN-BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Goveranance. Jakarta:LANRI
Muktiyanto, A., Rossieta, H., Hermawan, A. 2014. The Effect Of Good University
Governance And Strategy Toward The Performance Of Higher Education
Institution. In: International Conference on Emerging Economies (ICEE
2014).
Muljo ,Hery Harjono., Aries Wicaksono dan Ignatius Edward Riantono,
2014“Optimalisasi Penerapan Prinsio Good Governance Bidang Akademik
Dalam Upaya Mewujudkan Good University Governance”. Binus Business
Review.
OECD. 2004. The OECD Principlew of Corporate Governance. The OECD.
127
R. Eko Indrajit dan R. Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi
Modern. Yogyakarta: Andi Offset.
Sadewa ,Kidung., Satria NurFauzi dan Argadhia Aditama, 2015. “Pengelolaan
Kekayaan Negara oleh Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Layanan
Umum Dalam Pengembangan Pendidikan dan Perekonomian Indonesia”.
Sedarmayanti. 2003. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam
Rangka Otonomi Daerah, Bandung: PT. Mandar Maju.
Serian Wijantno. 2009. Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efisien, Efektif,
dan Ekonomis: Untuk Meningkatkan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan
dan Mutu Lulusan. Jakarta: Salemba Empat.
Sulistyowati Irianto. 2012. Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan. Cet.2.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
UNDP. 1997. Governance for suistainable Development Policy Document, New
York: UNDP.
UNESCO. 2005 http://portal.unesco.org/ci/en/ev.php-URL_ID=5205&URL_DO=
DO _TOPIC&URL_SECTION=201.html United Nations Development
Program. 1997. Governance for Suitable Development: A Policy Document.
New York: UNDP.
Warsono,Sony, Amalia,Fitri, Rahajeng, Dian Kartika.2009.”Corporate
Governance Concept and Model: Preserving True Organisation
Welfare”.Center for Good Corporate Governance. Yogyakarta
Peraturan
12. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 Tentang PNBP
13. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
14. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
15. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendahaaan Negara
16. Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang BHP
17. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
18. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi
19. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 Tentang PTNBH
20. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 Tentang PK BLU beserta revisinya
21. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan
128
22. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme
Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
23. PP No 22 Tahunj 1997 Tentang Jenis dan Penyetoran PNBP
24. PP No 73 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penggunanan PNBP
25. PP No. 152 tahun 2000 Tentang Penetapan UI Sebagai BHMN
26. PP No. 153 tahun 2000 Tentang Penetapan UGM sebagai BHMN
27. PP No. 154 tahun 2000 Tentang Penetapan IPB sebagai BHMN
28. PP No. 155 tahun 2000 Tentang Penetapan ITB sebagai BHMN
29. PP No. 56 tahun 2003 Tentang Penetapan USU sebagai BHMN
30. PP No. 6 tahun 2004 Tentang Penetapan UPI sebagai BHMN
31. PP No. 30 tahun 2006 Tentang Penetapan UNAIR sebagai BHMN
32. PP No.74 tahun 2012 Tentang Perubahan atas PP No.23 Tahun 2005 Tentang
PK BLU
33. PP No. 43 Tahun 2012 Tentang UPI sebagai Perguruan Tinggi yang
diselenggarakan pemerintah
34. PP No. 44 Tahun 2012 Tentang ITB sebagai Perguruan Tinggi yang
diselenggarakan pemerintah
35. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 58 Tahun 2012 Tentang
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
36. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 55 Tahun 2013 Tentang
Biaya Kuliah tunggal dan uang kuliah tunggal pada PTN di lingkungan
kemendibud
37. PP No. 58 Tahun 2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN
Badan Hukum
38. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 042/U/2000 tentang Persyaratan
dan tatacara penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum
39. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2013. Tentang penetapan Institut
Teknologi Bandung sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
40. Pemerintah Nomor 66 Tahun 2013 tentang penetapan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
41. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013 tentang penetapan Institut
Pertanian Bogor sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
129
42. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013. Tentang penetapan Universitas
Indonesia sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
43. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2014. Tentang penetapan Universitas
Pendidikan Indonesia sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
44. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2014. Tentang penetapan Universitas
Sumatera Utara sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
45. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014. Tentang penetapan Universitas
Airlangga, Surabaya sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
46. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2015 tentang penetapan Universitas
Padjadjaran, Bandung sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
47. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2015 tentang penetapan Universitas
Diponegoro, Semarang sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
48. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2015 tentang penetapan Universitas
Hasanuddin, sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
49. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2015 tentang penetapan Institut
Teknologi Sepuluh NopemberSurabaya sebagai perguruan tinggi negeri badan
hukum
130
BIODATA PENULIS
Dr. Hj. Roebiandini Soemantri, SE., M.Si., Ak., CPA., CA. merupakan dosen
tetap pada Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Binsnis Universitas
Padjadjaran. Mengampu mata kuliah dan spesialisasi bidang Akuntansi
Manajemen, Manajemen Strategis dan Sistem Pengendalian Manajemen pada
program Sarjana Akuntansi, Magister Akuntansi dan Program Doktor Ilmu
Akuntansi. Selain itu, sebagai pimpinan KAP Roebiandini & Rekan.
Dr. H. Memed Sueb, CSRS., CPA., CA., BKP. merupakan dosen tetap pada
Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Binsnis Universitas Padjadjaran.
Mengampu mata kuliah dan spesialisasi bidang Social and Environmental
Accounting, Perpajakan dan Akuntansi Keuangan pada program Sarjana
Akuntansi, Magister Akuntansi dan Program Doktor Ilmu Akuntansi. Selain itu,
sebagai Kepala Departemen Akuntansi FEB UNPAD, komisaris pada bank BJBS
Syariah; Partner pada KAP Djumarma Wahyudin dan Rekan Bandung.
Sofik Handoyo, SE., MSBS., Ak. merupakan dosen tetap pada Departemen
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Binsnis Universitas Padjadjaran. Mengampu
mata kuliah dan spesialisasi bidang Akuntansi Manajemen, Manajemen Strategis
dan Sistem Pengendalian Manajemen pada program Sarjana Akuntansi dan
Magister Akuntansi FEB UNPAD
Dr. Yusar Sagara, SE., Ak., M.Si., CA., CMA., CPMA. merupakan dosen tetap
pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Mengampu mata kuliah dan spesialisasi bidang
Akuntansi Manajemen, Sistem Pengendalian Manajemen dan Etik Profesi
Akuntan pada program Sarjana Akuntansi dan Magister Perbankan Syariah FEB
UIN Jakarta. Selain itu, sebagai Wakil Direktur NICT UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.