analisis implementasi

138

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS IMPLEMENTASI
Page 2: ANALISIS IMPLEMENTASI
Page 3: ANALISIS IMPLEMENTASI

i

ANALISIS IMPLEMENTASI

PENGANGGARAN PARTISIPATIF

PADA PERGURUAN TINGGI BADAN

HUKUM DI INDONESIA

Memed Sueb

Roebiandini Soemantri

Sofik Handoyo

Yusar Sagara

Universitas Padjadjaran

Page 4: ANALISIS IMPLEMENTASI

ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdhulilah penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang

senantiasa memberikan rahmat serta hidayah-Nyah sehingga tim penulis dapat

menyelesaikan buku yang merupakan hasil Penelitihan Kualitatif yang berjudul

“Analisis Implementasi Penganggaran Partisipatif Pada Perguruan Tinggi

Badan Hukum di Indonesia” sesuai dengan waktu dan kaidah-kaidah penelitian

ilmiah serta telah sesuai dengan petunjuk penelitian yang diterbitkan oleh tim

Mariska FEB UNPAD. Buku ini ditulis sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dalam kegiatan Hubah Penelitian Dosen UNPAD.

Kegiatan penelitian ini seluruhnya difasilitasi oleh Direktorat Riset,

Pengabdian pada Masyarakat dan Inovasi (DRPMI) Universitas Padjadjaran

dalam rangka mencapai Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian. Dengan

terselesainya buku yang merupakan hasil Penelitihan Kualitatif ini, penulis tidak

lupa menyapaikan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Rina Indiastuti, M.SIE. selaku Rektor Universitas Padjajaran

2. Rizky Abdullah, Ph.D. selaku Direktur DRPMI

3. Prof. Yudi Azis, Ph.D. selaku Dekan FEB Universitas Padjajaran

4. Narasumber Pada Perguruan Tinggi Badan Hukum

5. Rekan-Rekan yang senantiasa mengembangkan ide kepada penulis

terselesainya buku hasil Penelitihan Kualitatif ini

Tim penulis menyadari bahwa ”Tiada gading yang tak retak” begitu pula

buku ini yang merupakan hasil penelitihan kualitatif ini yang masih banyak

kekurangan, meskipun demikian hal ini merupakan pengalaman berharga utnuk

menuju yang lebih baik. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan dan pengembangan

lebih lanjut.

Akhir kata peneliti berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi

peneliti khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Mei 2020

Roebinadini Soemantri

Memed Sueb

Sofik Handoyo

Yusar Sagara

Page 5: ANALISIS IMPLEMENTASI

iii

DAFTAR ISI

COVER ……………………………………………………………………….. i

KATA PENGANTAR ………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI ..…………………………………………………………….….. iii

DAFTAR TABEL……………………………………………………………. v

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..…….. vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang …….……..…………………………………………… 01

1.2. Rumusan Masalah …………………………………………………… 18

1.3. Tujuan Penulisan …………………………………………………….. 19

1.4. Kegunaan Penulisan ………………………………………………….. 19

1.4.1. Kegunaan Pengembangan Ilmu …………………………… 19

1.4.2. Kegunaan Operasional atau Pemecahan Masalah …………… 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kajian Pustaka ……………………………………………………….. 21

2.1.1. New Public Management (NPM) .......... …………………….. 21

2.1.2. Anggaran ................. …………………………….…………… 28

2.1.2.1. Pengertian Anggaran ................ …………………….. 28

2.1.2.2. Karakteristik Anggaran …………………................... 30

2.1.2.3. Manfaat Anggaran ...................... …………………... 31

2.1.2.4. Fungsi Anggaran ......................... …………………... 32

2.1.2.5. Siklus Anggaran .......................... …………………... 36

2.1.2.6. Pendekatan Anggaran ..................…………………... 37

2.1.3. Anggaran Partisipasi ..……..………………………………… 32

2.1.3.1. Pengertian Penganggaran Partisipatif ..……………. 38

2.1.3.2. Manfaat Penganggaran Partisipatif ….……………… 39

2.1.3.3. Masalah Penganggaran Partisipatif………………….. 40

2.1.3.4. Proses Berbegi Wewenang ………………………….. 41

2.1.3.5. Prasyarat Penganggaran Partisipatif ………………… 42

2.1.3.6. Maslahat Penganggaran Partisipatif ………………… 45

2.1.3.7. Batasan Penganggaran Partisipatif ………………….. 48

2.1.3.8. Indikator Penganggaran Partisipatif ………………… 50

2.1.4. Perguruan Tinggi Badan Hukum …. …………………………. 51

2.1.4.1. Pengertian Perguruan Tinggi Badan Hukum ..……. 51

2.1.4.2. Prinsip Perguruan Tinggi Badan Hukum ....………… 51

2.1.4.3. Landasan Implementasi Perguruan Tinggi Badan

Hukum ......................................... ………………….. 56

2.1.4.4. Tujuan Perguruan Tinggi Badan Hukum ………….. 60

2.1.4.5. Keunggulan Perguruan Tinggi Badan Hukum ……... 61

2.1.4.6. Kelemahan Perguruan Tinggi Badan Hukum …...….. 61

Page 6: ANALISIS IMPLEMENTASI

iv

2.2. Penelitian Terdahulu ………………………………..……………… 62

2.3. Kerangka Pemikiran ……………………………………………….. 65

BAB III METODOLOGI PENULISAN

3.1. Desain Penulisan………………..… ………………………………….. 72

3.2. Alasan Pemilihan Setting ......................................……………………. 74

3.3. Objek dan Waktu Penulisan .................................……………………. 75

3.4. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………... .. 75

3.4.1. Metode Pengolahan Data …………………………….………. 75

3.4.2. Pengolahan dan Analisis Data .....................………………….. 77

3.5. Teknik Pengambilan Sampel ..................................………………….. 79

3.6. Operasionalisasi Variabel ........................................………………….. 80

3.7. Narasumber/Informan ................................…………………………… 80

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan ……………………………………………………. 83

4.1.1. Perjalanan Perubahan Status Hukum Kelembagaan

Perguruan Tinggi Badan Hukum ...................……………….. 83

4.1.2. Potret Keadaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Aspek

Akademik dan Non Akademik .................……………………. 85

4.2. Pembahasan…………………………………………………………… 86

4.2.1. Implementasi Anggaran Partisipatif Aspek Non Akademik

Perguruan Tinggi Badan Hukum …………………………….. 88

4.2.2. Implementasi Anggaran Partisipatif Aspek Akademik

Perguruan Tinggi Badan Hukum …………………………….. 105

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan …..………………………………………………………… 124

5.2. Saran …………………………………………………………………. 125

5.3. Keterbatasan ………………………………………………….............. 125

Daftar Pustaka ………………………………………………………………. 126

Biodata Penulis……………………………………………………………….. 130

Page 7: ANALISIS IMPLEMENTASI

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Aspek Ketidakefektifan Penggunaan Anggaran

Universitas ..................................................................…… 13

Tabel 3.1 : Tempat Pengamatan …………………….. ….....………… 75

Tabel 3.2 : Operasionalisasi Instrumen Pengamatan . .….....………… 80

Tabel 3.3 : Narasumber ……………………………. .….....………… 81

Tabel 3.4 : Kuesioner ………………………………. ….....………… 82

Tabel 4.1 : Keadaan PT-Badan Hukum ……………….....………… 85

Tabel 4.2 : Deskripsi Variabel Partisipasi Penganggaran ….………… 86

Tabel 4.3 : Deskripsi Indikator Partisipasi Penganggaran …………… 87

Page 8: ANALISIS IMPLEMENTASI

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1: Kerangka Pikir Penelitian ………………………………… 65

Gambar 2. 2 : Model Penelitian Sandalgaard, et all (2011) ........................... .. 66

Gambar 2.3 : Model Penelitian Subramaniam (2002) ................................... .. 67

Gambar 2. 4 : Model Penelitian Karakoca & Ozer (2016) ............................. .. 69

Gambar 2.5 : Model Penelitian Aloysius (2012) .......................................... .. 70

Gambar 3. 1 : Strategi Analisis Data .............................................................. .. 79

Page 9: ANALISIS IMPLEMENTASI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anggaran merupakan komponen penting dalam suatu organisasi, baik

organisasi sektor pengelola publik (masyarakat) maupun organisasi sektor

bukan publik (pemilik perseorangan). Menurut Hansen dan Mowen (2004:1)

entitas publik maupun entitas bukan publik yang secara operasional bertujuan

memperoleh laba ataupun tidak bertujuan memperoleh laba (nirlaba) bisa

mendapatkan manfaat dari perencanaan dan pengendalian yang diberikan oleh

anggaran. Perencanaan dan pengendalian merupakan dua hal yang saling

berhubungan. Perencanaan adalah pandangan ke depan untuk melihat

tindakan apa yang seharusnya dilakukan agar dapat mewujudkan tujuan-

tujuan tertentu. Pengendalian adalah melihat ke belakang, memutuskan apakah

yang sebenarnya telah terjadi dan membandingkannya dengan hasil yang

direncanakan sebelumnya. Penyusunan anggaran merupakan suatu proses

yang berbeda antara sektor bukan publik dengan sektor publik. Pada sektor

bukan publik, anggaran merupakan bagian dari rahasia organisasi yang

tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru

harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik dan didiskusikan dengan

tujuan untuk mendapatkan masukan.

Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas

pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dari

uang publik (Mardiasmo, 2005: 61). Anggaran digunakan sebagai pedoman

Page 10: ANALISIS IMPLEMENTASI

2

kerja sehingga proses penyusunannya memerlukan organisasi anggaran yang

baik, pendekatan yang tepat, serta model-model perhitungan besaran

(simulasi) anggaran yang mampu meningkatkan kinerja pada seluruh jajaran

manajemen dalam organisasi. Proses penyusunan anggaran, dapat dilakukan

dengan beberapa pendekatan yaitu topdown, bottom up dan partisipasi

(Ramadhani dan Nasution, 2009). Dalam sistem penganggaran top-down,

dimana rencana dan jumlah anggaran telah ditetapkan oleh atasan/pemegang

kuasa anggaran sehingga bawahan/pelaksana anggaran hanya melakukan apa

yang telah ditetapkan oleh anggaran tersebut. Penerapan sistem ini

mengakibatkan kinerja bawahan/pelaksana anggaran menjadi tidak efektif

karena target yang diberikan terlalu menuntut namun sumber daya yang

diberikan tidak mencukupi (overloaded). Atasan/pemegang kuasa anggaran

kurang mengetahui potensi dan hambatan yang dimiliki oleh

bawahan/pelaksana anggaran sehingga memberikan target yang sangat

menuntut dibandingkan dengan kemampuan bawahan/pelaksana anggaran.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

tentang keuangan negara mengamanatkan bahwa penganggran sektor publik

di Indonesia yang semula adalah tradisional budgeting menjadi performance

based budgeting (Mardhiana, 2018). Hal tersebut mengisyaratkan

penyusunan anggaran berbasis partisipasi diperlukannya partisipasi aktif unit-

unit organisasi pemerintah mulai dari level bawah sampai atas dalam

menyampaikan target anggaran dan target kinerja yang disusun agar dapat

mencapai keputusan yang lebih relistis dan selaras dengan tujuan organisasi

(Muharrom, 2014). Dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara

Page 11: ANALISIS IMPLEMENTASI

3

tidak langsung dapat memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota

organisasi yang terlibat kedalam keseluruhan proses anggaran. Secara luas

anggaran berperan dalam pengambilan keputusan yang dapat memastikan

kinerja yang tinggi dari bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi yang

termotivasi. Proses tersebut meningkatkan kapasitas dalam pemecahan

masalah dan komiten bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi untuk

mencapai kesuksesan organisasi (Bhuiyan, 2010).

Partisipasi memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi

memainkan peran penting dalam menentukan tingkat kepuasan kerja yang

pada akhirnya akan meningkatkan komitmen memotivasi bagian-bagian/unit-

unit dan anggota organisasi serta motivasinya (Ardichvili et.al, 2003). Hal

tersebut dikarenakan penganggaran partisipatif berfokus pada upaya untuk

meningkatkan motivasi memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota

organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Implementasi budgetary

participation tidak hanya sebagai alat perencanaan dan pengendalian namun

bisa sebagai alat atau sarana kepada memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan

anggota organisasi terkait dengan komitmen dan motivasi sebagai

pertanggungjawaban kinerja terhadap publik (Giusti et.al, 2018).

Dalam proses penyusunan anggaran diperlukan kerjasama antara atasan

dan bawahan dari berbagai jenjang organisasi dan keterlibatan tersebut tidak

terlepas dari aspek perilaku seperti rasa khawatir atau cemburu, serta rasa

kepuasan dari masing-masing individu akibat disetujui/tidaknya usulan

program kegiatan dan anggaran yang ditawarkan (Tapussa, 2015). Kegiatan

dalam penyusunan anggaran merupakan kegiatan yang penting, tapi

Page 12: ANALISIS IMPLEMENTASI

4

memungkinkan akan menimbulkan dampak fungsional dan disfungsional

terhadap sikap dan perilaku organisasi (Milani,1975). Salah satu masalah

perilaku yang ditemui dalam penganggaran yang menciptakan ruang bagi

bawahan untuk berpartisipasi mengkomunikasikan informasi yang tidak

akurat kepada atasan mereka (Otalor & Oti, 2017).

Partisipasi anggaran dapat menimbulkan efek positif yang mengacu

pada keterlibatan ego yang terlibat dalam kerjasama yang meningkatkan rasa

kebersamaan dalam kelompok untuk menetapkan tujuan dan dapat

mengurangi kesulitan serta perbedaan dalam alokasi sumber daya antar unit

dalam organisasi (Siegel et.al, 1989). Dari perspektif ini partisipasi mengarah

pada motivasi, komitmen, dan keputusan berkualitas yang lebih tinggi dan

karenanya kinerja menjadi lebih baik. Jadi budget partisipasi memeliki efek

positif dan negarif pada tujuan organisasi tergantung pada tingkat komitmen

pegawai (Otalor & Oti, 2017).

Menurut (Yuen, 2007) partisipasi anggaran bisa lebih efektif ketika

memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi memilki sikap

positif dan memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement)

yang berdampak pada peningkatan kinerjanya. Need for achievement

merupakan keinginan untuk berkerja dengan standar yang tinggi dan unggul

dalam pekerjaan mereka. memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan anggota

organisasi dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi ingin mengetahui

feedback secara spesifik dan untuk mengetahui seberapa baik mereka dalam

melakukan pekerjaan dan bertanggung jawab atas produktivitas mereka

(Rayburn et.al, 2004).

Page 13: ANALISIS IMPLEMENTASI

5

Feedback tersebut membantu memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan

anggota organisasi mencapai sasaran kinerja mereka. Feedback dapat

membantu dalam dua cara. Pertama, membantu orang menentukan seberapa

baik yang mereka lakukan. Misalnya, tim olahraga perlu mengetahui skor

pertandingan, penembak jitu yang perlu melihat target, pemain golf perlu

mengetahui skornya. Hal yang sama dapat dikatakan untuk tim kerja,

departemen, atau organisasi, yang berarti feedback cenderung mendorong

kinerja yang lebih baik. Kedua, feedback membantu memotivasi bagian-

bagian/unit-unit dan anggota organisasi untuk menyesuaikan sifat dalam

meningkatkan kinerja yang dituntut untuk meningkat. Misalnya tim olahraga

menonton video tanding sehingga mereka dapat menyesuaikan permainan

mereka, penembaik jitu dapat menyesuaikan tembakannya, pemain golf dapat

menyesuaikan ayunannnya dan CEO dari suatu organisasi dapat mengukur

profitabilitas, dan kualitas lini produk (Abata, 2014).

Selain itu individu dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi akan

mencari tugas yang menantang dan bekerja keras untuk sukses. Sedangkan

orang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang rendah cenderung mengejar

tugas yang mudah atau peluang keberhasilannya tinggi. Karena itu individu

yang memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi akan memberikan

kepuasan besar dalam pekerjaan (Aloysius, 2012).

Menurut Mclnnes (1986) memotivasi bagian-bagian/unit-unit dan

anggota organisasi perlu dimotivasi untuk bekerja lebih baik dalam aktivitas

penganggaran dan memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk berprestasi

sehingga dapat berpartisipasi lebih aktif dari pada mereka yang tidak

Page 14: ANALISIS IMPLEMENTASI

6

memiliki kebutuhan untuk berprestasi. Dari perpektif organisasi, memotivasi

bagian-bagian/unit-unit dan anggota organisasi yang memiliki kebutuhan

dalan berprestasi terbukti dapat mengurangi keterlambatan untuk bekerja,

absensi dan pergantian staf (Randall, 1990). Dengan kata lain, kebutuhan

berprestasi merupakan sebuah konsep motivasi yang dapat mempengaruhi

individu untuk meningkatkan kinerjanya, percaya diri, dan berusaha untuk

sukses, bertahan dalam menghadapi kegagalan dan rasa kebanggaan dalam

suatu pencapaian (Mouloud & El-Kadder, 2016). Oleh karena itu berbagai

aspek pekerjaan sangat memerlukan need achievement karna dapat memicu

semangat kerja.

Sebagai contoh, pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Kabupaten Siak, adanya berpartisipasi dalam proses penyusunan

anggaran yang tinggi maka akan semangkin baik kinerja aparat

pemerintah (Nuraini et.al, 2014). Selain itu, hal yang sama juga

terjadi pada perusahaan manufaktur di daerah Tanggerang dan

Jakarta dimana proses partisipasi akan berpengaruh pada

kinerjanya (Gunawan & Santioso, 2015). Dari kedua fenomena

tersebut didasarkan pada pemikiran ketika suatu tujuan telah

disetujui yang dirancang dengan melibatkan pegawai level yang

lebih rendah akan membuat para bawahan merasa aspirasinya

dihargai. Hal tersebut akan meningkatkan tanggung jawab serta

konsekuensi moral mereka untuk meningkatkan kinerja, sesuai

dengan target yang ditetapkan dalam anggaran (Argyris, 1952).

Namun, adanya partisipasi anggaran tidak berdampak pada

peningkatan kinerja pada SKPD Kabupaten Pati. Hal tersebut

dikarenakan tingkat keterlibatan pegawai yang rendah pada

SKPD Pati. Karena partisipasi tersebut sebagai sebuah

kewajiban ikut serta, artinya pegawai SKPD Pati sudah terlibat

dalam penyusunan anggaran tapi hanya sebatas ikut

merencanakan tapi tidak benar-benar berpartisipasi dalam

mengeluarkan ide kreatif dalam membuat keputusan (Ernawati,

2017). Selain itu motivasi kerja pegawai SKPD Kabupaten Pati

dinilai kurang, dikarenakan kondisi kerja pegawai SKPD

berbeda dengan pegawai di perusahaan swasta. Karena sistem

kerja yang sudah ditentukan pemerintah sehingga pegawai

SKPD bekerja sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan.

Sehingga dalam proses penyusunan anggaran pegawai SKPD

Page 15: ANALISIS IMPLEMENTASI

7

Kabupaten Pati tidak memiliki motivasi yang tinggi dalam proses

penyusunan anggaran karena prestasi pegawai sudah ditetapkan

oleh peraturan, berbeda halnya dengan pegawai perusahaan

swasta yang memiliki motivasi yang tinggi dalam penyusunan

anggaran karena mengejarvprestasi kerja (Ernawati, 2017).

Telaah tersebut menunjukan bahwa adanya korelasi yang tinggi

antara motivasi berprestasi yang tinggi dengan berpartisipasi

dalam proses penganggaran dapat meningkatkan kinerja

pegawai untuk pencapaian tujuan organisasi yang telah tetapkan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuen (2007) mengenai

hubungan kebutuhan akan berprestasi berpengaruh terhadap partisipasi

anggaran pada departemen pelayanan publik di Macau. memotivasi bagian-

bagian/unit-unit dan anggota organisasi yang memiliki kebutuhan untuk

prestasi yang tinggi berusaha mendapatkan informasi yang relavan dalam

proses penyusunan anggaran. Menurut Mia, L (2002) mengenai hubungan

antara kebutuhan berprestasi dengan partsisipasi anggaran, menyatakan

bahwa individu dengan need for achievement yang tinggi dibandingkan

dengan mereka yang memiliki need for achievement yang rendah cenderung

untuk berpartisipasi dalam pengatiran anggaran bahkan dalam budaya

oriental.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Myint et.al (2019) mengenai

hubungan budgetary participation berpengaruh terhadap job performance

pada bank komersial swasta di Myanmmar, menyatakan bahwa partisipasi

merupakan faktor untuk mendapatkan komitmen pada sasaran anggaran

sehingga kinerja pekerjaan dapat lebih meningkat. Selain itu, penelitian yang

dilakukan oleh Karakoc & Ozer (2016) mengenai hubungan budgetary

participation berpengaruh terhadap job performance pada manajer sektor

otomotif di Marmara Turkey, menyatakan bahwa dengan berpartisipasi

Page 16: ANALISIS IMPLEMENTASI

8

memungkinkan para manajer untuk menetapkan tujuan anggaran departemen

mereka secara mandiri dan meningkatkan kinerja pekerjaan.

Implementasi anggaran dengan sistem bottom-up dimana

bawahan/departemen/bagian/unit menyusun rencana anggaran sesuai dengan

kebutuhannya sesuai dengan kemampuannya. Penerapan sistem ini

mengakibatkan bawahan/departemen/bagian/unit menetapkan kinerja terlalu

rendah yang memungkinkan manajer dengan mudah dapat mencapainya tanpa

memperhatikan yang lain (perilaku disfungsional anggaran) akibatnya kinerja

manajer dapat tercapai namun kinerja organisasi sulit dicapai karena anggaran

tidak efektif. Oleh karena itu, entitas mulai menerapkan sistem penganggaran

yang dapat menanggulangi masalah di atas yakni sistem penganggaran

partisipatif (participative budgeting). Melalui sistem ini, bawahan/pelaksana

anggaran dilibatkan dalam penyusunan anggaran yang menyangkut

subbagiannya sehingga tercapai kesepakatan antara atasan/pemegangkuasa

anggaran dan bawahan/pelaksana anggaran mengenai anggaran tersebut

(Omposunggu dan Bawono, 2007). Partisipasi penganggaran adalah proses

yang menggambarkan individu-individuyang terlibat dalam penyusunan

anggaran dan mempunyai pengaruhterhadap target anggaran.

Partisipasi penyusunan anggaran merupakan pendekatan yang secara

umum dapat meningkatkan kinerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan

efektivitas organisasi (Nor, 2007). Penyusunan anggaran secara partisipatif

diharapkan dapat meningkatkan kinerja manajer, yaitu ketika suatu tujuan

dirancang dan secara partisipasi disetujui maka karyawan akan

menginternalisasikan tujuan yang ditetapkan dan memiliki rasa tanggung

Page 17: ANALISIS IMPLEMENTASI

9

jawabpribadi untuk mencapainya, karena mereka ikut terlibat dalam

penyusunan anggaran (Milani, 1975). Indriantoro (1993) dan Supomo (1998)

dalam Kurnia (2010) menyatakan bahwa kinerja manajerial dikatakan efektif

jika tujuan anggaran dapat tercapai dan bawahan mendapatkan kesempatan

terlibat atau berpartisipasi dalam penganggaran.Partisipasi dari bawahan

dalam penyusunan anggaran dapat memberikankesempatan untuk

memasukkan informasi lokal. Bawahan dapat mengkomunikasikan atau

mengungkapkan beberapa informasi pribadi yang dapat dimasukkan dalam

anggaran yang dipakai sebagai dasar penilaian kinerja bilabawahan ikut serta

dalam proses penganggaran.

Efektivitas anggaran merupakan konsekuensi sikap dan perilaku

anggota organisasi yang akan mempengaruhi tingkat sasaran yang akan

dicapai pada akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi (Murray 1990). Nasir

(2017) mengatakan bahwa kinerja perguruan tinggi sulit dicapai karena

anggaran perguruan tinggi tidak efektif. Anggaran di perguruan tinggi

sebagian besar terserap untuk pembangunan gedung untuk perkuliahan,

fakultas hingga tunjangan para pejabat di perguruan tinggi, menambah ruang

kuliah atau ruang pimpinan. Menyambung tentang permasalahan anggaran

diperguruan tinggi, Indrawati (2017) mengatakan bahwa belanja negara terkait

pendidikan merupakan instrumen penting untuk menghasilkan pendidikan

berkualitas, namun harus digunakan secara efektif. Hal ini diperkuat dengan

hasil kajian yang dilakukan oleh Inspektorat VI Inspektorat Jenderal

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap 43 universitas dengan

jumlah responden 390 unit kerja yang terdiri dari 198 fakultas, 15 program

Page 18: ANALISIS IMPLEMENTASI

10

pascasarjana, 134 lembaga/UPT dan 43 pusat/rektorat yang menyimpulkan

bahwa pengelolaan anggaran PTN belum efektif, Hal ini dibuktikan dengan 90

(23,08%) responden yang menyatakan pengelolaan anggarannya efektif, 261

(66,92%) responden kurang efektif, dan 39 (10%) responden tidak efektif.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ketidakefektifan

anggaran menyebabkan kinerja perguruan tinggi sulit dicapai.

Secara operasional anggaran di perguruan tinggi juga mengalami

banyak kendala. Revisi penerimaan dan penggunaan anggaran yang terjadi

pada pertengahan dan akhir tahun anggaran membutuhkan waktu yang lama.

Akibatnya serapan anggaran dan capaian (output) kegiatan tidak terpenuhi

secara maksimal pada tahun yang bersangkutan. Hal ini disebabkan tidak

sesuainya periode kegiatan yang diselenggarakan perguruan tinggi dengan

periode anggaran yang berlaku. Periode kegiatan perguruan tinggi terbagi

dalam semester ganjil dan semester genap, yaitu pada bulan Februari dan

September, sementara periode anggaran dimulai 1 Januari dan ditutup 31

Desember. Akibatnya terjadi masalah dalam penyelarasan program dan

ketersediaan anggaran (Wiyono, 2014). Masalah penyelarasan program dan

ketersediaan anggaran mengindikasikan terjadinya kelemahan perguruan

tinggi dalam fungsi manajemen terutama aspek perencanaan dan perlunya

memperbaiki efisiensi, ekuitas dan performa (World Bank, 2013). Pemerintah

melakukan upaya untuk meningkatkan efektivitas anggaran perguruan tinggi

dengan implementasi UU No 12 Tahun 2012 Pasal 89 Ayat 3, yang

menyatakan, perlu ditetapkan PTN badan hukum.

Page 19: ANALISIS IMPLEMENTASI

11

Secara bertahap pemerintah menetapkan perguruan tinggi badan

hukum di Indonesia. Diawali dengan satker pemerintah, satker pengelolaan

keuangan badan layanan umum selanjutnya disebut PTN-BLU, satker

perguruan tinggi badan hukum milik negara selanjutnya disebut PTN-BHMN,

dan terakhir satker perguruan tinggi badan hukum selanjutnya disebut PTN-

BH. Dalam kerangka reformasi keungan negara berdasarkan UU No.17/2003

Tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara

dan UU No.15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab

Keuangan Negara. Pentingnya perubahan perguruan tinggi badan hukum

tercermin dari berbagai kondisi berikut. Pertama, tahun anggaran pemerintah,

Januari sampai Desember, tidak sama dengan tahun akademik (tahun ajaran)

yang dimulai Juli sampai Juni tahun berikutnya. Di PTN biasa, pada akhir

tahun sisa saldo kas harus disetorkan kembali ke negara. Di sisi lain, sering

kali kegiatan tri darma perguruan tinggi misalnya riset atau ujian tetap harus

berjalan awal tahun. Padahal, dana DIPA sering kali belum cair. Terkait

perbedaan siklus itu, bagi auditor, pertanyaan yang sering muncul adalah

mengapa di laporan keuangan akhir tahun PTN badan layanan umum atau eks

badan hukum milik negara (BHMN) menyisakan saldo kas, ini menimbulkan

kecurigaan, jangan-jangan saldo kas PTN itu adalah keuntungan. Perlu

diketahui, saldo kas tersebut adalah bagian dari penerimaan tahun ajaran

berjalan untuk semester kedua. Situasi semacam ini menunjukkan institusi

pendidikan, khususnya PTN, tidak dapat disamakan perlakuannya dengan

institusi pemerintah lainnya.

Page 20: ANALISIS IMPLEMENTASI

12

Kedua, sisi permasalahan sumber daya manusia. Meski PTN badan

hukum (dulu PT BHMN) bisa merekrut dosen dan tenaga kependidikan, karier

dan penggajian tak bisa disinkronkan dengan sistem penggajian PNS. Sistem

anggaran pemerintah bukan block grant yang memberi otonomi kepada PTN

untuk menggunakan anggarannya. Ketiga, sistem pelaporan keuangan

pemerintah kurang bisa mengakomodasi laporan keuangan PTN yang bisa

lebih kompleks dibandingkan laporan keuangan satuan kerja pemerintah.

Dalam menjalankan Tri Darma, PTN bisa punya rumah sakit, asrama, wisma,

laboratorium, dan unit usaha. Konsekuensinya, dalam hal sistem pelaporan

keuangan, PTN membuat laporan yang menggunakan standar akuntansi

nirlaba, yaitu PSAK 45 dan standar akuntansi instansi. Kewajiban

akuntabilitas dengan membuat dua jenis laporan keuangan tersebut sangat

tidak efisien waktu dan tenaga. Kerumitan ini ditambah dengan kewajiban

untuk dikonsolidasikan pada laporan keuangan kementerian/lembaga yang

hanya mengacu pada standar akuntansi instansi.

Keempat, ketika keuangan PTN mengacu kepada UU Keuangan

Negara, proses pengadaan barang dan jasa harus mengikuti peraturan

pemerintah yang belum tentu cocok dengan siklus akademik dan kebutuhan

hilirisasi produk penelitian. Dengan otonomi non-akademik, PTN bisa

merancang sistem pengadaan barang dan jasa yang sesuai dengan

karakteristiknya. Sebagai PTN yang pernah menjadi BHMN, banyak manfaat

yang dirasakan dari otonomi non-akademik. Di bidang keuangan, sebagai

contoh, penggunaan dana internal bisa menalangi keterlambatan cairnya

beasiswa mahasiswa dan dosen yang tugas belajar. Di kegiatan

Page 21: ANALISIS IMPLEMENTASI

13

kemahasiswaan, kegiatan yang sangat dinamis sering kali tidak terakomodasi

di sistem penganggaran pemerintah yang jadwalnya sangat kaku dan nilainya

kurang memadai. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

(Menristekdikti) Muhammad Nasir (2016) menyatakan bahwa sistem

keuangan PTN-BH selama ini masih kurang fleksibel dan dikhawatirkan akan

menghambat perkembangan yang ada. Data audit BPK laporan hasi

pemeriksaan tahun 2015 atas laporan keuangan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan tahun 2014, menunjukkan banyak ketidakefektifan anggaran

perguruan tinggi di beberapa perguruan tinggi

Tabel 1.1

Aspek Ketidakefektifan Penggunaan Anggaran Universitas

No Perguruan Tinggi Aspek Ketidakefektifan

1 UNAIR, ITSN,

UNP, UNANDA,

UPI

Terdapat Lebih Bayar Gaji Dan Tunjangan

Sebesar Rp1,45 Milyar dan Potensi Lebih

Bayar Gaji Kepada Pegawai Sebesar Rp365,85

juta

2 UNAIR, UNPAD,

UGM,

Terdapat 540 Rekening Pemerintah dengan

Saldo Per 31 Desember 2014 senilai Rp565,60

Miliar dan US1,06 Belum Memiliki Ijin dari

Menetri Keuangan dan Kas BLU

3 ITSN, UNPAD,

UNM, UNHAS,

UNDIP

Aset Senilai Sekurang-kurangnya Rp218,94

Miliar pada 13 Satuan Kerja Dikuasai oleh

dan/atau Dalam Sengketa dengan Pihak Lain

4 UNAIR, UNPAD, Aset Tanah Seluas 2.137.394 m2 Minimal

Page 22: ANALISIS IMPLEMENTASI

14

UNM, ITB, UT,

UNAND, UNP,

UNY, UPI, ITSN,

UI.

Senilai Rp1,16 Triliun dan Aset Peralatan dan

Mesin Sebanyak 275 Unit Minimal Senilai

Rp17,74 Miliar pada Sejumlah Satuan Kerja

Belum Didukung Bukti Kepemilikan Berupa

Sertifikat/BPKB dan atau Bukti

Sertifikat/BPKB Masih Atas Nama Pihak Lain

5 UNPAD, UNM,

UNP, UNAND,

UGM, UNY, IPB,

UI, UNDIP, USU,

UNM, UPI

Kelebihan Pembayaran Pekerjaan Atas

Kegiatan Belanja Modal pada 12 Satuan Kerja

sebesar Rp3,47 Miliar

6 UNPAD, UNAIR,

ITSN, UNP,

Pertanggungjawaban Belanja Barang pada

Enam Satuan Tidak Akuntabel atau Dilengkapi

Bukti yang Valid Senilai Rp52,36 Miliar

Sumber : LHP BPK, tahun 2015

Berdasarkan tabel tersebut maka dapat disimpulkan bahwa masih terdapat adanya

ketidakefektifan penggunaan anggaran perguruan tinggi terutama pada perguruan

tinggi yang berstatus badan hukum. Beradasrkan data hasil temuan BPK terhadap

anggaran yang kelola oleh UI, UPI, UGM, USU, UNAIR, IPB, UNPAD belum

efektif. Perguruan tinggi tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai

perguruan tinggi berstatus Badan Hukum dengan tujuan Dengan otonomi ini

perguruan tinggi juga dapat menyusun program kerja pendidikan dan pengajaran

yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja, penelitian yang bermanfaat, pengabdian

kepada masyarakat, organisasi yang sesuai, sumber daya manusia yang kompeten,

Page 23: ANALISIS IMPLEMENTASI

15

sarana-prasarana yang memadai dan dirumuskan visi, misi, tujuan, sasaran yang

dirancang dalam rancangan kerja tahunan, rencana operasionalkan, dan strategi

jangja pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk mencapai puncak

keuanggulan karya-karya ilmiah yang dihasilkan (Fuad, 2014).

Irianto (2012) mengatakan bahwa otonomi perguruan tinggi akan

menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan,

argumentasi dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan. budaya akademik

yang demikian akan melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas

dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuan. Apabila

perguruan tinggi dijadikan bagian dari birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya

birokrasi yang lamban, tidak efisien dan korup. Perguruan tinggi di indonesia

akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu dan akan kalah bersaing

dengan perguruan tinggi di dunia. Ketidakefektifan anggaran yang dikelola

perguruan tinggi mengakibatkan sulinya perguruan tinggi badan hukum di

Indonesia masuk ke dalam jajaran pemeringkatan universitas kelas dunia. Saat ini

Indonesia berada di peringkat ke-11 secara jumlah penelitian dan berdasarkan

kualitas penelitian (h-index), jauh tertinggal dari negara-negara lainnya di ASIA

seperti China, Singapura, Malaysia. Tidak ada satupun perguruan tinggi Indonesia

yang masuk daftar 500 universitas terbaik dunia versi Times Higher Education

dan Academic Ranking of World Universities tahun 2017. Selanjutnya QS World

Ranking pada tahun 2017 merilis laporan hanya Universitas Indonesia (peringkat

358) dan Institut Teknologi Bandung (431-440) yang masuk peringkat 500

universitas papan atas dunia.

Page 24: ANALISIS IMPLEMENTASI

16

Secara internal perguruan tinggi mulai menata kembali peran dan fungsi

masing-masing unit yang ada sebagai respon atas penerapan perguruan tinggi

badan hukum. Pola anggaran line item atau sebagai satker selama ini menjadi

perhatian penyelenggaran perguruan tinggi. Salah satunya adalah penyusunan

anggaran melibatkan jurusan, prodi, departemen, fakultas dan seluruh unit atau

lembaga yang dituangkan kedalam dokumen kinerja yaitu RKAT dan masing-

masing manajer setiap tahun anggaran wajib menandatangani kontrak kinerja.

Selanjutnya pelibatan seluruh manajer unit-unit ini dalam menyusun dan

mengimplementasikan anggaran disebut anggaran partisipatif. Anggaran

partisipatif menggambarkan konsep di mana anggota organisasi atau manajer

berpartisipasi dalam menciptakan dan mempengaruhi proses melalui proses

pengambilan keputusan. Partisipasi bukan berkaitan dengan melakukan partisipasi

atau tidak melainkan bagaimana melibatkan anggota organisasi unuk seluas-

luasnya terlibat dalam anggaran sesuai bidangnya (Milani, 1975).

Brownell (1983) menyatakan anggaran partisipatif akan mengakibatkan

terjadinya interaksi antara anggota organisasi di berbagai tingkatan organisasi.

Penganggaran yang melibatkan berbagai anggota organisasi dari berbagai

tingkatan, sering kali bekerja dalam tim dimana para anggota organisasi dapat

bertukar informasi dan ide untuk membuat anggaran yang kemudian

dikoordinasikan dan dikomunikasikan ke atas "bottom-to-top", sehingga fungsi

perencanaan, koordinasi dan pengendalian lebih efektif (Poon et al, 2001).

Akibatnya, pencapaian tujuan secara logis lebih mungkin terjadi (Campbell,

1985). Shields and Shields (1998) berpendapat bahwa kondisi dan proses

anggaran partisipatif berkontribusi terhadap efektivitas anggaran.

Page 25: ANALISIS IMPLEMENTASI

17

Banyak penelitian dibidang akuntansi manajemen yang memperhatikan

masalah partisipasi penyusunan anggaran. Hasil-hasil penelitian belum konsisten

dan sering terjadi kontradiksi. Penelitian Brownell & Mc Innes (1986)

menemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara partisipasi

dalam penyusunan anggaran dan kinerja manajerial. Milani (1975) dan Brownell

& Hirst (1986) menemukan bahwa partisipasi penyusunan anggaran tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manajerial. Para peneliti

menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara partisipasi

penyusunan anggaran dan kinerja manajerial (Gul dkk, (1995) dalam Nanda

Hapsari (2010)). Hubungan positif dan negatif antara partisipasi penyusunan

anggaran dengan kinerja manajerial dipengaruhi oleh kondisi dan situasi tertentu.

Hal semacam ini dijelaskan dengan pendekatan kontingensi (contingency

approach), di mana pendekatan ini memberi gagasan bahwa sifat hubungan yang

ada dalam partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial harus sesuai dengan

aspek-aspek organisasi dan berbeda bagi tiap situasi. Pendekatan kontingensi

mempelajari perilaku manajerial sebagai reaksi atas sejumlah keadaan tertentu

guna menyarankan praktek-praktek manajemen yang dianggap paling cocok

dalam rangka usaha menghadapi situasi tertentu (Winardi, 2000: 16).

Govindarajan (1986) dalam Eker (2008) mengatakan perlu digunakan

pendekatan kontingensi untuk menyelesaikan berbagai perbedaan pendapat

tersebut. Pendekatan kontingensi antara penyusunan anggaran dengan kinerja

manajerial memungkinkan adanya variabel-variabel lain yang dapat bertindak

sebagai variabel intervening atau moderating yang mempengaruhi hubungan

antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial (Brownell, 1980). Penelitian

Page 26: ANALISIS IMPLEMENTASI

18

terdahulu banyak yang menghubungkan partisipasi penyusunan anggaran dengan

kinerja manajerial secara tidak langsung (faktor kontingensi) misalnya

menggunakan komitmen tujuan, kultur organisasi, komitmen tujuan, locus of

control dan sebagainya. Faktor kontingensi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Job Relevant Information (JRI) sebagai variabel moderating karena

dianggap dapat memperkuat hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja

manajerial.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, tema pokok penulisan buku dapat

diidentifikasi dengan berbagai permasalahan (research identificatioins) sebagai

berikut:

1. Bagaimana praktik implementasi anggaran partisipatif secara empiris

berdasarkan kajian peraturan perundang-undangan tentang pendidikan tinggi

dalam rangka otonomi non akademik.

2. Bagaimana praktik ideal implementasi anggaran partisipatif secara empiris di

perguruan tinggi badan hukum berdasarkan perkembangan status PTN dari

segi hukum yang berlaku dalam rangka otonomi non akademik

3. Bagaimana pemecahan masalah dan ditemukanya alternatif konsep bentuk

landasan hukum anggaran partisipatif secara empiris PTN yang ideal menuju

otonomi perguruan tinggi.

Page 27: ANALISIS IMPLEMENTASI

19

1.3 Tujuan Penulisan Buku

Tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan buku ini

adalah sebagai berikut:

1. Ditemukanya jawaban mengenai dukungan segi hukum terhadap praktik

implementasi anggaran partisipatif berdasarkan kajian peraturan perundang-

undangan tentang pendidikan tinggi dalam rangka otonomi non akademik.

2. Ditemukanya jawaban praktik ideal implementasi anggaran partisipatif di

perguruan tinggi badan hukum berdasarkan perkembangan status PTN dari

segi hukum yang berlaku dalam rangka otonomi non akademik

3. Ditemukanya pemecahan masalah dan ditemukanya alternatif konsep bentuk

landasan hukum anggaran partisipatif PTN yang ideal menuju otonomi

perguruan tinggi.

1.4 Kegunaan Penulisan Buku

Penulisan buku ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik untuk

pengembangan ilmu maupun untuk tujuan pemecahan masalah yang dihadapi oleh

perguruan tinggi badan hukum dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya.

1.4.1 Pengembangan Ilmu

Penulisan buku ini diharapkan dapat menambah, memperkuat dan

memperluas cakrawala ilmu pengetahuan di bidang akuntansi, manajemen dan

perilaku organisasi terutama yang terkait dengan penelitian berbasiskan teori

anggaran Penelitian dengan setting perusahaan jasa masih sangat perlu dilakukan

dalam menemukan kesesuaian teori anggaran ditengah berbagai kritikan yang

terus dilakukan para ahli mengenai implementasi anggaran menuju kesesuaian

Page 28: ANALISIS IMPLEMENTASI

20

1.4.2 Pemecahan Masalah

Penulisan buku ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengelola

perguruan tinggi dalam merespon dinamika lingkungan bisnis yang sangat

dinamis guna meningkatkan dan mempertahankan keunggulan bersaing dan

kinerja organisasi. Mengelola organisasi dengan ekonomis, efesien dan efektif

dapat berfungsi dengan baik. Yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja

organisasi. bahwa dalam meningkatkan kinerja organisasi melalui implementasi

anggaran partisipatif perguruan tinggi.

Page 29: ANALISIS IMPLEMENTASI

21

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1 New Public Management (NPM)

Sejak pertengahan tahun 1980-an, telah terjadi perubahan manajemen

sektor public yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan

kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang

fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar

perubahan kecil dan sederhana, tetapi perubahan besar yang telah mengubah peran

pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dan masyarakat

(Djedje Abdul Aziz dkk, 2007). Paradigma baru yang muncul dalam manajemen

sektor publik tersebut adalah pendekatan New Public Management (NPM). Model

NPM berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja,

bukan pada kebijakan. Penggunaan paradigma baru tersebut menimbulkan

beberapa konsekuensi pada pemerintah, diantaranya adalah tuntutan untuk

melakukan efisiensi,pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.

Salah satu model pemerintahan di era NPM adalah model pemerintahan

yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1995) adalah sebagai berikut:

a. pemerintahan katalis (fokus pada pemberian arahan bukan produksi layanan

publik),

b. pemerintah milik masyarakat (lebih memberdayakan masyarakat dari pada

melayani),

Page 30: ANALISIS IMPLEMENTASI

22

c. pemerintah yang kompetitif (mendorong semangat kompetisi dalam

pemberian pelayanan publik),

d. pemerintah yang digerakkan oleh misi (mengubah organisasi yang digerakkan

oleh peraturan menjadi digerakkan oleh misi),

e. pemerintah yang berorientasi hasil (membiayai hasil bukan masukan),

f. pemerintah berorientasi pada pelanggan (memenuhi kebutuhan pelanggan,

bukan birokrasi),

g. pemerintah wirausaha (mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar

membelanjakan),

h. pemerintah yang antisipatif (berupaya mencegah daripada mengobati),

i. pemerintah desentralisasi (dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja), dan

j. pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (mengadakan perubahan

dengan mekanisme pasar/sistem insentif dan bukan mekanisme

administratif/sistem prosedur dan pemaksaan).

Tujuan New Public Management adalah untuk mengubah administrasi

yang sedemikian rupa sehingga administasi publik sebagai penyedia jasa bagi

masyarakat harus sadar akan tugasnya untuk menghasilkan layanan yang efisien

dan efektif, namun tidak berorientasi kepada laba (Osborne dan Gaebler, 1995).

Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan

syarat didukung oleh birokrat, politisi dan masyarakat. Adapun perangkat-

perangkat dari New Public Management (Djedje Abdul Aziz dkk, 2007) adalah

beberapa hal berikut ini.

Page 31: ANALISIS IMPLEMENTASI

23

1) Manajemen Kontrak

Manajemen kontrak adalah penyelenggaraan administrasi melalui

kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai. Kesepakatan ini

mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih sampai dengan pengawasan

terhadap proses pencapaian tujuan tersebut. Landasan manajemen kontrak

adalah kontrak atau perjanjian antara pihak politisi (Parlemen atau DPR)

dengan pihak yang akan memberikan layanan atau pemerintah sebagai

pelaksana. Kontrak ini menyangkut kesepakatan tujuan yang bersifat mengikat

tentang jangka waktu yang telah ditetapkan, yang mengandung unsur-unsur,

yaitu ditetapkannya produk atau kinerja yang harus dilakukan berdasarkan

kuantitas dan kualitas serta anggaran yang dibutuhkan. Si pemberi order

menjelaskan produk yang diinginkan, tetapi tidak menentukan bagaimana

proses kerja tersebut dilakukan. Artinya, bagaimana pihak pelaksana

mengerjakan produk yang diinginkan oleh pemberi order merupakan urusan

mereka sendiri dengan diberikan kewenangan untuk menentukan sendiri cara

untuk menghasilkan produk yang diminta. Unsur lainnya yang mendukung

berfungsinya manajemen kontrak adalah penerapan sistem pelaporan yang

menyediakan seluruh informasi mengenai pelaksanaan kinerja kepada pihak

pemberi order dengan mendokumentasikan kemajuan kinerja sedemikian rupa

sehingga di dalam pembahasan didukung oleh data-data kinerja untuk

kepentingan evaluasi.

2) Orientasi pada Hasil Kerja (Output)

Administrasi hanya dapat dikendalikan secara efisien apabila titik tolak di

dalam penyelenggaraannya berorientasi pada hasil (output) kerja. Namun

Page 32: ANALISIS IMPLEMENTASI

24

sampai dengan hari ini masih banyak negara yang pengendalian administrasi

publiknya masih dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber

daya secara sentral. Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak

uang yang boleh dikeluarkan oleh administrasi dan bagaimana mereka harus

menggunakan uang itu, namun tidak ada bagian penjelasan atau keterangan

dalam anggaran itu yang menyatakan dengan jelas kinerja atau produk apa

yang akan dihasilkan dengan uang itu dan apa yang benar-benar diharapkan

pemerintah dari anggaran tersebut.

3) Controlling

Controlling diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikan

administrasi secara efisien dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan yang

telah ditetapkan oleh politik. Untuk bisa berfungsi dengan baik, pengawasan

harus menyediakan informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat dengan

tujuan mengendalikan proses. Controlling sebagai pendukung manajemen

sangat tergantung pada, pertama, kalkulasi biaya dan produk kerja, dimana

penerapan kalkulasi biaya kerja ini merupakan beban yang berat dalam

adminstrasi publik karena itu dibutuhkan perombakan cara berpikir karena

instrumen ini merupakan satu persyaratan untuk mencapai efisiensi. Kalkulasi

biaya administrasi memberikan data mengenai seberapa jauh produksi yang

hendak dilakukan dalam administrasi publik dan bidang apa saja yang bisa

diserahkan pada pihak swasta untuk dikerjakan, untuk dapat menekan biaya.

Kedua, adanya pelaporan. Keleluasaan yang muncul dengan adanya

desentralisasi dan pendelegasian wewenang harus dihubungkan oleh

kewajiban membuat laporan oleh pihak yang diberikan keleluasaan dan

Page 33: ANALISIS IMPLEMENTASI

25

wewenang kepada si pemberi order mengenai apa yang telah mereka lakukan

dengan dana yang telah dipercayakan kepada mereka dan apakah mereka telah

mencapai tujuan dan standar mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga

adalah penganggaran. Penganggaran dalam konteks new public management

berangkat dari metode arus balik, di mana politik atau parlemen menetapkan

kerangka acuan bagi administrasi (pemerintah) untuk menentukan

anggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down ini

diperbandingkan dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottom-up

untuk dirundingkan suatu anggaran yang akan ditetapkan.

4) Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan

Prinsip new public management menekankan bahwa “segala sesuatu yang

tidak bermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengandung

makna bahwa administrasi bukanlah tujuan akhir, mempunyai satu tugas yaitu

memberikan layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di

beberapa negara pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta”

(piagam warga) yang merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga

sebagai warga pembayar pajak kepada negara. Ini artinya, warga tidak dilihat

sebagai abdi, melainkan sebagai pelanggan yang karena pajak yang

dibayarkannya, mempunyai hak atas layanan dalam jumlah dan kuantitas

tertentu. Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang

kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tetapi di lain pihak, dalam

bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, dengan memberikan layanan

dengan kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi

publik lainnya. Tugas admistrasi (pemerintah) adalah menciptakan

Page 34: ANALISIS IMPLEMENTASI

26

transparansi dan tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam

melayani masyarakat, serta menciptakan kondisi yang berorientasi pada

pelayanan.

5) Personalia

Personalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi.

Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber

daya manusia dimanfaatkan secara maksimal dan memperbaiki jika ada

kekurangan. Dalam proses modernisasi penting sekali melibatkan karyawan

dengan menentukan tujuan-tujuan yang jelas dan menunjukkan keuntungan

apa saja yang mereka miliki dengan tujuan yang jelas tersebut, meningkatkan

kompetensi dan kualitas pegawai, di mana proses untuk menjadi karyawan

dalam kantor publik harus berdasarkan kualifikasi dan reliabilitas.

6) Teknik Informasi

Prinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas serta berbagai bentuk

pengendaliannya membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna.

Penggabungan informasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk

pengendalian dan kemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi

keinginan pelanggan, membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga

pekerjaan bisa dilakukan dengan cepat, akurat dan dapat dipercaya.

7) Manajemen Mutu

Manajemen mutu di sini adalah bahwa ‘administrasi’ melakukan segala

sesuatu dalam rangka mengorganisir proses-proses produksi, standar dan

sumber daya bersama para pegawai. Tujuannya adalah merespon kebutuhan

pelanggan (dalam hal ini adalah masyarakat).

Page 35: ANALISIS IMPLEMENTASI

27

Kriteria pokok yang mendasari pelaksanaan manajemen publik dewasa ini

adalah ekonomi, efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas

publik.Tujuan yang dikehendaki masyarakat yang mencakup pertanggungjawaban

mengenai pelaksanaan value for money, yaitu ekonomis (hemat cermat) dalam

pengadaan dan alokasi sumber daya, efisiensi (berdaya guna) dalam penggunaan

sumber daya, serta efektif (berhasil guna) dalam mencapai tujuan dan sasaran.

Menurut Mardiasmo (2002:127) “Value for money merupakan inti pengukuran

kinerja keuangan dan non keuangan pada organisasi sektor publik. Kinerja

anggaran sektor publik harus dinilai dari sisi output, input dan outcome secara

bersama-sama”.

Agar dalam menilai kinerja keuangan sektor publik dapat dilakukan secara

objektif, maka diperlukan indikator kinerja. Menurut Mardiasmo (2002:130)

“Indikator kinerja value for money dapat dibagi menjadi dua, yaitu :petama

Indikator alokasi biaya (ekonomi dan efisiensi) dan Indikator kualitas pelayanan

(efektivitas)”. “Indikator value for money menekankan pada tiga elemen utama

yanitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas atau lebih dikenal 3E”, (Mardiasmo,

2002:4). Ekonomi berhubungan dengan biaya pengadaan (cost of inputs). Dengan

kata lain, ekonomi adalah praktek pembelian barang dan jasa input dengan tingkat

kualitas tertentu pada harga terbaik yang dimungkinkan, mencakup juga

pengelolaan secara hati-hati atau cermat dan tidak ada pemborosan. Efisiensi

menggambarkan hubungan antara masukan sumber daya dengan keluaran yang

dihasilkan. Kegiatan dikatakan efisiensi apabila output tertentu dapat dicapai

sumber daya seminimal mungkin. Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya

Page 36: ANALISIS IMPLEMENTASI

28

suatu organisasi mencapai tujuannnya. Efektifitas menggambarkan kontribusi

output terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

2.1.2 Anggaran

2.1.2.1 Pengertian Anggaran

Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak

dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial

(Mardiasmo, 2009). Lebih rinci lagi, Halim (2013: 22) mengartikan anggaran

yaitu rencana kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk finansial, meliputi usulan

pengeluaran yang diperkirakan untuk suatu periode waktu, serta usulan cara-cara

memenuhi pengeluaran tersebut. Dalam konteks otonomi daerah dan

desentralisasi, anggaran menduduki posisi yang penting. Proses dan metode

untuk mempersiapkan suatu anggaran disebut dengan penganggaran. Dalam

sektor publik, penganggaran merupakan tahapan yang cukup rumit dan penuh

dengan nuansa politik. Berbeda dengan sektor swasta atau bisnis, anggaran

dianggap sebagai rahasia perusahaan yang tertutup bagi publik, sedangkan pada

sektor publik anggaran dianggap sebagai alat akuntabilitas publik di dalam

mengelola dana publik dan program-program yang didanai dengan uang publik

sehingga anggaran pada sektor publik justru harus diinformasikan untuk

didiskusikan secara terbuka.

Anggaran publik merupakan kegiatan yang direpresentasikan dalam

bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam

bentuk yang paling sederhana, anggaran publik merupakan suatu dokumen yang

menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi

Page 37: ANALISIS IMPLEMENTASI

29

mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. (Mardiasmo, 2009) Anggaran berisi

estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan datang.

Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan

dalam beberapa periode yang akan datang. Menurut Undang-Undang (UU)

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa anggaran

adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Anggaran sebagai

instrumen kebijakan ekonomi berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan

stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai

tujuan bernegara. Anggaran dapat diinterpretasikan sebagai paket pernyataan

perkiraan dan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam

satu atau beberapa periode mendatang. Di dalam tampilannya, anggaran selalu

menyertakan data penerimaan dan pengeluaran yang terjadi di masa lalu.

Kebanyakan organisasi sektor publik melakukan pembedaan krusial antara

tambahan modal dan penerimaan, serta tambahan pendapatan dan pengeluaran.

(Indra Bastian, 2006: 163-164)

Anggaran merupakan suatu rencana yang disusun secara sistematis yang

meliputi seluruh kegiatan perusahaan dan dinyatakan dalam unit (satuan) moneter

dan berlaku untuk jangka waktu (periode) mendatang. Dari pengertian tersebut,

dapat diketahui bahwa anggaran merupakan hasil kerja (output) terutama berupa

taksiran-taksiran yang akan dilaksanakan masa mendatang. Karena anggaran

merupakan hasil kerja (output), anggaran dituangkan dalam suatu naskah tulisan

yang disusun secara teratur dan sistematis. Sementara itu, penganggaran adalah

proses kegiatan yang menghasilkan anggaran tersebut sebagai hasil kerja, serta

proses kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi- fungsi anggaran, yaitu

Page 38: ANALISIS IMPLEMENTASI

30

fungsi-fungsi pedoman kerja, alat pengoordinasian kerja, dan alat pengawasan

kerja(Arfan Ikhsan Lubis, 2011: 226) Dari uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai perkiraan rencana kerja yang

berisi penerimaan dan pengeluaran yang disusun secara sistematis untuk periode

yang akan datang.

2.1.2.2 Karakteristik Anggaran

Roman L. Weil and Michael W. Maher, (2005) menyebutkan bahwa

organisasi menggunakan anggaran untuk merencanakan, mengkoordinasikan, dan

mengkomunikasikan kinerja yang dituju, maka untuk mengevaluasi dan

menghargai kinerja yang sebenarnya. Anggaran operasional adalah pernyataan

kuantitatif tujuan disetujui dan rencana tindakan manajemen untuk unit organisasi

atau kegiatan untuk jangka waktu tertentu. Daftar berikut memperluas fitur

penting dari definisi ini:

1) Kuantitatif pernyataan. Anggaran berisi informasi kuantitatif, dinyatakan

dalam metrik keuangan.

2) Disetujui tujuan dan rencana. Manajer mengusulkan dan menyetujui anggaran.

3) Tindakan manajemen. Manajer memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan

rencana yang menetapkan anggaran untuk mencapai tujuan tertentu. hal ini

biasanya mengacu pada manajer sebagai atasan atau bawahan, tergantung

pada posisi relatif mereka dalam hirarki manajemen.

4) Organisasi unit atau kegiatan. Anggaran berlaku untuk unit organisasi (atau

kelompok unit) atau kegiatan. Sementara anggaran operasional ada di hampir

semua organisasi bisnis besar, jenis lain dari organisasi, seperti pemerintah

dan organisasi nirlaba, semakin menggunakannya.

Page 39: ANALISIS IMPLEMENTASI

31

5) Periode waktu. Organisasi menentukan anggaran mereka untuk jangka waktu

tertentu (biasanya satu tahun, sering dibagi menjadi empat).

Anggaran sektor publik mempunyai karakteristik sebagai berikut: (Indra

Bastian, 2009 : 81)

1) Anggaran dinyatakan dalam satuan keuangan dan satuan selain keuangan.

2) Anggaran umumnya mencakup jangka waktu tertentu, satu atau beberapa

tahun.

3) Anggaran berisi komitmen atau kesanggupan manajemen untuk mencapai

sasaran yang ditetapkan.

4) Usulan anggaran ditelaah dan disetujui oleh pihak yang berwenang lebih

tinggi dari penyusun anggaran.

5) Sekali disusun, anggaran hanya dapat diubah dalam kondisi tertentu.

2.1.2.3 Manfaat Anggaran

Marconi dan Siegel (1989: 125) mengatakan bahwa anggaran mempunyai

manfaat sebagai berikut:

1) Anggaran merupakan hasil proses perencanaan. Anggaran sebagai hasil dari

negosiasi diantara anggota-anggota dominan didalam suatu organisasi, maka

anggaran mewakili konsensus mengenai tujuan kegiatan dimasa yang akan

datang.

2) Anggaran sebagai blueprimt kegiatan perusahaan, sehingga anggaran dapat

merefleksikan prioritas alokasi sumber daya yang dimiliki perusahaan.

3) Anggaran merupakan alat komunikasi internal yang menghubungkan

departemen atau divisi dengan departemen (divisi lain) dalam organisasasi

maupun dengan top management.

Page 40: ANALISIS IMPLEMENTASI

32

4) Anggaran menyediakan informasi tentang hasil kegiatan yang sesungguhnya

dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan.

5) Anggaran sebagai alat pengendalian yang mengarahkan manajemen untuk

menentukan bagian organisasi yang kuat dan yang lemah. Hal ini akan dapat

mengarahkan manajemen untuk menentukan tindakan koreksi yang harus

diambil.

6) Anggaran mempengaruhi dan memotivasi manajer dan karyawan untuk

bekerja dengan konsisten, efektif dan efisien dalam kondisi kesesuaian tujuan

antara tujuan perusahaan dengan tujuan karyawan.

Ada beberapa alasan penyebab anggaran dianggap penting (Mardiasmo,

2009), yaitu:

1) Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan

sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup

masyarakat;

2) Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat

yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada

terbatas; dan

3) Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah

bertanggungjawab terhadap rakyat.

2.1.2.4 Fungsi Anggaran

Mardiasmo (2009) dalam Abdul Halim (2013: 50-52) mengidentifikasi

beberapa fungsi anggaran dalam manajemen sektor publik adalah sebagai berikut:

1) Alat perencanaan; Anggaran sektor publik dibuat untuk merencanakan

tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang

Page 41: ANALISIS IMPLEMENTASI

33

dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut.

Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk:

a. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan

misi yang ditetapkan;

b. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan

organisasi serta alternatif pembiayaannya;

c. Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah

disusun; dan

d. Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi. ) Alat

pengendalian;

2) Anggaran sebagai instrumen pengendalian digunakan untuk menghindari

adanya pengeluaran yang terlalu besar (overspending), terlalu rendah

(underspending), salah sasaran (missappropriation), atau adanya penggunaan

yang tidak semestinya (misspending). Anggaran merupakan alat untuk

mengawasi kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau

kegiatan pemerintah. Sebagai alat pengendalian manajerial, anggaran sektor

publik digunakan untuk meyakinkan bahwa pemerintah mempunyai uang

yang cukup untuk memenuhi kewajibannya. Pengendalian anggaran sektor

publik dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:

a. Membandingkan kinerja aktual dengan kinerja yang dianggarkan;

b. Menghitung selisih anggaran;

c. Menemukan penyebab yang dapat dikendalikan dan tidak dapat

dikendalikan atas suatu varians;

d. Merevisi standar biaya atau target anggaran untuk tahun berikutnya.

Page 42: ANALISIS IMPLEMENTASI

34

3) Alat kebijakan fiskal;

Melalui anggaran organisasi sektor publik dapat menentukan arah atas

kebijakan tertentu. Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah,

digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan

ekonomi. Melalui anggaran sektor publik dapat diketahui arah kebijakan fiskal

pemerintah, sehingga dapat dilakukan prediksi dan estimasi ekonomi.

4) Alat politik;

Pada sektor publik, anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk

komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik

untuk kepentingan tertentu. Anggaran digunakan untuk memutuskan prioritas-

prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tertentu. Anggaran tidak

sekedar masalah teknik, melainkan diperlukan keterampilan berpolitik,

membangun koalisi, keahlian bernegosiasi, dan pemahaman tentang

manajemen keuangan sektor publik yang memadai oleh para manajer publik.

Oleh karena itu, kegagalan dalam melaksanakan anggaran akan dapat

menjatuhkan kepemimpinan dan kredibilitas pemerintah.

5) Alat koordinasi dan komunikasi;

Melalui dokumen anggaran yang komprehensif, sebuah bagian atau unit kerja

atau departemen yang merupakan sub-organisasi dapat mengetahui apa yang

harus dilakukan dan apa yang akan dilakukan oleh bagian/unit kerja lainnya.

Oleh karena itu, anggaran dapat digunakan sebagai alat koordinasi dan

komunikasi antara dan seluruh bagian dalam pemerintahan.

Page 43: ANALISIS IMPLEMENTASI

35

6) Alat penilaian kinerja;

Kinerja eksekutif dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran, efektivitas

dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer publik dinilai

berdasarkan berapa hasil yang dicapai dikaitkan dengan anggaran yang telah

ditetapkan. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk pengendalian dan

penilaian kinerja.

7) Alat motivasi;

Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer dan

stafnya agar dapat bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam

mencapai target dan tujuan organisasi yang ditetapkan. Agar dapat

memotivasi pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging.

8) Alat menciptakan ruang publik.

Fungsi ini hanya berlaku pada organisasi sektor publik, karena pada

organisasi swasta anggaran merupakan dokumen rahasia yang tertutup untuk

publik. Masyarakat dan elemen masyarakat lainnya nonpemerintah, seperti

LSM, Perguruan Tinggi, Organisasi Keagamaan, dan organisasi masyarakat

lainnya, harus terlibat dalam proses penganggaran publik. Keterlibatan

mereka dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Keterlibatan langsung

masyarakat dalam proses penganggaran dapat dilakukan mulai dari proses

penyusunan perencanaan pembangunan maupun rencana kerja pemerintah

(daerah), sedangkan keterlibatan secara tidak langsung dapat melalui

perwakilan mereka di lembaga legislatif (DPR/DPRD).

Page 44: ANALISIS IMPLEMENTASI

36

2.1.2.5 Siklus Anggaran

Siklus anggaran adalah masa atau jangka waktu mulai saat

anggarandisusun sampai dengan saat perhitungan anggaran disahkan dengan

undang-undang.Menurut Mardiasmo (2004) siklus anggaran meliputi empat

tahap, yaitu:

1) Tahap Persiapan Anggaran (Budget Preparation)

Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas

dasartaksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut,

yang perludiperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran,

hendaknya terlebihdahulu dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih

akurat. Selain itu, harusdisadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika

anggaran pendapatandiestimasi pada saat bersamaan dengan pembuatan

keputusan tentang anggaranpengeluaran.

2) Tahap Ratifikasi Anggaran (budget ratification)

Pada tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan

untukmenjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala

pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif.

3) Tahap Pelaksanaan Anggaran (budget implementation)

Dalam tahap pelaksanaan anggaran ini, hal terpenting yang harusdiperhatikan

manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem informasiakuntansi dan

sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalamhal ini

bertanggung jawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai

danhandal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah

Page 45: ANALISIS IMPLEMENTASI

37

disepakati, danbahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran

periode berikutnya.

4) Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran

Tahap ini terkait dengan aspek akuntabilitas. Jika tahap implementasitelah

didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemenyang

baik, maka diharapkan tahap budget reporting and evaluation tidak

akanmenemui banyak masalah.

2.1.2.6 Pendekatan dalam Penyusunan Anggaran

Secara garis besar, pendekatan dalam penyusunan anggaran dibagi

menjadi 3 kelompok, yaitu:

1) Top down approach (bersifat dari atas-ke-bawah)

Dalam penyusunan anggaran ini, manajemen senior menetapkan anggaran

bagi tingkat yang lebih rendah sehingga pelaksana anggaran hanya

melakukan apa saja yang telah disusun. Tapi pendekatan ini jarang berhasil

karena mengarah kepada kurangnya komitmen dari sisi pembuat anggaran dan

hal ini membahayakan keberhasilan rencana anggaran.

2) Bottom up approach (bersifat dari bawah-ke-atas)

Pada bottom up approach, anggaran sepenuhnya disusun oleh bawahan dan

selanjutnya diserahkan atasan untuk mendapatkan pengesahan. Dalam

pendekatan ini, manajer tingkat yang lebih rendah berpartisipasi dalam

menentukan besarnya anggaran. Pendekatan dari bawah ke atas dapat

menciptakan komitmen untuk mencapai tujuan anggaran, tetapi apabila tidak

dikendalikan dengan hati-hati dapat menghasilkan jumlah yang sangat mudah

atau yang tidak sesuai dengan tujuan keseluruhan perusahaan.

Page 46: ANALISIS IMPLEMENTASI

38

3) Kombinasi top down dan bottom up

Kombinasi antara kedua pendekatan inilah yang paking efektif. Pendekatan

ini menekankan perlunya interaksi antara atasan dan bawahan secara bersama

sama menetapkan anggaran yang terbaik bagi perusahaan.

2.1.3 Penganggaran Partisipatif

2.1.3.1 Pengertian Penganggaran Partisipatif

Partisipasi dalam proses penyusunan anggaran dianggap sebagian orang

sebagai obat mujarab untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri dan

aktualisasidari para anggota organisasi. Dengankata lain, pekerja dan manajer

tingkat bawah memiliki suara dalam proses manajemen. Partisipasi secara luas

pada dasarnya merupakan prosesorganisasional, di mana para individual terlibat

dan mempunyai pengaruh dalam pembuatan keputusan yang mempunyai

pengaruh secara langsung terhadap paraindividu tersebut (Supomo dan

Indriantoro, 1998). Partisipasi adalah suatu “proses pengambilan keputusan

bersama oleh dua bagian atau lebih pihak dimana keputusan tersebut akan

memiliki dampak masa depan terhadap mereka yang membuatnya.” Arfan dan

Muhammad, (2008: 173-175)

Menurut Brownell (1982) dalam Eka Yuda (2013) partisipasi merupakan

proses dimana individu-individu terlibat langsung didalamnya dan mempunyai

pengaruh pada penyusunan target anggaran yang kinerjanya akan dievaluasi dan

kemungkinan akan dihargai atas dasar pencapaian target anggaran mereka. Jadi,

partisipasi penyusunan anggaran adalah keterlibatan pihak – pihak secara

langsung dalam proses pengambilan kebijakan penyusunan anggaran.

Page 47: ANALISIS IMPLEMENTASI

39

2.1.3.2 Manfaat Penganggaran Partisipatif

Manfaat dari penganggaran partisipatif menurut Arfan Ikhsan dan

Muhammad Ishak (2005: 175) adalah:

1) Partisipan menjadi terlibat secara emosi dan bukan hanya secara tugas dalam

pekerjaan mereka. Partisipasi dapat meningkatkan moral dan mendorong

inisiatif yang lebih besar pada semua tingkatan manajemen.

2) Partisipasi juga berarti meningkatkan rasa kesatuan kelompok, yang pada

gilirannya cenderung meningkatkan kerja sama antar- anggota kelompok

dalam penetapan tujuan. Tujuan organisasi yang dibantu penetapannya oleh

orang-orang tersebut, kemudian akan dipandang sebagai tujuan yang selaras

dengan tujuan pribadi mereka.

3) Partisipasi berarti juga berkaitan dengan penurunan tekanan dan kegelisahan

yang berkaitan dengan anggaran. Hal ini disebabkan orang yang berpartisipasi

dalam penetapan tujuan mengetahui bahwa tujuan tersebut wajar dan dapat

dicapai.

4) Partisipasi juga dapat menurunkan ketidakadilan yang dipandang ada dalam

alokasi sumber daya organisasi antara subunit organisasi, serta reaksi negatif

yang dihasilkan dari persepsi semacam itu. Manajer yang terlibat dalam

penetapan tujuan akan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai

penyebab sumber daya dialokasikan dengan cara demikian.

5) Melalui proses negosiasi dan banyak diskusi anggaran yang terjadi dalam

rapat, manajer akan menyadari masalah dari rekan-rekannya di unit organisasi

lainnya dan memiliki pemahaman yang lebih baik atas saling ketergantungan

Page 48: ANALISIS IMPLEMENTASI

40

antar-departemen. Dengan demikian, banyak masalah potensial yang berkaitan

dengan anggaran dapat dihindari.

2.1.3.3 Masalah Penganggaran Partisipatif

Arfan Ikhsan dan Muhammad Ishak (2005: 175) menjelaskan bahwa

penganggaran partisipatif mempunyai tiga potensi masalah, yaitu:

1) Menetapkan standar yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jika anggaran

dibuat terlalu tinggi atau ketat akan menurunkan kinerja manajer, sebaliknya

jika anggaran dibuat terlalu mudah akan menurunkan minat dan tantangan

bagi manajer sehingga berakibat terhadap penurunan kinerja manajer.

2) Membuat kelonggaran dalam anggaran (budgetary slack). Budgetary slack

muncul ketika seorang manajer dengan sengaja memperkirakan pendapatan

terlalu rendah atau memperkirakan biaya terlalu tinggi.

3) Partisipasi semu (pseudoparticipation). Pseudoparticipation terjadi pada

perusahaan yang tidak sungguh-sungguh dalam menerapkan partisipasi.

Manajer tingkat bawah terpaksa menyatakan persetujuan terhadap keputusan

yang ditetapkan oleh manajemen puncak karena perusahaan memerlukan

persetujuan mereka. Hal ini akan mengakibatkan banyak sekali permasalahan

perilaku, antara lain: meningkatnya rasa ketegangan bawahan, dan timbulnya

perpecahan antara manajemen puncak dengan bawahan, seperti rasa saling

curiga. Partisipasi semu akan terjadi kalau semakin banyak orang yang duduk

dalam komite anggaran.

Page 49: ANALISIS IMPLEMENTASI

41

2.1.3.4 Proses Berbagi Wewenang Anggaran

Partisipasi dikaitkan dengan proses berbagi wewenang diantara para

manajer dan pegawai. Dalam hal berbagi wewenang ini manajer tidak

mengabaikan dan melimpahkan semua kepada pegawai. Tapi pegawai hanya ikut

andil terlibat dan secara aktif ikut memberikan kontribusi (Davis & Newstrom,

1997). Sama halnya dengan penyusunan anggaran berbasis partisipasi yang

memberikan kesempatan untuk terlibat dan memiliki pengaruh pada proses

pengaturan anggaran (Chong & Chong, 2002) melalui pertukaran informasi

dengan atasan mereka (Shields & Shields, 1998).

Pendekatan bottom-up ini bersifat partisipatif karena melibatkan pegawai

tingkat bawah. Manajemen puncak dapat memulai proses anggaran dan

memberikan pedoman umum sehingga pegawai level bawah akan

mengembangkan angaran untuk unit mereka. Pegawai biasanya terdiri dari

perwakilan setiap unit atau segmen yang memberikan wawasan berharga

mengenai kegiatan atau operasi mereka. Alokasi finalisasi sumberdaya

berdasarkan pada input mereka dan oleh karena sangat penting untuk bawahan

terlibat dalam proses penetapan anggaran (Abata, 2014).

Hal tersebut didasarkan pada gagasan bahwa ketika tujuan atau standar

yang dirancang pertisipatif disepakati, maka pemimpin yang lebih rendah dan

pegawai akan mengimplementasikan tujuan atau standar yang telah ditetapkan,

dan mereka juga memiliki rasa tanggung jawab pribadi karena ikut berpartisipasi

telibat dalam persiapan anggaran (Milani, 1975). Namun, disisi lain partisipasi

akan menjadikan bawahan yang menganggap tidak ada partisipasi dalam kegiatan

pengaturan anggaran. Indivu ini merasa bahwa tidak terlibat dalam kegiatan

Page 50: ANALISIS IMPLEMENTASI

42

pengaturan anggaran dan diskusi terkait anggaran. Ciri khasnya adalah perasaan

bahwa pengaruhnya terhadap anggaran sangat minim atau tidak ada dan bahwa

kontribusinya pada penetapan anggaran tidak penting (Milani ,1975).

2.1.3.5 Prasyarat Penganggaran Partisipatif

Menurut Uma (2015) menjelaskan prasyarat untuk partisipasi bagi

pegawai agar efektif antara lain sebagai berikut:

1) Harus ada yang kuat dan gerakan perwakilan untuk partisipasi yang sukses.

2) Baik pegawai dan manajemen harus memiliki keyakinan yang kuat terhadap

filosofi partisipasi pegawai.

3) Harus ada perasaan dan semangat yang kuat untuk berpartisipasi dalam

bagian pegawai.

4) Harus dirumuskan tujuan yang jelas dan disepakati bersama untuk partisipasi

pegawai.

5) Pegawai harus berkonsultasi secara efektif dalam hal partisipasi.

6) Harus ada pendidikan dan pelatihan yang tepat berkaitan dengan partisipasi

pegawai untuk keberhasilan partisipasi.

7) Harus ada bentuk spesifik dan bidang atau area partisipasi.

8) Pedoman untuk pelaksanaan keputusan yang diambil harus spesifik dan harus

ada tindak lanjut yang cepat dan umpan balik untuk perbaikan.

Menurut Laurian (2003) mengansumsikan dua prasyarat partisipasi yang

biasanya dipenuhi yaitu:

1) Para peserta partisipasi menyadari masalah yang dihadapi

2) Para peserta partisipasi memiliki informasi yang cukup untuk berpartisipasi

Page 51: ANALISIS IMPLEMENTASI

43

Menurut Solitare (2005) telah membagi karakteristik yang menjadi

prasyarat partisipasi yang biasanya dipenuhi yaitu:

1) Harus ada komitmen untuk keterlibatan peserta dari semua pemangku

kepentingan

2) Harus menyadari peluang atau kesempatan untuk berpartisipasi

3) Harus memiliki waktu, sebagai sumber daya, untuk berkomitmen pada saat

proses partisipasi

4) Harus percaya bahwa pemangku kepentingan lainnya adil dan jujur

5) Masalah yang sedang dipertimbangkan harus menjadi salah satu masalah yang

mereka anggap sebagai masalah

Hal tersebut menunjukan partisipasi akan lebih berhasil pada situasi

tertentu dari pada situasi lainnya dan bahkan dalam situasi tertentu lainnya

partisipasi sama sekali tidak berhasil. Menurut Davis & Newstrom (1997)

menjelaskan prasyarat partisipasi sebagai berikut:

1) Waktu yang tersedia untuk berpartisipasi sebelum diperlukan tindakan. Hal

tersebut dikarenakan partisipasi hampir tidak tepat dalam situasi darurat.

2) Kemungkinan maslahat seharusnya lebih besar dari kerugiannya.

3) Bidang garapan partisipasi harus relavan dan menarik bagi para pegawai. Jika

tidak, pegawai akan memandangnya sekedar kerja sibuk.

4) Peserta atau pegawai seharusnya memiliki kemampuan, seperti kecerdasan

dan kemampuan teknis untuk berpartisipasi.

5) Peserta atau pegawai yang berpartisipasi mampu berkomunikasi timbal balik

untuk berbicara dengan bahasa orang lain agar dapat bertukar gagasan atau

pikiran.

Page 52: ANALISIS IMPLEMENTASI

44

6) Masing–masing pihak seharusnya tidak merasa bahwa posisinya terancam

oleh partisipasi. Jika pegawai memandang status mereka akan terpengaruh

secara negatif, maka mereka cenderung untuk tidak berpartisipasi. Jika para

manajer memandang bahwa wewenangnya terancam, maka mereka akan

cenderung menolak partisipasi.

7) Partisipasi dalam memustuskan sebuah arah tindakan dalam organisasi hanya

boleh berlangsung dalam bidang keleluasaan kerja kelompok. Diperlukan

tingkat batasan tertentu dari organisasi dalam menjaga kesatuan bagi

keseluruhan masing-masing sub unit tidak boleh mengambil keputusan yang

melanggar kebijaksanaan, perjanjian, persyaratan hukum, dan batasan yang

sejenis lainnya.

Menurut Doll dan Torkzadeh (1991) menunjukan bahwa ketika ada pihak-

pihak yang kurang memperoleh kesempatan berpartisipasi atau memiliki tingkat

partisipasi lebih rendah dari pada yang mereka inginkan sehingga terdapat

keadaan "participatively deprived" (underparticipation). Maka akan cenderung

menyebabkan frustrasi dan ketidakpuasan pada proses pengambilan keputusan

serta informasi yang tidak lengkap untuk membuat keputusan. Akibatnya,

perampasan untuk berpartisipasi tersebut dapat berdampak buruk pada kualitas

dan kinerja keputusan yang di inginkan (Clinton & Hunton, 2001). Dalam hal ini,

keputusan akhir dibuat oleh atasan tanpa keterlibatan bawahan. Ini akan mengarah

pada partisipasi semu (pseudo-participation) karena menurut persepsi bawahan

pandangan mereka belum dipertimbangkan dan tidak mempengaruhi anggaran

akhir (Kanan et.al, 2018).

Page 53: ANALISIS IMPLEMENTASI

45

Sebaliknya, ketika ada pihak-pihak yang jenuh karena terlalu lebih banyak

menerima partisipasi dari yang mereka inginkan sehingga terdapat keadaan

"participatively saturated” (overpaticipation). Kejenuhan dapat menurunkan

kinerja individu, karena organisasi membuat penggunaan sumber daya manusia

tidak efisien karena mengeluarkan waktu dan energi yang berlebihan pada

kegiatan pengambilan keputusan partisipatif. Selain itu, dapat berdampak negatif

pada kualitas keputusan, karena frustrasi dan ketidakpuasan proses keputusan

meningkat. Dengan demikian, tampak seolah-olah kekurangan partisipasi

mengurangi efektivitas pengambilan keputusan dan kejenuhan partisipasi

menurunkan efisiensi pengambilan keputusan di seluruh organisasi (Clinton &

Hunton, 2001).

2.1.3.6 Maslahat Penganggaran Partisipatif

Menurut Tanase (2013) partisipasi dalam penyusunan anggaran memiliki

manfaat antara lain:

1) Membantu membangun komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan.

Karena penyusunan anggaran partisipasi melibatkan bawahan atas finalisasi

pada anggaran akhir dan membentuk komunikasi vertikal (dari atasan ke

bawahan dan dari bawahan ke atasan) tujuan (Parker & Kyj, 2006).

2) Membantu menjaga pertukaran informasi yang bermanfaat. Partisipasi

anggaran membuat tujuan antara bawahan dan atasan selaras, sehingga

memastikan bahwa anggaran dianggap adil oleh semua pihak (Tanase , 2013).

3) Mempertahankan alokasi sumberdaya yang efisien. Dalam agensi teori

anggaran dipandang sebagai negosiasi antara principal dan agent (Kilfoyle &

Richardson, 2011). Negosiasi anggaran dan partisipasi bawahan dalam

Page 54: ANALISIS IMPLEMENTASI

46

pengembangannya merupakan langkah penting. Bawahan lebih memiliki

informasi yang lebih baik dari pada atasan mereka, impikasinya dan

sumberdaya apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Parker & Kyj, 2006;

Nouri & Parker, 1998). Sehingga proses penganggaran memungkinkan

efisiensi alokasi sumberdaya. Anggaran partisipasi memperhitungkan alokasi

sumberdaya yang dibutuhkan bawahan dan dengan melakukan hal tersebut

dapat mengurangi resiko alokasi yang tidak efisien (Goncalves, 2013 ;

Akyeletal, 2012).

4) Membantu mendapatkan anggaran yang lebih andal, akurat dan realistis.

Proses partisipasi meningkatkan aliran informasi antara atasan dan bawahan

(Goncalves, 2013). Hal ini mengarah pada pengembangan yang realistis dan

adil, dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi (Nouri & Parker, 1998).

5) Menentukan bawahan untuk mengembangkan sikap positif terhadap anggaran,

manejemen, dan entitas. Pegawai yang menerima anggaran yang tidak

menguntungkan, tetapi jika memiliki kesempatan berpartisipasi dalam

pembuatannya, menjadikan pegawai memiliki sikap yang lebih toleran

terhadap mereka yang menetapkan anggaran, dan terhadap anggaran yang

sebenarnya (Magner, 1995).

6) Memotivasi bawahan. Kebutuhan dalam pengakuan dan pengaruh yang

dirasakan bawahan dalam proses partisipasi anggaran dapat memotivasi

bawahan (Tsui, 2001).

7) Meningkatkan kepuasan pegawai di tempat kerja. Terlibat dalam proses

anggaran memberi mereka rasa prestasi, dari kepuasan, kontrol dan

keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan (Sholihin et.al, 2011;

Page 55: ANALISIS IMPLEMENTASI

47

Hoozee & Bruggeman, 2010). Dengan demikian kepuasan kerja dapat

meningkat.

8) Memperjelas tugas-tugas pekerjaan. Partisipasi memungkinkan atasan

mendapatkan informasi yang relavan dengan berkomunikasi dan diskusi

antara atasan dan bawahan memungkinkan mereka menjelaskan tujuan dan

metode yang digunakan (Parker & Kyj, 2006).

9) Mengurangi ambiguitas peran. Karena partisipasi telah memperjelas tugas

pekerjaan sehingga dapat mengurangkan imbiguitas peran yang menghasilkan

peningkatan kinerja individu (Parker & Kyj, 2006; Sholihin et.al, 2011).

10) Meningkatkan komitmen organisasi. Rasa tanggungjawab yang timbul pada

individu yang berpartisipasi anggaran akan menimbulkan komitmen atas

organisasi serta memotivasi diri individu untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan (Giusti et.al, 2018).

Selain itu dalam penyusunan anggran secara partisipatif dapat memiliki

dampak positif seperti berkurangnya konflik antara bawahan dengan atasan. Hal

tersebut dikarenakan dengan berpartisipasi akan membuat para bawahan

merasakan berperan dalam pembuatan keputusan, dengan demikian akan

meningkatkan sikap mereka terhadap pekerjaan serta menghasikan internalisasi

tujuan organisasi yang meningkatkan efektifitas organisasi, karena konflik

potensial tujuan individu dan tujuan organisasi dapat diminimalkan bahkan

dihilangkan (Rahayu, 1997; Lowin 1968).

Meningkatkan motivasi bawahan yang berdampak pada peningkatan

kinerja organisasi secara keseluruhan. Dengan penyusunan anggaran secara

partisipatif diharapkan kinerja para individu akan meningkat. Hal tersebut didasari

Page 56: ANALISIS IMPLEMENTASI

48

oleh pemikiran individu yang berpatisipasi untuk merancang tujuan atau standar,

maka akan membentuk rasa tanggung jawab pribadi karena mereka ikut serta

terlibat dalam penyusunan anggaran (Milani, 1975).

Meningkatkan moral dan menimbulkan inisiatif seluruh level manajemen.

Jika ikut serta berpartisipasi para pegawai akan lebih memahami masalah yang

mungkin akan timbul saat pelaksanaan anggaran (Rahayu, 1997). Proses

partisipasi juga memberikan kesempatan bagi bawahan untuk untuk mengajukan

pertanyaan maupun penjelasan kepada atasan untuk memperoleh pemahaman

mengenai tugas dan strategi penyelesaiannya.(Nugraha et.al, 2018; Rahayu,

1997).

2.1.3.7 Batasan Penganggaran Partisipatif

Selain memiliki maslahat partisipasi juga dapat menimbulkan kerugian

(Juechter, 1979). Menurut Tanase (2013) partisipasi dalam penyusunan anggaran

memiliki kekurangan antara lain:

1) Komunikasi dua arah antara atasan dan abwahan sulit untuk dicapai.

2) Sulit untuk menentukan bawahan dalam berpartisipasi, berkomunikasi, dan

mengungkapkan informasi.

3) Atasan dan bawahan harus memiliki sikap terbuka.

4) Partisipasi harus terjadi pada tingkat yang lebih tinggi, yang sulit untuk

dicapai.

5) Bawahan dapat mencoba untuk memanipulasi anggaran dan alokasi

sumberdaya untuk keuntungan mereka.

Page 57: ANALISIS IMPLEMENTASI

49

6) Dalam beberapa kasus bawahan mungkin tidak memiliki informasi yang

relavan atau pengetahuan yang diperlukan yang dapat membenarkan

partisipasi mereka.

7) Partisipasi dapat dilihat bawahan sebagai suatu tugas.

8) Peningkatan tanggung jawab dapat menjadi tekanan bagi bawahan.

9) Implementasi sistem penganggaran partisipaif melibatkan biaya.

10) Proses partisipatif membutuhkan waktu dan upaya.

Selain itu, menurut Rahayu (1997) dengan proses penyusunan anggaran

secara partisipatif memungkinkan terjadinya perilaku disfungsional seperti slack

anggaran dan kemungkinan keputusan didominasi oleh pihak yang lebih kuat.

Asimetri informasi yang terjadi antara principal dan agen yang berpartisipasi

dapat menimbulkan budgetary slack (Ardianti et.al, 2015). Hal tersebut

disebabkan penilaian bawahan berdasar tingkat dari pencapaian anggaran maka

menyebabkan mereka tidak memberikan seluruh informasi yang mereka miliki

saat proses penyusunan anggaran (Dunk, 1993) yang mendorong melakukan

senjangan anggaran (budgetary slack) untuk jenjang karir yang lebih baik dimasa

mendatang.

Selain itu jugatimbul pseudo participation (partisipasi semu) saat

berpartisipasi dalam penyusunan anggaran oleh bawahan, yang pada

kenyataannya bawahan tidak diberi kewenangan dalam menetapkan isi anggaran

(Chong, 2002). Karena biasanya bawahan memiliki informasi lebih besar

dibandingkan atasan, namun atasan atas memiliki posisi dominan dengan merasa

lebih mampu menyusun anggaran. Hal tersebut dapat menurunkan usaha bawahan

untuk mencapai tujuan organiasi (Amertadewi & Dwiranda, 2013).

Page 58: ANALISIS IMPLEMENTASI

50

2.1.3.8 Indikator Penaggaran Partisipatif

Menurut Milani (1975) budgetary participation memiliki enam indikator

sebagai berikut:

1) Keterlibatan dalam pengaturan dan penyusunan anggaran. Individu merasakan

keterlibatannya yang luas dalam anggaran. Individu akan merasa menciptakan

semua atau sebagian besar dari anggarannya.

2) Alasan logis yang diberikan oleh atasan dalam merevisi anggaran. Revisi

permintaan anggaran umumnya tidak akan tejadi secara sewenang-wenang

(dari sudut pandang bawahan).

3) Frekuensi diskusi terkait dengan anggaran yang ingin diusulkan.Jika sebagian

permintaan atau pendapat bawahan direvisi, atasan memiliki alasan kuat

bertanggung jawab atas laporan yang tidak disetujui.

4) Besarnya pengaruh dalam finalisasi anggaran. Bawahan merasa memiki

pengaruh pada anggaran akhir.

5) Pentingnya kontribusi dalam penyusunan anggaran. Bawahan merasa bahwa

kontribusinya terhadap anggaran itu penting.

6) Frekuensi atasan meminta pendapat saat anggaran sedang disusun. Bawahan

sering membahas anggaran dengan atasannya.

Menurut Brownell (1982) partisipasi anggaran memiliki enam indikator

sebagai berikut:

1) Sejauh mana anggaran dipengaruhi oleh keterlibatan para pekerja.

2) Alasan-alasan penolakan pihak manajer saat anggaran diproses dan sikap

percaya diri pimpinan terhadap bawahan.

3) Sejauh mana manajer memiliki pengaruh dalam anggaran akhir.

Page 59: ANALISIS IMPLEMENTASI

51

4) Kepentingan manajer dalam partisipasinya terhadap anggaran.

5) Mendiskusikan anggaran antara pihak manajer puncak dengan manajer pusat

pertanggung jawaban pada saat penganggaran disusun.

2.1.4 Perguruan Tinggi Badan Hukum

2.1.4.1 Pengertian Perguruan Tinggi Badan Hukum

Pasal 1 UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan

menyebutkan, yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan adalah badan

hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Penjelasan UU No.9 Tahun

2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan alinea ke 4 menyebutkan, pengaturan

badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan

tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari dari kewajiban

konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga memberatkan masyarakat

dan/atau peserta didik. Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta

dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan.

2.1.4.2 Prinisp-Prinsip Perguruan Tinggi Badan Hukum

Pasal 4 ayat (2) UU BHP menyebutkan, pengelolaan pendidikan formal

secara keseluruhan oleh Badan Hukum Pendidikan (BHP) didasarkan pada

prinsip:

1) otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan

secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun nonakademik;

2) akuntabel, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan

semua kegiatan yang dijalankan BHP kepada pemangku kepentingan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan;

Page 60: ANALISIS IMPLEMENTASI

52

3) transparan, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang

relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;

4) penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan

pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui standar nasional

pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara

berkelanjutan;

5) layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan

pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan,

terutama peserta didik;

6) akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada

calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama,

ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;

7) keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai

perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras,

etnis, dan budaya masing-masing;

8) keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidkan formal

kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola

manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan;

9) partisipasi atas tanggungjawab negara, yaitu keterlibatan pemangku

kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara.

Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan

menyebutkan, badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan

Page 61: ANALISIS IMPLEMENTASI

53

pendidikan formal kepada peserta didik. Pasal 3 UU No.9 Tahun 2009 Tentang

Badan Hukum Pendidikan lebih lanjut menyebutkan, badan hukum pendidikan

bertujuan memajukan pendidikan nasional dan otonomi perguruan tinggi pada

jenjang pendidikan tinggi. Pasal 1 Ayat 12 UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan

Hukum Pendidikan menyebutkan, pimpinan organ pengelola pendidikan dan

semua pejabat dibawahnya yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh pemimpin

organ pengelola pendidikan atau ditetapkan lain sesuai anggaran dasar dan/atau

anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan. Bentuk badan hukum

pendidikan, mengakibatkan perguruan tinggi memiliki hak pengaturan dalam

bidang akademik, keuangan, administrasi, personalia, dan lainnya. Otoritas ini

disertai dengan akuntabilitas yang seoptimal mungkin di mana setiap Tahunnya

pimpinan perguruan tinggi harus menyampaikan laporan pertanggung jawaban

kepada Menteri Keuangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga

dalam kepemimpinan dan pengelolaan perguruan tinggi selama satu Tahun harus

dipertanggung jawabkan oleh pengelola badan hukum pendidikan.

Badan hukum pendidikan juga menggunakan prinsip nirlaba, seperti

halnya PTN badan hukum milik negara (PTNBH). Pasal 4 UU No. 9 Tahun 2009

Tentang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan, prinsip nirlaba yang dimaksud

adalah prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba (keuntungan),

akan tetapi seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan

ditanamka kembali ke dalam badan hukum pendidikan guna meningkatkan

kapasitas dan mutu layanan pendidikan. Pengaturan organ perguruan tinggi negeri

menurut Pasal 15 Ayat (2) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum

Pendidikan menyebutkan, organ badan hukum pendidikan yang menjalankan

Page 62: ANALISIS IMPLEMENTASI

54

fungsi badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2)

badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri atas:

(a) organ representasi pemangku kepentingan; (b) organ representsi pendidikan;

(c) organ audit bidang nonakademik dan (d) organ pengelola pendidikan.

Kekayaan yang dimaksud dalam UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan

Hukum Pendidikan (UU BHP) Pasal 37 menyebutkan:

a. Kekayaan awal BHP, BHPPD, dan BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang

dipisahkan

b. Kekayaan BHP Penyelenggara sama dengan kekayaan yayasan, perkumpulan,

atau badan hukum lain sejenis sebelum diakui sebagai badan hukum

pendidikan

c. Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang belum diakui

sebagai badan hukum pendidikan tidak hanya menyelenggarakan kegiatan

pendidikan, wajib menetapkan bagian kekayaan yang diperuntukkan bagi

BHP Penyelenggara

d. Kekayaan dan pendapatan BHPP, BHPD, dan BHPM, dikelola secara mandiri,

transparan, dan akuntabel oleg pimpinan organ pengelola pendidikan

e. Kekayaan dan pendapatan BHP Penyelenggara dikelola secara mandiri,

transparan, dan akuntabel

f. Kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara

langsung atau tidak langsung untuk:

Kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran

Pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat

dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi

Page 63: ANALISIS IMPLEMENTASI

55

Peningkatan pelayanan pendidikan

Penggunaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

g. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan kekayaan dan pendapatan

sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sampai dengan Ayat (6) diatur dalam

anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

Pasal 4 Ayat (1) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan

menyebutkan, pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan

didasarkan pada prinsip nirlaba. Yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya

tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum

pendidikan untuk meningkatkan kapsitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

Johannes Gunawan, Guru Besar Hukum Perjanjian Unpar mengatakan, “berbeda

dengan sebuah perseroan terbatas (badan hukum laba) yang membagikan sisa

hasil usaha komersial kepada para pemegang saham. Pembagian sisa hasil usaha

seperti ini tidak mungkin terjadi pada BHP karena BHP tidak didirikan atas dasar

saham sehingga di dalam BHP tidak terdapat pemegang saham.” Pasal 55 Ayat

(2) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan terkait tenaga

pendidik dan kependidikan menyebutkan, sumber daya manusia badan hukum

pendidikan dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai

badan hukum pendidikan. Sebagai tenaga pendidikan dan kependidikan PNS yang

dipekerjakan memperoleh remunerasi dari pemerintah atau pemerintah daerah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan remunerasi dari

badan hukum pendidikan sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar dan/atau

anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan.

Page 64: ANALISIS IMPLEMENTASI

56

2.1.4.3 Landasan Implementasi PTN-BH

Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro (2012) berpendapat bahwa, landasan

implementasi PTN-BH mencakup 8 (delapan) poin:

1) Manfaat perubahan,

Manfaat perubahan sistem pendidikan tinggi terjadi di berbagai negara dan

perubahan tersebut umumnya meliputi kebutuhan untuk otonomi yang lebih

luas. Perubahan tersebut tidak terjadi tanpa adanya ketegangan. Oleh karena

itu seluruh pelaku perubahan harus yakin akan nilai/hakekat/norma perubahan

tersebut, paling tidak ditinjau dari perspektif kepentingan nasional dan bukan

dari perspektif kepentingan individu. Seperti halnya di berbagai negara,

pemahaman nilai/hakekat/norma perubahan tersebut ternyata masih rancu dan

rentan terhadap penyalahgunaan.Dalam konsep Badan Hukum Milik Negara

yang telah dicanangkan, ditetapkan bahwa otonomidiberikan kepada

perguruan tinggi negeri agar dapat berperan sebagai kekuatan moral, dan hal

ini merupakan salah satu aspek penting dalam reformasi pendidikan tinggi

yang saat ini sedang dijalankan.

2) Kerangka legislatif dan peraturan,

Kerangka legislatif dan peraturan untuk sistem pendidikan tinggi yang otonom

haruslah konsisten secara internal. Perkembangan yang ada selama ini di

Indonesia, tampak nya bahwa satu aspek lebih cepat berkembang dari yang

lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya kebuntuan proses. Paling

tidak saat ini terasa bahwa pihak pemerintah belum sepenuhnya yakin akan

validitas konsep otonomi pendidikan tinggit tersebut. Karena peraturan

pemerintah tentang Badan Hukum Milik Negara sudah terbit maka perlu

Page 65: ANALISIS IMPLEMENTASI

57

adanya konsensus dari seluruh pimpinan politik dan badan pemerintah untuk

menyiapkan perangkat peraturan dan perundangan yang mendukung.

3) Akuntabilitas,

Akuntabilitas, untuk menjamin akuntabilitas diperlukan tiga macam

mekanisme berikut ini perwakilan dalam keanggotaan dan mekanisnie kerja

Majelis Wali Amanat; valids iindependen terhdap keluaran penguruan tinggi;

pengaturan proses audit terhadap penggunaan dana publik untuk menghasilkan

keluaran tersebut. Adanya Majelis Wali Amanat merupakan mekanisme utama

untuk memperoleh akuntabilitas terhadap publik secara luas. Dengan cara ini

komunitas dapat memberikan pandangan nya terhadap formulasi strategi

pengembangan perguruan tinggi dan di lain pihak perguruan tinggi dapa

tmemberikan umpan balik kepada komunitas. Majelis Wali Amanat

merupakan lembaga tertinggi dari perguruan tinggi dan oleh karena itu harus

me nunjukkanakuntabilitasnya.

4) Rancangan pendanaan,

Keberhasilan proses akuntabilitas kelembagaan maka perlu dukungan

pendanaan yang sesuai dengan semangat akuntabilitas yaitu pendanaan yang

bersifat block-funding, adanya kebebasan dan keluwesan dalam penggunaan

dana yang diarahkan kepada pencapaian hasil yang optimal. Dengan demikian

pendanaan yang berbasis kepada keluaran (output/outcome based funding

mechanism )menjadi penting karena adanya beberapa alas an kebijakan yang

kuat. Pada saat ini pendanaan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi negeri

terdiri atas dana rutin (DIK) yang ditujukan untuk menanggung biaya

operasional perguruan tinggi (90% untuk gaji pegawai) dan dana

Page 66: ANALISIS IMPLEMENTASI

58

pembangunan (DIP) yang ditujukan untuk

pembangunan/investasi/pengembangan termasuk di dalamnya tambahan biaya

operasional sebesar 15% dari DIP tersebut. Sebuah pemikiran sedang

dikembangkan untuk bagaimana dana DIK tersebut dapat diberikan dalam

bentuk block-funding, dan tidak dalam bentuk seperti yang sekarang berlaku

(itemized allocation). Penetapan besarannya menggunakan suatu formula dan

kewenangan penggunaan sepenuhnya ada pada pimpinan institusi.

5) Formula pendanaan,

Besarnya pendanaan dari pemerintah memerlukan suatu formula yang dapat

diterapkan di semua perguruan tinggi, berlaku secara nasional. Besaran yang

perlu ditetapkan formulanya utamanya adalah pendanaan yang langsung untuk

kegiatan pendidikan (R1 dan R2). Untuk menetapkan besaran komponen R1,

tingkatan pendanaan harus dapat ditetapkan dan diterima di tingkat nasional,

dan menggunakan satuan biaya pendidikan yang saat ini berlaku. Besaran

tersebut kemudian didefinisikan sebagai kemampuan pemerintah untuk

mendanai pendidikan mahasiswa di perguruan tinggi. Besaran tersebut

diasumsikan cukup untuk mendanai berbagai kegiatan penyelenggaraan

pendidikan tinggi di perguruantinggi.

6) Pengawasan,

Bagi institusi yang memperoleh otonomi finansial, fungsi pengawasan

menjadi sangat penting dan konsep pengawasannya sangat berbeda dengan

pengawasan yang selama ini dikenal di instansi pemerintah. Pengawasan

tersebut akan diarahkan kepada pemenuhan kewajiban sesuai dengan

peruntukan block-funding, apakah telah sesuai dengan tujuan pendanaan

Page 67: ANALISIS IMPLEMENTASI

59

tersebut. Termasuk dalam pengawasan ini adalah pengawasan terhadap

tindakan korupsi dan penyalahgunaan dana pemerintah untuk sektor yang

seharusnya tidak disubsidi. Dengan demikian pengawasan dilakukan tidak

hanya terhadap perolehan dana dari pemerintah akan tetapi juga terhadap dana

yang diperoleh dan sumber lainnya secara komprehensif. Pola pengawasan

semacam ini sudah normal dilakukan untuk institusi yang otonomi secara

finansial. Untuk keperluan tersebut di atas, perlu ditetapkan adanya pengawas

eksternal yang mampumelakukan post-hoc auditing. Hasil pengawasan oleh

pengawas eksternal tersebut kemudian dijadikan dokumen publik.

7) Transisi,

Transisi, untuk menjembatani antara kondisi saatini (sebagai PTN) sampai

dengan saat sudah menjadi BHMN sepenuhnya, perlu adanya pola transisi

yang sesuai sehingga tidak terjadi stagnasi proses pendidikan di perguruan

tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah yang terbit untukke 4 PTN (UI, UGM,

ITB, IPB) dinyatakan bahwa masa peralihan untuk masalah kepegawaian (dari

semula PNS menjadi non-PNS) adalah selama 10 tahun. Untuk masa transisi

ini diperlukan pola pendanaan yang tepat karena masih tercampur antara

pegawai yang PNS dan non-PNS serta pendanaan berbasis block-funding

sudah harus dimulai

8) Kesiapan perguruan tinggi.

Kesiapan perguruan tinggi, sebelum perguruan tinggi siap melakukan proses

otonomi sebagai BHMN, maka paling tidak terdapat tujuh butir yang harus

dipersiapkan oleh perguruan tinggi sampai kepada tingkat sistem dan

operasionalnya: mahasiswa, matakuliah, manajemen, sumber daya manusia,

Page 68: ANALISIS IMPLEMENTASI

60

keuangan, perolehan pendapatan, dan administrasi yang

professional.Perguruan tinggi umumnya telah siap dengan sistem dan

operasional untuk ke dua butir teratas, yaitu sistem untuk mahasiswa

(misalnya pendaftanan, pendataan, pemantauan, hasil ujian, profil mahasiswa,

data alumni dll.) dan sistem untuk matakuliah (misalnya isi kurikulum,

tatacara dan modus penyajian, matakuliah yang terkait, dosen yang relevan,

pencatatan dan pendataan matakuliah, hasil pembelajaran yang diharapkan,

tuntutan mahasiswa, tingkat keberhasilan mahasiswa, dll). Kelima butir

lainnya perlu dipersiapkan baik secara khusus oleh perguruan tinggi maupun

bersama dengan pemerintah pusat (Ditjen Dikti dan instansi terkait lainnya).

Persiapan terhadap ke lima butir dimaksud hendaknya menjadi prioritas utama

demi terlaksananya proses perubahan menjadi PTN-BH.

2.1.4.4 Tujuan Badan Hukum Pendidikan

Adapun otonomi atau dalam istilah lain PTN-BH yang terjadi, pada

dasarnya telah menjadi cita-cita/ tujuan dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia

sebagaimana yang termaktub dalam UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS

pasal 24 yang juga menjadi dasar dari lahirnya UU PT:

1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan,

pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar

akademik serta otonomi keilmuan.

2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelole sendiri lembaganya

sebagai pusat penyelengaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan

pengabdian kepada masyarakat.

Page 69: ANALISIS IMPLEMENTASI

61

3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang

pengelolaanya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas (Surachman,

2016).

2.1.4.5 Kunggulan Badan Hukum Pendidikan

Dengan diterbitkannya PP 58/2013 tentang Bentuk dan Mekanisme

Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), perguruan tinggi

negeri yang berbadan hukum dapat menggunakan pendanaan yang bersumber dari

masyarakat, biaya pendidikan, pengelolaan dana abadi dan usaha-usaha PTN-BH,

kerja sama Tridharma atau dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang diberikan

oleh Pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk kepentingan pengembangan

pendidikan tinggi (Menristekdikti, 2014). Keterbukaan dan kemampuan

menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku

kepentingan (Poengky, 2008).

2.1.4.6 Kekurangan Badan Hukum Pendidikan

Dengan perubahan bentuk menjadi badan hukum, maka dalam kondisi

yang paling buruk dapat terjadi 2 kemungkinan yaitu : perguruan tinggi menjadi

bangkrut secara teknis dan jika demikian perlu ditetapkan bagaimana

penanganannya, atau perguruan tinggi menjadi unit komersial yang menyimpang

dari tugasnya dalam bidang pendidikan dan penelitian serta pengabdian pada

masyarakat (Brodjonegoro, 2012). Potensi konflik akibat beralihnya yayasan

perguruan tinggi ke badan hukum pendidikan, komersialisasi biaya masuk

perguruan, sampai melambungnya biaya pendidikan di universitas setelah status

beroperasinya perguruan tinggi berbadan hukum berjalan seolah adem ayem

seiring perjalanan waktu. Hingga kini, belum jelas bentuk perguruan tinggi yang

Page 70: ANALISIS IMPLEMENTASI

62

ideal, betapapun pemerintah telah melegalisasi badan hukum pendidikan melalui

UU Sisdiknas (Tung, 2015). Biaya semakin mahal sehingga mengakibatkan

rakyat-rakyat kecil mengalami kesulitan untuk meneruskan pendidikan di

perguruan tinggi, padahal kalau ditinjau sesuai dengan tujuan negara sebagaimana

termaktub dalam Pembukaan UUD pemerintah Indonesia berkewajiban

mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa

setiap warga negara berhak mendapat pendidikan(Soegito dkk, 2015: 162).

2.2 Penelitian Terdahulu

Anggaran yang telah disusun memiliki peranan sebagai perencanaan dan

sebagai kriteria kinerja, yaitu anggaran dipakai sebagai suatu sistem pengendalian

untuk mengukur kinerja manajer. Untuk mencegah dampak fungsional atau

disfungsionalnya, sikap dan perilaku anggota organisasi dalam penyusunan

anggaran, perlu melibatkan manajemen pada level yang lebih rendah sehingga

anggaran partisipatif dapat dinilai sebagai pendekatan manajerial yang dapat

meningkatkan kinerja setiap anggota organisasi ( Bambang Sardjito dan Osmad

Muthaher, 2007). Pengertian partisipasi dalam proses penyusunan anggaran lebih

rinci dijelaskan oleh French et al, (1960) dalam Krisler Bornadi Omposunggu

dan Icuk Rangga Bawono (2006) sebagai suatu proses kerjasama dalam

pembuatan keputusan yang melibatkan dua kelompok atau lebih yang

berpengaruh pada pembuatan keputusan di masa yang akan datang. Disini

partisipasi merupakan salah satu unsur yang sangat penting yang menekankan

pada proses kerjasama dari berbagai pihak, baik bawahan maupun manajer level

atas. Dengan kata lain bahwa anggaran yang disusun tidak semata-mata

Page 71: ANALISIS IMPLEMENTASI

63

ditentukan oleh atasan saja, melainkan juga keterlibatan atau keikutsertaan

bawahan, karena para pekerja atau manajer tingkat bawah merupakan bagian

organisasi yang memiliki hak suara untuk memilih tindakan secara benar dalam

proses manajemen.

Sebagian besar studi menunjukkan bahwa partisipasi anggaran lebih

banyak membawa manfaat pada organisasi. Beberapa manfaat partisipasi dalam

proses penyusunan anggaran antara lain (Siegel dan Marconi, 1989) dalam

Krisler Bornadi Omposunggu dan Icuk Rangga Bawono (2006) :

1) Seseorang yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran tidak saja task

involved melainkan juga ego involved dalam kerjasama.

2) Keterlibatan seseorang akan meningkatkan rasa kebersamaan dalam

kelompok, karena dapat meningkatkan kerjasama antara anggota kelompok di

dalam penetapan sasaran, serta dapat mengurangi rasa tertekan.

3) Keterlibatan seseorang akan mengurangi rasa keperbedaan di dalam

mengalokasikan sumber daya di antara unit-unit yang ada di organisasi.

Bukti empiris yang dijelaskan oleh Govindarajan (1986) menunjukkan

bahwa partisipasi anggaran secara khusus memberi manfaat bagi operasi pusat

pertanggungjawaban ketika organisasi dihadapkan pada ketidakpastian

lingkungan. Diikutsertakannya manajer pusat pertanggungjawaban dalam proses

penyusunan anggaran merupakan bagian terpenting, karena mereka yang paling

mengetahui informasi tentang variabel yang dapat mempengaruhi pendapatan dan

biaya. Disamping manfaat yang melekat pada partisipasi, tentu saja ada

keterbatasannya (Supriono, 2006) menemukan bahwa bilamana terdapat

kecacatan dalam penentuan tujuan (goal setting), maka partisipasi dapat merusak

Page 72: ANALISIS IMPLEMENTASI

64

motivasi pegawai dan menurunkan usaha pencapaian tujuan organisasi. Beberapa

studi menunjukkan bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan menunjukkan

bahwa tidak selamanya partisipasi dapat berhasil. Berbagai faktor yang dapat

menentukan ketidakberhasilan tergantung pada kedalaman, scope, dan bobot

partisipasi. Kedalaman partisipasi disini ditunjukkan oleh siapa yang seharusnya

berpartisipasi. Sedangkan scope partisipasi ditunjukkan oleh variabilitas

keputusan, sementara bobot partisipasi ditunjukkan oleh derajat kekuatan

partisipan dalam penentuan keputusan akhir.

Proses partisipasi dalam memberikan kekuatan, jika para manajer

diberikan kesempatan untuk menentukan atau menetapkan isi anggaran mereka,

sebaliknya akan menjadi lemah ketika mereka tidak diberikan kesempatan untuk

menentukan dan menetapkan isi anggaran. Hal ini dapat menimbulkan

konsekuensi dysfungtional behavior, sebagai contoh adanya partisipasi semu

(pseudo participation), yakni tampak berpartisipasi, tetapi dalam kenyataannya

tidak. Artinya para manajer ini (sebagai bawahan) ikut berpartisipasi, tetapi tidak

diberi wewenang atau pendapat untuk menentukan dan menetapkan isi anggaran

(Chong, 2002) dalam Krisler Bornadi Omposunggu dan Icuk Rangga Bawono

(2006). Padahal para manajer bawah ini sebenarnya memiliki informasi yang

lebih baik dibandingkan yang dipunyai manajer atas. Pada sebagian besar

organisasi, para manajer di tingkat menengah kebawah ini lebih banyak memiliki

informasi yang akurat dibandingkan dengan atasannya. Sementara pada sisi lain,

manajemen tingkat atas yang lebih dominan dalam posisinya akan merasa lebih

mampu menyusun anggaran. Karena adanya perbedaan status ini memunculkan

kendala partisipasi Untuk menghilangkan atau meminimisasi terjadi perbedaan

Page 73: ANALISIS IMPLEMENTASI

65

persepsi pada kedua tingkatan manajer ini, serta memaksimalkan partisipasi agar

menjadi efektif, maka para manajer bawah di tingkat organisasi harus diberi

kesempatan untuk memberikan pendapat dalam proses penyusunan anggaran

dengan mengungkapkan informasi yang dimiliki terkait pekerjaan sebagai

konstribusi dalam penetapan jumlah anggaran. Hasil penelitian Yusfaningrum

(2005) menunjukkan bahwa partisipasi penyusunan anggaran dapat

meningkatkan kinerja manajerial.Sedangkan Indriantoro (1993) dalam Bambang

Sardjito dan Osmad Muthaher (2007) pada sampel di Indonesia menunjukkan

bahwa partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kajian teori dan penelitian terdahulu sebagaimana

dimaksud di atas maka kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam penelitian

ini adalah:

Implementasi Anggaran Partisipasi Perguruan Tinggi Badan Hukum

New Public Management (NPM) Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara UU

No.17/2003 Tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 Tentang Perbendaharaan

Negara dan UU No.15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

jawab Keuangan Negara, PP No.23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan

Badan Layanan Umum

Perubahan Pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri UU No.12/2012 Tentang

Pendidikan Tinggi, PP No. 58/2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan

PTN Badan Hukum

OTONOMI

NONAKADEMI

K

OTONOMI

AKADEMIK

Page 74: ANALISIS IMPLEMENTASI

66

Adapun model dalam penelitian ini diadopsi dari beberapa contoh

model-model penelitian sebagai berikut :

1) Sandalgaard et.al (2011)

Studi ini meneliti mengenai hubungan antara motive of subordinate dan

budgetary participation terhadap budget goal commitment. Selain itu studi ini

menggunakan pendekatan motivation psychology theory yang dikembangkan oleh

McClelland (1961) yang dikenal sebagai big three motivation yaitu achievement,

power, dan affiliation. Pada Gambar 2.1 berikut dijelaskan model penelitian

Sandalgaard et.al (2011).

Gambar 2.2

Model Penelitian Sandalgaard et.al (2011)

Dalam penelitiannya, Sandalgaard et.al (2011) yang memiliki fokus untuk

menguji pengaruh berbagai karakteristik dari motivasi bawahan yaitu kebutuhan

Praktik Ideal Implementasi Anggaran Partisipasi Perguruan Tinggi Badan Hukumdi

Indonesia

Motive of subordinate

Need for

achievement

Need for power

Need for affiliation

Budgetary participation

Budget goal

commitment

Page 75: ANALISIS IMPLEMENTASI

67

akan berprestasi (need for achievement), kebutuhan akan kekuasaan (need for

power), dan kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation) secara langsung

berinteraksi dengan berpartisipasi dalam penganggaran terkait untuk

meningkatkan motivasi bawahan dalam berkomitmen terhadap tujuan anggaran.

Studi ini menunjukan pentingnya interaksi antara variabel psikoligis tingkat

pribadi misalnya motivasi, dan variable situasional misalnya patisipasi anggaran,

yang menentukan suatu tindakan misalnya berkomitmen pada tujuan anggaran.

Implikasi praktisnya adalah bahwa efektivitas yang melibatkan bawahan

dalam proses penganggaran dan penetapan target anggaran tidak hanya akan

tergantung pada situasi situasional tetapi juga pada karakteristik pribadi dari yang

terlibat. Saran dari penelitian ini untuk penelitian yang mendatang terkait dengan

sample atau lingkungan yang berbeda misalnya organisasi yang menggunakan

target kinerja relatif.

2) Subramaniam (2002)

Studi ini menyelidiki peran struktur terdesentralisasi dan kebutuhan untuk

berprestasi sebagai anteseden penganggaran partisipatif, dan dampak dari

hubungan bersamaan dari ketiga variabel sebelumnya pada komitmen organisasi.

Pada Gambar 2.2 berikut dijelaskan model penelitian Subramaniam (2002).

Gambar 2.3

Model Penelitian Subramaniam (2002)

Decentralised

structure

Need for

Achievement

Participative

budgeting

Organisational

commitment

Page 76: ANALISIS IMPLEMENTASI

68

Dalam penelitiannya Subramaniam (2002) menjelaskan semangkin tinggi

level desentralisasi, maka semangkin besar kebijaksanaan dalam membuat

keputusan yang memungkinkan kecenderungan dalam meningkatkan tanggung

jawab mereka secara keseluruhan. Dengan demikian bahwa dengan meningkatnya

otonomi dan rasa tanggung jawab dalam struktur yang lebih terdesentralisasi akan

lebih suka penganggaran partisipatif karena dalam penetapan anggaran

memberikan kontrol yang lebih besar dalam menetapkan target kinerja yang pada

akhirnya menjadi sasaran mereka bertanggung jawab.

Pada saat yang bersamaan, meningkatkan partisipasi dalam proses

penganggaran menjadi berguna bagi individu dengan kebutuhan akan berprestasi

yang tinggi karena partisipasi membantu mereka mendapatkan informasi yang

relevan dengan pekerjaan dan menetapkan target yang lebih menantang namun

dapat dicapai. Dengan demikian, dari sudut pandang psikologis dengan kebutuhan

yang tinggi untuk berprestasi akan memiliki kontrol yang lebih besar terhadap

lingkungan kerja mereka untuk memaksimalkan probabilitas mencapai tujuan,

sehingga partisipasi anggaran memfasilitasi pencapaian kontrol tersebut.

Hasilnya menunjukkan bahwa individu diberikan tanggung jawab yang

lebih besar dan otonomi pengambilan keputusan, mereka menjadi lebih bersedia

dan termotivasi untuk berpartisipasi dalam menetapkan target anggaran mereka,

yang pada gilirannya meningkatkan komitmen mereka untuk pekerjaan mereka

dan organisasi. Saran dari penelitian ini untuk penelitian selanjutnya yaitu dapat

menyelidiki partisipasi anggaran melalui pendekatan variabel individu lainnya

seperti locus of control dan ambiguitas, serta faktor tingkat organisasi seperti

strategi bisnis dan budaya perusahaan.

Page 77: ANALISIS IMPLEMENTASI

69

3) Karakoc & Ozer (2016)

Studi ini menyelidiki pengaruh partisipasi penganggaran, komitmen dan

informasi tujuan anggaran terhadap kinerja pekerjaan. Pada Gambar 2.3 berikut

dijelaskan model penelitian Karakoc & Ozer (2016).

Gambar 2.4

Model Penelitian Karakoc & Ozer (2016)

Studi ini menggunakan pendekatan goal setting theory yang menjelaskan

individu yang memiliki komitmen tinggi pada tujuan anggaran akan berupaya

untuk mendapatkan dan menggunakan informasi yang diperlukan terkait

pekerjaan mereka. Dalam penelitiannya Karakoc & Ozer (2016) menjelaskan

partisipasi anggaran juga memiliki dampak tidak langsung pada kinerja pekerjaan

melalui komitmen tujuan anggaran dan berbagi informasi. Dengan kata lain,

peningkatan partisipasi anggaran juga meningkatkan komitmen tujuan anggaran

dan berbagi informasi di antara mereka. Jika individu memiliki komitmen tujuan

anggaran yang lebih tinggi, mereka akan melakukan lebih banyak upaya untuk

mencapai tujuan anggaran yang ditentukan secara partisipatif. Saran dari

Budgetary

participation

Job performance

Budget goal

commitment

Information sharing

Page 78: ANALISIS IMPLEMENTASI

70

penelitian ini untuk penelitian selanjutnya yaitu menambahkan variabel lainnya

yang dapat mempengaruhi job performance.

4) Aloysius (2012)

Studi ini menyelidiki motivasi individu untuk berprestasi yang pada

umumnya dianggap memiliki dampak pada kinerja dan kepuasan mereka. Fokus

penelitian ini ditunjukan untuk menguji kebutuhan untuk berprestasi (need for

achievement) terhadap job performance yang meliputi quality of work

performance, amount of effort expended on the job, productivity on the job, speed

on the job, dan overall work performance dan terhadap job satisfaction yang

meliputi the work itself, supervision co-workers, pay, dan opportunities for

promotion on the job. .Pada Gambar 2.4 berikut dijelaskan model penelitian

Aloysius (2012).

Gambar 2.5

Model Penelitian Aloysius (2012)

Dalam penelitiannya Aloysius (2012) menjelaskan beberapa individu

memiliki tingkat motivasi intrinsik untuk berprestasi yang tinggi, sementara yang

lain memiliki tingkat yang rendah pada suatu pekerjaan yang sama. Individu yang

memiliki kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi biasanya tidak memerlukan

intensif eksternal yang mendorong mereka bekerja untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan, karena mereka sudah memiliki keinginan untuk melakukannya. Salah

Need for

Achivement Job satisfaction

Job Performance

Page 79: ANALISIS IMPLEMENTASI

71

satu karakteristik individu yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi

cenderung mencari tugas yang menantang dan berusaha keras untuk

menyelesaikannya sehingga berdampak pada meingkatkan kinerja pekerjaan

mereka. Oleh karena itu individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

cenderung sangat puas pada hasil pekerjaan mereka.

Page 80: ANALISIS IMPLEMENTASI

72

BAB III

METODOLOGI PENULISAN BUKU

3.1 Desain Penulisan Buku

Penulisan buku ini menggunakan pendekatan yang mengombinasikan

metode studi kasus dan metode survei untuk menganalisis praktik implementasi

anggaran partisipatif pada perguruan tinggi badan hukum. Studi kasus digunakan

untuk pendekatan penelitian kualitatif dan survei digunakan untuk pendekatan

penelitian kuantitatif. Beberapa peneliti menggunakan terminologi yang berbeda

untuk penelitian yang mengintegrasikan kedua pendekatan (kuantitatif dan

kualitatif). Triangulasi dalam pengertian Bryman (1992) merupakan metode

penelitian yang menggunakan lebih dari satu metode investigasi dan karenanya

mendapatkan lebih dari satu data. Metode Triangulasi Bryman (1992) tidak

dimaksudkan untuk melihat konsistensi data/hasil satu metode dengan metode

lain, tetapi bahwa data/hasil dua metode bersifat komplementer, saling

melengkapi satu dengan lainnya.

Morse (2003) menggunakan terminologi multimethod design untuk

menggambarkan integrasi atau kombinasi metode yang digunakan untuk

menjawab sub-sub pertanyaan dalam suatu penelitian, yang mana metode-metode

yang digunakan dilakukan secara simultan dan masing-masing dilakukan secara

lengkap (must be complete). Sementara itu, Moleong (2004) menyatakan bahwa

kedua pendekatan dapat dikombinasikan dalam satu proyek riset, di mana satu

pendekatan mendukung pendekatan yang lain. Kedua pendekatan bisa

digabungkan bukan dalam penelitian kuantitatif menguji kualitatif atau

Page 81: ANALISIS IMPLEMENTASI

73

sebaliknya, melainkan kedua pendekatan tersebut digunakan bersama dan

digunakan untuk tujuan penyusunan teori.

Desain mixed method dalam penelitian ini dilakukan melalui Melalui

penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh data primer, yaitu data yang langsung

didapat dari perguruan tinggi. Tehnik pengumpulan data untuk penelitian

lapangan ini digunakan dengan menyusun daftar pernyataan (kuesioner) yang

ditanyakan secara langsung kepada responden yang telah ditentukan dan dianggap

pakar dalam bidang tata kelola PTBH. Untuk melengkapi data primer, diperlukan

pula data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Pengumpulan

data sekunder dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan,

jurnal-jurnal, buku teks, sumber lainnya yang dianggap menunjang pembahasan

dan analisis penelitian lapangan.

Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan mengkaji

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan penelitian

ini antara lain:

1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 Tentang PNBP

2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

4. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendahaaan Negara

5. Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang BHP

6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

7. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi

8. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 Tentang PTNBH

9. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 Tentang PK BLU beserta revisinya

Page 82: ANALISIS IMPLEMENTASI

74

10. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan

11. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme

Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum

3.2 Alasan Pemilihan Setting

Penelitian tentang Implementasi Anggaran Partisipatif ini menarik karena

penulis merasakan bahwa pelaksanaan anggaran partisipatif pada perguruan tinggi

badan hukum masih banyak masalah. Dari informasi pendahuluan yang

diperoleh, yaitu dari Bagian Akuntansi dan Pelaporan Kementerian Riset,

Teknologi dan Pendidikan Tinggi, mengindikasikan masih banyak pelaksanaan

anggaran yang tidak sesuai dengan perencanaan, seringnya revisi dokumen

pelaksanaan anggaran, serta lemahnya daya serap anggaran. Pertimbangan lain

karena perguruan tinggi badan hukum yang mengelola sumber dana APBN yang

sangat besar, sehingga diperlukan pertanggungjawaban keuangan yang sangat

besar juga. Di satu sisi, perguruan tinggi badan hukum ini mempunyai fleksibilitas

dalam mengelola keuangannya. Dengan fleksibilitas dan tanggungjawab yang

besar tentu saja banyak kendala yang dihadapi terutama dalam hal akuntabilitas

kinerja.

Disamping itu ada keunikan lain yaitu Perguruan Tinggi Badan Hukum

memiliki unit kerja yang banyak dengan karakteristik yang berbeda, yang terdiri

dari fakultas yang mempunyai penerimaan dari dana masyarakat dan unit kerja

non fakultas yang tidak mempunyai penerimaan. Unit kerja yang banyak dengan

karakteristik yang berbeda seperti rumah sakit, hotel, wisma, pom bensin, dan

Page 83: ANALISIS IMPLEMENTASI

75

masih banyak lagi ini tentu saja akan membuat perguruan tinggi badan hukum

mengalami kesulitan dalam mengelola anggaran dan menilai kinerjanya.

3.3 Obyek dan Waktu

Obyek studi kasus ini dilakukan di perguruan tinggi negeri yang telah

ditetapkan oleh pemerintah sebagai satuan kerja Badan Hukum Pendidikan

(BHP). Sampai dengan penelitian ini dilaksanakan dan selesai terdapat delapan

perguruan tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai satker BHP. Nama

perguruan tinggi dan peraturan yang menetapkan dijelaskan melalui tabel di

bawah ini.

Tabel 3.1

Tempat Pengamatan

Sumber : Data Pengamatan (2018)

Waktu penelitian yaitu bulan Maret tahun 2018 s/d bulan November 2018

karena pada bulan-bulan tersebut sebagian besar proses penganggaran sedang

berlangsung.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan

teknik wawancara, kuesioner ,studi pustaka dan dokumentasi.

No Nama Universitas Penetapan PenyelenggaraAkreditasi

InstitusiProvinsi

1 Universitas Hasanuddin PP No. 53 Tahun 2015 PTN-BH-Ristekdikti A SULSEL

2 Universitas Diponegoro PP No. 52 Tahun 2015 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Tengah

3 Univeristas Padjadjaran PP No. 51 Tahun 2015 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Barat

4 Universitas Airlangga PP No. 30 Tahun 2014 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Timur

5 Universitas Sumatera Utara PP No. 16 Tahun 2014 PTN-BH-Ristekdikti B SUMUT

6 Universitas Pendidikan Indonesia PP No. 15 Tahun 2014 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Barat

7 Universitas Indonesia PP No. 68 Tahun 2013 PTN-BH-Ristekdikti A Jawa Barat

8 Universitas Gadjah Mada PP No. 67 Tahun 2013 PTN-BH-Ristekdikti A DIY

Page 84: ANALISIS IMPLEMENTASI

76

a. Wawancara

Yaitu teknik pengumpulan data yang diperlukan secara face to face dengan

informan yang sesuai dengan bidang penelitian. Kerlinger (2006,p.770)

menyatakan bahwa wawancara adalah situasi peran antar pribadi bersemuka

(face to face) , ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-

pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan

masalah penelitian, kepada seseorang yang diwawancarai atau responden.

Wawancara juga dilakukan secara informal guna menggali informasi

mendalam tentang kondisi dan situasi internal. Pengumpulan data melalui

pengamatan berpartisipasi dengan para informan yang dilakukan secara tidak

terstruktur dan informal dalam berbagai situasi.

b. Kuesioner

Yaitu proses pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang disusun secara

sistematis dan bersifat tertutup yaitu responden memberikan jawaban

berdasarkan pilihan jawaban yang telah disediakan (Nur Indriyanto,

1999;254). Pertanyaan yang akan diberikan pada kuesioner ini adalah

pertanyaan menyangkut fakta dan pendapat responden, sedangkan kuesioner

yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner tertutup, dimana

responden diminta menjawab berdasarkan pilihan dari sejumlah jawaban

alternatif. Keuntungan bentuk tertutup ialah mudah diselesaikan, mudah

dianalisis, dan mampu memberikan jangkauan jawaban.

c. Riset Kepustakaan

Yaitu teknik penelitian yang dilakukan dengan mempelajari dan membaca

berbagai literature yang terkait dengan pembahasan penelitian sebagai

Page 85: ANALISIS IMPLEMENTASI

77

landasan teori yang menuntun penelitian tetap pada jalur penelitian ilmiah,

yaitu menelaah beberapa kajian ilmiah dari buku-buku, jurnal, surat kabar, e-

book di internet dalam memperkaya khasanah kajian literature.

d. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai berupa dokumen, catatan,

transkrip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya. Metode ini digunakan

untuk mengumpulkan berbagai informasi khususnya untuk melengkapi data

yang tidak diperoleh dalam observasi dan wawancara.

Adapun dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian Implementasi

Anggaran partisipatif ini adalah :

1. Data mengenai profil Perguruan Tinggi Badan Hukum mencakup : visi,

misi, struktur organisasi, sumberdaya manusia, kondisi sarana dan

prasarana, serta gambaran perencanaan dan penganggaran.

2. Data pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi Badan Hukum khususnya

perencanaan dan penganggaran yang meliputi Rencana, rencana kinerja

(renja), Rencana Kerja Anggaran Kementrian Negara/Lembaga (RKAKL),

Standar Pelayanan Minimal (SPM), Kerangka Acuan Kerja atau Term of

Reference (TOR), Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), Laporan

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan Daftar Isian

Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

3.4.2 Pengolahan dan Analisis Data

Menurut Hasan (2006: 24), pengolahan data adalah suatu proses dalam

memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara

atau rumus-rumus tertentu. Pengolahan data bertujuan mengubah data mentah dari

Page 86: ANALISIS IMPLEMENTASI

78

hasil pengukuran menjadi data yang lebih halus sehingga memberikan arah untuk

pengkajian lebih lanjut (Sudjana, 2001: 128). Pengolahan data menurut Hasan

(2006: 24 ) meliputi kegiatan:

a. Editing

Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah terkumpul,

tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada

pencatatan dilapangan dan bersifat koreksi.

b. Coding (Pengkodean)

Coding adalah pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam

katagori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka atau

huruf yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data

yang akan dianalisis.

c. Pemberian skor atau nilai

Dalam pemberian skor digunakan skala Likert yang merupakan salah satu cara

untuk menentukan skor. Kriteria penilaian ini digolongkan dalam lima

tingkatan dengan penilaian sebagai berikut:

Jawaban 5, diberi skor 5

Jawaban 4, diberi skor 4

Jawaban 3, diberi skor 3

Jawaban 2, diberi skor 2

Jawaban 1, diberi skor 1 (Sudjana, 2001: 106).

Analisis Data menurut Hasan ( 2006: 29) adalah memperkirakan atau

dengan menentukan besarnya pengaruh secara kuantitatif dari suatu (beberapa)

kejadian terhadap suatu (beberapa) kejadian lainnya, serta

Page 87: ANALISIS IMPLEMENTASI

79

memperkirakan/meramalkan kejadian lainnya. Kejadian dapat dinyatakan sebagai

perubahan nilai variabel. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh

data yang diperoleh baik melalui hasil kuesioner dan bantuan wawancara.

Pengolahan data dilakukan melalui sistem pengkodean dan penyimpanan

serta pengaksesan data agar mudah digunakan. Adapun strategi analisis data

melalui langkah sebagai berikut :

Gambar 3.1

Strategi analisis data

3.5 Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penulisan buku ini, metode pengambilan sampel yang digunakan

adalah metode nonprobability sampling. Pada teknik ini, unsur populasi yang

ditentukan menjadi sampel didasarkan pada tujuan penelitian. Teknik ini baru

dapat digunakan jika karakteristik populasinya, yang juga menjadi objek

penelitian yang dilakukan, telah diketahui. (Aritonang R., 2007, p103)

Non-probability sampling merupakan teknik penarikan sampel yang

memberi peluang /kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi

Page 88: ANALISIS IMPLEMENTASI

80

untuk terpilih menjadi sampel. Dimana teknik sampel yang dipilih adalah

Purposive Sampling, yaitu teknik penarikan sampel yang dilakukan untuk tujuan

tertentu saja. Seperti masalah yang akan diteliti adalah tentang implementasi

anggaran partisipatif, maka sampel yang dipilih adalah orang yang ahli atau yang

terlibat dalam penganggaran atau pengelolaan anggaran saja.

3.6 Operasional Variabel

Dalam penelitian ini penulis menganalisis variabel implementasi anggaran

partisipatif

Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel

1. Budgetary

participation

(Milani,

1975)

1. Keterlibatan dalam

penyusunan anggaran

2. Alasan logis yang diberikan

dalam merevisi anggaran

3. Frekuensi berdiskusi terkait

anggaran yang ingin

diusulkan

4. Pengaruh dalam finalisasi

anggaran

5. Kontribusi dalam

penyusunan anggaran

6. Frekuensi atasan meminta

pendapat saat anggaran

sedang disusun

1

2

3

4

5

6

Ordinal

3.7 Narasumber/Informan

Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui teknik wawancara

dengan narasumber/informan dan survey. Adapun narasumber yang

diwawawancarai adalah pejabat yang memahami perumusan konsep anggaran dan

pejabat yang berkompoten langsung terhadap perencanaan anggaran di

Page 89: ANALISIS IMPLEMENTASI

81

lingkungan kantor pusat/Universitas. Adapun informan yang menjadi target yaitu

wakil rektor II, kepala biro perencanaan, kasubag perencanaan dan kepala biro

keuangan. Pertimbangan pemilihan narasumber dan informan adalah dengan

memperhatikan kapasitas dan kompetensi masing-masing serta dengan

memperhatikan kebutuhan data dan informasi yang relevan dengan obyek dan

topik yang diteliti, yang umumnya adalah pejabat/pelaksana yang bersentuhan

langsung dalam proses penyusunan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan di

bidang penganggaran.

Sedangkan untuk pengambilan data melalui kuesioner adalah sampel dari

populasi dari semua unit kerja yang ada di lingkungan perguruan tinggi badan

hukumyaitu para pembantu dekan II, ketua/sekretaris jurusan prodi/jurusan,

kasubag keuangan dan bendahara di Unit kerja yang ada.

Tabel 3.3

Nama, Jabatan dan Asal Institusi Narasumber

No Nama Jabatan Nama Perguruan

Tinggi

1. Dr. Aristanti

Widyaningsih, S.Pd,

M.Si, Ak.

Peneliti Tata Kelola

Perguruan Tinggi

Universitas

Pendidikan

Indonesia (UPI)

Bandung

2. Ivan Yadianto, SE, M.Si,

Ak, CA, QIA.

Anggota SPI Universitas

Padjajaran Bandung

3. Dian Kusumastuti, SE,

M.Si, Ph.D.

Staf Ahli Wakil Rektor

Bidang Tata Kelola dan

Kelembagaan

Universitas

Sumatera Utara

(USU)

4. Prof. Dr. Bambang

Tjahjadi, MBA, Ak,

CMA.

Kepala Pusat Studi Tata

Kelola

Universitas

Airlangga

Page 90: ANALISIS IMPLEMENTASI

82

5. Prof. Dr. Unti Ludigdo,

M.Si, Ak, CA.

Dekan FISIP Universitas

Brawijaya

6. Irvan Yuliastono, SE. Kasubbag Akuntansi

dan Pelaporan

Kemenristekdikti

7. Doni Mahaputra, SE.,

M.Kom.

Bidang Perbendahaaran Direktorat Jenderal

Perbendaharaan

Kementerian

Keuangan

8. Diah Auditor Utama BPK BPK – Auditor

Satker PTBH

Sumber : Data Penelitian (2018)

Kuesioner

Pertanyaan Pengembangan

Bagaimana praktik otonomi akademik dan non akademik dapat dibandingkan

setelah menjadi perguruan tinggi badan hukum

No. Pernyataan STS TS ATS N AS S SS

1. Saya terlibat dalam pengusulan

dan penyusunan anggaran

2. Alasan yang diberikan oleh

atasan para manajer dalam

merevisi anggaran adalah logis

3. Saya sering mengajak atasan

untuk mendiskusikan anggaran

yang ingin diusulkan

4. Saya memiliki pengaruh yang

dalam penentuan anggaran final

5. Saya merasa mempunyai

kontribusi penting terhadap

anggaran

6. Saya sering dimintai pendapat

dalam penyusunan anggaran

oleh atasan

Page 91: ANALISIS IMPLEMENTASI

83

BAB IV

TEMUAN HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Temuan Hasil

4.1.1 Perjalanan Perubahan Status Hukum Kelembagaan Perguruan Tinggi

Pada awalnya, PTN yang ditetapkan sebagai PT BHMN berjumlah 4 pada

tahun 2000. Kemudian pada tahun 2003, USU ditetapkan sebagai PT BHMN.

Jumlahnya bertambah pada tahun 2004 yaitu dengan bergabungnya UPI. Sampai

dengan tahun 2006, perguruan tinggi negeri yang ditetapkan sebagai perguruan

tinggi badan hukum milik negara berjumlah 7:

Universitas Indonesia, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

152 Tahun 2000.

Universitas Gadjah Mada, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 153 Tahun 2000.

Institut Pertanian Bogor, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

154 Tahun 2000.

Institut Teknologi Bandung, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 155 Tahun 2000.

Universitas Sumatera Utara, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 56 Tahun 2003.

Universitas Pendidikan Indonesia, ditetapkan berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004.

Universitas Airlangga, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

30 Tahun 2006.

Page 92: ANALISIS IMPLEMENTASI

84

Pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan sebagai landasan hukum BHP

berdampak kepada seluruh perguruan tinggi BHMN dikembalikan statusnya

menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Adanya masa

transisi status PT Eks-BHMN harus sudah selesai hingga tahun 2013. Pemerintah

mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menyelesaikan masa transisi beberapa

Perguruan tinggi Eks-BHMN diantaranya:

Universitas Pendidikan Indonesia, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 43

Tahun 2012.[3]

Institut Teknologi Bandung, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun

2012.[4]

Lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi menjadi

pijakan dasar bagi Perguruan Tinggi Negeri Eks-BHMN untuk beralih status

menjadi PTN Badan Hukum. Setahun setelah UU disahkan, permasalahan status

PTN Eks-BHMN menjadi selesai dengan dikeluarkannya PP sebagai berikut:

Institut Teknologi Bandung, Bandung berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 65 Tahun 2013.

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 66 Tahun 2013.

Institut Pertanian Bogor, Kota Bogor berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 67 Tahun 2013.

Universitas Indonesia, Jakarta berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68

Tahun 2013.

Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 15 Tahun 2014.

Page 93: ANALISIS IMPLEMENTASI

85

Universitas Sumatera Utara, Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

16 Tahun 2014.

Universitas Airlangga, Surabaya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30

Tahun 2014.

Pada tahun 2015, pemerintah menambah jumlah perguruan tinggi negeri

(PTN) yang berstatus badan hukum (PTN BH) yang awalnya bersifat badan

layanan umum (BLU). Beberapa PTN BH tersebut diantaranya:

Universitas Padjadjaran, Bandung berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

51 Tahun 2015

Universitas Diponegoro, Semarang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

52 Tahun 2015

Universitas Hasanuddin, Makassar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

53 Tahun 2015

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2015

4.1.2 Keadaan Perguruan Tinggi Badan Hukum

Selanjutnya disajikan tabel mengenai perguruan tinggi badan hukum dari

aspek akreditasi institusi, jumlah dosen, jumlah mahasiswa, jumlah fakultas, lama

menjadi BHP serta daerah tempat universitas beroperasi bersumber dari forlap

ristekdikti sampai dengan 2018

NoPerguruan

Tinggi

Akreditasi

Institusi

Jumlah

Dosen

Jumlah

Mahasiswa

Jumlah

Fakultas

Lama

Menjadi BHPProvinsi

1 ITB A 1.413 11.155 12 5 Tahun Jawa barat

2 UNPAD A 1.893 31.752 16 3 Tahun Jawa barat

3 UPI A 1.239 32.782 10 4 Tahun Jawa barat

4 UI A 2.271 46.810 14 5 Tahun Jawa barat

5 IPB A 1.283 27.667 10 5 Tahun Jawa barat

6 UNAIR A 1.714 38.515 14 4 Tahun Jawa Timur

7 ITS A 984 17.850 10 3 Tahun Jawa Timur

8 UGM A 2.594 40.114 18 5 Tahun Jawa Tengah

9 UNDIP A 1.651 45.086 13 3 Tahun Jawa Tengah

9 USU A 1.568 22.912 15 4 Tahun Sumatera

10 UNHAS A 1.801 27.574 14 3 Tahun Sulawesi

Page 94: ANALISIS IMPLEMENTASI

86

4.2 Pembahasan

Penganggaran partisipatif 6 indikator. Hasil analisis penelitian disajikan

dalam Tabel 4.6 sebagai berikut:

Tabel 4.1

Deskripsi Variabel Budgetary Participation

No Indikator Skor

Riil

Skor

Max

Skor

Rata-

rata

%

Realisasi

%

GAP Kriteria

1

Keterlibatan dalam

penyusunan

anggaran

355 504 4,93 70,4% 29,6% Agak

Baik

2

Alasan logis yang

diberikan dalam

merevisi anggaran

388 504 5,39 77,0% 23,0% Baik

3

Frekuensi berdiskusi

terkait anggaran

yang ingin diusulkan

364 504 5,06 72,2% 27,8% Agak

Baik

4 Pengaruh dalam

finalisasi anggaran 338 504 4,69 67,1% 32,9%

Agak

Baik

5

Kontribusi dalam

penyusunan

anggaran

364 504 5,06 72,2% 27,8% Agak

Baik

6

Frekuensi atasan

meminta pendapat

saat anggaran sedang

disusun

355 504 4,93 70,4% 29,6% Agak

Baik

Skor Rata-rata 5,01 67,9% Agak Tinggi/

Agak Baik GAP 1,99 32,1%

Total seharusnya 100,0%

Sumber: Data Primer yang diolah, 2018

Data Tabel 4.2 menunjukan bahwa variabel Penganggaran partisipatif

(budgetary participation) memiliki nilai skor rata-rata sebesar 5,01 dalam kategori

agak tinggi/ agak baik. Namun demikian, masih terdapat GAP sebesar 32,1%.

Meskipun agak tinggi/ agak baik , indikator Pengaruh dalam finalisasi anggaran

merupakan indikator dengan skor terendah sebesar 4,69 dari skala 7,00. Adapun

Page 95: ANALISIS IMPLEMENTASI

87

hasil perhitungan tanggapan responden untuk setiap indikator pada variabel

budgetary participation sebagai berikut:

Tabel 4.3

Deskripsi Indikator Variabel Budgetary Participation

No Indikator Tanggapan Responden (%) Skor

Rata-

rata

Kriteria 1 2 3 4 5 6 7

1

Keterlibatan

dalam

penyusunan

anggaran

1,39 11,11 4,17 16,67 23,61 29,1

7

13,8

9 4,93

Agak

Baik

2

Alasan logis

yang diberikan

dalam merevisi

anggaran

0,00 1,39 0,00 23,61 12,50 58,3

3 4,17 5,39 Baik

3

Frekuensi

berdiskusi

terkait

anggaran

yang ingin

diusulkan

0,00 6,94 1,39 27,78 19,44 31,9

4

12,5

0 5,06

Agak

Baik

4

Pengaruh

dalam

finalisasi

anggaran

0,00 12,50 1,39 25,00 29,17 29,1

7 2,78 4,69

Agak

Baik

5

Kontribusi

dalam penyusunan

anggaran

1,39 2,78 2,78 20,83 29,17 40,2

8 2,78 5,06

Agak Baik

6

Frekuensi

atasan

meminta

pendapat saat

anggaran

sedang

disusun

1,39 6,94 4,17 23,61 23,61 29,1

7

11,1

1 4,93

Agak

Baik

Budgetary participation 5,01 Agak

Baik

Sumber: Data Primer yang diolah, 2018

Data pada Tabel 4.3 menunjukan. Pertama, indikator Keterlibatan dalam

penyusunan anggaran memiliki skor rata-rata sebesar 4,93 masuk kategori agak

baik, namun 33,3% pegawai merasa kurang mendapat kesempatan untuk terlibat

dalam kelompok diskusi pada proses penyusunan anggaran.

Page 96: ANALISIS IMPLEMENTASI

88

Kedua, indikator Alasan logis yang diberikan dalam merevisi anggaran

memiliki skor rata-rata sebesar 5,39 masuk kategori baik, namun 25% pegawai

merasa atasan belum memiliki alasan kuat bertanggung jawab atas laporan yang

tidak disetujui. Ketiga, indikator Frekuensi berdiskusi terkait anggaran yang ingin

diusulkan memiliki skor rata-rata sebesar 5.06 masuk ketegori agak baik, namun

36,1% pegawai belum mengajak atasan untuk mendiskusikan anggaran yang ingin

diusulkan secara rutin.

Keempat, indikator Pengaruh dalam finalisasi anggaran memiliki skor

rata-rata sebesar 4,69 masuk kategori agak baik, namun 38,9% pegawai merasa

belum memiliki pengaruh pada anggaran akhir. Kelima, indikator kontribusi

dalam penyusunan anggaran memiliki skor rata-rata sebesar 5.06 masuk dalam

kategori agak baik, namun 27,8% pegawai merasa bahwa kontribusinya

dikelompok diskusi anggaran yang disusun belum penting.

Keenam, indikator Frekuensi atasan meminta pendapat saat anggaran

sedang disusun memiliki skor rata-rata sebesar 4,93 masuk kategori agak baik,

namun 36,1% pegawai berpendapat bahwa atasan mereka jarang mengajak untuk

membahas terkait anggaran yang disusun.

4.2.1 Implementasi Penganggaran Partisipatif Aspek Nonakademik Pada

Perguruan Tinggi Badan Hukum

Praktik otonomi nonakademik PTNBH (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI,

dan Unair). Praktik otonomi nonakademik PTNBH pada UI dilakukan melalui

bidang pengembangan kelembagaan dengan menata desain organisasi agar dapat

mendukung proses kerja (working process). Keseluruhan unit-unit organisasi di

lingkungan UIBHMN mengembangkan dan memfasilitasi kegiatan yang telah ada

Page 97: ANALISIS IMPLEMENTASI

89

di setiap unit di lingkungan UI dan mendorong terciptanya ventura komersial, dan

penunjang yang sehat sebagai salah satu sumber pendapatan baru yang potensial

di lingkungan UIBHMN. Masa transisi pengalihan PNS Universitas Indonesia

(UI) dilakukan rasionalisasi dan revitalisasi staf nonakademik , pelatihan dan

pengembangan bagi jajaran manajemen dan pelaksana, perbaikan sistem

imbalan/balas jasa, percepatan jumlah Doktor dan Guru Besar, reorientasi pola

piker pada pelayanan, rekayasa ulang proses kerja, penataan dan peningkatan

kualitas prduk hukum.

UI mulai tahun 1999 menaikkan tariff biaya pendidikan mahasiswa untuk

meningkatkan pendapatan, selain juga berupaya meningkatkan daya tamping

mahasiswa. Dari tahun 1999-2007 terus terjadi kenaikan biaya pendidikan, hal ini

mengacu pada student unit cost yang seharusnya. UI juga menerapkan kebijakan

baru dengan mentapkan adanya pembayaran uang pangkal untuk mahasiswa S1

Reguler, besarnya berkisar 5 juta rupiah sampai dengan 25 juta rupiah.

Pada tahun 2007 UI melaporkan total asset yang dimiliki sebesar 938

milyar rupiah dan total kewajiban sebesar 45 milyar rupiah dengan total net 892

milyar rupiah. Dengan demikian terjadi kenaikan total net asset sebesar 21% dari

2004 ke 2005, sedangkan dari 2005 ke 2006 naik sebesar 18% dan dari 2006 ke

2007 mengalami kenaikan sebesar 19%. Net asset UI mengalami kenaikan sebesar

119 milyar di tahun 2005, 113 milyar di tahun 2006 dan, 171 milyar di tahun

2007. Untuk aktiva tetap dalam penyelesaian terjadi penurunan karena

pembangunan gedung baru untuk menunjang peningkatan pembiayaan capital

expenditures yang didapat melalui pinjaman bank.

Page 98: ANALISIS IMPLEMENTASI

90

Dilihat dari financial highlight di atas, tahun 2005 ke 2007 kenaikan net

asset dari operating revenue sangat bagus dari surplus sebesar 6 milyar rupiah

bisa menjadi surplus 14 milyar rupiah. UI mempunyai potensi yang cukup besar,

karena UI memiliki nilai lebih seperti nama baik, lokasi strategis di Ibu Kota

Negara, asset yang besar dan perubahan status menjadi UI BHMN. Perbandingan

data penerimaan yang bersumber dari APBN dan dari dana masyarakat. Untuk

DIPA 2006 sebesar 109.597.771.973 (14,5%) dan dana masyarakat sebesar

639.523.458.506 (85,5%). Sedangkan dana masyarakat 738.734.950.644 (85%)

Terkait dengan pengelolaan keuangan UI, pemerintah pada tahun 2010

menerbitkan PP No.66 Tahun 2010 Tentang Perubahan PP No.17 Tahun 2010

Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. UI diminta untuk

melakukan penyesuaian yaitu: (1) pengalihan status kepegawaian dan tenaga

pendidikan yang sebelumnya berstatus sebagai pegawai Badan Hukum Milik

Negara (BHMN) diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)

Menerapkan pola keungan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai dengan Peraturan

Pemerintah mengenai Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. (3)

Perguruan Tinggi BHMN yang telah memperoleh pemisahan kekayaan negara

yang ditempatkan sebagai awal Perguruan Tinggi BHMN wajib menyelesaikan

pengalihan kekayaan negara kepada Menteri.

Praktik otonomi nonakademik PTNBH pada Universitas Gadjah Mada

(UGM). Di bidang pengawasan dilakukan oleh Dewan Audit. Dalam tugasnya

memfokuskan pada pembangunan persepsi tentang pentingnya prinsip-prinsip

good university governance dan sosialisasi peran Dewan Audit yang berfungsi

bukan sekedar lembaga pembantu melainkan juga sebagai lembaga penjamin

Page 99: ANALISIS IMPLEMENTASI

91

kepatuhan (compliance office) di lingkungan UGM. Dewan Audit telah

menyiapkan piagam audit untuk dipergunakan sebagai pedoman dasar bagi

anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Manajemen perubahan dilakukan dengan disertai upaya untuk mereduksi

kompleksitas dalam memenuhi asas kepatuhan pelaporan keuangan. Fungsi-fungsi

keuangan ditata untuk menjamin tercapainya prinsip-prinsip transparansi dan

akuntabilitas kegiatan di UGM. Dewan Audit juga mengambil peran dalam

penyempurnaan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan serta peningkatan

kualitas laporan keuangan dalam hal lingkup kegiatan dan tingkat kepatuhan

pelaporan keuangan. Dewan Audit juga memandang perlunya perbaikan dan

penyempurnaan kegiatan penyelenggaraan PTNBH pada tahun-tahun selanjutnya

dalm hal:

1. Peningkatan kualitas hubungan kelembagaan dengan MWA. Pimpinan

Universitas, dan Satuan Audit Internal

2. Pengintegrasian audit keuangan, akademik, sumberdaya manusia, sarana-

prasarana dan energy

3. Peningkatan mekanisme pembahsan review hasil audit internal dari Dewan

Audit ke Majelis Wali Amanat

4. Diseminasi hasil audit internal dan eksternal ke unit-unit obyek pemeriksaan

(auditee) untuk keperluan tindak lanjut, dan

5. Peningkatan laporan keuangan

Dengan diberlakukannya PP No.153 Tahun 2000 Tentang Penetapan

UGM sebagai Badan Hukum Milik Negara, telah terjaadi perubahan jumlah dan

macam unit kelembagaan atau organ di tingkat universitas yang semula terdiri

Page 100: ANALISIS IMPLEMENTASI

92

atas Rektorat, Senat Universitas, dan Dewan Penyantun, dielaborasi menjadi

Rektorat (Pimpinan Universitas), Majelis Wali Amanat (MWA), Senat Akademik

(SA), Majelis Guru Besar (MGB) dan Dewan Audit (DA).

Pasal 16 Ayat (1) PP 153 Tahun 2000 Tentang Penetapan UGM sebagai

Badan Hukum Milik Negara menyebutkan, MGB UGM beranggotakan Guru

Besar Universitas. Arti Guru Besar Universitas ini kemudian diperjelas dengan

ketentuan Bab X Pasal 36 Ayat (1) Anggaran Rumah Tangga Universitas Gadjah

Mada yang ditetapkan dengan Keputusan Majelis Wali Amanat Universitas

Gadjah Mada Nomor 12/SK/MWA/2003 bertanggal 18 Oktober 2003, anggota

MGB terdiri atas Guru Besar Tetap, Guru Besar Emiritus, dan Guru Besar Luar

Biasa.

Pengalihan status PNS menjadi pegawai PTNBH sebagai tuntutan PTN

yang berubah bentuk menjadi PTNBH mengalami hambatan, dikarenakan belum

jelasnya status block grant bagi PTNBH. UGM saat PTNBH memasuki

PTNPKBLU pengalihan PNS menjadi pegawai PTNBH belum terlaksana, karena

ada beberapa masalah di antaranya: (a) beban anggaran gaji yang akan menjadi

tanggung jawab universitas terlalu tinggi, dan (b) tanggungan beban anggaran

pensiunnya. Oleh karena itu pegawai UGM yang berstatus PNS tetap menjadi

beban pemerintah. PNS yang ada sekarang diharapkan tetap sebagai PNS yang

dipekerjakan di UGM, dengan jumlah formasi yang tetap (zero growth) setiap

tahunnya.

Perekrutan pegawai (dosen dan nondosen) bukan PNS dilakukan

berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 726/P/SK/KP/2002, bertanggal 16

November 2002 dengan sistem penggajian mengacu Keputusan Rektor Nomor

Page 101: ANALISIS IMPLEMENTASI

93

376/P/SK/KP/2003 bertanggal 30 April 2003. Sebagai embrio pngangkatan

pegawai UGM BHMN telah diangkat sebanyak 42 orang dosen untuk Fakultas

Ekonomi, Fakultas Farmasi, Fakultas Isipol, dan Fakultas Kedokteran. Sedangkan

rekrutmen untuk nondosen bukan PNS sejak 2005 tidak diadakan.

Penyusun peraturan/pedoman di Direktorat SDM mengacu konsep

peraturan/pedoman tentang (a) pengangkatan pegawai UGM BHMN, (b)

employee handbook, (c) pembinaan jiwa korps dank ode etik pegawai UGM

BHMN, (d) peraturan gaji pegawai UGM BHMN, (e) pengukuran kinerja pegawai

UGM BHMN, (f) kenaikan pangkat pegawai UGM BHMN, (g) cuti pegawai

UGM BHMN, (h) pemberhentian pegawai UGM BHMN, dan (i) penyelenggaraan

program pension pegawai UGM BHMN.

Sistem akuntansi double entry telah dilakukan oleh semua unit kerja yang

melaporkan keuangan baik menggunakan aplikasi Simakun-GAMA maupun

manual sejak 2002. Penggunaan basis akuntansi berpasangan (double entry)

dicanangkan mulai 2002 sebagai bentuk penerapan Pernyataan Standar Akuntansi

(PSAK) Nomor 45. Penerapan akuntansi berpasangan dimulai dengan menyusun

daftar kode rekening (chart of account) yang mencakup kelompok rekening asset,

utang dan saldo dana (find balance) sebagai rekening nominal yang merupakan

saldo akumulasi yang disajikan dalam laporan posisi keuangan. Sedangkan kode

rekening yang mencakup penerimaan dan pengeluaran atau merupakan kelompok

rekening riil disajikan dalam laporan aktivitas dalam satu periode akuntansi.

Sesuai keputusan MWA Nomor 12/SK/MWA/2003 bertanggal 12

Desember 2003 Tentang Anggaran Rumah Tangga UGM Pasal 94 Tentang

Pengelolaan Penerimaan, maka penerimaan UGM meliputi dana yang diperoleh

Page 102: ANALISIS IMPLEMENTASI

94

universitas sebagai hasil kegiatan jasa layanan yang diselenggarakan dan dari

investasi yang dilakukan universitas dengan memanfaatkan sumberdaya yang

dimiliki. Laporan keuangan UGM telah mencakup pendapatan dan pengeluaran

seluruh organ di UGM yaitu (a) MWA, MGB, SAA, dan DA, (b) Pimpinan

Universitas, (c) Fakultas (S1, S2, S3, Diploma, Program Profesi, Program

Spesialis dan lain-lain), (d) Sekolah Pascasarjana, (e) Lembaga (Lembaga

Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Laboratorium, Penelitian dan

Pengujian Terpadu), (f) Pusat-pusat Studi dan/ atau Penelitian, (g) Unsur

Penunjang Universitas, (h) Unsur Pelaksana Administrasi, (i) Satuan Audit

Internal, (j) Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus.

Sesuai Pasal 3 PP No.153 Tahun 2000 Tentang UGM BHMN, Universitas

Gadjah Mada bersifat nirlaba, yang berbeda dengan organisasi bisnis. “Perbedaan

mendasar terletak pada cara organisasi memeroleh sumber dana yang dibutuhkan

untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Universitas Gadjah Mada sebagai

organisasi nirlaba memeroleh sumber dana dari pemerintah dan sumbangan dari

masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri di samping juga dari hasil usaha

dan tabungan. Tahun 2011perolehan dana UGM mencapai Rp718.640.981.468,32

terdiri dari Dana Masyarakat (DM) sebesar Rp81.611.737.478,32 dan subsidi

pemerintah sebesar Rp637.029.243.990,00.

Praktik otonomi nonakademik PTNBH pada Institut Pertanian Bogor

(IPB). Berdasarkan PP No.154 Tahun 2000, IPB ditetapkan sebagai perguruan

tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Penetapan IPB sebagai

PTNBH telah dijadikan momentum dalam melakukan penataan internal dari

seluruh penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pemberdaaan masyarakat,

Page 103: ANALISIS IMPLEMENTASI

95

manajemen, manajemen SDM, manajemen fasilitas dan property, sistem

keuangan, teknologi informasi dan pembangkitan pendapatan.

Melalui Majelis wali Amanat (MWA) IPB melakukan berbagai kegiatan

pemantapan organisasi ke dalam maupun ke luar bersama-sama segenap unsur

governance IPB. Hal ini dilakukan sejalan dengan tuntutan dari internal IPB,

selama kurun waktu 2006 baik dari sisi organisasi maupun stakeholders kesehatan

keuangan, MWA IPB menyusun (1) konsep pedoman umum pengelolaan asset

IPB, (2) pengkajian permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan asset IPB, (3)

penelaahan materi (aspek legal) khususnya terkait dengan kepentingan IPB

(PTNBH umumnya), (4) penurunan konsep kebijakan MWA sebagai solusi

lanjutan dari penyelesaian masalah atau solusi terhadap permasalahan IPB

lainnya, (5) penyempurnaan substansi dan format rencana kerja dan anggaran

tahunan (RKAT) IPB.

MWA IPB juga melakukan pemantapan organisasi berupa (1) pemantauan

cash flow berdasarkan RKAT untuk menghindari terjadinya kesulitan likuiditas,

terutama untuk menyelenggarakan pendidikan, (2) pembahasan (bersama

pimpinan institut) penyempurnaan sistem akuntansi IPB dengan mengacu pada

sistem akuntansi nasional, (3) perumusan tolak ukur dan mekanisme penilaian

kelembagaan dan organisai IPB, (4) pengkajian kelembagaan dan perubahan

organisasi IPB, (5) peningkatan jejaring kerja dengan berbagai kalangan

masyarakat dalam rangka pemberdayaan sumberdaya manusia IPB dan

penggalangan dana untuk peningkatan kesejahteraan pegawai, (6) penyelesaian

masalah pembangunan Bogor Agibusiness Centre, (7) peningkatan koordinasi

dengan organ Governance IPB yang lain terutama Senat Akademik, Dewan Audit,

Page 104: ANALISIS IMPLEMENTASI

96

dan Pimpina Institut dalam pengelolaan institut. Sebagai organ normative tertinggi

Senat Akademik IPB melakukan program (1) peningkatan partisipasi anggota

Senat Akademik (SA) melalui berbagai rapat, (2) melakukan tata kerja dan tata

tertib SA secara taat asas, (3) menelaah ulang semua keputusan SA sesuai dengan

perkembangan internal dan eksternal, (4) meningkatkan komunikasi internal dan

eksternal (5) mendokumentasikan semua notulen dan hasil rapat, (6) melayani

kebutuhan dan kpentingan anggota SA, (7) memelihara fasilitas organisasi (8)

memantau dan melakukan evaluasi program SA secara berskala dan terncana, (9)

melakukan rekstrukturisasi personalia komisi SA melalui proses rotasi. Dewan

Audit IPB melaksanakan program (1) pembentukan Satuan Pengawas Internal, (2)

penyusunan pedoman umum pelaksanaan tugas Dewan Audit, (3) penyusunan

pedoman sistem akuntansi BHMN IPB, (4) penyusunan neraca akhir, (5)

penyusunan pedman penilaian kinerja, (6) penyusunan penilaian pengendalian

manajemen, (7) evaluasi dan penilaian hasil audit eksternal, (8) evaluasi hasil

laporan keuangan IPB, (9) evaluasi rencana kerja, (10) evaluasi struktur organisasi

dan mekanisme kerja BHMN, (11) evaluasi kinerja IPB dan (12) evaluasi

pengendalian manajemen.

Program-program yang menjadi proiritas dan telah dilaksanakan Dewan

Audit antara lain (1) pembentukan satuan pengawas internal yang sekarang

menjadi kantor audit internal, (2) memberi masukan bagi penyusunan neraca awal

dan akhir, (3) memberi masukan bagi penyusunan sistem akuntansi, (4) evaluasi

dan panilaian hasil audit eksternal, dan (5) evaaluasi hasil laporan keuangan IPB.

Kegiatan Dewan Audit sebagian besar ditujukan untuk membantu IPB agar dapat

segera menghasilkan laporan keuangan dan diaudit oleh kantor akuntan publik.

Page 105: ANALISIS IMPLEMENTASI

97

Salah satu perubahan mendasar dalam era IPB BHMN adalah peningkatan

pengelolaan kepegawaian dari berbasis aturan PNs menjadi manajemen Human

Resource Development (HRD) berdasarkan budaya korporat. Engan manajemen

HRD diharapkan pengelolaan pegawai menjadi lebih komprehensif melalui

pengauran sistem perencanaan dan pengembangan SDM secara efektif dan

menyeluruh. Kewenangan untuk menentukan program dan manajemen sumber

daya manusia (SDM) merupakan otonomi yang diberikan kepada PTNBH sesuai

PP Nomor 154 Tahun 2000. Manajemen SDM mulai diterapkan untuk seluruh

pegawai PNS IPB. Hal ini dilakukan agar saat sistem BHMN secara penuh

diterapkan. SDM IPB benar-benar telah siap menjalankan visi misinya seperti

yang dicita-citakan.

Manajemen HRD di IPB meliputi seleksi masuk menjadi pegawai IPB

BHMN (recruitment), pengeloalaan dan pengembangan selama menjadi SDM

IPB serta manajemen pada saat kerja pegawai di IPB (PHK, pension dsb). Sistem

penerimaan tenaga-tenaga baru yang obyektif untuk mendapatkan SDM

berkualitas dilakukan melalui proses seleksi secara bertahap. Sistem hubungan

kerja yang mencakup perjanjian kontrak kerja yang jelas dan fair selanjutnya

dilakukan antara IPB BHMN dengan hak dan kewajiban berdasarkan budaya

korporat yang diserahkan sepenuhnya kepada IPB dengan mengacu aturan

BHMN. Di samping dalam proses penerimaan, rekrutmen juga diterapkan pada

saat pemilihan pejabat IPB.

Sistem manajemen PNS masih belum mendukung secara optimal

terciptanya kualitas PNS seperti yang dihaarapkan oleh IPB, baik dari segi

kedisiplinan maupun profesionalisme pegawai. Dengan manajemen HRD

Page 106: ANALISIS IMPLEMENTASI

98

diharapkan pengelolaan pegawai menjadi lebih komprehensif melalui pengaturan

sistem perencanaan dan pengembangan SDM secara efektif dan menyeluruh.

Kewenangan untuk menentukan program dan manajemen SDM tersebut adalah

salah satu otonomi yang diberikan kepada IPB sesuai PP No.154 Tahun 2000

Tentang IPB sebagai PTNBH.

IPB melakukan Merit System yaitu sistem pemberian penghargaan atas

kontribusi karyawan terhadap organisasi/institusi sehingga secara fairness dan

equity bagi seluruh pegawai di dalam sistem kerja. Penghargaan yang dimaksud

sudah terkandung pengertian reward and punishment sesuai prestasi dan

pelayanan yang dilakukan oleh seorang pegwai. Peningkatan manajemen jenjang

karir diterapkan tidak hanya untuk tenaga fungsional dosen dan pustakawan

melalui mekanisme kenaikan pangkat dan jabatan yang efektif, akan tetapi

diterapkan juga untuk pegawai teknisi/laboran dan administrasi. Modifikasi pola

fungsional menjadi pertimbangan sebagai acuan penerapan jenjang karir bagi

pegawai. Penerapan pola kerja dilakukan melalui rotasi pegawai dengan jenis

pekerjaan sejenis yang merupakan kegiatan rutin IPB dengan tujuan untuk

meningkatkan kinerj, promosi karier, tour of duty, penyegaran suasana,

pembinaan SDM/unit, meminimalkan kesenjangan kecakapan pegawai antar unit

dan transfer ilmu/ keahlian sesuai bidang pekerjaan.

Penataan manajemen SDM yang masih terkait dengan merit sistem adalah

manajemen penugasan ddosen di luar IPB (sebagai pengajar, peneliti, konsultan,

tenaga ahli, dan lainnya sebagainya) yang akan dioptimalkan untuk kepentingan

IPB terutama dalam hal peningkatan kualitas profesionalisme dosen, perluasan

networking, termasuk dalam peningkatan financial secara bersama. Dalam

Page 107: ANALISIS IMPLEMENTASI

99

pelaksanaan merit sistem juga akan ditangani masalah peningkatan kesejahteraan

pegawai melalui pembinaan insentif berdasarkan kinerja dan peningkatan

pelayanan asuransi kecelakaan.

Sumberdaya manusia (SDM) IPB BHMN terdiri dari tenaga pendidikan

dan tenaga kependidikan masing-masing sebanyak 1.214 orang terdiri dari S1 77

orang, S2 417 orang dan S3 720 orang dan 1.642 orang terdiri dari SD 145 orang,

SMP 90 orang, SMA 882 orang, Diploma 182 orang, S1 294 orang, S2 45 orang,

dan S3 4 orang. Tahun 2011 perolehn dana IPB mencapai Rp777.082.313.600,00,

yang terdiri dari Dana Masyarakat (DM) sebesar Rp364.867.810.387,00 (SPP

Rp187.839.001.098,00 dan NonSPP Rp177.028.809.289,00), Subsidi Pemerintah

sebesar Rp412.214.503.2013,00. Asset Negara yang diinventarisasi di IPB tahun

2006 sebesar Rp 705.236.621.120,00

Dalam jangka panjang pengelolaan anggaran IPB menggunakan

perhitungan berbasis input. Besaran anggaran akan mempertimbangkan (a)

performance based block grant, baik kinerja akademik maupun manajemen

sumberdaya, (b) competitive block grant, (c) alokasi untuk rescue dan (d) alokasi

untuk menjalankan kegiatan yang dinilai sangat menunjang kepemimpinan

(leadership) IPB. Kebijakan pengelolaan keuangan akan ditempuh dengan tiga

sistem pendanaan (funding system) secara seimbang yaitu (1) pendanaan untuk

penyelenggaran dan pengembangan tridharma (operational fund) dengan dana

masyarakat (SPP, nonSPP, auxiliary enterprise, manfaat fund management dan

kerja sama), (2) pendanaan untuk penyelenggaraan ventures (enterprise fund) dan

(3) dana abadi (endowment fund).

Page 108: ANALISIS IMPLEMENTASI

100

Manajemen keuangan dari tiga funding system tersebut dilaksanakan

dengan manganut paradigm baru otonomi dan akuntabilitas serta asas-asas

korporasi. Dengan paradigm ini manajemen keuangan, khususnya untuk jenis

dana masyarakat disentralisasi. Unit kerja melakukan corrective action ketiga

funding system tersebut. Kantor pusat (c.q Direktorat Keuangan) IPB melakukan

fungsi akuntansi yang tersentralisasi, monitoring, evaluasi dan audit serta

mengkonsentrasi dana. Unit kerja tidak dapat menerima dana dari pihak luar.

Sesuai dengan karakternya, pengelolaan dana APBN masih dilakukan menurut

ketentuan APBN. Pengelolaan seluruh sistem pendanaan (termasuk dana

masyarakat) merujuk pada Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17/2003

dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara Nomor 1/2004.

Prakatik otonomi nonakademik PTNBH pada Institut Teknologi Bandung

(ITB). Satuan Kekayaan dan Dana ITB selanjutanya disebut SKD, merupakan

satuan pendukung yang bersifat mandiri dan bebas serta merupakan bagian

integral dari Institut Teknologi Bandung, bertindak selaku koordinator dari

satuan-satuan ITB lainnya dalam menangani pengelolaan kekayaan dan dana ITB

serta unsur lain yang dianggap perlu oleh Majelis Wali Amanat. Satuan Kekayaan

dan Dana (SKD) Institut bertanggung jawab untuk mengelola dana lestari dan

dana kekayaan intelektual untuk mendukung Satuan Akademik. Kegiatan SKD ini

lebih terfokus pada pengelolaan Dana Lestari Institut.

ITB sebagai PTNBH melakukan pengelolaan secara efektif, efesien,

transparan dan akuntabel dalam konteks PTNBH. Program perbaikan manajemen

akademik, finansial, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, serta informasi

secara bertahap terus dikembangkan untuk mewujudkan kondisi ITB yang

Page 109: ANALISIS IMPLEMENTASI

101

sepenuhnya auditable. Selain melakukan konsolidasi internal dengan melibatkan

pihak-pihak yang berhubungan seperti Dewan Audit, Satuan Pengawasan Internal,

dan Satuan Penjamin Mutu, ITB sejak tahun 2003 telah bekerja sama dengan

Kantor Akuntan Publik untuk mengevaluasi Laporan Tahunan ITB, khususnya

Laporan Keuangan.

Sistem akuntansi keuangan yang dilakukan ITB BHMN menganut dual

system, yaitu Akuntansi Keuangan (Financial Accounting) dan Akuntansi

Pemerintahan (Government Accounting). Hal ini dilaksanakan dikarenakan belum

adanya peraturan maupun pedoman resmi dari pemerintah mngenai kewajiban

akuntansi dan pelaporan dengan satu sistem yang dibakukan untuk perguruan

tinggi berbentuk Badan Hukum Milik Negara. Untuk tujuan pelaporan keuangan

ITB BHMN sebagai organisasi nirlaba, sejak 2003 proses akuntansi dan pelaporan

telah menggunakan Standar Akuntansi Keuangan nomor 45 sebagai prinsip

pelaporan keuangan. Laporan keuangan ITB 2011 menunjukkan tahun 2011

perolehan dana ITB mencapai Rp928.711.000.000,00, terdiri dari Dana

Masyarakat (DM) sebesar Rp568.807.000.000,00. Subsidi Pemerintah sebesar

Rp359.904.000.000,00. Asset negara yang diinventarisasi di ITB tahun 2011

sebesar Rp1.119.564.811.359,00. Kegiatan perasional bidang keuangan dijalankan

oleh Direktorat Keuangan yang berada dalam lingkup kerja Wali Rektor Senior

Bidang Sumberdaya. Fungsi Direktorat Keuangan ini adalah menjalankan

kegiatan penganggaran, perbendaharaan, monitoring dan pengendalian

implementasi anggaran, serta evaluasi kinerja keuangan ITB BHMN. Sejak tahun

2003 ITB mengaplikasikan sistem akuntansi dan keuangan berbasis akrual

Page 110: ANALISIS IMPLEMENTASI

102

(uccrual basis) dan menggunakan sistem akuntansi berpasangan (double entry

system).

Dalam bidang pengelolaan pegawai, ITB telah melaksanakan persiapan

untuk dapat mengalihkan status PNS menjadi pegawai ITB. Upaya yang

dilakukan antara lain (a) pendataan dan assessment kemampuan potensi semua

pegawai, (b) pengembangan program alih fungsi dan pelatihan untuk

meningkatkan kemampuan dan motivasi, (c) pengembangan skema pension dini

dan pemutusan hubungan kerja dengan kompensasi, (d) pengembangan sistem

manajemen SDM secara komprehensif mulai dari penerimaan, pembinaan dan

pengembangan karir, remunerasi, insentif, dan disinsentif, serta pemutusan

hubungan kerja dan pension.

Secara khusus sejak 2006 ITB telah menghilangkan status tenaga honorer,

yang sebagian besar adalah pegawai nonakademik. Tenaga honorer diubah

statusnya menjadi pegawai ITB BHMN melalui serangkaian tes saringan. Pada

bulan mei 2006 ITB tidak melanjutkan perpanjangan kontrak untuk 200 pegawai

honorer. Namun demikian penataan terus dilakukan untuk pegawai nonakademik

guna memperbaiki kualitas serta mengubah budaya PN yang sudah terlanjur

berakar. Salah satu isu penting yang dihadapi ITB adalah regenerasi dosen karena

sudah sejak 8 tahun ITB menghentikan pengangkatan dosen berstatus PNS,

walaupun pada Tahun 2006 secara sangat terbatas dibuka kembali untuk 25-30

orang berkualifikasi S3 atau hampir setara. Penerimaan mahasiswa baru secara

internal, yakni melalui program jalur khusus atau jalur mandiri yaitu melalui

Ujian Saringan Masuk (USM) ITB Terpadu yang terdiri dari 3 jalur, yakni Jalur

Page 111: ANALISIS IMPLEMENTASI

103

Penelusuran Minat Bakat dan Potensi (PMBP), jalur Penerimaan Fakultas Seni

dan Desain (PFSD), dan jalur Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM).

Praktik otonomi nonakademik PTNBH pada Universitas Sumatera Utara

(USU). Pada tahun anggaran 2011, USU berada dalam tahun kedelapan dengan

status PTNBH atau tahun ke dua dalam Rencana Strategi USU 2010-2014.

Berdasarkan Pasal 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No.17 Tahun 2010

Tentang Pengelolaan Dana Penyelenggaraan Pendidikan. Sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 220A, Ayat (1) Pengelolaan pendidikan yang dilakukan

oleh USU masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolanya

berdasarkan Peraturan Pemerintah No.66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dana

Penyelenggaraan Pendidikan, yang dilakukan paling lama 3 tahun sebagai masa

transisi sejak peraturan pemerintah ini diundangkan.

Universitas Sumatera Utara (USU) memiliki sumber pendapatan di luar

pendapatan pendidikan, yaitu pendayagunaan asset baik melalui fomat

commercial ventures dan format academis ventures yang direfleksikan ke dalam

dua unit usaha yang bergerak sebagai revenue generating, yaitu Unit Usaha

Akademik dan Unit Penunjang yang berada di bawah Rektor. Kedua unit ini

sedang dalam taraf konsolidasi dan pemberdayaan sehingga dapat diharapkan

efektif drbagai penghasil pendapatan financial bagi USU. Beberapa asset USU

yang potensial sebagai sumber penerimaan yang saat ini menjadi objek

pemberdayaan ialah gedung serba guna, fasilitas olah raga, fasilitas angkutan,

fasilitas laboratorium, tenaga ahli/pakar dan lain-lain.

USU telah menyusun Pedoman Pengadaan Barang/Jasa dengan sumber

pendapatan dana masyarakat, dan penerimaan hibah yang tidak mengikat di

Page 112: ANALISIS IMPLEMENTASI

104

lingkungan USU yang disyahkan melalui surat keputusan Rektor

No.970/H5.1.R/PSS/2011, bertanggal 7 Februari 2011, juga telah mempunyai

LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Pedoman ini disusun dengan

mengacu pada peraturan perundangan tentang pengadaan barang/jasa yang

dikeluarkan pemerintah. Pada tahun 2011 sistem baru yang diatur dalam pedoman

tersebut sudah dapat dioperasikan secara penuh untuk meningkatkan efisiensi,

transparansi, dan akuntabilitas dalam pengadaan, pemeliharaan, dan

pengembangan asset USU ke depan. Jumlah tenaga akademik yang memiliki

potensi penelitian berjumlah 1.594 orang terdiri dari tenaga berpendidikan strata-1

sebanyak 218 orang, strata-2 sebanyak 1.043 orang, dan strata-3/guru besar

sebanyak 333 orang.

Sebagian besar dana-dana penelitian yang dilakukan oleh tenaga akademik

USU bersumber dari Skim Hibah Bersaing (SHB). Sepanjang tahun 2011, jumlah

topik-topik penelitian yang dibiayai sebesar Rp 2.942.803.000,00 terdiri dari

Hibah Bersaing (HB) sebesar Rp 907.846.000,00, Penelitian Strategis Nasional

(PSN) sebesar Rp 138.500.000,00, Hibah Fundamental (HF) sebesar

Rp78.000.000,00, Penelitian Unggul Strategis Nasional (PUSN) sebesar

Rp754.650.000,00, Hibah Kompetisi (HK) sebesar Rp180.500.000,00, RAPID

sebesar Rp295.000.000,00, Penelitian Disertasi Doktor sebesar Rp50.000.000,00

dan Dana Masyarakat LP USU Rp508.307.000,00. Untuk Insentif Penulisan Buku

Ajar sebesar Rp30.000.000,00.

Pengalokasian anggaran menurut Satuan Kerja (Satker) dalam

hubungannya dengan penetapan pimpinan satker sebagai kuasa pengguna

anggaran/kuasa pengguna barang dan penanggung jawab pencapaian

Page 113: ANALISIS IMPLEMENTASI

105

keluaran/output. Satker dikelompokkan menjadi (a) Satker Pusat, yaitu Pimpinan

Universitas (Rektor) yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan

mengelola anggaran; (b) Satker Vertikal/Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah

pimpinan fakultas/unit kerja

4.2.2 Implementasi Penganggaran Partisipatif Aspek Akademik Pada

Perguruan Tinggi Negeri

Otonomi perguruan tinggi seharusnya melekat pada perguruan tinggi itu.

Namun sejumlah peraturan perundang-undangan mengatur hampir segala aspek

penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di negara ini perguruan tinggi swasta pun

tidak otonom. Membuka program studi harus seijin pemerintah. Berkenaan

dengan kenaikan jabatan dosen ke lektor kepala atau guru besar usul harus

disampaikan kepada pemerintah untuk diperiksa dan bila semua syarat dipenuhi,

diterbitkan surat keputusannya oleh Mendikbud.

Awal maret 2013 bahkan ada peraturan mendikbud yang mengatur

pemberian gelar doktor kehormatan (Dr HC) oleh semua perguruan tinggi di

indonesia harus dengan persetujuan Mendikbud. Ada juga jabatan guru besar

tidak tetap yang diundangkan sebagai peraturan Mendikbud No.40 Tahun 2012

Tentang Pengangkatan Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi

sejak 2012. Berdasarkan peraturan tersebut seseorang yang memiliki keahlian

dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi Profesor/Guru Besar tidak tetap

dengan demikian Mendikbud dapat mengangkat kalangan ninakademisi yang

dinilai memiliki Tacit knowledge sebagai guru besar tidak tetap

PP No. 61 Tahun 1999 itu tidak serentak memberlakukan semua PTN,

tetapi di awali dengan 4 PTN yag dianggap mampu untuk menjadi perintis

Page 114: ANALISIS IMPLEMENTASI

106

perubahan (moment of change) menjadi PTNBH, yaitu : Universitas Indonesia

(UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan

Institut Teknologi Bandung (ITB). Kemudian disusul 3 perguruan tinggi lagi yaitu

Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan

Universita Airlanggan(Unair). Namun dalam perjalannya berdasarkan perpres

No.43 Tahun 2012 dan Perpres No.44 Tahun 2012 , UPI dan ITB bukan lagi

sebagai PTN Badan Hukum.

UPI dan ITB sebagai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh

pemerintah menegaskan bahwa semua kekayaan, mahasiswa, hak dan kewajiban

UPI dan ITB sebagai PTNBH menjadi kekayaan, mahasiswa, hak dan kewajiban

UPI dan ITB sebagai perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah. Bagi PNS

akan dialihkan menjadi PNS UPI dan PNS ITB, sementara untuk pegawai

nonPNS yang tidak dapat diangkat menjadi PNS UPI dan PNS ITB dapat diangkat

menjadi pegawai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Praktik otonomi akademik pada PTN badan hukum Universitas Indonesia.

Melalui PP No. 152 Tahun 2000, Universitas Indonesia (UI) ditetapkan sebagai

PTN mandiri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau autonomous

public university. UI mengedepankan kinerja pengelolaan sebuah universitas

publik dengan prinsip-prinsip efisien, efektif, akuntabilitas dan transparansi.

Sebagai pedoman pelaksanaan kinerja, pada tanggal 18 januari 2003 Majelis Wali

Amanat UI mengeluarkan surat penetapan No. 01/SK/MWA-UI/2003 dan

No.011/2007 tentang anggaran rumah tangga Universitas Indonesia.

Unsur pokok organisasi UI sebagai PTNBH terdiri dari (1) Majelis Wali

amanat, sebagai organ tertinggi yang mewakili kepentingan pemerintah,

Page 115: ANALISIS IMPLEMENTASI

107

masyarakat, dan universitas yang mempunyai tugas menetapkan kebijakan umum

universitas, mengangkat/memberhentikan pimpinan universitas, melaksanakan

fungsi pengawasan dan pengendalian umum atas pengelolaan universitas dan dan

melakukan penilaian kinerja universitas; (2) Dewan Audit sebagai organ

universitas yang berada di bawah rektor mempunyai tugas untuk dan atas nama

majelis yang secara independen melaksanakan evaluasi hasil audit internal atau

eksternal atas penyelenggaraan universitas; (3) Senat Akademik Universitas

sebagai badan normatif tertinggi universitas di bawah majelis bertanggung jawab

dalam menetapkan kebijakan umum universitas; (4) Dewan Guru Besar

merupakan organ universitas yang mempunyai anggota dari seluruh guru besar

universitas.

Pimpinan UI adalah Rektor dan Wakil Rektor yang mempunyai tugas

menjalankan fungsi pengelolaan fungsi pengelolaan universitas secara

keseluruhan dalam penyelanggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian

kepada masyarakat, membina sivitas akademika, hubungan dengan alumni,

lingkungan universitas dan masyarakat. Rektor diangkat/diberhentikan oleh

Majelis Wali Amanat untuk masa jabatan 5 tahun setelah melalui proses

pemilihan rapat terbuka Majelis. Senat Akademik Fakultas merupakan badan

normatif tertinggi di tingkat fakultas yang bertugas dan bertanggung jawab dalam

menyusun kebijakan akademik tingkat fakultas, penilaian prestasi dan etika

akademik, kecakapan dan kepribadian sivitas akademika serta merumuskan norma

dan tolak ukur penyelenggaraan fakultas. Anggota Senat Fakultas diangkat untuk

masa jabatan 5 tahun dengan ketentuan dapat diangkat kembali untuk satu periode

berikutnya.

Page 116: ANALISIS IMPLEMENTASI

108

Sebagai badan hukum milik negara UI merupakan badan hukum nirlaba

dan mempunyai tujuan (1) mewujudkan Universitas Riset sebagai pusat unggulan

ilmu pengetahuan,teknologi,kebudayaan, dan seni; (2) menyiapkan peserta didik

menjadi anggota masyarakat yang bermoral dan memiliki kempuan akademi

dan/atau profesional yang dapat menerapkan,mengembangkan dan/atau

memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan kesenian;

(3) mengembangkan dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi,

kebudayaan dan seni serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan

taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional; (4)

mendukung pembangunan masyarakat demokratis dengan berperan sebagai

kekuatan moral yang mandiri; (5) mencapai keungguan kompetitif melalui

penerapan prinsip sumberdaya universitas yang dikelola dengan asas profesional.

Proses perjalanan sebagai PTNBH, Berbagai program diselenggarakan

Untuk Mengantisipasi permintaan masyarakat sesuai kebutuhan pasar kerja dan

mengoptimalkan sarana prasarana yang dimiliki untuk membuka program

nonreguler. Berdasarkan keputusan dirjen dikti nomor 28/DIKTI/Kep/2002 dalam

menimbang bagian b menyebutkan, bahwa program nonreguler di PTN dapat

membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menggunakan fasilitas belajar diluar

waktu penyelenggaraan program reguler.

UI memasuki era BHMN sejak 2002 dan telah membuka 12 program

nonreguler dari 9 fakultas yang ada. Data dari Rektorat UI menyebutkan, 9 dari 12

fakultas di UI saat ini rata-rata mengasuh satu hngga delapan program studi

ekstensi (nonreguler). DI antaran untuk Ilmu Komunikasi, Ilmu politik, Ilmu

Admistrasi dan Kriminologi pada Fisip; Manajamen dan Akuntansi pada Fakultas

Page 117: ANALISIS IMPLEMENTASI

109

Ekonomi; Teknik Elektro pada Fakultas Teknik; Ilmu Kepustakaan pada Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya. Fakultas yang mengelola program tersebut dalam

setahun rata-rata meneria 30-40 persen mahasiswa ekstensi dari total mahasiswa

barunya.

Praktik otonomi akademik PTNBH pada Universitas Gadjah Mada (UGM)

dalam struktur organisasinya mewadahi berbagai unsur pemangku kepentingan

(stakeholder) dan Senat Akademik yang terdiri dari Guru Besar perwakilan

Fakultas, unsur pimpinan fakultas, dan universitas. UGM melengkap diri dengan

majelis guru besar (MGB) yang merupakan organ universitas , berfungsi

melakukan pembinaan kehidupan akademik dan integritas moral serta etika dalam

lingkungan sivitas akademika Universitas Gadjah Mada. Dewan Audit merupakan

organ yang diamanatkan untuk dan atas nama Majelis Wali Amanat dalam

melaksanakan evaluasi atas penyelenggaraan universitas secara independen.

Proses perencanaan dijalankan secara partisipatif yang menggabungkan

pendekatan top down dan bottom up sehingga nilai kerakyatan yang erat dengan

demokrasi dan partisipasi dapat semakin teraktualisasi dalam praksis manajemen

universitas. Secara umum UGM telah melaksanakan mekanisme konsultasi antara

organ universitas dan telah melakukan restrukturisasi kelembagaan. Struktur

organisasi yang mengacu pada AD/ART tela ditetapkan dalam SK Rektor Nomor

259/P/SK/HT/2004 tentang organisasi dan rincian tugas kantor pimpinan

universitas, lembaga, direktorat, biro, dan unit kerja di lingkungan UGM.

Keberadaan Majelis Wali Amanat merupakan konsekuensi dari peralihan status

UGM dari PTN menjadi PTNBH bertemakan asas kemandirian dan pelibatan

unsur masyarakat dalam memberi perhatian dan memikirkan jalannya

Page 118: ANALISIS IMPLEMENTASI

110

penyelenggaraan universitas. Pelibatan unsur masyarakat direspons dalam

kelembagaan Majelis Wali Amanat(MWA) sebgai salah satu stakeholder bersama

dua yang lain, yaitu unsur universitas dan unsur pemerintah.

Keanggotaan MWA telah dibentuk melalui proses penjaringa,pemilihan

dan pengajuan usul peneapannya kepada menteri. Keanggotaan ditetapkan dengan

SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.38/MPN/KP/2000. Dalam

pengambilan kebijakan atas suatu masalah, Majelis Wali Amanat melakukan

pembicaraan dalam forum antar organ universitas dan dengan pihak-pihak yang

berkepentingan, seperti kelompok mahasiswa, kelompok pegawai, kelompok

pimpinan fakultas, lembaga pemerintah, swasta dan media masa. Beberapa

masalah yang memerlukan kebijakan MWA terkait dengan belum adanya

ketentuan dari menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri keuangan bagi

pengalihan sumber daya dari status PTN ke PTNBH.

Beberapa tugas yang dilakukan oleh MWA antara lain: (a) menetapkan

kebijakan umum universitas dalam bidang nonakademik; (b) mengangkat

pimpinan universitas, pimpinan senat akademik periode paro pertama dan kedua,

pimpinan dewan audit, dan pimpinan majelis guru besar; (c) mengesahkan

Renstra dan rencana kerja tahunan; (d) melakukan pengawasan dan pengendalian

umum melalui pertemuan dengan pimpinan universitas, khususnya yang

menyangkut ujian masuk UGM, dana dari universitas, penjaminan mutu,

pengembangan universitas riset, dan pencapaian taraf internasional sebagai visi

UGM; (e) menilai kinerja pimpinan universitas; (f) menyusun dan menyampaikan

laporan kepada menteri; (g) menangani penyelesaian tertinggi atas beberapa

masalah. Hal-hal yang masih harus dikerjakan oleh MWA antara lain: (a)

Page 119: ANALISIS IMPLEMENTASI

111

pengubahan status kepegawaian dari PNS ke pegawai UGM; (b)sistem

pengelolaan keuangan; (c) implementasi rekomendasi MWA, dan (d) pendalaman

pemahaman keadaan universitas oleh para anggota MWA agar dapat menyusun

kebijakan umum universitas yang semakin sesuai dengan keadaan, tuntutan

masyarakat, dan tantangan masa depan.

Pimpinan UGM berdasarkan pasal 17 PP No.153 tahun 2000 tentang

PTNBH, diangkat dan diberhentikan oleh majelis wali amanat. Sesuai keputusan

majelis wali amanat No. 12/SK/MWA/2003 bahwa pimpinan universitas terdiri

atas rektor, wakil rektor senior bidang akademik, wakil rektor senior bidang

administrasi dan sebanyak banyaknya 3 orang wakil rektor. Adapun tugas-tugas

pimpinan universitas sesuai SK majelis Wali Amanat sebagaimana tercantum

dalam pasal 48 adalah melaksanakan tugas-tugas yang telah diatur dalam pasal 21

peraturan pemerintah nomor153. Dalam pelaksanaan tugasnya pimpinan

universitas dipimpin oleh sekretaris eksekutif, berada dibawah dan

bertanggungjawab kepada Rektor.

Praktik otonomi akademik PTNBH pada institut Pertanian Bogor (IPB)

sebagai penyelenggara pendidikan tinggi milik negara, didirikan sejak 1

september 1963 berdasarkan keputusan menteri perguruan tinggi ilmu

pengetahuan Nomor 91 tahun 1963. Kemudian dikukuhkan dengan keputusaan

presiden nomor 279 tahun 1965, dan tahun 2000 IPB ditetapkan sebagai PTN

Badan Hukum Milik Negara yang bersifat nirlaba.

Sebagai PT Badan Hukum Milik Negara, membawa implikasi dalam

pengelolaan sumberdaya secara mandiri, sehingga kekayaan IPB merupakan

kekayaan negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan Belaja Negara,

Page 120: ANALISIS IMPLEMENTASI

112

mendapat anggaran pembiayaan dari pemerintah, selain juga dai masyarakat,

pihak luar negeri,hasil usaha dan tabungan IPB yang bukan merupakan dna

masyarakat atau penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Sesuai kompetensinya,

IPB menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang pertanian tropika,

menyelenggarakan kegiatan lain dan mendirikan unit usaha yang hasilnya

digunakan untuk mendukung penyelenggaraan fungsi-fungsi utamanya sebagai

perguruan tinggi BHMN.

Penetapan IPB sebagai PTNBH telah dijadikan momentum dalam

mealukan peataan internal dari seluruh penyelenggaran pendidikan tinggi di IPB,

baik menyangkut organisasi, program pendidikan, penelitian dan pemberdayaan

masyarakat, manajemen SDM, manajemen fasilitas dan properti, sistem keuangan,

teknoligi informasi dan pembangkitan pendapatan. Dewan Guru Besar (DGB) IPB

sebagai forum guru besar ditetapkan oleh MWA IPB melalui surat ketetapan

nomor 55/MWA-IB/2007, beranggotakan seluruh guru besar tetap IPB yang

bertanggungjawab atas tegaknya integritas moral dan etika seluruh sivitas

akademika dan atas kukuhnya kerjasama dilingkungan IPB. Kegiatan dewan guru

besar antara lain(1) melakukan evaluasi mutu karya ilmiah, (2) menyusun buku

daftar guru besar IPB, (3) memberi masukan untuk panduan orasi ilmiah dan

pengukuhan guru besar IPB, dan (4) menghandiri berbagai pertemuan di dalam

dan di luar IPB.

Organisasi IPB terdiri ata Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Dewan

Audit, Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Ketua Lembaga, Sekertaris

Lembaga, Direktur dan Kepala Sub-Direktorat. IPB juga mempunyai Direktur

Perpustakaan dan pimpinan unsur penunjang akademik lainnya, yaitu

Page 121: ANALISIS IMPLEMENTASI

113

laboratorium, bengkel, studio, pusat informasi, kebun percobaan dan unit

keamanan. IPB juga mempunyai satuan usaha komersial yang pmpinannya

diangkat dan diberhentikan oleh Rektor, serta bertanggung jawa kepada Rektor.

Sesuai kebutuhan masa transisi BHMN yang belum tuntas, IPB

menyempurnakan organisasi dengan mengubah Direktorat dan Kantor menjadi 12

Direktorat, yaitu: (1) Direktorat Administrasi Pendidikan, (2) Direktorat

Pengkajian dan Pengembangan Akademik, (3) Direktorat Kemahasiswaan, (4)

Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni, (5) Direktorat keuangan,

(6) Direktorat Sumber Daya Manusia, (7) DirektoratFasilitas dan Properti, (8)

Direktorat Perencanaan dan Pengembangan, (9) Direktorat Riset da Kajian

Strategis, (10) Direktorat Kerjasama dan Program Internasional, (11) Direktorat

Bisnis dan Kemitraan, (12) Direktorat komunikasi dan Sistem Informasi, dan 6

kantor terdiri atas : (1)Sekreariat Ekskutif, (2) Kantor Audit Internal (3) Kantor

Hukum dan Organisasi, (4) Kantor Manajemen Mutu (5) Unit Keamanan

Kampus, dan (6) Unit Layanan Pengadaan.

Praktik otonomi akademik PTNBH pada Institut, Teknologi Bandung

(ITB) sebagai Badan Hukum Milik Negara berdaarkan PP Nomor 155 Tahun

2000 Tentang ITB sebagai BHMN. Semenjak itu kewenangan pengaturan dan

pengelolaan ITB dilaksanakan oleh 4 unsur utama yaitu Majelis Wali Alamat

(MWA), Senat Akademik (SA), Majelis Guru Besar (MGB) dan Rektor. ITB

merupakan institusi nirlaba berdasarkan pasal 5 PP Nomor 155 Tahun 2000

tentang ITB sebagai PTNBH, ITB merupakan lembaga pendidikan berbasis

penelitian yang memandu perkembangan dan perubahan yang dilakukan

Page 122: ANALISIS IMPLEMENTASI

114

masyarakat melalui kegiatan tridharma pergruan tinggi yag inovatif, bermutu,

tanggap terhadap perkembangan dan tantangan lokal maupun global.

Kegiatan institusi dilaksanakan oleh 3 satuan kerja sesuai bidang masing-

masing, yaitu: (1) Bidang Pendidikan, Penelitian dna Pengabdian kepada

Masyarakat dilaksanakan oleh satuan akademik (2) Bidang pengelolaan kekayaan

dan dana abad, kekeayaan intelektual, serta pemberian perlindungan dan

peningkatan kesejahteraan pegawai dilaksanakan oleh satuan kekayaan dan dana

(3) Bidang kegiatan yang menunjang pendanaan penyelenggaraan tridharma

perguruan tinggi dilaksanakan oleh satuan usaha komersial.

Susunan organisasi ITB memiliki 4 unsur utama yaitu : (1) Majelis Wali

Amanat, adalah organ tertinggi institut yang memiliki kepentingan pemerintah

dan masyarakat, bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan;

(2) Senat Akademik, merupakan badan normatif tertinggi institut di bidang

akademik; (3) Majelis Guru Besar, merupakan forum guru besar institut yang

beranggotakan seluruh Guru Besar ITB; (4) Rektor meupakan pimpinan Institut

Teknologi Bandung yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap

penyelenggaraan pendidikan di ITB.

ITB menerapkan birokrasi profesional (professional bureaucracy) yaitu

unit kegiatan akademik yang memiliki program tridharma yang terintegrasi

dengan arah pengembangan ITB. Kegiatan dan multi fungsi di ITB dikerjakan

oleh tim, sehingga ITB merupakan organisasi yang berbasi tim (team based

organization). Hirarki organisasional atau jumlah jenjang pada struktur organisasi

ITB dibuat secara proposional, rentang kendali atau span of control jumlah

jabatan yang berada di bawah suatu jabatan dibuat banyak.

Page 123: ANALISIS IMPLEMENTASI

115

Proses transformasi menuju perguruan tinggiriset dilakukan dengan

transformai pada tingkat budya, yaitu menuju budaya yang menjungjung tinggi

prestasi dan kemajuan. Penumbuhan budaya organisasi diharapkan mampu

menumbuhkan kesdaran insan ITB untuk terlibat dalam proses pembaharuan dan

pengembangan diri agar dapat memberikan kontribusi maksimal, baik terhadap

pengembangan profesionalisme pribadi maupun kesejahteraan ITB secara

keseluruhan.

Organisasi ITB diselenggarakan melalui pembagian peran yang dilakukan

oleh organ-organ MWA, Senat Akademik, Majelis Guru Besar, dan Rektor.

MWA adalah organ tertinggi ITB yang berfungsi menentukan kebijakan arah

pengembangan institusi serat manajemen kesehatan keuangan ITB. Senat

Akademik ITB merupakan organ yang membuat kebijakan normatif akademik.

Majelis Guru Besar adalah Organ yang memelihara sistem tata nilai ITB. Rktor

bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan tridharma dn pendukungnya

untuk mewujudkan visi dan misi ITB.

MWA adakah organ tertinggi institut yang mewakili kepentingan

pemerintah dan masyarakat, bertanggung jawab kepeda menteri. Senat Akademik

adalah badan normatif tertinggi institut di bidang akademik, sementara Majelis

Guru Besar (MGB) adalah forum Guru Besar yang mengemban tanggung jawab

atas tegaknya integritas moral dan etika profesional sivitas akademika dan atas

kukuhnya kerjasama dilingkungan institut. Rektor selaku pemimpin institut

berfungsi sebagai eksekutif dan bertanggungjawab secara keseluruhan atas

kegiatan operasional institut.

Page 124: ANALISIS IMPLEMENTASI

116

Praktik otonomi akademik PTNBH pada Universitas Sumatera Utara

(USU) ditetapkan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasarkan PP

No.56 Tahun 2003 Tentang USU PTNBH bersifat nirlaba. Sebagai PTN badan

hukum USU mempunyai tujuan: (1) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota

masyarakat yang bermoral, memiliki kemampuan akademik, profesi dan vokasi

yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya khasanah ilnu

pengetahuan teknologi dan/atau kesenian (2) Mengembangkan dan

menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. USU sebagai

PTNBH dilengkapi dengan organ Majelis Wali Amanat, Dewan Audit, Senat

Akademik, dan Unsur Pimpinan terdiri dari Rektor, Pembantu Rektor, serta

Dewan Guru Besar. Senat Akademik sebagai badan normatif tertinggi dalam

bidang akademik memiliki 4 komisi yaitu: Komisi Program Akademik, Komisi

organisasi dan Tata Pamong, Komisi Penjaminan Mutu, dan Komisi Perencanaan

dan Anggaran.

Kendati USU telah berstatus PTNBH, sistem seleksi calon mahasiswa

hingga tahun akademik 2011 masih mengikuti pola lama yaitu menggunakan 8

jalur yang masing-masing adalah seleksi jalur Undangan, Bidik Misi, Ujian

Masuk Bersama (UMB), Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tnggi Negeri (SNMPTN). Penerimaan Mahasiswa

Program Diploma (SPMPD), Penerimaan Mahasiswa Program Reguler Mandiri

(PMPRM). Penerimaan Mahasiswa Program Ekstensi (PMPE), dan Penerimaan

Mahasiswa Program Pascasarjana (PMPPs).

Pengelolaan kegiatan penelitian diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian

dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP3M). LP3M membawahi Lembaga

Page 125: ANALISIS IMPLEMENTASI

117

Penelitian (LP) dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Di

samping itu beberapa fakultas masih dibenarkan memiliki Unit Pengembangan

Riset (UPR) dalam pelaksanaan administrasinya tetap berkoordinasi dengan

LP3M dan kegiatan penelitian di setiap UPR terekam di LP3M. Lembaga

penelitian berkewajiban membina tenaga akademik dalam hal penelitian bermutu

dan mengarahkan penelitian inovasi teknologi secara optimal serta berkelanjutan

yang berbasis industri.

Karya penelitian yang dilakukan oleh tenaga-tenaga akademik USU

sebagian besar dipublikasikan melalui media komunikasi penelitian internal yaitu

jurnal Penelitian Rekayasa MIPA dan Sosial Humaniora yang diterbitkan secara

berkala. Jumlah karya penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal ini adalah 77

buah. Di samping itu Lembaga Penelitian USU juga memiliki media komunikasi

lain yaitu sebuah majalah ilmiah yang memuat abstrak hasil-hasil penelitian yang

diterbitkan secara berkala. Karya tulis berupa buku-buku ajar yang diterbitkan

melalui USU Press dan lain-lain sepanjang tahun 2011 berjumlah 45 judul. Selain

itu masih terdapat jumal ilmiah dan majalah ilmiah yang diterbitkan oleh

fakultas/departemen dan program studi di lingkungan USU dalam tahun 2011

sebanyak 20 buah.

IKIP Bandung diubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

pada tanggal 7 oktober 1999. Untuk dapat memeroleh kemandirian, otonomi,

dan tanggung jawab yang lebih luas sebagai penyelenggara pendidikan tinggi,

melalui PP No.6 Tahun 2004 UPI diberi otonomi dan menjadi Perguruan Tinggi

Badan Hukum Milik Negara (PTNBH). Lebih lanjut dikatakan sebagai PTNBH

maka: (a) segala hak dan kewajiban, perlengkapan dan kekayaan, kecuali tanah,

Page 126: ANALISIS IMPLEMENTASI

118

penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk pegawai dialihkan menjadi aset dan

pegawai universitas; (b) kekayaan universitas merupakan kekayaan negara yang

dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (c) pengelolaan

sumberdaya menjadi mandiri; (d) untuk membiayai kegiatannya, UPI memeroleh

dana dari pemerintah, masyarakat, pihak luar negeri yang tidak mengika dan

usaha serta tabungan universitas, penerimaan universitas yang berasal dari

masyarakat bukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Organisasi UPI BHMN terdiri dari pengelola, pelaksana akademik,

pelaksana administrasi dan unsur penunjang. Pengelola terdiri dari Majelis Wali

Amanat, Dewan Audit, Senat Akademik dan Pimpinan Universitas. Pelaksana

akademik terdiri dari Fakultas, Jurusan, Program Studi, dan Lembaga. Unsur

penunjang terdiri dari perpustakaan, laboratorium, sekolah laboratorium (sekolah

percontohan), bengkel, kebun percobaan, dan pusat komputer. Susunan Majelis

Wali Amanat UPI Tahun 2010-2015 terdiri dari(a) Wakil Menteri, (b) Wakil

Senat Akademik, dan Wakil Masyarakat. Untuk unsur Pimpinan UPI terdiri dari

Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Hubungan Internasional. Pembantu

Rektor Bidang Keuangan dan Sumberdaya dan Usaha, serta Pembantu Rektor

Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan.

UPI menyelenggarakan 7 fakultas dan 5 kampus daerah, yaitu Fakultas

Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS),

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA),

Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), Fakultas Pendidikan Teknologi

dan Kejuruan (FPTK), Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB),

Fakultas Pendidikan olah Raga dan Kesehatan (FPOK), dan Kampus Serang,

Page 127: ANALISIS IMPLEMENTASI

119

Kampus Purwakarta, Kampus Cibiru, Kampus Sumedang, serta Kampus

Tasikmalaya.

Praktik otonomi akademik PTNBH pada Universitas Airlangga (Unair)

Ditetapkan menjadi Badan Hukum Milik Negara (PTNBH) berdasarkan PP

No.30 Tahun 2006 merupakan pendidikan tinggi berprinsip nirlaba, dan dapat

mengelola dana secara mandiri dengan tujuan (l) Membentuk manusia yang

cakap, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai

keinsafan yang bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia

pada khususnya dan dunia pada umumnya, memiliki kemampuan akademik

dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (2)

Mengembangkan/menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta

mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat

dan memperkaya kebudayaan nasional ; (3) Mendukung pembangunan

masyarakat dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri; (4) Mencapai

keunggulan kompetitif melalui penerapan prinsip pengelolaan sumberdaya sesuai

dengan asas profesionalisme; (5) Berperan besar dalam pembangunan masyarakat

yang demokratis, adil, dan makmur; (6) Meningkatkan kualitas berlanjut untuk

menempati posisi yang baik dalam persaingan dan kerja sama global.

Unair menjalankan kegiatan yang menjadi tugas pokok-fungsinya antara

lain dalam bidang pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat, memberikan layanan akademik dan umum sesuai kompetensi yang

dimiliki meliputi kegiatan pelatihan, pengembangan, konsultansi, pembinaan

dan pengembangan karier mahasiswa serta lulusan, juga pemeliharaan kesehatan.

Page 128: ANALISIS IMPLEMENTASI

120

Unair menggalang kerja sama saling menguntungkan dengan berbagai pihak

dalam penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi, pengembangan pendidikan,

dan meningkatkan kemampuan internal kelembagaan di berbagai bidang. Struktur

organissi Unair sebagai PTNBH (periode 2010 s d. 2015) adalah Rektor, Wakil

Rektor I, Wakil Rektor II, dan Wakil Rektor III. Majelis Wali Amanat (periode

2008 s d, 2012) terdiri dari Ketua Majelis Wali Amanat, dan Sekretaris Majelis

Wali Amanat. Susunan Dewan Audit terdiri dari Ketua Dewan Audit, dan

Sekretaris Dewan Audit.

Sistem pengelolaan keuangan USU sepanjang tahun 2011, sebagian besar

masih berdasarkan sistem konvensional dan dilakukan secara manual. Semua

penerimaan yang bersumber dari APBN disimpan atau disetorkan ke Kas Negara

(KPPN). Penerimaan yang bersumber dari APBD Pemerintah Provinsi dan APBD

Pemerintah Kabupaten/Kopta, Dana PNBP (bersumber dari SPP mahasiswa dan

lain-lain) disetorkan ke rekening USU dan setiap triwulan disahkan oleh KPPN,

dana tersebut dimanfaatkan menurut keperluannya dengan mengacu kepada

anggaran yang telah disahkan Pimpinan USU, dalam hal ini alokasi batas

penggunaan anggaran misalnya bagian pembiayaan honorarium, kegiatan

administrasi pembiayaan, pengembangan staf dan nlain-lain.

Sistem dan pengelolaan sumber daya manusia di USU masih dalam taraf

perampungan yang dilakukan melalui proyek I-MHERE. Salah satu masalah yang

terkait dengan peralihan sistem dan manajemen sumber daya manusia di PTNBH

USU ialah status USU yang belum full-fledge BHMN, sehingga pengendalian

sumber daya manusia di USU sebagian besar masih berada ditangan pemerintah

pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) tahun 2011 USU memeroleh

Page 129: ANALISIS IMPLEMENTASI

121

dana mencapai Rp.858.675.624.144,69. Terdiri dari Dana Masyarakat (DM)

sebesar Rp.387.563.648.756,69 dan Subsidi Pemerintah sebesar

Rp.471.111.975.388,00.

Praktik otonomi non-akademik PTNBH pada Universitas Pendidikan

Indonesia (UPI). Untuk membiayai tridharma perguruan tinggi, UPI memeroleh

dana dari masyarakat, bantuan pemerintah pusat dan daerah, serta bantuan luar

negeri. Dana masyarakat berasal dari SPP mahasiswa yang mengikuti pendidikan

di UPI, termasuk mahasiswa tugas belajar dari lembaga pemerintah /non-

pemerintah. Non-SPP meliputi penerimaan dana dari penerimaan mahasiswa baru,

bantuan kerja sama penelitian ilmiah/non-ilmiah, kemasyarakatan, dan lembaga

masyarakat luar negeri dan pendapatan lain-lain (jasa giro, penggunaan sarana

olah raga dan gedung serbaguna). Dana bantuan dari pemerintah berasal dari

APBN, yang dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA),

bantuan dari pemerintah daerah setempat serta beasiswa dari instansi pemerintah.

Dana pinjaman luar negeri terutama untuk pembagunan sarana dan prasarana fisik

UPI.

Berdasarkan Pasal 9 PP No. 6 tahun 2004 Tentang Penetapan UPI sebagai

BHMN ditetapkan bahwa kekayaan awal universitas berasal dari kekayaan negara

yang dipisahkan dari APBN. Kekayaan awal ini adalah seluruh kekayaan negara

yanng tertanam pada universitas kecuali tanah. Besarnya nilai kekayaan awal ini

ditetapkan oleh Menteri keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan

bersama oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian

Keuangan. Nilai aset universitas yang berupatanah (milik negara), bangunan,

kendaraan, dan inventaris./ peralatan lainnya, disajikan berdasarkan hasil

Page 130: ANALISIS IMPLEMENTASI

122

inventarisasi yang dilakukan bersama oleh BPKP Pusat, BPKP Perwakilan Jawa

Barat dan SAI (Satuan Audit Internal) UPI, dan telah direvaluasi oleh perusahaan

penilai yang diakui pemerintah.n berkaitan dengan status UPI sebagai PTNBH

yang bersifat nirlaba, maka laporan keuangan UPI disusun dengan berpedoman

pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 45 Tentang

Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba.

Sistem dan alokasi penganggaran terpadu telah dikembangkan dan

dijadikan pola pengganggaran bagi setiap unit kerja, sehingga setiap unit kerja

mengetahui pasti jumlah dan yang dialokasikan, pencairan, serta pertanggung

jawabannya. Namun, pada pelaksanaannya pengelolaan keuangan masih

menghadapi kendala karena bellum didukung dengan sumber daya manusia yang

memadai. Tahun 2011 UPI memeroleh dana mencapai Rp.64.084.996.275,00.

Terdiri dari Dana Masyarakat (DM) sebesar Rp.33.542.605.326,00 dan Subsidi

Pemerintah (DIPA) sebesar Rp.30.542.390.950,00.

Praktik otonomi non-akademik PTNBH pada Universitas Airlangga

(Unair). Berdasarkan Peraturan pemerintah No.30 tahun 2006 status Unair

berubah menjadi PTNBH, dengan kekayaan awal sebesar Rp.318.699.008.702

terdiri atas (1) Bangunan sejumlah 43 unit seluas 151.865,58 m2 senilai

Rp.252.964.541.410,00 (2) Alat angkutan dan kendaraan bermotor sejumlah 134

unit, senilai Rp.7.073.466.500,00 (3) Peralatan kantor, mesin,

peralatanlaboratorium, dan aset tetap lainnya sejumlah 482.465 unit senilai

Rp.58.661.000.792,00. Kekayaan negara berupa tanah yang tidak termasuk

kekayaan awal Unair dan dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan

fungsi Unair.

Page 131: ANALISIS IMPLEMENTASI

123

Sumber dana keuangan untuk penyelenggaraan, pengelolaan, dan

pengembangan berdasarkan Pasal 13 PP No. 30 tahun 2006 tentang Unair BHMN

adalah berasal dari (1) Pemerintah yaitu dana yang berasal dari penerimaan

melalui anggaran pemerintah yang terutang dalam DIPA dan Pelaksanaan

Operasional Kegiatan (POK), penerimaan hibah/subsidi serta hasil kontrak/kerja

sama di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan

lembaga/instansi pemerintah (2) Masyarakat yaitu dana yang berasal dari

masyarakat Indonesia antara lain untuk pendidikan seleksi masuk, kerja sama

sesuai peran dan fungsi perguruan tinggi (3) Usaha dan tabungan terdiri atas

penerimaan penjualan dan pemanfaatan sumberdaya Unair, penerimaan hasil

usaha tambahan (auxiliary enterprises), penerimaan bunga dan penerimaan hasil

investasi (4) Luar negeri yaitu dana yang merupakan perolehan dari luar negeri

dalam bentuk hibah, donasi maupun hasil kerja sama dan kontrak internasional

dan penerimaan dari pembayaran tuition dan admission fee oleh mahasiswa asing

yang tidak disalurkan melalui dana pemerintah (APBN/APBD). Tahun 2011

Unair memeroleh dana mencapai Rp.536,364.515.264,00. Terdiri dari Dana

Masyarakat (DM) sebesar Rp.301.060.493.294,00 dan subsidi Pemerintah (DIPA)

sebesar Rp.235.304.022.015,00.

Page 132: ANALISIS IMPLEMENTASI

124

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Implementasi penganggaran partisipatif di perguruan tinggi badan

hukum dalam praktik selama ini berdasarkan kajian peraturan perundang-

undangan PTN Badan Hukum dalam rangka otonomi akademik masih banyak

diintervensi oleh pemerintah. Hal ini berimplikasi terhadap belum sepenuhnya

PTNBH dapat menjalankan otonomi akademik dalam pembukaan program studi,

penerimaan mahasiswa baru, penetapan kurikulum, statuta perguruan tinggi,

pemilihan pimpinan perguruan tinggi, pengangkatan guru besar dan pemberian

penilaian DP3 pimpinan perguruan tinggi. implementasi anggaran partisipatif

PTN dalam praktik selama ini berdasarkan kajian peraturan perundang-undangan

PTN Badan Hukum dalam rangka otonomi non akademik belum sepenuhnya

diwujudkan seperti struktur organisasi, kepegawaian, keuangan, sarana dan

prasarana, kemahasiswaan, dan kerjasama internasional. Pola penganggaran masih

dalam bentuk rincian kegiatan sesuai mata anggaran yang telah ditetapkan, belum

dalam bentuk blok atau anggaran berdasarkan kinerja. Bentuk ideal landasan

implementasi anggaran partisipatif PTN menuju otonomi perguruan tinggi untuk

mewujudkan otonomi akademik dan otonomi nonakademik, adalah PTN badan

hukum nirlaba. Tata kelola PTN tidak lagi sebagai satuan kerja atau unit

pelaksana teknis pemerintah

Page 133: ANALISIS IMPLEMENTASI

125

5.2 Saran

Sebagai satuan kerja perguruan tinggi badan hukum, maka saran-saran

yang dapat diberikan: Tidak terlalu banyak intervensi pemerintah (over regulated)

baik kebijakan meupun peraturan perundang-undangan PTN dalam mewujudkan

otonomi akademik. Praktik tata kelola nonakademik pada PTN harus dirubah,

secara teoritis beradasarkan hasil penelitian ini tata kelola nonakademik dapat

menjadi dasar pengembangan ilmu dalam menyikapi PTN yang semakin dinamis.

PTN harus menjadi menjadi badan hukum nirlaba. Kebebasan akademik dan

kebebasan non akademik secara ideal dapat diwujudkan menuju otonomi PTN

yang dicita-citakan, baik dalam hal pendidikan/pengajaran, penelitian, pengabdian

masyarakat, maupun aspek organisasi, sumber daya manusia, pendanaan dan

kerjasama internasional.

5.3 Keterbatasan

Penelitian ini tidak lepas dari beberapa kelemahan diantaranya adalah

lingkup penelitian yaitu perguruan tinggi badan hukum sehingga hasil sulit untuk

digeneralisasi. Selain itu setiap perguruan tinggi badan hukum mempraktikan

anggaran dengan cara masing-masing akibatnya implementasi anggaran tidak

dapat disimpulkan secara teoritis. Penelitian ini tidak menemukan bagaimana

implementasi anggaran yang ideal sehingga penelitian selanjutnya dapat lebih

fokus terhadap variabel anggaran partisipatif berserta faktor-faktor yang

mempengaruhinya serta menggunakan teori institusional yang cocok untuk

menguji anggran sektor publik.

Page 134: ANALISIS IMPLEMENTASI

126

DAFTAR PUSTAKA

Adji Suratman. 2010. Good Corporate Governance: Konsep dan

Permasalahanya. Penerbit: PT.Tintamas Indonesia.

Adrian Suteja. 2012. Good Corporate Governance. Penerbit: Sinar Grafika.

Asian Development Bank. 1999. Governance : Sound Development Management.

Fitri, 2016 “Seputar PTN-BH, PTN-BLU, PTN-Satker dan PTN-Baru”. Diambil

kembali dari Kopertis12: http://www.kopertis12.or.id.

IFAC. 2001. Governance in The Public Sector: A Governing Body Perspektive,

IFAC Public Sector Commite.

IFAC. 2014. International Framework: Good Governance in The Public Sector,

Juli 2014. IFAC dan CIPFA. ISBN: 978-1-60815-181-3.

IIA. 2006. The Role of Auditing in Public Sector Governance, The Institute of

Internal Auditors Research Foundation, Maitland avenue Almonte Spring.

Kelkar, Vijay ,2009, Good Governance: Accounting Reforms, National Academy

of Audit abd Accounts, Shimia, May 2009 p.1-11.

KNKG (2008).Konsep pedoman good public governance. Jakarta.

Krina. Loina Lalolo P. 2013. Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi.

Sekretariat Good Public Governance, Badan Perencanaan dan

Pembangunan Nasional. Jakarta

Laily, Indra. 2015. ”Menristekdikti: keuangan PTN-BH kurang fleksibel”.

Diambil kembali dari Antara News: http://www.antaranews.com/.

LAN-BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Goveranance. Jakarta:LANRI

Muktiyanto, A., Rossieta, H., Hermawan, A. 2014. The Effect Of Good University

Governance And Strategy Toward The Performance Of Higher Education

Institution. In: International Conference on Emerging Economies (ICEE

2014).

Muljo ,Hery Harjono., Aries Wicaksono dan Ignatius Edward Riantono,

2014“Optimalisasi Penerapan Prinsio Good Governance Bidang Akademik

Dalam Upaya Mewujudkan Good University Governance”. Binus Business

Review.

OECD. 2004. The OECD Principlew of Corporate Governance. The OECD.

Page 135: ANALISIS IMPLEMENTASI

127

R. Eko Indrajit dan R. Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi

Modern. Yogyakarta: Andi Offset.

Sadewa ,Kidung., Satria NurFauzi dan Argadhia Aditama, 2015. “Pengelolaan

Kekayaan Negara oleh Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Layanan

Umum Dalam Pengembangan Pendidikan dan Perekonomian Indonesia”.

Sedarmayanti. 2003. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam

Rangka Otonomi Daerah, Bandung: PT. Mandar Maju.

Serian Wijantno. 2009. Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efisien, Efektif,

dan Ekonomis: Untuk Meningkatkan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan

dan Mutu Lulusan. Jakarta: Salemba Empat.

Sulistyowati Irianto. 2012. Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan. Cet.2.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

UNDP. 1997. Governance for suistainable Development Policy Document, New

York: UNDP.

UNESCO. 2005 http://portal.unesco.org/ci/en/ev.php-URL_ID=5205&URL_DO=

DO _TOPIC&URL_SECTION=201.html United Nations Development

Program. 1997. Governance for Suitable Development: A Policy Document.

New York: UNDP.

Warsono,Sony, Amalia,Fitri, Rahajeng, Dian Kartika.2009.”Corporate

Governance Concept and Model: Preserving True Organisation

Welfare”.Center for Good Corporate Governance. Yogyakarta

Peraturan

12. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 Tentang PNBP

13. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

14. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

15. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendahaaan Negara

16. Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang BHP

17. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

18. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi

19. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 Tentang PTNBH

20. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 Tentang PK BLU beserta revisinya

21. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan

Page 136: ANALISIS IMPLEMENTASI

128

22. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme

Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum

23. PP No 22 Tahunj 1997 Tentang Jenis dan Penyetoran PNBP

24. PP No 73 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penggunanan PNBP

25. PP No. 152 tahun 2000 Tentang Penetapan UI Sebagai BHMN

26. PP No. 153 tahun 2000 Tentang Penetapan UGM sebagai BHMN

27. PP No. 154 tahun 2000 Tentang Penetapan IPB sebagai BHMN

28. PP No. 155 tahun 2000 Tentang Penetapan ITB sebagai BHMN

29. PP No. 56 tahun 2003 Tentang Penetapan USU sebagai BHMN

30. PP No. 6 tahun 2004 Tentang Penetapan UPI sebagai BHMN

31. PP No. 30 tahun 2006 Tentang Penetapan UNAIR sebagai BHMN

32. PP No.74 tahun 2012 Tentang Perubahan atas PP No.23 Tahun 2005 Tentang

PK BLU

33. PP No. 43 Tahun 2012 Tentang UPI sebagai Perguruan Tinggi yang

diselenggarakan pemerintah

34. PP No. 44 Tahun 2012 Tentang ITB sebagai Perguruan Tinggi yang

diselenggarakan pemerintah

35. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 58 Tahun 2012 Tentang

Bantuan Operasional Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah

36. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 55 Tahun 2013 Tentang

Biaya Kuliah tunggal dan uang kuliah tunggal pada PTN di lingkungan

kemendibud

37. PP No. 58 Tahun 2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN

Badan Hukum

38. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 042/U/2000 tentang Persyaratan

dan tatacara penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum

39. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2013. Tentang penetapan Institut

Teknologi Bandung sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

40. Pemerintah Nomor 66 Tahun 2013 tentang penetapan Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

41. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013 tentang penetapan Institut

Pertanian Bogor sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

Page 137: ANALISIS IMPLEMENTASI

129

42. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013. Tentang penetapan Universitas

Indonesia sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

43. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2014. Tentang penetapan Universitas

Pendidikan Indonesia sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

44. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2014. Tentang penetapan Universitas

Sumatera Utara sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

45. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014. Tentang penetapan Universitas

Airlangga, Surabaya sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

46. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2015 tentang penetapan Universitas

Padjadjaran, Bandung sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

47. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2015 tentang penetapan Universitas

Diponegoro, Semarang sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

48. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2015 tentang penetapan Universitas

Hasanuddin, sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum

49. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2015 tentang penetapan Institut

Teknologi Sepuluh NopemberSurabaya sebagai perguruan tinggi negeri badan

hukum

Page 138: ANALISIS IMPLEMENTASI

130

BIODATA PENULIS

Dr. Hj. Roebiandini Soemantri, SE., M.Si., Ak., CPA., CA. merupakan dosen

tetap pada Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Binsnis Universitas

Padjadjaran. Mengampu mata kuliah dan spesialisasi bidang Akuntansi

Manajemen, Manajemen Strategis dan Sistem Pengendalian Manajemen pada

program Sarjana Akuntansi, Magister Akuntansi dan Program Doktor Ilmu

Akuntansi. Selain itu, sebagai pimpinan KAP Roebiandini & Rekan.

Dr. H. Memed Sueb, CSRS., CPA., CA., BKP. merupakan dosen tetap pada

Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Binsnis Universitas Padjadjaran.

Mengampu mata kuliah dan spesialisasi bidang Social and Environmental

Accounting, Perpajakan dan Akuntansi Keuangan pada program Sarjana

Akuntansi, Magister Akuntansi dan Program Doktor Ilmu Akuntansi. Selain itu,

sebagai Kepala Departemen Akuntansi FEB UNPAD, komisaris pada bank BJBS

Syariah; Partner pada KAP Djumarma Wahyudin dan Rekan Bandung.

Sofik Handoyo, SE., MSBS., Ak. merupakan dosen tetap pada Departemen

Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Binsnis Universitas Padjadjaran. Mengampu

mata kuliah dan spesialisasi bidang Akuntansi Manajemen, Manajemen Strategis

dan Sistem Pengendalian Manajemen pada program Sarjana Akuntansi dan

Magister Akuntansi FEB UNPAD

Dr. Yusar Sagara, SE., Ak., M.Si., CA., CMA., CPMA. merupakan dosen tetap

pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Mengampu mata kuliah dan spesialisasi bidang

Akuntansi Manajemen, Sistem Pengendalian Manajemen dan Etik Profesi

Akuntan pada program Sarjana Akuntansi dan Magister Perbankan Syariah FEB

UIN Jakarta. Selain itu, sebagai Wakil Direktur NICT UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.