analisis fungsi dan struktur musikal - … · 4.drs. setia dermawan purba, m.si. 5.drs. kumalo...
TRANSCRIPT
ii
ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR MUSIKAL
GORDANG SAMBILAN DALAM UPACARA
ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H MAHYAR SOPYAN PANE NIM: 080707002
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
ii
ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR MUSIKAL GORDANG SAMBILAN DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H MAHYAR SOPYAN PANE NIM: 080707002 Pembimbing I, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
Pembimbing II, Drs. Fadlin, M.A. 196102201989031003
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
ii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu
syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu
Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
3.Drs. Bebas Sembiring, M.Si.
4.Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si.
5.Drs. Kumalo Tarigan, M.Si.
ii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas rahmad dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Analisis
Fungsional dan struktur Musikal Gordang Sambilan dalam Upacara Adat Perkawinan
pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.
Tugas Akhir ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
gelar sarjana Seni dari jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari
belajar karena belajar adalah sesuatu yang t idak terbatas.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang
tua saya. Ayahanda Saimurtama Pane dan Amidar yang telah memberikan kasih saying
dan kepercayaan kepada saya dengan tulus hati serta tiada hentinya memberikan perhatian
dan dorongan demi selesainya studi anaknya.. juga kepada semua saudara saya, adinda
Agusyahputra Pane, adinda Tin Aprizal Ananda Pane, adinda Siti Rahma Pane, adinda
Nuraida, dan saudara-saudara lainnya yang telah memberikan bantuan moril dan materil
dalam menyelesaikan studi saya ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. selaku ketua Jurusan
Etnomusikologi sekaligus yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas
akhir ini.
2. Bapak Drs. Fadlin M.A yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas
akhir ini.
3. Segenap para dosen di Jurusan Etnomusikologi yang turut membantu proses
penyelesaian tugas akhir ini.
ii
4. Seluruh informan termasuk Bapak Ridwan Amanah Nst sebagai narasumber
penulis yang telah banyak membantu untuk memberikan informasi yang
berkaitan dengan tugas akhir ini.
5. Seluruh stambuk 2008 jurusan Etnomusikologi yang membantu saya
dengan dukungan motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini.
6. Semua pihak yang telah membantu saya dan tidak dapat saya sebutkan
satu- persatu.
Penulis menyadari skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, oleh sebab itu
penulis mengaharapkan sekali masukan-masukan dan saran-saran yang sifatnya
membangun dan membaca, sehingga mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang ilmu etnomusikologi.
Medan, 2013
Mahyar Sopyan Pane
NIM: 080707002
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan
diterapkan oleh manusia. Budaya suatu suku bangsa merupakan suatu penampakan
identitas diri dari suku bangsa tersebut. Suatu suku bangsa dapat dikenal oleh dunia
apabila suatu suku bangsa tersebut sanggup memperkenalkan identitas dirinya kewat
budayanya yang khas (Parlaungan 1997:4).Salah satu dari sekian banyaknya
kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan masyarakat Mandailing yang
terletak di Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Etnik Mandailing adalah orang
yang berasal dari Mandailing secara turun menurun dimanapun ia bertempat tinggal.
Mandailing terdapat di Sumatera Utara yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal.
Mandailing dibagi dua walaupun adatnya sama, yaitu Mandailing Godang dan
Mandailing Julu. Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya
mulai dari Sehepeng sebelah utara Panyabungan sampai Maga disebelah selatan serta
didaerah Batang Natal sampai Muarasoma dan Muara Parlampungan disebelah barat.
Sedangkan daerah Mandailing Julu didominasikan oleh marga Lubis yang wilayahnya
dari Laru dan Tambangan disebelah utara Kotanopan sampai Pakantan dan
Hutanagodang di sebelah Selatan.
2
Etnik Mandailing memiliki alat musik kesenian yang menjadi ciri khas
kebudayaan Mandailing yang bernama Gordang Sambilan. Gordang sambilan
adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari Sembilan buah gendang yang
berukuran besar. Adapun penamaan dari Sembilan gordang tersebut mulai dari
yang terbesar sampai terkecil selalu berbeda-beda pada suatu daerah tetapi
bentuknya sama, seperti di daerah pakantan, huta pungkut dan tamiang
Untuk memperjelas perbedaan nama-nama Gordang Sambilan (dari yang
besar sampai yang kecil) dapat dilihat table berikut:
Tabel 1. Perbedaan Nama Maisng-masing Gordang dalam Ensambel
Gordang Sambilan di Wilayah Budaya Mandailing
Penamaan
gordang
Pakantan Huta Pungkut Tamiang
Gordang 1 Jangat Jangat siangkaan Jangat siangkaan
Gordang 2 Jangat Jangat silitonga Jangat silitonga
Gordang 3 Hudong-Kudong Jangat sianggian Jangat sianggian
Gordang 4 Hudong-Kudong Pangoloi Pangoloi
Gordang 5 Padua Pangoloi Pangoloi
Gordang 6 Padua Paniga Paniga
Gordang 7 Patolu Paniga Paniga
Gordang 8 Patolu Hudong-Kudong Hudong-Kudong
Gordang 9 Enek-Enek Hudong-Kudong Eneng-Eneng
3
Permainan gordang sambilan pada upacara adat masyarakat Mandailing
tidak terlepas dari pemain ensambel musik yang dimainkan secara bersamaan
sesuai pola yang berlaku bagi masyarakat Mandailing. Adapun jumlah pemain
gordang sambilan yaitu terdiri dari 11 (sebelas) para pemusik meliputi, (1) satu
orang pemain sarune, (2) lima orang memainkan gordang sambilan dengan
pembagian, (a) satu orang memainkan dua buah jangat atau disebut panjangati, (b)
satu orang memainkan hudong-kudong, (c) satu orang memainkan dua buah paduai,
(d) satu orang memainkan dua buah patolu dan, (e) seorang memainkan enek-enek,
(3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang memainkan
mongmongan atau gong panolongi dan panduai dan, (5) satu orang memainkan
pamulosi, (6) satu orang memainkan gong doal dan, (7) satu orang memainkan tali
sasayak. Formasi ini terdapat di daerah Pakantan.
Sedangkan diwilayah Huta Pungkut dan Tamiang jumlah pemain
pemusiknya adalah 9 (sembilan) yang terdiri dari (1) satu orang pemain sarune, (2)
empat orang memainkan gordang sambilan dengan pembagian, (a) satu orang
memainkan tiga buah jangat yaitu jangat siangkaan, jangat silitonga, jangat
sianggian, (b) satu orang memainkan duah buah pangoloi, (c) satu orang
memainkan duah buah paniga, (d) satu orang memainkan duah buah hudong-
kudong, (3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang
memainkan mongmongan, (5) satu orang memainkan talempong, dan (6) satu orang
memainkan tawak-tawak. (Rithaony Hutajulu dan Irwansyah Harahap 2004:31-32).
Namun dalam pembahasan ini, penulis lebih mengarah kepada daerah Pakantan.
Masyarakat Mandailing menerapkan adat-istiadatnya dengan disebut
“markoum marsisolkot” artinya terdiri dari kelompok yang berlainan marga
rangkul-merangkul atau harus bersatu padu seia sekata menjadi satu. Dikemudian
4
hari adat istiadat markoum marsisolkot ini disebut orang juga dengan adat dalihan
na tolu yang diartikan yaitu dalihan : batu tungku, na tolu : yang tiga. Maksudnya
tungku yang tiga (tiga batu tungku) yang secara arfiah diartikan sebagai tungku dan
penyangganya terdiri dari tiga. Agar tungku tersebut dapat seimbang. Secara
etimologi berarti merupakan suatu tumpuan yang komponen (unsur)nya terdiri dari
tiga kelompok (H. Pandapotan Nasution, S.H 2005).
Ketiga kelompok yang berlainan marga itu yaitu suhut dan kahangginya,
mora dan anak boru. Yang dimaksud Suhut dan Kahangginya adalah kita sendiri
dengan saudara-saudara kita baik yang terdiri dari satu ibu dan satu bapak atau
tidak tetapi haruslah dari kelompok yang satu marga. Mora adalah dari kelompok
tempat pengambilan anak gadis dalam perkawinan atau orang tua dan saudara-
saudara dari pihak istri kita. Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis
kita dalam perkawinan atau pihak orang-orang tua dan saudara-saudara dari suami
anak-anak gadis kita (kelompok dari menantu).
Bentuk-bentuk acara gordang sambilan menurut sifat penggunaan terdiri
dari upacara siriaon (suka cita) yaitu upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan
memasuki rumah baru sedangkan upacara siluluton (duka cita) yaitu upacara
kematian. Namun pada praktek penyelenggaraannya gordang sambilan di Kota
Medan lebih digunakan pada sifat upacara siriaon (suka cita) hal ini disebabkan
karena bentuk upacara siriaon (sukacita) merupakan bentuk upacara yang paling
lazim diselenggarakan, penggunaan pada upacara siluluton (dukacita) tidak lagi
dilakukan karena bentuk penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
ajaran agama Islam. pada upacara siriaon (suka cita) yang masih dilakukan sampai
saat ini di Kota Medan adalah upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan
memasuki rumah baru. Dari bentuk upacara ini hanya upacara perkawinan saja
5
yang umum menggunakan gordang sambilan karena upacara perkawinan memiliki
intensitas dalam hal penyelenggaraanya. Pada kedua sifat penggunaan gordang
sambilan diatas, penulis lebih menitikberatkan pembahasan pada sifat siriaon
(sukacita) yaitu dalam upacara pesta perkawinan masyarakat Mandailing di Kota
Medan.
Dalam upacara perkawinan, Gordang Sambilan dimainkan disaat
penyambut pengantin, tamu dan selesai pemberian gelar adat kepada pengantin
laki-laki itupun setelah diberi izin melalui markobar (musyawarah) kemudian
dipukulnya gondang dua (gondang boru) yang sebagai tanda bahwa upacara sudah
resmi dibuka dan gordang sambilan sudah di pindahkan dari bagas/sopo gondang
(rumah gondang), barulah Gordang Sambilan bisa dimainkan setelah disantani
(tepung tawari) dan untuk meninggung (pemukul pertama gordang) adalah raja
panusunan (Raja yang tertinggi di huta) kemudian diserahkan kepada pemain
gordang untuk memainkannya. Dan pada saat di hari puncaknya pesta atau hari
akhirnya pesta pernikahan selesai dimana acara margondang pun dihentikan, maka
disimpan kembali dengan terlebih dahulu disoda sebaimana dengan menyantan
gondang. Biasanya pada saat dimainkan Gordang Sambilan diikuti dengan tari
sarama (tarian yang menghormati roh nenek moyang) dengan kesurupan.
Pada upacara perkawinan masyarakat Mandailing, gordang sambilan identik
dengan kemapanan seseorang melaksanakan upacara perkawinan tersebut. Keluarga
yang mengadakan upacara adat menggunakan gordang sambilan termasuk keluarga
yang bisa dikatakan orang yang mempunyai harta yang lebih karena dalam
mengadakan Gordang Sambilan menggunakan anggaran yang besar mulai dari
mengadakan peralatan adat (paragek atau pago-pago) dihalaman seperti bendera
adat, payung adat yang diberi rumbai, pedang, langit-langit, rompayan dan
6
pelaminan sampai upacara perkawinan yang berlangsung selama tiga hari dua
malam sehingga masyarakat yang mengadakannya boleh dikatakan orang yang
terpandang (wawancara narasumber).
Pada upacara horja godang (pesta besar atau biasanya disebut pesta
perkawinan), seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur di sembelih sebagai
syarat untuk mengadakan Gordang Sambilan, meskipun untuk mangampeon
gondang (menempatkan gordang pada rumah gendang yang disebut bagas
gordang) dalam upacara perkawinan tersebut itupun harus meminta izin kepada
raja pasunan bulung. Meminta izin tersebut dengan menyurdu burangir kepada raja.
Pasunan bulung adalah seorang ahli dan penguasa dalam adat istiadat Mandailing.
Keizinan dapat diperoleh dari hasil musyawarah adat yang di sebut markobar
(wawancara Ibrahim Lubis)
Gordang Sambilan adalah alat musik yang bersifat sebagai pembawa rit me
yang berulang-ulang. Dalam segi musikal, Gordang Sambilan mempunya pola
rit me yang dimana penentu patokannya terhadap ritme gordang sambilan adalah
Patolu yang dipukul dua kali dalam set iap empat ketuk dengan pukulan yang
konstan, sedangkan enek-enek (paling kecil), padua (setelah patolu), hodong-
kudong sebagai pengisi ritme dan jangat (paling besar) berfungsi sebagai variasinya
dari empat gordang tersebut.
Adapun fungsi gordang sambilan pada adat horja siriaon (perkawinan) yang
dikemukakan oleh Bapak Ridwan Amanah Nst adalah sebagai bentuk pengumuman
kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan selain itu juga
berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka atau toko adat Mandailing,
sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pengangkatan gelar ataupun
pembuatan hukum adat, dan sebagai tanda sekaligus pemberitahuan kepada
7
masyarakat bahwa sedang berlangsungnya acara adat. Secara fungsi Gordang
Sambilan tidak mengalami perubahan fungsi karena fungsi Gordang Sambilan di
Kota Medan tetaplah sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing.
Perubahan yang tampak adalah pada aspek kegunaannya saja.
Berdasarkan penelitian ini penulis mengamati tentang Upacara Perkawinan
Adat Mandailing yang diadakan di Kota Medan, upacara ini berlangsung selama
dua hari satu malam. Dan upacara perkawinan pada jaman dulu upacara ini
berlangsung selama 7 hari dan bahkan ada yang sampai 1 bulan, tetapi pada saat
sekarang ini upacara perkawinan biasanya di laksanakan selama dua hari satu
malam, karena memerlukan biaya yang cukup besar dalam upacara yang cukup
lama.(Wawancara Bpk Ridwan Amanah Nst)
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis merasa dalam pengkajian
tentang ensambel musik yang di gunakan pada pesta perkawinan masyarakat
Mandailing yaitu gordang sembilan penting untuk di kaji dan ditulis dalam sebuah
tulisan atau di jadikan bahan skripsi dalam bentuk ilmiah dengan Judul “Analisis
Fungsi Dan Struktur Musikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Adat
Perkawinan Pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.”
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas penulis membatasi pokok permasalahan karena
keterbatasan waktu dan kemampuan akademis.
Pokok permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini ialah:
1. Bagaimana fungsi gordang sambilan dalam Upacara Perkawinan pada
Masyarakat Mandailing di Kota Medan?
8
2. Bagaimana struktur musikal gordang sambilan dalam Upacara Perkawinan
pada Mayarakat Mandailing di Kota Medan?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui bagaimana fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan
pada masyarakat Mandailing di Kota Medan.
b. Mengetahui bagaimana struktur musikal gordang sambilan dalam
perkawinan pada masyarakat Mandailing di Kota Medan.
c. Sebagai dokumentasi tentang Kebudayaan Mandailing dan dapat menjadi
masukan di Departemen Etnomusikologi.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Memberi pengetahuan dan informasi kepada masyarakat luas bagaimana
fungsi gordang sambilan dala upacara perkawinan pada masyarakat
Mandailing di Kota Medan.
b. Dapat mengerti dan mengetahui bagaimana proses permainan gordang
sambilan dalam perkawinan pada masyarakat Mandailing di Kota
Medan.
c. Dengan membaca skripsi ini di harapkan masyarakat di Kota Medan
khususnya kebudayaan Mandailing dapat mengetahui lebih dalam
mengenai penggunaan gordang dalam upacara perkawinan pada
masyarakat Mandailing di Kota Medan..
9
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep ialah pengertian abstrak dari sejumlah konsepsi – konsepsi atau
pengertian,
pendapat atau paham yang telah ada dalam pikiran ( Koentjaraningrat 1985 : 10 ).
Dalam penulisan ini yang di maksud dengan fungsi yaitu kegunaan dari suatu hal
yang dilaksanakan, dan pengertian dari guna adalah manfaat dari suatu benda atau
pekerjaan yang dilakukan ( Kamus Lengkap Bahasa Indonesia : 1997 ).
Sebagai landasan berpikir dalam pembahsan skripsi ini maka penulis
melandaskan kepada pemahaman yang dikemukan oleh Allan P. Merriam
(1964:63) tentang konsep musik.
Konsep musik gordang sambilan yaitu ada Sembilan buah gendang yang
masing-masing memiliki diameter yang saling berbeda namun dalam penggunaan
selalu digunakan serentak. Selain dari penggunaannya, tiap-tiap gordang tersebut
memiliki penamaan yang juga berbeda.
Gordang sambilan adalah jenis alat musik sakral yang berbentuk sangat
besar dan panjang yang dimainkan untuk sesuatu hal bisa menjadi s imbol, ataupun
pengesahan terhadap sesuatu didalam sebuah upacara adat dalam pertunjukannya
tidak hanya berdiri sendiri namun diikuti dengan alat-alat musik lain yang disebut
dengan ensambel gordang sambilan (Ridawan Amanah nst).
Koentjaraningrat ( 2000:90 ) mengatakan bahwa di pandang dari sudut
kebudayaan manusia maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia
yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya. karena menurut pegertian
10
masyarakat perkawinan menyebabkan seorang laki – laki tidak boleh melakukan
hubungan seksnya dengan wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa
wanita yang sudah disahkan sebagai istrinya.
Menurut Poerwadarminta (1986) mengatakan bahwa upacara merupakan
suata hal dalam melakukan perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau
menurut agama. Upacara perkawinan bukan saja penting bagi manusia tetapi juga
merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat
perhatian dari arwah para leluhurnya.
Perkawinan bagi masyarakat Mandailing merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan upacara sakral yang dilakukan. Dalam perkawinan masyarakat
mandailing harus sesuaikan dengan Dalihan Na Tolu yanga artinya tiga tungku.
1.4.2 Teori
Dalam mendeskripsikan komponen-komponen upacara ritual penulis
mengacu kepada Koentjaraningrat (1985:243) yaitu mengemukakan pengertian
upacara suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang
baku sesuai dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat
dari tempat upacara, saat dan waktu upacara dilaksanakan, benda – benda atau alat
upacara, dan orang yang melaksanakan dan pemimpin upacara.
Pendapat Malinowski mengenai teori fungsionalisme adalah berbagai unsur
kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan suatu
rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dari makhluk manusia (Basic Human
Needs). Dengan demikian, unsur kesenian misalnya mempunyai fungsi guna
memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan; unsur system pengetahuan
untuk memuaskan hasrat naluri manusia untuk tahu.
11
Untuk melihat fungsi Gordang Sambilan maka penulis menggunakan
pendapat yang dikemukakan oleh Alan P. Marriam bahwa ada 10 fungsi musik
yang telah di ungkapkan, tetapi tidak semua yang telah diungkapkan tersebut
berlaku untuk seluruh kebudayaan yang ada di dunia.
Untuk mengklasifikasikan alat musik penulis gordang sambilan, penulis
menggunakan pendekatan yang di tawarkan oleh Curt Sach dan Erich M. von
Hornbostel membagi kedalam empat kelompok, yaitu (1) idiophone; (2)
membrabofhone; (3) cordofhone; (4) aerofhone. Selanjutnya Curt Sach membagi
lagi klafikasi membranofhone kedalam Sembilan bentuk, yaitu “cylindrical drums”,
“barrel drums”, “hourglass drums”, “footed drums”, “goblet drums”, “kettle
drums”, “handle drums” dan “frame drums” (Sach, 1914). Dengan memperhatikan
kesembilan bentuk alat musik di atas, penulis lebih terfokus pada klasifikasi
membranophone dalam bentuk long drum karena gordang sambilan bentuknya
panjang dan besar.
Koentjaraningrat (1969) mengatakan 7 unsur-unsur kebudayaan ini di kenal
dengan istilah yaitu: (1) system peralatan hidup; (2) system mata pencaharian; (3)
system kemasyarakatan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) system pengetahuan; dan (7)
religi.
Menurut Alan P. Marriam ( 1964:209-226 ) mengungkapkan bahwa terdapat
bebera fungsi musik yaitu diungkapkan namun tidak semua berlaku untuk seluruh
suku bangsa yang ada di dunia. Adapun fungsi musik yang diungkapkan oleh Alan
P. Marriam adalah : (1) Fungsi Pengungkapan Emosional, (2) Fungsi Penghayatan
Estetis, (3) Fungsi Hiburan, (4) Fungsi Komunikasi, (5) Fungsi Perlambangan
(syimbolic representation), (6) Fungsi Reaksi Jasmani, (7) Fungsi yang Berkaitan
dengan Norma-norma Sosial, (8) Fungsi Pegesahan Lembaga Sosial dan Upacara
12
Agama, (9) Fungsi Kesinambungan Kebudayaan, (10) Fungsi Pengintegrasian
Masyarakat.
Teori musikal untuk mengkaji rit me ini penulis gunakan teori deskripsi
rit me yang digunakan Fadlin (1988) Beliau menulis skripsi yang bertajuk Studi
Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera
Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera
Utara, Medan. Dalam skripsi ini Fadlin menggunakan sistem anomatopeik
gendang ronggeng, dan kemudian menuliskan pola-pola rit me dalam rentak
senandung, mak inang, dan lagu dua. Selanjutnya Fadlin menganalisis pola-pola
itu dengan pendekatan etnomusikologis, dengan cara memilah-milahkannya
menjadi mot if dan nilai-nilai not yang digunakan, dan kemudian
mentabelkannya.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengacu kepada metode penelitian kualitatif
(Kirk dan Miller,1990) yang mengatakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan manusia dalam kawasan sendiri dan berhubungan dengan orang-orang
dalam bahasanya dan peristilahannya.
Nettl (1964) mengatakan ada dua hal yang ensensial untuj melakukan
aktivitas penelitian dalam disiplin etnumusikologi, yaitu pekerjaan lapangan (field
word) dan pekerjaan laboratorium (dest work). Dan Merriam (1964) juga
mengatakan pendapat bahwa Etnomusikologi adalah disiplin lapangan dan disiplin
laboratorium, yakni data yang di kumpulkan dari lapangan oleh penyidik pada
akhirnya di analisis di laboratorium, dan dari hasil kedua metode menjadi pusat
13
studi akhir. Dengan ini si peneliti melakukan kerja lapangan meliputi memili
informan, pendekatan dan pengambilan data, merekam dan mengumpulkan data.
Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data, menganalisis dan
membuat kesimpulan dan keseluruhan dari data-data yang di peroleh.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Sebagai kerangka dalam landasan berpikir yang di lakukan oleh si penulis
yaitu berdasarkan studi perpustakaan untuk mencari data-data pendukung yang di
perlukan dengan tujuan untuk menambah sumber-sumber bacaan yang berupa
buku, skripsi, makalah budaya, dan paper. Kemudian mencari teori- teori yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas tulisan ini dan memperoleh
pengaturan awal mengenai apa yang diteliti. Studi perpustakaan ini bertujuan untuk
mencari informasi dan menambah data-data yang di butuhkan dalam penulisan,
penyusuaian dan pengamatan yang sudah ada mengenai objek penelitian
dilapangan.
Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku tentang upacara adat
mandailing dan gordang sambilan guna mempermudah si penulis untuk penelitian.
1.5.2 Kerja Lapangan
Dalam kerja lapangan (field word) penulis melakukan pengamatan dan
mengumpulkan data-data informasi dengan menentukan lokasi penelitian ditempat
pelaksanaan Pesta Upacara Perkawinan di Kota Medan serta melakukan wawancara
dengan beberapa yang mengetahui lebih dalam mengenai fungsi gordang sambilan
dalam upacara perkawinan adat mandailing.
14
Dalam pelaksanaan Pesta Upacara Perkawinan berlangsung, penulis
melakukan dengan mencatat dan merekam tahapan yang terjadi pada pesta tersebut.
Guna mempermuda untuk menyusun data dengan maksimal mengenai Fungsi dan
Struktur Musikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Perkawinan Pada Masyarakat
Mandailing itu sendiri.
1.5.2.1 Wawancara
Adapun teknik wawancara yang di lakukan penulis ialah melakukan dengan
tiga cara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990) yaitu (1) wawancara
berfokus (focus interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara
sambil lalu (casual interview). Yang di maksud dengan wawancara berfokus adalah
pertanyaan yang selalu berpusat kepada pokok permaslahan, sementara wawancara
bebas ialah pertanyaan yang selalu beralih dari satu pokok permasalahan ke pokok
permasalahan yang lain. Sedangkan wawancara sambil lalu hanya untuk menambah
atau melengkapi data yang lain.
Dalam wawancara ini penulis melakukan wawancara kepada informan yang
ahli mengenai fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan pada
masyarakat mandaling di medan. Guna memperoleh data yang secara tepat. Dan
menggunakan perekam camera digital merk Samsung agar penulis mendapat data
dari informan secara akurat.
1.5.2.2 Observasi
Observasi dilakukan untuk memperoleh data yang tidak dapat melakukan
dengan wawancara, yaitu dengan melihat dan mengamati semua yang terjadi
selama upacara perkawinan adat mandailing itu berlangsung.
15
Bright (1989 : 77) mengemukakan bahwa observasi adalah suatu metode
yang dipakai di samping wawancara. Metode abservasi ini berguna untuk
mempererat antara penulis dengan informan sehingga penulis dapat mengenal lebih
dekat dengan informan.
1.5.2.3 Kerja Laboratorium
Setelah memperoleh dan terkumpulnya semua data dari lapangan dan studi
kepustakaan akan diolah dilaboratorium, dan penulis menganalisis seleksi ulang
dengan data-data yang terkumpul, kemudian penulis menyusun menjadi sebagai
bahan penulisan. selanjutnya penulis mengevaluasi ulang guna untuk memperoleh
hasil yang akurat berdasarkan fakta-fakta yang di dapat di lapangan. Dari hasil
keseluruhan data-data hasil evaluasi ulang akan disusun secara sistematis dengan
menjadi suatu bentuk laporan kerja menjadi skripsi.
16
BAB II
MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN
2.1 Geografis Kota Medan
Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara,
Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara
regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering
digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab
berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat
dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia.
Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar
barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang
relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa.
Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor
tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat
perdagangan dan keuangan regional/nasional.
Letak geografis Kota Medan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-980 44’
BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km2. Kota Medan memilki
perbatasan yaitu :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur
(Kabupaten Deli Serdang)
17
- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli
Serdang), dan
- Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung
Morawa (Kabupaten Deli Serdang)
Adapun kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu Kecamtatan Medan
Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan
Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area, Kecamatan
Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang,
Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan
Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Baru, Bandar Udara Polonia.
Secara geografsi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya
alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli
Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota Medan
secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang
sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.
2.1.1 Demografi
Kota Medan terdiri dari beberapa etnis yang mendiaminya namun ada
beberapa suku yang lebih dominan dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan suku atau etnis-etnis lain yaitu : Melayu, Jawa, Batak (Toba, Karo,
Simalungun, Mandailing-Angkola,), Nias dan Tionghoa.
Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur
agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini
memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka.
Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi
18
demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan
dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat
kelahiran dan kematian semakin menurun.
Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran
adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi
lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi
tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini
mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran
dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah.
Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain
perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga
disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian
disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan
masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.
Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian
sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk
tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.
Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai
dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural.
Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas),
meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi,
termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan
yang diterapkan.
Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah
19
tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak
banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen
kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika
sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. Menurunnya
tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus
perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik
(commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.
Berdasarkan data kependudukan tahun 2010, penduduk Medan saat ini
diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan wanita lebih besar dari pria.
Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa,
yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah
satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. Kota Medan terdiri dari 21
Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain itu, Kota Medan juga merupakan daerah
perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis dengan latar belakang yang berbeda.
Kondisi Kota Medan yang heterogen ini, mengakibatkan banyaknya timbul
organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis, (BPS Kota Medan).
2.1.2 Identifikasi Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas
Pada identifikasi Kelurhan Sitirejo I Kecamatan Medan Amplas ini
merupakan pusat atau objek penelitian penulis karena di daerah ini penulis
melakukan penelitian dengan meliputi acara pesta perkawinan salah satu
masyarakat Mandailing yang tinggal dan menetap di Kota Medan.
Secara geografis Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas dengan batas-batas
sebagai berikut :
20
Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan
Medan Kota.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sitirejo II, Kecamatan Medan
Amplas.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sudirejo I, Kecamatan Medan
Kota.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan
Medan Maimun.
Dan adapun Luas Kelurahan Sitirejo adalah 0,45 km2 dengan perincian
sebagai berikut: Luas Pemukiman : 0, 39 km2, luas pekarangan : 0. 2 km2, luas
perkantoran : 0, 2 km2, luas prasarana umum lainnya : 0, 2 km2 . Dapat diketahui
total dari penduduk di Kelurahan Sitirejo I yaitu 11. 274 orang, yang terdiri dari
5377 jiwa penduduk laki-laki dan 5897 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di
17 lingkungan yang ada di Kelurahan Sitirejo I.
2.2 Karakteristik Masyarakat Mandailing Di Kota Medan
Pemilihan lokasi dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa hal, seperti
sejarah lokasi, letak strategis lokasi. Adapun pemilihan penelitian ini juga
memperlihatkan karakteristik masyarakat Mandailing di Kota Medan, adapun
karakteristik dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan mengenai
seberapa jauh masyarakat Mandailing di Kota Medan dalam memandang dan
melakukan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.
Karakter Mandailing dalam penelitian ini dibagi atas beberapa yaitu, (1)
karekter masyarakat Mandailing yang masih memegang adat budaya Mandailing
sesuai dengan adat Mandailing asli tanpa berusaha menggabungkan adat budaya
21
lain yang berada disekitarnya dimana ia tinggal, (2) karakteristik masyarakat
Mandailing yang memegang adat budaya Mandailing dan berproses
menggabungkannya dengan budaya lain yang berada ditempat mereka tinggal, (3)
karakteristik masyarakat Mandailing yang tidak mengenal adat budaya Mandailing
dan memegang budaya lain seperti budaya Toba, Melayu dan kebudayaan lain yang
ada dalam lingkungan dimana ia tinggal.
Adapun indukator yang dapat menuntun penelitian ini untuk mendapatkan
setidaknya gambaran umum mengenai kebudayaan Mandailing yang tinggal di
berbagai wilayah di Kota Medan mengenai karakteristik masyarakatnya, adapun
indikator karakteristik masyarakat Mandailing di Kota Medan sebagai berikut :
linguistik, sosial dan budaya. Indikator linguistik berkaitan dengan penggunaan
bahasa daerah (bahasa Mandailing) dalam bentuk kehidupan sehari-hari, setidaknya
penggunaan bahasa daerah dapat member sedikit gambaran mengenai kehidupan
masyarakat Mandailing pada daerah penelitian ini, sedangkan indikator sosial
adalah indikator yang berusaha menangkap perilaku, cara pandang masyarakat
Mandailing di Kota Medan seperti apakah mereka masih menggunakan dan
melakukan adat budaya Mandailing di Kota Medan. Indikator ketiga adalah budaya,
indikator ini berhubungan dengan indikator sebelumnya yaitu linguistik dan sosial.
Melalui penjelasan tentang indikator yang diatas dan digunakan untuk
memberikan gambaran mengenai karakteristik masyarakat Mandailing diberbagai
lokasi penelitian di Kota Medan, adapaun hasil dari penggunaan indikator ini :
Pada daerah Medan Maimun dari observasi dan wawancaran penulis kepada
informan didapatkan hasil bahwa kehidupan masyarakat Mandailing di lokasi ini
memiliki karakteristik masyarakat Mandailing yang sudah berpikir dan bertindak
sesuai dengan lingkungannya sekitar dalam hal ini dijelaskan bahwa kehidupan
22
masyarakat tersebut masih memegang budaya Mandailing dan berusaha untuk
menerima budaya lain yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka, hal ini
disebabkan kehidupan pada daerah tersebut memiliki tingkat penduduk yang tinggi
dan intesitas pergaulan yang tinggi serta faktor heterogenitas penduduk di lokasi
tersebut. Daerah Medan Barat, karakteristik masyarakat Mandailing pada daerah ini
adalah karakteristik masyarakat yang masih memegang adat budaya Mandailing
dan tidak tertutup kemingkinan untuk menerima budaya dari luar budaya
Mandailing, hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam strategi sosialisasi
dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda.
Medan Denai, karakteristik masyarakat Mandailing yang menjadi bagian
masyarakat daerah tersebut adalah karakteristik masyarakat yang memegang adat
budaya Mandailing dan berusaha untuk mempertahankan adat budaya mereka
dalam lingkungan kehidupannya, salah satunya terlihat pada tindakan mereka yang
selalu didasarkan ;pada aturan adat maupun kebiasaan yang mereka ketahui dari
daerah asal mereka, hal ini disebabkan pada daerah ini masyarakat Mandailing
mendominasi pada daerah tersebut.
2.3 Asal Usul Orang Mandailing
Masyarakat Mandailing yang mendiami kota Medan tidak terlepas dengan
asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah Mandailing.
Masyarakat Mandailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. Menelusuri
latar belakang masuknya penduduk didaerah Mandailing beberapa pendapat orang
berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta – fakta
tertulis, seperti prasasti – prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggung
jawabkannya. Penulis mengambil beberapa pendapat mengenai asal usul
23
Masyarakat Mandailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah
Madailing dan masyarakatnya. Memungkinkan bahwa Wilayah Mandailing pada
zaman Kerajaan Majapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu
masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan
dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan Majapahit pada
sekitar tahun 1287 Caka (365 M). dimana salah satu syairnya disebut nama
Mandailing. Adapun syair tersebut yaitu
Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang
Palembang karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas
manangkabwa ri siyak rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe
mandailing I tumihang parilak mwang I babrat//
Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan Majapahit ke Malayu di
Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebu, Darmasraya. Minangkabau,
Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, Mandailing. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa nama Mandailing sudah terlukis pada syair ke 13
Negarakertagamanya Propanca yang agung seperti tersebut diatas. (Mhd. Arbain
Lubis Ha 11-24)
Menurut ulasan dari seorang tokoh sejahrawan Z.Pangaduan Lubis. Dosen
Fakultas Sastra USU atau sekarang Ilmu Budaya USU Medan dalam bukunya
“Kisah Asal Usul Mandailing”, (Tahun 1986 hal 4-6), mengatakan selanjutnya
bahwa didalam tonggo-tonggo (doa) terdapat kata-kata : disitulah (ditanah
Mandailing) bertamasya si boru deakparujar. Dengan demikian dapat ditafsirkan
bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu pula Si Boru Deakparujar
turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi
dalam Kebudayaan Toba-Tua. Dan menurut mitologi Si Boru Deakparujar adalah
24
Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua
Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi diatas lautan. Tonggo-
Tonggo Si Boru Deakparujar merupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang
terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan
kerohanian dari dalihan na tolu.
Dada Meuraxa mengatakan didalam bukunya “Sejarah Kebudayaan
Sumatera” (974 hal 349) menyatakan bahwa Mandailing ada yang menduga berasal
dari perkataan Mande Hilang dalam bahsa Minangkabau perkataan tersebut berarti
Ibu yang Hilang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada yang menyangka nama
Mandailing berasal dari perkataan “Mundahilang” yang berarti “Munda yang
Mengungsi”. Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa Munda yang berada di
India pada masa yang silam melakukan pengungsian kepada mereka terdesak oleh
Bangsa Aria, menurut Prof.Dr.Slamet Mulyana menjelaskan dalam bukunya “Asal
Bangsa dan Bahasa Indonesia” (1964 hal:140) mengatakan sebagai berikut :
sebelum kedatangan Bangsa Aria, Bangsa Munda menduduki India Utara. Karena
desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan yang terjadi
sekitar 1500 SM.
Pada waktu perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara
oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera.
Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan
perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan Mandailing,
yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi
Didalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya Mangaraja Lelo Lubis
bahwa menurut orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan “Mandala
Holing”. Pada zaman dahulu kala Mandala Holing adalah sebuah kerjaan yang
25
menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke
daerah Pidoli di Mandailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung
Tua, tenpat dimana banyak ditemukan Candi-candi Purba. Oleh karena serangan
Kerajaan Majapahit, kemudian pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Piu
Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama Pidoli di daerah
Mandailing (didekat Kota Panyabungan yang sekarang). Terbukti terdapat candi-
candi purba pada waktu silam didaerah Pidoli tetapi hancur oleh pasukan islam
dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu.
Masyarakat Mandailing digolongkan kedalam kelompok Proto Melayu
(Melayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo,
dan Pakpak/Dairi. Yang persamaan itu bisa dilihat pada Bahasa dan Adat
Istiadatnya. Kelompok Proto ini berasal dari Tiongkok Selatan, dan berpindah di
Wilayah Indonesia yang kemungkinan terjadi pada abad 7 atau ke 8 SM. Dan dari
cici-ciri khas bentuk fisik dan temperamen, bahwa Nenek Moyang Suku – Suku
bangsa termasuk rumpun Proto Melayu. (Emilkam Tambunan, 1982 :33).
Apa yang telah diuraikan baik pendapat Dada Meuraxa, Emilkam
Tambunan, Prof.Dr. Slamet Mulyana sudah tersusun didalam buku Z. Pangaduan
Lubis berjudul “Kisah Asal Usul Mandailing” (1986 hal 6-10) Dengan
pejabarannya yang luas dan yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan
berdasarkan metode-metode yang abash kiranya dapat dicatat bahwa asal usul nama
Mandailing yang murni sudah terbuka lebar, untuk mengungkapkan dan
membuktikan kembali nama Mandailing yang harum semenjak dari seribu yang
silam.
26
2.4 Sistem Religi dan Agama
Pada masa sekarang ini Masyarakat Mandailing umumnya masih menganut
Agama Islam dan hanya sedikit Agama Kristen, tetapi Nenek Moyang mereka
sebelum masuknya Agama Islam maupun Kristen masih mempercayai dengan
Animisme atau dikenal dengan pele begu (suatu pemujian terhadap Roh Nenek
Moyang). Ajaran relegi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan
kekuatan-kekuatan gahib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya
penyakit dan mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Rotonga 1997:10)
Didalam pelaksanaan Upacara Ritual (animisme), dipimpin oleh seorang
yang sudah ahli dan bukan orang sembarangan. Dan orang itu adalah orang yang
mengetahui tentang doa - doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau
disebut dengan Si Baso. Nenek Moyang mempercayai peantaraan si baso dengan
Roh Nenek Moyang dapat turun ke bumi dengan menurunkan pemberian berkah
atau sebaliknya.
Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak Agama Islam
masuk ke Mandailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari Minangkabau. Ajaran
yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam yang keras.
Mereka tidak kompromi dengan masyarakat dan pemuka Adat Mandailing. Siapa
saja yang tidak mau masuk ke Agama Islam akan dibunuh atau akan menjadi budak
kepada Kaum Padri. Lama kelamaan Masyarakat Mandailing menerima agama
islam, dan akhirnya agama islam menjadi berkembang di seluruh daerah
Mandailing.
Setalah Masyarakat Mandailing memeluk Agama Islam, membawa
pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena Agama Islam melarang
27
setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada upacara ritual
tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
Sekitar tahun 1839 Agama Kristen mulai masuk ke daerah Mandailing yang
dibawa oleh para Pendeta-Pendeta. Masyarakat Mandailing tidak banyak yang
menganut Agama Kristen dikarenakan telah terlebih dahulu menganut agama islam.
sehingga yang menganut Agama Kristen sangat sedikit, dan kebanyakan yang
menganut Agama KRISTEN adalah orang – orang pendatang dari luar daerah
Mandailing yang menetap di Mandailing.
2.5 Bahasa
Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang
dipergunakan oleh suku Batak Mandailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat
dipakai didaerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan sebagai
media komunikasi diantara sesama Etnis Mandailing. Menurut H. Pandapotan
Nasution,SH (2005 hal 14-15). Dalam bukunya mengungkapkan dengan sesuai
pemakainya Bahasa mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :
- Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat)
- Bahasa andung (bahasa waktu bersedih)
- Bahasa parkapur (bahasa ketika dihutan)
- Bahasa na biaso (bahasa sehari - hari)
- Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar)
Pertuturan Bahasa Mandailing masih dipergunakan pada saat tertentu,
misalnya dalam Upacara Peradatan, Arisan, Perkumpulan Keluarga, atau
Perkumpulan Keluarga lainnya.
2.6 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing
28
Sistem kekerabatan adat istiadat Mandailing masih memegang pada adat
istiadat yang disebut dengan “Markoum Marsisolkot”, adat istiadat ini sudah
disempurnakan atas pihak – pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup
berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna “markaoum” adalah
berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang juah atau orang yang tidak
perna dikenal. Sedangkan “marsisolkot” artinya mendekatkan yang sudah dekat,
artinya masih satu marga atau suku dari satu Nenek Moyang.
Adat Istiadat Markoum Masrsisolkot di Mandailing sudah disepakati untuk
dipakai kepada masyarkatnya baik dalam Upacara Siriaon (upacara suka cita)
ataupun Upacara Siluluton (upacara duka cita). Dimana dikatakan bahwa adat
istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa
lembaga Adat yaitu (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan hapantunon.
- Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar , jika dilanggar akan
dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman
agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang ,
atau tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat.
- Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan
yang diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.
- Uhum adalah sanksi hokum terhadap perlanggaran atas peraturan seperti
patik, ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi pelanggaran itu bertingkat-
tingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampong, dan kepada
hukuman mati.
- Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus
hubungan manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon
memberikan kepada Masyarakat maupun Keluarga yang mempelajari etika
29
pergaulan ataupun etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan
keluarga didalam pertuturon.
Adat istiadat Markaoum Marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga
sebagai Dalihan Na Tolu . Dalihan artinya batu tungku, dan na tolu artinya yang
tiga, maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Yakni tiga
unsur kelompok yang berbeda menjujung satu wadah Adat Mandailing, yang terdiri
dari Kahanggi, Anak Boru, dan Mora.
- Kahanggi adalah kelompok yang terdiri dari pihak kita sendiri yang
bersaudara kandung dan ditambah dengan kelompok yang sesame satu
marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama – saibu (seayah - seibu),
saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana (seketurunan),
sapangupaan (kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi (orang – rang
satu marga dalam satu kampung).
- Anak Boru adalah tempat pemberian anak – anak gadis dari kelompok kita
tadi. Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak Mora.
Dan biasanya pihak keluarga anak boru hormat kepada pihak moranya.
- Mora adalah kelompok saudara – saudara dari istri – istri dari pihak kita
atau tempat pengambilan anak – anak gadis dalam perkawinan.
Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari
pihak kahanggi, Anak Boru, dan Mora terciptanya adat Mandailing yang dikatakan
adat Markoum Marsisolkot. Apa bila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut
sertakan, maka upacara Adat Mandailing yang berdasarkan adat istiadat Markoum
Marsisolkot tidak tercipta, atau dengan perkataan lain dibatalkan sama sekali.
Di Mandailing menganut Marga yang diturunkan melalui dari Marga Ayah
atau disebut dengan patrilineal. Orang – orang yang atau garis keturunan Patrilineal
30
ini di daerah Mandailing dikelompokan menjadi marga yang dimaksud sama
dengan clan. Adapun marga yang terdapat di Mandailing yaitu (a) Nasution, (b)
Lubis, (c) Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h)
Parinduri, (i) Hasibuan. Marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling
banyak jumlah warganya di Daerah Mandailing.
Setiap anggota Masyarakat yang mempunyai marga, akan meletakkan nama
marganya dibelakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi yang
telah menyatu dengan kehidupan Masyarakat Mandailing sejak dahulu. Marga
adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas didalam keluarga maupun di
masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu keturunan
yang disebut Markahanggi.
Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada Masyarakat
Mandailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan darah dan
ikatan perkawinan antara anggota kelompok marga yang ada pada masyarakat.
Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial yang dilandasi
dengan hubungan kekerabatan yang dinamakan dalihan na tolu.
2.7 Kesenian
Masyarakat Mandailing sudah mengenal kesenian sejak zaman dahulu, seni
musik yang hidup pada saat itu sangat berkaitannya dengan sistim kepercayaan
lama atau dengan pele begu (menyembah roh nenek moyang). Setiap melakukan
upacara ritual atau keagamaan pada masa itu musik digunakan sebagai perantaraan
dalam upacara. Didalam kehidupan masyarakat Mandailing pada masa pra islam,
musik merupakan sebahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan
(religi) dan upacara – upacara adat, baik itu upacara yang bersifat suka cita yang
dinamakan siriaon, ataupun upacara adat siluluton, yaitu upacara adat duka cita.
31
Sistim kepercayaan animisme yang dikenal dengan pele begu tersebut
menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara religi) pada kedudukan
yang tinggi. Seperti penjelasan yang dibuat oleh koentjaraningrat bahwa : hal itu
disebabkan karena suara, nyanyian dan musik, merupakan suatu unsure yang sangat
penting dalam upcara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah suasana
keramat atau sakral. (Koentjaraningrat 1980 :245)
Dalam tradisi di Mandailing pada masa Pra Islam pemujaan itu selalu
menggunakan seorang perantara yang dinamakan si baso. Sedangkan bunyi –
bunyian suci diperkirakan adalah ensambel gondang maupun gordang. Dan pemain
musik yang ahli pada masa itu dinamakandatu peruning – uningan atau datu
pargondang. Dikarenakan mereka belajar bermain musik bukan dari manusia,
melainkan dari begu. Yang secara khusus pula begu memberikan irama-irama
gondang kepada datu paruning – uningan. Dan setelah masuk dan berkembangnya
Agama Islam di daerah Mandailing, penggunaan musik yang ditujukan kepada roh
nenek moyang tidak dibenarkan untuk ditampilkan, karena hal itu sangat
bertentangan dengan ajaran Agama Islam. misalnya tradisi mengandung (meratap
dihadapan jenazah) yang dilakukan pada upacara adat siluluton (duka cita).
Mengandung pada adat siluluton adalah suatu perbuatan yang tidak diperkenankan
yang tidak sesaui dengan kaidah ajaran islam.
Dalam bentuk nyanyian biasanya masyarakat dibawakan secara solo.
Misalnya jenis nyanyian ungut-ungut. Nyanyian ini sering dibawakan oleh anak
muda (meskipun siapa saja boleh membawakannya) sebagai nyanyian pelipur lara
yang melukiskan tentang rasa duka dalam hal percintaan, dan dinyanyikan tidak
didepan umum atau secara tertutup hanya secara pribadi.
32
Masyarakat Mandailing, terutama ibu-ibu rumah tangga ataupun anak-anak
gadis bila hendak menidurkan anak bayi biasanya akan dibawakan nyanyian khusus
yang dinamakan bue-bue. Sambil membuei si bayi, ibunya ataupun anak-anak gadis
akan mendendangkan nyanyian nyanyian agar buah hatinya tertidur. Tradisi
bernyanyi seperti ini jarang hamper tidak dipergunakan oleh masyarakat terutama
ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan perkembangan zaman yang berubah ubah.
Secara khusus masyarakat Mandailing menggunakan istilah ende untuk
menyebutkan segala jenis nyanyian atau seni vocal yang terdapat pada masyarakat
tersebut. Walaupun pada tiap nyanyian yang dibawakan oleh masyarakat yang
mempunyai fungsi berbeda-beda seperti contoh diatas.
Adapun jenis alat musik di masyarakat Mandailing yang sumber bunyinya
dari udara yang disebut dengan aerofon yaitu (a) tulila, merupakan alat musik tiup
yang digunakan oleh para anak-anak muda untuk memikat anak gadis yang
dilakukan pada malam hari. Sang pemuda mendatangi rumah si gadis untuk ber
dialog secara berbisik dari dibali dinding tentang rasa cinta antara keduanya. (b)
uyup-uyup, merupakan alat musik tiup yang ter buat dari batang padi. Digunakan
oleh para pemuda sebagai hiburan di sawah-sawah, dan tidak jarang pula untuk
menarik perhatian oleh para gadis-gadis. (c) ole-ole atau olang-olang yang
merupakan alat musik tiup ini terdapat lilitan daun kelapa yang berbentuk corong
dan berfungsi untuk memperbesar suara. (d) suling, yang terbuat dari bambu dan
digunakan untuk hiburan (e) sordam. Merupakan alat musik bambu. Alat musik ini
kegunaannya sama dengan suling yang dilakukan ditempat bernaungan seperti di
bawah – bawah pohon.
Jenis alat musik membranofon yang sumber bunyi berasal dari kulit atau
membran yaitu: (a) gondang dua. Ensambel ini juga dinamakan gondang boru. Alat
33
musik ini terdiri dari dua buah gondang. Keduanya memliki ukuran dan bentuk
yang sama dan kegunaan gondang dua atau gondang boru ini digunakan pada
upacara adat siriaon (suka cita) misalnya perkawinan yang berfungsi untuk
mejemput pengantin perempuan, dan upacara silluluton (duka cita) misalnya
upacara kematian. (b) gordang tano, gordang tanoh ini terbuat dari tanah yang
dikorek kemudian ditutup dengan papan dan dibuat tiang penyangga yang
fungsinya untuk mengikat rotan. Rotan inilah yang dipukul untuk menghasilkan
bunyi. Gordang tano digunakan uttuk menurunnkan hujan, tetapi pada saat sekarang
sudah sulit untuk ditemui. (c) gordang sambilan, endambel ini terdiri dari sembilan
buah gordang yang bentuknya panjang dan besar dengan ukuran yang berbeda –
beda. Dan nama - nama gordang ini tidak sama di wilayah madailing seperti di
daerah pakantan, huta pungkut, dan tamiang. untuk sepasang gordang yang paling
besar di daerah Pakantan disebut : jangat (1,2), hudong-kudong (3,4), panduai
(5,6), patolu (7,8) dan enek-enek (9), sedangkan di daerah Hutapungkut dan
Tamiang disebut jangat yang dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) jangat siangkaan,
(2) jangat silitonga , dan (3) jangat sianggian, (4,5) pangaloi, (6,7) paniga, (8)
hudong-kudong, (9) teke-teke (Hutapungkut), eneng-eneng (Tamiang). Gordang
sambilan terbuat dari pohon ingul tetapi pada saat sekarang tidak jarang memakai
batang pohon kelapa di karenakan pohon ingul sulit ditemukan. Untuk membrannya
yaitu kulit lembu yang diikat dengan rotan yang besarnya jari kelingking orang
dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan sepasang batang kayu. Gordang
sambilan digunakan didalam upacara siriaon (suka cita) misalnya upacara
pernikahan, menyambut tamu, memasuki rumah baru, dan peresmian – peresmian.
(d) gordang lima, dipergunakan lima buah gordang yang memiliki ukuran dan
nama yang berbeda – beda. Ukuran yang terbesar bernama jangat. Kemudian
34
ukuran selanjutnya hudong kudong, ukuran yang ketiga dinamaka padua, yang
keempat adalah patolu, dan yang terkecil adalah enek – enek. Gordang lima
digunakan pada zaman dahulu untuk memohon kepada roh nenek moyang mereka.
Alat musik mandailing lainnya yang bersifat kordofon yaitu gondang bulu,
dalam sub klasifikasi ziter tabung dan mempunyai dawai yang bersifat Idiokordik.
Gondang Bulu digunakan untuk menghibur dan mengiringi anak – anak gadis
berlatih tarian tor – tor.
Jebis kesenian alat musik mandailing yang sumber bunyinya berasal dari
dirinya sendiri (idiofhon) terdiri dari yaitu (a) tali sasayak, (b) ogung jantan(lebih
kecil dari ogung boru ), (c) ogung betina atau ogung boru, (d) doal, (e) momongan
yang terdiri dari (1) pamulusi, (2) panduai, dan (3) panolongi.
Yang sebenanya tor – tor meenurut aslinya bukanlah tarian tetapi sebagai
pelengkap gondang berdasarkan kepada falsafah adat. Tor – tor yang dilakukan
dengan gerakan tertentu mempunyai ciri khas, makna, dan tujuan tertentu.
2.8 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan
Dari beberapa wilayah penelitian penulis yang tersebar di Kota Medan,
masing-masing wilayah memiliki organisasi masyarakat yang menjadi wadah
persatuan masyarakat oleh aspek-aspek tertentu. Dalam penelitian ini organisasi
masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat Mandailing di Kota
Medan terdapat pada beberapa organisasi masyarakat yang didasarkan oleh
pekumpulan marga maupun asal daerah.
Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, karena
organisasi masyarakat merupakan perkumpulan bagi masyarakat Mandailing yang
berdomisili di Kota Medan, HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing) di
Kota Medan memiliki beberapa perwakilan, yaitu: Dewan Pengurus Daerah (DPD)
35
Tingkat I Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) terdapat di Jln.
Letda Sutjono – Medan.
IKANAS (Ikatan Marga Nasution) organisasi masyarakat yang didasarkan
pada marga Nasution, organiasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution
melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan
pada organisasi.
Organisasi lainnya pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan
kepada garis keturuan yang didasarkan pada marga ataupun tempat asal (daerah
Mandailing).
2.9 Sitem Pencaharian Masyarakat Mandailing di Kota Medan
Umumnya mata pencaharian masyrakat mandailing di mandaiing adalah
bertani (mandailing godang) dan berkebun (mandailing julu). Sementara
masyarakat mandailing yang sudah berdomisili di Kota Medan, sisitem mata
pencaharian yang mereka kerjakan adalah kebanyakan pegawai negeri maupun
swasta ataupun sebagai pejabat-pejabat lainnya. Yaitu Wali Kota Medan yang
sekarang ini Rahudman Harahap.
Selain itu, ada juga pekerjaan yang dikerjakan masyakat mandailing sebagai
pedagang, pemain musik, atau pekerjaan lainnya seperti supir angkot, becak dan
pengusaha itu semua yang mereka kerjakan untuk mencukupi kebutuhan
kehidupan sehari-hari keluarga mereka.
36
BAB III
UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING
3.1 Sebelum Acara Adat Perkawinan Dilaksanakan
3.1.1 Manyapai Boru
Sebelum upacara adat pernikahan Mandailing dilaksanakan, maka lebih
baiknya jika bayo pangoli (laki-laki) mengetahui sosok boru na ni oli (perempuan)
yang ingin dia cintai atau lebih jelasnya yaitu masih pendekatan terhadap seorang
perempuan adapun istilah adat Mandailingnya seperti Manyapai Boru. Manyapai
boru adalah seorang laki-laki yang menyampaikan perasaannya kepada perempuan
yang disukainya. Setelah perempuan tersebut menerima seorang laki-laki yang
dipujanya, sebaiknya hubungan antara laki-laki dan perempuan ini dibawah ke
jenjang perkawinan apabila sudah mencukupi umur.
Setelah laki-laki dan perempuan suka sama suka dan saling mau untuk
menjadi keluarga, maka seorang laki-laki menanyakan kepada orang tuanya untuk
melihat perempuan yang ingin dijadikan istri. Keinginan anak laki-laki tersebut
akan dipertimbangkan kepada orang tuanya, apakah orang tuanya mau untuk
menerima perempuan yang disukainya atau tidak.
Ketika anaknya menyampaikan asrat kemauan untuk hidup dalam berumah
tangga. terlebih dahulu orang tuanya akan melihat tingkah laku anak perempuan
yang disukai oleh anaknya. Kemudian setelah mempertimbangkan dan melihat
anak perempuan tersebut bertingkah laku baik dan mampu untuk menjadi istri,
maka hubungan ini akan dilanjutkan ketahap mangairirit boru.
3.1.2 Mangairirit Boru
37
Perkawinan merupakan mempersatukan antara kedua belah pihak yaitu
pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Dari mangairirit boru ini
pihak orang tua laki-laki terlebih dahulu mencari tauh asal usul anak perempuan
yang di sukai oleh anaknya laki-laki. Hal ini penting untuk menyesuaikan apakah
kedua keluarga dapat dipertemukan atau melihat si anak berkelakuan baik. Karena
pepatah mengatakan bahwa perbuatan anak tidak jauh dari orang tuanya (singkam
tungkona, singkam tunasna).
Setelah mengetauhi keluarga pihak perempuan, Dalam acara mangiririt boru
bahwa pihak keluarga laki-laki memperjelaskan kedatangannya untuk menanyakan
hubungan antara anaknya laki-laki kepada anak perempuan dari keluarga pihak
perempuan. Pihak keluarga laki-laki biasanya adakalanya membawa kahanggi dan
anak boru didalam mangaririt boru ini ke rumah pihak perempuan. Dikarenakan
bahwa pihak perempuan tidak langsung mengiakan keinginan oleh pihak laki-laki.
Dan keluarga perempuan akan meminta waktu dengan alasan untuk menanyakan
anaknya apakah ia menerima pinangan itu atau belum menerima pinangan orang
lain. Dalam hal ini, yang hadir dari pihak perempuan adalah keluarga terdekat saja.
Dikarena masih tahap menanyakan kesedian anak perempuan tersebut untuk
menjadi istri dari anak laki-laki pihak keluarga laki-laki.
Setelah kesepakatan dan kesesuaian yang sudah disetujuhi oleh kedua belah
pihak keluarga, maka pihak keluarga laki-laki langsung meminta agar semua
syarat-syarat yang akan dipenuhi dibicarakan sekaligus. Hal ini dapat memudahkan
informasi untuk mengetahui pihak keluarga laki-laki akan datang kepada pihak
keluarga perempuan yang sudah siap untuk menerima dengan segala kemungkinan
yang terjadi.
38
Untuk menjaga keselahturahmian ketika keluarga laki-laki datang ke rumah
keluarga perempuan maka disediakan makanan untuk makan bersama agar
menjalin keharmonisan kedua keluarga. Dan setelah berlanjut bersilaturahmi
dengan alasan yang sudah mendapatkan kesepakatan antara pihak laki-laki dan
pihak perempuan, maka dilanjutkan dengan tahapan padamos hata
.
3.1.3 Padamos Hata
setelah mangairirit boru tidak ada hambatan dalam pelaksanaannya, maka
tahap selanjutnya yaitu kepada padamos hata, yang mana padamos hata untuk
melanjutkan pembicaraan kepada tujuan semula. Pihak keluarga laki-laki akan
datang kembali ke rumah pihak keluarga perempuan untuk menanyakan dan
meminang anak dari pihak keluarga perempuan.
Didalam acara meminang ini biasanya yang terjadi di masyarakat Mandailing
kota Medan pihak keluarga perempuan akan menanyakan persyaratan yang akan
dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki atau dibicarakan sekaligus tentang:
a. Hari yang tepat untuk datang disebut meminang secara resmi yang disebut
dengan patobang hata.
b. Persyaratan-persyaratan yang akan dipenuhi pihak keluarga laki-laki pada
waktu dipinang nanti, yaitu:
- Apa saja yang harus dipersiapkan
- Berapa Mas kawin dan dalam bentuk apa
- Berapa tuhor (uang jujur)
- Serta Perlengkapan-perlengkapan lainnya
39
Setelah acara padamos hata ini tidak ada hambatan didalamnya maka
dilanjutkan dengan patobang hata untuk menguatkan perjanjian yang telah
disepakati di padamos hata.
3.1.4 Patobang Hata
Patobang hata adalah menguatkan perjanjian antara pihak keluarga laki-laki
kepada pihak keluarga perempuan. Didalam perkawinan umumnya didahului
dengan lamaran, tetapi lamaran ini baru terikat setelah pihak keluarga laki-laki
memberi tuhor (mas kawin) kepada anak perempuan dari pihak keluarga
perempuan. Adakalanya perkawinan tidak didahului dengan lamaran, dikarenakan
pada saat laki-laki dan perempuan melarikan bersama-sama (kawin lari). Tetapi ada
juga kawin lari yang direstui oleh orang tua karena pertimbangan tertentu yang
disebut dengan tangko binoto. Ini terjadi akibat untuk menghindari syarat-syarat
yang memperberatkan atau orang tua tidak menyetujui ataupun masih ada
penghalang lain, seperti masih ada kakak atau abang yang belum menikah.
Didalam tahapan patobang hata ini bahwa peminangan antara anak pihak
keluarga laki-laki dan anak dari keluarga perempuan telah dilakukan secara resmi.
Pihak keluarga laki-laki yang diwakili kahanggi dan anak boru harus terlebih
dahulu manopot (menjumpai) kahanggi. Manapot kahanggi maksudnya yaitu
menjumpai anak boru dari keluarga pihak perempuan.
Anak boru dari pihak keluarga perempuan yang sudah terjadi ikatan
perkawinan statusnya akan menjadi kahanggi dari keluarga pihak laki-laki. Itulah
sebabnya yang dimaksud dengan manopot kahanggi (kahanggi boru). Manopot
kahanggi diperlukan guna untuk membantu keluarga pihak laki-laki untuk
menyebrangkan mereka sampai tujuan. Yang artinya pihak kahanggi ini akan
40
membimbing mereka untuk menyampai segala maksud dan tujuan agar berjalan
dengan cukup lancar.
Didalam tahap acara adat patobang hata, pihak keluarga laki-laki akan
berkata-kata untuk menyampaikan secara perumpamaan yaitu:
- mangido lopok ni tobu sisuanon, baen suanon di tano rura banua nami,
anso adong tambus-tambusan ni namboruna, anso martumbur on lopus tu
pudi ni ari. (ditunjukan kepada anak gadis, dengan lopuk ni tobu sisuanon
yaitu meminta kepada perempuan tersebut dapat memberi keturunan)
- mangido andor na mangolu parsiraisan (ditunjukan kepada keluarga
perempuan / mora) tempat tergantung (meminta tuah)
- mangido titian batu na so ra buruk (ditunjukan untuk menjalin hubungan
secara terus menerus).
Adapun hal yang diharapkan oleh kedua belah pihak keluarga, yaitu keluarga
laki-laki dan keluarga perempuan dari ketiga hal tersebut adalah:
- lopok ni tobu sisuanin ( meminta anak perempuan mereka dapat penerus
keturunan).
- Andor na mangolu parsiraisan (meminta keluarga perempuan menjadi
tempat berlindung/bergantung meminta kesediannya mereka untuk menjadi
moras).
- Titian batu so ra buruk (meminta mereka untuk menjalin hubungan
kekeluargaan selamanya).
Setelah acara patobang hata telah resmi dilaksanakan dan sudah diterima,
acara selanjutnya adalah manyapai batang boban (beban yang harus dipikul oleh
pihak laki-laki). Secara resmi pada pada pelaksanaannya acara patobang hata
41
disaksikan oleh seluruh keluarga yang hadir pada saat menentukan besar kecilnya
batang boban. Dan setelah acara patobang hata selesai semuanya akan ditentukan
untuk melanjutkan acara berikutnya yaitu manulak sere. Yang diberi waktu satu
atau dua minggu, agar keluarga kedua belah pihak dapat mempersiapkan segala
sesuatunya. Pemberitahuan dan mangundang keluarga atau saudara-saudara, yang
utama pihak keluarga laki-laki yang haarus menyediakan bawaan (uang antaran)
yang disebut dengan sere na godang ataupun serena lomot (uang antaran beserta
uang untuk keperluan lainnya).
3.1.5 Manulak Sere
sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara kedua belah pihak
keluarga yang telah ditentukan, maka keluarga laki-laki datang kembali mengantar
apa yang telah disepakati pada waktu acara patobang hata. Sebelum berangkat
pihak keluarga laki-laki terlebih dahulu disampaikan maksud dan tujuan suhut yang
akan kerumah perempuan untuk mengantar sere. Biasanya yang berangkat untuk
mengantar sere 10 atau 15 orang yang ditentukan pada waktu acara patobang hata
sesuai dengan kemampuan untuk mempersiapkan sesuatu dirumah perempuan.
Manulak sere adalah menyerahkan antaran dari pihak keluarga laki-laki ke
pihak keluarga perempuan, dimana besarnya antaran sudah ditentukan pada waktu
acara patobang hata. Pihak keluarga laki-laki dalam proses manulak sere akan
membawa batang boban yang telah disepakati sebelumnya ke rumah keluarga
perempuan. Disamping membawa batang boban , juga membawa silua (oleh-oleh)
berupa indahan tungkus (nasi yang dibungkus) dengan daun beserta lauknya. Ini
bermakna kebesaran hati terhadap keluarga perempuan dengan harapan apa yang
dituju dapat sukses dan terkabul. dalam manulak sere ini biasanya pihak keluarga
42
laki-laki membawa silua dan indahan tungkus beserta lauknya hanya bertempat
dengan rantang yang ditutup rapat agar mempermudah untuk dibawa dan tidak
tumpah.
Adapun peserta yang ikut hadir didalam manulak sere dari pihak keluarga
boru na ni oli terdiri dari (a) Pimpinan adat setempat, (b) Mora (pangalapan boru,
pambuatan boru, dan harajaon), (c) Suhut (orang tua, abang, dan adik), (d)
Kahanggi ( hombar suhut dan pareban), (e) Anak boru ( sibuat boru, pisang raut),
(f) Karabat terdekat lainnya. Sedangkan dari peserta yang ikut hadir dari pihak
bayo pangoli adalah (a) Suhut (orang tua, abang dan adik), (b) Kahanggi ( hombar
suhut dan pareban), (c) Anak boru (sibuat boru, pisang raut).
Ada dua macam batang boban yang akan diserahkan kepada pihak keluarga
boru nan ni oli yaitu:
a. Sere na godang artinya jumlah yang cukup besar berupa benda berharga yang
terdiri dari: horbo sabara (kerbau satu kandang); lombu sabara (lembu satu
kandang); eme sa hopuk (padi satu lumbung); sere (emas) besar kecilnya
tergantung pada status. Sere na godang hanyalah sebagai simbol yang tidak harus
dipenuhi oleh pihak keluarga laki – laki. Yang diserahkan hanya sejumlah uang
(menurut kebiasaan) yang disebut dengan sere na menek. Sere na godang
diserahkan dari perwakilan keluarga laki – laki dan anak boru.
b. Sere na lomot atau sama disebut dengan sere na menek yang artinya tuhor ni
boru (uang antaran) yang berbentuk uang dan ditambah barang keperluan pengantin
perempuan, seperti baju dan perlengkapan pengantin lainnya. Disamping itu masih
ada yang harus disediakan oleh pihak laki-laki yang disebut dengan parkoyan yang
diserahkan kepada sanak keluarga perempuan sebagai mengobati hati, karena salah
43
satu keluarganya akan dibawa menjadi pihak keluarga laki-laki (Kesimpulan
Seminar Adat Mandailing, 2001 :27).
Secara harfiah yang berhak menerima parkayan adalah (a) Uduk api,
diberikan kepada ibu calon pengantin perempuan, (b) Apus ilu, diberikan kepada
namborunya, (c) Tutup uban, diberikan kepada ompungnya, (d) Upa tulang,
diberikan kepada tulangnya, (e) Hariman markahanggi, diberikan kepada amang
tua atau udanya, (f) Tompas handing, untuk anak boru, (g) Parorot ondi, diberikan
kepada Raja di huta.
Jumlah bahan ke tujuh ini dapat diartikan sebagai gambar dari pitu sundut
suada mora yang artinya tujuh keturunan tanpa mara bahaya. Didalam acara
penyerahan manulak sere dipimping langsung dengan Raja ni huta , penyerahan
sere na godang (okuandar) dilakukan pihak laki-laki kepada mora pihak
perempuan. Mora adalah tamburan atau disebut dengan tempat ikan kalau
memancing, dan anak boru adalah sipandurang (tukang tangguk).
Adapun peralatan yang harus dibawah oleh pihak keluarga laki-laki untuk
menulak sere menuju kerumah perempuan adalah: (a) Pahar, tempat atau wadah
untuk meletakkan semua peralatan lainnya yang akan diserahkan; (b) Abit tonun
patani (kain adat) yang di letakkan diatas pahar sebagai alas perlengkapan; (c)
Bulung ujung, (ujung daun pisang yang dipotong sebesar pahar yang dikembangkan
diatas pahar; (d) Beras kuning, yang ditaburkan diatas daun pisang; (e) Keris;
(f)Puntu (sebagai simbol pengikat); (g) Uang logamI, sebagai simbol pertalian
keluarga; (h) Arihir atau tali pengikat kerbau, sebagai simbol yang diserahkan satu
kandang kerbau.
44
Setelah rombongan pihak keluarga laki-laki sampai dirumah pihak
perempuan yang dituju, maka upacara markobar (musyawarah) adat pun dimulai.
Meskipun tujuan utamanya manulak sere, namun parkobaran tetap dimulai dari
awal, yaitu mangiririt boru, melamar, membicarakan batang boban yang pada hari
ini akan dipenuhi dan baru akhirnya upacara manulak sere dan rencana pabuat boru.
Sebelum markobar dilaksanakan terlebih dahulu memakan hidangan yang terlah
disediakan yaitu pulut berserta intinya dan air minum. Setelah markobar selesai
barulah acara adat selanjutnya yaitu mangalehen mangan pamunan yang artinya
bahwa makan bersama kepada teman-teman calon pengantin.
3.1.6 Mangalehen Mangan Pamunan
Anak perempuan yang akan melangkah kejenjang perkawinan berarti akan
meninggalkan keluarganya dan beralih kepada keluarga calon suami. Maka,
sebelum pengantin perempuan diberangkatkan, orang tua dan sanak familinya
berkumpul untuk memberikan makan enaknya yang disebut mangan pamunan
(makan perpisahan). Dan pada mulanya si calon pengantin perempuan mengajak
teman-teman sepermainannya untuk turut bersama makan sebagai makan
perpisahan.
Setelah perkembangan zaman dalam kehidupan perkotaan, maka acara
pangalehen mangan ini diperbesar bukan saja di hadiri dari keluarga melainkan dari
unsur dalihan na tolu dan harajaon dalam acara serta panganan sama saja pada saat
pangupa. Hanya saja biasanya makanan yang dihidangkan adalah kambing yang
sudah dimasak sempurna, kepala, hati dan sepasang kaki. Bagian atas harus masih
terlihat bentuknya yang diletakkan di atas tampi yang dihiasi dengan ujung daun
pisang, lengkap dengan nasi, telur, udang, ikan, daun ubi, serta garam sehingga
45
upacara mangalehen hampir sama dengan mangupa. Bedanya upacara mangalehen
dengan upacara mangupa adalah makanan yang dihidangkan harus dimakan benar-
benar kenyang. Makanya upacara mangalehen mangan ini disebut dengan
mambutongi mangan yang artinya makan sekenyang – kenyangnya.
Adapun nasehat-nasehat pada saat upacara mangalehen mangan pamunan
yang disampaikan oleh sigadis adalah:
a. Meninggalkan orang tua, menemui orang tua suami harus sama
diperlakukan.
b. Jika kelakuan tidak baik semua keluarga turut malu, jika seorang
dilahirkan dilingkungan orang baik – baik harus menunjukan sikap yang
baik.
c. Pelajari adat istiadat keluarga suami.
d. Sebagai suami istri harus seia sekata
e. bahat disabur sabi, anso bahat salongon.artinya berbuat kebaikanlah
sebanyak – banyaknya agar mendapat balas kebaikan yang banyak pula.
f. Nada tola marandang sere, angkon marandang jolma do, ulang bile
roha di halak ni pogos, halak na pogos pe adong do gunana.
Jangan memandang orang dari kekayaannya, tetapi harus dilihat budi
pekertinya. Oang miskin pun pada saat tertentu juga ada gunanya.
Bantuan tidak saja sifatnya material, tetapi juga bisa dengan bantuan
imaterial dan tenaga.
g. Pantis marhula dongan, Pala parlomo – lomo, malo martinara. Artinya
pandai beramah tamah, pandai berkasih sayang dan pengasih, tetapi
harus pandai pula menghemat. (H.Pandapotan nasution, SH. 2005)
46
Pada saat acara mangalehen mangan pamunan dilaksanakan terlebih dahulu
mempersembahkan sirih sebagai tanda bahwa acara telah dimulai dan kata-kata
nasehat diberikan kepada peserta yang hadir dalam upacara mangalehen mangan
pamunan adalah anak perempuan yang akan diberi makan (calon penganten
perempuan); orang tua (ibu dan bapak) calon penganten tersebut (penganten
perempuan); nenek laki-laki dan perempuan; kahanggi; anak boru; mora; dan raja.
Setelah acara mangalehen mangan pamunan selesai maka selanjutnya dengan acara
pernikahan.
3.2 Acara Pernikahan
Dalam masyarakat Mandailing perkawinan merupakan peristiwa besar yang
didasarkan pada harapan-harapan besar seperti upaya kelanjutan keturunan,
pembinaan hubungan di antara keluarga antara kedua belah pihak suami dan isteri.
Besarnya makna sebuah perkawinan dalam masyarakat Mandailing ditandai dengan
keterlibatan ketiga pilar dalam masyarakat Mandailing yaitu kahanggi, mora dan
anak boru.
Menurut Bachtiar (2004), Definisi Perkawinan adalah pintu bagi
bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, yang didalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan
yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu
merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat
mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara
kelangsungan manusia di bumi.
47
Nikah secara islam yang dilaksanakan menurut hukum fiqih adalah
merupakan bagian yang sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan
adat. Penelitian yang sering ditemui oleh penulis pada waktu pelaksanaannya yaitu
yang dilaksanakan pada pagi hari sekitar pukul 08:00 pagi atau pada malam hari
pada pukul 20:00 malam. Apa bila pelaksanaannya pada pagi hari, pada malam
harinya akan diadakan wirit yasin sama seperti yang dilaksanakan pada malam hari
yang sekaligus malamnya langsung mengadakan wirit yasin dengan tujuan untuk
meminta doa agar selamat agar kiranya perkawinan yang diadakan akan berjalan
lancar dan tidak ada hambatan atau halangan.
Adapun Hadits Al-qur’an yang menganjurkan kepada umat islam untuk
melakukan pernikahan yaitu:
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin allah akan mengkayakan mereka
dengan karunianya. Dan allah maha luas (pemberiannya) dan maha mengetahui."
(qs. An nuur (24) : 32).
Masyarakat Mandailing adalah masyarakat yang taat beragama. Meskipun
orang Mandailing hidup sesuai tradisi dan norma-norma sosial namun keberadaan
agama (Islam) berada diatas adat dan tradisi. Dalam adat masyarakat Mandailing,
adat tunduk kepada agama kemudian yang dianggap melanggar agama dalam
pelaksanaan adat dikesampingkan dan tidak dilakukan dalam pelaksanaannya.
Sehingga pada praktiknya seorang laki-laki Mandailing bisa saja menikah lagi
48
sampai batas yang ditentukan ajaran islam yaitu empat istri walaupun masyarakat
Mandailing membatasi sekali saja.
Dalam masyarakat tradisional Mandailing perkawinan satu marga dilarang
karena masih terdapat satu darah ataupun masih satu keluarga misalnya antara
seorang gadis bermarga Nasution dengan pemuda semarga karena adat melarang
hal itu. Namun setelah masuknya agama islam berkembang pesat didalam
masyarakat Mandailing maka perkawinan satu marga sudah lumrah terjadi sebab
agama Islam tidak melarangnya untuk menikahinya.
3.2.1 Horja Haroan Boru
Horja haroan boru adalah Upacara perkawinan yang dilaksanakan dirumah
pihak keluarga laki-laki (bayo pangoli). Biasanya setelah diupacarakan secara adat
dipihak keluarga boru na ni oli tidaklah terlalu lama untuk mengadakan upacara
adat perkawinan dipihak keluarga laki-laki tergantung sepakat yang telah
ditentukan bersama terhadap keluarga kedua mempelai pengantin bisa seminggu,
sebulan dan bahkan satu tahun lamanya.(Ridwan Amanah Nst).
sebelum boru na ni oli (perempuan) untuk pergi menuju rumah bayo
pangoli setelah mengadakan pesta adat di rumahnya maka boru na ni oli melakukan
tor-tor dengan bertujuan untuk berpamitan kepada orang tuanya serta keluarganya.
Tor-tor ini dilakukan untuk meminta izin dan doa restu kepada kedua orang tuanya
serta meminta maaf kepada keluarganya apa bila ada kesalahan yang boru na ni oli
lakukan terlebih dahulu kepada orang tuanya. Setelah itu boru na ni oli tidak dapat
untuk bermanja dengan kedua orang tuanya dan harus hidup mandiri bersama
suaminya. Tidak jarang didalam pelaksanaannya tor-tor perpisahan ini sambil
menangis karena tidak bisa menahan kesedihan atas kepergian boru na ni oli.
49
Sementara suhut (yang mengadakan pesta) dari pihak keluarga laki-laki
mengundang para kerabat ataupun keluarga yang memiliki ikatan dalihan na tolu
dan terkadang para tetanggapun ikut diundang untuk dapat hadir dirumahnya
dengan maksud hati dapat membantu didalam pelaksanaan horja godang. Setelah
mereka hadir marpokat (mufakat) dilaksanakan untuk membagi tugas-tugas
terhadap masing-masing selama horja itu berlangsung dirumah suhut. Dan didapat
dijelaskan di acara adat marpokat haroan boru.
3.1.2 Marpokat Haroan Boru
Upacara perkawinan yang dilaksanakan dirumah pihak keluarga laki-laki
(bayo pangoli) sebelum melaksanakan horja godang (upacara besar) terlebih
dahulu pihak keluarga laki-laki (suhut) mengadakan mufakat (marpokat) kepada
sanak famili memohon sudi kiranya agar semua pihak dapat membantu pada saat
horja godang berlangsung. Dalam marpokat inilah dibagikan perkejaan masing-
masing pihak pada saat horja berlangsung sesuai dengan prinsip dalihan na tolu.
Dan biasanya para tetangga ataupun masyarakat setempat ikut berperan dalam
membantu pelaksanaan upacara perkawinan seperti masalah dapur dan pekerjaan
lainnya.
Didalam marpokat ini juga sediakan makanan pulut beserta intinya agar
marpokat ini dapat melekat didalam persaudaraan. Setelah selesai acara makan
barulah disurdu burangir (sirih) yang dikarenakan sirih secara umum sangat
penting bagi masyarakat Mandailing didalam mengadakan upacara adat baik
upacara horja siriaon maupun horja siluluton. Perlengkapan burangir itu terdiri dari
sontang (gambir), soda (kapur sirih), pining (pinang) dan timbako (tembako). Dari
50
semua bahan burangir mempunyai arti didalam bahasa adatnya yang disebut
dengan opat ganjil lima gonop artinya perlengkapan kelima itu harus lengkap baru
disebut dengan genap. Kemudian burangir dibungkus dengan tonun patani (kain
adat) Dan diletakkan disalipi (tempat burangir) setelah selesai menyurdu burangir
barulah suhut terlebih dahulu memulaikan pembicaraan yang kemudian disusul
dengan kahanggi, anak boru, namora natoras dan ditutup kembali dengan suhut.
Istilah marpokat sama saja dengan markobar (musyarawah) sehingga untuk
mengambil keputusan didalam markobar dimulai dengan membunyikan gondang
dua atau gondang tunggu-tunggu dua dan dilanjutkan dengan menortor (tarian adat
pelengkap gondang). Seorang suhut adalah pembuka pertama untuk menortor lalu
diikuti dengan toko-toko adat yang lain. Pada upacara adat Mandailing dimana
uning-uningan dibunyikan (margondang) selalu diikuti dengan acara menortor
serta nyanyian Zeir (nyanyian adat Mandailing). Adapun syarat-syarat menortor itu
terdiri dari berpakaian yang sopan dengan memakai lengan panjang dan memakai
kain yang dilipat sampai lutut serta memakai peci bagi kaum laki-laki. Sementara
bagi kaum perempuan syaratnya yaitu pakai tudung dan kain. Setiap orang yang
menortor dislempangi dengan ulos adat (kain adat) pada bahunya. Jika raja
diuloskan dibahu menutup kiri kanan bahu. Jika suhut, sabe-sabe disandang dibahu
kanan, jika anak boru dikiri dan mora diuloskan dikiri kanan bahu.
Setelah selesai markobar pada keesokkan harinya gordang sambilan
diletakkan dibagas gondang atau sopo godang (rumah gordang) sementara
dihalaman rumah sudah disibukkan dengan memasak air, nasi dan memasang
peralatan-peralatan adat atau disebut paraget atau pago-pago. Peralatan adat ini
terdiri dari: (a) mandera adat (bendera adat) menurut jenisnya bendera adat terbagi
atas (1) mandera merah putih yang dipasang ditiang tegak lurus sebagai pernyataan
51
bahwa masyarakat Mandailing adalah bagian dari Negara Indonesia, (2) mandera
raja panusunan yang berwarna kuning keemasan dan bentuknya segitiga dengan
panjang tiga meter, (3) mandera tonggol raja desa na walu yang warnanya kuning
kombinasi hitam dan merah dan bentuknya segitiga dengan pannjang tiga meter, (4)
mandera harajaon (kerajaan) berwarna kuning dan panjang tujuh meter bentuk
persegi panjang dan dibuat runcing seperti tanda panah, (5) Madera lipan-lipan
warnanya merah, putih dan hitam selang seling mengikuti lebar mandera dengan
ukuran 30 cm dengan panjang tujuh meter dan bentuknya empat persegi panjang
dan diujungnya diberi jambul, (6) mandera siararabe berwarna merah, hitam, putih
dan kuning dan warna-warna ini dibentuk segitiga kemudian diujungnya diberi
jambul, (7) mandera marawan dilangit yang berwarna merah, hitam dan hitam
dibentuk segitga dan disusun menurut garis lurus dari kiri kekanan. (b) payung adat
yang berwarna kuning keemasan. (c) pedang (podang). (d) tombak. (e) langit-langit
dan tabir. (f) rompayen. (g) pelaminan untuk pengantin. Dan pada pintu gerbang
sebelum memasuki pekarangan rumah serta simpang jalan menuju rumah pada
pintu tersebut terbuat dari bambu dan daun kelapa kemudian ditulis dengan tulisan
horas tondi madingin pir tondi matogu sayur matua bulung yang artinya doa dan
harapan agar acara ini dapat berjalan dengan lancar dan baik. Disamping bambu
sebagai tiang dihiasi juga dengan daun beringin, pohon pisang yang biasanya
pisang yang sudah berbuah, sanggar, dingin-dingin, tebu dan silinjuang.
Kemudian pada satu hari menjelang mata ni horja (hari terkhir pesta),
gordang sambilan dipindahkan ke rumah suhut dengan dibuka acara markobar
didalam markobar ini suhut meminta izin untuk mengadakan gordang sambilan.
disini acara markobar dilaksanakan untuk mengambil keizinan dari raja-raja agar
dapat memainkan gordang sambilan seperti diketahui bahwa segala sesuatu didalam
52
adat Mandailing harus dilaksanakan dengan acara markobar (musyawarah)
kemudian acara markobar juga harus dengan didahului menyurdu burangir. Setelah
izin diterima gordang sambilan terlebih dahulu disantani (tepung tawar). Santan
adalah santan kelapa yang dicampur dengan beras kentan yang mentah yang
dipercikkan dengan daun dingin-dingin dipermukaan gordang sambilan kemudian
raja panusunan bulung untuk meninggung (memukul) pertama kemudian
dilanjutkan dengan pemain musiknya.
Sekitar jam 08:00 WIB kerbau sudah bisa disembelih (potong) dilanjutkan
dengan kesibukkan hal lainnya yang menyangkut keperluan pesta seperti memasak,
dikarenakan bahwa siap memasak ini dilanjutkan mengarak kedua pengantin yang
diiringi oleh rombongan ketempat rumah yang sudah disiapkan dan biasanya
rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah suhut atau pesta.
3.2.3 Mangalo-Alo Boru Dan Manjagit Boru
Ketika kedua pengantin beserta rombongan sudah mempersiapkan diri
untuk mengarak kedua pengantin begitu juga dengan makanan yang akan dibawa
para rombongan dituntun dengan pembuka jalan yaitu dua orang pencak silat
dibelakangnya adalah pembawa tombak sebagai pengawal kemudian kedua
pengantin dipayungi dengan payung yang berwarna kuning disusul dengan para
keluarga laki-laki dan perempuan dan terakhir adalah penabuh gondang .
Setelah sampai dirumah yang dituju para rombongan disambut dengan
keluarga yang sudah menunggu kedatangan mereka dan mempersilahkan masuk
agar melaksanakan acara adat selanjutnya. Kemudian setelah semuanya masuk
didalam rumah para rombongan dan pengantin membawa makanan yang disiapkan
53
dari rumah suhut diletakkan ditengah-tengah hadapan keluarga dan raja-raja. Tidak
lama kemudian makanan yang dibawa yang diletakkan ditengah-tengah
perkumpulan kedua keluarga berserta raja-raja dibawa lagi kebelakang untuk
mempersiapkan acara mangalehen mangan (makan bersama). Dapat dijelaskan
bahwa tempat makanan yang dibawa adalah bertempatkan dengan wadah rantang
agar mudah dibawa dan tidak tumpah.
Setelah selesai makan bersama seorang menyurdu burangir kepada raja
bahwa acara adat selanjutnya yaitu menyampaikan pesan kepada kedua pengantin.
Semua kerabat saudara termasuk kedua orang tua dan raja menyampaikan pesan
kedua mempelai. Biasanya pesan yang mereka berikan adalah mengenai bagaimana
menjalani hidup berumah tangga yang penuh dengan rintangan dan cobaan serta
musyawarah antara suami dan istri untuk memecahkan masalah. Dan ada juga
menyampaikan tanggung jawab mereka sebagai suami dan istri seperti bagi laki-
laki yang harus menjadi pemimpin yang benar dan bertanggung jawab kepada istri
dan anaknya termasuk menafkahkan dan bagi perempuan mampu menjadi istri yang
soleha terhadap suami serta anaknya dan kedua pengantin bukan lagi tanggung
jawab orang tua mereka dan biasanya pesan yang mereka berikan terkadang dengan
tangisan.
setelah penyampaian pesan untuk kedua pengantin selesai para keluarga
baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan mempersiapkan diri untuk
menuju kerumah suhut (tempat pesta). Untuk mengantarkan kedua pengantin
ketempat pesta, posisi pengiring rombongan sama dengan halnya mengarak
pengantin yang pembuka jalan adalah penari penca silat. Pada saatnya tiba para
rombongan dan kedua pengantin dipintu gerbang, kedua pengantin didudukan
dihalaman yang dan ditemani beberapa sanak saudara. Dikarenakan para orang tua
54
dan pemain gordang mempersiapkan diri untuk acara penyambutan biasanya 30
menit waktu yang akan diberikan untuk mempersiapkan.
Kemudian orang tuanya menunggu didepan pintu rumah termasuk uda dan
inangudanya untuk menerima kedua pengantin. Ayah dan udanya memegang bayo
pangoli dan Ibu dan inangudanya memegang boru ni oli yang membawa mereka
untuk mengantar duduk dipantar bolak paradaton. Dan disini keluarga pihak
perempuan menyerahkan anaknya kepada pihak keluarga laki-laki untuk
melaksanakan upacara adat selanjutnya. terkadang pihak keluarga bayo pangoli
menyuruh keluarga boru na ni oli tetap tinggal sampai acara adat selesai. Tidak
berapa lama markobar (musyawarah) dilaksanakan untuk meminta izin kepada raja-
raja agar gordang sambilan dapat dibunyikan atau disebut dengan acara adat panaek
gondang.
3.2.4 Panaek Gondang
Sebelum markobar dilaksanakan semua yang hadir didalam markobar duduk
ditikar adat untuk melaksanakan markobar (musyawarah) disopo godang yang
terlebih dahulu memakan hidangan yang telah disiapkan yaitu pulut beserta intinya.
Markobar ini dilaksanakan untuk memohon kepada raja-raja agar memberikan izin
kepada suhut untuk membunyikan gordang sambilan di upacara perkawaninan
dirumahnya. Seperti biasanya didalam markobar terlebih dahulu menyurdu burangir
yang dilakukan oleh anak boru setelah burangir diterima barulah memukul alat
musik mong-mong sebanyak Sembilan kali yang bertanda bahwa pembicaraan akan
dilaksanakan. Yang memulai pertama dalam pebicaraan yaitu paralok-alok yang
menyuruh kepada suhut untuk membuka pembicaraan dan seterusnya yang hadir
didalam markobar. Dapat dijelaskan bahwa setelah paralok-alok memulai
55
pembicaraan, mong-mong dipukul sekali dan bisa tiga kali setiap pembicaraan dan
ditutup dengan memukul mong-mongan sebanyak Sembilan kali. Yang hadir dalam
panaek gondang adalah suhut dan kahangginya, anak boru, penabuh gondang,
namora natoras dan Raja-raja adat.
Gambar 1
Pelaksanaan markobar untuk meminta izin memainkan gordang sambilan
Setelah izin sudah diterima, para raja-raja memukul gondang dua
dikarenakan bahwa untuk membunyikan gordang sambilan terlebih dahulu setelah
gondang dua dibunyikan pada waktu akhir markobar dan ditutup dengan ucapa
horas. Setelah markobar telah selesai dengan membunyikan gondang dua, para
pemain gordang sambilan dapat memukul gordang sambilan. Didalam penelitian ini
pada saat gordang sambilan dimainkan tari sarama diikut sertakan untuk
memeriahkan acara permainan gordang sambilan itu sendiri. Tidak jarang setiap
tari serama pemainnya kesurupan oleh roh-roh halus yang diyakini adalah roh
nenek moyang. Pada saat pemain tari sarama kesurupan para pemain gordang
56
sambilan memukul gordang sambilan dengan sekeras-keras mungkin tanpa ada
yang salah memukul gordang sambilan dikarenakan bahwa penari sarama yang
tidak menyadarkan diri akan mengamuk apabila pemain gordang salah memukul
dengan intonasi yang melenceng yang tidak disukai oleh penari.
Tidak jarang pula pada saat gordang sambilan dibunyikan yang diikuti
dengan tari sarama para pemain gordang sambilan bergantian untuk
membunyikannya dikarenakan butuh tenaga yang besar untuk memainkan gordang
sambilan. Ketika mahluk halus atau jin yang memasuki tari sarama ingin keluar
dari raga penari, dipersembahkanlah burangir (sirih) sebagai sarat untuk
mengeluarkan jin dari raga pemain. Para penari sarama sadar dan permainan
gordang sambilan dapat diberhentikan sejenak guna menghargai bagi kaum muslim
untuk melakukan shalat as’ar dan waktunya istirahat bagi pemain gordang
sambilan.
Adapun jumlah pemain ensambel gordang sambilan tersebut terdiri dari 11
(sebelas) para pemusik meliputi, (1) satu orang pemain sarune, (2) lima orang
memainkan gordang sambilan dengan pembagian, (a) satu orang memainkan dua
buah jangat atau disebut panjangati, (b) satu orang memainkan hudong-kudong, (c)
satu orang memainkan dua buah paduai, (d) satu orang memainkan dua buah patolu
dan, (e) seorang memainkan enek-enek, (3) satu orang memainkan ogung boru dan
ogung jantan, (4) satu orang memainkan mongmongan atau gong panolongi dan
panduai dan, (5) satu orang memainkan pamulosi, (6) satu orang memainkan gong
doal dan, (7) satu orang memainkan tali sasayak.
Pada pukul 17:00 WIB acara adat selanjutnya adalah memainkan gondang
dua atau gondang tunggu-tunggu dua. Dengan membunyikannya gondang dua ini
dan diikuti nyantian jeir, maka gelanggang penortoranpun mulai di buka.
57
Gelanggang penortoran dibuka oleh raja yang pertama menortor dilanjutkan dengan
suhut, kahanggi suhut, mora dan anak boru. Pada waktu menjelang magrib,
penortoranpun diberhentikan untuk istirahat dan shalat magrib.
pada malam hari tiba sekitar pukul 20:00 WIB gordang sambilan
dibunyikan tetapi pemainnya adalah bukan pemain yang sebenarnya satu atau dua
orang pemain sebenarnya dikarenakan siapa saja yang ingin memainkannya
dipersilahkan. Tidak jarang warga masyarakat setempat yang penuh penasaran
bagaimana memukul gordang sambilan memcoba membunyikan gordang sambilan.
Sudah puas memukul gordang sambilan dan beristirahat sebentar dilanjutkan
dengan tor-tor naposo bulung dan nauli bulung (muda-mudi) yang menortor adalah
anak gadis dan mengayapi adalah anak muda dengan berlainan marga dengan anak
gadis.
Gambar 2
Gordang sambilan
58
Yang dilakukan pertama kali dalam tor-tor muda-mudi adalah mengundang
dan meminta izin kepada orang tuanya. Jika telah diizinkan dari orang tua maka
akan diatur penjemputan dan setelah selesai menortor mengantarnya kembali
kepada orang tuanya. Habis tor-tor muda-mudi dilanjutkan dengan tor-tor pengantin
dilanjutkan dengan tor-tor raja-raja tidak jarang selesainya acara ini adalah sampai
tengah malam bahkan sampai meyambut subuh.
3.3 Mata Ni Horja
Mata ni horja adalah puncak upacara adat yang telah dilaksanakan dirumah
suhut (akhir pesta). Pada paginya semuanya disibukkan dengan mempersiapkan
bangku dan meja serta mempersiapkan hidangan makanan untuk para undangan.
Sekitar pukul 10:00 WIB para tamu-tamu sudah mulai berdatangan gordang
sambilanpun sudah mulai dibunyikan. Didalam membunyikan gordang sambilan ini
hanya bentuk latihan dan meramaikan agar masyarakat berdatang untuk melihat dan
mendengar gordang sambilan. Sehingga dalam membunyian gordang sambilan
diperbolehkan siapa saja yang mau memainkannya.
Dapat dijelaskan bahwa pada paginya acara menortorpun sudah
dilaksanakan sekitar pukul 09:00. Yang pertama didalam melaksanakan tor-tor
adalah para Raja-raja yang disebut dengan tor-tor Raja dan dilanjutkan penortor
secara berturut-turut yaitu suhut, kahanggi, anak boru, raja-raja Mandailing dan raja
panusunan yang diiringi oleh ensambel gondang dan nyanyian Zeir terkadang
onang-onang (nyanyian angkola) pun dipakai untuk mengiringi nyanyian
penortoran.
Setelah acara penortoran selesai dilanjutkan dengan mengundang raja-raja
untuk hadir dipantar paradaton agar acara markobar dilaksanakan. Seperti biasanya
59
didalam markobar terlebih dahulu memakan pulut serta intinya dan minuman yang
telah dihidangkan dan selesai makan pulut, maka disurdu burangir yang bertanda
bahwa markobar dimulai. Mong-mongan di bunyikan sebanyak Sembilan kali
pertanda gelanggang adat telah dibuka dan seterusnya paralok-alok
mempersilahkan kepada suhut untuk membuka pembicaraan dalam menyampaikan
maksud mulai dari menyampai boru sampai mengadakan horja godang dan suhut
juga memohon agar kedua pengantin dapat direstui oleh raja-raja. Didalam
permohonan suhut ini didukung oleh kahanggi dan anak boru serta namora natoras
menguatkan maksud suhut itu selesai suhut berbicara mong-mongan dibunyikan
sekali dan diikuti pembicara kahanggi serta yang lainnya dan ditutup dengan raja
panusunan setelah menyambut berbagai pendapat, saran maupun kritikan, dan
keputusan bahwa permohonan suhut dapat dilaksanakan dan mong-mongan pun
kembali dibunyikan sebanyak Sembilan kali.
Setelah markobar selesai dan sudah ada keputusan dari raja panusunan,
kedua pengantin yaitu bayo pangoli dan boru na ni oli serta rombongan yang
sebagai pengiring kedua pengantin mempersiapkan diri dikarenakan bahwa acara
adat selanjutnya adalah kedua pengantin akan di bawa ke tapian raya bangunan
artinya yaitu membuang sifat masa lajang dan masa anak gadis selama mereka
belum menikah disungai.
3.3.1 Membawa Pengantin ke Tapian Raya Bangunan
Membawa pengantin ke tapian raya bangunan maksudnya yaitu membawa
mereka ke sungai untuk melepaskan masa lajang dan masa gadis para pengantin.
Sesuai dengan kondisi yang ada di kota Medan ini sulitnya menemukan sungai
yang bersih dan jauhnya jarak sungai dengan rumah bayo pangoli, maka acaranya
60
hanya dijalan dan tidak jauh dari rumah dan diletakkan dua kursi ataupun lebih
untuk para pengantin dan rombongan serta satu meja. Pelaksanaan tapian raya
bangunan ini sekitar pukul 15:00 WIB.
Setelah markobar telah selesai, para pengantin dibawa ke tapian raya
bangunan. Adapun yang harus dibawa adalah pangir yang berisikan jeruk purut
yang dipotong dan air secukupnya. Kemudian untuk memercikkanya adalah
menggunakan daun-daunan berwarna hijau yang diikat menjadi satu. Untuk
membawa kedua pengantin ke tapian raya bangunan bukanlah hanya begitu saja,
tetapi mempunyai susunan untuk mengiringinya. Susunan tersebut yang ditemukan
dilapangan oleh penulis adalah
a. Dua orang pencak silat memakai podang (pedang) yang berfungsi
sebagai membawa jalan ke tapian raya bangunan.
b. dua orang membawa tombak yang ujung tombaknya kearah keatas.
c. Seorang ibu yang berkedudukan sebagai anak boru untuk membawa
pangir dan cara membawanya adalah menjujung atau diletakan diatas
kepalanya.
d. Seorang membawa bambu dan batu kerikil.
e. Dua orang ibu kiri dan kanan yang biasanya adalah namboru dari
pengantin laki-laki dan boru na ni oli membawa bambu yang dibentuk
pakai tangkai dan diikat bersama daun-daunan. Kemudian
dibelakangnya adalah membawa payung adat yang berwarna kuning
yang ber fungsi sebagai melindungi.
f. Dua orang laki-laki yang sudah menikah serta dibelakangnya adalah
memegang payung kemudiaan rombongan untuk mengiringi dan
meramaikan acara tapian raya bangunan.
61
g. Yang terakhir adalah pemain gondang.
Setelah sampai ditempat, para pengantin didudukan dibangku yang telah
disediakan kemudian seorang datu mempercikkan air kepada para pengantin.
Setelah mempercikkan air tersebut seorang datu sambil menanyakan berapa
keinginan keturunan (anak) mereka dan jenis-jenis kelamin apa ketika berumah
tangga yang ditandai dengan batu kerikil yang sudah disiapkan dan ini semua
disaksikan oleh para rombongan dan masyarakat yang melihatnya. Kemudian
ditutup dengan doa. Cara pemerciknya yaitu menggunakan daun-daun yang dingin
seperti daun silinjuang (yang berwarna hijau). Setelah semuanya selesai, para
pengantin dibawa kembali kerumah. Cara bawanya yaitu seperti membawa ketapian
raya bangunan yang diiringi oleh para pargondang dan pencak silat. Sesampai
dipintu rumah mereka sudah ditunggu oleh kedua orang tua yang sudah
mempersiapkan tiga pelepah batang pisang beserta pelengkapannya kemudian
pelepah batang pisang tersebut diinjak terdahulu oleh kaki sebelah kanan dan
diikuti kaki sebelah kiri barulah bayo pangoli dan boru na ni oli masuk ke rumah.
Setelah kedua pengantin telah melaksanakan adat tapian raya bangunan dan
memasuki rumah, maka markobar dilaksanakan untuk memberikan gelar adat
kepada bayo pangoli (mangalehen gorar).
3.3.2 Mangalehen Gorar (Manabalkan gelar adat)
Ketika kedua pengantin sudah siap melaksanakan upacara adat di tapian
raya bangunan, maka dilanjutkan dengan acara adat mangalehen goar. Mangalehen
gorar adalah menabalkan gelar adat kepada bayo pangoli yang dilaksanakan sekitar
pukul 15:30 yang melalui markobar. Para raja-raja dan semuanya yang hadir
62
didalam markobar merundingkan untuk menentukan gelar yang berikan kepada
pengantin laki-laki. Setelah gelar sudah didapatkan untuk diberikan kepada bayo
pangoli, maka bayo pangoli di panggil untuk segera datang ke pantar bolak
paradaton.
Bayo pangoli langsung duduk ditikar adat yang sudah disiapkan ditengah-
tangah markobar kemudian burangir dan salipi yang berisikan beras, jahe, garam
dan rumpit yang dilapisi oleh ujung daun pisang yang ujungnya dihadapkan ke
bayo pangoli dan pangkal ke raja panusunan serta keris yang dilintangkan ke depan.
Sebelum gelar diberikan raja panusunan memberikan arahan kepada bayo pangoli
bagaimana menjalankan hidup berumah tangga maka salipi yang berisikan beras
yang artinya untuk kebutuhan pokok dalam kehidupan berumah tangga, jahe yang
dicampurkan dengan garam apa bila dimakan akan terasa asin dan pedas begitulah
hidup berumah tangga namun lama kelamaan makan jahe dan garam akan terasa
manis itulah hidup berumah tangga setelah pedas dan hasin baru manis kemudian
rumpit yang bertanda apa bila kalau ada masalah didalam rumah tangga jangan di
sebar luaskan kepada orang namun harus di musyawarahkan serta yang terakhir
adalah keris yaitu untuk menjadi pemimpin yang benar dan tidak pandang bulu
terhadap rumah tangga dan keluarga.
Setelah arahan yang diberikan kepada bayo pangoli, maka mong-mongan di
bunyikan sebanyak Sembilan kali bertanda bahwa pemberikan gelar akan berikan.
Raja panusunan barulah memberikan gelar kepada bayo pangoli yaitu didalam
penelitian penulis adalah raja hampung parlidungan dan bayo pangoli mengangkat
keris serta membukanya kearah atas yang bertanda bahwa bayo pangoli sudah syah
mendapatkan gelar yang diterimanya. Pemberian gelar ini dilakukan oleh raja
panusunan atas usul dari natoras yang disaksikan oleh raja-raja serta yang hadir
63
didalam markobar. Penambalan gelar ini dilakukan oleh raja panusunan atas usulan
dari namora dan natoras dengan disaksikan oleh raja-raja adat lainnya. Dapat
dijelaskan bahwa pemberian gelar adat kepada bayo pangoli adalah mengikuti dari
kakeknya dan tidak bisa mengambil gelar dari orang tuanya.
3.3.3 Mangupa
Setelah selesai pemberian gelar adat dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan
mangupa yang artinya yaitu upacara adat dengan menyampaikan pesan-pesan adat
dan petunjuk kepada kedua pengantin bayo pangoli dan boru na ni oli. Dan
biasanya mangupa dapat diartikan sebagai ungkapan kegembiraan dengan sesuatu
itu sudah terwujud. Apabila mangupa sudah selesai melaksanakannya maka
selesailah seluruh rangkaian adat perkawinan adat. Dan jika masih ada upacara adat
berikutnya, itu adalah sebagai pelengkap acara.
Dalam pelaksanaan mangupa kedua pengantin yaitu bayo pangoli dan boru
na ni oli disurdu burangir terlebih dahulu yang dilakukan oleh kedua orang tua
mereka, keluaraga dari dalihan na tolu, raja-raja adat dan datu pangupa serta ditutup
oleh raja panusunan. Setelah disurdu burangir raja panusunan melaksanaan
pembicaraan untuk kedua pengantin kemudian menyerahkan kepada datu pangupa
untuk memberikan pelaksanaan pangupa kepadanya. Seterusnya datu pangupa
memberikan izin kepada kedua orang tua mempelai unutk memberikan ucapan
kepada mereka dan biasanya memberikan syukuran kepada kedua pengantin agar
masalah didalam berumah tangga dapat mereka selesaikan berdua. Pelaksanaan
mengupa setelah manggoar (menambalkan nama) juga dimaksudkan agar nama
yang diberikan tersebut diterima tondi dohot badan kedua pengantin. Tondi adalah
sesuatu yang abstrak dalam jiwa seseorang yang memberi kekuatan tuah dan
64
marwah kepada seseorang. Sering juga disebut pada acara adat agar pengantin ini
maroban sangap dohot tua (membawa marwah dan rezeki atau tuah) kepada kedua
mempelai pengantin.
Tujuan dari mangupa adalah untuk memperkuat tondi atau mengembalikan
tondi kedalam tubuh agar bayo pangoli dan boru na ni oli tegar menghadapi
tantangan ataupun dapat hidup normal kembali seperti biasa apabila tondinya
hilang.
Menurut L.P.Hasibuan, 1989:25 bahwa dalam pandangan adat, manusia
seutuhnya terdiri dari tiga unsur, yaitu: Badan, Jiwa (roh), dan Tondi. Badan
adalah jasad yang kasar, terlihat dari teraba. Jiwa (roh) adalah benda abstrak yang
menggerakkan badan kasar tadi. Tondi adalah benda abstrak yang mengisi dan
menuntun badan kasar dan jiwa tadi dengan tuah sehingga seseorang kekelihatan
beribawa dan mempunyai marwah.
Adapun macam-macam tingkatan menurut Pandapotan Nasution (2005:174-
181) pangupa yaitu :
a. Telur ayam (pira manuk). Pangupa yang paling sederhana yang terdiri dari
telur ayam dan nasi, garam, udang, ikan, sayur daun ubi, dan air putih untuk
diminum. Dan yang hadir adalah biasanya hanya yang satu rumah, kalaupun
ada orang luar adalah orang yang membawa upa – upa.
b. Ayam (pangupa manuk). Ayam yang akan disajikan dipanggang yang masih
utuh tanpa dipotong – potong. Tiga butir telur ayam yang direbus, ikan
garing (anak ikan mera), nasi putih dan garam. Yang hadir adalah anggota
keluarga dan kaum kerabat lainnya.
65
c. Kambing ( pangupa hambing). Acara ini dilakukan dengan acara yang
benar-benar resmi. Adapun bagian – bagian tubuh kaming yaitu kepala
kambing, kaki depan kanan, kaki kiri belakang, ekor, sedikit dagingnya,
hati, jantung dan serta isi perut. yang hadir adalah tentunya lebih lengkap
dan ditambah dengan namora natoras serta raja pamusuk
d. Kerbau (pangupa horbo). Pangupa yang paling tinggi dan biasanya pangupa
yang dilakukan pada acara – acara yang diadakan raja – raja dan
keturunannya..
Bahan-bahan yang disediakan untuk pangupa horbo sama dengan yang diatas
yaitu:
a. Nasi putih adalah nasi yang dilambangkan sebagai lambing perencanaan
dan tanda – tanda keikhlasan hati dalam segala hal. Untuk sampai keatas
piring nasi memerlukan proses panjang dan kerja keras yang mulai dari
menabur bibit, meencangkul, menanam, menyingai sampai kepada panen,
menumbuk padi menjadi beras dan menanak beras menjadi nasi. Sedangkan
warna putih melambangkan keikhlasan.\
b. Telur ayam. Telur sebagai lambang doa untuk memohon agar jiwa dan raga
bersatu padu, tetap selamat dan sehat – sehat.
c. Garam (sira). Garam melambangkan kekuatan. Garam sangat dibutuhkan
manusia demikian juga yang diupah-upah diharapkan tetap dibutuhkan dan
bermanfaat kepada orang lain.
d. Air putih melambangkan keikhlasan karena dalam mengerjakan sesuatu
haruslah dengan hati – hati dan yang bersih serta ikhlas.
66
e. Ikan adalah melambangkan dinamika dan persatuan. Ikan upah – upah
terdiri dari dua ekor melambangkan suami istri sebagai ikan, yang selalu
sama – sama kehulu dan sama – sama keilir.
f. Udang melambangkan sebagai strategi kehidupan. Gerakan maju mundur
adalah karakter udang.
g. Daun ubi yang diikat lembar demi lembar. Daun ubi melambangkan sebagai
umur yang panjang dan bermanfaat.
h. Kepada kerbau. Pangupa yang paling besar adalah kerbau. Pangupa kepala
kerbau ini dihadapkan kemuka pengantin dalam keadaan utuh. Namun
untuk pada saat ini sudah tidak digunakan menjadi kepala kerbau secara
utuh sebagai pangupa pada saat acara adat. Setelah masuknya agama islam
yang mana bertentangan dengan agama islam. Istilah adat yang menyatakan
hombar do adat dohot ibadat yang artinya adat dan ibadat tidak dapat
dipisahkan. Adat tidak boleh bertentangan dengan agama islam, jika
bertentangan dalam pelaksanaannya maka adat itu dikesampingkan maka
kepala kerbau dihapuskan.
Tempat pangupa, kepala kerbau diletakkan diatas induri setelah dialasin
dengan bulung bulung ujung (daun pisang) tiga helai sebagai melambangkan
sebagai dalihan na tolu. Sedangkan bahan-bahan lainnya telah dimasak disusun
diatas piring besar. Induri adalah lambang kemasyarakatan yang melambangkan
pembeda yang benar dan salah. Setelah acara adat pangupa ini selesai maka pada
malam harinya dilanjutkan dengan acara mangoloi na loja yaitu meladeni yang
bekerja selama upacara adat perkawinan itu berlangsung serta suhut mengucapkan
terimakasih kepada kerabat yang selama ini membantu didalam pelaksanaan horja
godang.
67
Tidak jarang didalam pelaksanaannya dihidangkan makanan untuk makan
bersama semua unsur dalihan na tolu serta masyarakat yang membantu selama
pelaksanaan perkawinan dirumah suhut dikumpulkan. Selanjutnya setelah makan
bersama selesai suhut memberikan mereka bungkusan yang berisi daging ataupun
tulang rincang berserta lauknya yang bertanda pengucapan terima kasih.
3.4 Alat Musik yang pada Gordang Sambilan
3.4.1 Momongan
Momongan adalah alat musik yang terbuat dari logam ataupun kuningan
Yang terdiri dari tiga buah yaitu yang paling besar nyaring suaranya adalah
panolongi, seterusnya pamulusi dan terakhir nyaring suaranya paling kecil adalah
ikong-ikong. Alat msuik termasuk kedalam kategori idiophone yang dipukul.
Bentuk alat musik ini seperti talempong yang terdapat di padang. Alat musik ini
termasuk kedalam kategori Idiophone yang dipukul. Mongmongan dimainkan
dengan di pukul memakai kayu.
Gambar 3
Momongan
68
Memainkan momongan dengan membutuhkan dua orang pemain yaitu
pamolongi dan ikong-ikong dimainkan dengan satu orang dan pamulusi dimainkan
dengan satu orang saja. Cara memainkan panolongi dan ikong-ikong yang
dimainkan dengan satu orang yaitu ikong-ikong yang berbentuk kecil di pegang di
atas tangan sedangkan panolongi di pegang talinya dan kearah bawah tangan bisa
juga ikong-ikong di letakan diatas rak momongan dan pannolongi di pegang
talinya agar panolongi berada di bawah. Sementara untuk pamulusi yang dimainkan
dengan satu orang bebas untuk memegangnya karena hanya satu saja yang
dipegang.
Gambar 4
Cara memegang panolongi dan ikong-ikong
69
Gambar 5
Cara memegang pamulusi
Gambar 6
Pemain momongan
70
3.4.2 Sarune
Sarune adalah alat music yang dikelompok kedalam kategori aerophone
yang dimainkan dengan cara di embus/udara. Didalam etnis mandailing terdapat
alat musik serune yang terbuat dari bambu kemudian ujung bambu terbuat dari
ujung tanduk kerbau yang berdiameter 3 cm sementara batok kelapa yang
berukuran kecil diletakan dekat 3 cm dari pangkal serune. Batok kelapa yang
diletakan di serune berfungsi sebagai batas bibir dengan serune. Dan serune
mempunyai 4 lobang nada dan dari pangkal kelapa sampai tanduk kerbau berjarak
8 cm.
Gambar 7
Jarak 8 cm dari batok kelapa dengan tanduk kerbau
71
Gambar 8
Ujung serune yang berdiameter 3 cm
72
Gambar 9
Cara memainkan serune
3.4.3 Ogung/Gong
Gong adalah alat musik yang dimasukan kedalam kategori idiophone. Gong
mirip dengan dengan momongan tetapi bentuknya yang sangat besar dan terbuat
dari logam ataupun kuningan walaupun sekarang sudah ada yang terbuat dari plat.
didalam etnis mandailing terdapat dua gong yaitu gong jantan dan gong betina.
Gong jantan berbentuk lebih kecil dibandingkan dengan gong betina. Dan gong
dipukul dengan kayu yang dilapisi dengan kain dan karet agar suara yang di
timbulkan berdengung dan besar. cara memainkannya yaitu gong digantungkan di
atas tumpangan kayu yang diikatkan dengan tali kemudian di pukul.
73
Gambar 10
Gong jantan dan Gong betina
Yang di pukul
Gong betina
Gong jantan
74
Gambar 11
Gong betina dan jantan terlihat dari belakang
3.4.4 Doal
doal adalah alat musik yang berkategori dengan idiophne yang dipukul
badannya. Doal pada alat musik Mandailing hampir sama dengan momongan yang
membedakannya yaitu dengan bentuknya yang agak besar dan dimainkan dengan
satu orang saja. Cara memainkannya yaitu dengan memegang tali yang sudah diikat
pada alat musik doal kemudian di pukul tengahnya yang berbentuk cekung seperti
momongan ataupun gong.
75
Gambar 12
Doal
Gambar 13
Cara bermain doal
doal
doal
76
3.4.5 Gordang Sambilan
Gordang Sambilan adalah alat musik yang terdiri dari Sembilan gendang.
Gordang Sambilan terbuat dari batang pohon ingul yang dikerukan agar tengahnya
berlobang dan pohon tersebut hanya terdapat di Mandailing saja (Ibrahim Lubis).
Untuk membrannya sendiri terbuat dari kulit kerbau dan terkadang memakai kulit
sapi dan sebagai pengikatnya adalah rotan yang besarnya klingking orang dewasa
sementara di bawah gordang ditutupi dengan papan atau kayu yang tengahnya
dilobangi berdiameter 15 cm. Gordang sambilan sendiri diklasifikasikan dalam
membranophone dalam bentuk long drum karena gordang sambilan bentuknya
panjang dan besar.
G
a
Gambar 14
Gordang Sambilan
Dari Sembilan gordang sambilan tersebut mempunyai nama-nama yang
berbeda. Mulai gordang sambilan yang paling besar yaitu dua yang bernama jangat,
dua bernama hudong-kudong, dua padua, dua patolu, dan terakhir adalah satu yang
77
bernama kenek-enek dan dimainkan dengan lima orang dengan cara di pukul
membrannya yang memakai kayu (daerah pakantan).
Gambar 15
Foto atas Gordang sambilan
Rotan yang dililitkan di tengah badan gordang sambilan
Sebagai pengganjal rotan yang diikatkan
Kulit atau membran
78
Gambar 16
Foto bawah gordang sambilan
Kayu tempat pengganjal rotan
Lobang gordang berdiameter 15 cm
79
Gambar 17
Pemain gordang sambilan
3.4.6 Tali Sasayak
tali sasayak adalah alat musik yang lagakan dengan badannya antaran satu
dengan satunya lagi. Tali sasayak ini terdiri dari dua buah yang di tengahnya
berbentuk cekung dan diikat dengan tali yang di sambungkan dengan yang satunya
lagi. Tali sasayak terbuat dari plat ataupun besi yang dimainkan dengan satu orang.
Cara memainkannya yaitu tangan kanan memegang yang satu serta tangan kiri
memegang yang satunya lagi kemudian cara membunyikannya yaitu dengan
melagakan badan tali sasayak tersebut dan talinya dililitkan di sela-sela jari agar
ketika dilagakan tali sasayak tidak jatuh.
80
Gambar 18
Cara memainkanTali sasayak
Gambar 19
Cara memainkan tali sasayak
81
Gambar 20
Pemain ensambel gordang sambilan
3.5 Fungsi Gordang Sambilan di dalam perkawinan
Gordang Sambilan mempuyai fungsi di dalam upacara perkawinan.
Menurut Merriam (1964 : 219-227), ada 10 fungs i dan peranan musik dalam
kebudayaan yaitu : (1) sebagai hiburan,(2) sebagai perlambang, (3) sebagai
media komunikasi, (4) sebagai estetis, (5) sebagai reaksi jasmani, (6) sebagai
pengungkapan emosional, (7) sebagai pengintegrasian masyarakat, (8) sebagai
kesinambungan masyarakat, (9) sebagai pengesahan lembaga- lembaga sosial, serta
(10) fungsi musik yang berkaitan dengan norma-norma sosial.
Dengan memperhatikan teori tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
terdapat 4 fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan masyarakat
mandailing, yaitu:
1. Fungsi hiburan, yaitu masyarakat mandailing yang mengadakan gordang
sambilan didalam upacara adat perkawinan akan terhibur dengan adanya
82
gordang sambilan karena gordang sambilan untuk menghibur kepada
masyarakat yang hadir didalam pesta tersebut.
2. Fungsi pengesahan lembaga sosial, adanya gordang sambilan yang
diadakan menjadi symbol bahwa sahnya berjalan upacara perkawinan.
3. Fungsi sebagai kesunambungan masyarakat, kegiatan gordang sambilan
merupakan kegiatan yang merupakan untuk mempertahankan dan
melanjutkan tradisi yang ada pada kebudayaan Mandailing.
4. Fungsi pengungkapan emosional, yaitu kegiatan yang dilakukan pada
gordang sambilan berdasarkan pengungkapan perasaan dan ekspresi
bahagia yang dituangkan pada suatu wadah, yaitu gordang sambilan.
3.6 Peranan dan Fungsi Gordang Sambilan sebagai Pengiring Tari Sarama
tari sarama adalah tari yang berasal dari kebudayaan Mandailing, dimana
tari tersebut dibawakan oleh seorang laki-laki atau disebut dengan panyarama. Tari
sarama umumnya disaat bermain akan dimasuki oleh roh-roh atau disebut dengan
kesurupun yang bertujuan untuk menghormati kepada roh-roh nenek moyang.
Dalam konteks tari sarama, gordang sambilan mempunyai peranan
dan fungsi. Dalam segmen ini, penulis menggunakan sebagian teori yang
dikemukakan Merriam tentang fungsi musik dalam kebudayaan ditambah dengan
teori pertunjukan yang dikemukakan oleh Milton singer. Menurut Singer untuk
mendeskripsikan suatu pertunjukan maka seorang penelit i harus melihat tujuh
aspek yang berkaitan, yaitu (1) waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, (2)
adanya awal dan akhir pertunjukan, (3) acara kegiatan yang terorganisasi, (4)
sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7)
83
kesempatan untuk mempertunjukannya. Pada bagian ini, penulis akan
mendeskripsikan Tari sarama secara umum.
Tari sarama dilakukan bertujuan untuk menghormati kepada leluhur nenek
moyang Mandailing dimana pembawanya adalah kaum laki-laki dan biasanya
seorang laki-laki saja untuk menari sarama. Perlengkapan untuk melakukan tari
sarama yaitu peci yang di pakai dikepala, sarung yang dipakai di pinggang, baju
adat mandailing yang berwarna merah, putih, dan hitam yang bersimbol adat
mandailing, dan hulos yang diselempangi di leher.
Gambar 21
Tari sarama pada pesta perkawinan adat Mandailing
84
Untuk melakukan tari sarama harus dari perestuan dari pemain gordang dan
yang mengadakan pesta. Karena didalam mengadakan tari sarama harus ada
seorang datu (dukun) untuk mengetahui si penari sarama. Begitu juga dengan
pemain gordang sambilan harus mempunyai tenaga kuat memukul gordang
sambilan di karenakan ritme yang dihasilkan gordang sambilan sangat berpengaruh
dengan panyarama. Kalau tidak suka dengan pukulan gordang sambilan terlalu
pelan dan tidak sesuai dengan pukulan gordang si panyarama akan mengamuk dan
meminta menggantikan si pemain.
Gambar 22
Panyarama saat mengamuk pada pemain gordang sambilan di pesta perkawinan adat Mandailing
Setelah panyarama ingin menyadarkan diri seorang datu akan menghampiri
dan menanyakan apa yang diminta oleh seorang penyarama. Yang diminta adalah
burangir (sirih). Karena burangir didalam adat Mandailing memegang peranan
penting bagi melaksanakan adat. Setelah ditunjukan burangir dihadapan panyarama
barulah tidak berapa lama sipanyarama menyadarkan diri.
85
Gambar 22 Seorang datu memberi permintaan si panyarama yaitu burangir
Gambar 23 Burangir
Adapun fungsi dan peranan pertunjukan tari sarama dan Gordang Sambilan
tersebut berdasarkan teori Merriam, yaitu:
1. sebagai alat untuk melanjutkan tradisi dan cirri khas masyarakat Mandailing
melalui kesenian pertunjukan tari sarama
2. sebagai wadah untuk menghibur tamu dan masyarakat yang hadir pada
acara perkawinan tersebut.
86
3. Sebagai ungkapan emosional pada permainan gordang sambilan dan
gerakan tarian sarama yang dilakukan.
4. Sebagai wadah pesan kepada penonton yang hadir untuk memperliatkan
kesenian tradisional Mandailing.
Didalam permain gordang sambilan pada sebagai pengiring tari sarama,
tidak ada perbedaan teknik yang menonjol jika dibandingkan pada saat gordang
sambilan dimainkan untuk menyambut tamu. Yang membedakan yaitu durasi
lamanya permainan gordang sambilan. Biasanya lebih lama pada saat gordang
sambilan sebagai pengiring tari sarama, karena ketergantungan kepada penari
yang akan ingin sadar. Menurut Bapak Ridwan Amanah Nst panyarama bisa
saja sampai dua jam tergantung pada panyarama yang sedang di masuki roh
halus.
87
BAB IV
TRANSKRIPSI GORDANG SAMBILAN
4.1 Transkripsi
Transkripsi dalam etnomusikologi merupakan suatu proses penotasian
bunyi menjadi simbol-simbol yang dapat dilihat atau diamati dari suara, dan
simbol-simbol tersebut disebut dengan notasi. Dalam segi analisis, penulis
menggunakan salah satu teori yang dikemukakan oleh Malm dalam terjemahan
Takari (1993:13), yait u sebagian teori weighted scale ditambah dengan sesuatu
yang berhubungan dengan waktu. Penulis akan menganalisa bagian-bagian
seperti ketukan dasar, ritme, dan birama yang ada pada Gordang Sambilan
tersebut.
Penulis akan meneliti pada saat Gordang Sambilan dimainkan di pesta
perkawinan adat Mandailing di Kota Medan yang beralamatkan gang Suka
Siderejo simpang limun pada tangga 17 – 19 Mei 2013 dirumah Bapak Drs. H.
Syamsuddin Lubis yang menikahi anaknya yang bernama Faisal Alif
Parlindungan Lubis. SE.AK dengan Dr. Putri Purnama Sari.
4.2 Transkripsi Gordang Sambilan pada Upacara Perkawinan
Berikut ini adalah hasil selengkapnya musik Gordang Sambilan dalam
konteks upacara tersebut. Adapun simbol-simbol dan notasi dibuat sendiri menurut
persepsi musikal dari penulis. Penotasian Gordang Sambilan ini dibantu oleh Brian
Laso Harefa.
88
Ensambel Gordang Sambilan pada Pesta Perkawinan di Medan
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
Momongan
Panolongi dan 3 3 3 3
Ikong-ikong Pamalusi 3 3 3 3 Doal x x xx x
Tali sasayak 3 3 3 3 Gong 3 3 3 x
Keterangan :
x : pukul y : istirahat ½ ketuk
o : angkat 3 : istirahat 1 ketuk
Berdasarkan teori yang dikemukan malm tentang musik dan waktu,
penulis menganalisis segi ketukan, ritme, birama, pulsa, peran alat musik dan
99
dinamika. Adapun analisis tersebut yaitu:
a. Enek-enek
xxxx xxxx xxxx xxxx
keterangan :
x : pukul = harga ritme ¼ ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk didalamnya
Hasil analisis enek-enek didalam Gordang Sambilan yaitu:
- enek-enek sebagai penahan tempo dan pulsa
- enek-enek tidak memainkan variasi terhadap Gordang Sambilan tetapi
sebagai pengisi
- enek-enek memainkan ritme ¼ ketuk
b. Patolu
patolu 1 ox ox ox ox
patolu 2 xo xo xo xo
keterangan :
x : pukul = harga ritme ½ ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk didalamnya
Hasil analisis patolu didalam Gordang Sambilan yaitu
- bunyi yang di hasilkan patolu call and respon, dimana kedua patolu
tersebut saling sahut menyahut
- kedua patolu tersebut mengeluarkan ritme yang sama
c. Padua
padua 1 xo xo xo xo
100
padua 2 ox ox ox ox
keterangan :
x : pukul = harga ritme ¼ ketuk
o : angkat = harga ritme ¼ ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk
- bunyi yang dihasilkan padua call and respon, dimana kedua padua
tersebut saling sahut menyahut
- kedua padua tersebut mengeluarkan ritme yang sama
- didalam Gordang Sambilan padua sebagai pengisi
d. Hudong-Kudong
hudong 1 yo xo xo xo
kudong 2 ox ox ox ox
keterangan :
x : pukul = harga ritme ¼ ketuk
y : istirahat ½ ketuk
o : angkat = harga ritme ¼ ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk
- Bunyi yang dihasilkan hudong kudong adalah call and respon, dimana
keduanya tersebut saling sahut menyahut
- Kedua hudong-kudong mengeluarkan ritme yang sama
- Didalam Gordang Sambilan hudong-kudong sebagai pengisi
e. Jangat
Jangat 1 xo x xoxo xo
Jangat 2 ox o oxox ox
101
Keterangan :
x : pukul = harga ritme ½ ketuk
o : angkat = harga ritme ½ ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk
- Bunyi yang dihasilkan jangat adalah cal and respon, dimana keduanya
saling sahut menyahut
- Didalam Gordang Sambilan jangat adalah sebagai pengisi
- setelah keempat gordang telah dimainkan yaitu enek-enek, patolu, padua
dan hudong-kudong baru jangat bisa dimainkan karena keempat gordang
tersebut merupakan sebagai pengisi sementara jangat adalah sebagai
variasinya
f. Momongan
Panolongi dan x yxx x x Ikong-ikong Pamulusi x x x x 3
Keterangan :
x : pukul 3 : istirahat 1 ketuk
y : istirahat ½ ketuk
didalam 1 birama terdapat 4 ketuk
- Bunyi Momongan yang diperankan oleh panolongi dan ikong-ikong
dihasilkan bergaya call and respon, dimana kedua tersebut saling sahut
menyahut kecuali doal.
- ketiga Momongan tersebut mempunyai frekuensi nada yang
berbeda, sehingga mengeluarkan bunyi yang bervariasi.
- ketiga Momongan tersebut mengeluarkan rit me yang bervariasi
102
memberikan kesan yang penuh dengan improvisasi rit me.
g. Tali Sasayak
x xx x xx
keterangan :
x : pukul harga ritme ¼ ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk\
- Bunyi yang dihasilkan tali sasayak adalah bunyi yang dilagakan dengan
badannya sendiri
- Tali sasayak didalam Gordang Sambilan sebagai pengiring
h. Ogung/ gong
x 3 x 3
keterangan :
x : pukul 2 ketuk
3 : istirahat 2 ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk
- gong boru hanya dipukul 1 kali didalam birama dan gong jantan sama
juga dengan gong boru hanya sekali dipukul didalam 1 birama
103
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis
mengambil beberapa kesimpulan yang di rangkum bahwa setiap penamaan
Gordang Sambilan selalu berbeda-beda berdasarkan asal daerah dan begitu juga
jumlah pemainnya seperti Pakantan, Huta pungkut dan Tamian tetapi bentuk dan
jumlah Gordang Sambilan sama pada pelaksanaan perkawinan adat Mandailing di
Kota Medan
Upacara adat Mandailing yang diselenggarakan di Kota Medan pada
dasarnya sama dengan upacara adat perkawinan yang ada di Mandailing Natal
khusus yang menyelenggarakan Gordang Sambilan yang sama-sama terlebih
dahulu meminta izin kepada Raja melalui Markobar (musyawarah) itupun harus
menyembelih minimal seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur. Perubahan
yang terjadi meliputi waktu dan tempat upacara dan proses pelaksanaanya.
Dari sudut fungsional Gordang Sambilan yang dilaksanakan pada pesta
perkawinan adat Mandailing adalah (a) Fungsi hiburan, yaitu masyarakat
Mandailing yang mengadakan gordang sambilan didalam upacara adat perkawinan
akan terhibur dengan adanya gordang sambilan karena gordang sambilan untuk
menghibur kepada masyarakat yang hadir didalam pesta tersebut. (b) Fungsi
pengesahan lembaga sosial, adanya gordang sambilan yang diadakan menjadi
symbol bahwa sahnya berjalan upacara perkawinan. (c) Fungsi sebagai
kesunambungan masyarakat, kegiatan gordang sambilan merupakan kegiatan yang
merupakan untuk mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang ada pada
104
kebudayaan Mandailing. (d) Fungsi pengungkapan emosional, yaitu kegiatan yang
dilakukan pada gordang sambilan berdasarkan pengungkapan perasaan dan ekspresi
bahagia yang dituangkan pada suatu wadah, yaitu gordang sambilan.
5.2 Saran
Didalam tulisan ini mempunyai beberapa saran kepada masyarakat pembaca
lainnya baik etnis Maindailing maupun diluar etnis Mandailing itu sendiri, yaitu
menyarankan agar Gordang Sambilan tetap dipertahankan ekstensinya karena
sudah saatnya hasil dari kebudayaan khsususnya Gordang Sambilan untuk
ditingkatkan sebagai usaha pendokumentasian agar pengembangan kekayaan
budaya tersebut tidak hilang ditelan oleh zaman.
Didalam kesempatan ini, penulis juga menyarankan agar alat musik
Gordang Sambilan dapat dimasukan sebagai mata pelajaran kesenian yang ada di
sekolah-sekolah dan tingkat menengah, khususnya yang berada di daerah Sumatera
Utara dan juga di lembaga-lembaga kesenian ataupun badan-badan yang bergerak
di bidang kebudayaan agar dapat turut serta membudayakan penggunaan alat musik
ini sebagai sarana pendidikan untuk mempelajari Gordang Sambilan sebagai usaha
pelestarian.
105
DAFTAR INFORMAN
Nama : Ridwan Amanah Nst
Umur : 53 Tahun
Alamat : jl. Pancing gg taqwa no 34 C indra kasih Medan
Pekerjaan : pemain musik
Nama : Ucok Dagar Lubis
Umur : 50 Tahun
Alamat : gang jawa no 7 bandar selamat Medan
Pekerjaan : pemain musik
Nama : Adi Lubis
Umur : 45 Tahun
Alamat : jl kenari sampali no 35 Medan
Pekerjaan : pemain musik
Nama : Ardi Nst
Umur : 23 Tahun
Alamat : jl. Pancing gg taqwa no 34 C indra kasih Medan
Pekerjaan : pemain musik
106
Nama : Ibrahim Lubis
Umur : 64 Tahun
Alamat : jl karya Medan
Pekerjaan : wiraswasta
107
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman
Medan : Forkala Provinsi Sumatera Utara
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi. Jakarta : rineka cipta.
, 2001. Kesimpulan Seminar Adat Mandailing. Medan.
Siregar, Syafaruddin. 1988. Studi Deskriptif Organologi Alat Musik Gondang Bulu pada masyarakat Mandailing. Medan.
Matondang, Ibnu Avena. 2005. Tek-Tek Ni Gondang Somba Mula Ni Tortor . Medan
Lubis, Z Pangaduan dan Zulkifli Lubis. 1989. Sipirok Na Soli, Bianglala Kebudayaan Masyarakat sipirok. Medan : USU Pres
Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Malm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and Asia (terjemahan).
Medan: Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Merriam, Alan P. 1964. Antrology of Music. Chicago: Northwestern University
Press.