analisis ekspektasi inflasi indonesia pasca itf file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti...
TRANSCRIPT
WORKING PAPER WP/09/2008
Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF
Muslimin Anwar Tevy Chawwa
Mei 2008
ii
Analisis Ekspektasi Inflasi Paska ITF
Muslimin Anwar dan Tevy Chawwa1
Working Paper No.09 Juni 2008
ABSTRAKS
Ekspektasi inflasi masyarakat merupakan faktor kunci dalam perumusan kebijakan moneter guna
mencapai target inflasi yang rendah dan stabil sesuai dengan tujuan penerapan Inflation Targeting
Framework (ITF.) Dengan menggunakan data survey triwulanan di pasar barang dan pasar uang, periode
2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang
dan pasar uang Indonesia sebelum dan sesudah penerapan ITF.
Pertama, meskipun data survei tidak selalu akurat sebagai alat prediktor tingkat inflasi, namun
tetap mampu menyajikan informasi yang berharga mengenai tekanan inflasi jangka pendek. Kedua,
estimasi ekspektasi inflasi di pasar barang (Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), survei pedagang eceran
(SPE), survei konsumen (SK), dan survei persepsi pasar (SPP)), menghasilkan informasi yang berbeda-beda,
dimana SPP relatif lebih dapat mencerminkan rentang sasaran inflasi dan inflasi aktual. Ketiga,
membandingkan hasil estimasi ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di Pasar uang diperoleh bukti bahwa
estimasi di Pasar Uang paling mendekati nilai aktualnya. Keempat, penerapan ITF telah mengarahkan
ekspektasi inflasi agen ekonomi sesuai dengan sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah atas
rekomendasi Bank Indonesia.Kelima, strategi penetapan kebijakan moneter yang dilakukan oleh BI telah
mengikuti best practices yang juga dilakukan oleh bank sentral negara lain untuk mengarahkan
ekspektasi masyarakat/pasar agar sesuai dengan target inflasi.
JEL classification: E31, C42, D84
Keywords: Inflation, Surveys, Expectations
1 Peneliti Ekonomi di Biro Riset Ekonomi (BRE), Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKM), Bank Indonesia. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada Bpk. Wijoyo Santoso dan rekan-rekan DSM dan BRE, yang telah memberikan dukungan dan
informasi. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak merefleksikan pandangan DKM atau Bank
Indonesia. Kesalahan atau kekeliruan yang ada adalah semata-mata kesalahan penulis: [email protected] , [email protected]
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAKS ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
1. PENDAHULUAN 1
2. STUDI PUSTAKA 5
3. Perkiraan Ekspektasi Inflasi di Indonesia 9
3.1 Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) 9
3.2 Survei Persepsi Pasar (SPP) 10
3.3 Survei Konsumen (SK) 11
3.4 Survei Penjualan Eceran (SPE) 12
3.5 Yield Surat Utang Negara (SUN) 12
3.6 Consensus Forecast 13
4. LANDASAN TEORI 13
4.1 Kurva Philips 14
4.2 Ekspektasi Rasional 16
5. DATA dan METODOLOGI 18
6. ANALISIS EMPIRIS 19
6.1 Ekspektasi Inflasi di Pasar Barang 19
6.1.1 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha 19
6.1.2 Hasil Survei Persepsi Pasar 24
6.1.3 Hasil Survei Konsumen 25
6.1.4 Hasil Survei Penjualan Eceran 27
6.2 Ekspektasi Inflasi di Pasar Uang 28
6.2.1 Perkembangan Yield Surat Utang Negara (SUN) 28
6.2.2 Consensus Forecast 29
6.3 Evaluasi Berbagai Data Ekspektasi Inflasi 30
6.4 Studi Banding Negara Lain 31
6.4.1 Ekspektasi Inflasi di Pasar Barang dan Pasar Uang 31
6.4.2 Perbandingan Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Bank Sentral 33
7. PENUTUP 34
7.1 Kesimpulan 34
7.2 Implikasi Kebijakan 35
Daftar Pustaka 36
LAMPIRAN 37
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Ekspektasi Harga Jual SKDU dan Inflasi Aktual ........................................................ 46 Gambar 2 Penyebab Utama Ekspektasi Harga Jual Meningkat ................................................. 46 Gambar 3 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SKDU dan Inflasi Aktual ......................................... 46 Gambar 4 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SPP Triwulanan dan Inflasi Aktual ........................... 47 Gambar 5 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SPP dan Inflasi Aktual Akhir Tahun ......................... 47 Gambar 6 Perbandingan Ekspektasi Harga SK dan Kenaikan Harga Aktual .............................. 47 Gambar 7 Perbandingan Ekspektasi Harga SPE dan Kenaikan Harga Aktual 3 Bulan ke Depan 48 Gambar 8 Perbandingan Ekspektasi Harga SPE dan Kenaikan Harga Aktual 6 Bulan ke Depan 48 Gambar 9 Perbandingan Yield SUN 1 tahun dan Inflasi Aktual ................................................ 48 Gambar 10 Perbandingan Yield SUN 2 tahun dan Inflasi Aktual .............................................. 49 Gambar 11 Perbandingan Consensus Forecast dan Inflasi Aktual ............................................. 49 Gambar 12 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di Australia ............................................................... 50 Gambar 13 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di New Zealand ........................................................ 50 Gambar 14 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di Filipina .................................................................. 50 Gambar 15 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Indonesia ................................................. 51 Gambar 16 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Filipina ..................................................... 51 Gambar 17 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Thailand .................................................. 51 Gambar 18 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Malaysia ................................................. 52 Gambar 19 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Singapore ............................................... 52 Gambar 20 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Korea ...................................................... 52 Gambar 21 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Australia ................................................. 53
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Contoh Hasil Survei SKDU – Prakiraan Harga Jual ....................................................... 37 Tabel 2 Contoh Hasil Survei SKDU – Ekspektasi Inflasi ........................................................... 37 Tabel 3 Contoh Hasil Survei Persepsi Pasar – Ekspektasi Indikator Ekonomi .............................. 38 Tabel 4 Contoh Hasil Survei Konsumen – Ekspektasi Harga ..................................................... 38 Tabel 5 Contoh Hasil Survei Penjualan Eceran – Ekspektasi Harga ............................................ 40 Tabel 6 Contoh Hasil Consensus Forecast ................................................................................ 40 Tabel 7 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga Jual SKDU .................................................... 41 Tabel 8 RMSE dan Volatilitas Ekspektasi Inflasi SKDU ............................................................... 41 Tabel 9 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga Jual SPE ........................................................ 42 Tabel 10 RMSE Consensus Forecast ........................................................................................ 42 Tabel 11 Perbandingan Data Ekspektasi Inflasi ......................................................................... 42 Tabel 12 Perbandingan Evaluasi Ekspektasi Inflasi Negara Lain ................................................. 43 Tabel 13 Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Negara Lain, 1 ............................................. 44 Tabel 14 Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Negara Lain, 2 ............................................. 45
1
1. PENDAHULUAN
Ekspektasi inflasi memainkan peran penting dalam pembentukan inflasi sebagai
konsekuensi logis dari aktivitas perekonomian suatu negara. Keputusan ekonomi suatu
rumah tangga, perusahaan, atau pembuat kebijakan sangat tergantung pada bagaimana
ekspektasi mereka terhadap kondisi ekonomi mendatang. Ekspektasi inflasi menjadi salah
satu landasan utama kebanyakan agen ekonomi dalam menetapkan harga dan upah yang
pada akhirnya mempengaruhi keputusan konsumsi dan investasi.
Hutabarat (2005), dengan menggunakan model makroekonomi SSMX (Small-Scale
Macroeconomic model extended) menemukan bahwa ekspektasi inflasi masyarakat
Indonesia pada periode 1999-2004 sangat mendominasi pembentukan inflasi dibandingkan
variable ekonomi lainnya seperti output gap, administered price, supply shocks, dan nilai
tukar. Selain itu, berdasarkan dekomposisi inflasi di Indonesia pada tahun 2007, Bank
Indonesia (2008) mendapati bahwa ekspektasi inflasi memiliki porsi 56,8%. Angka ini jauh di
atas persentase variable volatile foods, output gap, supply shocks, dan nilai tukar. Jadi,
tidaklah mengherankan apabila ekspektasi inflasi menjadi bagian yang penting untuk
diperhitungkan dalam memperkirakan inflasi mendatang.
Hal itu ternyata sesuai dengan konsep Inflation Targeting. Menurut konsep ini,
perumusan dan analisis dampak dari kebijakan moneter Bank Sentral dilakukan dengan
memasukkan faktor ekspektasi inflasi. Bank Indonesia secara resmi mengimplementasikan
Inflation Targeting Framework (ITF) pada bulan Juli tahun 2005 dalam rangka mencapai
tujuan inflasi yang rendah dan stabil.
Ekspektasi inflasi dapat dibentuk diantaranya melalui pengumuman kepada publik
mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan serta
kebijakan yang diambil bank sentral dalam pencapaian target tersebut. Jika Bank sentral
sangat kredibel di mata agen ekonomi, maka agen ekonomi sangat percaya bahwa bank
sentral akan melakukan tindakan yang tepat dalam mengendalikan inflasi ketika inflasi mulai
bergerak menjauh dari sasaran inflasi yang ditetapkan.
Dalam situasi tersebut, ekspektasi inflasi mereka tidak akan bergerak liar, namun
terpatri pada tingkat yang sesuai dengan tujuan Bank Sentral dalam menjaga stabilitas
harga. Penetapan harga dan upah cenderung mengikuti koridor target inflasi yang
ditetapkan bank sentral dan kurang responsif terhadap fluktuasi inflasi sesaat. Hal ini sangat
membantu bank sentral, karena otoritas moneter dapat mengabaikan volatilitas harga
jangka pendek dan lebih cenderung mengambil pendekatan jangka menengah-panjang
dalam mengendalikan inflasi.
2
Sebaliknya, menjaga stabilitas harga menjadi lebih sulit jika Bank Sentral tidak
kredibel di mata agen ekonomi. Dalam situasi seperti itu, wajar apabila dalam banyak
kesempatan ekspektasi inflasi masyarakat tidak sesuai dengan tujuan kebijakan moneter.
Masyarakat acapkali mendiskon kebijakan moneter, disebabkan ketidakkonsistenan bank
sentral terhadap kebijakannya di masa lalu.2 Keinginan Bank Sentral untuk menstabilkan
harga seringkali bertumbukan dengan ekspektasi inflasi masyarakat yang cenderung tinggi
dan tak bergeming terhadap kebijakan moneter. Anglingkusumo dan Wuryandani (2003)
menemukan bukti bahwa variabel kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah merupakan
determinan utama dalam pembentukan ekspektasi inflasi.
Dalam banyak situasi, ekspektasi inflasi masyarakat yang tinggi ini dapat direfleksikan
dalam bentuk permintaan upah dan harga yang tinggi, dan bahkan pada suatu saat tertentu
masyarakat cenderung mempercepat keputusan belanja konsumsinya, sehingga pada
akhirnya menambah tekanan inflasi. Mengendalikan inflasi dalam situasi yang demikian
mendorong bank sentral untuk menelurkan kebijakan moneter yang lebih agresif untuk
meyakinkan para penentu harga dan upah yang skeptis bahwa tingkat harga akan stabil.
Respon kebijakan moneter yang agresif, dengan cara menyesuaikan suku bunga
acuan ke atas tersebut, mungkin saja memiliki dampak yang berbeda dalam mempengaruhi
perilaku agen ekonomi. Hal itu tergantung pada ekspektasi masyarakat terhadap inflasi.
Sayangnya, ekspektasi inflasi tidak dapat diobservasi secara langsung. Ekspektasi harus
diinterpretasikan dalam berbagai cara. Salah satu cara yang paling umum adalah dengan
melakukan survei. Survei ekspektasi inflasi menanyakan responden mengenai harapan
mereka terhadap inflasi di masa datang.
Survei-survei yang mengukur ekspektasi inflasi tersedia luas, namun apakah mereka
merupakan representasi yang baik dari kejadian sesungguhnya merupakan hal yang patut
dipertanyakan. Tidaklah jelas benar bagaimana tanggapan para responden tersebut mampu
merefleksikan ekspektasi masyarakat sesungguhnya ketika mereka pada akhirnya mengambil
keputusan transaksi ekonominya. Ranchhod (2003) menyatakan bahwa survei yang
mengukur ekspektasi inflasi seringkali tak mampu mengikuti inflasi yang sesungguhnya,
terkadang menghasilkan kesalahan perkiraan yang besar. Lebih jauh lagi, ia menyatakan
bahwa survei yang mengukur ekspektasi inflasi seringkali lebih mampu mengukur secara
lebih baik inflasi saat ini atau inflasi masa lalu dibandingkan dengan inflasi yang akan datang
(forward-looking). Kenyataan ini menambah pertanyaan mengenai kegunaan mereka
sebagai proksi untuk ekspektasi yang sesungguhnya.
2 Lihat Barro and Gordon (1983) dan Kydland and Prescott (1977).
3
Meskipun demikian, sampai saat ini bank sentral di seluruh dunia, termasuk Bank
Indonesia, masih menganggap kegiatan survei adalah salah satu alat terbaik untuk
mengukur ekspektasi masyarakat mengenai inflasi. Bank Indonesia secara berkala melakukan
perkiraaan ekspektasi inflasi baik di pasar barang maupun di pasar uang. Dalam
memperkirakan ekspektasi inflasi di pasar barang, selama ini telah digunakan berbagai survei
seperti Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), survei pedagang eceran (SPE), survei konsumen
(SK), dan survei persepsi pasar (SPP). Sebagai contoh, dalam SKDU terdapat pertanyaan
mengenai bagaimana perencana bisnis melihat perekonomian ke depan. Dari sini dapat
diketahui persepsi pelaku usaha, baik yang optimis maupun pesimis terhadap perekonomian
nasional dalam kurun waktu berjalan.
Selain menggunakan hasil survei di Pasar barang untuk mengetahui ekspektasi
masyarakat mengenai inflasi, otoritas monetar di dunia juga menggunakan hasil pengukuran
ekspektasi inflasi di pasar uang. Perkiraan ekspektasi inflasi di Pasar uang yang dilakukan
oleh Bank Indonesia selama ini adalah dengan menggunakan pendekatan yield curve dari
Surat Utang Negara (SUN) dan Consensus Forecast.
Keberhasilan implementasi ITF dan kredibilitas bank sentral dapat dilihat antara lain
dari pembentukan ekspektasi di masyarakat yang berubah dari semula bersifat backward
looking menjadi forward looking dengan merujuk pada target inflasi bank sentral. Untuk
meyakinkan hal tersebut, dipandang perlu untuk mengetahui lebih jauh apakah para pelaku
ekonomi telah memakai target inflasi sebagai referensi mereka dalam menetapkan harga
barang atau jasa.
Sejalan dengan hal tersebut, adalah penting dan bermanfaat pula untuk mengetahui
apakah estimasi ekspektasi inflasi yang selama ini dirumuskan mampu mencerminkan
ekspektasi pelaku pasar sesungguhnya, sehingga dapat disimpulkan arah kebijakan moneter
selama ini sudah benar. Untuk mendukung hal tersebut maka dipandang perlu untuk
membandingkan antara perkiraan yang selama ini BI lakukan dengan fakta di lapangan atau
nilai riilnya, serta penyebab deviasi tersebut.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (i) Meneliti
seberapa jauh estimasi ekspektasi inflasi, baik di pasar barang maupun pasar uang, yang
telah dilakukan oleh Bank Indonesia selama ini sesuai dengan nilai aktual; (ii)
membandingkan hasil estimasi ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di Pasar uang untuk
menentukan estimasi mana yang paling mendekati nilai aktualnya; (iii) meneliti seberapa
jauh pelaku pasar mengikuti target inflasi yang ditetapkan pemerintah dan Bank Indonesia
selama ini; (iv) melakukan benchmarking strategi yang dilakukan bank sentral negara lain
untuk mengarahkan ekspektasi masyarakat/pasar agar sesuai dengan target inflasi.
4
Dalam mencapai tujuan penelitian dimaksud, kami menggunakan data triwulanan3
semenjak ITF diberlakukan pada bulan Juli tahun 2005. Beberapa hasil temuan dari
penelitian ini cukup menarik untuk dikemukakan. Pertama, meskipun data survei tidak selalu
akurat sebagai alat prediktor tingkat inflasi, namun tetap mampu menyajikan informasi yang
berharga mengenai tekanan inflasi dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan karena hasil
survei menyajikan informasi faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi perubahan tingkat
inflasi.
Kedua, estimasi ekspektasi inflasi di pasar barang (Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU), survei pedagang eceran (SPE), survei konsumen (SK), dan survei persepsi pasar (SPP)),
menghasilkan informasi penting yang berbeda-beda, sehingga perlu diberi perhatian yang
sama dalam perumusakan kebijakan moneter. SPP relatif lebih dapat mencerminkan rentang
sasaran inflasi dan inflasi aktual. Namun demikian, SPP cenderung menggambarkan interval
sedangkan SKDU lebih menggambarkan point/level. Hal inilah yang menjadikan sasaran
inflasi dan inflasi aktual lebih sering berada di dalam interval ekspektasi inflasi dalam hasil
SPP. Hasil temuan ini merekomendasikan agar dalam merumuskan kebijakan moneter
selanjutnya BI perlu memberikan perhatian yang sama terhadap hasil SKDU dan SPP
sebagaimana yang dilakukan selama ini terhadap hasil SK dan SPE dalam merumuskan
bahan Rapat Dewan Gubernur (RDG).
Ketiga, hasil SKDU menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas sasaran
inflasi, dengan selisih yang cenderung menurun semenjak penerapan ITF. Keempat, hasil
SKDU juga menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas inflasi aktual akhir
tahun, kecuali pada tahun 2005 sebagai dampak dari kenaikan harga BBM sebesar 120
persen. Kelima, selisih antara ekspektasi inflasi dan inflasi aktual akhir tahun semakin kecil
semenjak akhir tahun 2005 sampai dengan akhir tahun 2007. Keenam, penerapan ITF telah
mengarahkan ekspektasi inflasi agen ekonomi sesuai dengan sasaran inflasi yang ditetapkan
oleh pemerintah atas rekomendasi Bank Indonesia. Hal ini sebagai dampak dari temuan
nomor lima di atas.
Ketujuh, estimasi ekspektasi inflasi di pasar uang, yang telah dilakukan oleh Bank
Indonesia selama ini masih sedikit di bawah nilai aktualnya.
Kedelapan, membandingkan hasil estimasi ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di
Pasar uang diperoleh bukti bahwa estimasi di Pasar Uang paling mendekati nilai aktualnya.
Kesembilan, sejauh ini pelaku pasar sudah mulai mengikuti target inflasi yang
ditetapkan pemerintah dan Bank Indonesia. Strategi penetapan kebijakan moneter yang
dilakukan oleh BI telah mengikuti best practices yang juga dilakukan oleh bank sentral
3 Atau data bulanan bila data triwulanan tidak tersedia.
5
negara lain untuk mengarahkan ekspektasi masyarakat/pasar agar sesuai dengan target
inflasi.
Dalam penjabarannya, paper ini dibagi menjadi 6 bagian. Pada bagian pertama berisi
pendahuluan mengenai latar belakang pentingnya ekspektasi inflasi dalam pembentukan
inflasi, tujuan dan sistematika pembahasan. Selanjutnya dilakukan studi literatur berbagai
penelitian mengenai ekspektasi inflasi terutama yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia
dan beberapa literatur mengenai ekspektasi inflasi di negara lain. Pada bagian ketiga akan
dipaparkan penjelasan survei-survei dan sumber data ekspektasi inflasi yang digunakakan
Bank Indonesia. Pada bagian keempat dijelaskan mengenai metodologi dan data yang
digunakan. Pada bagian kelima dijelaskan analisa empiris perbandingan informasi ekspektasi
inflasi dari berbagai sumber, keterkaitannya dengan inflasi aktual dan target inflasi bank
sentral serta studi banding ekspektasi inflasi serta strategi komunikasi bank sentral di
beberapa negara lain. Pembahasan ditutup oleh kesimpulan serta rekomendasi kebijakan.
2. STUDI PUSTAKA
Ranchhod (2003) menyatakan bahwa kredibilitas bank sentral merupakan hal
penting untuk mencapai tujuan bank sentral dalam mengurangi inflasi. Ketika bank sentral
memiliki kredibilitas yang rendah dan masyarakat tidak mempercayai bahwa bank sentral
akan melaksanakan apa yang dikomunikasikan, maka ekspektasi inflasi masyarakat
cenderung menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan target bank sentral. Ekspektasi sektor
swasta ini akan mempengaruhi keputusan mereka terkait dengan besar upah dan
pembentukan harga, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap inflasi. Oleh karena itu,
ekspektasi masyarakat mengenai inflasi harus dipertimbangkan oleh bank sentral dalam
memformulasikan kebijakan moneter guna menjamin tercapainya tingkat inflasi yang
ditargetkan.
Berk (2000) menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam mengukur
ekspektasi inflasi masyarakat. Pendekatan pertama adalah dengan mencoba menyimpulkan
ekspektasi inflasi berdasarkan harga-harga instrumen di pasar keuangan (Bank of Canada,
1998; Mylonas and Schich, 1999)4. Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah dapat
merefleksikan ekspektasi dari agen ekonomi terhadap kondisi ke depan. Apabila terdapat
nominal bond dan index linked bond dengan resiko, likuiditas dan jangka waktu yang sama
maka secara prinsip sangat mungkin untuk memperoleh pengukuran yang akurat mengenai
4 Bank of Canada (1998), ‘Information in financial asset prices’, Bank of Canada, Ottawa dan Mylonas, P. and Schich, S.T. (1999), ‘The use of financial market indicators by monetary authorities’, OECD Economics Department Working Paper, 223. Dikutip dari Jan Marc Berk (2000) Consumers’ Inflation Expectations And Monetary Policy In Europe
6
ekspektasi inflasi berdasarkan perbandingan harga kedua jenis instrumen tersebut. Akan
tetapi dalam kenyataannya index-linked bonds sangat jarang diperdagangkan, sehingga
pada umumnya digunakan harga nominal bond yang umum walaupun informasi ekspektasi
inflasi tidak dapat dihitung secara jelas.
Pendekatan kedua adalah dengan menggunakan survei kepada publik mengenai
ekspektasi inflasi pada periode tertentu. Kelebihan dari pendekatan ini adalah hasil
ekspektasi inflasi yang diperoleh tidak terdistorsi oleh faktor-faktor lainnya atau dengan kata
lain hasil survei biasanya lebih otentik, obyektif dan jujur karena berasal dari sumber data
(responden) secara langsung melalui pertanyaan yang bersifat langsung. Akan tetapi
terdapat kemungkinan jawaban responden dalam survei tidak sama dengan keputusan
mereka dalam menaikan upah atau harga. Selain itu hasil survei sangat sensitif terhadap
sampling errors dan terhadap jenis pertanyaan yang disampaikan. Responden terkadang
tidak menjawab apa adanya tetapi apa yang sebaiknya
Wuryandari, Ikram, Handayani (2001)5 menganalisis faktor – faktor yang
mempengaruhi pembentukan ekspektasi inflasi dan peran ekspektasi inflasi sebagai salah
satu jalur transmisi kebijakan moneter. Pada tahap awal, mereka melakukan pengujian
terhadap beberapa kandidat proxy ekspektasi inflasi yaitu (i) asumsi inflasi dalam APBN, (ii)
data ekspektasi inflasi dari Survei Kegiatan Dunia Usaha yang dilakukan oleh Bank Indonesia,
(iii) data ekspektasi inflasi dari Survei Konsumen (iv) estimasi regresi linear dengan variabel
nilai tukar, suku bunga deposito 1 bulan dan inflasi, serta (v) estimasi berdasarkan suku
bunga (Fisher Theory) dengan menggunakan Vector Auto Regressive (VAR). Pemilihan
kandidat proxy dilakukan dengan 3 pendekatan yaitu secara grafis, uji korelasi, uji Granger
Causality serta uji OLS antara kandidat proxy tersebut dengan inflasi. Dari pengujian
diperoleh kesimpulan bahwa proksi terbaik untuk ekspektasi inflasi adalah data yang
dihasilkan oleh SKDU yang diinterpolasi menjadi data bulanan. Variabel pembentuk
ekspektasi inflasi diperoleh menggunakan Structural Vector Autoregressive (SVAR) dengan 3
alternatif model yaitu: (i) model with 3 variables : SBI, Expected Inflation, Inflation, (ii)
unchained transmission mechanism : Base Money, SBI, inter-bank call money, deposit
interest rate, exchange rate, expected inflation, GDP and inflation, (iii) model with 5 variables
: SBI, exchange rate, expected inflation, GDP and inflation,. Periode data dalam penelitian
adalah 1997 – 2000. Selain itu dilakukan survei terhadap rumah tangga dan perusahaan
untuk mengetahui perilaku mereka terkait dengan ekspektasi inflasi. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah bahwa ekspektasi inflasi berpengaruh terhadap pembentukan inflasi
walaupun perannya tidak sebesar variabel lain seperti inflasi periode sebelumnya (inertia).
5 Gantiah Wuryandani, Abdul Madjid Ikram, Diah Esti Handayani, Monetary Policy Transmission Through Inflation Expectation Channel, Bank Indonesia, 2001
7
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ekspektasi inflasi adalah nilai tukar, inertia dan
suku bunga.
Terkait dengan salah satu faktor yang mempengaruhi ekspektasi inflasi yaitu suku
bunga, Laksmono dkk(1999)6 melakukan pengujian terhadap berbagai spread suku bunga
untuk memperoleh informasi suku bunga yang memiliki kemampuan menjelaskan
pergerakan laju ekspektasi inflasi di Indonesia. Dalam penelitian tersebut dilakukan analisis
dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan grafik
perkembangan yield curve dari suku bunga deposito dan hubungannya dengan
perkembangan inflasi. Sementara analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
Granger Causality dan penyusunan model struktural untuk menganalisa kemampuan yield
suku bunga dalam menjelaskan pergerakan ekspektasi inflasi.Variabel yang digunakan
sebagai proxy expected inflation adalah CPI bulanan yang ditransformasi dalam bentuk
ekspektasi ke depan (annualized) dengan menggunakan rumus yang digunakan oleh Day
dan Lange (1997)7.
Hutabarat (2005) menemukan bahwa perilaku inflasi di Indonesia bersifat sangat
persisten terutama disebabkan oleh pola pembentukan ekspektasi inflasi yang masih
didominasi oleh inflasi masa lalu (ekspektasi adaptif). Menurutnya, pembentukan ekspektasi
inflasi ini banyak diwarnai oleh inflasi costpush atau supply shocks yang tinggi dan sering
terjadi, seperti kejutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi
berlebihan nilai tukar Rupiah serta kenaikan upah minimum yang melebihi inflasi. Ia
mendapati bahwa karakteristik inflasi tersebut tidak mengalami perbaikan pada pasca krisis,
baik ditinjau secara time series, distribusi lintas komoditi pembentuk inflasi, maupun
perbandingan dengan negara lain.
Anglingkusumo dan Wuryandani (2003) mendapati persepsi pelaku ekonomi
terhadap perkembangan perekonomian termasuk inflasi cenderung berubah sepanjang krisis
moneter. Sehingga proses pembentukan ekpektasi inflasi pelaku ekonomi juga berbeda
antara sebelum dan sepanjang krisis. Oleh karena itu, penelitian mengenai perubahan
perilaku ekspektasi inflasi masyarakat di masa krisis, perlu menjadi agenda taktis dalam
rangka mengupayakan efektifitas dan efisiensi pengendalian moneter. Berdasarkan hasil
penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu benchmark untuk mengukur ekspektasi
inflasi dimasa mendatang sebagai arahan bagi pelaksanaan kebijakan moneter.
Anglingkusumo dan Wuryandani (2003) mendapati adanya “expectation loop” dalam
pembentukan laju inflasi dan adanya proses backward maupun forward looking oleh pelaku
ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi dimasa krisis. Metodologi yang digunakan
6 Didy Laksmono R, Suhaedi,dkk, Suku Bunga sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi Inflasi, Bank Indonesia, 1999 7 πk,t = (1200/k)(log(Pt+k/Pt), dimana k = 1,3,6,12 bulan dan P adalah level dari CPI
8
adalah estimasi liniear sederhana untuk memperoleh taksiran ekspektasi dari masing-masing
variabel pembentuk ekspektasi inflasi. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) pengaruh laju
inflasi historis terhadap tekanan inflasi yang sedang berlangsung (inertia), (2) kredibilitas
kebijakan disinflasi pemerintah, dan (3) ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD secara historis,
sebagai komponen-komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking. Sedangkan
ekspektasi inflasi forward looking ditentukan oleh variabel yield spread dan forward rate
Rp/USD. Taksiran yang diperoleh dengan estimasi linear tersebut selanjutnya di estimasi
ulang dengan menggunakan neural network, untuk menangkap dampak bounded
rationality para pelaku pasar dalam pembentukan ekspektasi inflasi di masa krisis.
Kesimpulan penelitian mereka menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisis terdapat
ekspektasi inflasi yang mendekati inflasi aktual. Variabel kredibilitas kebijakan disinflasi
pemerintah merupakan determinan utama dalam pembentukan ekspektasi inflasi, disusul
kemudian oleh ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD dan laju inflasi secara historis. Dari hasil
simulasi ekspektasi inflasi dimasa krisis terlihat bahwa dalam bulan-bulan tertentu terdapat
indikasi deviasi yang cukup signifikan yang menunjukkan adanya ketidakpastian yang sangat
tinggi. Ketidakpastian tersebut terutama bersumber dari noise, seperti fenomena panic
buying di bulan Januari 1998 dan gejolak yang tidak terduga pada harga sembilan bahan
kebutuhan pokok (sembako) di bulan Juli 1998. Hal ini selanjutnya menunjukkan bahwa
tekanan inflasi karena meningkatnya gejolak sosial politik di bulan April dan Mei 1998 telah
sepenuhnya diantisipasi oleh pelaku ekonomi. Demikian pula dengan gejolak harga Sembako
di bulan Agustus dan September 1998.
Dari berbagai pengujian dalam paper ini disarankan otoritas moneter perlu memilah-
milah faktor-faktor pembentuk inflasi dari sisi moneter maupun non-moneter. Disamping itu
perlu pula ditetapkan target band inflasi moneter berikut leading indicator pemantaunya,
sebagai suatu langkah untuk mengendalikan inflasi secara preemptive oleh otoritas moneter.
Dalam rangka pengendalian laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan struktural dan
noise, otoritas moneter perlu melakukan koordinasi dengan departemen terkait.
Cerisola dan Glos (2005) melakukan regresi (OLS, GMM dan FMOLS) persamaan
reduced-form ekspektasi inflasi di Brazil yang terdiri dari faktor-faktor: target inflasi,
historikal inflasi, suku bunga, upah, primary surplus (anggaran fiskal) dan Real Effective
Exchange Rates (REER). Hasil ketiga regresi tersebut menyimpulkan bahwa antara tahun
2000-2004 faktor ekspektasi inflasi yang paling penting di Brazil adalah primary surplus
(backward looking) disusul dengan target inflasi (forward looking). Di dalam sejarahnya,
Brazil pernah mengalami hyperinflation yang disebabkan oleh besarnya defisit anggaran.
Pemerintah Brazil kemudian melakukan berbagai reformasi kebijakan fiskal, terutama
9
mengurangi defisit anggaran pemerintah yang tinggi. Pada akhirnya pengambil kebijakan
fiskal berhasil mencapai target inflasi yang ditetapkan.
Celasun, Gelos dan Prati (2003) melakukan dua macam regresi untuk Turki dengan
data 1995-2001 untuk menjelaskan konsensus forecast ekspektasi inflasi 12 bulan
kemudian. Regresi pertama mencoba menurunkan hubungan ekspektasi inflasi dengan
utilisasi kapasitas produksi, neraca fiskal, spread suku bunga, pertumbuhan uang beredar
dan perubahan kurs. Kemudian pada regresi kedua mencoba menurunkan hubungan
ekspektasi inflasi dengan utilisasi kapasitas produksi dan outstanding fiskal yang merupakan
bagian dari faktor-faktor regresi pertama. Regresi pertama menghasilkan bahwa utilisasi
kapasitas (0,917) dan perubahan kurs (0,629) merupakan faktor yang paling dominan.
Sedangkan regresi kedua menghasilkan bahwa ekspektasi neraca fiskal (-2,687) merupakan
faktor yang jauh lebih dominan dari pada faktor utilisasi kapasitas (-1,1333). Sehingga faktor
pembentuk ekspektasi terbesar di Turki adalah ekspektasi neraca fiskal.
3. Perkiraan Ekspektasi Inflasi di Indonesia
Dalam melakukan analisis kondisi makro ekonomi dan moneter serta dalam
melakukan proyeksi inflasi, informasi mengenai ekspektasi inflasi sangatlah penting. Untuk
itu, di Indonesia, Bank Indonesia menggunakan berbagai data yang dapat menggambarkan
ekspektasi inflasi baik dari survei yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sendiri maupun
survei lembaga lain.. Selain itu, dalam penyusunan model-model makroekonomi, digunakan
berbagai pendekatan dalam memperkirakan ekspektasi inflasi antara lain berdasarkan inflasi
periode sebelumnya (adaptive inflation), inflasi periode selanjutnya (forward looking), target
inflasi bank sentral, dan model rational expectation.
3.1 Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) merupakan survei triwulanan yang dilaksanakan
sejak triwulan I-1993. Sampai dengan saat ini jumlah responden telah mencapai lebih dari
2.400 perusahaan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan dipilih secara purposive
sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan atau pengisian kuesioner
langsung oleh responden. Metode perhitungan dilakukan dengan metode saldo bersih (SB-
net balance), yakni dengan menghitung selisih antara persentase jumlah responden yang
memberikan jawaban “meningkat” dengan persentase jumlah responden yang memberikan
jawaban “menurun” dan mengabaikan jawaban “sama”. Khusus penghitungan saldo bersih
kegiatan usaha, harga jual dan penggunaan tenaga kerja dilakukan dengan metode Saldo
10
Bersih Tertimbang (SBT-weighted net balance) yang diperoleh dari hasil perkalian saldo
bersih sektor/subsektor yang bersangkutan dengan bobot sektor/subsektor yang
bersangkutan sebagai penimbangnya.8
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) memberikan informasi dini mengenai indikasi
perkembangan kegiatan ekonomi di sektor riil baik pada triwulan yang sedang berjalan
maupun triwulan yang akan datang. Hasil survei merupakan salah satu pendekatan/proksi
kegiatan usaha, disamping sebagai salah satu komponen/variabel pembentuk leading
economic indicator.
Terkait dengan ekspektasi inflasi, terdapat dua data yang dapat digunakan dari survei
ini yaitu perkiraan harga jual 3 bulan ke depan (meningkat, tetap atau turun) yang diolah
dengan metode Saldo Bersih Tertimbang, sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel
1(lampiran), serta ekspektasi inflasi tahun tertentu sebagaimana yang ditunjukan dalam tabel
2 (lampiran).
(insert Tabel 1, lihat lampiran)
(insert Tabel 2, lihat lampiran)
3.2 Survei Persepsi Pasar (SPP)
Survei Persepsi Pasar merupakan survei triwulanan yang dilaksanakan sejak Triwulan
IV- 2001 terhadap responden yang terdiri dari para ekonom, pengamat/peneliti ekonomi,
analis pasar uang/modal serta akademisi. Responden dipilih berdasarkan metode purposive
sampling. Saat ini responden survei berjumlah 94 orang yang tersebar di kota Jakarta,
Bandung, Bandarlampung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Denpasar,
Banjarmasin, Makasar, Manado dan Kendari. Pengumpulan data dilakukan melalui mail,
faksimili maupun e-mail. Hasil survei disajikan dengan metode pooling (persentase
responden yang menjawab paling banyak) sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 4 pada
bagian lampiran, perkiraan inflasi pada triwulan III tahun 2007 sebesar 6,1% – 7%
merupakan range yang terbanyak dipilih oleh responden.
8 Bobot sektor dalam penghitungan SB survei SKDU adalah sebagai berikut : Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan Dan Perikanan (15.6%), Pertambangan (12.1%), Industri Pengolahan (27.7%), Listrik, Gas Dan Air Bersih (0.6%), Bangunan (5.5%), Perdagangan, Hotel Dan Restoran (16.2%), Pengangkutan Dan Komunikasi (4.7%), Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan (8.3%), Jasa – Jasa (9.3%). Bobot detail tiap subsektor dapat dilihat di tabel 3 bagian lampiran.
11
Variabel yang dicakup meliputi indikator ekonomi makro seperti: inflasi, pertumbuhan
ekonomi, nilai tukar Rp/USD, surplus/defisit transaksi berjalan baik terhadap PDB,
pertumbuhan ekspor dan impor barang, surplus/transaksi fiskal terhadap PDB, tingkat
pengangguran, faktor risiko politik dan faktor penghambat pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4, ekspektasi inflasi yer-on-year (yoy) ditanyakan
dalam bentuk range : < 5,1%, 5,1% - 5,5%, 5,6% - 6,0%, 6,1% - 6,5%, 6,6% - 7,0%,
7,1% - 7,5%, >7,5%. Responden diminta untuk melakukan proyeksi inflasi pada akhir
tahun survei serta inflasi 2 tahun berikutnya.
(insert Tabel 4, lihat lampiran)
3.3 Survei Konsumen (SK)
Survei Konsumen merupakan survei bulanan yang dilaksanakan sejak Oktober 1999.
Sejak Januari 2007 survei dilaksanakan terhadap kurang lebih 4.655 rumah tangga sebagai
responden (purposive random sampling) di 18 kota : Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Medan, Makassar, Bandar Lampung, Palembang, Banjarmasin, Padang, Pontianak,
Samarinda, Manado, Denpasar, Mataram, Pangkal Pinang, Ambon, dan Banten.
Pengumpulan data dilakukan sebagian melalui wawancara telepon dan sebagian lagi secara
langsung kepada responden secara rotated. Hasil dari survei ini antara lain Indeks Keyakinan
Konsuman, Indeks Kondisi Ekonomi saat ini dan Indeks Ekspektasi Konsumen. Indeks
dihitung dengan metode balance score (net balance + 100), sehingga jika indeks diatas 100
berarti optimis, sebaliknya dibawah 100 berarti pesimis.
Indeks Keyakinan Konsumen merupakan rata-rata sederhana dari Indeks Kondisi
Ekonomi saat ini dan Indeks Ekspektasi Konsumen. Indeks Kondisi Ekonomi saat ini
mencakup keyakinan konsumen mengenai penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan yang
lalu, ketepatan waktu saat ini untuk melakukan pembelian barang tahan lama dan jumlah
ketersediaan lapangan kerja saat ini dibandingkan 6 bulan yang lalu. Sedangkan Indeks
Ekspektasi Konsumen mencakup keyakinan konsumen mengenai ekspektasi konsumen 6
bulan yang akan datang dibanding saat ini terhadap ekspektasi penghasilan, kondisi
ekonomi Indonesia secara umum dan ketersediaan lapangan kerja. Sementara itu,
sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 5, informasi lainnya yang disajikan antara lain mengenai
ekspektasi konsumen terhadap harga meliputi harga 3 dan 6 bulan yad, berdasarkan
kelompok komoditas sebagai berikut: bahan makanan; makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau; perumahan, listrik, gas dan bahan bakar; sandang; kesehatan, transportasi
komunikasi dan jasa keuangan; pendidikan rekreasi dan olah raga.
12
Indikator ekonomi lainnya meliputi 6 bulan kedepan terhadap ketersediaan barang/jasa;
tingkat suku bunga; dan tabungan.
(insert Tabel 5, lihat lampiran)
3.4 Survei Penjualan Eceran (SPE)
Survei penjualan eceran merupakan survei bulanan yang dilaksanakan sejak September
1999 terhadap sekitar 316 pengecer sebagai responden (purposive sampling) di kota Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan.
Informasi yang dikumpulkan meliputi data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif yang
merupakan data penjualan nominal dari pedagang eceran berskala hypermarket,
supermarket, dan kelompok pedagang lainnya, serta pendapat mereka mengenai
perkembangan harga dan tingkat suku bunga kredit. Informasi meliputi data penjualan
eceran yang dikelompokkan menurut jenis barang berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha
Industri (KLUI) tahun 1997. Data didiseminasikan dalam bentuk indeks riil yang didefinisikan
sebagai perbandingan total penjualan eceran dalam nilai riil terhadap total penjualan eceran
riil pada bulan dasar (Oktober 2000 =100). Penyajian dalam nilai riil dimaksudkan untuk
mengukur perubahan total penjualan yang terbebas dari pengaruh harga atau yang benar-
benar mencerminkan perubahan volume penjualan.
Terkait dengan ekspektasi inflasi, data yang dapat digunakan adalah ekspektasi harga
umum 3 dan 6 bulan ke depan, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 6.
(insert Tabel 6, lihat lampiran)
3.5 Yield Surat Utang Negara (SUN)
Dalam memprediksi ekspektasi inflasi, Bank Indonesia melakukan pengamatan
terhadap pergerakan yield surat utang negara. Yield curve merupakan kurva yang
menggambarkan hubungan antara suku bunga dan jangka waktu jatuh tempo surat
berharga pada waktu tertentu. Kenaikan level yield dapat dimaknai sebagai semakin
tingginya ekspektasi inflasi pelaku pasar keuangan. SUN yang diterbitkan oleh pemerintah
terdiri dari berbagai tenor yaitu 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,15 dan 20 tahun.
13
3.6 Consensus Forecast
Data consensus forecast merupakan hasil survei yang dipublikasikan oleh Consensus
Economics sejak tahun 1989. Consensus Economics adalah organisasi survei ekonomi
internasional terkemuka dan menghimpun 700 ekonom setiap bulannya untuk
mendapatkan perkiraan dan pendapat mereka. Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 7 pada
bagian lampiran, Hasil survei ini meliputi perkiraan indikator makroekonomi utama, termasuk
pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga dan nilai tukar di lebih dari 70 negara. Perkiraan
digabungkan dalam serangkaian publikasi di negara-negara industri utama dunia (G7 dan
Eropa Barat), negara-negara berkembang di Asia Pasifik, Amerika Latin dan Eropa Timur.
Masing-masing memperlihatkan perkiraan konsensus dan prediksi perkiraan individu, dan
didistribusikan kepada pelanggan dalam format hard-copy dan elektronik sebagai file pdf
dan excel.
Untuk Indonesia, forecaster yang disurvei adalah 10 lembaga riset dan lembaga
keuangan yaitu : Macquarie Bank, Econ Intelligence Unit, Morgan Stanley Asia, Bahana
Securities, Danareksa Securities, CIMB Securities, Citigroup, Global Insight, ING, Nomura,
HSBC Economics, dan Goldman Sachs Asia
(insert Tabel 7, lihat lampiran)
4. LANDASAN TEORI
“There is always a temporary tradeoff between inflation and unemployment; there is no
permanent tradeoff. The temporary tradeoff comes from inflation per se, but from
unanticipated inflation, which generally means, from a rising rate of inflation.” (Milton
Friedman).
Pernyataan Friedman tersebut didasari oleh teori Kurva Phillips yang menyatakan adanya
tradeoff di antara dua ukuran kinerja ekonomi – inflasi dan pengangguran. Menurut teori
ini, untuk menurunkan tingkat inflasi para pembuat kebijakan harus secara temporer
memperbesar angka pengangguran, dan untuk mengurangi pengangguran mereka harus
menerima inflai yang lebih tinggi.
14
4.1 Kurva Philips
Kurva Philips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung
pada tiga kekuatan utama yaitu (i) ekspektasi inflasi; (ii) deviasi pengangguran dari tingkat
alamiah atau yang disebut pengangguran siklis; dan (iii) guncangan penawaran.
Tiga kekuatan ini ditunjukkan dalam persamaan berikut:
vuu ne +−−= )(βππ .......................................................................................... (1)
Dimana:
Π = inflasi
Πe = ekpektasi inflasi
(u-un) = pengangguran siklis
V = guncangan penawaran
Persamaan (1) mencerminkan hubungan antara inflasi dan pengangguran. Parameter
β mengukur respon inflasi terhadap pengangguran siklis. Pengangguran yang tinggi
cenderung mengurangi inflasi.
Pada dasarnya persamaan (1) diderivasi dari persamaan penawaran agregat, dengan
penambahan variabel guncangan penawaran v untuk menunjukkan peristiwa eksogen
(seperti perubahan harga minyak mentah dunia) yang mengubah tingkat harga dan
menggeser kurva penawaran agregat jangka pendek. Selain itu, dengan menggunakan
hubungan hukum Okun yang menyatakan bahwa penyimpangan output dari tingkat
alamiah berbanding terbalik dengan penyimpangan pengangguran dari tingkat alamiah,
persamaan (1) telah mensubstitusi (u-un) untuk output gap (y-y*) dari persamaan penawaran
agregat. Dengan kata lain, bila pada persamaan (1) pengangguran lebih rendah daripada
tingkat pengangguran alamiah berarti secara tidak langsung menyatakan bahwa output
lebih rendah dari tingkat output alamiah.
Dari penjabaran di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya
persamaan kurva Phillips (persamaan (1)) dan penawaran agregat jangka pendek pada
dasarnya menunjukkan gagasan makroekonomi yang sama. Menurut persamaan penawaran
agregat jangka pendek, output terkait dengan pergerakan yang tidak diharapkan dalam
tingkat harga, sedangkan menurut persamaan kurva Phillips, pengangguran terkait dengan
pergerakan yang tidak diharapkan dalam tingkat inflasi. Namun, faktanya kurva Phillips dan
kurva penawaran agregat jangka pendek merupakan dua sisi mata uang yang sama.
15
Posisi kurva Phillips jangka pendek tergantung pada tingkat ekspektasi inflasi. Jika
ekspektasi inflasi naik, kurva Phillips bergerak ke atas, dan tradeoff yang dihadapi pembuat
kebijakan menjadi kurang bernilai yakni inflasi akan lebih tinggi pada seluruh tingkat
pengangguran. Karena masyarakat menyesuaikan ekspektasinya atas inflasi sepanjang
waktu, maka tradeoff antara inflasi dan pengangguran hanya bertahan dalam jangka
pendek. Pembuat kebijakan tidak bisa mempertahankan inflasi di atas ekspektasi inflasi (dan
dengan demikian pengangguran berada di bawah tingkat alamiah) selamanya. Secara
berangsur-angsur, ekspektasi akan beradaptasi pada setiap tingkat inflasi yang dipilih
pembuat kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, dikotomi klasik akan berlaku,
pengangguran kembali ke tingkat alamiah, serta tidak ada tradeoff antara inflasi dan
pengangguran.
Karena ekpektasi atas inflasi mempengaruhi tradeoff jangka pendek antara inflasi
dan pengangguran, maka penting untuk memahami bagaimana masyarakat membentuk
ekspektasi. Selain itu, dalam menggunakaan persamaan kurva Phillips di atas, maka perlu
pula ditetapkan beberapa asumsi. Asumsi sederhana yang seringkali digunakan adalah
bahwa masyarakat membentuk ekspektasi mereka terhadap inflasi berdasarkan inflasi yang
sedang diamati (ekspektasi adaptif). Artinya, masyarakat umumnya memiliki pengharapan
bahwa kenaikan harga-harga pada tahun berjalan akan sama dengan inflasi pada tahun
sebelumnya. Sehingga persamaan (1) dapat ditulis menjadi:
vuu nt +−−= − )(1 βππ ........................................................................................ (2)
Dimana seluruh definisi variable sama dengan persamaan (1) kecuali ekspektasi inflasi Πe
sekarang menjadi inflasi tahun lalu Πt-1. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi memiliki
inersia, yakni bagaikan obyek yang bergerak di angkasa, inflasi akan terus bergerak jika tidak
ada sesuatu apapun yang menghentikannya. Inersia ini muncul karena inflasi masa lalu
mempengaruhi ekspektasi inflasi masa depan dan karena ekspektasi ini mempengaruhi upah
serta harga yang ditetapkan.
Robert Solow (1979) dalam Mankiw (2003) menggunakan periode inflasi yang tinggi
sepanjang tahun 1970-an ketika ia menyatakan “Mengapa uang kita berkurang nilainya?
Hal itu dapat dinyatakan secara sederhana bahwa kita mengalami inflasi karena kita
mengharapkan inflasi, dan kita mengharapkan inflasi karena kita mengalaminya.”
Pernyataan tersebut menjadi dasar dari uraian konsep inersia inflasinya.
Persamaan (2) menyatakan bahwa inflasi tergantung pada inflasi tahun sebelumnya,
pengangguran siklis, dan guncangan penawaran. Simbol kedua dan ketiga dalam persamaan
(2) menunjukkan dua kekuatan yang dapat mengubah tingkat inflasi.
16
Simbol kedua, β(u-un), menunjukkan bahwa pengangguran siklis – penyimpangan
pengangguran dari tingkat alamiah – memberi tekanan ke atas dan ke bawah pada inflasi.
Pengangguran yang rendah akan menarik inflasi ke atas. Inilah yang disebut dengan inflasi
tarikan-permintaan (demand-pull inflation) karena permintaan agregat yang tinggi
bertanggung jawab atas jenis inflasi ini. Pengangguran yang tinggi menarik tingkat inflasi ke
bawah. Parameter β mengukur sejauh mana resonsivitas inflasi terhadap pengangguran
siklis.
Simbol ketiga, v, menunjukkan bahwa inflasi juga naik dan turun karena guncangan
penawaran. Guncangan penawaran yang memperburuk, seperti kenaikan harga minyak
dunia pada enam tahun belakangan ini yang melipatgandakan harga minyak mentah dunia
dari sekitar 20-an dolar AS per barel pada tahun 2001 menjadi sekitar 140-an dolar AS per
barel saat ini (Juni 2008), menunjukkan nilai positif v dan menyebabkan inflasi naik. Inilah
yang disebut dengan inflasi dorongan-biaya (cost-push inflation) karena goncangan
penawaran yang memperburuk adalah peristiwa-peristiwa tipikal yang mendorong ke atas
biaya produksi. Guncangan penawaran yang bermanfaat, seperti persediaan minyak
berlimpah yang menyebabkan turunnya harga minyak pada tahun 1980-an, membuat v
negative dan menyebabkan turunnya inflasi.
4.2 Ekspektasi Rasional
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan teori mengenai ekspektasi inflasi,
asumsi yang menyatakan bahwa ekspektasi inflasi tergantung pada inflasi yang sedang
diamati dirasakan terlalu sederhana untuk diterapkan dalam berbagai situasi. Mankiw (2003)
menawarkan pendekatan alternatif adalah dengan menggunakan asumsi bahwa masyarakat
memiliki ekspektasi rasional, yaitu, masyarakat secara optimal dapat menggunakan seluruh
informasi yang ada, termasuk informasi tentang kebijakan pemerintah saat ini untuk
meramalkan inflasi di masa depan. Kebijakan moneter dan fiskal dipercaya dapat
mempengaruhi inflasi, sehingga ekspektasi inflasi juga harus tergantung pada dampaknya
terhadap kebijakan moneter dan fiskal. Berdasarkan teori ekspektasi rasional, perubahan
kebijakan moneter dan fiskal akan mengubah ekspektasi, dan evaluasi atas setiap perubahan
kebijakan harus mengaitkan dampak ini terhadap ekspektasi. Jika masyarakat membentuk
ekspektasi mereka secara rasional maka inflasi memiliki inersia yang lebih kecil daripada
ketika pertama kali timbul.
Thomas Sargent (1982), pendukung ekspektasi rasional yang terkemuka, dalam
Mankiw (2003) menjelaskan implikasi ekspektasi rasional terhadap kurva Phillips: “
Pandangan ‘ekspektasi rasional’ alternative menolak bahwa ada momentum inheren pada
17
proses inflasi yang sedang berlangsung. Pandangan ini mempertahankan pendapat bahwa
perusahaan dan pekerja pada saat ini mengharapkan tingkat inflasi yang tinggi di masa
depan dan mereka menentang tawar-menawar inflasi yang terkait dengan ekspektasi ini.
Namun, dinyatakan bahwa orang-orang mengharapkan tingkat inflasi yang tinggi di masa
depan terutama karena kebijakan moneter dan fiscal pemerintah saat ini serta akan dating
menjamin ekspektasi itu.
...Jadi, inflasi tampaknya hanya mempunyai momentum dari dirinya sendiri; pada
dasarnya hal itu adalah kebijakan pemerintah jangka panjang untuk secara
berkesinambungan mengalami deficit yang besar dan mencetak uang sebanyak mungkin
yang memberi momentum pada tingkat inflasi. Impliksi dari pandangan ini adalah bahwa
inflasi bias dihentikan jauh lebih cepat dari yang diindikasikan para pendukung
“momentum” tersebut dan estimasi mereka tentang lamanya waktu dan biaya untuk
menghentikan inflasi dengan mengabaikan output adalah keliru…{menghentikan inflasi]
akan memerlukan perubahan dalam sistem kebijakan: mungkin akan terjadi perubahan
mendadak dalam kebijakan, atau strategi, pemerintah yang sedang berjalan, untuk
menetapkan deficit saat ini dan di masa depan yang cukup mengikat agar dipercaya secara
luas……Seberapa besar biaya yang akan terjadi dai perubahan itu dengan mengabaikan
output dan berapa lama hal itu akan menimbulkan dampak, sebagian tergantung pada
bagaimana memastikan dan membuktikan komitmen pemerintah.
Jadi, para pendukung ekspektasi rasional berpendapat bahwa kurva Phillips jangka
pendek tidak secara akurat menunjukkan pilihan yang diberikan para pembuat keputusan.
Mereka percaya bahwa jika para pembuat kebijakan sungguh-sungguh ingin menurunkan
inflasi, masyarakat yang raional akan memahami komitmen itu dan akan dengan cepat
menurunkan ekspektasi inflasi mereka. Jadi inflasi bias turun tanpa kenaikan pengangguran
dan penurunan output. Menurut teori ekspektasi rasional, estimasi tradisional tentang rasio
pengorbanan tidak bermanfaat untuk mengevaluasi dampak kebijakan-kebijakan alternative.
Di bawah kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan, biaya menurunkan inflasi mungkin
jauh lebih rendah daripada estimasi yang diberikan oleh rasio pengorbanan.
Dalam kebanyakan kasus ekstrem, seseorang bisa membayangkan mengurangi
tingkat inflasi tanpa menyebabkan resesi sama sekali. Disinflasi yang melegakan ini memiliki
dua persyaratan. Pertama, rencana menurunkan inflasi harus diumumkan sebelum para
pekerja dan perusahaan yang menetapakan upah serta harga membentuk ekspektasi
mereka. Kedua, para pekerja dan perusahaan harus percaya pada pengumuman itu. Jika
tidak, mereka tidak akan menurunkan ekspektasi inflasi. Jika kedua persyaratan itu dipenuhi,
pengumuman itu dengan cepat akan menggeser tradeoff jangka pendek antara inflasi dan
18
pengangguran ke bawah, yang membiarkan tingkat inflasi yang lebih rendah tanpa
pengangguran yang lebih tinggi.
Meskipun pendekatan ekspektasi rasional tetap kontroversial, hampir semua ekonom
sepakat bahwa ekspektasi inflasi mempengaruhi tradeoff jangka pendek antara inflasi dan
pengangguran. Karena itu, kredibilitas kebijakan untuk menurunkan inflasi merupakan
sebuah determinan dari seberapa besar biaya kebijakan tersebut. Sayangnya, seringkali sulit
memprediksi apakah public akan memandang pengumuman kebijakan baru tersebut
kredibel. Peran sentral ekspektasi membuat peramalan hasil-hasil kebijakan alternative jauh
lebih sulit.
5. DATA dan METODOLOGI
Penelitian ini memfokuskan pada informasi ekspektasi inflasi yang diperoleh dari
survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Sedangkan informasi ekspektasi inflasi yang
bersumber dari model-model ekonometri yang dikembangkan di Bank Indoensia atau teknik-
teknik terbaru yang berkembang dewasa ini tidak dibahas dalam penelitian ini. Analisis
ekspektasi inflasi akan dikelompokan menjadi ekspektasi di pasar barang dan di pasar uang.
Ekspektasi inflasi di Pasar Barang diperoleh dari data-data hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU), Survei Penjualan Eceran (SPE), Survei Konsumen (SK), dan Survei Persepsi Pasar (SPP).
Ekspektasi inflasi di pasar uang diperoleh dari pergerakan yield curve dari Surat Utang
Negara (SUN), Consensus Forecast dan Inflation Forecast dari Bloomberg.
Analisis dilakukan secara grafis, statistik dan ekonometrik sederhana. Penelitian ini
juga akan melakukan evaluasi kemiripan arah pergerakan melalui analisis korelasi, evaluasi
ketepatan dengan melihat Root Mean Square Error (RMSE), evaluasi volatilitas melalui
observasi standar deviasi dari perubahan ekspektasi.
Data yang digunakan terdiri dari data triwulanan dan bulanan sejak tahun 2003
sampai dengan 2008 (kecuali beberapa data tertentu sejak 2005). Seluruh data dalam
penelitian ini diperoleh dari Direktorat Statistik Moneter Bank Indonesia.
19
6. ANALISIS EMPIRIS
6.1 Ekspektasi Inflasi di Pasar Barang
6.1.1 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha
6.1.1.1 Ekspektasi Harga Jual
Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1 (lihat lampiran), secara agregat, ekspektasi
harga jual dunia usaha selalu menggambarkan peningkatan dibanding harga sebelumnya
(% SBT selalu positif), walaupun persentasenya berfluktuasi. Meskipun pada dasarnya
ekspektasi harga jual berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya, namun selama
periode pengamatan yakni dari tahun 2003 sampai dengan 2008, sebagaimana ditunjukkan
oleh tabel 8, hampir seluruh sektor selalu memiliki perkiraan harga akan naik pada 3 bulan
ke depan kecuali pada dua sektor. yaitu (i) sektor pertambangan dan penggalian, dan (ii)
sektor keuangan, persewaan dan jasa keuangan. Responden dari sektor pertambangan dan
penggalian berekspektasi harga jual akan turun pada periode 2003:3 dan dari 2006:4
hingga 2007:1. Sedangkan responden dari sektor keuangan, persewaan dan jasa keuangan
berekspektasi suku bunga akan turun pada periode 2003:2 – 2004:3 dan 2006:3 – 2007:4.
(insert Gambar 1, lihat lampiran)
(insert Tabel 8, lihat lampiran)
Gambar 1 juga memperlihatkan pergerakan ekspektasi harga jual dan inflasi aktual
sejak tahun 2003. Walaupun terdapat perbedaan satuan dengan inflasi, namun arah
pergerakan peningkatan ekspektasi harga jual menunjukan arah yang sama dengan
kenaikan harga (inflasi) aktual pada periode prakiraan.9
Pada periode 2004 – 2005, jumlah responden yang memiliki ekspektasi harga jual
periode mendatang akan naik, terus meningkat, walaupun kondisi aktualnya inflasi tidak
selalu naik (lihat Gambar 1, lampiran). Kondisi ini dapat diartikan bahwa dunia usaha sudah
memiliki persepsi sendiri bahwa harga akan selalu naik dan semakin lama semakin tinggi. Hal
ini juga menunjukkan bahwa masyarakat belum memiliki acuan informasi mengenai 9 Ekspektasi inflasi satu triwulan ke muka (t+1) nilainya didapat pada saat survey dilakukan pada waktu “t”. Inflasi aktual adalah inflasi pada waktu survei dilakukan “t”, yang nilainya diumumkan pemerintah satu triwulan kemudian (t+1). Untuk membaca grafik pada Gambar 1 adalah sebagai berikut: ekspektasi inflasi pada Triwulan II tahun 2005 adalah ekspektasi inflasi yang nilainya diperoleh dari survey pada Triwulan I tahun 2005. Sedangkan inflasi aktual pada Triwulan II tahun 2005 adalah nilai inflasi yang diumumkan pemerintah pada Triwulan III tahun 2005. Dengan demikian, kita dapat membandingkan pada saat yang sama (di dalam grafik) antara ekspektasi inflasi dan nilai aktualnya.
20
perkiraan inflasi ke depan sehingga ekspektasi mereka hanya didasarkan pada kondisi saat
survei dan pengalaman masa lalu (backward looking).
Ekspektasi harga jual mengalami trend peningkatan cukup tinggi sejak triwulan I
2005 dan puncaknya terjadi pada triwulan I 2006 (lihat Gambar 1 pada lampiran). Ditengarai
terdapat 3 faktor utama penyebab kenaikan tersebut. Pertama,adanya peningkatan harga
minyak dunia yang pada akhirnya mempengaruhi harga BBM dalam negeri dan bahkan
menimbulkan kelangkaan sesaat akan BBM. Kedua, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
mata uang utama (hard currecy). Ketiga, meningkatnya tingkat suku bunga SBI. Di sektor
industri, minimnya persaingan dengan produk sejenis dari luar, khususnya impor dari negeri
Cina, dan variasi produk baru dengan margin yang lebih tinggi juga disebut sebagai alasan
ekspektasi peningkatan harga jual.
Namun demikian, secara umum sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2,
responden menyatakan bahwa alasan utama ekspektasi mereka bahwa harga akan naik
pada periode mendatang dikarenakan semakin meningkatnya harga bahan baku dan
penolong serta biaya operasional, selain semakin meningkatnya permintaan dalam
menyambut hari besar keagamaan atau liburan (faktor musiman). Pengecualian terlihat pada
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dimana perkiraan harga jual lebih
dipengaruhi oleh penurunan atau peningkatan tingkat suku bunga sebagai pendekatan
tingkat harga pada sektor tersebut. 10
(insert Gambar 2, lihat lampiran)
Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan ekspektasi peningkatan harga jual SKDU
dengan kenaikan harga aktual triwulan berikutnya, dilakukan analisis korelasi. Selain itu
dilakukan analisis volatilitas dari ekspektasi harga jual untuk mengetahui apakah setelah ITF
ekspektasi masyarakat menjadi lebih stabil. Sebagaimana terlihat pada Tabel 9 (lampiran),
pada seluruh periode analisis korelasi ekspektasi harga jual dengan kenaikan harga aktual
relatif kecil yaitu sebesar 0.15. Angka ini menggambarkan bahwa hanya 15% perubahan
inflasi aktual yang dapat digambarkan oleh perubahan data ekspektasi harga jual. Hal ini
menunjukkan bahwa ekspektasi harga jual yang diperoleh dari SKDU masih belum tepat
untuk menggambarkan arah pergerakan inflasi aktual . Dengan kata lain diperlukan
tambahan informasi lain yang lebih dapat menggambarkan ekspektasi inflasi.
10 Pada kuesioner, item pertanyaan untuk sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan adalah ”Ekspektasi tarif jasa/ tingkat suku bunga kredit pada Triwulan mendatang dibandingkan Triwulan laporan”
21
(insert Tabel 9, lihat lampiran)
Akan tetapi, jika dibandingkan periode sebelum dan sesudah ITF, sebagaimana
ditunjukkan oleh tabel 9, terlihat bahwa korelasi ekspektasi dengan kondisi aktual semakin
membaik. Sebelum penerapan ITF, korelasi antara keduanya negatif (-0.18) yang dapat
diartikan bahwa ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan pergerakan harga-harga ke depan
tidak searah dengan kondisi aktualnya.Untuk triwulan II hingga IV tahun 2003 misalnya,
dunia usaha yang memperkirakan harga-harga akan naik bertambah namun ternyata harga
aktual pada periode tersebut cenderung turun.Sebaliknya untuk triwulan I dan triwulan III
2004 dunia usaha memiliki ekspektasi harga jual akan turun, namun ternyata harga aktual
pada periode tersebut meningkat lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya.
Tabel 9 juga menerangkan bahwa setelah penerapan ITF, korelasi antara ekspektasi
dengan inflasi aktual semakin membaik yang ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar
+0.17.
Secara grafis, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1, terlihat bahwa ekspektasi
semakin searah dengan inflasi aktual, namun terdapat ”lag” sekitar 1 triwulan. Hal ini dapat
diartikan bahwa ekspektasi kenaikan harga jual 6 bulan ke depan sebenarnya didasarkan
pada kenaikan harga jual saat ini yang dirasakan oleh responden. Sebagai contoh, setelah
kenaikan BBM pada bulan Oktober 2005, sebenarnya inflasi aktual qoq pada triwulan I 2006
mulai turun namun masyarakat masih berekspektasi harga akan naik.
Idealnya apabila masyarakat telah mengetahui konsep dari ITF dan menjadikan
sasaran inflasi sebagai acuan dalam penetapan harga maka volatilitas ekspektasi harga jual
tidak terlalu tinggi Hal sebaliknya justru terlihat pada tabel 9, dimana ekspektasi harga jual
dunia usaha setelah penerapan ITF ternyata volatilitasnya semakin tinggi, dari semula 5.89
sebelum ITF menjadi 10.85.. Dengan demikian, terlihat bahwa target inflasi yang
diumumkan Bank Indonesia selama ini sepertinya masih belum mampu mengarahkan
ekspektasi inflasi dunia usaha secara kuat karena ekspektasi mereka masih dipengaruhi oleh
inflasi saat ini dibandingkan dengan sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah atas
usulan Bank Indonesia. Bukti empiris ini diharapkan menjadi pemicu bagi Bank Indonesia
untuk lebih meningkatkan kredibilitasnya di kalangan dunia usaha.
6.1.1.2 Ekspektasi Inflasi
Jawaban responden mengenai ekspektasi inflasi dalam tahun tertentu didasarkan
pada perkiraan harga-harga umum yang terjadi selama triwulan survei. Sebagaimana
ditunjukkan oleh Gambar 3 (lihat lampiran), secara umum terlihat bahwa ekspektasi inflasi
22
dunia usaha selalu lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi aktual (yoy) yang terjadi pada
tahun tersebut kecuali pada semester kedua tahun 2005 dan tiga triwulan pertama tahun
2006 dimana inflasi aktual (yoy) yang terjadi memang sangat tinggi akibat adanya kenaikan
harga BBM pada bulan Oktober 2005.
(insert Gambar 3, lihat lampiran)
Namun demikian, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3, inflasi aktual (ytd) selalu
berada di bawah ekspektasi inflasi masyarakat, kecuali pada triwulan IV 2006, yang dipicu
oleh pengurangan subsidi BBM oleh Pemerintah pada bulan Oktober 2005. Ekspektasi inflasi
masyarakat mencapai puncaknya pada triwulan I 2006 dikarenakan mereka memperkirakan
bahwa dampak kenaikan BBM semakin diperkuat dengan kenaikan permintaan sehubungan
dengan perayaan dua hari raya besar keagamaan yaitu Idul Fitri dan Natal serta datangnya
hari libur akhir tahun 2005 (faktor musiman).
Seiring dengan keberhasilan Pemerintah dalam penyediaan dan distribusi barang-
barang kebutuhan pokok masyarakat, harga barang-barang mulai terasa stabil yang
mendorong penurunan ekspektasi masyarakat padapada triwulan II 2006. Kemungkinan
penurunan inflasi juga dipengaruhi oleh adanya target inflasi yang selalu dikomunikasikan
oleh bank sentral yakni pada rentang 6%±1%.
Gambar 3 juga memperlihatkan bahwa semenjak tahun 2004, dengan pengecualian
pada tahun 2005, ekspektasi inflasi dunia usaha semakin mendekati nilai inflasi aktual
padaakhir tahun bersangkutan. Hal ini kemungkinan disebabkan masyarakat telah banyak
memperoleh informasi berkenaan dengan pergerakan laju inflasi aktual (ytd) pada bulan-
bulan sebelum survei. Sebagaimana diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) setiap bulannya
mengeluarkan laporan indikator makroekonomi, termasuk laju inflasi. Pengumuman BPS
tersebut menjadi acuan bagi Bank Indonesia untuk mengeluarkan perkembangan bulanan
indikator moneter. Jika memang demikian, maka informasi mengenai pergeraskan inflasi
yang selama ini dipublikasikan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia di berbagai media massa
dirasakan cukup berpengaruh dalam pembentukan ekspektasi masyarakat. Pengecualian
terjadi pada pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006, disebabkan oleh karena kalangan
dunia usaha masih belum terbiasa dengan adanya keputusan Pemerintah untuk menaikan
harga BBM sebesar 120% itu.
Sebagai informasi, pada kuesioner survei hanya dicantumkan tingkat inflasi tahun
sebelumnya dan target inflasi pada tahun tersebut, namun tidak dicantumkan informasi
mengenai akumulasi laju inflasi aktual yang telah terjadi (ytd). Responden dianggap telah
memperoleh informasi inflasi aktual ytd dari media massa. Hal ini tentunya mengandung
23
kelemahan, karena tidak semua responden pada waktu mengisi kuesioner tersebut
memperoleh informasi yang sama dan sesuai. Oleh karena itu ada baiknya dalam survei
mendatang diberikan pengantar informasi yang berisi mengenai inflasi terkini beserta faktor-
faktor yang menyebabkan inflasi tersebut, termasuk upaya yang telah dilakukan oleh
Pemerintah dan BI.
Selain itu, kuesioner juga tidak menggali alasan responden akan perkiraan
ekspektasi inflasi mereka. Hal ini mungkin dapat dijadikan masukan dalam perbaikan
kuesioner mendatang untuk mengetahui apakah ekspektasi inflasi dunia usaha lebih
dipengaruhi oleh inflasi saat ini atau sudah dipengaruhi oleh target inflasi.
Berdasarkan teori, ketepatan prediksi atau ekspektasi inflasi dapat diukur dengan
menggunakan deviasi dari aktual yang kemudian ditransformasikan dalam indikator Root
Mean Square Error (RMSE). Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 10 (lihat lampiran), pada
seluruh periode penelitian, RMSE dari ekspektasi inflasi dunia usaha cukup besar yaitu 4.58.
Nilai ini mencerminkan bahwa rata-rata deviasi ekspektasi dengan nilai aktual inflasi cukup
tinggi, yakni hampir mencapai 5%. Hal ini membuat hasil survei SKDU belum dapat
digunakan sebagai proxy yang tepat untuk ekspektasi inflasi.
(insert Tabel 10, lihat lampiran)
Dalam laporan-laporan hasil SKDU ekspektasi inflasi digambarkan dalam persentase
responden yang menjawab tingkat inflasi tertentu sehingga biasanya kita langsung
memperhatikan modus11 sebagai proksi dari ekspektasi inflasi. Padahal jika dianalisis lebih
lanjut, modus jawaban responden hampir selalu lebih tinggi dari pada aktual inflasi. Selama
periode observasi (2003 – 2008), 75% modus ekspektasi inflasi akhir tahun yang dijawab
oleh responden nilainya adalah 10%, padahal inflasi aktual selalu berada dibawah nilai itu,
dengan pengecualian di akhir tahun 2005.
Jika dilakukan perbandingan sebelum dan sesudah ITF, ternyata pada periode setelah
ITF ekspektasi inflasi responden lebih mendekati aktual. Hal ini ditandai dengan RMSE yang
semakin menurun dari 4,8 (sebelum penerapan ITF) menjadi 4.38 (setelah penerapan ITF).
Ada dua hal yang mungkin menjadi penyebab peningkatan ketepatan ini. Pertama, inflasi
setelah penerapan ITF, khususnya mulai tahun 2006) semakin stabil, sehingga responden
lebih mudah untuk melakukan prediksi di akhir tahun. Kedua, responden mulai
memperhatikan target inflasi sebagai acuan yang pada akhirnya merubah perilaku mereka
dalam meningkatkan harga dan upah. Hal inilah yang pada akhirnya semakin mendekatkan
11 Persentase inflasi dengan jumlah responden terbanyak.
24
ekspektasi mereka baik dengan target inflasi maupun nilai aktual inflasi. Kedua
kemungkinan ini belum dapat diuji mana yang lebih tepat karena tidak adanya pertanyaan
kepada responden mengenai latar belakang penetapan ekspektasi inflasi mereka. Ada
baiknya faktor-faktor ini dimasukkan dalam survei-survei mendatang, sebagai salah satu
indikator kredibilitas bank sentral.
6.1.2 Hasil Survei Persepsi Pasar
Para ekonom, pengamat/peneliti ekonomi, analis pasar uang/modal serta akademisi
yang menjadi responden survei ini tentunya memiliki akses cukup besar dalam menggali
informasi mengenai inflasi aktual, target inflasi dan informasi-informasi lain yang terkait
dengan harga. Selain itu, dalam survei ini responden juga ditanyakan mengenai prediksi
indikator makroekonomi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, perkembangan investasi,
nilai tukar, ekspor, impor, tingkat pengangguran, rasio fiskal, faktor penghambat
pertumbuhan ekonomi serta resiko politik. Hal ini membuat responden berfikir secara
komprehensif akan keseluruhan kondisi ekonomi ke depan saat menjawab ekspektasi inflasi
sehingga membuat prediksi mereka relatif tepat dengan inflasi aktual.
Namun demikian, pertanyaan mengenai ekspektasi inflasi dalam survei ini dibuat
dalam bentuk range sehingga tidak dapat dilakukan analisis deviasi maupun korelasinya.
Namun demikian, secara grafis, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4 (lihat lampiran)
terlihat bahwa ekspektasi inflasi triwulanan mendekati aktual. Ada baiknya dalam survei
mendatang, selain menangkap ekspektasi responden dalam bentuk range, perlu juga
ditangkap level yang diprediksi oleh mereka. Hal ini penting untuk mengetahui seberapa
besar deviasi antara rata-rata persepsi kalangan pakar/akademisi dengan perkiraan otoritas
moneter. Dari data tersebut, dapat digali faktor-faktor apa saja yang menjadi perbedaan
antara ekspektasi mereka terhadap tingkat inflasi dengan perkiraan yang telah dilakukan
oleh bank sentral.
(insert Gambar 4, lihat lampiran)
Dalam survei ini, sebenarnya responden juga sudah ditanyakan mengenai alasan
penetapan ekspektasi inflasi. Sebagai contoh, sebagaimana terlihat dalam Gambar 4 (lihat
lampiran), meskipun pada triwulan III dan IV tahun 200, responden memiliki ekspektasi
inflasi yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun inflasi actual ternyata masih
lebih tinggi daripada ekspektasi mereka. Ditengarai, hal ini dikarenakan adanya tendensi
25
pergerakan nilai tukar yang melemah menjelang pemilu tahun 2004. Sementara untuk tahun
2004 triwulan IV inflasi aktual semakin meningkat dikarenakan faktor musiman seperti
liburan menjelang akhir tahun dan perayaan dua hari besar keagamaan yaitu idul fitri dan
natal.
Selain ekspektasi inflasi triwulanan, responden juga ditanyakan mengenai ekspektasi
inflasi di akhir tahun. Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5 (lihat lampiran), pada akhir
tahun 2006 dan 2007 terlihat bahwa inflasi aktual akhir tahun (yoy) berada dalam rentang
ekspektasi mereka.
(insert Gambar 5, lihat lampiran)
6.1.3 Hasil Survei Konsumen
Peran konsumen dalam penentuan harga jual sebenarnya tidak terlalu besar. Akan
tetapi ekspektasi mereka terhadap harga barang dan jasa di masa mendatang terbukti
selama ini turut mempengaruhi perilaku pembelian mereka terhadap barang dan jasa. Ketika
konsumen memprediksi harga barang dan jasa akan naik maka mereka cenderung membeli
dalam jumlah banyak saat ini, sehingga terjadi kelangkaan barang di pasar. Kondisi
peningkatan permintaan ini pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga barang
benar-benar terjadi. Oleh karena itu ekspektasi konsumen perlu juga diperhatikan dalam
memperkirakan inflasi aktual pada periode ke muka.
Gambar 6 (lihat lampiran) memperlihatkan bahwa secara agregat, konsumen
memiliki ekspektasi bahwa harga barang/jasa meningkat dibanding harga sebelumnya,
namun dengan kecenderungan yang terus menurun semenjak awal observasi yakni bulan
September tahun 2003 sampai dengan bulan Mei tahun 2005. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai SBT yang terus menurun, meskipun positif. Setelah SBT mencapai titik terendah pada
bulan Mei 2005, maka SBT secara cepat kembali meningkat bahkan mencapai titik
tertingginya pada bulan September 2005. Ditengarai SBT yang mencapai puncaknya pada
bulan September 2005 pemicunya adalah kenaikan harga BBM sebesar 30 persen pada
bulan Maret 2005 yang telah mendorong responden untuk menjawab survei yang dilakukan
pada bulan Maret 2005 tentang ekspektasi responden terhadap harga jual pada 6 bulan
yang akan datang (bulan September 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa responden
sangat dipengaruhi oleh isu yang berkembang pada saat survei dilakukan (halo effect).
Sedangkan SBT terendah yang dicapai pada bulan Mei 2005 merupakan hasil dari survei
yang dilakukan pada bulan November tahun 2004. Hal ini kemungkinan besar disebabkan
oleh eforia masyarakat atas keberhasilan pemilihan presiden yang dilaksanakan secara
26
langsung dan damai. Selain itu hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat berharap banyak
terhadap pemerintahan yang baru terbentuk.
Meskipun satuan untuk inflasi berbeda dengan SBT dari Survei Konsumen, namun
melihat dari arah pergerakannya, semenjak bulan Juni 2007 arah pergerakan SBT dan inflasi
aktual semakin bergerak searah. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan ekspektasi
konsumen searah dengan inflasi aktual.
Sebagaimana ditunjukkan oleh gambar 6, arah pergerakan ekspektasi harga jual
pada beberapa periode sesuai dengan kenaikan harga selama 6 bulan tersebut, namun pada
beberapa periode lain justru sebaliknya (berlawanan arah). Pada periode 2003 – 2005
pergerakan ekspektasi inflasi cenderung berlawanan arah dengan pergerakan inflasi aktual.
Jumlah responden yang menjawab bahwa harga-harga pada 6 bulan ke depan akan naik,
semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh nilai SBT yang tetap positif namun cenderung
menurun. Di sisi lain, harga-harga tetap meningkat walaupun tidak terlalu tinggi yang
ditunjukkan oleh inflasi aktual yang semakin meningkat.
Selain itu pada triwulan III hingga triwulan III tahun 2005 masyarakat telah
memperkirakan kenaikan harga lebih cepat dibandingkan dengan inflasi aktual (1 bulan
lebih awal), hal ini mungkin karena isu kenaikan BBM telah diketahui masyarakat namun
belum ada kepastian mengenai kapan harga BBM akan dinaikkan oleh pemerintah.
Ketidaksesuaian ekspektasi kenaikan harga jual dengan inflasi sebelum implementasi ITF
digambarkan dengan korelasi ekspektasi kenaikan harga dan inflasi aktual yang negatif
pada periode 2003 - 2005 yaitu -0.15.
(insert Gambar 6, lihat lampiran)
Sebagaimana terlihat pada tabel 11, Setelah 2005, pergerakan ekspektasi harga jual
lebih sesuai dengan inflasi aktual walaupun pada triwulan I – 2007 sempat sedikit berbeda.
Hal ini ditunjukan oleh antara keduanya yang meningkat menjadi 0.37 Walaupun demikian,
secara keseluruhan korelasi pergerakan hasil survei konsumen dengan inflasi aktual sangat
rendah yaitu 0.09.
(insert Tabel 11, lihat lampiran)
Dari sisi volatilitasnya, jika dilakukan perbandingan ekspektasi harga jual sebelum ITF
dan paska ITF terlihat bahwa terjadi penurunan volatilitas dari 6.81 menjadi 4.62. Hal ini
27
menunjukkan bahwa konsumen memandang kenaikan harga setelah 2005 lebih stabil.
Diharapkan hal ini dapat pula menggambarkan bahwa dengan pengimplementasian ITF
ekspektasi konsumen menjadi lebih terarah setelah ITF dibandingkan sebelumnya.
6.1.4 Hasil Survei Penjualan Eceran
Dalam survei ini responden ditanyakan mengenai ekspektasi harga jual 3 dan 6 bulan
yang akan datang. Ekspektasi para penjual eceran sangat penting karena merekalah yang
lebih berperan dalam pembentukan harga. Perbandingan ekspektasi mereka dengan
kenaikan harga aktual yang terjadi ditunjukkan pada Gambar 7 dan Gambar 8 (lihat
lampiran)12. Berdasarkan gambar 7 terlihat bahwa ekspektasi harga 3 bulan yang akan
datang memiliki pergerakan arah yang mirip dengan pergerakan inflasi 3 bulan hampir di
seluruh periode walaupun tingkat perubahan pergerakannya tidak sama dan indeks
ekspektasi harga relatif lebih berfluktuasi dibandingkan dengan inflasi aktual. Kenaikan
harga tertinggi pada bulan Desember 2005 akibat kenaikan BBM sudah diprediksikan oleh
para penjual eceran saat survei yang dilakukan pada bulan September 2005. Hal ini mungkin
disebabkan karena isu kenaikan harga BBM pada bulan Oktober telah mereka ketahui
sebelumnya.
Dalam survei yang sama, responden juga ditanyakan mengenai ekspektasi harga 6
bulan yang akan datang. Berdasarkan gambar 8 terlihat bahwa ekspektasi harga jual
responden belum dapat menggambarkan secara baik inflasi aktual pada 6 bulan ke depan
karena terdapat banyak periode dimana pergerakan keduanya tidak searah. Sebagai contoh
pada periode Oktober 2003 – November 2003 indeks ekspektasi harga cenderung menurun
sementara inflasi saat itu semakin tinggi. Sementara pada periode Agustus – November 2004
terjadi sebaliknya, indeks ekspektasi harga cenderung naik sementara inflasi aktual justru
menurun. Dengan demikian, secara grafis terlihat bahwa pergerakan ekspektasi harga jual 3
bulan yang akan datang lebih searah dengan inflasi aktual dibandingkan dengan ekspektasi
harga jual 6 bulan yang akan datang.
(insert Gambar 7, lihat lampiran)
(insert Gambar 8, lihat lampiran)
Analisis secara grafis diperkuat dengan hasil pengujian korelasi seperti yang
ditunjukkan oleh tabel 12 dimana korelasi SPE 3 bulan dengan inflasi aktual lebih tinggi
12 Pada gambar 7 dilakukan perbandingan antara indeks ekspektasi harga 3 bulan yang akan datang dengan laju kenaikan harga (inflasi) selama 3 bulan sejak pelaksanaan survei dan pada gambar 8 dilakukan perbandingan antara indeks ekspektasi harga 6 bulan yang akan datang dengan laju kenaikan harga (inflasi) selama 6 bulan sejak pelaksanaan survei.
28
(0.59) dibandingkan dengan SPE 6 bulan (0.28). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
indeks ekspektasi harga SPE 3 bulan dapat menjelaskan perubahan inflasi 3 bulan yang akan
datang sebesar 59%. Korelasi antara indeks ekspektasi harga 3 bulan dengan inflasi aktual
juga semakin membaik setelah ITF dari semula 0.4 menjadi 0.65. Sebaliknya korelasi antara
indeks ekspektasi SPE 6 bulan justru menurun dari semula 0.4 menjadi 0.29. Berdasarkan
analisis dari tabel 12 dapat disimpulkan bahwa dalam memperkirakan ekspektasi inflasi 3
bulan ke depan, survei penjual eceran dapat digunakan sebagai acuan yang cukup baik.
(insert Tabel 12, lihat lampiran)
6.2 Ekspektasi Inflasi di Pasar Uang
6.2.1 Perkembangan Yield Surat Utang Negara (SUN)
Dalam memprediksi ekspektasi inflasi, Bank Indonesia juga melakukan pengamatan
terhadap pergerakan yield surat utang negara. Secara teori, perilaku investor obligasi
biasanya ditentukan oleh ekspektasi mereka terhadap inflasi mendatang yang dicerminkan
melalui pergerakan suku bunga acuan yakni BI rate. Apabila investor berpendapat bahwa BI
akan menaikkan BI rate sebagai respon kebijakan moneter guna meredam laju inflasi, maka
investor obligasi biasanya melepas surat utang negara (SUN) milik Pemerintah Indonesia
sehingga harga SUN tersebut akan turun dan imbal hasilnya (yield) meningkat. Sebaliknya,
jika investor yakin inflasi dan suku bunga rupiah akan turun, mereka cenderung membeli
obligasi rupiah berbunga tetap, sehingga harga SUN tersebut akan naik dan imbal hasilnya
(yield) menurun. Dengan kata lain, kenaikan tingkat yield dapat dimaknai sebagai semakin
meningkatnya ekspektasi inflasi pelaku pasar keuangan.
Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Gambar 9 dan 10 (lihat lampiran)13,
yield SUN 1 tahun dan 2 tahun belum dapat menggambarkan inflasi aktual 1 dan 2 tahun ke
depan. Pada Gambar 9 terlihat bahwa sepanjang tahun 2005 arah pergerakan inflasi dan
yield justru berlawanan. Ketika inflasi aktual mulai bergerak turun sejak Februari hingga
November 2005, yield SUN justru semakin meningkat. Hal ini bertentangan dengan teori
yang melandasi hubungan antara inflasi dan yield SUN. Berdasarkan gambar 10, kita juga
dapat melihat bahwa walaupun inflasi 2 tahun cenderung stabil hampir di semua periode,
13 Pada grafik 9 digambarkan perbandingan antara yield dari generik SUN berjangka waktu 1 tahun dengan inflasi yoy periode 1 tahun berikutnya. Pada grafik 10 digambarkan perbandingan dari generik SUN berjangka waktu 2 tahun dengan inflasi 2 tahun yang diannualisasikan dengan rumus : √((100+inflasi 2thn)) -1)
29
namun yield SUN 2 tahun justru berfluktuasi. Hal ini juga dianggap bertentangan dengan
teori yang melandasi hubungan antara inflasi dan yield obligasi. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pergerakan yield SUN lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga SBI dan
persepsi pasar mengenai kondisi fiskal.
(insert Gambar 9, lihat lampiran)
(insert Gambar 10, lihat lampiran)
6.2.2 Consensus Forecast
Data ekspektasi inflasi berdasarkan consensus forecast dapat dibedakan menjadi dua
yaitu ekspektasi inflasi yoy akhir tahun yang dihasilkan dari survei pada tahun berjalan
(dinotasikan dengan CFt) dan ekspektasi inflasi yoy akhir tahun yang dihasilkan dari survei
pada tahun sebelumnya (dinotasikan dengan CFt-1). Data yang dimiliki adalah mulai tahun
2005 sehingga analisis yang dapat dilakukan untuk data ini terbatas.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1114, ekspektasi inflasi akhir tahun para
pelaku pasar yang dituangkan dalam consensus forecast (CFt) pada periode Januari –
Agustus 2005 cenderung mengikuti inflasi aktual yoy yang terjadi pada periode survei. Pada
periode selanjutnya (September 2005) informasi rencana kenaikan BBM pada bulan Oktober
mengakibatkan ekspektasi inflasi akhir tahun meningkat, namun peningkatan ekspektasi ini
tidak setinggi inflasi aktual yang terjadi di akhir tahun 2005. Setelah kenaikan BBM pada
bulan Oktober 2005, inflasi aktual jauh di atas ekspektasi pelaku pasar, hal ini kemudian
mendorong naiknya ekspektasi inflasi untuk akhir 2006. Akan tetapi ternyata bank sentral
berhasil menurunkan inflasi di akhir 2006 ke titik yang rendah bahkan di bawah target,
walalupun demikian ekspektasi pasar saat itu masih relatif tinggi. Ekspektasi inflasi baru
turun pada bulan Desember 2006 dan relatif stabil sejak saat itu. Hal ini bisa disebabkan oleh
kepercayaan mereka terhadap pencapaian target atau karena tidak ada shock yang hebat
selama 2007 sehingga mereka berharap inflasi dapat terjaga sesuai target.
Dalam memprediksi inflasi akhir tahun yang akan datang, sebelum diberlakukannya
ITF pelaku pasar juga sepertinya lebih bercermin pada inflasi aktual saat dilakukannya survei.
Berdasarkan gambar 11, kita dapat melihat bahwa ekspektasi inflasi akhir tahun 2006 yang
disurvei pada bulan Januari – September tahun 2005 relatif rendah (sekitar 6%) dan 14 Pada grafik terlihat perbandingan antara rata-rata proyeksi inflasi akhir tahun berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun berjalan (CFt) dan proyeksi inflasi akhir tahun berdasarkan survei pada 1 tahun sebelumnya (CFt-1). Kedua data tersebut dibandingkan dengan inflasi aktual dalam bentuk year to date (ytd) dan year on year (yoy) serta dibandingkan dengan target inflasi pemerintah.
30
mungkin disebabkan karena saat survei inflasi relatif rendah dan stabil. Ekspektasi inflasi
akhir tahun 2006 ikut meningkat seiring dengan kenaikan harga BBM saat survei pada bulan
Oktober – Desember tahun 2005. Akan tetapi sejak survei yang dilakukan pada awal 2006,
responden memiliki berekspektasi inflasi tahun berikutnya turun, dan ternyata ekspektasi
tersebut tepat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil consensus forecast (CFt-1) dimana sejak 2007
ekspektasi inflasi dari survei tahun sebelumnya ternyata mirip dengan inflasi aktual.
Analisis kuantitatif terhadap ketepatan consensus forecast sebagaimana
diperlihatkan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa untuk keseluruhan periode, ekspektasi
inflasi 1 tahun ke depan lebih tepat dibandingkan dengan ekspektasi inflasi tahun berjalan.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai RMSE yang lebih kecil. Namun hal ini perlu diteliti lagi
mengingat adanya gangguan data di tahun 2005 – 2006 akibat kenaikan BBM.
(insert Tabel 13, lihat lampiran)
6.3 Evaluasi Berbagai Data Ekspektasi Inflasi
Sebagaimana terlihat dalam tabel 14 (lihat lampiran), estimasi ekspektasi inflasi di
pasar barang menghasilkan informasi yang berbeda. Survei SKDU menyatakan bahwa
ekspektasi inflasi selalu berada di atas sasaran inflasi, kecuali pada tahun 2006. SKDU juga
menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas inflasi aktual akhir tahun.
Sementara itu, dari tabel yang sama terlihat bahwa Survei Persepsi Pasar relatif dapat
mencerminkan sasaran inflasi dan inflasi aktual. Namun demikian, terdapat perbedaan yang
nyata antara kedua survei tersebut, yakni SPP lenih menggambarkan interval sedangkan
SKDU menggambarkan point/level. Hal inilah yang menjadikan sasaran inflasi dan inflasi
aktual selalu berada di dalam interval ekspektasi inflasi dalam SPP.
(insert Tabel 14, lihat lampiran)
Hasil temuan di atas merekomendasikan agar hasil SKDU dan SPP perlu diperhatikan
dalam merumuskan kebijakan moneter selanjutnya. Kedua hasil survei tersebut layak
dijadikan referensi utama sebagaimana yang selama ini dilakukan terhadap hasil SK dan SPE,
khususnya dalam menyiapkan dan merumuskan bahan Rapat Dewan Gubernur (RDG) di BI.
Berbeda dengan hasil SKDU di Pasar Barang, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel
14, estimasi ekspektasi inflasi di pasar uang yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia selama
31
ini masih sedikit di bawah nilai aktualnya. Meskipun begitu, membandingkan hasil estimasi
ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di Pasar uang diperoleh bukti bahwa estimasi di Pasar
Uang (yaitu dari Bloomberg dan Consensus Forecast) lebih mendekati nilai aktualnya.
Sayangnya, Bloomberg mengeluarkan data ekspektasi inflasinya hanya beberapa hari
sebelum pengumuman inflasi aktual sehingga penggunaannya belum dapat dimanfaatkan
secara optimal. Namun demikian, survei ekspektasi inflasi penjual eceran (SPE) 3 bulan
sebelumnya yang dilakukan DSM ternyata lebih mampu menggambarkan gerakan inflasi
aktual secara tepat. Hal ini mengisyaratkan agar SPE perlu mendapat perhatian lebih besar
dalam perumusan kebijakan moneter.
6.4 Studi Banding Negara Lain
6.4.1 Ekspektasi Inflasi di Pasar Barang dan Pasar Uang
Penelitian ini juga membandingkan ekspektasi inflasi yang dihasilkan dari survei di
pasar barang di beberapa negara lain. Survei tersebut biasanya dilakukan oleh otoritas
moneter negara tersebut. Adapun data yang dapat diperoleh adalah dari bank sentral
Australia (Reserve Bank of Australia), bank sentral Selandia Baru (Reserve Bank of New
Zealand), dan bank sentral Filipina (Banko Sentral ng Pilipinas). Selain itu, penelitian ini juga
melihat hasil survei di pasar uang yang dilakukan oleh Bloomberg mengenai prediksi inflasi 1
bulan ke depan untuk negara Filipina, Thailand, Malaysia, Singapore, dan Korea walaupun
informasi mengenai ekspektasi inflasi di pasar uang tidak dilakukan lebih dalam pada
kesempatan ini dan bermanfaat untuk ditelusuri lebih jauh pada penelitian lainnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Melbourne Institute Survey (MIS) dan
inflasi aktual di Australia, yang ditunjukkan dalam gambar 12 (lihat lampiran), terlihat bahwa
ekspektasi inflasi di Australia relatif tepat dalam menggambarkan inflasi aktual kecuali di
bulan Juni 2000 – Juni 2001 dimana inflasi aktual jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi
inflasi. Secara umum sejak periode tersebut ekspektasi inflasi selalu sedikit lebih tinggi
dibandingkan inflasi aktual namun keduanya relatif stabil dalam kisaran 2 – 4%. Pengaruh
implementasi ITF di Australia dengan target inflasi sebesar 2 – 3% sejak pertengahan tahun
1993 telah mempengaruhi ekspektasi inflasi di masyarakat. Walaupun tidak selalu mencapai
target (seperti pada tahun 2000, 2001, 2006 dan 2007) namun deviasinya tidak terlalu jauh
dan inflasi di Australia relatif lebih stabil.
(insert Gambar 12, lihat lampiran)
32
Di Selandia Baru, terdapat beberapa survei yang dilakukan untuk menangkap
informasi mengenai ekspektasi inflasi yaitu :
1. Reserve Bank of New Zealand Survey of Expectations (RBNZ Survey), merupakan survei
triwulanan dengan responden pemimpin perusahaan sebanyak 200 orang.
2. AON Economist Survey, merupakan survei triwulanan terhadap 15 ekonom senior dari
perusahaan swasta dan lembaga keuangan
3. National Bank Business Outlook (NBBO) Survey, merupakan survei bulanan terhadap
sekitar 1500 nasabah bisnis Bank of New Zealand
4. Marketscope Survey , merupakan bagian dari survei triwulanan AC Nielsen yang
disponsori oleh Bank Sentral melalui survei terhadap 1000 rumah tangga.
5. Westpac-McDermott-Millar Consumer Confidence Survey, merupakan survei triwulanan
melalui telpon terhadap 1500 responden rumah tangga.
Seluruh survei yang dilakukan menanyakan ekspektasi inflasi yoy pada 1 tahun yang
akan datang. Berdasarkan hasil analisis terhadap survei-survei tersebut (Ranchord, 2003)
disimpulkan bahwa data hasil survei RBNZ, Marketscope dan AON memberikan informasi
forward-looking terkait dengan inflasi dan pencapaian target inflasi dalam jangka pendek.
Data hasil survei-survei ini memberikan tambahan informasi penjelas yang tidak dapat
diketahui dari indikator-indikator ekonomi lain seperti nilai tukar, output gap, dll. Walaupun
masih belum akurat namun data mengenai ekspektasi inflasi dapat digunakan sebagai
indikator tekanan inflasi jangka pendek. Contoh dari hasil survei RBNZ ditunjukkan dalam
gambar 13.
(insert Gambar 13, lihat lampiran)
Informasi mengenai ekspektasi inflasi di Filipina diperoleh dari Business Survey yang
dilakukan setiap triwulan dengan jumlah responden sekitar 1300 perusahaan. Dalam survei
tersebut responden ditanyakan mengenai ekspektasi tingkat inflasi 1 triwulan ke depan
dengan pilihan jawaban naik, tetap atau turun. Kemudian hasil survei ini disusun dalam
bentuk indeks, yaitu jumlah jawaban naik dikurangi jumlah jawaban turun, sehingga
keakuratan terhadap inflasi aktual hanya dapat dilakukan dengan uji korelasi.
Membandingkan ekspektasi inflasi masyarakat di Indonesia dengan di luar negeri
diperoleh hal yang menarik. Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 15 (lihat lampiran), RMSE
33
hasil survei SKDU di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan survei serupa di Australia dan
Selandia Baru. Hal ini bisa diartikan menjadi beberapa hal. Pertama, masyarakat Australia
dan Selandia Baru lebih well-informed mengenai inflasi aktual sehingga ekspektasi inflasi
mereka terbangun dengan lebih baik. Kedua, pertanyaan dalam survei lebih dapat
dimengerti oleh responden sehingga hasilnya lebih akurat. Ketiga, inflasi di kedua negara
relatif stabil sehingga masyarakat lebih tepat dalam memprediksi inflasi. Keempat, target
inflasi telah tercapai dengan baik sehingga masyarakat memiliki ekspektasi mendekati target.
Dibandingkan dengan survei Filipina, korelasi dari indeks hasil survei terhadap inflasi
aktual SKDU relatif lebih rendah (SKDU : 0.15, Business Expectation Survey (BES) Filipina :
0.60). Hal ini mungkin diakibatkan oleh jenis pertanyaan dalam kuesioner pada BES Filipina
yang langsung menanyakan perkiraan perubahan tingkat inflasi, sementara di SKDU
pertanyaan yang diajukan adalah mengenai perkiraan perubahan harga jual sehingga terjadi
perbedaan maksud. Ketika responden ditanya mengenai perubahan harga jual maka
kecenderungannya akan selalu naik tapi ketika ditanya mengenai perubahan inflasi maka
ada kecenderungan pada saat tertentu turun karena mereka melakukan perbandingan
dengan periode sebelumnya.
(insert Tabel 15, lihat lampiran)
Dari tabel yang sama dapat pula dilihat bahwa di pasar uang, hasil RMSE survei
Bloomberg menunjukkan bahwa inflasi aktual di Indonesia lebih tinggi dibandingkan
negara-negara lain. Hal ini mungkin disebabkan kondisi perekonomian Indonesia yang lebih
mudah berubah sehingga inflasi agak sulit diprediksi.
6.4.2 Perbandingan Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Bank Sentral
Salah satu kunci keberhasilan ITF adalah transparansi dan akuntabilitas kebijakan.
Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan strategi komunikasi yang baik, sehingga
masyarakat mendapat informasi yang benar yang memudahkan mereka dalam melakukan
perencanaan kegiatan ekonomi mereka.
Selain itu, strategi komunikasi bank sentral mengenai kebijakan moneternya sangat
penting dalam mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat . Apabila komunikasi yang benar
dan baik tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan maka akan meningkatkan
kredibilitas bank sentral yang diperlukan untuk mencapai tujuan otoritas moneter dalam
mencapai kestabilan harga.
34
Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 16 dan 17, secara umum, hampir seluruh
sembilan bank sentral yang diteliti melakukan strategi komunikasi yang bersifat langsung.
Artinya pengumuman kebijakan disiarkan antara lain melalui press release dan pidato. Selain
itu strategi komunikasi tidak langsung melalui laporan-laporan rutin kebijakan dan proyeksi
inflasi ke depan.
Terdapat beberapa bank sentral yang mempublikasikan notulensi rapat pengambilan
kebijakan beberapa hari atau beberapa minggu setelah rapat dilaksanakan. Hal ini belum
dilakukan oleh Bank Indonesia.
Agar masyarakat dapat menjadikan sasaran inflasi yang ditetapkan Pemerintah
berdasarkan masukan dari Bank Indonesia, maka ada baiknya hasil proyeksi inflasi, baik
jangka pendek, menengah, dan panjang,yang dihitung oleh bank sentral diinformasikan
kepada masyarakat. Hal ini dapat membantu masyarakat pembentukan ekspektasi inflasi
mereka, sehingga pada akhirnya sasaran inflasi dapat tercapai.
(insert Tabel 16, lihat lampiran)
(insert Tabel 17, lihat lampiran)
7. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
1. Estimasi ekspektasi inflasi di pasar barang menghasilkan informasi yang berbeda. Survei
SKDU menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas sasaran inflasi, kecuali
pada tahun 2006. SKDU juga menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas
inflasi aktual akhir tahun. Survei Persepsi Pasar relatif dapat mencerminkan sasaran inflasi
dan inflasi aktual. Namun demikian SPP menggambarkan interval sedangkan SKDU
menggambarkan point/level. Hal inilah yang menjadikan sasaran inflasi dan inflasi aktual
selalu berada di dalam interval ekspektasi inflasi.
2. Hasil temuan di atas merekomendasikan agar hasil SKDU dan SPP harus diperhatikan
dalam merumuskan kebijakan moneter selanjutnya, sebagaimana yang dilakukan
terhadai hasil SK dan SPE dalam merumuskan bahan RDG.
3. Estimasi ekspektasi inflasi di pasar uang, yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia
selama ini masih sedikit di bawah nilai aktualnya.
4. Membandingkan hasil estimasi ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di Pasar uang
diperoleh bukti bahwa estimasi di Pasar Uang paling mendekati nilai aktualnya.
35
5. Semenjak ITF diberlakukan, pelaku pasar sudah mulai mengikuti target inflasi yang
ditetapkan pemerintah dan BI. Masyarakat semakin memiliki kecenderungan ekspektasi
rasional, sehingga setiap pengumuman kebijakan pemerintah dan BI mampu
mempengaruhi ekspektasi secara langsung dan karenanya menurunkan inflasi tanpa
harus menyebabkan resesi.
6. Strategi penetapan kebijakan moneter yang dilakukan oleh BI telah mengikuti best
practices yang juga dilakukan oleh bank sentral negara lain untuk mengarahkan
ekspektasi masyarakat/pasar agar sesuai dengan target inflasi.
7.2 Implikasi Kebijakan
1. Perekonomian Indonesia nampaknya masih akan terus mengalami inflasi yang tinggi
selama beberapa periode ke depan akibat kenaikan hampir seluruh komoditi utama
dan kenaikan harga minyak.
2. Oleh karena itu langkah-langkah yang dapat dilakukan bank sentral/pemerintah dalam
jangka pendek antara lain melakukan kerjasama bilateral antar negara untuk menjamin
supply komoditas, mengurangi tarif impor, mengurangi pajak dan
mengimplementasikan kontrol harga pada beberapa komoditas.
3. Dalam jangka menengah dan panjang, negara dapat melakukan kebijakan jaring
pengaman untuk masyarakat tertentu, mempromosikan peningkatan efisiensi dalam
produksi dan distribusi barang/jasa perekonomian dan melakukan kebijakan untuk
mengurangi demand dalam rangka penyesuaian terhadap keterbatasan supply.
4. Penguatan strategi komunikasi ke publik, khususnya terhadap pasar barang dan pasar
uang, yang dapat meningkatkan kepercayaan publik sehingga dapat memperbaiki pola
pembentukan ekspektasi masyarakat dan pada akhirnya meredam ekspektasi inflasi
yang berlebihan di saat krisis sekalipun.
5. Low and credible inflation regimes lebih penting dibandingkan low and stable inflation.
Hal ini terbukti bahwa tidak satupun negara yang terkena dampak krisis keuangan
baru-baru ini menunjukkan indikasi masalah inflasi sebelum dan selama krisis
berlangsung.
6. Low and credible inflation regimes adalah penting dalam memaksimalkan kemampuan
bank sentral dalam menyediakan kecukupan likuiditas, sehingga kredibilitas bank
sentral dapat terjaga dan dalam jangka menengah-panjang ekspektasi inflasi dapat
diarahkan sesuai dengan rentang target bank sentral.
36
Daftar Pustaka
Bank of Canada (1998), ‘Information in financial asset prices’, Bank of Canada, Ottawa Berk, Jan Marc. 2002. "Consumers' Inflation Expectations and Monetary Policy in Europe,"
Contemporary Economic Policy, Oxford University Press, vol. 20(2), pages 122-132, April.
Celasun, Oya, Gaston Gelos, and Alessandro Prati, 2003, “Would Cold Turkey Work in
Turkey?” IMF Working Paper 03/49, (Washington: International Monetary Fund). Cerisola, Martin and R. Gaston Gelos. 2005. What Drives Inflation Expectations in Brazil? An
Empirical Analysis. IMF Working Paper WP/05/109 Day, Jim and Lange, Ron, "The Structure of Interest Rates in Canada: Information Content
about Medium-Term Inflation" (May 1997). Working Paper 97-10. Hutabarat, Akhis R.. 2005. Determinan Inflasi Indonesia. Occasional Paper No OP/06/2005.
Bank Indonesia Laksmono R, Didy. Suhaedi, dkk. 2000. Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi
Inflasi. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Maret 2000. Bank Indonesia Mankiw, N. Gregory. 2003. Macroeconomics 5th edition. Worth Publishers, New York and
Basingtoke, USA Mylonas, P. and Schich, S.T. (1999), ‘The use of financial market indicators by monetary
authorities’, OECD Economics Department Working Paper, 223. Ranchhod, Satish. 2003. The relationship between inflation expectations survey data and
inflation, Reserve Bank of New Zealand: Bulletin Vol. 66 No. 4. Sargent, T.J. 1982. The End of Four Big Inflation, dalam Robert E. Hall, ed., Inflation: causes
and Effects, Chicago, University of Chicago Press. Wuryandani, Gantiah dan Reza Anglingkusumo.1998. Ekspektasi Inflasi Di Masa Krisis.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan September 1998, Bank Indonesia Wuryandari, Gantiah dkk. 2001. Monetary Policy Transmission Through Inflation Expectation
Channel. Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia, Bank Indonesia
37
LAMPIRAN
Tabel 1 Contoh Hasil Survei SKDU – Prakiraan Harga Jual
Tabel 2 Contoh Hasil Survei SKDU – Ekspektasi Inflasi
Keterangan :
Pertanyaan perkiraan responden mengenai inflasi yang akan terjadi pada tahun 2008 ditanyakan pada survei
triwulan IV-2007, triwulan I-2008, triwulan II-2008 dan triwulan III-2008. Demikian juga perkiraan inflasi pada
tahun-tahun sebelumnya juga ditanyakan sebagimana cakupan tersebut diatas.
38
Tabel 3 Bobot Sektor dalam Penghitungan Saldo Bersih Tertimbang SKDU
No S E K T O R Kode
Sektor Bobot
1 PERTANIAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN
A. Tanaman Pangan 1A 8.01%
B. Tanaman Perkebunan 1B 2.28%
C. Peternakan dan Hasil - hasilnya 1C 1.84%
D. Kehutanan 1D 1.24%
E. Perikanan 1E 2.23%
2 PERTAMBANGAN
A. Minyak dan gas bumi 2A 8.43%
B. Pertambangan tanpa migas 2B 2.81%
C. Penggalian 2C 0.83%
3 INDUSTRI PENGOLAHAN
A. Industri Non Migas
1. Makanan, minuman dan tembakau 3A 8.06%
2. Tekstil, barang kulit dan alas kaki 3B 3.27%
3. Barang kayu dan hasil hutan lainnya 3C 1.46%
4. Kertas dan barang cetakan 3D 1.44%
5. Kimia dan barang dari karet 3E 3.09%
6. Semen dan barang galian bukan loga, 3F 0.73%
7. Logam dasar, besi dan baja 3G 0.66%
8. Alat angkutan, mesin dan peralatannya 3H 4.94%
9. Barang Lainnya 3I 0.20%
B. Industri Migas
1. Pengilangan minyak bumi 3J 1.63%
2. Gas alam cair 3K 2.28%
4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH
A. Listrik 4A 0.43%
B. Gas 4B 0.08%
C. Air bersih 4C 0.10%
5 BANGUNAN 5A 5.51%
6 PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN
A. Perdagangan 6A 13.31%
B. Hotel 6B 0.65%
C. Restoran 6C 2.19%
7 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
A. Pengangkutan
1. Angkuran rel 7A 0.05%
2. Angkutan jalan raya 7B 1.57%
3. Angkutan laut 7C 0.50%
4. Angkutan sungai, danau dan penyeberangan 7D 0.14%
5. Angkutan udara 7E 0.32%
6. Jasa penunjang angkutan 7F 0.79%
B. Komunikasi 7G 1.31% 8 KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN
A. Bank 8A 3.96%
B. Lembaga keuangan bukan Bank (LKBB) 8B 0.60%
39
No S E K T O R Kode
Sektor Bobot
C. Jasa Penunjang Keuangan 8C 0.06%
D. Sewa Bangunan 8D 2.29%
E. Jasa Perusahaan 8E 1.39%
9 JASA - JASA
A. Pemerintahan Umum
1. Administrasi pemerintahan dan pertahanan 9A 3.82%
2. Jasa Pemerintahan lainnya 9B 1.18%
B. Swasta
1. Sosial dan Kemasyarakatan 9C 1.14%
2. Hiburan dan rekreasi 9D 0.34%
3. Perorangan dan Rumah Tangga 9E 2.85%
Tabel 4 Contoh Hasil Survei Persepsi Pasar – Ekspektasi Indikator Ekonomi
Tabel 5 Contoh Hasil Survei Konsumen – Ekspektasi Harga
40
Tabel 6 Contoh Hasil Survei Penjualan Eceran – Ekspektasi Harga
Tabel 7 Contoh Hasil Consensus Forecast
41
Tabel 8 Ekspektasi Harga Jual SKDU Berdasarkan Sektor (% SBT)
Tabel 9 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga Jual SKDU
Periode Korelasi Volatilitas PRA ITF (2003:I – 2005:II)
-0.18 5.89
PASKA ITF (2005:III – 2007:IV) 0.17 10.85
SELURUH PERIODE (2003:I – 2007:IV) 0.15 8.79
Tabel 10 RMSE dan Volatilitas Ekspektasi Inflasi SKDU
Periode RMSE Volatilitas PRA ITF (2003:I – 2005:II) 4.8 0.51
PASKA ITF (2005:III – 2007:IV)
4.38 0.92
SELURUH PERIODE (2003:I – 2007:IV)
4.58 0.75
Pertanian, Peternakan, Kehutanan &
Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
BangunanPerdagangan,
Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan
J a s a - j a s a
I 1,97 1,72 4,67 - 2,20 3,70 1,18 0,63 3,41 II 1,36 1,34 4,42 0,20 1,50 2,01 0,48 -0,71 2,70 III 1,35 -0,48 1,63 0,12 1,20 1,19 0,28 -1,81 1,59 IV 2,21 1,51 2,52 0,09 1,02 2,80 0,54 -2,37 1,24 I 2,20 2,51 3,47 0,15 1,32 1,58 0,30 -1,51 1,59 II 2,18 3,15 1,50 0,12 1,82 2,41 0,47 -2,04 1,24 III 2,22 2,33 3,46 0.00 1,41 2,32 0.00 -0,55 0,59 IV 2,10 1,44 2,33 0,08 1,22 2,59 0,87 0,32 1,12 I 1,97 1,98 9,73 0,12 2,12 5.50 0,65 0,08 1.00 II 3,51 4,36 8,25 0,22 2,85 5,41 1,58 1.10 1,53 III 3,57 3,39 7,56 0,09 1,76 3,14 0,91 1.10 0,64 IV 4.10 7,38 14,13 0,14 2,59 7,81 1,93 3.20 3,48 I 3,28 3.50 4,89 0,18 1,99 3,75 0,49 2,24 3,12 II 1,97 2,98 3,64 0.20 1,97 2,55 0,55 0,68 1,24 III 5,44 2,34 2,19 0.10 1.40 2,61 0,16 -0,02 0,33 IV 3,53 -1,42 2,39 0,13 1,38 2,66 0,55 -0,64 0,53 I 1,17 -0,64 3,37 0,17 1,18 2,21 0,22 -1,02 0,22 II 2.89 3.08 3.56 0.09 2.01 2.50 0.24 -0.92 0.06 III 4.12 3.16 3.04 0.16 1.48 1.93 0.53 -0.91 4.10 IV 4.92 3.90 3.73 0.14 1.42 3.49 0.61 -0.60 1.51
2008 I* 3,30 3.17 8.91 0.10 2.36 3.98 0.53 0.19 0.39
2007
2003
2004
2005
2006
42
Tabel 11 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga SK
Periode Korelasi VolatilitasPRA ITF (2003:I – 2005:II)
-0.15 6.81
PASKA ITF (2005:III – 2007:IV)
0.37 4.62
SELURUH PERIODE(2003:I – 2007:IV)
0.09 5.68
Tabel 12 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga Jual SPE
SPE 6 bulan SPE 3 bulan Periode Korelasi Volatilitas Korelasi Volatilitas
PRA ITF (2003:I – 2005:II)
0.40 7.43 0.40 8.69
PASKA ITF (2005:III – 2007:IV)
0.29 6.88 0.65 10.51
SELURUH PERIODE (2003:I – 2007:IV)
0.28 7.1 0.59 9.62
Tabel 13 RMSE Consensus Forecast
Pelaksanaan CF RMSE 1 tahun sebelum prediksi (t-1) 1.42
Pada tahun yang sama (t) 4.55
Tabel 14 Perbandingan Data Ekspektasi Inflasi
Perbandingan dengan Inflasi Aktual Volatilitas
RMSE Korelasi Ekspektasi Inflasi SKDU 4.58 Consensus Forecast (t) 4.55Consensus Forecast (t-1) 1.42Bloomberg Survey 0.86 Ekspektasi Harga Jual SKDU 0.15 SK 0.09 SPE 3 bulan 0.59 SPE 6 bulan 0.28
Yield SUN
Yield SUN 1 tahun -0.45
Yield SUN 2 tahun -0.57
43
Tabel 15 Perbandingan Evaluasi Ekspektasi Inflasi Negara Lain
RMSE Korelasi Pasar Barang Reserve Bank of Australia : Melbourne Institute Survey 1.31
Reserve Bank of New Zealand : RBNZ Survey 0.5
Banko Sentral ng Pilipinas :Business Survey Expectation
0.60
SKDU – Ekspektasi Inflasi 4.58 SKDU – Ekspektasi Harga Jual 0.15 Pasar Uang : Bloomberg Phillipina 0.4 Thailand 0.43 Malaysia 0.23 Singapore 0.41
Korea 0.27
Australia 0.28
44
Tabel 16 Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Negara Lain, 1
45
Tabel 17 Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Negara Lain, 2
46
Gambar 1 Ekspektasi Harga Jual SKDU dan Inflasi Aktual
Gambar 2 Penyebab Utama Ekspektasi Harga Jual Meningkat
Gambar 3 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SKDU dan Inflasi Aktual
0
10
20
30
40
50
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I*
2003 2004 2005 2006 2007 2008
%SBT
0
3
6
9
12%
Eksp_HJ 1 tw
Inflasi qoq (RHS)
0%5%
10%15%
20%25%
30%35%
40%45%
I II III IV I II III IV
2006 2007
Harga bahan baku/penolongmeningkat
Biaya operasional lainnyameningkat
Persaingan produk sejenismenurun
Hari besar/liburan (faktormusiman)
Kualitas barang/jasameningkat
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
14%
16%
18%
2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Inflasi aktual (ytd) Inflasi aktual (yoy) Ekspektasi Inflasi akhir tahun
target
47
Gambar 4 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SPP Triwulanan dan Inflasi Aktual
Gambar 5 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SPP dan Inflasi Aktual Akhir Tahun
Gambar 6 Perbandingan Ekspektasi Harga SK dan Kenaikan Harga Aktual
4%
6%
8%
10%
12%
14%
16%
18%
III/04 I/05 II/05 III/05 I/06 II/06 III/06 I/07 II/07 III/07 I/08 II/08
Ekspektasi
Inflasi
4%
6%
8%
10%
12%
14%
16%
18%
Series1 Inflasi Aktual Akhir Tahun
150.0
155.0
160.0
165.0
170.0
175.0
180.0
185.0
190.0
Sep-03
Mar-04
Sep-04
Mar-05
Sep-05
Mar-06
Sep-06
Mar-07
Sep-07
Mar-08
Sep-08
% SBT
0
2
4
6
8
10
12
14%
SK6
Inflasi (6 bln)
48
Gambar 7 Perbandingan Ekspektasi Harga SPE dan Kenaikan Harga Aktual 3 Bulan ke Depan
Gambar 8 Perbandingan Ekspektasi Harga SPE dan Kenaikan Harga Aktual 6 Bulan ke Depan
Gambar 9 Perbandingan Yield SUN 1 tahun dan Inflasi Aktual
100.0
110.0
120.0
130.0
140.0
150.0
160.0
170.0
180.0
Jan-0
3
Apr-0
3Ju
l-03
Oct-03Ja
n-04
Apr-0
4Ju
l-04
Oct-04Ja
n-05
Apr-0
5Ju
l-05
Oct-05Ja
n-06
Apr-0
6Ju
l-06
Oct-06Ja
n-07
Apr-0
7Ju
l-07
Oct-07Ja
n-08
Apr-0
8
-2
0
2
4
6
8
10
12
SPE3
Inflasi (3 bln)
100.0
110.0
120.0
130.0
140.0
150.0
160.0
Jan-03 Jul-03 Jan-04 Jul-04 Jan-05 Jul-05 Jan-06 Jul-06 Jan-07 Jul-07 Jan-08 Jul-080
2
4
6
8
10
12
14SPE6
Inflasi (6 bln)
02468
101214161820
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
Yield SUN 1Yr
Inflasi (t+1)
49
Gambar 10 Perbandingan Yield SUN 2 tahun dan Inflasi Aktual
Gambar 11 Perbandingan Consensus Forecast dan Inflasi Aktual
`
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
Yield SUN 2Yr
Inflasi (t+2)
0
2
4
6
8
1012
14
16
18
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2005 2006 2007 2008
%
Inf lasi (yoy, monthly) Inf lasi (ytd, monthly) CF( t-1) CF t target inflasi
50
Gambar 12 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di Australia
Gambar 13 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di New Zealand
Gambar 14 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di Filipina
Ekspektasi dan Inflasi AktualAustralia
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
Mar
-00
Sep-
00
Mar
-01
Sep-
01
Mar
-02
Sep-
02
Mar
-03
Sep-
03
Mar
-04
Sep-
04
Mar
-05
Sep-
05
Mar
-06
Sep-
06
Mar
-07
Sep-
07
Mar
-08
Inflation
Expectation
Ekspektasi Inflasi dan Aktual Philipina
-10
0
10
20
30
40
50
60
Jun-01 Mar-02 Dec-02 Sep-03 Jun-04 Mar-05 Dec-05 Sep-06 Jun-07 Mar-080
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
expectation
inflation (RHS)
51
Gambar 15 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Indonesia
Gambar 16 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Filipina
Gambar 17 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Thailand
Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Indonesia
0
4
8
12
16
20
Jan-0
5
May-05
Sep-05
Jan-0
6
May-06
Sep-06
Jan-0
7
May-07
Sep-07
Jan-0
8
May-08
Aktual
Survei
Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Philipina
0
4
8
12
Jan-0
5
May-05
Sep-05
Jan-0
6
May-06
Sep-06
Jan-0
7
May-07
Sep-07
Jan-0
8
May-08
Aktual
Survei
Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Thailand
0
4
8
Jan-0
5
May-05
Sep-05
Jan-0
6
May-06
Sep-06
Jan-0
7
May-07
Sep-07
Jan-0
8
May-08
Aktual
Survei
52
Gambar 18 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Malaysia
Gambar 19 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Singapore
Gambar 20 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Korea
Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Malaysia
0
2
4
6
Jan-0
5
May-05
Sep-05
Jan-0
6
May-06
Sep-06
Jan-0
7
May-07
Sep-07
Jan-0
8
May-08
Aktual
Survei
Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Singapore
-2
0
2
4
6
8
Jan-0
5
May-05
Sep-05
Jan-0
6
May-06
Sep-06
Jan-0
7
May-07
Sep-07
Jan-0
8
May-08
Aktual
Survei
Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Korea
0
2
4
6
Jan-0
5
May-05
Sep-05
Jan-0
6
May-06
Sep-06
Jan-0
7
May-07
Sep-07
Jan-0
8
May-08
Aktual
Survei
53
Gambar 21 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Australia
Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Australia
0
1
2
3
4
5
Mar-05
Jul-0
5
Nov-05
Mar-06
Jul-0
6
Nov-06
Mar-07
Jul-0
7
Nov-07
Mar-08
Aktual
Survei