analisis ekspektasi inflasi indonesia pasca itf file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti...

58
WORKING PAPER WP/09/2008 Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF Muslimin Anwar Tevy Chawwa Mei 2008

Upload: vuquynh

Post on 23-May-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

WORKING PAPER WP/09/2008

Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF

Muslimin Anwar Tevy Chawwa

Mei 2008

Page 2: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

ii

Analisis Ekspektasi Inflasi Paska ITF

Muslimin Anwar dan Tevy Chawwa1

Working Paper No.09 Juni 2008

ABSTRAKS

Ekspektasi inflasi masyarakat merupakan faktor kunci dalam perumusan kebijakan moneter guna

mencapai target inflasi yang rendah dan stabil sesuai dengan tujuan penerapan Inflation Targeting

Framework (ITF.) Dengan menggunakan data survey triwulanan di pasar barang dan pasar uang, periode

2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang

dan pasar uang Indonesia sebelum dan sesudah penerapan ITF.

Pertama, meskipun data survei tidak selalu akurat sebagai alat prediktor tingkat inflasi, namun

tetap mampu menyajikan informasi yang berharga mengenai tekanan inflasi jangka pendek. Kedua,

estimasi ekspektasi inflasi di pasar barang (Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), survei pedagang eceran

(SPE), survei konsumen (SK), dan survei persepsi pasar (SPP)), menghasilkan informasi yang berbeda-beda,

dimana SPP relatif lebih dapat mencerminkan rentang sasaran inflasi dan inflasi aktual. Ketiga,

membandingkan hasil estimasi ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di Pasar uang diperoleh bukti bahwa

estimasi di Pasar Uang paling mendekati nilai aktualnya. Keempat, penerapan ITF telah mengarahkan

ekspektasi inflasi agen ekonomi sesuai dengan sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah atas

rekomendasi Bank Indonesia.Kelima, strategi penetapan kebijakan moneter yang dilakukan oleh BI telah

mengikuti best practices yang juga dilakukan oleh bank sentral negara lain untuk mengarahkan

ekspektasi masyarakat/pasar agar sesuai dengan target inflasi.

JEL classification: E31, C42, D84

Keywords: Inflation, Surveys, Expectations

1 Peneliti Ekonomi di Biro Riset Ekonomi (BRE), Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKM), Bank Indonesia. Penulis

mengucapkan terimakasih kepada Bpk. Wijoyo Santoso dan rekan-rekan DSM dan BRE, yang telah memberikan dukungan dan

informasi. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak merefleksikan pandangan DKM atau Bank

Indonesia. Kesalahan atau kekeliruan yang ada adalah semata-mata kesalahan penulis: [email protected] , [email protected]

Page 3: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAKS ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

1. PENDAHULUAN 1

2. STUDI PUSTAKA 5

3. Perkiraan Ekspektasi Inflasi di Indonesia 9

3.1 Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) 9

3.2 Survei Persepsi Pasar (SPP) 10

3.3 Survei Konsumen (SK) 11

3.4 Survei Penjualan Eceran (SPE) 12

3.5 Yield Surat Utang Negara (SUN) 12

3.6 Consensus Forecast 13

4. LANDASAN TEORI 13

4.1 Kurva Philips 14

4.2 Ekspektasi Rasional 16

5. DATA dan METODOLOGI 18

6. ANALISIS EMPIRIS 19

6.1 Ekspektasi Inflasi di Pasar Barang 19

6.1.1 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha 19

6.1.2 Hasil Survei Persepsi Pasar 24

6.1.3 Hasil Survei Konsumen 25

6.1.4 Hasil Survei Penjualan Eceran 27

6.2 Ekspektasi Inflasi di Pasar Uang 28

6.2.1 Perkembangan Yield Surat Utang Negara (SUN) 28

6.2.2 Consensus Forecast 29

6.3 Evaluasi Berbagai Data Ekspektasi Inflasi 30

6.4 Studi Banding Negara Lain 31

6.4.1 Ekspektasi Inflasi di Pasar Barang dan Pasar Uang 31

6.4.2 Perbandingan Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Bank Sentral 33

7. PENUTUP 34

7.1 Kesimpulan 34

7.2 Implikasi Kebijakan 35

Daftar Pustaka 36

LAMPIRAN 37

Page 4: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Ekspektasi Harga Jual SKDU dan Inflasi Aktual ........................................................ 46 Gambar 2 Penyebab Utama Ekspektasi Harga Jual Meningkat ................................................. 46 Gambar 3 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SKDU dan Inflasi Aktual ......................................... 46 Gambar 4 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SPP Triwulanan dan Inflasi Aktual ........................... 47 Gambar 5 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SPP dan Inflasi Aktual Akhir Tahun ......................... 47 Gambar 6 Perbandingan Ekspektasi Harga SK dan Kenaikan Harga Aktual .............................. 47 Gambar 7 Perbandingan Ekspektasi Harga SPE dan Kenaikan Harga Aktual 3 Bulan ke Depan 48 Gambar 8 Perbandingan Ekspektasi Harga SPE dan Kenaikan Harga Aktual 6 Bulan ke Depan 48 Gambar 9 Perbandingan Yield SUN 1 tahun dan Inflasi Aktual ................................................ 48 Gambar 10 Perbandingan Yield SUN 2 tahun dan Inflasi Aktual .............................................. 49 Gambar 11 Perbandingan Consensus Forecast dan Inflasi Aktual ............................................. 49 Gambar 12 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di Australia ............................................................... 50 Gambar 13 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di New Zealand ........................................................ 50 Gambar 14 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di Filipina .................................................................. 50 Gambar 15 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Indonesia ................................................. 51 Gambar 16 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Filipina ..................................................... 51 Gambar 17 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Thailand .................................................. 51 Gambar 18 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Malaysia ................................................. 52 Gambar 19 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Singapore ............................................... 52 Gambar 20 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Korea ...................................................... 52 Gambar 21 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Australia ................................................. 53

Page 5: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Contoh Hasil Survei SKDU – Prakiraan Harga Jual ....................................................... 37 Tabel 2 Contoh Hasil Survei SKDU – Ekspektasi Inflasi ........................................................... 37 Tabel 3 Contoh Hasil Survei Persepsi Pasar – Ekspektasi Indikator Ekonomi .............................. 38 Tabel 4 Contoh Hasil Survei Konsumen – Ekspektasi Harga ..................................................... 38 Tabel 5 Contoh Hasil Survei Penjualan Eceran – Ekspektasi Harga ............................................ 40 Tabel 6 Contoh Hasil Consensus Forecast ................................................................................ 40 Tabel 7 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga Jual SKDU .................................................... 41 Tabel 8 RMSE dan Volatilitas Ekspektasi Inflasi SKDU ............................................................... 41 Tabel 9 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga Jual SPE ........................................................ 42 Tabel 10 RMSE Consensus Forecast ........................................................................................ 42 Tabel 11 Perbandingan Data Ekspektasi Inflasi ......................................................................... 42 Tabel 12 Perbandingan Evaluasi Ekspektasi Inflasi Negara Lain ................................................. 43 Tabel 13 Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Negara Lain, 1 ............................................. 44 Tabel 14 Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Negara Lain, 2 ............................................. 45

Page 6: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

1

1. PENDAHULUAN

Ekspektasi inflasi memainkan peran penting dalam pembentukan inflasi sebagai

konsekuensi logis dari aktivitas perekonomian suatu negara. Keputusan ekonomi suatu

rumah tangga, perusahaan, atau pembuat kebijakan sangat tergantung pada bagaimana

ekspektasi mereka terhadap kondisi ekonomi mendatang. Ekspektasi inflasi menjadi salah

satu landasan utama kebanyakan agen ekonomi dalam menetapkan harga dan upah yang

pada akhirnya mempengaruhi keputusan konsumsi dan investasi.

Hutabarat (2005), dengan menggunakan model makroekonomi SSMX (Small-Scale

Macroeconomic model extended) menemukan bahwa ekspektasi inflasi masyarakat

Indonesia pada periode 1999-2004 sangat mendominasi pembentukan inflasi dibandingkan

variable ekonomi lainnya seperti output gap, administered price, supply shocks, dan nilai

tukar. Selain itu, berdasarkan dekomposisi inflasi di Indonesia pada tahun 2007, Bank

Indonesia (2008) mendapati bahwa ekspektasi inflasi memiliki porsi 56,8%. Angka ini jauh di

atas persentase variable volatile foods, output gap, supply shocks, dan nilai tukar. Jadi,

tidaklah mengherankan apabila ekspektasi inflasi menjadi bagian yang penting untuk

diperhitungkan dalam memperkirakan inflasi mendatang.

Hal itu ternyata sesuai dengan konsep Inflation Targeting. Menurut konsep ini,

perumusan dan analisis dampak dari kebijakan moneter Bank Sentral dilakukan dengan

memasukkan faktor ekspektasi inflasi. Bank Indonesia secara resmi mengimplementasikan

Inflation Targeting Framework (ITF) pada bulan Juli tahun 2005 dalam rangka mencapai

tujuan inflasi yang rendah dan stabil.

Ekspektasi inflasi dapat dibentuk diantaranya melalui pengumuman kepada publik

mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan serta

kebijakan yang diambil bank sentral dalam pencapaian target tersebut. Jika Bank sentral

sangat kredibel di mata agen ekonomi, maka agen ekonomi sangat percaya bahwa bank

sentral akan melakukan tindakan yang tepat dalam mengendalikan inflasi ketika inflasi mulai

bergerak menjauh dari sasaran inflasi yang ditetapkan.

Dalam situasi tersebut, ekspektasi inflasi mereka tidak akan bergerak liar, namun

terpatri pada tingkat yang sesuai dengan tujuan Bank Sentral dalam menjaga stabilitas

harga. Penetapan harga dan upah cenderung mengikuti koridor target inflasi yang

ditetapkan bank sentral dan kurang responsif terhadap fluktuasi inflasi sesaat. Hal ini sangat

membantu bank sentral, karena otoritas moneter dapat mengabaikan volatilitas harga

jangka pendek dan lebih cenderung mengambil pendekatan jangka menengah-panjang

dalam mengendalikan inflasi.

Page 7: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

2

Sebaliknya, menjaga stabilitas harga menjadi lebih sulit jika Bank Sentral tidak

kredibel di mata agen ekonomi. Dalam situasi seperti itu, wajar apabila dalam banyak

kesempatan ekspektasi inflasi masyarakat tidak sesuai dengan tujuan kebijakan moneter.

Masyarakat acapkali mendiskon kebijakan moneter, disebabkan ketidakkonsistenan bank

sentral terhadap kebijakannya di masa lalu.2 Keinginan Bank Sentral untuk menstabilkan

harga seringkali bertumbukan dengan ekspektasi inflasi masyarakat yang cenderung tinggi

dan tak bergeming terhadap kebijakan moneter. Anglingkusumo dan Wuryandani (2003)

menemukan bukti bahwa variabel kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah merupakan

determinan utama dalam pembentukan ekspektasi inflasi.

Dalam banyak situasi, ekspektasi inflasi masyarakat yang tinggi ini dapat direfleksikan

dalam bentuk permintaan upah dan harga yang tinggi, dan bahkan pada suatu saat tertentu

masyarakat cenderung mempercepat keputusan belanja konsumsinya, sehingga pada

akhirnya menambah tekanan inflasi. Mengendalikan inflasi dalam situasi yang demikian

mendorong bank sentral untuk menelurkan kebijakan moneter yang lebih agresif untuk

meyakinkan para penentu harga dan upah yang skeptis bahwa tingkat harga akan stabil.

Respon kebijakan moneter yang agresif, dengan cara menyesuaikan suku bunga

acuan ke atas tersebut, mungkin saja memiliki dampak yang berbeda dalam mempengaruhi

perilaku agen ekonomi. Hal itu tergantung pada ekspektasi masyarakat terhadap inflasi.

Sayangnya, ekspektasi inflasi tidak dapat diobservasi secara langsung. Ekspektasi harus

diinterpretasikan dalam berbagai cara. Salah satu cara yang paling umum adalah dengan

melakukan survei. Survei ekspektasi inflasi menanyakan responden mengenai harapan

mereka terhadap inflasi di masa datang.

Survei-survei yang mengukur ekspektasi inflasi tersedia luas, namun apakah mereka

merupakan representasi yang baik dari kejadian sesungguhnya merupakan hal yang patut

dipertanyakan. Tidaklah jelas benar bagaimana tanggapan para responden tersebut mampu

merefleksikan ekspektasi masyarakat sesungguhnya ketika mereka pada akhirnya mengambil

keputusan transaksi ekonominya. Ranchhod (2003) menyatakan bahwa survei yang

mengukur ekspektasi inflasi seringkali tak mampu mengikuti inflasi yang sesungguhnya,

terkadang menghasilkan kesalahan perkiraan yang besar. Lebih jauh lagi, ia menyatakan

bahwa survei yang mengukur ekspektasi inflasi seringkali lebih mampu mengukur secara

lebih baik inflasi saat ini atau inflasi masa lalu dibandingkan dengan inflasi yang akan datang

(forward-looking). Kenyataan ini menambah pertanyaan mengenai kegunaan mereka

sebagai proksi untuk ekspektasi yang sesungguhnya.

2 Lihat Barro and Gordon (1983) dan Kydland and Prescott (1977).

Page 8: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

3

Meskipun demikian, sampai saat ini bank sentral di seluruh dunia, termasuk Bank

Indonesia, masih menganggap kegiatan survei adalah salah satu alat terbaik untuk

mengukur ekspektasi masyarakat mengenai inflasi. Bank Indonesia secara berkala melakukan

perkiraaan ekspektasi inflasi baik di pasar barang maupun di pasar uang. Dalam

memperkirakan ekspektasi inflasi di pasar barang, selama ini telah digunakan berbagai survei

seperti Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), survei pedagang eceran (SPE), survei konsumen

(SK), dan survei persepsi pasar (SPP). Sebagai contoh, dalam SKDU terdapat pertanyaan

mengenai bagaimana perencana bisnis melihat perekonomian ke depan. Dari sini dapat

diketahui persepsi pelaku usaha, baik yang optimis maupun pesimis terhadap perekonomian

nasional dalam kurun waktu berjalan.

Selain menggunakan hasil survei di Pasar barang untuk mengetahui ekspektasi

masyarakat mengenai inflasi, otoritas monetar di dunia juga menggunakan hasil pengukuran

ekspektasi inflasi di pasar uang. Perkiraan ekspektasi inflasi di Pasar uang yang dilakukan

oleh Bank Indonesia selama ini adalah dengan menggunakan pendekatan yield curve dari

Surat Utang Negara (SUN) dan Consensus Forecast.

Keberhasilan implementasi ITF dan kredibilitas bank sentral dapat dilihat antara lain

dari pembentukan ekspektasi di masyarakat yang berubah dari semula bersifat backward

looking menjadi forward looking dengan merujuk pada target inflasi bank sentral. Untuk

meyakinkan hal tersebut, dipandang perlu untuk mengetahui lebih jauh apakah para pelaku

ekonomi telah memakai target inflasi sebagai referensi mereka dalam menetapkan harga

barang atau jasa.

Sejalan dengan hal tersebut, adalah penting dan bermanfaat pula untuk mengetahui

apakah estimasi ekspektasi inflasi yang selama ini dirumuskan mampu mencerminkan

ekspektasi pelaku pasar sesungguhnya, sehingga dapat disimpulkan arah kebijakan moneter

selama ini sudah benar. Untuk mendukung hal tersebut maka dipandang perlu untuk

membandingkan antara perkiraan yang selama ini BI lakukan dengan fakta di lapangan atau

nilai riilnya, serta penyebab deviasi tersebut.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (i) Meneliti

seberapa jauh estimasi ekspektasi inflasi, baik di pasar barang maupun pasar uang, yang

telah dilakukan oleh Bank Indonesia selama ini sesuai dengan nilai aktual; (ii)

membandingkan hasil estimasi ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di Pasar uang untuk

menentukan estimasi mana yang paling mendekati nilai aktualnya; (iii) meneliti seberapa

jauh pelaku pasar mengikuti target inflasi yang ditetapkan pemerintah dan Bank Indonesia

selama ini; (iv) melakukan benchmarking strategi yang dilakukan bank sentral negara lain

untuk mengarahkan ekspektasi masyarakat/pasar agar sesuai dengan target inflasi.

Page 9: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

4

Dalam mencapai tujuan penelitian dimaksud, kami menggunakan data triwulanan3

semenjak ITF diberlakukan pada bulan Juli tahun 2005. Beberapa hasil temuan dari

penelitian ini cukup menarik untuk dikemukakan. Pertama, meskipun data survei tidak selalu

akurat sebagai alat prediktor tingkat inflasi, namun tetap mampu menyajikan informasi yang

berharga mengenai tekanan inflasi dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan karena hasil

survei menyajikan informasi faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi perubahan tingkat

inflasi.

Kedua, estimasi ekspektasi inflasi di pasar barang (Survei Kegiatan Dunia Usaha

(SKDU), survei pedagang eceran (SPE), survei konsumen (SK), dan survei persepsi pasar (SPP)),

menghasilkan informasi penting yang berbeda-beda, sehingga perlu diberi perhatian yang

sama dalam perumusakan kebijakan moneter. SPP relatif lebih dapat mencerminkan rentang

sasaran inflasi dan inflasi aktual. Namun demikian, SPP cenderung menggambarkan interval

sedangkan SKDU lebih menggambarkan point/level. Hal inilah yang menjadikan sasaran

inflasi dan inflasi aktual lebih sering berada di dalam interval ekspektasi inflasi dalam hasil

SPP. Hasil temuan ini merekomendasikan agar dalam merumuskan kebijakan moneter

selanjutnya BI perlu memberikan perhatian yang sama terhadap hasil SKDU dan SPP

sebagaimana yang dilakukan selama ini terhadap hasil SK dan SPE dalam merumuskan

bahan Rapat Dewan Gubernur (RDG).

Ketiga, hasil SKDU menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas sasaran

inflasi, dengan selisih yang cenderung menurun semenjak penerapan ITF. Keempat, hasil

SKDU juga menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas inflasi aktual akhir

tahun, kecuali pada tahun 2005 sebagai dampak dari kenaikan harga BBM sebesar 120

persen. Kelima, selisih antara ekspektasi inflasi dan inflasi aktual akhir tahun semakin kecil

semenjak akhir tahun 2005 sampai dengan akhir tahun 2007. Keenam, penerapan ITF telah

mengarahkan ekspektasi inflasi agen ekonomi sesuai dengan sasaran inflasi yang ditetapkan

oleh pemerintah atas rekomendasi Bank Indonesia. Hal ini sebagai dampak dari temuan

nomor lima di atas.

Ketujuh, estimasi ekspektasi inflasi di pasar uang, yang telah dilakukan oleh Bank

Indonesia selama ini masih sedikit di bawah nilai aktualnya.

Kedelapan, membandingkan hasil estimasi ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di

Pasar uang diperoleh bukti bahwa estimasi di Pasar Uang paling mendekati nilai aktualnya.

Kesembilan, sejauh ini pelaku pasar sudah mulai mengikuti target inflasi yang

ditetapkan pemerintah dan Bank Indonesia. Strategi penetapan kebijakan moneter yang

dilakukan oleh BI telah mengikuti best practices yang juga dilakukan oleh bank sentral

3 Atau data bulanan bila data triwulanan tidak tersedia.

Page 10: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

5

negara lain untuk mengarahkan ekspektasi masyarakat/pasar agar sesuai dengan target

inflasi.

Dalam penjabarannya, paper ini dibagi menjadi 6 bagian. Pada bagian pertama berisi

pendahuluan mengenai latar belakang pentingnya ekspektasi inflasi dalam pembentukan

inflasi, tujuan dan sistematika pembahasan. Selanjutnya dilakukan studi literatur berbagai

penelitian mengenai ekspektasi inflasi terutama yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia

dan beberapa literatur mengenai ekspektasi inflasi di negara lain. Pada bagian ketiga akan

dipaparkan penjelasan survei-survei dan sumber data ekspektasi inflasi yang digunakakan

Bank Indonesia. Pada bagian keempat dijelaskan mengenai metodologi dan data yang

digunakan. Pada bagian kelima dijelaskan analisa empiris perbandingan informasi ekspektasi

inflasi dari berbagai sumber, keterkaitannya dengan inflasi aktual dan target inflasi bank

sentral serta studi banding ekspektasi inflasi serta strategi komunikasi bank sentral di

beberapa negara lain. Pembahasan ditutup oleh kesimpulan serta rekomendasi kebijakan.

2. STUDI PUSTAKA

Ranchhod (2003) menyatakan bahwa kredibilitas bank sentral merupakan hal

penting untuk mencapai tujuan bank sentral dalam mengurangi inflasi. Ketika bank sentral

memiliki kredibilitas yang rendah dan masyarakat tidak mempercayai bahwa bank sentral

akan melaksanakan apa yang dikomunikasikan, maka ekspektasi inflasi masyarakat

cenderung menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan target bank sentral. Ekspektasi sektor

swasta ini akan mempengaruhi keputusan mereka terkait dengan besar upah dan

pembentukan harga, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap inflasi. Oleh karena itu,

ekspektasi masyarakat mengenai inflasi harus dipertimbangkan oleh bank sentral dalam

memformulasikan kebijakan moneter guna menjamin tercapainya tingkat inflasi yang

ditargetkan.

Berk (2000) menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam mengukur

ekspektasi inflasi masyarakat. Pendekatan pertama adalah dengan mencoba menyimpulkan

ekspektasi inflasi berdasarkan harga-harga instrumen di pasar keuangan (Bank of Canada,

1998; Mylonas and Schich, 1999)4. Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah dapat

merefleksikan ekspektasi dari agen ekonomi terhadap kondisi ke depan. Apabila terdapat

nominal bond dan index linked bond dengan resiko, likuiditas dan jangka waktu yang sama

maka secara prinsip sangat mungkin untuk memperoleh pengukuran yang akurat mengenai

4 Bank of Canada (1998), ‘Information in financial asset prices’, Bank of Canada, Ottawa dan Mylonas, P. and Schich, S.T. (1999), ‘The use of financial market indicators by monetary authorities’, OECD Economics Department Working Paper, 223. Dikutip dari Jan Marc Berk (2000) Consumers’ Inflation Expectations And Monetary Policy In Europe

Page 11: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

6

ekspektasi inflasi berdasarkan perbandingan harga kedua jenis instrumen tersebut. Akan

tetapi dalam kenyataannya index-linked bonds sangat jarang diperdagangkan, sehingga

pada umumnya digunakan harga nominal bond yang umum walaupun informasi ekspektasi

inflasi tidak dapat dihitung secara jelas.

Pendekatan kedua adalah dengan menggunakan survei kepada publik mengenai

ekspektasi inflasi pada periode tertentu. Kelebihan dari pendekatan ini adalah hasil

ekspektasi inflasi yang diperoleh tidak terdistorsi oleh faktor-faktor lainnya atau dengan kata

lain hasil survei biasanya lebih otentik, obyektif dan jujur karena berasal dari sumber data

(responden) secara langsung melalui pertanyaan yang bersifat langsung. Akan tetapi

terdapat kemungkinan jawaban responden dalam survei tidak sama dengan keputusan

mereka dalam menaikan upah atau harga. Selain itu hasil survei sangat sensitif terhadap

sampling errors dan terhadap jenis pertanyaan yang disampaikan. Responden terkadang

tidak menjawab apa adanya tetapi apa yang sebaiknya

Wuryandari, Ikram, Handayani (2001)5 menganalisis faktor – faktor yang

mempengaruhi pembentukan ekspektasi inflasi dan peran ekspektasi inflasi sebagai salah

satu jalur transmisi kebijakan moneter. Pada tahap awal, mereka melakukan pengujian

terhadap beberapa kandidat proxy ekspektasi inflasi yaitu (i) asumsi inflasi dalam APBN, (ii)

data ekspektasi inflasi dari Survei Kegiatan Dunia Usaha yang dilakukan oleh Bank Indonesia,

(iii) data ekspektasi inflasi dari Survei Konsumen (iv) estimasi regresi linear dengan variabel

nilai tukar, suku bunga deposito 1 bulan dan inflasi, serta (v) estimasi berdasarkan suku

bunga (Fisher Theory) dengan menggunakan Vector Auto Regressive (VAR). Pemilihan

kandidat proxy dilakukan dengan 3 pendekatan yaitu secara grafis, uji korelasi, uji Granger

Causality serta uji OLS antara kandidat proxy tersebut dengan inflasi. Dari pengujian

diperoleh kesimpulan bahwa proksi terbaik untuk ekspektasi inflasi adalah data yang

dihasilkan oleh SKDU yang diinterpolasi menjadi data bulanan. Variabel pembentuk

ekspektasi inflasi diperoleh menggunakan Structural Vector Autoregressive (SVAR) dengan 3

alternatif model yaitu: (i) model with 3 variables : SBI, Expected Inflation, Inflation, (ii)

unchained transmission mechanism : Base Money, SBI, inter-bank call money, deposit

interest rate, exchange rate, expected inflation, GDP and inflation, (iii) model with 5 variables

: SBI, exchange rate, expected inflation, GDP and inflation,. Periode data dalam penelitian

adalah 1997 – 2000. Selain itu dilakukan survei terhadap rumah tangga dan perusahaan

untuk mengetahui perilaku mereka terkait dengan ekspektasi inflasi. Kesimpulan dari

penelitian ini adalah bahwa ekspektasi inflasi berpengaruh terhadap pembentukan inflasi

walaupun perannya tidak sebesar variabel lain seperti inflasi periode sebelumnya (inertia).

5 Gantiah Wuryandani, Abdul Madjid Ikram, Diah Esti Handayani, Monetary Policy Transmission Through Inflation Expectation Channel, Bank Indonesia, 2001

Page 12: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

7

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ekspektasi inflasi adalah nilai tukar, inertia dan

suku bunga.

Terkait dengan salah satu faktor yang mempengaruhi ekspektasi inflasi yaitu suku

bunga, Laksmono dkk(1999)6 melakukan pengujian terhadap berbagai spread suku bunga

untuk memperoleh informasi suku bunga yang memiliki kemampuan menjelaskan

pergerakan laju ekspektasi inflasi di Indonesia. Dalam penelitian tersebut dilakukan analisis

dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan grafik

perkembangan yield curve dari suku bunga deposito dan hubungannya dengan

perkembangan inflasi. Sementara analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan

Granger Causality dan penyusunan model struktural untuk menganalisa kemampuan yield

suku bunga dalam menjelaskan pergerakan ekspektasi inflasi.Variabel yang digunakan

sebagai proxy expected inflation adalah CPI bulanan yang ditransformasi dalam bentuk

ekspektasi ke depan (annualized) dengan menggunakan rumus yang digunakan oleh Day

dan Lange (1997)7.

Hutabarat (2005) menemukan bahwa perilaku inflasi di Indonesia bersifat sangat

persisten terutama disebabkan oleh pola pembentukan ekspektasi inflasi yang masih

didominasi oleh inflasi masa lalu (ekspektasi adaptif). Menurutnya, pembentukan ekspektasi

inflasi ini banyak diwarnai oleh inflasi costpush atau supply shocks yang tinggi dan sering

terjadi, seperti kejutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi

berlebihan nilai tukar Rupiah serta kenaikan upah minimum yang melebihi inflasi. Ia

mendapati bahwa karakteristik inflasi tersebut tidak mengalami perbaikan pada pasca krisis,

baik ditinjau secara time series, distribusi lintas komoditi pembentuk inflasi, maupun

perbandingan dengan negara lain.

Anglingkusumo dan Wuryandani (2003) mendapati persepsi pelaku ekonomi

terhadap perkembangan perekonomian termasuk inflasi cenderung berubah sepanjang krisis

moneter. Sehingga proses pembentukan ekpektasi inflasi pelaku ekonomi juga berbeda

antara sebelum dan sepanjang krisis. Oleh karena itu, penelitian mengenai perubahan

perilaku ekspektasi inflasi masyarakat di masa krisis, perlu menjadi agenda taktis dalam

rangka mengupayakan efektifitas dan efisiensi pengendalian moneter. Berdasarkan hasil

penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu benchmark untuk mengukur ekspektasi

inflasi dimasa mendatang sebagai arahan bagi pelaksanaan kebijakan moneter.

Anglingkusumo dan Wuryandani (2003) mendapati adanya “expectation loop” dalam

pembentukan laju inflasi dan adanya proses backward maupun forward looking oleh pelaku

ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi dimasa krisis. Metodologi yang digunakan

6 Didy Laksmono R, Suhaedi,dkk, Suku Bunga sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi Inflasi, Bank Indonesia, 1999 7 πk,t = (1200/k)(log(Pt+k/Pt), dimana k = 1,3,6,12 bulan dan P adalah level dari CPI

Page 13: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

8

adalah estimasi liniear sederhana untuk memperoleh taksiran ekspektasi dari masing-masing

variabel pembentuk ekspektasi inflasi. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) pengaruh laju

inflasi historis terhadap tekanan inflasi yang sedang berlangsung (inertia), (2) kredibilitas

kebijakan disinflasi pemerintah, dan (3) ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD secara historis,

sebagai komponen-komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking. Sedangkan

ekspektasi inflasi forward looking ditentukan oleh variabel yield spread dan forward rate

Rp/USD. Taksiran yang diperoleh dengan estimasi linear tersebut selanjutnya di estimasi

ulang dengan menggunakan neural network, untuk menangkap dampak bounded

rationality para pelaku pasar dalam pembentukan ekspektasi inflasi di masa krisis.

Kesimpulan penelitian mereka menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisis terdapat

ekspektasi inflasi yang mendekati inflasi aktual. Variabel kredibilitas kebijakan disinflasi

pemerintah merupakan determinan utama dalam pembentukan ekspektasi inflasi, disusul

kemudian oleh ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD dan laju inflasi secara historis. Dari hasil

simulasi ekspektasi inflasi dimasa krisis terlihat bahwa dalam bulan-bulan tertentu terdapat

indikasi deviasi yang cukup signifikan yang menunjukkan adanya ketidakpastian yang sangat

tinggi. Ketidakpastian tersebut terutama bersumber dari noise, seperti fenomena panic

buying di bulan Januari 1998 dan gejolak yang tidak terduga pada harga sembilan bahan

kebutuhan pokok (sembako) di bulan Juli 1998. Hal ini selanjutnya menunjukkan bahwa

tekanan inflasi karena meningkatnya gejolak sosial politik di bulan April dan Mei 1998 telah

sepenuhnya diantisipasi oleh pelaku ekonomi. Demikian pula dengan gejolak harga Sembako

di bulan Agustus dan September 1998.

Dari berbagai pengujian dalam paper ini disarankan otoritas moneter perlu memilah-

milah faktor-faktor pembentuk inflasi dari sisi moneter maupun non-moneter. Disamping itu

perlu pula ditetapkan target band inflasi moneter berikut leading indicator pemantaunya,

sebagai suatu langkah untuk mengendalikan inflasi secara preemptive oleh otoritas moneter.

Dalam rangka pengendalian laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan struktural dan

noise, otoritas moneter perlu melakukan koordinasi dengan departemen terkait.

Cerisola dan Glos (2005) melakukan regresi (OLS, GMM dan FMOLS) persamaan

reduced-form ekspektasi inflasi di Brazil yang terdiri dari faktor-faktor: target inflasi,

historikal inflasi, suku bunga, upah, primary surplus (anggaran fiskal) dan Real Effective

Exchange Rates (REER). Hasil ketiga regresi tersebut menyimpulkan bahwa antara tahun

2000-2004 faktor ekspektasi inflasi yang paling penting di Brazil adalah primary surplus

(backward looking) disusul dengan target inflasi (forward looking). Di dalam sejarahnya,

Brazil pernah mengalami hyperinflation yang disebabkan oleh besarnya defisit anggaran.

Pemerintah Brazil kemudian melakukan berbagai reformasi kebijakan fiskal, terutama

Page 14: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

9

mengurangi defisit anggaran pemerintah yang tinggi. Pada akhirnya pengambil kebijakan

fiskal berhasil mencapai target inflasi yang ditetapkan.

Celasun, Gelos dan Prati (2003) melakukan dua macam regresi untuk Turki dengan

data 1995-2001 untuk menjelaskan konsensus forecast ekspektasi inflasi 12 bulan

kemudian. Regresi pertama mencoba menurunkan hubungan ekspektasi inflasi dengan

utilisasi kapasitas produksi, neraca fiskal, spread suku bunga, pertumbuhan uang beredar

dan perubahan kurs. Kemudian pada regresi kedua mencoba menurunkan hubungan

ekspektasi inflasi dengan utilisasi kapasitas produksi dan outstanding fiskal yang merupakan

bagian dari faktor-faktor regresi pertama. Regresi pertama menghasilkan bahwa utilisasi

kapasitas (0,917) dan perubahan kurs (0,629) merupakan faktor yang paling dominan.

Sedangkan regresi kedua menghasilkan bahwa ekspektasi neraca fiskal (-2,687) merupakan

faktor yang jauh lebih dominan dari pada faktor utilisasi kapasitas (-1,1333). Sehingga faktor

pembentuk ekspektasi terbesar di Turki adalah ekspektasi neraca fiskal.

3. Perkiraan Ekspektasi Inflasi di Indonesia

Dalam melakukan analisis kondisi makro ekonomi dan moneter serta dalam

melakukan proyeksi inflasi, informasi mengenai ekspektasi inflasi sangatlah penting. Untuk

itu, di Indonesia, Bank Indonesia menggunakan berbagai data yang dapat menggambarkan

ekspektasi inflasi baik dari survei yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sendiri maupun

survei lembaga lain.. Selain itu, dalam penyusunan model-model makroekonomi, digunakan

berbagai pendekatan dalam memperkirakan ekspektasi inflasi antara lain berdasarkan inflasi

periode sebelumnya (adaptive inflation), inflasi periode selanjutnya (forward looking), target

inflasi bank sentral, dan model rational expectation.

3.1 Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)

Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) merupakan survei triwulanan yang dilaksanakan

sejak triwulan I-1993. Sampai dengan saat ini jumlah responden telah mencapai lebih dari

2.400 perusahaan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan dipilih secara purposive

sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan atau pengisian kuesioner

langsung oleh responden. Metode perhitungan dilakukan dengan metode saldo bersih (SB-

net balance), yakni dengan menghitung selisih antara persentase jumlah responden yang

memberikan jawaban “meningkat” dengan persentase jumlah responden yang memberikan

jawaban “menurun” dan mengabaikan jawaban “sama”. Khusus penghitungan saldo bersih

kegiatan usaha, harga jual dan penggunaan tenaga kerja dilakukan dengan metode Saldo

Page 15: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

10

Bersih Tertimbang (SBT-weighted net balance) yang diperoleh dari hasil perkalian saldo

bersih sektor/subsektor yang bersangkutan dengan bobot sektor/subsektor yang

bersangkutan sebagai penimbangnya.8

Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) memberikan informasi dini mengenai indikasi

perkembangan kegiatan ekonomi di sektor riil baik pada triwulan yang sedang berjalan

maupun triwulan yang akan datang. Hasil survei merupakan salah satu pendekatan/proksi

kegiatan usaha, disamping sebagai salah satu komponen/variabel pembentuk leading

economic indicator.

Terkait dengan ekspektasi inflasi, terdapat dua data yang dapat digunakan dari survei

ini yaitu perkiraan harga jual 3 bulan ke depan (meningkat, tetap atau turun) yang diolah

dengan metode Saldo Bersih Tertimbang, sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel

1(lampiran), serta ekspektasi inflasi tahun tertentu sebagaimana yang ditunjukan dalam tabel

2 (lampiran).

(insert Tabel 1, lihat lampiran)

(insert Tabel 2, lihat lampiran)

3.2 Survei Persepsi Pasar (SPP)

Survei Persepsi Pasar merupakan survei triwulanan yang dilaksanakan sejak Triwulan

IV- 2001 terhadap responden yang terdiri dari para ekonom, pengamat/peneliti ekonomi,

analis pasar uang/modal serta akademisi. Responden dipilih berdasarkan metode purposive

sampling. Saat ini responden survei berjumlah 94 orang yang tersebar di kota Jakarta,

Bandung, Bandarlampung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Denpasar,

Banjarmasin, Makasar, Manado dan Kendari. Pengumpulan data dilakukan melalui mail,

faksimili maupun e-mail. Hasil survei disajikan dengan metode pooling (persentase

responden yang menjawab paling banyak) sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 4 pada

bagian lampiran, perkiraan inflasi pada triwulan III tahun 2007 sebesar 6,1% – 7%

merupakan range yang terbanyak dipilih oleh responden.

8 Bobot sektor dalam penghitungan SB survei SKDU adalah sebagai berikut : Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan Dan Perikanan (15.6%), Pertambangan (12.1%), Industri Pengolahan (27.7%), Listrik, Gas Dan Air Bersih (0.6%), Bangunan (5.5%), Perdagangan, Hotel Dan Restoran (16.2%), Pengangkutan Dan Komunikasi (4.7%), Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan (8.3%), Jasa – Jasa (9.3%). Bobot detail tiap subsektor dapat dilihat di tabel 3 bagian lampiran.

Page 16: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

11

Variabel yang dicakup meliputi indikator ekonomi makro seperti: inflasi, pertumbuhan

ekonomi, nilai tukar Rp/USD, surplus/defisit transaksi berjalan baik terhadap PDB,

pertumbuhan ekspor dan impor barang, surplus/transaksi fiskal terhadap PDB, tingkat

pengangguran, faktor risiko politik dan faktor penghambat pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4, ekspektasi inflasi yer-on-year (yoy) ditanyakan

dalam bentuk range : < 5,1%, 5,1% - 5,5%, 5,6% - 6,0%, 6,1% - 6,5%, 6,6% - 7,0%,

7,1% - 7,5%, >7,5%. Responden diminta untuk melakukan proyeksi inflasi pada akhir

tahun survei serta inflasi 2 tahun berikutnya.

(insert Tabel 4, lihat lampiran)

3.3 Survei Konsumen (SK)

Survei Konsumen merupakan survei bulanan yang dilaksanakan sejak Oktober 1999.

Sejak Januari 2007 survei dilaksanakan terhadap kurang lebih 4.655 rumah tangga sebagai

responden (purposive random sampling) di 18 kota : Jakarta, Bandung, Semarang,

Surabaya, Medan, Makassar, Bandar Lampung, Palembang, Banjarmasin, Padang, Pontianak,

Samarinda, Manado, Denpasar, Mataram, Pangkal Pinang, Ambon, dan Banten.

Pengumpulan data dilakukan sebagian melalui wawancara telepon dan sebagian lagi secara

langsung kepada responden secara rotated. Hasil dari survei ini antara lain Indeks Keyakinan

Konsuman, Indeks Kondisi Ekonomi saat ini dan Indeks Ekspektasi Konsumen. Indeks

dihitung dengan metode balance score (net balance + 100), sehingga jika indeks diatas 100

berarti optimis, sebaliknya dibawah 100 berarti pesimis.

Indeks Keyakinan Konsumen merupakan rata-rata sederhana dari Indeks Kondisi

Ekonomi saat ini dan Indeks Ekspektasi Konsumen. Indeks Kondisi Ekonomi saat ini

mencakup keyakinan konsumen mengenai penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan yang

lalu, ketepatan waktu saat ini untuk melakukan pembelian barang tahan lama dan jumlah

ketersediaan lapangan kerja saat ini dibandingkan 6 bulan yang lalu. Sedangkan Indeks

Ekspektasi Konsumen mencakup keyakinan konsumen mengenai ekspektasi konsumen 6

bulan yang akan datang dibanding saat ini terhadap ekspektasi penghasilan, kondisi

ekonomi Indonesia secara umum dan ketersediaan lapangan kerja. Sementara itu,

sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 5, informasi lainnya yang disajikan antara lain mengenai

ekspektasi konsumen terhadap harga meliputi harga 3 dan 6 bulan yad, berdasarkan

kelompok komoditas sebagai berikut: bahan makanan; makanan jadi, minuman, rokok dan

tembakau; perumahan, listrik, gas dan bahan bakar; sandang; kesehatan, transportasi

komunikasi dan jasa keuangan; pendidikan rekreasi dan olah raga.

Page 17: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

12

Indikator ekonomi lainnya meliputi 6 bulan kedepan terhadap ketersediaan barang/jasa;

tingkat suku bunga; dan tabungan.

(insert Tabel 5, lihat lampiran)

3.4 Survei Penjualan Eceran (SPE)

Survei penjualan eceran merupakan survei bulanan yang dilaksanakan sejak September

1999 terhadap sekitar 316 pengecer sebagai responden (purposive sampling) di kota Jakarta,

Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan.

Informasi yang dikumpulkan meliputi data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif yang

merupakan data penjualan nominal dari pedagang eceran berskala hypermarket,

supermarket, dan kelompok pedagang lainnya, serta pendapat mereka mengenai

perkembangan harga dan tingkat suku bunga kredit. Informasi meliputi data penjualan

eceran yang dikelompokkan menurut jenis barang berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha

Industri (KLUI) tahun 1997. Data didiseminasikan dalam bentuk indeks riil yang didefinisikan

sebagai perbandingan total penjualan eceran dalam nilai riil terhadap total penjualan eceran

riil pada bulan dasar (Oktober 2000 =100). Penyajian dalam nilai riil dimaksudkan untuk

mengukur perubahan total penjualan yang terbebas dari pengaruh harga atau yang benar-

benar mencerminkan perubahan volume penjualan.

Terkait dengan ekspektasi inflasi, data yang dapat digunakan adalah ekspektasi harga

umum 3 dan 6 bulan ke depan, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 6.

(insert Tabel 6, lihat lampiran)

3.5 Yield Surat Utang Negara (SUN)

Dalam memprediksi ekspektasi inflasi, Bank Indonesia melakukan pengamatan

terhadap pergerakan yield surat utang negara. Yield curve merupakan kurva yang

menggambarkan hubungan antara suku bunga dan jangka waktu jatuh tempo surat

berharga pada waktu tertentu. Kenaikan level yield dapat dimaknai sebagai semakin

tingginya ekspektasi inflasi pelaku pasar keuangan. SUN yang diterbitkan oleh pemerintah

terdiri dari berbagai tenor yaitu 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,15 dan 20 tahun.

Page 18: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

13

3.6 Consensus Forecast

Data consensus forecast merupakan hasil survei yang dipublikasikan oleh Consensus

Economics sejak tahun 1989. Consensus Economics adalah organisasi survei ekonomi

internasional terkemuka dan menghimpun 700 ekonom setiap bulannya untuk

mendapatkan perkiraan dan pendapat mereka. Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 7 pada

bagian lampiran, Hasil survei ini meliputi perkiraan indikator makroekonomi utama, termasuk

pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga dan nilai tukar di lebih dari 70 negara. Perkiraan

digabungkan dalam serangkaian publikasi di negara-negara industri utama dunia (G7 dan

Eropa Barat), negara-negara berkembang di Asia Pasifik, Amerika Latin dan Eropa Timur.

Masing-masing memperlihatkan perkiraan konsensus dan prediksi perkiraan individu, dan

didistribusikan kepada pelanggan dalam format hard-copy dan elektronik sebagai file pdf

dan excel.

Untuk Indonesia, forecaster yang disurvei adalah 10 lembaga riset dan lembaga

keuangan yaitu : Macquarie Bank, Econ Intelligence Unit, Morgan Stanley Asia, Bahana

Securities, Danareksa Securities, CIMB Securities, Citigroup, Global Insight, ING, Nomura,

HSBC Economics, dan Goldman Sachs Asia

(insert Tabel 7, lihat lampiran)

4. LANDASAN TEORI

“There is always a temporary tradeoff between inflation and unemployment; there is no

permanent tradeoff. The temporary tradeoff comes from inflation per se, but from

unanticipated inflation, which generally means, from a rising rate of inflation.” (Milton

Friedman).

Pernyataan Friedman tersebut didasari oleh teori Kurva Phillips yang menyatakan adanya

tradeoff di antara dua ukuran kinerja ekonomi – inflasi dan pengangguran. Menurut teori

ini, untuk menurunkan tingkat inflasi para pembuat kebijakan harus secara temporer

memperbesar angka pengangguran, dan untuk mengurangi pengangguran mereka harus

menerima inflai yang lebih tinggi.

Page 19: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

14

4.1 Kurva Philips

Kurva Philips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung

pada tiga kekuatan utama yaitu (i) ekspektasi inflasi; (ii) deviasi pengangguran dari tingkat

alamiah atau yang disebut pengangguran siklis; dan (iii) guncangan penawaran.

Tiga kekuatan ini ditunjukkan dalam persamaan berikut:

vuu ne +−−= )(βππ .......................................................................................... (1)

Dimana:

Π = inflasi

Πe = ekpektasi inflasi

(u-un) = pengangguran siklis

V = guncangan penawaran

Persamaan (1) mencerminkan hubungan antara inflasi dan pengangguran. Parameter

β mengukur respon inflasi terhadap pengangguran siklis. Pengangguran yang tinggi

cenderung mengurangi inflasi.

Pada dasarnya persamaan (1) diderivasi dari persamaan penawaran agregat, dengan

penambahan variabel guncangan penawaran v untuk menunjukkan peristiwa eksogen

(seperti perubahan harga minyak mentah dunia) yang mengubah tingkat harga dan

menggeser kurva penawaran agregat jangka pendek. Selain itu, dengan menggunakan

hubungan hukum Okun yang menyatakan bahwa penyimpangan output dari tingkat

alamiah berbanding terbalik dengan penyimpangan pengangguran dari tingkat alamiah,

persamaan (1) telah mensubstitusi (u-un) untuk output gap (y-y*) dari persamaan penawaran

agregat. Dengan kata lain, bila pada persamaan (1) pengangguran lebih rendah daripada

tingkat pengangguran alamiah berarti secara tidak langsung menyatakan bahwa output

lebih rendah dari tingkat output alamiah.

Dari penjabaran di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya

persamaan kurva Phillips (persamaan (1)) dan penawaran agregat jangka pendek pada

dasarnya menunjukkan gagasan makroekonomi yang sama. Menurut persamaan penawaran

agregat jangka pendek, output terkait dengan pergerakan yang tidak diharapkan dalam

tingkat harga, sedangkan menurut persamaan kurva Phillips, pengangguran terkait dengan

pergerakan yang tidak diharapkan dalam tingkat inflasi. Namun, faktanya kurva Phillips dan

kurva penawaran agregat jangka pendek merupakan dua sisi mata uang yang sama.

Page 20: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

15

Posisi kurva Phillips jangka pendek tergantung pada tingkat ekspektasi inflasi. Jika

ekspektasi inflasi naik, kurva Phillips bergerak ke atas, dan tradeoff yang dihadapi pembuat

kebijakan menjadi kurang bernilai yakni inflasi akan lebih tinggi pada seluruh tingkat

pengangguran. Karena masyarakat menyesuaikan ekspektasinya atas inflasi sepanjang

waktu, maka tradeoff antara inflasi dan pengangguran hanya bertahan dalam jangka

pendek. Pembuat kebijakan tidak bisa mempertahankan inflasi di atas ekspektasi inflasi (dan

dengan demikian pengangguran berada di bawah tingkat alamiah) selamanya. Secara

berangsur-angsur, ekspektasi akan beradaptasi pada setiap tingkat inflasi yang dipilih

pembuat kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, dikotomi klasik akan berlaku,

pengangguran kembali ke tingkat alamiah, serta tidak ada tradeoff antara inflasi dan

pengangguran.

Karena ekpektasi atas inflasi mempengaruhi tradeoff jangka pendek antara inflasi

dan pengangguran, maka penting untuk memahami bagaimana masyarakat membentuk

ekspektasi. Selain itu, dalam menggunakaan persamaan kurva Phillips di atas, maka perlu

pula ditetapkan beberapa asumsi. Asumsi sederhana yang seringkali digunakan adalah

bahwa masyarakat membentuk ekspektasi mereka terhadap inflasi berdasarkan inflasi yang

sedang diamati (ekspektasi adaptif). Artinya, masyarakat umumnya memiliki pengharapan

bahwa kenaikan harga-harga pada tahun berjalan akan sama dengan inflasi pada tahun

sebelumnya. Sehingga persamaan (1) dapat ditulis menjadi:

vuu nt +−−= − )(1 βππ ........................................................................................ (2)

Dimana seluruh definisi variable sama dengan persamaan (1) kecuali ekspektasi inflasi Πe

sekarang menjadi inflasi tahun lalu Πt-1. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi memiliki

inersia, yakni bagaikan obyek yang bergerak di angkasa, inflasi akan terus bergerak jika tidak

ada sesuatu apapun yang menghentikannya. Inersia ini muncul karena inflasi masa lalu

mempengaruhi ekspektasi inflasi masa depan dan karena ekspektasi ini mempengaruhi upah

serta harga yang ditetapkan.

Robert Solow (1979) dalam Mankiw (2003) menggunakan periode inflasi yang tinggi

sepanjang tahun 1970-an ketika ia menyatakan “Mengapa uang kita berkurang nilainya?

Hal itu dapat dinyatakan secara sederhana bahwa kita mengalami inflasi karena kita

mengharapkan inflasi, dan kita mengharapkan inflasi karena kita mengalaminya.”

Pernyataan tersebut menjadi dasar dari uraian konsep inersia inflasinya.

Persamaan (2) menyatakan bahwa inflasi tergantung pada inflasi tahun sebelumnya,

pengangguran siklis, dan guncangan penawaran. Simbol kedua dan ketiga dalam persamaan

(2) menunjukkan dua kekuatan yang dapat mengubah tingkat inflasi.

Page 21: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

16

Simbol kedua, β(u-un), menunjukkan bahwa pengangguran siklis – penyimpangan

pengangguran dari tingkat alamiah – memberi tekanan ke atas dan ke bawah pada inflasi.

Pengangguran yang rendah akan menarik inflasi ke atas. Inilah yang disebut dengan inflasi

tarikan-permintaan (demand-pull inflation) karena permintaan agregat yang tinggi

bertanggung jawab atas jenis inflasi ini. Pengangguran yang tinggi menarik tingkat inflasi ke

bawah. Parameter β mengukur sejauh mana resonsivitas inflasi terhadap pengangguran

siklis.

Simbol ketiga, v, menunjukkan bahwa inflasi juga naik dan turun karena guncangan

penawaran. Guncangan penawaran yang memperburuk, seperti kenaikan harga minyak

dunia pada enam tahun belakangan ini yang melipatgandakan harga minyak mentah dunia

dari sekitar 20-an dolar AS per barel pada tahun 2001 menjadi sekitar 140-an dolar AS per

barel saat ini (Juni 2008), menunjukkan nilai positif v dan menyebabkan inflasi naik. Inilah

yang disebut dengan inflasi dorongan-biaya (cost-push inflation) karena goncangan

penawaran yang memperburuk adalah peristiwa-peristiwa tipikal yang mendorong ke atas

biaya produksi. Guncangan penawaran yang bermanfaat, seperti persediaan minyak

berlimpah yang menyebabkan turunnya harga minyak pada tahun 1980-an, membuat v

negative dan menyebabkan turunnya inflasi.

4.2 Ekspektasi Rasional

Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan teori mengenai ekspektasi inflasi,

asumsi yang menyatakan bahwa ekspektasi inflasi tergantung pada inflasi yang sedang

diamati dirasakan terlalu sederhana untuk diterapkan dalam berbagai situasi. Mankiw (2003)

menawarkan pendekatan alternatif adalah dengan menggunakan asumsi bahwa masyarakat

memiliki ekspektasi rasional, yaitu, masyarakat secara optimal dapat menggunakan seluruh

informasi yang ada, termasuk informasi tentang kebijakan pemerintah saat ini untuk

meramalkan inflasi di masa depan. Kebijakan moneter dan fiskal dipercaya dapat

mempengaruhi inflasi, sehingga ekspektasi inflasi juga harus tergantung pada dampaknya

terhadap kebijakan moneter dan fiskal. Berdasarkan teori ekspektasi rasional, perubahan

kebijakan moneter dan fiskal akan mengubah ekspektasi, dan evaluasi atas setiap perubahan

kebijakan harus mengaitkan dampak ini terhadap ekspektasi. Jika masyarakat membentuk

ekspektasi mereka secara rasional maka inflasi memiliki inersia yang lebih kecil daripada

ketika pertama kali timbul.

Thomas Sargent (1982), pendukung ekspektasi rasional yang terkemuka, dalam

Mankiw (2003) menjelaskan implikasi ekspektasi rasional terhadap kurva Phillips: “

Pandangan ‘ekspektasi rasional’ alternative menolak bahwa ada momentum inheren pada

Page 22: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

17

proses inflasi yang sedang berlangsung. Pandangan ini mempertahankan pendapat bahwa

perusahaan dan pekerja pada saat ini mengharapkan tingkat inflasi yang tinggi di masa

depan dan mereka menentang tawar-menawar inflasi yang terkait dengan ekspektasi ini.

Namun, dinyatakan bahwa orang-orang mengharapkan tingkat inflasi yang tinggi di masa

depan terutama karena kebijakan moneter dan fiscal pemerintah saat ini serta akan dating

menjamin ekspektasi itu.

...Jadi, inflasi tampaknya hanya mempunyai momentum dari dirinya sendiri; pada

dasarnya hal itu adalah kebijakan pemerintah jangka panjang untuk secara

berkesinambungan mengalami deficit yang besar dan mencetak uang sebanyak mungkin

yang memberi momentum pada tingkat inflasi. Impliksi dari pandangan ini adalah bahwa

inflasi bias dihentikan jauh lebih cepat dari yang diindikasikan para pendukung

“momentum” tersebut dan estimasi mereka tentang lamanya waktu dan biaya untuk

menghentikan inflasi dengan mengabaikan output adalah keliru…{menghentikan inflasi]

akan memerlukan perubahan dalam sistem kebijakan: mungkin akan terjadi perubahan

mendadak dalam kebijakan, atau strategi, pemerintah yang sedang berjalan, untuk

menetapkan deficit saat ini dan di masa depan yang cukup mengikat agar dipercaya secara

luas……Seberapa besar biaya yang akan terjadi dai perubahan itu dengan mengabaikan

output dan berapa lama hal itu akan menimbulkan dampak, sebagian tergantung pada

bagaimana memastikan dan membuktikan komitmen pemerintah.

Jadi, para pendukung ekspektasi rasional berpendapat bahwa kurva Phillips jangka

pendek tidak secara akurat menunjukkan pilihan yang diberikan para pembuat keputusan.

Mereka percaya bahwa jika para pembuat kebijakan sungguh-sungguh ingin menurunkan

inflasi, masyarakat yang raional akan memahami komitmen itu dan akan dengan cepat

menurunkan ekspektasi inflasi mereka. Jadi inflasi bias turun tanpa kenaikan pengangguran

dan penurunan output. Menurut teori ekspektasi rasional, estimasi tradisional tentang rasio

pengorbanan tidak bermanfaat untuk mengevaluasi dampak kebijakan-kebijakan alternative.

Di bawah kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan, biaya menurunkan inflasi mungkin

jauh lebih rendah daripada estimasi yang diberikan oleh rasio pengorbanan.

Dalam kebanyakan kasus ekstrem, seseorang bisa membayangkan mengurangi

tingkat inflasi tanpa menyebabkan resesi sama sekali. Disinflasi yang melegakan ini memiliki

dua persyaratan. Pertama, rencana menurunkan inflasi harus diumumkan sebelum para

pekerja dan perusahaan yang menetapakan upah serta harga membentuk ekspektasi

mereka. Kedua, para pekerja dan perusahaan harus percaya pada pengumuman itu. Jika

tidak, mereka tidak akan menurunkan ekspektasi inflasi. Jika kedua persyaratan itu dipenuhi,

pengumuman itu dengan cepat akan menggeser tradeoff jangka pendek antara inflasi dan

Page 23: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

18

pengangguran ke bawah, yang membiarkan tingkat inflasi yang lebih rendah tanpa

pengangguran yang lebih tinggi.

Meskipun pendekatan ekspektasi rasional tetap kontroversial, hampir semua ekonom

sepakat bahwa ekspektasi inflasi mempengaruhi tradeoff jangka pendek antara inflasi dan

pengangguran. Karena itu, kredibilitas kebijakan untuk menurunkan inflasi merupakan

sebuah determinan dari seberapa besar biaya kebijakan tersebut. Sayangnya, seringkali sulit

memprediksi apakah public akan memandang pengumuman kebijakan baru tersebut

kredibel. Peran sentral ekspektasi membuat peramalan hasil-hasil kebijakan alternative jauh

lebih sulit.

5. DATA dan METODOLOGI

Penelitian ini memfokuskan pada informasi ekspektasi inflasi yang diperoleh dari

survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Sedangkan informasi ekspektasi inflasi yang

bersumber dari model-model ekonometri yang dikembangkan di Bank Indoensia atau teknik-

teknik terbaru yang berkembang dewasa ini tidak dibahas dalam penelitian ini. Analisis

ekspektasi inflasi akan dikelompokan menjadi ekspektasi di pasar barang dan di pasar uang.

Ekspektasi inflasi di Pasar Barang diperoleh dari data-data hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha

(SKDU), Survei Penjualan Eceran (SPE), Survei Konsumen (SK), dan Survei Persepsi Pasar (SPP).

Ekspektasi inflasi di pasar uang diperoleh dari pergerakan yield curve dari Surat Utang

Negara (SUN), Consensus Forecast dan Inflation Forecast dari Bloomberg.

Analisis dilakukan secara grafis, statistik dan ekonometrik sederhana. Penelitian ini

juga akan melakukan evaluasi kemiripan arah pergerakan melalui analisis korelasi, evaluasi

ketepatan dengan melihat Root Mean Square Error (RMSE), evaluasi volatilitas melalui

observasi standar deviasi dari perubahan ekspektasi.

Data yang digunakan terdiri dari data triwulanan dan bulanan sejak tahun 2003

sampai dengan 2008 (kecuali beberapa data tertentu sejak 2005). Seluruh data dalam

penelitian ini diperoleh dari Direktorat Statistik Moneter Bank Indonesia.

Page 24: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

19

6. ANALISIS EMPIRIS

6.1 Ekspektasi Inflasi di Pasar Barang

6.1.1 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha

6.1.1.1 Ekspektasi Harga Jual

Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1 (lihat lampiran), secara agregat, ekspektasi

harga jual dunia usaha selalu menggambarkan peningkatan dibanding harga sebelumnya

(% SBT selalu positif), walaupun persentasenya berfluktuasi. Meskipun pada dasarnya

ekspektasi harga jual berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya, namun selama

periode pengamatan yakni dari tahun 2003 sampai dengan 2008, sebagaimana ditunjukkan

oleh tabel 8, hampir seluruh sektor selalu memiliki perkiraan harga akan naik pada 3 bulan

ke depan kecuali pada dua sektor. yaitu (i) sektor pertambangan dan penggalian, dan (ii)

sektor keuangan, persewaan dan jasa keuangan. Responden dari sektor pertambangan dan

penggalian berekspektasi harga jual akan turun pada periode 2003:3 dan dari 2006:4

hingga 2007:1. Sedangkan responden dari sektor keuangan, persewaan dan jasa keuangan

berekspektasi suku bunga akan turun pada periode 2003:2 – 2004:3 dan 2006:3 – 2007:4.

(insert Gambar 1, lihat lampiran)

(insert Tabel 8, lihat lampiran)

Gambar 1 juga memperlihatkan pergerakan ekspektasi harga jual dan inflasi aktual

sejak tahun 2003. Walaupun terdapat perbedaan satuan dengan inflasi, namun arah

pergerakan peningkatan ekspektasi harga jual menunjukan arah yang sama dengan

kenaikan harga (inflasi) aktual pada periode prakiraan.9

Pada periode 2004 – 2005, jumlah responden yang memiliki ekspektasi harga jual

periode mendatang akan naik, terus meningkat, walaupun kondisi aktualnya inflasi tidak

selalu naik (lihat Gambar 1, lampiran). Kondisi ini dapat diartikan bahwa dunia usaha sudah

memiliki persepsi sendiri bahwa harga akan selalu naik dan semakin lama semakin tinggi. Hal

ini juga menunjukkan bahwa masyarakat belum memiliki acuan informasi mengenai 9 Ekspektasi inflasi satu triwulan ke muka (t+1) nilainya didapat pada saat survey dilakukan pada waktu “t”. Inflasi aktual adalah inflasi pada waktu survei dilakukan “t”, yang nilainya diumumkan pemerintah satu triwulan kemudian (t+1). Untuk membaca grafik pada Gambar 1 adalah sebagai berikut: ekspektasi inflasi pada Triwulan II tahun 2005 adalah ekspektasi inflasi yang nilainya diperoleh dari survey pada Triwulan I tahun 2005. Sedangkan inflasi aktual pada Triwulan II tahun 2005 adalah nilai inflasi yang diumumkan pemerintah pada Triwulan III tahun 2005. Dengan demikian, kita dapat membandingkan pada saat yang sama (di dalam grafik) antara ekspektasi inflasi dan nilai aktualnya.

Page 25: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

20

perkiraan inflasi ke depan sehingga ekspektasi mereka hanya didasarkan pada kondisi saat

survei dan pengalaman masa lalu (backward looking).

Ekspektasi harga jual mengalami trend peningkatan cukup tinggi sejak triwulan I

2005 dan puncaknya terjadi pada triwulan I 2006 (lihat Gambar 1 pada lampiran). Ditengarai

terdapat 3 faktor utama penyebab kenaikan tersebut. Pertama,adanya peningkatan harga

minyak dunia yang pada akhirnya mempengaruhi harga BBM dalam negeri dan bahkan

menimbulkan kelangkaan sesaat akan BBM. Kedua, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap

mata uang utama (hard currecy). Ketiga, meningkatnya tingkat suku bunga SBI. Di sektor

industri, minimnya persaingan dengan produk sejenis dari luar, khususnya impor dari negeri

Cina, dan variasi produk baru dengan margin yang lebih tinggi juga disebut sebagai alasan

ekspektasi peningkatan harga jual.

Namun demikian, secara umum sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2,

responden menyatakan bahwa alasan utama ekspektasi mereka bahwa harga akan naik

pada periode mendatang dikarenakan semakin meningkatnya harga bahan baku dan

penolong serta biaya operasional, selain semakin meningkatnya permintaan dalam

menyambut hari besar keagamaan atau liburan (faktor musiman). Pengecualian terlihat pada

sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dimana perkiraan harga jual lebih

dipengaruhi oleh penurunan atau peningkatan tingkat suku bunga sebagai pendekatan

tingkat harga pada sektor tersebut. 10

(insert Gambar 2, lihat lampiran)

Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan ekspektasi peningkatan harga jual SKDU

dengan kenaikan harga aktual triwulan berikutnya, dilakukan analisis korelasi. Selain itu

dilakukan analisis volatilitas dari ekspektasi harga jual untuk mengetahui apakah setelah ITF

ekspektasi masyarakat menjadi lebih stabil. Sebagaimana terlihat pada Tabel 9 (lampiran),

pada seluruh periode analisis korelasi ekspektasi harga jual dengan kenaikan harga aktual

relatif kecil yaitu sebesar 0.15. Angka ini menggambarkan bahwa hanya 15% perubahan

inflasi aktual yang dapat digambarkan oleh perubahan data ekspektasi harga jual. Hal ini

menunjukkan bahwa ekspektasi harga jual yang diperoleh dari SKDU masih belum tepat

untuk menggambarkan arah pergerakan inflasi aktual . Dengan kata lain diperlukan

tambahan informasi lain yang lebih dapat menggambarkan ekspektasi inflasi.

10 Pada kuesioner, item pertanyaan untuk sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan adalah ”Ekspektasi tarif jasa/ tingkat suku bunga kredit pada Triwulan mendatang dibandingkan Triwulan laporan”

Page 26: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

21

(insert Tabel 9, lihat lampiran)

Akan tetapi, jika dibandingkan periode sebelum dan sesudah ITF, sebagaimana

ditunjukkan oleh tabel 9, terlihat bahwa korelasi ekspektasi dengan kondisi aktual semakin

membaik. Sebelum penerapan ITF, korelasi antara keduanya negatif (-0.18) yang dapat

diartikan bahwa ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan pergerakan harga-harga ke depan

tidak searah dengan kondisi aktualnya.Untuk triwulan II hingga IV tahun 2003 misalnya,

dunia usaha yang memperkirakan harga-harga akan naik bertambah namun ternyata harga

aktual pada periode tersebut cenderung turun.Sebaliknya untuk triwulan I dan triwulan III

2004 dunia usaha memiliki ekspektasi harga jual akan turun, namun ternyata harga aktual

pada periode tersebut meningkat lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya.

Tabel 9 juga menerangkan bahwa setelah penerapan ITF, korelasi antara ekspektasi

dengan inflasi aktual semakin membaik yang ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar

+0.17.

Secara grafis, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1, terlihat bahwa ekspektasi

semakin searah dengan inflasi aktual, namun terdapat ”lag” sekitar 1 triwulan. Hal ini dapat

diartikan bahwa ekspektasi kenaikan harga jual 6 bulan ke depan sebenarnya didasarkan

pada kenaikan harga jual saat ini yang dirasakan oleh responden. Sebagai contoh, setelah

kenaikan BBM pada bulan Oktober 2005, sebenarnya inflasi aktual qoq pada triwulan I 2006

mulai turun namun masyarakat masih berekspektasi harga akan naik.

Idealnya apabila masyarakat telah mengetahui konsep dari ITF dan menjadikan

sasaran inflasi sebagai acuan dalam penetapan harga maka volatilitas ekspektasi harga jual

tidak terlalu tinggi Hal sebaliknya justru terlihat pada tabel 9, dimana ekspektasi harga jual

dunia usaha setelah penerapan ITF ternyata volatilitasnya semakin tinggi, dari semula 5.89

sebelum ITF menjadi 10.85.. Dengan demikian, terlihat bahwa target inflasi yang

diumumkan Bank Indonesia selama ini sepertinya masih belum mampu mengarahkan

ekspektasi inflasi dunia usaha secara kuat karena ekspektasi mereka masih dipengaruhi oleh

inflasi saat ini dibandingkan dengan sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah atas

usulan Bank Indonesia. Bukti empiris ini diharapkan menjadi pemicu bagi Bank Indonesia

untuk lebih meningkatkan kredibilitasnya di kalangan dunia usaha.

6.1.1.2 Ekspektasi Inflasi

Jawaban responden mengenai ekspektasi inflasi dalam tahun tertentu didasarkan

pada perkiraan harga-harga umum yang terjadi selama triwulan survei. Sebagaimana

ditunjukkan oleh Gambar 3 (lihat lampiran), secara umum terlihat bahwa ekspektasi inflasi

Page 27: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

22

dunia usaha selalu lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi aktual (yoy) yang terjadi pada

tahun tersebut kecuali pada semester kedua tahun 2005 dan tiga triwulan pertama tahun

2006 dimana inflasi aktual (yoy) yang terjadi memang sangat tinggi akibat adanya kenaikan

harga BBM pada bulan Oktober 2005.

(insert Gambar 3, lihat lampiran)

Namun demikian, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3, inflasi aktual (ytd) selalu

berada di bawah ekspektasi inflasi masyarakat, kecuali pada triwulan IV 2006, yang dipicu

oleh pengurangan subsidi BBM oleh Pemerintah pada bulan Oktober 2005. Ekspektasi inflasi

masyarakat mencapai puncaknya pada triwulan I 2006 dikarenakan mereka memperkirakan

bahwa dampak kenaikan BBM semakin diperkuat dengan kenaikan permintaan sehubungan

dengan perayaan dua hari raya besar keagamaan yaitu Idul Fitri dan Natal serta datangnya

hari libur akhir tahun 2005 (faktor musiman).

Seiring dengan keberhasilan Pemerintah dalam penyediaan dan distribusi barang-

barang kebutuhan pokok masyarakat, harga barang-barang mulai terasa stabil yang

mendorong penurunan ekspektasi masyarakat padapada triwulan II 2006. Kemungkinan

penurunan inflasi juga dipengaruhi oleh adanya target inflasi yang selalu dikomunikasikan

oleh bank sentral yakni pada rentang 6%±1%.

Gambar 3 juga memperlihatkan bahwa semenjak tahun 2004, dengan pengecualian

pada tahun 2005, ekspektasi inflasi dunia usaha semakin mendekati nilai inflasi aktual

padaakhir tahun bersangkutan. Hal ini kemungkinan disebabkan masyarakat telah banyak

memperoleh informasi berkenaan dengan pergerakan laju inflasi aktual (ytd) pada bulan-

bulan sebelum survei. Sebagaimana diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) setiap bulannya

mengeluarkan laporan indikator makroekonomi, termasuk laju inflasi. Pengumuman BPS

tersebut menjadi acuan bagi Bank Indonesia untuk mengeluarkan perkembangan bulanan

indikator moneter. Jika memang demikian, maka informasi mengenai pergeraskan inflasi

yang selama ini dipublikasikan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia di berbagai media massa

dirasakan cukup berpengaruh dalam pembentukan ekspektasi masyarakat. Pengecualian

terjadi pada pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006, disebabkan oleh karena kalangan

dunia usaha masih belum terbiasa dengan adanya keputusan Pemerintah untuk menaikan

harga BBM sebesar 120% itu.

Sebagai informasi, pada kuesioner survei hanya dicantumkan tingkat inflasi tahun

sebelumnya dan target inflasi pada tahun tersebut, namun tidak dicantumkan informasi

mengenai akumulasi laju inflasi aktual yang telah terjadi (ytd). Responden dianggap telah

memperoleh informasi inflasi aktual ytd dari media massa. Hal ini tentunya mengandung

Page 28: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

23

kelemahan, karena tidak semua responden pada waktu mengisi kuesioner tersebut

memperoleh informasi yang sama dan sesuai. Oleh karena itu ada baiknya dalam survei

mendatang diberikan pengantar informasi yang berisi mengenai inflasi terkini beserta faktor-

faktor yang menyebabkan inflasi tersebut, termasuk upaya yang telah dilakukan oleh

Pemerintah dan BI.

Selain itu, kuesioner juga tidak menggali alasan responden akan perkiraan

ekspektasi inflasi mereka. Hal ini mungkin dapat dijadikan masukan dalam perbaikan

kuesioner mendatang untuk mengetahui apakah ekspektasi inflasi dunia usaha lebih

dipengaruhi oleh inflasi saat ini atau sudah dipengaruhi oleh target inflasi.

Berdasarkan teori, ketepatan prediksi atau ekspektasi inflasi dapat diukur dengan

menggunakan deviasi dari aktual yang kemudian ditransformasikan dalam indikator Root

Mean Square Error (RMSE). Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 10 (lihat lampiran), pada

seluruh periode penelitian, RMSE dari ekspektasi inflasi dunia usaha cukup besar yaitu 4.58.

Nilai ini mencerminkan bahwa rata-rata deviasi ekspektasi dengan nilai aktual inflasi cukup

tinggi, yakni hampir mencapai 5%. Hal ini membuat hasil survei SKDU belum dapat

digunakan sebagai proxy yang tepat untuk ekspektasi inflasi.

(insert Tabel 10, lihat lampiran)

Dalam laporan-laporan hasil SKDU ekspektasi inflasi digambarkan dalam persentase

responden yang menjawab tingkat inflasi tertentu sehingga biasanya kita langsung

memperhatikan modus11 sebagai proksi dari ekspektasi inflasi. Padahal jika dianalisis lebih

lanjut, modus jawaban responden hampir selalu lebih tinggi dari pada aktual inflasi. Selama

periode observasi (2003 – 2008), 75% modus ekspektasi inflasi akhir tahun yang dijawab

oleh responden nilainya adalah 10%, padahal inflasi aktual selalu berada dibawah nilai itu,

dengan pengecualian di akhir tahun 2005.

Jika dilakukan perbandingan sebelum dan sesudah ITF, ternyata pada periode setelah

ITF ekspektasi inflasi responden lebih mendekati aktual. Hal ini ditandai dengan RMSE yang

semakin menurun dari 4,8 (sebelum penerapan ITF) menjadi 4.38 (setelah penerapan ITF).

Ada dua hal yang mungkin menjadi penyebab peningkatan ketepatan ini. Pertama, inflasi

setelah penerapan ITF, khususnya mulai tahun 2006) semakin stabil, sehingga responden

lebih mudah untuk melakukan prediksi di akhir tahun. Kedua, responden mulai

memperhatikan target inflasi sebagai acuan yang pada akhirnya merubah perilaku mereka

dalam meningkatkan harga dan upah. Hal inilah yang pada akhirnya semakin mendekatkan

11 Persentase inflasi dengan jumlah responden terbanyak.

Page 29: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

24

ekspektasi mereka baik dengan target inflasi maupun nilai aktual inflasi. Kedua

kemungkinan ini belum dapat diuji mana yang lebih tepat karena tidak adanya pertanyaan

kepada responden mengenai latar belakang penetapan ekspektasi inflasi mereka. Ada

baiknya faktor-faktor ini dimasukkan dalam survei-survei mendatang, sebagai salah satu

indikator kredibilitas bank sentral.

6.1.2 Hasil Survei Persepsi Pasar

Para ekonom, pengamat/peneliti ekonomi, analis pasar uang/modal serta akademisi

yang menjadi responden survei ini tentunya memiliki akses cukup besar dalam menggali

informasi mengenai inflasi aktual, target inflasi dan informasi-informasi lain yang terkait

dengan harga. Selain itu, dalam survei ini responden juga ditanyakan mengenai prediksi

indikator makroekonomi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, perkembangan investasi,

nilai tukar, ekspor, impor, tingkat pengangguran, rasio fiskal, faktor penghambat

pertumbuhan ekonomi serta resiko politik. Hal ini membuat responden berfikir secara

komprehensif akan keseluruhan kondisi ekonomi ke depan saat menjawab ekspektasi inflasi

sehingga membuat prediksi mereka relatif tepat dengan inflasi aktual.

Namun demikian, pertanyaan mengenai ekspektasi inflasi dalam survei ini dibuat

dalam bentuk range sehingga tidak dapat dilakukan analisis deviasi maupun korelasinya.

Namun demikian, secara grafis, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4 (lihat lampiran)

terlihat bahwa ekspektasi inflasi triwulanan mendekati aktual. Ada baiknya dalam survei

mendatang, selain menangkap ekspektasi responden dalam bentuk range, perlu juga

ditangkap level yang diprediksi oleh mereka. Hal ini penting untuk mengetahui seberapa

besar deviasi antara rata-rata persepsi kalangan pakar/akademisi dengan perkiraan otoritas

moneter. Dari data tersebut, dapat digali faktor-faktor apa saja yang menjadi perbedaan

antara ekspektasi mereka terhadap tingkat inflasi dengan perkiraan yang telah dilakukan

oleh bank sentral.

(insert Gambar 4, lihat lampiran)

Dalam survei ini, sebenarnya responden juga sudah ditanyakan mengenai alasan

penetapan ekspektasi inflasi. Sebagai contoh, sebagaimana terlihat dalam Gambar 4 (lihat

lampiran), meskipun pada triwulan III dan IV tahun 200, responden memiliki ekspektasi

inflasi yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun inflasi actual ternyata masih

lebih tinggi daripada ekspektasi mereka. Ditengarai, hal ini dikarenakan adanya tendensi

Page 30: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

25

pergerakan nilai tukar yang melemah menjelang pemilu tahun 2004. Sementara untuk tahun

2004 triwulan IV inflasi aktual semakin meningkat dikarenakan faktor musiman seperti

liburan menjelang akhir tahun dan perayaan dua hari besar keagamaan yaitu idul fitri dan

natal.

Selain ekspektasi inflasi triwulanan, responden juga ditanyakan mengenai ekspektasi

inflasi di akhir tahun. Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5 (lihat lampiran), pada akhir

tahun 2006 dan 2007 terlihat bahwa inflasi aktual akhir tahun (yoy) berada dalam rentang

ekspektasi mereka.

(insert Gambar 5, lihat lampiran)

6.1.3 Hasil Survei Konsumen

Peran konsumen dalam penentuan harga jual sebenarnya tidak terlalu besar. Akan

tetapi ekspektasi mereka terhadap harga barang dan jasa di masa mendatang terbukti

selama ini turut mempengaruhi perilaku pembelian mereka terhadap barang dan jasa. Ketika

konsumen memprediksi harga barang dan jasa akan naik maka mereka cenderung membeli

dalam jumlah banyak saat ini, sehingga terjadi kelangkaan barang di pasar. Kondisi

peningkatan permintaan ini pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga barang

benar-benar terjadi. Oleh karena itu ekspektasi konsumen perlu juga diperhatikan dalam

memperkirakan inflasi aktual pada periode ke muka.

Gambar 6 (lihat lampiran) memperlihatkan bahwa secara agregat, konsumen

memiliki ekspektasi bahwa harga barang/jasa meningkat dibanding harga sebelumnya,

namun dengan kecenderungan yang terus menurun semenjak awal observasi yakni bulan

September tahun 2003 sampai dengan bulan Mei tahun 2005. Hal ini ditunjukkan dengan

nilai SBT yang terus menurun, meskipun positif. Setelah SBT mencapai titik terendah pada

bulan Mei 2005, maka SBT secara cepat kembali meningkat bahkan mencapai titik

tertingginya pada bulan September 2005. Ditengarai SBT yang mencapai puncaknya pada

bulan September 2005 pemicunya adalah kenaikan harga BBM sebesar 30 persen pada

bulan Maret 2005 yang telah mendorong responden untuk menjawab survei yang dilakukan

pada bulan Maret 2005 tentang ekspektasi responden terhadap harga jual pada 6 bulan

yang akan datang (bulan September 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa responden

sangat dipengaruhi oleh isu yang berkembang pada saat survei dilakukan (halo effect).

Sedangkan SBT terendah yang dicapai pada bulan Mei 2005 merupakan hasil dari survei

yang dilakukan pada bulan November tahun 2004. Hal ini kemungkinan besar disebabkan

oleh eforia masyarakat atas keberhasilan pemilihan presiden yang dilaksanakan secara

Page 31: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

26

langsung dan damai. Selain itu hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat berharap banyak

terhadap pemerintahan yang baru terbentuk.

Meskipun satuan untuk inflasi berbeda dengan SBT dari Survei Konsumen, namun

melihat dari arah pergerakannya, semenjak bulan Juni 2007 arah pergerakan SBT dan inflasi

aktual semakin bergerak searah. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan ekspektasi

konsumen searah dengan inflasi aktual.

Sebagaimana ditunjukkan oleh gambar 6, arah pergerakan ekspektasi harga jual

pada beberapa periode sesuai dengan kenaikan harga selama 6 bulan tersebut, namun pada

beberapa periode lain justru sebaliknya (berlawanan arah). Pada periode 2003 – 2005

pergerakan ekspektasi inflasi cenderung berlawanan arah dengan pergerakan inflasi aktual.

Jumlah responden yang menjawab bahwa harga-harga pada 6 bulan ke depan akan naik,

semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh nilai SBT yang tetap positif namun cenderung

menurun. Di sisi lain, harga-harga tetap meningkat walaupun tidak terlalu tinggi yang

ditunjukkan oleh inflasi aktual yang semakin meningkat.

Selain itu pada triwulan III hingga triwulan III tahun 2005 masyarakat telah

memperkirakan kenaikan harga lebih cepat dibandingkan dengan inflasi aktual (1 bulan

lebih awal), hal ini mungkin karena isu kenaikan BBM telah diketahui masyarakat namun

belum ada kepastian mengenai kapan harga BBM akan dinaikkan oleh pemerintah.

Ketidaksesuaian ekspektasi kenaikan harga jual dengan inflasi sebelum implementasi ITF

digambarkan dengan korelasi ekspektasi kenaikan harga dan inflasi aktual yang negatif

pada periode 2003 - 2005 yaitu -0.15.

(insert Gambar 6, lihat lampiran)

Sebagaimana terlihat pada tabel 11, Setelah 2005, pergerakan ekspektasi harga jual

lebih sesuai dengan inflasi aktual walaupun pada triwulan I – 2007 sempat sedikit berbeda.

Hal ini ditunjukan oleh antara keduanya yang meningkat menjadi 0.37 Walaupun demikian,

secara keseluruhan korelasi pergerakan hasil survei konsumen dengan inflasi aktual sangat

rendah yaitu 0.09.

(insert Tabel 11, lihat lampiran)

Dari sisi volatilitasnya, jika dilakukan perbandingan ekspektasi harga jual sebelum ITF

dan paska ITF terlihat bahwa terjadi penurunan volatilitas dari 6.81 menjadi 4.62. Hal ini

Page 32: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

27

menunjukkan bahwa konsumen memandang kenaikan harga setelah 2005 lebih stabil.

Diharapkan hal ini dapat pula menggambarkan bahwa dengan pengimplementasian ITF

ekspektasi konsumen menjadi lebih terarah setelah ITF dibandingkan sebelumnya.

6.1.4 Hasil Survei Penjualan Eceran

Dalam survei ini responden ditanyakan mengenai ekspektasi harga jual 3 dan 6 bulan

yang akan datang. Ekspektasi para penjual eceran sangat penting karena merekalah yang

lebih berperan dalam pembentukan harga. Perbandingan ekspektasi mereka dengan

kenaikan harga aktual yang terjadi ditunjukkan pada Gambar 7 dan Gambar 8 (lihat

lampiran)12. Berdasarkan gambar 7 terlihat bahwa ekspektasi harga 3 bulan yang akan

datang memiliki pergerakan arah yang mirip dengan pergerakan inflasi 3 bulan hampir di

seluruh periode walaupun tingkat perubahan pergerakannya tidak sama dan indeks

ekspektasi harga relatif lebih berfluktuasi dibandingkan dengan inflasi aktual. Kenaikan

harga tertinggi pada bulan Desember 2005 akibat kenaikan BBM sudah diprediksikan oleh

para penjual eceran saat survei yang dilakukan pada bulan September 2005. Hal ini mungkin

disebabkan karena isu kenaikan harga BBM pada bulan Oktober telah mereka ketahui

sebelumnya.

Dalam survei yang sama, responden juga ditanyakan mengenai ekspektasi harga 6

bulan yang akan datang. Berdasarkan gambar 8 terlihat bahwa ekspektasi harga jual

responden belum dapat menggambarkan secara baik inflasi aktual pada 6 bulan ke depan

karena terdapat banyak periode dimana pergerakan keduanya tidak searah. Sebagai contoh

pada periode Oktober 2003 – November 2003 indeks ekspektasi harga cenderung menurun

sementara inflasi saat itu semakin tinggi. Sementara pada periode Agustus – November 2004

terjadi sebaliknya, indeks ekspektasi harga cenderung naik sementara inflasi aktual justru

menurun. Dengan demikian, secara grafis terlihat bahwa pergerakan ekspektasi harga jual 3

bulan yang akan datang lebih searah dengan inflasi aktual dibandingkan dengan ekspektasi

harga jual 6 bulan yang akan datang.

(insert Gambar 7, lihat lampiran)

(insert Gambar 8, lihat lampiran)

Analisis secara grafis diperkuat dengan hasil pengujian korelasi seperti yang

ditunjukkan oleh tabel 12 dimana korelasi SPE 3 bulan dengan inflasi aktual lebih tinggi

12 Pada gambar 7 dilakukan perbandingan antara indeks ekspektasi harga 3 bulan yang akan datang dengan laju kenaikan harga (inflasi) selama 3 bulan sejak pelaksanaan survei dan pada gambar 8 dilakukan perbandingan antara indeks ekspektasi harga 6 bulan yang akan datang dengan laju kenaikan harga (inflasi) selama 6 bulan sejak pelaksanaan survei.

Page 33: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

28

(0.59) dibandingkan dengan SPE 6 bulan (0.28). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan

indeks ekspektasi harga SPE 3 bulan dapat menjelaskan perubahan inflasi 3 bulan yang akan

datang sebesar 59%. Korelasi antara indeks ekspektasi harga 3 bulan dengan inflasi aktual

juga semakin membaik setelah ITF dari semula 0.4 menjadi 0.65. Sebaliknya korelasi antara

indeks ekspektasi SPE 6 bulan justru menurun dari semula 0.4 menjadi 0.29. Berdasarkan

analisis dari tabel 12 dapat disimpulkan bahwa dalam memperkirakan ekspektasi inflasi 3

bulan ke depan, survei penjual eceran dapat digunakan sebagai acuan yang cukup baik.

(insert Tabel 12, lihat lampiran)

6.2 Ekspektasi Inflasi di Pasar Uang

6.2.1 Perkembangan Yield Surat Utang Negara (SUN)

Dalam memprediksi ekspektasi inflasi, Bank Indonesia juga melakukan pengamatan

terhadap pergerakan yield surat utang negara. Secara teori, perilaku investor obligasi

biasanya ditentukan oleh ekspektasi mereka terhadap inflasi mendatang yang dicerminkan

melalui pergerakan suku bunga acuan yakni BI rate. Apabila investor berpendapat bahwa BI

akan menaikkan BI rate sebagai respon kebijakan moneter guna meredam laju inflasi, maka

investor obligasi biasanya melepas surat utang negara (SUN) milik Pemerintah Indonesia

sehingga harga SUN tersebut akan turun dan imbal hasilnya (yield) meningkat. Sebaliknya,

jika investor yakin inflasi dan suku bunga rupiah akan turun, mereka cenderung membeli

obligasi rupiah berbunga tetap, sehingga harga SUN tersebut akan naik dan imbal hasilnya

(yield) menurun. Dengan kata lain, kenaikan tingkat yield dapat dimaknai sebagai semakin

meningkatnya ekspektasi inflasi pelaku pasar keuangan.

Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Gambar 9 dan 10 (lihat lampiran)13,

yield SUN 1 tahun dan 2 tahun belum dapat menggambarkan inflasi aktual 1 dan 2 tahun ke

depan. Pada Gambar 9 terlihat bahwa sepanjang tahun 2005 arah pergerakan inflasi dan

yield justru berlawanan. Ketika inflasi aktual mulai bergerak turun sejak Februari hingga

November 2005, yield SUN justru semakin meningkat. Hal ini bertentangan dengan teori

yang melandasi hubungan antara inflasi dan yield SUN. Berdasarkan gambar 10, kita juga

dapat melihat bahwa walaupun inflasi 2 tahun cenderung stabil hampir di semua periode,

13 Pada grafik 9 digambarkan perbandingan antara yield dari generik SUN berjangka waktu 1 tahun dengan inflasi yoy periode 1 tahun berikutnya. Pada grafik 10 digambarkan perbandingan dari generik SUN berjangka waktu 2 tahun dengan inflasi 2 tahun yang diannualisasikan dengan rumus : √((100+inflasi 2thn)) -1)

Page 34: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

29

namun yield SUN 2 tahun justru berfluktuasi. Hal ini juga dianggap bertentangan dengan

teori yang melandasi hubungan antara inflasi dan yield obligasi. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa pergerakan yield SUN lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga SBI dan

persepsi pasar mengenai kondisi fiskal.

(insert Gambar 9, lihat lampiran)

(insert Gambar 10, lihat lampiran)

6.2.2 Consensus Forecast

Data ekspektasi inflasi berdasarkan consensus forecast dapat dibedakan menjadi dua

yaitu ekspektasi inflasi yoy akhir tahun yang dihasilkan dari survei pada tahun berjalan

(dinotasikan dengan CFt) dan ekspektasi inflasi yoy akhir tahun yang dihasilkan dari survei

pada tahun sebelumnya (dinotasikan dengan CFt-1). Data yang dimiliki adalah mulai tahun

2005 sehingga analisis yang dapat dilakukan untuk data ini terbatas.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1114, ekspektasi inflasi akhir tahun para

pelaku pasar yang dituangkan dalam consensus forecast (CFt) pada periode Januari –

Agustus 2005 cenderung mengikuti inflasi aktual yoy yang terjadi pada periode survei. Pada

periode selanjutnya (September 2005) informasi rencana kenaikan BBM pada bulan Oktober

mengakibatkan ekspektasi inflasi akhir tahun meningkat, namun peningkatan ekspektasi ini

tidak setinggi inflasi aktual yang terjadi di akhir tahun 2005. Setelah kenaikan BBM pada

bulan Oktober 2005, inflasi aktual jauh di atas ekspektasi pelaku pasar, hal ini kemudian

mendorong naiknya ekspektasi inflasi untuk akhir 2006. Akan tetapi ternyata bank sentral

berhasil menurunkan inflasi di akhir 2006 ke titik yang rendah bahkan di bawah target,

walalupun demikian ekspektasi pasar saat itu masih relatif tinggi. Ekspektasi inflasi baru

turun pada bulan Desember 2006 dan relatif stabil sejak saat itu. Hal ini bisa disebabkan oleh

kepercayaan mereka terhadap pencapaian target atau karena tidak ada shock yang hebat

selama 2007 sehingga mereka berharap inflasi dapat terjaga sesuai target.

Dalam memprediksi inflasi akhir tahun yang akan datang, sebelum diberlakukannya

ITF pelaku pasar juga sepertinya lebih bercermin pada inflasi aktual saat dilakukannya survei.

Berdasarkan gambar 11, kita dapat melihat bahwa ekspektasi inflasi akhir tahun 2006 yang

disurvei pada bulan Januari – September tahun 2005 relatif rendah (sekitar 6%) dan 14 Pada grafik terlihat perbandingan antara rata-rata proyeksi inflasi akhir tahun berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun berjalan (CFt) dan proyeksi inflasi akhir tahun berdasarkan survei pada 1 tahun sebelumnya (CFt-1). Kedua data tersebut dibandingkan dengan inflasi aktual dalam bentuk year to date (ytd) dan year on year (yoy) serta dibandingkan dengan target inflasi pemerintah.

Page 35: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

30

mungkin disebabkan karena saat survei inflasi relatif rendah dan stabil. Ekspektasi inflasi

akhir tahun 2006 ikut meningkat seiring dengan kenaikan harga BBM saat survei pada bulan

Oktober – Desember tahun 2005. Akan tetapi sejak survei yang dilakukan pada awal 2006,

responden memiliki berekspektasi inflasi tahun berikutnya turun, dan ternyata ekspektasi

tersebut tepat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil consensus forecast (CFt-1) dimana sejak 2007

ekspektasi inflasi dari survei tahun sebelumnya ternyata mirip dengan inflasi aktual.

Analisis kuantitatif terhadap ketepatan consensus forecast sebagaimana

diperlihatkan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa untuk keseluruhan periode, ekspektasi

inflasi 1 tahun ke depan lebih tepat dibandingkan dengan ekspektasi inflasi tahun berjalan.

Hal ini ditunjukkan oleh nilai RMSE yang lebih kecil. Namun hal ini perlu diteliti lagi

mengingat adanya gangguan data di tahun 2005 – 2006 akibat kenaikan BBM.

(insert Tabel 13, lihat lampiran)

6.3 Evaluasi Berbagai Data Ekspektasi Inflasi

Sebagaimana terlihat dalam tabel 14 (lihat lampiran), estimasi ekspektasi inflasi di

pasar barang menghasilkan informasi yang berbeda. Survei SKDU menyatakan bahwa

ekspektasi inflasi selalu berada di atas sasaran inflasi, kecuali pada tahun 2006. SKDU juga

menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas inflasi aktual akhir tahun.

Sementara itu, dari tabel yang sama terlihat bahwa Survei Persepsi Pasar relatif dapat

mencerminkan sasaran inflasi dan inflasi aktual. Namun demikian, terdapat perbedaan yang

nyata antara kedua survei tersebut, yakni SPP lenih menggambarkan interval sedangkan

SKDU menggambarkan point/level. Hal inilah yang menjadikan sasaran inflasi dan inflasi

aktual selalu berada di dalam interval ekspektasi inflasi dalam SPP.

(insert Tabel 14, lihat lampiran)

Hasil temuan di atas merekomendasikan agar hasil SKDU dan SPP perlu diperhatikan

dalam merumuskan kebijakan moneter selanjutnya. Kedua hasil survei tersebut layak

dijadikan referensi utama sebagaimana yang selama ini dilakukan terhadap hasil SK dan SPE,

khususnya dalam menyiapkan dan merumuskan bahan Rapat Dewan Gubernur (RDG) di BI.

Berbeda dengan hasil SKDU di Pasar Barang, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel

14, estimasi ekspektasi inflasi di pasar uang yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia selama

Page 36: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

31

ini masih sedikit di bawah nilai aktualnya. Meskipun begitu, membandingkan hasil estimasi

ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di Pasar uang diperoleh bukti bahwa estimasi di Pasar

Uang (yaitu dari Bloomberg dan Consensus Forecast) lebih mendekati nilai aktualnya.

Sayangnya, Bloomberg mengeluarkan data ekspektasi inflasinya hanya beberapa hari

sebelum pengumuman inflasi aktual sehingga penggunaannya belum dapat dimanfaatkan

secara optimal. Namun demikian, survei ekspektasi inflasi penjual eceran (SPE) 3 bulan

sebelumnya yang dilakukan DSM ternyata lebih mampu menggambarkan gerakan inflasi

aktual secara tepat. Hal ini mengisyaratkan agar SPE perlu mendapat perhatian lebih besar

dalam perumusan kebijakan moneter.

6.4 Studi Banding Negara Lain

6.4.1 Ekspektasi Inflasi di Pasar Barang dan Pasar Uang

Penelitian ini juga membandingkan ekspektasi inflasi yang dihasilkan dari survei di

pasar barang di beberapa negara lain. Survei tersebut biasanya dilakukan oleh otoritas

moneter negara tersebut. Adapun data yang dapat diperoleh adalah dari bank sentral

Australia (Reserve Bank of Australia), bank sentral Selandia Baru (Reserve Bank of New

Zealand), dan bank sentral Filipina (Banko Sentral ng Pilipinas). Selain itu, penelitian ini juga

melihat hasil survei di pasar uang yang dilakukan oleh Bloomberg mengenai prediksi inflasi 1

bulan ke depan untuk negara Filipina, Thailand, Malaysia, Singapore, dan Korea walaupun

informasi mengenai ekspektasi inflasi di pasar uang tidak dilakukan lebih dalam pada

kesempatan ini dan bermanfaat untuk ditelusuri lebih jauh pada penelitian lainnya.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Melbourne Institute Survey (MIS) dan

inflasi aktual di Australia, yang ditunjukkan dalam gambar 12 (lihat lampiran), terlihat bahwa

ekspektasi inflasi di Australia relatif tepat dalam menggambarkan inflasi aktual kecuali di

bulan Juni 2000 – Juni 2001 dimana inflasi aktual jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi

inflasi. Secara umum sejak periode tersebut ekspektasi inflasi selalu sedikit lebih tinggi

dibandingkan inflasi aktual namun keduanya relatif stabil dalam kisaran 2 – 4%. Pengaruh

implementasi ITF di Australia dengan target inflasi sebesar 2 – 3% sejak pertengahan tahun

1993 telah mempengaruhi ekspektasi inflasi di masyarakat. Walaupun tidak selalu mencapai

target (seperti pada tahun 2000, 2001, 2006 dan 2007) namun deviasinya tidak terlalu jauh

dan inflasi di Australia relatif lebih stabil.

(insert Gambar 12, lihat lampiran)

Page 37: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

32

Di Selandia Baru, terdapat beberapa survei yang dilakukan untuk menangkap

informasi mengenai ekspektasi inflasi yaitu :

1. Reserve Bank of New Zealand Survey of Expectations (RBNZ Survey), merupakan survei

triwulanan dengan responden pemimpin perusahaan sebanyak 200 orang.

2. AON Economist Survey, merupakan survei triwulanan terhadap 15 ekonom senior dari

perusahaan swasta dan lembaga keuangan

3. National Bank Business Outlook (NBBO) Survey, merupakan survei bulanan terhadap

sekitar 1500 nasabah bisnis Bank of New Zealand

4. Marketscope Survey , merupakan bagian dari survei triwulanan AC Nielsen yang

disponsori oleh Bank Sentral melalui survei terhadap 1000 rumah tangga.

5. Westpac-McDermott-Millar Consumer Confidence Survey, merupakan survei triwulanan

melalui telpon terhadap 1500 responden rumah tangga.

Seluruh survei yang dilakukan menanyakan ekspektasi inflasi yoy pada 1 tahun yang

akan datang. Berdasarkan hasil analisis terhadap survei-survei tersebut (Ranchord, 2003)

disimpulkan bahwa data hasil survei RBNZ, Marketscope dan AON memberikan informasi

forward-looking terkait dengan inflasi dan pencapaian target inflasi dalam jangka pendek.

Data hasil survei-survei ini memberikan tambahan informasi penjelas yang tidak dapat

diketahui dari indikator-indikator ekonomi lain seperti nilai tukar, output gap, dll. Walaupun

masih belum akurat namun data mengenai ekspektasi inflasi dapat digunakan sebagai

indikator tekanan inflasi jangka pendek. Contoh dari hasil survei RBNZ ditunjukkan dalam

gambar 13.

(insert Gambar 13, lihat lampiran)

Informasi mengenai ekspektasi inflasi di Filipina diperoleh dari Business Survey yang

dilakukan setiap triwulan dengan jumlah responden sekitar 1300 perusahaan. Dalam survei

tersebut responden ditanyakan mengenai ekspektasi tingkat inflasi 1 triwulan ke depan

dengan pilihan jawaban naik, tetap atau turun. Kemudian hasil survei ini disusun dalam

bentuk indeks, yaitu jumlah jawaban naik dikurangi jumlah jawaban turun, sehingga

keakuratan terhadap inflasi aktual hanya dapat dilakukan dengan uji korelasi.

Membandingkan ekspektasi inflasi masyarakat di Indonesia dengan di luar negeri

diperoleh hal yang menarik. Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 15 (lihat lampiran), RMSE

Page 38: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

33

hasil survei SKDU di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan survei serupa di Australia dan

Selandia Baru. Hal ini bisa diartikan menjadi beberapa hal. Pertama, masyarakat Australia

dan Selandia Baru lebih well-informed mengenai inflasi aktual sehingga ekspektasi inflasi

mereka terbangun dengan lebih baik. Kedua, pertanyaan dalam survei lebih dapat

dimengerti oleh responden sehingga hasilnya lebih akurat. Ketiga, inflasi di kedua negara

relatif stabil sehingga masyarakat lebih tepat dalam memprediksi inflasi. Keempat, target

inflasi telah tercapai dengan baik sehingga masyarakat memiliki ekspektasi mendekati target.

Dibandingkan dengan survei Filipina, korelasi dari indeks hasil survei terhadap inflasi

aktual SKDU relatif lebih rendah (SKDU : 0.15, Business Expectation Survey (BES) Filipina :

0.60). Hal ini mungkin diakibatkan oleh jenis pertanyaan dalam kuesioner pada BES Filipina

yang langsung menanyakan perkiraan perubahan tingkat inflasi, sementara di SKDU

pertanyaan yang diajukan adalah mengenai perkiraan perubahan harga jual sehingga terjadi

perbedaan maksud. Ketika responden ditanya mengenai perubahan harga jual maka

kecenderungannya akan selalu naik tapi ketika ditanya mengenai perubahan inflasi maka

ada kecenderungan pada saat tertentu turun karena mereka melakukan perbandingan

dengan periode sebelumnya.

(insert Tabel 15, lihat lampiran)

Dari tabel yang sama dapat pula dilihat bahwa di pasar uang, hasil RMSE survei

Bloomberg menunjukkan bahwa inflasi aktual di Indonesia lebih tinggi dibandingkan

negara-negara lain. Hal ini mungkin disebabkan kondisi perekonomian Indonesia yang lebih

mudah berubah sehingga inflasi agak sulit diprediksi.

6.4.2 Perbandingan Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Bank Sentral

Salah satu kunci keberhasilan ITF adalah transparansi dan akuntabilitas kebijakan.

Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan strategi komunikasi yang baik, sehingga

masyarakat mendapat informasi yang benar yang memudahkan mereka dalam melakukan

perencanaan kegiatan ekonomi mereka.

Selain itu, strategi komunikasi bank sentral mengenai kebijakan moneternya sangat

penting dalam mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat . Apabila komunikasi yang benar

dan baik tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan maka akan meningkatkan

kredibilitas bank sentral yang diperlukan untuk mencapai tujuan otoritas moneter dalam

mencapai kestabilan harga.

Page 39: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

34

Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 16 dan 17, secara umum, hampir seluruh

sembilan bank sentral yang diteliti melakukan strategi komunikasi yang bersifat langsung.

Artinya pengumuman kebijakan disiarkan antara lain melalui press release dan pidato. Selain

itu strategi komunikasi tidak langsung melalui laporan-laporan rutin kebijakan dan proyeksi

inflasi ke depan.

Terdapat beberapa bank sentral yang mempublikasikan notulensi rapat pengambilan

kebijakan beberapa hari atau beberapa minggu setelah rapat dilaksanakan. Hal ini belum

dilakukan oleh Bank Indonesia.

Agar masyarakat dapat menjadikan sasaran inflasi yang ditetapkan Pemerintah

berdasarkan masukan dari Bank Indonesia, maka ada baiknya hasil proyeksi inflasi, baik

jangka pendek, menengah, dan panjang,yang dihitung oleh bank sentral diinformasikan

kepada masyarakat. Hal ini dapat membantu masyarakat pembentukan ekspektasi inflasi

mereka, sehingga pada akhirnya sasaran inflasi dapat tercapai.

(insert Tabel 16, lihat lampiran)

(insert Tabel 17, lihat lampiran)

7. PENUTUP

7.1 Kesimpulan

1. Estimasi ekspektasi inflasi di pasar barang menghasilkan informasi yang berbeda. Survei

SKDU menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas sasaran inflasi, kecuali

pada tahun 2006. SKDU juga menyatakan bahwa ekspektasi inflasi selalu berada di atas

inflasi aktual akhir tahun. Survei Persepsi Pasar relatif dapat mencerminkan sasaran inflasi

dan inflasi aktual. Namun demikian SPP menggambarkan interval sedangkan SKDU

menggambarkan point/level. Hal inilah yang menjadikan sasaran inflasi dan inflasi aktual

selalu berada di dalam interval ekspektasi inflasi.

2. Hasil temuan di atas merekomendasikan agar hasil SKDU dan SPP harus diperhatikan

dalam merumuskan kebijakan moneter selanjutnya, sebagaimana yang dilakukan

terhadai hasil SK dan SPE dalam merumuskan bahan RDG.

3. Estimasi ekspektasi inflasi di pasar uang, yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia

selama ini masih sedikit di bawah nilai aktualnya.

4. Membandingkan hasil estimasi ekspektasi inflasi di Pasar barang dan di Pasar uang

diperoleh bukti bahwa estimasi di Pasar Uang paling mendekati nilai aktualnya.

Page 40: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

35

5. Semenjak ITF diberlakukan, pelaku pasar sudah mulai mengikuti target inflasi yang

ditetapkan pemerintah dan BI. Masyarakat semakin memiliki kecenderungan ekspektasi

rasional, sehingga setiap pengumuman kebijakan pemerintah dan BI mampu

mempengaruhi ekspektasi secara langsung dan karenanya menurunkan inflasi tanpa

harus menyebabkan resesi.

6. Strategi penetapan kebijakan moneter yang dilakukan oleh BI telah mengikuti best

practices yang juga dilakukan oleh bank sentral negara lain untuk mengarahkan

ekspektasi masyarakat/pasar agar sesuai dengan target inflasi.

7.2 Implikasi Kebijakan

1. Perekonomian Indonesia nampaknya masih akan terus mengalami inflasi yang tinggi

selama beberapa periode ke depan akibat kenaikan hampir seluruh komoditi utama

dan kenaikan harga minyak.

2. Oleh karena itu langkah-langkah yang dapat dilakukan bank sentral/pemerintah dalam

jangka pendek antara lain melakukan kerjasama bilateral antar negara untuk menjamin

supply komoditas, mengurangi tarif impor, mengurangi pajak dan

mengimplementasikan kontrol harga pada beberapa komoditas.

3. Dalam jangka menengah dan panjang, negara dapat melakukan kebijakan jaring

pengaman untuk masyarakat tertentu, mempromosikan peningkatan efisiensi dalam

produksi dan distribusi barang/jasa perekonomian dan melakukan kebijakan untuk

mengurangi demand dalam rangka penyesuaian terhadap keterbatasan supply.

4. Penguatan strategi komunikasi ke publik, khususnya terhadap pasar barang dan pasar

uang, yang dapat meningkatkan kepercayaan publik sehingga dapat memperbaiki pola

pembentukan ekspektasi masyarakat dan pada akhirnya meredam ekspektasi inflasi

yang berlebihan di saat krisis sekalipun.

5. Low and credible inflation regimes lebih penting dibandingkan low and stable inflation.

Hal ini terbukti bahwa tidak satupun negara yang terkena dampak krisis keuangan

baru-baru ini menunjukkan indikasi masalah inflasi sebelum dan selama krisis

berlangsung.

6. Low and credible inflation regimes adalah penting dalam memaksimalkan kemampuan

bank sentral dalam menyediakan kecukupan likuiditas, sehingga kredibilitas bank

sentral dapat terjaga dan dalam jangka menengah-panjang ekspektasi inflasi dapat

diarahkan sesuai dengan rentang target bank sentral.

Page 41: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

36

Daftar Pustaka

Bank of Canada (1998), ‘Information in financial asset prices’, Bank of Canada, Ottawa Berk, Jan Marc. 2002. "Consumers' Inflation Expectations and Monetary Policy in Europe,"

Contemporary Economic Policy, Oxford University Press, vol. 20(2), pages 122-132, April.

Celasun, Oya, Gaston Gelos, and Alessandro Prati, 2003, “Would Cold Turkey Work in

Turkey?” IMF Working Paper 03/49, (Washington: International Monetary Fund). Cerisola, Martin and R. Gaston Gelos. 2005. What Drives Inflation Expectations in Brazil? An

Empirical Analysis. IMF Working Paper WP/05/109 Day, Jim and Lange, Ron, "The Structure of Interest Rates in Canada: Information Content

about Medium-Term Inflation" (May 1997). Working Paper 97-10. Hutabarat, Akhis R.. 2005. Determinan Inflasi Indonesia. Occasional Paper No OP/06/2005.

Bank Indonesia Laksmono R, Didy. Suhaedi, dkk. 2000. Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi

Inflasi. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Maret 2000. Bank Indonesia Mankiw, N. Gregory. 2003. Macroeconomics 5th edition. Worth Publishers, New York and

Basingtoke, USA Mylonas, P. and Schich, S.T. (1999), ‘The use of financial market indicators by monetary

authorities’, OECD Economics Department Working Paper, 223. Ranchhod, Satish. 2003. The relationship between inflation expectations survey data and

inflation, Reserve Bank of New Zealand: Bulletin Vol. 66 No. 4. Sargent, T.J. 1982. The End of Four Big Inflation, dalam Robert E. Hall, ed., Inflation: causes

and Effects, Chicago, University of Chicago Press. Wuryandani, Gantiah dan Reza Anglingkusumo.1998. Ekspektasi Inflasi Di Masa Krisis.

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan September 1998, Bank Indonesia Wuryandari, Gantiah dkk. 2001. Monetary Policy Transmission Through Inflation Expectation

Channel. Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia, Bank Indonesia

Page 42: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

37

LAMPIRAN

Tabel 1 Contoh Hasil Survei SKDU – Prakiraan Harga Jual

Tabel 2 Contoh Hasil Survei SKDU – Ekspektasi Inflasi

Keterangan :

Pertanyaan perkiraan responden mengenai inflasi yang akan terjadi pada tahun 2008 ditanyakan pada survei

triwulan IV-2007, triwulan I-2008, triwulan II-2008 dan triwulan III-2008. Demikian juga perkiraan inflasi pada

tahun-tahun sebelumnya juga ditanyakan sebagimana cakupan tersebut diatas.

Page 43: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

38

Tabel 3 Bobot Sektor dalam Penghitungan Saldo Bersih Tertimbang SKDU

No S E K T O R Kode

Sektor Bobot

1 PERTANIAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN

A. Tanaman Pangan 1A 8.01%

B. Tanaman Perkebunan 1B 2.28%

C. Peternakan dan Hasil - hasilnya 1C 1.84%

D. Kehutanan 1D 1.24%

E. Perikanan 1E 2.23%

2 PERTAMBANGAN

A. Minyak dan gas bumi 2A 8.43%

B. Pertambangan tanpa migas 2B 2.81%

C. Penggalian 2C 0.83%

3 INDUSTRI PENGOLAHAN

A. Industri Non Migas

1. Makanan, minuman dan tembakau 3A 8.06%

2. Tekstil, barang kulit dan alas kaki 3B 3.27%

3. Barang kayu dan hasil hutan lainnya 3C 1.46%

4. Kertas dan barang cetakan 3D 1.44%

5. Kimia dan barang dari karet 3E 3.09%

6. Semen dan barang galian bukan loga, 3F 0.73%

7. Logam dasar, besi dan baja 3G 0.66%

8. Alat angkutan, mesin dan peralatannya 3H 4.94%

9. Barang Lainnya 3I 0.20%

B. Industri Migas

1. Pengilangan minyak bumi 3J 1.63%

2. Gas alam cair 3K 2.28%

4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH

A. Listrik 4A 0.43%

B. Gas 4B 0.08%

C. Air bersih 4C 0.10%

5 BANGUNAN 5A 5.51%

6 PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN

A. Perdagangan 6A 13.31%

B. Hotel 6B 0.65%

C. Restoran 6C 2.19%

7 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI

A. Pengangkutan

1. Angkuran rel 7A 0.05%

2. Angkutan jalan raya 7B 1.57%

3. Angkutan laut 7C 0.50%

4. Angkutan sungai, danau dan penyeberangan 7D 0.14%

5. Angkutan udara 7E 0.32%

6. Jasa penunjang angkutan 7F 0.79%

B. Komunikasi 7G 1.31% 8 KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN

A. Bank 8A 3.96%

B. Lembaga keuangan bukan Bank (LKBB) 8B 0.60%

Page 44: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

39

No S E K T O R Kode

Sektor Bobot

C. Jasa Penunjang Keuangan 8C 0.06%

D. Sewa Bangunan 8D 2.29%

E. Jasa Perusahaan 8E 1.39%

9 JASA - JASA

A. Pemerintahan Umum

1. Administrasi pemerintahan dan pertahanan 9A 3.82%

2. Jasa Pemerintahan lainnya 9B 1.18%

B. Swasta

1. Sosial dan Kemasyarakatan 9C 1.14%

2. Hiburan dan rekreasi 9D 0.34%

3. Perorangan dan Rumah Tangga 9E 2.85%

Tabel 4 Contoh Hasil Survei Persepsi Pasar – Ekspektasi Indikator Ekonomi

Tabel 5 Contoh Hasil Survei Konsumen – Ekspektasi Harga

Page 45: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

40

Tabel 6 Contoh Hasil Survei Penjualan Eceran – Ekspektasi Harga

Tabel 7 Contoh Hasil Consensus Forecast

Page 46: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

41

Tabel 8 Ekspektasi Harga Jual SKDU Berdasarkan Sektor (% SBT)

Tabel 9 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga Jual SKDU

Periode Korelasi Volatilitas PRA ITF (2003:I – 2005:II)

-0.18 5.89

PASKA ITF (2005:III – 2007:IV) 0.17 10.85

SELURUH PERIODE (2003:I – 2007:IV) 0.15 8.79

Tabel 10 RMSE dan Volatilitas Ekspektasi Inflasi SKDU

Periode RMSE Volatilitas PRA ITF (2003:I – 2005:II) 4.8 0.51

PASKA ITF (2005:III – 2007:IV)

4.38 0.92

SELURUH PERIODE (2003:I – 2007:IV)

4.58 0.75

Pertanian, Peternakan, Kehutanan &

Perikanan

Pertambangan dan Penggalian

Industri Pengolahan

Listrik, Gas dan Air Bersih

BangunanPerdagangan,

Hotel dan Restoran

Pengangkutan dan Komunikasi

Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan

J a s a - j a s a

I 1,97 1,72 4,67 - 2,20 3,70 1,18 0,63 3,41 II 1,36 1,34 4,42 0,20 1,50 2,01 0,48 -0,71 2,70 III 1,35 -0,48 1,63 0,12 1,20 1,19 0,28 -1,81 1,59 IV 2,21 1,51 2,52 0,09 1,02 2,80 0,54 -2,37 1,24 I 2,20 2,51 3,47 0,15 1,32 1,58 0,30 -1,51 1,59 II 2,18 3,15 1,50 0,12 1,82 2,41 0,47 -2,04 1,24 III 2,22 2,33 3,46 0.00 1,41 2,32 0.00 -0,55 0,59 IV 2,10 1,44 2,33 0,08 1,22 2,59 0,87 0,32 1,12 I 1,97 1,98 9,73 0,12 2,12 5.50 0,65 0,08 1.00 II 3,51 4,36 8,25 0,22 2,85 5,41 1,58 1.10 1,53 III 3,57 3,39 7,56 0,09 1,76 3,14 0,91 1.10 0,64 IV 4.10 7,38 14,13 0,14 2,59 7,81 1,93 3.20 3,48 I 3,28 3.50 4,89 0,18 1,99 3,75 0,49 2,24 3,12 II 1,97 2,98 3,64 0.20 1,97 2,55 0,55 0,68 1,24 III 5,44 2,34 2,19 0.10 1.40 2,61 0,16 -0,02 0,33 IV 3,53 -1,42 2,39 0,13 1,38 2,66 0,55 -0,64 0,53 I 1,17 -0,64 3,37 0,17 1,18 2,21 0,22 -1,02 0,22 II 2.89 3.08 3.56 0.09 2.01 2.50 0.24 -0.92 0.06 III 4.12 3.16 3.04 0.16 1.48 1.93 0.53 -0.91 4.10 IV 4.92 3.90 3.73 0.14 1.42 3.49 0.61 -0.60 1.51

2008 I* 3,30 3.17 8.91 0.10 2.36 3.98 0.53 0.19 0.39

2007

2003

2004

2005

2006

Page 47: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

42

Tabel 11 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga SK

Periode Korelasi VolatilitasPRA ITF (2003:I – 2005:II)

-0.15 6.81

PASKA ITF (2005:III – 2007:IV)

0.37 4.62

SELURUH PERIODE(2003:I – 2007:IV)

0.09 5.68

Tabel 12 Korelasi dan Volatilitas Ekspektasi Harga Jual SPE

SPE 6 bulan SPE 3 bulan Periode Korelasi Volatilitas Korelasi Volatilitas

PRA ITF (2003:I – 2005:II)

0.40 7.43 0.40 8.69

PASKA ITF (2005:III – 2007:IV)

0.29 6.88 0.65 10.51

SELURUH PERIODE (2003:I – 2007:IV)

0.28 7.1 0.59 9.62

Tabel 13 RMSE Consensus Forecast

Pelaksanaan CF RMSE 1 tahun sebelum prediksi (t-1) 1.42

Pada tahun yang sama (t) 4.55

Tabel 14 Perbandingan Data Ekspektasi Inflasi

Perbandingan dengan Inflasi Aktual Volatilitas

RMSE Korelasi Ekspektasi Inflasi SKDU 4.58 Consensus Forecast (t) 4.55Consensus Forecast (t-1) 1.42Bloomberg Survey 0.86 Ekspektasi Harga Jual SKDU 0.15 SK 0.09 SPE 3 bulan 0.59 SPE 6 bulan 0.28

Yield SUN

Yield SUN 1 tahun -0.45

Yield SUN 2 tahun -0.57

Page 48: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

43

Tabel 15 Perbandingan Evaluasi Ekspektasi Inflasi Negara Lain

RMSE Korelasi Pasar Barang Reserve Bank of Australia : Melbourne Institute Survey 1.31

Reserve Bank of New Zealand : RBNZ Survey 0.5

Banko Sentral ng Pilipinas :Business Survey Expectation

0.60

SKDU – Ekspektasi Inflasi 4.58 SKDU – Ekspektasi Harga Jual 0.15 Pasar Uang : Bloomberg Phillipina 0.4 Thailand 0.43 Malaysia 0.23 Singapore 0.41

Korea 0.27

Australia 0.28

Page 49: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

44

Tabel 16 Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Negara Lain, 1

Page 50: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

45

Tabel 17 Strategi Komunikasi Kebijakan Moneter Negara Lain, 2

Page 51: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

46

Gambar 1 Ekspektasi Harga Jual SKDU dan Inflasi Aktual

Gambar 2 Penyebab Utama Ekspektasi Harga Jual Meningkat

Gambar 3 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SKDU dan Inflasi Aktual

0

10

20

30

40

50

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I*

2003 2004 2005 2006 2007 2008

%SBT

0

3

6

9

12%

Eksp_HJ 1 tw

Inflasi qoq (RHS)

0%5%

10%15%

20%25%

30%35%

40%45%

I II III IV I II III IV

2006 2007

Harga bahan baku/penolongmeningkat

Biaya operasional lainnyameningkat

Persaingan produk sejenismenurun

Hari besar/liburan (faktormusiman)

Kualitas barang/jasameningkat

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

14%

16%

18%

2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Inflasi aktual (ytd) Inflasi aktual (yoy) Ekspektasi Inflasi akhir tahun

target

Page 52: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

47

Gambar 4 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SPP Triwulanan dan Inflasi Aktual

Gambar 5 Perbandingan Ekspektasi Inflasi SPP dan Inflasi Aktual Akhir Tahun

Gambar 6 Perbandingan Ekspektasi Harga SK dan Kenaikan Harga Aktual

4%

6%

8%

10%

12%

14%

16%

18%

III/04 I/05 II/05 III/05 I/06 II/06 III/06 I/07 II/07 III/07 I/08 II/08

Ekspektasi

Inflasi

4%

6%

8%

10%

12%

14%

16%

18%

Series1 Inflasi Aktual Akhir Tahun

150.0

155.0

160.0

165.0

170.0

175.0

180.0

185.0

190.0

Sep-03

Mar-04

Sep-04

Mar-05

Sep-05

Mar-06

Sep-06

Mar-07

Sep-07

Mar-08

Sep-08

% SBT

0

2

4

6

8

10

12

14%

SK6

Inflasi (6 bln)

Page 53: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

48

Gambar 7 Perbandingan Ekspektasi Harga SPE dan Kenaikan Harga Aktual 3 Bulan ke Depan

Gambar 8 Perbandingan Ekspektasi Harga SPE dan Kenaikan Harga Aktual 6 Bulan ke Depan

Gambar 9 Perbandingan Yield SUN 1 tahun dan Inflasi Aktual

100.0

110.0

120.0

130.0

140.0

150.0

160.0

170.0

180.0

Jan-0

3

Apr-0

3Ju

l-03

Oct-03Ja

n-04

Apr-0

4Ju

l-04

Oct-04Ja

n-05

Apr-0

5Ju

l-05

Oct-05Ja

n-06

Apr-0

6Ju

l-06

Oct-06Ja

n-07

Apr-0

7Ju

l-07

Oct-07Ja

n-08

Apr-0

8

-2

0

2

4

6

8

10

12

SPE3

Inflasi (3 bln)

100.0

110.0

120.0

130.0

140.0

150.0

160.0

Jan-03 Jul-03 Jan-04 Jul-04 Jan-05 Jul-05 Jan-06 Jul-06 Jan-07 Jul-07 Jan-08 Jul-080

2

4

6

8

10

12

14SPE6

Inflasi (6 bln)

02468

101214161820

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12

Yield SUN 1Yr

Inflasi (t+1)

Page 54: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

49

Gambar 10 Perbandingan Yield SUN 2 tahun dan Inflasi Aktual

Gambar 11 Perbandingan Consensus Forecast dan Inflasi Aktual

`

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12

Yield SUN 2Yr

Inflasi (t+2)

0

2

4

6

8

1012

14

16

18

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

2005 2006 2007 2008

%

Inf lasi (yoy, monthly) Inf lasi (ytd, monthly) CF( t-1) CF t target inflasi

Page 55: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

50

Gambar 12 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di Australia

Gambar 13 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di New Zealand

Gambar 14 Ekspektasi dan Inflasi Aktual di Filipina

Ekspektasi dan Inflasi AktualAustralia

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

7.0

Mar

-00

Sep-

00

Mar

-01

Sep-

01

Mar

-02

Sep-

02

Mar

-03

Sep-

03

Mar

-04

Sep-

04

Mar

-05

Sep-

05

Mar

-06

Sep-

06

Mar

-07

Sep-

07

Mar

-08

Inflation

Expectation

Ekspektasi Inflasi dan Aktual Philipina

-10

0

10

20

30

40

50

60

Jun-01 Mar-02 Dec-02 Sep-03 Jun-04 Mar-05 Dec-05 Sep-06 Jun-07 Mar-080

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

expectation

inflation (RHS)

Page 56: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

51

Gambar 15 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Indonesia

Gambar 16 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Filipina

Gambar 17 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Thailand

Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Indonesia

0

4

8

12

16

20

Jan-0

5

May-05

Sep-05

Jan-0

6

May-06

Sep-06

Jan-0

7

May-07

Sep-07

Jan-0

8

May-08

Aktual

Survei

Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Philipina

0

4

8

12

Jan-0

5

May-05

Sep-05

Jan-0

6

May-06

Sep-06

Jan-0

7

May-07

Sep-07

Jan-0

8

May-08

Aktual

Survei

Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Thailand

0

4

8

Jan-0

5

May-05

Sep-05

Jan-0

6

May-06

Sep-06

Jan-0

7

May-07

Sep-07

Jan-0

8

May-08

Aktual

Survei

Page 57: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

52

Gambar 18 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Malaysia

Gambar 19 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Singapore

Gambar 20 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Korea

Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Malaysia

0

2

4

6

Jan-0

5

May-05

Sep-05

Jan-0

6

May-06

Sep-06

Jan-0

7

May-07

Sep-07

Jan-0

8

May-08

Aktual

Survei

Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Singapore

-2

0

2

4

6

8

Jan-0

5

May-05

Sep-05

Jan-0

6

May-06

Sep-06

Jan-0

7

May-07

Sep-07

Jan-0

8

May-08

Aktual

Survei

Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Korea

0

2

4

6

Jan-0

5

May-05

Sep-05

Jan-0

6

May-06

Sep-06

Jan-0

7

May-07

Sep-07

Jan-0

8

May-08

Aktual

Survei

Page 58: Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia Pasca ITF file2003-2008, penelitian ini menemukan bukti empiris mengenai perilaku ekspektasi inflasi di pasar barang dan pasar uang Indonesia

53

Gambar 21 Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan – Australia

Ekspektasi dan Inflasi Pasar Keuangan - Australia

0

1

2

3

4

5

Mar-05

Jul-0

5

Nov-05

Mar-06

Jul-0

6

Nov-06

Mar-07

Jul-0

7

Nov-07

Mar-08

Aktual

Survei