analisis efektivitas kebijakan subsidi … penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk...
TRANSCRIPT
ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI
(STUDI KASUS : KABUPATEN BOGOR)
OLEH
SUHAILA MARISA
H14070047
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
SUHAILA MARISA. Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan
Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus: Kabupaten Bogor) (dibimbing
oleh ALLA ASMARA)
Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan
hidup suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian
sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, pertanian sebagai
aspek pendukung ketersedian pangan di suatu negara. Oleh karena itu, terdapat
berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian. Salah
satu kebijakan ini adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk
merupakan salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendukung sektor
pertanian dengan memberikan subsidi input berupa penetapan HET pupuk.
Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan enam indikator keberhasilan yaitu tepat
jenis, jumlah, harga, mutu, tempat, dan waktu.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan subsidi
pupuk untuk mendukung produksi padi dengan mengambil studi kasus pada
Kabupaten Bogor. Metode pengambilan contoh menggunakan purposive sampling
dimana pemilihan responden berdasarkan pertimbangan peneliti. Sampel
penelitian ini yaitu dua kecamatan dan masing-masing kecamatan dipilih dua
desa. Dari desa ini dipilih lagi masing-masing 30 responden yang diharapkan
dapat mewakili populasi yang ada. Metode analisis yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif, serta metode regresi linier berganda.
Metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk mengukur efektivitas
kebijakan subsidi pupuk dengan menggunakan empat indikator utama yaitu tepat
harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Metode regresi linier berganda
digunakan untuk mengukur respon permintaan pupuk urea terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi yaitu harga urea, harga TSP, harga padi, dan luas lahan, serta
respon produksi padi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu luas
lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk masih
dikategorikan belum efektif berdasarkan empat indikator utama, yaitu tepat harga,
tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Ketidakefektifan subsidi pupuk juga
berpengaruh terhadap produksi padi seperti yang ditunjukkan pada hasil regresi
produksi padi. Variabel harga pupuk urea mempunyai pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap permintaan pupuk urea. Hal ini berarti bahwa jika terjadi
peningkatan pada harga pupuk urea maka akan terjadi penurunan permintaan
pupuk urea. Selain itu, variabel harga TSP, harga padi, dan luas lahan mempunyai
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan pupuk urea. Variabel
luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Hal ini
berarti bahwa apabila terjadi perubahan terhadap faktor-faktor tersebut maka akan
berpengaruh terhadap produksi padi. Pengaruh efektivitas kebijakan subsidi
pupuk terhadap produksi padi dapat dilihat dari nilai dummy efektivitas harga
pada persamaan regresi produksi padi. Dummy efektivitas harga bernilai positif
dan signifikan. Hal ini berarti bahwa apabila kebijakan subsidi pupuk efektif maka
dapat meningkatkan produksi padi. Oleh karena itu, pemerintah harus selalu
memperbaiki penyaluran pupuk bersubsidi agar indikator-indikator efektivitas
kebijakan subsidi pupuk terpenuhi sehingga penggunaan kebijakan ini dapat
bermanfaat secara optimal bagi petani. Mekanisme penyaluran pupuk masih
bermasalah pada Lini IV (kios resmi) yang masih berada di luar desa. Kios resmi
sebaiknya berada di dalam desa sehingga petani dapat lebih mudah memperoleh
pupuk bersubsidi tanpa tambahan biaya transportasi. Selain itu, sebaiknya ada
perbedaan yang jelas antara kios resmi dan tidak resmi pupuk bersubsidi sehingga
petani tidak kesulitan untuk memperoleh pupuk bersubsidi dengan HET yang
telah ditetapkan. Pemerintah juga harus selalu mendukung ketersediaan faktor-
faktor tersebut agar produksi padi optimal. Pemerintah harus meningkatkan peran
PPL dalam memberikan imbauan dan anjuran tentang produksi padi terutama
berkaitan dengan adanya pemupukan yang berimbang agar penggunaan pupuk
bersubsidi dapat terserap dan bermanfaat optimal dalam peningkat produksi padi.
Peran serta dari berbagai pihak-pihak yang terkait dan penegakan aturan-aturan
juga dapat membantu peningkatan efektivitas kebijakan subsidi pupuk.
ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI
(STUDI KASUS : KABUPATEN BOGOR)
Oleh:
SUHAILA MARISA
H14070047
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Skripsi : Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk
dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi
(Studi Kasus : Kabupaten Bogor)
Nama Mahasiswa : Suhaila Marisa
Nomor Registrasi Pokok : H14070047
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Alla Asmara, S. Pt, M.Si
NIP. 19730113 199702 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2011
Suhaila Marisa
H14070047
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Suhaila Marisa, lahir di Rembang pada tanggal 03 mei
1989. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kadar
Yusuf dan Ibu Khayati. Penulis memulai pendidikan di TK Negeri Rembang dan
lulus pada tahun 1995. Pendidikan dasar di SD Negeri Ngotet Rembang pada
tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan
di SMP Negeri 2 Rembang dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan
pendidikan di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa
IPB dengan mayor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis
juga mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun
2008-2011.
Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan selama menjadi
mahasiswa. Penulis aktif dalam organisasi anggota Himpunan Keluarga Rembang
di Bogor (HKRB) dari tahun 2007 sampai 2011. Selain itu, penulis juga aktif
dalam organisasi kampus yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan
Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada periode tahun 2008-2009 sebagai staf
divisi LABLE (divisi pendidikan dan kehidupan akademik) dan periode tahun
2009-2010 sebagai kepala divisi LABLE. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen
Ekonomi Umum untuk mahasiswa TPB pada tahun 2009-2010. Kepanitiaan yang
pernah diikuti penulis, antara lain seksi Konsumsi HIPOTEX-R 2009, seksi
Sponsorship dalam acara Politik Ceria (POCER) pada tahun 2009, seksi LO
dalam acara Economic Contest (EC) pada tahun 2009, dan berbagai acara
kepanitiaan lainnya.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Skripsi ini berjudul
“Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap
Produksi Padi (Studi Kasus : Kabupaten Bogor)”. Kebijakan subisidi pupuk
merupakan topik yang menarik karena diharapkan dapat memberikan pengaruh
positif terhadap produksi padi dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah
Kabupaten Bogor.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator, dan
menganalisis pengaruh efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi
di Kabupaten Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak, ibu, dan saudara tercinta (Kadar Yusuf, Khayati, dan Muhammad Arif
Dahlan) yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang. Semoga
skripsi ini menjadi persembahan yang membanggakan.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
3. Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah banyak
memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.
4. Deni Lubis, MA selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah
memberikan saran terkait dengan tata cara penulisan dan bahasa dalam
penulisan skripsi ini.
5. Seluruh staf Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuan dan kerjasamanya.
6. Seluruh pihak dari Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor,
Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi ini.
7. Teman satu bimbingan, Gema Setya Anggara, Ukke Hentresna Lestari, dan
Farida yang telah memberikan saran, kritik, dan motivasi dalam meyelesaikan
penelitian ini.
8. Seluruh keluarga IE 44 khususnya Ida, Rani, Feri, Siska, Martha, Rini,
Nindya, Riri, Yoga, Dian atas kebersamaan dan dukungan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Arif dan teman-teman Pondok Ratna (Resty, Fina, Naila, Sarah, Age, Maya,
Idah, Yunika, dan Lilis) yang telah memberikan bantuan, dan dukungan
dalam penyusunan skripsi ini.
10. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala
dukungan, bantuan, dan kerjasama baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Bogor, September 2011
Suhaila Marisa
H14070047
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... v
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 6
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 9
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ......................11
2.1. Tinjauan Teori-teori ..............................................................................11
2.1.1. Pengertian Efektivitas .................................................................11
2.1.2. Pengertian Pupuk dan Pupuk Bersubsidi ....................................11
2.1.3. Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi .....12
2.1.4. Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk ............14
2.1.5. Teori Produksi .............................................................................15
2.1.6. Teori Permintaan .........................................................................19
2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ............................................................20
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ..........................................................27
III. METODE PENELITIAN .............................................................................30
3.1. Jenis dan Sumber Data ..........................................................................30
3.2. Metode Pengumpulan Contoh ...............................................................30
3.3. Metode Analisis Data ............................................................................31
3.3.1. Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif ..............................31
3.3.2. Metode Regresi Linier ...............................................................33
IV. GAMBARAN UMUM ................................................................................38
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bogor ...................................................38
4.2. Perkembangan Kebijakan Subsidi Pupuk .............................................42
ii
V. PEMBAHASAN ..........................................................................................46
5.1. Karakteristik Usaha Tani Responden ....................................................46
5.2. Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk....................................................55
5.3. Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi .................................67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................80
6.1. Kesimpulan ...........................................................................................80
6.2. Saran .....................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................83
LAMPIRAN ........................................................................................................86
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi
Sawah Menurut Jenis Pengeluaran ............................................................ 4
1.2. Banyaknya Desa di Kabupaten Bogor Menurut Sumber Penghasilan
Utama Sebagian Penduduk ........................................................................ 5
1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010 ................ 8
4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2006-2009 ............................38
4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005 ...........39
4.3. Data Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Utama Kabupaten Bogor
Tahun 2006 ................................................................................................40
4.4. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Sawah
Kabupaten Bogor Tahun 2009 ...................................................................41
5.1. Wilayah Studi Penelitian ...........................................................................46
5.2. Perbedaan Pengeluaran Pupuk Subsidi dan Non Subsidi pada Setiap
Musim Tanam ............................................................................................54
5.3. Rata-rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden ..................56
5.4. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi ............................57
5.5. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi .........................60
5.6. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi ...........................62
5.7. Persentase Tingkat Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi ..........................63
5.8. Persentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk .......................64
5.9. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk Urea ..........................................68
5.10. Uji Asumsi Klasik .....................................................................................70
5.11. Hasil Estimasi Produksi Padi .....................................................................73
5.12. Uji Asumsi Klasik .....................................................................................74
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000 ...... 1
1.2. Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010 ................................................. 2
1.3. Produksi Padi Tahun 1996-2010 ............................................................... 3
2.1. Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total .........................17
2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi .....................18
2.3. Kerangka Pemikiran ..................................................................................28
4.1. Mekanisme Distribusi Pupuk dengan Produsen .......................................44
4.2. Mekanisme Distribusi Subsidi Pupuk dengan Semua Produsen ...............45
5.1. Karakteristik Pendidikan Responden .........................................................47
5.2. Luas Lahan Responden ..............................................................................48
5.3. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010 ....................49
5.4. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden ........50
5.5. Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk .................................65
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kuisioner Responden ................................................................................... 87
2. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk .................................................... 98
3. Uji Asumsi Normalitas ................................................................................ 98
4. Uji Asumsi Heteroskedastisitas ................................................................... 99
5. Uji Asumsi Autokorelasi .............................................................................. 99
6. Uji Korelasi Parsial antar Peubah Bebas ..................................................... 99
7. Hasil Estimasi Produksi Padi .......................................................................100
8. Uji Asumsi Normalitas ................................................................................100
9. Uji Asumsi Heteroskedastisitas ...................................................................101
10. Uji Asumsi Autokorelasi ..............................................................................101
11. Uji Korelasi antar Peubah Bebas .................................................................101
12. Data Responden ...........................................................................................102
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan
hidup suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian
sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, pertanian sebagai
aspek pendukung ketersedian pangan di suatu negara. Oleh karena itu, terdapat
berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian. Selain
itu, pendapatan negara juga sebagian besar berasal dari sektor pertanian. Hal ini
terlihat pada Gambar 1.1.
Sumber : BPS, 2010
Gambar 1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000
13%
8%
26%
1%
7%
17%
9%
10% 9%
Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000
Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Pengangkutan, dan Komunikasi
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
2
Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa pertanian mempunyai kontribusi yang
besar terhadap PDB. Pertanian mempunyai kontribusi sebesar 13% terhadap PDB
yang merupakan sektor terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan
perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, sektor pertanian harus
mendapatkan prioritas karena pertanian juga memberikan kontribusi untuk
ketahanan pangan. Berbagai langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan pangan seperti subsidi input produksi, kebijakan harga,
dan pembenahan kelembagaan pangan (Amang dan Sawit, 1999). Salah satu
kebijakan-kebijakan subsidi input produksi tersebut adalah kebijakan subsidi
pupuk.
Kebijakan subsidi pupuk sebagai salah satu dari kebijakan fiskal
pemerintah yang ditujukan pada petani dengan tujuan meningkatkan produksi
pertanian. Kebijakan ini sudah dilakukan sejak tahun 1960 dan juga pernah
dihapuskan pada saat krisis moneter 1998 dan mulai diberlakukan kembali pada
pertengahan tahun 2001. Perkembangan alokasi subsidi pupuk untuk sektor
pertanian akan disajikan secara lengkap pada Gamber 1.2 di bawah ini.
Sumber : Kementrian Keuangan, 2010
Gambar 1.2. Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010
2527,3 3167,7 6260,5
15181,5 17537
11291,5
0
5000
10000
15000
20000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sub
sid
i Pu
pu
k (M
iliar
Ru
pia
h)
Tahun
Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010
3
Pada Gambar 1.2 terlihat bahwa alokasi subsidi pupuk setiap tahun
mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai 2009. Namun, pada tahun 2010
alokasi subsidi pupuk mengalami penurunan dari sebesar 17.537 (miliar rupiah)
pada tahun 2009, menjadi 11.291,5 (miliar rupiah) pada tahun 2010. Hal ini
dikarenakan adanya anggaran negara yang digunakan untuk subsidi pupuk yang
terlalu besar dan juga adanya indikasi ketidakefektivitasan penggunaan subsidi
pupuk ini untuk mendukung sektor pertanian. Pengaruh adanya subsidi pupuk
terhadap produksi padi akan ditunjukkan pada Gambar 1.3. berikut ini.
Sumber : Kementrian Pertanian, 2010
Keterangan : *Mulai tahun1999 tidak termasuk Timor Timur
Gambar 1.3. Produksi Padi Tahun 1996-2010
Subsidi pupuk mulai diberlakukan sejak tahun 1960 sampai tahun 1998
yang diatur oleh pemerintah dimana pengadaan dan penyalurannya diserahkan
pada PT. Pupuk Sriwijaya. Pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi sektor
pertanian khususnya padi dapat terlihat pada Gambar 1.3. pada gambar tersebut
terlihat bahwa sejak 1 Desember 1998 subsidi pupuk mulai dicabut dan
diberlakukan kembali mulai tanggal 13 Maret 2001. Pada saat pencabutan subsidi
pupuk terjadi penurunan produksi padi dari sebesar 49.377.054 ton pada tahun
020.000.00040.000.00060.000.00080.000.000
Pro
du
ksi P
adi (
ton
)
Tahun
Produksi Padi Tahun 1996-2010
4
1997 menjadi sebesar 49.236.692 ton pada tahun 1998. Pada periode 1998 sampai
2001 produksi padi cenderung tidak stabil.
Pada tahun 2002 dimana subsidi pupuk sudah mulai diberlakukan kembali
dengan semua produsen pupuk diberikan kesempatan untuk pengadaan dan
penyaluran pupuk bersubsidi. Dengan adanya pemberlakuan subsidi pupuk
kembali, produksi padi juga meningkat sejak tahun 2002 sampai 2009. Namun,
pada tahun 2010 terjadi pengurangan anggaran subsidi pupuk dari sebesar 17.537
(miliar rupiah) pada tahun 2009 menjadi sebesar 11.291,5 (miliar rupiah) pada
tahun 2010 yang dijelaskan pada Gambar 1.2. Pengurangan subsidi pupuk dengan
selisih sebesar 6245,5 (miliar rupiah) tidak berpengaruh signifikan terhadap
perubahan produksi padi bahkan produksi padi tetap mengalami peningkatan dari
sebesar 64.398.890 pada tahun 2009 menjadi sebesar 65.980.670 pada tahun
2010. Hal ini mengindikasikan adanya pertanyaan terhadap tingkat efektivitas
penyerapan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian.
Tabel 1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi
Sawah Menurut Jenis Pengeluaran
Rincian Nilai (000 Rp) Biaya (%)
Bibit/benih 205,54 3,46
Pupuk 786,42 13,26
Pestisida 180,75 3,05
Tenaga Kerja 1586,01 26,73
Sewa Lahan 734 12,37
Alat/sarana Usaha 463 7,80
Jasa 1553 26,18
Lainnya (bunga kredit, iuran irigasi, PBB Lahan
Sawah, dll) 424 7,15
Jumlah 5932,72 100
Sumber : BPS, 2008 (diolah)
5
Efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan enam indikator,
antara lain tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga sehingga petani dapat
menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Efektivitas subsidi pupuk menjadi hal
yang penting dalam mendukung produksi sektor pertanian. Pada Tabel 1.1 terlihat
bahwa pupuk mempunyai proporsi sebesar 13,26 persen terhadap keseluruhan
biaya produksi padi per hektar pada setiap musim tanamnya. Hal ini menunjukkan
bahwa pupuk mempunyai proporsi yang besar dalam biaya produksi padi
sehingga pupuk menjadi hal yang harus diprioritaskan oleh pemerintah terkait
dengan kebutuhan petani. Pupuk menjadi input yang perlu disubsidi pemerintah
terkait dengan peranannya yang penting dalam menentukan produksi pertanian.
Oleh karena itu, penelitian ini membahas tentang efektivitas kebijakan subsidi
pupuk terhadap kaitannya dengan produksi padi dengan mengambil studi kasus
pada kabupaten Bogor. Bogor dipilih menjadi studi kasus dalam penelitian ini
berdasarkan berbagai pertimbangan seperti yang dijelaskan pada Tabel 1.2 berikut
ini.
Tabel 1.2. Banyaknya Desa di Kabupaten Bogor Menurut Sumber Penghasilan
Utama Sebagian Penduduk
Sektor Perekonomian Banyaknya Desa
Pertanian 248
Pertambangan dan Penggalian 1
Industri Pengolahan 32
Perdagangan 64
Jasa 73
Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2006 (diolah)
Pada Tabel 1.2 terlihat bahwa Bogor mempunyai proporsi yang besar pada
sektor pertanian dimana terdapat sebanyak 248 desa yang penduduknya
6
begantung pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Sektor ini
mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Oleh
karena itu, Bogor dipilih menjadi sampel untuk penelitian ini yang mengangkat
topik tentang “Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi (Studi
Kasus: Kabupaten Bogor)”.
1.2. Perumusan Masalah
Pupuk mempunyai peranan penting dalam peningkatan produksi pertanian.
Petani mendapatkan input yang lebih murah untuk produksi mereka sehingga hasil
produksinya juga akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan
kebijakan subsidi pupuk. Distribusi pupuk subsidi yang berlaku saat ini mengikuti
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 07/M-Dag/Per/2/2009 tentang
pasokan subsidi pupuk yang diharapkan dapat memperbaiki penyaluran subsidi
pupuk yang berkaitan dengan tepat waktu. Peraturan ini menggantikan peraturan
sebelumnya yaitu Permendag No.21/M-Dag/Per/6/2008 tentang sistem distribusi
pupuk bersubsidi tertutup yang terbatas hanya pada petani atau kelompok tani
yang sudah tercatat. Penyempurnaan peraturan-peraturan dari pemerintah terkait
dengan distribusi pupuk bersubsidi yang seharusnya dapat mempermudah petani
untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Namun, pada kenyataan karena peraturan
tentang pengawasan distribusi pupuk besubsidi masih lemah dan tidak ada
koordinasi pada masing-masing bagian baik pada perencanaan, pengadaan,
maupun pendistribusian sehingga masih tetap banyak petani yang tidak bisa
7
mendapatkan pupuk bersubsidi dengan mudah karena pengecer resmi juga dapat
dengan mudah menjual ke siapa saja.
Peningkatan input produksi berupa penambahan penggunaan pupuk secara
teori dapat meningkatkan produksi padi apabila penggunaannya sesuai dengan
dosis yang dibutuhkan (400 kg/ha) pada setiap produksinya (Purwono dan Heni,
2009). Namun, apabila penambahan pupuk untuk produksi sudah pada batas
optimum penggunaan maka apabila dilakukan penambahan lagi akan berakibat
negatif pada peningkatan produksi. Seringkali petani tidak memperhatikan dosis
anjuran yang tepat untuk setiap penggunaannya berkaitan dengan luas lahan yang
mereka miliki sehingga berakibat pada penurunan produktivitas pada hasil
produksinya (Kementerian Pertanian, 2009).
Efektivitas subsidi pupuk juga berkaitan dengan harga pupuk besubsidi di
lapangan. Penetapan harga pupuk bersubsidi sesuai dengan Peraturan Menteri
Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 tentang kebutuhan dan harga eceran
tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2010.
HET pupuk bersubsidi mengalami perubahan setiap tahunnya yang akan
ditunjukkan pada Tabel 1.3 berikut ini. Dari Tabel 1.3 dapat dilihat bahwa
penetapan harga pupuk telah diatur menggunakan HET yang dapat berubah sesuai
peraturan perundangan yang ditetapkan pada tahun bersangkutan. Penetapan HET
ini bertujuan untuk tetap mengendalikan harga pupuk bersubsidi di pasar sehingga
tetap dapat dijangkau oleh petani (Kementerian Pertanian, 2009).
8
Tabel 1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010
(Rp/Kg)
Tahun Urea ZA TSP/
SP36 KCl
NPK
phonska
NPK
pelangi
NPK
kujang Organik
(15:15:15) (20:10:10) (30:6:8)
2001 1.150 1.000 1.600 1.650
2002 1.150 1.000 1.600 1.650
2003** 1.150 1.000 1.500
2003*** 1.150 950 1.400
2004 1.150 950 1.400 -
2005 1.150 950 1.400 - 1.600
2006 1.200 1.050 1.550 - 1.750
2007 1.200 1.050 1.550 - 1.750 1.830 1.586 1.000
2008 1.200 1.050 1.550 - 1.750 1.830 1.586 500
2009 1.200 1.050 1.550 - 1.750 1.830 1.586 500
2010 1.600 1.400 2.000 - 2.300 2.300 2.300 700
Sumber : APPI, 2011
Keterangan :
**) Berlaku 1 Januari-31 Juli 2003
*** ) Berlaku 1 Agustus-31 Desember 2003
Harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi telah ditetapkan oleh pemerintah
melalui peraturan perundangan tetapi tetap ada harga yang berbeda di pasar dan
merugikan petani. Sebagai contoh kasusnya yaitu pada Kabupaten Gresik dimana
harga pupuk yang berlaku tidak sesuai dengan HET. Pupuk urea yang seharusnya
dijual dengan harga Rp 80.000/sak, tetapi pada kenyataannya harganya sebesar Rp
87.000/sak sehingga terdapat kenaikan sebesar 8,7 persen dari harga
sesungguhnya. Selain itu, kondisi ini juga terjadi pada harga pupuk jenis lain yaitu
pupuk SP36 dengan HET Rp 100.000/sak dijual dengan harga Rp 108.000/sak
(kenaikan harga sebesar 8 persen), sedangkan pupuk NPK Phonska dengan HET
Rp 115.000/sak dijual dengan harga Rp 122.000/sak dengan kenaikan harga
9
sebesar 6,09 persen (Jurnal Berita, 2011). Salah satu hal yang menjadi alasan bagi
para pelaku distribusi menaikkan harga secara tidak resmi adalah untuk
mendapatkan marjin pemasaran dari upah pelaku distribusi dan biaya pemasaran
karena harga pupuk bersubsidi yang kurang realistik. Kenaikan harga ini akan
merugikan petani karena harga pupuk bersubsidi di pasar lebih tinggi dari HET
yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dari berbagai uraian-uraian permasalahan yang telah dijelaskan maka
dalam penelitian ini akan dirumuskan permasalahan menjadi lebih rinci, antara
lain :
1. Bagaimana efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator
keberhasilan subsidi pupuk?
2. Bagaimana pengaruh efektivitas subsidi pupuk terhadap produksi padi di
Kabupaten Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator
keberhasilan subsidi pupuk.
2. Menganalisis pengaruh efektivitas subsidi pupuk terhadap produksi padi di
Kabupaten Bogor.
10
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :
1. Memberikan gambaran efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap sektor
pertanian khususnya padi di Kabupaten Bogor.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah
untuk merumuskan mekanisme kebijakan subsidi pupuk yang paling efektif
dalam mendukung sektor pertanian.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teori-teori
2.1.1. Pengertian Efektivitas
Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara
membandingkan output anggaran atau seharusnya dengan output realisasi atau
sesungguhnya, dikatakan efektif jika output seharusnya lebih besar daripada
output sesungguhnya (Schemerhon John R. Jr, 1986). Menurut Hidayat (1986)
efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,
kualitas, dan waktu) telah tercapai. Semakin besar persentase yang dicapai, maka
semakin tinggi efektivitasnya. Menurut Gibson (2002), efektivitas adalah sasaran
yang telah disepakati atas usaha bersama. Pengertian efektivitas yang digunakan
dalam penelitian mengacu pada ketiga pengertian di atas, yaitu suatu ukuran
pencapaian target yang menunjukkan output realisasi yang telah tercapai dari
output yang seharusnya tercapai.
2.1.2. Pengertian Pupuk dan Pupuk Bersubsidi
Peraturan pupuk bersubsidi untuk kabupaten Bogor diatur dalam Peraturan
Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010. Peraturan ini membahas tentang penyaluran
pupuk bersubsidi untuk pertanian dan perikanan di kabupaten Bogor. Selain itu,
peraturan ini juga membahas tentang pengertian istilah-istilah yang terkait dengan
subsidi pupuk, yaitu pengertian pupuk, pupuk anorganik, dan pupuk organik.
Menurut peraturan ini, pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan
dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak
12
langsung. Pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses rekayasa secara kimia,
fisika dan atau biologi dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk.
Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari
bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa dan dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk
mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan atau biologi tanah.
Pupuk bersubsidi menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
77 Tahun 2005 adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat
subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar
program pemerintah di sektor pertanian. Menurut peraturan ini juga ditentukan
jenis pupuk bersubsidi yaitu pupuk anorganik (urea, superphos, ZA, NPK) dan
pupuk organik. Menurut Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2010, pupuk
bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan
dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini
IV. Pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani, pekebun, peternak dan
pembudidaya ikan atau udang yang mengusahakan lahan seluas-luasnya dua
hektar setiap musim tanam per keluarga petani, kecuali pembudidaya ikan atau
udang seluas-luasnya satu hektar.
2.1.3. Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi
Alokasi pupuk bersubsidi menurut Peraturan Bupati Bogor Nomor 13
Tahun 2010 dihitung berdasarkan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik
lokasi dan standar teknis dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang
13
diajukan Pemerintah Daerah, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahunan.
Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk bagi tanaman sesuai dengan
status hara tanah dan kebutuhan tanaman untuk mencapai produktivitas yang
optimal dan berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri
Pertanian No. 40/Permentan/OT.140/4/2007.
Pengadaan pupuk adalah proses penyediaan pupuk bersubsidi yang
dilakukan oleh produsen yang berasal dari produksi dalam negeri dan atau impor
(Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Penyaluran pupuk adalah proses
pendistribusian pupuk bersubsidi dari produsen sampai dengan petani dan atau
kelompok tani sebagai konsumen akhir (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun
2010). Pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk berubsidi sampai ke
penyalur Lini IV (pengecer resmi) dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundangan-undangan. Produsen, penyalur Lini III dan penyaluran pupuk
bersubsidi sesuai prinsip enam tepat (tepat jenis, jumlah, mutu, tempat, waktu, dan
harga sesuai HET). Produsen wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran
pupuk bersubsidi dari Lini I sampai dengan Lini IV di wilayah
tanggungjawabnya. Distributor wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran
pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini IV di wilayah
tanggungjawabnya. Pengecer resmi melaksanakan penyediaan dan penyaluran
pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani sesuai dengan peruntukannya
di Lini IV wilayah tanggungjawabnya.
Pengawasan terhadap pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi
dilakukan oleh produsen, penyalur Lini III (distributor), penyalur IV (pengecer
14
resmi) dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) daerah berdasarkan
prinsip enam tepat. Produsen pupuk bersubsidi wajib melakukan pemantauan dan
pengawasan terhadap penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I
sampai Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Penyalur Lini III (distributor)
wajib melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan,
penyimpangan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini
IV (pengecer resmi) setempat. Penyalur Lini IV (pengecer resmi) wajib
melaksankan pemantauan dan pengawasan terhadap perkembangan dan keadaan
pertanaman serta penyediaan, penyimpanan dan penyaluran pupuk bersubsidi
kepada petani atau kelompok tani setempat. KP3 daerah wajib melakukan
pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan
penggunaan pupuk bersubsidi di daerah serta melaporkan kepada Bupati, dengan
tembusan disampaikan kepada produsen selaku penganggungjawab wilayah.
Pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini IV ke petani atau kelompok
tani dilakukan oleh KP3 di daerah bersama Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)
dan Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) serta
Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT), Tenaga Bantu Pengendali
Organisme Pengganggu Tumbuhan (TB-POPT), dan Ketua Gabungan Kelompok
Tani.
2.1.4. Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk
Tingkat efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan enam
indikator. Menurut Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010 indikator-
15
indikator subsidi pupuk adalah tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, tepat
jumlah, tepat jenis, dan tepat mutu. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini
terfokus pada empat indikator tepat yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah.
Pemilihan keempat indikator ini disebabkan oleh empat indikator tersebut dapat
dikuantifikasikan sehingga dapat diinterpretasikan.
Pengertian tepat harga adalah suatu kondisi dimana harga pembelian
pupuk oleh petani secara kontan di tingkat pengecer atau kios resmi per saknya
sama dengan harga eceran tertinggi (Syafa’at, et al., 2007). Pengertian tepat
tempat berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk
tersedia di dekat atau di sekitar rumah atau lahan petani yang diindikasikan
dengan pembelian pupuk oleh petani dilakukan di kios di dalam desa. Pengertian
tepat waktu berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk
secara fisik tersedia pada saat dibutuhkan oleh petani. Pengertian tepat jumlah
menurut Rahman (2009) adalah jumlah pemupukan yang dilakukan sesuai dengan
dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanah dan kebutuhan tanaman.
Menurut Purwono dan Heni (2009), jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status
hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea
200kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 75-100kg/ha, dan KCL sebanyak 75-100kg/ha.
2.1.5. Teori Produksi
Fungsi produksi menurut Walter Nicholson (1991) adalah suatu fungsi
yang memperlihatkan sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan
kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L) atau Q= f (K,L).
16
Dalam suatu proses produksi juga terdapat adanya perubahan keluaran
yang dihasilkan oleh perubahan dalam satu masukan produksi. Teori ini sering
disebut dengan Marginal Physical Product (Produk Fisik Marginal) yang
pengertiannya adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan
menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut dengan mempertahankan
semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
Produk fisik marginal dari modal :
.........................................................................................................(2.1)
Produk fisik marginal dari tenaga kerja :
.......................................................................................................... (2.2)
Produk fisik marginal dari sebuah masukan bergantung pada jumlah
masukan tersebut yang dipergunakan. Sebagai contoh pupuk tidak dapat
ditambahkan secara tidak terbatas untuk sebidang tanah tertentu (dengan
mempertahakan jumlah peralatan, tenaga kerja, dan sebagainya) yang pada
akhirnya akan menunjukkan penurunan produktivitas. Hal ini akan dijelaskan
pada Gambar 2.1.
Kurva pada Gambar 2.1 memperlihatkan produktivitas rata-rata dan
produktivitas marginal untuk pupuk dapat diturunkan dari kurva produk total.
Kurva TPP dalam (a) mewakili hubungan antara masukan pupuk dan keluaran,
dengan asumsi bahwa semua masukan lain dipertahankan konstan. Pada (b)
diperlihatkan bahwa kurva TPP merupakan produk marginal pupuk (MPP), dan
kemiringan kurva yang menggabungkan titik asal dengan satu titik di kurva TPP
17
menghasilkan produk rata-rata pupuk (APP). Kurva ini menjelaskan hubungan
antara jumlah masukan tertentu (pupuk) dan keluaran atau output total (TPP).
Untuk jumlah pupuk yang kecil, keluaran meningkat dengan cepat kemudian
pupuk ditambahkan tetapi karena semua masukan lain tetap konstan, pada
akhirnya kemampuan pupuk tambahan untuk menghasilkan keluaran tambahan
mulai menurun. Pada akhirnya, pada P***, keluaran mencapai tingkat maksimum
dimana pada setiap pupuk yang ditambahkan akan mengurangi keluaran.
P* P** P*** Masukan pupuk per periode
(a) Produk Total Kurva Pupuk
MPP APP
MPP
APP
P* P** P*** Masukan pupuk per periode
(b) Kurva Produk Rata-rata dan Marginal untuk Pupuk
Sumber : Nicholson (1991)
Gambar 2.1. Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total
jumlah per
periode (Q)
18
Kurva total produk tersebut akan menggambarkan produksi atau keluaran
dari penggunaan suatu input tertentu. Pada Gambar 2.2 akan dijelaskan pengaruh
dari adanya subsidi. Pada kurva ini akan dilihat adanya pengaruh dari pemberian
subsidi terhadap kurva penawaran pupuk dan produksi padi.
P S
S’
P
P’
D
Q Q’ Q
(a) Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran Pupuk
Output (Q)
Q’
Input (pupuk)
(b) Pengaruh Subsidi terhadap Produksi
Sumber : Widjajanta dan Widyaningsih (2007)
Gambar 2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi
Dari Gambar 2.2 dapat terlihat pengaruh adanya subsidi terhadap kurva
penawaran dan produksi. Subsidi merupakan bantuan yang diberikan pemerintah
kepada produsen terhadap produk yang dihasilkan atau dipasarkan, sehingga
harga lebih rendah sesuai dengan keinginan pemerintah dan daya beli masyarakat
Q
19
meningkat. Subsidi pupuk merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada
petani agar dapat memproduksi dengan biaya lebih rendah. Adanya subsidi
menyebabkan penawaran pupuk bertambah dari S ke S’. Pupuk yang ditawarkan
di pasar menjadi bertambah dari Q ke Q’, sedangkan harga keseimbangan pasar
dengan adanya subsidi akan turun dari P ke P’ seperti terlihat pada kurva (a).
Dampak dari adanya subsidi adalah biaya produksi menjadi lebih rendah yang
menyebabkan kemampuan produsen untuk membeli input produksi lebih tinggi
sehingga jumlah input produksi meningkat. Adanya peningkatan input produksi
akan menyebabkan jumlah barang yang diproduksi menjadi naik (dari Q ke Q’)
seperti terlihat pada kurva (b). Jadi, adanya subsidi dapat meningkat kemampuan
produksi suatu barang.
2.1.6. Teori Permintaan
Fungsi permintaan menurut Nicholson (1991) adalah hubungan antara
harga dan kuantitas yang diminta konsumen per unit waktu, ceteris paribus.
Harga dan kuantitas permintaan berbanding terbalik sehingga kurva permintaan
berslope negatif. Pada prinsipnya, untuk mencapai utilitas maksimum pada tingkat
optimal X1, X2, …, Xn (dan λ, pengali Lagrangian) sebagai fungsi dari semua
harga dan pendapatan. Secara matematis fungsi permintaan dinyatakan sebagai
berikut :
X1* = D1 (P1, P2, …, Pn, I) ............................................................................... (2.3)
X2* = D2 (P1, P2, …, Pn, I) ............................................................................... (2.4)
Xn* = Dn (P1, P2, …, Pn, I) ................................................................................ (2.5)
20
Notasi D menyatakan permintaan, P menyatakan harga, X menyatakan
jumlah yang ingin dibeli dan I menyatakan pendapatan sehingga dapat diketahui
jumlah yang akan dibeli seseorang individu untuk masing-masing barang. Proses
produksi terjadi karena adanya permintaan output yang dihasilkan. Permintaan
input akan muncul karena adanya suatu proses produksi. Jadi, permintaan input
timbul karena adanya permintaan akan output. Hal inilah yang disebut dengan
permintaan turunan (derived demand) dimana permintaan input yang muncul
karena adanya permintaan output. Permintaan terhadap input merupakan
permintaan turunan karena input digunakan dalam memproduksi output tertentu
sehingga besarnya permintaan input tergantung dari besarnya output yang
digunakan. Begitu pula dengan permintaan terhadap pupuk yang merupakan input
produksi timbul karena adanya permintaan output (produk pertanian) sehingga
besarnya pupuk yang diminta berdasarkan permintaan output (produk pertanian)
yang dibutuhkan oleh masyarakat.
2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu baik berupa penelitian tentang subsidi pupuk maupun
penelitian tentang efektivitas suatu kebijakan publik dijadikan rujukan dalam
penelitian ini. Penelitian terdahulu tentang subsidi pupuk yang menjadi rujukan
dalam penelitian ini adalah penelitian Ardi (2005) tentang Analisis Pencabutan
Subsidi Pupuk terhadap Sektor Pertanian di Indonesia (Analisis Input-Output Sisi
Penawaran). Dalam penelitian mengambil tujuan, antara lain menganalisis
keterkaitan sektor industri pupuk terhadap sektor dalam perekonomian melalui
21
struktur input antara dan permintaan antara sektor industri pupuk, menganalisis
daya penyebaran ke depan dan indeks daya penyebaran ke belakang sektor
industri pupuk dan sektor pertanian, menganalisis multiplier output, pendapatan,
dan tenaga kerja sektor pertanian dan industri pupuk, membandingkan hasil
analisis dampak penyebaran dan multiplier sektor pertanian dengan sektor industri
pupuk. Selain itu, tujuan lain yang berkaitan dengan penelitian ini adalah
menganalisis dampak pencabutan subsidi pupuk di sektor industri pupuk terhadap
pembentukan jumlah output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor-sektor pertanian
Indonesia.
Hasil dalam penelitian Ardi (2005) adalah sektor industri pupuk sangat
tergantung terhadap sektor gas, minyak, dan panas bumi. Sektor industri pupuk
juga mempunyai peranan yang besar terhadap kegiatan produksi sektor pertanian.
Daya penyebaran ke depan sektor industri pupuk dan sektor pertanian secara
umum lebih besar daripada daya penyebaran ke belakangnya yang
mengindikasikan kedua sektor tersebut lebih mampu mempengaruhi pembentukan
output sektor hilirnya. Dampak pencabutan subsidi pupuk akan mempunyai
pengaruh signifikan terhadap perekonomian yang ditunjukkan oleh tingginya nilai
multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja. Pencabutan subsidi pupuk dapat
mempengaruhi output, kesempatan kerja, dan pendapatan di sektor pertanian,
terutama sektor padi. Sektor industri pupuk merupakan sektor yang lebih strategis
dibandingkan sektor pertanian. Dalam penelitian ini masih terdapat kekurangan
karena tidak memperhitungkan elastisitas dari permintaan dan penawaran pupuk.
Selain itu, penelitian ini juga belum melihat dampak pencabutan subsidi pupuk
22
secara khusus terhadap penerima sesungguhnya dari pemberian subsidi pupuk
(petani, pekebun, dan peternak kecil).
Penelitian lain tentang subsidi pupuk adalah penelitian Rahman (2009)
tentang Kebijakan Subsidi Pupuk : Tinjauan terhadap Aspek Teknis, Manajemen,
dan Regulasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sistem distribusi pupuk belum menjamin
ketersediaan di tingkat petani. Hal ini disebabkan oleh masih adanya kelemahan-
kelemahan serta pemahaman yang beragam dalam implementasinya. Dalam
peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan distribusi pupuk bersubsidi perlu
dilakukan perbaikan kebijakan baik pada aspek teknis, manajemen, maupun
regulasi.
Perbaikan aspek teknis meliputi meningkatkan sosialisasi pemupukan
berimbang, dan mempercepat penggunaan pupuk organik melalui pelatihan
pembuatan pupuk organik. Perbaikan kebijakan pada aspek manajemen meliputi
sosialisasi sistem penyaluran pupuk bersubsidi kepada semua stakeholder, pilot
project penyaluran pupuk bersubsidi menggunakan kartu kendali perlu dikaji
efektivitasnya, koordinasi lintas sektor, reposisi kios (Lini IV) dengan lebih
menerapkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan dan penyaluran pupuk
bersubsidi. Perbaikan aspek regulasi yang disarankan meliputi RDKK seharusnya
digunakan untuk menghubungkan peraturan Permendag No. 21/M-
DAG/PER/6/2008 dengan Permentan No. 42/Permentan/OT.140/09/2008,
Permendag No. 21/M-DAG/PER/6/2008 perlu direvisi dengan dipertegas pada
23
sanksi terhadap pelanggaran dalam penyaluran pupuk bersubsidi sesuai Peraturan
Presiden No. 77 Tahun 2005.
Penelitian lain terkait dengan subsidi pupuk adalah penelitian yang
dilakukan oleh Yessi (2009) dengan judul Mekanisme Pengadaan dan Penyaluran
Pupuk Bersubsidi dan Pengaruhnya terhadap Pemenuhan Pupuk Petani Padi di
Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi pada Kabupaten Agam
terkait dengan permasalahan bahwa semakin tingginya permintaan pupuk yang
menyebabkan peluang dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang ikut
andil dalam perdagangan pupuk tanpa menaati peraturan yang berlaku.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengadaan pupuk dari Lini III (distributor)
dan Lini IV (pengecer) kurang efektif karena tidak berdasarkan kebutuhan petani
atau kelompok tani. Penyaluran pupuk yang bersifat terbuka dan pasif
menyebabkan petani sulit untuk memperoleh pupuk bersubsidi. Penyimpangan
dilakukan penyalur terhadap tugas dan tanggungjawabnya menyebabkan
kebutuhan petani terabaikan.
Penelitian lain dilakukan oleh Darwis dan Muslim (2007) yang juga terkait
dengan kebijakan subsidi pupuk. Penelitian ini berjudul Revitalisasi Kebijakan
Sistem Distribusi Pupuk dalam Mendukung Ketersediaan Pupuk Bersubsidi di
Tingkat Petani. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui distribusi pupuk
bersubsidi dari berbagai periode program kebijakan. Kesimpulan dari penelitian
ini adalah Pada era Program Bimas (1996-1979) sampai era pasar bebas (1998-
2001) masih terdapat permasalahan seperti tidak adanya keterbatasan stok,
24
ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki mekanisme penyaluran pupuk
dalam negeri yang menyebabkan adanya kelangkaan pupuk dan penyimpangan
yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Pada periode 2003 sampai sekarang
masih belum adanya jaminan ketersediaan pupuk di tingkat petani karena adanya
penyelundupan pupuk lewat ekspor ilegal sehingga harga pupuk naik drastis di
pasar dunia. Saran dari penelitian ini adalah adanya sistem tata niaga pupuk yang
berkeadilan, dan adanya ketegasan pemerintah dalam menjalankan kebijakan ini
seperti penetapan sanksi yang tegas terhadap yang melakukan pelanggaran dan
kecurangan.
Penelitian terkait dengan subsidi pupuk lainnya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Darwis dan Nurmanaf (2004). Penelitian ini berjudul Kebijakan
Distribusi, Tingkat Harga, dan Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan distribusi pupuk dari berbagai
periode, dan mengetahui penggunaan pupuk di tingkat petani serta harga pupuk di
tingkat petani. Kesimpulan dari penelitian ini adalah berbagai pola kebijakan
subsidi pupuk yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan
produktivitas pertanian pada kenyataannya masih terjadi adanya kelanggkaan
pupuk dan tingginya harga pupuk di tingkat petani. Sistem distribusi dinilai bukan
merupakan penentuan kelangkaan dan fluktuasi harga pupuk, tetapi faktor
eksternal seperti efektivitas pelaksanaan ekspor pupuk. Oleh karena itu, kebijakan
ekspor pupuk perlu disesuaikan dengan masa kebutuhan pupuk dan harga pupuk
di tingkat petani.
25
Penelitian tentang efektivitas kebijakan publik yang digunakan sebagai
rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sari
(2007). Penelitian ini berjudul Analisis Efektivitas dan Efisiensi Distribusi
Raskin. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan harga patokan
dengan harga aktual di tingkat rumah tangga penerima Raskin, mengetahui
surplus yang diterima rumah tangga miskin dari subsidi beras miskin, mengetahui
tingkat efektivitas, serta untuk mengetahui tingkat efisiensi dari penyaluran beras
miskin sampai ke rumah tangga di daerah penelitian. Metode pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Metode
penentuan tingkat efektivitas dari program Raskin dilakukan dengan analisis
deskriptif kuantitatif dengan membandingkan antara persentase indikator yang
tepat dengan yang tidak tepat. Apabila persentase tingkat ketepatan indikator
sama atau lebih besar dari 80 persen maka program raskin dapat dikategorikan
efektif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan harga Raskin di
tingkat rumah tangga dengan harga patokan pemerintah sebesar Rp 400, surplus
yang didapatkan oleh penerima Raskin sebesar Rp 10.692 untuk setiap kepala
keluarga, tingkat keefektifan program pendistribusian Raskin sebesar 33,4 persen
sehingga masih dikategorikan tidak efektif, tingkat efisiensi pendistribusian
Raskin dalam kategori efisien.
Penelitian lain tentang efektivitas kebijakan publik adalah penelitian yang
dilakukan oleh Hutagaol dan Asmara (2008). Penelitian ini berjudul Analisis
Efektivitas Kebijakan Publik Memihak Masyarakat Miskin: Studi Kasus
Pelaksanaan Program Raskin di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007. Tujuan dari
26
penelitian ini adalah menganalisis keefektifan pelaksanaan program Raskin pada
tahun 2007, menelaah tanggapan masyarakat miskin terhadap kenaikan harga
tebus raskin, serta merumuskan saran-saran perbaikan yang diperlukan untuk
lebih mengefektifkan pelaksanaan program Raskin di masa datang. Metode
pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan sengaja. Metode
analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah program Raskin dikategorikan tidak efektif karena harga
tebusan yang lebih mahal dan jatah beras yang diterima lebih sedikit dari
seharusnya, rumah tangga miskin tidak keberatan dengan kenaikan harga tebusan
Raskin, saran untuk perbaikan program Raskin yaitu peningkatan jumlah Raskin
yang diterima rumah tangga miskin dan harga tebusnya, serta merevitalisasi
kelembagaan MUDES.
Penelitian tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi yang
digunakan rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh
Sugiarto (2008). Penelitian ini berjudul Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Produksi Padi Sawah di Kabupaten Dharmasraya. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi padi di kabupaten Dharmasraya. Hasil dari penelitian ini adalah luas
lahan, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan tenaga kerja
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah produksi padi
sawah di kabupaten Dharmasraya.
Penelitian lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi
adalah penelitian yang dilakukan oleh Mahananto, Sutrisno, dan Ananda (2009).
27
Penelitian ini berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi dengan
Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan
produksi padi sawah, dan menganalisis tingkat optimasi penggunaan faktor-faktor
produksi pada usahatani padi sawah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor
luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida,
pengalaman petani dalam berusahatani, jarak rumah petani dengan lahan garapan,
dan sistem irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi
sawah. Selain itu, luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk,
jumlah pestisida, jarak lahan garapan dengan rumah petani, dan sistem irigasi
berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi sawah, sedangkan pengalaman
petani tidak berpengaruh (non significant) terhadap peningkatan produksi padi
sawah.
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Kebijakan subsidi pupuk ditetapkan adalah untuk membantu sektor
pertanian terutama berkaitan dengan penghematan input produksi bagi petani.
Pengadaan pupuk bersubsidi adalah dari produsen dengan sistem rayonisasi yang
terdiri dari PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim, PT.
Pupuk Kujang Cikampek, dan PT. Pupuk Iskandar Muda yang bertanggungjawab
pada ketersediaan setiap pupuk pada masing-masing daerahnya. Penyaluran
pupuk bersubsidi diatur berdasarkan mekanisme penyaluran yang telah ditetapkan
pemerintah dari Lini I sampai kepada petani. Pengadaan dan penyaluran pupuk
28
bersubsidi ini juga diadakan pengawasan terutama berkaitan dengan prinsip enam
tepat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pasal 6 ayat (3). Dari
pengawasan ini akan ada suatu evaluasi tentang pengadaan dan penyaluran pupuk
bersubsidi oleh KP3 daerah. Pada penelitian ini akan membahas efektivitas
kebijakan pupuk bersubsidi terutama berkaitan dengan produksi padi di
Kabupaten Bogor. Kerangka pemikiran akan dijelaskan pada gambar berikut ini.
Keterangan : = Ruang lingkup penelitian
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
Input Produksi Pertanian (tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan,
dan hijauan makanan ternak)
Kebijakan Subsidi Pupuk
untuk Sektor Pertanian
Input ProduksiPadi
Penetapan HET Pupuk
Bersubsidi
Respon Produksi Padi
terhadap Penggunaan Pupuk
Respon Penggunaan Pupuk
terhadap Harga
- Peningkatan Efektivitas
- Rekomendasi Kebijakan
Efektivitas Kebijakan
Waktu Jumlah Efektif/
tidak efektif? Harga Tempat
29
Pada Gambar 2.3 dapat ditunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk untuk
sektor pertanian berupa penetapan HET pada pupuk. Penetapan HET ini bertujuan
untuk membantu biaya produksi pertanian. Penelitian ini fokus pada produksi
padi. Faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi adalah luas lahan, jumlah
pupuk, jumlah tenaga kerja, jumlah benih atau bibit, dummy benih, dan dummy
efektivitas harga. Namun, yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah
pengaruh pupuk bersubsidi terhadap produksi padi dengan asumsi bahwa fakor
lain dianggap tetap. Dalam mengetahui efektivitas kebijakan subsidi pupuk
terhadap produksi padi diukur berdasarkan enam indikator, yaitu tepat tempat,
tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga. Namun, dalam
penelitian ini pengujian efektivitas terhadap kebijakan subsidi pupuk hanya
difokuskan dalam empat indikator, yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah.
Masing-masing indikator mempunyai kriteria tersendiri. Pengujian empat
indikator tersebut akan dilakukan dengan teknik wawancara kepada petani untuk
melihat fakta di lapangan tentang subsidi pupuk dan pengaruhnya terhadap
produksi padi yang akan menunjukkan efektif atau tidaknya kebijakan subsidi
pupuk. Pengaruh produksi padi dilihat dari respon penggunaan pupuk terhadap
harga dan respon produksi padi terhadap penggunaan pupuk. Dari kesimpulan
efektif atau tidaknya subsidi pupuk akan didapatkan rekomendasi kebijakan agar
kebijakan ini lebih efektif dan bermanfaat terhadap peningkatan produksi padi.
30
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data
primer. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Kementerian Pertanian,
Kementerian Keuangan dan Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Badan
Pusat Statistik (BPS) Pusat, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat,
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, dan Dinas Pertanian Kabupaten
Bogor. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara kepada 120
responden di Kabupaten Bogor.
3.2. Metode Pengumpulan Contoh
Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara semi
terbuka kepada petani di Kabupaten Bogor menggunakan instrumen kuisioner
(Lampiran 1). Penentuan sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik
Purposive Sampling dimana memilih contoh berdasarkan pertimbangan tentang
karakteristik yang cocok dalam penelitian ini. Hal yang menjadi pertimbangan
pada penentuan sampling ini adalah berdasarkan data sasaran luas tanam padi di
daerah Bogor. Dengan menggunakan teknik ini didapatkan dua kecamatan yang
mewakili daerah sentra produksi padi di daerah Kabupaten Bogor, yaitu
Pamijahan, dan Darmaga. Dari dua kecamatan tersebut diambil masing-masing
dua desa. Setiap desa tersebut masing-masing diambil 30 responden (petani)
sehingga semuanya berjumlah 120 responden.
31
3.3. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitaif dan
kualitatif, serta regresi linear berganda. Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif
digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan
empat indikator utama yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat
jumlah. Regresi linear digunakan untuk mengukur respon dari kebijakan subsidi
pupuk terhadap produksi padi.
3.3.1. Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif
Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur
efektifitas kebijakan subsidi pupuk dilihat dari empat indikator utama. Untuk
menghitung ketepatan indikator-indikator ini akan dihitung menggunakan rumus
berikut ini.
Ketepatan harga
ΔP = Pr - Pp ....................................................................................................... (3.1)
Keterangan :
ΔP = perbedaan harga (Rp)
Pr = harga yang diterima responden (Rp)
Pp = harga eceran tertinggi (HET) dari pemerintah (Rp)
Ketepatan Jumlah
ΔQ = Qr - Qp ..................................................................................................................................................... (3.2)
Keterangan :
ΔQ = perbedaan jumlah (kg/ha)
32
Qr = jumlah pupuk yang dipergunakan oleh responden (kg/ha)
Qp = jumlah pupuk yang disarankan oleh pemerintah (kg/ha)
Ketepatan harga dalam indikator efektivitas subsidi pupuk diukur
berdasarkan rumus (3.1). Berdasarkan rumus tersebut dilihat selisih antara harga
aktual dengan HET. Setelah itu dilakukan perbandingan antara responden yang
memperoleh harga aktual sama dengan HET dengan responden yang memperoleh
harga aktual tidak sama dengan HET. Hasil dari perbandingan responden tersebut
ditransformasi dalam bentuk persen. Apabila presentasi tepat harga sama dengan
atau lebih besar dari 80 persen maka indikator tepat harga dikategorikan efektif.
Ketepatan tempat dalam indikator efektivitas kebijakan subsidi pupuk
diukur berdasarkan kios tempat responden membeli pupuk yaitu di dalam atau di
luar desa. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang membeli
pupuk di dalam desa dengan di luar desa dalam bentuk persen. Apabila persentase
yang membeli pupuk di dalam desa sama dengan atau lebih besar dari 80 persen
maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat tempat.
Indikator selanjutnya pada kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat
waktu. Indikator ini diukur berdasarkan pendapat responden tentang tersedia atau
tidaknya pupuk ketika dibutuhkan oleh responden atau dapat dikatakan bahwa ada
atau tidaknya kelangkaan pupuk. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara
responden yang berpendapat bahwa pupuk selalu ada setiap dibutuhkan dengan
responden yang berpendapat bahwa masih ada kelangkaan pupuk dalam bentuk
persen. Apabila presentase tingkat ketepatan atau persentase responden yang
33
menyatakan bahwa pupuk selalu ada ketika dibutuhkan sama dengan atau lebih
besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa tepat waktu sudah efektif.
Indikator terakhir dalam penentuan efektivitas kebijakan subsidi pupuk
adalah indikator tepat jumlah. Pengukuran tepat jumlah ini berdasarkan selisih
antara jumlah aktual dengan jumlah seharusnya yang dijelaskan pada rumus (3.2).
Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang menggunakan pupuk
sesuai dengan anjuran dengan responden yang menggunakan pupuk tidak sesuai
anjuran dalam bentuk persen. Apabila persentase responden yang menggunakan
pupuk sesuai anjuran sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat
dikategorikan efektif pada indikator tepat jumlah. Dari keseluruhan persentase
indikator dibuat rata-ratanya dalam bentuk persen. Apabila rata-rata tingkat
ketepatan sama dengan atau lebih dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa
kebijakan subsidi pupuk sudah efektif.
3.3.2. Metode Regresi Linear
Model regresi linear berganda menurut Juanda (2008) adalah fungsi linear
dari beberapa peubah bebas X1, X2,..., Xk dan komponen sisaan error. Analisis
data menurut Kurniawan (2008) mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk tujuan
deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol,
dan untuk tujuan prediksi. Data untuk variabel X (independen) pada regresi linier
dapat berupa data pengamatan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti
(experimental of fixed data) maupun data yang belum ditetapkan sebelumnya oleh
peneliti (observational data). Perbedaan pada kedua data ini adalah jika
34
menggunaakan fixed data (data yang telah ditetapkan) maka informasi yang
diperoleh lebih kuat dalam menjelaskan hubungan sebab akibat antara variabel X
dan variabel Y. Namun, jika menggunakan observational data, informasi yang
diperoleh belum tentu merupakan hubungan sebab akibat. Fixed data biasanya
diperoleh melalui percobaan laboratorium dimana peneliti telah memilki beberapa
nilai variabel X yang ingin diteliti. Pada observational data variabel X yang
diamati tergantung keadaan di lapangan dimana biasanya data ini diperoleh
dengan menggunakan kuisioner. Pada penelitian ini menggunakan data berupa
observational data. Variabel-variabel ini akan dibentuk persamaan regresi untuk
dapat merepresentasikan hubungan dari data-data yang diperoleh. Persamaan
model regresi berganda secara umum adalah sebagai berikut.
Yi = β1 + β2X2i + β3X3i + .... + βkXki + εi ...................................................................................... (3.3)
Pada penelitian ini menggunakan regresi linear berganda yang
menggambarkan respon penggunaan pupuk terhadap perubahan harga. Persamaan
ini akan dijelaskan sebagai berikut.
Persamaan regresi linear berganda respon penggunaan pupuk:
LnPPKi = β0 + β1LnPUi + β2LnPTi + β3LnPHDi + β4LnLLHi + ei, ................ (3.4)
Persamaan regresi linear berganda respon produksi padi terhadap perubahan
variabel-variabel:
LnPPi = β0 + β1LnPPKi + β2LnTTKi + β3LnLLHi + β4LnBBT + β5LnD1i +
β6LnD2i + ei ..................................................................................................... (3.5)
Keterangan:
PPK : Total permintaan pupuk urea pada harga ke-i
PUi : Harga urea-i
35
PTi : Harga TSP-i
PHDi : Harga padi-i
PPi : Total produksi padi pada penggunaan pupuk dengan jumlah-i
PPKi : Penggunaan pupuk dengan jumlah-i
TTKi : Penggunaan tenaga kerja dengan jumlah-i
LLHi : Penggunaan lahan dengan jumlah-i
BBTi : Penggunaan bibit atau benih dengan jumlah-i
D1i : Penggunaan dummy bibit dengan jumlah-i (1=ciherang, 0=non ciherang)
D2i : Penggunaan dummy efektivitas harga-i (1=tepat, 0=tidak tepat)
Βi : dugaan parameter koefisien regresi (intersep)
ei : sisaan atau simpangan atau perbedaan antara total produksi padi
sesungguhnya dengan nilai dugaan untuk penggunaan pupuk dengan
jumlah-i
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan Eviews 6 untuk
melakukan pengujian statistika dan ekonometrika. Pengujian statistika dilakukan
untuk melihat pengaruh dari variabel-variabel independen terhadap variabel
dependen dalam suatu regresi. Dalam penelitian ini terdapat dua regresi yaitu
regresi yang melihat respon penggunaan pupuk terhadap perubahan harga, dan
respon produksi padi terhadap perubahan faktor-faktornya meliputi luas lahan,
pupuk, tenaga kerja, benih atau bibit, dummy benih, dan dummy efektivitas harga.
Pada uji statistika ini dilihat nilai koefisien determinasi (R-squared), nilai
probabilitas F-statisik, serta uji t yang berdasarkan nilai probabilitas masing-
36
masing variabel indenpendenya yang dibandingkan dengan taraf nyata yang
digunakan yaitu 10 persen.
Hipotesis awal dari persamaan regresi (3.4) adalah harga urea mempunyai
tingkat elastisitas yang lebih kecil dari satu (inelastis) . Sifat yang inelastis ini
berarti bahwa ketika terjadi perubahan harga ura tidak akan berpengaruh besar
pada perubahan jumlah pupuk urea yang digunakan oleh petani. Faktor-faktor lain
selain harga urea mempunyai pengaruh yang positif terhadap permintaan urea.
Sementara itu, hipotesis awal dari persamaan regresi (3.5) adalah masing-masing
variabel independen mempunyai pengaruh positif terhadap variabel dependen. Hal
ini berarti apabila terjadi peningkatan pada luas lahan sebanyak satu satuan juga
akan mempengaruhi peningkatan produksi padi satuan. Hal ini terjadi juga pada
peningkatan variabel-variabel lainnya sebanyak satu satuan yang juga akan
meningkatkan produksi padi satuan.
Selain dilakukan uji statistika juga dilakukan uji ekonometrika pada model
regresi. Menurut Gujarati (1978) asumsi dari model regresi linear adalah tidak ada
pelanggaran asumsi klasik yang meliputi multikolinearitas, autokorelasi, dan
heteroskedastisitas. Multikolinearitas adalah suatu hubungan linear yang
sempurna diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model
regresi. Indikasi dari adanya multikolinearitas adalah jika koefisien mempunyai
simpangan baku yang tinggi tetapi setelah mengeluarkan satu atau lebih peubah
bebas dari model menyebabkan simpangan bakunya rendah. Selain itu,
multikolinearitas juga dapat terjadi jika dalam uji-F menyimpulkan bahwa
minimal ada peubah bebas yang berpengaruh nyata dalam model atau R-squared
37
tinggi, tetapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan karena simpangan
baku koefisien besar (Juanda, 2008).
Pelanggaran asumsi klasik yang kedua adalah adanya autokorelasi.
Autokorelasi menurut Gujarati (1978) adalah korelasi antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) dan
ruang (seperti dalam data cross-sectional). Pengujian ada atau tidaknya
autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Breusch-Goldfrey Serial
Correlation LM Test. Apabila nilai probabilitas yang didapatkan lebih besar dari
taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen maka tidak terdapat pelanggaran
autokorelasi atau tidak ada autokorelasi dalam model.
Pelanggaran asumsi klasik yang terakhir adalah adanya
heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas adalah varians setiap unsur disturbance ui,
tergantung pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan, adalah suatu
angka yang tidak konstan atau berbeda (Gujarati, 1978). Pengujian ada atau
tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji White
maupun uji Harvey. Apabila nilai probabilitas yang diperoleh lebih besar dari
taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen maka tidak ada heteroskedastisitas
dalam model. Dari ketiga pengujian asumsi klasik, model akan baik jika tidak
terdapat pelanggaran-pelanggaran pada asumsi klasik tersebut.
38
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan suatu daerah tingkat II di Jawa Barat yang
mempunyai luas wilayah sebesar 2.301,95 Km2. Batas Kabupaten Bogor sebelah
utara adalah Kota Depok, batas barat dengan Kabupaten Lebak, batas barat daya
dengan Kabupaten Tangerang, batas timur dengan Kabupaten Purwakarta, batas
timur laut dengan Kabupaten Bekasi, batas selatan dengan Kabupaten Sukabumi,
dan batas tenggara dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor memiliki 40
kecamatan, 427 desa/kelurahan, 3.516 RW, dan 13.603 RT berdasarkan data pada
tahun 2006. Sementara itu, jumlah penduduk Kabupaten Bogor akan ditunjukkan
pada tabel berikut ini.
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2006-2009
Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)
2006 4.216.186
2007 4.316.236
2008 4.402.026
2009 4.453.927
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2010
Berdasarkan Tabel 4.1.dapat dilihat pertumbuhan jumlah penduduk
Kabupaten Bogor dari tahun 2006 sampai 2009. Jumlah penduduk Kabupaten
Bogor cenderung mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Jumlah penduduk
pada data terakhir yaitu pada tahun 2009 sebesar 4.453.927. Pertumbuhan
penduduk yang selalu mengalami peningkatan menyebabkan semakin
bertambahnya kebutuhan penduduk termasuk peningkatan kebutuhan pangan.
39
Bahkan jumlah penduduk Kabupaten Bogor tercatat sebagai jumlah penduduk
terbesar diantara Kabupaten lain di Jawa Barat. Sementara itu, perekonomian
wilayah Kabupaten Bogor dilihat berdasarkan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB). Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor akan ditunjukkan
pada tabel berikut ini.
Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005
Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
2002 4,48
2003 4,81
2004 5,56
2005 5,85
Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2005
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat PDRB Kabupaten Bogor dari tahun
2002 sampai 2005. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa Kabupaten Bogor
memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat pada periode 2002
sampai 2005. Pada Tahun 2005 laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,85 persen
yang meningkat 0,29 persen dari tahun sebelumnya. Sektor-sektor perekonomian
Kabupaten Bogor juga menentukan besarnya laju pertumbuhan ekonomi. Sektor
yang menjadi penyumbang terbesar dalam penyerapan tenaga kerja akan
ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat jumlah tenaga kerja pada masing-
masing sektor di Kabupaten Bogor. Sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar
adalah sektor perdagangan sebesar 356.304. kemudian dilanjutkan oleh sektor
industri yang menyerap tenaga kerja sebesar 283.831.
40
Tabel 4.3. Data Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Utama Kabupaten Bogor
Tahun 2006
Lapangan Usaha Utama Jumlah
Pertanian 258.631
Pertambangan dan Galian 18.751
Industri 283.831
Listrik, Gas, dan Air Minum 2.451
Konstruksi 66.022
Perdagangan 356.304
Komunikasi 123.057
Keuangan 26.946
Jasa-jasa 248.745
Lainnya 4.892
Jumlah 1.389.630
Sumber : Departemen Perindustrian, 2007
Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pertanian yang
merupakan salah satu sektor unggulan Kabupaten Bogor yang menyerap tenaga
kerja sebesar 258.631. Sektor pertanian ini merupakan sektor yang menyerap
tenaga kerja terbesar ketiga setelah sektor perdagangan, dan industri. Ketiga
sektor unggulan tersebut harus mendapatkan perhatian dari pemerintah agar
penyerapan hasil dari ketiga sektor tersebut dalam PDRB Kabupaten Bogor dapat
terserap secara optimal.
Pertanian sebagai salah satu sektor unggulan Kabupaten Bogor harus
mendapatkan prioritas dari pemerintah. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan produksi pertanian juga harus diperhatikan terutama adalah luas
lahan. Luas lahan dan produksi padi di Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada
tabel berikut ini.
41
Tabel 4.4. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Sawah
Kabupaten Bogor Tahun 2009
Tahun
Luas
Tanam
(Ha)
Luas Panen
(Ha)
Produktivitas
(Ku/Ha) Produksi (Ton)
2005 79.970 76.476 52,81 403.860
2006 79.140 73.932 54,04 399.501
2007 87.304 82.103 56,84 466.656
2008 85.208 81.415 58,63 477.344
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2010
Berdasarkan pada Tabel 4.4 dapat dilihat luas tanam, luas panen,
produktivitas dan produksi padi sawah Kabupaten Bogor. Dari tabel tersebut
terlihat bahwa luas tanam dan luas panen cenderung fluktuatif bahkan terjadi
penurunan pada tahun 2006 dari tahun sebelumnya dengan selisih luas tanam
sebesar 830 hektar dan selisih luas panen sebesar 2544 hektar. Hal demikian juga
terjadi lagi pada tahun 2010 yang mengalami penurunan luas tanam sebesar 2096
dari tahun sebelumnya serta penurunan luas panen sebesar 688 hektar. Hal ini
juga berpengaruh pada produksi padi yang fluktuatif bahkan menurun pada tahun
2006 sebesar 4359 ton dari tahun sebelumnya karena adanya penurunan luas
tanam dan luas panen dalam jumlah yang besar. Dari Tabel 4.4 juga dapat dilihat
bahwa luas panen selalu lebih kecil dari luas tanam pada setiap tahunnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa belum optimalnya produksi padi terkait dengan faktok-
faktor yang mempengaruhinya seperti kebutuhan pupuk, jumlah tenaga kerja,
jenis benih atau bibit yang juga berpengaruh terhadap produksi padi. Oleh karena
itu, pemerintah harus lebih memperhatikan terpenuhinya kebutuhan faktor
produksi di tingkat petani sehingga dapat mendukung peningkatan produksi padi
42
yang juga akan mendukung ketahanan pangan terkait dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk.
4.2. Perkembangan Kebijakan Subsidi Pupuk
Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan fiskal yang
bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian terutama tanaman pangan
sehingga kebutuhan pangan penduduk terpenuhi. Kebijakan ini sudah diadakan
sejak tahun 1960 dan telah mengalami berbagai perubahan pola kebijakan untuk
memperbaiki efektivitas dari penyerapan subsidi pupuk ini. Kebijakan subsidi
pupuk pertama dimulai sejak tahun 1960 dimana penyaluran subsidi pupuk
dilakukan secara konsinyasi. Pertanggungjawaban penyediaan pupuk diserahkan
pada PT. Pupuk Sriwijaya. Namun, pada periode ini tidak ada jaminan
ketersediaan pupuk karena tidak ada ketentuan stok pupuk. Selain itu, hal ini
dikarenakan adanya pengembalian kredit yang bermasalah dari petani dan tidak
adanya dana yang cukup dari pemerintah untuk mengimpor pupuk. Kondisi ini
berlangsung sampai tahun 1979 kemudian kebijakan selanjutnya juga masih
menjadi tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya dalam pengadaan dan penyaluran
semua jenis pupuk untuk sektor pertanian. Pada periode ini ketersediaan stok
pupuk sampai lini IV lebih terjamin karena adanya ketentuan stok pupuk
berdasarkan enam indikator (tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga).
Ketersediaan semua pupuk bersubsidi oleh pemerintah berlangsung
sampai tahun 1993/1994. Kemudian pada tahun ini pupuk yang disubsidi hanya
jenis pupuk urea. Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi masih berada pada
43
tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya. Pupuk lainnya seperti SP 36, ZA, dan KCL
mulai disubsidi pada awal 1998 tetapi hanya sementara karena pada akhir
Desember subsidi pupuk dicabut. Hal ini berkaitan dengan adanya krisis moneter
yang melanda Indonesia yang mendorong Indonesia untuk mencabut kebijakan ini
terkait dengan adanya pinjaman hutang dari IMF. Adanya pinjaman dari IMF
membuat Indonesia harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh IMF sehingga
Indonesia harus mencabut kebijakan subsidi pupuk dan pupuk menjadi komoditas
bebas melalui mekanisme supply dan demand. Pada periode ini terjadi kelangkaan
pupuk dan mahalnya tingkat harga pupuk. Pencabutan subsidi pupuk ini
berlangsung sampai tahun 2001.
Pada tahun 2001 diberlakukan kembali adanya subsidi pupuk urea sesuai
dengan SK Menperindag No. 93 Tahun 2001. Pada periode ini penyaluran dan
pengadaan pupuk urea pada sektor pertanian dibawah tanggung jawab semua
produsen pupuk, tidak hanya pada PT. Pupuk Sriwijaya. Pada tahun 2003
dikeluarkan kembali peraturan yang mengatur pengadaan dan penyaluran subsidi
pupuk yaitu SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2003 dimana pendistribusian
pupuk bersubsidi berdasarkan sistem rayonisasi. Semua produsen pupuk
bertanggungjawab terhadap pengadaan pupuk pada wilayah sekitarnya apabila ada
kesulitan dalam pengadaanya dapat melakukan kerjasama dengan produsen lain.
Penyaluran dan pengadaan pupuk diatur dalam suatu mekanisme yang
pernah mengalami dua kali perubahan. Mekanisme pertama yang diterapkan
adalah pada saat penyaluran dan pengadaan subsidi pupuk di bawah tanggung
44
jawab satu produsen yaitu PT. Pupuk Sriwijaya. Mekanisme distribusi peyaluran
subsidi pupuk ditunjukkan pada Gambar 4.1.
Sumber : Ilham (1999)
Gambar 4.1. Mekanisme Distribusi Pupuk dengan Produsen PT. Pusri
Pada Gambar 4.1 ditunjukkan mekanisme distribusi pupuk pada saat
pertanggungjawaban penyaluran dan pengadaan pupuk berada pada satu produsen
yaitu PT. Pupuk Sriwijaya. PT. Pupuk Sriwijaya mempunyai tanggung jawab
penyaluran subsidi pupuk dari Lini I sampai Lini III. Kemudian Lini IV berada
pada tanggung jawab KUD penyalur yang ditunjuk oleh PT. Pusri. Apabila ada
permasalahan pada penyaluran pupuk bersubsidi ini maka PT. Pusri
bertanggungjawab untuk melakukan penyaluran sampai pada Lini IV. Mekanisme
dengan satu produsen pupuk ini berlangsung sampai awal tahun 1998. Pada tahun
1998 subsidi pupuk dicabut dan mulai diberlakukan kembali pada tahun 2001.
Pada tahun 2001 mekanisme distribusi subsidi pupuk tidak hanya dimonopoli oleh
satu produsen saja, tetapi diserahkan pada semua produsen pupuk (PT. Pupuk
PT. PUSRI
LINI I LINI II
IMPORTIR
PRODUSEN
LAIN
(HOLDING
COMPANY)
PETANI
KUD
PENYALUR
LINI IV
LINI III
45
Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Kujang
Cikampek, dan PT. Pupuk Iskandar Muda).
Sumber : Ilham (1999)
Keterangan : : Jalur utama
: Jalur insidentil
Gambar 4.2. Mekanisme Distribusi Subsidi Pupuk dengan Semua Produsen
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa semula penyaluran pupuk harus melalui
Lini IV terlebih dahulu, tetapi setelah adanya semua produsen yang ikut dalam
penyaluran ini maka dari produsen pupuk dapat langsung kepada pengecer
sehingga semakin memperpendek mata rantai penyaluran pupuk. Hal ini membuat
lebih terjaminnya ketersediaan pupuk karena setiap produsen mempunyai
tanggung jawab untuk memenuhi ketersediaan pupuk di daerah sekitarnya.
Apabila terjadi kekurangan persediaan maka produsen berkewajiban untuk
bekerjasama dengan produsen maupun produsen lain (holding company). Dengan
adanya mekanisme ini diharapkan dapat terjaminnya ketersediaan pupuk di
tingkat petani.
PT. PUSRI
LINI I LINI II LINI III LINI IV
PETANI
PENGECER
RESMI DISTRIBUTOR
NON PUSRI
IMPORTIR
PRODUSEN
LAIN
(HOLDING
COMPANY)
46
V. PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Usaha Tani Responden
Penelitian ini dilakukan terhadap petani yang mendapatkan pupuk
bersubsidi dari pemerintah. Penelitian ini memilih sampel di kabupaten Bogor.
Pemilihan sample dilakukan berdasarkan produksi padi di setiap daerah di
kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan dipilih dengan kriteria mewakili daerah
sentra produksi padi dengan luas tanam terbesar yaitu 8042 hektar, sedangkan
kecamatan Darmaga dipilih dengan kriteria mewakili daerah yang rata-rata
produksi padi dengan luas tanam sebesar 1400 hektar (Kementerian Pertanian,
2010). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan wilayah sebaran sampel.
Tabel 5.1. Wilayah Studi Penelitian
Kecamatan Desa/Kelurahan
Pamijahan Ciasihan
Ciasmara
Darmaga Cikarawang
Ciherang
Dari Tabel 5.1. di atas dapat terlihat bahwa wilayah studi penelitian ini
difokuskan pada empat kecamatan. Setiap kecamatan diambil 30 petani sebagai
responden. Penelitian ini mengkaji tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk
dan pengaruhnya terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor. Karakteristik
tingkat pendidikan responden akan ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
47
Gambar 5.1. Karakteristik Pendidikan Responden
Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa tingkat pendidikan mayoritas responden
adalah SD-MI dengan presentase sebesar 46,36 persen. Jenjang pendidikan
tertinggi responden yaitu S1 hanya mencapai presentase sebesar 2,73 persen. Hal
ini menunjukkan bahwa responden yaitu petani berpendidikan tidak tinggi
sehingga pengetahuan mereka terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan penyuluhan
dari berbagai instansi khususnya dinas pertanian untuk memberikan pengetahuan-
pengetahuan tentang pertanian untuk dapat meningkatkan produksi pertanian
mereka. Selain itu, juga diperlukan adanya kelompok tani untuk dapat melakukan
berbagai pertemuan yang membahas tentang masalah-masalah pertanian mereka
untuk dapat diselesaikan secara bersama.
Karakteristik responden selain tingkat pendidikan adalah luas lahan yang
dimiliki responden. Responden memiliki luas lahan yang berbeda-beda dimana
berdasarkan Gambar 5.2 terlihat bahwa mayoritas responden memiliki luas antara
1000-4999 m2 sebesar 55 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan
responden adalah petani kecil dengan luas lahan yang sedikit. Hal ini juga
46,36
15,45 20
2,73 1,82
13,64
0
10
20
30
40
50
SD-MI SMP-MTS SMA S1 PESANTREN TIDAKLULUS
Ju
mla
h (
%)
Pendidikan
Tingkat Pendidikan Responden
48
didukung dengan data tersebut dimana petani dengan total luas lahan dibawah
satu hektar adalah sebesar 80 persen, sedangkan petani dengan luas lahan lebih
besar dari satu hektar adalah sebesar 20 persen. Dari data tersebut terlihat bahwa
terdapat kecenderungan responden dengan luas lahan kurang dari satu hektar.
Keadaan luas lahan tersebut yang sebagian besar dimiliki oleh petani kecil juga
akan berpengaruh pada penerimaan pendapatan petani dan tingkat kesejahteraan
petani. Olah karena itu, dibutuhkan berbagai kebijakan yang memihak kepada
petani untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini
penting karena petani sebagai pemenuh kebutuhan pangan pokok Indonesia.
Gambar 5.2. Luas Lahan Responden
Luas lahan yang dimiliki petani juga berpengaruh terhadap produksi padi.
Dari data luas lahan di atas dimana luas lahan mayoritas sebesar 1000-4999 m2
mempengaruhi produksi padi yang pada penelitian ini dilihat rata-rata produksi
padi setiap musim tanam yang disajikan pada Gambar 5.3 Pada gambar tersebut
5
55
20
11,67
1,67 5,83
0 0,83 0
10
20
30
40
50
60
Ju
mla
h (
%)
Luas Lahan (m2)
Persentase Luas Lahan Responden
49
terlihat bahwa rata-rata produksi padi setiap musim tanam periode 2010 terbanyak
yaitu antara 100-900 kg sebesar 42,5 persen. Produksi terbesar kedua yaitu antara
1000-1999 kg per musim tanam sebesar 37,5 persen sedangkan sisanya yaitu
sebesar 20 persen terdapat pada rentang produksi lebih dari 2000 kg per musim
tanam. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi setiap musim tanam masih
rendah yang didukung dengan luas lahan yang juga masih rendah. Oleh karena itu
diperlukan teknik produksi, bibit, pupuk, tenaga kerja yang lebih bagus dan
terampil tentunya dengan bantuan berbagai kebijakan dari pemerintah. Adanya
kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi padi setiap
tahunnya mengingat adanya keterbatasan lahan dan bahkan semakin menyempit
serta dengan semakin banyaknya peningkatan jumlah penduduk yang ada yang
menggeser fungsi lahan dan meningkatkan pemintaan kebutuhan pangan.
Gambar 5.3. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010
Pada Gambar 5.2 dan 5.3 telah dijelaskan bahwa karakteristik luas lahan
responden yang kecil dapat berpengaruh pada produksi padi responden yang
rendah pada setiap musim tanamnya yang juga berdampak pada tingkat
42,5 37,5
7,5 12,5
0
10
20
30
40
50
100-999 1000-1999 2000-2999 >3000
Jum
lah
(%
)
Produksi Padi (kg)
Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam
Periode 2010
50
pendapatan petani yang juga rendah. Padahal diketahui bahwa pengeluaran petani
untuk biaya-biaya produksi semakin meningkat dengan adanya peningkatan harga
serta peningkatan kebutuhan pada input-input produksinya seperti pupuk, bibit,
obat-obatan, serta tenaga kerja. Berikut ini adalah gambar tentang pengeluran
petani pada masing-masing input produksi.
Gambar 5.4. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden
Dari Gambar 5.4 terlihat bahwa pengeluaran input produksi terdiri dari
bibit, pupuk, tenaga kerja, sewa alat pertanian, pengairan, pemeliharaan
alat/sarana, biaya pengangkutan, obat-obatan, dan lainnya (seperti pajak). Dari
sembilan input produksi tersebut pengeluaran terbesar adalah biaya untuk upah
tenaga kerja sebesar 42,89 persen. Biaya tenaga kerja menjadi pengeluaran petani
yang terbesar karena sistem bagi hasil upah tenaga kerja dengan pemilik lahan
adalah 1:5. Tenaga kerja mendapatkan bagian satu dari seluruh produksi,
4,83%
25,72%
42,89%
19,14%
1,54% 0,36%
1,45%
3,94%
0,13%
Rincian Pengeluaran Input Produksi Per Musim Tanam
BENIH
PUPUK
TENAGA KERJA
SEWA ALAT PERTANIAN
BIAYA PENGAIRAN
PEMELIHARAAN ALAT/SARANA
BIAYA PENGANGKUTAN
OBAT-OBATAN
LAIN-LAIN
51
sedangkan pemilik lahan mendapatkan bagian lima dari seluruh produksi padi.
Pengeluaran bagi hasil ini belum termasuk biaya tenaga kerja setiap harinya yang
mencapai 20000-30000 untuk setiap hari pada tahap-tahap produksi tertentu
seperti pada saat tahap tanam, pemupukan, dan panen yang membutuhkan lebih
banyak tenaga kerja.
Biaya terbesar kedua yaitu pupuk sebesar 25,72 persen kemudian diikuti
oleh biaya sewa alat pertanian dan bibit yang masing-masing sebesar 19,14 persen
dan 4,83 persen. Pupuk menjadi biaya terbesar kedua karena kondisi responden
yang masih terbiasa menggunakan pupuk kimia seperti urea, TSP/SP-36, NPK,
serta KCL membuat mereka susah beralih untuk menggunakan pupuk organik
sebagai pengganti pupuk kimia yang semakin meningkat harganya. Bahkan KCL
yang juga dibutuhkan mereka sudah tidak disubsidi lagi oleh pemerintah.
Responden tetap menggunakan pupuk kimia juga disebabkan oleh adanya anjuran
dari PPL tentang pemupukan yang tepat dengan komposisi 200 kg urea, 100 kg
SP-36, dan 100 kg KCL untuk setiap hektar lahan. Selain itu, organik yang
menjadi alternatif pengganti pupuk kimia yang semakin mahal tidak bisa menarik
petani untuk meninggalkan pupuk kimia karena adanya ketergantungan tanah
yang sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia. Alasan lain petani tidak ingin
menggunakan pupuk organik adalah keterbatasan pengetahuan tentang pembuatan
pupuk organik karena belum adanya pengetahuan tentang pembuatan pupuk
organik. Selain itu, petani juga beranggapan bahwa menggunakan pupuk organik
akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dan akan mengeluarkan lebih
banyak biaya.
52
Biaya terbesar ketiga adalah sewa alat pertanian sebesar 19,14 persen.
Sewa alat pertanian menjadi biaya terbesar ketiga setelah pupuk karena
kebanyakan petani tidak mempunyai peralatan sendiri seperti untuk keperluan
membajak sawah. Responden yang sebagian besar merupakan petani kecil masih
membutuhkan alat pertanian seperti kerbau dan traktor dengan cara sewa yang
membutuhkan biaya cukup mahal. Biaya kerbau sekitar Rp 100.000 setiap harinya
sekaligus dengan tenaga kerjanya. Pembajakan lahan dilakukan sekitar satu
minggu ataupun lebih tergantung dari luas lahan masing-masing responden.
Traktor membutuhkan biaya sebesar 400.000 sampai 600.000 rupiah pada setiap
musim tanamnya.
Pengeluaran lain setelah sewa alat pertanian adalah pengeluran untuk
benih sebesar 4,83 persen yang merupakan pengeluaran terbesar keempat. Benih
merupakan input penting juga selain pupuk, dan tenaga kerja karena kualitas
benih menentukan kualitas dan kuantitas produksi padi petani. Benih yang sering
digunakan responden adalah benih Ciherang yang harganya berkisar Rp 5000/kg.
Kebijakan subsidi benih juga telah dilakukan pemerintah seperti pada tahun 2010
dilakukan subsidi benih dimana responden mendapatkan benih jenis Inpari dengan
harga berkisar Rp 1000/kg. Namun, responden menyatakan gagal panen dengan
menggunakan benih ini karena hampir semua padi adalah hampa atau kosong
sehingga mengurangi berat padi. Kejadian ini membuat responden merasa tidak
percaya lagi dengan benih subsidi dari pemerintah dan beralih menggunakan
benih yang biasa mereka pergunakan seperti benih Ciherang meskipun dengan
harga yang mahal sehingga membuat biaya produksi juga meningkat. Oleh karena
53
itu, diharapkan bahwa kebijakan subsidi benih dilakukan dengan memperhatikan
kualitas serta dilakukan uji coba dari kualitas benih yang diberikan kepada petani
sehingga petani percaya menggunakan benih subsidi dari pemeritah dan hasil
produksi padi juga akan semakin meningkat.
Pengeluaran lain setelah benih adalah pengeluaran untuk obat-obatan,
pengairan, biaya pengangkutan, pemeliharaan alat/sarana, serta pengeluaran
lainnya seperti pajak yang masing-masing sebesar 3,94 persen, 1,54 persen, 1,45
persen, 0,36 persen, serta 0,13 persen. Pengeluaran-pengeluaran tersebut juga
penting untuk mendukung produksi padi terutama pengairan. Daerah di kecamtan
Pamijahan cenderung memiliki kondisi irigasi pengairan yang lebih bagus
dibandingkan pada daerah Darmaga. Pengairan di Pamijahan langsung dari irigasi
sungai sehingga membutuhkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan pada daerah
Darmaga. Pengairan yang lancar pada daerah Pamijahan juga mendukung
produksi dimana di daerah ini bisa dilakukan dua sampai tiga kali tanam pada
setiap tahunnya sedangkan di kecamatan Darmaga hanya bisa satu kali musim
tanam padi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan produksi pada daerah
Pamijahan dan Darmaga pada setiap tahunnya.
Kebijakan subsidi pupuk berupa HET pada beberapa jenis pupuk juga
memberikan sumbangan terhadap biaya pengeluaran produksi untuk setiap musim
tanamnya. Pengeluaran pupuk sebesar 25,72 persen seperti telah dijelaskan pada
Gambar 5.4 yang merupakan pengeluaran terbesar kedua. Adanya subsidi pupuk
dapat memengaruhi pengeluaran pupuk yang akan dijelaskan pada tabel berikut
ini.
54
Tabel 5.2. Perbedaan Pengeluaran Pupuk Subsidi dan Non Subsidi pada Setiap
Musim Tanam
Jenis Jumlah
(kg)
Harga Subsidi
(RP/Kg)
Harga Non
Subsidi
(Rp/Kg)
Urea 200 1.600 4.000
TSP/SP-36 100 2.000 5.450
KCL 100 5000
(Tidak bersubsidi) 5.000
Total harga (Rp)
1.020.000 1.845.000
Selisih harga subsidi dan non
subsidi 825.000
Dari Tabel 5.2 di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan harga pupuk
subsidi dan non subsidi. Perbedaan harga ini akan berpengaruh terhadap
pengeluaran pupuk pada setiap musim tanamnya. Pupuk yang digunakan dalam
hal ini adalah pupuk anjuran pemerintah dengan kombinasi penggunaan urea 200
kg, TSP 100 kg, dan KCL 100 kg untuk setiap satu hektar luas lahan. Dari tabel
tersebut terlihat bahwa untuk pupuk subsidi pemerintah petani dapat
mengeluarkan biaya pupuk sebesar Rp 1.020.000 untuk setiap musim tanamnya,
sedangkan apabila petani membeli pupuk dengan jenis yang sama tetapi tidak
disubsidi pemerintah maka pengeluaran terhadap pupuk sebesar Rp 1.845.000
untuk setiap musim tanamnya. Dari kedua pengeluaran tersebut terlihat bahwa
terdapat perbedaan pengeluaran untuk pupuk subsidi dan non subsidi dengan
selisih sebesar Rp 825.000 untuk setiap musim tanamnya. Jadi, apabila petani
memperoleh pupuk bersubsidi dari pemerintah maka petani dapat menghemat
biaya pengeluaran pupuk sebesar 44,72 persen dari pengeluaran pupuk yang
seharusnya dikeluarkan apabila pupuk tidak disubsidi.
55
5.2. Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk
Pupuk merupakan kebutuhan yang cukup penting dalam menunjang
produksi padi. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian karakteristik pertanian
responden bahwa pupuk mempunyai proporsi pengeluaran terbesar setelah tenaga
kerja. Oleh karena itu, diperlukan program kebijakan fiskal yang dapat membantu
terpenuhinya kebutuhan pupuk petani dengan mudah dan dengan harga terjangkau
agar kesejahteraan petani meningkat. Kebijakan mengatur pupuk yang saat ini
diterapkan adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk yang saat ini
diterapkan adalah dengan menentukan harga eceran tertinggi yang diterima petani
pada setiap jenis pupuk. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu kebutuhan
pupuk di tingkat petani.
Penyaluran subsidi pupuk yang saat ini diterapkan adalah sistem terbuka
dimana petani langsung membeli ke pengecer resmi. Pengawasan pupuk
bersubsidi untuk mengetahui efektivitas dari kebijakan ini adalah melalui prinsip
enam tepat, yaitu harga, jumlah, waktu, tempat, jenis, dan mutu. Penelitian ini
menggunakan empat dari enam indikator yang mengukur efektivitas kebijakan
subsidi pupuk dengan studi kasus di Kabupaten Bogor. Indikator pertama adalah
indikator tepat harga yang diperoleh berdasarkan selisih antara harga yang
diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden. Rata-rata
harga pada setiap jenis pupuk bersubsidi yang diterima responden akan dijelaskan
pada tabel berikut ini.
56
Tabel 5.3. Rata-rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden
Uraian Urea TSP/SP-36 NPK
Harga Rata-rata Pembelian (Rp/kg) 1900 2400 2500
Harga Eceran Tertinggi (Rp/kg) 1600 2000 2300
Deviasi Absolut (Rp/kg) 300 400 200
Deviasi Relatif (%) 18,75 20 8,70
Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat harga pupuk aktual dan harga pupuk
seharusnya yang diterima responden. Jenis pupuk bersubsidi yang digunakan
responden adalah urea, TSP/SP-36, dan NPK. Pupuk urea mempunyai harga
eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 1600/kg. Namun, pada
kenyataanya harga pupuk urea yang diperoleh responden rata-rata sebesar 1900
sehingga terdapat selisih sebesar Rp 300 dari harga sesungguhnya. Responden
telah membeli pupuk urea dengan harga 18,75 persen lebih mahal untuk setiap
satu kilogram pupuk daripada harga sesungguhnya.
Pupuk jenis lain yang digunakan oleh responden adalah TSP atau SP-36.
Harga eceran tertinggi dari pupuk jenis ini adalah sebesar Rp 2000/kg. Reponden
rata-rata memperoleh pupuk bersubsidi jenis ini dengan harga sebesar Rp 2400/kg
atau terdapat selisih sebesar Rp 400/kg. Dari harga yang diperoleh responden ini
maka responden telah membeli pupuk TSP atau SP-36 dengan harga 20 persen
lebih mahal untuk setiap satu kilogram pupuk dibandingkan dengan harga
sesungguhnya.
Pupuk bersubsidi selain urea dan TSP/SP-36 yang digunakan responden
adalah jenis pupuk NPK. Pupuk NPK mempunyai harga eceran tertinggi sebesar
Rp 2300/kg. Namun, rata-rata harga yang diterima responden sebesar Rp 2500/kg
atau terdapat selisih sebesar Rp 200/kg dari harga sesungguhnya. Dari harga yang
57
diperoleh responden maka responden membeli pupuk NPK dengan harga 8,70
persen lebih tinggi daripada harga sesungguhnya. Dari ketiga jenis pupuk tersebut
dapat dikategorikan bahwa ketiga jenis pupuk tersebut mempunyai harga
pembelian yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi. Hal ini akan
mempengaruhi tingkat efektivitas dari kebijakan subsidi pupuk. Jumlah responden
yang memperoleh harga yang tepat dan tidak tepat dalam memperoleh subsidi
pupuk akan dijelaskan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.4. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi
Jenis Pupuk Kesesuaian Harga dengan HET Jumlah Persentase (%)
Urea Tepat 40 35,00
Tidak Tepat 74 64,91
NPK Tepat 4 9,52
Tidak Tepat 38 90,48
TSP/SP-36 Tepat 14 15,22
Tidak Tepat 78 84,78
TOTAL Tepat 58 23,39
Tidak Tepat 190 76,61
Dari Tabel 5.4 ditunjukkan bahwa terdapat berbagai pilihan penggunaan
pupuk oleh responden dimana jenis pupuk yang digunakan oleh responden adalah
urea, NPK, TSP/SP-36, dan KCL. Namun, KCL mulai tahun 2003 sudah tidak
disubsidi sehingga ruang lingkup penelitian hanya terfokus pada tiga jenis pupuk
tersebut selain KCL. Analisis data ini dilakukan dengan melihat perbedaan harga
pupuk aktual yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima
responden yaitu harga yang sudah ditetapkan pemerintah dalam bentuk harga
eceran tertinggi (HET). Dalam hal ini dilihat jumlah responden yang memperoleh
harga yang sama dengan HET dan jumlah responden yang tidak memperoleh
58
harga yang sama dengan HET. Harga eceran tertinggi untuk urea adalah Rp
1600/kg yang berlaku dari tahun 2010 dan sampai sekarang masih diberlakukan
HET yang sama. Urea mempunyai HET yang lebih rendah dibandingkan dengan
pupuk jenis lain. Jumlah responden yang menerima HET tepat sama dengan harga
yang dibayarkan adalah 40 responden, sedangkan jumlah responden yang tidak
memperoleh harga sama dengan HET adalah 74 responden. Responden
menggunakan pupuk urea untuk mendukung pertumbuhan daun. Persentase dari
responden yang memperoleh harga sama dengan HET dan tidak sama dengan
HET masing-masing sebesar 35,09 persen dan 64,91 persen. Urea merupakan
pupuk yang jumlahnya paling banyak diminta oleh responden sebesar 114
dibandingkan dengan jenis pupuk lain seperti NPK dan TSP/SP-36 yang masing-
masing hanya sebesar 42 dan 92. Oleh karena itu, banyak responden yang
berharap bahwa urea tidak akan dicabut atau tetap disubsidi oleh pemerintah. Hal
ini juga didukung dengan adanya wacana penurunan alokasi subsidi pupuk untuk
beberapa tahun ke depan, dan adanya beberapa jenis pupuk yang sudah tidak lagi
disubsidi seperti KCL.
Pupuk selain urea yang disubsidi yaitu NPK yang mempunyai tiga jenis
yaitu NPK Phonska, NPK Pelangi, dan NPK Kujang. Kebanyakan responden
menggunakan NPK dengan jenis NPK Phonska. NPK digunakan responden untuk
membantu pertumbuhan buah. Ketiga jenis NPK tersebut mempunyai harga
eceran tertinggi yang sama yaitu Rp 2300/kg. Responden yang mendapatkan
harga sesuai dengan HET adalah 4 responden, sedangkan responden yang
mendapatkan harga lebih tinggi dari HET adalah 38 responden. Persentase sebesar
59
9,52 persen dimiliki oleh responden yang memperoleh harga sama dengan HET
sedangkan responden yang memperoleh harga leih tinggi dari HET sebesar 90,48
persen. NPK mempunyai kecenderungan yang sama dengan urea dimana
keduanya memiliki persentase yang lebih besar dalam hal ketidaktepatan dengan
HET yang berlaku bahkan NPK memiliki selisih persentase yang lebih besar
dibandingkan dengan urea.
Jenis pupuk ketiga yang digunakan oleh responden adalah pupuk berjenis
TSP/SP-36. Pupuk ini digunakan untuk memperkuat batang tanaman dan
mempercepat pertumbuhan akar semai. TSP/SP-36 mempunyai harga eceran
tertinggi sebesar Rp 2000/kg. Responden yang memperoleh harga sesuai dengan
HET adalah 14 responden, sedangkan responden yang tidak memperoleh harga
sesuai dengan HET adalah 78 responden. Persentase responden yang mempunyai
harga sama dengan HET dan yang tidak sama dengan HET masing-masing
sebesar 15,22 persen dan 84,78 persen. Dari ketiga jenis pupuk bersubsidi yang
digunakan oleh responden semuanya mempunyai kecenderungan yang sama
dimana kebanyakan responden memperoleh harga yang lebih tinggi dari HET
dengan persentase sebesar 76,61 persen dibandingkan dengan responden yang
memperoleh harga sama dengan HET yang hanya sebesar 23,39 persen.
Kecenderungan harga yang lebih tinggi dari HET ini terjadi karena kebanyakan
responden membeli pupuk di kios yang dekat dengan desa. Kebanyakan kios
resmi berada di luar desa yang membutuhkan tambahan biaya transportasi. Selain
itu, kebanyakan responden juga tidak mengetahui kios resmi yang menjual pupuk
60
bersubsidi. Hal-hal tersebut yang membuat pupuk bersubsidi pada penelitian ini
belum bisa dikategorikan memenuhi prinsip tepat harga.
Indikator kedua yang menentukan keefektifan program kebijakan subsidi
pupuk adalah indikator tepat tempat. Tepat tempat yang dimaksud adalah petani
sebagai penerima subsidi pupuk dapat memperoleh pupuk di kios yang dekat
dengan rumah atau lahan petani atau kios berada di dalam desa. Hasil penelitian
tentang indikator tepat tempat akan dijelaskan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.5. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi
Tempat Pembelian Pupuk Jumlah Responden Persentase (%)
di dalam desa 52 43,33
di luar desa 68 56,67
TOTAL 120 100
Dari Tabel 5.5 di atas dijelaskan tentang besarnya ketepatan tempat
pembelian pupuk bersubsidi. Ketepatan tempat ini diukur berdasarkan seberapa
banyak responden yang menyatakan tempat atau kios pembelian pupuk bersubsidi
berada di dalam atau di luar desa. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 52
responden menyatakan bahwa mereka melakukan pembelian pupuk bersubsidi di
dalam desa. Responden tersebut menyatakan bahwa terdapat kios di dalam desa
walaupun dengan harga yang lebih mahal dan bukan merupakan kios resmi
daripada melakukan pembelian di kios luar desa atau di pusatnya yaitu di pasar
pusat pada setiap kecamatan. Namun, responden tersebut tetap memilih untuk
membeli pupuk bersubsidi di kios dalam desa daripada di luar desa meskipun
dengan harga yang lebih mahal dengan alasan bahwa kios luar desa terlalu jauh
dan masih membutuhkan biaya transportasi.
61
Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terdapat 68 responden yang
melakukan pembelian pupuk di luar desa. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa
tidak ada kios yang ada di dalam desa. Selain itu, harga pupuk bersubsidi di luar
desa atau di kios yang terletak pada pusat kecamatan lebih murah karena
merupakan kios resmi meskipun responden masih dibebani dengan biaya
transportasi. Responden biasanya melakukan pembelian dalam jumlah besar agar
tidak merasa dirugikan dengan adanya biaya transportasi. Namun, hal ini hanya
bisa dilakukan oleh beberapa petani dengan modal yang cukup besar untuk
membeli dalam jumlah yang banyak. Petani dengan modal yang terbatas dimana
tidak ada kios yang berada dalam desa dan tetap melakukan pembelian pupuk di
luar desa akan merasa terbebani dengan biaya transportasi karena mereka hanya
membeli pupuk dengan jumlah yang tidak besar dan tidak sebanding dengan biaya
transportasi yang mereka keluarkan. Persentase responden yang melakukan
pembelian pupuk di dalam desa dengan responden yang melakukan pembelian
pupuk di luar desa masing- masing sebesar 43,33 persen dan 56,67 persen. Dari
persentase tersebut terlihat bahwa masih banyak responden yang melakukan
pembelian pupuk bersubsidi di luar desa dengan berbagai alasan yang telah
dijelaskan sehingga kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif
dalam indikator tepat tempat.
Indikator lain dalam menentukan tingkat kefektifan dari suatu kebijakan
subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator tepat waktu yang dimaksud
adalah pupuk bersubsidi yang akan selalu tersedia ketika dibutuhkan oleh petani
dengan kata lain bahwa tidak terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi ketika petani
62
akan membutuhkan pupuk tersebut. Hasil dari penelitian tepat waktu yang
berdasarkan pendapat dari responden akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.6. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi
Ketepatan Waktu Jumlah Reponden Persentase (%)
Pupuk selalu ada 120 100
Pupuk tidak ada 0 0
TOTAL 120 100
Tabel 5.6 di atas menunjukkan tentang ketepatan waktu dari perolehan
pupuk bersubsidi. Indikator ketapatan waktu diukur dengan hasil pendapat
responden yang menyatakan pupuk bersubsidi akan selalu ada atau tidak ada
ketika dibutuhkan mereka. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 120
responden atau dapat dikatakan bahwa semua responden berpendapat bahwa
pupuk bersubsidi selalu ada ketika akan dibutuhkan mereka untuk mendukung
produksi. Responden berpendapat bahwa beberapa tahun terakhir termasuk tahun
2010 pupuk bersubsidi selalu ada. Kelangkaan pernah terjadi tetapi pada saat
tahun-tahun yang lalu dan sekarang sudah cenderung normal. Dari persentase 100
persen responden yang menyatakan bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika
dibutuhkan mereka maka dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk dikatakan
efektif dalam indikator tepat waktu dengan tingkat ketepatan sempurna, yaitu 100
persen. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melakukan kebijakan
subsidi pupuk terutama untuk petani.
Indikator terakhir yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah
indikator tepat jumlah. Indikator tepat jumlah yang dimaksud adalah pemupukan
dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanah
63
dan kebutuhan tanaman (Rahman, 2009). Jumlah pupuk yang tepat berdasarkan
status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea
200kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 75-100kg/ha, dan KCL sebanyak 75-100kg/ha
(Purwono dan Heni, 2009). Hasil penelitian tentang ketepatan jumlah akan
ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.7. Persentase Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi
Ketepatan Jumlah Jumlah Responden Persentase (%)
Sesuai anjuran 27 22,5
Tidak sesuai anjuran
77,5 a. dibawah anjuran 46
b. diatas anjuran 47
TOTAL 120 100
Dari Tabel 5.7 dapat ditunjukkan hasil dari ketepatan jumlah berdasarkan
penggunaan pupuk oleh responden pada setiap luas lahannya. Responden dengan
penggunaan pupuk sesuai dengan jumlah yang dianjurkan sebanyak 27 responden.
Pemupukan dengan dosis yang tepat diperlukan untuk mendukung hasil produksi
padi. Apabila terdapat kekurangan dan kelebihan jumlah pupuk pada setiap lahan
akan mempengaruhi tanah dan tanaman sehingga diperlukan penggunaan yang
tepat. Responden yang memberikan pupuk dengan jumlah yang tidak sesuai
dengan anjuran adalah sebanyak 93 responden yang terdiri dari penggunaan
dengan jumlah di bawah anjuran dan di atas anjuran yang masing-masing sebesar
46 dan 47 responden. Persentase yang didapat dari ketepatan jumlah antara
responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran dengan yang tidak sesuai
anjuran masing-masing sebesar 22,5 persen dan 77,5 persen. Dari persentase
tersebut dapat terlihat bahwa persentase ketepatan jumlah hanya sebesar 22,5
64
persen yang berarti kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif
dalam indikator tepat jumlah. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan dari
pemerintah kepada petani tentang penggunaan pupuk yang sesuai dengan anjuran
agar hasil produksi padi mereka lebih maksimal karena apabila penggunaan tidak
sesuai dengan anjuran baik di atas maupun di bawah anjuran akan mempengaruhi
produksi padi.
Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini akan dapat
menentukan tingkat kefektivitasan subsidi pupuk di Kabupaten Bogor.
Keefektifan kebijakan ini diukur berdasarkan presentase masing-masing indikator.
Apabila presentase keselurahan indikator sama ataupun lebih dari 80% maka
kebijakan subsidi pupuk dapat dikategorikan efektif. Apabila tingkat keefektifan
di bawah 80% maka kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif.
Hasil dari keseluruhan indikator tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk akan
ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.8. Persentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk
No. Indikator Tingkat Keefektifan Tepat
(%)
Tidak Tepat
(%) Total (%)
1 Harga 23,39 76,61 100
2 Tempat 43,33 56,67 100
3 Waktu 100 0 100
4 Jumlah 22,50 77,50 100
Rata-rata 47,31 52,70 100
Berdasarkan Tabel 5.8 di atas dapat diketahui hasil keseluruhan dari empat
indikator yang menentukan tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk yang
diperoleh dari 120 responden yang menjadi sampel dari penelitian ini. Rata-rata
dari keempat indikator yang tepat dan tidak tepat masing-masing sebesar 47,31
65
persen dan 52,70 persen. Dari hasil persentase keseluruhan indikator dapat terlihat
bahwa persentase yang menyatakan tepat lebih kecil daripada yang tidak tepat.
Selain itu, persentase ketepatan juga tidak lebih besar dari 80 persen sehingga
kebijakan subsidi pupuk dikatakan tidak efektif. Oleh karena itu, perlu adanya
perbaikan baik dari segi penyaluran, pengawasan, maupun hal-hal lain yang
mendukung terwujudnya kebijakan subsidi pupuk yang efektif. Perbaikan
terutama dalam hal harga yang diterima petani seharusnya sama dengan HET
yang di dapat dari kios resmi yang berada di dalam desa. Hal ini yang banyak
diharapkan oleh responden. Alasan lain dari responden untuk tetap mengharapkan
adanya program kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada gambar berikut
ini.
Gambar 5.5. Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk
Berdasarkan Gambar 5.5 dapat diketahui bahwa terdapat beberapa alasan
responden tetap mengharapkan adanya kebijakan subsidi pupuk. Alasan terbesar
responden tetap menginginkan adanya subsidi pupuk adalah karena harga pupuk
32,17%
10,49%
20,98%
32,17%
4,20%
Alasan Responden tentang Perlunya Keberlanjutan
Program Subsidi Pupuk
Harga Pupuk Non SubsidiMahal
Kebutuhan Pupuk Banyak
Modal Petani Terbatas
Laba Produksi Sedikit
Lain-lain
66
non subsidi mahal dan laba produksi sedikit dengan presentase yang sama sebesar
32,17 persen. Harga pupuk non subsidi mahal seperti pada harga pupuk KCL
padahal jenis pupuk ini masih banyak dibutuhkan oleh responden. Alasan laba
produksi sedikit yang membuat responden tetap menginginkan adanya subsidi
pupuk karena semakin tingginya harga pupuk. Harga pupuk yang tinggi karena
kebijakan subsidi pupuk yang masih tidak efektif sehingga harga pupuk bersubsidi
yang seharusnya sama dengan HET tetapi pada kenyataannya harga yang
diperoleh responden adalah lebih tinggi dari HET. Tingginya harga pupuk juga
mempengaruhi biaya produksi responden yang juga akan semakin meningkat. Hal
ini juga tidak diimbangi dengan peningkatan harga pembelian gabah sehingga
pendapatan yang diperoleh responden tidak sebanding dengan biaya produksi
yang dikeluarkan mereka. Modal petani terbatas menjadi alasan selanjutnya yang
membuat responden menginginkan adanya kebijakan subsidi pupuk yaitu sebesar
20,98 persen. Modal petani yang terbatas sehingga tidak bisa membeli pupuk pada
kios resmi yang biasanya jauh dari desa dan membutuhkan biaya transportasi.
Alasan selanjutnya adalah kebutuhan pupuk responden yang banyak. Kebutuhan
pupuk responden yang banyak sehingga membutuhkan banyak pengeluaran untuk
kebutuhan pupuk sehingga dibutuhkan subsidi pupuk untuk dapat mengurangi
pengeluaran responden. Alasan terakhir responden sebesar 4,20 persen adalah
alasan lain-lain seperti kualitas pupuk bersubsidi yang bagus, responden yang
kebanyakan petani kecil membeli pupuk secara eceran sehingga harga lebih
mahal, serta subsidi pupuk dapat menunjang taraf hidup petani.
67
Berdasarkan berbagai alasan yang dijelaskan responden tentang masih
pentingnya subsidi pupuk maka pemerintah harus memberikan perhatiannya pada
kebijakan subsidi pupuk ini. Selain itu, telah diketahui bahwa hasil dari penelitian
ini yang masih mengkategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang belum
efektif sehingga perlu adanya perbaikan dari pemerintah untuk mengefektifkan
kebijakan ini. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah agar produksi padi
meningkat karena pupuk merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat
produksi padi.
5.3. Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi
Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu dari kebijakan fiskal yang
bertujuan untuk membantu terpenuhinya kebutuhan pupuk pada petani. Ruang
lingkup pada penelitian ini adalah ingin melihat pengaruh adanya subsidi pupuk
terhadap produksi padi petani di Kabupaten Bogor. Selain itu, juga dilihat
hubungan antara harga pupuk yang diterima petani terhadap permintaan pupuk
petani sehingga pada akhirnya akan diketahui seberapa penting pemenuhan
kebutuhan pupuk pada petani.
Pengaruh pertama dapat dilihat dari hubungan antara harga dengan jumlah
atau permintaan pupuk. Seperti diketahui bahwa harga pupuk bersubsidi di tingkat
petani telah ditentukan oleh pemerintah berupa harga eceran tertinggi (HET)
untuk beberapa jenis pupuk, seperti urea, TSP/SP-36, ZA, NPK, dan organik.
Dalam penelitian ini pupuk yang digunakan oleh responden adalah jenis pupuk
urea, TSP/SP-36, NPK, dan KCL. Namun, dalam melihat pengaruh permintaan
68
kebutuhan pupuk di tingkat petani menggunakan harga pupuk urea dan TSP
sebagai variabel yang mewakili harga pupuk. Pemerintah telah menetapkan HET
pada masing-masing jenis pupuk meskipun demikian seringkali terjadi perbedaan
harga yang diterima petani karena adanya beberapa faktor, seperti biaya
transportasi, biaya pengemasan, dan rendahnya pengetahuan petani tentang kios
resmi dari pemerintah yang menjual pupuk bersubsidi. Dari variasi harga yang
diterima oleh petani akan dilihat respon petani terhadap permintaan pupuk.
Variabel independen yang digunakan dalam pengujian ini adalah variabel harga
urea, harga TSP, harga padi, dan luas lahan. Dalam model ini hanya memilih dua
jenis pupuk yaitu urea dan TSP dikarenakan kedua jenis pupuk tersebut yang
sering digunakan oleh responden. Pengujian ini menggunakan model regresi
linear berganda dengan menggunakan Eviews 6 untuk membantu dalam
pengolahan datanya. Hasil dari regresi ini akan ditunjukan sebagai berikut.
Tabel 5.9. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk Urea
Variabel Koefisien Probabilitas
C -46,88433 0,0095
LnHargaurea -0,985849 0,0907
LnHargaTSP 2,104178 0,0765
LnHargapadi 5,039370 0,0004
LnLuaslahan 0,394968 0,0003
R-squared 0,694425
Adjusted R-squared 0,666000
F-statistic 24,42960 0,0000
Keterangan: taraf nyata 10%
Sumber: Lampiran 2
Uji statistika berdasakan Tabel 5.9 diperoleh nilai koefisien determinasi
(R2) yang diperoleh sebesar 0,694425 yang berarti bahwa 69,44 persen keragaman
variabel dependen atau jumlah pupuk dapat dijelaskan oleh variasi-variasi
69
variabel independennya yaitu harga pupuk. Selain itu, sisanya sebesar 30,56
persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. Berdasarkan nilai
probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang
digunakan yaitu 0,10 (10 persen) yang berarti bahwa variabel independen
berpengaruh nyata terhadap variabel dependen sehingga model penduga tersebut
layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.
Dari Tabel 5.9 dapat dilihat juga hasil uji t berdasarkan nilai probabilitas
dari variabel independennya yaitu lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan
yaitu 0,10 (10 persen). Artinya, variabel independen berpengaruh nyata dan
signifikan terhadap permintaan pupuk. Dilihat dari nilai elastisitasnya, permintaan
pupuk urea mempunyai pengaruh tidak responsif terhadap perubahan harga urea
yang dilihat dari nilai koefisien dari harga pupuk yang bernilai -0,985849.
Artinya, harga pupuk urea mempunyai kecenderungan inelastis sehingga ketika
terjadi perubahan dari tingkat harga pupuk urea tidak berpengaruh besar terhadap
perubahan permintaan jumlah pupuk urea oleh petani. Petani mempunyai
pertimbangan untuk menggunakan jenis pupuk dengan jumlah sesuai dengan
dosis atau takaran pada setiap luas lahannya walaupun harga pupuk berubah
karena perubahan jumlah pupuk yang digunakan pada setiap luas lahannya akan
berpengaruh terhadap jumlah produksi padi mereka.
Selain dilakukan uji stastistik, dalam penelitian juga dilakukan pengujian
ekonometrika dari model. Pengujian ini dilakukan untuk melihat bahwa model
terbebas dari gejala autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas
70
dimana model harus sesuai dengan asumsi klasik. Pengujian dari masing-masing
asumsi klasik tersebut akan dijelaskan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.10. Uji Asumsi Klasik
Asumsi Kriteria Kesimpulan
Normalitas Prob (0,352179)>α Model terdistribusi normal
Heteroskedastisitas Prob (0,7518)>α Homoskedastisitas
Autokorelasi Prob (0,1048)>α Tidak ada autokorelasi
Multikolinearitas
nilai antar variabel independen <
0,8 Tidak ada multikolinearitas
Sumber: Lampiran 3, 4, 5, 6
Berdasarkan Tabel 5.10 ditunjukkan hasil uji asumsi klasik untuk regresi
jumlah permintaan pupuk. Pengujian pertama adalah pengujian terhadap asumsi
normalitas. Nilai probabilitas yang didapatkan yaitu 0,352179 yang lebih besar
dari nilai taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen). Dari nilai ini maka
dapat ditunjukkan bahwa model terdistribusi normal.
Pada Tabel 5.10 juga dapat ditunjukkan hasil pengujian terhadap asumsi
heteroskedastisitas. Uji asumsi heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui
ragam sisaan sama atau berbeda. Hipotesisnya adalah homoskedastisitas untuk H0,
sedangkan heteroskedastisitas untuk H1. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa
nilai probabilitas yang didapatkan sebesar 0,7518. Nilai probabilitas ini lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) sehingga terima H0
yang artinya asumsi homoskedastisitas terpenuhi dalam model ini.
Pengujian asumsi klasik selanjutnya adalah uji asumsi autokorelasi.
Pengujian ini dilakukan untuk melihat sebaran dari sisaan yaitu sisaan menyebar
bebas atau tidak. Uji asumsi autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan
Breusch-Goldfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis yang digunakan adalah
71
H0 untuk tidak adanya autokorelasi, sedangkan H1 untuk adanya autokorelasi.
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa nilai probabilitas adalah 0,1048 yang lebih
besar dari taraf nyata 0,10 (10 persen) sehingga terima H0. Dari hasil ini maka
dapat dikategorikan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model tersebut sehingga
tidak ada pelanggaran autokorelasi.
Pengujian asumsi klasik terakhir yaitu pengujian multikolinearitas.
Pengujian tersebut dilakukan dengan melihat nilai antar variabel independennya.
Nilai antar variabel independennya lebih kecil dari 0,8. Dari hasil nilai ini dapat
dikategorikan bahwa model tidak terdapat gejala adanya korelasi parsial antar
peubah bebas. Berdasarkan ketiga pengujian asumsi klasik di atas dimana tidak
ada pelanggaran asumsi klasik sehingga model regresi dapat dikategorikan baik.
Oleh karena itu, didapatkan model jumlah pupuk yang dirumuskan dalam
persamaan sebagai berikut.
LnPermintaanurea= -46,88433 – 0,985849LnHargaurea + 2,104178LnHargaTSP
+ 5,039370LnHargapadi + 0,394968LnLuasLahan ....... (5.1)
Berdasarkan hasil dari regresi diperoleh model hubungan antara jumlah
pupuk urea dengan harga urea, harga TSP, harga padi, dan luas lahan. Dalam
persamaan di atas dapat dilihat bahwa harga padi dan luas lahan mempunyai
hubungan yang positif terhadap jumlah pupuk. Hal ini berarti bahwa apabila
terjadi peningkatan harga padi dan luas lahan sebesar 1 persen, maka akan
meningkatkan jumlah permintaan pupuk yang masing-masing sebesar 5,039370
dan 0,394968 persen (ceteris paribus). Selain itu, juga dapat dilihat hubungan
antara harga TSP terhadap permintaan urea. Dari persamaan tersebut dapat dilihat
bahwa harga TSP mempunyai pengaruh yang positif terhadap permintaan urea
72
sebesar 2,104178. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi peningkatan harga TSP
sebesar 1 persen maka akan terjadi peningkatan juga pada permintaan urea
sebesar 2,104178 persen (ceteris paribus). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa
pupuk TSP dan urea mempunyai hubungan subtitusi dimana jika harga TSP naik
maka permintaan urea akan semakin meningkat.
Berdasarkan persamaan 5.1 juga dapat dilihat bahwa harga pupuk urea
mempunyai sifat inelastis. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terdapat
perubahan harga pupuk urea tidak akan berpengaruh besar terhadap perubahan
permintaan pupuk atau jumlah pupuk yang diperlukan oleh petani. Namun,
walaupun perubahan harga pupuk tidak akan berpengaruh besar terhadap petani
dalam menggunakan pupuk, kebijakan subsidi pupuk akan berpengaruh terhadap
petani dalam hal pengeluaran biaya produksinya. Dari hasil persamaan ini maka
dapat disimpulkan bahwa efektivitas kebijakan subsidi pupuk mempunyai peran
yang penting dalam pemenuhan kebutuhan pupuk di tingkat petani karena setiap
terjadi perubahan harga di tingkat petani akan mempengaruhi pengeluaran biaya
pupuk oleh petani.
Pengaruh kedua adalah pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi padi.
Faktor-faktor yang digunakan dalam mempengaruhi produksi padi selain jumlah
pupuk adalah luas lahan, benih, dan jumlah tenaga kerja (Sugiarto, 2008). Selain
itu, juga dimasukkan dua variabel dummy, yaitu dummy benih, dan dummy
efektivitas harga. Pengujian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar dari
masing-masing faktor terutama jumlah pupuk mempengaruhi produksi padi.
73
Pengujian ini dilakukan dengan model regresi berganda dengan menggunakan
Eviews 6. Hasil dari penelitian ini akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.11. Hasil Estimasi Produksi Padi
Variabel Koefisien Probabilitas
C 2,500931 0,0000
LnLahan 0,361690 0,0000
LnBenih 0,226735 0,0027
LnBuruh 0,133148 0,0935
LnPupuk 0,080678 0,0676
Dummy1 0,264189 0,0001
Dummy2 0,240219 0,0077
R-squared 0,852096
Adjusted R-squared 0,844243
F-statistic 108,5018 0,0000
Keterangan: taraf nyata 10%
Sumber: Lampiran 7
Berdasarkan Tabel 5.11 yang merupakan uji statistika, diperoleh nilai
koefisien determinasi sebesar 0,852096 yang artinya 85,20 persen keragaman
produksi padi sebagai variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel
independennya yaitu luas lahan, benih, tenaga kerja, pupuk, dummy benih, dan
dummy efektivitas harga. Sisanya yaitu sebesar 14,80 persen dijelaskan oleh
variabel-variabel lain di luar model. Berdasarkan nilai probabilitas F-statistik
sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10
persen). Hal ini berarti bahwa variabel independen dalam model secara bersama-
sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Hasil lain adalah hasil dari
uji t yang dapat dilihat melalui nilai probabilitas dari masing-masing variabel
independennya. Variabel luas lahan, benih, tenaga kerja, pupuk, dummy benih,
dan dummy efektivitas harga mempunyai nilai probabilitas lebih kecil dari taraf
74
nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) yang berarti variabel-variabel
independen tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi.
Selain dilakukan uji statistika juga dilakukan uji ekonometrika untuk
melihat model harus sesuai dengan asumsi klasik yang terbebas dari gejala
multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Hasil dari pengujian
asumsi klasik tersebut akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.12. Uji Asumsi Klasik
Asumsi Kriteria Kesimpulan
Normalitas Prob (0,00098)<α
Model tidak terdistribusi
normal
Heteroskedastisitas Prob (0,2916)>α Homoskedastisitas
Autokorelasi Prob (0,1241)>α Tidak ada autokorelasi
Multikolinearitas
nilai antar variabel independen <
0,8 Tidak ada multikolinearitas
Sumber: Lampiran 8, 9, 10, 11
Berdasarkan Tabel 5.12 dapat dilihat hasil dari pengujian asumsi klasik.
Pengujian normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi
normal atau tidak terdistribusi normal. Hipotesis yang digunakan adalah galat atau
error term menyebar normal untuk H0, sedangkan H1 adalah galat tidak menyebar
normal. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa nilai probabilitas sebesar
0,0009 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen)
sehingga tolak H0. Dari nilai probabilitas ini dapat dikategorikan bahwa model
tidak terdistribusi normal. Namun, hal ini dapat diabaikan karena tidak
berpengaruh terhadap pendugaan koefisien, dimana koefisien tetap tidak bias dan
konsisten.
Pengujian kedua dalam uji asumsi klasik adalah uji asumsi
heteroskedastisitas. Model yang baik adalah jika memenuhi asumsi
75
homoskedastisitas dimana ragam sisaan sama atau homogen. Pengujian
heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan Uji Harvey. Hipotesis yang
digunakan adalah homoskedastisitas untuk H0, sedangkan H1 untuk
heteroskedastisitas. Hasil dari Uji Harvey tersebut adalah nilai probabilitas adalah
sebesar 0,2916 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10
persen) sehingga terima H0. Dari nilai probabilitas ini maka dapat berarti bahwa
terpenuhinya asumsi homoskedastisitas.
Pengujian asumsi klasik selanjutnya adalah pengujian autokorelasi.
Pengujian autokorelasi ini menggunakan Breusch-Godlfrey Serial Correlation LM
Test untuk melihat sisaan menyebar bebas atau tidak menyebar bebas. Model yang
baik adalah ketika model tidak ada autokorelasi dimana sisaan menyebar bebas.
Hipotesis yang digunakan adalah tidak ada autokorelasi untuk H0, sedangkan ada
autokorelasi untuk H1. Berdasarkan tabel tersebut didapatkan nilai probabilitas
sebesar 0,1241 yang lebih besar dari nilai taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10
(10 persen) sehingga terima H0. Hal ini berarti bahwa tidak ada autokorelasi
dalam model ini.
Pengujian terakhir dalam uji asumsi klasik adalah pengujian adanya
korelasi parsial antar peubah bebas atau multikolinearitas. Model regresi yang
baik adalah tidak adanya hubungan linear antar peubah bebas dalam model.
Apabila ada hubungan linear antar peubah bebasnya maka dapat dikatakan bahwa
terdapat multikolinearitas dalam model. Pengujian tersebut dilakukan dengan
melihat nilai antar variabel independennya. Nilai antar variabel independennya
lebih kecil dari 0,8 atau lebih kecil dari nilai koefisien determinasinya yaitu
76
0,852096. Dari hasil nilai ini dapat dikategorikan bahwa model tidak terdapat
gejala adanya korelasi parsial antar peubah bebas. Berdasarkan keempat pengujian
yang telah dilakukan maka model ini dapat dikategorikan sebagai model yang
baik sehingga produksi padi dapat dirumuskan ke dalam persamaan regresi
sebagai berikut.
LnProduksi= 2,500931 + 0,361690LnLuaslahan + 0,080678LnPupuk
+0,133148LnBuruh + 0,226735LnBenih + 0,264189Dummy1
+0,240219Dummy2 .................................................................. (5.2)
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa luas lahan mempunyai
pengaruh positif sebesar 0,361690 terhadap produksi padi. Setiap terjadi
peningkatan luas lahan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi padi
sebesar 0,361690 persen, dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus).
Hubungan luas lahan dengan produksi padi sesuai dengan hipotesis awal bahwa
peningkatan luas lahan akan meningkatkan produksi padi.
Variabel jumlah pupuk mempunyai hubungan yang positif sebesar
0,080678 terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi peningkatan
1 persen pada jumlah pupuk maka akan meningkatkan produksi padi sebesar
0,080678 persen dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hubungan
antara jumlah pupuk dengan produksi padi sesuai dengan hipotesis awal bahwa
ketika terjadi peningkatan jumlah pupuk akan meningkatkan produksi padi. Oleh
karena itu, kebijakan subsidi pupuk penting untuk membantu terpenuhinya jumlah
pupuk di tingkat petani. Seperti diketahui bahwa tingkat efektivitas kebijakan
subsidi pupuk dalam penelitian ini masih dikategorikan belum memenuhi kriteria
efektif sehingga juga mempengaruhi jumlah pupuk yang dipergunakan oleh
77
responden. Tingkat efektivitas kebijakan subsidi pupuk yang masih dikategorikan
tidak efektif juga membuat pengaruh pupuk terhadap produksi padi lebih rendah
daripada variabel-variabel lain. Selain itu, subsidi pupuk juga mempengaruhi
tingkat kesejahteraan responden karena apabila harga pupuk semakin meningkat
maka biaya untuk produksi padi juga semakin meningkat. Apabila hal ini tidak
diikuti dengan peningkatan harga pembelian gabah maka tingkat pendapatan
petani akan berkurang.
Variabel lain yang mempengaruhi produksi padi adalah variabel buruh
atau tenaga kerja. Variabel tenaga kerja mempunyai pengaruh positif sebesar
0,133148 terhadap produksi padi. Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan 1
persen pada tenaga kerja akan meningkatkan 0,133148 persen produksi padi
dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan
hipotesis awal bahwa setiap terjadi peningkatan tenaga kerja akan meningkatkan
produksi padi.
Variabel lain yang mempengaruhi produksi padi adalah variabel jumlah
benih. Hipotesis awalnya adalah semakin banyak jumlah benih yang digunakan
maka akan semakin besar produksi padi dimana variabel lain dianggap tetap
(ceteris paribus). Hasil dari regresi ini adalah variabel benih mempunyai
pengaruh positif sebesar 0,226735 terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa
setiap peningkatan jumlah benih sebesar 1 persen maka akan meningkatkan
produksi padi sebesar 0,226735 persen yang sesuai dengan hipotesis awalnya.
Variabel dummy yang dimasukkan dalam persamaan produksi padi adalah
variabel dummy dari benih. Variabel dummy benih dimasukkan untuk mengetahui
78
jenis benih yang mempunyai kualitas yang bagus untuk mempengaruhi produksi
padi dan sering digunakan oleh responden. Dummy bernilai 1 untuk jenis benih
ciherang, sedangkan dummy bernilai 0 untuk jenis benih selain ciherang. Pada
hasil tersebut diperoleh nilai dummy benih sebesar 0,264189. Hasil nilai dummy
ini berarti bahwa benih padi ciherang mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap peningkatan produksi padi dibandingkan dengan penggunaan benih padi
dengan jenis selain ciherang. Jadi, apabila terdapat peningkatan penggunaan padi
jenis ciherang sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi padi sebesar
0,264189 persen.
Variabel terakhir yang dimasukkan dalam persamaan produksi padi adalah
variabel dummy efektivitas harga. Dummy efektivitas harga pupuk dimasukkan
dalam persamaan ini untuk melihat pengaruh efektivitas subsidi pupuk terutama
efektivitas harga dalam kaitannya dengan produksi padi. Efektivitas harga dipilih
sebagai variabel yang mewakili efektivitas subsidi pupuk karena kebijakan subsidi
pupuk erat kaitannya dengan ketepatan harga eceran tertinggi (HET) pupuk
bersubsidi yang diterima responden. Hipotesis awalnya adalah ketika responden
memperoleh harga yang tepat atau sama dengan HET maka responden dapat
menggunakan pupuk sesuai dengan dosis yang digunakan tanpa mengganti atau
mengurangi jumlah pupuk yang digunakan untuk setiap luas lahannya. Dengan
adanya hal ini maka penggunaan pupuk dapat terserap optimal sehingga juga
dapat meningkatkan produksi padi. Hasil dari persamaan regresi tersebut dapat
terlihat bahwa dummy efektivitas harga mempunyai hubungan yang positif
sebesar 0,240219 produksi padi. Hal ini berarti bahwa ketika terjadi peningkatan
79
responden yang mendapatkan pupuk dengan tepat harga sebesar 1 persen maka
dapat meningkatkan produksi padi sebesar 0,240219 persen. Dengan adanya hal
ini terlihat bahwa efektivitas kebijakan subsidi pupuk penting terhadap
peningkatan produksi padi.
Faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai hubungan
yang positif dan signifikan terhadap peningkatan produksi padi. Apabila petani
kesulitan dalam memperoleh faktor-faktor produksi tersebut maka akan langsung
berpengaruh terhadap produksi padi. Oleh karena itu, pemerintah harus membantu
terpenuhinya kebutuhan faktor-faktor produksi pada petani. Program kebijakan
yang telah dilakukan pemerintah dalam mendukung produksi padi adalah
kebijakan subsidi benih dan subsidi pupuk. Pada penelitian yang membahas
tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk dimana kebijakan subsidi pupuk
masih dikategorikan tidak efektif sehingga juga berpengaruh terhadap penggunaan
pupuk dan produksi padi. Adanya hal ini maka diharapkan pemerintah melakukan
evaluasi terhadap penyaluran subsidi pupuk di tingkat petani agar kebutuhan
pupuk di tingkat petani terpenuhi sehingga produksi padi meningkat dan
kesejahteraan petani juga meningkat.
80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan subsidi pupuk diukur dalam empat indikator tepat, yaitu harga,
tempat, waktu, dan jumlah. Berdasarkan keempat indikator tersebut maka
kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dikarenakan masih
adanya masalah pada mekanisme distribusi pupuk pada Lini IV (kios resmi).
2. Berdasarkan hasil regresi permintaan pupuk urea dapat diperoleh bahwa
variabel harga urea berpengaruh negatif dan sifnifikan terhadap permintaan
urea sehingga apabila terjadi peningkatan pada harga urea maka akan terjadi
penurunan terhadap permintaan pupuk urea. Variabel harga TSP, harga padi,
dan luas lahan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap
permintaan pupuk urea.
3. Berdasarkan hasil regresi produksi padi dapat diperoleh bahwa variabel luas
lahan, pupuk, tenaga kerja, benih atau bibit, dummy benih, dan dummy
efektivitas harga mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap
produksi padi. Pengaruh positif setiap variabel terhadap produksi padi ini
berarti bahwa apabila terdapat kenaikan setiap variabel sebesar 1 persen maka
akan meningkatkan produksi padi dengan persentase sebesar koefisien
masing-masing variabel dalam persamaan regresi. Hal ini berarti bahwa
semakin efektif kebijakan subsidi pupuk maka produksi padi juga akan
semakin meningkat.
81
6.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka saran yang dapat
direkomendasikan untuk peningkatan efektivitas kebijakan subsidi pupuk adalah
sebagai berikut:
1. Pemerintah harus memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi pupuk karena
subsidi pupuk masih belum dikategorikan efektif. Perbaikan ini terutama
dalam kaitannya dengan tepat harga, jumlah, dan tempat dimana sebaiknya
pemberian subsidi pupuk lebih dekat kepada sasaran atau target penerima
subsidi pupuk. Perbaikan mekanisme penyaluran penting terkait adanya harga
yang tidak sesuai dengan HET dikarenakan masih adanya masalah pada Lini
IV (kios resmi) dimana masih berada di luar desa sehingga membutuhkan
biaya transportasi. Sebaiknya kios resmi berada di dalam desa sehingga
mempermudah petani untuk membeli pupuk bersubsidi. Selain itu, juga
diperlukan adanya pemberitahuan kepada petani tentang keberadaan kios
resmi secara jelas sehingga petani bisa membedakan antara kios resmi pupuk
bersubsidi dengan kios pupuk yang tidak bersubsidi.
2. Kebijakan subsidi pupuk masih harus dilaksanakan karena berdasarkan hasil
penelitian bahwa pupuk mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap produksi padi. Selain itu, adanya hubungan negatif dan signifikan
antara harga pupuk dengan permintaan pupuk yang mengindikasikan bahwa
masih diperlukan kebijakan subsidi pupuk dengan penentuan HET pupuk
agar harga pupuk masih dapat dijangkau oleh petani. Kebijakan subsidi
pupuk juga harus disertai dengan peran dinas pertanian dalam memberikan
82
pembinaan tentang pemupukan yang berimbang agar dapat meningkatkan
penggunaan pupuk secara optimal. Selain itu, faktor-faktor lain seperti tenaga
kerja, lahan, dan benih juga harus lebih diperhatikan kualitasnya oleh petani
agar faktor-faktor tersebut dapat memberikan peningkatan terhadap produksi
padi.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI). 2011. Harga Eceran Tertinggi Pupuk
di Indonesia 1988-2010. APPI, Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor. 2011. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005. BPS, Kabupaten Bogor.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat. 2010. Jawa Barat dalam Angka
2010. BPS, Jakarta.
Badan Pusat Statisitik (BPS). 2010. Nota Keuangan dan APBN 2010. BPS,
Jakarta.
Badan Pusat Statisitik (BPS). 2010. Kabupaten Bogor dalam Angka 2010. BPS,
Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Struktur Ongkos Usaha Tani Padi 2008. BPS,
Jakarta.
Cholid, I. 2011. “Penyelewengan Pupuk Bersubsidi Diungkap Pattiro” [Jurnal
Berita Online]. http://jurnalberita.com/201104/penyelewengan-pupuk-
bersubsidi-diungkap-pattiro.htm [26 April 2011]
Daniel, M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara, Jakarta.
Darwis, V. dan A. R. Nurmanaf. 2004. Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga dan
Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi,
22: 63-73.
Darwis, V. dan C. Muslim. 2007. Revitalisasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk
dalam Mendukung Ketersediaan Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 15: 141-168.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2010. Data Pokok APBN 2005-2010.
Departemen Keuangan, Jakarta.
Departemen Perindustrian Kabupaten Bogor. 2007. Laporan Akhir Kajian
Pengembangan Kompetensi Inti Daerah. PT. Multi Area Conindo,
Kabupaten Bogor.
Departemen Pertanian. 2010. Data Perkembangan Luas Panen, Produktivitas,
dan Produksi Padi Nasional. Departemen Pertanian, Jakarta.
84
Departemen Pertanian. 2010. Sasaran Luas Tanam Padi Sawah Kabupaten Bogor
Tahun 2010. Departemen Pertanian, Jakarta.
Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. 2010. Keputusan Bupati Bogor. Dinas
Pertanian, Kabupaten Bogor.
Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. 2010. Peraturan Bupati Bogor Nomor 13
Tahun 2010. Dinas Pertanian, Kabupaten Bogor.
Firdaus, M., L. M. Baga, dan P. Pratiwi. 2008. Swasembada Beras dari Masa ke
Masa (Telaah efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional).
IPB Press, Bogor.
Handoko, R. dan P. Patriadi. 2005. “Evaluasi Kebijakan Subsidi NonBBM”.
Kajian Ekonomi dan Keuangan, 9: 42-64.
Hutagaol, P. dan A. Asmara. 2008. “Analisis Efektivitas Kebijakan Publik
Memihak Masyarakat Miskin: Studi Kasus Pelaksanaan Program Raskin
di Provinsi Jawa Barat pada Tahun 2007”. Jurnal Agro Ekonomi, 26:
145-165.
Ilham, N. 1999. “Dampak Kebijakan Tataniaga Pupuk terhadap Peran Koperasi
Unit Desa sebagai Distributor Pupuk” [Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian]. http://ejournal.ac.id/abstrak%285%-29%-
20soca-ilham-dampak.pdf [23 Januari 2011]
Mahananto, S. S., dan C. F. Ananda. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi Padi Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa
Tengah. Wacana, 12: 179-191.
Nicholson, W. 1991. Teori Mikroekonomi. Edisi ke-5. Daniel Wirajaya
[penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.
Purwono dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.
Penebar Swadaya, Depok.
Rachman, B. 2009. “Kebijakan Subsidi Pupuk: Tinjauan terhadap Aspek Teknis,
Manajemen, dan Regulasi”. Analisis Kebijakan Pertanian, 7: 131-146.
Sari, Y. 2007. Analisis Efektivitas dan Efisiensi Distribusi Raskin [skripsi].
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sugiarto. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Produksi Padi
Sawah di Kabupaten Dharmasraya [tesis]. Program Pasca Sarjana,
Universitas Andalas, Padang.
85
Susila, W. R. 2010. “Kebijakan Subsidi Pupuk: Ditinjau Kembali”. Jurnal
Litbang Pertanian, 29: 43-49.
Syafa’at, et al. (2007). Kaji Ulang Sistem Subsidi dan Distribusi Pupuk [Makalah
Seminar]. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Widjajanta, B. dan A. Widyaningsih. 2007. Ekonomi dan Akuntansi: Mengasah
Kemampuan Ekonomi. Citra Praya, Bandung.
Yessi, D. 2009. Mekanisme Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi dan
Pengaruhnya terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pupuk Petani Padi di
Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam [skripsi]. Fakultas Pertanian,
Universitas Andalas, Padang.
LAMPIRAN
87
Lampiran 1
KUESIONER
ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI (STUDI KASUS :
KABUPATEN BOGOR)
Kabupaten : Bogor
Kecamatan :
Desa :
Dusun :
RT/RW :
Nama Responden :
Alamat Lengkap rumah tangga :
Nama Pewawancara :
Tanggal Wawancara :
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
88
BAGIAN II :KARAKTERISTIK PERTANIAN RESPONDEN
1. Apakah bapak atau ibu sebagai pencari nafkah utama keluarga?
(Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak)
2. Apakah keluarga bapak atau ibu bekerja di sawah atau kebun?
(Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak)
3. Apakah sawah atau kebun miliki bapak atau ibu sendiri?
(Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak)
4. Jika ya, berapakah luas sawah milik bapak atau ibu?
(Jawaban : ……………. ha)
V
V
BAGIAN I : DATA RESPONDEN
1. Nama Responden : …………………………………………
2. Pekerjaan : …………………………………………
3. Umur : …………………………………………
4. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
5. Pendidikan Formal Terakhir : SD
SMP
SMA
Lainnya (……………)
Tanda tangan responden
(…………………………)
*Pilih salah satu dengan menggunakan tanda cek
89
Jika tidak, milik siapakah sawah milik bapak atau ibu?
(Jawaban : 1=milik keluarga, 2=milik majikan, 3=Lainnya …………)
5. Bagaimanakah karakteristik sawah bapak atau ibu?
Jelaskan pada tabel berikut ini (selama periode satu tahun terakhir)
Jenis Lahan Sawah
(Hektar)
Tegalan
(Hektar)
Lainnya
(Hektar)
1. Milik sendiri
a. Dikerjakan
Sendiri
b. Disewakan
c. Digadaikan
d. Lainnya
(…………....)
2. Garapan
a. Sewa
b. Bagi hasil
c. Lainnya
(……………)
6. Apa jenis komoditas yang ditanam pada lahan bapak atau ibu?
Jawaban : 1= Padi
2=Jagung
3=Umbi-umbian
4=Sayuran
5=Lainnya (…………………)
90
7. Berapakah hasil produksi yang ditanam bapak atau ibu (selama periode satu
tahun terakhir)?
Komoditas Jumlah
(Ku)
Nilai
(Rp)
Padi
DIJUAL
DIKONSUMSI
TOTAL
8. Berapakah biaya produksi bapak atau ibu (selama periode satu tahun
terakhir)?
Input Produksi Jumlah
(Ku)
Nilai
(Rp)
a. Bibit
b. Pupuk
c. Sewa alat pertanian
d. Biaya Pengairan
e. Pemeliharaan
alat/sarana
f. Biaya pengangkutan
g. Upah buruh
h. Obat-obatan
i. Biaya lain
TOTAL
9. Bibit padi jenis apakah yang biasa digunakan untuk produksi?
Jawaban :
91
10. Bagaimanakah pengaruh penggunaan bibit jenis tersebut terhadap
produktivitas padi?
Jawaban : 1=meningkat, 2=menurun
11. Berapakah jumlah bibit yang disebar pada setiap luas lahan yang dimilki
bapak atau ibu?
Jawaban : jumlah bibit ................... untuk luas lahan ..........................m2/ha
menghasilkan produksi padi ............................... ton (atau satuan
lain)
12. Berapakah jumlah tenaga kerja pada setiap lahan?
Jawaban :
Tahap Penyiapan lahan Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Pemilihan Benih Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Penyemaian Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Penanaman Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Pemupukan Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Pemeliharaan Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Panen Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
*untuk luas lahan ............ m2/ha
92
BAGIAN III : PELAKSANAAN PROGRAM SUBSIDI PUPUK
Persepsi Responden (Gambaran Umum Subsidi Pupuk)
1. Apakah bapak/ibu tahu tentang adanya program subsidi pupuk?
(Jawaban : 1=ya, 2=tidak)
2. Jika ya, darimanakah informasi ini diperoleh?
Jawaban :
3. Bapakah bapak/ibu tahu sejak kapan program subsidi pupuk ada?
Jawaban : 1= tidak
2= tahu, sejak tahun .....
4. Sejak kapan keluarga Bapak/Ibu memperoleh subsidi pupuk?
(Jawaban: tahun ……….)
5. Apakah bapak/ibu mengetahui mekanisme penyaluran dari awal sampai
pupuk diterima bapak/ibu?
(Jawaban : 1=ya, 2=tidak)
6. Jika ya, bagaimanakah mekanisme penyaluran subsidi pupuk sampai pupuk
diterima bapak/ibu?
Jawaban :
7. Apakah kesulitan dalam memperoleh pupuk bersubsidi (dalam hal
mekanisme penyaluran, harga yang ditetapkan, aturan pembelian, dll)?
Jawaban :
93
Evaluasi Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk Berdasarkan Indikatornya
8. Coba Bapak/Ibu jelaskan hal-hal berikut mengenai penerimaan pupuk
bersubsidi oleh keluarga Bapak/Ibu pada tahun 2009 s/d 2011 ini:
Bulan Jumlah
diterima
Harga
Pembaya
ran
Jenis
yang
diterima
(1)
Waktu
Penerimaan
(2)
Tempat
Pendistribusi
an
(3)
Musim
tanam I
tahun 2010
Musim
tanam II
tahun 2010
Musim
tanam III
tahun 2010
Musim
tanam I
tahun 2011
Keterangan:
1) 1=urea; 2=ZA; 3=TSP/SP36, 4=NPK; 5=Organik
2) Diisi: 1 = bila diberikan pada bulan bersangkutan; dan 0 = lainnya
3) 1=kantor desa; 2=RW; 3=RT; 4=lainnya, sebutkan ………….
9. Berapakah rata-rata jumlah pupuk bersubsidi yang diterima bapak atau ibu
setiap musim tanamnya?
Jawaban : ....................................... kg
10. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat mencukupi kebutuhan pupuk
untuk produksi padi bapak/ibu?
Jawaban : 1 = cukup membantu kebutuhan pupuk untuk produksi
2 = kurang membantu kebutuhan pupuk untuk produksi
94
11. Jika kurang, berapakah jumlah seharusnya setiap petani mendapatkan pupuk
bersubsidi setiap musim tanamnya?
Jawaban :
12. Berapa jumlah pupuk bersubsidi yang dibeli setiap satu kali periode
pembelian?
Jawaban : Jenis pupuk:
Urea ................. kg
ZA ................. kg
SP36 ................. kg
NPK .................. kg
Organik .................. kg
13. Berapakah dosis penggunaan pupuk bersubsidi setiap luas lahan?
Jawaban : Jumlah .................. kg luas lahan .................. ha
14. Bagaimanakah cara pembayaran dalam pembelian pupuk bersubsidi?
Jawaban : 1= tunai
2= non tunai (dalam bentuk .............. )
15. Jika dilakukan pembayaran dengan non tunai adakah imbalan terhadap
penjual (misal bunga)?
Jawaban : 1= tidak
2= ada, apabila bunga sebesar ................., bentuk lainnya ..............
16. Apakah bapak/ibu mengetahui HET pupuk bersubsidi yang ditetapkan
pemerintah?
Jawaban : 1 = ya, 2= tidak
95
17. Jika ya, apakah harga yang ditetapkan sudah sesuai dengan yang diharapkan
bapak/ibu?
Jawaban : 1=sudah, 2=belum
18. Jika belum, berapakah harga seharusnya yang diperoleh bapak/ibu?
Jawaban : ……………(Rp/kg)
19. Apakah setiap perubahan harga pupuk mempengaruhi keputusan
pembelian/penggunaan pupuk untuk produksi padi?
Jawaban : 1= ya, 2= tidak
Jika ya, alasan :
Jika tidak, alasan :
20. Apakah jenis pupuk yang ditetapkan dalam subsidi pupuk sudah sesuai
dengan jenis pupuk yang diinginkan bapak/ibu?
(Jawaban : 1=sudah, 2=belum)
21. Jika belum, jenis pupuk apa yang perlu ditambahkan dalam subsidi pupuk?
Jawaban :
22. Jenis pupuk apakah yang sering digunakan bapak/ibu dalam setiap produksi?
Jawaban :
23. Mengapa menggunakan pupuk dengan jenis tersebut?
Jawaban :
24. Apakah waktu penyerahan pupuk bersubsidi selalu ada saat dibutuhkan?
Jawaban :
25. Kapan biasanya bapak/ibu membeli pupuk bersubsidi?
Jawaban :
96
26. Apakah pernah terjadi adanya kelangkaan pupuk?kapan?
Jawaban :
27. Dimanakah bapak/ibu biasa membeli pupuk bersubsidi (dalam/luar desa)?
Jawaban :
28. Apakah tempat pembelian dirasakan dekat oleh bapak/ibu?
Jawaban : 1=belum 2=sudah
29. Jika belum, dimanakah sebaiknya tempat pembelian pupuk bersubsidi?
Jawaban :
Persepsi Responden tentang Manfaat Program Subsidi Pupuk
30. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat mengurangi biaya produksi
padi bapak/ibu? Berapa besar margin/selisih dari sebelum memperoleh pupuk
bersubsidi?
Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak
Margin/selisih dari sebelumnya = …………………………………
31. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat meningkatkan produksi padi
bapak/ibu?
Jawaban :
32. Apakah bapak/ibu mengetahui anjuran-anjuran pemerintah mengenai
penggunaan pupuk yang tepat (misalnya jumlah yang tepat pada setiap luas
lahannya)?
Jawaban :
97
33. Adakah penyuluh dari dinas pertanian yang memberikan bimbingan atau
anjuran-anjuran penggunaan pupuk? Berapa kali dilakukan dalam periode
satu tahun?
Jawaban :
34. Apakah program subsidi pupuk masih perlu untuk dilaksanakan?
Jawaban : 1= ya, 2= tidak
35. Jika ya, alasan mengapa masih perlu dilakukan subsidi?
Jawaban :
1= harga pupuk non subsidi mahal
2= kebutuhan pupuk banyak
3= modal petani terbatas
4= laba produksi sedikit (harga pembelian gabah murah)
5=lainnya ...................................
*berikan tanda cek pada jawaban yang dipilih (jawaban boleh lebih dari satu)
36. Apabila adanya program subsidi pupuk dikurangi atau dicabut, apakah
berpengaruh terhadap produksi padi bapak/ibu?
Jawaban :
37. Apakah saran bapak/ibu untuk meningkatkan efektivitas penggunaan subsidi
pupuk serta kemudahan akses terhadap pupuk bersubsidi?
Jawaban :
98
Lampiran 2
Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk
Dependent Variable: LNPERMINTAANUREA
Method: Least Squares
Date: 09/13/11 Time: 05:42
Sample: 1 48
Included observations: 48 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNP-UREA -0.985849 0.981359 -1.004575 0.0907
LNP-TSP 2.104178 1.159493 1.814739 0.0765
LNP-PADI 5.039370 1.300319 3.875487 0.0004
LNLUAS 0.394968 0.101529 3.890213 0.0003
C -46.88433 17.26789 -2.715116 0.0095 R-squared 0.694425 Mean dependent var 3.937335
Adjusted R-squared 0.666000 S.D. dependent var 0.929737
S.E. of regression 0.537321 Akaike info criterion 1.693889
Sum squared resid 12.41467 Schwarz criterion 1.888805
Log likelihood -35.65333 Hannan-Quinn criter. 1.767548
F-statistic 24.42960 Durbin-Watson stat 1.954273
Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 3
Uji Asumsi Normalitas
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 -0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Series: Residuals
Sample 1 48
Observations 48
Mean 9.06e-15
Median 0.037000
Maximum 0.952980
Minimum -0.854252
Std. Dev. 0.513947
Skewness 0.037950
Kurtosis 1.981249
Jarque-Bera 2.087231
Probability 0.352179
99
Lampiran 4
Uji Asumsi Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: White F-statistic 2.729406 Prob. F(14,33) 0.0088
Obs*R-squared 25.75646 Prob. Chi-Square(14) 0.0278
Scaled explained SS 10.14121 Prob. Chi-Square(14) 0.7518
Lampiran 5
Uji Asumsi Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 2.126164 Prob. F(2,41) 0.1323
Obs*R-squared 4.510524 Prob. Chi-Square(2) 0.1048
Lampiran 6
Uji Korelasi Parsial antar Peubah Bebas
LND-UREA LNP-UREA LNP-TSP LNP-PADI LNLUAS
LND-UREA 1 -0.39206154 0.4180827 0.68127426 0.738698
LNP-UREA -0.39206154 1 -0.204103 -0.33575119 -0.3082
LNP-TSP 0.418082746 -0.20410325 1 0.13438414 0.411477
LNP-PADI 0.68127426 -0.33575119 0.1343841 1 0.534872
LNLUAS 0.738697579 -0.30820264 0.411477 0.53487191 1
100
Lampiran 7
Hasil Estimasi Produksi Padi
Dependent Variable: PRODUKSI
Method: Least Squares
Date: 09/11/11 Time: 21:07
Sample: 1 120
Included observations: 120 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNLUASLAHAN 0.361690 0.055624 6.502434 0.0000
LNPUPUK 0.080678 0.043721 1.845313 0.0676
LNTENAGAKERJA 0.133148 0.097207 1.369739 0.0935
LNBENIH 0.226735 0.074026 3.062905 0.0027
DUMMY1 0.264189 0.065976 4.004289 0.0001
DUMMY2 0.240219 0.088508 2.714087 0.0077
C 2.500931 0.304090 8.224320 0.0000 R-squared 0.852096 Mean dependent var 7.031870
Adjusted R-squared 0.844243 S.D. dependent var 0.811662
S.E. of regression 0.320331 Akaike info criterion 0.617638
Sum squared resid 11.59514 Schwarz criterion 0.780242
Log likelihood -30.05829 Hannan-Quinn criter. 0.683672
F-statistic 108.5018 Durbin-Watson stat 1.675162
Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 8
Uji Asumsi Normalitas
0
4
8
12
16
20
24
-1.0 -0.5 -0.0 0.5
Series: Residuals
Sample 1 120
Observations 120
Mean 1.72e-15
Median 0.005056
Maximum 0.853060
Minimum -1.127674
Std. Dev. 0.312151
Skewness -0.461143
Kurtosis 4.384982
Jarque-Bera 13.84393
Probability 0.000986
101
Lampiran 9
Uji Asumsi Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: Harvey F-statistic 0.827023 Prob. F(6,113) 0.5513
Obs*R-squared 5.047861 Prob. Chi-Square(6) 0.5377
Scaled explained SS 7.327895 Prob. Chi-Square(6) 0.2916
Lampiran 10
Uji Asumsi Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 1.999457 Prob. F(2,111) 0.1403
Obs*R-squared 4.172820 Prob. Chi-Square(2) 0.1241
Lampiran 11
Uji Korelasi Parsial antar Peubah Bebas
PRODUKSI LAHAN PUPUK BURUH BENIH DUMMY1 DUMMY2
PRODUKSI 1 0.872969 0.683456 0.742624 0.804215 0.54009 0.653886
LAHAN 0.8729688 1 0.64655 0.780896 0.768276 0.410316 0.58084
PUPUK 0.6834556 0.64655 1 0.541682 0.655486 0.354398 0.506183
BURUH 0.7426238 0.780896 0.541682 1 0.684778 0.350684 0.489757
BENIH 0.8042154 0.768276 0.655486 0.684778 1 0.413408 0.581859
DUMMY1 0.5400903 0.410316 0.354398 0.350684 0.413408 1 0.369381
DUMMY2 0.6538857 0.58084 0.506183 0.489757 0.581859 0.369381 1
102
Lampiran 12
Data Responden
No. Luas Lahan (m2) Benih
Pupuk (kg) Produksi (kg)
Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata
1 10000 Ciherang 25 250 5500 2000 4500 4000
2 4000 Ciherang 15 125 1750 750 2000 1500
3 5000 Ciherang 15 45 2500 1000 2500 2000
4 10000 Ciherang 18 20 2450 1050 2800 2100
5 4000 Ciherang 15 250 2175 875 2200 1750
6 10000 Ciherang 25 200 2150 850 2100 1700
7 10000 Ciherang 25 250 1200 500 1300 1000
8 5000 Inpari 5 50 1250 500 1250 1000
9 4000 Ciherang 15 150 2075 875 2300 1750
10 4000 Inpari 10 220 1600 560 1200 1120
11 10000 Ciherang 20 350 4800 1800 4200 3600
12 2000 Inpari 5 100 1260 420 840 840
13 5000 Inpari 10 90 1150 450 1100 900
14 3000 Inpari 10 100 1700 700 1800 1400
15 20000 Ciherang 30 300 8500 3000 6500 6000
16 1500 Inpari 5 45 700 250 550 500
17 3000 Inpari 5 50 1150 400 850 800
18 10000 Ciherang 15 200 2350 850 1900 1700
103
No. Luas Lahan (m2) Benih
Pupuk (kg) Produksi (kg)
Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata
19 3000 Ciherang 10 80 1900 650 1300 1300
20 3500 Ciherang 10 120 1750 650 1500 1300
21 4000 Ciherang 10 160 2800 1000 2200 2000
22 3000 Ciherang 10 120 1700 600 1300 1200
23 20000 Ciherang 50 800 11500 4000 8500 8000
24 5000 Ciherang 15 200 3400 1200 2600 2400
25 5000 Ciherang 15 200 2600 900 1900 1800
26 20000 Ciherang 50 800 11750 4250 9500 8500
27 4500 Ciherang 18 200 2775 975 2100 1950
28 20000 Ciherang 60 800 11500 4000 8500 8000
29 10000 Ciherang 40 300 7500 3000 7500 6000
30 5000 Ciherang 15 250 1600 600 1400 1200
31 4000 Inpari 10 100 950 350 800 700
32 10000 Ciherang 35 150 6950 2450 5300 4900
33 4500 Ciherang 10 150 1700 600 1300 1200
34 20000 Ciherang 12 200 4250 1750 4500 3500
35 4500 Ciherang 15 100 2150 700 1350 1400
36 6000 Ciherang 20 450 1900 700 1600 1400
104
No. Luas Lahan (m2) Benih
Pupuk (kg) Produksi (kg)
Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata
37 10000 Ciherang 20 150 2850 1050 2400 2100
38 1500 Inpari 10 50 400 140 300 280
39 3000 Ciherang 15 75 1500 600 1500 1200
40 3000 Ciherang 10 150 2300 850 2100 1750
41 40000 Ciherang 60 1000 10800 3700 8000 7500
42 22000 Ciherang 70 700 8200 3200 7500 6300
43 1500 Inpari 5 75 765 260 550 525
44 12000 Ciherang 20 350 2700 1100 2500 2100
45 3000 Ciherang 10 125 1400 550 1200 1050
46 1500 Inpari 7 25 940 300 650 630
47 6000 Ciherang 15 305 2500 900 2000 1800
48 12000 Ciherang 40 500 6140 2300 5000 4480
49 3000 Ciherang 5 30 1200 420 900 840
50 20000 Ciherang 50 250 10500 3500 10000 8000
51 4500 Ciherang 15 150 1600 600 1400 1200
52 3000 Ciherang 10 150 1900 700 1600 1400
53 3000 Ciherang 5 320 1400 550 1200 1050
54 5000 Ciherang 10 250 2300 800 1700 1600
105
No. Luas Lahan (m2) Benih
Pupuk (kg) Produksi (kg)
Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata
55 10000 Ciherang 20 115 2850 1050 2400 2100
56 6000 Ciherang 10 150 1900 700 1600 1400
57 750 Intani 2 5 30 550 260 450 420
58 14000 Ciherang 15 150 1900 700 1600 1400
59 10000 Intani 2 15 410 2900 1100 2300 2100
60 1000 Intani 2 10 50 650 300 550 500
61 3000 Intani 2 10 270 - - 500 500
62 5000 Intani 2 8 30 - - 500 500
63 2000 Intani 2 15 75 - - 800 800
64 2000 Intani 2 10 100 - - 800 800
65 1200 Intani 2 15 60 - - 800 800
66 2000 Intani 2 14 55 - - 700 700
67 2500 Intani 2 15 100 - - 800 800
68 2000 Intani 2 5 100 - - 500 500
69 1500 Intani 2 5 70 - - 600 600
70 1000 Intani 2 5 55 - - 500 500
71 1000 Intani 2 5 30 - - 600 600
72 1500 Intani 2 5 100 - - 800 800
106
No. Luas Lahan (m2) Benih
Pupuk (kg) Produksi (kg)
Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata
73 5000 Ciherang 15 150 - - 1300 1300
74 1000 Intani 2 10 50 - - 800 800
75 5000 Intani 2 15 200 - - 1200 1200
76 4000 Intani 2 8 125 - - 1000 1000
77 1800 Intani 2 5 180 - - 400 400
78 500 Intani 2 10 34 - - 400 400
79 2000 Intani 2 8 590 - - 800 800
80 5000 Ciherang 10 400 - - 1300 1300
81 2000 Intani 2 8 20 - - 700 700
82 2000 Intani 2 10 200 - - 1000 1000
83 1000 Intani 2 5 125 - - 750 750
84 2000 Intani 2 10 60 - - 800 800
85 1500 Intani 2 5 20 - - 500 500
86 1800 Intani 2 10 670 - - 600 600
87 3000 Ciherang 10 35 - - 1000 1000
88 5000 Intani 2 15 250 - - 1600 1600
89 1000 GH (Inpari 8) 5 40 - - 500 500
90 200 Ciherang 5 30 - - 700 700
107
No. Luas Lahan (m2) Benih
Pupuk (kg) Produksi (kg)
Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata
91 5000 GH (Inpari 8) 8 40 - - 2000 2000
92 3000 GH (Inpari 8) 6 50 - - 750 750
93 2500 GH (Inpari 8) 10 50 - - 600 600
94 5000 Ciherang 10 100 - - 1000 1000
95 7000 Ciherang 12 200 - - 1500 1500
96 50 Ciherang 5 100 - - 100 100
97 3000 GH (Inpari 8) 10 150 - - 1000 1000
98 2000 GH (Inpari 8) 5 20 - - 300 300
99 500 GH (Inpari 8) 4 23 - - 300 300
100 2000 GH (Inpari 8) 10 80 - - 500 500
101 3000 GH (Inpari 8) 15 150 - - 800 800
102 5000 GH (Inpari 8) 10 175 - - 1100 1100
103 3700 GH (Inpari 8) 16 150 - - 1000 1000
104 15000 GH (Inpari 8) 20 700 - - 5000 5000
105 15000 GH (Inpari 8) 18 1000 - - 4480 4480
106 4000 GH (Inpari 8) 10 100 - - 1000 1000
107 500 GH (Inpari 8) 2 30 - - 350 350
108 6000 GH (Inpari 8) 10 100 - - 1000 1000
108
No. Luas Lahan (m2) Benih
Pupuk (kg) Produksi (kg)
Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata
109 3000 GH (Inpari 8) 8 50 - - 750 750
110 5000 GH (Inpari 8) 30 300 - - 1100 1100
111 500 GH (Inpari 8) 2 30 - - 300 300
112 3000 GH (Inpari 8) 30 50 - - 800 800
113 5000 GH (Inpari 8) 40 200 - - 1500 1500
114 3000 GH (Inpari 8) 20 105 - - 1000 1000
115 700 Ciherang 5 50 - - 500 500
116 1000 GH (Inpari 8) 11 70 - - 500 500
117 2000 GH (Inpari 8) 11 200 - - 700 700
118 1000 GH (Inpari 8) 5 100 - - 500 500
119 700 Ciherang 5 50 - - 500 500
120 1000 Ciherang 5 70 - - 700 700