analisis agroekosistem dan pengambilan keputusan tanaman kelapa

Upload: muditateach

Post on 17-Jul-2015

436 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

I W. Mudita (2004)

ANALISIS AGROEKOSISTEM SERTA PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN EVALUASI PENGENDALIAN: Tanaman Kelapa1I W. Mudita Dosen pada PS Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Undana, Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang 85001, NTT, e-mail: [email protected] A. Apa Itu Analisis Agroekosistem? Apa itu agroekosistem telah diuraikan pada materi mengenai metode pemantauan agroekosistem serta peramalan hama dan penyakit sehingga tidak perlu lagi diuraikan pada materi ini. Bila diperlukan, pelajari kembali materi tersebut untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai apa yang dimaksud agroekosistem. Istilah analisis agroekosistem sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda. Dalam kaitan dengan sistem usahatani misalnya, analisis agroekosistem dilakukan terutama untuk menggambarkan keadaan usahatani di suatu wilayah. Dalam kaitan dengan pengamatan perdesaan secara singkat analisis agroekosistem dilakukan dengan menggambarkan keadaan agroekosistem dalam bentuk gambar transek. Dalam kaitan dengan PHT analisis agroekosistem berkaitan dengan penghitungan nilai produksi, penghitungan biaya pengendalian, penghitungan padat populasi hama atau intensitas penyakit, dan penentuan kemampuan merusak suatu hama atau penyakit. Pada pihak lain, pengambilan keputusan pengendalian berkaitan dengan apa yang dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindakan pengendalian hama tertentu. Misalnya, jika harus dilakukan penyemprotan insektisida, apa yang menjadi alasannya. Pengambilan keputusan pengendalian sebenarnya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan analisis agroekosistem sebab hasil analisis agroekosistem menjadi dasar pengambilan keputusan. Selanjutnya, bila telah dilakukan suatu tindakan pengendalian, perlu diketahui apakah tindakan yang dilakukan memberikan hasil yang efektif dan apakah menimbulkan dampak lain. B. Mengapa Perlu Analisis Agroekosistem? Analisis agroekosistem perlu dilakukan sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian. Data hasil pemantauan agroekosistem pada dasarnya merupakan data mentah yang jumlahnya banyak dan belum menunjukkan suatu pola tertentu. Data yang jumlahnya banyak dan membingungkan tersebut perlu diringkaskan untuk menghitung suatu nilai tertentu yang dapat dijadikan patokan pengambilan keputusan pengendalian. Misalnya dari hasil pemantauan diperoleh data padat populasi hama, data jenis dan padat populasi musuh alami, data biaya pengendalian, data produksi tanaman, data kehilangan hasil tanaman, dan sebagainya. Data yang sedemikian banyak ini perlu ditabulasikan dan digunakan untuk menghitung suatu besaran tertentu yang lebih sederhana. Besaran yang lebih sederhana itulah nantinya yang akan digunakan sebagai patokan pengambilan keputusan pengendalian. C. Bagaimana Cara Melakukan Analisis Agroekosistem? Cara melakukan analisis agroekosistem tergantung pada apa yang dianalisis dan untuk apa analisis dilakukan. Berikut akan diuraikan cara melakukan analisis: (1)1) Materi Pelatihan Petugas Sekolah Lapang Pengelolaan Hama Terpadu Tanaman Kakao dan Kelapa yang Diselenggarakan Dinas Perkebunan Provinsi NTT di Kupang pada 27 September-9 Oktober 2004

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

produksi dan harga hasil dalam keadaan tanpa hama dan dalam keadaan ada hama, (2) nilai kehilangan hasil, (3) biaya pengendalian, (4) padat populasi hama dan musuh alami, dan (5) dan intensitas kerusakan tanaman karena serangan hama dan intensitas penyakit. Analisis agroekosistem selalu dimulai dengan mentabulasi data hasil pemantauan agroekosistem. Untuk mempermudah dan mempercepat, tabulasi data sebaiknya dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan program aplikasi tabel lajur, misalnya Excel. Penggunaan program aplikasi tabel lajur akan mempercepat berbagai perhitungan yang diperlukan, terutama perhitungan matematika seperti penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian, serta perhitungan statistika seperti penentuan nilai rata-rata dari banyak satuan pemantauan. Data produksi dan harga hasil diperoleh dari wawancara dengan petani sebagai satuan. Data produksi terdiri atas produksi dalam keadaan tanpa hama atau penyakit, sedangkan data produksi dalam keadaan ada hama atau penyakit dapat dibedakan menjadi keadaan hama atau penyakit ringan dan keadaan hama dan penyakit berat. Data harga diperoleh dari wawancara dengan petani dan dari pedagang. Data yang diperoleh perlu dibakukan dengan menggunakan satuan yang sama, misalnya produksi dalam kg/ha/satuan waktu dan harga hasil dalam Rp/kg/satuan waktu. Penghitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Produksi. Produksi dihitung sebagai hasil kali antara jumlah hasil dari sekali panen dikalikan dngan frekuensi panen dalam sebulan dan hasilnya dibagi dengan luas kebun. Penghitungan produksi dilakukan untuk data produksi dalam keadaan ada hama dan produksi dalam keadaan tanpa hama. Data produksi dalam keadaan ada hama dihitung untuk keadaan ada hama sebelum dilakukan pengendalian. Bila dalam satu hamparan masih terdapat kebun yang belum dikendalikan maka data produksi dalam keadaan ada hama sebelum dikendalikan dapat diperoleh melalui pengamatan. Bila seluruh kebun dalam hamparan telah dikendalikan maka data produksi dalam keadaan hama sebelum dikendalikan diperoleh dengan mengalikan data produksi dalam keadaan tanpa hama setelah pengendalian dengan faktor koreksi pengendalian. Data produksi dalam keadaan tanpa hama dapat diperoleh dengan cara mengalikan data produksi dalam keadaan ada hama sebelum dikendalikan dikalikan dengan faktor koreksi serangan hama. Kedua faktor koreksi diperoleh melalui wawancara dengan petani. 2) Harga hasil. Harga hasil dihitung sebagai jumlah panen dalam sebulan dikalikan dengan harga hasil yang berlaku pada bulan yang bersangkutan. Penghitungan harga hasil dilakukan untuk harga hasil produksi dalam keadaan ada hama dan produksi dalam keadaan tanpa hama. Kehilangan hasil dihitung sebagai selisih jumlah produksi antara keadaan tanpa hama dengan keadaan ada hama. Kehilangan hasil terdiri atas kehilangan hasil secara kuantitas kuantitas atau pengurangan jumlah hasil dan kehilangan hasil secara kualitas atau penurunan mutu hasil. Nilai kehilangan hasil dihitung sebagai hasil kali antara kehilangan hasil dengan harga hasil. Dalam hal kehilangan hasil berupa penurunan mutu hasil maka perkalian dilakukan terhadap jumlah hasil dengan mutu tertentu yang masing-masing harganya berbeda. Biaya pengendalian dihitung untuk jangka waktu yang sama dengan yang digunakan untuk menghitung produksi dan harga hasil, misalnya selama 1 bulan. Biaya pengendalian terdiri atas satuan biaya sebagai berikut: 1) Biaya bahan habis pakai. Biaya habis pakai tergantung pada metode dan teknik pengendalian yang digunakan. Bila digunakan lebih dari satu metode atau teknik pengendalian maka harus dihitung biaya bahan untuk setiap metode dan teknik pengendalian. Misalkan pengendalian dilakukan dengan menggunakan insektisida dengan teknik injeksi batang menggunakan mesin bor maka biaya bahan meliputi biaya insektisida dan biaya bahan bakar mesin bor. Bila insektisida diaplikasikan dengan teknik penyemprotan manual maka biaya bahan terdiri atas biaya pestisida dan biaya air untuk mencampur pestisida. Biaya setiap bahan pengendalian dalam

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

sebulan dihitung sebagai hasil kali antara volume bahan yang digunakan dalam sekali aplikasi dikalikan dengan frekuensi aplikasi dalam sebulan dan dikalikan dengan harga setiap volume bahan yang dihabiskan. 2) Biaya alat tidak habis pakai. Biaya peralatan tidak habis pakai tergantung pada kepemilikan alat. Bila alat disewa dari pihak lain maka yang dihitung sebagai biaya alat adalah harga sewa. Biaya sewa dihitung sebagai biaya sewa harian dikalikan dengan jumlah hari sewa dalam sekali aplikasi dan dikalikan dengan frekuensi aplikasi dalam sebulan. Bila alat adalah milik petani sendiri maka yang dihitung sebagai biaya alat adalah biaya penyusutan alat untuk sekali pakai sebagai harga alat dibagi dengan hasil kali antara umur pakai alat dan frekuensi pemakan selama umur tersebut. 3) Biaya tenaga kerja. Biaya tenaga kerja bulanan dihitung sebagai hasil kali antara jumlah hari kerja per aplikasi dikali dengan upah harian dan dengan frekuensi aplikasi dalam sebulan. Ketiga komponen biaya tersebut kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan luas kebun untuk memperoleh biaya pengendalian per luas kebun. Padat populasi hama dan musuh alami ditentukan untuk keadaan tanpa pengendalian dan dengan pengendalian. Bila seluruh tanaman dalam hampran telah dikendalikan maka padat populasi sebelum pengendalian perlu diduga dengan menggunakan data wawancara. Bila terdapat kebun yang belum dikendalikan dalam satu hamparan maka pengamatan dilakukan pada kebun yang belum dan yang sudah dikendalikan. Untuk setiap jenis hama dan musuh alami padat populasi rata-rata dihitung dengan menjumlahkan padat populasi dari seluruh satuan pengamatan dan kemudian hasilnya dibagi dengan jumlah satuan pengamatan. Bila pengamatan dilakukan pada kebun yang belum dan sudah dikendalikan maka penghitungan padat populasi rata-rata harus dilakukan secara terpisah. Bila seluruh kebun dalam hamparan telah dikendalikan maka padat populasi sebelum pengendalian ditentukan dengan mengalikan padat populasi rata-rata setelah pengendalian dengan suatu faktor koreksi. Faktor koreksi diperoleh dari wawancara dengan petani dengan cara menanyakan berapa kali lebih banyak padat populasi hama sebelum pengendalian. Penghitungan intensitas kerusakan karena serangan hama maupun intensitas penyakit yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah bagian yang rusak dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: i=

n rusak ntotal

dengan keterangan: i=proporsi intensitas kerusakan karena serangan hama atau intensitas penyakit untuk satu satuan pengamatan, nrusak=jumlah organ rusak, dan ntotal=jumlah selueuh bagian dalam satu satuan pengamatan. Intensitas yang diperoleh dari setiap satuan pengamatan kemudian dihitung nilai rata-ratanya untuk seluruh satuan pengamatan. Penghitungan intensitas kerusakan karena serangan hama maupun intensitas penyakit yang dilakukan dengan cara penentuan kisaran kerusakan dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: i=

( p * q)n

dengan keterangan: i=proporsi intensitas kerusakan karena serangan hama atau intensitas penyakit untuk satu satuan pengamatan, p=jumlah bagian satuan pengamatan dengan kisaran kerusakan tertentu, q=nilai kisaran kerusakan yang sama untuk sejumlah n gabian satuan pengamatan, dan n=jumlah bagian pengamatan dalam satu satuan pengamatan.

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

Penghitungan intensitas kerusakan karena serangan hama maupun intensitas penyakit yang dilakukan dengan cara pemberian skor dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: I=

(n * v)Z*N

dengan keterangan: I=skor intensitas kerusakan rata-rata, n=jumlah satuan pengamatan dengan nilai skor yang sama, v=nilai skor sama untuk sejumlah n satuan pengamatan, Z=nilai skor yang ditetapkan tertinggi, dan N=jumlah seluruh satuan pengamatan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, analisis agroekosistem dalam PHT dilakukan untuk pengambilan keputusan pengendalian hama. Salah satu dasar pengambilan keputusan pengendalian hama yang digunakan dalam PHT adalah Ambang Ekonomi (AE) sebagaimana akan diuraikan pada bagian berikut. Pada bagian ini perlu terlebih dahulu disampaikan bahwa penentuan AE dilakukan dengan pendekatan analisis ekonomi. Penentuan AE, dengan demikian, dapat dilakukan dengan menggunakan data hasil analisis agroekosistem. Hasil analisis yang diperlukan untuk penentuan AE adalah: 1) Nilai kehilangan hasil. Penghitungan nilai kehilangan hasil berdasarkan data hasil survai telah diuraikan di atas. 2) Biaya pengendalian. Penghitungan biaya pengendalian berdasarkan hasil survai telah diuraikan di atas. 3) Potensi merusak oleh setiap individu hama. Penentuan merusak oleh setiap individu hama dilakukan dengan melakukan analisis regresi antara padat populasi hama dengan intensitas kerusakan tanaman. 4) Potensi menurunkan hasil oleh setiap satuan kerusakan. Penentuan potensi menurunkan hasil setiap satuan kerusakan dilakukan dengan melakukan analisis regresi antara data intensitas kerusakan hama dengan data hasil tanaman. Bila nilai kehilangan hasil yang dapat diselamatkan dengan melakukan suatu tindakan pengendalian dinyatakan dengan B dan biaya pengendalian dinyatakan untuk menyelamatkan kehilangan hasil tersebut dengan C maka AE titik impas dihitung sebagai:

B =1 atau B=C CDalam hal ini nilai C dapat dihitung dengan mudah sebab merupakan penjumlahan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pengendalian. B dapat dihitung dengan pendekatan nilai kehilangan hasil, yaitu hasil kali antara jumlah kehilangan hasil (L) dengan harga setiap satuan hasil yang hilang (P). Pada pihak lain, L tergantung pada padat populasi hama pada saat dikendalikan, misalkan p, kemampuan merusak setiap individu hama, misalkan D, dan kemampuan setiap satuan kerusakan untuk menurunkan hasil, misalkan K. Dengan demikian maka:

P*L P* p*D*K =1 atau =1 C Cp dalam hal ini menyatakan padat populasi hama pada saat dilakukan pengendalian, yaitu padat populasi yang didefinisikan sebagai AE. Dengan demikian perhitungan untuk menentukan AE titik impas dilakukan dengan persamaan: p=AE=

C P*D*K

Analisis agroekosistem memerlukan banyak perhitungan. Perhitungan yang dilakukan secara manual tanpa bantuan alat tertentu akan sangat menyita waktu dan tenaga. Perhitungan dapat dilakukan dengan bantuan kalkulator, tetapi tetap diperlukan banyak waktu sebab langkah-langkah dan hasil perhitungan masih harus ditulis. Perhitungan akan menjadi mudah dan cepat bila dilakukan dengan bantuan Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

komputer menggunakan program aplikasi tabel lajur, misalnya dengan Excel. Pada lampiran makalah ini disajikan format penggunaan program aplikasi tabel lajur untuk melakukan berbagai perhitungan dalam analisis agroekosistem. D. Bagaimana Cara Melakukan Pengambilan Keputusan? Pengambilan keputusan pengendalian dilakukan dengan berdasarkan pada: (1) Ambang Ekonomi (2) pohon keputusan, dan (3) keputusan perilaku. Berikut akan diuraikan dasar pengambilan keputusan tersebut satu per satu dimulai dengan menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksud dengan Ambang Ekonomi (AE). AE sebenarnya adalah padat populasi hama yang membutuhkan tindakan pengendalian untuk mencegah padat populasi terus meningkat sehingga mencapai Aras Luka Ekonomi (ALE). Pada pihak lain ALE adalah padat populasi hama terendah yang dapat menyebabkan kerusakan ekonomi. Selanjutnya kerusakan ekonomi adalah intensitas kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama yang membenarkan dilakukan pengeluaran biaya untuk mengendalikan hama. Ketiga definisi ini mungkin mudah dihapalkan tetapi sebenarnya membingungkan. Oleh karena itu, untuk mudahnya, AE dihitung sebagai ALE yaitu padat populasi hama yang bila dikendalikan maka biaya pengendalian yang dikeluarkan akan bernilai sama dengan kehilangan hasil yang dapat diselamatkan dengan melakukan suatu tindakan pengendalian. Penentuan AE dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan titik impas berdasarkan data hasil wawancara dan data hasil pengamatan sebagaimana telah diuraikan pada bagian analisis agroekosistem. AE yang dihasilkan adalah AE titik impas. Pendekatan lain yang juga dapat digunakan untuk menentukan AE adalah pendekatan biaya marjinal dan pendapatan marjinal. Dengan pendekatan ini, AE yang diperoleh disebut AE marjinal yang ditetapkan sebagai padat populasi ketika biaya marjinal bernilai sama dengan pengeluaran marjinal. Penentuan AE marjinal memerlukan sejumlah asumsi yang harus dipenuhi dan caranya cukup rumit. Namun perlu dicatat bahwa penentuan AE bukan merupakan kewajiban petugas pengamat hama, penyuluh, apalagi petani. AE, baik AE titik impas maupun AE marjinal, biasanya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh instansi yang mempunyai kemampuan untuk melakukan itu. Yang perlu dilakukan oleh petugas pengamat hama, penyuluh, dan lebih-lebih petani adalah pengambilan keputusan pengendalian berdasarkan AE yang sudah ditentukan. Pengambilan keputusan berdasarkan AE dilakukan dengan membandingkan nilai padat populasi hama hasil pemantauan agroekosistem dengan nilai AE. Bila nilai padat populasi hama sama atau lebih tinggi daripada nilai AE maka diambil keputusan pengendalian, sebaliknya bila lebih rendah tidak perlu dilakukan pengendalian. Pengambilan keputusan berdasarkan pohon keputusan dilakukan langkah demi langkah dengan memilih sepasang pilihan pada setiap langkahnya. Untuk mengambil keputusan berdasarkan pohon keputusan pertama-tama perlu dibuat pohon keputusannya. Suatu pohon keputusan terdiri atas batang yang bercabang dua dan kemudian setiap cabang kembali bercabang dua. Percabangan terus dilakukan sampai tidak ada lagi pilihan yang tersedia. Langkah berikutnya adalah pemilihan salah satu cabang dari setiap percabangan pohon keputusan. Pemilihan salah satu cabang pada setiap percabangan didasarkan atas teori peluang mengenai terjadinya serangan hama. Peluang terjadinya serangan hama dapat ditentukan berdasarkan pengalaman, misalnya 0,25 terjadi serangan dan 0,75 tidak terjadi serangan. Setiap pilihan yang akan diambil kemudian diperhitungkan nilai hasil yang akan diperoleh dalam keadaan ada dan tidak ada serangan hama. Nilai hasil yang diperoleh kemudian dikalikan dengan nilai peluang terjadi dan tidak terjadi serangan hama untuk memperoleh nilai harapan hasil. Pilihan yang kemudian diambil adalah yang mempunyai nilai harapan hasil yang lebih besar. Pengambilan keputusan pengendalian hama berdasarkan keputusan perilaku semata-mata dilakukan berdasarkan atas pengalaman dan intuisi petani. Ketika

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

menghadapi serangan suatu hama petani mungkin telah mempunyai pengalaman mengenai hama yang sama sebelumnya. Bila hama yang menyerang merupakan hama baru petani mungkin membandingkan dengan pengalaman ketika hama lain yang menyerang tanamannya sebelumnya atau memperoleh informasi dari petani lain mengenai pengalamannya. Berdasarkan pengalaman tersebut dan berbagai pilihan lain yang harus diambilnya petani kemudian melakukan penilaian mengenai tidakan yang akan diambil, apakah akan mengendalikan atau tidak mengendalikan hama. E. Apa yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan? Meskipun padat populasi hama telah mencapai AE, belum tentu petani akan melakukan tindakan pengendalian hama. Hal ini karena kesediaan petani untuk mengambil keputusan pengendalian dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang penting adalah sebagai berikut: 1) Tujuan budidaya dan harga hasil. Petani yang melakukan budidaya untuk tujuan komersial akan lebih mudah mengambil keputusan pengendalian daripada petani yang melakukan budidaya untuk tujuan subsisten. Petani akan lebih bersedia melakukan pengendalian bila hasil tanaman bernilai ekonomis tinggi daripada rendah. 2) Ketersediaan biaya pengendalian. Petani yang mempunyai modal yang cukup sebagai biaya pengendalian akan lebih mudah mengambil keputusan melakukan tindakan pengendalian daripada yang kurang mempunyai modal. Kemampuan modal petani biasanya tergantung pada status kepemilikan lahan dan bila merupakan lahan hak milik tergantung pada luas lahan yang dimiki. 3) Ketersediaan tenaga kerja dalam kaitan dengan kesibukan petani. Petani biasanya tidak hanya membudidayakan satu jenis tanaman. Pada suatu waktu petani seringkali harus memprioritaskan tenaganya untuk melakukan kegiatan tertentu pada jenis tanaman tertentu pula. Dalam hal ini, pengambilan keputusan pengendalian akan lebih mudah dilakukan bila petani mempunyai cukup waktu atau bila ada tenaga kerja yang membantu. 4) Ketersediaan bahan dan alat pengendalian. Petani yang mudah memperoleh bahan dan alat yang diperlukan akan lebih mudah untuk melakukan tindakan pengendalian daripada yang tinggal di lokasi terpencil sehingga mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan dan alat yang diperlukan. 5) Pemahaman petani mengenai hama. Petani mempunyai pemahaman yang berbeda-beda mengenai hama yang menyerang tanamannya. Pemahaman terutama diperoleh melalui pengalaman, tetapi juga dapat melalui pelatihan. Petani yang mempunyai pemahaman yang lebih baik mengenai hama yang menyerang tanamannya akan lebih mudah mengambil keputusan pengendalian daripada yang mempunyai pemahaman kurang. F. Apa yang Harus Dilakukan Setelah Pengambilan Keputusan? Setelah diputusakan untuk melakukan pengendalian maka tindakan pengendalian harus dilakukan sesuai dengan cara kerja yang dianjurkan. Cara kerje pengendalian tergantung pada metode dan teknik pengendalian yang akan dilakukan. Misalnya, jika pengendalian akan dilakukan dengan metode kimiawi menggunakan insektisida yang diaplukasikan dengan teknik penyemprotan maka langkah-langkah aplikasi penyemprotan harus diikuti dengan benar, mulai dari menentukan konsentrasi dan dosis aplikasi, cara mencampur insektisida dengan air, cara melakukan penyemprotan, cara melakukan prosedur keselamatan, cara menyimpan dan membuang sisa insektisida, dan sebagainya. Biasanya, cara aplikasi dituliskan dalam label yang menyertai kemasan insektisida yang digunakan. Bila keterangan pada label belum jelas, penjelasan dapat diperoleh petugas yang berwenang atau dari buku-buku praktis mengenai aplikasi pestisida. Bila pengendalian dilakukan dengan metode kimiawi dan teknik pelepasan musuh alami introduksi maka cara penanganan musuh

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

alami dan cara pelepasan harus dilakukan dengan benar. Pada dasarnya, setiap metode dan teknik aplikasi yang dipilih harus dilakukan dengan cara yang tepat agar tindakan pengendalian memberikan hasil yang diharapkan. Setelah dilakukan suatu tindakan pengendalian maka perlu dilakukan evaluasi mengenai hasil dari tindakan yang telah diambil. Pelaksanaan evaluasi pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti cara-cara pemantauan agroekosistem, tetapi cakupannya dipersempit terutama untuk mengetahui padat populasi hama atau penyakit, padat populasi musuh alami, intensitas kerusakan tanaman karena serangan hama atau intensitas penyakit, cara pelaksanaan pengendalian, dampak samping pengendalian, dan hasil tanaman. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan petani dan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan. Daftar Pustaka Campbell, C.L., and L.V. Madden, 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John Wiley & Sons, New York (2, 4, 7) Danthanarayana, W. 1975. Integrated Pest Management: Part 1, Population Ecology. Universitas Udayana, Denpasar. (5) Southwood, T. R. E. 1978. Ecological Methods With Particular Reference to the Study of Insect Populations. John Wiley & Sons, New York. (5) Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. (5) Untung, K. 1984. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset, Yogyakarta. Untung, K. 1993a. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset, Yogyakarta. Untung, K. 1993b. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT