analisa resep kasus dm

30
BAB II ANALISA RESEP 2.1 Contoh Resep dari Poliklinik Penyakit Dalam 9

Upload: imam-syahuri-gultom

Post on 14-Dec-2014

1.168 views

Category:

Documents


107 download

DESCRIPTION

farmakologi

TRANSCRIPT

Page 1: Analisa resep Kasus DM

BAB II

ANALISA RESEP

2.1 Contoh Resep dari Poliklinik Penyakit Dalam

9

Page 2: Analisa resep Kasus DM

Keterangan Resep

Klinik : Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin

Tanggal : 29 November 2012

Nama Pasien : Ny. Fauziah

Umur : 58 Tahun

No. RMK : 0-90-71-45

Alamat : Jl. Belitung No.25, Banjarmasin.

Pekerjaan : Swasta

Keluhan Utama : Gatal di perut, bokong, dan tidak bias menahan kencing

Diagnosis : DM tipe 2 + Tinea Corporis

2.2. Analisa Resep

2.2.1. Penulisan resep

Resep pada penulisan sudah ditulis dengan menggunakan tinta, sehingga

diharapkan tulisan pada kertas resep tidak akan hilang selama

penyimpanan.

Secara umum resep kurang jelas terbaca dan sulit untuk dipahami.

Sebaiknya suatu resep harus jelas dibaca sehingga apoteker lebih mudah

membaca dan tidak menimbulkan kesalahan dalam pemberian obat-

obatan. Hal ini sesuai dengan aturan penulisan resep yang benar bahwa

tulisan harus dapat dibaca dengan jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam

pemberian obat.

10

Page 3: Analisa resep Kasus DM

Resep sudah ditulis dengan bahasa latin sehingga memenuhi kriteria resep

yang benar.

Resep ini tidak menyertakan aturan pakai obat yang sesuai standar

penulisan resep rasional. Aturan pemakaian seperti jumlah obat yang

dikonsumsi sekali minum, kekuatan sediaan, aturan penggunaan sesudah

atau sebelum makan, dan aturan penggunaan krim tidak disertakan.

Ukuran panjang kertas resep sekitar panjang 15 cm dan lebar 10 cm sesuai

dengan ukuran resep ideal yaitu dengan lebar 10-12 cm dan panjang 15-18

cm.

2.2.2. Kelengkapan Resep

1. Nama dan Alamat Dokter

Identitas dokter berupa nama dokter penulis sudah tertulis pada resep, unit di

Rumah Sakit tempat dokter tersebut bekerja juga sudah dicantumkan. Namun,

dokter tidak mencantumkan tanda tangan. Almat lengkap rumah sakit juga

tidak tercantum.

2. Nama kota serta tanggal dibuat

Nama kota serta tanggal sudah ditulis.

3. Tanda R/ (superscriptio).

Tanda R/ pada obat pertama yang diresepkan sudah tercantum. Namun, pada

obat berikutnya yang diresepkan, tidak dicantumkan.

4. Inscriptio

a) Pada resep mencantumkan nama setiap jenis obat/bahan yang diberikan.

Jenis/bahan obat dalam resep ini terdiri dari :

11

Page 4: Analisa resep Kasus DM

Remedium Cardinale atau obat pokok yang

digunakan adalah Metformin 500 mg. Obat pokok lainnya untuk

antijamur Ketokonazole tablet 200 mg dan Miconazole krim 2% juga

digunakan. Pada resep, penulisan remedium cardinal tidak berurutan

dari yang paling utama penyebab penyakit ini. Sebaiknya diawali

dengan Metformin kemudian obat antifungi.

Remedium Adjuvans atau obat tambahan yang

digunakan dalam resep ini adalah antihistamin H1 yaitu Interhistin

berisi Mebhidrolin Napadisilat 50 mg.

Corrigens, resep ini tidak ada corrigens, karena

bukan resep magistralis.

Constituens atau vehikulum, resep ini tidak

menggunakan constituens atau vehikulum karena bukan resep

magistralis.

b) Resep ini tidak disertai penulisan sediaan obat pada Ketokonazole,

Metformin dan Interhistin.

c) Resep ini tidak mencantumkan berat tablet yang diinginkan.

d) Resep ini sudah disertai penulisan jumlah obat yang ingin diberikan dan

dituliskan dengan angka romawi. Namun, dokter tidak menuliskann berapa

jumlah obat yang dikonsumsi sekali minum obat.

5. Subscriptio yang berisi cara pembuatan obat dan bentuk sediaan yang akan

dibuat. Pada resep ini tidak dicantumkan cara pembuatan obat karena bukan

merupakan resep magistralis.

12

Page 5: Analisa resep Kasus DM

6. Signatura

a. Signatura telah dicantumkan.

b. Aturan pakai obat pada resep ini tidak tercantum dengan lengkap. Pada

setiap obat, penulisan dosis aturan pakai tidak baku serta tidak

mencantumkan waktu pemakaian obat tersebut terutama pada penggunaan

krim. Jadi pada resep ini tidak dapat diketahui berapa tablet yang

dikonsumsi pasien sekali minum dan tidak diketahui kapan waktu

pemberian obat (misalnya a.c, p.c, atau d.c). Penulisan dosis aturan pakai

menggunakan bahasa latin dan singkatan yang sudah lazim dipakai secara

internasional, seperti tdd (untuk 3 kali sehari), bdd (untuk dua kali sehari),

bukan menggunakan angka arab.

7. Paraf dari dokter yang menuliskan resep tidak ada pada setiap obat yang

diberikan.

8. Resep tidak ditutup.

9. Identitas pasien. Nama penderita sudah ditulis, namun usia, berat badan, dan

dan alamat tidak ada. Seharusnya identitas penderita ditulis lengkap agar resep

tidak tertukar saat pengambilan dan mudah menelusuri bila terjadi sesuatu

dengan obat penderita.

2.2.3. Keabsahan Resep

Kertas resep yang digunakan di sini adalah resep dokter rumah sakit.

Untuk sahnya suatu resep harus tercantum hal-hal sebagai berikut :

13

Page 6: Analisa resep Kasus DM

Nama dokter penulis resep sudah tercantum begitu juga bagian/unit pelayanan

Rumah Sakit tersebut tetapi tanda tangan dokter tidak tercantum. Pada setiap

obat juga tidak diberikan paraf dokter.

Karena resep berasal dari rumah sakit, maka harus mencantumkan nama,

alamat, bagian/unit pelayanan rumah sakit tersebut. Pada resep ini tidak

tertulis alamat lengkap rumah sakit, hanya tertulis kota tempat rumah sakit

berada. Bagian/unit telah dicantumkan.

Nama penderita sudah ditulis tapi tidak disertai dengan usia, berat badan dan

alamat.

2.2.4. Dosis Obat, Frekuensi, Lama dan Waktu Pemberian

Pada resep ini, obat yang digunakan adalah Ketokonazole, Mikonazole,

Metformin, Interhistin. Pilihan penggunaan obat-obat tersebut akan dibahas

dibawah ini.

1. Ketokonazole

Kandungan obat ini adalah Ketokonazole golongan Azole.

Indikasi pemberian obat ini adalah sebagai antifungi. Terapi sistemik

direkomendasikan pada tinea corporis dengan keterlibatan infeksi kulit yang

luas, immunosupresi, resisten terhadap terapi topikal, dan adanya infeksi

bersamaan dengan dermatofitosis lain. Pemberian sistemik juga harus

mempertimbangkan efek samping dari obat (5).

Dosis referensi: dosis Ketokonazol 200-400 mg per hari diberikaan saat

makan selama 3 minggu (6). Ada juga referensi lain yang menyebutkan

pemberian selama 10 hari - 2 minggu (7). Dalam resep dokter tidak

14

Page 7: Analisa resep Kasus DM

menuliskan sediaan dan kekuatan obat yang diinginkan. Pada kasus ini

Ketokonazole yang diberikan apoteker adalah tablet 200 mg. Jumlah dosis

yang diberikan 2 kali 200 mg sehari sudah benar tetapi pemberian selama 7

hari masih tidak tepat karena minimal pemberian selama 10 hari. Dapat

disimpulkan bahwa dosis tersebut tidak sesuai dengan dosis referensi.

Ketokonazole tersedia dalam bentuk generik tablet 200 mg dan krim 10% 15

gram (8).

Frekuensi dan dosis sudah dicantumkan, namun tidak menggunakan tata cara

penulisan resep yang baku.

Bentuk sediaan yang diinginkan tidak ditulis sehingga akan membuat

apoteker kesulitan dalam memberikan obat.

Tata cara pemberian obat tidak ada (sebelum makan/sesudah makan dan yang

lainnya), hal ini dapat membuat apoteker yang menyediakan obat akan

kesulitan untuk menuliskan kapan waktu pemberian obat tersebut pada etiket.

Selain itu penderita juga tidak akan mengetahui kapan waktu yang tepat untuk

meminum obat tersebut sehingga nantinya akan menimbulkan ketidakpatuhan

penderita.

2. Mikonazole

Kandungan obat ini adalah Mikonazole golongan Azole.

Indikasi pemberian obat ini adalah antifungi. Mikonazole krim

direkomendasikan untuk infeksi lokal dermatofitosis yang tidak luas (7).

Dosis referansi: Terapi topikal diberikan dengan cara dioleskan pada bagian

kulit terinfeksi hingga 2 cm lebih dari tepi aktif sebanyak 1-2 kali sehari

15

Page 8: Analisa resep Kasus DM

selama 2 minggu (7). Pada kasus, aturan penggunaan Mikonazole tidak jelas

berapa kali pemberiannya selama sehari, waktu pemberian, dan cara

pengolesan. Pada resep hanya tertulis s.uc (untuk obat luar) saja. Dapat

disimpulkan bahwa pemberian dosis Mikonazole tidak jelas.

Mikonazole tersedia dalam bentuk generik krim 2% dan salep 2% 10 gr (8).

Bentuk sediaan yang diinginkan sudah dituliskan.

Frekuensi pemberian tidak dicantumkan pada resep sehingga dikhawatirkan

terdapat kesalahan bagi apoteker untuk menjelaskan berapa kali pemakaian

obat tersebut dalam satu hari.

Tata cara pemberian obat tidak ada dituliskan dalam resep (pagi hari/sore

hari, cara pengolesan). Hal ini dapat membuat apoteker akan kesulitan untuk

menuliskan tata cara pemberian obat tersebut pada etiket. Selain itu penderita

juga tidak akan mengetahui kapan waktu yang tepat untuk meminum obat

sehingga akan menimbulkan ketidakpatuhan penderita.

3. Metformin

Kandungan obat ini adalah Metformin golongan Biguanid.

Indikasi pemberian obat ini adalah OHO (Obat Hipoglikemi Oral) lini

pertama (9).

Dosis referensi : diawali dengan dosis rendah Metformin 500 mg 1-2 kali

sehari bersamaan dengan makanan pada saat sarapan dan makan malam atau

850 mg 1 kali sehari saat makan. Jika 5-7 hari tidak terdapat efek samping

gejala gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan hingga 850 mg 2 kali sehari atau

1000 mg 2 kali sehari dikonsumsi sebelum sarapan dan makan malam. Dosis

16

Page 9: Analisa resep Kasus DM

dapat diturunkan ke dosis awal jika terdapat gangguan gastrointestinal. Dosis

maksimum diberikan 1000 mg 2 kali sehari hingga 850 mg 3 kali sehari (9).

Dalam resep ini, dokter telah menuliskan dosis obat Metformin 500 mg 2 kali

sehari. Namun, aturan pemakaian obat dan waktu yang tepat mengkonsumsi

obat tidak dicantumkan sehingga dapat menimbukan kesalahan terapi. Dapat

disimpulkan bahwa dosis tersebut sesuai dosis referensi yang dianjurkan

namun aturan pemakaian dan kapan waktu yang tepat mengkonsumsi obat

tersebut tidak ditulis.

Metformin tersedia dalam bentuk generik tablet 500 mg dan 850 mg (8).

Bentuk sediaan tidak dituliskan. Namun, hal ini dapat dibenarkan jika sediaan

yang ada hanya satu sediaan saja.

Frekuensi dan dosis sudah dicantumkan. Namun jumlah tablet yang

dikonsumsi sekali minum tidak dituliskan. Penulisan juga tidak menggunakan

tata cara penulisan resep yang baku.

Tata cara pemberian obat tidak ada dituliskan dalam resep (sebelum makan/

sesudah makan dan yang lainnya). Hal ini dapat membuat apoteker akan

kesulitan untuk menuliskan kapan waktu pemberian obat tersebut pada etiket.

Apoteker juga akan kesulitan menjelaskan kepada penderita kapan harus

meminum obat tersebut. Selain itu penderita juga tidak akan mengetahui

kapan waktu yang tepat untuk meminum obat tersebut sehingga nantinya

akan menimbulkan kesalahan terapi.

4. Interhistin

Kandungan obat ini adalah Mebhidrolin napadisilat golongan antihistamin H1.

17

Page 10: Analisa resep Kasus DM

Antihistamin H1 diindikasikan untuk pengobatan simtomatik berbagai

penyakit alergi, mengurangi efek yang ditimbulkan akibat histamine release,

dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan karena adanya mekanisme

antikolinergik (4).

Dosis referensi : dosis dewasa 50-100 mg sehari (4). Dalam referensi lain

disebutkan bahwa dosis aman pemakaian Mebhidrolin napadisilat adalah

sampai 300 mg perhari hari dalam frekuensi pemberian 6 kali sehari (10).

Pada kasus pasien mendapat Interhistin tablet 50 mg dengan dosis 2 kali

sehari. Dapat disimpulkan bahwa dosis tersebut sesuai dosis referensi yang

dianjurkan.

Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan sirup 50 mg/5 ml (10).

Dalam resep yang dibahas, bentuk sediaan tidak dituliskan sehingga akan

membuat apoteker kesulitan dalam memberikan obat bentuk tablet atau sirup.

Frekuensi dan dosis sudah dicantumkan, namun tidak menggunakan tata cara

penulisan resep yang baku.

Tata cara pemberian obat tidak ada dituliskan dalam resep (sebelum makan/

sesudah makan dan yang lainnya). Hal ini dapat membuat apoteker yang

menyediakan obat akan kesulitan untuk menuliskan kapan waktu pemberian

obat tersebut pada etiket. Apoteker juga akan kesulitan menjelaskan kepada

penderita kapan harus meminum obat tersebut. Selain itu penderita juga tidak

akan mengetahui kapan waktu yang tepat untuk meminum obat tersebut

sehingga nantinya akan menimbulkan ketidakpatuhan penderita.

18

Page 11: Analisa resep Kasus DM

2.2.5. Bentuk Sediaan Obat

1. Ketokonazole

Ketokonazole tersedia dalam bentuk tablet 200 mg, krim 2% 15 mg (8).

Ketokonazole juga tersedia dalam bentuk shampoo 2 % (Ketomed shampoo) (10).

Dalam resep ini, Ketokonazole yang diberikan dalam bentuk tablet 200 mg.

Pemberian sediaan ini dipilih karena disesuaikan dengan pasien dewasa dan

diketahui bahwa pasien tidak mengalami kesulitan dalam menelan (3).

2. Mikonazole

Mikonazole tersedia dalam bentuk krim dan salep 2% 10 gram.

Mikonazole juga tersedia dalam bentuk gel oral (Daktarin oral gel), dan bubuk 2%

(Daktarin). Dalam resep ini, Mikonazole diberikan dalam bentuk krim yaitu

Mikonazole krim 2% 10 g. Pemberian sediaan krim di daerah perut dan bokong

tepat karena termasuk daerah lipatan (3).

3. Metformin

Metformin tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan 850 mg. Dalam resep

ini, diberikan dalam bentuk tablet generik yaitu Metformin 500 mg. Pemberian

sediaan ini dipilih karena disesuaikan dengan pasien dewasa dan diketahui bahwa

pasien tidak mengalami kesulitan dalam menelan.

4. Interhistin

Interhistin tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan sirup 50 mg/ 5 ml.

Dalam resep ini, Mebihidrolin napadisilat diberikan dalam bentuk tablet generic

19

Page 12: Analisa resep Kasus DM

branded yaitu Interhistin 50 mg. Pemberian sediaan ini dipilih karena disesuaikan

dengan pasien dewasa dan diketahui bahwa pasien tidak mengalami kesulitan

dalam menelan.

2.2.6. Interaksi Obat

Obat yang diberikan pada kasus ini yaitu Ketokonazole, Metformin,

Interhistin, dan Mikonazole krim. Tidak ada interaksi pada semua obat oral yang

diberikan. Metformin tidak di metabolisme di hati dan tidak terikat oleh protein

plasma. Eksresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Ketokonazole di

metabolisme di hati dengan enzim CYP3A4. Mebihidrolin napadisilat

dibiotransformasi di hati, paru-paru dan ginjal dengan enzim yang berbeda dengan

Ketokonazole. Mikonazole tidak berinteraksi karena pemberian topikal (4,5).

2.2.7. Efek Samping Obat

1. Ketokonazole

Efek samping obat ini paling sering dijumpai adalah mual dan muntah. Efek

ini akan lebih ringan bila obat ditelan bersama makanan serta menghindari

berkurangnya absorbsi akibat pH lambung yang tinggi. Efek samping lain

lebih jarang adalah sakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, pruritus,

parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit, dan trombositopenia. Obat ini dapat

meningkatkan aktivitas enzim hati untuk sementara waktu dan kadang dapat

menimbulkan kerusakan hati. Hepatotoksisitas yang berat lebih sering

dijumpai pada wanita berumur lebih dari 50 tahun sebagai terapi onikomikosis

atau penggunaan lama. Sebaiknya dilakukan pemantauan fungsi hati

20

Page 13: Analisa resep Kasus DM

mengiringi terapi jangka panjang. Ginekomastia dapat terjadi pada sejumlah

pasien pria dan dapat menyebabkan haid tidak teratur pada 10 % wanita. Hal

ini disebabkan oleh efek penghambatan ketokonazole terhadap biosintesis

steroid melalui inhibisi enzim sitokrom P450 (4).

2. Mikonazole krim

Efek samping jarang, berupa iritasi, rasa terbakar, maserasi, dermatitis kontak

alergi (5).

3. Metformin

Efek sampinng 20 % mengalami mual, muntah, diare serta rasa kecap logam,

tetapi dengan menurunkan dosis keluhan tersebut hilang. Pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal atau sistem kardiovaskular pemberian Biguanid dapat

menimbulkan peningkatan asam laktat dalam darah sehingga mengganggu

keseimbangan elektrololit (4).

4. Interhistin

Efek samping paling sering obat ini sedasi. Efek samping yang berhubungan

dengan sentral adalah tinnitus, vertigo, cepat lelah, penat, inkoordinasi,

penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor. Efek

samping yang sering dijumpai juga adalah mual, muntah, keluhan epigastrium,

konstipasi atau diare, efek samping ini berkurang jika dikonsumsi bersama

dengan makanan. Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 adalah

mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala. Jarang menimbulkan

komplikasi leukopenia dan agranulositosis (4).

21

Page 14: Analisa resep Kasus DM

2.2.8. Analisa Diagnosa

Dari data yang diperoleh dari status pasien, diketahui pasien terdiagnosis

diabetes mellitus (DM) tipe 2 disertai tinea corporis. DM adalah suatu kelompok

penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin

yaitu resistensi insulin di hati dimana terjadi peningkatan produksi glukosa hepatik

dan jaringan perifer seperti otot dan lemak, berkurangnya sekresi insulin oleh sel beta

pankreas, atau keduanya (11). DM tipe 2 ditandai dengan berkurangnya sekresi

insulin, produksi glukosa yang berlebihan di hepar, dan metabolisme lemak yang

abnormal. Oleh karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka

diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai noninsulin dependent diabetes mellitus‖

(NIDDM) (12).

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari: 1) terapi non

farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan

pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas

jasmani, dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes

yang dilakukan secara terus menerus, 2) terapi farmakologis yang meliputi

pemberian obat antidiabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada

prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan

tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan.

Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologis

yang telah diterapkan sebelumnya (13).

22

Page 15: Analisa resep Kasus DM

Intervensi farmakologis dilakukan dengan pemberian Obat Hipoglikemia

Oral (OHO) dan preparat insulin. Pemberian OHO dimaksudkan untuk memicu

sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid; menambah sensitivitas terhadap insulin:

Metformin, Tiasolidindion; serta menghambat absorpsi glukosa. Indikasi

pemberian insulin antara lain (11):

1. hiperglikemia berat yang disertai ketosis

2. ketoasidosis diabetik

3. hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

4. hiperglikemia dengan asidosis laktat

5. gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

6. stres berat

7. kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan

8. gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

9. terdapat kontraindikasi dan/atau alergi terhadap OHO.

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,

untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa

darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,

perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme

kerjanya. Panduan pemberian terapi kombinasi ini dapat dilihat pada Tabel I

dibawah (11).

23

Page 16: Analisa resep Kasus DM

Tabel I. Pengelolaan DM tipe 2

Satu-satunya senyawa Biguanida yang masih dipakai sebagai obat

hipoglikemik oral saat ini adalah Metformin. Metformin masih banyak dipakai

24

Page 17: Analisa resep Kasus DM

dibeberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya asidosis laktat

cukup sedikit dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati. Metformin adalah

bekerja dengan menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan

sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Senyawa-senyawa

golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, tidak menghambat

perubahan glukosa menjadi lemak, dan hampir tidak pernah menyebabkan

hipoglikemia (4). Pada kasus ini, pemberian Metformin 500 mg 2 kali sehari

kepada pasien DM adalah terapi yang rasional sesuai dengan referensi.

Selian DM tipe 2, pasien juga menderita tinea corporis sehingga perlu

pemberian antifungi. Untuk mengatasi dermatofitosis dapat diberikan golongan

Azole, Griseofulvin, dan Asam Salisilat. Golongan Azole bekerja dengan

mekanisme menghambat enzim sitokrom P450 jamur dalam mensintesis

ergosterol yang berfungsi sebagai bahan dasar membran sel jamur. Griseovulfin

bekerja dengan mekanisme berikatan kuat dan berdeposit dalam sel keratin yang

sehat sehingga memperkuat sel keratin pada serangan jamur. Sel keratin yang

mengandung jamur akan terkelupas dan digantikan dengan sel normal yang lebih

kuat sehingga jamur mati karena tidak ada keratin lagi yang bisa dimakan. Asam

salisilat bekerja dengan sifat keratolitik terhadap kulit yang terinfeksi.

Pemberian Ketokonazole kepada pasien tidak tepat karena adanya efek

samping hepatotoksisitas yang berat dan lebih sering dijumpai pada wanita

berumur lebih dari 50 tahun yang menggunakan obat ini untuk jangka lama (4).

Selain diberikan pengobatan antifungi sistemik, pasien juga diberi obat antifungi

topikal berupa Mikonazole krim. Hal ini juga tidak efektif karena mekanisme

25

Page 18: Analisa resep Kasus DM

kerja golongan Azole yang sama jika seandainya tujuan dokter

mengkombinasikan obat untuk memperkuat terapi dermatofitosis. Indikasi

pemberian antifungi topikal adalah untuk infeksi lokal dermatofitosis. Namun,

jika terdapat keterlibatan infeksi kulit yang luas, immunosupresi, resisten terhadap

terapi topikal, dan adanya infeksi bersamaan dengan dermatofitosis lain

digunakan terapi sistemik dengan mempertimbangkan efek samping dari obat (4).

Pada resep ini, pemberian AH1 kepada pasien sudah rasional dengan

tujuan mengurangi gejala gatal yang dialami pasien akibat dermatofitosis. Dosis

yang diberikan juga sesuai dengan referensi. Antihistamin H1 bekerja dengan

mekanisme antagonis reseptor kompetitif terhadap histamin tubuh.

26

Page 19: Analisa resep Kasus DM

2.3. Usulan Resep Rasional

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan 5 tepat pada resep rasional, maka :

1. Tepat obat

Penggunaan Metformin untuk kasus ini sudah tepat. Namun, penggunaan

Ketokonazol serta Mikonazole secara bersamaan tidak tepat. Interhistin juga

tidak tepat jika ditinjau dari efek samping dan ekonomis.

2. Tepat dosis

Pada resep ini dosis Metformin dan Interhistin yang diberikan sudah tepat.

Namun, dosis obat lainnya masih belum tepat, diantaranya lama pemberian

27

RSUD ULIN BANJARMASINRESEP UMUM

Jl. A. Yani km 1,5 Banjarmasin Telp : (0511) 3252180

Harga

(Rp)

Nama Dokter : dr. Imam S Gultom, Sp.PD. Tanda tangan dokter :UPF/Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Nama Pasien : Ny. FauziahUmur : 58 tahun/80 kgAlamat : Jl. Belitung No.25, Banjarmasin.No. RMK : 09.071.45

VERIFIKASI :Umum

Rawat JalanRSUD. ULIN

INTERNA

Banjarmasin, 10 Desember 2012

R/ Metformin tab 500 mg No.LX S. b.d.d. tab I d.c m et n

R/ Griseofulvin micronized tab 250 mg No.LX S. s.d.d tab II d.c.n (o.24.h)

R/ Loratadin tab 10 mg No. V S. prn. s.d.d tab I a.c

Page 20: Analisa resep Kasus DM

Ketokonazole yang terlalu singkat dan dosis Mikonazole krim yang tidak

jelas.

3. Tepat bentuk sediaan

Bentuk sediaan yang diberikan sudah tepat sesuai dengan keadaan pasien.

4. Waktu penggunaan obat

Pada resep ini tidak dituliskan dengan jelas kapan obat seharusnya diminum.

5. Tepat penderita

Terdapat obat yang tidak tepat penderita yaitu Ketokonazole yang seharusnya

tidak diberikan pada wanita berusia diatas 50 tahun.

28