analisa konversi agama

25
77 BAB IV ANALISA KONVERSI AGAMA DI BUKITSARI DARI PERSPEKTIF TEORI RAMBO R. LEWIS 4.1 Pendahuluan Dari beberapa teori yang telah dipaparkan di Bab II, maka penulis memilih satu teori dari Rambo R. Lewis sebagai “Grand Theory” sekaligus untuk alat analisa di bab ini. Teori Lewis dipilih karena menurut hemat penulis lebih cocok untuk menggambarkan atau mendeskripsikan proses terjadinya kasus konversi agama di Bukitsari. Adapun analisa dan pembahasannya dipaparkan sebagai berikut: 4.2 Konversi Agama Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, kata konversi agama sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun sebagian orang mungkin belum memahami arti kata ini. Karena kasus konversi dapat dan telah terjadi dimana-mana. Lewis dalam pandangannya mendefinisikan konversi agama sebagai “perubahan sederhana dari adanya sistem keyakinan terhadap suatu komitmen iman atau keyakinan; dari hubungan ikatan anggota keagamaan dengan sistem keyakinan yang satu ke sistem keyakinan yang lainnya; atau dari orientasi yang satu ke orientasi yang lain pada suatu sistem keyakinan tunggal.” 1 Menurut hemat penulis dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa konversi agama adalah berubahnya seseorang atau kelompok dengan melakukan pindah agama, dari satu agama ke agama yang lain atau satu kepercayaan ke kepercayaan yang lain. 1 Rambo R. Lewis, Understanding Religius Conversion, (London: Yale Univercity Press, 1993) 2-3.

Upload: rizki-prasetya-utomo

Post on 15-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Agama, Sosial

TRANSCRIPT

  • 77

    BAB IV

    ANALISA KONVERSI AGAMA DI BUKITSARI

    DARI PERSPEKTIF TEORI RAMBO R. LEWIS

    4.1 Pendahuluan

    Dari beberapa teori yang telah dipaparkan di Bab II, maka penulis memilih satu teori dari

    Rambo R. Lewis sebagai Grand Theory sekaligus untuk alat analisa di bab ini. Teori Lewis

    dipilih karena menurut hemat penulis lebih cocok untuk menggambarkan atau mendeskripsikan

    proses terjadinya kasus konversi agama di Bukitsari. Adapun analisa dan pembahasannya

    dipaparkan sebagai berikut:

    4.2 Konversi Agama

    Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, kata konversi agama sebenarnya

    bukanlah hal yang baru, namun sebagian orang mungkin belum memahami arti kata ini. Karena

    kasus konversi dapat dan telah terjadi dimana-mana. Lewis dalam pandangannya mendefinisikan

    konversi agama sebagai perubahan sederhana dari adanya sistem keyakinan terhadap suatu

    komitmen iman atau keyakinan; dari hubungan ikatan anggota keagamaan dengan sistem

    keyakinan yang satu ke sistem keyakinan yang lainnya; atau dari orientasi yang satu ke orientasi

    yang lain pada suatu sistem keyakinan tunggal.1 Menurut hemat penulis dari pengertian tersebut

    dapat dipahami bahwa konversi agama adalah berubahnya seseorang atau kelompok dengan

    melakukan pindah agama, dari satu agama ke agama yang lain atau satu kepercayaan ke

    kepercayaan yang lain.

    1 Rambo R. Lewis, Understanding Religius Conversion, (London: Yale Univercity Press, 1993) 2-3.

  • 78

    Seperti yang dijelaskan di atas tentang konversi, sebenarnya hal inilah yang terjadi di

    masyarakat Dusun Bukitsari, yaitu beberapa kepala keluarga di masyarakat tersebut melakukan

    perubahan agama atau pindah agama atau konversi agama, dari Hindu ke Kristen Protestan.

    Mereka meninggalkan agama lama dan pindah ke agama baru, dan merubah cara hidup

    keagamaan lama dengan keagamaan yang baru. Sebagai contoh, mereka sudah tidak lagi

    memiliki sanggah sebagai tempat beribadah mereka kepada roh nenek moyang, leluhur dan

    kepada Sang Yang Widhi dalam konsep kepercayaannya yang lama. Kemudian mereka juga

    tidak lagi menyembah patung-patung yang dianggap sakral dengan berbagai sesajennya. Mereka

    berbalik 180 derajat benar-benar meninggalkan segala bentuk ritual keagamaan Hindu Bali,

    bahkan mereka menganggap menyembah patung adalah sama dengan menyembah berhala, dan

    itu dilarang dalam agama Kristen (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).

    4.3 Faktor-faktor Penyebab Masyarakat Bukitsari Melakukan Konversi Agama

    Suatu analisa terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya konversi agama di Dusun

    Bukitsari dari perspektif teorinya Rambo R. Lewis.2

    4.3.1 Agama dan kebudayaan

    Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan ketika seseorang

    memeluk suatu agama tertentu. Lewis mengungkapkan, karena agama merupakan bagian dari

    unsur kebudayaan, sebagai bagian dari kehidupan seseorang atau kelomok dalam masyarakat.

    Seperti diketahui di Dusun Bukitsari telah terjadi kasus konversi agama dari Hindu ke

    Kristen Protestan. Ketika dianalisa salah satu penyebabnya adalah diperkenalkannya agama

    Kristen sebagai salah satu agama yang ada di Indonesia terkhusus di Bali. Mengapa demikian

    2 Ibid., 7-12.

  • 79

    karena beberapa kepala keluarga (pelaku konversi) dari Dusun Bukitsari awalnya tidak

    mengetahui tentang agama Kristen.

    Keputusan beberapa KK melakukan konversi agama disebabkan adanya sebuah

    perkenalan dan pengajaran tentang yang Ilahi (suci), dalam bahasanya Lewis membangun

    hubungan terhadap yang Ilahi, untuk mendapat makna hidup yang baru, dalam hal ini yaitu

    dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus yang dapat menyelamatkan, membebaskan manusia

    dari dosa/penghukuman, dan konsep jaminan masuk surga ketika percaya kepadaNya. Tuhan

    Yesus adalah pribadi yang bukan hanya sanggup menolong dan memberikan kebahagiaan setelah

    kematian, namun juga sewaktu hidup di dunia (Krisna, Denpasar, 2012). Sebuah pengertian,

    pemahaman, dan makna baru tersebutlah yang menyebabkan beberapa KK di Bukitsari

    mengambil keputusan masuk agama Kristen. Karena dalam agama lama tidak mendapatkan

    doktrin atau pemahaman iman semacam itu.

    Ketika mereka masuk menjadi Kristen maka dengan sukarela mengikuti dan melakukan

    ritual keagamaan misalnya dengan dibaptis. Mereka juga mulai dilibatkan dalam ibadah-ibadah

    atau persekutuan-persekutuan, dan bersaksi.

    Hal tersebut juga tercermin sampai sekarang bagaimana mereka memaknai agama yang

    baru yaitu Kristen dengan melakukan ritual-ritual keagamaan yang juga merupakan dari

    kebudayaan Barat, misalnya merayakan natal ala Barat, paskah, cara berpakaian. Paradigma

    terhadap agama lama pun berubah, mereka sudah berani mengatakan bahwa orang yang

    beragama Hindu itu menyembah patung disamakan dengan menyembah berhala, sedangkan

    Kristen tidak (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012), dalam agama Hindu dikenal dengan budaya

    denda sosial ketika tidak melakukan ritual keagamaan sedangkan di Kristen tidak ada denda

    tersebut, dari hal tersebut mereka mulai berbicara tentang keunggulan-keunggulan agama yang

  • 80

    lama dengan agama Kristen. Ternyata kekristenan lebih menguntungkan dibanding agama yang

    lama, baik dalam hal keselamatan maupun ekonomi.

    4.3.2 Masyarakat atau lingkungan sosial

    Konversi agama tidakalah terjadi dengan sendirinya tetapi ada penyebabnya. Faktor

    sosial dalam hidup bermasyarakat cukup memberi pengaruh yang kuat sebagai penyebabnya.

    Karena pada dasarnya perjumpaan dan interaksi yang intensif seseorang atau kelompok dengan

    seseorang dan kelompok lain sudah barang tentu akan saling mempengaruhi.

    Perjumpaan dan interaksi beberapa KK dari Bukitsari dengan orang Kristen di Katung

    yang intensif, adanya keterkaitan/hubungan antar pekerja ataupun pekerja dengan tuan tanah,

    memberi dampak pada sebuah keberanian pelaku konversi untuk melakukan pindah agama dari

    Hindu ke Kristen (Krisna, Denpasar, 2012). Hal inilah yang dimaksudkan Lewis bahwa

    konversi dapat terjadi melalui proses dan adanya keterkaitan, hubungan, antara petobat (pelaku

    konversi) dengan komunitas/kelompok keagamaan tertentu.

    Kekristenan dipandang oleh pelaku konversi sebagai kelompok yang baik, solid,

    kekeluargaannya kuat, loyal dan peduli terhadap sesama (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).

    Oleh sebab itu mereka melakukan konversi agama. Nilai loyalitas dan solidaritas tersebutlah

    yang dimaksudkan Lewis salah satu penyebab terjadinya konversi.

    Lewis mengungkapkan pelaku konversi memiliki cita-cita yang hendak dicapai,

    orientasi kedepan, dan motivasi ketika mengambil keputusan pindah agama. Demikian halnya

    beberapa KK di Bukitsari memiliki motivasi dan cita-cita ketika pindah agama berupa untuk

    hidup yang lebih baik.

  • 81

    4.3.3 Pribadi

    Konversi yang dilakukan oleh beberapa KK di Bukitsari merupakan sebuah keputusan

    pribadi, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Dalam faktor pribadi yang dimaksud Lewis

    adalah terjadinya perubahan-perubahan yang bersifat psikologis. Termasuk pindah agama salah

    satu penyebabnya adalah untuk pembebasan dari sebuah tekanan psikologis. Faktor pribadi

    menurut Lewis merupakan penyebab terjadinya konversi, karena konversi biasanya didahului

    oleh perasaan-perasaan sedih, keputusaan, konflik, dan kesulitan-kesulitan. Sehingga seseorang

    akan berusaha untuk mentransformasi, dan menyadarkan dirinya dalam bentuk berkonversi.

    Kondisi kehidupan masyarakat Bukitsari adalah masyarakat yang miskin, terpencil,

    bahkan terisolasi, sehingga keadaan seperti ini membuat sebuah tekanan psikologi. Kesulitan-

    kesulitan hidup seperti kekurangan sandang, pangan dan papan, menciptakan kesedihan

    mendalam (Krisna, Denpasar 2012). Karena hal tersebut maka mereka mencoba keluar dari

    daerah untuk merantau, dengan harapan mendapat pekerjaan dan bertemu dengan komunitas

    yang dapat menolong mereka dari keadaan tersebut. Perjumpaan dengan kekristenan mampu

    menumbuhkan harapan-harapan, memotivasi untuk semakin sadar akan adanya peluang dan

    akhirnya mentransformasi diri dengan cara pindah agama. Pindah ke agama Kristen berarti

    bergabung dan menjadi bagian dari kekristenan.

    Hasilnya mereka menemukan yang dicari dan terpenuhninya harapan-harapan yang

    diharapkan, hal tersebut membuat mereka mulai dapat membebaskan diri dari tekanan-tekanan

    batin dan kesedihan-kesedihan yang selama ini dialami. Karena dari pihak Kristen memberi

    bantuan dan pertolongan melalui pemberdayaan SDM, pemberian sapi, bibit-bibit sayuran, dan

    sembako. Selain hal itu juga dalam pendidikan untuk anak-anak mereka dibantu gratis untuk

    masuk ke yayasan panti asurahan. Dalam bahasa Lewis mengatakan penyebab terjadinya

  • 82

    konversi agama adalah adanya motivasi, keinginan, orientasi, dan sesuatu yang berkaitan

    dengan perasaan.

    4.3.4 Sejarah

    Yang dimaksudkan Lewis dalam faktor ini adalah asal mula keberadaan dan peristiwa

    penyebab konversi agama. Berdasarkan penelitian, secara singkat asal mula terjadinya konversi

    agama di Bukitsari adalah bermula dari perjumpaan dan interaksi inensif yang terjadi antara

    orang Hindu dari Bukitsari dengan orang Kristen di Desa Katung. Selain itu juga karena

    perkunjungan dan pelayanan yang intensif pula dilakukan dari Katung sampai ke Bukitsari.

    Pelayanan tersebut berupa pembelajaran Alkitab, persekutuan, pemberdayaan SDM, pemberian

    sapi, bibit tanaman dan sembako (Krisna, Denpasar, 2012).

    Lewis mengungkapkan bahwa tempat dan waktu yang berbeda konversipun berbeda,

    demikian halnya dengan motivasi atau faktor juga berbeda, dan prosesnya pun berbeda.

    Berdasarkan hasil penelitian beberapa KK yang melakukan konversi agama di Bukitsari,

    memiliki konteks dan waktu yang sama, jadi ada suatu motivasi yang sama pula ketika

    berkonversi. Motivasi tersebut misalnya tentang orientasi materi/ekonomi seperti yang

    diungkapkan Arjuna dan Rama awal melakukan konversi, mereka mengatakan kalau kami masuk

    menjadi Kristen akan dapat apa? (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012). Dengan demikian teori

    Lewis belum dapat diujikan, tidak sinkron dalam penelitian ini.

  • 83

    4.4 Dampak Sosialnya

    Suatu analisa terhadap dampak/konsekuensi sosial terjadinya konversi agama di Dusun

    Bukitsari dari perspektif teorinya Rambo R. Lewis.3

    Ketika seseorang atau kelompok memutuskan untuk melakukan konversi agama, tentu

    telah mempertimbangkan banyak hal, seperti dampak, atau konsekuensinya. Hal inilah yang

    terjadi di Bukitsari, beberapa KK yang melakukan pindah agama menerima dampak sosial

    dampak dari keputusan yang mereka lakukan. Dampak tersebut berupa perlakuan tidak adil dan

    diskriminasi, lunturnya harmonisasi dan solidaritas sosial, dicemburui oleh masyarakat sekitar,

    dan tekanan psikologi.

    Lewis mengemukakan beberapa pendekatan untuk menyelidiki konsekuensi atau dampak

    dari kasus konversi agama, antara lain: Konsekuensi psikologi, Konsekuensi teologi, Peran bias

    pribadi dalam penilaian, Konsekuensi sosial budaya dan historis, dan Observasi-observasi

    umum.

    4.4.1 Konsekuensi psikologi

    Konsekuensi psikologi yang dimaksud Lewis adalah sebuah evaluasi psikologis tentang

    apakah ada kemajuan, kemunduran, atau perbaikan ketika berkonversi. Simmonds (dalam Lewis)

    mempertanyakan apakah konversi kepada Yesus (kekristenan) adalah hal yang sesungguhnya

    atau pergantian semata-mata. Konversi ingin mengenal dan mengikut Yesus atau karena

    kepatuhan terhadap pemimpin kelompok atau norma-norma kelompok agama tertentu.

    Sebuah perenungan apakah benar keputusan yang sudah diambil dengan sebuah kesadaran,

    apakah benar karena ingin menjadi pengikut Yesus Kristus, atau hanya kagum terhadap agama

    Kristen dan pengaruh dari kelompok agama Kristen. Berdasarkan hasil penelitian didapati bahwa

    3 Ibid., 142-162.

  • 84

    beberapa KK yang melakukan konversi awalnya memang karena pengaruh dari lingkungan

    keagamaan Kristen di Katung, namun dalam prosesnya mereka dengan sebuah kesadaran mau

    pindah ke agama Kristen atas dorongan diri pribadi dan ingin mengenal kekristenan (Yesus)

    lebih dalam. Hal ini terbukti melalui antusiasnya mereka ingin belajar kekristenan lebih dalam

    hingga mengundang komunitas Kristen untuk datang ke Bukitsari di daerah asal mereka setelah

    mengenal kekristenan awal di Katung (Krisna, Denpasar, 2012). Terbukti juga hingga sampai

    sekarang mereka tetap bertahan, setia pada keyakinan barunya, walaupun mereka mengalami

    sebuah tekanan batin sebagai dampak dari konversi yang mereka lakukan. Tekanan batin tersebut

    berupa diperlakukannya mereka secara tidak adil dan diskriminasi, dan dicemburui oleh

    masyarakat sekitar.

    4.4.2 Konsekuensi teologi

    Konsekuensi teologis yang Lewis maksud adalah evaluasi konversi dalam menilai

    konsekuensi. Aston menilai ada dua penilaian: Pertama, ritual dan dimensi perilaku yaitu apakah

    calon pelaku konversi memenuhi syarat ritual untuk berkonversi, misalnya dibabtis. Kedua,

    tentang apakah ada pencarian yang mendalam untuk Tuhan, apakah dengan tulus dan dengan

    motivasi yang benar.

    Beberapa KK yang melakukan konversi di Bukitsari melalui proses belajar yang panjang

    tentang kekristenan pada akhirnya memberi diri dengan sukarela untuk dibaptis (Krisna,

    Denpasar, 2012). Dalam hal ini para pelaku konversi telah memenuhi syarat untuk berkonversi.

    Dalam pencarian mendalam untuk mengenal Tuhan Yesus (kekristenan) para pelaku konversi

    melakukan usaha yang demikian, hal ini terbukti keterbukaan mereka dan undangan mereka

    kepada pelayan Tuhan dari Katung untuk ke daerah mereka Bukitsari guna belajar lebih dalam

  • 85

    tentang kekristenan. Tetapi dalam hal motivasi, mereka kurang tulus karena selain ingin belajar

    kekristenan mereka juga memiliki motivasi ekonomi dan politik (Arjuna dan Rama, Bukitsari,

    2012).

    Melalui pembelajaran tentang teologi Kristen, doktrin gereja, pengajaran iman Kristen dapat

    membuat kekristenan (pelaku konversi) menjadi kelompok agama yang eksklusif. Dalam

    konsekuensi teologis juga dijelaskan tentang apakah melalui keteladanan orang Kristen dan ritual

    keagamaan dapat membuat orang melakukan pindah agama. Berdasarkan hasil penelitian

    terhadap pelaku konversi di Bukitsari disadari atau tidak telah terjadi sikap hati yang eksklusif

    dari pelaku konversi. Hal ini tercermin dengan sebuah pernyataan oleh pelaku konversi tentang

    di dalam kekristenan ada keselamatan dan agama lama tidak ada, kemudian kekristenan

    menyembah Allah yang hidup tetapi agama lama menyembah berhala/patung (Arjuna dan Rama,

    Bukitsari, 2012). Pernyataan ini dilontarkan oleh pelaku konversi saat diadakan wawancara, ini

    menandakan bahwa kekristenan dapat membuat seseorang atau pemnganutnya bersikap

    eksklusif.

    Berdasarkan hasil penelitian beberapa KK yang pindah agama bahwa keteladanan orang

    Kristen dan ritual keagamaan dapat menyebabkan orang pindah agama. Hal inilah yang terjadi di

    Bukitsari, bahwa mereka pindah agama karena keteladanan orang Kristen yang baik, loyal,

    penuh kasih, mau menolong terhadap mereka dan adanya ajakan mengikuti ritual kegamaan

    seperti ibadah atau persekutuan.

    4.4.3 Peran bias pribadi dalam suatu penilaian.

    Dalam peran bias pribadi terhadap suatu penilaian yang dimaksud Lewis adalah setiap

    komunitas keagamaan memiliki posisi dan penilaian sendiri. Adanya sebuah penilaian terhadap

  • 86

    orientasi-orientasi teologi tentang pengetahuan-pengetahuan manusia yang normatif. Kemudian

    dalam hal evaluasi psikologi menggambarkan resolusi mengenai kesalahan, permusuhan dan

    sebagainya yang intinya konversi memiliki nilai negatif.

    Berdasarkan hasil penelitian berkenaan dengan nilai negatif dari konversi salah satunya ialah

    berbentuk pransangka. Prasangka ini terbukti adanya pandangan negatif dari masyarakat di

    Bukitsari terhadap pelaku konversi agama dan kepada agama Kristen itu sendiri. Karena

    kekristenan dianggap sebagai ancaman yang dapat merusak tatanan sosial, budaya dan agama di

    komunitas masyarakat adat setempat, dan adanya kecurigaan terhadap orang-orang Kristen yang

    berkunjung ke Bukitsari (Krisna, Denpasar, 2012). Prasangka ini akhirnya terwujud melalui

    tindakan nyata terhadap komunitas Kristen di Bukitsari, mereka melakukan sebuah resistensi

    sebagai bentuk ketidaksetujuannya karena adanya kekristenan di Bukitsari. Resistensi/penolakan

    ini berbentuk sikap perlakuan tidak adil dan diskriminasi terhadap pelaku konversi di daerah

    tersebut (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).

    4.4.4 Konsekuensi sosial budaya dan historis.

    Lewis mengungkapkan bahwa konversi tidak hanya memiliki konsekuensi-konsekuensi

    personal bagi individu tetapi meliputi konsekuensi-konsekuensi sosial budaya bagi kelompok-

    kelompok orang yang berkonversi. Konversi membawa sebuah perubahan bagi pelakunya

    maupun lingkungan sosial budaya masyarakat tertentu. Konversi membawa konsekuensi

    kemarahan, kekerasan dan konsolidasi sistem sebuah masyarakat.

    Dampak sosial budaya yang terjadi di Bukitsari berbentuk lunturnya harmonisasi dan

    solidaritas masyarakat setempat dengan pelaku konversi. Ini tercermin melalui sikap masyarakat

    setempat yang mulai membedakan antara orang Kristen dan orang hindu, kurangnya tegur sapa,

  • 87

    tidak dilibatkannya mereka dalam kegiatan adat, selalu dicurigai, kurangnya kepedulian

    masyarakat adat terhadap pelaku konversi agama. Demikian juga lingkungn sosial yang yang

    lebih kecil yaitu keluarga, ada sebuah penolakan dari anggota keluarganya terhadap para pelaku

    konversi, misalnya dalam bentuk percecokan, ancaman sampai pada perusakan rumah (Arjuna,

    Denpasar, 2012).

    Kemudian adanya perlakuan tidak adil dan diskriminasi oleh masyarakat sekitar kepada

    pelaku konversi, misalnya tidak disalurkannya bantuan dari pemerintah berupa beras, aliran air,

    dan listrik. Hal yang ektrim lagi adalah tentang pembongkaran kuburan Kristen oleh masyarakat

    sekitar (Gareng, Abianbase, 2012).

    Selanjutnya ada kecemburuan sosial oleh masyarakat sekitar terhadap pelaku konversi.

    Kecemburuan ini nampak pada peristiwa perusakan tanaman milik pelaku konversi, karena

    tanaman mereka lebih baik disbanding tanaman masyarakat sekitar (Krisna, Denpasar, 2012).

    4.5 Menggambarkan atau mendeskripsikan proses terjadinya kasus konversi agama di

    Bukitsari, melalui tujuh (7) model tingkatan berdasarkan terorinya Rambo R. Lewis.

    Konversi yang terjadi di Bukitsari tidak disebabkan oleh peristiwa tunggal atau terjadi begitu

    saja tanpa ada rentetan-retetan peristiwa yang melatarbelakanginya. Melalui bagan yang

    ditawarkan Lewis di bawah ini, penulis gunakan sebagai alat untuk menganalisa rentetan-

    rentetan peristiwa penyebab konversi agama di Bukitsari. Penulis mulai melakukan analisa dari

    krisis sebagai pusat terjadinya konversi, beranjak dari krisis inilah lalu orang melakukan

    pencarian, pencarian membawa seseorang tiba pada sebuah tempat/konteks, dalam kontek itulah

    mereka mengalami suatu pertemuan/perjumpaan, lalu masuk ke interaksi, dilanjutkan dengan

    komitmen dan terakhir adalah konsekuensi sebagai bentuk resistensi masyarakat setempat. Lebih

  • 88

    jauh penulis juga melihat bahwa setelah konsekuensi akan kembali lagi ke krisis, namun krisis

    yang baru. Berikut pemaparan analisanya:

    1. Krisis

    Lewis mengungkapkan, krisis seringkali mendahului terjadinya konversi agama. Krisis

    dapat terjadi pada kehidupan keagamaan, politik, psikologi dan kebudayaan. Pada tahap ini

    ada dua dasar yang penting dicermati dalam menganalisa kasus konversi yaitu tentang isu-isu

    konteks dan keaktifan atau kepasifan pelaku konversi.

    Berdasarkan hasil penelitian, pandangan Lewis benar jika dihadapakan dalam kasus

    konversi di Bukitsari, sebab awal terjadinya konversi agama karena adanya faktor krisis.

    Krisis yang dialamai oleh pelaku konversi di Bukitsari adalah krisis psikologi, keagamaan,

    dan kebudayaan. Krisis psikologi tercermin pada suatu perasaan sedih, tertekan karena hidup

    dalam kemiskinan. Kemudian dalam komunitas keagamaan mereka tidak banyak menolong

    untuk mengentaskan mereka atau membantu menangani kemiskinan sehingga mulai berani

    KRISIS

    KONSEKUENSI

    KONTEKS

    KOMITMEN INTERAKSI

    PERTEMUAN PENCARIAN

  • 89

    mempertanyakan komunitas agamanya. Kemudian krisis kebudayaan, artinya dalam kondisi

    hidup kekurangan, Hindu Bali memiliki suatu tradisi/budaya harus melakukan banyak upcara

    keagamaan yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal-hal tersebut menyebabkan krisis

    di Bukitsari.

    Isu-isu konteks disini adalah tentang keadaan Bukitsari sebagai tempat yang terpencil

    bahkan terisolasi yang memiliki potensi krisis yang cukup besar. Dalam kasus konversi yang

    terjadi para pelaku konversi cukup aktif dalam proses konversi. Hal ini terlihat melalui

    antusiasme mereka untuk mau belajar tentang kekristenan lebih jauh lagi dengan harapan

    membebaskan mereka dari krisis (Krisna, Denpasar, 2012).

    2. Pencarian

    Lewis mengungkapkan pencarian merupakan hal yang dilakukan oleh manusia secara

    terus menerus di dalam proses kontruksi dan merekontruksi dunianya supaya menghasilkan

    arti dan makna. Oleh karena itu pelaku konversi menjadi pelaku agen aktif, karena mereka

    dapat mencari kepercayaan-kepercayaan, kelompok-kelompok, dan organisasi-organisasi

    yang menyediakan apa yang mereka butuhkan. Pandangan Lewis diatas cocok dalam

    menggambarkan kasus konversi yang terjadi di Bukitsari. Beberapa keluarga yang merantau

    ke Katung adalah orang-orang yang cukup aktif dalam usaha untuk membangun

    kehidupannya supaya lebih baik. Mereka berusaha mencari kelompok-kelompok masyarakat

    yang dapat membantu memenuhi kebutuhannya. Dalam pencarian inilah mereka mulai

    menemukan sebuah kelompok Kristen di Katung.

    Pencarian yang mereka lakukan tentu memiliki motivasi, dalam bahasanya Lewis

    dikatakan motivasi memperkuat dalam mencapai kebutuhan-kebutuhannya. Jadi dalam

  • 90

    pencarian mereka memiliki motivasi untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Motivasi mula-

    mula saat itu adalah untuk dapat memnuhi kebutuhan ekonomi karena keluarga tertekan

    hidup dalam kemiskinan. Epstein (dalam Lewis) mengemukakan motivasi adalah dasar

    manusia bertindak, untuk memenuhi kebutuhan. Demikian halnya dengan beberapa KK

    dalam melakukan konversi memeiliki motivasi sehingga berani bertindak.

    3. Konteks

    Lewis dalam teorinya mengatakan konteks mencakup sebuah pandangan tentang adanya

    pertentangan, perjumpaan, dan beberapa faktor dialektik di antara keduanya mempermudah

    maupun menghambat proses konversi. Dalam kasus konversi yang terjadi di Bukitsari, benar

    bahwa terjadi perjumpaan dan dialektik antara pelaku konversi dengan komunitas kristen di

    Desa Katung (Krisna, Denpasar, 2012). Namun tidak terjadi pertentangan seperti yang

    dikatakan Lewis.

    Gration (dalam Lewis) mengatakan setiap konversi ada di dalam konteks, sebuah konteks

    memiliki berbagai macam segi, merangkum bidang politik, sosial, ekonomi, serta keagamaan

    di dalam sebuah kehidupan seseorang di saat dirinya berkonversi. Berdasarkan hasil

    penelitian terjadinya kasus konversi agama di Bukitsari benar disebabkan oleh faktor

    ekonomi, sosial dan politik serta keagamaan (Krisna, Denpasar 2012; Arjuna dan Rama,

    Bukitsari, 2012). Keagamaan disini maksudnya adalah diperkenalkannya agama kristen

    terhadap pelaku konversi, adanya pembelajaran dan pelayanan, dan adanya keunggulan-

    keunggulan agama kristen.

    Konteks juga dibagi menjadi kedalam dua bagian yakni Macrocontext dan Microcontext.

    Makro-konteks mengarah kepada lingkungan total, misalnya tentang politik, keagamaan,

  • 91

    organisasi-organisasi, dan ekonomi. Sedangkan Mikrokonteks menyangkut dunia yang lebih

    dekat dari sebuah keluarga seseorang, para sahabat, kelompok etnik, komunitas ke-agamaan,

    serta orang-orang yang berada di sekitarnya. Kekuatan-kekuatan ini antara satu dengan yang

    lainnya dapat mempermudah ataupun menghambat, menghalangi konversi. Jadi baik makro

    maupun mikro memberikan pengaruh terhadap terjadinya proses konversi, demikian halnya

    kasus konversi agama di Bukitsari.

    Lewis menunjukkan beberapa hipotesis mengenai berbagai dinamika konversi: jika

    kebudayaan suatu daerah berada dalam krisis maka memiliki banyak potensi orang

    melakukan konversi agama, sebaliknya jika kebudayaan asli suatu daerah tertentu stabil,

    ulet, serta efektif, maka sedikit orang yang akan melakukan konversi. Hindu Bali adalah

    agama yang tidak dapat dipisahkan dengan ritual keagamaan yang sarat dengan nuansa

    kebudayaan, misalnya saja nyaben dan banten. Bukitsari merupakan tempat dimana

    penduduknya miskin, untuk memenuhi upacara keagamaan yang sudah membudaya, seperti

    Banten dan Nyaben yang membutuhkan biaya besar, dapat menyebabkan seseorang

    mengalami krisis. Krisis kebudayaan inilah yang dimaksud Lewis dapat menyebabkan

    konversi agama. Mereka mulai mencari agama yang tidak menyusahkan dan memberatkan

    keuangan hidupnya.

    4. Pertemuan/Perjumpaan

    Perjumpaan yang dimaksud oleh Lewis dalam tingkatan ini adalah berjumpanya sang

    pendorong (Misionaris/orang Kristen) dengan pelaku konversi agama. Perjumpaan

    dipandang sebagai pusaran kekuatan dinamis lapangan di mana konversi itu terjadi. Dari

    perjumpaan tersebut terdapat sebuah penolakan total dan dapat juga terjadi penerimaan yang

  • 92

    lengkap pada orang lain. Pandangan Lewis relevan dalam penggambaran hasil penelitian

    yang telah dilakukan, karena konversi agama yang terjadi di Bukitsari awal mulanya dari

    Desa Katung, merupakan bentuk perjumpaan antara pelaku konversi dengan kelompok

    keagamaan Kristen. Dalam perjumpaan inilah terjadi suatu sikap penerimaan yang positif

    oleh pelaku konversi dan sikap negatif berupa penolakan oleh lingkungan masyarakat sekitar.

    Dalam perjumpaan antara sang pendorong dalam hal ini adalah komunitas kristen, Lewis

    mengungkapkan bagi sang pendorong memiliki target audien yang potensial dan taktik untuk

    membawa orang-orang yang berkonversi ke dalam komunitas keagamaan. Orang yang

    berkonversi juga mencoba mempertinggi kepentingan-kepentingan terbaik yang merasa

    dimiliki. Dengan cara-cara itu sang pendorong dan orang yang berkonversi secara potensial

    secara timbal balik bertemu dengan masing-masing kebutuhannya.

    Apa yang dipaparkan Lewis sinkron dengan hasil penelitian yang diperoleh, karena

    kelompok agama kristen memiliki target audien dan memiliki taktik untuk mengajak pelaku

    konversi untuk berkonversi saat itu. Caranya adalah dengan memperkenalkan kekristenan,

    diajaknya ibadah, dikenalkannya kepada pemimpin agama, disambut baik dengan penuh

    kasih, sehingga melalui proses pelayanan yang panjang akhirnya pelaku konversi

    berkonversi. Demikian sebaliknya, para pelaku konversi pun memilki sebuah tujuan atau

    kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya ketika mereka menjadi kristen melihat peluang

    akan adanya harapan dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kebutuhan tersebut bukan hanya

    spiritual tetapi juga dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi, termasuk dalam sandang,

    pangan dan papan. Dari peristiwa ini terlihat ada sebuah kepentingan timbal balik

    bertemunya masing-masing kebutuhan seperti yang dikatakan Lewis.

  • 93

    5. Interaksi

    Lewis mengungkapkan untuk orang-orang yang berlanjut dengan sebuah pilihan

    keagamaan baru setelah awal pertemuan, mereka berinteraksi dengan mengadopsi kehebatan-

    kehebatan kelompok keagamaan. Dalam hal ini interaksi terjadi diawali oleh sebuah

    pertemuan antara kelompok agama Kristen dengan pelaku konversi. Pelaku konversi agama

    di Bukitsari, memandang kekristenan memiliki keunggulan atau kehebatan dibanding agama

    yang lama, misalnya tentang dalam agama Kristen ada kepastian keselamatan, ada

    pembebasan dari dosa oleh Yesus, Tuhan Kristen yang dapat menolong kesulitan hidup

    mereka, menyembah Tuhan bukan patung berhala (Arjuna dan Krisna, Bukitsari, 2012), tidak

    mengenal denda sosial, ritual-ritual tidak membutuhkan dana besar seperti halnya dalam

    agama yang lama.

    Lewis berpendapat pada tahap interaksi, orang yang berkonversi secara potensial

    lainnya memilih melanjutkan kontak dan menjadi lebih terlibat, atau sang pendorong

    berusaha menopang interaksi tersebut dengan tatanan untuk memperluas kemungkinan

    mengajak orang tersebut untuk berkonversi. Apa yang diungkapkan Lewis sesuai dengan

    konteks pelaku konversi di Bukitsari, mereka memilih melanjutkan kontak dengan kelompok

    Kristen dengan mengundang orang-orang Kristen ke daerah mereka untuk pendalaman lebih

    lanjut tentang kekristenan. Demikian halnya dengan kelompok Kristen dengan antusias

    datang memberikan pelayanan kepada palaku konversi baik ketika di Katung sampai

    berlanjut di Bukitsari (Krisna, Denpasar, 2012). Potensi ini memungkinkan kelompok

    Kristen untuk mengajak pelaku konversi untuk berkonversi.

    Lebih lanjut Lewis berbicara mengenai keefektifan interaksi mungkin berasal dari sebuah

    diskusi tentang sifat mendasar dari proses pewadahan, misalnya: berbagai macam hubungan,

  • 94

    ritual, pembicaraan, dan peranan. Setelah melakukan pengamatan, didapati bahwa dalam

    proses interaksi ini mulai terjalin sebuah hubungan antar keduanya, mereka juga mulai

    dilibatkan dalam ritual-ritual misalnya mengikuti persekutuan, ada semacam pembicaraan

    yang lebih dalam tentang kekristenan, dan mulai diberi peranan untuk dikerjakan misalnya

    penyiapan tempat ketika ada perkunjungan dan diajar membaca alkitab.

    6. Komitmen

    Lewis mengatakan komitmen merupakan bagian dari proses konversi yang perlu

    dilakukan oleh pelaku konversi setelah melakukan interaksi yang intensif dengan kelompok

    agama yang baru. Komitmen seseorang biasa ditunjukan dengan menjalankan ritual agama

    yang baru. Komitmen tersebut dikenal dengan sebutan komitmen ritual, seperti: baptis dan

    kesaksian. Berdasarkan hasil penelitian para pelaku konversi setelah memalalui beberapa

    tingkatan di atas, akhirnya berani mengambil sebuah komitmen dengan melakukan konversi

    agama dari Hindu ke Kristen. Tidak sebatas itu saja, mereka juga mau menyerahkan diri

    untuk dibaptis dan bersedia menjadi saksi tentang iman barunya (Krisna, Denpasar, 2012).

    Karena dengan kedua hal itu, memperlihatkan perubahan seseorang dan partisipasinya di

    dalam perubahan tersebut, serta orang lain juga dapat melihat keputusan yang diambil oleh

    pelaku konversi (menjadi saksi).

    Lewis mengatakan di dalam tingkat ini terdapat lima elemen yang melingkupi: membuat

    keputusan, ritual-ritual, penyerahan, manifestasi kesaksian yang terkandung di dalam

    perubahan bahasa dan rekontruksi biografi, dan perumusan kembali motivasi. Dalam tahap

    ini pelaku konversi di Bukitsari berani mengambil keputusan pindah agama, kemudian mau

    mengikuti atau terlibat dalam ritual keagamaan. Lalu ada suatu sikap penyerahan diri sebagai

  • 95

    bentuk kepercayaan terhadap keagamaan baru, adanya kesaksian hidup berbentuk pada

    perubahan gaya hidup dan membangun pandangan serta pola hidupnya yang baru. Kemudian

    mencoba merumuskan kembali motivasi dalam bentuk perenungan dan pertanyaan refleksi

    tentang keputusan yang telah diambil terhadap motivasi awal.

    7. Konsekuensi

    Ketika seseorang atau kelompok memutuskan untuk melakukan konversi agama,

    tentunya telah banyak hal-hal yang dipertimbangkan, termasuk akibat, atau dampak, atau

    yang dalam tingkatan bagian ini disebut sebagai konsekuensi. Hal tersebut juga yang terjadi

    bagi pelaku konversi agama di Bukitsari, karena mereka menerima dampak atau konsekuensi

    dari keputusan yang mereka ambil. Konsekuensi ini berupa perlakuan tidak adil dan

    diskriminasi, lunturnya harmonisasi dan solidaritas, dicemburui oleh masyarakat sekitar, dan

    tekanan psikologi.

    Lewis mengemukakan beberapa pendekatan untuk menyelidiki konsekuensi atau dampak

    dari kasus konversi agama, antara lain: Konsekuensi psikologi, Konsekuensi teologi, Peran

    bias pribadi dalam penilaian, dan Konsekuensi sosial budaya dan historis.

    1. Konsekuensi psikologi

    Konsekuensi psikologi yang dimaksud Lewis adalah sebuah evaluasi psikologis tentang

    apakah ada kemajuan, kemunduran, atau perbaikan ketika berkonversi. Simmonds (dalam

    Lewis) mempertanyakan apakah konversi kepada Yesus (kekristenan) adalah hal yang

    sesungguhnya atau pergantian semata-mata. Konversi ingin mengenal dan mengikut Yesus

  • 96

    atau karena kepatuhan terhadap pemimpin kelompok atau norma-norma kelompok agama

    tertentu.

    Sebuah perenungan apakah benar keputusan yang sudah diambil dengan sebuah

    kesadaran, apakah benar karena ingin menjadi pengikut Yesus Kristus, atau hanya kagum

    terhadap agama Kristen dan pengaruh dari kelompok agama Kristen. Berdasarkan hasil

    penelitian didapati bahwa beberapa KK yang melakukan konversi awalnya memang karena

    pengaruh dari lingkungan keagamaan Kristen di Katung, namun dalam prosesnya mereka

    dengan sebuah kesadaran mau pindah ke agama Kristen atas dorongan diri pribadi dan ingin

    mengenal kekristenan (Yesus) lebih dalam. Hal ini tersbukti melalui antusiasnya mereka

    ingin belajar kekristenan lebih dalam hingga mengundang komunitas Kristen untuk datang

    ke Bukitsari di daerah asal mereka setelah mengenal kekristenan awal di Katung (Krisna,

    Denpasar, 2012). Terbukti juga hingga sampai sekarang mereka tetap bertahan, setia pada

    keyakinan barunya, walaupun mereka mengalami sebuah tekanan batin sebagai dampak dari

    konversi yang mereka lakukan. Tekanan batin tersebut berupa diperlakukannya mereka

    secara tidak adil dan diskriminasi, dan dicemburui oleh masyarakat sekitar.

    2. Konsekuensi teologi

    Konsekuensi teologis yang Lewis maksud adalah evaluasi konversi dalam menilai

    konsekuensi. Aston menilai ada dua penilaian: Pertama, ritual dan dimensi perilaku yaitu

    apakah calon pelaku konversi memenuhi syarat ritual untuk berkonversi, misalnya dibabtis.

    Kedua, tentang apakah ada pencarian yang mendalam untuk Tuhan, apakah dengan tulus

    dan dengan motivasi yang benar.

    Beberapa KK yang melakukan konversi di Bukitsari melalui proses belajar yang panjang

    tentang kekristenan pada akhirnya memberi diri dengan sukarela untuk dibaptis (Krisna,

  • 97

    Denpasar, 2012). Dalam hal ini para pelaku konversi telah memenuhi syarat untuk

    berkonversi. Dalam pencarian mendalam untuk mengenal Tuhan Yesus (kekristenan) para

    pelaku konversi melakukan usaha yang demikian, hal ini terbukti keterbukaan mereka dan

    undangan mereka kepada pelayan Tuhan dari Katung untuk ke daerah mereka Bukitsari

    guna belajar lebih dalam tentang kekristenan. Tetapi dalam hal motivasi, mereka kurang

    tulus karena selain ingin belajar kekristenan mereka juga memiliki motivasi ekonomi dan

    politik (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).

    Melalui pembelajaran tentang teologi Kristen, doktrin gereja, pengajaran iman Kristen

    dapat membuat kekristenan (pelaku konversi) menjadi kelompok agama yang eksklusif.

    Dalam konsekuensi teologis juga dijelaskan tentang apakah melalui keteladanan orang

    Kristen dan ritual keagamaan dapat membuat orang melakukan pindah agama. Berdasarkan

    hasil penelitian terhadap pelaku konversi di Bukitsari disadari atau tidak telah terjadi sikap

    hati yang eksklusif dari pelaku konversi. Hal ini tercermin dengan sebuah pernyataan oleh

    pelaku konversi tentang di dalam kekristenan ada keselamatan dan agama lama tidak ada,

    kemudian kekristenan menyembah Allah yang hidup tetapi agama lama menyembah

    berhala/patung (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012). Pernyataan ini dilontarkan oleh pelaku

    konversi saat diadakan wawancara, ini menandakan bahwa kekristenan dapat membuat

    seseorang atau pemnganutnya bersikap eksklusif.

    Berdasarkan hasil penelitian beberapa KK yang pindah agama bahwa keteladanan orang

    Kristen dan ritual keagamaan dapat menyebabkan orang pindah agama. Hal inilah yang

    terjadi di Bukitsari, bahwa mereka pindah agama karena keteladanan orang Kristen yang

    baik, loyal, penuh kasih, mau menolong terhadap mereka dan adanya ajakan mengikuti

    ritual kegamaan seperti ibadah atau persekutuan.

  • 98

    3. Peran bias pribadi dalam suatu penilaian.

    Dalam peran bias pribadi terhadap suatu penilaian yang dimaksud Lewis adalah setiap

    komunitas keagamaan memiliki posisi dan penilaian sendiri. Adanya sebuah penilaian

    terhadap orientasi-orientasi teologi tentang pengetahuan-pengetahuan manusia yang

    normatif. Kemudian dalam hal evaluasi psikologi menggambarkan resolusi mengenai

    kesalahan, permusuhan dan sebagainya yang intinya konversi memiliki nilai negatif.

    Berdasarkan hasil penelitian berkenaan dengan nilai negatif dari konversi salah satunya

    ialah berbentuk pransangka. Prasangka ini terbukti adanya pandangan negatif dari

    masyarakat di Bukitsari terhadap pelaku konversi agama dan kepada agama Kristen itu

    sendiri. Karena kekristenan dianggap sebagai ancaman yang dapat merusak tatanan sosial,

    budaya dan agama di komunitas masyarakat adat setempat, dan adanya kecurigaan terhadap

    orang-orang Kristen yang berkunjung ke Bukitsari (Krisna, Denpasar, 2012). Prasangka ini

    akhirnya terwujud melalui tindakan nyata terhadap komunitas Kristen di Bukitsari, mereka

    melakukan sebuah resistensi sebagai bentuk ketidaksetujuannya karena adanya kekristenan

    di Bukitsari. Resistensi/penolakan ini berbentuk sikap perlakuan tidak adil dan diskriminasi

    terhadap pelaku konversi di daerah tersebut (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).

    4. Konsekuensi sosial budaya dan historis.

    Lewis mengungkapkan bahwa konversi tidak hanya memiliki konsekuensi-konsekuensi

    personal bagi individu tetapi meliputi konsekuensi-konsekuensi sosial budaya bagi

    kelompok-kelompok orang yang berkonversi. Konversi membawa sebuah perubahan bagi

    pelakunya maupun lingkungan sosial budaya masyarakat tertentu. Konversi membawa

    konsekuensi kemarahan, kekerasan dan konsolidasi sistem sebuah masyarakat.

  • 99

    Dampak sosial budaya yang terjadi di Bukitsari berbentuk lunturnya harmonisasi dan

    solidaritas masyarakat setempat dengan pelaku konversi. Ini tercermin melalui sikap

    masyarakat setempat yang mulai membedakan antara orang Kristen dan orang hindu,

    kurangnya tegur sapa, tidak dilibatkannya mereka dalam kegiatan adat, selalu dicurigai,

    kurangnya kepedulian masyarakat adat terhadap pelaku konversi agama. Demikian juga

    lingkungn sosial yang yang lebih kecil yaitu keluarga, ada sebuah penolakan dari anggota

    keluarganya terhadap para pelaku konversi, misalnya dalam bentuk percecokan, ancaman

    sampai pada perusakan rumah (Arjuna, Denpasar, 2012).

    Kemudian adanya perlakuan tidak adil dan diskriminasi oleh masyarakat sekitar kepada

    pelaku konversi, misalnya tidak disalurkannya bantuan dari pemerintah berupa beras, aliran

    air, dan listrik. Hal yang ektrim lagi adalah tentang pembongkaran kuburan Kristen oleh

    masyarakat sekitar (Gareng, Abianbase, 2012).

    Selanjutnya ada kecemburuan sosial oleh masyarakat sekitar terhadap pelaku konversi.

    Kecemburuan ini nampak pada peristiwa perusakan tanaman milik pelaku konversi, karena

    tanaman mereka lebih baik disbanding tanaman masyarakat sekitar (Krisna, Denpasar,

    2012).

    8. Krisis Baru

    Setelah penulis memaparkan ke tujuh (7) rentetan peristiwa proses konversi di atas

    menurut Lewis, dimulai dari krisis hingga konsekuensi, maka penulis mendapati bahwa hal

    tersebut juga telah menciptakan krisis baru. Krisis baru yang dimaksud adalah sebuah krisis

    dampak dari konsekuensi yang dirasakan oleh pelaku konversi. Krisis baru ini dapat

    berdampak pada kembalinya pelaku konversi ke agama semua atau penulis memberi istilah

  • 100

    re-konversi, atau justru krisis ini memurnikan pelaku konversi untuk tetap konsisten terhadap

    agama dan iman barunya.

    Terbukti bahwa melalui krisis baru ini banyak pelaku konversi yang telah menjadi

    Kristen, melakukan re-konversi ke agama semula. Penyebabnya adalah dari

    dampak/konsekuensi yang dirasa memberatkan mereka ketika menjadi Kristen. Kemudian

    bagi yang bertahan hingga sekarang, adalah sebagai bukti bahwa ada kuasa ilahi yang

    memberikan mereka kekuatan hingga bertahan dan sanggup mengahdapi, melewati proses

    dari awal hingga sampai pada tahap konsekuensi. Dari konsekuensi menuju ke krisis baru

    dan tetap konsisten.

    4.6 Kesimpulan

    Berdasarkan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud konversi agama

    dalam konteks beberapa KK di Bukitsari ialah telah berubahnya sistem keyakinan lama ke sistem

    keyakinan yang baru atau berpindah dari satu agama ke agama yang lain, yakni dari Hindu ke

    Kristen Protestan. Konversi yang terjadi di Bukitsari bukanlah disebabkan oleh faktor atau

    peristiwa tunggal melainkan terdiri dari berbagai rentetan peristiwa yang tidak dapat dipisahkan

    satu dengan yang lain. Keputusan yang dilakukan oleh beberapa KK di Bukitsari untuk pindah

    agama tidaklah mudah, karena mereka harus siap menerima dampak atau konsekuensinya.

    Proses peristiwa konversi di Bukitsari secara sederhana dapat digambarkan serta diurutkan

    sebagai berikut: konversi berasal dari sebuah krisis, dari krisis maka pelaku konversi melakukan

    pencarian, dari pencarian akan membawa pelaku konversi ke suatu tempat atau konteks,

    kemudian di konteks itulah mereka mengalami perjumpaan/pertemuan, lalu dari pertemuan

    tersebut terjadilah interaksi, karena interaksi yang intensif terjadi maka pelaku konversi

  • 101

    melakukan sebuah komitmen, komitemen tersebut membawa sebuah konsekuensi, dari

    konsekuensi tersebut kembali menyebabkan krisis baru bagi pelaku konversi agama.