anak
DESCRIPTION
anakTRANSCRIPT
Journal Reading I
Jumat, 3 September 2015
PERANAN PERAWAT DALAM PENENTUAN TATALAKSANA PADA ANAK
DENGAN GANGGUAN NEUROLOGI
(Dikutip dari: Journal of Neuroscience Nursing 2009 Vol 41(5) pp.270-276)
Oleh:
Airena Niza Nugroho 1110313012
Elfani Lisa Alvionita Ifada 1110313080
Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S(K)
ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERITAS ANDALAS
RS. Dr. M. DJAMIL PADANG
2015
PERANAN PERAWAT DALAM PENENTUAN TATALAKSANA PADA ANAK
DENGAN GANGGUAN NEUROLOGI
Duffy, Lisa V.
Abstrak
Penyedia layanan kesehatan sering dihadapkan dengan dilema etik dalam menentukan
tatalaksana anak dengan gangguan neurologi. Masalah-masalah tersebut dapat berakar dari
kenyataan bahwa apa yang diharapkan keluarga mungkin berlawanan dengan apa yang
terbaik diberikan untuk anak menurut tim kesehatan. Ada banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan pilihan tatalaksana untuk anak dengan gangguan
neurologi. Perawat memiliki posisi yang unik untuk menyokong keterlibatan keluarga pasien
anak dalam membuat keputusan-keputusan sulit tersebut.
Isi Artikel
Neurologi anak adalah area spesialis yang rumit dimana penyakit-penyakit yang sangat
langka ditemukan dengan frekuensi relatif. Sayangnya, penyebab penyakit tersebut dapat
menjadi sulit diketahui karena keadaan ilmu pengetahuan yang belum matang. Tanpa
informasi ini, akan sangat sulit mendiskusikan prognosis anak dengan derajat kepastian
berapapun. Dalam situasi ini, seringkali penting untuk bergantung pada pengalaman-
pengalaman masa lalu, mengingat banyak dari anak-anak ini yang akan berhasil selamat
namun mengalami sekuele neurologi mulai dari gangguan belajar ringan hingga dalam
beberapa kasus keadaan vegetatif persisten. Masalahnya kemudian berubah menjadi
bagaimana keputusan kesehatan seharusnya dibuat dalam kasus dengan gangguan serius yang
sering terjadi, walaupun kondisi ilmu pengetahuan sedemmikian rupa hingga kita tidak bisa
mengetahui perluasan kecacatan. Artikel ini membahas tentang latihan membuat keputusan
dan menawarkan jalan dimana para perawat dapat memfasilitasi dan berdebat demi
pentingnya keterlibatan orang tua dalam membuat keputusan tatalaksana untuk anak mereka
yang memiliki kecacatan neurologi.
Kondisi Pembuatan Keputusan
Saat ini tidak ada guidelines yang ditetapkan untuk pembuatan keputusan yang menyinggung
kasus-kasus tersebut dimana prognosis medis anak tersebut masih belum jelas. Berikut ini
adalah contoh masalah tersebut.
C.P. adalah bayi baru lahir, cukup bulan, dikirim ke rumah sakit dengan neurologi inpatient
ringan setelah ia mulai kejang-kejang segera setelah dilahirkan. C.P. tidak memiliki kesulitan
makan dan memiliki tonus otot normal dan menangis ketila ia harus ganti baju. Walaupun
demikian, tim neurologi memiliki kesulitan besar dalam mengontrol kejangnya. Ahli dalam
neurologi neonatus dikonsulkan dan menentukan bahwa diagnosis yang paling mendekati
adalah satu tipe epilepsi yang bernama Ohtahara syndrome. Ohtahara syndrome adalah
kelainan neurologi yang langka pada bayi, yang terdiri dari sering kejang-kejang seluruh
tubuh dan ditemukan abnormalitas terus menerus dalam encephalogram. Kelainan ini paling
sering diasosiasikan dengan retardasi mental dan prognosis psikomotor berat (Ohtahara &
Yamatogi, 2006). Anak-anak dengan kelainan ini dihadapkan dengan cacat neurologi berat,
bila mereka dapat bertahan hidup selama masa kanak-kanak. Setelah diagnosis dibuat, tim
neurologi, perawat, dan pekerja sosial bertemu dengan keluarga untuk mendiskusikan apa
artinya hidup dengan penyakit ini dan kapan pilihan terapi tersedia. Tidak ada petugas
kesehatan yang menawarkan pilihan untuk menolak terapi pada saat ini. Keluarga pasien
meminta status untuk tidak meresusitasi untuk C.P. (Sulit untuk menerka pikiran orang tua
pasien pada saat ini. Kedua orang tua menarik diri, tidak ada yang tampak dekat dengan anak
tersebut, dan merka tidak sering berkunjung. Interaksi dengan anggota tim kesehatan sangat
sedikit. Selama pertemuan, kedua orang tua juga bertanya pada tim apakah mugkin untuk
menghentikan asupan nutrisi dan membiarkan C.P. meninggal. Tim kesehatan menyarankan
keluarga untuk memikirkan kembali keputusannya nanti. Kedua orang tua pulang malam itu.
Para anggota tim kesehatan kemudian menunjukkan rasa syok dan tidak percaya bahwa
keluarga pasien mau menghentikan asupan makanan pada anak ini-pilihan ini tidak pernah
dipertimbangkan oleh tim. Beberapa berpikir walaupun C.P. mungkin dapat hidup dengan
kecacatan signifikan, mengakhiri hidupnya adalah suatu kesalahan. Di malam yang sama
dengan pertemuan tersebut, C.P. meninggal, dan kedua orang tuanya tidak perlu membuat
keputusan untuk mengakhiri pemberian makanannya.
Para anggota tim kesehatan mengalami kesulitan dengan kasus ini beberapa lama setelah
C.P. meninggal. Salah satu alasan kesulitan ini mungkin adalah adanya perbedaan antara
tujuan yang diharapkan oleh beberapa anggota tim kesehatan dengan tujuan yang diharapkan
orang tua pasien. Bagi beberapa orang, tujuannya hanyalah untuk mengurangi frekuensi
kejang yang dialami anak tersebut, yang dapat dicapai dengan pengobatan. Sebagian orang
lagi percaya bahwa tujuan seharusnya adalah untuk mempertahankan kehidupan pasien
namun itu hanya bila keluarganya yakin bahwa tindakan itu berguna. Pada kasus ini,
keberhasilan penanganan kejang tidak akan terlalu berdampak pada gangguan neurologi yang
diderita anak ini. Walaupun luas lesi neurobiologinya tidak dapat diprediksi secara pasti,
pengalaman yang ada menunjukkan bahwa anak ini mungkin harus hidup dengan gangguan
kognitif dan fisik yang berat. Tatalaksana kejang secara agresif dapat memperpanjang
hidupnya. Bolehkah orang tua pasien mendapat dukungan terhadap harapan mereka untuk
menghentikan pengobatan pada anak mereka yang baru lahir padahal kita memliki
pengobatan yang dapat berguna untuk memperpanjang hidupnya? Apakah hidup dengan
kecacatan berarti kehidupan yang tidak berguna? Bolehkah keputusan untuk menghentikan
perawatan didukung karena seroang anak harus hidup dengan retardasi mental dan kecacaan
fisik? Mari kita periksa guidelines yang ada untuk membahas isu ini.
Peraturan Baby Doe pertama kali disusun awal tahun 1980-an sebagai respons terhadap
keputusan yang dibuat orang tua seorang bayi dengan Down syndrome dan fistula trakeal
esofageal. Para orang tua ini memutuskan untuk membatalkan operasi life-saving untuk bayi
mereka yang tidak memiliki kecacatan fisik mayor, yang langsung mendorong Departemen
Kesehatan dan Pelayanan Manusia untuk melebarkan Hukum Rehabilitasi 1973 untuk
melindungi bayi-bayi cacat. Peraturan-peraturan baru ini menyatakan bahwa tatalaksana tidak
bisa dihentikan bila bayi cacat atau bila intervensi tidak menjadi kontaindikasi karena
kecacatan (Devetlare, 2000). Walaupun peraturan-peraturan ini awalnya dimaksudkan untuk
melidungi hak bayi-bayi cacat, penggunaannya secara terus-menerus sekarang ini menuai
kontroversi. Kopelamn (2005) berpendapat bahwa peraturan ini tidak mempertimbangkan
harapan keluarga bayi dan berlawanan dnegan penggunaan rencana tatalaksana secara
induvidu sesuai yang ada dalam konteks. Peraturan Baby Doe tidak dapat diaplikasikan ke
dalam semua situasi terutama bila seorang bayi dapat selamat hanya untuk mengalami
kecacatan yang berat. Apa yang terjadi dalam situasi dimana tatalaksana yang sedang
berlangsung dianggap sia-sia atau menjadi beban pada anak tersebut?
Contoh kasus sebelumnya membantu menggarisbawahi beberapa isu yangmengelilingi
kondisi medis dan apa yang dapat diklasifikasikan sebagai sia-sia secara medis. Istilah sia-sia
secara medis telah digunakan secara luas dalam literatur kesehatan. Suatu ‘tatalaksana yang
sia-sia’ dapat diartikan sebagai “aksi, intervensi, atau prosedur yang efektif secara fisiologi
pada kasus yang diberikan, namun tidak dapat menguntungkan pasien, tidak peduli berapa
kali tatalaksana tersebut diulangi. Tindakan sia-sia tidak selamanya tidak efektif, namun
tindakan tersebut tidak berguna, baik karena aksi medis tersebut percuma, atau kondisi pasien
membuatnya menjadi sia-sia” (Clark, 2001, p.181). Nelson (1992) mengatakan suatu
tindakan ‘sia-sia’ bila “tidak memiliki kegunaan apapun untuk pasien, dapat memberi
penderitaan dan nyeri yang tidak diinginkan pasien, dan tidak mencapai tujuan kesembuhan
dan mengembalikan pasien kepada kualitas hidup yang masih dapat diterima” (p. 429).
Masalah dari kasus ini adalah siapa yang menetukan berapa tingkat beban yang bisa diteima
oleh anak untuk tetap hidup? Tujuan tatalaksana membantu menentukan apakah suatu aksi
dikatakan sia-sia atau tidak. Bila seorang anak bisa melanjutkan hidup bertahun-tahun
lamanya dengan tatalaksana yang sesederhana pemberian obat, apakah kita sebagai petugas
kesehatan memiliki kewajiban untuk melindungi hak anak tersebut untuk hidup? Apa yang
dapat disebut kehidupan berkualitas? Bila kita tidak bisa menentukan apakah suatu kasus itu
sia-sia, lalu bagaimana kita membuat keputusan tentang seberapa agresif tindakan seharusnya
dilakukan? Dalam situasi seperti ini, beberapa akan berdebat bahwa keputusan harus dibuat
berdasarkan apa yang paling dibutuhkan pasien.
Banyak penyedia layanan kesehatan akan mendukung pendapat bahwa standar tatalaksana
harus diaplikasikan ketika membuat keputusan terhadap seorang anak, namun bagaimana
gagasan ini bisa diimplementasikan dalam praktek? Seperti yang dikatakan Kopelman
(2005), beberapa telah mengajukan dengan membuat standar sesuai kebutuhan terbaik untuk
pasien dalam memutuskan ketika masa depan seorang anak tidak pasti:
Standar kebutuhan yang terbaik adalah standar moral dan legal untuk menentukan apakah
seseorang kekurangan kapasitas membuat keputusan dan siapa yang tidak meninggalkan
petunjuk selanjutnya; standar ini seharusnya digunakan pengawal, hakim, klinisi, atau orang-
orang yang bertanggung jawab dalam memutuskan untuk orang-orang yang tidak kompeten
dengan mengumpulkan keuntungan bersih dan beban dan memilih pilihan yang paling
menguntngkan.
Walaupun demikian, menentukan apa yang menjadi kebutuhan utama dari seorang anak
adalah pekerjaan yang sulit. Beberapa orang mungkin mengatasi masalah ini dengan
memikirkan prinsip etik beneficence. Prinsip beneficence, atau melakukan kebaikan, telah
mewakili seluruh praktik kesehatan dan jelas tercantum dalam sumpah Hippokratess, yang
menyatakan bahwa dokter akan mengintervensi “demi keuntungan bagi orang sakit seusai
dengan kemampuan dan penilaiannya” (Devettere, 2000, p.67). Sumpah terssebut memiliki
paternalisme kesehatan dimana dokter adalah pemberi keputusan mengenai tindakan apa
yang terbaik dilakukan. Pemikiran paternalisme ini dapat dilihat ketika intervensi sering
didasarkan kepada apa yang menurut dokter adalah terbaik bagi pasiennya. Seperti yang
dianjurkan untuk memikirkan situasi dari sudut pandang pasien (Devettere, 2000). Ketika
menentukan apa yang dapat dilakukan pada anak, tim kesehatan harus memikirkan seluruh
modalitas tatalaksana yang ada dan akan menggunakan intervensi tertentu bahkan bila tidak
ada bukti yang mendukung potensi efektivitas tindakan tersbut. Penentuan tatalaksana
seorang dokter terkadang terlihat didasari kepada memperpanjang kehidupan dibandingkan
dengan kualitas hidup itu sendiri. Tujuannya adalah kehidupan apapun berharga untuk
dipertahankan. “Menimpakan beban yang tidak proporsional dengan keuntungan yang
dicapai atau menunjukkan rasa tidak hormat kepada harga diri seorang anaak dan nilainya
sebagai seseorang tidak cocok dengan kebutuhan utama seoranga anak” (Nelson, 1992,
p.428). Bagaimana bisa seseorang mengevaluasi nilai kehidupan seoranga anak dengan
gangguan neurologi? Karena kita tidak dapat memprediksi masa depan secara tepat, apakah
menghentikan terapi dapat diterima? Pada kasus seorang anak dengan gangguan neurologi
berat, banyak dokter yang membuat keputusan sendiri tanpa menawarkan pilihan kepada
keluarga untuk menghentikan terapi selama masih ada sesuatu halangan, yang mungkin
meberi pasien beberapa keuntungan dimana apa yang dikatakan keuntungan bisa diartikan
sebagai sesuatu yang buruk. Mims dan Crisham (1996) mengatakan, “Bila kekurangan bukti
yang cukup untuk menghentikan tatalaksana, seorang dokter harus meneruskan tatalaksana,
agar tidak melanggar kewajiban moralnya” (p.238). Penyedia layanan kesehatan ditantang
dengan kebutuhan untuk melindungi kebutuhan utama bayi yang mereka rawat. Walaupun
pernyataan ini dibuat dengan maksud baik, pernyataan ini bisa berarti buruk bila tanpa
keterlibatan keluarga. Hal ini disebabkan keputusan seharusnya tidak dibuat tanpa pengertian
keluarga. Kebutuhan dan masalah keluarga seharusnya menjadi bagian dari proses
pengambilan keputusan yang berfokus pada kebutuhan orang lain. Dalam menentukan
tatalaksana terbaik bagi seorang anak, bagaimana caranya membuat sudut pandang keluarga
menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan? “Sistem sosial kami secara umum
memberi pasiendan keluarga kebebasan dalam membuat keputusan mereka sendiri mengenai
pelayanan kesehatan dan dalam meneruskan, membatasi, menolak, atau menghantikan
tatalaksana, apakah mempertahankan kehidupan atau sebaliknya” (American Academy of
Pediatrics [AAP], 1994, p. 553). Daripada membuat keputusan sendiri terhadap pasien anak-
anak, haruskah kita memikirkan keinginan dan kebutuhan keluarga? (Tabel 1).
Tabel 1. Faktor yang Berhubungan dengan Pembuatan Keputusan Akhir Kehidupan
Keuntungan Beban
Kemampuan merasakan kepuasan fisik dan
emosional
Nyeri
Peningkatan kualitas hidup Kecacatan fisik
Kepuasan intelektual Penurunan kualitas hidup
Tindakan yang Diperbolehkan
Seringkali, walaupun seorang anak bisa bertahan dengan kecacatan neurologi berat, kita
mungkin tidak dapat memberi keluarganya dengan pilihan untuk menghentikan terapi dan
fokus kepada menjaga anak tersebut tetap hidup, meningkatkan potensi anak mungkin dapat
meningkatkan kualitas hidup. Satu pertanyaan muncul di situasi sulit yang berhubungan
dengan kualitas hidup. Kita sering menilai penghentian terapi ketika prognosis orang
menyangkut dengan apa yang kita anggap sebagai kualitas hidup yang buruk, namun setiap
orang mungkin memiliki pandangan yang sangat berbeda terhadap apa yang membuat
kualitas hidup. Satu orang mungkin menolak tatalaksana dalam situasi dimana dia akan
kehilangan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Orang lain mungkin akan merasa
bahwa selama ia dapat merasakan kebahagiaan dari bertemu dengan keluarganya berarti
hidupnya berkualitas dan masih berarti untuk dijalani. Sangat sulit untuk mengesampingkan
perasaan sendiri terhadap bagaimana kita mengukur kualitas hidup dan tidak membiarkan
pikiran kita mempengaruhi jenis pilihan tatalaksana yang kita tawarkan kepada keluarga
pasien. Hal ini sulit bahkan ketika kita merawat seorang pasien dewasa yang bisa
mengutarakan keinginannya dengan jelas. Hal ini semakin menjadi sulit ketika orang tua
menentukan tatalaksana untuk anaknya. Bagaimana kita sebagai profesional di bidang
kesehatan yakin bahwa orang tua tersebut membuat keputusan yang mewakili kebutuhan
terbaik untuk anaknya? Apakah kita punya kewajiban untuk mengintervensi atas nama
anaknya bila kita berpikir bahwa orang tuanya memilih pilihan yang salah? Bagaimana kita
bisa menganggap diri kita tahu lebih banyak tentang seorang anak dari pada orang tuanya?
Beberapa orang mungkin berargumen bahwa dasar dari mempertahankan kualitas kehidupan
akan mendukung pemberian obat antiepileptik multipel secara agresif pada penderita
gangguan kejang. Argumen yang mendukung pernyataan ini akan menunjukkan bahwa
penurunan jumlah kejang yang dialami pada hari apapun memberikan lebih banyak periode
sadar, yang akan memberi pasien kesempatan untuk belajar kemampuan baru dan berinteraksi
yang lebih berarti dengan keluarganya. Mungkin tidak akan ada yang percaya bahwa ada
yang akan berargumen bahwa tujuan-tujuan tersebut bukanlah kebutuhan terbaik bagi
seorang anak. Walaupun demikian, dengan tatalaksana agresif dengan obat antiepileptik
multipel, kita memaparkan anak-anak kepada berbagai efek samping yang dapat memberi
gejala mulai dari penambahan berat badan dan letargi ke disfungsi liver dan ruam-ruam yang
mengancam jiwa (Sindrom Steven Johnson). Tidak hanya itu, beberapa orang mungkin
berpendapat bahwa kita menolong untuk memperpanjang kehidupan untuk anak yang
mungkin memiliki keterbatasan atau tidak memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan
lingkungan di sekitar mereka. Kita mungkin percaya bahwa anak-anak ini mungkin tidak
mengalami penderitaan ini, tapi apakah kita benar dengan berpendapat demikian? Apakah
kita juga perlu mempertimbangkan jumah penderitaan yang dialami keluarganya? Haruskah
kita mempertimbangkan dampak kepada keluarga ketika seorang anak akan bertahan hidup
namun dengan kecacatan neurologi yang berat namun tidak mengancam jiwa? Bila kita
seharusnya merawat keluarganya, hal ini harus menjadi pertimbangan kita dan keluarga harus
dilibatkan dalam segala aspek pembuatan keputusan pengobatan anaknya. Keluarganya
adalah orang yang akan menjaga dan merawat anak tersebut sepanjang hari selama hidupnya.
Tatalaksana agresif terhadap gangguan kejang memiliki pro dan kontra, dan keluarganya
harus dapat mempertimbangkan risiko dan keungungan untuk anaknya. Bagaimana kita bisa
menentukan bahwa seseorang harus dipaksa untuk mengambil tanggung jawab begitu besar?
Ketika orang tua harus membuat keputusan menyangkut perawatan anaknya, merka
dipengaruhi oleh “ketidakpastiak masa depan anaknya, keprihatinan mendalam terhadap
penderitaan anaknya serakang dan kesehatannya di masa depan, dan ketakutan akan
bagaimana masa depan akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kehidupan mereka di luar
rumah sakit” (Hardart, 2000, p.165). Walaupun tim kesehatan memiliki kewenangan untuk
menentukan pilihan terapi apa saja yang tersedia untuk pasien ini, keluarga juga perlu untuk
memahami bagaimana kehidupan mereka akan berubah selamanya oleh pilihan tersebut.
Siapa yang memiliki tanggung jawab terbesar untuk menentukan apa yang terbaik untuk sang
anak?
Kewenangan mengambil keputusan
Dengan mengikuti peraturan Baby Doe, kepentingan yang terbaik anak menjadi tidak
dipertimbangkan, dan pengobatan dapat dianggap memberatkan (Devettere, 2000). Bukankah
ada suatu situasi di mana pengobatan dilakukan untuk mempertahankan hidup? Perawatan
medis untuk mempertahankan hidup termasuk dalam tindakan dramatis praktek kontemporer
seperti transplantasi Organ, penggunaan respirator, penggunaan mesin ginjal (dialisis), dan
obat-obatan vasoaktif, juga termasuk teknis yang salah dalam mengambil obat seperti
antibiotik, insulin, kemoterapi, dan nutrisi dan hidrasi intravena atau disediakan oleh tabung
[(AAP, 1994, hal. 532).
Menerapkan ide ini pada kasus yang disajikan sebelumnya, nutrisi dan obat antiepilepsi akan
dianggap mempertahankan perawatan hidup. Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah
keputusan orang tua untuk menghentikan pemberian nutrisi merupakan keputusan terbaik
untuk untuk anak mereka? Sebuah kombinasi tindakan subjektif dan objektif yang
mengetahui efektivitas, manfaat, dan beban yang terkait dengan pengobatan telah diusulkan
oleh seseorang sebagai sarana untuk memfasilitasi pengambilan keputusan (Clark, 2001).
AAP (1994) telah menuliskan manfaat dan beban untuk pasien anak. AAP menganggap
manfaatnya mencakup kemampuan untuk merasakan kebahagiaan, kepuasan intelektual, dan
peningkatan kualitas hidup.
Beban dapat berupa nyeri, cacat fisik, dan penderitaan emosional (AAP, 1994). Penyedia
layanan kesehatan harus mempertimbangkan hal tersebut ketika melakukan pemeriksaan,
memilih pengobatan yang sesuai dan hasil keputusan tersebut mungkin meningkatkan
kualitas hidup anak. Untuk memudahkan pengambilan keputusan dalam situasi medis
tertentu, banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan termasuk menentukan tujuan pengobatan pasien, apakah pengobatan akan
memberatkan, dan harapan orang tua (Nelson, 1992).
Bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan
bagi diri mereka sendiri? Siapa yang harus bertanggung jawab untuk melindungi hak-
haknya? Ini adalah masalah yang sering kita hadapi ketika merawat anak-anak dengan
gangguan neurologis. Mungkin kita perlu mengetahui apa kunci dari masalah yang dihadapi
orang tersebut. Filsuf telah mengidentifikasi karakteristik yang diperlukan untuk
menghormati orang, karena setiap orang diyakini memiliki hak-hak tertentu. Karakteristik ini
termasuk memiliki kepentingan, memiliki kesadaran kognitif, yang mampu memiliki
hubungan, dan memiliki rasa keberanian menghadapi masa yang akan datang (Ujung &
Groves, 2006). Ide setiap orang penting untuk dipertimbangkan dalam situasi di mana
seorang anak mendapat gangguan neurologis.
Dalam studi kasus yang disajikan sebelumnya, beberapa mungkin berpendapat bahwa sulit
untuk menentukan kepribadian pada bayi ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk
mengukur sampai sejauh mana bayi akan dapat mengembangkan denga baik fungsi kognitif
dan fisiknya. Namun, kita sering dapat menilai sejauh mana bayi atau anak dapat menjaga
hubungan, dan kita dapat mengamati sejauh mana bayi merespon orang tua atau
lingkungannya. Pada anak yang lebih tua, kriteria ini menjadi lebih mudah diamati. Jika kita
menganggap bayi untuk memiliki kepribadian, maka mereka juga memiliki hak untuk
menentukan nasibnya sendiri. Karena bayi tidak dapat berbicara sendiri, maka orang tua
berhak memutuskan untuk anak mereka. Orang tua memiliki cara untuk mengetahui apa yang
diinginkan anak mereka dan yang terbaik untuk anak mereka. Namun, orang tua sering
mengambil keputusan atas kepentingan pribadi dan keluarga untuk menentukan yang terbaik
untuk anak mereka. Penyedia layanan kesehatan harus tersedia untuk membantu keluarga
dalam proses yang sulit ini.
Tanggung Jawab Profesional
Tim medis sering membuat keputusan atas nama anak dengan tidak menawarkan semua
pilihan pengobatan yang tersedia untuk keluarga. Dokter dapat memutuskan kapan anak
harus dan tidak harus terus menerima pengobatan agresif atau hanya hadir untuk keluarga
untuk membantu memilih tindakan yang terbaik. Misalnya, dalam kasus yang disajikan
sebelumnya, ketika anggota tim kesehatan memikirkan menawarkan keluarga kemungkinan
pengurangan masa pengobatan. Namun, setelah seorang anak habis rumah dengan keluarga
mereka, kita mungkin tidak pernah melihat mereka lagi. Tim kesehatan mengajarkan kepada
keluarga bagaimana cara memberi obat, bagaimana melakukan latihan menggerakkan badan,
dan cara menyusui dengan tabung. Kewajiban kita harus memastikan bahwa orang tua ini
memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas yang penting untuk perawatan bayi?
Apakah kewajiban kami untuk anak dan keluarga mereka berakhir setelah mereka pulang?
Tanpa memberikan pilihan untuk orang tua dengan pilihan untuk tidak memberikan
pengobatan, kami memutuskan bahwa keluarga pada dasarnya akan perlu untuk menentukan
hidup mereka karena mereka tahu itu. Kami memutuskan bahwa keluarga ini akan harus
bertanggung jawab untuk segala sesuatu untuk anak mereka akan membutuhkan keluarganya
untuk menghabiskan sisa hidup mereka. Apakah perlu untuk mempertimbangkan dampak
pada keluarga, atau cukup untuk percaya bahwa tanggung jawab utama kami adalah untuk
pasien kami sendiri? Bagaimana beban yang ditempatkan pada sistem kesehatan kita?
Penyedia layanan kesehatan sering tidak berpikir tentang biaya sebagai salah satu faktor
pendukung ketika mempertimbangkan kebutuhan anak dengan epilepsi. Namun, penting
untuk mempertimbangkan efek sosial yang mungkin timbul akibat ketidaksiapan sumber
daya terhadap usia seorang anak yang mungkin memiliki masa depan. Biaya tahunan, baik
langsung maupun tidak langsung, untuk mengobati satu orang dengan epilepsi telah
diperkirakan sekitar $ 60.000 (Begley et al., 2000). Anak-anak dengan epilepsi dapat
menggunakan lebih banyak sumber daya kesehatan dari anak-anak dengan penyakit kronis
lain karena epilepsi dikaitkan dengan beberapa komorbiditas (Bazil, 2004). Anak-anak
dengan epilepsi sering membutuhkan layanan tambahan, selain terapi fisik, intervensi dini,
konseling dan pengobatan psikososial, dan suplemen gizi. Hal ini juga menunjukkan bahwa
orang dewasa dengan epilepsi cenderung untuk mendapatkan gelar sarjana dan lebih mungkin
untuk menjadi pengangguran (Bazil, 2004). Jika seorang anak dengan epilepsi bertahan
menjadi dewasa, apakah kita harus mempertimbangkan kontribusi mereka ketika membahas
pilihan pengobatan?
Saat ini, cakupan kesehatan merupakan masalah bagi kebanyakan orang Amerika. Menurut
Federal Antar Forum Anak dan Keluarga Statistik (2005), pada tahun 2005, ada 8,1 juta
anak-anak yang tinggal di Amerika Serikat tanpa asuransi kesehatan. Anak-anak ini tidak
memiliki kebutuhan dasar untuk menjaga kesehatan termasuk kunjungan perawatan baik-
anak dan imunisasi. Apakah etis jika kita bertanggung jawab untuk menghabiskan begitu
banyak dolar untuk mengobati anak karena orang tuanya telah meminta kita untuk melakukan
segala pengobatan yang mungkin? Apakah kita tidak juga memiliki tanggung jawab untuk
anak yang tidak memiliki sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan nya? Sebagai
masyarakat, kita perlu mengevaluasi kembali bagaimana dana kesehatan dihabiskan dan
untuk memastikan bahwa semua warga negara kita mungkin memiliki akses ke perawatan
kualitas terbaik.
Peran keperawatan
Kode Keperawatan Etik menyatakan bahwa, perawat berusaha untuk menyediakan
kesempatan pasien untuk berpartisipasi dalam tahap perencanaan, menjamin bahwa pasien
menemukan rencana yang dapat diterima dan mendukung pelaksanaan rencana (ANA, 2001,
hal. 9). Menurut pernyataan ini, perawat tidak boleh hanya semata-mata memikirkan obat
pasien saja. Sebaliknya, fokusnya adalah pada pengembangan rencana perawatan yang dapat
diterima keluarga. Bagaimana kita bisa melakukan ini jika kita tidak memberikan pasien dan
keluarga mereka dengan semua informasi dan pilihan pengobatan yang tersedia? Sebagian
besar akan setuju bahwa keputusan untuk mengobati anak dengan prognosis yang tidak pasti
adalah tidak mudah untuk membuat. Dilema dalam dan dari dirinya sendiri memiliki
beberapa implikasi untuk praktek keperawatan. Jika kita percaya bahwa salah satu tugas
profesional kami adalah untuk mengadvokasi pasien kami, maka kita memiliki tanggung
jawab untuk memastikan bahwa keinginan mereka terpenuhi. Kita berada dalam posisi untuk
dapat menghabiskan waktu dengan pasien dan membantu mereka memutuskan apa yang
mereka rasakan akan menjadi yang terbaik untuk anak mereka.
Membantu orang tua untuk dapat membuat keputusan, harus disediakan dengan semua
informasi yang tersedia. AAP (1994) menyatakan bahwa orang tua memiliki hak hukum
untuk informasi yang memadai dan cukup tersedia pilihan diagnostik dan terapeutik
(termasuk risiko, manfaat, sifat, dan tujuan pilihan). Perawat harus memikul tanggung jawab
untuk mendidik pasien dan keluarga mereka tentang pilihan pengobatan yang berbeda,
termasuk pilihan untuk tidak mengobati. Pengalaman kami memberikan kita kemampuan
untuk berdiskusi dengan orang tua baik suka dan duka yang terkait dengan merawat anak
dengan gangguan neurologis. Perawat dapat memfasilitasi diskusi antar orang tua mengalami
masalah yang sama sehingga mereka dapat belajar dan menerima dukungan dari satu dan
lainnya. Selanjutnya ketika orang tua menginginkan penjelasan informasi dari medis, kita
dapat membantu memastikan bahwa keinginan orang tua dilayani dengan baik oleh tim
medis.
Usulan Keperawatan
Pedoman Perawat berada dalam posisi yang unik untuk menjadi bagian integral dalam
pengembangan pedoman untuk membantu orang tua membuat keputusan untuk anak-anak
mereka. Pedoman ini harus menggabungkan beberapa teknik yang dapat digunakan untuk
mengatasi beberapa masalah yang disajikan dalam artikel ini. Pertama harus selalu menjaga
keluarga diberitahu tentang informasi yang ada. Perawat perlu memastikan bahwa informasi
yang disampaikan pada keluarga ini jelas diartikulasikan dan dipahami dan bahwa keluarga
yang terlibat memiliki kemampuan untuk membuat keputusan. Perawat perlu membiasakan
diri dengan penelitian terbaru untuk memastikan bahwa informasi yang mereka sediakan
untuk keluarga adalah up-to-date dan akurat. Hal ini juga penting untuk menawarkan
keluarga kesempatan untuk berbicara dengan keluarga lain membesarkan anak-anak dengan
penyakit kronis yang sama.
Keluarga adalah satu-satunya orang yang benar-benar dapat memahami masalah anak dan
seluruh anggota keluarga yang lain. Ketika bekerja dengan keluarga, penggunaan konseling
tidak langsung harus dianggap sebagai strategi yang tepat. Carl Rogers awalnya
menggambarkan jenis konseling lebih dari 50 tahun yang lalu. Dengan menggunakan
pendekatan konseling tidak langsung untuk mengenali perasaan orang lain dan
memungkinkan mereka untuk memimpin arah pembicaraan. Hal ini berhasil dilakukan
dengan mendengarkan apa yang orang tua katakan, memerlukan pernyataan klarifikasi, dan
meringkas apa yang menjadi kekhawatiran utama orang tua. Pertanyaan harus mengarahkan
orang tua untuk terfokus pada topik (Rogers, 1951). Menggunakan konseling tidak langsung,
perawat tidak memberikan saran atau pendapat atas topik yang alin. Teknik ini
memungkinkan perawat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan
dan keprihatinan keluarga 'tanpa memasukkan kepentingan pribadi mereka sendiri ke dalam
situasi. Seorang pekerja sosial, spesialis anak atau psikolog harus diperkenalkan kepada
keluarga sesegera mungkin. Hal ini tidak hanya akan memberikan dukungan emosional
kepada keluarga, tetapi juga dapat membantu dalam membimbing keluarga dalam proses
pengambilan keputusan. Wolfe dkk. (2000) menyatakan bahwa, ketika seorang dokter
(psikolog atau pekerja sosial) terlibat dalam perawatan anak ada koordinasi yang lebih besar
antara dokter dan orang tua bahwa anak memiliki kesempatan lebih untuk disembuhkan [(p.
2474 ). Penggunaan komite etik atau tim perawatan paliatif dapat berguna untuk membantu
anggota dalam isu kesehatan seputar pengobatan anak dengan gangguan neurologis. Banyak
rumah sakit sekarang memiliki komite etika yang tersedia untuk menerima konsultasi. Dalam
kasus yang disajikan sebelumnya, ada lembaga yang tidak memiliki kedua komite etik dan
tim perawatan paliatif, sehingga anggota tim kesehatan tidak dapat melakukan konsultasi di
setiap waktu. Sayangnya, konsultasi ini tidak dimanfaatkan pada suatu waktu dikarenakan
anak meninggal sebelum diskusi bisa terjadi.
Sebuah komite etik dapat berguna untuk membimbing dokter dalam memutuskan apa yang
terbaik bagi pasien dan siapa yang harus membuat keputusan itu. Tim perawatan paliatif
dapat memberikan saran tentang cara untuk menjaga kenyamanan anak terlepas dari
keputusan pengobatan apa yang dilakukan. Tim-tim ini sering menjadi elemen penting untuk
memastikan bahwa kepentingan terbaik anak selalu dipertahankan. Meskipun kita sering
berpikir tentang penderitaan yang dialami oleh keluarga-keluarga ini selama situasi sulit,
penderitaan emosional dari penyedia layanan kesehatan juga perlu diperhatikan. Hal ini
diperlukan untuk memberikan dukungan yang memadai untuk semua penyedia layanan
kesehatan merawat pasien dan keluarga mereka. Merawat anak dengan gangguan neurologis
tidak mudah, tetapi merupakan tanggung jawab perawat untuk memastikan bahwa dalam
setiap kasus orang tua memiliki pengetahuan dan dukungan yang mereka butuhkan untuk
membuat keputusan yang tepat untuk anak dan keluarga mereka sendiri .
Ringkasan
Ketika prognosis anak tidak jelas, sering ada perbedaan pendapat di antara anggota tim
kesehatan tentang tujuan pengobatan. Dalam situasi ini perawat harus bekerja dengan
keluarga dan dokter sehingga tujuan dapat dikenali dan dimasukkan ke dalam rencana
perawatan. Dalam kebanyakan situasi, keluarga dan penyedia layanan kesehatan bekerja
untuk kepentingan terbaik anak. Masalahnya adalah tidak ada panduan yang jelas untuk
menentukan bagaimana kepentingan terbaik untuk anak. Diri kita sering dipengaruhi pikiran
kita masing-masing terutama yang sesuai dengan hidup kita. Oleh karena itu, setiap orang
mungkin memiliki perspektif yang berbeda, dan kita perlu untuk mengeksplorasi mereka
sebelum memutuskan pengobatan dapat dilakukan. Perawat dapat berperan dalam
memperbaiki komunikasi yang sulit antara tim keluarga dan kesehatan sehingga semua
perspektif dapat diterima dan keputusan terbaik bagi anak dapat dilaksanakan.