an umum dari penyakit bakteri

23
PERTIMBANGAN UMUM DARI PENYAKIT BAKTERI Fitzpatrick’s DERMATOLOGY IN GENERAL MEDICINE 7 th ed. p. 1689-1693 BAGIAN 29 PENYAKIT BAKTERI BAB 176 Pertimbangan Umum Penyakit Bakterial Infeksi bakterial kulit dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori utama : (1) infeksi kulit primer, (2) infeksi sekunder dari penyakit kulit primer (misal : dermatitis atopik terinfeksi), (3) lesi kulit sebagai manifestasi dari infeksi primer pada beberapa sistem organ lain, biasanya darah, (4) penyakit kulit reaktif karena infeksi bakterial (misal : eritema nodusum yang disebabkan streptococcal pharyngitis). Penting diingat bahwa perubahan kulit yang berhubungan dengan infeksi tidak selalu supuratif, tetapi dapat muncul sebagai vasculitis atau respon hipersensitivitas (misal: lesi pada endokarditis bakterial subakut atau eritema nodusum). Pentingnya kulit sebagai penunjuk adanya infeksi sistemik tidak dapat dijadikan patokan utama, terutama ketika terjadi penyimpangan penemuan klinis klasik pada pasien immunocompromised. Pengenalan yang tepat waktu atas petunjuk pada kulit atas adanya bakteremia dapat memberikan peringatan awal sebagai pertimbangan terhadap adanya infeksi yang mengancam hidup yang terkait dengan

Upload: marga143

Post on 13-Jun-2015

2.111 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

berisi translate dari textbook dermatology tentang infeksi bakteri pada kulit terutama imunopatogenesis

TRANSCRIPT

Page 1: an Umum Dari Penyakit Bakteri

PERTIMBANGAN UMUM DARI PENYAKIT BAKTERI

Fitzpatrick’s DERMATOLOGY IN GENERAL MEDICINE 7th ed.

p. 1689-1693

BAGIAN 29 PENYAKIT BAKTERI

BAB 176

Pertimbangan Umum Penyakit Bakterial

Infeksi bakterial kulit dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori utama : (1)

infeksi kulit primer, (2) infeksi sekunder dari penyakit kulit primer (misal : dermatitis

atopik terinfeksi), (3) lesi kulit sebagai manifestasi dari infeksi primer pada beberapa

sistem organ lain, biasanya darah, (4) penyakit kulit reaktif karena infeksi bakterial

(misal : eritema nodusum yang disebabkan streptococcal pharyngitis). Penting diingat

bahwa perubahan kulit yang berhubungan dengan infeksi tidak selalu supuratif, tetapi

dapat muncul sebagai vasculitis atau respon hipersensitivitas (misal: lesi pada

endokarditis bakterial subakut atau eritema nodusum).

Pentingnya kulit sebagai penunjuk adanya infeksi sistemik tidak dapat

dijadikan patokan utama, terutama ketika terjadi penyimpangan penemuan klinis

klasik pada pasien immunocompromised. Pengenalan yang tepat waktu atas petunjuk

pada kulit atas adanya bakteremia dapat memberikan peringatan awal sebagai

pertimbangan terhadap adanya infeksi yang mengancam hidup yang terkait dengan

organisme seperti Pseudomonas aeruginosa, Vibrio vulnificus, Salmonella typhi,

Staphylococcus aureus, dan Neisseria meningiditis.

Sekilas Penyakit Kulit Karena Bakteri

Bakteri dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit dengan menginvasi jaringan secara langsung,

mensekresi toksin, dan menyebabkan respon imunologi yang berakibat suatu penyakit.

Sistem imun bawaan (innate immunesystem) penting untuk mengatasi masuknya bakteri ke dalam

kulit.

Virulensi dan patogenitas bakteri tergantung pada kemampuan bakteri untuk menghindari aktivasi

sistem imun bawaan (innate immunesystem) atau mampu bertahan dari penghancuran sel imun efektor.

Imunosupresi, terutama neutropenia, menyebabkan resiko tinggi pada pejamu terhadap infeksi

bakteri; beberapa infeksi jarang terjadi kecuali pada pejamu yang immunocompromised.

Peongobatan infeksi bakteri harus mempertimbangkan sifat alami pejamu dan jika infeksi bakteri itu

menjadi berhasil.

Page 2: an Umum Dari Penyakit Bakteri

PATOGENESIS INFEKSI BAKTERIAL PADA KULIT

Perkembangan dan evolusi dari infeksi bakteri melibatkan tiga faktor utama :

(1) pintu masuk (2) daya tahan pejamu dan respon inflamasi terhadap invasi mikroba

(3) bahan-bahan patogen dari organisme.

Pintu Masuk

Efikasi dari keutuhan dan fungsi epidermis untuk melindungi invasi bakteri

secara langsung, digambarkan dengan prevalensi septikemia yang tinggi pada bayi

prematur dengan berat badan lahir rendah yang kehilangan efektifitas barier

epidermal1. Karena kulit anak-anak dan dewasa normal yang utuh relatif resisten

terhadap infeksi, kebanyakan infeksi terjadi ketika ada gangguan pada barrier kulit.

Maserasi, pencukuran, luka kronis, ekskoriasi dari gigitan serangga yang gatal, dan

rusaknya barier epidermal oleh patogen yang lain adalah cara primer di mana bakteri

dapat melewati barier kulit. Sebagai contoh, selulitis tungkai bawah pada orang sehat

tanpa kelainan vena atau ulkus pada tungkai sebagai konsekuensinya lebih sering

menyebabkan maserasi interdigiti atau tinea pedis2.

Karakter respon inflamasi kulit terhadap bakteri akan dipengaruhi oleh

bagaimana organisme tersebut mencapai area yang terlibat. Inflamasi lokal dan

supurasi biasanya disertai infeksi bakteri secara langsung pada kulit. Pada septikemia,

dinding vaskuler sering merupakan bagian primer atas terjadinya penyakit kulit;

perdarahan atau trombosis dengan infark merupakan suatu manifestasi awal. Bakteri

tertentu dapat menyebabkan bekteremia atau lesi jauh tanpa membangkitkan respon

inflamasi yang jelas pada pintu masuk (misal : Yersinia pestis, Streptobacillus

moniliformis (rat-bite fever)), bahkan pada pejamu yang immunocompromised.

Kadang-kadang septikemia S. pyogenes yang merusak muncul akibat suatu luka tusuk

atau abrasi yang tidak berbahaya dan tidak menyebabkan lesi lokal yang signifikan.

Resistensi Alami pada Kulit

Kulit normal pada individu yang sehat memiliki resistensi yang tinggi

terhadap invasi berbagai macam varietas bakteri, dimana secara konstan dapat

muncul. Sulit untuk menyebabkan infeksi lokal seperti impetigo, furunkulosis, atau

selulitis, jika terdapat integumen yang utuh. 3 Organisme patogen seperti S. pyogenes

Page 3: an Umum Dari Penyakit Bakteri

(Streptococcus group A, GAS) dan S. aureus menghasilkan lesi khas yaitu selulitis dan

furunkulosis pada pejamu dengan daya tahan normal, yang biasanya dikarenakan

adanya gangguan pada barier kulit normal. Keberadaan benang jahit (silk suture)

mengurangi jumlah organisme yang diperlukan untuk menimbulkan abses pada kulit

manusia dengan faktor 10.000 pada kasus S. Aureus.4

Bakteri tidak mampu menembus lapisan keratin kulit normal dan ketika

diaplikasikan pada permukaan kulit, secara cepat akan berkurang dalam hal jumlah.

Maserasi dan oklusi yang menyebabkan peningkatan pH, karbondioksida yang lebih

tinggi, dan kandungan air epidermal yang lebih tingi, berdampak pada peningkatan

dramatis jumlah flora bakteri.5 Beberapa bakteri, yang beberapa diantaranya

merupakan gram negatif, hanya dapat ditemukan di tempat-tempat tersebut, yang

mana hal ini menunjukkan bahwa kondisi kulit yang normal dapat mencegah bakteri

membentuk koloni di kulit. Kekeringan relatif (relative dryness) kulit normal secara

spesifik berperan pada pembatasan pertumbuhan bakteri, terutama basil gram negatif.

Lipid yang ditemukan pada permukaan kulit memiliki sifat antibakteri.1 Berkurangnya

lipid permukaan kulit karena pelarut topikal dapat memperpanjang waktu kehidupan

S. Aureus pada kulit. Asam lemak bebas, asam linoleat dan linolenat, lebih

menghambat S. Aureus dibandingkan dengan coagulase-negative staphylococci, yang

merupakan komponen flora normal kulit. Sfingosin, glukosiloeramida, dan asam sis-

6-heksadekonat telah ditunjukkan memiliki sifat antimokroba terhadap S. Aureus.

Gangguan bakterial (efek supresif dari satu spesies bakteri terhadap kolonisasi yang

lain) memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi keseluruhan flora kulit.

Organisme yang bertahan hidup dan berkembang dalam kondisi ekologi yang

bervariasi pada kulit akan menggantikan “ flora normal kutaneus”. Sebagai misal,

distribusi spesies yang berbeda dari coagulase-negative staphylococci dapat beragam

pada area anatomis yang berbeda, dan angka relatifnya dapat bergantung pada umur.

Pada orang dewasa, S. Epidermidis adalah spesies stafilokokal utama yang dapat

diisolasi dari kulit kepala, wajah, dada, dan ketiak. Basil gram negatif relatif jarang

ditemukan sebagai komponen yang tinggal sebagai flora normal kulit, dengan

pengecualian kompleks Acinetobacter calcanetikus baumannii, yang ditemukan pada

sekitar 25% dewasa normal, terutama di ketiak, daerah kemaluan, den jempol kaki.6

PEPTIDA ANTIMIKROBIAL.

Page 4: an Umum Dari Penyakit Bakteri

Kulit manusia mengandung banyak protein dengan sifat bawaan antimikrobial.

Peptida antimikrobial ini (antimicrobial peptides) (AMPs) dilepaskan pada

permukaan kulit melalui keringat dan ludah eksokrin.7 Keratinosit yang teraktivasi

akan memproduksi AMPs. AMPs yang diproduksi di keratinosit dikirim ke

permukaan kulit menuju badan lamelar, dan penampakan mereka pada permukaan

kulit berhubungan secara dekat dengan produksi lipid stratum korneum kulit normal

(lihat Bab 45). Protein kecil ini memiliki ciri fisik dengan bentuk amfifatik, dengan

satu bagian bersifat kation dan mampu melekat ke membran mikroba, dan bagian lain

hidrofobik yang menjadikannya mampu masuk ke dalam membran lipid bakteri.

Proses masuknyaprotein ini ke dalam membran menyebabkan kerusakan membran

dan kematian mikroba. Prinsip kedua AMPs adalah bahwa protein ini diproses setelah

pelepasan oleh enzim pada permukaan kulit, menghasilkan peptida multipel dengan

aktivitas dan target yang berbeda. Prinsip AMPs yang ketiga adalah bahwa protein ini

tidak hanya membunuh mikroba secara langsung, namun juga merupakan aktivasi

poten dari respon imun host. Dua AMPs utama yang dipelajari sampai sekarang pada

kulit adalah katelesidin (LL-37) dan defensin. Penurunan yang bermakna pada

molekul ini pada kulit pasien yang radang dengan dermatitis atopik menjelaskan

suseptibilitas pasien atopik terhadap infeksi S. aureus, virus herpes simpleks, dan

virus vaccinia.8 Sitokin T helper 2 secara spesifik menekan produksi AMPs, yang

menjelaskan kenapa kulit psoriatik memiliki AMPs yang normal atau meningkat dan

kurang suseptibel terhadap infeksi bakteri dan virus.9

SIFAT SPESIFIK RESPON INFLAMASI PEJAMU TERHADAP INFEKSI

KULIT.

Sistem imun adaptif, yang memerlukan perkembangan sel target dan antibodi,

sangat efektif melindungi manusia dari infeksi segera setelah sel efektor dan antibodi

diproduksi. Namun, sistemimun ini memerlukan waktu lama, dan replikasi dan

serangan bakteri terjadi dalam beberapa jam. Penemuan pada sistem imun bawaan

menjelaskan kemampuan organisme untuk memasang respon imun yang efektif dan

terarah terhadap mikroba sebelum sistem imun adaptif berperan (lihat Bab 10). Sistem

imun bawaan terdapat pada tanaman, invertebrata, dan vertebrata. Sistem ini

bergantung pada serangkaian “pola reseptor pengenalan” yang mengenali pola

molekuler patogen yang berhubungan yang tidak ada pada diri sendiri.10 Perlekatan

reseptor pola pengenalan pada patogen yang berhubungan menghasilkan opsonisasi

Page 5: an Umum Dari Penyakit Bakteri

dan aktivasi sistem komplemen sebagaimana induksi jalur sinyal inflamasi. Proses ini

paling tidak melibatkan tiga pola pengenalan reseptor; (1) AMPs yang dibahas di

Peprida Antimikroba, (2) reseptor mirip Tol (TLRs), dan (3) sistem komplemen.

Ketiga sistem ini dipicu yang oleh bakteri ketika mereka masuk kulit dan dengan

interkomunikasi dan sinyal netrofil serta sel imun yang lain, merupakan hal yang

penting dalam membawa sel yang diperlukan untuk menghancurkan patogen di

tempat infeksi.

TLRs adalah pengulangan dari pola pengenalan reseptor (lihat Bab 10).11

Terdapat pada membran sel dan mengenali ligan eksogen tertentu yang unik pada

mikroorganisme yang menyerang dan tidak ditemukan pada host. Mereka

memerankan peran utama sebagai sensor terhadap patogen penyerang. Sebagai misal,

TLR5 mengenali flagelin, unik pada bakteri breflagel, dan TLR2 mengenali

peptidoglikan pada permukaan bakteri Gram positif. Elemen struktural dari organisme

penyerang ini penting terhadap patogenesitasnya dan sulit untuk dihilangkan secara

evolusi. TLRs tidak hanya memicu penyerang namun juga mengorkestrasi tipe respon

imun yang dihasilkan untuk patogen spesifik. TLRs melakukan ini dengan

menginstruksikan antigen presenting cell yang telah memicu organisme untuk

mengeluarkan sitokin yang tepat untuk memicu mileu imunologis yang diinginkan

dan respon adaptif yang diperlukan (lihat Bab10). Jalur sinyal turun alternatif dapat

menghasilkan respon imun yang berbeda dari pemicu TLRs yang identik.

Komplemen (lihat Bab 36) diaktivasi saat mannin lektin perlekatan melekat

pada pola karbohidrat pada bakteri dan mengaktivasi C2 dan C4.12 Aktivasi C3

membebaskan C3a dan C3b. C3b pada membran menimbulkan opsonisasi dan

meningkatkan fagositosis. Sebagai tambahan, pembelahan C5 menimbulkan C5a,

aktivator poten netrofil dan stimulator sitokin proinflamatorik, termasuk interleukin 1

(IL-1) dan IL-8. “Kompleks penyerang membran” dibentuk oleh lengkapnya susunan

komplemen dan membunuh mikroba penyerang. Tidak mengejutkan, komponen

komplemen juga memodulasi sistem imun, dan merubah stimulasi TLR pada beberapa

jalur aktivasi. Melalui pengulangan yang luas dari opsi hasil, pejamu manusia

memiliki kemampuan untuk mengembangkan respin spesifik organisme terhadap

variasi agen infeksi yang luas di mana pejamu belum pernah terpapar. Sebagai

tambahan, sistem imun bawaan melalui komplemen dan TLR mengorkestrasi sistem

imun adaptif untuk merespon secara sesuai terhadap mikroba yang masuk. Respon

imun adaptif yang rumit ini menjelaskan berbagai respon klinis agak berbeda untuk

Page 6: an Umum Dari Penyakit Bakteri

berbagai infeksi bakteri yang telah dijelaskan. Agen infeksi secara anatomis terdapat

pada tempat yang terinfeksi, dan terbentuk pola respon inflamasi yang menimbulkan

lesi klinis.

Patogenesis dari Mikroorganisme

Agar mudah menginvasi host, pada mulanya kuman harus memperoleh tempat

masuk. S.aureus menggunakan asam teichoic dan protein permukaan yang lain yang

meningkatkan penempelan pada mukosa nasal. Kemudian kuman dapat

mengkontaminasi setiap bagian dari kulit, berikatan dengan fibronektin pada luka.

Kemampuan kuman menyebabkan suatu penyakit disebut virulensi. Bahan genetik

uman menyandikan/mengkoding faktor virulensi dan toxin yang dibawa elemen

genetik secara aktif yang disebut island pathogenecity. Bakteriofag membawa materi

genetik dari satu bakteri ke bakteri yang lain (misalnya : Panton- valentine

leukocidin). Panton- valentine leukocidin adalah sitotoksi yang secara langsung

melawan sel imun manusia. Ini sering dihubungkan dengan deep seated dan lebih

banyak pada inflamasi furunkulosis. Sebagai tambahan, banyak jenis kuman

mengandung materi DNA didalam genom mereka sendiri yang didesain secara

spesifik untuk melepaskan diri, menginaktifkan atau menekan respon imun bawaan

dari host, terutama melawan penghancuran oleh neutrofil dan produk ekskresinya.

Produk dari gen inilah yang merespon untuk melawan imunitas host yang biasanya

tersusun dari dua protein interaction cascade terlibat sebagai sensor dan respon

protein. Inilah yang disebut dua komponen gen yang meregulasi system. Pada kasus

ini S.aureus mempunyai banyak sel target yang spesifik pada masing-masing elemen

dari imun bawaan terserang oleh host. Staphylokinase (SAK) menginaktifkan

defensin. Aureolysin A memecah LL-37. Gen oatA mengkoding protein membrane

yang memberikan resitensi lisosim pada S.aureus yang disebut katalase positif, dan

pigmen kuning dari S.aureus (karotenoid) yang melindungi penghancuran oksidatif

oleh neutrofil. SAK juga mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin

permukaan memecah C3b dan Ig G, memindah molekul opsonic dari permukaan

bakteri. Protein penghambat kemotaksis berikatan pada C5a mencegah aktifasi

neutrofil. Inhibitor komplemen staphylococcal berikatan dengan C3 convertase pada

permukaan kuman mencegah pemecahan C3 dan mengaktifasi cascade komplemen.

SAKS, protein penghambat kemotaksis dari S.aureus dan inhibitor staphylococcal

komplemen yang dibawa oleh pulau pathogenesis yang sama.

Page 7: an Umum Dari Penyakit Bakteri

Meskipun berguna untuk membedakan antara penyakit yang disebabkan toxin

dan yang disebabkan invasi langsung dan faktor virulensi, kebanyakan infeksi bakteri

berasal dari kombinasi antara kekuatan invasive dan toxixitas organism. Misalnya

pada daerah toxin disekresikan penting dalam membentuk karakteristik lesi dari

infeksi S.aureus (Impetigo bullous), Corynebacterium diphteriae, dan Bacillus

anthraxis (lihat Bab 178). Manifestasi sistemik dari sekresi toxin terjadi pada SSSS

dan tetanus. Pada kasus C.perfringen perluasan jumlah toxin extraseluler dan enzyme

(α toxin, lecithinase, protease, kolagenase) timbul, dan berperan penting terhadap

kecepatan perluasan lesi kulit dan manifestasi sistemik pada clostridial myonecrosis

(lihat Bab 179). Staphylococus pyogenes terutama GAS, juga berisi banyak gen yang

membantu menghiundari system imun bawaan. Termasuk diantaranya genom seperti

protein M yang mencegah fagositosis oleh netrofil, dan yang memancarkan profag

seperti exotoxin A. Produksi DNase Sdad2 melindungi GAS dari penghancuran

extrasel oleh netrofil pada perangkap netrofil extrasel dan ini penting untuk infeksi

kulit. Invasi jaringan dan penyebaran sistemik ditingkatkan oleh streptokinase. GAS

streptokinase hanya aktif melawan plasminogen manusia, yang mungkin kritis dalam

membatasi GAS infeksi pada manusia. Kecenderungan streptococcus bergabung

dengan materi genetic yang berisi faktor virulensi melewati strain yang mengaburkan

batasan type streptokokus pada beberapa macam penyakit. Misalnya pada beberapa

daerah streptokokus grup B menjadi penyebab paling banyak faringitis dan

mengandung virulensi gen yang sama yang memberi GAS kemampuan untuk

menyebabkan kondisi ini.

Bakteri gram negative (E.colli, S.thypi, N.meningitidis ,N. gonorhoe,

B.melitensis dll) mengandung endotoxin, kompleks phospholipids polisakarida

makromolekul (lipopolisakarida (LPS) sebagai bagian terpenting dari envelope sel

bakteri (liat bag 180). Endotoxin, tidak seperti exotoxin yang dilepas hanya saat

pemecahan sel bakteri. Toxixitasnya muncul saat berhubungan dengan fraksi lipid,

dimana antigen determinan terletak pada komponen polisakarida. Sekarang banyak

diketahui mekanisme oleh LPS yang menggunakan efek biologisnya pada saat infeksi

sistemik saat bakteri gram negative atau infeksi local mayor yang mungkin juga dapat

menyebabkab sindrom sepsis. Keduanya pengaruh dari toxin dan imunologis. Dua

citokin yang paling penting dari efek toxin dan pro inflamatorik dari LPS dihasilkan

oleh LPS yang diaktivasi makrofag: Tumor nekrosis faktor(TNF) dan IL-1. TNF

memulai proinflamatori sitokin cascade. TNF yang teraktifasi oleh system koagulasi

Page 8: an Umum Dari Penyakit Bakteri

berpengaruh pada endotel pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah dan perfusi

jaringan dengan mengurangi kontraktilitas miokard dan merelaksasi otot polos.

Tingginya kadar TNF pada sirkulasi darah terjadi pada pasien meningokoksemia dan

bentuk lain sepsis yang berat. Masuknya TNF murni dengan konsentrasi tinggi dapat

menyebabkan syok dan kematian. Kemampuan LPS melalui produksi TNF dengan

menginduksi perlekatan leukosit pada endothelium kapiler dan merangsang

deposisi/penumpukan fibrin yang telah diusulkan sebagai dasar perkembangan lesi

kulit yang hemoragis dan nekrosis (dengan atau tanpa invasi bakteri langsung) yang

kadang terjadi selama bakteriemi oleh bakteri gram negative dan terutama pada

meningokoksemia. Purpura fulminan terjadi pada 10-20 % kasus yang menandai

sepsis meningokokus dan pada kasus berat yang berkembang thrombosis pembuluh

darah besar yang berhubungan dengan infark.(lihat Bab 145&180).

Perubahan Pola infeksi bakteri pada Kulit

Ada 3 faktor yang dapat meningkatkan prevalensi dan virulensi infeksi

bakteri. Yang pertama kita telah menemukan bakteri pathogen baru seperti Bartonella

sp, yang sebelumnya tidak diketahui menyebabkan penyakit pada manusia. (lihat Bab

182). Yang kedua, bakteri itu sendiri menjadi lebih sulit dihilangkan melalui faktor

virulensi bawaan/aquisita dan resistensi antibiotik. Yang ketiga, adanya peningkatan

jumlah pasien imunocompromised selama proses menua dan melemah, yang

terinfeksi HIV dan imunosupresi iatrogenic. Sebagai tambahan pada pathogen yang

biasa, pada berbagai macam anggota non pathogen dari mikroflora pada kulit dapat

menyebabkan penyakit pada pasien yang lemah dan pada individu dengan perubahan

pertahanan seluler maupun humoral. Misalnya ektima gangrenosum selama invasi

pada kulit baik kerusakan lokal maupun sistemik yang hampir selalu tampak pada

neutropeni (lihat Bab 180). Pada pejamu yang imunokompeten, folikulitis disebabkan

oleh organisme yang sama. Dapat menyebabkan gatal, merupakan kelainan yang

dapat sembuh sendiri pada pejamu yang imunokompeten. Pada sindrom

imunokompeten yang didapat, pasien dengan angioma basilaris dengan kelainan

sistemik fatal bila tidak diterapi.

Pengaruh hipersensitivitas antigen bakteri pada reaksi inflamasi di kulit

Kemampuan bakteri untuk memicu respon imun pada tubuh manusia

menjelaskan beberapa peristiwa. Kemerahan pada dermatitis atopic yang di akibatkan

Page 9: an Umum Dari Penyakit Bakteri

oleh S. aureus mungkin dihubungkan dengan munculnya sitokin pada lesi tersebut.

Dapat diibaratkan dengan infeksi streptokokus pada faring yang dapat menimbulkan

reaksi imunologi yang memicu terjadinya psoriasis melalui aktivasi system imun.

Netrofilia sebagai respon kulit pada infeksi sistemik

Respon inflamasi pada pembuluh kapiler kulit dapat terjadi pada bakteremia,

walau tidak didapatkan adanya bakteri pada daerah lesi tersebut. Papul dan peteki

yang terdapat pada meningococus kronis, infeksi gonokokus diseminata, dan

perubahan leukositosis pada terapai endokarditis sebagai contoh netrofilia. Sweeet

sindrom dan early eritema nodusum merupakan salah satu contoh netrofilia pada

jaringan yang prominen meskipun tempat infeksinya jauh dari tempat lesi. Bakteremia

pada bacterial endokarditis subakut yang menyertai vaskulitis pada pembuluh darah

kecil yang disebabkan oleh bakteri S. viridian menyebabkan timbulnya osler node dan

peteki. Secara histologis lesinya disebut sebagai vaskulitis, daripada disebut sebagai

emboli. Dimana pada perkembangannya lebih bayak terjadi pada ekstremitas bawah,

yang menunjukan bahwa ini merupakan inflamasi kulit yang melibatkan pembuluh

darah dan bukan emboli.

KLASIFIKASI INFEKSI BAKTERI PADA KULIT

Penemuan bakteri spesifik sebagai penyebab infeksi kulit lebih dikelompokan

pada patogenesis bakteri yang menginfeksi tersebut, dan bukan berdasarkan

morfologinya.

Pada banyak kasus agen infeksius akan teridentifikasi dengan kultur dan

hasilnya tidak bisa didapat dalam 1 hari. Seperti contohnya impetigo, selulitis dan

faslitis nekrotik merupakan penyakit kulit yang dapat disebabkan oleh beberapa

bakteri yang dapat menghasilkan gejala klinis yang mirip, dan dibutuhkan pilihan

terapi yang sesuai. Namun, klasifikasi secara morfologis pada kulit masih dibutuhkan

dan dapat sebagai petunjuk untuk diagnosis dan pemilihan terapi empiric antibiotik.

Adapun klasifikasi penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri adalah sebagai

berikut:

1. infeksi primer, contohnya pioderma

2. infeksi sekunder

3. penyakit sistemik yang menyebabkan manifestasi pada kulit.

4. reaksi pada kulit yang ditimbulkan dari tempat infeksi yang jauh

Page 10: an Umum Dari Penyakit Bakteri

Infeksi bakteri primer dihasilkan dari adanya invasi bakteri pada kulit yang normal

oleh satu bakteri pathogen, sehingga dapet dipastikan etiologi primer pada penyakit

kulit tersebut. Terapi yang ditujukan pada bakteri penyebab memberikan hasil yang

baik pada kesembuhan penyakit kulit. Impetigo, erysipelas, dan furunkulosis adalah

contoh infeksi primer pada kulit . pada infeksi sekunder perubahan terjadi pada kulit

yang sebelumnya sudah rusak. Meskipun bakteri ada pada lesi tersebut bukan

merupakan penyebab primeer llesi kulit tersebut, namun pertumbuhan bakteri dan

invasinya dapat menyebabkan keparahan dan lamanya penyakit. Infeksi sekunder

disini terjadi karena integritas kulit sudah rusak atau milleu local immune sudah

diubah oleh kondisi primer kulit yang mneyebabkan mudahnya bakteri masuk.

Berbeda dengan infeksi bakteri primer, pada infeksi bakteri sekunder bakteri enyebab

lebih dari satu, sehingga terkadang sulit untuk menentukn bakteri penyebab yang

utama. Penting untuk mengetahui apakah reaksi kulit tersebut terjadi akibat bakteri

atau akibat antibiotik yang membunuh bakteri tersebut. Kemerahan pada dermatitis

atopic dimana banyak ditemukan S.aureus pada permukaan kulit biasanya

berhubungan dengan perkembangan dermatitis yang diobati dengan antibiotik. Di lain

pihak, para peneliti tidak setuju untuk melakukan kultur bakteri kronik pada ulkus

kaki yang kronis. Pada infeksi sekunder, morfologi pada penyakit primernya hanya

mengalami sedikit perubahan, dan adanya eksaserbasi bakteri pathogen dapat diduga

akibat respon yang buruk terhadap pengobatan atau adanya reaksi kemerahan yang

masih belum dapat dijelaskan.

LANGKAH DIAGNOSTIK

Pemeriksaan langsung dengan aspirasi dan biopsi

Identifikasi bakteri dari lesi kulit mungkin memberikan petunjuk penyebab

dari infeksinya. Pemeriksaan dengan pengecatan gram dari lesi kulit akan membantu

untuk memilih antibiotik yang dapat dipakai di awal pengobatan sebelum hasil kultur

keluar. Maka dari itu mencari bakteri penyebab merupakan hal yang penting,

diantaranya untuk evaluasi pasien diantaranya dengan cara pengambilan sample yang

sesuai, pengecatan gram, dan juga menggunakan media kultur yang sesuai.

Pengecatan gram merupakan cara yang paling cepat untuk memeriksa sample

yang banyak dan untuk memeriksa bakteri dalam jumlah yang banyak dan tipe yang

bermacam-macam, termasuk karakteristik dari eksudasi sel inflamasi. Biopsy jarum

pada selulitis dan erysipelas belum memberikan hasil yang memuaskan. Aspirasi dari

Page 11: an Umum Dari Penyakit Bakteri

specimen selulitis pada objek glas memberikan hasil kultur positif hanya pada sepuluh

persen pasien, dan kultur yang dilakukan pada biopsy specimen kulit yang diambil

dari beberapa irisan di tempat lesi hanya positif pada 15 sampai 20 persen pasien,

hasil yang tinggi ini mungkin didapat pada pasien diabetes mellitus dan neoplasma.

Pada anak-anak hasil kultur positif yang lebih banyak(sekitar 50 persen) didapatkan

pada daerah inflamasi daripada daerah irisan pada selulitits(hanya 5 persen). Bila

aspirasi jarum positif dapat digunakan untuk menentukan terapi yang digunakan. Bila

cairan steril di injeksikan pada lesi tanpa aspirasi, cairan bakteriostatik mungkin

dibutuhkan. Pada kondisi dimana tidak bisa dilakukan aspirasi jarum halus,

pembedahan biopsy sangat diperlukan. Pada kasus bioterorisme yang berhubungan

dengan antrak di amerika serikat, diagnose cepat pada penyakit kulit didukung oleh

punch biopsy eritematous, plakyang indurasi, pengecatan gram suatu jaringan

menunjukkan batang grampositif,yang konfirmasi sebagai B. Antracis dengan

analisisimunohistokimia (lihat BAB 178). Lesi lokal padakulit dan jaringan subkutan

pada pasien imunokompromise selalu harus dibiopsijikaaspirasi

gagaluntukmengenalipatogen. Yang membesarkan hati, hasil ini didapatkan pada

pasien dengan dugaan necrotizing facilities (lihat BAB 179) yang menjalani biopsi

untuk mengonfirmasi diagnosis awal pada perjalanan infeksi yang menghancurkan

ini.

Prosedur-Prosedur Diagnostic Yang Lain

Antibody Fluorescent

Kegunaan praktis dari prosedur ini dalam penyakit bacterial dari kulit adalah

dari Spirochetes yandg dapat diaplikasikan secara terbatas yang dapat

didemonstrasikan (dengan tehnik-tehnik langsung dan tidak langsung) dalam

chancres, N Geromese,Acrimonyces,Isoneli, Leginella ,Francicella, dan Ypesnis telah

diidentifikasikan dengan metode scaning antibody Furescent langsung yang cepat ini.

Hal ini digunakan dalam diagnose spesifik untuk infeksi yang serius ini.

Metode immunologi yang lain

Sebuah variasi dari tes-tes serologi mungkin dapat membantu dalam diagnosa

infeksi bakteri dari kulit tersebut, terutama dalam penyakit-penyakit dimana

manifestasi kutaneus adalah yang sekundar untuk penyakit sistemik (seperti halnya “

rose spot” dari demam typhoid). Infeksi Bartonella sering didiagnosa dengan cara ini.

Page 12: an Umum Dari Penyakit Bakteri

Seperti dalam beberapa tes serologi, sebuah peningkatan yang lebih besar dalam titer

selama perjalanan penyakit tersebut dianggap berarti.

Reaksi Rantai Polimer

Teknologi reaksi rantai polimer dapat diterapkan pada diagnosa dari material

yang diperoleh dari biopsi kulit pada jaringan lesi atau aspirasi dari lesi vesikulo-

bulosa seperti yang digunakan dalam diagnosa infeksi cairan tubuh (cairan

cerebrospinal, cairan pleural, darah). Perlindungan aman yang memadai untuk

kontaminasi luar selama akuisisi dari spesimen yang harus diambil. Prosedur ini

paling berguna ketika sebuah bakteri dipertimbangkan dan hal utama yang layak

tersedia. Seperti halnya dalam kasus seorang pasien dengan lesi kutaneus selama

bioterrorisme menstimulasikan keluarnya Anthrax.

TERAPI ANTIBIOTIK

Pemilihan dari antibiotik yang tersedia harus dilakukan secara awal pada awal

munculnya lesi kulit, karakteristik-karakteristik dari penyakit sistemik, dan sebuah

Gram-stained dari sebuah lesi, jika memungkinkan. Hasil budaya dan pengujian yang

beresiko dari isolasi patogen biasanya tersedia dalam 48 jam. Faktor-faktor

epidemiologi tambahan (rumah sakit atau perawatan di rumah, penggunaan antibiotik,

neutropenia, dan immunocompromise) harus dipertimbangkan dalam pemilihan terapi

antimikrobial awal. Juga hal ini penting untuk membuat pilihan berdasarkan data

terakhir dari lokal area dan sumber-sumber terakhir dari pola perubahan resistensi

antimikrobial dari spesies bakteri yang bermacam-macam .

Dosis : Metode Pemberian –Ekskresi

Infeksi kutaneus utama dari yang ringan hingga berat dapat diterapi dengan

dosis lokal, obat-obatan topikal, antibiotik oral, atau dengan kombinasi obat-obat

tersebut. Perluasan infeksi kulit dengan atau tanpa manifestasi sistemik, harus diobati

dengan antibiotik parenteral dalam dosis yang tepat. Dalam kumpulan

immunocompromise, pengobatan parenteral untuk infeksi kutaneus hampir selalu

direkomendasikan.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemberian antibiotik yaitu

pengobatan oral dapat dibatasi oleh gangguan penyerapan dan gastrointestinal,

hipotensi dan penyakit kulit luas yang dapat menghambat jalur intra muskular, dan

Page 13: an Umum Dari Penyakit Bakteri

obat-obat pilihan yang mungkin cocok untuk pemberian hanya pada jalur tertentu.

Pola ekskresi dari antibiotik yang diberikan harus selalu dipertimbangkan untuk

menghindari akumulasi racun dalam kerusakan organ tertentu (sebagai contoh :

kerusakan hepatik atau renal).

Keracunan

Keracunan antibiotik harus dipertimbangkan pada setiap individu tetapi

biasanya dapat diterapkan untuk semua antibiotik. Umumnya adalah reaksi

hipersensitivitas dan dapat meliputi ruam pada kulit, demam, atau beberapa

manifestasi yang berat seperti anafilaksis akut atau eritroderma eksfoliasi. Penisilin

dan sulfonamid sangat memungkinkan untuk terjadinya masalah-masalah tersebut.

Pertanyaan yang berkaitan dengan alergi obat harus ditanyakan kapanpun obat

diberikan. Semua antibiotik dapat merubah flora lokal, khususnya spectrum luas

seperti sefalosporin. Ada sejumlah reaksi yang tidak menguntungkan (renal,

hematologi, hepatik, sistem saraf) dengan terapi antibiotik yang mungkin

menggambarkan resiko yang dapat diterima jika alasannya penggunaan obat-obat ini

memaksa. Dokter umum wajib mengetahui manifestasi toksisitas dari antibiotik yang

digunakan dan waspada terhadap setiap kemungkinan yang terjadi dalam individu

pasien.

Resistensi Antibiotik karena Factor “R”

Transferable resistance dengan beberapa antiobiotik telah muncul menjadi

sebuah masalah. Elemen ekstra kromosomal genetic (Plasmid R) dalam bakteri adalah

dasar untuk resistensi semacam itu. Terapi antibiotik jangka panjang dapat memilih

factor R yang membawa flora lokal (sebagai contoh dalam traktus gastrointestinal)

dan setelah itu memindahkannya menjadi patogen yang potensial. Resistensi

antibiotik chloramphenicol, tetracycline, dan kanamycin yang dikumpulkan dengan

sebuah plasmid dalam E. Coli dapat ditransfer selama membantu ketegangan

Klebsiella atau Salmonella.

Antibakterial Topikal

Antibakterial topikal sering digunakan untuk mencegah atau menekan

pertumbuhan bakteri pada lesi terbuka dan lesi pasca operasi. Untuk lesi kulit yang

dijahit, antibiotik topikal dapat membatasi dan mengurangi luka infeksi. Neomycin

Page 14: an Umum Dari Penyakit Bakteri

dan bacitracin topikal jarang menyebabkan dermatitis kontak. Dermatitis kontak biasa

terjadi ketika antibiotik-antibiotik tersebut digunakan pada insufisiensi vena ulkus

kaki.

Diantara agen-agen antibakterial topikal adalah asam asetat (1 persen sampai 5

persen untuk pseudomoneous nail dan infeksi jaringan dan bacitracin (500unit per

mili liter atau gram) untuk superficial pilihan S. aureus dan lesi streptococcal.

Neumycin (0,5 persen krim atau gel) dan gentamicin (0,17persen krim) mungkin

berguna untuk pasien dengan kumpulan bakteri Gram negatif yang memerlukan local

suppression. Mupizocin (2 persen gel) mengandung antibakterial yang melawan

berbagai macam streptococci dan S aureus. Sejumlah antiseptik spektrum luas juga

tersedia untuk penggunaan topikal. Povidone iodine (Betadine) efektif terhadap

kebanyakan bakteri gram positif dan gram negatif, tetapi tidak berlaku pada kulit yang

terdapat aksi residual. Chlorhexidine gluconate (solution 4 %) berkombinasi dengan

antibakteri luas menyebabkan aksi yang memanjang. Preparat alkohol efektif, tidak

diserap ke dalam darah, dan secara umum tidak mengiritasi kulit. Antiseptik spektrum

luas ini dapat digunakan sebagai profilaksis atau untuk merawat luka lokal dan

dermatoses terinfeksi superfisial.