~wrl1061.tmpyg
Post on 17-Jan-2016
4 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi pada kulit yang bersifat
kronik berulang yang disertai dengan rasa gatal dan sering terjadi pada anak-anak
dan dewasa. Dermatitis atopik sering dikaitkan dengan peningkatan
Imunoglobulin E (IgE) dan penyakit atopi lainnya seperti rhinitis alergika dan
asma bronkial. Dermatitis atopik disebut juga dengan ekzema atopik.1,5
Dermatitis atopik umumnya terjadi pada orang yang menderita penyakit
alergi. Prevalensinya mencapai 80%, dengan kasus terbanyak pada anak usia di
bawah 2 tahun. Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin di tahun-tahun pertama
kehidupan, tetapi yang paling sering pada wanita (60%) dibandingkan pada laki-
laki (40%) setelah berusia 6 tahun. Dermatitis atopik ini biasanya cenderung
untuk mengalami kekambuhan sebelum usia 5 tahun pada 40-80 % kasus dan 60-
90% pada usia 15 tahun.2
Prevalensi dan insidensi dermatitis atopik pada masing-masing negara
memiliki perbedaan, perbedaannya tegantung pada kriteria diagnostik yang dipilih
negara tersebut. Namun, beberapa badan internasional menggunakan alat
diagnostik yang sama ternyata memiliki perbedaan signifikan, dikarenakan faktor
genetika dan faktor lingkungan. Di Indonesia tahun 2012 terdapat 1,1 % pasien
DA berusia 13-14 tahun. Sedangkan tahun 2013 dari laporan 5 rumah sakit yang
melayani dermatologi anak yaitu Dr. Hasan Sadikin Bandung, RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan, RS Dr. Kandou Manado, RSU
Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara
2356 pasien baru (11,8%). 2,3
Dermatitis atopik dapat terjadi melalui hasil interaksi kompleks antara
kelainan genetik yang menyebabkan terjadinya gangguan sawar kulit, gangguan
pada sistem imun bawaan dan respon imunologik yang meningkat terhadap
alergen. Terdapat dua jenis bentuk DA, yakni bentuk ekstrinsik (Ig-E associated)
dan bentuk intrinsik (non Ig-E associated). Pada bentuk ekstrinsik terjadi
sensitisasi terhadap alergen lingkungan yang disertai dengan peningkatan serum
IgE, sedangkan bentuk intrinsik terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan
disertai dengan serum IgE yang rendah.4
1
Terapi DA membutuhkan pendekatan sistematis dan multifaktorial yang
merupakan kombinasi hidrasi kulit, terapi farmakologis, identifikasi dan eliminasi
faktor penyebab seperti iritan, alergen, agen infeksi, dan stres emosional yang
bersifat individual. Agen topikal digunakan untuk terapi penyakit yang
terlokalisasi dan ringan, sedangkan fototerapi dan agen sistemik digunakan untuk
yang lebih luas dan berat 5
2
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Dernatitis atopik merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat
kronik berulang yang disertai dengan rasa gatal dan dapat terjadi pada anak-anak
dan dewasa. Dermatitis atopik sering dikaitkan dengan penyakit atopi lainnya
seperti rhinitis alergika dan asma bronkial.1,5,11
Etiologi
Penyebab terjadinya DA merupakan hasil interaksi kompleks antara
kelainan genetik yang menyebabkan terjadinya gangguan sawar kulit, gangguan
pada sistem imun bawaan dan respon imunologik yang meningkat terhadap
alergen. Terdapat dua jenis bentuk DA, yakni bentuk ekstrinsik (Ig-E associated)
dan bentuk intrinsik (non Ig-E associated). Pada bentuk ekstrinsik terjadi
sensitisasi terhadap alergen lingkungan yang disertai dengan peningkatan serum
IgE, sedangkan bentuk intrinsik terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan
disertai dengan serum IgE yang rendah. Selain pengaruh faktor genetik yang
berperan, ada karakteristik lain yang berperan dalam terjadinya DA yaitu:4
1. Fungsi sawar kulit (seperti kulit kering) yang abnormal akibat metabolisme
lipid dan/atau epidermis yang abnormal pada kulit, seperti defisiensi
inhibitor protease.
2. Kolonisasi mikroba abnormal dengan organisme patogen seperti
Staphylococcus aureus atau Malassezia furfur dan selanjutnya
meningkatkan kecenderungan menjadi infeksi kulit.
3. Pengaruh psikosomatis yang kuat dengan ketidakseimbangan dalam sistem
saraf otonom yang mengakibatkan peningkatan produksi mediator dari
berbagai sel inflamasi.
Epidemiologi
Dermatitis atopik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling umum
yang mempengaruhi hingga 20% pada anak-anak dan 1-3% pada orang dewasa di
sebagian besar negara dari dunia. DA sering merupakan dampak utama dalam
perkembangan penyakit atopik lain seperti rhinitis dan atau asma.4 Angka
3
prevalensinya meningkat pesat pada dekade terakhir. Di Indonesia tahun 2012
terdapat 1,1 % pasien dermatitis atopik berusia 13-14 tahun. Sedangkan tahun
2013 dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu Dr. Hasan
Sadikin Bandung, RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan,
RS Dr. Kandou Manado, RSU Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar malang
tercatat sejumlah 261 kasus diantara 2356 pasien baru (11,8%). 3
Patofisiologi
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamatori dengan gejala gatal
yang terjadi akibat interaksi komplek yang mengakibatkan tidak efektifnya sawar
kulit, kerusakan sistem imun, dan meningkatnya respon imunologik terhadap
alergen dan antigen mikrobial. Menurunnya fungsi sawar kulit akibat penurunan
regulasi gen cornified envelope (filaggrin dan loricrin), penurunan level ceramid,
peningkatan level enzim proteolitik endogen, dan peningkatan kehilangan cairan
trans-epidermal.5
Penggunaan sabun dan detergen ke kulit akan meningkatkan pH, yang
berakibat meningkatkan aktivitas protease endogen, yang selanjutnya menambah
kerusakan fungsi sawar kulit. Sawar epidermis dapat pula dirusak oleh pajanan
protease eksogen S aureus. Perubahan epidermis tersebut berpengaruh dalam
meningkatkan absorpsi alergen dan kolonisasi mikrobial ke dalam kulit.5
Sitokin dan Kemokin
Interaksi yang kompleks dari barier kulit, genetik, lingkungan,
farmakologi, dan faktor imunologi. Reaksi hipersensitivitas tipe I (IgE-mediated)
terjadi sebagai akibat dari pelepasan zat vasoaktif dari sel mast dan basofil yang
telah peka oleh interaksi antigen dengan IgE. Peran IgE dalam DA masih belum
sepenuhnya diketahui, namun sel langerhans memiliki afinitas tinggi terhadap
reseptor IgE melalui reaksi yang dimediasi. TH1 dan TH2 berkontribusi pada
peradangan kulit dermatitis atopik. Infiltrasi sel T pada DA dikaitkan dengan
interleukin (IL) 4 dan IL-13, dan peradangan kronis pada DA ditandai dengan
peningkatan IL-5, granulosit-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF),
IL-12 dan interferon (IFN). Dengan demikian, peradangan kulit pada DA
menunjukkan pola bifasik aktivasi sel T.6
4
Dermatitis atopik akut disertai dengan produksi sitokin dari sel Th2, IL-4
dan IL-13, yang memediasi pergeseran isotip imunoglobulin ke sintesis IgE, dan
upregulasi ekspresi molekul adesi pada sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan
dalam perkembangan dan kelangsungan hidup eosinofil, dan hal ini dominan pada
DA kronik. Produksi GM-CSF yang meningkat akan menghambat apoptosis
monosit, sehingga berkontribusi dalam persistensi DA. Bertahannya DA kronik
melibatkan pula sitokin sel Th1-like, IL-12 dan IL-18, IL-11, dan TGF-β1. 5
Gambar 1. Patofisiologi Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik berhubungan erat dengan faktor genetik berupa peran
potensial dari gen barier kulit dan gen respon imun. Hilangnya fungsi akibat
mutasi protein sawar epidermal, terbukti merupakan faktor predisposisi utama
DA. Gen filaggrin terdapat pada kromosom 1q21, yang mengandung gene (loricrin
dan S100 calcium binding proteins) dalam kompleks diferensiasi epidermal, yang
diketahui diekspresikan selama diferensiasi terminal epidermis. Analisis DNA
microarray membuktikan adanya upregulasi calcium binding proteins dan
downregulasi loricrin dan filaggrin pada DA. Variasi dalam gen SPINK5 (yang
diekspresikan dalam epidermis teratas) yang menghasilkan LEK1, menghambat 2
serine proteases yang terlibat dalam skuamasi dan inflamasi (tryptic dan chymotryptic
5
enzymes), mengakibatkan gangguan keseimbangan antara protease dan inhibitor
protease. Ketidakseimbangan tersebut berkontribusi dalam inflamasi kulit pasien DA. 5
Selain respons imun pada kulit di atas, terjadi juga perubahan respons
imun sistemik pada DA, sebagai berikut:7
1. Sintesis IgE meningkat
2. IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen
3. Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit
meningkat
4. Pelepasan histamin dari basofi l meningkat
5. Respons hipersinsitivitas lambat terganggu
6. Eosinofilia
7. Sekresi IL-1, IL-5, dan IL-3 oleh sel Th2 meningkat
8. Sekresi IFN-γ oleh sel Th1 menurun
9. Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat
Kadar CAMP-fosfodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-
10 dan PGE2.
Gejala Klinis
Keluhan gatal adalah gambaran menonjol dari DA, dimanifestasikan
sebagai hiperreaktivitas kulit dan garukan setelah pajanan alergen, perubahan
kelembaban, keringat berlebihan, dan iritan konsentrasi rendah.5
Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih parah menjelang
senja dan malam. Sebagai konsekuensi keluhan gatal adalah garukan, prurigo
papules, likenifikasi, dan lesi kulit eksematosa. Lesi akut ditandai keluhan gatal
intens, papul eritem disertai ekskoriasi, vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat
serosa. Lesi subakut ditandai papul eritem, ekskoriasi, skuamasi. DA kronik
ditandai oleh plakat kulit tebal, likenifikasi (accentuated skin markings), dan
papul fibrotik (prurigo nodularis). 5
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan
aktivitas penyakit. Pada bayi, DA umumnya lebih akut dan terutama mengenai
wajah, scalp, dan bagian ekstensor ekstremitas. Daerah diaper (popok) biasanya
tidak terkena. Pada anak yang lebih tua, dan pada yang telah menderita dalam
6
waktu lama, stadium penyakit menjadi kronik dengan likenifikasi dan lokalisasi
berpindah ke lipatan fleksura ekstremitas. 5
Dermatitis atopik sering mereda dengan pertambahan usia, dan individu dewasa
tersebut mempunyai kulit yang peka terhadap gatal dan peradangan bila terpajan iritan
eksogen. Eksema tangan kronik mungkin merupakan manifestasi primer dari banyak
orang dewasa dengan DA. 5
Gambar 2. Gambaran klinis DA pada anak
Penegakan Diagnosis
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Tidak ada gambaran klinis tunggal pembeda atau tes laboratorium diagnostik
untuk DA, sehingga diagnosis didasarkan pada temuan klinis oleh Hanifin &
Rajka (Tabel 1.1).
Tabel 1. Kriteria mayor dan minor dermatitis atopik5
Kriteria Mayor ( ≥ 3)
Kriteria Minor (≥ 3)
1. Gatal2. Morfologi dan
distribusi lesi khas: likenifikasi fleksural atau hiperlinearis pada dewasa. Mengenai wajah
1. Kulit kering2. Iktiosis/
hiperlineas palmar/keratosis pilaris
3. Peningkatan kadar IgE serum
4. Usia awitan dini5. Kecenderungan
11. Keratokonus12. Katarak subkapsuler
anterior13. Hiperpigmentasi daerah
orbita14. Kemerahan/kepucatan di
pipi15. Pitiriasis alba16. Dermatitis di lipatan
7
dan ekstensor pada bayi dan anak.
3. Dermatitis kronik atau kronik berulang.
4. Riwayat atopi pada pasien atau keluarga.
mendapat infeksi kulit akibat gangguan imunitas seluler
6. Kecenderungan mendapat dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
7. Eksema pada putting susu
8. Kelitis9. Konjungtivitis
berulang10. Lipatan orbita
Dennie-Morgan
leher anterior17. Gatal bila berkeringat18. Intoleransi terhadap wol
dan pelarut lemak19. Aksentuasi perifolikuler20. Intoleransi makanan21. Perjalanan penyakit
dipengaruhi lingkungan/emosi
22. Dermografisme putih/delayed blanch
Diagnosis Banding
Dalam diagnosis banding, terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi,
imunodefisiensi, penyakit genetik, penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai
gejala dan tanda yang sama dengan DA, yaitu: 5
1. Dermatitis kontak (alergik dan iritan)
2. Dermatitis seboroik
3. Skabies
4. Psoriasis
5. Iktiosis vulgaris
6. Dermatofitosis
7. Liken simplek kronikus
8. Dermatitis numularis
8
Penatalaksanaan
9
Pasien dengan riwayat dermatitic pruritis
Gejala pada pasien dimasukkan dalam kriteria Hanifin-Rajka
Langkah-langkah perawatan kulit secara umum :
1. Edukasi2. Hidrasi kulit dan pemakaian emolien/ pelindung sawar kulit3. Menghindari iritan4. Identifikasi dan hindari alergen pencetus5. Penggunaan terapi antiinflamasi (topikal steroid, oenghambat
calcineurin topikal)6. Pemberian obat antipruritus (antihistamin sedatif)7. Identifikasi dan pengobatan terhadap infeksi sekunder seperti
bakteri, virus atau jamur.8. Pengobatan terhadap aspek psikososial penyakit.
+ -Pikirkan diagnosa lainnya.
Keberhasilan terapi+
Titrasi terapi topikal, hanya menggunakan emolien/ pelindung sawar kulit. Untuk steroid topikal dan calceneurin topikal diberikan jika perlu saja
-
Tinjau kembali diagnosa DAMempertimbangkan peran agen infeksius yang tidak dikenal, alergen dan lain-lain.Memepertimbangkan keterbatasan pasien dalam memahami rencana terapi
Keberhasilan terapi
+
Konsultasi dengan spesialis DAPertimbangkan untuk biopsi kulit Pertimbangkan untuk rawat inapPertimbangkan untuk mendapat terapi siklosporin A, terapi ultraviolet dan lain-lain.
-
Gambar 3. Skema Pendekatan Pada Pasien DA5
Prinsip terapi :
1. Hindari paparan antigen
2. Cegah timbulnya ikatan antigen dengan IgE
3. Hambat sekresi mediator radang yang disekresi mastosit dan eosinofil
4. Cegah infeksi berarti mencegah kekambuhan 4
A. Non Medikamentosa
Untuk memperoleh keberhasilan terapi DA, diperlukan pendekatan
sistematik meliputi hidrasi kulit dan identifikasi serta eliminasi faktor pencetus
seperti iritan, alergen, infeksi, dan stressor emosional. Selain itu, rencana terapi
harus individualistik sesuai dengan pola reaksi penyakit, termasuk stadium
penyakit dan faktor pencetus unik dari masing-masing pasien.5
B. Medikamentosa
Hidrasi kulit
Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis yang
mempengaruhi terjadinya fisura mikro kulit yang dapat menjadi jalan masuk patogen,
iritan dan alergen. Problem tersebut akan dipengaruhi oleh musim dan lingkungan kerja
tertentu. Mandi dengan sabun berpelembab minimal 20 menit dilanjutkan dengan
pemberian emollient (untuk menahan kelembaban) dapat meringankan gejala. Terapi
hidrasi bersama dengan emolien dapat mengembalikan dan memperbaiki sawar lapisan
kulit, dan dapat mengurangi pemakaian steroid topikal. 5
Steroid topical
Karena steroid memiliki efek samping, maka pemakaian steroid topikal hanya
diberikan pada DA eksaserbasi akut. Setelah fase akut DA berakhir, maka pemberian
steroid jangka panjang dapat dipertahankan pada sebagian pasien dengan pemakaian
fluticasone 0.05% 2 x/minggu pada area yang telah sembuh. Steroid poten harus
dihindari pada wajah, genitalia dan daerah lipatan. Steroid dioleskan pada lesi dan
emolien diberikan pada kulit yang tidak terkena. Steroid ultra-poten hanya boleh
dipakai dalam waktu singkat dan pada area likenifikasi (tetapi tidak pada wajah
atau lipatan). Steroid mid-poten dapat diberikan lebih lama untuk DA kronik pada
10
badan dan ekstremitas. Efek samping local meliputi stria, atrofi kulit, dermatitis
perioral, dan akne rosasea.5
Inhibitor kalsineurin topical
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan sebagai
imunomodulator nonsteroid. Salap takrolimus 0.03% telah disepakati sebagai terapi
intermiten DA derajat sedang-berat pada anak ≥ 2 tahun dan takrolimus 0.1%
untuk dewasa. Krim pimekrolinus 1% untuk anak ≥ 2 tahun dengan DA derajat
ringan-sedang. Kedua obat ini efektif dan aman dipakai sebagai terapi sampai 4 tahun
(untuk pemakaian takrolimus) dan 2 tahun (untuk pimekrolimus). Kedua bahan
tersebut tidak menyebabkan atrofi kulit, sehingga aman untuk wajah dan lipatan, dan
tidak menyebabkan peningkatan kecenderungan mendapat superinfeksi virus. 5
Antibiotik topical
Sefalosporin dan golongan penicillins (dikloksasilin, oksasilin, kloksasilin)
diberikan untuk pasien yang tidak resisten terhadap strain S. aureus. Stafilokokus
yang resisten golongan tersebut memerlukan kultur dan uji sensitivitas untuk
menentukan obat yang cocok. 5
Mupirosin topikal dapat berguna untuk lesi yang mengalami infeksi sekunder.
Terapi antivirus juga dapat diberikan apabila terdapat infeksi herpes simplek kulit.
Infeksi dermatofit dapat menyebabkan eksaserbasi DA, sehingga harus diterapi
dengan anti-jamur topikal atau sistemik.5
Preparat ter
Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit tetapi
tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter dapat mengurangi potensi steroid topikal
yang diperlukan pada terapi pemeliharaan DA kronis. Preparat ter tidak boleh
diberikan pada lesi kulit radang akut, karena dapat terjadi iritasi kulit. Efek
samping ter di antaranya folikulitis dan fotosensitif.5
Anti-pruritus sistemik
Steroid topikal dan hidrasi kulit sering mengurangi keluhan gatal. Namun
pemberian antihistamin sistemik dapat memblok reseptor H1 dalam dermis,
sehingga dapat menghilangkan pruritus akibat pelepasan histamin. Karena pruritus
biasanya lebih parah pada malam hari, maka dianjurkan pemberian antihistamin
sedatif, hidroksizin, doksepin atau difenhidramin, yang mempunyai efek samping
11
mengantuk bila diberikan pada waktu tidur. Doksepin memiliki efek antidepresan dan
efek blok terhadap reseptor H1 dan H2. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 10-
75 mg oral malam hari atau sampai 2 x 75 mg pada pasien dewasa. Pemberian
doksepin 5% topikal jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi pruritus tanpa
menimbulkan sensitisasi. Walaupun demikian, dapat terjadi efek sedasi pada
pemberian topical area yang luas dan dermatitis kontak alergik. 5
Pemberian antihistamin non-sedatif akan menunjukkan hasil yang bervariasi,
dan akan berguna bila DA disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.5
Steroid sistemik
Pemberian steroid sistemik sering dipilih karena terapi topikal dan hidrasi
kulit memberikan hasil yang lambat. Pemakaian kortikosteroid oral diberikan
pada kasus DA fase akut dan jarang pada DA fase kronik. Jenis kortikosteroid
yang diberikan untuk mempercepat hilangnya gejala pada fase akut biasanya
adalah golongan kortikosteroid potensi sedang sampai tinggi dengan pemberian
jangka pendek. Outcome pasien setelah pemberian steroid sistemik sering disertai
rebound flare berat setelah pemakaian steroid dihentikan. Bila ini diberikan, perlu
dilakukan tappering off dosis. 1, 5
Siklosporin sistemik
Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terutama terhadap
sel T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Pasien DA dewasa dan anak yang
refrakter terhadap terapi konvensional, dapat berhasil dengan siklosporin jangka
pendek. Dosis 5 mg/kg umumnya dipakai dalam pemakaian jangka pendek dan
panjang (1 tahun). Penghentian terapi dapat menyebabkan kekambuhan. Selain itu
siklosporin dapat meningkatkan kreatinin serum, gangguan ginjal dan hipertensi.5
Fototerapi
Saat ini, sinar ultraviolet telah digunakan sebagai terapi pada dermatitis
atopik. Kombinasi UVA dan UVB dapat berguna sebagai terapi penyerta DA.
Target UVA dengan/tanpa psoralen adalah sel LC dan eosinofil, sedangkan UVB
berfungsi imunosupresif melalui penghambatan fungsi sel penyaji antigen, LC dan
merubah produksi sitokin oleh keratinosit. Efek samping jangka pendek berupa
eritema, nyeri kulit, gatal, dan pigmentasi, sedangkan efek samping jangka
panjang adalah penuaan kulit dan keganasan. 5, 8
12
Tabel 2. Efek Samping Kortikosteroid Sistemik 7
Tempat Efek Samping
Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi
gaster, ulkus peptikum/perforasi, pancreatitis,
ilieitis regional, colitis ulseratif
Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu
Sususan saraf pusat Perubahan kepribadian (euphoria, insomnia,
gelisah, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
Tulang Osteoporosis, fraktur kompresi vertebrae, skoliosis,
fraktur tulang panjang
Kulit Hirsustisme, hipotrofi, strie atrofise, dermatoformis
akneformis, purpura, telangiektasis.
Mata Katarak subskapular posterior, glaukoma
Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit, limfosit
Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah
Kelenjar adrenal bagian
korteks
Atrofi, tidak bisa melawan stress
Metabolism protein,
karbohidrat dan lemak
Kehilangan protein, hiperlipidemia, gula meninggi,
obesitas, buffalo bump, perlemakan hati
Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium
Sistem imunitas Menurun, rentan terhadap infeksi, reaksi
tuberculosis dan herpes simpleks, keganasan
13
Penggolongan
Kortikosteroid topikal dibagi menjadi 7 golongan berdasarkan potensi
klinisnya, yaitu sebagai berikut.
Tabel 4. Potensi Kortikosteroid TopikalKlasifikasi Nama Generik
Golongan 1: (super poten) 0,05% betamethason dipropionate0,05% diflorasone diacetate0,05% clobetasol propionate0,05% halobetasol propionate
Golongan II: (potensi tinggi) 0,1% amcinonide0,05% betamethasone dipropionate0,01% mometasone fuorate0,05% diflorasone diacetate0,01% halcinonide0,05% fluocinonide0,05% diflorasone diacetate0,05% betamethasone dipropionate0,25% desoximetasone0,05% desoximetasone
Golongan III: (potensi tinggi) 0,1% amcinonide0,05% betamethasone dipropionate0,01% mometasone fuorate0,05% diflorasone diacetate0,01% halcinonide0,05% fluocinonide0,05% diflorasone diacetate0,05% betamethasone dipropionate0,25% desoximetasone0,05% desoximetasone
Golongan IV: (potensi medium)
0,1% triamcinolone acetonide0,05% flurandrenolide0,1% mometasone furoate0,1% triamcinolone acetonide0,025% fluocinolone acetonide0,2% hydrocortisone valerate
Golongan V: (potensi medium)
0,05% flurandrenolide0,05% fluticasone propionate0,1% prednicarbate0,05% betamethasone dipropionate0,1% triamcinolone acetonide0,1% hydrocortisone butyrate0,025% fluocinolone acetonide0,05% desonide0,1% betamethasone valerate0,2% hydrocortisone valerate
14
Golongan VI: (potensi medium)
0,05% aclometasone0,1% triamcinolone acetonide0,05% desonide0,025% triamcinolone acetonide0,1% hydrocortisone butyrate0,01% fluocinolone acetonide0,05% desonide0,1% betamethasone valerate
Golongan VII: (potensi lemah)
Obat topical dengan hidrokortison, dekametason, glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone
Penggunaan kortikosteroid topikal pada kulit memiliki efek samping
berupa atrofi kulit, Acneiform reaction, hipertrikosis, perubahan pigmen kulit,
mencetuskan infeksi mikroorganisme patogen dan reaksi alergi.5
15
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : An. MSA
Umur : 2 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Punge
Pekerjaan : Dibawah umur
Status Pernikahan : Belum Menikah
HP/ Telp :
Nomor CM : 1-03-79-82
Tanggal Periksa : 26 Januari 2015
Anamnesis
Keluhan Utama : Gatal di tangan kanan dan kaki kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dibawa orangtuanya dengan keluhan gatal pada tangan dan
kaki sejak satu minggu yang lalu. Gatal muncul secara tiba-tiba. Awalnya berupa
bintil-bintil kecil kemerahan dan terasa gatal memberat terutama sewaktu pasien
berkeringat dan pada saat malam hari. Saat gatal muncul pasien selalu menggaruk
di bagian tersebut. Satu minggu sebelum gatal muncul, pasien mengeluh adanya
bercak kemerahan sebesar biji jagung pada tangan. Bercak kemerahan dirasakan
semakin lama semakin membesar dan muncul hingga ke kaki. Ibu pasien juga
mengatakan permukaan kulit terasa kering dan bersisik.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu kandung pasien memiliki riwayat penyakit asma bronchial dan
mengalalami gatal-gatal pada kulit seperti pasien. Ibu pasien mengaku alergi
dingin dan pernah memiliki riwayat sesak nafas.
16
Riwayat Kebiasaan Sosial :
Pasien mandi 2 kali sehari.
Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 78 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Pemeriksaan Fisik Kulit
Status Dermatologis
Regio : brachii dan antebrachii dextra dan tibia dextra
Gambar 4. Lesi pada regio brachii dan antebrachii dextra
Gambar 5. Lesi pada regio tibia dextra
17
Deskripsi Lesi :
Tampak makula eritematous berbatas tidak tegas, ukuran miliar hingga
lenticular dengan skuama tipis diatasnya distribusi simetris.
Diagnosis Banding
1. Dermatitis Atopik
2. Dermatitis Kontak Alergika
3. Dermatitis Seboroik
4. Psoriasis Vulgaris
5. Skabies
Pemeriksaan Penunjang
- Uji klinis white dermographysm Negatif, didapatkan adanya triple
phenomena Lewis .
- Fenomena Kaarsvlek.
- Autzpitz sign
- Koebner phenomenon
Pemeriksaan Anjuran Lanjutan
- Atopic patch test dan prick test
- Pemeriksaan laboratorium :
1. Darah tepi
2. Level serum IgE
Resume
Seorang anak laki-laki, 2 tahun, datang dibawa oleh orangtuanya dengan
keluhan gatal sejak satu minggu yang lalu. Gatal memberat terutama sewaktu
pasien berkeringat dan pada saat malam hari. Ibu pasien juga mengatakan
permukaan kulit terasa kering dan bersisik. Ibu kandung pasien memiliki riwayat
asma bronkial. Hasil pemeriksaan fisik kulit pada regio brachii, antebrachii dan
tibia dextra tampak makula eritematous berbatas tidak tegas, ukuran miliar -
lentikular dengan skuama tipis di atasnya distribusi simetris. Pemeriksaan White
dermograpysm didapatkan adanya triple phenomena Lewis.
18
Diagnosis Klinis
Dermatitis atopik
Tatalaksana
Farmakoterapi
Sistemik : Cetirizine 10 mg tablet 2x1 selama 5 hari
Metilprednisolon 8 mg tablet 3x1 selama 5 hari
Topikal : Tiamfenikol 2%
Desoximethasone 0,25 g oles di tangan dan kaki
(pagi, siang, dan malam)
Edukasi
Memakai pelembab untuk mencegah kulit agar tidak kering.
Menghindarkan suhu yang terlalu panas.
Mandi menggunakan sabun yang pH yang sama dengan pH kulit.
Jangan menggaruk di tangan atau kaki yang gatal.
Gunakan obat secara teratur.
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
19
DISKUSI
Diagnosa Banding
Diagnosis banding
Definisi dan Manifestasi Klinis
Tipe LesiDistribusi
LesiDermatitis
AtopikInflamasi kulit kronis residif yang umumnya sering terjadi pada masa bayi dan anak, namun dapat juga terjadi pada dewasa.
Lesi berupa makula atau patch, papula, bisa disertai skuama, krusta, erosi dan likenifikasi. Pada lesi yang kronis, bentuk polimorf dan distribusi khas simetris.
Pada dewasa biasanya pada angggota gerak flexor.
Dermatitis kontak alergika
Inflamasi pada kulit melalui mekanisme imunologi, akibat paparan allergen eksogen.
Lesi berupa papula, vesikel, makula atau patch, disertai skuama, krusta, likenifikasi, bentuk polimorf, berbatas tegas sesuai alergen kontak.
Lesi muncul di bagian tubuh yang kontak dengan bahan alergen.
Likhen simpleks kronik
Peradangan kulit kronik dengan rasa sangat gatal ditandai dengan kulit menebal dan garis kulit terlihat lebih jelas.
Lesi berupa papul eritematous konfluens yang dapat berbentuk plak hiperpigmentasi akibat garukan, disertai likenifikasi dan sering terdapat ekskoriasi dengan skuama minimal.
Lesi sering muncul di bagian kepala, leher, anggota gerak extensor, sendi, dan genitalia.
20
Dermatitis seboroik
Peradangan kulit pada daerah yang banyak mengandung kelenjar sebasea.
Lesi berupa makula eritematous yang ditutupi oleh papul milier berbatas tidak tegas dan skuama halus. Kadang ditemukan erosi dengan krusta yang sudah mongering berwarna kekuningan.
Biasa terdapat kulit kepala, belakang telinga, alis mata, ketiak, dada dan daerah suprapubis.
Psoriasis Vulgaris
Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif, dapat mengenai semua umur yang ditandai dengan plak kemerahan yang ditutupi oleh skuama yang tebal berwarna putih keperakan dan berbatas tegas.
Tampak plak eritematous dengan skuama tebal berbatas tegas.
Lesi dapat muncul pada siku, lutut, kepala, genitalia, dan kuku.
ANALISA KASUS
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan faktor
resiko yang ada pada pasien. Berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka, pasien memiliki
3 kriteria mayor serta 3 kriteria minor sehingga dapat didiagnosis dengan
dermatitis atopik. Adapun kriteria yang ada pada pasien adalah sebagai berikut.
A. Kriteria Mayor
- Pruritus
21
- Morfologi dan distribusi khas
- Riwayat atopi pada keluarga (ibu kandung pasien mempunyai riwayat asma
bronkial dan memiliki keluhan gatal pada kulit seperti pasien)
B. Kriteria Minor
- Xerosis (kulit kering)
- Gatal bila berkeringat
- Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan (suhu)
Pasien dalam kasus ini merupakan anak laki-laki berusia 2 tahun. Angka
kejadian dermatitis atopik banyak terjadi pada anak- anak yaitu sekitar 10-20%,
akan tetapi penyakit ini masih dapat terjadi pada orang dewasa, yaitu sekitar 3%. 3
Gejala pruritus yang merupakan keluhan utama pada pasien dapat
diakibatkan oleh sel peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat
kekeringan kulit, perubahan kelembaban udara, dan keringat berlebihan.
Kekeringan yang terjadi pada penderita DA diduga terjadi akibat kadar lipid
epidermis yang menurun, trans epidermal water loss meningkat, skin capacitance
(kemampuan stratum korneum mengikat air) menurun. Kekeringan kulit ini
menyebabkan ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan
sensasi untuk menggaruk, dimana garukan ini dapat menyebabkan kerusakan
sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan bahan iritan/alergen lain
untuk masuk ke dalam kulit.5
Pasien ini diberikan terapi kortikosteroid oral berupa metilprednisolon 3x8
mg, antihistamin oral yakni cetirizine 2x10 mg, dan kombinasi antibiotik dan
kortikosteroid topical (tiamisin 2%+ desoximethason krim oles di tangan dan
kaki). Desoximethasone adalah jenis kortikosteroid potensi tinggi (golongan II)
dan dapat diberikan pada penderita DA dewasa. 7
Dosis metilprednisolon yang digunakan pada pasien ini adalah 3x8 mg
selama 5 hari. Hal ini dikarenakan obat tersebut mempunyai efek imunosupresan
dan anti-inflamasi dan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan topikal.
Pemberian cetirizine dimaksudkan sebagai antihistamin yang dapat mengurangi
rasa gatal pada pasien sehingga resiko untuk timbulnya ekskoriasi karena garukan
berkurang, dan resiko infeksi juga berkurang.5
22
Pada pasien ini diberikan pemahaman agar menghindari faktor pencetus
penyakit agar tidak berulang. Faktor pencetus yang perlu diidentifikasi di
antaranya pajanan ekstrim suhu dan kelembaban, sabun atau detergen, pajanan
kimiawi, rokok, dan pakaian abrasif. 4 Dari anamnesis, pasien mengaku seorang
nelayan sehingga sering terpapar oleh matahari yang dapat mencetuskan
terjadinya gatal, sehingga edukasi yang diberikan adalah tidak bekerja untuk
sementara. Pasien juga diberikan pelembab untuk mencegah kulit kering yang
dapat mencetuskan DA. 5
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Eichenfield LF, Tom WL, Berger TG, Krol A, Paller AS, Schwarzenberger K, Bergman JN, et al. Guidlines for Care Management of Atopic Dermatitis. Section 2 : Management and Treatment of Atopic Dermatitis With Topical Therapies. J AM ACAD Dermatol. July 2014. (7) : 1. 116-132.
2. Sanchez J, Paez B, Macias A, Olmos C, Falco A. Atopic Dermatitis Guideline. Position Paper from the Latin American Society of Allergy, Asthma and Immunology. Revista Alergica Mexico. 2014 (61) 3 : 178-211.
3. Diana IA, dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia. Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Jakarta. 2014. Hal.1.
4. Ring J, Alomar A, Bieber T, Deleuran M, Fink WA, et al. Guidelines for Treatment of Atopic Eczema (Atopic Dermatitis) Part I. JEADV. 2012. 26 : 1045-1060.
5. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic dermatitis (Atopic eczema). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 146-58.
6. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology (5th ed). Part I: Disorders Presenting in the Skin and Mucous Membranes. Section 2. Eczema/Dermatitis. 2007. New York : The Mc Graw Hill Companies.
7. Sularsito S, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
8. Sidbury, R, et al. Guidelines of Care for the Management of Atopic Dermatitis. Section 3: Management and Treatment With Phototherapy and Systemic Agent. J AM ACAD Dermatol. July 2014. (7) : 1. 327-349.
9. Guyton, et all. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007.10. Tjay, TH Rahardja K. Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Samping Edisi V. Jakarta: Elexmedia Komputindo. 2002.11. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Diseases Of The Skin
Clinical Dermatology. 10th ed.
24
top related