cicadesiaristawati.files.wordpress.com€¦ · web viewdiajukan untuk memenuhi tugas hukum adat ....
Post on 06-Oct-2020
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TATA SUSUNAN RAKYAT DI SUKU MINANGKABAU
diajukan untuk memenuhi tugas hukum adat
diampu Ibu Indri Fogar, S.H, M.H.
oleh
1. Nisa Munisa (14040704026)
2. Cica Desi Aristawati (14040704030)
3. Aga Mestika (14040704
4. M. Romzul Islam (14040704
5. Erlinda Megantari (1404070412
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM C 2014
JURUSAN PMP-KN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2015
1. Tata Susunan Rakyat Adat Suku Minangkabau
Sistem kekerabatan matrilinial :
Masyarakat minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal.
Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan
ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan
dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen
dari perkauman ibu.Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam
sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal.Dengan kata
lain seorang anak di minangkabau akan mengikuti suku ibunya.
Segala sesuatunya diatur menurut garis keturunan ibu.Tidak ada
sanksi hukum yang jelas mengenai keberadaan sistem matrilineal ini,
artinya tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila seseorang melakukan
pelanggaran terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan secara turun
temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau
kitab undang-undangnya. Namun demikian, sejauh manapun sebuah
penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari
fungsi dan peranan perempuan itu sendiri.
Ciri-ciri Sistem Kekerabatan Matrilineal
Adapun karakteristik dari sistem kekerabatan matrilineal adalah
sebagai berikut:
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu Seorang laki-laki di minangkabau tidak
bisa mewariskan sukunya kepada anaknya. Jadi jika tidak ada anak
perempuan dalam satu suku maka dapat dikatakan bahwa suku itu telah
punah.
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami).
Menurut aturan adat minangkabau seseorang tidak dapat menikah dengan
seseorang yang berasal dari suku yang sama . Apabila hal itu terjadi
maka ia dapat dikenakan hukum ada, seperti dikucilkan dalam pergaulan.
4. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-laki
Yang menjalankan kekuasaan di minangkabau adalah laki-laki,
perempuan di minangkabau di posisikan sebagai pengikat, pemelihara,
dan penyimpan harta pusaka.
5. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
6. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan
dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Peran dan Kedudukan Wanita di Minangkabau
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau
memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk
menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah
gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Dalam sistem matrilineal
perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan,
sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat
penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-
undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima
bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan
sebelumnya oleh pihak ninik mamak. Perempuan menerima hak dan
kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan.
Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat
menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga.
Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi
hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan tidak perlu
berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan minangkabau yang
memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi
suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi
lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem
matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan
perempuan.
Peran dan Kedudukan Laki-laki di Minangkabau
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau
berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala
yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian maupun
pembagian harta pusaka. Perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan
semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Peranan laki-laki di
dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya
dengan seimbang dan sejalan. Adapun peranan laki-laki di minangkabau
terbagi atas :
a. Sebagai kemenakan
Di dalam kumnya seorang laki-laki berawal sebagai kemenakan.
Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam
kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota
keluarga kaumnya. Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi
kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala
hal tentang adat dan perkaumannya. Dalam kaitan ini, peranan surau
menjadi penting, karena surau adalah sarana tempat mempelajari semua
hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada
di surau tersebut. Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris
sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a) Kemenakan di bawah daguak. Kemenakan di bawah daguak adalah
penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya
b) Kemenakan di bawah pusek. Kemenakan di bawah pusek adalah
penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada
(punah).
c) Kemenakan di bawah lutuik. Kemenakan di bawah lutuik, umumnya
tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.
b. Sebagai Mamak
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi
mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau,
suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah
kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus
itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung
jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu
penghulu kaum.
c. Sebagai Penghulu
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai
penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk.
Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur
pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada
di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya. Setiap laki-laki terhadap
kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya
harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual,menggadai
atau menjadikan milik sendiri). Secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam
ajaran adatnya: Tagak badunsanak mamaga dunsanak, Tagak basuku
mamaga suku, Tagak ba kampuang mamaga kampuang, dan Tagak ba
nagari mamaga nagari.
Peranan Laki-laki di Luar Kaum
Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau
penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia
mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum
isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum
istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya.Satu
sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk
perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak. Di dalam
kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di
dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;
a. Sumando ninik mamak
Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada
kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar
terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih
berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.Sikap ini yang sangat
dituntut pada peran setiap sumando di minangkabau
b. Sumando kacang miang
Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena
dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya
tidak dimunculkan.Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
c. Sumando lapik buruk
Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa
peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando
seperti seperti itu sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai
tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan
harus dijauhi.Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya,
sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih : Sadalam-
dalam payo, Hinggo dado itiak, Sakuaso-kuaso urang sumando, Hinggo
pintu biliak. Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;
Rancak rumah dek sumando, Elok hukum dek mamaknyo
2. Persekutuan Hukum Rakyat Suku Minangkabau
Di dalam masyarakat adat suku Minangkabau terdapat tata persekutuan
hukum masyarakat adat berdasar sistem geneologis teritorial. Dimana
geneologis teritorial adalah suatu kesatuan masyarakat yang tetap teratur
dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu
daerah tertentu melainkan juga terikat pada hubungan pertalian darah atau
kekerabatan. Untuk menjadi anggota persekutuan hukum teritorial genealogis
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Harus masuk pada suatu kesatuan genealogi
b. Harus berdiam di daerah persekutuan yang bersangkutan
Pada persekutuan hukum adat teritorial Genelogis ini kedua syarat tersebut
diatas harus memenuhi baik dari segi teritorialnya maupun genelogisnya.
Tanpa memenuhi kedua syarat tersebut maka tidak dapat dikelompokkan
sebagai persekutuan hukum adat secara teritorial genelogis. Pada macam
persekutuan ini ikatan yang dijalin antar individu semakin kuat karena tak
hanya ada ikatan pertalian darah tapi juga ikatan tempat kediaman yang
berdekatan.
Genealogis
Berdasarkan keturunan pertalian darah menurut garis ibu atau biasa
disebut dengan matrilineal. Misalnya, famili Minangkabau diketuai oleh
seorang penghulu andiko dan terdiri dari beberapa bagian yang disebut
rumah atau jurai dan dikepalai oleh seorang tungganai atau mamak kepala
waris. Satu jurai terdiri dari beberapa nenek dan anak-anaknya (laki-laki dan
perempuan) serta saudara-saudaranya, laki-laku dan perempuan. Famili
tersebut bertindak sebagai kesatuan terhadap famili lain, terhadap desa
(nagari), ditempat mereka tinggal, terhadap orang-orang asing dan terhadap
pemerintah atasan. Famili Minangkabau mempunyai harta puasa yang
diurus oleh penghulu andiko dan mempunya gelar famili yang dipakai oleh
orang yang mewakili famili itu, dan yang tidak boleh dipakai oleh famili
lain.
Tidak seorangpun yang mempunyai pikiran akan kemungkinan
pembubaran persekutuan famili Minangkabau. Persekutuan itu mungkin
berakhir, yaitu menjadi punah, oleh karena semua anggotanya meninggal
dunia. Mungkin pula famili Minangkabau terpecah menjadi beberapa famili
yang kecil-kecil, jika jumlah anggotanya menjadi terlalu besar, akan tetapi
membubarkan kesatuan famili adalah tidak mungkin. Seseorang anggota
famili dapat de facto memutuskan segala ikatan dengan familinya,
berhubung ia meninggalkan nagari, tempat tinggal familinya, untuk selama-
lamanya. Pun seorang anggota dapat dibuang dari lingkungan famili, oleh
karena dia berkelakuan jahat (buang sirih, buang bilah, buang tingkaran).
Teritorial
Lereng-lereng Bukit Barisan yang berhutan lebat, berjurang terjal, luas
dan dalam, merupakan batas-batas alamiah yang memisahkan dataran-
dataran tinggi lembah diantara gunung-gunung. Daerah-daerah terisolir
dengan batas-batas alam yang sulit untuk diatasi pada abad-abad yang
lampau bukan saja merupakan isolement alamiah, tetapi juga
mengakibatkan isolement rohaniah. Yang kemudian menimbulkan kesatuan-
kesatuan geografis, sosial-ekonomis, politis dan kulturil, yang disebut
"luhak" di alam Minangkabau. Dalam perkembangan selanjutnya terjadilah
tiga luhak besar, diantara nya :
1. luhak "Agam" dilembah dataran tinggi Gunung Singgalang — Merapi,
2. luhak "50 Koto" dilembah dataran tinggi Gunung Sago
3. luhak "Tanah Datar" dilembah dataran tinggi Gunung Tandikat-
Singgalang-Merapi.
Ketiga luhak besar itulah dalam sejarah Minangkabau disebut "Luhak nan
Tigo". Pembagian daerah Alam Minangkabau atas tiga daerah geografis ini
oleh Belanda dilanjutkan dengan menggunakan istilah "afdeling", dibawah
pimpinan seorang "asisstent resident", yang oleh penduduk dinamakan "tuan
luhak". Pemerintah Republik Indonesia meneruskan pembagian administratif
itu dengan menyebut tiap-tiap bagian "kabupaten", dipimpin oleh seorang
bupati kepala daerah.
Daerah Pesaman-Lubuk Sikaping disebelah Barat daya Alam
Minangkabau tidak termasuk "Pesisir", "Daré", maupun "Rantau". Sebagai
kabupaten daerah itu merupakan "daerah kolonisasi" Alam Minangkabau dan
Tanah Batak (Mandailing). Daerah Sawah Lunto-Sijunjung disebelah Timur
dan daerah Solok-Muara Labuh disebelah Tenggara dan Timur Laut Alam
Minangkabau dalam sejarah dinamakan "ekor Rantau" dan merupakan daerah
peralihan antara Alam Minangkabau dan Rantau. Penduduknya mengaji asal
usul mereka dari daerah Alam Minangkabau yang telah berbilang abad
membuka, mengerjakan dan mendiami daerah-daerah itu. Sebagai wilayah
yang letaknya berbatasan dengan Riau (Sijunjung) dan Jambi (Muara Labuh),
kultur-sosiologis daerah itu merupakan daerah peralihan antara "Melayu -
Minangkabau" dengan "Melayu - Riau" dan "Melayu - Jambi".
Susunan rakyat yang bersifat genealogis-teritorial kita dapati dibeberapa
Nagari di Minangkabau dan dibeberapa Marga atau dorp di Bengkulu. Disitu
tidak ada golongan yang berkuasa memerintah dan golongan yang
menyimpang ataupun golongan yang menguasai tanah, melainkan segala
golongan suku yang bertempat tinggal di dalam daerah nagari berkedudukan
sama atau setingkat dan bersama-sama merupakan suatu badan persekutuan
teritorial atau nagari sedang daerah nagari terbagi dalam daerah-daerah
golongan atau daerah suku, dan tiap-tiap golongan mempunya daerah-daerah
sendiri.
Susunan rakyat yang bersifat geneologis teritorial adalah terdapat di
nagari-nagari lain di Minangkabau dan pada dusun di daerah Rejang atau
Bengkulu, yang dalam satu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian clan
yang satu sama lain tidak bertalian famili. Seluruh daerah nagari atau dusun
menjadi daerah bersama atau yang tidak dbagi-bagi dari segala bagian clan
pada badan persekutuan nagari atau dusun itu.
Susunan Persekutuan-persekutuan Hukum
Para persekutuan hukum di Minangkabau disusun secara organis, yaitu
pimpinan terdiri dari perwakilan fungsional, pimpinan bersifat representatif.
Di dalam badan persekutuan hukum yang disebut : nagari adalah beberapa
famili yang bersifat badan hukum pula dan para famili itu masing-masing
dikepalai oleh seorang penghulu andiko yaitu laki-laki yang tertua dari bagian
famili atau jurai yang tertua. Tiap-tiap jurai sering kali diketau oleh orang tua-
tuanya sendiri bernama mamak kepala waris atau tungganai. Para famili di
dalam satu nagari masing-masing masuk golongan atau clan yang lebih besar,
bernama suku. Tipa-tiap suku mempunyai nama sendiri-sendiri, suku-suku itu
tersebar di seluruh daerah Minangkabau.
Di Minangkabau ada dua jenis tata susunan nagari. Di tanah agam berlaku
adat bodicaniago. Pimpinan nagari terletak di dalam tangan permufakatan para
penghulu andiko yang sederajat kedudukannya. Di daerah-daerah kotopiliang
(tanah datar dan 50 kota), para famili perikatan-perikatan disitu, disebut
kampoang bersatu dalam perikatan-perikatan yang disebut : suku. Masing-
masing suku terdiri dari 4,5,6 atau sembilan famili. Tiap-tiap suku diketuai
oleh seorang kepala suku. Yang menjadi kepala suku ialah penghulu andiko
yang terutama yaitu kepala famili yang terkemuka dari kampung yang
terkemuka. Kepala suku selalu bermusyawarah dengan para penghulu andiko
dari sukunya sendiri. Ia mempunyai pembantu ialah manti untuk urusan
pamong praja, dubalang untuk urusan polisi dan malim untuk urusan agama.
ditiap-tiap nagari adalah empat suku dan pengurus nagari terdiri dari para
kepala dari suku-suku tersebut dengan para penghuku andiko diseluruh nagari
dibawah pimpinan seorang kepala yang disebut : pucuk nagari.
3. Susunan Masyarakat dan Hukum Adat di Suku Minangkabau
Susunan masyarakat Minangkabau berdasarkan ikatan kekeluargaan
dengan suku sebagai kesatuan genealogis menurut garis ibu, tidak
memungkinkan timbul dan berkembang golongan "ningrat-darah" seperti di
Jawa umpamanya. Golongan ningrat darah ("kaum feodal") sebagai lapisan
masyarakat tertinggi yang ekslusif dan "tertutup" (a closed society), secara
turun temurun me-monopoli kekuasaan politik militer, juridis —
administrative, kulturil dan ekonomis, tidak ada di Minangkabau.
Sifat Pimpinan Kepala – kepala Rakyat
Kepala rakyat adlah bapak masyarakat, dia mengetuai persekutuan sebagai
ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan hidup di dalam
persekutuan. Sifat tradisional pimpinan kepala rakyat dapat dikenal dari bunyi
pepatah Minangkabau bahwa penghulu itu :
Kayu kadang di tanah padang, Bakeh batuduah ari ujan, Bakeh bulauang dari
paneh, Ure nyo bulieh bakeh basando,Batang nyo bulieh bakeh basando.
Artinya : sebatang kayu yang besar di tengah lapang, tempat berlindung diwaktu
hujan, tempat bernaung diwaktu panas, urat-uratnya tempat duduk dan batangnya
tempat bersandar.
Kepala rakyat bertugas memelihara hidup hukum di dalam persekutuan,
menjaga supaya hukum itu dapat berjalan selayak-layaknya. Aktivitas kepala
sehari-hari meliputi seluruh lapangan masyarakat. kepala rakyat bercampur
tanagan pula dalam menyelesaikan soal perkawinan, warisan, pemeliharaan anak
yatim, dan sebagainya. Tidak ada satu lapangan pergaulan hidup di dalam badan
persekutuan yang tertutup bagi kepala rakyat untuk ikut campur bilamana
diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamaian, keseimbangan lahir dan
batin, untuk menegakkan hukum.
Di daerah-daerah Bodi-Caniago di Minangkabau, kedudukan penghulu
andiko gelarnya berpindah berganti-ganti kepada jurai (bagian famili) menurut
adat bergilir (bagelar). Pemindahan ini hanya dapat baik berlakunya apabila segala
penghulu (kepala-kepala rakyat) memperhatikan akan baik jalannya
penyelenggaraan pemindahan itu.
Apabila seorang penghulu sudah tua dan sering sakit-sakitan, hingga
seringkali terhalang melaksanakan tugasnya sebagai wakil-pembimbing-
pembina kaum/sukunya dan sebagai anggota kerapatan Adat dalam nagari,
tungganai-tungganai kaum/sukunya menunjuk salah seorang diantara mereka
sebagai "penongkat", Tugasnya seperti "tongkat", penumpu yang memberikan
kekuatan dan tenaga kepada penghulu yang sudah tua. lalah yang bertindak
sebagai wakil dan atas nama penghulu tua dalam kaum/suku, maupun pada
Kerapatan-kerapatan Adat. la dipanggilkan "Datuk Muda"..
Apabila penghulu yang tua sudah meninggal dunia, "Datuk Muda" naik
penghulu, upacara adat yang dihadiri oleh segenap penghulu dalam nagari dan
wakil-wakil penghulu dari nagari-nagari yang berdekatan, Diresmikan dalam
upacara itu gelar pusaka yang akan dipakainya selanjutnya sebagai penghulu
kaum dan anggota Kerapatan Adat dalam nagarinya. Biaya besar yang
membarengi upacara naik penghulu itu dengan menyembelih kerbau, dipikul
bersama oleh seluruh anggota suku dan kaum kerabat yang mempunyai
pertalian darah dengan "keluarga" yang tungganainya naik penghulu itu.
Seorang penghulu harus dapat menunjukkan tanah dan rumah pusakanya.
la mempunyai "regalia", tanda-tanda kebesaran sebagai penghulu, yaitu "saluk"
(destar), baju dan celana yang bersulam benang emas, keris, tongkat, terompah
kulit bersulam benang emas dan perak, dsb. la harus memenuhi syarat-syarat
dan tunduk pada peraturan-peraturan yang ditetapkan bagi seorang penghulu.
Anak-anak saudara wanita dan saudara-saudara dari pihak ibu disebut
"kemenakan". Ada kemenakan "kandung", kemenakan "seperut" atau
"sekaum", kemenakan "sepesukuan" dsb. Dalam pengertian luas kemenakan
berarti "rakyat", seluruh penduduk yang takluk dibawah perintah penghulu-
penghulu sesuatu nagari.
Masyarakat dan susunan masyarakat Minangkabau dengan sendirinya
melatih dan mempersiapkan tiap-tiap orang Minangkabau, istimewa seorang
penghulu, untuk pandai "bersilat lidah" dan "mengadu ujung jarum",
menggunakan "spitsvondigheden" untuk mengalahkan lawan dimedan
permusyawaratan.
Disamping istilah "kemenakan" lazim pula digunakan kata "anak buah".
Anak buah berarti "orang suruhan" penghulu untuk melakukan kerja berat dan
berbahaya, seperti membuka hutan untuk dijadikan sawah atau ladang dan
menjaga keamanan nagari sebagai "pagar kampung".
Tiap-tiap nagari di Minangkabau mempunyai sejumlah "anak buah",
barisan pengawal yang anggota-anggotanya ahli menggunakan senjata tajam
dan ahli bersilat (pendekar). Mereka lazim disebut "dubalang" (hulubalang)
dan adalah anggota dari "orang yang empat jenis", yaitu penghulu, imam-
khatib, manti dan dubalang. Dikatakan dalam pepatah, "kata penghulu kata
penyelesai, kata imam-khatib kata hakekat".
Tugas manti menyampaikan keputusan penghulu dan dubalang adalah
pelaksana keputusan itu. Yang disebut dengan kata hakekat disini ialah
pertimbangan berdasarkan agama Islam, yang mendasari keputusan penghulu
sebagai ahli adat dan penguasa.
Kedudukan dan fungsi sebagai penghulu berdasarkan pilihan seluruh
anggota keluarga (perut, kaum dan suku) dan karenanya tidak dipusakai oleh
anak maupun oleh kemenakan kandung, putra saudara wanita terdekat. Seorang
penghulu adalah "ningrat jabatan", dengan hak-hak istimewa ("prerogatives")
yang melekat pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai penghulu. Yang
diturunkan kepada kemenakan seperut, sekaum ataupun sepesukuan dan
terpilih sebagai penggantinya, ialah fungsi "ningrat-jabatan" dengan hak-hak
prerogatif yang "inhaerent" pada jabatan itu.
Sebagai penghulu-ningrat-jabatan ia disebut "datuk". Terhadap keluarga
yang memilihnya seperti orang yang dituakan, ia bertindak sebagai
"administrator" dan pembina-pemelihara harta pusaka keluarga dalam bentuk
tanah dan rumah pusaka. Sebagai anggota Kerapatan Adat ia terutama
mewakili dan membela hak-hak keluarga yang dipimpinnya.
Penghulu seringkali pula disebut "tuanku", terutama didaerah Pesisir dan
Rantau, dimana seorang penghulu sering bergelar "raja". Dizaman pemerintah
Belanda istilah tuanku digunakan sebagai sebutan kepala daerah, seperti kepala
nagari, kecamatan (asisten Demang), "onderafdeling" atau kawedanan
(Demang).
Didaerah Rantau kedudukan penghulu yang disebut "raja" turun temurun
dari bapak kepada anak. Demikian pula halnya dengan beberapa daerah di
Pesisir, umpamanya di Indrapura.
Daerah Pariaman mengenal gelar "sutan, sidi dan bagindo" buat
golongan yang mempunyai kedudukan maupun fungsi mendekati golongan
ninggrat di Jawa. Untuk membedakan golongan ini dari lapisan rakyat biasa,
mereka lazim disebut "orang berbangsa". Orang berbangsa di Padang memakai
titel "sutan atau marah" didepan namanya.
Berbeda dengan gelar penghulu, titel "orang berbangsa" dapat diturunkan
kepada anak, tetapi tidak kepada kemenakan. Nama suku dan gelar pusaka
tetap diterima dari fihak ibu. Golongan "orang berbangsa" tidak disebut dengan
istilah "tuanku", cukup dengan menggunakan titel sutan, marah, sidi atau
baginda saja. la memperoleh nama panggilan tuanku, apabila mempunyai
kedudukan atau fungsi sebagai ningrat-jabatan.
Demokrasi di Suku Minangkabau
Demokrasi Minangkabau, yang dalam musyawarah selalu berusaha
mencapai kata sepakat dan bulat tanpa pungutan suara. Kaum wanita sebagai
pemilik tanah, bahan produksi (pangan) dan rumah, serta ekonomis menduduki
posisi kuat, memainkan peranan yang menentukan (dibelakang layar) tiap-tiap
musyawarah. Sebagai ibu mereka selalu berusaha menghindarkan "clash-
physiek" antara kaum dalam nagari, karena dapat mengancam dan
membahayakan keselamatan jiwa "anak" (rakyat), alat dan bahan produksi.
Dapat selalu tercapai kata sepakat dan bulat akibat peranan kaum wanita
Minangkabau (dibelakang layar) tidak dirasa perlu adanya pemerintah pusat
yang berwibawa, didampingi oleh kekuatan fisik (tentara)) yang kuat, maupun
pemimpin yang menonjol dalam masyarakat; musyawarah adalah "raja".
Pengangkatan kepala rakyat
Seorang Datuak atau pangulu dipilih dan dinobatkan apabila terjadi
beberapa hal dalam suatu suku atau kaum :
1. Apa bila Datuk atau Pangulu yang terdahulu tealah meninggal dunia (Patah
tumbuah hulang baganti)
2. Apa bila Datauk atau Pangulu yang saat ini sedang menyandang gelar
datuak telah berusia lanjut atau dalam keadaan sakit berat dan tidak
mungkin atau sanggup lagi untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai
Datauak atau Pangulu. (Hilang dicari lapuak diganti)
3. Apa bila Datauak yang sedang menyandang gelar Datuak atau Pangulu saai
ini mengundurkan diri minta diganti, (Malatak-an gala)
4. Apa bila terjadi pelanggaran moral, adat dan agama serta hukum yang
berlaku lainnya oleg orang yang menyandang gelar Datuak atau Pangulu
saat ini dan anak kemenakan sepakat untuk menggantinya, (Mambuek
cabuah jo sumbang salah)
5. Kalau ada Datauk atau pangulu yang sudah lama tidak di angkat karena
sesuatu hal dan saat ini sudah memnuhi syarat untuk dianggkat
(Mambangkik Batang Tarandam).
Dalam tatanan adat Minang Kabau ada 2 cara memilih seorang pangulu
atau datuak :
1. Menurut adat Suku Bodi Chaniago dan pecahannya (banyak lagi nama suku
suku yang lain pecahan dari suku asal Bodi dan Chaniago ata Koto Piliang)
seorang pangulu atau datuak dipilih secara musyawarah mufakat oleh anak
kemenakan suku tersebut berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan
mempertimbangkan mungkin dan patut, dalam istilah adat disebut “Hilang
dicari lapuak diganti, duduak samo randah tagak samo tinggi, duduak
saamparan tagak sapamatang”
2. Menurut adat suku Koto Piliang dan pecahannya seorang pangulu atau
datauak dipilih berdasarkan keturunan dan pergiliran gelar pengulu tersebut
dalam suku atau kaum itu berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan
mempertimbangkan mungkin dan patut, dalam istilah adat disebut “ramo
ramo sikumbang jati katik endah pulang bakudo, patah tumbuah hilang
baganti pusako lakek kanan mudo”, rueh tumbuah dimato.
Syarat-syarat seseorang dipilih menjadi seorang pangulu atau datuak :
1. Memenuhi 4 sifat nabi Sidik, Tablihk, Amanah, dan Fthanah
2. Loyalitas yang tinggi terhadap kaum, suku, anak kemenakan dan nagari
3. Berilmu pengetahuan tentang adat dan agama dll
4. Adil dalam memimpin anak kemenakan dan keluarga
5. Berani dalam menegakkan kebenaran dan mencegah kebathilan
6. Taat menjalankan ajaran agama dan adat
7. Tidak cacat moral dimata masyarakat dalam nagari
8. Mungkin dan patut, ini yang paling dipertimbangkan, karena ada orang
yang mungkin tapi tidak patut, dan ada yang patut tapi tidak mungkin.
Contohnya adalah ada orang yang memenuhi syarat-syarat diatas tetapi di
hidup di rantau yang jauh, di mungkin menjadi pangulu tetapi tidak patut
karena dia jauh dirantau sedangkan dia akan mengayomi dan mengurus
anak kemenakannya dikampung, atau ada yang tinggal dikampung
namun tidak memenuhi syarat jadi pangulu, dia patut jadi pangulu tapi
tidak mungkin karena kurang persyaratan, yang masuk menurut logika,
“batamu mungkin jo patuik sasuai ukua jo jangko takanak barih jo
balabeh lah tibo wakatu jo musimnyo disitu alek dibuek” Pengukuhan
dan penobatan pangulu Setelah pangulu dipilih dengan musyawarah
mufakat melalui demokrasi moril secara adat antara anak kemenakan
dalam suatu suku atau kaum maka segenap anak kemenakan atau kaum
tersebut mempersiapkan acar pengukuhan pada sebuah upacara adat
perjamuan Baralek gadang dalam nagari dan ini disebut “malewakan
kanan rami, bia basuluah mato hari bagalanggang mato rang banyak”.
Ditangan pangulu berhimpun kekuasaan yang besar dalam menjalankan
tugas membimbing dan mengatur anak kemenakannya, ninik mamak
mampunyai fungsi Eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan, fungsi Legislatif
sebagai pembuat aturan dan funsi yudikatif sebagai pengambik keadilan, funsi
ini dilakukan oleh ninik mamak yang disebut “uarang nan ampek jinih”
(pangulu, malin, manti dan dubalang) yang mana pangulu sebagai
koordinatornya. Itulah sebabnya Pangulu dan urang nan ampek jinih disebut
“Bak kayu gadang ditangah koto ureknyo tampek baselo batangnyo tampek
basanda dahannyo tampek bagantuang daun rimbunnyo tampek bataduah,
tampek bahimpun hambo rakyat, pai tampek batanyo pulang tampek babarito,
sasek nan kamanyapo tadorong nan kamanyintak, tibo dikusuik kamanyalasai
tibo dikaruah mampajaniah, mahukum adia bakato bana” Pangulu dan ninik
mamak adalah Ulil amri yang wajib ditaati dan dipatuhi karena dia adalah
pemimpin yang dipilih oleh anak kemenakannya sendiri “Tutua sakapa
digunuangkan kakok satitiak dilauikkan” dia dimulyakan dihormati dan dijaga
martabatnya oleh anak kemenakannya karena Pangulu di Minang Kabau adalah
lambang kebesaran suatu suku atau kaum yang wajib dijaga dan dimulyakan.
Namun Pangulu dan ninik mamak bukanlah seperti raja-raja yang harus
disembah dan dipuja setinggi langit dan dia tidak boleh dikultuskan seperti
dewa-dewa bangsa lain, di Minang Kabau tidak ada istilah bangsawan
walaupun dia seoerang datuk apalagi hanya keturunan datuk, di Minang Kabau
semua derajat manusia sama tidak ada bedanya, pemimpin adat hanyalah
ditinggikan seranting didahulukan selangkah dan dituakan dalam kaum. Dalam
Pakaian Pangulu mulai dari Salauk (Tutup kepala) baju, salempang, celana,
keris, ikat pinggang dan sandal semuanya mempunyai arti dan makna yang
sangat luas untuk dipahami oleh seorang yang bergelar Datuak atau pengulu.
Tatanan masyarakat Mianag kabau memakai palsapaf “Kamanakan barajo ka
mamak, mamak barajo kapangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo
kanan bana, bana badiri sandirinyo, itulah inyo hokum Allah”.
Hukum Adat Suku Minangkabau
A.Keadaan suku minagkabau Suku bangsa minangkabau mendiami daratan tengah pulau sumatera bagian barat yang sekarang menjadi propinsi Sumatera barat, Daerah asli orang tanduk kerbau dan hewan ini banyak dipelihara untuk membajak di sawah dan untuk kurban upacara adat, akan tetapi suku bangsa ini lebih suka menyebut daerah mereka dengan sebutan “Ranah minang” atau tanah minang bukan ranah kabau atau tanah kerbau, sementara itu dalam pergaulan antarsuku bangsa orang Minangkabau dengan sesamanya menyebut diri Urang Awak ( Orang kita ). Istilah suku pada masyarakat ini tidak sama dengan “suku bangsa”, suku lebih setara dengan marga pada orang batak. B.Bahasa suku minangkabau Bahasa minangkabau termasuk kedalam rumpun bahasa melayu Austronesia dengan aturan tata bahasa yang amat dekat dengan bahasa Indonesia, karena itu dekat pula dengan bahasa melayu lama yang mendasari bahasa Indonesia, kata-kata Indonesia dalam bahasa minangkabau hanya mengalami sedikit perubahan bunyi, seperti tiga menjadi Tigo, lurus menjadi Luruih, Bulat menjadi Bulek, Empat menjadi ampek Dan sebagainnya.
C.Mata pencarian Suku minangkabau Mata pencarian utama orang minangkabau adalah bertanam padi disawah berteras-teras dengan sistem irigasi tradisional atau dengan sistem irigasi tradisional atau dengan sistem tadah hujan, sebagian ada pula yang bertanam padi diladang, tanaman pertanian lain adalah sayur-mayur, kopi, cengkeh, kulit manis, kelapa, buah-buahan dan sebagainnya, sebagian bekerja menangkap ikan disungai dan laut atau berternak bermacam-macam hewan, pada masa sekarang orang minangkabau banyak yang menjadi pedagang atau membuat rumah makan, pegawai dan ahli sebagai bidang jumlah populasinya sulit untuk dihitung, karena banyak tersebar diberbagai daerah di Indonesia. Tapi paling tidak ada sekitar 6 juta jiwaD. Sistem Religi atau keagamaan suku minangkabau Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, disamping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat. E. Sistem religi suku minangkabau dizaman kontemporer sekarang ini Pada masa sekarang boleh dikatakan seluruh orang minangkabau telah memeluk agama islam, akan tetapi sisa-sisa kepercayaan lama yang animistik dan dinamistik masih bisa di temui di beberapa tempat, sebagian masih percaya kepada tempat atau benda-benda tertentu sebagai keramat ( Dihuni oleh Roh tertentu ), percaya kepada adanya Hantu, kuntilanak, sijundal, Orang bunian (orang halus dan lain-lain).F. Sistem Perkawinan
Menikah : dibahas secara rinci dalam kategori “ Adat Perkawinan
Pada umumnya masyarakat Minangkabau beragama Islam, oleh karena itu dalam masalah nikah kawin sudah tentu dilakukan sepanjang Syarak. Dalam pelaksanaan nikah kawin dikatakan “nikah jo parampuan, kawin dengan kaluarga”. Dengan pengertian ijab kabul dengan perantaraan walinya sepanjang Syarak, namun pada hakekatnya mempertemukan dua keluarga besar, dua kaum, malahan antara
keluarga nagari. Pada masa dahulu perkawinan harus didukung oleh kedua keluarga dan tidak membiarkan atas kemauan muda-mudi saja. Dalam proses perkawinan acara yang dilakukan adalah sbb:
1. Pinang-maminang (pinang-meminang)
2. Mambuek janji (membuat janji)
3. Anta ameh (antar emas), timbang tando (timbang tando)
4. Nikah
5. Jampuik anta (jemput antar)
6. Manjalang, manjanguak kandang (mengunjungi, menjenguk kandang). Maksudnya keluarga laki-laki datang ke rumah calon istri anaknya
7. Baganyie (merajuk)
8. Bamadu (bermadu)
Dalam acara perkawinan setiap pertemuan antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki tidak ketinggalan pidato pasambahan secara adat.
G. Kematian dan Tata Cara Penyelenggaraannya
Akhir kehidupan di dunia adalah kematian. Pada upacara yang berkaitan dengan kematian tidak terlepas dari upacara yang berkaitan dengan adat dan yang bernafaskan keagamaan. Acara-acara yang diadakan sebelum dan sesudah kematian adalah sbb:
1. Sakik basilau, mati bajanguak (sakit dilihat, mati dijenguk)
2. Anta kapan dari bako (antar kafan dari bako)
3. Cabiek kapan, mandi maik (mencabik kafan dan memandikan mayat)
4. Kacang pali (mengantarkan jenazah kek kuburan)
5. Doa talakin panjang di kuburan
6. Mengaji tiga hari dan memperingati dengan acara hari ketiga, ketujuh hari, keempat puluh hari, seratus hari dan malahan yang keseribu hari.
Pada masa dahulu acara-acara ini memerlukan biaya yang besar.
top related