v. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id v...bagian dasar sungai merupakan endapan pasir atau...
Post on 19-Mar-2019
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
23
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Habitat dan Penutupan Lahan di Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah hutan dataran rendah dan
hutan pegunungan bawah. Klasifikasi tersebut mengacu pada skema klasifikasi
tipe-tipe hutan bagi Sulawesi berdasarkan ketinggian (Whitten et al. 1987). Tipe
hutan pada suatu ketinggian dipengaruhi oleh suhu dan arus awan. Berdasarkan
pembagian zona vegetasi utama berdasarkan ketinggian lokasi oleh Wirawan
(1981, diacu dalam TNC & BTNLL 2002) lokasi penelitian termasuk ke dalam
zona vegetasi dataran rendah dan sub-pegunungan. Peta jalur pengambilan data di
lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 8.
Ketinggian lokasi penelitian terletak antara 600-1500 m dpl. Wilayah
Resort Mataue dan Resort Lindu memiliki topografi mendatar hingga curam.
Topografi yang curam lebih mendominasi pada kedua lokasi tersebut. Garis
kontur yang rapat mengindikasikan topografi yang curam. Hal tersebut dapat
dilihat pada lampiran.
Bentang alam lokasi penelitian merupakan dua sisi pegunungan dengan
ketinggian puncak pegunungan antara 1100-1900 m dpl. Bentang alam wilayah
Resort Mataue berada pada sisi sebelah barat dan wilayah Resort Lindu pada sisi
timur laut pegunungan. Puncak tertinggi dari pegunungan yang membelah kedua
lokasi penelitian tercatat 1917 m dpl pada peta rupa bumi Indonesia. Berdasarkan
garis kontur pada peta jalur pengambilan data, lokasi pengambilan data di Resort
Mataue lebih landai dibandingkan di Resort Lindu.
Jalur penelitian di Resort Mataue terdapat 3 jalur. Masing-masing jalur
termasuk ke dalam pangkuan wilayah Desa Mataue, Sungku dan Namo secara
administratif. Jalur penelitian di Resort Lindu terdapat 2 jalur. Masing-masing
jalur termasuk ke dalam pangkuan wilayah Desa Tomado dan Puroo secara
administratif. Jalur penelitian pada masing-masing Resort dapat dilihat pada
gambar 8.
24
Gambar 8 Peta jalur pengambilan data di lokasi penelitian
Jalur pengambilan data pada kedua lokasi berupa jalan setapak,
punggungan bukit, dan mengikuti aliran sungai. Terdapat banyak jalan masuk ke
dalam hutan pada bagian hutan yang dekat dengan pemukiman. Jalan setapak
yang ada akan mengarah kepada satu punggungan perbukitan. Keberadaan jalan
setapak juga merupakan jalur pengangkutan rotan. Gambaran kondisi jalur
pengamatan tersebut dapat dilihat pada gambar 9.
25
Gambar 9 Jalur pengamatan di punggungan bukit.
Habitat adalah suatu daerah yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik
maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan, dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Pada penelitian ini
lokasi penelitian terbagi ke dalam tiga klasifikasi tipe habitat, yaitu tipe habitat
hutan, habitat peralihan, dan kebun. Kondisi ketiga tipe habitat tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut.
a. Tipe Habitat Hutan
Habitat hutan merupakan habitat alami, lantai hutan tidak rapat (terbuka),
dan tidak terdapat anakan kakao. Di Resort Mataue tipe habitat ini dapat dijumpai
berbatasan langsung dengan pemukiman hingga jarak beberapa kilometer dari
pemukiman.
Sungai pada habitat hutan di lokasi penelitian memiliki karakteristik lebar
antara 3-10 m. Dinding sungai berupa tanah maupun tebing batuan. Dasar sungai
berupa pasir maupun batuan-batuan keras. Sungai dan anak-anak sungai yang
mengalir ke arah Mataue berasal dari satu sungai besar yang disebut Binangga
Oo. Binangga adalah nama lokal setempat untuk sungai. Sungai yang mengalir ke
daerah Lindu terdapat lebih dari satu sumber sungai besar. Sungai yang mengalir
ke arah Lindu yang merupakan lokasi penelitian berasal dari Binangga Larono
Bohe.
Mata air yang terdapat pada lokasi penelitian di Mataue berupa mata air
yang keluar dari cekungan-cekungan pertemuan antara dua punggungan.
Binangga Oo mendapatkan suplai air dari banyak mata air yang terdapat di
26
punggungan-punggungan bukit yang dilewatinya. Mata air yang terdapat di Lindu
di lokasi penelitian adalah berasal dari Uwe Puroo dan Uwe Kulowo. Mata air
tersebut terdapat pada bagian bawah daerah aliran sungai Binangga Oo.
Terdapat 19 spesies pohon yang terdapat pada tipe habitat hutan. Spesies
pohon yang terdapat di hutan dapat dilihat pada tabel 2. Nilai INP tertinggi
dimiliki oleh Erythrina subumbrans. Pohon-pohon yang terdapat di tipe habitat
hutan memiliki tipe tajuk yang rapat dan tinggi. Tipe penutupan tajuk yang rapat
ini menyebabkan penetrasi cahaya matahari sampai ke lantai hutan sangat sedikit.
Sehingga kondisi tipe habitat hutan pada bagian bawah tajuk relatif memiliki
kelembaban udara yang tinggi.
Tabel 2 Daftar spesies pohon pada tipe habitat hutan. No Nama daerah Nama ilmiah INP
1 Aa Ficus sp 18,08 2 ampoi Ficus sp 10,46 3 baka Magnolia condali 10,96 4 bune Glochidion sp 21,06 5 balintunga Bischoffia javanica 11,52 6 birako Schefflera sp 10,96 7 cempaka Elmerilia ovallis 10,96 8 kume Palaquium quercifolium 10,46 9 konkone 11,52
10 loncaibo Nuclea sp 10,96 11 rodo Erythrina subumbrans 33,44 12 manggis hutan 11,52 13 marangkapi Villebrunea rubencens 21,93 14 palili Lithocarpus sp 30,15 15 lebanu 10,96 16 miyapo Macaranga hipsida 18,08 17 pinang Pinanga caesia 21,42 18 pandan Pandanus sp 10,96 19 wune Glochidion rubrum 22,48
Hutan dan vegetasinya yang terdapat di lokasi penelitian secara ekologis
memiliki banyak fungsi. Karakteristik lapisan tanah di lokasi penelitian yang
merupakan hasil patahan Palu-Koro memiliki ketebalan tanah yang relatif tipis
dibandingkan lapisan batuan lapuk dan batuan keras. Akar vegetasi hutan yang
mencengkeram tanah dan menembus batuan di bawahnya merupakan pembentuk
tanah yang alami. Akar vegetasi hutan juga membuat lapisan tanah lebih kokoh.
27
Air mudah meresap melalui permukaan tanah yang masih muda. Jika tanah tidak
tercengkeram vegetasi diatasnya maka akan mudah longsor jika terjadi peresapan
air yang besar. Terutama pada saat hujan besar dimusim penghujan. Daun dari
vegetasi merupakan penyedia humus bagi tanah. Tumpukan serasah dedaunan di
lantai hutan menyebabkan kondisi permukaan tanah yang ditutupinya menjadi
lembab. Pelapukan batuan menjadi tanah akan terbantu oleh kelembaban yang
ditimbulkan oleh tumpukan serasah.
Jalur pengambilan data tipe habitat hutan di Resort Mataue berada pada
ketinggian 875 m dpl hingga 1.500 mdpl dan di Resort Lindu berada pada
ketinggian 1.125 m dpl hingga 1.425 m dpl. Rata-rata kelembaban udara relatif
pada jalur pengambilan data tipe habitat hutan di Resort Mataue adalah 91 % dan
di Resort Lindu 100 %.
b. Tipe Habitat Peralihan
Habitat peralihan merupakan habitat pada lokasi penelitian yang berada
antara habitat hutan dengan habitat kebun. Ciri dari habitat ini yaitu terdapat
anakan kakao dan kopi , lantai hutan yang rapat oleh anakan pohon, strata tajuk
lebih terbuka daripada habitat hutan, dan kelerengan yang landai. Hutan sekunder
dan areal terbuka yang terdapat diantara hutan dan kebun termasuk ke dalam tipe
habitat peralihan.
Daerah peralihan merupakan daerah yang memiliki topografi yang relatif
datar. Karakteritik sungai pada tipe habitat ini adalah dangkal, dengan lebar
sungai dapat mencapai 20 m. Bagian dasar sungai merupakan endapan pasir atau
tanah. Jika debit air sungai besar maka warna air sungai akan menjadi keruh. Hal
ini terjadi karena material endapan dasar sungai yang berupa pasir dan tanah
teraduk, serta dangkalnya kedalaman sungai.
Terdapat 24 spesies pohon yang dijumpai pada tipe habitat peralihan.Nilai
INP tertinggi dimiliki oleh Erythrina subumbrans. Spesies vegetasi yang terdapat
di habitat peralihan dapat dilihat pada tabel 3.
28
Tabel 3 Daftar spesies pohon pada tipe habitat peralihan. No Nama daerah Nama ilmiah INP
1 bayur Pterospermum javanicum 3,01 2 belobo 2,98 3 berau 11,15 4 beringin putih Ficus sp 21,68 5 cemara gunung Chataranthus roseus 9,94 6 cempaka Elmerilia ovallis 8,08 7 kaha Castanopsis accuminatissima 3,43 8 kauwatu Siphonodon celastrineus 6,07 9 rodo Erythrina subumbrans 55,55
10 lamwangi Ficus septica 15,08 11 lao Lindera apoensis 3,79 12 lengaru Alstonia scholaris 10,03 13 loliya Cryptocarya sp 3,01 14 loncaibo Dizoxylun sp 3,10 15 mangga hutan Mangifera indica 4,36 16 miyapo Macaranga hispida 3,28 17 mpomaria Engelhartia rigida 20,13 18 orio 2,98 19 pakinau Finschia sp 3,10 20 kuhiyo Evodia sp 28,89 21 palili Lithocarpus sp 44,01 22 wonce Evodia celebica 12,32 23 wulala Syzigium sp 13,10 24 wune Glochidion rubrum 7,97
Kondisi habitat peralihan yang telah ditebangi pohon-pohon yang
berukuran besarnya menyebabkan tanah pada daerah peralihan mudah longsor jika
teresapi air dalam jumlah besar. Pada bagian daerah peralihan yang terlewati
aliran sungai, dinding sungai yang berupa batuan yang mudah lapuk akan
menyebabkan dinding sungai mudah runtuh.
Jalur pengambilan data tipe habitat peralihan berada pada ketinggian 650
m dpl hingga 1.125 mdpl di Resort Mataue sedangkan di Resort Lindu berada
pada ketinggian 1.050 m dpl 1.250 m dpl. Rata-rata kelembaban udara relatif
87 % di Resort Mataue dan 100 % di Resort Lindu.
c. Tipe Habitat Kebun
Tipe habitat ini merupakan areal perkebunan kakao, kopi, dan ladang yang
terdapat didalam kawasan TNLL dan yang berbatasan langsung dengan kawasan
29
TNLL. Jalur pengambilan data pada tipe habitat ini berada pada ketinggian 650 m
dpl hingga 900 m dpl di Resort Mataue dan di Resort Lindu antara 1.050 m dpl
hingga 1.125 m dpl. Habitat ini memiliki karakteristik menempati topografi datar,
dekat dengan aliran sungai, dan tidak terdapat jenis pohon hutan maupun pohon
hutan sekunder diantaranya. Rata-rata kelembaban udara 74 % di Resort Mataue
dan 100 % di Resort Lindu.
Beberapa spesies pohon hutan dapat dijumpai pada tipe habitat ini.
Spesies-spesies pohon tersebut dapat dilihat pada tabel 4. Spesies-spesies tersebut
dijumpai sebagai peneduh jalan angkut maupun sebagai penanda batas
kepemilikan kebun.
Tabel 4 Spesies pohon yang dijumpai pada habitat kebun No Nama daerah Nama ilmiah
1 beringin Ficus sp
2 jambu air Syzygium aqueum
3 bendo Arthocarpus elastic
4 balintunga Bischiffia javanica
5 mpomaria Engelhartia rigida
6 lamwangi Ficus septica
7 cengkeh Eugenia aromatic
Sebagai suatu hasil perubahan bentuk tutupan lahan karena aktifitas
manusia (anthropogenic), matriks ini mengikuti suatu pola keterjangkauan dan
kemudahan oleh manusia. Para penggarap kebun dan ladang membuka kebun
maupun area perladangan pada daerah yang relatif datar. Daerah yang datar
merupakan pilihan pertama untuk membuka kebun kopi, kebun coklat, maupun
berladang. Topografi yang datar memudahkan dalam akses mengolah lahan,
mempermudah proses pembukaan lahan, pengolahan lahan, dan pemanenan hasil
kebun dan ladang.
Air merupakan kebutuhan dasar bagi mahluk hidup. Tidak terkecuali
tumbuhan. Dalam hal ini termasuk tanaman kakao, kopi, dan tanaman ladang.
Posisi suatu area terhadap sumber air dalam hal ini sungai merupakan
pertimbangan selanjutnya dalam hal pemilihan pembukaan lahan sebagai kebun
dan ladang. Daerah landai ataupun curam masih dipilih sebagai area kebun karena
dekat dengan sumber air. Akses terhadap air yang mudah bagi para penggarap
30
kebun dan ladang mengurangi satu beban dalam pengolahan lahan yaitu mereka
tidak perlu repot menyirami kebun maupun ladangnya. Meskipun harus disiram,
letak sumber air tidak terlalu jauh.
Kombinasi antara topografi yang datar dan dekat dengan aliran sungai
merupakan prioritas utama dalam pemilihan suatu area menjadi kebun dan ladang.
Area datar dan dekat dengan air memiliki karakteristik tanah yang kaya akan
humus pada saat masih berupa hutan. Hal ini dikarenakan area ini memiliki humus
yang lebih tebal yang tertahan oleh vegetasi dan mendapat limpahan humus dari
area yang lebih curam diatasnya.
5.2. Analisis Usaha (effort analysis)
Besarnya usaha untuk menemukan satu individu reptil diukur berdasarkan
jumlah waktu pengamatan dan luasan daerah yang teramati. Total hari
pengamatan adalah 35 hari. Jumlah hari pengamatan di Resort Mataue adalah 27
hari dan di Resort Lindu 8 hari. Pengamatan dilakukan pada siang dan malam
hari. Kondisi cuaca selama hari pengamatan dibagi ke dalam dua kategori yaitu
cerah dan hujan. Perbandingan kondisi cuaca hari hujan selama pengamatan dapat
dilihat pada gambar 10.
Gambar 10 Perbandingan jumlah hari hujan dengan hari cerah di kedua Resort.
Total waktu pengamatan adalah 10.886 menit. Lamanya waktu
pengamatan pada jalur pengamatan di Resort Mataue adalah 4.320 menit pada
siang hari dan 4.406 menit pada malam hari dan di Resort Lindu 900 menit pada
15
12
4 4
9
18
1
7
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Mataue Cerah Mataue Hujan Lindu Cerah Lindu Hujan
Pengamantan Siang Pengamatan Malam
31
siang hari dan 1.260 menit pada malam hari. Pada selang waktu pengamatan siang
hari di Resort Mataue tercatat 45 individu dan 34 individu pada malam hari. Pada
selang waktu pengamatan siang hari di Resort Lindu tercatat 9 individu dan 14
individu pada malam hari. Perbandingan nilai usaha untuk menemukan satu
individu reptil pada siang dan malam hari dimasing-masing resort dapat dilihat
pada gambar 11.
Gambar 11 Perbandingan nilai usaha untuk menemukan satu spesies reptil
Besarnya nilai usaha berdasarkan waktu untuk menemukan satu individu
pada siang hari di masing-masing resort tidak berbeda jauh. Hanya memiliki
selisih 4 menit. Perbedaan mencolok terdapat pada pengamatan malam.
Dibutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 40 menit untuk menemukan satu
individu spesies reptil di Resort Mataue dibandingkan di Resort Lindu. Waktu
yang dibutuhkan untuk menemukan satu individu spesies reptil di Resort Lindu
sebesar 90 menit.
Panjang jalur pengamatan adalah 15,21 mil atau 24,48 km. Panjang jalur
di Resort Mataue adalah 16,7 km dan 8,3 km di Resort Lindu. Perbandingan
panjang jalur pengamatan antar tipe habitat pada masing-masing resort dapat
dilihat pada gambar 12. Total individu reptil yang teramati dan teridentifikasi
adalah 102 individu. Jika asumsikan penyebaran reptil pada garis transek di kedua
resort merata, masing-masing individu spesies reptil dapat dijumpai pada rentang
jarak 204,73 meter di jalur pengambilan data Resort Mataue dan 361,05 meter di
Resort Lindu.
0 20 40 60 80 100 120 140
Pengamatan Malam
Pengamatan Siang
waktu (menit)
Lindu
Mataue
32
Gambar 12 Perbandingan panjang jalur pengamatan per tipe habitat antar resort
Lebar maksimum area pengamatan dari garis transek adalah 10 meter.
Maksimum area teramati selama pengambilan data adalah 244.781,22 meter
persegi. Berdasarkan luas area maksimum teramati tersebut tidak sepenuhnya
termasuk ke dalam kawasan TNLL. Hal ini berarti tidak lebih dari 0,1 % dari total
luas masing-masing resort telah teramati.
Global Positioning Position Receiver merupakan salah satu komponen
utama pengambilan data reptil di lokasi penelitian. Alat ini digunakan untuk
mengumpulkan informasi koordinat titik perjumpaan dengan spesies reptil dan
titik jalur pengambilan data. Penelitian ini menggunakan dua tipe GPS Receiver
yang berbeda yaitu Garmin 76 dan Garmin 76 Csx. Berdasarkan pengalaman pada
saat pengambilan data, GPS Receiver Garmin 76 CSx memiliki kemampuan
menentukan koordinat titik lebih cepat dibandingkan Garmin 76. Terdapat
beberapa hari dari total hari pengamatan yaitu 35 hari data GPS Receiver tidak
dapat dikumpulkan. Tertanggal 19 Juli 2008 hingga 2 Agustus 2008 data
koordinat titik lokasi penelitian tidak dapat dikumpulkan. Hal ini disebabkan
karena tidak terdapatnya GPS Receiver itu sendiri. Pengumpulan data titik jalur
ulang pada rentang tanggal diatas dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2008 dengan
hanya mengumpulkan data jalur pengamatan saja.
5.3. Kekayaan Spesies Reptil
Total individu individu spesies reptil yang tertangkap dan teridentifikasi
selama pengambilan data adalah 102 individu. Berdasarkan hasil pengamatan di
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00
Kebun
Peralihan
Hutan
panjang jalur (km)
Tipe
hab
itat
Lindu Mataue
33
lokasi penelitian berhasil teridentifikasi 17 spesies reptil di lokasi penelitian.
Daftar nama spesies tersebut dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5 Kekayaan spesies reptil di lokasi penelitian. Famili Tipe Habitat ∑individu
Species Kebun Peralihan Hutan
Agamidae Bronchocela celebensis Gray, 1845 6 14 20 Bronchocela cristatella Kuhl, 1820 4 4 8
Gekkonidae Cosymbotus platyurus Scheneider, 1790 6 6
Scincidae Eutropis multifasciatus Kuhl, 1820 15 23 38 Eutropis grandis 1 1 Eutropis rudis 1 1 Sphenomorphus parvus 5 5 Sphenomorphus tropidonotus 1 4 2 7
Varanidae Varanus salvator 2 2
Colubridae Ahaetulla prasina prasina Boie, 1827 2 2 Boiga irregularis Merrem, 1802 3 3 Dendrelaphis pictus pictus Gmelin, 1789 1 1 Lycodon stormi Boettger, 1892 1 1 Psammodynates pulverulentus Boie, 1827 1 1 2 Rhabdophis chrysargoides Gunther, 1837 1 1 Xenochrophis trianguligerus Boie, 1827 1 1
Viperidae Tropidolaemus waglerii Wagler, 1830 1 2 3
Catatan spesies reptil di kawasan TNLL telah ada pada Lore Lindu
National Park Management Plan 1981-1986 (WWF 1981). Tercatat 8 spesies ular,
2 spesies Scincidae, dan 1 spesies Gekkonidae dalam laporan yang disusun oleh
WWF tersebut. Perkembangan selanjutnya tercatat 21 spesies ular, 1 spesies
Varanidae, 8 spesies Scincidae, 6 spesies Gekkonidae, 1 spesies Dibamidae, 4
spesies Agamidae, 1 spesies Emydidae, dan 2 spesies Geoemydidae. Spesies-
spesies reptil tersebut tercatat di dalam Draft Rencana Pengelolaan 2002-2027
TNLL volume I yang disusun oleh The Nature Conservancy-Indonesia
Programme, Balai Taman Nasional Lore Lindu, dan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Baik dalam catatan WWF tahun 1981
maupun Draft RPTNLL tahun 2002 tidak tercantum secara spesifik dimana
habitat ditemukannya masing-masing spesies reptil.
Tercatat 5 spesies kadal dari famili Scincidae di lokasi penelitian. Kadal
dari Genus Eutropis dengan ukuran tubuh yang relatif besar lebih mudah
34
dijumpai di lokasi penelitian. Perbandingan ukuran SVL antara genus Eutropis
dengan genus Sphenomorphus dapat dilihat pada gambar 13.
Gambar 13 Perbandingan ukuran antara genus Eutropis dengan Sphenomorphus
Spesies dari genus Eutropis juga lebih mudah diidentifikasi keberadaannya
dari suara pergerakannya yang berisik saat mengetahui keberadaan manusia atau
terkejut. Spesies dari genus Sphenomorphus memiliki dimensi tubuh yang lebih
kecil dibandingkan genus Eutropis. Sphenomorphus parvus dan Sphenomorphus
tropidonotus dijumpai pada tempat-tempat seperti di bawah kayu lapuk di
pinggiran sungai maupun di bawah tumpukan serasah lantai hutan. Foto dari
Sphenomorphus parvus dan Sphenomorphus tropidonotus dapat dilihat pada
gambar 14.
Keterangan : Sebelah kiri Sphenomorphus parvus
Sebelah kanan Sphenomorphus tropidonotus Gambar 14 Sphenomorphus parvus dan Sphenomorphus tropidonotus
Terdapat 2 spesies dari famili Agamidae yang dijumpai di lokasi
penelitian. Kedua spesies tersebut memiliki penampilan fisik yang hampir mirip
jika dilihat secara sekilas. Kedua spesies tersebut yaitu Bronchocela cristatella
dan Bronchocela celebensis. Famili Gekkonidae tercatat 1 spesies yaitu
Total
0 50 100 150 200 250
Eutropis multifasciatus
Eutropis Grandis
Eutropis rudis
Sphenomorphus tropidonotus
Sphenomorphus parvus
panjang (mm)
Spesies
Badan
Ekor
SVL
35
Cosymbotus platyurus. Varanus salvator merupakan spesies dari famili Varanidae
yang dijumpai di lokasi penelitian.
Spesies dari sub-ordo Serpentes (ular) mendominasi dalam hal perjumpaan
spesies yaitu 7 spesies. Tercatat 6 spesies dari famili Colubridae dan 1 spesies dari
famili Viperidae.
Berdasarkan jumlah spesies reptil yang dijumpai di lokasi penelitian, tipe
habitat peralihan merupakan yang paling kaya akan spesies reptilnya. Hal ini
dikarenakan tipe habitat tersebut memiliki daya dukung yang lebih besar dari tipe
habitat kebun dan lebih mudah untuk diamati keberadaan spesies reptilnya
dibandingkan tipe habitat hutan. Daya dukung yang dimaksud adalah pakan yaitu
serangga. Keberadaan serangga mengundang satwa mangsa dari reptil dan satwa
reptil itu sendiri untuk datang.
Perbandingan nilai indeks hasil perhitungan dengan persamaan Margalef
dan Menhinick dapat dilihat pada gambar 15. Antara nilai kedua indeks
menunjukkan kecenderungan yang berbeda pada perbandingan nilai indeks
kekayaan spesies pada masing-masing tipe habitat. Indeks Margalef
menunjukkan tipe habitat yang tertinggi nilai kekayaan spesiesnya adalah tipe
habitat peralihan. Hal ini berkorelasi positif dengan tabel 5. Indeks Menhinick
menunjukkan hal yang berbeda. Tipe habitat yang paling tinggi nilai kekayaan
spesiesnya adalah tipe habitat hutan.
Gambar 15 Indeks kekayaan spesies reptil
Grafik pertambahan perjumpaan spesies reptil selama penelitian
ditunjukkan pada gambar 16. Pertambahan jumlah spesies pada selang hari ke-1
hingga hari ke-9 terlihat signifikan. Selanjutnya tidak terdapat pertambahan
jumlah spesies yang ditemui dari hari ke-9 hingga hari ke-23. Hari ke-23 sampai
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
Kebun Peralihan Hutan
Nilai Ind
eks
Tipe Habitat
Indeks Menhinick
Indeks Margalef
sepuluh ha
perlahan h
Pe
menunjuk
jenis yang
pada sela
mendatar
jumlah spe
5.4. Kean
Ke
berbeda-b
diperband
Wiener. P
nilai kean
digunakan
Ke
Gambar 1
peralihan
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18Pe
rtam
baha
n jenis
ari selanjutn
hingga kemu
Gamb
rtambahan
kkan angka 5
g akan dijum
ang hari ke
dari selang
esies yang s
nekaragama
eanekaragam
eda. Nilai
dingkan men
Persamaan in
nekaragama
n.
eanekaragam
17. Pada G
memiliki ni
1 3 5 7
nya pertamb
udian mend
bar 16 Kurv
jumlah s
5,58 %. Hal
mpai tidak a
e-8 hingga
g hari ke-32
signifikan ji
an Spesies R
man spesie
keanekarag
nggunakan i
ni digunaka
an spesies
man spesie
Gambar 17
ilai keaneka
7 9 11 13
bahan juml
datar hingga
va spesies ar
spesies pad
l tersebut ti
akan lebih si
hari ke-22
2 hingga ha
ika lamanya
Reptil
es reptil pa
gaman spes
indeks yang
an karena m
yang relati
es pada ja
dapat dilih
aragaman sp
15 17 19 2
Ha
ah spesies y
a hari terakh
rea berdasa
da hari k
dak berarti
ignifikan la
2 lebih pa
ari ke-42. M
a pengamata
ada masing
sies pada m
g dihitung d
merupakan p
if paling d
alur pengam
hat bahwa
pesies tertin
21 23 25 27
ri ke i
yang ditemu
hir pengamb
arkan waktu
ke-28 hing
bahwa pert
agi. Stagnasi
anjang dari
Masih terdap
an ditambah
g-masing ja
masing-mas
dengan pers
persamaan
dikenal dan
matan dap
jalur peng
nggi. Nilai k
29 31 33 3
ukan naik s
bilan data.
u.
gga hari k
tambahan ju
i kurva men
stagnasi k
pat pertamb
h.
alur pengam
sing tipe h
amaan Shan
untuk meng
n paling ba
pat dilihat
gamatan M
keanekarag
35 37 39 41
36
secara
ke-32
umlah
ndatar
kurva
bahan
matan
abitat
nnon-
gukur
anyak
pada
Mataue
gaman
1
37
terendah pada lanskap Mataue adalah jalur pengamatan Mataue Kebun. Hal ini
dikarenakan pada setiap trip pengamatan tipe habitat peralihan paling sering
dijumpai. Setiap trip pengamatan melalui tiga tipe habitat yang ada. Jumlah
spesies yang tercatat pada jalur pengamatan Mataue peralihan merupakan yang
terbanyak dengan jumlah total individu yang juga terbanyak.
Gambar 17 Indeks keanekaragaman spesies reptil per jalur pengamatan.
Nilai keanekaragaman tertinggi pada lanskap Lindu terdapat pada jalur
pengamatan Lindu hutan. Nilai terendah terdapat pada jalur pengamatan Lindu
kebun. Jumlah spesies yang tercatat pada jalur pengamatan Lindu hutan dan Lindu
peralihan sama yaitu 4 spesies. Nilai indeks yang berbeda dikarenakan jumlah
individu yang ditemukan pada jalur pengamatan Lindu peralihan lebih banyak.
Sehingga nilai proporsi pada jalur pengamatan Lindu peralihan lebih rendah.Jalur
pengamatan Lindu kebun memiliki nilai indeks terendah. Hanya terdapat 3 spesies
selama trip pengamatan.
Hasil perhitungan keanekaragaman pada masing-masing habitat
menunjukkan bahwa habitat hutan memiliki nilai indeks keanekaragaman spesies
reptil tertinggi. Perbandingan nilai indeks pada masing-masing tipe habitat dapat
dilihat pada gambar 18.
1.401.61
1.43 1.39
0.98 0.96
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
Mataue Kebun
Mataue Peralihan
Mataue Hutan
Lindu Hutan
Lindu Peralihan
Lindu Kebun
Inde
ks Keane
karagaman
Jalur Pengamatan
38
Gambar 18 Indeks keanekaragaman spesies reptil per tipe habitat.
Secara keseluruhan, tipe habitat hutan memiliki nilai indeks
keanekaragaman yang tertinggi. Hal ini tidak berkorelasi positif dengan tabel
kekayaan spesies yang menunjukkan tipe habitat peralihan yang paling beragam
spesies reptilnya. Penggunaan suatu indeks untuk mengukur derajat
keanekaragaman suatu habitat maupun ekosistem memang belum ada kesepakatan
yang sama antar peneliti ekologi. Masing-masing persamaan indeks memiliki
asumsi berbeda dengan tingkat sensitivitas yang berbeda pula. Sensitivitas
tersebut berkaitan dengan jumlah jenis yang ditemukan dengan jumlah masing-
masing individu yang ditemukan yang merupakan komponen utama dalam
menghitung nilai suatu indeks.
5.5.Kemerataan Spesies Reptil
Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa nilai kemerataan maksimum terdapat
pada jalur pengamatan Lindu hutan. Hal ini dikarenakan jumlah spesies yang
ditemukan sama dengan jumlah total individu yang tercatat pada jalur tersebut.
Gambar 19 Grafik perbandingan kemerataan spesies pada jalur pengamatan.
1.45
1.691.73
1.30
1.40
1.50
1.60
1.70
1.80
Kebun Peralihan Hutan
0.870.73
0.891
0.710.87
0.000.200.400.600.801.001.20
Mataue Kebun
Mataue Peralihan
Mataue Hutan
Lindu Hutan
Lindu Peralihan
Lindu Kebun
Inde
ks Kem
erataan
Jalur Pengamatan
39
Jalur pengamatan Mataue kebun dan Lindu kebun memiliki nilai
kemerataan yang sama yaitu 0,87. Hal ini bisa terjadi meskipun jumlah spesies
dan jumlah total individu yang ditemui pada kedua jalur pengamatan berbeda
jauh. Tercatat 5 spesies dengan jumlah total individu 26 pada jalur pengamatan
Mataue peralihan dan 3 spesies dengan jumlah total individu 7 pada jalur
pengamatan Lindu peralihan.
Kaitan antara jumlah spesies, jumlah total individu, dan nilai derajat
kemerataan pada kedua jalur pengamatan mengindikasikan adanya jenis yang
mendominasi pada salah satu jalur pengamatan secara mencolok. Spesies tersebut
adalah Eutropis multifasciatus pada jalur pengamatan Mataue peralihan. Jumlah
Eutropis multifasciatus pada jalur pengamatan Mataue hutan yang tercatat adalah
11. Spesies ini juga mendominasi pada jalur Mataue kebun dengan jumlah
individu 4 namun berbanding jumlah total individu yang lebih kecil daripada
pada jalur pengamatan Mataue kebun yaitu 7. Gambar dari Eutropis multifasciatus
dapat dilihat pada gambar 20.
Gambar 20 Eutropis multifasciatus pada jalur pengamatan Mataue kebun.
Secara keseluruhan, tipe habitat hutan merupakan tipe habitat dengan
derajat kemerataan spesies reptil yang tertinggi. Perbandingan nilai indeks
kemerataan antara ketiga tipe habitat dapat dilihat pada gambar 21. Besaran nilai
indeks kemerataan spesies dari ketiga tipe habitat memiliki nilai diatas 0,5 maka
kemerataan spesies pada masing-masing tipe habitat cukup merata. Meskipun
habitat peralihan memiliki jumlah spesies yang lebih banyak akan tetapi
didalamnya juga terdapat spesies yang mendominasi yaitu Eutropis
multifasciatus. Spesies ini juga mendominasi pada habitat kebun.
40
Gambar 21 Indeks kemerataan spesies reptil per tipe habitat
Dominasi salah satu spesies pada tipe habitat hutan yang tidak sebesar
pada kedua habitat lainnya, jumlah masing-masing individu yang tidak terpaut
jauh, dan jumlah total individu yang tidak lebih banyak dari dua habitat lainnya
inilah yang pada akhirnya menunjukkan bahwa habitat hutan paling merata
spesiesnya.
5.6. Sebaran Keanekaragaman Spesies Reptil
Sebaran spesies-spesies reptil pada masing-masing tipe habitat pada
awalnya akan menggunakan GPS receiver untuk menentukan posisi koordinat.
Akan tetapi pada penerapan di lapangan terdapat kendala dari GPS receiver yang
digunakan. Kendala tersebut diantaranya keakuratan titik koordinat dan lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui posisi satu spesies.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, masing-masing spesies
memiliki tipe pengunaan tipe habitat yang berbeda. Pada masing-masing tipe
habitat tersebut masing-masing spesies memiliki tipe penggunaan ruang yang
berbeda. Tipe penggunaan ruang tersebut berkaitan dengan aktivitas harian satwa
reptil.
Dua spesies dari famili Agamidae (bunglon) dijumpai di lokasi penelitian.
Bronchocela celebensis tersebar di habitat kebun dan peralihan. Spesies ini
merupakan spesies endemik Sulawesi. Spesies ini dijumpai pada ranting-rating
pohon dan diatas dedaunan di pinggiran sungai pada habitat peralihan. Sebagai
satwa reptil yang aktif dimalam hari (nocturnal) baik untuk mencari makan
maupun mencari pasangan, spesies ini dijumpai berkelompok pada satu titik pada
habitat peralihan. Jika dijumpai satu individu spesies ini pada satu titik maka
0.810.71
0.89
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1 2 3Kebun Peralihan Hutan
41
disekitarnya pasti terdapat individu lainnya. Bronchocela cristatella dijumpai
pada tipe habitat kebun dan hutan. Pada tipe habitat kebun kedua spesies tersebut
dijumpai secara bersamaan. Keberadaan kedua spesies tersebut pada habitat kebun
tidak jauh dari badan air. Baik itu badan air yang alami maupun buatan manusia.
Hal ini dikarenakan kebun tempat ditemukannya Bronchocela cristatella terletak
setelah melewati hutan. Mangsa dari kedua spesies bunglon tersebut adalah
serangga. Serangga banyak terdapat pada habitat peralihan karena habitat tersebut
lebih terbuka dibandingkan habitat hutan. Pada gambar 22 dapat dilihat
Bronchocela cristatella sedang memangsa serangga di habitat peralihan.
Gambar 22 Bronchocela celebensis sedang memangsa serangga
Hanya terdapat satu spesies dari famili Gekkonidae (tokek dan cicak) yang
dijumpai di lokasi penelitian. Cosymbotus platyurus hanya ditemukan pada habitat
kebun. Spesies ini ditemukan pada bangunan pondok-pondok yang terdapat
didalam kebun. Kebun tersebut juga pada kebun yang dekat ke arah pemukiman
manusia. Kemungkinan spesies ini terdapat di kebun karena aktifitas manusia.
Spesies ini aktif pada malam hari. Pada siang hari spesies ini bersembunyi di sela-
sela kayu pondok maupun bagian dari pondok yang gelap.
Lima spesies dari famili Scincidae (kadal) dijumpai di lokasi penelitian.
Eutropis multifasciatus merupakan spesies yang paling banyak ditemukan.
Spesies ini sepertinya halnya spesies kadal lainnya menggunakan daerah-daerah
terbuka yang terdapat di kebun dan peralihan untuk berjemur dan mencari makan.
Terdapat tiga spesies yang hanya dijumpai pada satu tipe habitat. Eutropis
grandis hanya dijumpai pada peralihan, Eutropis rudis pada habitat kebun, dan
Sphenomorphus parvus pada habitat hutan. Howard (2007) mengatakan bahwa
42
Eutropis grandis tidak pernah dijumpai di hutan sekunder, perkebuann, maupun
jenis tutupan lahan karena aktifitas manusia yang lain.
Eutropis grandis dan Eutropis rudis sangat sensitif dengan kedatangan
manusia. Ketika sedang berjemur, jika terdapat suara aktifitas manusia maka akan
segera berlari dan bersembunyi. Hal ini menyebabkan kedua spesies ini sulit
untuk ditangkap di lapangan. Sphenomorphus parvus hanya dijumpai di hutan.
Spesies kadal ini berukuran kecil dan memiliki penggunaan ruang yang spesifik di
habitat hutan. Pertemuan antara dua punggungan yang beberapa diantaranya
merupakan mata air merupakan daerah ditemukannya spesies ini di hutan. Daerah
ini memiliki serasah yang tebal dan beberapa tumpukan kayu lapuk di sisi aliran
airnya. Untuk menemukan spesies ini dilakukan dengan membongkar-bongkar
serasah dan tumpukan kayu lapuk serta melihat dan mendengarkan pergerakan
spesies ini akibat usikan tersebut. Satu genus dari spesies ini yaitu
Sphenomorphus tropidonotus memiliki tipe penggunaan habitat yang lebih luas.
Sphenomorphus tropidonotus ditemukan pada ketiga tipe habitat. Keberadaan
spesies ini tidak jauh dari aliran air. Tumpukan kayu lapuk dan serasah di
pinggiran sungai merupakan tempat ditemukannya spesies ini. Ukuran tubuh yang
relatif kecil dari Sphenomorphus parvus dan Sphenomorphus tropidonotus
membuat kedua spesies tersebut memiliki mangsa yang ukurannya lebih kecil dari
mangsa spesies dari genus Eutropis. Semut dan serangga berukuran kecil yang
banyak terdapat di bawah serasah dan tumpukan kayu merupakan mangsa dari
kedua spesies Sphenomorphus tersebut.
Varanus salvator dijumpai di habitat peralihan. Spesies ini sangat sensitif
dengan kehadiran manusia. Daerah terbuka di pinggiran sungai merupakan lokasi
dijumpainya spesies ini. Varanus salvator dapat dijumpai hutan tropis, hutan
bakau, dan areal perkebunan (Lauprasert 2001). Spesies ini aktif pada siang hari
(diurnal). Penggunaan ruang di habitat peralihan kemungkinan merupakan insting
dari spesies ini menghindari ancaman dari keberadaan aktifitas manusia di kebun
dan akses yang lebih mudah untuk mencari mangsa serta berjemur daripada
habitat hutan.
Delapan spesies ular dijumpai di lokasi penelitian. Penggunaan ruang dari
masing-masing spesies ular tersebut secara garis besar termasuk ke dalam spesies
43
arboreal, terrestrial, dan fossorial. Salah satu ular fossoriali yaitu Lycodon stormii.
Ular ini merupakan spesies ular endemic dari Sulawesi. Spesies ini merupakan
ular penghuni lapisan bawah tanah yang aktif pada malam hari (Lang de & Vogel
2001). Ular ini memangsa kadal, katak dan jenis ular lainnya. Gambar dari
Lycodon stormii dapat dilihat pada gambar 23.
Gambar 23 Lycodon stormii ular endemik Sulawesi
Ahaetulla prasina prasina dijumpai pada habitat peralihan pada siang hari
dan malam hari. Spesies ular arboreal ini aktif menjelajah pada siang hari. Pada
malam hari spesies ini akan diam pada satu ranting pohon-pohon pada batas
antara habitat peralihan dengan kebun. Mangsa utama dari Ahaetulla prasina
prasina adalah kadal dan katak (Henderson & Binder 1980, diacu dalam Lang de
& Vogel 2001). Kemungkinan salah satu faktor yang menarik Ahaetulla prasina
prasina untuk datang di habitat peralihan adalah banyaknya individu spesies kadal
yang banyak terdapat di habitat peralihan. Gambar dari Ahaetulla prasina prasina
yang sedang menjelajahi daerah peralihan dapat dilihat pada gambar 24.
Gambar 24 Ahaetulla prasina prasina di habitat peralihan
44
Boiga irregularis memiliki sifat penjelajah dalam mencari mangsa. Dua
kali dijumpai spesies ini menjelajahi permukaan tanah pada malam pada habitat
peralihan. Kedua lokasi tempat ditemukannya menjelajah pada habitat peralihan
memiliki karakteristik yang sama yaitu daerah terbuka dengan permukaan tanah
yang bersih dari vegetasi. Saat diam maka ular ini dijumpai menempati ranting
pohon yang cukup tinggi di pinggiran sungai. Spesies ini tersebar secara acak
pada habitat peralihan sesuai dengan perilaku mencari mangsanya. Dalam de Lang
(2001) dikatakan bahwa spesies ini dapat ditemukan pada berbagai macam tipe
habitat , mulai dari mangrove, hutan pegunungan, daerah perkebunan, hingga
sekitar pemukiman penduduk. Mangsa dari Boiga irregularis adalah kadal, katak,
burung dan telurnya, serta mamalia kecil seperti kelelawar (Lang de & Vogel
2001). Gambar dari Boiga irregularis sedang menjelajahi daerah peralihan dapat
dilihat pada gambar 25.
Keterangan : Sebelah kiri Boiga irregularis sedang menjelajahi daerah peralihan
Sebelah kanan Kepala dari Boiga irregularis Gambar 25 Boiga irregularis di lokasi penelitian.
Dendrelaphis pictus pictus dan Psammodynates pulverulentus merupakan
spesies yang dijumpai pada habitat peralihan yang memiliki sebaran yang serupa
dalam hal penggunaan ruang pada malam hari. Kedua spesies tersebut dijumpai
dalam perilaku diam pada malam hari di ranting-ranting pohon maupun semak di
pinggiran sungai dengan tajuk yang tertutup diatasnya. Lang de (2001)
mengatakan bahwa Dendrelaphis pictus pictus dapt dijumpai pada hutan dataran
rendah dan hutan sub-pegunungan, khususnya daerah peralihan yang terbuka.
Dendrelaphis pictus pictus sering dijumpai dekat dengan aliran sungai (Lang de &
Vogel 2001). Hal ini sesuai dengan satwa mangsanya yaitu katak (Lang de &
45
Vogel 2001) yang banyak terdapat disekitar aliran sungai. Kedua spesies ular ini
merupakan spesies ular yang aktif pada siang hari (diurnal). Gambar dari
Dendrelaphis pictus pictus dan Psammodynates pulverulentus dapat dilihat pada
gambar 26.
Keterangan : Sebelah kiri Psammodynates pulverulentus
Sebelah kanan Dendrelaphis pictus pictus Gambar 26 Dendrelaphis pictus pictus dan Psammodynates pulverulentus.
Psammodynates pulverulentus menghuni vegetasi dengan ketinggian yang
rendah pada tepian sungai atau badan air mulai dari hutan dataran rendah hingga
hutan sub-pegunungan. Pada lokasi penelitian spesies ini dijumpai pada malam
hari. Ular ini merupakan spesies ular yang aktif baik siang maupun malam hari.
Mangsa utama dari ular ini adalah kadal. Akan tetapi terkadang memangsa katak
dan jenis ular lainnya (Lang de & Vogel 2001).
Berbeda dengan kedua spesies Dendrelaphis pictus pictus dan
Psammodynates pulverulentus, Tropidolaemus waglerii yang dijumpai pada
habitat peralihan dan hutan memiliki karakteristik pemilihan ruang yang berbeda.
Tropidolaemus waglerii diam pada ujung ranting pohon yang menjorok kearah
terbuka tanpa tertutup tajuk diatasnya. Tropidolaemus waglerii memilih tipe ruang
seperti ini kemungkinan berkaitan dengan mangsa dari ular ini.
Tipe ruang seperti ini merupakan lintasan bagi mamalia kecil yaitu
kelelawar dan tikus. Tropidolaemus waglerii memiliki perilaku mencari makan
yang pasif. Spesies ini menunggu mangsa untuk lewat kemudian akan menangkap
dan memangsanya. Kebanyakan spesies-spesies ular dari family Viperidae
memangsa mangsa berdarah panas seperti mamalia (Goin et al. 1978). Mamalia
kecil berd
diatas. Tip
ditemukaa
dilihat Tro
di habitat
Ga
Rh
habitat pe
Lokasi dij
dengan ha
tanah yan
Gambar d
darah panas
pe ruang se
annya spesi
opidolaemu
peralihan.
ambar 27 Tr
habdophis c
ralihan. Spe
ijumpainya
abitat kebun
ng berumpu
ari Rhabdop
Gambar 28
seperti tiku
eperti ini p
ies-spesies
us waglerii y
Tropidolaem
chrysargoid
esies ular in
spesies in
n. Secara sp
t maupun b
phis chrysa
8 Rhabdoph
us sering ka
pada daerah
dari famil
yang kemun
mus waglerii
des merupa
ni dijumpai
ni merupaka
pesifik spes
bersih dari
rgoides dap
his chrysarg
ali dijumpai
h aliran sun
li Agamida
ngkinan sed
i sedang me
akan ular te
pada malam
an daerah
sies ular ini
serasah yan
pat dilihat p
goides dari l
i pada kond
ngai juga m
ae. Pada ga
dang menun
enunggu ma
errestrial ya
m hari dala
peralihan y
i dijumpai p
ng dekat de
pada gambar
lokasi pene
disi ruang se
merupakan l
ambar 27
nggu mangs
angsanya.
ang dijump
am kondisi d
yang berba
pada permu
engan alira
r 28.
litian.
46
eperti
lokasi
dapat
sanya
pai di
diam.
atasan
ukaan
an air.
Sa
dijumpai
kearah ha
karakterist
tengah be
karena dit
yang lemb
hutan dan
Vogel 200
29.
Se
penggunaa
genus Sph
spesifik b
dalam satu
yang ham
digunakan
Bronchoce
memiliki p
yang ham
Tropidola
penggunaa
ruang ters
mengguna
atu individu
pada bagia
abitat perali
tik penutup
rgerak men
tangkap ole
bab dan ba
n perkebuna
01). Gambar
Gambar 29
cara keselu
an ruang y
henomorphu
berbeda me
u famili bis
mpir sama
n oleh spe
ela cristate
pemilihan t
mpir sama
emus wagl
an ruang y
sebut untuk
akan ruang t
yang masih
an tengah b
ihan. Lokas
pan tajuk y
nyeberangi
eh penulis.
asah seperti
an. Ular ini
r dari Xeno
9 Xenochrop
uruhan satw
yang berbed
us contohny
eskipun me
sa saja mem
maupun s
esies terseb
lla, Dendre
tipe ruang y
pula yaitu
lerii dengan
yang hampi
mencari m
tersebut unt
h juvenil da
badan sung
si tempat d
yang rapat,
sungai dari
Spesies ula
tepian sun
i memangs
chrophis tri
phis triangu
wa reptil pad
da. Antar sp
ya memilik
enempati tip
miliki pemili
sama. Nam
but bisa sa
elaphis pictu
yang hampi
u untuk m
n Ahaetulla
ir mirip. T
makan sedan
tuk diam pa
ari spesies X
gai di habi
dijumpainya
hampir 10
i arah hutan
ar ini dijum
ngai, rawa,
a satwa am
ianguligeru
uligerus di t
da maing-m
pesies dala
ki tipe peng
pe habitat
ihan tipe pe
mun dalam
aja berbeda
us pictus, d
ir sama dan
mencari ma
a prasina p
Tropidolaem
ngkan Ahaet
ada waktu y
Xenochroph
itat hutan y
a spesies u
00%. Spesi
n ke peralih
mpai khususn
kolam, dan
mfibi dan ik
us dapat dili
tipe habitat
masing tipe
am satu gen
ggunaan rua
yang sama
enggunaan r
hal untuk
a. Broncho
dan Tropido
n alokasi pe
akan. Lain
prasina yan
mus wagler
tulla prasin
ang sama y
is triangulig
yang berde
ular ini mem
ies ini diju
han dan ter
nya pada d
n persawah
kan (Lang
ihat pada ga
hutan.
habitat mem
nus seperti
ang yang s
a. Antar sp
ruang dan w
k apa ruan
cela celebe
olaemus wa
enggunaan r
n halnya a
ng memiliki
ii menggun
na prasina h
yaitu malam
47
gerus
ekatan
miliki
umpai
rhenti
daerah
han di
de &
ambar
miliki
pada
secara
pesies
waktu
g itu
ensis,
aglerii
ruang
antara
i tipe
nakan
hanya
m hari.
top related