ummatan wasaṯan dalam al-qur’an ẖammad abduh dan sayyid...
Post on 27-Dec-2019
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Ummatan Wasaṯan dalam al-Qur’an
(Studi Komparasi Penafsiran Muẖammad ‘Abduh dan Sayyid Quṯb)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Sugih Hidayatullah
NIM 111203400061
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada “
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017
tentang pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”.
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh Ka dan ha خ
d De د
dz De dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
ḏ de dengan garis bawah ض
ṯ te dengan garis bawah ط
v
ẕ zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apsotrof ' ء
y Ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tungga atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatẖah
I Kasrah
U Ḏommah
vi
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas نا
î i dengan topi di atas ني
û u dengan topi di atas نو
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf ال dialih aksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah.
Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.
E. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ـــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
vii
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-jâmî’ah al-Islâmiyyah الجامعةاالسالمية 2
waẖdat al-wujûd وحدةالوجود 3
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk
menuliskanpermulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri,
dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau
kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al -Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî,
al-Kindi bukan Al-Kindi.
viii
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al -Dîn al-Rânîrî.
ix
ABSTRAK
Sugih Hidayatullah
Ummatan Wasaṯan Dalam al-Qur’an (Studi Komparasi Penafsiran
Muẖammad Abduh dan Sayyid Quṯb)
Skripsi ini membahas tentang Ummatan Wasaṯan studi komparasi
pemikiran Muẖammad Abduh dan Sayyid Quṯb, dengan tujuan meneliti makna
tersebut dalam pandangan Muẖammad Abduh dan Sayyid Quṯb yang terkandung
dalam surah al-Baqarah [2]:143. Dengan penelitian tersebut penulis
mendeskripsikan dan menganalisa pengertian dari ummatan wasaṯan, menjelaskan
penafsiran ummatan wasaṯan menurut pandangan para mufasir pada umumnya
dan lebih mendalam pada pemikiran dua tokoh yaitu Muẖammad Abduh dan
Sayyid Quṯb melalui pendekatan komparasi.
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan metode
deskriptif analitis, yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan
dan baru dianalisa. Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran antara
Muẖammad Abduh dan Sayyid Quṯb. Setelah data-data terkumpul, lalu dijelaskan
serta dianalisis secara mendalam, sehingga nampak jelas jawaban atas persoalan
yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.
Dalam penelitian ini penulis menemukan persamaan dan perbedaan
penafsiran diantara kedua tokoh tersebut. Adapun persamaanya adalah: 1). Kedua
mufassir ini memandang bahwa ummatan wasaṯan merupakan suatu tatanan
masyarakat Islam yang berpegang teguh pada ajaran Ilahiah, sehingga
terbentuklah karakter adil sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-
Nya. bersikap adil baik untuk urusan ruhaniah maupun jasmaniah. 2). Baik
Muẖammad Abduh maupun Sayyid Quṯb memandang Ummatan wasaṯan adalah
umat Islam yang menjadi saksi atas apa yang terjadi dimuka bumi, apakah
manusia menjalankan hidup sesuai syariat Islam atau tidak, sehingga dalam diri
umat Islam yang dijadikan Allah sebagai ummatan wasaṯan terbentuk sikap adil
dalam menilai kebenaran, karena seorang saksi dituntut berbuat adil. 3).
Muhammad Abduh maupun Sayyid Quṯb mengkriteriakan ummatan wasaṯan
dengan umat yang tidak fanatik terhadap madzhab, tidak melakukan taqlid buta.
Adapun perbedaan penafsiran kedua tokoh tersebut terletak pada kurang
variatifnya penafsiran Muẖammad Abduh dalam mengkriteriakan sikap ummatan
wasaṯan dibandingkan Sayyid Quṯb.
Setelah melakukan penelitian tersebut, penulis mengambil
kesimpulan bahwa Sayyid Quṯb lebih terperinci dalam menafsirkan Ummatan
Wasaṯan ketimbang Muẖammad Abduh.
Kata Kunci: Ummatan, Wasathan, Muẖammad Abduh , Sayyid Quṯb
x
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah, Zat yang tiada bosan mendengar keluh kesah hamba-
Nya. yang dengan Rahmat dan kasih sayang-Nya, Alhamdulillah saya dapat
menyelesaikan skripsi ini, Shalawat dan salam saya haturkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat dan semua penerus ajarannya.
Semoga kelak kita diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafaat.
Skripsi berjudul: Ummatan Wasatan Dalam al-Qur’an (Studi Komparasi
Penafsiran Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Qutb) merupakan karya ilmiah
saya sebagai perjalanan terakhir, setelah sekian tahun menuntut ilmu di bangku
perkuliahan. Guna memenuhi persyaratan untuk gelar Sarjana Strata Satu (S1) di
Fakultas Ushuluddin, pada Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari sumbangsih berbagai pihak yang
telah membatu dan yang memberi dukungan baik moril ataupun materil. Oleh
karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati kepada pihak-pihak yang
telah dengan rela membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini,
penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Amany
Burhanuddin Lubis, Lc, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
xi
3. Dr. Eva Nugraha, MA, Ketua jurusan Program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
dan Bapak Fahrizal Mahdi, MIRKH., sekretaris Progam Studi Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir, Semoga Allah mempermudah segala urusannya.
4. Bapak Dr. Moqsith Ghozali, M. A, selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang
dengan keikhlasan dan kesabarannya membimbing, mengarahkan dan memotivasi
penulis hingga skripsi ini selesai.
5. Segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi. Segenap staf
Perpustakaan Umum (PU), Perpustakaan Fakultas Ushuluddin (PF), Pusat Studi
al-Qur’an (PSQ), yang telah membantu meminjamkan buku-buku dan beberapa
literatur dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, terkhusus Bapak Dr. M. Suryadinata, M.
Ag., dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kalstum, M.A., yang telah membimbing dan
membantu saya selama di Fakultas Ushuluddin. Terimakasih atas ilmu dan bait-
bait nasihat yang telah diberikan dengan tulus kepada saya. Beliau semua sudah
seperti ayah dan semoga beliau selalu dilindungi Allah swt dan semakin sukses
kedepannya. Amiin
7. Terimaksih kepada ayahanda KH. Masyhuri Baedlowi, M.A dan Ibu Nyai yang
telah mengajari dan menjadi Orang Tua Ideologis penulis, semoga Allah
memberikan umur yang panjang dan selalu dalam lindungan-Nya
8. Yang tercinta Abiku Bapak Aan Anwar dan Ummiku Ade Kurniasih , yang selalu
merangkaikan doa-doa indah, menginspirasi, membiayai, mendidik, mendukung,
dan memotivasi dengan sabar dan tak hentinya memberikan semangat, kasih
sayang kepada penulis. Dan Keluarga besar penulis yang maaf tidak dapat
xii
disebutkan satu-persatu, semoga keberkahan selalu menyertai keluarga besar kita.
Amiin.
9. Terima Kasih ku ucapkan kepada sahabat/i PMII KOMFUSPERTUM selama
beberapa tahun menemani kehidupan ini baik duka maupun suka semoga
kedepannya PMII KOMFUSPERTUM semakin maju dan kaya khususnya dari
segi pemikiran dan finansial agar tidak selalu menyodorkan proposal.
10. Terima kasih ku ucapkan kepada para senior : Ka Baiquni, M.Ag., Ka Robitul
Umam, M.A., Ka Baharuddin, M. Ag., Ka Muhammad Rasyidi, S. Th.I., Ipunk
Brader yang sudah seperti kaka ku sendiri yang selalu membantu sewaktu saya
mempunyai masalah baik finansial ataupun permasalahan yang lain. Semoga
mereka semua diberikan kesehatan oleh Allah swt dan diberikan jodoh bagi yang
belum Menikah alias disegerakan Menikah.
11. Teman-teman Tafsir-Hadist angkatan 2012 khususnya kelas B, sahabat-sahabat
KKN AKUSARA, yang terpenting adalah kalian semua penyemangat dan teman
terbaik untuk saya.
12. Untuk sahabat-sahabatku Kholik Ramdan Mahesa, S. Ag, Muhammad Faishal,
Arsyad Prayogi, Yusuf Ramadhan, Sahroni, Ali Muharom, Acep Sabiq, Imam
Zahamsyari, Ayatullah Jazmi, Anang Herianto dan lain-lain. Terima kasih atas
kesediaan dan luangan waktunya, sukses selalu dan cepat wisuda dan bisa lanjut
S2, S3, semoga keberhasilan senantiasa menyertai kalian.
13. Terimakasih untuk teman seperjuangan Kosan Bunin sahabat M. Isrop S. Ag,
Riswan Sulaiman S.Ag, Muhammad Lazuardi, Fahri, Baha, M. Ahya yang telah
mensupport dan menjadi teman baik dikala susah maupun senang
xiii
14. Terimaksih untuk teman IKPDE (Ikatan Keluarga Pelajar Darussalam Eretan)
yang telah berjuang bersama membangun kebersamaan, semoga tetap solid dan
lebih maju.
15. Terimakasih teruntuk Adindaku Lidya Clarisah Aprilia yang selalu mendukung
dan menyemangati penulis selama proses penulisan skripsi ini.
16. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan informasi yang
bermanfaat untuk penulisan dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah jugalah, penulis mengharap ridha dan rasa
syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat
yang baik bagi yang membaca. Jazâkumullâh aẖsan al jazâ’, Âmîn...!
Ciputat, 2 Juli 2019
Sugih Hidayatullah
xiv
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iv
ABSTRAK…….… .............................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ........................................................................................ x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 7
1. Identifikasi Masalah .................................................................... 7
2. Pembatasan Masalah.................................................................... 7
3. Perumusan Masalah ..................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penilitan............................................................ 8
D. Tinjauan Pustaka................................................................................ 9
E. Metodologi Penelitian........................................................................ 11
F. Metodologi Penulisan ........................................................................ 12
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13
BAB II ANALISA TERM UMMATAN WASTHAN ............................................. 15
A. Pengertian Ummatan Wasatan .............................................................. 15
1. Pengertian Ummatan ...................................................................... 15
2. Pengertian Wastan .......................................................................... 17
3. Makna Ummatan Wasathan ............................................................ 19
A. Asbab al-Nuzul surah al-Baqarah ayat 143 ................................................ 20
B. Devariasi kata Wasaṯ dalam al-Qur’an .................................................... 23
C. Pandangan Mufasir terkait Term Ummatan Wasaṯan ........................ 23
1. Al-Thabârî ..................................................................................... 23
2. Al-Qurṯubî ..................................................................................... 25
3. Quraish Shihab .............................................................................. 26
4. Hamka ......................................................................................... 27
xv
BAB III UMMATAN WASAṮAN DALAM PANDANGAN MUHAMMAD
ABDUH DAN SAYYID QUṮB .............................................................................. 30
A. Muhammad ‘Abduh ........................................................................... 30
1. Riwayat Hidup .............................................................................. 30
2. Karya-karya .................................................................................. 34
3. Metode dan Corak Penafsiran ......................................................... 35
4. Sumber Penafsiran ......................................................................... 37
B. Sayyid Qutb ......................................................................................... 39
1. Riwayat Hidup .............................................................................. 39
2. Karya-karya .................................................................................. 43
3. Metode dan Corak Penafsiran ......................................................... 44
4. Sumber Penafsiran ......................................................................... 46
BAB IV PERBANDIINGAN PENAFSIRAN UMMATAN WASAṮAN
DALAM PANDANGAN MUHAMMAD ‘ABDUH DAN SAYYID QUṮB ............. 49
A. Penafsiran Muhammad ‘Abduh Tentang Ummatan Wasaṯan............ 49
B. Penafsiran Sayyid Qutb Tentang Ummatan Wasaṯan .......................... 55
C. Kriteria Ummatan Wasaṯan Menurut Muhammad Abduh dan Sayyid
Quṯb..................................................................................................... 63
1. Kriteria Ummatan Wasaṯan Menurut Muhammad Abduh ................. 63
2. Kriteria Ummatan Wasaṯan Menurut Sayyid Quṯb ........................... 64
D. Relevansi Penafsiran Ummatan Wasathan Muhammad ‘Abduh dan
Sayyid Qutb dalam konteks Kemajemukan Umat Beragama .................... 64
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 78
A. Kesimpulan......................................................................................... 78
B. Saran ................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai nilai untuk selalu
berinteraksi dengan sesama manusia dan punya naluri untuk selalu hidup bersama.1
Hubungan manusia antar sesamanya tersebut oleh para sosiolog diberi istilah dengan
sebutan masyarakat.2 Lebih jauh para sosiolog mendefinisikan masyarakat sebagi
golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia yang saling
mempengaruhi atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan saling pengaruh
mempengaruhi satu sama lain yang menghasilkan kebudayaan.3 Dengan demikian,
masyarakat akan terbentuk akibat dari hubungan yang saling membutuhkan antar satu
pihak dengan pihak lain.
Al-Qur’an merupakan pedoman dalam berbagai aspek kehidupan. Agar tujuan
dan fungsi al-Qur’an itu dapat di realisasikan oleh manusia, maka al-Qur’an datang
dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, aturan-aturan, prinsip-prinsip serta
konsep-konsep. Baik yang bersifat global maupun terperinci, ekplisit maupun implisit
dalam berbagai bidang persoalan kehidupan.4
1 Musya Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Islam (Yogyakarta: LESFI, 1982),
h. 140-143 2 Kata masyarakat berasal dari bahasa Arab: Syarikah (serikat ) yang artinya Partner atau
sekutu. Luis Ma’luf, al-Mu’jam al- Mufahras Fi al-Lugah (Bayrût: Dâr al-Masyruq, 1973), h. 384.
3 Hasan Sadzily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia ( Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 50. 4 Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Qur’an (Ujung Pandang: Lembaga
Kebudayaan Islam, 1991), h.13.
2
Secara garis besar al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan akidah,
syariat, dan akhlak dengan jalan meletakan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan
tersebut. Persoalan akidah merupakan aspek yang mengatur tata kepercayaan dalam
Islam, adapun Syariat peraturan atau hukum-hukum yang di perintahkan oleh Allah
melalui perantara Rasul-Nya baik yang berhubungan dengan keyakinan maupun
mualamah, sedangkan akhlak merupakan aspek yang mengatur tata perilaku manusia
baik sesama manusia maupun dengan Tuhannya.5
Dari penjelasan di atas bahwa al-Qur’an adalah petunjuk dari berbagai aspek
kehidupan manusia sehingga dapat menjadi solusi dari persoalan bangsa, agama, dan
Negara, maupun persoalan global saat ini. krisis dunia Internasional saat ini sudah
sedemikian kompleks sehingga Islam dituntut dapat turut andil didalamnya. Inilah
yang menjadi tanggung jawab sebagai ajaran agama yang ramah dan menjadi rahmat
ditengah konflik.6
Dengan demikian bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh umat manusia yang
telah dibawa oleh Rasulullah sebagai risalahnya, sebagimana firman Allah dalam Q.S
al-Anbiya 21:107
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Maka dari itu, setiap umat Islam harus benar-benar dapat memahami agama
Islam sehingga bisa memanifestasikannya sebagai agama yang santun, toleransi dan
penuh kasih sayang.7 Artinya setiap umat Islam memikul tanggung jawab untuk
5 Muhammad Syaltut, al-Islâm ʽAqîdah wa Syarî’ah, penerjemah Bustami A. Gani dan B.
Hamdani Ali dengan judul Islam dan Aqidah serta Syariat, cet. V (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 28
. 6 A. Mustofa Basri, dkk, Islam Madzhab tengah (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h.
17. 7 Nazruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973), h. 106,
3
memperjuangkan kehendak Islam yang dapat memberikan ketentraman, perdamaian
dan keseimbangan ditengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi dewasa ini Islam sedang terjadi berbagai konflik internal. Seperti
halnya pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Pendegradasian pemahaman
mulai bermunculan yang mengakibatkan Islam kehilangan marwah sebagai Agama
yang Rahmah. Sehingga muncul label terhadap Islam bahwa Islam adalah agama
Teroris, Agama yang Intoleran, Agama yang Radikal dan Liberal. 8
Kecenderungan radikalisme dalam Islam sangat ektrim dan ketat dalam
memahami hukum-hukum agama dan mencoba memaksakan cara tersebut dengan
menggunakan kekerasan di tengah masyarakat. Di Indonesia terdapat beberapa
kelompok pemikiran dan gerakan Islam yang dicap sebagai kelompok radikal,
diantaranya adalah mereka yang tergabung dalam jamaah Salafi, Negara Islam
Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
dan Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS)9
Kelompok-kelompok Radikal di atas nampaknya menyuarakan ide-ide seperti
penerapan syariat Islam atau Negara Islam. mendirikan Negara Islam adalah solusi
ditengah kegagalan hukum yang dibuat oleh pemerintah yang dibangun dengan ajaran
diluar Islam, dengan diberlakukannya hukum Islam secara keseluruhan dalam suatu
konsep Negara.10
Sedangkan kecenderungan Liberalisme bisa dilihat pada sikap longgar secara
ekstrim dalam kehidupan beragama dan tunduk pada perilaku dan pemikiran yang
asing bila dilihat dari pertumbuhan tradisi Islam. Aliran Islam liberal berpendapat
agama Islam adalah agama yang benar, namun pada saat yang sama juga mengatakan
8 Andi Aderus Banua dkk, Kontruksi Islam Moderat: Mengupa Prinsip Rasionalitas,
Humanitas dan Universalitas Islam ( Makassar: ICCAT Press dengan Aura Pustaka, 2012), h. 50. 9 Afadlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI press, 2005), h. 104-105 10 Afadlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, h. 106-107.
4
bahwa semua agama adalam benar juga. Apabila setiap penganut agama berdakwa
hanya Tuhannya dan ajarannya saja yang betul, itu dakwaan yang relatif dalam
konteks agama mereka, jika dilihat dalam konteks keseuruhan agama, maka semua
agama yang meliki konsep ketuhanan yang mengajar pada kebaikan antar sesama
adalah sama-sama benar.11
Hal di atas akan berdampak negatif terhadap kesatuan umat Islam, akan
membuat Islam berkelompok-kelompok. Hal ini dibenarkn oleh sebagian orang
bahwa munculnya ragam istilah dibelakang kata Islam adalah hasil dari upaya
orientalis untuk memudahkan kajian mereka terhadap Islam, bahkan sebagian
mengatakan untuk memecah belah kesatuan umat Islam itu sendiri.12
Pengelompokan dalam Islam sudah terjadi sejak masa Sahabat, dimulai
munculnya gerakan kelompok Khawarij yang keluar dari barisan Saidina Ali R.A.
perkembangan kelompok dalam Islam sudah menjadi keniscayaan bagi Islam sendiri.
Yang melatar belakangi munculnya kelompok-kelompok dalam Islam dipicu karena
perbedaan pandangan politik yang akhirnya merambat ke wilayah akidah. Tentunya,
dalam memahami nash-nash Ilahiah pun tampaknya ada sudut pandangan yang
berbeda di setiap kelompok. Sebagai agama Rahmah, umat Islam dalam menyikapi
perbedaan sudut pandang harus dengan bijaksana dan syarat akan keadilan sehingga
tidak hilang nilai-nilai Rahmah yang ada pada Islam.
Berangkat uraian di atas Penulis dalam kesempatan ini, mencoba untuk
mengkaji dan mendalami salah satu ayat dalam al-Qur’an, yang menurut penulis
merupakan solusi atas persoalan-persoalan di atas. Ayat yang menjadi objek kajian
yang penulis maksud adalah Q.S al-Baqarah [2]: 143.
11 Hafidz Firdaus Abdullah, Membongkar Aliran Islam Liberal (Malaysia Perniagaan
Jahabersa, 2007), h. 13 12 Andi Aderus Banua dkk, Kontruksi Islam Moderat : Mengupa Prinsip Rasionalitas,
Humanitas dan Universalitas Islam ( Makassar: ICCAT Press dengan Aura Pustaka 2012), h. 5
5
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.”
Term ummatan wasaṯan yang terkandung dalam surah al-Baqarah [2]:143
menjadi fokus kajian penulis kali ini. Kata ummat terambil dari kata (tulisan arab)
(amma-yaummu) yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar kata
yang sama, lahir antara lain kata um yang berarti “ibu” dan “imam” yang maknanya
“pemimpin”, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandang, dan harapan
anggota masyarakat.13 Sedangakan wasaṯan dalam bahasa arab berasal dari kata
wasaṯa-yasiṯu-wasaṯan yang artinya adalah orang yang berada ditengah-tengah.
ummatan wasaṯan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata Islam moderat. Islam
moderat mencoba melakukan kompromi dan berada di tengah-tengah dalam
menyelesaikan suatu persoalan. Begitu pun dalam menyikapi sebuah perbedaan, Islam
moderat selalu mengedepankan sikap toleransi dan saling menghargai. Artinya tidak
terlalu liberal sehingga mencampakkan otoritasi teks dan kaidah-kaidah yang sudah
13 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 324.
6
baku dalam Islam, juga tidak terlalu tekstual yang menutup mata dari perkembangan
konteks masyarakat.14
Pandangan Muẖammad ʽAbduh dalam tafsirnya memiliki tujuan pokok yaitu
menekankan fungsi kehidayahan al-Qur’an agar manusia dalam menjalani kehidupan
ini selalu dalam bimbingan dan pentunjuk al-Qur’an. Selain itu, Muẖammad ʽAbduh
dalam pembaharuan pemikirannya memasukan pemikiran Orientalis yang bersifat
sains.15
Sedangkan Sayyid Quṯb, pada fase awal penulisan pustaka baru al-Qur’an
kecenderungannya hanya pada seni dan susastraan. Metode yang beliau gunakan
adalah metode estetika dan perasaan (Ẕauq). Namun setelah peluncuruan episode
pertama Pustaka Baru al-Qur’an pada april 1949 pemikiran beliau berubah karena
kondisi mesir ketika itu sedang mengalami fase sosial yang sulit setelah perang dunia
ke II sehingga Sayyid Quṯb memilih media keadailan sosial untuk menjelaskan al-
Qur’an demi mewujudkan keadilan sosial bagi bangsa mesir.16
Dari keterangan di atas, penulis akan mengakaji dan menganalisis lebih lanjut
terkait term ummatan wasaṯan dari kedua mufasir tersebut. Baik Muẖammad
ʽAbduhmapun Sayyid Quṯb keduanya merupakan pemikir yang sama-sama lahir di
Mesir namun memiliki kecenderungan yang berbeda dalam memaknai teks-teks al-
Qur’an, kecenderungan tersebut dipengaruhi oleh sosio-histori, geopolitik, maupun
guru yang melatar belangkai pendidikan mereka.
14 Andi Aderus Banua dkk, Kontruksi Islam Moderat: Mengupa Prinsip Rasionalitas,
Humanitas dan Universalitas Islam ( Makassar: ICCAT Press dengan Aura Pustaka, 2012), h. 8. 15 M. Quraisy Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar; Karya Muẖammad ʽAbduh dan M. Rasyid
Ridha.(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 68. 16 Salafudin Abu Sayyid, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilali al-Qur’an Sayyid Quṯb, Cet
1 (Surakarta: 2001), h. 51-52.
7
Keunggulan itulah yang menjadikan peneliti tertarik untuk mencoba mengkaji
dan melihat lebih dalam tentang Muhammada Abduh dan Sayyid Quṯb, kedua tokoh
ini memilik andil yang sangat hebat dalam perkembangan tafsir di era modern ini,
bahkan memberikan warna tersendri didalamnya, khususnya tentang ummatan
wasaṯan yang dikaitkan dengan cara hidup berdampingan antar umat seagama dan
umat beragama yang ideal sebagaimana dijelasakan oleh Allah dalam al-Qur’an.
B. IDENTIFIKASI, PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah ditulis, ada beberapa identifikasi masalah yang
akan dijadikan bahan penelitian, sebagai berikut:
1. Pandangan islam seharusnya seperti apa sehingga Ummatan Wasaṯan itu
penting untuk dijadikan solusi ?
2. Pengelompokan dalam Islam sudah terjadi sejak masa Sahabat, dimulai
munculnya gerakan kelompok Khawarij yang keluar dari barisan Saidina Ali
R.A.
3. Pemikiran Muẖammad ʽAbduh dan Sayyid Quṯb terkait Ummatan Wasaṯân
2. Pembatasan Masalah
Berpijak pada persoalan yang muncul pada latar belakang di atas, penulis
membatasi diri hanya berkaitan dengan “Penafsiran Ummatan Wasaṯan menurut
Muẖammad ʽAbduh dan Sayyid Quṯb serta persamaan dan perbedaan penafsiran
kedua tokoh tersebut.
8
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, pokok masalah yang akan diteliti pada
kajian ini adalah bagaimana persamaan dan perbedaan penafsiran Muẖammad ʽAbduh
dan Sayyid Quṯb tentang ummatan wasaṯan dalam al-Qur’an ?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Memperkenalkan karakteristik pemikiran Muẖammad ʽAbduh dan Sayyid
Quṯb
2. Mengetahui makna ummatan wasaṯan menurut Muẖammad ʽAbduh dan
Sayyid Quṯb yang terdapat dalam Tafsîr al-Manâr dan Fī Ẕilâl al-Qur’ân
khususnya dalam Surah al-Baqarah ayat 143
3. Mengetahui apa kriteria ummatan wasaṯan menurut Muẖammad ʽAbduh dan
Sayyid Quṯb
Adapun kegunaan penelitian ini adalah :
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dibidang tafsir
al-Qur’an khususnya bagi civitas akademika Fakultas Ushuluddin
2. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana strata satu di Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
D. Tinjauan Pustaka
Tulisan yang berkaitan tentang konsep Ummatan Wasaṯan dalam umat Islam,
telah dilakukan oleh beberapa sarjana, diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Muh. Syaukani dalam skripsi yang berjudul Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an:
kajian tafsir tematik atas ayat-ayat al-Qur’an, Mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas
9
Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alaudin Makassar. Dalam penelitiannya
tersebut dibahas tentang karakter sebuah masyarakat yang sudah lama hilang dan
telah didamba-dambakan ditengah kondisi masyarakat yang jauh dari karakter ideal
muslim. Skripsi tersebut menggunakan metode madhu’i, dengan menghimpun
beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Dalam skripsi
tersebut dijelaskan bahwa masyarakat ideal dapat digolongan kepada masyarakat
yang dapat berprilaku profesional yang berlandaskan ketauhidan yang disebutkan
dalam al-Qur’an. Dengan demikian dapat digolongkan menjadi empat masyarakat
yang ideal menurut al-Qur’an. Pertama, karakter Ummatan Wahidah, karakter
Ummatan Muqtasidah, karakter ummatan wasaṯan, karakter khairah ummah.
Kemudian Pemikir Islam yang menuliskan karya Ilmiah terkait penelitian ini
adalah Prof. Dr. Quraish Shihab yang berjudul Wawasaan al-Qur’an : Tafsir
Mudhu’i atas Pelbagai Persolan Umat.17 Ia menulis satu bab khusus tentang
Ummah, pengertian Ummatan wasaṯan serta siapa saja yang dapat dikatakan sebagai
“Ummatan Wasaṯan” . Quraish Shihab dalam mengartikan Ummah melihat pada asal
kata dari umah tersebut. Menurutnya kata ummah terambil dari kataa amma-
ya’ummu yang artinya menuju, manumpu, dan meneladani. Dari akar kata tersebut
lahir juga kata lain yaitu umm yang artinya ibu, dan dari akar yang sama lahir pula
kata imam yang artinya pemimpin, sebab keduanya (umm dan imam ) menjadi
teladan dan tumpuan pandangan serta harapan semua anggota masyarakat. 18
Penulis juga menemukan artikel yang ditulis oleh Afrizal Nur dan Muklis dengan
judul Konsep Wasathiyah dalam al-Qur’an (studi komparatif antara tafsir al-Tahrir
17 M Quraisy Shihab, Wawan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i ataspelbagai persoaln umat
(Banduung: Mizan 1997), h. 1. 18 M Quraisy Shihab, Wawan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i ataspelbagai persoaln umat, h.
329.
10
wa at-Tanwir dan Aisar at-Tafsir). Dalam artikel tersebut mencoba untuk mengurai
konsep Wasathiyah dalam al-Qur’an menurut sudut pandang ahli tafsir, untuk
menemukan poin penting yang mampu meminimalisir “mind understanding” dan
sikap intoleran yang terjadi di daerah tertentu akibat minimnya pemahaman umat
tentang makna Wasaṯiyah yang sebenarnya. Dengan maksud agar melahirkan
pemikiran yang moderat di era seperti sekarang ini, sehingga terciptanya masyarakat
yang toleran, rukun dan cinta damai.
Buku tentang Islam Madzhab Tengah19 salah satu sub babnya menjelaskan tentang
ummatan wasaṯan dengan menjelaskan beberapa ciri dari ummatan wathan yaitu,
adanya hak kebebasan yang harus diimbangi dengan kewajiban, adanya
keseimbangan antar duniawi dan ukhrawi.
Buku kontruksi Islam moderat dalam buku tersebut dipaparkan sisi kemoderatan
islam dari bebagai disiplin ilmu, seperti aqidah, fikih, tafsir, pemikiran, tasawuf, dan
dakwah. Buku ini menjelaskan bahwa islam moderat direpresentasikan oleh aliran al-
Asy’ariyah. Aliran yang menengahi nalirah muktazilah yang sangat rasional dengan
salafiyah dan hanabilah yang sangat tekstual.
Penafsiran Muhammad Thalibi tentang Ummatan wasaṯan dalam al-Qur’an, oleh
Nor Elisa Rahmawati. Karya skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014. Yang menguraikan
pandangan Thalibi tentang konsep Ummatan Wasaṯan.
Penulis termotivasi untuk mengkaji hal dengan tema Ummatan Wasaṯan melalui
pendekatan bersifat komparasi antara Tafsîr al-Manâr dan Tafsîr Fī Ẕilâl al-Qur’ân
dengan menimbang dan memperhatikan, kajian tentang Ummatan Wasaṯan sangat
19 Buku karangan dari A. Mustofa Basri, dkk yang diterbitkan oleh Grafindo Khazanah Ilmu
tahun 2007
11
esensial dalam penegakkan agama Islam di era Milenial maupun yang akan datang,
karenanya sangat penting untuk dibahas sebagai suatu kajian ilmiah.
E. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif yang bersifat menemukan teori.20
Dilihat dari objeknya, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka atau
literatur (Library research), karema penelitian ini akan meneliti dokumen-dokumen
tertulis seperti buku tentang umat islam, kitab-kitab tafsir dan lain sebagainya. Hal ini
dilakukan melalui metode komparatif (Muqaran).21 Yang digunakan untuk
menganalisa data yang sama dan berentangan. Dalam konteks ini langkah- langkah
yang harus ditempuh ialah dengan memusatkan perhatian pada sejumlah ayat tertentu,
lalu melacak berbagai pendapat para mufasir tentang ayat tersebut, kemudia
membandingkan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan untuk mengetahui
kecenderungan aliran yang mempengaruhi mereka.22
2. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu:
a. Data Primer, yaitu kitab Tafsîr al-Manâr karya Muẖammad ʽAbduh dan Tafsîr
Fî Ẕilal al- Qur’ân karya Sayyid Quṯb
b. Data sekunder, yaitu berbagai macam kitab atau buku-buku yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal ini,
20 Sri Kumalangsih, Metodelogi Penelitian ( Malang: Universitas BrawijayaPress, 2012), h.
48. 21 Jonthan Sarwono, Metode penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Yogyakarta: Graha
Ilmu,2006), h. 259. 22 Metode komparatif menurut para ahli mencakup tiga hal yaitu, pertama, membandingkan
ayat yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih. Kedua,
membandingkan ayat al-Qur’an dan hadits yang tampak bertentangan. Ketiga, membandingkan
berbagai pendapat ualam tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an. lihat, Nashiruddin Baidan, Metodelogi
Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 65.
12
buku-buku yang dapat dijadikan rujukan yang lain diantaranya adalan buku
yang berjudul Islam Ektrem, Islam Dan Doktrin Peradaban, Menuju
Ummatan wasthan: Kerukunan Beragama di Indonesia, Islamku Islam Anda
Islam Kita, dan berbagai refresensi buku, kitab maupun jurnal lainnya.
3. Teknik Analisis Data
Adapun teknik Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Analisis-deskriptif.23 Yaitu dengan menganalisis dan memberikan gambaran terkait
ummatan wasaṯan menurut Muẖammad ʽAbduh dan Sayyid Quṯb.
Pada tahap analisa data ini, langkah yang dilakukan adalah pertama,
mengelompokkan data berdasarkan tema dan tokoh tafsir selanjutnya meneliti seluruh
data yang diperoleh. Kedua, mendeskripsikan penafsiran kedua tokoh mengenai
ummatan wasaṯan dalam Tafsîr al-Manâr karya Muẖammad ʽAbduh dan Tafsîr Fî
Ẕilal al-Qur’ân karya Sayyid Quṯb. Ketiga, menganalisis penafsiran keduanya dan
akhirnya menarik kesimpulan dari penafsiran tersebut.
Adapun pendekatan yang dilakukan oleh penulis untuk membaca data dengan
lebih efektif dan memadai, maka pendekatan yang digunakan dalam analisis data
adalah pendekatan teori. Hal ini penulis pilih sebagai alat untuk mengetahui kriteria
dan sikap ummatan wasaṯan menurut Muẖammad ʽAbduh dan Sayyid Quṯb.
F. METODOLOGI PENULISAN
Dalam menulis skripsi ini, penulis mengacu kepada Keputusan Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 tentang pedoman penulisan
karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
23 Nashiruddin Baidan, Metodelogi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1998),
h 68.
13
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar penelitian ini menjadi terarah maka skripsi ini disusun menjadi lima bab
sebagi berikut :
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
masalah munculnya penelitian ini beserta pendapat akademik seputar problematika
umat, setelah itu permasalahan diidentifikasi, dibatasi serta dirumuskan, kemudian
disertakan pula tujuan dan manfaat dari penelitian. Selain itu tinjauan pustaka
dilakkan dengan penjelasan mengenai metode penelitian yang dipakai untuk
menyelesaikan penelitian ini. dan pembahasan terakhir yaitu penjelasan mengenai
sistematika pembahasannya.
Bab Kedua, merupakan landasan teori yakni menganalisa lafaz ummatan wasaṯan
menurut pendapat cendikiawan muslim, asbabun nuzul, serta devariasi kata.
Bab Ketiga, berisi potret kehidupan Muẖammad ʽAbduh dan Sayyid Quṯb yang
meliputi latar belakang sosio hostoris, Pendidikan, karya-karya, serta metode dan
corak penafsiran .
Bab Keempat, pada bab ini penulis mendeskripsikan konsep Muẖammad ʽAbduh
dan Sayyid Quṯb terkait ummatan wasaṯan kemudian mengklasifikasikan kriteria
ummatan wasaṯan serta relevansi penafsiran tokoh tersebut dalam memberikan solusi
pemikiran di zaman milenial yang kaya akan kemajemukan.
Bab Kelima, meliputi penutup, yaitu berisi kesimpulan-kesimpulan yang
diperoleh serta saran-saran.
15
BAB II
ANALISA TERM UMMATAN WASAṮAN
A. Pengertian Ummatan Wasaṯan
1. Pengertian Ummatan
Kata umam adalah jamak dari kata ummah yang artinya al-Jamâʽah,
sekelompok orang, masyarakat, dan juga bangsa. Kata tersebut berakar dari huruf
hamzah dan mim ganda, yang secara bahasa meiliki makna dasar asal, tempat
kembali, kelompok, agama, postur tubuh, masa dan tujuan.1 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata ummah atau umat diartikan sebagai “para pengikut, pemeluk,
penganut suatu agama” dan juga berarrti “makhluk manusia”.2
Kata ummat berasal dari bahasa arab (amma-yaummu) yang berarti menuju,
menumpu, dan meneladani. Dari akar kata yang sama, lahir antara lain kata um yang
berarti “ibu” dan “imam” yang maknanya “pemimpin”, karena keduanya menjadi
teladan, tumpuan pandang, dan harapan anggota masyarakat.3
Pengertian umat tidak hanya dibatasi sebagai manusia saja, umat menurut
Quraish Shihab memiliki pengertian yang sangat luas. Makna tersebut dijelaskan
sebagai berikut :
a. Binatang-binatang yang ada dibumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya seperti dalam Q.S al- An’am [6]: 38
1 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: 1984), h. 43. 2 Perwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2003), h. 1123. 3 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h.324.
16
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan”.4
b. Makluk dari bangsa jin dan manusia dalam Q.S al-‘Araf [7]: 38
“Allah berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama
umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu. Setiap suatu
umat masuk (ke dalam neraka), Dia mengutuk kawannya (menyesatkannya);
sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk
kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu: "Ya
Tuhan Kami, mereka telah menyesatkan Kami, sebab itu datangkanlah kepada
mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka". Allah berfirman: "Masing-
masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak
Mengetahui".5
c. Umat diartikan Waktu dalam Q.S Yusuf [12]:45
“Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan
teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan
memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu,
Maka utuslah aku (kepadanya)."6
d. Umat bermakna Agama, jalan atau cara hidup dalam Q.S al-Zuhruf [43]: 22
“Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak-
bapak Kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya Kami orang-orang
yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".7
Dengan demikian al-Qur’an mendefinisikan umat bukan hanya sebatas
golongan manusia saja, artinya bahwa semua kelompok yang terhimpun oleh sesuatu
seperti jalan atau cara hidup, waktu, dan tempat dalam suatu ikatan yang dapat
menyatukan dan menjadikan satu umat.
Menurut al-Damighani yang dikutip oleh Quraish Shihab bahwa kata umat
dalam bentuk tunggal terulang sebanyak 52 kali dalam al-Qur’an dengan arti yaitu
4 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h.325 5 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h.327 6 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 327 7 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 327
17
kelompok, agama (Tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu,
umat Islam, orang kafir dan manusia seluruhnya.8
Begitu banyak makna Umat yang ditemukan, menurut Quraish Shihab kata
yang dapat menggabungkan makna diatas adalaah “Himpunan”. Kata ini sangat
luwes, indah dan lentur sehingga dapat mencakup aneka makna yang dapat
menampung kebersamaan dalam aneka perbedaan. 9
Masih banyak lagi referensi yang menjelaskan secara lebar tentang kata
ummah, karena penulis difokuskan pada penafsiran ummatan wasaṯan menurut
Muhammad Abduh dan Sayyid Quthb maka hanya diambil makna umumnya saja.
2. Pengertian Wasaṯan
Wasaṯan dalam bahasa arab berasal dari kata wasṯa-yasiṯu-wasaṯan yang
artinya adalah orang yang berada ditengah-tengah.10 Kata wasaṯ sering kali di
padankan dengan kata “Moderat”. Islam “Moderat” Memiliki arti sikap pertengahan,
menghindari sikap ektrimis.11
Dalam kamus Besar bahasa Indonesia moderat artinya selalu menghindarkan
perilaku atau pengungkapan yang ekstrim, kecenderungan ke arah dimensi atau jalan
tegah, dapat mempertimbangkan pandangan pihak lain12.
Sementara itu, moderat dalam bahasa arab memiliki makna sendiri yaitu
i’tidal.13 Posisi tengah seperti ini dimaknai bahwa posisi yang paling baik, sebagai
8 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 326 9 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 326 10 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung 1990), h. 498 11 Alamul Huda, “Epistimologi Gerakan Liberalis, fundamentalis, dan Moderat Islam di Era
Modern”, Jurnal Syariah dan Hukum (vol. 2, Maret 2010): h. 188. 12 Pusat Bahasa Departemen Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), h. 751. 13 Adib Bisri dan Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, hal 214
18
contoh: Berani merupakan sikap tengah (wasaṯ) diantara sikap takut dan ceroboh,
kedermawanan merupakan sikap tengah diantara sikap kikir dan boros.
Menurut orang arab makna الوسط dengan makna pilihan, seperti kata فالن وسط maksdunya hidup sedang-sedang, apabila mereka ingin menaikan taraf قوميي فيي
hidupnya, dan dia adil, tidak berat sebelah.14 Abdullah Yusuf ‘Ali mendefinisikan
wasaṯ dengan makna adil, yang kemudian berkomentar bahwa esensi Islam adalah
untuk menghilangkan segala ekstrimis dengan berbagai cara.15
Menurut Yûsuf al-Qardawi wasaṯiyah yang dapat disebut juga al-tawâzun,
yaitu upaya menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang berlawanan
atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegakan
yang lain. sebagai contoh dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan
materialisme, individualisme, dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis,
dan yang lain sebagainya. Bersikap seimbang dalam menyikapi yaitu dengan memberi
porsi yang adil dan proposional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa berlebihan,
baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit. Islam adaah jalan tengah disegala
hal, baik dalam konsep, akidah, Ibadah, perilaku, hubungan dengan sesama manusia
maupun dalam perundang-undangan. 16
Kata moderat dimaknai wasaṯ, seperti yang di jelaskan dalam buku Kontruksi
Islam Moderat bahwa kata moderat dalam bahasa arab dikenal dengan istilah al-
wasṯiyah. Dalam buku tersebut makna moderat adalah tindakan tidk terlalu ektrem ke
kanan (over-tekstul) dan ektrem ke kiri (over-kontekstual). Sikap moderat selalu
mengedepankan kompromi antara wahyu dan akal, karena kedua merupakan sumber
kebenaran yang datang dari Allah SWT, mengabaikan salah satu berarti mengabaikan
kebesaran Allah SWT.17
14 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-ṯabarî, Jamî’ al-Bayan ‘An Ta’wîl Ay al-Qur’ân, terj.
Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam 2007), h. 600. 15 Ali Nurdin, Qur’anic Society, (Jakarta: Erlangga 2005), h. 76. 16 al-Qarḏâwi, al-Khashaish al-‘Ammah li al-Islam, h. 127 . 17 Nursamad Kamba “Pengantar”, dalam buku Kontruksi Islam Moderat: Menguak Prinsip
Rasionalitas, Humanitas, dan Universalitas Islam (Makassar: ICATT Press 2012), h. 8
19
Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata wasaṯ berarti segala yang baik
sesuai dengan obyeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi diantara dua ektrem.
Keberanian adalah pertengahan sifat ceroboh dan takut, kedermawanan merupakan
pertengahan antara boros dan kikir, kesucian merupakan pertengahan antara
kedurhakaan yang menggebu karena dorongan nafsu dan impotensi. Dari sinilah, kata
wasaṯ berkembang menjadi makna tengah.18
Berdasarkan keterangan diatas, moderat dipandangan dari dua sudut pandang
pengertin yaitu moderat dalam sudut pandang agama Islam dan moderat dalam sudut
pandang Barat. Tentunya hal ini perlu di tegaskan bahwa moderat yang dimaksud
bukanlah pengertian Barat, akan tetapi moderat dalam pengertian Islam yang
mengacu pada makna wasaṯan.
Menurut Muhammad Abduh wasaṯ diartikan dengan umat yang adil dan
pilihan. Adil dalam artian menjaga diri dari sikap ifraṯ yaitu menambahkan sesuatu
dari perkara yang sudah ditetapkan agama, dan sikap tafriṯ dan taqsir yaitu sikap
mengurang-ngurangi apa yang sudah menjadi ketetapan dalam agama. Karena
perbuatan ifraṯ dan tafriṯ merupakan perbuatan yang jelek dan merusak. Sedangkan
sebagai umat pilihan yaitu berada pada posisi tengah diantara dua ujung dalam setiap
perkara atau berada ditengah diantara keduanya.19
3. Makna Ummatan Wasaṯan
Berdasarkan uraian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa makna ummatan
wasaṯan adalah umat Islam yang berada pada posisi tengah, seimbang, proporsional,
serta bersikap adil dalam menangani suatu persoalan baik daam konsep akidah,
18 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 327 19 Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar,Mathba’ah al-manar, Juz II (Mesir: Dâr al-Fikr 135),
h.4.
20
Ibadah, hubungan antar sesama manusia maupun dalam perundang-undangan
sehinggga menjadi umat yang terbaik dan paling sempurna.
Sebagaimana disebutkan dalam hadist, “sebaik-baik suatu perkara adalah berada
pada pertengahan” artinya, dalam menyikapi dan menyelesaikan suatu persoalan umat
moderat (wasṯiyah) melakukan pendekatan kompromi dan berada pada posisi tengah.
Begitupula dalam menyikapi perbedaan padangan baik dalam beragama maupun
bermazhab, ummatan wasaṯan bersikap toleransi, menghargai dan memegang prinsip
kebenaran dalam beragama maupun bermazhab sesuai dengan dasar atau landsan baik
naqli maupun aqli. Sehingga dapat menerima perbedaan dengan kepala dingin dan
terciptanya kondisi yang aman, tentram dan damai.20
B. Asbab An-Nuzul Surah al-Baqarah [2]: 143
Imam al-Qurṯûbî dalam tafsirnya menyebutkan para muffasir berpendapat
bahwa ayat 144 dalam surah al-Baqarah [2]lebih dahulu turun dari pada ayat
sebelumnya. Ayat khusus ini menjelaskan pemindahan arah kiblat shalat dari Baitul
Maqdis ke Ka’bah. Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî menjelaskan bahwa Ibn Ishâq berkata,
“Ismâ’il bin Khâlid memberi tahu saya dari Abû Ishâq dari al-Barra’, dia berkata,
“dulu Rasulullah saw shalat menghadap kearah Baitul Maqdis. Ketika itu beliau
sering melihat kearah langit menanti-nanti perintah Allah. Maka, Allah ta’ala
menurunkan firman-Nya:
“Kami melihat wajahmu(Muhammad) sering menengadah kelangit,
maka akan kami palingkan engkau kekiblat yang engkau senangi. Maka
hadapkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram...” (al-Baqarah [2]: 144)21
Ada perbedaan pendapat antara para muffasirin, namun mayoritas ulama
menyatakan berpendapat bahwa turunnya ayat 144 surah al-Baqarah [2] berawal dari
20 Amri Aziz dan Ahmad Baharuddin, ed “pengantar catatan editor” dalam; Andi Aderus
Banua dkk, Konstruksi Islam Moderat, h. 8. 21 Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, ter. Abdul Hayyie, cet. I (Jakarta:
Gema Insani, 2008), h 57.
21
penantian rasulullah akan turunnya perintah untuk memindah arah kiblat dari Baitul
Maqdis ke Ka’bah. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam al-Razi dalam tafsirnya
dengan beberapa alasan yang diantaranya bahwa Rasulullah lebih senang menghadap
Ka’bah dari pada Baitul Maqdis.
Kecondongan Rasulullah ini bukanlah tanpa alasan, Imam al-Râzî menyebut
bebrapa diantaranya karena kesombongan orang-orang Yahudi yang berkata bahwa
Rasulullah menyalahi agama mereka akan tetapi mengikuti kiblat mereka. Selain itu
kecenderungan Rasulullah pada Ka’bah dikarenakan pula Ka’bah merupakan
kiblatnya Nabi Ibrahim. 22
Maka, Nabi Muhammad saw menengadahkan wajahnya kelangit untuk
menhadap dan berharap akan turunnya perintah arah kiblat. Setelah melalui kurun
waktu antara enam belas atau tuju belas bulan sejak hijrahnya beliau ke Madinah,
perintah itu pun turun berupa ayat 144 dari surah al-Baqarah. Imam al-Bukhârî
meriwayatkan dari al-Barra’ Ibn Azib bahwasannya Nabi SAW shalatnya menghadap
baitul Maqdis selama eman belas atau tujuh belas bulan. Sedangkan beliau
menginginkan menghadap ke Baitullah (Ka’bah). Shalat beliau yang pertama kali
mengahdap Ka’bah yaitu shalat ashar berjama’ah. Kemudian salah seorang sahabat
yang shalat bersama nabi keluar dan melewati sekelompok sahabat dimasjid yang
tengah ruku’, iya berkata :”akau bersaksi dengan nama Allah, aku telah shalat
bersama nabi menghadap Makkah (Ka’bah)”, maka berputarlah mereka sebagaimana
mereka yang shalat bersama Nabi menghadap Baitullah. Dan orang yang telah wafat
sebelum arah kiblat pindah menghadap Makkah, yaitu orang-orang yang telah
terbunuh, kami tidak mengetahui apa yang kami katakan tentang mereka. Lalu allah
22 Abû Abdillâh Muẖammad Ibn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jilid II (Bayrût: Dâr al-
Hadîts, 1987), h. 403.
22
menurunkan: “dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah
maha pegasih lagi Maha penyayang kepada manusia”. (HR al-Bukhârî hadis no 40)23
Lalu seorang muslim berkata,” kami ingin tahu tentang orang-orang muslim
yang sudah meninggal sebelum kiblat kita berubah dan bagaimana sholat kita ketika
masih mengahadap kearah Baitul Maqdis?” maka Allah menurunkan Firmannya
”...dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu...” (al-Baqarah [2]:143)
Namun orang-orang yang akalnya kurang berkata, “apa yang membuat mereka
meninggalkan kiblat mereka sebelumnya ?” maka Allah menurunkan firmannya,
“orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata ....”, hingga akhir
ayat.24
Dari penjelasan diatas bahwa ayat 144,143,142 menjelaskan permasalahan
terkait pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah ketika Nabi berada di
Madinah. Pemindahan tersebut menimbulkan konflik sehingga memunculkan
keheranan dan teriakan ketidaksukaan bagi banyak orang. Orang-orang bodoh yang
berteriak dan terima tersebut di dalam al-Qur`an adalah orang-orang Yahudi. Sebab
itulah ayat 143 menerangkan kedudukan ummat Nabi Muhammad sebagai ummathan
wasaṯan yaitu ummat yang adil dan terpilih. Ini merupakan perbandingan dengan
ummat-ummat yang lain, yang dalam sejarah bahwa mereka yakni penentang dan
pendurhaka atas islam yang terdiri dari kaum kafir quraisy, munafiqin dan yahudi.25
Oleh karena itu, ummat Nabi Muhammad adalah ummat yang terbaik karena mereka
23 Jalâl al-Dîn al-Suyuṯî, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, h. 53. 24 Jalâl al-Dîn al-Suyuṯî, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, h. 57. 25SayyidQutub,Tafsir Fi Zilali al-Qur’an,diterjemahkan oleh As’ad Yasin dkk, Jilid. I
(Jakarta: Gema Insani, 2000) h. 157
23
dapat menerima ajaran Rasulullah SAW. Dan mereka telah berlaku adil terhadap
ajaran Allah SWT.26
C. Devariasi kata wasaṯ dalam al-Qur’an
Penulis telah menelusuri melalui kamus al-Qur’an Mu’jam al-Mufahros li alfadz
al-Qur’an al-Karim dengan menggunakan lafadz وسطط maka ditemukan beberapa
devariasi kata dalam al-Qur’an yaitu, Q.S al-Baqarah [2] : 238, Q.S al-Maidah [4]: 89,
Q.S al-Qalam [68]: 28 dan Q.S al-‘Adiyat [100]: 5. namun hanya satu yang tersanding
dengan kata ummat yaitu pada surah al-Baqarah [2]: 143.27
Penulis menelusuri setiap makna yang terkandung didalam al-Qur’an yang
menggunakan redaksi yang menggunakan kata dasar وسيط memiliki makna yang
bervariasi. Dalam Surah al-Baqaah [2] : 238 penggunaan kata الوسيى menunjukan
makna sholat wusṯa yang definisikan menurut para ulama adalah sholat ashar.
Kemudian dalam Surah al-Maidah [5]:89, menunjukan bahwa penggunaan kata اوسيط dengan makna sebaik-baik makanan yang kamu berikan kepada keluargamu, dalam
Surah al-Qalam [68]:28 menggunakan kata اوسيىم maknanya adalah orang-orang
bijak, dan pada Surah al-‘Adiyat [100]: 5 menggunakan kata فوسيى yang memilki
makna tengah-tengah musuh.28
D. Pandangan Mufassir terkait term ummatan wasaṯan
1. Imam al-Ṯabârî
Q.S al-Baqarah [2]: 143
26 Ismail bin Ibrahim, Konsep Wasathiyyah Perspektif Islam (Data Base), h. 2-3. 27 Muhammad Fuʽad ʽAbd al-Baqiʽ, al-Mu’jam al-Mufahras Lî al-Fâdz al-Qur’ân al-Karîm
(Istanbul Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1984), h. 750. 28 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahanya (Bandung: CV Darussunah, 2015)
24
“Dan demikian Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.”
Menurut al-Ṯabârî (w. 310 H) adapun arti firman Allah وكذالك جعليكم اميو وسيى adalah sebagaimana Kami tunjukan kalian wahai oran-orang yang beriman kepada
Nabi Muhammad SAW dan wahyu yang dibawanya dari sisi Allah, maka Kami
mengkhususkan, untuk menunjukan ke arah kiblat dan agama Ibrahim, dan Kami
mengutamakan kalian dari pada pengikut agam lain, begitu juga kami mengutamakan
kalian dengan menjadikan umat yang moderat.29
Menurut orang arab makna الوس dengan makna pilihan, seperti kata فالن وسط maksdunya hidup sedang-sedang, apabila mereka ingin menaikan taraf فيي قوميي
hidupnya, dan dia adil, tidak berat sebelah. Al-ṯhabari berpendapat bahwa melihat dari
ayat ini makna kata الوسيط artinya adalah bagian yang terletak diantara dua sisi,
seperti وسيط اليرا (ruang tengah). Al-ṯhabari juga melihat jika Allah mengatakan umat
ini adalah اميو وسيى karena mereka berimbang dalam agama, tidak berlebih-lebihan
sebagaimana orang-orang Nasrani dan Yahudi. Allah juga mensifati umat ini dengan
29 Abû Ja’far Muẖammad bin Jarîr al-Ṯabarî, Jamî’ al-Bayân ‘An Ta’wil Ay al-Qur’ân, penerj.
Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 601-602
25
dikarenakan perkara yang paling disukai Allah adalah tengah-tengah امييو وسييى
(seimbang).30
Penakwilan kata الوسيط yang artinya adalah adil, dan inilah makna sebanarnya
dari الخييي (Pilihan), karena manusia yang dijadikan pilihan disebabkan karena
keadilan mereka. Ulama yang berpendapat الوسيط adalah adil, menyebutkan riwayat
sebagai berikut:
ثيك س ل ب جك دة، وييعقوب ب إبيراهي ، ق ل: ثك حفص ب غي ث، ع العمش، ع أب ص لح،حروسل ف قيول : " }وكذلك جعلك ك أمو وسى { ]البقرة: ع أب سعير، ع الكب صل الل علي
عرول »[ ق ل: 341”Salim bin Junadah dan Ya’qub bin Ibrahim menceritakan kepada kami,
katanya: Hafs bin Ghiyats menceritakan kepada kami, dar ‘Amash, dari Abi
Shalih, dari Abi Sa’id dan Nabi SAW, tentang firman Allah ( مو وكذلك جعلك ك أ اوسط ) katanya :artinyya “Keadilan”
ثيك ص لح، محمر ب بش ق ل: حرثك مؤمل ق ل، حرثك سفي ن، ع العمش، ع أب حر ع أب سعير الخر ي:"وكذلك جعلك ك أمو وسى " ق ل،"عرول
“Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, katanya:
Mu’ammal menceritakan kepada kami, katanya : Sufyan menceritakan kepada
kami, dari A’masy dari Abi Shilih dari Sa’id al Khudri, tentang firman Allah
berkata, “Adil.” 31 وكذلك جعلك ك أمو وسى
2. Al-Qurṯubi (Tafsir al-Jâmi’ Li ahkam al-Qur’an)
Menurut al-Qurtubi (w. 671 H) makna dari firman Allah وكذالك جعلكم امو وسى ialah sebagaimana Allah menjadikan Ka’bah merupakan tengah-tengah bumi, maka
30 Abû Ja’far Muẖammad bin Jarîr al-Ṯabârî, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Qur’an, h.
601. 31 Abû Ja’far Muẖammad bin Jarîr al-Ṯabârî, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Qur’an, h.
602.
26
dengan demikian Allah pun menjadikan umat Islam umat yang pertengahan, yaitu
berada dibawah para Nabi dan di atas umat lain.32
Kemudian menurut al-Qurṯubî sendiri makna الوسط adalah adil, asal dari kata ini,
bahwa sesuatu yang paling terpuji adalah yang pertengahan. Al-Qurṯubî memberikan
perumpamaan posisi pertengahan dengan sebuah lembah, dikatakan bahwa
pertengahan lembah yang paling subur dan penuh dengan air adalah bagian
tengahnya. Mana kala pertengahan itu jauh dari berlebihan dan melampaui batas,
maka ia menjadi terpuji. Maksudnya adalah umat Islam ini tidak melakukan hal
berlebihan sebagaimana umat Nasrani berlebihan dengan para Nabi mereka, dan juga
tidak melampaui batas sebagaimana yang dilakukan umat Yahudi melampaui nabi
mereka.
Dalam hadist dinyatakan:
“Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya” dalam hadist ini pun diriwayatkan
dari Ali,” Tetaplah kalian pada namth yang paling pertengahan, karena
sesungguhnya kepadanyalah yang tinggi akan turun, dan kepadanya pula yang renda
akan naik”.33
3. M. Quraish Shihab (Tafsir al-Mishbah)
M. Quraish Shihab mendefinisikan ummatan wasaṯan dengan umat pertengahan
(moderat) dan tekadan sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada dipertengahan bumi.
Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu
hal di mana dapat mengatur manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan
seseorang dapat dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia
dapat menjadi teladan bagi semua pihak.34
32 al-Qurṯubî, al-Jâmiʽ Li Ahkâm al-Qur’ân, penerj. Fathurahman, Ahmad Hotib (Jakarta:
Pustaka Azzam 2007) h. 358-360 33 al-Qurṯubî, al-Jâmiʽ Li Ahkâm al-Qur’ân, penerj. Fathurahman Ahmad Hotib, hal 358-360 34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Ciputat: Lentera Hati 2010) h. 414-415.
27
Ada juga yang memahami ummatan wasaṯan dalam arti pertengahan dalam
pandangan terhadap dunia dan Tuhan. Tidak mengingkari wujud tuhan, tetapi juga
tidak menganut paham politeisme (banyak Tuhan). pandangan Islam adalah Tuhan
Maha Wujud, dan Dia Yang Maha Esa. Pertengahan juga adalah pandangan umat
Islam tentang kehidupan dunia ini; tidak mengingkari dan menilainya maya, tetapi
tidak juga berpandangan bahwa kehidupan dunia adalah segalanya. Pandangan Islam
selain hidup di dunia juga ada hidup di akhirat. Keberhasilan hidup diakhirat
ditentukan dengan amal sholeh dan iman didunia. Manusia jugatidak boleh tenggelam
dalam materialisme, tidak juga membumbung tinggi dalam spiritualisme, ketika
pandngan mengarah kelangit, kaki harus berpijak dibumi. Islam mengajarkan
umatnya agar meraih materi yang bersifat duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi.35
4. Hamka ( Tafsir al-Azhar)
Hamka mendefinisikan ummatan wasaṯan sebagai umat Nabi Muhammad
yang menempuh jalan lurus, berada pada posisi tengah, bukan terpaku kepada dunia
sehingga diperhamba oleh benda dan materi, walaupun dengan demikian akan
menghisap darah sesama manusia. Dan bukan pula semata-mata mementingkan
rohani, sehingga tidak bisa dijalankan, sebab tubuh kita masih hidup. Didalam ibadah
shalat mulai jelas pertemuan diantara keduanya itu; shalatt dikerjakan dengan badan,
melakukan berdiri ruku’ dan sujud, tetapi semuanya itu hendaklah dengan hati yang
khusyu’.36
Nampak pula pada peraturan zakat harta benda. Orang baru dapat berzakat
apabila dia kaya raya, cukup harta menurut bilangan hisab. Dan bila datang waktunya
hendaklah dibayarkan kepada fakir-miskin. Artinyam carilah harta benda dunia ini
sebaanyak-banyaknya, dan kemudian berikanlah sebagian daripadanya untuk
35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 414-415. 36 Hamka, Tafsir al-Azhar,juz 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas 2005) h. 34.
28
menegakkan amal dan ibadah kepada Allah dan untuk membantu orang yang patut
dibantu.37
Nampak pula pada peraturan di hari jum’at. Dihari itu pagi bolehlah bekerja
keras mencari rizki, berniaga dan bertani dan lain-lain. Tetapi setelah datang seruan
jum’at maka hendaklah segera berangkat menuj tempat shalat, untuk menyambut dan
mengingat Allah. Dan setelah selesai shalat, segeralah keluar dari masjid untuk
bekerja dan bergiat lagi.38 Ini menunjukan jalan tengah diantara tiga agama serumpun.
Dalam pada itu secara luas dapat pula kita tilik pandnagan hidup barat yang-
dipelopori oleh alam fikiran Yunani yang lebih emmentingkan fikiran (filsafat), dan
alam fikiran yang dipeopori oleh India purba yang memandang bahwa dunia ini
adalah maya semata-mata, atau khayal. Sejak dari itu ajaran Upanisad sampai ajaran
Veda, dari Persia dan India, disambung lagi dengan ajaran Budha Gautama, semua
lebih mementingkan kebersihan jiwa, sehingga jasmani dipandang sebagai jasmani
yang menyusahkan.39
Bangkitnya Nabi Muhammad saw. dipadang pasir Arabia itu, adalah
membawa ajaran bagi membangunkan ummatan wasaṯan, suatu umat yang
menempuh jalan tengah, menerima hidup didalam kenyataan. Percaya kepada akhirat,
lalu beramal di dalam dunia ini. mencari kekayaan untuk membela keadaila,
mementingkan kesehatan jamsani dan rohani, karena kesehatan yang satu dan lainya
berkaitan. Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan menguatkan inadah untuk
menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan sebanyk-banyaknya karena kekayaan
adalah alat untuk berbuat kebaikan. Menjadi khalifah Allah diatas bumi, ntuk bekal
menuju akhirat, karena kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Selama
37 Hamka, Tafsir al-Azhar,juz 2, h. 34. 38 Hamka, Tafsir al-Azhar,juz 2, h. 35. 39 Hamka, Tafsir al-Azhar,j uz 2, h. 36.
29
umat ini menempuh Sirâṯ al-Mutaqîm (jalan yang lurus) maka selama itu pula mereka
akan menjadi ummat jalan tengah.40
40 Hamka, Tafsir al-Azhar,juz 2, h. 36.
30
BAB III
PENAFSIRAN UMMATAN WASAṮAN DALAM AL-QUR’AN MENURUT
MUHAMMAD ABDUH DAN SAYYID QUṮB
A. Muẖammad Abduh
1. Riwayat Hidup
Muẖammad ʿAbduh merupakan seorang pendidik yang memiliki dedikasi
terhadap ilmu pengetahuan, beliau juga seorang Mufti ’Alim, teolog dan tokoh
pembaharu Islam terkemuka di Mesir. Nama lengkap beliau adalah Muẖammad
ʿAbduh bin Hasan Khairullâh, lahir pada tahun 1849 M di Mahallat al-Nasr
daerah kawasan Sibrakhait Provinsi al-Bukhairah Mesir.1
Orang tuanya berasal dari bangsa yang berbeda, ayahnya Hasan Khairullâh
berasal dari Turki sedangkan Ibundanya Junainah berasal dari bangsa Arab
melalui kabilah Adî yang memiliki nasab keturunan ke suku bangsa yang sama
dengan Umar bin Khattab.2 Masa kelahiran Muẖammad ʿAbduh diliputi polemik
negara, yang pada waktu itu Mesir dipimpin oleh Muhammad Ali Pasha
memberlakukan sistem perpajakan yang memberatkan penduduk Mesir.3
Sehingga penduduk Mesir yang kebanyakan petani itu kemudian selalu berpindah-
pindah tempat untuk menghindari beban berat yang dipikul atas mereka. Tak
terkecuali orang tua Muẖammad ʿAbduh yang bermata pencaharian sebagai petani
pun selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan kejadian itu
1 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.
11 2 Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid, Diterjemahkan oleh K.H Firdaus A.N (Jakarta:
Bulan Bintang, 1989), h. 7. 3 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 58
31
berlangsung kurang lebih setahun lama baruu kemudian orang tua Muẖammad
ʿAbduh menetap di Desa Mahallat al-Nasr dengan membeli sebidang tanah.4
Muẖammad ʿAbduh dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani, ayah
dan ibunya bukan lah dari kalangan akademisi yang memiliki hubungan dengan
dunia pendidikan akan tetapi memiliki jiwa keagamaan yang teguh. Di desa
dimana mereka tinggal, ayahnya terkenal suka memberikan pertolongan.
Muẖammad ʿAbduh berkata:
“...Saya beranggapan bahwa ayahku adalah manusia termulia di kampung
saya. Lebih jauh, beliau saya anggap manusia termulia di dunia ini. karena ketika
itu saya mengira dunia itu tidak lain kecuali kampung Mahallat Nasr. Pada saat itu
pejabat yang berkunjung ke desa Mahallat Nasr lebih sering mendatangi dan
menginap di rumah kami dari pada di rumah kepala desa, walaupun kepala desa
lenih kaya dan mempunyai banyak rumah serta tanah. Hal ini yang menimbulkan
kesan yang dalam atas diri saya bahwa kehormatan dan ketinggian derajat bukan
ditentukan oleh harta atau banyaknya uang. Saya juga menyadari, sejak kecil
betapa teguhnya ayahkudalam pendirian dan tekad serta keras dalam perilaku
terhadap musuh-musuhnya. Semua itulah yang kutiru dan kuambil, kecuali
kerasnya.” 5
Setelah menyeselsaikan belajar di masjid Ṯanta bersama Syekh Ahmadi.
Muẖammad ʿAbduh melanjutkan belajar di Univesitas al-Azhar, Kairo, Mesir
pada tahun 1866 M. Dalam proses belajarnya di al-Azhar, Muẖammad ʿAbduh
kembali menemukan metode pembelajaran yang di nilainya tidak efektif. Menurut
Muẖammad ʿAbduh “kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-
pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka pada usaha penelitian,
perbandingan, dan penarjihan”6
Selama belajar di al-Azhar Muẖammad ʿAbduh berkenalan dengan Syaikh
Hasan al-Ṯawil seorang dosen yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karya Ibnu
Sina, Logika karya Aristoteles yang pada waktu itu tidak menjadi kurikulum di al-
4 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 6 5 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar, h. 6 6 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar, h 8
32
Azhar, dan Muhammad al-Basyumi seorang dosen yang banyak mencurahkan
perhatian dalam bidang sastra dan bahasa, bukan hanya melalui pengajaran tata
bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikan.7
Pada Tahun 1871 Muẖammad ʿAbduh bertemu dengan Jamaluddin al-
Afghani dalam pertemuan- pertemuan ilmiah yang diadakan al-Afghani.
Jamaluddin al-Afghani memiliki peran dalam mengalihkan kecenderungan
Muẖammad ʿAbduh dari tasawuf-dalam arti yang sempit dan dalam bentuk tata
cara berpakaian dan dzikir- kepada tawasuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan
untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju
serta membela ajaran-ajaran Islam.8
Pada tahun 1877 Muẖammad ʿAbduh dinyatakan lulus tingkat Amlamiyah
(sekarang L.C,) dari al-Azhar pada usia 28 tahun, kemudian mengabdikan diri
sebagai pengajar di al-Azhar dengan mengajar mantiq (logika) dan ilmu al-kalam
(Teologi). Disamping mengajar di al-Azhar, Muẖammad ʿAbduh juga mengajar
kitab Tahdzîb al-Akhlâq karangan Ibnu Miskawih serta Sejarah Peradaban
Kerajaan-Kerajaan Eropa di rumahnya. Kemudian pada tahun 1878, Muẖammad
ʿAbduh diangkat sebagai pengajar sejarah di sekolah Dâr al-Ulûm dan Ilmu
Bahasa Arab di Madrasah al-Idarah wa al-Alsun. 9Setahun kemudian Muẖammad
ʿAbduh diberhentikan sebagai tenaga pengajar di kedua sekolah tersebut dan
diasingkan ke tempat kelahirannya di Mahallat Nashr dikarenakan hasutan
Inggris. Pada tahun 1880, Muẖammad ʿAbduh di bebaskan dan diberikan
7 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar, h.
8-9 8 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar, h. 9 9 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar, h. 9
33
kepercayaan menjadi pimpinan surat kabar resmi milik pemerntah Mesir yaitu al-
Waqâ’i al-Misriyah.
Dua tahun memimpin surat kabar, Muhamaad Abduh kembali diasingkan
karena terlibat dalam Revolusi Urabi selama tiga tahun serta diberi hak memilih
tempat pengasingannya dan dia memilih Suriah. Di negara ini, Muẖammad
ʿAbduh menetap selama satu tahun. Kemudian menyusul gurunya Jamaluddin al-
Afghani di Paris. Dari sana mereka berdua menerbitkan surat kabar al-‘Urwah al-
Wutsqâ, yang bertujuan mendirikan pan-Islam serta menentang penjajah Barat,
Khususnya Inggris.10
Pada Tahun 1884 Muẖammad ʿAbduh meninggalkan Paris menuju Beirut
(Lebanon) mengajar disana dan mengarang buku. Di Beirut, aktivitas Muẖammad
ʿAbduh tidak hanya mengajar saja, tetapi mendirikan suatu organisasi bersama
tokoh agama lain yang bertujuan menggalang kerukunan antar umat beragama.
Organisasi ini telah membuahkan hasil positif, yaitu dimuatnya artikel-artikel
yang bersifat menonjolkan ajaran-ajaran Islam secara objektif pada media massa
di Inngris, padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa. Namun dalam
perjalanannya, Pemerintah Turki di Beirut menilai bahwa organisasi ini memiliki
tujuan politik sehingga mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut
hukuman pengasingan dan mengembaikannya ke Mesir.11
Pada Tahun 1888, Muẖammad ʿAbduh kembali ke tanah airnya dan diberi
tugas oleh pemerintah Mesir sebagai hakim di pengadilan Daerah Banha.
Beberapa kali Muẖammad ʿAbduh di pindah tugaskan, sampai akhirnya dia
10 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar, h.
10-11 11 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar, h.
12
34
ditugaskan di pengadilan Abidin, Kairo. Kemudian, pada tahun 1899 Muẖammad
ʿAbduh diangkat menjadi Mufti kerajaan Mesi dan pada tahun yang sama pula
diangkat sebagai anggota Majlis Syura Kerajaan Mesir, seksi perundang-
undangan.12
Dan pada tahun 1905, Muẖammad ʿAbduh mencetuskan sebuha ide
pembentukan Universitas Mesir, disambut antusian oleh masyarakat maupun
pemerintah Mesir. Sehingga disesiakan sebidang tanah untuk dibangun niversitas
tersebut. Namun sayang, Universitas tersebut baru berdiri setelah Muẖammad
ʿAbduh wafat. Dan kemudian Universitas inilah yang kemudian menjadi
“Universitas Kairo”13Pada tanggal 11 Juli 1905, pada masa puncak aktivitasnya
membina umat, Muẖammad ʿAbduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang
menyisakan luka yang mendalam bagi Mesir. Bukan hanya umat Islam yang
berduka tetapi sekian banyak tokoh non-Muslim pun ikut berduka. 14
2. Karya-karya
Muẖammad ʿAbduh memiliki banyak karya tulis mengenai aliran-aliran
filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawwuf. Adapun karya-karya beliau seperti :
a. Risalah al-‘Aridah pada tahun 1873 M
b. Hasyiah Syarah al-Jalâl al-Diwani li al-`Aqâid al-Aḏudiyaj pada tahun
1875. Karya ini ditulis ketika Muẖammad ʿAbduh berusia 26 tahun. Isi
dari karang tersebut adalah aliran-aliran filsafat, Ilmu Kalam, dan
Tasawuf.
12 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar, h.
12 13 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar,
h.12-13 14 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Terhadap Tafsir al-Manar,
h.13
35
c. Risalah al-Tauhid karya ini berisikan bidang Aqidah
d. Syarah Najhu al-Balaghoh karya ini berisikan tentang komentar-komentar
seputar pidato dan upacara Imam ʿAli bin Abî Ṯalib
e. Syarah Maqamat Badi’ al-Zaman am-Hamazani karya ini berisikan
tentang tata bahasa dan sastra Arab
f. Penterjemahkan kitab karangan Jamaluddin al-Afghani yaitu al-Raddu
‘Ala al-Dahriyyah dari bahasa Persia ke bahasa Arab. Isi dari buku ini
berkaitan tentang bantahan terhadap orang yang tidak percaya akan wujud
Tuhan
g. Tafsir al-Manar, Karya ini berorientasikan pada sastra-budaya dan
kemasyarakatan.15
3. Metode dan Corak Penafsiran
Metode penulisan Tafsîr al-Manâr dikatagorikan sebagai tafsir yang
menggunakan metode analatik (Tahlili). Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari
sitematikanya mengikuti sistematikan mushaf dan dibahas secara mendalam dan
menyeluruh. Bahkan metode Muẖammad ʿAbduh dalam menafsirkan al-Qur’an
disandarkan pada sejumlah dasar pokok, yaitu16 :
a. Memandang setiap surat dalam al-Qur’an merupakan satu kesatuan ayat
terpadu
b. Kandungan ajaran al-Qur’an berlaku umum untuk sepanjang masa
c. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama bagi syari’ah
d. Perlunya memerangi sikap taqlid umat Islam
15 Quraish Shihab, Rasionalitas al Qur’ân: Studi Kritik terhadap Tafsir al Manâr
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.11-15. 16 Mannaʿ al-Qaṯṯân, Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h.
112-113.
36
e. Pentingnya pendayagunaan metode akal dalam penalaran dan pengunaan
metode ilmiah
f. Bersandar pada otoritas akal dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
g. Tidak menjelaskan secara rinci persoalan mubham
h. Bersikap sangat hati-hati terhadap tafsir bi al-ma’tsur terdahulu karena
terdapat israiliyyat
i. Pentingnya tercipta keteraturan hidup masyarakat yang mengacu kepada
petunjuk-petunjuk al-Qur’an
Dalam penafsiran al-Qur’an Muẖammad ʿAbduh dikenal sebagai mufassir
yang mempelopori pengembangan tafsir yang bercorakan al-Adabî al-Ijtimâi atau
tafsir yang berorientasikan pasa sastra, budaya dan kemasyarakatan. Adapun
corak penafsiran al-Adabî al-Ijtimâi mengandung ciri-ciri utama sebagai berikut :
1. Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an
2. Penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang mudah
difahami
3. Adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-
hukum alam yang berlaku di masyarakat.
4. Aksentuasi yang menonjol pada utama diuraikannya al-Qur’an17
Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi, Muẖammad ʿAbduh dengan metode
penafsirannya telah melahirkan aliran atau corak baru dalam sejarah penafsiran al-
Qur’an. Yang menurutnya aliran tersebut diberi nama al-Adâbi al-Ijrima’i, yaitu
metode pengkajian al-Qur’an dengan mengungkapkan kecermatan bahasa,
kemudian menyusun makna-makna yang di maksud dengan menarik, kemudian
17Abdurahman Rusli Tanjung, “Analisis Terhadap Corak Tafsir al-Adâby al-Ijtima’I,
Analytica Islamica, Vol.3, (10 Mei 2014) :h, 46..
37
berusaha melakukan ekploitasi penerapan nahs al-Qur’an sesuai dengnn
kenyataan dan hukum-hukum kemasyarakatan yang berlaku untuk membangun
peradaban.
Aliran yang di inisiasi oleh Muẖammad ʿAbduh ini menurut al-Dzahabi
memiliki kebaikan-kebikan juga kecacatan, adapun kebaikan yang ditunjukan
adalah18 :
1. Tidak terpengaruh oleh Madzhab
2. Bersikap kritis terhadap riwayat-riwayat Israiliyat
3. Tidak tertipu oelh hadits-hadits dha’if dan maudhu’
4. Menggunakan keindahan bahasa dan kemukzijatan al-Qur’an
5. Menawarkan solusi bagi problem-problem yang dihadapi kaum muslim
pada khususnya dan bangsa-bangsa diseluruh dunia pada umumnya.
6. Memadukan al-Qur’an dengan teori-teori Ilmu pengetahuan yang valid.
Sedangkan keburukan atau kecatatan yang dimiliki dalam penafsiran
Muẖammad ʿAbduh adalah sikapnya memberikan kebebasan yang besar terhadap
akal.
4. Sumber Penafsiran
Fungsi al-Qur’an sebagai sumber petunjuk hidayah yang menjadi tujuan
penafsiran al-Manar tidak akan tercapai tanpa pendekatan yang tepat disertai
sumber-sumber yang memadai. Adapun dua sumber pengetahuan yang digunakan
dalam penulisan al-Manar, yaitu:
18 Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz 2 (Kairo: Dar al-Kutb
al-Hadistah 2001) h. 405-422
38
1. Pengetahuan Kebahasaan
Keilmuan Bahasa terdiri dari dua kajian, yaitu kajian semantic dan kajian
sastera dikalangan Arab. Dalam ha ini perlu dilakukan kajian secara intensif dan
tidak cukup hanya percaya kepada perkataan orang. Kajian ini diperlukan untuk
mengingat banyak kata-kata al-Qur`an yang pada masa pewahyunya digunakan
dengan banyak arti tertentu. Dan pada perkembangan berikutnya digunakan
dengan makna lain. Cara terbaik dalam memahami ayat adalah dengan
manafsirkan ayat tersebut sesuai dengan arti kata pada masa pewahyuannya atau
lebih baik dengan manafsirkan ayat atas dasar penggunaan kata-kata itu sendiri
dala al-Qur`an yang berserahkan diberbagai ayat-ayatnya.19
Muẖammad ʿAbduh sangat memperhatikan ilmu kebahasaan dalam
menafsirkan. Kajian semantik dilakukan Muẖammad ʿAbduh untuk mengetahui
arti kata-kata yang berlaku dikalangan Arab. Kajian ini diperlukan mengingat
banyak kata-kata al-Qur’an pada masa pewahyuan dengan arti tertentu, ternyata
dalam perkembangan berikutnya digunakan untuk makna lain. Cara terbaik dalam
memaknai ayat adalah dengan menafsirkan sesuai arti kata tersebut pada masa
pewahyuan, atau lebih baik lagi dengan menafsirkan ayat atar dasar penggunaan
kata-kata ituu sendiri dalam al-Qur’an yang berserakan diberbagai ayat-ayatnya.
Sedangkan kajian sastra diarahkan untuk mengetahui gaya bahasa al-Qur’an
yang tinggi dalam rangka menemukan maksud Allah. Meski makna hakiki tidak
tercapai namun melalui kajian ini fungsi kehidayahan al-Qur’an akan dapat
difahami.
2. Keilmuan sosio-historis
19 Abd al-Hay al-Farmâwi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mauḏûʿi, (Kairo: al Hadraf al-
Arâbiah, 1977), h. 23.
39
Pendekatan ini sendiri terdiri dari tiga kajian, yaitu:
a. Kajian tentang kehidupan manusia sepanjang sejarah
b. Kajian tentang latar belakang mengapa manusia diberi petunjuk
c. Kajian tentang Nabi Muhammad dan sejarahnya.
B. Sayyid Quṯb
1. Riwayat Hidup
Memiliki nama lengkap Sayyid Quṯb Ibrâhîm Husain Syadzilî. Lahir di
Mausyah, salah satu wilayah provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Beliau lahir
pada tanggal 9 Oktober 1906. Kakeknya yang keenam, al-Faqîr Abdullâh, datang
dari India ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia meninggalkan
Mekkah dan menuju dataran tinggi Mesir. Kakeknya merasa takjub atas daerah
Mausyah dengan pemandangan-pemandangan, kebun-kebun serta kesuburannya.
Maka akhirnya ia pun tinggal disana. Di antara anak turunnya itu lahirlah Sayyid
Quṯb.20
Beliau merupakan anak tertua dari lima bersaudara; dua laki- laki dan tiga
perempuan. Ayah Quṯb adalah seorang anggota Partai Nasionalis Mustafa Kamil
dan pengelola majalah al-Liwā.21 Ibunya adalah seorang wanita ṣaleḥah. Ia sangat
bersemangat untuk melakukan kebaikan, bersikap lembut terhadap orang-orang
miskin dan orang-orang yang membutuhkan, serta senantiasa taqarrūb
(mendekatkan diri) kepada Allah Swt. dengan berbagai amal shaleh. Beliau
menanamkan kepada putra-putranya sifat-sifat yang mulia, seperti kejujuran dan
keikhlasan, kebersihan dan kesucian, keperkasaan dan kemuliaan. Maka anak-
20 Shalah Abduh Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir fi Zilal al-Quran Sayyid
Quth (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 23 21 Abduh Mustaqim, dkk. Stusi al-Qur`an Kontemporer (Yogyakarta, Tiara Wacana,
2002), h.. 111.
40
anaknya pun, khususnya Sayyid Quṯb, tumbuh di atas makna-makna ini yang
tidak mereka tinggalkan sepanjang hidup mereka.22
Sayyid Quṯb sudah menghafal al-Qur’an dan menguasai Bahasa Arab
ketika usia 11 tahun23. Pada usia 13 tahun Sayyid Quṯb dikirim oleh orang tuanya
ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan24. Di Kairo ia kuliah di Dâr al-Ulȗm
dengan mengambil jurusan sastra. Dikampus ia mendapatkan pengaruh pemikiran
kaum Nasionalis liberal, yang berpengaruh di kehidupan intelaktual Mesir tahun
1920-an. Pada masa ini, ia mengenal ide pemikiran sekuler yaitu tentang
pemisahan agama dan budaya. Tokoh yang mempengaruhi adalah ‘Abbas
Mahmud al-‘Aqqad yang memiliki kecenderungan pendekatan barat. Bersama
pemikiranya, Sayyid Quṯb sangat berminat sastra inggris dan mengagumi Barat.25
Bahkan, ia aktif menulis dan tulisannya mampu menembus majalan al-Ahrâm di
Mesir. 26
Pada tahun 1948-1950, Sayyid Quṯb mendapat tugas belajar metode
pendidikan Barat di Amerika.27 Disana ia masuk dua Universitas sekaligus yaitu,
University of Nothern Colorado’s Teachers College dan Standfort University, dari
kedua Universitas ini ia mendapatkan gelar M.A. selain ke Amerika, Sayyd Quṯb
juga berkunjung ke Swiss, Inggris dan Italia.28 Terlihat pada masa-masa ini
22 Shalah Abduh Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir fi Zilal al-Quran Sayyid
Qutb, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 24. 23 Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb ; Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta,
Perspektif, 2005), h.16-17 24 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb” dalam
Jurnal Episteme, vol.11 (1 Juni 2016): h. 5. 25 Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb ; Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta:
Perspektif, 2005), h. 17. 26 Muhammad Sayyid al-Wakil, Pergerakan Islam terbesar Abad ke 14 H; Studi Analisis
Terhadap Gerakan Ikhwan al-Muslimin, terj. Facruddin (Bandun: Syamaail Press, 2001), h. 220. 27 Muhammad Sayyid al-Wakil, Pergerakan Islam terbesar Abad ke 14 H; Studi Analisis
Terhadap Gerakan Ikhwan al-Muslimin, terj. Facruddin (Bandung: Syamaail Press, 2001), h. 41 28 Saiful Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an,(Yogyakarta, Pustaka Insani Madani,
2008), h. 183
41
Sayyid Quṯb masih menjalin keakraban dengan pemerintahan. Padahal, pada masa
1945-1953 (Pasca Perang Dnuia II) Mesir dalam kondisi karut-marut disebabkan
ketidak mampuan penguasa mencapai kesepakatan tentang pilihan merevisi atau
menghapus perjanjian 1936 antara Mesir dengan Inggris. 29
Keberadaan Sayyid Quṯb di Amerika bertepatan dengan pendirian negara
Israil yang telah di setujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada saat
yang bersamaan terjadi perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Mesir yang
di pimpin oleh Nasser lebih condong kepada Uni Soviet dan negara ini semakin
terpengaruh dengan pemerintahan gaya sekuler.30Ketika berada di Amerika,
menemukan hal-hal yang diluar dugaannya, melihat kegersangan moral.
Meruaknya minum-minuman keras dan sex bebas merupakan praktik-praktik yang
sering ia temui. Sampai pada suatu ketika Sayyid Quṯb ditemui oleh wanita-
wanita penggoda ketika berada di kapal Amerika, sehingga timbul kekecewaan
terhadap realitas peradaban Barat yang selama ini ia kagumi.
Tidak cukup sampai disitu, Sayyid Quṯb merasa semakin muak dengan ia
menyaksikan berbagai pemberitaan dan film yang anti Arab, melecehkan kaum
Muslimin dan pro-Yahudi. Kemudian, hati Sayyid Quṯb semakin membara ketik
orang Amerika berbahagia atas di hukum matinya Hasan al-Banna31, seorang
tokoh pergerakan Islam ternama yang mendirikan Ikhwan al-Muslimin.32
29 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb”, h. 6. 30 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb”. h. 6. 31 Hasan al-Banna (1906-1949) adalah tokoh pergerakan dan pembaharuan Mesir serta
pendiri Ikhwan al-Muslimin. Ia mendirikan Ikhwân al-Muslimîn dilatarbelakngi oleh kondisi
masyarakat dan [emerintah Mesir yang menurutnya semakin jauh dari aturan-aturan Islam. Ia
meninggal di sinyalir meninggal karena di tembak oleh anggota dinas Rahasia pemerintah pada 12
Februari 1949. Lihat, Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid
Quṯb”, h. 7 32 Ikhwân al-Muslimîn merupakan organisasi Islam terbesar di dunia yang ber gerak
dibidang dakwah Islam yang beraliran Sunni di Mesir. Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep
Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb, h. 6.
42
Setelah menyaksikan kebiadaban yang di lancarkan oleh Barat, Sayyid
Quṯb berpindah haluan yang awalnya mengagumi Barat menjadi seorang yang
mati-matian membela Islam melalui pergerakan Ikhwan al-Muslimin. Pada tahun
1951 Sayyid Quṯb terpilih sebagai anggota pelaksana dan memimpin bagian
dakwah. Dari sini, ia sering menghadiri konfrensi Yordania dan Suriah, dalam
konferensi tersebut ia sering berceramah yang isinya menekankan pentingnya
akhlak sebagai prasyarat kebangkitan umat.
Pada tahun 1954, Sayyid Quṯb terpilih menjadi pimpinan redaksi harian
Ikhwan al-Muslimn, akan tetapi, setelah dua bulan ia menjabat, harian itu ditutup
oleh presiden Gamal Abdul Nasser yang dianggap mengancam perjanjian Mesir-
Inggris. Tak lama setelah harian ditutup, organisasi Ikhwân al-Muslimîn di larang
oleh Gamal Abdul Nasser yang dianggap organisasi tersebut tidak pro-pemerintah
dan berusaha menjatuhkannya. Karena alasan itu, pada tahun 1955 Sayyid Quṯb di
tahan. Pada 13 Juli 1955 pengadilan menjatuhkan hukuman kerja berat selama
lima belas tahun. Akan tetapi pada tahun 1964 ia dibebaskan atas permintaan
presiden Irak Abd al-Salâm ‘ Arif yang mengadakan kunjungan muhibah ke
Mesir.33
Setahun setelah pembebasan Sayyid Quṯb kembali ditahan bersama tiga
saudaranya dan 20.00 orang lainnya, dianggap menulis buku provokatif Ma’âlim
fi al-Ṯariq yang membahayakan eksistensi pemerintahan Nassir. Hingga akhirnya,
pada Senin, 29 Agustus 1966 Sayyid Quṯb dijatuhi hukuman gantung bersama dua
temannya, Abd al-Fattâh Isma’il dan Muhammad Yûsuf Hawwasi.34
33 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb”, h. 8 34 Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb; Biografi dan Kejernihan Pemikirannya (Jakarta:
Perspektif, 2005), h. 45.
43
2. Karya-karya
Adapun karyakarya buku hasil torehan Sayyid Quṯb adalah sebagai
berikut:35
a. Muhimmah al-Sya’ir fî al-Hayah wa Syi’ir Al-Jail Al-Haḏir, tahun terbit
1933.
b. al-Saṯi’ Al-Majhul, kumpulan sajak Quthb satu-satunya, terbit Februari
1935.
c. Naqd Kitab “Mustaqbal al-Tsaqâfah di Mishr” li Ad-Duktur Thaha
Husain, terbit tahun 1939.
d. al-Taswir al-Fanni fî al-Qur’ân, buku Islamnya yang pertama, terbit April
1954.
e. al-Aṯyâf al-Arbaʿah, ditulis bersama-sama saudaranya yaitu Aminah,
Muhammad dan Hamidah, terbit tahun 1945.
f. Tilf min Al-Qaryah, berisi tentang gambaran desanya, serta catatan masa
kecilnya di desa, terbitan 1946.
g. al-Madinah Al-Mansurah, sebuah kisah khayalan semisal kisah Seribu
Satu Malam, terbit tahun 1946.
h. Kutub wa Syakhsyiah, sebuah studinya terhadap karya- karya pengarang
lain, terbit tahun 1946.
i. Aswak, terbit tahun 1947.
j. Masahid al-Qiyâmah fî al-Qur’ân, bagian kedua dari serial Pustaka Baru
Al-Qur’an, terbit pada bulan April 1947.
35 Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb; Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, h. 22.
44
k. Rauḏah al-Thifl, ditulis bersama Aminah As’said dan Yusuf Murad, terbit
dua episode.
l. al-Qasas ad-Dîi, ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah al-Sahar.
m. al-Jadîd al-Lughah al-Arâbiyyah, bersama penulis lain.
n. al-ʿAdalah al-Ijtimâ’iyah fî al-Islâm. Buku pertamanya dalam pemikiran
Islam, terbit April 1949.
o. Ma’rakah al-Islâm wa al-Ra’simâliyah, terbit Februari 1951.
p. al-Salam al-Islâmi wa al-Islâm, terbit Oktober 1951.
q. Tafsîr Fî-Zilâl al-Qur’ân, diterbit dalam tiga masa yang berlainan.
r. Dirasat Islamiah, kumpulan bermacam artikel yang dihimpun oleh
Muhibbudin al-Khatib, terbit 1953.
s. Al-Mustaqbal li Hadza al-Dîn, buku penyempurna dari buku Hadza Ad-
Din.
t. Khasais al-Tashawwur al-Islâm wa Muqawwimatahu, buku dia yang
mendalam yang dikhususkan untuk membicarakan karakteristik akidah
dan unsur-unsurnya.
3. Metode dan Corak Penafsiran
Sayyid Quṯb merupakan tokoh pergerakan Islam yang mencoba
mengembalikan kemurnian ajaran Islam, dalam kondisi Sayyid Quṯb menulis
tafsirnya yaitu Fî Ẕilâl al-Qur’ân kondisi masyarakat Islam sedang mengalami
degradasi pemahaman Islam dan maraknya pemikiran sekuler yang menguasai
Mesir waktu itu. Bahkan, Sayyid Quṯb menunculkan suatu pemikiran yang disebut
Manhaj Rabbani,36 suatu konsep dalam menjalai hidup harus berlandaskan
36 Adib Hasani, Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb, h. 16.
45
dengan ketuhidan kepada Allah dan Rasul-Nya, segala yang datang dari luar
hukum ilahiah maka akan ditolaknya. Selain itu, beliau juga seorang sastrawan
yang mengeluti pendidikan Bahasa Arab, sehingga dalam menulis Tafsir pun
sangat memperhatikan keindahan bahas.
Apabila karya tafsir Fî Ẕilâl al-Qur’ân dicermati aspek-aspek
metodologisnya, ditemukan bahwa karya ini menggunakan metode tahlili, yakni
metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari
seluruh aspeknya secara runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf. Dalam
tafsirnya, diuraikan kolerasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat
tersebut satu sama lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang turunnya ayat (sabab
nuzul), dan dalil-dalil yang berasal dari al-Qur’an, Rasul, atau sahabat, atau para
tabiin, yang disertai dengan pemikiran rasional (ra’yi).37
Kerangka metode tahlili yang digunakan Sayyid Quṯb tersebut, terdiri atas dua
tahap dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur’an. pertama, Sayyid Quṯb
hanya mengambil dari al-Qur’an saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan,
refrensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama, dan langsung.
Tahap kedua, sifatnya sekunder, serta penyempurnaan bagi tahap pertama yang
dilakukan Sayyid Quṯb. Dengan metode yang kedua ini, sebagaimana dikatakan
Adnan Zurzur yang dikutip oleh al-Khalidi bahwa Sayyid Quṯb dalam
menggunakan rujukan skunder, tidak terpengaruh terlebih dahulu dengan satu
warna pun di antara corak-corak tafsir dan takwil, sebagaimana hal itu juga
menunjukkan tekad ia untuk tidak keluar dari riwayat-riwayat yang sahih dalam
tafsir al-ma’sur.
37 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an. (Jakarat: Bali Pustaka Pelajar,
1988), h. 32.
46
Dalam upaya memperkaya metode penafsirannya tersebut, Sayyid
Quṯb selalu mengutip penafsiran-penafsiran ulama lainnya yang sejalan dengan
alur pemikiranya. Adapun rujukan utama Sayyid Quṯb dalam mengutip pendapat-
pendapat ulama adalah merujuk pada beberapa karya tafsir ulama yang diklain
sebagai karya tafsir bi al-ma’sur, kemudian merujuk juga pada karya tafsir bi al-
ra’yi. Dari sini dapat dipahami bahwa metode penafsiran Sayyid Quṯb, juga tidak
terlepas dari penggunaan metode tafsir muqaran.
Salah satu yang menonjol dari corak penafsirannya adalah mengetengahkan
segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sisi sastra
ia terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirannya bahkan
dapat kita lihat pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman ushlub al-
Qur’an, karakteristik ungkapan al-Qur’an, serta dzauq yang diusung semuanya
bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur’an dan pokok-pokok ajarannya
untuk memberikan pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-
orang Islam pada umumnya.
Bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Ẕilâl al-Qur’ân dapat digolongkan ke
dalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (satra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini
mengingat background ia yang merupakan seorang sastrawan hingga ia bisa
merasakkan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang
memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.38
4. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran Fî Ẕilâl al-Qur’ân terdiri dari dua tahapan yakni:
mengambil sumber penafsiran bi al-ma`tsur, kemudian menafsirkan dengan bi al-
38 Mahdi Fadullah, Titik Temu Agama dan Politik Analisa Pemikiran Sayyid Quṯb (Solo:
CV. Ramadhani, 1991), h. 42
47
Ra’yi. Sayyid Quṯb sering kali mengemukakan tanggapan pribadi dan
spontanitasnya terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Tafsir ini lebih menekankan kepada
pendekatan Intuitif, artinya, secara tidak langsung tanpa perlu dirasionalisasikan
atau dijelaskan dengan merujuk kepada metode filsafat. Iman itu harus diterapkan
langsung dalam tindakan sehari-hari. Meskipun secara garis besar tafsir Sayyid
Quṯb termasuk bersumber pada bi al-Ra`yi karena memuat pemikiran social
masyarakat dan sastra yang cenderung lebih banyak. Selain dari kedua sumber
tersebut, beliau juga mengambil referensi dari berbagai disiplin ilmu, yakni
sejarah, biografi, fikih, bahkan social ekonomi, psikologi dan filsafat.
49
BAB IV
PERBANDINGAN PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN SAYYID
QUṮB TENTANG UMMATAN WASAṮAN
Di dalam al-Qur’an Ummatan Wasathan adalah konsep masyarakat ideal
dalam, yaitu masyarakat yang hidup harmonis atau masyarakat yang
berkeseimbangan. al-Wasath adalah ciri keunggulan umat atau masyarakat yang
diidealkan al-Qur'an karena sifatnya yang moderat dan berdiri di tengah-tengah
sehingga dapat dilihat oleh semua pihak dan dari segenap penjuru. Posisi
pertengahan menjadikan anggota masyarakat tersebut tidak memihak ke kiri dan
ke kanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Keberadaan masyarakat
ideal pada posisi tengah menyebabkan mereka mampu memadukan aspek ruhani
dan jasmani, material dan spiritual dalam segala aktivitas.1
Beberapa ulama tafsir sangat beragam dalam menafsirkan Ummatan
Wasaṯan, di antaranya adalah Muẖammad ‘Abduh Dan Sayyid Quṯb. Pada Bab
ini, penulis akan mengurai secara gamblang penafsiran tentang Ummatan
Wasaṯan di dalam al-Qur’an oleh kedua tokoh Tafsir tersebut.
A. Penafsiran Muẖammad ‘Abduh Tentang Ummatan Wasaṯan
Muẖammad ‘Abduh adalah seorang tokoh reformis, tidak menghambakan diri
pada teks-teks agama. Ia menghargai teks agama tetapi juga menghargai akal.
Pemikiran Muẖammad ‘Abduh tidak bisa di lepaskan dari situasi sejarah umat
Islam pada waktu itu. Sebagaimana di ketahui Islam pada masa tahun 1700-
1800an Masehi mengalami kemunduruan, sehingga situasi ini mempengaruhi cara
berfikir umat Islam pada umumnya. Sikap fatalis yang hanya berpasrah kepada
1 M. Ilham Muchtar, “Ummatan Wasathan” Dalam Perspektif Tafsir Al-TabariY”,
Jurnal Pilar, Vol. 2, No. 2 (Juli-Desember 2013): h. 113.
50
keadaan tanpa berusaha berkembang di kalangan umat Islam. sehingga
beranggapan pada masa itu pintu Ijtihad telah ditutup.2
Berpijak pada situasi di atas, Muẖammad ‘Abduh telah mewariskan kepada
pergerakan pembaharuan, yang dapat disimpulkan dalam empat pokok pikiran,
yaitu :
1) Mensucikan Islam dari pengaruh yang salah dan kebid’ahan
2) Pembaharuan pendidikan yang lebih tinggi atas hukum muslimin
3) Pembaharuan rumusan ajaran Islam menurut alam pikir yang
modern
4) Pembelaan Islam terhadap pengaruh barat dan serangan kristen3
Menurut Muẖammad ‘Abduh Islam adalah agama yang rasional, agama
yang sejalan dengan akal, bahkan agama didasarkan pada akal. Dalam
pendapatnya, pemikiran rasional adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman
tidak sempuran jika tidak berbarengan dengan akal, Iman harus didasarkan pada
keyakinan bukan pada pendapat dan akal lah yang menjadi sumber keyakinan
kepada Tuhan, ilmu serta ke Maha Kuasaan-Nya dan pada Rasul. Maka dalam
Islam agama dan akal dibuat pertama kalinya menjalin hubungan persaudaraan,
dalam persaudaraan itu akal menjadi tulang punggung terkuat dan wahyu sebagai
sendinya.4
Muẖammad ‘Abduh dalam memandang teks-teks al-Qur’an tidak terlepas
dari wahyu dan akal, berusaha meyakinkan bahwa al-Qur’an benar-benar suatu
kitab suci yang menjadi pedoman hidup di segala persoalan kehidupan. Dengan
2 M.Muhaimin, Ilmu Sejarah dan Aliran-aliran, (Semarang: Fak. Tarbiyah IAIN
Semarang, 1999), h. 189. 3 M. Muhaimin, Ilmu Sejarah dan Aliran-aliran, h. 191-192 4 Harun Nasution, Falsafah Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 45.
51
mengungkapkan keindahan dan pemecahan masalah yang dihadapi umat Islam
serta berupaya menemukan ilmu pengetahuan, disamping menghapus keraguan
argumen yang ada melalui argumen yang kuat dan meyakinkan.
Sebagai manusia, umat Islam juga termasuk makhluk sosial yang memiliki
naluri untuk selalu bersama, tidak bisa terlepas antara satu dengan lainnya, saling
ketergantungan dan saling membutuhkan, oleh sebab itu seyogyanya umat Islam
tidak boleh membedakan sesamnya dengan dalih apapun.
Bahkan al-Qur’an mengajarkan agar bagaimana hidup berdampingan dengan
penuh toleransi dan siap berbeda pendapat bahkan siap berbeda agama. Dalam al-
Qur’an umat Islam disebut sebagai ummatan wasaṯan (umat moderat)
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqoroh/2: 143 :
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan5 agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan
kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia.”
5 Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi
atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat
52
Dari ayat di atas dapat diambil satu pengertian bahwa Allah swt
menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasaṯan. Yaitu merpakan suatu hidayah
yang Allah berikan kepada umat Islam untuk menjadi umat yang adil dan menjadi
umat pilihan. Ayat tersebut menuntut umat Islam dalam bersikap harus adil baik
urusan akidah, akhlaq, maupun tata cara bergaul dengan sesama manusia. Umat
Islam harus bisa membedakan mana kepentingan dunia dan akhirat, sehingga
tidak terjebak dalam satu kondisi saja.6
Adil yang dimaksud merupakan sifat yang harus diutamakan dalam
kehidupan, yang didalamnya mencakup tiga makna yang juga menjadi sifat dasar
yang harus dimiliki setiap manusia yaitu, bijaksana, pengendalian diri, dan
keberanian. Ketiga hak tersebut merupakan sifat yang menengahi antara dua sifat
ektrim, dalam artian ektrim dalam hal berlebihan dan ektrim dalam hal terlalu
lemah.
Muẖammad ‘Abduh memberikan gambaran kondisi umat sebelum datangnya
Islam dengan dua tipe manusia :
1. Manusia yang mengikuti hawa nafsu keduniaan (Materialisme) yang
hanya terpaku pada pengumpulan materi-materi keduniaan untuk
mencapai kepuasan jasmaniah, kelompok seperti ini tercermin pada kaum
Yahudi dan Musyrikin
2. Manusia yang tunduk mengikuti kepuasan ruhaniyah saja, meninggalkan
dunia seisinya serta kenikmatan-kenikmatan keduniaan lainnya. Kelompok
6 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II (Mesir: Dâr al-Fikr,
1947), h. 4
53
seperti ini tercermin pada kaum Narani, al-Sabîn, dan Ṯawaif yang
mereka sering melakukan ritual-ritual kejiwaan.7
Maka dengan demikian Muẖammad ‘Abduh sangat mewanti-wanti agar umat
Islam tidak terjebak dalam satu kondisi saja, dikhawatirkan menyerupai salah satu
kelompok di atas. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
مددث ود ددعين حدث ثدد ثثنم ود ن حددث مددبث يددب ةددحدم دد بث م ث ود مددبث حدث دد بث ود حنث ن حددث مددبث و يددد بي ثددعثحمحمددوي لددث ل ددث ثددوث اث ثثددوي ددعن دد ال دد ا لثدد ث مددبي ددبي ن ددببي ثيحددر ثمثعةي ددبم يددب ددبم »طيحثدد ن
دمهث م ي مم فدهث «تشثو يق“Telah mencaritakan kepada kami ‘Utsmân ibn Abî Syaibah, telah
mencaritakan kepada kami Abû al-Nashr, telah menceritakan kepada kami
‘Abd al-Rahman bin Tsâbit, telah menceritakan kepada kami Hasan bin
‘Aṯiyah, dari Abî Munîb al-Jurasyi, dari Ibn ‘Umar, berkata, Rasulullah
SAW bersabda: “ Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk dalam kaum tersebut” (H.R Abu Daud)
Umat Islam memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikan berbeda
dengan umat lain, sehingga menjadikannya umat yang dipilih oleh Allah sebagai
umat yang sempurna. Muẖammad ‘Abduh memberikan alasan mengapa umat
Islam dijadikan sebagai umat yang dipilih oleh Allah SWT.
Pertama, Merujuk kepada penjelasan redaksi ayat setelahnya yang
menggambarkan seorang saksi, maka umat Islam ketika bersaksi atas suatu
perkara diharuskan mengetahui persoalan secara utuh, karena seorang yang adil
jika bersaksi diantara dua perkara sesungguhnya mengetahui dengan detail
permasalahannya, tidak condong kesalah satu pihak. Jika tidak mengetahui salah
satu keadaan diantara kedua belah pihak yang berseteru maka tidak bisa dikatakan
adil. Kedua, umat Islam dipilih oleh Allah SWT karena bersikap adil dalam
7 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, h. 4
54
urusan Aqidah, Akhlaq dan tata cara bermasyarakat. Tidak berbuat ghuluw
(berlebih-lebihan) dan juga tidak berbuat al-Ta’ṯil (tidak mempercai dzat Allah).8
Umat Islam menurut Muẖammad ‘Abduh dalam beragama telah Allah
berikan pemahaman tentang Ruh dan Jasad, sehingga dalam beragama memiliki
keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Kenikmatan keseimbangan
ruhaniyah dan jasmaniah ini menjadikan umat Islam faham konsep al-Insâniyah.9
Yaitu suatu perilaku yang dapat memanusiakan manusia.
Muẖammad ‘Abduh memandang pencapaian kesempurnaan dalam
beragama ialah ketika umat Islam dapat menjadikan dirinya sebagai teladan bagi
umat lain. Memberikan peringatan kepada mereka-mereka yang berbuat ghuluw
dan al-ta’ṯhil agar kembali kepada kebenaran yang hakiki. Umat Islam akan
menyaksikan bagaimana orang-orang yang berbuat ghuluw terhadap agamanya
akan jauh dari keadilan, dan orang-orang yang al-ta’ṯil akan kehilangan tujuan
hidup. Maka, dengan itu Islam mewajibkan umatnya berbuat adil baik urusan
dunia maupun Tuhan. Hidayah yang Allah berikan kepada umat Islam untuk
menjadi manusia sempurna akan tercapai apabila umat Islam memberikan hak-hak
kepada orang yang berbuat ghuluw dan al-ta’ṯil (berupa mengetahuan keagamaan
yang benar), mengerjakan hak-hak Allah dan hak-hak dirinya, menunaikan hak-
hak jasmaniahnya, menunaikan hak-hak orang terdekatnya, dan hak-hak semua
manusia.10
Rasulullah saw. merupakan representasi kesempurnaan dari sikap
wasaṯiyah. Jika ingin menjadi umat Islam yang adil maka harus mengikuti teladan
Rasul, baik dalam keseharian beliau maupun cara beribadahnya. Dan kelak
8 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II, h.4 9 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II, h.4-5 10 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II, h. 5
55
Rasulullah akan menjadi saksi bagi umat Islam apakah mereka-mereka
menjalankan hidup ini sesuai dengan petunjuk Ilahi atau tidak.11
M.Quraish Shihab juga menafsirkan menjadi saksi atas perbuatan manusia
dalam arti bahwa kaum muslimin akan menjadi saksi atas perbuatan manusia
dimasa mendatang yang mengalami pergulatan pandangan dan pertarungan aneka
isme. Sehingga dengan ummatan wasaṯan akan menjadi rujukan dan saksi tentang
kebenaran dan kekeliruan pandangan. Ini juga berarti bahwa umat Islam akan
menjadi saksi atas umat lain dalam berislam sesuai dengan apa yang di ajarkan
Rasulullah SAW. dan Rasul kelak akan menjadi saksi bagi umat Islam apakah
sikap mereka sesuai dengan tuntunan Ilahi atau tidak.12
B. Penafsiran Sayyid Quṯb Tentang Ummatan Wasaṯan
Sayyid Quṯb adalah orang Mesir yang hidup dalam konteks masyarakat
yang sedang mengalami konflik ideologi. Sehingga dalam pandangan Sayyid
Quṯb mengalami perubahan yang signifikan, bermula menerima pemikiran Barat
dan pada akhirnya sangat anti dengan Barat. Kekecewaan terhadap peradaban
Barat yang menjadi faktor utama revolusi pandangannya tentang keislaman.13
Bagi Sayyid Quṯb, didunia ini hanya ada dua kutub nilai utama yaitu
keislaman dan kejahiliyahan. Diutusnya para Rasul oleh Allah menandakan
bahwa Ia telah menunjukan jalan kebenaran kepada umat manusia. Sedangkan
diutusnya Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir bertanda bahwa Allah
memberikan nilai kebenaran dalam Islam yang bersifat paripurna dan sempurna.
11 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II h. 5 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Ciputat: Lentera Hati 2010) h.415-416 13 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb”, h. 8
56
Untuk itu, menjadi kewajiban umat Islam sebagai pewaris ajaran rasul terakhir
untuk mendakwahkan kebenaran Ilahiah agar mereka terhindar dari kesesatan.14
Dalam muqaddimah tafsirnya, ia menjelaskan bahwa dewasa ini umat
Islam semakin jauh dari jalan Allah dan sudah saatnya mereka kepada jalan itu
melalui al-Qur’an.15 Cara Sayyid Quṯb dalam memahami al-Qur’an ada sedikit
perbedaan dengan mufassir lainnya, Sayyid Quṯb tidak begitu mengindahkan
metode-metode ketat yang dirumuskan oleh para ahli tafsir.
Menurutnya, di abad pertengahan terjadi keautentikan atas instrumen-
instrumen yang digunakan dalam penafsiran al-Qur’an sebab ada percampuran
antara tradisi Islam dengan tradisi asing seperti tradisi filsafat Yunani, Persia,
Romawi, dan juga isra’iliyat (penafsiran dengan merujuk kepada Bibel). Sumber
tafsir yang paling otoritatif menurut Sayyud Quṯb adalah sunnah rasul. Dalam
pemikiran agama, Sayyid Quṯb benar-benar menjadikan akidah sebagai priotitas
utama. Ia menamai maanhaj berfikirnya dengan sebutan Manhaj rabbani, yaitu
pemikiran yang berpijak pada kemantaban teologi kemudian berusaha
diaplikasikan pada realitas kehidupan manusia. hal ini yang membedakan dirinya
dengan pemikir kontemporer lainnya yang lebih berusaha mengedepankan realitas
kehidupan kemudian berusaha menyikapinya dengan teologi yang sangat
mengedepankan rasionalitas.16
Menurut Sayyid Quṯb Islam bukanlah agama yang berkaitan dengan
akidah belaka. Akan tetapi, Islam juga merupakan jalan yang lurus dalam
membangun peradaban. Visi utama Sayyid Quṯb adalah membebaskan manusia
dari kejahiliahan dengan Tauhid sebagai awal sekaigus puncaknya. Dikatakan
14 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, Jilid 1 (Bayrût: Dâr al-Syurûq, 1968), h. 12 15 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 14 16 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb”, h. 13
57
awal karena perjuangan Islam dimulai dari tauhid itu sendiri dan dikatakan puncak
sebab tujuan akhir dari Islam adalah bagaimana tauhid yang sebenarmya menjadi
i’tiqad para manusia penghuni bumi sebanyak-banyaknya. Hanya dengan Tauhid
lah pembebasan hakiki dan perdamaian bisa terwujud. Sehingga apa yang disebut
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamiin, hanya akan terwujud bila ajaran agama
ini memenangkan arena politik dan menjadi pemimpin peradaban.17
Dalam memandang ummatan wasaṯan dalam surat al-Baqarah [2]:143, Sayyid
Quṯb menafsirkannya dengan beberapa pengertian umat Islam sebagai umat
pertengahan. Sayyid Quṯb memaknai Ummatan wasaṯan dalam tashawwur
pandangan, pemikiran, presepsi dan keyakinan.
تتقدد فددب ت تغدد فددب ثتددع ثع حددب ت فددب ت ت.دد م ثدد لف رةدد تتدد ث طددع …ثتصددثد فددب ت تددد ندد ن بندد تتددد ددو تف تاطددب ثهدد ث.حدد ب ثدد ثط دد ددد ثدد ل تادد فحددو دد ح دد حدد ثفحدد فاهدد فددب ث حقددو ثت. دد ددب دد ع ن تادد ثتع
عو ن دا ت ددع ت رفدعا ن فددب ثفحد د ث ثدد ن تد ا ن تطددل د ةشدد ا فدب دد ث لةد 18ص ت لل تا
Artinya umat Islam bukanlah umat yang semata-mata bergelut dan hanyut
dengan ruhaniah dan juga bukan umat yang semata-mata beraliran materi
(materialisme). Akan tetapi, umat Islam merupakan umat yang pemenuhan
nalurinya seimbang dan bersesuaian dengan pemenuhan jasmani. Dengan
keseimbangan ini akan bisa meningkatkan ketinggian mutu kehidupan. Pada
waktu yang sama, ia memelihara kehidupan ini dan mengembangkannya,
menjalankannya semua aktivitas dunia spiritual dengan tidak mengurang-
ngurangkan, melainkan dengan sederhana, teratur dan seimbang.19
17 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb”, h. 13 18 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 19 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131.
58
Sayyid Quṯb mengungkapkan bahwa yang membedakan antara peradaban
Barat dengan Islam ialah pada titik dasar pemikiran tentang hidup. Menurut
Sayyid Quṯb Barat dibangun dengan pemikiran yang materialistik jahiliyah
sedangkan Islam dibangun dengan iman akan ketauhidan kepada Allah. Kesalahan
fatal yang dilakukan Barat tentang fitrah dunia ini, menurut mereka dalam hal
memahami dunia harus ditempuh dengan jalan sekuler sedangkan umat Islam
memandang kehidupan dunia tidak terlepas dari keutuhan Tauhid kepada Allah 20
Ummatan wasaṯan juga menurut Saayid Quṯb diartikan seimbang dalam
pemikiran dan perasaan
د ثاعفد فف ت ت د تغدل فد ثتع ت تتد د ث ففففب ثت .حع ثشا ددد ا ددد ةددد ل ن تقددد تقحددد ثقدددع ثندددف فف رةددد تنتنددد ددد ثددد ه دددب تصددد
ب ةد بدا ا و تظع فب ةت ث .ع ثتع در ةدا ا ثد: ل ثفقحقد د ث ثدى 21 خ ا ن فب تد قحب
Umat Islam bukanlah umat yang beku dan stagnan dengan apa yang diketahui.
Juga bukan umat yang tertutup terhadap eksperimen ilmiah dan pengetahuan-
pengetahuan lain. Mereka juga bukan umat yang mudah mengikuti suara-suara
yang didengungkan orang lain dengan taklid buta seperti taklidnya kera yang lucu.
Akan tetapi, umat Islam adalah umat yang berpegang pada pandangan hidup,
manhaj, dan prinsip-prinsipnya. Kemudian mereka melihat, memperhatikan, dan
meneliti pemikiran yang merupakan hasil pemikiran dan eksperimen. Semboyan
mereka yang abadi adalah:
ب ة با خ ا ن فب تد قحب 22ثفقحق ث ثى
20 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb”, h. 10 21 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 22 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131.
59
“Hikmah (ilmu pengetahuan) itu adalah barang milik orang
mukmin yang hilang, maka di mana pun ia menjumpainya maka ia berhak
mengambilnya dengan mantap dan yakin.”23
Umat Islam juga menurut Sayyid Quṯb merupakan umat pertengahan dalam
peraturan dan keserasian hidup.
فب ثتظح ثتنحل فف ت تو ثفح ه ثش ع ن ثن :ع ن ت ته ث ثتشع بحو ثته ر ن ت. ةظ م ثت ثتشع ثتأ ر ثتأ رف رة تعف :ع ثشع ثت
بب ت حب ا ه ت ن فا ت. ث م رث لا ثنط ب ن ت ت.ه ث رث حب ث 24فف ث.ب ب ا ذك
Umat Islam tidak hanya bergelut dalam hidupnya dengan perasaan dan hati
nurani. Dan juga tidak terpaku dengan adab dan aturan manusia. Akan tetapi,
umat Islam mengangkat nurani manusia dengan aturan dari Allah SWT, serta
dengan suatu arahan dan pengajaran. Dan menjamin aturan masyarakat dengan
suatu peraturan yang menyeluruh. Islam tidak membiarkan aturan kemasyarakatan
dibuat oleh penguasa, dan juga tidak dilakukan secara langsung oleh wahyu.
Tetapi, aturan kemasyarakatan itu adalah campuran antara keduanya, yakni aturan
yang berasal dari wahyu dan dilaksanakan oleh penguasa.25
Konsep Negara yang diusung oleh Sayyid Quṯb dikenal dengan supra
Nasional. Sebuah konsep yang menghendaki adanya negara yang menyeluruh,
melampaui sekat-sekat geografis, etnis, bahkan Nasionalisme, dasar dari konsep
ini adalah teologi Islam.26 diwahyukannya syariat Islam bukan hanya untuk
membimbing spiritualitas semata, akan tetapi juga membimbing manusia untuk
23 Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâl al-Qur’ân, terj. As’Ad Yasin, Jilid 15 (Jakarta: Gema
Insani, 2004), h.159 24 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 25 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 26 Sayyid Quṯb, al-‘Adalah al-Ijtimâ’iyah Fî al-Islâm, cet 7. (Kairo: Dâr al-Kitab al-
Arabi, 1967), h. 106
60
menegakkan “Kerajaan Allah” di bumi. Kebenaran Islam adalah kebenaran
legitimasi dari Allah, dengan demikian keberadaan Islam dapat menggeser segala
kekuasaan selain kekuasaan Allah. Dengan kata lain, sistem yang dibangun suatu
Negara yang tidak berlandaskan dengan manhaj Islam merupakan sistem
jahiliyah. Maka dari itu perlu adanya transformasi secara masif, bukan sekedar
pada taraf bagian kecil dari bagian sistem dan aturan main.27
Menurut Sayyid Khaṯab dalam penelitiannya tentang penggunaan kata
jahiliyah oleh Sayyid Quṯb menjelaskan bahwa term ini di gunakan untuk
beberapa maksud politisnya, mulai dari pihak diluar akidah Islam, kondisi sosial
buruk, setiapp orang yang meninggalkan syariat Islam, menyebut hukum selain
hukum Islam atau hukum yang dibuat oleh manusia bukan Tuhan dan segala hal
selain dalam sistem Islam. Dalam konteks politik, maksud dari antonim yang
digunakan Sayyid Quṯb tersebut ingin menunjukan universalitas politik Islam
yang menurutnya lebih berhak menjadi pemimpin dunia.28
Sayyid Quṯb menawarkan ideal-ideal pemerintahan supra Nasional (Islam).
menurutnya suatu pemerintahan harus mendasarkan pada tiga asas politik :
Keadilan Penguasa, ketaatan rakyat dan permusyawaratan antar penguasa.
Keadilan penguasa artinya penguasa harus adil dalam kebijakan dan keputsan
tidak pandang bulu, ketaatan rakyat kepada penguasa erat dengan ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya. ketaan yang bernuansa teologis ini terjadi sebagai
konsekuensi penerapan syariat Allah dan rasul-Nya. jika penguasa tidak
27 Sayyid Quṯb, Ma’alim fi al-Ṯariq: Petunjuk Jalan yang Menggetarkan Iman, terj.
Mahmud Harun Muchtaron, (Yogyakarta, Darul Uswah, 2009), h. 290-295. 28 Adib Hasani, “Kontradiksi Dalam Konsep Politik Islam Ekslusif Sayyid Quṯb”, h. 18
61
menerapkan syariat maka tidak perlu ditaati. Dan permusyawaratan antar
penguasa dalam bentuk kerja sama dan perjanjian damai.29
Umat Islam adalah umat pertengahan dalam ikatan dan hubungan. Islam tidak
membiarkan manusia melepaskan dan melampaui batas dalam individualnya dan
juga tidak meniadakan peran individualnya dalam masyarakat atau negara. Islam
juga tidak membiarkan manusia serakah dan tamak dalam kehidupan
kemasyarakatannya. Akan tetapi, Islam memberi kebebasan yang positif saja,
seperti kebebasan menuju kemajuaan dan pertumbuhan. Sehingga akan tumbuh
suatu keterkaitan yang sinergis antara individu dan masyarakat atau negara. Dan
akan tercipta rasa senang setiap individu dalam melayani masyarakat. Begitu pula
sebaliknya.30
Perdamaian itu memang harus diusahakan, akan tetapi menurut Sayyid Quṯb
kebebasan manusia sebagai hamba Allah lebih utama. Sedangkan tidak ada sistem
yang membebaskan kecuali yang berlandaskan pada tauhid Islam yang diajarkan
oleh Rasulullah SAW. sehingga jihad dengan pedang bukanlah hal yang tabu
untuk merebut kekuasaan. Merebut kekuasaan di dalam dunia ini menurut Sayyid
Quṯb merupakan suatu keniscayaan.31
Umat Islam adalah umat pertengahan dalam tempat. Yaitu suatu tempat di
permukaan bumi, dimana umat Islam ada diseluruh plosoknya baik di barat, utara,
timur maupun selatan. Dengan posisi ini, umat Islam menjadi saksi atas manusia
lainnya.32Keterbukaan terhadap keaneka ragaman pandangan merupakan ciri khas
dari ummatan wasaṯan sikap ini didasari bahwa perbedaan di kalangan manusia
29 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 30 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h.131-131. 31 Sayyid Quṯb, Ma’alim fi al-Ṯariq: Petunjuk Jalan yang Menggetarkan Iman, terj.
Mahmud Harun Muchtaron, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2009), h. 134. 32 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131.
62
merupakan sebuah keniscayaan. Sesuai dengan sunatullah, perbedaan antar
manusia akan terus terjadi. Oleh karena itu pemaksaan dalam berdakwah baik
dalam satu agama maupun berbeda agama. Maka dengan demikian tugas yang di
embang oleh umat Islam adalah memberikan peringatan kepada seluruh manusia,
bahwa agama yang di ridhoi oleh Allah adalah agama Islam.
Terakhir, umat Islam adalah umat pertengahan dalam zaman. Mengakhiri
masa anak-anak dan menyongsong masa kedewasaan berpikir. Tegak di tengah-
tengah mengikis segala khurafat dan takhayul yang melekat karena terbawa dari
zaman kebodohan dan kekanak-kanakan yang lalu, dan memelihara kemajuan
akal yang dikendalikan hawa nafsu setan. Dan tegak mempertemukan ajaran Nabi
berupa risalah Tuhan yang berkenaan dengan kerohanian, dengan baha-bahan
yang ada padanya yang dinamis dan lancar mengikuti akal pikiran. Kemudian
menyalurkan ke jalan taufik dan hidayah serta menghindarkan dari kesesatan.33
Tauhid merupakan sentral pemikiran dari Sayyid Quṯb. Didalam tauhid
terkandung misi teologi pembebasan. Melalui syahadat (kesaksian atas keesaan
Allah) menjadikan setiap orang yang terlah bersaksi bahwa tiada sesembahan
selain Allah, kepatuhan dan tujuan hidup selain Allah. Dalam kondisi demikian
maka manusia berada pada derajat yang sama :derajat penghambaan kepada
Tuhan.34
Dengan kata lain, tidak dibenarkan penghambaan kepada sesama manusia,
kepada materi, bahkan kepadaa nafsu yang ada pada diri sendiri. Misi Islam tidak
hanya membebaskan manusia dari belenggu materi dan sesamnya, akan tetapi
33 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 34 Sayyid Quṯb, Ma’alim fi al-Ṯariq: Petunjuk Jalan yang Menggetarkan Iman, terj.
Mahmud Harun Muchtaron, (Yogyakarta: Darul Uswah 2009) h.158
63
juha membebaskan manusia dari godaan-godaan nafsu dalam diri. Agama yang
benar adalah Islam yang selalu menjaga konsistensi ketundukan hanya kepada
Allah.
C. Kriteria Ummatan Wasaṯan Menurut Muẖammad ‘Abduh dan Sayyid Quṯb
Perbandingan pandangan antara Muẖammad ‘Abduh dan Sayyid Quṯb dalam
menafsirkan al-Qur’an berdampak pada penafsiran ummatan wasaṯan yang
terdapat pada surat al-Baqarah [2]: 143. Untuk itu penulis akan
mengklasifikasikan kriteria yang diberikan oleh kedua mufassir terhadap
ummatan wasaṯan.
1. Kriteria ummatan wasaṯan menurut Muẖammad ‘Abduh :
a. Bersikap adil dan seimbang dalam pemenuhan kebutuhan jasmaniah dan
ruhaniah35
b. Menjauhi sikap ghuluw dalam beragama.36
c. Adil dalam memutuskan suatu perkara. Dalam menutuskan suatu perkara
ummatan wasaṯan dianjurkan mengetahui kedudukan perkara tersebut.
Tidak cenderung kekiri atau pun kekanan.37
d. Menerima perbedaan perselisihan jika memang dapat diterima secara
rasional.38
e. Menerima perkembangan Ilmu pengetahuan yang datang dari luar Islam,
selama sesuai dengan sains.39
f. Tidak bersikap fanatik madzab.40
35 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II (Mesir: Dār al-Fikr
1947) h. 4 36 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II h. 4 37 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II h. 4 38 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II h. 5 39 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II h. 5
64
g. Tidak bersikap Taqlid buta.41
2. Kriteria ummatan wasaṯan menurut Sayyid Quṯb :
a. Seimbang dalam pemikiran dan perasaan.42
b. Pertengahan dalam peraturan dan keserasian hidup.43
c. Pertengahan dalam ikatan dan hubungan.44
d. Pertengahan dalam tempat.45
e. Pertengahan dalam zaman.46
3. Relevansi Penafsiran Ummatan Wasaṯan Muẖammad ‘Abduh dan Sayyid
Quṯb dalam Konteks Kemajemukan Umat Beragama.
Ciri utama kehidupan keagamaan umat pada saaat ini adalah bahwa para
intelektual dan politisi muslim tengah memainkan peran mereka secara tepat.47
Menurut Paul Tiliich, agama adalah masalah keterlibatan, dengan demikian
perlunya ada rasa terlibat dalam nasib umat Islam yang satu dengan yang lain
bahkan antar umat beragama. Aspek dasar yang perlu dibangun berkenaan dengan
hal ini adalah bagaimana menjalin hubungan yang harmonis di antara umat Islam
itu sendiri. Sepanjang umat islam menunjukan kerukunan internalnya maka agama
lain akan mengikutinya.48
Ajaran Islam pada dasarnya terbagi menjadi dua : ajaran-ajaran yang
berkenaan dengan aspek ritual dan ajaran-ajaran yang di asosiasikan dengan aspek
40 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II h. 6 41 Muẖammad Abduh, Tafsîr al-Manar,Maṯba’ah al-Manâr, Juz II h. 6 42 Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâl al-Qur’ân, terj. As’Ad Yasin, Jilid 15 (Jakarta: Gema
Insani, 2004) h. 159 43 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 44 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 45 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 46 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 47 Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan (Jakarta: PPIM IAIN, 1998), h.165 48 Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan, h. 179.
65
ke masyarakatan. Dalam al-Qur’an dari 6.236 ayat hanya sekitar 500 ayat yang
membahas isu-isu teologis, ritual, dan kemasyarakatan. Mengingat doktrin Islam
ini ditunjukan untuk memberi bimbingan universal dan permanen, masuk akal bila
dirumuskan secara umum, tanpa penjelasan yang lebih jauh bagaimana doktrin-
doktrin semestinya di realisaikan dan diimplementasikan secara aktual.
Dengan demikian, penafsiran menjadi bagian Islam yang krusial, karena al-
Qur’an tidak berbicara secara terperinci. Pada masa awal Islam, penjelasan
terhadap keumuman al-Qur’an bisa di dapat secara langsung kendati tidak
menyeluruh- langsung dari Nabi Muhammad. Pada masa setelah Nabi, adalah
para ulama yang melakukan penafsiran terhadap ajaran Islam sesuai dengan
tuntutan zaman masing-masing.
Setidaknya ada dua kecenderungan dalam memahami Islam. Kecenderungan
pertama diwakili orang-orang yang berpendapat bahwa Islam harus
diimplementasikan secara formal dan legal dalam kehidupan sosio-budaya,
ekonomi, dan politik para pemeluknya. Kecenderungan yang kedua dengan
mempertahankan pandangan bahwa Islam tidak harus di hubungkan secara formal
dan legal, padahal pada saat yang sama mengakui Islam sebagai sumber dan
petunjuk bagi tindakan manusia. bagi kelompok terakhir ini, yang penting adalah
bahwa lingkungan secara substansial harus sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.49
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting
dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian yang meliputi
berbagai bidang, seperti hukum agama, keimanan, etika, dan sikap hidup sehingga
menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur kemanusiaan (al-
49 Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan, hal. 108
66
Insaniyyah), seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga
masyarakat dari ke dhaliman dan ke sewenang-wenagan, penjagaan hak-hak
mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang
para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukan kepedulian Islam. Dengan
demikian dasar dari ajaran Islam adalah mewujudkan perdamaian dunia yang
berasaskan dengan peri kemanusian dan peri keadilan.50
Pesan universalitas Islam ini tidak terlepas dari sikap yang sudah diberikan
oleh Allah SWT kepada umat Islam dengan menjadikannya ummatan wasaṯan.
Dalam perkembangannya konsep ummatan wasaṯan atau di sifati menjadi
wasthiyah memiliki pandangan tersendiri di berbagai kalangan umat Islam.
ditengah pergumulan doktrin dan ideologi yang semakin menjamur dimasyarakat
Islam sangat mempengaruhi citra Islam di pandangan pemeluk agama lain.51
Sejak awal, Islam telah mengakui dan mendukung esksistensi Pluralis
(keberanekaragaman) agama dan budaya. Islam juga mendorong terciptanya
perdamaian dan kerukunan di antara umat manusia. Piagam Madinah yang
disusun Nabi Muhammad SAW adalah bukti historis dan teologis bagaimana
Islam sangat concern kepada usaha-usaha memajukan saling pemahaman dan
kerjasama antar semua orang beriman dan semua suku.52
Dalam presfektif struktural fungsional, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu
jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisir, yang bekerja dalam satu
cara yang agak teratur meneurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh
sebagian besar masyrakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem
50 Abdurahmman Wahid, Kontekstualisai Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 2002), h. 35. 51 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 52 Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan, hal. 120
67
yang stabil dengan suatu kecenderungan arah keseimbangan, yaitu suatu
kecendrungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Perubahan sosial dianggap menganggu keseimbangan masyarakat yang stabil,
namun kemudian terjadi keseimbangan baru.53
Ummatan wasaṯan dalam istilah lain merupakan masyarakat ideal,
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]:143 :
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan
Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kualisifkasi umat yang baik adalah
ummatan wasaṯan yang bermakna dasar pertengahan atau moderat. Posisi
pertengahan tersebut menjadikan anggota masyarakat tersebut tidak memihak
kekiri dan kekanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Quraish Shihab
mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasaṯ berarti sehala sesuatu yang baik
sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim. Ia
mencontohkan bahwa keberaniaan adalah pertengahan dari kecerobohan dan
53 Soejono Seokatmo, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pres, 2013), h. 1.
68
takut, kedermawanan merupakan pertengahan antara boros dan kikir.54 Yusuf al-
Qardawi memberikan penafsiran bahwa wasaṯan maksudnya adalah umat
pertengahan antara materil dan spiritual, ideal dan realitas, individual dan sosial.55
Prinsip keseimbangan ini sejalan dengan fitrah manusia dan alam yang Allah
ciptakan dengan harmonis dan serasi.
Adapun pemahaman dan praktik amaliah keagamaan moderat memiliki ciri-
ciri sebagai berikut:
1) Tawassuṯ (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan
yang tidak ifraṯ (berlebih-lebih dalam beragama) dan tafriṯ (mengurangi
ajaran agama)
2) Tawâzun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama
secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi
maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat
membedakan anara inhiraf (menyimpang) dan ikhtilaf (perbedaan)
3) I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuat pada tempatnya dan
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
4) Tasâmuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik
dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan
5) Musâwah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain
disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.
6) Syûra (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan
musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan
kemashlahatan di atas segalanya.
54 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), h. 328. 55 Yusuf al-Qurdhawi, al-Khasais al-‘Ammah li al-Islâm, cet-ke2 (Bayrût: Mu’assah al-
Risâlah, 1983), h. 127.
69
7) Islâh (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapi
keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman
dengan berpijak pada kemashlahatan umum (Maslaẖah al-‘Ammah)
dengan tetap berpegang pada prinsip diktum al-Muhâfaẕatu ‘ala qadimi
al-Sâlih wa al-akhdu bi al-jadîdi al-Aslâh (melestarikan tradisi lama yang
masih relevanm dan menerapkan hal-hal baru yang lebih relevan).
8) Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan
mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk
diimplementasikan dibandingkan dengan kepentingan yang lebih rendah.
9) Taṯawwur wa Ibtikâr (dimanis dan inovatif), yaitu selalu terbuka
melakukan perubahan-perubahan sesuai perkembangan zaman serta
menciptakan hal baru untuk kemashlahatan dan kemajuan umat manusia.
10) Tahaḏḏur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlak mulia, karakter,
identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan
kemanusian dan peradaban.56
Nilai sosial-budaya masyarakat bersumber pada hasil karyaa akal budi
manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, melestarikan dan
melepaskannya, manusia menggunakan akalnya, sedangkan nilai agama
bersumber dari kitab suci yang telah diwahyukan oleh Tuhan melalui Rasul-Nya.
Dengan demikian, nilai sosial-budaya lebih bersifat sementara dibandingkan
dengan nilai agama.57
56 Hasil Munas IX MUI di Surabaya, 25 Agustus 2015, Majalah Mimbar Ulama Edisi
372, h. 15 57 Mia Fitriah Elkarimah, “Masyarakat Madani, Pluralitas dalam Isyarat al-Qur’an”,
Jurnal Edukasi, Vol, o4,( 02 November 2016): h. 392.
70
Aktualisasi sikap Moderat dalam Islam tidak hanya terbatas hanya satu aspek
kehidupan tertentu, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan. Terstuktur
rapi dalam setiap aspek dan terbentang seluas cakrawala. Diantara aspek-aspek
sikap moderat dalam perilaku sosial adalah :
a. Kemoderatan Akidah yang sesuai fitrah
Tauhid merupakan sentral dalam agama Islam yang didalamnya mengandung
misi teologi pembebasan. Melalui syahadat umat Islam mengakui bahwa tiada
sesembahan, kepatuhan dan tujuan hidup hanya kepada Allah. Pada kondisi
demikian, manusia berada pada derajat yang sama dalam kehambaan kepada
Tuhan. Ketundukan bukan tunduk secara mental, akan tetapi teraplikasi dalam
tindakan, sebab Allah mengajarkan agama tidak hanya berkaitan dengan teologi
semata, namun juga mewahyukan perturan-peraturan. Bagi seorang mukmin patuh
kepada syariat merupakan kewajiban, tauhid dan syariat Islam merupakan satu
paket kebenaran yang memiliki karakteristik pembebasan.58
b. Sikap Moderat dalam Pemikiran dan Pergerakan
Islam merupakan agama yang Rasional dan selalu menganjurkan umatnya
agar selalu berfikir. Menggunakan akal adalah dasar dari agama Islam, tidaklah
sempurna iman seseorang jika ia tidak menggunakan akal, orang yang tidak
berakal tidak lah beragama. Manusialah yang menciptakan kemauan dan usahanya
sendiri untuk mencapai kebebasan, dengan akal yang digunakan maka umat Islam
akan tebebas dalam belenggu kemunduran pemikiran untuk mencapai kebebasan
dalam berfikir dan bergerak. Sehingga tercapainya perdamaian dunia.59
c. Sikap Moderat dalam Paham Keilmuan Keagamaan
58 Mia Fitriah Elkarimah, Masyarakat Madani, Pluralitas dalam Isyarat al-Qur’an, h. 392 59 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131.
71
Kondisi masa kini umat Islam tidak terlepas dari sejarah masa lalu yang
terhubung dengan generasi shaleh terdahulu. Kendati demikian bukan berarti
kehidupan muslim masa kini terbelunggu dengan pemikiran-pemikiran generasi
terdahulu. Permasalahan yang terjadi masa kini bisa jadi tidak sama dengan
permasalahan-permasalahan yang muncul terdahulu. Generasi terdahulu hanyalah
berijtihad untuk memecahkan permsalahan terdahulu dan tidak membebani hasil
Ijtihad terdahulu kepada Muslim masa kini yang notabennya ada siklus perubahan
kondisi sosial dan kebudayaan.60
Sehingga bagi umat Islam moderat menolak membungkus Ijtihad yang
dipengaruhi oleh sebuah kondisi dan lingkungan dengan baju keabadian dan
pemeliharaan dari kesalahan dan perubahan, tanpa ada ijtihad lain yang di
pegaruhi oleh lingkngan dan kondisi yang berbeda dengan lingkungan ijtihad
sebelumnya. Dengan kata lain sikap umat islam moderat menolak adanya talid
buta.61
d. Sikap Toleransi yang tidak menghinakan diri
Umat Islam adalah umat pertengahan dalam ikatan dan hubungan. Islam tidak
membiarkan manusia melepaskan dan melampaui batas dalam individualnya dan
juga tidak meniadakan peran individualnya dalam masyarakat atau negara. Islam
juga tidak membiarkan manusia serakah dan tamak dalam kehidupan
kemasyarakatannya. Akan tetapi, Islam memberi kebebasan yang positif saja,
seperti kebebasan menuju kemajuaan dan pertumbuhan. Sehingga akan tumbuh
suatu keterkaitan yang sinergis antara individu dan masyarakat atau negara. Dan
60 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 61 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131.
72
akan tercipta rasa senang setiap individu dalam melayani masyarakat. Begitu pula
sebaliknya62
e. Sikap Moderat dalam Hukum
Umat Islam adalah umat pertengahan dalam peraturan dan keserasian hidup.
Umat Islam tidak hanya bergelut dalam hidupnya dengan perasaan dan hati
nurani. Dan juga tidak terpaku dengan adab dan aturan manusia. Akan tetapi,
umat Islam mengangkat nurani manusia dengan aturan dari Allah SWT, serta
dengan suatu arahan dan pengajaran. Dan menjamin aturan masyarakat dengan
suatu peraturan yang menyeluruh. Islam tidak membiarkan aturan kemasyarakatan
dibuat oleh penguasa, dan juga tidak dilakukan secara langsung oleh wahyu.
Tetapi, aturan kemasyarakatan itu adalah campuran antara keduanya, yakni aturan
yang berasal dari wahyu dan dilaksanakan oleh penguasa.63
Setidaknya ada tiga model Ukhuwah yang bernafaskan moderasi dan
membangun struktur yang harmoni dalam beragama, berbangsa dan bernegara.
Yaitu al-ukhuwah al-IslâmiYyah, al-Ukhuwah al-WaṯaniyYah, dan al-Ukhuwah
al-Basyâriyyah.64
1. Al-Ukhuwah al-Islâmiyyah
Persaudaraan keislamana, yaitu adanya kemanunggalan dan keimana
sebagai seorang muslim. Sifat dari al-ukhuwah al-Islamiyah menitik beratkan
pada persaudaraan sesama Muslim. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-
Hujurat/ 49:10 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang Mu’min adalah
bersaudara, karena itu damaikanlah antar kedua saudaramu (yang berselisih) dan
62 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 63 Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, h. 131. 64 Alamul Huda, “Epistimologi Gerakan Liberalis, Fundamentalis, dan Moderat Islam di
Era Modern”, De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, vol 2 (Tahun 2010): h. 190
73
bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan Rahmat.” Menjaga ukhuwah
sesama mukmin dalam Islam adalah dengan perasaan bahwa mereka itu seperti
satu tubuh, apabila satu anggota tubuh sakit maka anggota yang lain merasakan
sakit itu. Dengan demikian sesama saudara seiman harus salin bahu-membahu dan
tolong menoolong dalam kebaikan, sebagaimana yang tergambar dalam al-Qur’an
surat al-Maidah/5:2 “dan saling tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolonglah kamu dalam berbuat dosa
dan pelanggaran.”
Selanjutnya, semangat moderasi ini akan menjadi lebih solid dan kokoh
dengan umat Islam membuka diri dalam membangun harmoni dengan kebudayaan
tradisi agama lain. Dengan mengadopsi diktum al-Muhâfaẕatu ‘ala qadimi al-
Sâlih wa al-akhdu bi al-jadîdi al-Aslâh (mempertahankan tradisi masa lalu yang
baik sembari mengadopsi nafas tradisi kekinian yang lebih baik adalah suatu
langkah yang ideal yang dapat diterapkan untuk membangun peradaban dan
keadaban publik dalam konteks ke-Indonesiaan.65
2. Al-Ukhuwah al-Waṯaniyah
Dalam membangun semangat persaudaraan sebangsa dan setanah air, umat
Islam harus memiliki sikap toelransi kepada sesama anak bangsa. Keberadaan
umat Islam pada prinsipnya diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke dari Mianga sampai pulau Rote memiliki
kontribusi positif produktif bagi perkeembangan persaudaraan dan persatuan
bangsa.
65 Alamul Huda, Epistimologi Gerakan Liberalis, Fundamentalis, dan Moderat Islam di
Era Modern, h. 190
74
“Persahabatan” yang dirajut antara umat Islam dengan pemeluk agama
lainnya merupakan suatu bagian dari penerimaan umat Islam atas Pancasila
sebagai asas tunggal dalam bernegara maupun bermasyarakat merpakan kiprah
nyata dalam kerelaan umat Islam untuk membangun bersama elemen bangsa
lainnya. Inilah yang menjadi dasar pendorong kebersamaan dalam membangun
konstruk persatuan suatu bangsa.66
Islam sejak zaman Nabi Muhammad, diberikan pembelajaran untuk
menerima kosensus bersama yang telah disepakati melalui jalur musyawarah dan
mufakat. Sebagaimana halnya “Perjanjian Madinah” dimana siapa pun yang sudah
bersepakat secara bersama maka harus menjalankan bersama pula, konsekuensi
dari tidak menyepakti dengan apa yang sudah ditetapkan adalah menerima
hukuman yang sudah disepakati pula. Seperti halnya jika umat Islam hari ini
mencoba melawan atau berupaya ingin merubah bahkan mengantikan Pancasila
sebagai asas Tunggal dalam bernegara dan berbangsa di Indonesia, maka akan
berhadapan dengan hukum yang berlaku di Indonesia yang telah disepakati
melalui jalur musyawarah dan mufakat oleh generasi terdahulu. Dengan demikian
al-Ukhuwah al-Waṯaniyah menjadi salah satu bentuk sikap moderasi Islam dalam
berbangsa dan bernegara.
3. Al-Ukhuwah al-Basyâriyyah
Pada Tipologi yang ketiga ini menitik beratkan pada persaudaraan
kemanusiaan, umat Islam melihat manusia lain sebagai saudara sesama makhluk
yang diciptakan oleh Allah SWT, yang secara hukum mereka berhak
66 Alamul Huda, Epistimologi Gerakan Liberalis, Fundamentalis, dan Moderat Islam di
Era Modern, h. 191
75
mendapatkan perlindungan baik nyawa dan harta bendanya.67 Berangkat dari satu
pemahaman dan perilaku keberagaamn bahwa Islam datang dengan membawa
perdamaian dan rasa aman terhadap individu mapaun komunitas sosial tidak
terkecuali alam dan lingkungan sekitar, sebagaimana pesan Allah dalam al-Qur’an
yang mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil ‘alamîn.
Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamîn dengan upaya membumikan
ajaran Islam melalui konsep jalan tengah setidaknya ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, diantaranya adalah senantiasa menciptakan dalog interaktif dinamis
anara teks (nash) dan konteks sehingga diharapkan akan mencapai hasil pemikiran
yang konstruktif-produktif dalam membangun situasi dan kondisi sosial yang
islami.
Kemudian mewujudkan sikap perilaku keberagaaman yang mendorong kearah
terciptanya kemaslahatan publik yang lebih berpihak pada isu-isu krusial yang
berkembang ditengah masyarakat semisal kemiskinan, teririsme, terjaminnya
menjalankan agama dan kepercayaan agama tanpa unsur penodaan, perdagangan
anak, dan perempuan (traficking), pendidikan murah, buruh tenaga kerja migran,
pelayanan kesehatan, peningkatan taraf hidup, stabilitas harga pangan dan
sebagainya, harus mendapat perhatian dalam porsi pemikiran kaum muslimin,
sehingga masalah-masalah kebangsaan, keummatan, dan kemanusiaan menjadi
agenda utama pemikiran Islam. Yang pada akhirnya pesan Islam sebagai agama
rahmata lil ‘alamîn dapat terwujudkan dan melanjutkan peran risalah kenabian
tersebut dalam konteks berbangsa dan bernegara dengan baik dan benar.68
67 Alamul Huda, Epistimologi Gerakan Liberalis, Fundamentalis, dan Moderat Islam di
Era Modern, h. 192 68 Alamul Huda, Epistimologi Gerakan Liberalis, Fundamentalis, dan Moderat Islam di
Era Modern, h. 193
76
Dalam tulisan ini menurut pemulis pemikiran Muẖammad ‘Abduh dan Sayyid
Qutuhb kiranya memberikan kontribusi terhadap kecenderungan pemikiran umat
Islam di atas, penulis berpendapat bahwa Sayyid Quṯb berada pada
kecenderungan umat Islam yang mengatakan bahwa Islam harus
diimplementasikan secara formal dan legal dalam kehidupan sosio-budaya,
ekonomi, dan politik para pemeluknya. Sangat terlihat dari cara Sayyid Quṯb
menafsirkan ummatan wasaṯan dengan Umat Islam adalah umat pertengahan
dalam peraturan dan keserasian hidup. Umat Islam tidak hanya bergelut dalam
hidupnya dengan perasaan dan hati nurani. Dan juga tidak terpaku dengan adab
dan aturan manusia. Akan tetapi, umat Islam mengangkat nurani manusia dengan
aturan dari Allah SWT, serta dengan suatu arahan dan pengajaran. Dan menjamin
aturan masyarakat dengan suatu peraturan yang menyeluruh. Islam tidak
membiarkan aturan kemasyarakatan dibuat oleh penguasa, dan juga tidak
dilakukan secara langsung oleh wahyu. Tetapi, aturan kemasyarakatan itu adalah
campuran antara keduanya, yakni aturan yang berasal dari wahyu dan
dilaksanakan oleh penguasa.
Sedangkan Muẖammad ‘Abduh memiliki kecenderungan pada golongan
kedua yang berpandangan bahwa Islam tidak harus di hubungkan secara formal
dan legal, padahal pada saat yang sama mengakui Islam sebagai sumber dan
petunjuk bagi tindakan manusia. bagi kelompok terakhir ini, yang penting adalah
bahwa lingkungan secara substansial harus sejalan dengan ajaran-ajaran Islam,
artinya masih memberikan celah terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari
luar Islam.
77
Sehingga menurut penulis dalam kemajemukan umat beragama penafsiran
Muẖammad ‘Abduh yang lebih relevan di karenakan masih memberikan celah
ijtihad dengan akal dan menyesuaikan dengan konteks keberagaman yang
beraneka ragam dengan lebih flexibel dalam mewujudkan suatu tatanan
masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera. Dengan tidak meninggalkan nash-
nash Ilahi sebagai pedoman hidup, sehingga nilai kehidayahan al-Qur’an tetap
terjaga.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah diuraikan secara sistematis pada bab-bab di atas, pada bab ini akan
dikemukakan kesimpulan hasil penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang
telah penulis cantumkan pada bab pertama adalah sebagai berikut :
Dari uraian penjelasan penafsiran Muẖammad Abduh dan Sayyid Quṯb
tentang Ummatan Wasaṯan, penulis menemukan persamaan dan perbedaan
penafsiran diantara kedua tokoh tersebut. Adapun persamaan penafsiran keduanya
dalam menafsirkan Ummatan Wasaṯan adalah;
1). Kedua mufassir ini memandang bahwa ummatan wasaṯan merupakan
suatu tatanan masyarakat Islam yang berpegang teguh pada ajaran Ilahiah,
sehingga terbentuklah karakter adil sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Bersikap adil baik untuk urusan ruhaniah maupun jasmaniah. 2).
Baik Muẖammad Abduh maupun Sayyid Quṯb memandang Ummatan wasaṯan
adalah umat Islam yang menjadi saksi atas apa yang terjadi dimuka bumi, apakah
manusia menjalankan hidup sesuai syariat Islam atau tidak ? sehingga dalam diri
umat Islam yang dijadikan Allah sebagai ummatan wasaṯan terbentuk sikap adil
dalam menilai kebenaran, karena seorang saksi dituntut berbuat adil. 3).
Muhammad Abduh maupun Sayyid Quṯb mengkriteriakan ummatan wasaṯan
dengan umat yang tidak fanatik terhadap madzhab, tidak melakukan taqlid buta.
Adapun perbedaan antara Muẖammad Abduh dan Sayyid Quṯb dalam
menafsirkan Ummatan Wasaṯan, terletak pada kurang variatifnya Muẖammad
Abduh dalam mengkriteriakan sikap ummatan wasaṯan dibandingkan Sayyid
Quṯb. Abduh hanya menjelaskan secara global tentang makna Ummatan Wasaṯan
sedangkan Sayyid Quṯb sangatlah terperinci dalam menafsirkan Ummatan
Wasaṯân.
79
B. Saran-saran
Setelah selesainya penulisan skripsi ini, ada beberapa masalah yang masih
mengganjal dalam hati penulis yang kiranya dapat dikaji lebih lanjut oleh para
pembaca. Dalam skripsi ini penulis hanya membahas perbedaan dan persamaan
pemikiran Muhammad Abduh dan Sayyid Quthb terhadap ummatan wasthan.
masih banyak perbedaan dan persamaan kedua tokoh tersebut dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an namun tidak penulis cantumkan dalam skripsi ini. pemikiran-
pemikiran Muhammad Abduh dan Sayyid Quthb lainnya terhadap problema-
problema sosial layak di perkenalkan kepada masyarakat, guna membangkitkan
semangat taat beribadah kepada Allah SWT dan menjadi manusia yang dapat
memanusiakan manusia.
Demikian apa yang telah penulis paparkan, dan penulis berharap agar
pembahasan ini berkembang, sehingga masyarakat dapat mengenal lebih dekat
bebagai macam penafsiran ummatan wasthan karena masih banyak model
penafsiran terkait hal tersebut.
80
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Baqi Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahrus li al-Fadzi al-Qur’an al-Karim.
Beirut: Daar al-Fikr, 1992.
Aderus Banua,Andi dkk. Kontruksi Islam Moderat: Mengupa Prinsip Rasionalitas,
Humanitas dan Universalitas Islam. Makassar: ICCAT Press dengan Aura Pustaka
2012.
al-Asfahâny, Ragib. Mufradat al fadz al-Qur’an. Jilid II. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1990.
Afrizal dan Mukhlis. Konsep wasathiyah dalm al-Qur’an. Jurnal An-Nur vol. 4 no. 2,
2015.
Arsyad, Mustamin“Rekinstruksi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis” dalam Esensia;
Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol III, No I. Yogyakata: IAIN Sunan Kalijaga,
2002.
Asy’ari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Islam. Yogyakarta: LESFI, 1982.
Berry, David, Pokok-pokok pikiran dalam sosiolog. Terj. LPPS Jakarta: Rajawali 1982.
Boisard, Marsel. Humanisme dalam Islam. Terj Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang 1980.
Chirzin, Muhammad. Jihad Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an.
Solo: Era Intermedia, 2001.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Syamil Qur’an, 2010.
al-Farmawi. Abd. Al-Hay. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Kairo: al-Hadraf al-
Arabiyah, 1977.
Fadullah, Mahdi. Titik Temu Agama dan Politik Analisa Pemikiran Sayyyid Quṯb. Solo:
1991.
Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam: Pengantar sosiologi dan sosiografi. Jakarta: Bulan
Bintang, 1976.
Hidayat, Komaruddin. Agama Masa Depan Prespektif Filsafat Perranial. Jakarta:
Paramadina, 1995.
Hamka, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
81
Huda, Alamul. Epistimologi Gerakan Liberalis, fundamentalis, dan Moderat Islam di Era
Modern. Jurnal Syariah dan Hukum. Vol. 2, 2010.
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin Dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1994
Muhammad, Abu Ja’far bin Jarir Al-Thabari. Jamî’ al-Bayan ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’ân
Kairo: Dâr al-Hadîs, 2010
Mustaqim, Abduh, dkk. Studi al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Nurdin, Ali. Qur’anic Society. Jakarta: Erlangga, 2005.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1995.
Quthb, Sayyid. Tafsîr Fî Dzilâl al-Qur’ân. Bayrût: Dâr al-Syurûq, 1968.
Ridho, M.Rasyid . Tafsir al- Manar. Jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr 2004.
Rusli Tanjung,Abdurahman. Analisis Terhadap Corak Tafsir al-Adâby al-Ijtima’i.
Analytica Islamica, Vol.3 tahun 2014.
al-Sabuni , ‘Ali. Rawai’ al-Bayan. jilid I. Makkah: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1972.
al-Syathibi, Abu Ishaq. al-Muwaffaqat, Beurit, cet. II, jilid III. Dar al-Ma’arif, 1975.
Sadzily, Hasan. Sosiologi Untuk Msyarakat Indonesia Jakarata, Bin Aksara. 1983
Satori Ismail, Achmad dkk. Islam Moderat, Menebar Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Cet II.
Jakarta: Pustaka Ikadi, 2012.
Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur’an; Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat. Cet III. Bandung: Mizan, 2009.
--------, Membumikan al-Qur’an; Memfungsikan Wahyu Dalam Kehidupan. Cet I.
Jakarta: Lentera hati, 2011.
--------, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis terhadap Tafsir al-Manar Jakarta,: Lentera
Hati , 2016
Taher, Tarmizi. Menuju Ummatan Wasathan: kerukunan beragama di Indonesia. Jakarta:
PPIM, 1998.
82
Qordhawi, Yusuf, Islam Ekstrem Analisis dan pemecahanya. Terjemahan dari kitab al-
Sahwah al-Islâmiyah baina al-Juhud wa al-Ṯatharruf. Cet VI. Bandung: Mizan,
1993.
-----------------, al-Khasais al-‘Ammah li al-Islam, cet, ke-2. Beirut: Mu’assah al-Risalah
1983
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
al-Zarkasyî, Bahruddîn. al-Burhân Fî Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arâbâ,
1967.
top related