uji rempah rempah
Post on 06-Aug-2015
350 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Senin/05 November 2012
Analisis Mutu Mikrobiologi Dosen : Neny Mariyani, STP
Pangan Asisten Dosen : Yuvita Alfanurani, Amd
UJI ANTIMIKROBA KOMPONEN BIOAKTIF ASAL BUMBU
DAN REMPAH DENGAN METODE DIFUSI SUMUR DAN
METODE CAKRAM KERTAS SARING
Oleh:
Kelompok 2
B / P1
Ayen Nita J3E111005
Vita Riswanti J3E111037
Astriana Puspaningtyas J3E111040
Nurul Ulfah Dzulfadilah J3E111046
Tia Esha Nombiga J3E111073
Diah Sri Lestari J3E111106
PROGRAM KEAHLIAN SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN
DIREKTORAT PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah mempelajari sifat dan efektivitas
beberapa jenis bumbu/rempah serta penerapan metode difusi sumur dan metode
cakram kertas saring untuk mengevaluasi aktivitas dan efektivitas beberapa jenis
bumbu/rempah.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Data Hasil Pengamatan
2.1.1 Metode Difusi Sumur
Tabel 1. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba S. aureus kelompok 1
Rempah/
AntimikrobaCengkeh Bawang Putih Larfis Iodium
Lubang ke- 1 2 1 2 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - -
Tabel 2. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba E. coli kelompok 2
Rempah/
AntimikrobaCengkeh Bawang Putih Larfis Iodium
Lubang ke- 1 2 1 2 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)0,100 - 0,100 0,100 - -
Tabel 3. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba S. aureus kelompok 3
Rempah/Antimikroba Bawang Merah Cabai Larfis Iodium
Lubang ke- 1 2 1 2 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - -
Tabel 4. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba E. coli kelompok 4
Rempah/
AntimikrobaBawang Merah Cabai Larfis Iodium
Lubang ke- 1 2 1 2 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - -
Tabel 5. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba S. aureus kelompok 5
Rempah/
AntimikrobaBawang Putih Sereh Larfis Iodium
Lubang ke- 1 2 1 2 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - -
Tabel 6. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba E.coli kelompok 6
Rempah/
AntimikrobaBawang Putih Sereh Larfis Iodium
Lubang ke- 1 2 1 2 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - -
Tabel 7. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba S. aureus kelompok 7
Rempah/
AntimikrobaKetumbar Cengkeh Larfis Iodium
Lubang ke- 1 2 1 2 1 1
Zona Bening (cm) - - - - - -
2.1.2 Metode Cakram Kertas Saring
Tabel 1. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba S. aureus kelompok 1
Rempah/
AntimikrobaCengkeh
Bawang Putih
Larfis Iodium Fenol
Kertas Saring ke- 1 2 1 2 1 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - - -
Tabel 2. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba E.coli kelompok 2
Rempah/Antimikroba
CengkehBawang
PutihLarfis Iodium Fenol
Kertas Saring ke- 1 2 1 2 1 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - - 0,100
Tabel 3. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba S. aureus kelompok 3
Rempah/
Antimikroba
Bawang
MerahCabai Larfis Iodium Fenol
Kertas Saring ke- 1 2 1 2 1 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - - -
Tabel 4. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba E.coli kelompok 4
Rempah/
Antimikroba
Bawang
MerahCabai Larfis Iodium Fenol
Kertas Saring ke- 1 2 1 2 1 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - - -
Tabel 5. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba S. aureus kelompok 5
Rempah/
Antimikroba
Bawang
PutihSereh Larfis Iodium Fenol
Kertas Saring ke- 1 2 1 2 1 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - - -
Tabel 6. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba E.coli kelompok 6
Rempah/
Antimikroba
Bawang
PutihSereh Larfis Iodium Fenol
Kertas Saring ke- 1 2 1 2 1 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - 0,170 0,160 - - -
Tabel 7. Hasil pengamatan ekstrak rempah dan antimikroba S. aureus kelompok 7
Rempah/
AntimikrobaKetumbar Cengkeh Larfis Iodium Fenol
Kertas Saring ke- 1 2 1 2 1 1 1
Jarak Zona Bening
(cm)- - - - - - -
2.2 Pembahasan
Produk pangan harus tetap dijaga kualitasnya selama penyimpanan dan
distribusi, karena pada tahap ini produk pangan sangat rentan terhadap terjadinya
rekontaminasi, terutama dari mikroba patogen yang berbahaya bagi tubuh dan
mikroba perusak yang dapat menyebabkan kerusakan pada makanan. Salah satu
cara untuk menjaga kualitas pangan adalah dengan menambahkan bahan aditif
berupa zat antimikroba dalam bentuk rempah-rempah.
Rempah-rempah merupakan bahan tambahan yang tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia dan banyak digunakan sebagai bumbu dalam makanan
tradisional. Rempah-rempah adalah tanaman atau bagian tanaman yang dapat
dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering. Sebagin besar
rempah-rempah mempunyai daya guna ganda yaitu untuk meningkatkan aroma
dan cita rasa produk yang dihasilkan serta digunakan untuk bahan dasar ramuan
obat-obat tradisional.
Rempah-rempah yang digunakan dalam kegiatan pengolahan makanan
sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan tetapi
pada konsentrasi tersebut rempah-rempah dapat membantu bahan lain yang dapat
mencegah pertumbuhan mikroba pada makanan. Efek penghambatan
pertumbuhan mikroba oleh suatu jenis rempah-rempah bersifat khas. Setiap jenis
senyawa antimikroba mempunyai kemampuan penghambatan yang khas untuk
satu jenis mikroba tertentu (Frazier dan Westhoff, 1988 di dalam Rahayu, 2000).
Beberapa jenis rempah-rempah yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba
yang cukup kuat adalah bawang merah (Johnson dan Vaugn, 1969 di dalam
Rahayu, 2000), bawang putih (Thomas, 1984 di dalam Rahayu, 2000), cabai
merah (Dewanti, 1984 di dalam Rahayu, 2000), jahe (Jenie dkk, 1992 di dalam
Rahayu, 2000), dan lengkuas (Rahayu, 1999 di dalam Rahayu, 2000).
Kegiatan praktikum Analisis Mutu Mikrobiologi Pangan yang
dilaksanakan pada tanggal 12 November 2012 yaitu mempelajari sifat dan
efektivitas beberapa jenis bumbu/rempah, yaitu bawang merah, cengkeh, bawang
putih, cabai, daun sereh, dan ketumbar. Selain itu, melakukan penerapan metode
difusi sumur dan metode cakram kertas saring untuk mengevaluasi aktivitas dan
efektivitas beberapa jenis bumbu/rempah.
2.2.1 Uji Antimikroba Rempah dengan Metode Difusi Sumur
2.2.1.1 Uji Antimikroba Bawang Merah
Saat ini penggunaan antibakteri dari bahan alami mulai dikembangkan.
Antibakteri dari bahan alami memiliki kelebihan dalam mengurangi efek samping
yang dihasilkan jika dibandingkan dengan antibakteri sintetik. Indonesia sangat
kaya dengan berbagai macam komoditas pangan. Salah satunya yang paling
mudah ditemukan adalah bawang merah (Allium cepa L.). Di Indonesia terdapat
sekitar 10 kultivar bawang merah (Putrasamedja, 1996 di dalam Indrawati, 2009).
Penelitian terhadap bawang merah menunjukkan bahwa bawang merah
mengandung minyak atsiri yang tersusun dari berbagai senyawa sulfida yang
bersifat antibakteri (Amelia, 2004; Wahyu, 2005 di dalam Indrawati, 2009).
Adapun prosedur yang dilakukan pada uji keefektivitasan bawang merah
sebagai antimikroba dengan metode difusi sumur yaitu membuat suspensi bakteri
uji S. aureus (gram positif) dan E. coli (gram negatif) dengan cara diencerkan
sampai tingkat pengenceran 10-1. Dilakukan inokulasi pada media NA (Nutrient
Agar) sebanyak 0,1 ml dari tingkat pengeceran tertinggi dengan metode tuang.
Bakteri uji tersebut digunakan untuk mengetahui keefektivitasan bawang merah
sebagai antimikroba. Selanjutnya dibuat ekstrak bawang merah dengan cara
ditimbang bawang merah yang telah dikupas seberat 20 gram, kemudian dicuci
dan dihancurkan menggunakan lumpang dan alu. Bawang merah yang telah
dihancurkan, kemudian dilarutkan menggunakan air sampai volume mencapai 100
ml. Direbus larutan bawang merah hingga volumenya mencapai 50 ml. Setelah itu
disaring menggunakan pompa vakum dan diambil ekstraknya. Dibuat lubang pada
media NA (Nutrient Agar) yang telah diinokulasi oleh bakteri uji sebanyak enam
lubang. Infusa yang mengandung ekstrak bawang merah dimasukkan ke dalam
lubang sumur pada agar medium yang telah diinokulasi. Dilakukan hal yang sama
terhadap antimikroba sintetik, yaitu iodin sebagai pembanding dan larutan
fisiologis sebagai kontrol untuk mengetahui viabilitas bakteri uji. Pertama, terjadi
penyerapan air dari media agar dan kemudian melarut. Kemudian antimikroba itu
berdifusi pada media agar sesuai dengan hukum fisika yang berlaku atas proses
difusi suatu molekul. Hasil yang didapat berupa diameter zona terang/hambat
pada agar sekeliling sumur setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam, lalu
diukur menggunakan penggaris atau jangka sorong.
Berdasarkan data uji keefektivitasan ekstrak bawang merah sebagai
antimikroba dengan metode difusi sumur tidak ditemukan adanya zona
terang/hambat, baik pada bakteri uji S. aureus (gram positif) maupun E. coli
(gram negatif). Selain itu, pada antimikroba pembanding yaitu iodin juga tidak
ditemukan adanya zona terang/hambat. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak
bawang merah yang diuji tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri.
Seharusnya ekstrak bawang merah memiliki kemampuan sebagai antimikroba
karena memiliki senyawa aktif yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba.
Komponen yang terutama memberikan sifat antimikroba pada rempah-rempah
adalah minyak esensial. Minyak esensial dikenal juga dengan nama minyak
terbang atau minyak atsiri dan kadang-kadang disebut juga sebagai minyak
rempah. Minyak ini mengandung komponen aromatik yang tinggi (Purseglove
dkk, 1981 di dalam Susilawati, 1987). Umbi lapis bawang merah mengandung
senyawa minyak atsiri jenis disulfida, trisulfida, tiopen, tiosulfinat, furan, dan
hidrokarbon. Ajizah (2004) di dalam Indrawati (2009) mengatakan bahwa minyak
atsiri dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri dengan
mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel sehingga membran
atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna.
Penyimpangan hasil praktikum ini disebabkan oleh menurunnya
keefektivitasan ekstrak bawang merah sebelum digunakan. Adapun penurunan
keefektivitasan ekstrak bawang merah ini sendiri disebabkan oleh penggunaan
alat-alat gelas seperti gelas piala, erlenmeyer, pipet mohr, ataupun pompa vakum
yang tidak bersih sehingga menyebabkan terjadinya kontaminasi silang. Penyebab
lain dari penyimpangan hasil praktikum ini dapat disebabkan oleh konsentrasi
ekstrak bawang merah yang terlalu rendah, yaitu sekitar 20%. Salzer dkk (1977)
di dalam Silliker (1980) di dalam Susilawati (1987), menyatakan bahwa rempah-
rempah yang digunakan dalam makanan mempunyai sifat antimikroba yang
rendah. Hal ini disebabkan konsentrasi minyak esensial rempah-rempah yang
digunakan dalam makanan rendah (25 - 250 ppm). Selain itu proses perebusan
pada saat membuat ekstrak bawang merah terlalu lama sehingga banyak
komponen minyak atsiri yang teruapkan. Menurut penelitian Sudrajad (2004)
mengenai minyak atsiri, simplisia dengan ketebalan irisan 2 mm tanpa perlakuan
blanching menghasilkan minyak atsiri lebih tinggi (4,5%) dengan kualitas
simplisia yang lebih baik (warna putih kekuningan, permukaan rata dan tekstur
liat, mudah dipatahkan) sedangkan yang hasil terendah diperoleh pada perlakuan
ketebalan irisan 2 mm dengan perlakuan lama blanching 10 menit yaitu warna
simplisia coklat, keadaan fisik irisan bergelombang, permukaan keras, sukar
dipatahkan dengan kadar minyak atsiri (2%). Selain itu, pembuatan suspensi
bakteri uji ataupun pembiakkan bakteri uji ke dalam media tidak dilakukan secara
aseptik sehingga menyebabkan bakteri yang berasal dari mulut, udara, tangan,
ataupun benda-benda lain ikut terinokulasi ke dalam media NA (Nutrient Agar).
2.2.1.2 Uji Antimikroba Cengkeh
Praktikum uji antimikroba metode difusi sumur dengan menggunakan
ekstrak rempah kali ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak rempah
yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Ekstrak dari suatu
rempah dapat berfungsi sebagai antimikroba karena dalam tumbuhan tersebut
mengandung suatu komponen bioaktif yang berfungsi menghambat pertumbuhan
mikroba. Komponen antimikroba adalah suatu komponen yang bersifat dapat
menghambat pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteriostatik atau fungistatik)
atau membunuh bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal). Zat aktif yang
terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat
beberapa mikroba patogen maupun perusak makanan. Zat aktif tersebut dapat
berasal dari bagian tumbuhan seperti biji, buah, rimpang, batang, daun, dan umbi.
Tingginya permintaan konsumen terhadap pangan yang bebas dari
penambahan senyawa kimia sintetis, memunculkan berkembangnya metode-
metode pengawetan dengan menambahkan komponen atau zat pengawet alami.
Contoh-contoh zat pengawet alami diantaranya adalah asam-asam organik yang
dihasilkan dari fermentasi buah-buahan, bakteri asam laktat, dan komponen-
komponen minyak atsiri dari ekstrak tumbuhan seperti rempah-rempah, tanaman
tahunan, dan rumput-rumputan. Salah satu bahan antibakteri alami yang
jumlahnya melimpah, mudah diperoleh serta dianggap memiliki kemampuan
antibakteri yakni cengkeh. Cengkeh memiliki aktivitas biologi, antara lain sifat
antibakteri, antijamur, pemberantas serangga, dan antioksidan, dan secara
tradisional digunakan sebagai agen flavor dan bahan antibakteri dalam pangan.
Cengkeh (Syzygium aromaticum (L) Merr & Perry) merupakan tanaman
rempah yang sejak lama digunakan dalam industri rokok kretek, makanan,
minuman dan obat-obatan. Selanjutnya Meyer dkk, (2008) di dalam Taufik
(2008), menyatakan bahwa minyak cengkeh yang diperoleh dari bunga, batang
maupun daun dari tanaman cengkeh mampu menghambat pertumbuhan
organisme, termasuk diantaranya mikroba, serangga, cacing dan tanaman
pengganggu.
Ekstrak dibuat dengan cara menimbang 20 gram rempah lalu diekstraksi
menggunakan pelarut polar yaitu air. Rempah yang akan diekstrak diberi
perlakuan pendahuluan yaitu dengan pengecilan ukuran dan penumbukan.
Kemudian rempah tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih sebanyak 100 ml
dan dibiarkan menguap hingga 50%. Ekstrak cengkeh dimasukkan ke dalam
sumur atau lubang akan berdifusi masuk ke dalam agar selama masa inkubasi.
Bila memiliki sifat antimikroba, ekstrak cengkeh ini akan menimbulkan gradien
konsentrasi di dalam agar dan membentuk penghambatan yang dapat dilihat
sebagai zona bening. Semakin jauh jarak masuk ke dalam agar, maka konsentrasi
produk yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri semakin besar. Hal inilah
yang menimbulkan gradien yang berbeda pada tingkat konsentrasi tertentu. Batas
dari zona bening adalah pada saat kekuatan ekstrak cengkeh sudah jauh
berkurang, sehingga tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri uji. Zona bening
yang terbentuk disebut juga diameter penghambatan. Diameter penghambatan
yang dibentuk, dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti konsentrasi produk,
tingkat kelarutan produk dan kemampuan produk untuk berdifusi ke dalam agar
(Prescott dkk, 2003 di dalam Taufik, 2008). Semakin lebar diameter
penghambatan, maka aktivitas senyawa antimikroba semakin besar.
Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan metode difusi sumur
terhadap dua jenis bakteri yaitu S. aureus yang merupakan bakteri gram positif
dan Escherichia coli yang merupakan bakteri gram negatif. Penggunaan kedua
bakteri tersebut didasarkan pada keberadaan bakteri E. coli dan S. aureus yang
cukup banyak dan tersebar pada tubuh manusia, keduanya merupakan bakteri
patogen yang dapat menganggu kesehatan manusia..
Berdasarkan hasil praktikum ekstrak cengkeh pada medium NA dengan
bakteri uji E. coli menunjukkan terbentuknya zona bening. Terbentuknya zona
bening ini menunjukkan adanya aktivitas antimikroba pada ekstrak rempah
tersebut. Sedangkan pada bakteri S. aureus tidak terbentuk zona bening disekitar
sumur, hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak cengkeh kurang efektif dalm
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus. Zona bening yang terbentuk pada
cengkeh yakni 0,100 cm.
Berdasarkan hasil tersebut juga dapat dikatakan bahwa bakteri gram positif
(S.aureus) lebih resisten terhadap ekstrak cengkeh dibandingkan dengan bakteri
gram negatif (E.coli), hal tersebut dilihat dari jarak zona hambat yang terbentuk.
Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan referensi yang ada, Corn dan Stumpf
(1976) di dalam Rahayu (2000), menyatakan bahwa dinding sel bakteri gram
positif akan bermuatan negatif sebagai akibat dari ionisasi gugus fosfat dari asam
teikoat pada struktur dinding selnya, sedangkan eugenol yang merupakan senyawa
turunan fenol merupakan suatu alkohol yang bersifat asam lemah. Sebagai asam
lemah, senyawa-senyawa fenolik dapat terionisasi melepaskan ion H+ dan
meninggalkan gugus sisanya yang bermuatan negatif. Kondisi yang bermuatan
negatif ini akan ditolak oleh dinding sel bakteri gram positif yang secara alami
juga bermuatan negatif.
Kondisi yang asam pada minyak cengkeh menyebabkan fenol dapat
bekerja menghambat pertumbuhan S.aureus. Senyawa fenol pada pH rendah akan
bermuatan positif, sehingga fenol tidak akan terionisasi. Perbedaan muatan ini
menyebabkan terjadinya tarik menarik antara fenol dengan dinding sel, sehingga
fenol secara keseluruhan akan lebih mudah melekat atau melewati dinding sel
bakteri gram positif. Tidak terdapatnya asam teikoat pada bakteri gram negatif,
menyebabkan bakteri golongan ini lebih tahan terhadap minyak cengkeh
dibanding bakteri gram positif.
Selanjutnya Burt (2004) di dalam Taufik (2008), menyatakan bahwa
kemampuan cengkeh dalam menghambat pertumbuhan bakteri disebabkan adanya
kandungan eugenol yang tinggi. Karakteristik eugenol yang terpenting sebagai
antibakteri yaitu sifat hydrophobicity. Sifat ini mampu masuk ke dalam
lipopolisakarida yang terdapat dalam membran sel bakteri gram negatif dan
merusak struktur selnya. Cox dkk, (2000) di dalam Taufik (2008), menyatakan
bahwa aksi agen antimikroba tergantung pada tipe mikroorganisme. Fakta-fakta
menunjukkan adanya hubungan minyak atsiri dengan terjadinya kerusakan pada
membran sel. Unsur kimia terpenting adalah adanya sifat hidrofobik dan
terakumulasi dalam struktur membran sel yang lingkungannya kaya akan lemak,
sehingga menyebabkan kerusakan pada struktur dan fungsi membran sel tersebut.
Bakteri gram negatif yang diteliti umumnya lebih tahan daripada bakteri
gram positif. Pada umumnya bakteri gram positif seperti S. aureus lebih peka
terhadap aktivitas antimikroba dibandingkan dengan bakteri gram negatif seperti
E.coli. Daya tahan yang lebih rendah dari golongan bakteri gram positif
dibandingkan bakteri gram negatif terhadap komponen antimikroba dalam ekstrak
diduga disebabkan karena perbedaan struktur dinding sel bakteri. Susunan
komponen dinding sel bakteri gram positif umumnva lebih sederhana
dibandingkan dengan dinding sel bakteri gram negatif sehingga lebih mudah
ditembus senyawa antimikroba. Penghambatan pertumbuhan sel mikroba oleh
komponen fenol atau alkohol dari rempah-rempah disebabkan kemampuan fenol
untuk mendenaturasi protein dan merusak membran sel dengan cara melarutkan
lemak yang terdapat pada dinding sel, karena senyawa ini mampu melakukan
migrasi dari fase cair ke fase lemak. Beberapa senyawa turunan fenol juga mampu
menurunkan tegangan permukaan sel (Pelczar dan Reid, 1979 di dalam Rahayu
2000). Menurut Hugo dan Russel (1981) di dalam Rahayu (2000), aktivitas
senyawa fenol dapat meningkat dengan adanya beberapa faktor seperti substitusi
alkil dan halogen, semakin panjangnya rantai alifatik dan kondisi media yang
asam atau mempunyai nilai pH yang rendah.
Keefektifan penghambatan merupakan salah satu kriteria pemilihan suatu
senyawa antimikroba untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet bahan pangan.
Semakin kuat penghambatannya, semakin efektif digunakan. Kerusakan yang
ditimbulkan komponen antimikroba dapat bersifat mikrosidal (kerusakan tetap)
atau mikrostatik (kerusakan sementara yang dapat kembali). Suatu komponen
akan bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi dan kultur
yang digunakan.
2.2.1.3 Uji Antimikroba Bawang Putih
Fungsi bawang putih selain sebagai bumbu penyedap dapat digunakan
juga sebagai zat antimikroba sebagaimana telah dikatakan Louis Pasteur dimana
terdapat zat antimikroba dalam bawang putih atau jus bawang putih. Bawang
putih mempunyai spektrum antimikroba yang lebar sehingga dapat membunuh
bakteri gram negatif dan bakteri gram positif. Berdasarkan hasil riset yang ada,
bawang putih dapat membunuh bakteri flora normal intestinal yang menjadi
patogen, bawang putih juga dapat mengatasi bakter-bakteri yang telah resisten
terhadap antibiotik dan toksin yang dihasilkan oleh bakteri dapat dihambat oleh
zat anti mikroba bawang putih.
Salah satu zat yang ada dalam bawang putih antara lain adalah alisin. Zat
tersebut merupakan zat aktif dalam bawang putih yang efektif dapat membunuh
mikroba, seperti kuman-kuman penyebab infeksi. Alisin mengandung senyawa
sulfur yang tidak stabil, adanya senyawa sulfur tersebut didentifikasikan sebagai
prinsip antibakteri yang potensial dari bawang putih. Reaksi alisin dengan sistein
yang terdapat dalam bawang putih menghasilkan senyawa yang berkerja sebagai
agen antibakterial, yaitu dengan merusak gugus sulfidril yang penting proliferasi
kuman, sehingga kuman dihambat pertumbuhannya (Guenther, 1975; Roser, 1997
di dalam Ramadanti, 2008).
Alisin mempunyai aktivitas antimikroba yang bervariasi. Alisin murni
memiliki daya antimikroba dengan spektrum yang luas, termasuk pada strain
Escherichia coli yang enterotoksigenik multidrug resistan, daya aktivitas
antifungi, daya aktivitas antiparasit dan antivirus. Alisin menyerang bagian
katalisator biologis atau enzim pada bagian bawah atau dalam lapisan bakteri yang
digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi.
Alkaloid dari ekstrak bawang putih mengandung racun yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri atau dapat menyebabkan sel bakteri menjadi
lisis bila terpapar oleh zat tersebut. Selanjutnya tanin yang juga terkandung dalam
ekstrak akan mengganggu sel bakteri dalam penyerapan protein oleh cairan sel.
Hal ini dapat terjadi karena tanin menghambat proteolitik yang berperan
menguraikan protein menjadi asam amino. Komponen aktif yang terdapat pada
bawang putih mempunyai efek penghambatan terhadap beberapa mikroba patogen
seperti Staphylococcus aureus, E. coli, dan Bacillus cereus dan menghambat
produksi toksin dari Clostridium botulinum tipe A dengan mereduksi toksinnya
sebanyak 3 log.
Pengujian keefektivitasan rempah bawang putih sebagai antimikroba,
bakteri uji yang digunakan antara lain adalah Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Kelompok 1, 2, 5, dan 6 menggunakan bawang putih untuk
mengisi difusi sumur NA yang telah diinokulasi dengan Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli. Kelompok 1 dan 5 medianya diinokulasi dengan
Staphylococcus aureus, sedangkan kelompok 2 dan 6 medianya diinokulasi
dengan Escherichia coli.
Berdasarkan hasil pengamatan S.aureus pada kelompok 1 dan 5 tidak
terdeteksi adanya areal bening atau zona hambat dikedua sumur tersebut. Hal ini
dapat diartikan bahwa dalam uji ini, bawang putih tidak memiliki efektivitas
sebagai antimikroba. Hasil pengamatan E.coli pada kelompok 2 dan 6, pada
kelompok 2 terdapat areal bening atau zona hambat di masing-masing sumur
sebesar 0,100 cm. Namun pada kelompok 6 tidak terdapat areal bening atau zona
hambat di masing-masing sumur.
2.2.1.4 Uji Antimikroba Cabai
Cabai merah (Capsicum annuum) bersifat panas dan merupakan stimulan
untuk meningkatkan nafsu makan. Di samping itu juga berkhasiat sebagai
diaforetik atau perangsang keringat, peluruh kulit dan sebagai obat gosok. Cabai
merah mengandung kapcaisin, hidrokapcaisin, vitamin A, vitamin C, zat warna
kapsantin serta karoten. Senyawa aktif dalam cabai yang memiliki aktivitas
antimikroba adalah Capsaicin. Capsaicinoid utama di dalam cabai karena
mempunyai persentase kandungan paling besar yaitu 69% dibandingkan jenis
Capsaicinoid yang lain. Selain tidak terpengaruh oleh pemanasan maupun
pendinginan, zat yang tidak berasa, berwarna dan berbau ini kurang dapat larut
dalam air (bersifat nonpolar), tetapi sangat larut di dalam alkohol, lemak dan
minyak (Witt, 2007 di dalam Pamungkas, 2008). Cabai mempunyai sifat memacu
atau menghambat mikroba tertentu karena cabai mengandung beberapa senyawa
nutrisi yaitu pentose, selulosa, protein, lemak, logam-logam tertentu dan minyak
atsiri dan resin (Purseglove dkk, 1981 di dalam Astuti, 1996).
Sebelum dilakukan pengujian terhadap komponen bioaktif cabai,
dilakukan persiapan sampel terhadap cabai dengan cara mengekstraknya. Ekstrak
merupakan tahap untuk pemisahan senyawa dengan matriksnya menjadi senyawa
terlarut untuk diidentifikasi selanjutnya. Cabai sebanyak 20 gr dihaluskan
menggunakan mortar dan kemudian dipanaskan di dalam air mendidih 100 ml dan
diuapkan hingga tersisa 50 ml. Kemudian dilakukan penyaringan menggunakan
pompa vakum hingga didapatkan ekstrak cabai. Ekstrak cabai tersebut digunakan
untuk metode difusi sumur.
Pengujian terhadap bioaktif metode difusi sumur ini akan mengetahui
keefektifan capsaicin dalam menghambat mikroba. Metode difusi sumur memiliki
kekurangan dan kelebihan dalam pengujiannya. Kelebihan metode ini adalah
kesederhanaan dalam pengerjaannya, sedangkan kekurangannya adalah senyawa
yang diujikan harus dapat berdifusi dengan baik dalam agar serta data yang
dihasilkan bersifat kualitatif. Bakteri uji yang digunakan adalah E. coli dan S.
aureus melalui tingkat pengenceran hingga 10-3, kemudian dilakukan metode
tuang dengan media NA (Nutrient Agar) secara duplo. NA merupakan suatu
medium yang mengandung sumber nitrogen dalam jumlah cukup, yaitu 0,3 %
ekstrak daging sapi, 0,5 % peptone tetapi tidak mengandung sumber karbohidrat,
jadi baik untuk pertumbuhan bakteri, namun kapang dan khamir tidak dapat
tumbuh dengan baik. Setelah agar membeku, dilakukan pengujian bioaktif dari
rempah-rempah dengan membuat lubang sebanyak enam lubang pada agar secara
aseptis. Zona bening yang terbentuk merupakan parameter terhambatnya
pertumbuhan bakteri. Diameter yang terbentuk dilakukan pengukuran sebanyak 4
kali untuk mendapatkan jarak areal bening.
Hasil inkubasi menunjukkan tidak adanya areal bening pada dua sumur
berisi ekstrak cabai. Saat dibandingkan dengan kontrol yang berisi air steril juga
tidak terdapat areal bening. Seharusnya areal bening dapat terbentuk karena
capsaicin dapat mempengaruhi sel mikroba dengan beberapa cara yang dimulai
dari penetrasi Capsaicin ke dalam sel itu sendiri. Penetrasi Capsaicin tersebut
akan dihambat oleh dinding sel yang bersangkutan sesuai fungsinya yaitu
memberi perlindungan osmose dan memberi kekebalan terhadap efek buruk
lingkungan. Komponen dinding sel suatu mikroba akan menentukan keberhasilan
Capsaicin dalam melakukan penetrasi. Hal ini dikarenakan sifat dari Capsaicin
yang larut dalam lemak dan sukar larut dalam air. Aksi berikutnya dari Capsaicin
adalah menghambat sintesis protein serta merusak DNA (Pamungkas, 2008).
Capsaicin secara langsung menghambat sintesis protein dengan berkompetisi
dengan tirosin dalam sistem sel. Capsaicin mudah untuk menyebabkan kerusakan
DNA. Capsaicin juga menjadi penyebab terpotongnya pita DNA melalui
mekanisme oksidatif. Sebagai contoh, dalam kultur sel Hela, 100 μM Capsaicin
menyebabkan fragmentasi DNA dan kondensasi kromatin (Krishna De, 2003 di
dalam Pamungkas, 2008).
Bakteri yang digunakan untuk menguji bakteriostatik adalah E. Coli dan S.
aureus. Escherichia coli dapat dihambat pertumbuhannya karena dinding sel
Enterobacteriaceae terdiri dari lapisan murein, lipoprotein, fosfolipid, protein dan
lipopolisakarida. Lapisan murein-lipoprotein membentuk 20% dari total dinding
sel. Lapisan fosfolipid, protein dan lipopolisakarida membentuk 80% dari dinding
sel (Jawetz, dkk., 2005 di dalam Pamungkas, 2008). Lapisan tebal
lipopolisakarida pada dinding sel Echerichia coli menyebabkannya rentan
terhadap penetrasi Capsaicin yang terkandung dalam ekstrak cabai rawit
(Capsicum frutescens, L di dalam skripsi muhammadiyah). Karena sifat dari
Capsaicin diantaranya adalah mudah larut dalam lemak, maka dimungkinkan
penetrasinya ke dalam dinding sel bakteri gram negatif ini akan lebih cepat.
Bakteri S. aureus cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri.
Hal ini karena struktur dinding sel bakteri S. aureus (bakteri gram positif) relatif
lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke
dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Adapun bakteri E. coli
merupakan bakteri gram negatif. Kelompok bakteri gram negatif mempunyai sifat
kurang rentan terhadap beberapa antibiotik. Hal ini dikarenakan struktur dinding
sel bakteri gram negatif relatif lebih kompleks dan berlapis tiga, yaitu lapisan luar
berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa lipopolisakarida, dan lapisan dalam
berupa peptidoglikan (Pelczar dan Chan 2005 di dalam Priyatmoko, 2008).
Tidak terbentuknya zona bening pada sumur berisi ekstrak cabai maupun
air steril diindikasikan adanya kontaminasi dari berbagai faktor yang
menyebabkan tidak efektifnya daya kerja cabai sebagai antimikroba. Kontaminasi
tidak hanya berasal pada saat pengujian berlangsung, saat persiapan sampel pun
dapat berpengaruh. Diantaranya saat dilakukan penguapan dari volume larutan
cabai sangat memungkinkan adanya mikroba yang dibawa oleh udara. Selain itu,
proses penyaringan menggunakan pompa vakum yang tidak steril dan digunakan
secara bergantian dengan rempah-rempah lainnya sehingga proses pencucian tidak
berjalan dengan efektif. Maka daya hambat bioaktif dari cabai menjadi tidak
efektif lagi ketika akan diinkubasi. Alasan lain yang paling memungkinkan adalah
kerja praktikan yang kurang aseptik. Faktor yang mempengaruhi ukuran daerah
penghambatan menurut Schlegel dan Schmidt (1994) di dalam Priyatmoko (2008)
yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan kecepatan
difusi agar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi agar, yaitu
konsentrasi mikroorganisme, komposisi media, suhu inkubasi, dan waktu
inkubasi.
2.2.1.5 Uji Antimikroba Daun Sereh
Sebelum melakukan pengujian pada rempah, yang perlu dilakukan
pertama adalah mempersiapkan sampel rempah tersebut. Beberapa antimikroba
yang digunakan adalah antimikroba alami dan sintetis. Antimikroba alami berasal
dari rempah-rempah misalnya bawang putih, cengkeh, sereh, dan ketumbar
sedangkan antimikroba sintetis berupa iodin. Selain itu, digunakan juga larutan
fisiologis sebagai kontrol. Hal pertama yang dilakukan dalam mempersiapkan
sampel antimikroba alami yang berasal dari jenis rempah yaitu rempah
dibersihkan dengan air, lalu rempah ditimbang sebanyak 1-10 gram. Setelah
ditimbang, rempah tersebut dididihkan dalam air panas hingga volume 100 ml.
Dibiarkan 5 hingga 10 menit, lalu ekstrak rempah-rempah diangkat dan ditiriskan
pada suhu kamar. Setelah dilakukan persiapan sampel rempah, dan suhu yang
kira-kira sudah mencapai suhu kamar, untuk menguji kekuatan berbagai jenis
antimikroba, baik antimikroba alami maupun sintetis dalam menghambat
pertumbuhan mikroba dapat digunakan metode difusi sumur.
Pengujian keefektivitasan daun sereh sebagai antimikroba pada metode
difusi sumur, dibuat suspensi kultur murni pada larutan pengencer
hingga pengenceran 10-1. Lalu diambil 0,1 ml suspensi kultur bakteri E.
coli dan S. aureus yang telah diencerkan dan dimasukkan ke dalam
masing-masing cawan petri steril. Setelah dimasukkan suspensi kultur, dituang
NA dalam cawan tersebut. Dihomogenkan dan dibiarkan memadat. Setelah
menjadi padat, dibuat enam lubang sumur pada permukaan NA. Lalu diberi
kode pada keenam lubang tersebut. Diambil 10 µl dua jenis ekstrak
rempah yang sudah dingin, dan dimasukkan ke dalam empat lubang sumur yang
sudah dibuat dan diambil 10 µl iodin, lalu dimasukkan ke dalam satu lubang
sumur. Lubang yang terakhir yaitu lubang yang ke-6 dijadikan kontrol dengan
dimasukkannya 10 µl larutan fisiologis.
Berdasarkan hasil data praktikum diketahui bahwa dari semua jenis
antimikroba yang digunakan dalam menghambat pertumbuhan mikroba tidak
terbentuknya areal bening atau zona hambat pada cawan petri. Hal ini dapat
diartikan bahwa antimikroba tersebut memiliki daya efektivitas antimikroba yang
sangat rendah karena tidak mampu dalam menghambat maupun membunuh
bakteri uji. Namun jika dilihat dari senyawa aktif di dalam masing-masing
antimikroba tersebut mampu dalam menghambat pertumbuhan mikroba pada
konsentrasi rendah (bakteriostatik) sedangkan pada konsentrasi tinggi mampu
membunuh mikroba (bakterisidal). Misalnya untuk iodin 10% merupakan
antiseptik/antimikroba yang mempunyai daya bunuh bakteri yang kuat, lama dan
berspektrum luas. Kerjanya langsung dan cepat membunuh bakteri dan bukan
menahan perkembangan bakteri. Selanjutnya rempah daun sereh juga berperan
sebagai antimikroba karena memiliki komponen bioaktif yang juga mampu
menghambat mikroba. Oleh karena itu, yang menyebabkan daya kerja
antimikroba tersebut rendah dan tidak efektif baik dalam menghambat maupun
membunuh mikroba kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu,
diantaranya: Teknik yang dilakukan praktikan saat praktikum yang kurang aseptis
sehingga banyak terjadi kontaminasi dari luar, misalnya membuka tutup cawan
petri terlalu lebar saat memasukkan antimikroba ke dalam cawan, pipet yang
digunakan tidak steril atau praktikan yang tidak menggunakan masker dan
mengobrol di sekitar area, baik pada saat pengambilan dan peletakan suspensi
kultur maupun pada saat memipet antimikroba sehingga mikroba dari udara
pernafasan atau mulut praktikan dapat mengontaminasi yang menyebabkan
densitas bakteri dalam cawan bertambah banyak dan semakin sulit untuk
dihambat pertumbuhannya. Selain itu, faktor lain yang harus dipertimbangkan
pada suatu senyawa antimikroba antara lain sifat bahan yang akan diberi
antimikroba, jenis mikroba, konsentrasi antimikroba, serta kondisi lingkungan.
2.2.1.6 Uji Antimikroba Ketumbar
Kegiatan praktikum kali ini dilakukan pengujian tehadap rempah-rempah
sebagai penentu daya hambat dari beberapa bakteri. Salah satu rempah yang diuji
yaitu ketumbar. Pada rempah ketumbar menunjukkan aktivitas paling kuat
terhadap Staphylococcus aureus dan Microsporum gypseum. Biji ketumbar
(Coriandrum sativum L) juga merupakan salah satu jenis tanaman bumbu-
bumbuan yang sejak lama digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai obat
atau untuk meningkatkan cita rasa bahan pangan (Purseglove dkk, 1981 di dalam
Sari, 2012). Zat yang terkandung pada minyak atsiri selain fenol adalah flavonoid.
Flavonoid bersifat antibakteri dan antioksidan (Wangensteen dkk, 2004 di dalam
Sari, 2012). Kandungan minyak atsiri pada biji ketumbar memiliki sifat
antimikroba terhadap spesies patogen seperti Salmonella (Isao dkk, 2004 di dalam
Sari, 2012). Minyak atsiri adalah cairan lembut, bersifat aromatik, dan mudah
menguap pada suhu kamar. Minyak atsiri memiliki daya antibakteri disebabkan
adanya senyawa fenol dan turunannya yang mampu mendenaturasi protein sel
bakteri (Wangensteen dkk, 2004 di dalam Sari, 2012). Daya antibakteri minyak
atsiri lebih efektif karena memiliki zona hambat lebih besar dan bersifat
bakterisidal.
Staphylococcus aureus adalah gram positif berbentuk bola yang umumnya
tersusun berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini tidak bergerak, fakultatif
anaerob dan dapat tumbuh pada produk-produk yang mengandung NaCl sampai
16%. Escherichia coli terdapat secara normal dalam alat-alat pencernaan manusia
dan hewan. Bakteri ini adalah gram negatif, bergerak, berbentuk batang, bersifat
fakultatif anaerob dan termasuk golongan Enterobacteriaceae. Bakteri gram positif
lebih sensitif terhadap senyawa antimikroba dibandingkan dengan bakteri gram
negatif. Perbedaan aktivitas penghambatan mikroba tersebut, salah satunya dapat
dikarenakan oleh pengggunaan jenis ekstrak. Bakteri gram positif lebih peka
terhadap ekstrak nonpolar dari pada ekstrak polar karena memiliki lapisan
peptidoglikan yang bersifat hidrofobik sehingga lebih mudah ditembus oleh
senyawa nonpolar.
Menganalisis daya hambat dari rempah yang diuji, yaitu ketumbar
dilakukan dengan metode difusi sumur. Metode ini dilakukan dengan membuat
lubang kecil pada media NA yang telah diinokulasikan dengan 0,1 ml S. aureus
untuk kelompok 1, 3, 5, dan 7 dan 0,1 ml Escherichia coli untuk kelompok 2, 4,
dan 6. Lubang yang dibuat terdiri dari enam untuk masing-masing cawan tetapi
yang diisi ekstrak ketumbar sebanyak ± 10 μL hanya dua lubang, dua lubang
lainnya diisi ekstrak rempah jenis lain. Lubang ke-5 diisi oleh kontrol (larutan
fisiologis) dan lubang yang terakhir diisi dengan iodin sebagai pembanding.
Setelah diinkubasi selama 2 hari pada suhu 37oC diperoleh hasil untuk
pertumbuhan S. aureus tidak terdapat areal bening. Bakteri uji Escherichia coli
juga diperoleh hasil yang sama yaitu tidak terdapat areal bening. Melalui metode
difusi sumur diketahui bahwa air ketumbar dengan konsentrasi 20% tidak dapat
menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus dan E. coli disebabkan oleh densitas
kedua bakteri uji ini yang terlalu tinggi.
2.2.2 Uji Antimikroba Rempah dengan Metode Cakram Kertas Saring
2.2.2.1 Uji Antimikroba Bawang Merah
Pengujian keefektivitasan bawang merah sebagai antimikroba juga
dilakukan dengan menggunakan metode cakram kertas saring pada bakteri uji S.
aureus (gram positif) dan E. coli (gram negatif). Ekstrak bawang merah yang
digunakan berasal dari sisa ekstrak bawang merah pada pengujian keefektivitasan
bawang merah sebagai antimikroba dengan metode difusi sumur. Adapun
prosedur yang dilakukan sama seperti pada uji keefektivitasan bawang merah
sebagai antimikroba dengan metode difusi sumur. Namun yang membedakan pada
metode cakram kertas saring ini yaitu ketika bakteri uji telah diinokulasi ke dalam
media NA (Nutrient Agar), kertas cakram dengan diameter ±0,5 cm dicelupkan ke
dalam ekstrak bawang merah, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri yang
telah berisi media dan biakan tersebut, lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 48
jam. Selain itu, dicelupkan juga kertas cakram yang lain ke dalam antimikroba
sintetik, yaitu iodin dan fenol sebagai pembanding serta kontrol dengan
menggunakan larutan fisiologis. Zona hambat/terang yang terbentuk di sekeliling
kertas cakram diukur menggunakan penggaris atau jangka sorong.
Berdasarkan data uji keefektivitasan ekstrak bawang merah sebagai
antimikroba dengan metode cakram kertas saring juga tidak ditemukan adanya
zona terang/hambat, baik pada bakteri uji S. aureus (gram positif) maupun E. coli
(gram negatif). Selain itu, pada antimikroba pembanding yaitu iodin dan fenol
tidak ditemukan adanya zona terang/hambat. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak
bawang merah yang diuji dengan menggunakan metode cakram kertas saring juga
tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri dikarenakan ekstrak bawang
merah yang digunakan pada metode cakram kertas saring merupakan sisa dari
ekstrak bawang merah pada uji keefektivitasan dengan metode difusi sumur.
Telah dibahas sebelumnya bahwa pada uji keefektivitasan bawang merah sebagai
antimikroba dengan metode difusi sumur tidak terlihat adanya zona
terang/hambat. Penyimpangan ini disebabkan oleh menurunnya keefektivitasan
bawang merah sebagai antimikroba sebelum digunakan akibat penggunaan alat
gelas dalam membuat ekstrak bawang merah yang tidak bersih. Akibatnya
mikroba kontaminan dapat menurunkan daya/kapasitas bawang merah sebagai
antimikroba. Penyebab lain dari penyimpangan ini yaitu kosentrasi ekstrak
bawang merah yang digunakan terlalu rendah sehingga minyak atsiri yang
berperan sebagai antimikroba yang dihasilkan rendah. Proses perebusan larutan
bawang merah yang terlalu lama juga dapat menurunkan komponen minyak atsiri
yang terkandung di dalam bawang merah. Selain itu pengujian yang dilakukan
tidak dalam keadaan aseptik, misalnya saat memipet kultur bakteri uji maupun
pada saat mencelupkan kertas saring dari ekstrak bawang merah ke dalam media
agar.
2.2.2.2 Uji Antimikroba Cengkeh
Pengujian efektivitas antimikroba selanjutnya dengan menggunakan
metode cakram kertas saring. Penggunaan metode ini digunakan untuk
memperkuat hasil pengujian dari metode difusi sumur. Antimikroba yang
digunakan yakni ekstrak cengkeh, kertas saring dicelupkan ke dalam ekstrak
cengkeh kemudian diletakkan di atas agar NA yang sebelumnya sudah diberi
suspensi bakteri E. coli dan S. aureus. Akan terjadi penyerapan air dari medium
agar dan kemudian melarut. Kemudian antimikroba itu berdifusi pada medium
agar sesuai dengan hukum fisika yang berlaku atas proses difusi suatu molekul.
Hasil yang didapat berupa diameter zona hambat pada agar sekeliling sumur.
Terbentuknya areal bening di sekitar koloni bakteri menunjukkan adanya
penghambatan pertumbuhan bakteri uji. Semakin luas areal bening menunjukkan
semakin tinggi aktivitas antimikroba.
Setelah diinkubasi selama dua hari, hasil pengamatan dengan metode
cakram kertas saring pada ekstrak cengkeh tidak terbentuk areal bening.
Berdasarkan hasil praktikum dapat dilihat bahwa pada kedua bakteri uji yakni E.
coli dan S. aureus tidak memiliki zona bening. Zona bening yang terbentuk di
sekitar kertas saring merupakan respons aktif antimikroba ekstrak dalam
menghambat pertumbuhan bakteri. Pada lubang 1 dan 2 tidak menunjukkan
adanya penghambatan yang diduga tidak terdapatnya aktivitas antimikroba yang
dihasilkan oleh ekstrak cengkeh. Tidak terbentuknya suatu zona bening dalam
metode ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari pengujian pada suatu
konsentrasi ekstrak cengkeh menunjukkan bahwa bakteri yang digunakan, yakni
bakteri E. coli dan S. aureus resisten/tahan terhadap ekstrak karena dari data yang
diperoleh diameter zona bening yang terbentuk kurang dari 20 mm. Luas daerah
hambat yang terbentuk berpengaruh terhadap resistensi suatu bakteri. Dimana
ketahanan bakteri terhadap antimikrobaa dilihat berdasarkan daerah hambat yang
terbentuk di sekeliling kertas saring tersebut. Adapun ukuran daerah hambat
menunjukkan tingkat resistensi bakteri, yakni (1) Daerah hambat dengan diameter
> 30 mm, maka bakteri tersebut peka terhadap antimikroba. (2) Daerah hambat
dengan diameter antara 20-30 mm, bakteri agak resisten terhadap antimikroba. (3)
Daerah hambat dengan diameter < 20 mm, bakteri resisten terhadap antimikroba.
(Safitri, 2011)
Selain itu dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain, misalnya besarnya
inokulum,waktu inkubasi, konsentrasi ekstrak, dan daya antibakteri zat berkhasiat.
Makin besar inokulum maka semakin kecil daya hambatnya, sehingga semakin
kecil zona yang terbentuk. Konsentrasi ekstrak mempengaruhi kecepatan difusi
zat berkhasiat. Makin besar konsentrasi ekstrak, maka makin cepat difusi,
akibatnya makin besar daya antibakteri dan makin luas diameter zona hambat
yang terbentuk.
Suatu bakteri dapat tahan atau resisten terhadap suatu jenis zat
antimikrobial karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya (1) Organisme
mempunyai struktur yang menghambat masuknya antimikroba (2) Organisme
impermeabel terhadap antimikroba, (3) Organisme yang dikenai antimikroba ada
dalam bentuk inaktif, contoh endospora, (4) Organisme memodifikasi target
antimikroba, (5) Dengan perubahan genetik, organisme menghambat antimikroba
pada keturunannya, (6) Organisme mampu memompa keluar antimikroba yang
sudah terlanjur masuk ke dalam sel (Dwidjoseputro,1998).
2.2.2.3 Uji Antimikroba Bawang Putih
Selanjutnya pada pengujian keefektivitasan bawang putih sebagai
antimikroba dilakukan dengan metode cakram kertas saring. Kelompok 1, 2, 5 dan
6 yang menggunakan ekstrak bawang putih dalam cakram kertasnya tidak
menunjukan adanya areal bening atau zona hambat pada masing-masing cakram.
Sama halnya dengan cakram kertas yang diberi iodin, tidak ada zona hambat atau
areal bening pada masing-masing cakram kertas. Cakram kertas yang diberi fenol
juga sama halnya tidak terdapat areal bening atau zona hambat disekitar cakram
kertasnya, namun pada kelompok 2 terdapat areal bening atau zona hambat
sebesar 0,100 cm.
Seharusnya fenol dapat menghambat pertumbuhan E.coli dan S.aureus,
namun berdasarkan hasil uji fenol terhadap kedua bakteri tersebut tidak
menunjukan adanya area bening atau zona hambat. Hal ini dapat disebabkan
karena efektivitas fenol yang telah menurun akibat dari penyimpanan yang tidak
optimal.
Uji iodin pun dilakukan untuk membandingkan efektivitas antimikroba
pada bawang putih. Berdasarkan hasil yang ada, pada keseluruhan kelompok tidak
terdapat areal bening atau zona hambat pada kertas saring yang dicelupkan ke
dalam iodin. Hal ini dikarenakan bahwa iodin membunuh mikroorganisme dalam
bentuk garam dengan protein melalui halogenasi langsung. Konsentrasi efektif
iodin terhadap mikroorganisme tidak bervariasi secara lebar tapi mempunyai
kecepatan membunuh yang berbeda-beda (Reddish, 1961 di dalam Pambayun,
2007).
Berdasarkan literatur yang ada, seharusnya S.aureus dan E.coli dapat
dihambat oleh zat antimikroba yang terdapat dalam bawang putih, namun
berdasarkan hasil yang ada bahwa 2 dari keempat sumur berhasil menghambat
pertumbuhan E.coli dan sisanya tidak. Tidak ada satu pun sumur yang terdapat
areal bening pada bakteri uji S. aureus. Hal ini dapat disebabkan karena kurang
aseptiknya kerja praktikan dan peralatan yang digunakan oleh praktikan, seperti
mortar yang digunakan untuk menghaluskan bawang putihnya tidak steril dan
pompa vakum yang digunakan untuk mengekstrak bawang putihnya tidak
disterilkan terlebih dahulu sehingga efektivitas antimikroba bawang putih
berkurang karena sudah menghambat bakteri lain yang terdapat pada mortar dan
pompa vakum tersebut.
2.2.2.4 Uji Antimikroba Cabai
Pengujian selanjutnya terhadap aktivitas bioaktif pada cabai kali ini
dilakukan dengan menggunakan metode cakram kertas saring. Prinsip dari metode
ini yaitu kertas saring dijenuhkan atau dicelupkan ke dalam bahan uji. Bahan uji
yang digunakan sebagai antimikroba yaitu ekstrak cabai dengan perlakuan
persiapan sampel terlebih dahulu. Kertas saring dicelupkan ke dalam ekstrak cabai
selama beberapa menit. Kemudian disiapkan media NA yang sudah diinokulasi
bakteri E. Coli dan S. aureus. Kertas saring yang telah dicelupkan tersebut
diletakkan di atas media, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 48
jam. Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar cakram kertas yang
menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba. Selama inkubasi, bahan uji
berdifusi dari kertas saring ke dalam media agar itu, sebuah zona inhibisi dengan
demikian akan terbentuk.
Setelah diinkubasi, didapatkan hasil pertumbuhan bakteri pada seluruh
permukaan. Tidak adanya zona bening di areal kertas saring tersebut
menunjukkan tidak adanya bakteri yang dihambat, maka dapat dikatakan bahwa
komponen bioaktif tidak efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri.
Senyawa aktif dalam cabai yang memiliki aktivitas antimikroba adalah Capsaicin.
Capsaicin dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Mekanisme kerja senyawa
yang bersifat antimikroba ada beberapa cara, yaitu merusak dinding sel
mikroorganisme sehingga menyebabkan terjadinya lisis, mengubah permeabilitas
membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel,
menyebabkan terjadinya denaturasi protein sel, dan menghambat kerja enzim di
dalam sel (Pelczar dan Chan 2005 di dalam Priyatmoko, 2008).
Senyawa bioaktif Capsaicin dapat menghambat pertumbuhan mikroba,
komponen dinding sel suatu mikroba akan menentukan keberhasilan Capsaicin
dalam melakukan penetrasi dikarenakan sifat dari Capsaicin yang larut dalam
lemak dan sukar larut dalam air. Aksi berikutnya dari Capsaicin adalah
menghambat sintesis protein serta merusak DNA (Pamungkas, 2008). Capsaicin
secara langsung menghambat sintesis protein dengan berkompetisi dengan tirosin
dalam sistem sel. Capsaicin mudah untuk menyebabkan kerusakan DNA.
Capsaicin juga menjadi penyebab terpotongnya pita DNA melalui mekanisme
oksidatif. Sebagai contoh, dalam kultur sel Hela, 100 μM Capsaicin menyebabkan
fragmentasi DNA dan kondensasi kromatin (Krishna De, 2003 di dalam
Pamungkas, 2008).
Tidak ditemukannya areal bening yang menandakan dihambatnya
pertumbuhan bakteri karena kontaminasi saat melakukan pengujian. Faktor yang
dapat menyebabkan tidak terbetuknya areal bening diantaranya adalah saat proses
ekstrak cabai, pompa vakum yang digunakan tidak dalam keadaan steril sehingga
bioaktif pada cabai sudah tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri saat akan
dilakukan pengujian. Penggunaan konsentrasi sebanyak 20% juga dapat menjadi
penyebab ketidakeefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri karena
diuapkan hingga 50 ml, dimungkinkan adanya komponen bioaktif yang bersifat
volatil.
2.2.2.5 Uji Antimikroba Daun Sereh
Pengujian keefektivitasan daun sereh sebagai antimikroba pada metode
cakram kertas saring, diinokulasikan 0,1 ml untuk masing-masing suspensi kultur
bakteri E. coli dan S. aureus dalam cawan petri steril, lalu dituang NA cair dalam
cawan petri yang sudah berisi suspensi kultur tersebut, lalu dihomogenkan hingga
memadat. Setelah media NA sudah memadat, kertas saring dicelupkan ke dalam
ekstrak rempah-rempah, fenol, iodin, dan larutan fisiologis, lalu ditiriskan dan
diletakkan pada permukaan media NA yang telah berisi biakkan bakteri uji. Untuk
setiap cawan diletakkan empat kertas saring yang mengandung dua jenis ekstrak
rempah, dua kertas saring untuk antimikroba sintetis yaitu fenol dan iodin dan
yang terakhir untuk kontrol yang dicelupkan pada lrutan fisiologis. Diinkubasi
pada suhu 37oC selama 2 hari, lalu diamati penghambatan pertumbuhan mikroba
dengan adanya areal bening untuk kemudian diukur.
Antimikroba merupakan senyawa yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Manusia telah dihadapkan
oleh kerusakan atau penurunan mutu bahan pangan, terutama bahan pangan
yang mengandung kandungan air dan gizi yang tinggi. Penambahan bahan
pengawet pada makanan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mencegah atau mengurangi kerusakan pada bahan pangan. Bahan
pengawet untuk mencegah kerusakan biologi yang disebabkan oleh
mikroorganisme disebut dengan antimikroba. Zat antimikroba dapat
bersifat membunuh mikroorganisme (mikrobisidal) atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme (mikrobiostatik). Seiring dengan trend back
to nature atau kembali ke alam, berbagai jenis tanaman herbal kembali dicari
sebagai antimikroba, dan dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satu contohnya
yaitu daun sereh.
Senyawa antimikroba yang terkandung di dalam sereh (Cymbopagon
nardus) yaitu geraniol dan sitroneal. Kandungan sitroneal pada sereh dapat
menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, penyebab penyakit
busuk batang panili, F. oxysporum f.sp. lycopersici, penyebab penyakit layu
fusarium pada tomat, dan patogen penyebab penyakit antraknose pada pisang
(Colletotrichum musae, Lasiodiplodia thebromae, dan Fusarium proliferatum).
Selain menghambat pertumbuhan jamur patogen tanaman, sereh juga mampu
menghambat pertumbuhan jamur kontaminan pada produk pasca panen,
diantaranya Aspergillus falvus, A. niger, A. cadidus, A. versicolor, dan beberapa
spesies Penicillium. Sereh mampu menghambat produksi aflatoksin pada A.
flavus. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang berbahaya bagi kesehatan
manusia karena bersifat karsinogenik, mutagenik, dan dapat menurunkan
kekebalan tubuh.Sereh juga menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif,
Pseudomonas aeruginosa dan Proteus vulgaris serta bakteri gram positif Bacillus
subtilis dan Staphylococcus aereus.
Kegiatan praktikum untuk menguji keefektivitasan daun sereh sebagai
antimikroba dilakukan oleh kelompok 5 dan kelompok 6. Selain itu, dilakukan
juga terhadap antimikroba sintetis lainnya seperti fenol dan iodin sebagai
pembanding. Berdasarkan data hasil pengamatan dari kelompok 5 diperoleh hanya
satu jenis antimikroba yang terdapat areal bening yang artinya memiliki daya
hambat mikroba, yaitu sereh sebagai antimikroba alami. Adapun areal bening
yang terbentuk yaitu 0,170 cm dan 0,160 cm dengan menggunakan bakteri uji S.
aureus. Namun untuk jenis antimikroba lainnya yaitu fenol maupun iodin tidak
terbentuk areal bening yang artinya tidak memiliki daya hambat mikroba. Adapun
pada kelompok 6 yang menggunakan bakteri uji E. coli tidak terlihat adanya areal
bening dari semua jenis antimikroba. Hal yang membedakan dikarenakan oleh
jenis mikroba yang dihambat. Bakteri yang dihambat pada kelompok 5 yaitu S.
aureus atau gram positif sedangkan pada kelompok 6 yaitu E. coli. Berdasarkan
literatur, bakteri gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antimikroba
dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Hal ini dapat disebabkan oleh
perbedaan susunan dinding sel. Dinding sel bakteri gram positif 90% terdiri atas
lapisan peptidoglikan, selebihnya adalah asam teikoat dan memiliki struktur lapis
tunggal, sedangkan bakteri gram negatif komponen dinding selnya mengandung
20-50% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida, dan
lipoprotein serta memiliki struktur multilapis (multilayer). Selain itu, bakteri
dalam bentuk sel vegetatif juga lebih rentan terhadap aktivitas antimikroba dalam
rempah-rempah dibandingkan dalam bentuk sporanya.
Mekanisme kerja dari senyawa antimikroba dalam menghambat atau
membunuh mikroba ada beberapa cara, yaitu merusak dinding sel mikroba,
mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan terjadinya
kebocoran nutrien dari dalam sel, mendenaturasi protein sel, dan menghambat
kerja enzim didalam sel. Kerusakan dinding sel oleh antimikroba menyebabkan
terjadinya lisis. Efek kerusakan lainnya yaitu terbentuknya protoplast. Protoplast
merupakan susunan sel tanpa dinding dan bersifat lebih rentan mengalami lisis.
Sementara itu, larutan fisiologis digunakan sebagai kontrol untuk
mengetahui mikroba yang diuji dalam kondisi baik atau buruk. Jenis antimikroba
lainnya yaitu iodin dan fenol tidak adanya areal bening atau zona hambat padahal
fenol dan iodin memiliki fungsi sebagai antimikrobial karena memiliki
kemampuan menghambat dan mematikan bakteri spora, jamur, dan virus. Hal ini
kemungkinan dipengaruhi oleh konsentrasi antimikroba yang digunakan sehingga
mempengaruhi sistem kerja dari antimikroba itu sendiri terhadap prnghambatan
mikroba. Diketahui bahwa pada konsentrasi yang rendah dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dan konsentrasi yang tinggi dapat membunuh
mikroorganisme tertentu. Oleh karena itu, kemungkinan fenol dan iodin yang
digunakan pada saat praktikum dengan kosentrasi yang sangat rendah sehingga
tidak mampu dalam menghambat maupun membunuh mikroba. Kemungkinan
lain juga, terjadinya kontaminasi dari luar yang dibawa oleh praktikan sehingga
menyebabkan densitas mikroba bertambah banyak dan semakin sulit untuk
dihambat.
2.2.2.6 Uji Antimikroba Ketumbar
Metode cakram kertas saring juga dilakukan pada uji kemampuan bioaktif
pada ketumbar untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Masing-masing setiap
cawan yang telah diinokulasikan 0,1 ml bakteri uji ditempelkan dua kertas saring
yang telah dicelupkan ke dalam ekstrak ketumbar 20%. Kelompok 1, 3, 5, dan 7
telah diinokulasikan 0,1 ml S. aureus sedangkan untuk kelompok 2, 4, dan 6
diinokulasikan 0,1 ml E. coli. Setelah diinkubasi selama 2 hari pada suhu 37oC,
diperoleh hasil tidak terdapat areal bening di sekitar kertas. Berdasarkan hasil uji
metode cakram kertas saring juga diketahui bahwa ekstrak ketumbar memang
tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli.
Berdasarkan pengujian rempah ketumbar yang dilakukan dengan metode
kertas cakram diperoleh hasil bahwa dari beberapa kelompok yang melakukan uji
tersebut, ketumbar tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli
maupun S. aureus. Pengujian aktivitas antibakteri dinyatakan aktif apabila di
sekitar kertas cakram terdapat zona bening atau zona hambat yang terbentuk
melingkari kertas cakram. Seyawan fenol yang digunakan sebagai kontrol juga
tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian diketahui bahwa senyawa fenol merupakan senyawa produk
metabolisme sekunder tumbuhan yang aktif menghambat pertumbuhan bakteri.
Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan susunan dinding sel. Dinding sel bakteri
S. aureus 90% terdiri atas lapisan peptidoglikan, selebihnya adalah asam teikoat
dan memiliki struktur lapis tunggal, sedangkan E. coli komponen dinding selnya
mengandung 20-50% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein,
lipopolisakarida, dan lipoprotein serta memiliki struktur multilapis (multilayer).
Selain itu, bakteri dalam bentuk sel vegetatif juga lebih rentan terhadap aktivitas
antimikroba dalam rempah-rempah dibandingkan dalam bentuk sporanya.
Efektivitas antimikroba pada pengujian ini ditunjukkan dengan adanya penurunan
laju pertambahan diameter pertumbuhan terhadap waktu dibandingkan dengan
kontrol. Semakin kecil laju pertambahan diameter yang terukur maka semakin
efektif antimikroba tersebut.
Zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri),
bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), dan germisidal (menghambat
germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikrobia dalam menghambat
pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya : 1)
konsentrasi zat pengawet, 2) jenis, jumlah ,umur, dan keadaan mikrobia, 3) suhu,
4) waktu, dan 5) sifat-sifat kimia dan fisik makanan termasuk kadar air, pH, jenis
dan jumlah komponen didalamnya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari tujuan, hasil pengamatan, dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
hanya beberapa rempah yang diujikan yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri uji S. aureus (gram positif) dan E. coli (gram negatif) yaitu bawang putih,
cengkeh, dan sereh. Kemampuan penghambatan rempah sebagai antimikroba
didasarkan atas ketahanan bakteri yang diujikan serta sifat dari senyawa aktif yang
dikandung oleh rempah-rempah tersebut. Bakteri gram positif cenderung lebih
sensitif terhadap antimikroba seperti rempah daripada bakteri gram negatif. Hal
ini dikarenakan perbedaan struktur serta kandungan sel pada bakteri uji tersebut.
3.2 Saran
Saran kami dari hasil praktikum ini adalah apabila melakukan praktikum
pengujian keefektivitasan suatu antimikroba alami ataupun sintetik diperlukan
kondisi pengujian secara aseptik. Mikroba kontaminan yang berasal dari mulut,
udara ataupun wadah dapat mengontaminasi antimikroba, baik alami maupun
sintetik yang akan diuji sehingga keefektivitasan antimikroba tersebut akan
berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Agung. 1996. Aktivitas bakterisida dalam ekstrak berbagai jenis cabai. [skripsi]. Jogjakarta: Fakultas Petanian, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Gobel, B. Risco, dkk. 2008. Mikrobiologi Umum Dalam Praktek. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Indrawati, I. 2009. Potensi ekstrak air, ekstrak etanol, dan minyak atsiri bawang merah (Allium cepa L.) kultivar batu terhadap isolat bakteri asal karies gigi [jurnal]. Bandung: FMIPA, Universitas Padjajaran.
Kumala, S. dan Indriani, D. 2008. Efek antibakteri ekstrak etanol daun cengkeh (Eugenia aromatic L.) [jurnal]. Surakarta: Jurnal Farmasi Indonesia, Vol. 4 No. 2 Juli 2008: 82 – 87.
Pambayun, R., dkk. 2007. Kandungan fenol dan sifat antibakteri dari berbagai jenis ekstrak produk gambir (Uncaria gambir Roxb) [jurnal]. Surakarta: Jurnal Farmasi Indonesia, 18(3), 141 – 146.
Pamungkas, dkk. 2008. Uji aktivitas antimikroba ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens, L.) terhadap berbagai mikroba patogen cecara in vitro [skripsi]. Jogjakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Priyatmoko, W. 2008. Aktivitas antibakteri karang lunak hasil transplantasi
(Sinularia sp.) pada dua kedalaman berbeda di perairan pulau pramuka kepulauan seribu DKI Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu, W.P. 2000. Aktivitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olah industri terhadap bakteri patogen dan perusak [jurnal]. Bogor: Buletin Teknologi dan Industri Pangan, XI (2): 42-48.
Ramadanti, I.A. 2008. Uji aktivitas antibakteri ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) terhadap bakteri Escherichia coli in vitro [artikel]. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Safitri, Ratu. 2011. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Dasar. Jatinangor: Biologi FMIPA, Universitas Padjajaran.
Sari, S.A. 2012. Pengaruh pemberian biji ketumbar (Coriandrum sativum L) terhadap organ dalam ayam broiler [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Sudrajad, H. 2004. Pengaruh irisan dan lama perebusan (blanching) terhadap gambaran makroskopis dan kadar minyak atsiri simplisia dringo (Acorus calamus L.) [artikel]. Jakarta: Media Litbang Kesehatan.
Susilawati, E. 1987. Pengaruh penambahan bubuk biji pala (Myristica fraqrans Hout.) terhadap pertumbuhan beberapa bakteri penyebab kerusakan makanan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Taufik. 2008. Aktivitas Antibakteri Minyak Cengkeh terhadap Bakteri Patogen [jurnal]. Bogor: Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 1 No. 3 Januari 2008: 10-15.
top related