tinjauan pustaka anemia aplastik tami
Post on 30-Jul-2015
303 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
ANEMIA APLASTIK
Oleh :
Utami Handayani Kurnia
( 0802005154)
Pembimbing :
dr. Ketut Budiastra, SpA
dr. Nyoman Suciawan, SpA
dr. Ketut Ngurah Alit, SpA
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD SINGARAJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
AGUSTUS 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tinjauan pustaka yang berjudul
”Anemia Aplastik” tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini merupakan salah
satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian / SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUD Singaraja.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Ketut Budiastra, SpA , dr. Nyoman Suciawan, SpA, dr. Ketut
Ngurah Alit, SpA atas bimbingan dan saran yang diberikan dalam
penyususunan laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian / SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUD
Singaraja, atas bantuannya dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan demi perbaikan tugas
serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi manfaat bagi
pihak yang berkepentingan.
Denpasar, Agustus 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan
komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di
sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak
memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi
kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.1,2
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988
oleh Paul Ehrlich pada seorang wanita muda yang meninggal tidak lama setelah
menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia.
Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang
yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904 Chauffard pertama kali
menggunakan istilah anemia aplastik. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi
pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat, atau
aplasia sumsusum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi,
mengganti atau menekan jaringan hematopoiesis sumsum tulang.3
Insiden anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2
sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis.1,3 Penyakit
ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di Negara barat dengan insiden 1 – 3
kasus per 1 juta penduduk/tahun. Namun di Negara timur seperti Thailand,
Indonesia, Taiwan dan Cina, insidennya jauh lebih tinggi. Perbedaan insiden ini
diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat – obat
yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida, serta insiden virus hepatitis yang
lebih tinggi.4,5
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui atau bersifat
idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses
penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Di samping itu juga disebabkan oleh
belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar
penelusuran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik.6
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala
objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif
dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala
dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling
berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan
pemeriksaan sumsum tulang.
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak
dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat
penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.
Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek.
Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69%
sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.7,8
Mengingat kasus anemia aplastik ini kasus yang relatif jarang ditemukan dan
berpotensi untuk mengancam jiwa maka diagnosa penyebab dari suatu anemia
aplastik dan deteksi dini serta penanganan yang tepat dan tepat sangat diperlukan.
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai pendekatan diagnostik dan
penatalaksanaan pada penderita dengan anemia aplastik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh
penurunan produksi eritroid, myeloid dan megakariosit dalam sumsum tulang
dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, dimana tidak dijumpai
adanya keganasan sistem hematopoitik ataupun kanker metastatik yang
menekan sumsum tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua atau
ketiga sistem hematopoiesis. Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoitik
disebut dengan anemia hipoplastik (eritroblastopenia), aplasia yang mengenai
sistem granulopoitik disebut agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai
sistem megakariosit disebut Purpura Trombositopenik Amegakariositik (PTA).
Bila mengenai ketiga sistem disebut panmielositis atau lazimnya disebut
anemia aplastik. Berdasarkan The International Agranulocytosis and Aplastic
Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik bila kadar hemoglobin ≤ 10
g/dL atau hematokrit ≤ 30 %; hitung trombosit ≤ 50.000/mm3 ; hitung lekosit
≤ 3.500/mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109/L.4,5
2.2 Epidemologi
Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus
persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di Amerika Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus
persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta
orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia
15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun.
Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7
kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan
5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia
Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. Peningkatan insiden
ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan
paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal
ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang
tinggal di Amerika.4,8,9
2.3 Etiologi
Sebagian besar anemia aplastik (50-70%) penyebabnya bersifat idiopatik,
yaitu penyebabnya tidak diketahui dan awalnya spontan. Kesulitan dalam
mencari penyebab ini karena penyakit ini terjadi secara perlahan-lahan dan
karena belum adanya model binatang percobaan yang tepat. Penyebab anemia
aplastik dapat dibedakan atas penyebab primer dan sekunder.6
1. Primer
a. Faktor Genetik
Anemia Fanconi
Tipe ini merupakan jenis anemia heriditer dengan pewarisan yang
bersifat autosomal resesif. Diperkirakan terdapat satu kasus diantara
satu juta penduduk. Kelainan hematologi dijumpai dalam bentuk
pansitopenia yang muncul pada umur 5 - 10 tahun. Sering disertai
gangguan pertumbuhan dan defek kongenital pada tulang yaitu
mikrosefali, tidak ada tulang radius dan ibu jari dan juga kelainan
pada kulit seperti timbulnya hiperpigmentasi dan hipopigmentasi.
Kadang-kadang disertai dengan retardasi mental, hipogonadisme,
gangguan jantung, ginjal dan mata.6,9
Diagnosis anemia fanconi dibuat dengan ditemukannya trias yaitu:
anemia aplastik berupa pansitopenia dan hipoplasia sumsum tulang,
defek fisik multipel, dan kelainan kromosom. Kelainan kromosom
ditunjukkan dengan pemeriksaan limfosit yang diinkubasi pada
diepoxybutane yang menyebabkan terjadinya patahan kromosom
(chromosomal breakage).6
Anemia Estren-Dameshek
Menunjukan gejala seperti anemia aplastik Fanconi tetapi tanpa
abnormaliltas tulang.9
Dyskeratosis congenital
Memiliki pola pewarisan autosomal resesif yang terikat dengan
kromosom-X. penyakit ini menunjukan gejala pigmentasi kulit
reticulate, leukoplakia, distrofi dari kuku, kelainan kelenjar keringat,
retardasi mental, dan gangguan pertumbuhan. Lesi pada mukosa dan
kulit muncul pada waktu remaja, sedangkan anemia aplastik muncul
pada dewasa muda. Pada penyakit ini terdapat kerusakan pada gen.9
b. Idiopatik
Merupakan penyebab terbanyak dari anemia aplastik. Meskipun
mekanismenya belum diketahui dengan pasti diperkirakan
penyebabnya karena paparan akut obat atau bahan kimia serta melalui
mekanisme autoimun diperantai oleh sel T yang menekan sel induk.9
2. Sekunder
Beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya anemia aplastik
sekunder yaitu: radiasi, obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus,
kehamilan.6
a. Radiasi
Energi radiasi yang tinggi dapat menyebabkan anemia akibat kerusakan
sumsum tulang dan pansitopenia. Derajat kerusakan tergantung dari jenis
radiasi (sinar alfa,beta atau gama), besarnya dosis, lama penyinaran dan
sumsum tulang yang terpapar. Radiasi akut terutama mengenai sel-sel
yang sedang membelah, sedangkan sel-sel yang istirahat masih tersisa,
oleh karena itu mielosupresi sering bersifat transient. Pada radiasi
menahun dan berulang, sel induk dalam fase istirahat menjadi aktif
sehingga terkena pengaruh radiasi yang menimbulkan kerusakan
permanen. Radiasi kronik dapat menimbulkan leukemia, keganasan
hematologik lain serta anemia aplastik. Radiasi dengan tingkat energi
yang tinggi dapat digunakan untuk keperluan terapi dan tidak
menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang selama daerah yang
mendapat radiasi tidak terlalu luas 9.
Radiasi akan merusak DNA terutama pada jaringan yang
mengalami mitosis aktif. Kerusakan DNA bisa terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Secara tidak langsung melalui interaksi dengan
molekul kecil yang sangat reaktif atau dengan radikal bebas yang
dihasilkan pada ionisasi.9
Paparan radiasi yang lama atau berulang dengan dosis rendah
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya anemia aplastik dan
leukemia akut. Paparan singkat radiasi dengan dosis besar berhubungan
dengan terjadinya aplasia sumsum tulang dan sindrom gastrointestinal.
Paparan total pada tubuh antara 1 sampai 2,5 Gray (100 sampai 250 rad)
menyebabkan gejala gastrointestinal dan penurunan jumlah leukosit,
tetapi sebagian besar pasien akan membaik sendiri. Dosis yang lebih besar
yaitu diatas 10 Gray fatal bagi pasien walaupun sesudahnya mendapat
terapi suportif yang dilanjutkan dengan transplantasi sumsum tulang.9
b.Obat-obatan
Beberapa obat yang dapat menyebabkan anemia aplastik antara lain
kloramfenikol, fenilbutazon, dan klorpromasin. Mekanisme imun tidak
menjelaskan kegagalan sumsum tulang pada reaksi penggunaan obat 2,4.
DeGruchy membagi obat dalam dua golongan yaitu : obat dengan resiko
tinggi, dengan kejadian kejadian > 1:10.000 pemakaian obat dan obat
dengan resiko rendah, dengan kejadian < 1: 10.000.9
Tabel 1 Daftar obat yang dihubungkan dengan anemia aplastik9
Obat dengan risiko tinggi:
Kloramfeniol Mesantion
Arsen organic Tridione
Quinarcrine Fenilbutason
Senyawa emas Klorpromasin
Obat dengan risiko lebih rendah:
Salisiat Phenantoin Klorpropamid
Kalium perklorat Tolbutamid Sulfonamid
Paramethadione Penisilin Oxphenbutazon
Indometasin Diklofenak Karbimasol
c. Bahan kimia9
Benzen merupakan bahan kimia yang banyak dihubungkan dengan
timbulnya anemia aplastik. Benzen merupakan senyawa hidrokarbon
(C6H6) yang banyak digunakan sebagai pelarut dalam industri karet,
penyamakan kulit, pabrik cat, dan sebagai zat pembersih dalam rumah
tangga.
Produk degradasi benzen (p-benzoquinone) dapat menekan sintesa
DNA dan RNA sehingga menimbulkan kerusakan kromosom.
Pemaparan jangka panjang dapat menimbulkan anemia aplastik.9
Anemia aplastik tidak timbul pada semua individu yang terpapar
oleh benzen. Timbulnya penyakit ini tergantung dari:
1.Suseptibilitas individual
2.Lama pemaparan
3.Konsentrasi uap benzene
d. Infeksi Virus
Infeksi virus sejak lama telah diketahui dapat menimbulkan
pansitopenia bahkan sampai gagal sumsum tulang. Virus yang
dihubungkan dengan timbulnya anemia aplastik adalah: virus Epstein
Barr (EBV), parvovirus B19, virus hepatitis dan Humam
Immunodeficiency Virus (HIV)9
Mononukleosis infeksiosa yang disebabkan oleh EBV sering
disertai netropenia ringan, trombositopenia dan anemia hemolitik.
Infeksi EBV yang disertai anemia aplastik lebih jarang dilaporkan.
Parvovirus B19 khas menimbulkan pure red cell aplasia atau krisis
aplastik pada penderita anemia hemolitik, jarang sekali menimbulkan
anemia aplastik.9
Virus hepatitis diduga merupakan salah satu penyebab anemia
aplastik, dengan cirinya dijumpai pada umur lebih muda (2-20 tahun),
timbul 24-30 minggu setelah infeksi hepatitis, beratnya hepatitis tidak
berhubungan dengan beratnya anemia, paling banyak ditemukan pada
penduduk Asia yang sosial ekonominya rendah, prognosisnya lebih
jelek dengan angka kematian lebih dari 90%. Sekitar 80% disebabkan
oleh virus hepatitis C, sedangkan virus hepatitis B lebih jarang. Resiko
anemia aplastik pada penderita hepatitis virus adalah 0,1-0,2 %,
dimana 5% penderita anemia aplastik mempunyai riwayat hepatitis.
Patogenesis anemia aplastik akibat virus hepatitis belum diketahui
pasti. Mungkin virus mempunyai efek toksik langsung pada sel induk
hemopoetik atau sel stoma, atau melalui gangguan imunologik.9
e. Kehamilan
Kadang-kadang dijumpai anemia aplastik pada wanita hamil,
meskipun belum dapat dipastikan apakah hal ini merupakan suatu
koinsiden atau hubungan sebab akibat, Patogenesisnya belum
diketahui pasti, ada yang menghubungkan dengan tingginya hormon
estrogen yang dapat menekan hemopoesis. 9
Tabel. 2 Penyebab Anemia Aplastik10
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplastik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenital
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
2.4 Klasifikasi
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa1 :
Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada
kira-kira 50% kasus.
Sekunder : bila kausanya diketahui.
Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat
diturunkan, misalnya anemia Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat
tabel 3).Tabel 3. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.1
Klasifikasi Kriteria
Anemia aplastik tidak berat Sumsum tulang hiposelular namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria berat
Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang
Sitopenia sedikitnya dua dari
<25%
Hitung neutrofil < 500/µl
tiga seri sel darah Hitung trombosit < 20.000/µl
Hitung retikulosit absolute <
60.000/µl
Anemia aplastik sangat berat
Selularitas sumsum tulang
Sitopenia sedikitnya dua dari
tiga seri sel darah
<25%
Hitung neutrofil < 200/µl
Hitung trombosit < 20.000/µl
Hitung retikulosit absolute <
60.000/µl
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya anemia aplatik disimpulkan dari berbagai observasi
klinis keberhasilan terapi dan eksperimen laboratrium. Mekanisme primer
terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui:
1. Kerusakan pada sel induk (seed theory)
2. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory)
3. Mekanisme imunologi (immune suppression). Mekanisme ini
terjadi melalui berbagai faktor (multi faktorial) yaitu : familial (herediter),
idiopatik (penyebabnya tidak dapat ditemukan) dan didapat yang
disebabkan oleh obat-obatan, bahan kimia, radiasi ion, infeksi, dan
kelainan imunologis.6
Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara tidak langsung
melalui keberhasilan transpaltasi sumsum tulang pada penderita anemia
aplastik, memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem sel) dan
yang berarti bahwa penggantian sel induk dapat memperbaiki proses
patologik yang terjadi.6
Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan melalui tikus
percobaan yang diberikan radiasi, sedangkan teori imunologik ini
dibuktikan secara tidak langsung dengan keberhasilan terapi
immunosupresif.6 Adanya reksi autoimunitas pada anemia aplastik juga
dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit
dapat menghambat pembentukan koloni hemopoetik alogenik dan
autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik menjadi
perantara dekstruksi sel- sel aal hemopoetik pada kelainan ini. Sel- sel T
efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah
tepi pasien anemia aplastik. Sel- sel tersebut menghasilkan interferon γ dan
TNF α yang merupakan inhibitor langsung hemopoesis dan meningkatkan
ekspresi Fas pada sel- sel CD34+. Klon sel- sel T immortal yang positif
CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-
helper yang bersifat toksik langsung ke sel- sel CD34 positif autologus.4
Kelainan imunologik diperkirakan menjadi penyebab dasar dari
kerusakan sel induk atau lingkungan mikro sumsum tulang. Patofisiologi
timbulnya anemia aplastik digambarkan secara skematik pada gambar 1
Gambar. 1 Patofisiologi anemia aplastik (Bakta, 2003)
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan
trombositopenia6 :
Sindrom anemia yang bervariasi dari ringan sampai berat, berupa:
- Sistem kardiovaskuler : berdebar, lesu, cepat lelah, sesak waktu
kerja
- Sistem saraf : sakit kepala, pusing, telinga berdenging, mata
bekunang-kunang, kelemahan otot, lesu, perasaan dingin pada
ekstremitas
- Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit
menurun, rambut tipis dan halus
Gejala perdarahan : paling sering berupa petechie dan echymosis pada
kulit.Perdarahan mukosa dapat berupa epistaxis, perdarahan sub
konjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis atau melena. Pada anemia
yang berat atau trombositopenia dapat dijumpai perdarahan retina.
Perdarahan organ dalam lebih jarang, tetapi jika terjadi perdarahan otak
sering bersifat fatal.
Gejala infeksi : dapat berupa nyeri tenggorokan, luka pada mulut dan
faring, demam disertai menggigil dan berkeringat, dan pada tingkat yang
lebih berat dijumpai sepsis sampai syok septik.
Organomegali berupa hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati
tidak dijumpai. Jika terdapat organomegali diagnosis anemia aplastik
maka perlu untuk dikaji ulang.
2.7 Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala
subjektif, gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum
tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang
terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang
mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah
berdasarkan pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang, serta
menyingkirkan adanya infiltrasi dan supresi pada sumsum tulang.
2.7.1 Anamnesis
Data subjektif diperoleh dari anamnesis ke pada pasien. Anamnesis
dilakukan untuk mengetahui keluhan pasien berdasarkan sacred seven dan
basic four. Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki
onset yang berkembang dengan cepat. Perdarahan merupakan gejala awal
yang paling sering terjadi; keluhan mudah terjadi memar selama beberapa
hari hingga minggu, gusi yang berdarah, mimisan, darah menstruasi yang
berlebihan, dan kadang-kadang peteki. Adanya thrombositopenia,
perdarahan massif jarang terjadi, namun perdarahan kecil pada sistem
saraf pusat dapat berbahaya pada intracranial dan menyebabkan
perdarahan retina. Gejala anemia juga sering terjadi termasuk mudah lelah,
sesak napas, dan tinnitus pada telinga. Infeksi merupakan gejala awal yang
jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada agranulositosis,
dimana faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering terjadi pada
permulaan penyakit). Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah
keterbatasan gejala pada sistem hematologist dan pasien sering merasa dan
sepertinya terlihat sehat walaupun terjadi penurunan drastis pada hitung
darah. Keluhan sistemik dan penurunan berat badan sebaiknya
mengarahkan penyebab pasitopenia lainnya.10
Anamnesis juga dilakukan untuk mengetahui etiologi/penyebab
anemia aplastik dari pasien dan untuk mengetahui kemungkinan penyebab
kelainan kongenital. Perlu diketahui adanya riwayat menjalani radiasi,
kemoterapi, menderita suatu penyakit selain flu dan gastroenteritis, serta
penderita juga tidak minum obat-obatan sebelumnya yang berisiko
menimbulkan anemia aplastik, tidak pernah tinggal ataupun bekerja pada
pabrik ataupun industri yang berhubungan dengan kulit, cat, zat-zat
pembersih rumah tangga, dan anggota keluarga penderita tidak ada yang
mengalami keluhan yang sama. Jika tidak ditemukan hal- hal tersebut
dalam anamnesis, dapat disimpulakn penyebabnya adalah ididopatik.
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Peteki dan ekimosis sering terjadi dan perdarahan retina dapat
ditemukan. Pemeriksaan pelvis dan rectal tidak dianjurkan namun jika
dikerjakan, harus dengan hati-hati dan menghindari trauma; karena
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan perdarahan dari servikal atau
darah pada tinja. Kulit dan mukosa yang pucat sering terjadi kecuali pada
kasus yang sangat akut atau yang telah menjalani transfusi. Infeksi pada
pemeriksaan pertama jarang terjadi namun dapat timbul jika pasien telah
menjadi simptomatik setelah beberapa minggu. Limfadenopati dan
splenomegaly juga tidak sering terjadi pada anemia aplastik. Bintik Café
au lait dan postur tubuh yang pendek merupakan tanda anemia Fanconi;
jari-jari yang aneh dan leukoplakia menandakan dyskeratosis congenita.10
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Temuan laboratorik yang dapat dijumpai pada anemia aplastik adalah: 4,6
Anemia normokromik normositer dengan retikulositopenia. Akan
tetapi bilai nilai retikolosit dikoreksi terhadap beratnya anemia
(corrected reticolocyte count) maka akan diperoleh presentase
retikolosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah
dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.
Anemia sering berat dengan kadar Hb <7
Leukopenia dengan relatif limfositosis terdapat pada 75% kasus,tidak
dijumpai sel muda dalam darah tepi. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Trombositopenia, yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat
Besi serum normal atau meningkat, TIBC normal, HbF meningkat.
Laju endap darah selalu meningkat, 62 dari 70 kasus (89%)
mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
Faal Hemostasis4
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal.
Sumsum Tulang4
Sumsum tulang memperlihatkan adanya hipoplasia, dengan hilangnya
jaringan hemopoietik dan penggantian oleh lemak yang meliputi lebih dari
75% sumsum tulang. Biopsy trephine sangat penting dilakukan dan dapat
memperlihatkan daerah selular berbercak pada latar belakang yang
hiposelular. Sel-sel utama yang tampak adalah limfosit dan sel plasma;
megakariosit sangat berkurang atau tidak ada.
Virus4
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis,
HIV parvovirus sitomegalovirus.
Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa4
Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.
Kromosom4
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenik dengan fluroscence in situ hybridization (FISH)
dan immunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular.
Defisiensi Imun4
Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin
dan pemeriksaan imunitas sel T.
Lain-lain4
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin
ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.Kadar eritropoietin
ditemukan meningkat pada anemia aplastik.
Pemeriksaan Radiologis4
Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya
perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum
tulang berlemak dan sumsum tulang berelular.
Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh
setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan
terikan pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan
terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna
pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.
2.7.4 Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International
Agranulocytosis and Anemia Study Group (IAASG).6
1. Satu dari tiga:
- Hemoglobin kurang dari 10 gr/dl, atau hematokrit kurang dari 30%
- Trombosit kurang dari 50 x 10 9/L
- Leukosit kurang dari 3,5 x 10 9/L, atau neutrofil kurang dari 1,5 x
109/L
2. Retikulosit < 30 x 109/L (< 1 %)
3. Dengan gambaran sumsum tulang ( harus ada spesimen adekuat ):
- Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua
sel hemopoetik atau selularitas normal oleh karena hiperplasia
eritroid fokal dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit
- Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
4.Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus
diekslusi.
Setelah diagnosis maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia
aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan karena menentukan strategi
terapi. Kriteria yang dipakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et al.
Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi
kriteria berikut:
I. Paling sedikit dua dari tiga:
- granulosit < 500 x 109/L
- trombosit < 20 x 1012/L
- corrected reticulocyte < 1 %
II. Selularitas sumsum tulang < 25 %, atau selularitas < 50% dengan <
30% sel-sel hematopoietik
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai
dengan pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada
tabel 4.
Tabel 4. Penyebab pansitopenia6
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu
sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma
myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat
membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada
myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya
poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta
sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada
anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat
granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus
abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).11
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik
yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau
dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga
biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.11
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy
cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya
splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.11
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan
oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas
sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.9 Penatalaksanaan
Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik terdiri atas:
1. Terapi kausal;
2. Terapi suportif;
3. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang: terapi untuk
merangsang pertumbuhan sumsum tulang;
4. Terapi definitif yang terdiri atas:
a. Pemakaian anti-lymphocyte globulme;
b. Transplantasi sumsum tulang.
Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan
pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering
hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya
tidak dapat dikoreksi.
Terapi Suportif
Terapi untuk mengatasi akibat pansitopenia.
1. Untuk mengatasi infeksi antara lain: 5,6
Higiene mulut
Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan
adekuat. Pemberian obat antibiotika dipilih yang tidak menyebabkan
depresi sumsum tulang. Sebelum ada hasil biakan berikan antibiotika
berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman gram positif dan
negatif. Biasanya dipakai derivat penisilin semisintetik (ampisilin) dan
gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi
ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan antibiotika dengan
hasil tes kepekaan. Jika dalam 5-7 hari panas tidak turun, pikirkan
adanya infeksi jamur, dapat diberikan amphotericin- B atau flukonasol
parenteral. Untuk menghindarkan anak dari infeksi, anak diisolasi
dalam ruangan khusus yang “suci hama”.
Tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman
gram negatif, dengan neutropenia berat yang tidak memberikan respon
pada antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan
mas efektifnya sangat pendek.
2. Usaha untuk mengatasi anemia: berikan transfusi packed red cell (PRC)
jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang
sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9 – 10 g%, tidak perlu sampai Hb
normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang
akan dipersiapkan untuk transplantasi sumsum tulang pemberian transfusi
harus lebih berhati-hati.
3. Usaha untuk mengatasi perdarahan: berikan transfusi konsentrat trombosit
jika terdapat perdarahan major atau trombosit < 20.000/ mm3 : transfusi
trombosit (tiap unit/10 kgBB dapat meningkatkan jumlah trombosit ±
50.000/mm3) Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak dianjurkan.
Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektivitas trombosit
karena timbulnya antibodi antitrombosit. Kortikosteroid dapat
mengurangi perdarahan kulit.
Terapi untuk Memperbaiki Fungsi Sumsum Tulang
Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan
sumsum tulang:
1. Anabolik Steroid: dapat diberikan oksimetolon atau stazonol.
Oksimetolon diberikan dalam dosis 2- 3 mg/kgBB/hari. Efek terapi
tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping berupa virilisasi dan
gangguan fungsi hati.
2. Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah: fungsi steroid dosis
rendah belum jelas. Prednison 2 mg/kgBB/24 jam. Jika dalam 4 minggu
tidak ada respon sebaiknya dihentikan untuk mengurangi fragilitas
pembuluh kapiler.
3. GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah
netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga dapat
diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.
Terapi Definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka
panjang. Terapi definitif untuk anemia aplastik terdiri atas 2 jenis pilihan
terapi:
1. Terapi imunosupresif antara lain:
a. Pemberian anti lymphocyte globuline: Anti lymphocyte globulin (ALG)
atau anti thymocyte globulin (ATG) dapat menekan proses
imunologik. ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan
pelepasan haemopoietic growth factor. Sekitar 40 – 70% kasus
memberi respons pada ALG, meskipun sebagian respons bersifat tidak
komplit (ada defek kualitatif/ kuantitatif). Pemberian ALG merupakan
pilihan utama untuk penderita anemia aplastik yang berumur di atas 40
tahun.
b. Terapi imunosupresif lain: pemberian metilprednisolon dosis tinggi
dengan/atau sislckosporin – A dilaporkan memberikan hasil pada
beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut.
Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis
tinggi.
2. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang memberikan
harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan
canggih, serta adanya kesulitan dalam men-cari donor yang kompatibel.
Transplantasi sumsum tulang, yaitu:
a. Merupakan pilihan untuk kasus berumur di bawah 40 tahun;
b. Diberikan siklosporin A untuk mengatasi GVHD (graft versus host
disease);
c. Transplantasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang
pada 60—70% kasus, dengan kesembuhan komplit.
2.10 Prognosis
Perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, dimana ada
penderita yang cepat memburuk dan ada sebagian lagi mempunyai
perjalanan penyakit yang berlahan-lahan. Faktor prognostik yang paling
penting adalah pansitopenia 1.
Pengalaman klinis menunjukkan prognosis sangat ditentukan oleh derajat
penyakit serta jenis pengobatan yang diberikan. Keberhasilan TST
(Transplantasi sumsum tulang) memberikan ketahanan hidup jangka
panjang yang sempurna. Sedangkan ALG dapat disertai kekambuhan pada
sebagian penderita serta timbul kelainan hemopoetik klonal di kemudian
hari 1,7.
Perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa
pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis
dapat dibagi menjadi 3 yaitu 9
1. Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam waktu 3 bulan.
Keadaan ini mencakup 10-15% kasus.
2. Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relaps.
Meninggal dalam waktu 1 tahun, merupakan 50% kasus.
3. Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya
merupakan sebagian kecil dari penderita.
Penyebab kematian utama anemia aplastik adalah perdarahan dan infeksi.
Oleh karena itu derajat trombositopenia dan neutropenia sangat
menentukan prognosis ditunjang pula oleh terapi suportif yang baik saat
menunggu terapi definitif 1. KIE keluarga dan pasien diperlukan sehingga
dokter yang memberikan perawatan dapat memberikan pengertian kepada
keluarga dan pasien mengenai penyakit, perjalanan penyakit, kemungkinan
perburukan serta keberhasilan pengobatan sehingga pasien dapat
menerima keadaannya dan tetap berusaha untuk menjalani pengobatan.
BAB III
RINGKASAN
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh
penurunan produksi eritroid, myeloid dan megakariosit dalam sumsum tulang
dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, dimana tidak dijumpai adanya
keganasan sistem hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum
tulang. Berdasarkan The International Agranulocytosis and Aplastic Anemia
Study (IAAS) disebut anemia aplastik bila kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL atau
hematokrit ≤ 30 %; hitung trombosit ≤ 50.000/mm3 ; hitung lekosit ≤ 3.500/mm3
atau granulosit ≤ 1,5 x 109/L
Insiden anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar
antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis10.
Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di Negara barat dengan
insiden 1 – 3 kasus per 1 juta penduduk/tahun. Namun di Negara timur seperti
Thailand, Indonesia, Taiwan dan Cina, insidennya jauh lebih tinggi.
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus,
dan terkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang
ditururunkan seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia
aplastik merupakan idiopatik.
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya sindrom anemia
(lemah, pucat, cepat lelah, sakit kepala, pusing, telinga berdenging, mata
bekunang-kunang, kelemahan otot, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas, warna
pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus),
leukopenia (Gejala infeksi : dapat berupa nyeri tenggorokan, luka pada mulut dan
faring, demam disertai menggigil dan berkeringat, dan pada tingkat yang lebih
berat dijumpai sepsis sampai syok septik) dan trombositopenia (gejala perdarahan:
paling sering berupa petechie dan echymosis pada kulit.Perdarahan mukosa dapat
berupa epistaxis, perdarahan sub konjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis atau
melena. perdarahan retina)
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif,
gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala
subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun,
gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi
paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan
darah dan pemeriksaan sumsum tulang, serta menyingkirkan adanya infiltrasi dan
supresi pada sumsum tulang.
Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik terdiri atas terapi
kausal, Terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang:
terapi untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang dan terapi definitif yang
terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globulme, transplantasi sumsum tulang.
Perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa
pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat
dibagi menjadi 3 yaitu Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam
waktu 3 bulan. Keadaan ini mencakup 10-15% kasus. Penderita dengan perjalanan
penyakit kronik dengan remisi dan relaps. Meninggal dalam waktu 1 tahun,
merupakan 50% kasus, dan Penderita yang mengalami remisi sempurna atau
parsial, hanya merupakan sebagian kecil dari penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI, 2001;501-8.
2. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
3. Widjanarko, A. Anemia Aplastik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. p. 627-633.
4. Widjanarko, A. Anemia Aplastik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. p. 637-643.
5. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah
Sakit Umum Pusat Saglah Denpasar. Anemia Aplastik. Pedoman Pelayanan Medis
kesehatan Anak 2011. 151-153
6. Bakta, IM. Buku Ajar Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG, 2007. p. 97-112.
7. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic
Anemia. Available in URL: HYPERLINK
http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
8. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).
William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
9. Adyana,Losen dkk. 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Anemia
Aplastik. Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar. Akses tanggal 25 Agustus 2012.
10. Young NS. Aplastic Anemia, Myelodysplasia, and Related Bone Marrow
Failure Syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al. Harrison’s Principle
of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007: 617-25.
11. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).
William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
top related