tiga aliran filsafat pendidikan - yeni
Post on 22-Dec-2015
14 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Para ilmuwan dan prktisi pendidikan di Indonesia sudah
mengadopsi dan mengkaji filsafat pendidikan baik dari dunia
barat/eropa maupun dunia islam. Filsafat dari dunia barat/eropa sudah
mulai di transfer ke Indonesia semenjak sebelum abad ke 19, (Redja
Mudyaharjo: 2004). Adapun filsafat barat yang diadopsi itu adalah:
a. Filsafat naturalisme ( kenyataan yang sebenarnya adalah alam
semesta fisik ini).
b. Filsafat idealisme ( kenyataan itu tersusun atas substansi
sebagaimana gagasan-gagasan ide atau spirit).
c. Filsafat realisme (kenyataan itu berbeda dengan jiwa. Kenyataan itu
tidak sepenuhnya bergantung kepada jiwa yang mengetahui).
Realisme termasuk bagian dari naturalisme.
d. Filsafat pragmatisme ( kegunaan beserta kemampuan perwujudan
nyata adalah hal-hal yang mempunyai kedudukan utama di sekitar
pengetahuan mengenai sesuatu itu).
Empat dasar filsafat tersebut, selanjutnya berkembang menjadi
empat aliran filsafat pendidikan, seperti yang dijelaskan (Theodore
Brameld, philisophies of education , ijn cultural perspective: 1958, hal.
73):
a. Progresivisme: (menghendaki pendidikan yang padahakekatnya
progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekontruksi
pengalaman yang terus menerus).
b. Esensialisme : (menghendaki pendidikan agar pendidikan yang
bersendikan atas nilai-nilai yamg tinggi yang hakiki kedudukannya
dalam kebudayaan).
c. Perenialisme: (menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa
yang menguasai abad pertengahan tata kehidupan yang rasional).
d. Rekonstruksionisme; (menghendaki agar anak didik dapat
dibangkitkan kemauannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri
dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat).
Di dalam analisis ini penulis akan membahas tiga aliran filsafat
pendidikan, yaitu :
I. Aliran progressivisme
Progressivisme lahir sebagai pembaharuan dalam dunia (filsafat)
pendidikan terutama sebagai awan terhadap kebijaksanaan-
kebijaksanaan konvensional yang diwarisi dari abad kesembilan belas.
Progressivisme berkembang dalam permulaan abad 20 ini terutama di
Amerika serikat.
Pandangan-pandangan Progressivisme dianggap sebagai “the
liberal roadto culture”, dalam arti bahwa liberal dimaksudkan sebagai
fleksibel, berani, toleran dan bersikap terbuka. Dan liberal dalam arti
lainnya ialah bahwa pribadi-pribadi penganutnya tidak hanya memegang
sikap seperti tersebut di atas, melainkan juga selalu bersifat penjelajah,
peneliti secaa kontinyu demi pengembangan pengalaman. Mereka
mempunyai jiwa dan semanagat penyelidik yang terbuka sikapnya, yang
tak mengenal selesai, memiliki kemauan baik untuk mendengarkan kritik,
ide-ide lawan sambil memberi kesempatan kepada mereka itu untuk
membuktikan kebenaran ide mereka.
Tokoh-tokoh Progressivisme ini antara lain:
a. William James, menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu
dipelajari sebagai bagian mata pelajaran pokok dan ilmu
pengetahuan alam. Beliau juga mengatakan suatu sikap
memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip
dan kategori-kategori yag dianggap sangat penting serta melihat
ke depan kepada benda-benda yang terakhir, buah-buah dan
fakta-fakta.
b. John Dewey, mengembangkan Pragmatisme dalam bentuknya
yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula
dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang
disebut instrumentalisme. Dewey menekankan fungsi berpikir
kreatif menganggap bahwa istilah-istilah penyelidikan, makna,
pertimbangan, logika dan verifikasi adalah asas-asas yang amat
berguna bagi efektivitas fungsi berpikir kreatif.
c. Hans Vaihinger, menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti
praktis
d. Ferdinant Schiller dan Georges Santayana, kedua orang ini
digolongkan penganut pragmatisme. Tapi amat sukar untuk
memberikan sifat bagi hasil pemikiran mereka, karena amat
banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa yang dialaminya
(Poedjawijatna, 1990: 133).
Progressivisme sebagai ajaran filsafat mempuyai watak yang digolongkan
sebagai :
1. Negative and Diagnostics yang berarti: bersikap anti terhadap
otoritarianisme dan absolutisme dalam segala bentuk baik yang
kuno, maupun yang modern, yang meliputi semua bidang kehidupan
terutama : agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan.
2. Positive and remedial , yakni suatu pernyataan dan kepercayaan
atas kemampuan manusia sebagai subyek yang memiliki potensi –
potensi alamiah, terutama kekuatan-kekuatan self-regenerative untuk
menghadapi dan mengatasi semua probem hidupnya.
A. Pandangan Ontologi Progressivisme
1. Asa Hereby atau asas keduniawian
Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu,
pengalaman manusia tentang penderitaan, kesedihan,
kegembiraan,keindahan, dan lain-lain adalah realita manusia hidup
sampai mati. Pengalaman adalah suatu sumber evolusi, yang
berarti perkembangan, maju setapak demi setapak mulai dari yang
mudah-mudah menerobos kepada yang sulit-sulit (proses
perkembangan yang lama).
2. Pengalaman sebagai realita
Manusia dalam ontologi sesungguhnya mencari dan menghadapi
secara langsung suatu realita disini dan sekarang yakni sebagai
lingkungan hidup.
B. Pandangan Epistemologi Progressivisme
Pengetahuan adalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses,
kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi
dan pengalaman. Pengetahuan diperoleh manusia baik secara langsung
melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam
lingkungannya, ataupun pengetahuan diperoleh langsung melalui catatan-
catatan. Pengetahuan adalah hasil aktifitas tertentu. Makin sering kita
menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita
dalam praktek, maka makin besar persiapan kita menghadapi tuntutan
masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan
realita baru di dalam lingkungan. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide
memecahkan masalah, kebenaran adalah konsekuen dari pada sesuatu
ide, realita pengetahuan dan daya guna dalam hidup (Noor Syam,
1986:2360).
C. Pandangan Aksiologi
Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian
adanya pergaulan. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai.
Bahasa adalah sarana ekspedisi yang berasal dari dorongan, kehendak,
perasaan, kecerdasan dari individu-individu (Barnadib, 1997). Nilai itu
benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan
kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan
manusia.
Progressivisme dan Pendidikan
Dalam banyak hal progressivisme indektik dengan pragmatisme
oleh karena itu apabila orang menyebut pragmatisme maka berarti sama
dengan progressivisme (Ali, 1990). Filsafat progressivisme memandang
tentang kebudayaan bahwa budayasebagai hasil budi manusia, dikenang
sepanjang sejarah yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan
berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia yang merupakan
refleksi dari kebudayaan, haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu
(Barnadib, 1992). Untuk pendidikan sebagai alat memproses dan
merekontruksi kebudayaan baru, harus dapat menciptakan situasi yang
yang edukatif yang dapat memberikan warna dan corak dari output
(keluaran). Sehingga keluaran (anak didik) adalah manusia-manusia yang
berkualitas unggul, kompetitif, inisiatif, adaptif dan kreatif, sanggup
menjawab tantangan zamannya.
1. Asas Belajar
John Dewey memandang, bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi. Artinya disini sebagai proses dan proses dimana anak
didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan
sekitarnya. Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan
masyarkat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup
disekolah saja. Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi
pendidikannya berinterasi dengan lingkungan sekitar.
2. Pandangan Kurikulum Progressivisme
Pendidikan dilaksanakan disekolah dengan anggapan bahwa sekolah
dipercaya oleh masyarakat, untuk membantu perkembangan pribadi
anak. Faktor anak merupakan faktor yang cukup urgen (penting),
karena sekolah didirikan untuk anak. Karena itu hak pribadi anak perlu
diutamakan, bukan diciptakan sekehendak yang mendidiknya. Dengan
kata lain anak hendaknya dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan
sebagai obyek pendidikan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka filsafat progressivisme
menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan
terbuka. Jadi kurikulum diubah dan dibentuk sesuai zamannya.
3. Pandangan Progressivisme tentang Budaya
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya
untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifat yang kreatif
dan dinamis terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang
semakin maju. Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman
purbakala manusia hidup dipohon-pohon atau gua-gua. Hidup hanya
bergantung dengan alam. Alamlah yang mengendalikan manusia.
Dengan sifat keingintahuannya yang terusberkembang makin lama
daya rasa, cipta, dan karsanya telah dapat mengubah alam menjadi
sesuatu yang berguna. Alamlah yang dikendalikan manusia. Sehingga
semakin tinggi tingkat berpikir manusia, maka semakin tinggi pula
tingkat budaya dan peradaban manusia. Akibatnya anak-anak
tumbuh menjadi dewasa, masyarakat yang sederhana dan
terbelakang manjadi masyarakat yang kompleks dan maju.
II. ALIRAN ESSENTIALISME
Essentialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaanyang telah ada sejak awal peradapan umatanusia.
Kebuyaan yang mereka wariskan kepada kita hingga sekarang, telah teruji
dengan segala zaman, kodisi dan sejarah. Kebudayaan demikian, ialah
essensia yang mampu pula mengemban hari kini dan masa depan umat
manusia.
Pemikir-pemikir besar yang telah dianggap sebagai peletak dasar
asas-asas fisafat aliran ini, terutama yang hidup pada zaman klasik: plato,
Aristotreles, Democritus. Plato sebagai bapak objective idealisme adalah
pula peletak teori-teori modern dalam essentialisme. Sedangkan
Aristoteles dan democritus, keduanya bapak objective realisme. Kedua ide
filsafat itulah yang menjadi latar belakang thesis-thesis essentialisme.
Tokoh-tokoh idealisme modern seperti Leibnits, Immanuel Kant,
Heegel dan Schopenhauer. Sesungguhnya keempat filosof besar ini
peletak segi idealisme alran essentialisme disamping tokoh-tokoh
realisme modern eperti: hobbes, locke, Berkeley, hume. Essentialisme
menterjemahkan ide-de mereka, yang telah disentesakan itu dalam dunia
pendidikan kerena meyakini kebaikan masing-masing konsepsi.
A. Pandangan Ontologi Esensialisme
Tujuan umum dari aliran essentialisme adalah membentuk pribadi
bahagia di dunia dan akirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan
kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi essensialisme semacam
miniatur dunia yang bisa dijadikan ukuran kenyataan, kebenaran dan
keagungan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum
essensialisme menerapkan berbagai pola idealisme, realisme dan
sebagainya.
1. Realisme yaitu, suatu yang dapat ditafsirkan menurut hukum alam,
diantaranya daya tarik bumi. Sedangkan menurut Aristoteles, hakikat
alam ril adanya dalam kenyataan. Konsep-konsep umum yang
disusun oleh akal budi manusia sungguh-sungguh terdapat dalam
alam yang lepas dari pikiran manusia.
2. Idealisme, pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh dikatakan
meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran, bahwa totalitas
dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit,
idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang
ada ini adalah nyata.
Idealisme, juga menyatakan ukuran baik buruk ditentukan oleh sesuai
tidaknya suatu perbuatan dengan konsep ideal (rancangan bangun)
pikiran manusia. Jika sesuai dengan konsep ideal, maka perbuatan
tersebut dianggap baik. Sebaliknya, jika tidak sesuai dianggap buruk.
Kant, tokoh idealisme modern, yang dikenal dengan teori “categorical
imperative” (kategori imperatf), hukum moral dimaksud menyatakan
bahwa tiap manusia harus selalu melakukan sesuatu oleh semua
manusia, tindakan itu wajib dilakukan dimana dan pada waktu
apapun. Misalnya, adalah kewajiban manusia untuk tetap honest
(tulus hati, jujur) sebab itu adalah kebaikan universal.
Menurut Plato, dibalik alam empiris ini terdapat dunia ide. Ide tidak
diartikan sebagai gagasan atau pemikiran, melainkan sebagai sebuah
dunia ril yang bereksintensi. Menurut teori ini, segala yang ada di
dunia ini telah ada gambaran (bayangannya) dalam dunia ideal,
sehingga dunia empiris tak lebih dari sekedar bayangan dunia ide
tersebut.
B. Pandangan Epsitimologi Esensialisme
Perbedaaan idealisme dan realisme adalah karena yang pertama
menganggap bahwa rohani adalah kunci kesadaran tentang realita.
Manusia mengetahui sesuatu hanya didalam dan melalui ide, rohaniah.
Kosekuensinya kedua unsur rohani dan jasmani adalah realita kepribadian
manusia. Untuk mengerti manusia, baik filosofiis maupun ilmiah haruslah
melalui hal tersebut dan pendekatan rangkap yang sesuai dalam
pelaksanaan pendidikan.
Di Amerika ada beberapa tipe epistimologi realisme:
a. Neo realisme
b. Kritikal realisme
Pandangan Aksiologi Esensialisme
I. Teori Nilai Menurut Idealisme
II. Teori Nilai Menurut Realisme
Pandangan Esensialisme Mengenai Belajar
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa
mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk,
ruang, dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada
pengalaman atau pengamatan. Jadi, epriori yang terarah bukanlah budi
kepada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi
membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil
landasan pikir tersebut pelajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang
berkembang pada sendirinya sebagai substansi spritual. Jiwa membina
dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983).
Roose L. Finney mengatakan, mental adalah keadaan rohani yang
pasif dan berarti, bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja
yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan
itu adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara
sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah,
dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian
realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan
determinasi terbatas.
Pandangan Esensialisme Mengenai Kurikulum
Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa
hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamen tunggal, yaitu watak
manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Sedangkan
Bogoslousky, mengutarakan disamping menegaskan supaya kurikulum
dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan
yang lain.
Robert Urlich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya
kurikulum secara flleksibel karena perlu mendasar atau pribadi anak
fleksibelitas tiidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama
dan alam semesta. Untuk itu perlu diadakan perencanaan dengan
keseksamaan dan kepastian.
Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan
baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi kitab suci.
Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum berisi moralitas
yang tinggi.
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang
disusun dengan teratur satu sama lain, yaitu disusun dari paling
sederhana sampai yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan
ibarat susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen atau
dasar dari susunannnya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum
disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.
Robert Hutchkins, mengatakan bahwa pendidikan tinggi sekarang
ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang
berdasarkan cinta itelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins,
mengatakan, manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah
dikembangkan pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum
yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan
sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itu terbentuk atas dasar
landasan kejiwaan yang sama.
III. ALIRAN PERENNIALISME
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya
mempunyai kesatuan, dimana susunannya merupakan hasil pikiran yang
memberikan kemungkinan bagi seseorang, untuk bersifat yang tegas dan
lurus. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan
aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar
penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini
bukanlah nostalgia (rindu akan hal yang sudah lampau semata-mata)
tetapi sudah didasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan
tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali ke masa
lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme, dimana pendidikan yang
ada sekarang ini perlu kembali ke masa lampau dengan berdasarkan
keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
A. Pandangan Ontologi Perennialisme
Perennialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia
terutama ialah jaminan bahwa reality is universal that is every where and
at every moment the same, Realita ini bersifat universal, bahwa realita itu
ada dimana saja dan sama di setiap waktu.
Segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau
badan dan jiwa yang disebut substansi, bila dihubungkan dengan
manusia maka manusia itu adalah potensialitas yang di dalam hidupnya
tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula
dimilikinya akal, perasaan, dan kemauannya semua ini dapat diatasi.
Maka dengan suasana ini manusia dapat bergerak untuk menuju tujuan
(teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri pada supernatural
(Tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan merupakan
tujuan akhir.
B. Pandangan Epistemologis Perennialisme
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah
kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu
mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah
memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan
pengetahuan tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung anak
didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang
lain. Jadi keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada
guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Tujuan pendidikan, baik yang bersifat menyeluruh dan umum
maupun jabarannya, terarah bagi terwujudnya kemanusiaan manusia,
melalui pengembangan dimensi-dimensi kemanusiaan serta panca
dayanya (daya taqwa, cipta, rasa, karsa, dan karya) (Prayitno, 2005 :13).
Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah terwujudnya sosok
manusia dengan perpaduan iman, budi, akhlak dan rasio pikiran. Aspek-
aspek kemanusiaan yang dimiilikinya tersebut dapat berfungsi secara
selaras, serasi, dan seimbang. Inilah ciri-ciri manusia Indonesia seutuhnya
yang hendak dicapai dengan pendidikan (Emil Salim, 1987:65).
Pada dasarnya tujuan pendidikan mengacu kepada tujuan hidup
manusia. Tujuan tersebut adalah kesempurnaan manusia sesuai dengan
harkat dan martabat serta ketinggian derajat yang dimilikinya sebagai
hamba Allah dan khalifah dimuka bumi ini (Muhammad Yasir, 1988:49).
C. Pandangan Aksiologi Perennialisme
Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh
tokoh-tokohnya. Seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Equinas. Menurut
Plato, manusia secara kuadrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan
dan pikiran. Pendidikan hendaknya beroriantasi pada potensi itu dan
kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan
masyarakat bisa terpenuhi (proyek pembinaan prasarana dan sarana
perguruan tinggi agama Islam, 1987)
Ide-ide Plato, yang dikembangkan oleh Aistoteles, Zuhairini
Arikonto, Thomas Aquinas, bahwa tujuan pendidikan yang dikehendaki
adalah usaha untuk mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar
menjadi aktualitas, aktif, dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah
mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya (Zuhairini, 1992).
Jadi dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi
kemampuan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan perennialisme
tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan
modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah,
perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Frondizi Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Gazalba, Sidi. 1991. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang
Hamka. 1987. Filsafat Ketuhanan. Surabaya: Karunia
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo
Ravertz, Jerome R. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudarsono. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Sunoto. 1982. Mengenal Filsafat Pancasila III. Yogyakarta: PT Hanindita
Syam, Mohammad Noor. 1983. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1996.Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
top related