syahwat kekuasaan di garut testimoni mustofa fattah versi lengkap

Post on 14-Jun-2015

9.221 Views

Category:

Education

20 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

1

SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT

Kata Pengantar

Kabupaten Garut kerap disebut-sebut sebagai miniatur

politik di Jawa Barat. Tidak heran, jika banyak kalangan datang

berguru ke Garut. Dalam banyak hal Kabupaten Garut memang

unik dan menarik. Sebagai daerah yang berkatagori tertinggal,

ternyata sangat dinamis namun sarat intrik dan konflik

kepentingan.

Penulis yang sejak tahun 1983 berprofesi sebagai

wartawan, banyak mencatat hiruk pikuknya dinamika

perpolitikan di wilayah Kabupaten Garut. Dari catatan secara

umum melalui penulusuran, dan catatan khusus karena penulis

sering masuk ke wilayah kekuasaan mencoba menuangkannya

dalam sebuah buku yang diberi judul

“SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT”.

Buku tersebut penulis berharap memberi gambaran,

bahwa betapa Kabupaten Garut yang unik dan menarik tidak

mau beranjak dari ketertinggalannya di satu sisi, namun di sisi

yang lain justru sangat berkembang pesat terutama dalam

berebut kekuasaan untuk menguasai jaringan pemerintahan,

politik dan hukum.

Kemajuan dalam berebut kekuasaan memang tidak

berbanding lurus dengan upaya meningkatkan pembangunan

untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Energi dan ongkos politik

2

dihabiskan untuk merebut kekuasaan baik dalam jabatan politik,

penanganan masalah hukum maupun perebutan jabatan di

lingkungan birokrasi.

Celakanya, ongkos politik dan tanpa disadari justru

diongkosi oleh rakyat dengan cara mengatur Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara rapih, teratur

dan lolos dari jamahan hukum.

Tokoh wartawan senior H. Usep Romli, yang juga

sastrawan terkemuka sekaligus kiayi dalam tulisannya di Surat

Kabar Umum Garoet Pos menyebutkan, bahwa Garut adalah

tempat kursus politik. Sejumlah tokoh nasional dari berbagai

bidang berasal dari Garut baik di masa lampau maupun masa

sekarang.

Sebut saja tokoh masa lampau seperti

Prof. DR. KH. Anwar Musadad yang merintis berdirinya

Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, KH. Yusuf Taudjiri,

ulama pejuang. Prof. DR. Ihromi, ahli bahasa Ibroni yang

kemudian pernah menjadi Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI).

Lalu ada Arudji Kartawinata, tokoh Partai Syarikat Islam

Indonesia dan pernah menduduki jabatan Ketua DPR-RI.

H. Usep Romli mencatatkan, rumah tokoh partai

nasionalis Bubu Burhan Mustafa di Jalan Bank no. 14 dijadikan

tempat kurus politik, yang melahirkan politisi-politisi handal yang

berasal dari kalangan pendidikan, seperti Drs. Sopandi guru SPG

Negeri dan Jajang Kurniadi, guru SMP Negeri I Garut.

3

Dari kubu partai Islam, rumah KH. Anwar Musadad di

Jalan Ciledug, juga dijadikan tempat kursus politik. Salah satu

jebolannya adalah Omo Suntama, seorang guru SPG Negeri yang

kemudian aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan

mengantarkan KH. Sulaeman Afif menjadi anggota DPR-MPR.

Faktanya, Kabupaten Garut memang tidak terbantahkan lagi

sebagai tempat kurus politik yang melahirkan politisi-politisi

handal. Tak heran, jika kemudian generasi sekarang

memunculkan nama Memo Hermawan dari PDIP dan

Dedi Suryadi dari PPP, tercatat sebagai politisi lokal yang cerdik

dan hebat.

Tokoh masa sekarang ada Prof. Soleh Solahudin, yang

pernah menjadi Menteri Pertanian semasa presiden BJ.Habibie,

Burhanudin Abdullah, mantan Menko Ekuin semasa presiden

Gusdur yang kemudian menjadi Gubernur BI. (alm) Andung

Nitimiharja, mantan menteri Perindustrian era presiden Susilo

Bambang Yudhoyono.

Sederet tokoh lainnya yang mewarnai percaturan politik

di Indonesia berasal dari Garut. Di PDIP ada Jajang Kurniadi, di

PKB ada Prof. Cecep Syarifudin, di PPP ada Maksum Djaeladri, di

Partai Golkar ada Asep Ruhimat Sudjana. Kalau kemudian

H. Usep Romli menyebutnya sebagai tempat kursus politik,

memang Kabupaten Garut layak menyandang sebutan tersebut

karena hingga kini masih tetap menjadi tempat penggojlogan

politisi-politisi handal.

Tanpa bermaksud menyudutkan siapa pun dan kelompok

manapun, semata-mata penulis hanya mengangkat ke

4

permukaan berdasarkan catatan dan pengalaman yang penulis

peroleh. Bahkan dalam hal ini penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang

secara langsung maupun tidak langsung telah membantu

terselesaikannya buku ini.

Kepada kedua anak saya tercinta, sahabat dan teman-

teman pers yang bertugas di Kabupaten Garut dari media cetak

dan elektronik terutama keluarga besar Surat Kabar Umum

Garoet Pos, penulis haturkan terima kasih atas dorongan moril

serta bantuannya dalam banyak hal sehingga memungkinkan

bagi penulis menyelesaikan buku ini.

Di saat menyelesaikan buku ini, dalam waktu bersamaan

justru penulis menghadapi banyak masalah yang berkaitan

dengan berkecamuknya pendapat pro-kontra tentang penting

tidaknya buku ini diterbitkan. Alhamdulillah penulis diberi

kekuatan mental, kesabaran dan ketabahan serta kekihlasan

dalam menghadapinya sehingga tidak menjadi penghambat

untuk terus menyelesaikan buku ini.

Hanya kepada Allah-lah, penulis memohon bimbingan

sekaligus berserah diri atas segala hal yang selama ini menjadi

bahagian dari perjalanan hidup. Hanya do’alah yang

memungkinkan semuanya bisa teratasi. Terima kasih ya Allah,

Engkau telah membimbing hamba yang tdak punya kekuatan

apa pun selain hanya karena Engkau ya Allah. (*)

Salam hormat dan salam hangat untuk semua

Garut, Mei 201 Penulis : MUSTAFA FATAH

5

Daftar Isi:

1. Profil Penulis

2. Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru

3. Babak Baru di Era Reformasi

4. Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan

5. Gugatan di Peradilan T.U.N

6. Tentara Kembali Rebut Pemerintahan

7. Bungalau 12

8. Bertindak dengan Hati

9. Memo dan Kepala SMK PGRI

10. Jabatan tidak Digenggam

11. Pejabat dan Dunia Hiburan

12. Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi

13. Kalau Tidak, Ikut Mundur

14. Agus Tawari Iman jadi Sekda

15. Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum

16. Politisi Rebut Pemerintahan

17. Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut)

18. Skandal Seks yang Di peti es kan

19. Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum

20. Aktivis dan Proyek D.A.K Buku

21. Desakan P.A.W

22. Tebang Pilih Penanganan Hukum

23. Jabatan Sekda Dipolitisir

24. Jurus Perbup Jerat Hilman

25. Iman Putera Mahkota Bupati Momon

26. Terparkirnya Pejabat Birokrasi

27. Mafia Jabatan

28. Dua Sosok Politisi Cerdik

6

29. Memo - Dedi tak Ambil Peluang

30. Memo vs Hasanudin

31. Manggungnya Independen

32. Aceng-Diky tak Penuhi Syarat

33. Aceng Fikri Orang Parpol

34. Dana Pengamanan Pemilu 2009

35. Pileg Syarat Pelanggaran

36. Potret Suram Pembangunan di Garut

37. Tiga Bupati tak Mampu Wujudkan G.O.R

38. Kabupaten Garut Selatan

39. Jelang Pemilukada 2013

40. Kepercayaan Pusat

41. Birokrat Sulit Diatur

42. Pejabat Pemda Dibidik Penegak Hukum

43. Bisnis CPNSD

7

Profil Penulis:

Nama pemberian orang tua adalah Mustofa, namun

kemudian ditambah dengan nama kakek yang bernama

Muhammad Fatah sehingga dalam akta kelahiran tertulis

menjadi Mustafa Fatah.

Lahir tanggal 24 Juli 1959 di desa Bojong Kecamatan

Bungbulang Kabupaten Garut. Setelah menamatkan sekolah

di SMP Negeri Bungbulang (sekarang SMP Negeri I

Bungbulang), melanjutkan ke SMEA Muhammadiyah di kota

Garut.

Pilihan sekolah bertentangan dengan keiinginan orang

tua agar masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Menjadi

guru bukan pilihan, tetapi sekolah ekonomi pun nyaris tanpa

tujuan yang jelas.

Selepas SMEA berkeiinginan melanjutkan kuliah, namun

dalam waktu bersamaan harus berbarengan dengan kakak

yang kebetulan lulus seleksi masuk ke IKIP Bandung

(sekarang UPI). Akhirnya mengalah untuk tidak melanjutkan

kuliah, karena keterbatasan orang tua dalam pembiayaannya,

dan lebih mendorong kakak agar kelak menjadi seorang guru

melanjutkan cita-cita ayah.

Tahun 1983 ikut seleksi calon wartawan di Harian

Umum Mandala yang sedang naik daun karena maraknya

pemberitaan seputar kasus penembakan misterius (petrus)

terhadap orang-orang yang meresahkan masyarakat

(preman).

8

Tahun 1986 semasa bupati Garut H. Taufik Hidayat,

akibat berita yang selalu mengkritisi kebijakan bupati yang

merugikan rakyat akhirnya di persona non grata (diusir dari

wilayah Garut).

Perseteruan dengan bupati sempat pula dimuat di

Majalah Tempo, dan pengusiran tidak jadi dilakukan.

Menjelang pergantian bupati dari Taufik Hidayat ke bupati

Momon Gandasasmita terjadilah islah (saling memaafkan).

Tahun 1989 Harian Mandala diambil alih oleh Grup

Kompas, dan ketika dilakukan seleksi oleh manajemen

Kompas dinyatakan lolos dan terus bergabung hingga

berakhirnya pengambilalihan Harian Mandala oleh Kompas

tahun 1990.

Tahun 1990-1992 lolos seleksi di Surat Kabar Surabaya

Minggu yang manajemennya diambil alih pengusaha sukses

Yakob Hendrawan beralamat di Jalan KH. Mas Mansyur

No. 55 Tanah Abang Jakarta Pusat.

Tahun 1992 kembali lagi ke Garut membuka Perwakilan

Surat Kabar Sunda “Kudjang” setelah diajak oleh Alvertoeng,

mantan Pemimpin Redaksi salah satu surat kabar milik grup

Media Indonesia dan terjadilah kerjasama dengan pemerintah

daerah Kabupaten Garut melalui bupati

H. Momon Gandasasmita.

Koran Kudjang ditinggalkan dan kembali lagi ke Koran

Mandala hingga akhirnya ke Surat kabar Harian Suara Publik

9

yang terbit di awal reformasi, milik Wakil Walikota Bandung

Enjang Darsono.

Selain aktif di Suara Publik, sempat pula menjadi

deklarator Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Garut

bersama sejumlah tokoh dari Muhammadiyah.

Turut mendeklarasikan Forum Pemuda Pelajar dan

Mahasiswa Garut (FPPMG) bersama Agustiana, yang

kemudian melahirkan sejumlah aktivis seperti Arif Rahman

Hidayat, SE.,Ak (mantan ketua STIE Yasa Anggana), Oim

Abdurohim (mantan anggota DPRD Garut/mantan calon wakil

bupati Garut 2008), Hasanudin (sekarang pengurus DPN

Refdem) dan lain-lain.

Pada Pemilu pertama era reformasi, yaitu tahun 1999

maju menjadi calon anggota DPRD dari daerah pemilihan

Kecamatan Cisewu.

Tahun 2001 mengundurkan diri dari PAN dalam posisi

sebagai salah satu sekretaris DPD Kabupaten Garut, karena

lebih memilih tetap menjadi wartawan yang sejak tahun 2000

lolos seleksi di Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-

Grup Kompas).

Tahun 2003 ikut seleksi calon Anggota KPU Garut dan

lolos ke 10 besar, namun gugur di lima besar. Tahun 2005

sampai sekarang menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin

Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos.

10

Tahun 2008 ikut lagi seleksi calon anggota KPU dan

berhasil masuk lima besar yang ditetapkan oleh Tim Seleksi

dari KPU Propinsi Jawa Barat.

Selain aktif di organisasi profesi yaitu Persatuan

Wartawan Indonesia (PWI), juga aktif di organisasi

kemasyarakatan, antara lain Muhammadiyah, Ikatan

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan di organisasi

sepak bola PSSI Pengcab Garut.

Beberapa wartawan senior dan wartawan muda

dilahirkan melalui tangan penulis, seperti Tisna Wibawa

(wartawan Koran BOM/Majalah Cermin Harian), Ridwan, S.Pd,

Taofik Rahman, S.Sos, Yosep Nasrullah, S.Ag, Tata Ansori

(Garoet Pos), Asep Hamdani (Harian Radar/Ketua APDESI

Garut), Rommy Rusyana (mantan wartawan SINDO), Jamjam

Jamaludin (Harian Radar), Indra Prasasti (Trans TV), Deni

Muhammad Arif (Indosiar) dan lain-lain. (*).

11

Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru

Tahun 1996 gerakan penumbangan rezim orde baru

semakin kencang. Kelompok pro-demokrasi bermunculan

dimana-mana termasuk di kabupaten Garut yang dimotori

mahasiswa dan aktivis.

Para aktivis pro demokrasi dari kalangan kampus pada

tahun yang sama mendatangkan tokoh penentang orde baru,

yaitu DR. Ir. Sri Bintang Pamungkas, dosen Fakultas Teknik

Universitas Indonesia dalam kegiatan seminar ekonomi yang

digagas oleh SENAT Mahasiswa STIE Garut diketuai Hasanuddin

bekerjasama dengan PWI Perwakilan Garut.

Kehadiran Sri Bintang Pamungkas ke Garut tidak

dihendaki oleh penguasa di Kabupaten Garut. Bahkan seluruh

pengelola gedung yang biasa menyewakan tempatnya

mendadak tidak mau memberikannya dengan berbagai alasan.

Akhirnya seminar digelar di halaman gedung Korpri Jalan

Patriot Garut, dilanjutkan di Sekretariat PWI Garut Jalan

Pembangunan. Saat itu jumlah personil keamanan baik yang

terbuka maupun tertutup, justru lebih banyak ketimbang peserta

seminar yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa dan

aktivis.

Tokoh ulama, politisi, sekaligus pemilik pondok pesantren

Darussalam Wanaraja KH. Cholid Taujiri mendaulat Sri Bintang

Pamungkas dan membawanya ke Pontrennya untuk bicara

panjang lebar dihadapan santri dan warga sekitarnya.

12

Kehadiran Sri Bintang Pamungkas, ternyata diikuti

aparat intelejen dari Jakarta karena setelah dari Garut

langsung terbang ke Jerman menghadiri seminar sekaligus

sebagai pembicara di sana. Sri Bintang Pamungkas, langsung

ditangkap penguasa orde baru dan dijebloskan ke penjara di

Jakarta, bahkan statusnya sebagai dosen PNS di Universitas

Indonesia dipecat/diberhentikan.

Tidak lama berselang, tokoh gerakan pro demokrasi

Agustiana digelandang ke penjara di Tasikmalaya atas

tuduhan sebagai dalang kerusuhan Tasikmalaya, dan sebelum

ditangkap sempat menggelar jumpa pers di sekretariat PWI

Garut. Sekretariat Forum Pemuda Pelajar (FPPMG) yang

dikomandani Agustiana beralamat di Jalan Ranggalawe

bersebelahan dengan tempat tinggal penulis.

Pasukan keamanan dari TNI, Polisi dan Satuan Polisi

Pamongpraja lengkap dengan senjatanya mengepung

sekretariat FPPMG, dan Komandan Intelejen Kodim (Kasi

Intel- Lettu. Inf. Anan Taryana) berada di rumah penulis.

Tembok pemerintah daerah Kabupaten Garut saat itu

memang sangat kuat dan kokoh. Salah satu tokoh kunci yang

membentengi pemda Garut adalah Letkol. Inf. Kohar

Somantri, mantan Kepala Staf Kodim 0611 Garut yang

diangkat sebagai Kepala Kantor Sosial Politik (Sospol) Pemda

Garut.

Letkol. Inf. Kohar Somantri, selaku Kepala Kantor Sosial

Politik Pemda Garut sangat disegani dan ditakui oleh semua

kalangan. Dalam mengendalikan pemerintahan di lingkungan

13

pemda Garut, Kohar membentuk kekuatan yang waktu itu

dikenal dengan istilah MARKODOTOH (Mardjuki, Kohar

Somantri, Dodi Soemartawijaya, Toto Rahmat). Mardjuki

adalah seorang Letkol TNI yang menjadi Kepala Dinas

Pekerjaan Umum Kabupaten (PUK), Kohar Somantri (Kepala

Sospol), Dodi Soemartawidjaya (Kepala Bagian Kepegawaian),

Toto Rahmat (Kepala Dispenda).

Kalau sekarang di tubuh pemda Garut ada kelompok

geng, memang bukan hal baru karena sudah merupakan

tradisi (warisan) dari orang-orang yang memiliki pengaruh di

lingkungan pemda Garut. Tidak heran, kelompok tersebut

sangat dominan dalam penempatan sejumlah pejabat yang

loyal kepada kelompok geng dimaksud.

Sekarang di lingkungan birokrasi pemda Garut dikenal

dengan geng-nya Iman Alirahman, dan itu tidak bisa

terbantahkan karena geng tersebut memiliki kekuatan yang

signifikan dalam berbagai hal. Bahkan sangat disadari oleh

Wowo Wibowo dan Hilman Faridz ketika naik menjadi Sekda

Garut.

Wowo Wibowo tidak mampu bertahan lama menjadi

sekda, karena ia banyak melakukan penekanan terhadap

sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut yang merupakan

geng-nya Iman Alirahman.

Kekuatan geng tersebut menyeret Wowo ke ranah

hukum, yang kemudian sempat mendekam di sel tahanan

Mapolda Jabar dengan tuduhan menyalahgunakan

14

wewenangnya menandatangani pencarian dana bantuan

sosial sebelum APBD Garut disahkan.

Keluhan Wowo Wibowo mengemuka setelah ia dengan

kewenangannya pernah melakukan tindakan tegas kepada

beberapa pejabat padahal pejabat tersebut adalah geng-nya

Iman Alirahman. Sebut saja Kepala Bagian Umum waktu itu

Dadi Jakaria dan staf-stafnya.

Tindakan tegas Wowo merupakan pemicu diungkitnya

persoalan dirinya saat menjadi Kepala BPKD yang dituduh

menggelontorkan dana bansos sebelum APBD disahkan.

Wowo kemudian digelandang oleh Polda Jabar dan

sempat mendekam beberapa bulan lamanya di sel tahanan.

Penulis sendiri berkesempatan melayat Wowo di Polda,

namun ternyata sosok Wowo terlihat tegar, tenang dan penuh

keikhlasan menghadapinya.

Hal yang sama dialami Hilman Faridz, sekda yang

menggantikan Wowo itu sempat menyampaikan keluhannya

kepada penulis, bahwa untuk beberapa hal ia tidak bisa

nyambung/sinergis dengan sejumlah pejabat di bawahnya.

Misalnya dengan Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD)

sewaktu dijabat Drs. H. Djadja Sudardja, M.Si.

Menurut Hilman, setiap kebijakan yang diambilnya selalu

mendapat hambatan dan tantangan dari pejabat di bawahnya

yang memang gengnya Iman Alirahman. “Anda tahu sendiri di

tubuh birokrasi terpecah, ada yang memihak saya dan ada

15

juga yang memihak pa Iman”. Begitu dikeluhkan Hilman

Faridz. (*)

Babak Baru di Era Reformasi

Akhirnya Mei 1998 tumbanglah rezim orde baru, dan di

Kabupaten Garut bertepatan dengan akan berakhirnya masa

jabatan bupati Drs. H. Toharudin Gani, yang diangkat menjadi

bupati hasil penunjukan dari pihak Gedung Sate,

menggantikan Momon Gandasasmita yang telah dua kali

menjabat bupati.

DPRD Garut hasil pemilu 1997 atau pemilu terakhir era

rezim orde baru merupakan “DPRD transisisisi”, karena tahun

1999 digelar pemilu pertama masa reformasi. Tentu saja

anggota DPRD yang berjumlah 45 orang itu memanfaatkan

pemilihan bupati sebagai ajang mendulang uang dari para

calon bupati.

Perebutan kekuasaan menjelang pemilihan bupati pun

terasa memanas, seluruh petinggi pemda Garut, yaitu bupati

Drs. H. Toharudin Gani, Wakil Bupati Mamad Suryana, dan

Sekretaris Daerah Iing Kosim maju mencalonkan diri sebagai

bupati.

Dari luar pemda Garut muncul nama Dede Satibi, yang

masih menjabat Wakil Bupati Kabupaten Bekasi, Letkol. Pol

(sekarang AKBP) Dede Hidayat Jayalaksana, mantan Kapolres

16

Garut. Dan dari kalangan DPRD nama H. Rukman yang ketua

DPRD maju juga menjadi kandidat.

Pertarungan sengit terjadi antara Dede Satibi dan Dede

Hidayat Jayalaksana. Anggota DPRD Garut yang akan

menentukan pilihannya menjadi terpecah. Kelompok aktivis,

dan tokok-tokoh ulama terpecah pula. Ada yang berada di

kubu Dede Jayalaksana dan ada di kubu Dede Satibi. Dede

Jayalaksana sangat dikenal luas di Garut, karena selain

pernah menjadi Kapolres Garut, perwira muda itu sebagai

sosok santun dan lebih mengedepankan pola kemitraan

dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban di

wilayah Kabupaten Garut.

Dede Hidayat Jayalaksana mendapat dukungan dari

tokoh-tokoh aktivis, seperti Toni Munawar, Gunadi dan aktivis

mahasiswa. Dari kalangan pengusaha ada H. Heri Sunardi

yang menguasai perkebunan Condong. Sedangkan tokoh

ulamanya ada KH. Uhom Hamdani, pemimpin pondok

Pesantren Sarohan Bayongbong dan tokoh Partai Persatuan

Pembangunan (PPP).

Sementara Dede Satibi mendapat dukungan dari Dewan

Harian Daerah (DHD) Angkatan 45, Warga Indonesia Asal

Garut (WI-ASGAR), Angkatan 66 dan tokoh ulama yang

dimotori KH Abdul Halim, pemimpin pondok pesantren Al-

Bayyinah dan salah satu putera dari ulama besar KH. Anwar

Musadad.

Pertarungan sengit terjadi antara kubu Dede Satibi dan

kubu Dede Jayalaksana. Disebut-sebut uang jago pun

17

mengalir ke kocek anggota DPRD, dan akhirnya Dede Satibi-

lah yang memenangkan pertarungan tersebut namun kubu

Dede Hidayat Jayalaksana tidak terima kekalahannya lalu

menyandera seluruh Anggota DPRD sekaligus menguasai

gedung wakil rakyat berhari-hari lamanya.

Kemenangan Dede Satibi nyaris saja digagalkan, kalau

saja Dede Hidayat Jayalaksana tidak segera meyakinkan

pendukungnya untuk menerima hasil yang menyakitkannya

itu. Seorang tokoh ulama PPP sekaligus pimpinan Pondok

Pesantren Sarohan Bayongbong KH. Uhom Hamdani adalah

yang paling kecewa atas kekalahan Dede Hidayat

Jayalaksana. Kiayi yang dikenal berani itu pun kemudian

meninggal dengan membawa kekecewaan yang sangat

mendalam.

Gelombang aksi tandingan dari kubu Dede Satibi

berdatangan ke gedung DPRD, yang sebelumnya dilakukan

serangkaian pertemuan di komplek pesantren Al-

Mussadadiyah.

Penulis termasuk yang ikut dalam pertemuan itu, dan

diminta oleh peserta pertemuan masuk dalam penyusun

materi tuntutan yang akan disampaikan ke DPRD dan

berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan.

Dalam aksi tandingan dari kubu Dede Satibi, tampil KH

Abdul Halim sebagai penyampai orasi dan mendesak DPRD

Garut segera melantiknya karena sudah dinyatakan sebagai

pemenang.

18

Bupati terpilih Dede Satibi, memang tokoh birokrat

sejati karena malang melintang di pemda Garut hingga jadi

Mantri Polisi sebelum pindah ke Kabupaten Tangerang dan

Kabupaten Bekasi. Dalam mengendalikan pemerintahannya,

Dede Satibi tidak berkehendak didampingi Wakil Bupati

Mamad Suryana sebagai pesaing di pemilihan bupati.

Dalam masa kepemimpinan Dede Satibi tidak

didampingi Wakil Bupati karena Mamad Suryana ditarik oleh

Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan menduduki jabatan

sebagai Kepala Dispenda Jawa Barat.

Sementara Sekda Iing Kosim yang sebenarnya

didukung jajaran birokrasi dengan Korps Pegawai Negeri-nya

(KORPRI) gagal meraih kemenangan. Ia kemudian hengkang

dari Garut karena mendapat tawaran sebagai Wakil Bupati

Kabupaten Subang.

Jabatan sekda Garut, akhirnya diisi pejabat karir dari

pemda Garut, yaitu Rahman Ruhendar yang waktu itu

menjabat Ketua Bappeda (sekarang namanya Kepala

Bappeda).

Rahman Ruhendar tidak lama menjabat sekda keburu

meninggal dunia, dan Dede Satibi mengajak sohibnya

Rachmat Sudjana dari Kabupaten Sukabumi (Ketua Bappeda)

untuk mengisi jabatan sekda.

Kekuasaan Dede Satibi dimasuki kakak kandungnya

H. Hafid, yang kemudian mumunculka kelompok/geng di

lingkungan pemda Garut yang berkepentingan dalam

19

mengatur jabatan dan proyek. Siapa dekat dengan kelompok

tersebut, maka jabatan dan proyek pun dapat diraihnya.

Kepala Diparda, Hilman Faridz adalah salah satu

diantara yang masuk kelompok H Apit, makanya jabatannya

dipindahkan menjadi Ketua Bappeda yang ditinggalkan

Rachman Ruhendar. Kepala Diparda diisi oleh Iman Alirahman

yang semula Kepala Dinas Kebersihan.

Iman Alirahman adalah pejabat muda yang kurang

disenangi bupati Dede Satibi, namun justru bagi Iman

Alirahman dijadikan pintu masuk untuk menjalin hubungan

dengan banyak kalangan. Salah satu yang mulai dekat

dengan Iman Alirahman adalah Ketua PHRI Garut Memo

Hermawan, Manager Hotel Augusta Garut.

Geng yang dimotori kakak kandung bupati Dede Satibi

itu, semakin memperkuat posisi Asda III yang dipercayakan

kepada Drs. Yaya S. Permana dengan kewenangannya di

bidang keuangan dan kepegawaian. Penulis pun sempat

menitipkan anak dari keluarga miskin masuk menjadi Tenaga

Kerja Kontrak (TKK) tahun 2001, dan sekarang sudah

diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Yaya S. Permana, sebagai pejabat yang mengurusi

keuangan dibantu oleh Kepala Bagian Keuangan Ny. Farida

Susilawati, SH (sekarang Sekretaris DPRD) dengan staf-

stafnya antara lain Totong, SE.,M.Si (sekarang Kepala

DPPKA), Anton Heryanto (mantan Kabid Anggaran),

Dra. Aneu Hayati, M.Si (sekarang Kabid Perimbangan di

DPPKA).

20

Kendati Iman Alirahman kurang disenangani bupati

Dede Satibi namun Iman selalu menunjukan kinerjanya

dengan baik, terutama dalam mengelola bidang

kepariwisataan. Iman juga mulai menyusun kekuatan di

lingkungan birokrasi dengan mncetak kader-kadernya, antara

lain Komar Mariyuana (terakhir Kadisdik), Arus Sukarna

(terakhir Asda I), Wawan Nurdin (sekarang Kepala

Perpustakaan Daerah), Farida Susilawati (Sekretaris DPRD),

Elka Nurhakimah (Sekarang Kepala Dinas Pendidikan) serta

sejumlah pejabat birokrat lainnya. (*).

Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan

Selama kepemimpinan Bupati Garut Dede Satibi, tokoh

sentral di lingkungan pemda Garut terutama yang berkaitan

dengan masalah keuangan dipercayakan kepada Drs. Yaya S.

Permana, selaku Asisten Daerah (Asda) III bersama-sama

dengan Sekda Rahmat Sudjana. Sedangkan nama Iman

Alirahman sama sekali tidak memiliki akses atau jaringan

dalam mengatur kebijakan di pemerintah daerah.

DPRD, di bawah kepemimpinan Ir. Iyos Somantri dan

Dedi Suryadi adalah politisi handal dan cerdik, sehingga

bupati dan jajarannya kerap tidak mampu membendung

keiinginan DPRD termasuk aliran dana APBD demi

kepentingan DPRD.

Dede Satibi tidak kalah cerdiknya, jebakan-jekabakan

pun mulai dimainkan dan DPRD tidak menyadarinya yang

21

penting dana APBD mengalir ke koceknya. Siasat Dede Satibi

memang luar biasa cerdiknya karena ia berkeinginan maju

lagi diperiode kedua pada pemilihan bupati tahun 2003.

Nama Iyos Somantri-Dedi Suryadi, disebut-sebut

sebagai pasangan paling berpeluang dalam pemilihan bupati,

dan itu menjadi batu sandungan bagi Dede Satibi. Akhirnya

melalui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Abdul

Halim mengendus dugaan penyimpangan dana APBD oleh

DPRD Garut yang kemudian dikenal dengan istilah APBD-Gate

hanya beberapa bulan menjelang pemilihan bupati.

Iyos Somantri, selain sebagai Ketua DPRD juga Ketua

DPD Golkar Garut, dan Dedi Suryadi adalah Wakil Ketua DPRD

sekaligus Ketua DPC PPP. Dede Satibi sangat sadar, bahwa

untuk mengalahkan pasangan Iyos-Dedi di pemilihan bupati

sangat tidak mungkin apalagi yang akan memilihnya pun

anggota DPRD yang berjumlah 45 orang.

Berkat peranan Ketua MUI yang melaporkan kasus

APBD Gate ke Kejaksaan, maka Iyos-Dedi ditetapkan sebagai

tersangka. Kedua tokoh yang sejak awal sudah dipersiapkan

maju sebagai pasangan calon menjadi berantakan, Iyos

bahkan terpental di konvensi partainya sendiri. Fraksi PPP di

DPRD terpecah belah, karena ketua Fraksinya Wawan Syafe’i

digaet oleh Dede Satibi sebagai pasangannya.

Dedi Suryadi tidak patah arang, ia pun tak kalah sengit

dengan menggaet Sekda Rahmat Sudjana sebagai pasangan

wakil bupatinya. Kemudian muncul kuda hitam Letkol. Inf.

Agus Supriadi, yang berhasil memanfaatkan keterpurukan

22

Iyos Somantri akibat kasus APBD Gate dan Agus Supriadi

memenangkan konvensi Partai Golkar.

Perebutan kekuasan di kabupaten Garut yang diawali

dari pemilihan bupati, memang sangat unik dan penuh intrik.

Dede Satibi yang terpental dari Partai Golkar, berkat kekuatan

keluarga besar Nahdatul Ulama (NU) berhasil menggunakan

PKB sebagai kendaraan politiknya untuk maju menjadi calon

bupati bersama Wawan Safe’i dari PPP.

Untuk meyakinkan PKB agar menyerahkan partainya

sebagai tunggangan Dede Satibi, maka tokoh NU pun

mendatangkan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) ke Pondok

Pesantren Al-Wasilah miliknya KH. Tantowi Djauhari.

Hampir seluruh partai dengan Fraksi-nya di DPRD tidak

terhindar dari konflik. Golkar yang diincar Iyos dan Dede

Satibi ternyata jatuh ke Agus Supriadi, PKB yang mestinya

memajukan Ketua DPC-nya Ali Rohman malah diberikan

kepada Dede Satibi. PPP pecah, sebagian ke Dedi Suryadi,

sebagian lagi ke Wawan Syafe’i. PAN yang akan

menyandingkan Rudi Gunawan dengan Ate Tohi, tiba-tiba

Mahyar Suara protes. Hanya PDIP yang nyaris tanpa konflik

karena hanya menyalonkan Memo Hermawan selaku Ketua

DPC-nya.

Majunya empat pasangan calon bupati tidak terlepas

dari peranan para “pemain” di luar gedung DPRD dan di luar

partai politik. Yang mengawinkan Dede Satibi-Wawan Syafe’i

adalah sejumlah Kiayi NU, yang mengawinkan Agus Supriadi-

Memo adalah mereka dari kalangan politisi dan kawan-kawan

23

dekatnya. Kemudian yang mengawinkan Rudi-Mahyar,

termasuk penulis ada di dalamnya melalui serangkaian

pertemuan di salah satu hotel di kawasan wisata Cipanas.

Begitu juga yang mengawinkan/memaketkan

pasangan Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana, tidak terlepas dari

peranan kalangan tertentu yang kemudian dikenal dengan

istilah Tim Sukses. Maka empat pasangan resmi maju di

pemilihan bupati. Mereka adalah 1. Dede Satibi-Wawan

Syafei. 2. Rudi Gunawan-Mahyar Suara. 3. Agus Supriadi-

Memo Hermawan. 4. Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana.

Di putaran pertama, pasangan Dedi-Rahmat dan Rudi-

Mahyar harus terpental, dan hanya pasangan Dede Satibi-

Wawan Syafe’i dan Agus Supriadi-Memo Hermawan yang

masuk ke putaran kedua pasangan Agus Supriadi-Meo

Hermawan keluar sebagai pemenangnya dengan selisih suara

yang sangat tipis, yaitu hanya tiga suara saja.

Kemenangan Agus Supriadi – Memo Hermawan lebih

ditentukan oleh solidnya suara PDIP yang pada saat akan

digelarnya pemilihan terlebih dahulu dilakukan pergantian

antar waktu (PAW) dua anggota Fraksi yang dianggap

mbalelo, yaitu Gunrana dan Wan Gunawan Husen, digantikan

oleh Dikdik Darmika dan Slamet Rianto.

Secara matematis suara yang diperoleh Agus-Memo

berasal dari Fraksi Golkar 14 suara dan suara Fraksi PDIP 6

suara. Kemudian mendapat tambahan suara 4 dari Fraksi PPP

yang diawali dengan komitmen politik antara Dedi Suryadi

24

dan Memo Hermawan yang kemudian disetujui oleh Agus

Supriadi.

Memang pemberian suara sifatnya rahasia, namun

dalam politik tidak selamanya 1 ditambah 1 menjadi 2, bisa

saja menjadi 1 atau 3. Akan halnya suara yang diperoleh

Agus-Memo, konon 6 dari PDIP, 13 dari Golkar karena satu

suara Golkar diberikan ke Dede Satibi, dan sisanya lima suara

dari Fraksi PPP yang jumlahnya 9 kursi dan 5 suara PPP

menjadi milik Dede Satibi.

Kendati Dede Satibi kalah dalam pemilihan bupati,

namun menjelang akhir jabatannya ia sukses menggiring

kelompoknya duduk di kursi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Kabupaten Garut.

Diawali dengan penunjukan Tim Seleksi yng terdiri dari

Ketua MUI KH. Abdul Halim, Asda I Drs. Kusnaeni, M.Si.

Sekretaris PGRI Alit Burhanudin, S.Sos. KH. Deden dari unsur

ulama dan Prof. Ikeu Sartika dari unsur Perguruan Tinggi.

Lima orang anggota KPU Garut ditetapkan oleh KPU

Jawa Barat, mereka adalah Aja Rowikarim, M.Ag yang tiada

lain adalah mahasiswanya KH. Abdul Halim, Lia Juliasih, S.IP

yang masih keluarga dari isterinya KH. Abdul Halim dan isteri

dari tokoh aktivis Garut Arif Rahman Hidayat, SE.,Ak.

Kemudian H. Mohamad Iqbal Santoso, tokoh Persatuan

Islam (Persis), Ny. Hj. Yayah Hidayah, isteri dari KH. Deden

salah seorang dari Tim seleksi. Hanya Dadang Sudrajat, S.Pd

yang bukan bagian dari kelompok Dede Satibi, ia berasal dari

25

guru sukwan di kecamatan Bayongbong yang secara

kebetulan kakak kandungnya pejabat di KPU Garut. (*)

Gugatan di Peradilan TUN

Sejumlah peserta seleksi calon anggota KPU menggugat

Tim seleksi yang telah meloloskan 10 orang calon ke KPU

Provinsi untuk menentukan lima anggota terpilih.

Dimotori Hasanudin, yang terpental dalam seleksi calon

anggota KPU yang diawali dari ketidaksenangannya atas

sebuah pertanyaan oleh Ketua Tim Seleksi KH. Abdul Halim Lc

saat tes wawancara dengan meminta agar Hasanudin

membacakan Surat Al-Fatihah lengkap dengan terjemahnya.

Hasanudin sempat berdebat atas pertanyaan tersebut, dan

merasa ketidaklolosannya akibat dari perdebatan sengit

tersebut.

Pucuk dicinta ulam tiba, Hasanudin menemukan

kejanggalan dalam keputusan Tim Seleksi yang meloloskan

Hj. Yayah Hidayah dan Undang Fadhita yang masih berstatus

Pegawai Negeri Sipil. Materi gugatan ke Pengadilan Tata

Usaha Negara (Peratun) di Bandung salah satunya tentang

status calon anggota KPU yang belum mengambil person dari

PNS.

Tim Seleksi bersama Sekretariat KPU Garut dibuat gerah

akibat gugatan Hasanudin dan kawan-kawan itu, karena

26

hampir setiap minggu harus mengikuti persidangan di

Bandung.

Tidak ada putusan apa pun dalam gugatan tersebut,

karena masing-masing pihak mogok di tengah jalan. Akhirnya

perkara menjadi menggantung sedangkan lima anggota KPU

Garut yang ditetapkan oleh KPU Provinsi Jawa Barat

menjalankan tugas-tugasnya sebagai komisoner dengan

menyelenggarakan pemilihan umum Tahun 2004. (*)

Tentara Kembali Rebut Pemerintahan

Kabupaten Garut memang lain dari yang lain.

umbangnya rezim orde baru telah memunculkan sikap anti

pati terhadap tentara. Dimana-mana tentara selalu dihujat,

tetapi di Garut sebaliknya. Hal itu terbukti ketika Letkol. Inf.

Agus Supriadi maju mencalonkan dirinya sebagai bupati Garut

justru disambut suka cita.

Kehadiran Agus Supriadi mengembalikan ingatan warga

Garut akan keberhasilan Letkol. Kav. Taufik Hidayat yang

sukses membawa kabupaten Garut ke arah yang berubah.

Biarlah di tempat lain tentara itu dihujat, tapi toh untuk

kabupaten Garut masih memerlukan sosok tentara sebagai

bupatinya.

Selain tekad keras Agus Supriadi sebagai putra daerah,

juga didukung kepiawaian Tim Suksesnya diawali

memenangkan pertarungan di konvensi partai Golkar untuk

27

mendapatkan kendaraan politik bagi Agus Supriadi supaya

bisa maju menjadi calon bupati dan kesuksesan

mengawinkannya dengan Ketua DPC PDIP Garut Memo

Hermawan.

Letkol Inf. Agus Supriadi tampil memimpin Garut setelah

terpilih melalui pemilihan di DPRD tanggal 18 Nopember

2008. Diawal terpilihnya sempat tergonjang-ganjing oleh

persoalan hukum yang mendera wakil bupatinya Memo

Hermawan yang diduga menggunakan ijazah palsu.

Suhu politik di Garut kembali memanas akibat

terkatung-katungnya penetapan bupati dan wakil bupati

terpilih. Gelombang demo nyaris tiap hari ke gedung DPRD

dari kubu Agus Supriadi-Memo Hermawan. Sedangkan kubu

Dede Satibi diam-diam mengamankan Kepala SMEA (SMK)

PGRI Garut Drs. Zaenal Arifin sebagai pihak yang dianggap

telah mengeluarkan keterangan ijazah bagi Memo Hermawan.

Kepala SMK PGRI itu, selain berada di bawah

penguasaan Dede Satibi dan kubunya, seperti Kepala Dinas

Pendidikan Drs. Darjo Sukarja, Ketua PGRI Drs. H. Amin

Minadipura, Asda I Pemda Garut Drs. Kusnaeni. Seluruh

dokumen sekolah yang berkaitan dengan kepentingan Memo

diamankan oleh pihak Dinas Pendidikan.

Yang tersisa menurut Zaenal Arifin hanya stempel

sekolah dan tiga lembar kertas ber-kop sekolahnya. Zaenal

sendiri selalu diawasi dan kerap diajak jalan-jalan oleh kubu

Dede Satibi ke Bandung dan Tasikmalaya. Sementara rumah

tinggal Zaenal Arifin secara bergiliran dijaga oleh aparat

28

keamanan. Keluarga Zaenal Arifin sendiri diungsikan kepada

orang tuanya di Kadungora.

Peralihan kekuasaan dari Dede Satibi kepada Agus

Supriadi nyaris tidak berjalan mulus. Memo Hermawan selaku

Ketua DPC PDIP dengan kekuatan penuh kadernya, termasuk

kekuatan Satgas partainya yang terkenal pemberani siap

berdarah-darah kalau pimpinan partainya tidak dilantik

menjadi wakil bupati.

Agus Supriadi sendiri tidak tinggal diam, dibantu oleh

jajaran Partai Golkar yang dikomandani oleh Drs. H. Ruhiyat

Prawira, M.Si terus berjuang agar kemenangannya segera

ditetapkan sekaligus dilantik setelah keluarnya Surat

Keputusan dari Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

Karena rumitnya persoalan yang melilit Memo

Hermawan, maka orang-orang disekeliling Agus Supriadi

melakukan upaya agar yang dilantik cukup bupati saja.

Kubu Memo, tentu saja tidak terima perlakuan tidak adil

itu apalagi pemilihan bupati satu paket dengan wakil

bupatinya. Masalah Memo tidak pernah berhenti terus dibawa

ke ranah hukum.

Beberapa guru yang pernah mengajar di SMEA PGRI

dan teman-teman sekolah Memo tidak luput dari pemeriksaan

pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sekitar kesahihan

Memo bersekolah di SMEA PGRI Garut.

29

Kasus Memo sangat melelahkan, begitu diungkapkan

Kepala SMEA PGRI Zaenal Arifin kepada penulis. Ia tidak

menyangka buntut dari pemilihan bupati akan menyeret

dirinya.

Zaenal Arifin benar-benar menjadi “bintang” yang

diperebutkan oleh percaturan politik pasca pemilihan bupati.

Kubu Dede Satibi memanfaatkannya agar dapat membatalkan

hasil pemilihan. Namun sikap Zaenal Arifin yang pendiam

punya prinsip yang sangat kuat, yaitu ingin memberikan yang

terbaik bagi kepentingan kabupaten Garut sehingga lolos dari

kemungkinan terburuk. Misalnya terjadi huru-hara yang

meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat.

Kemenangan pasangan Agus-Memo mengakibatkan

terpecah belahnya birokrasi. Sebagian ada yang tetap berada

di kubu Dede Satibi karena masih menjabat bupati, sebagian

lagi ada yang berpihak kepada Agus-Memo.

Kepala Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Achmad

Muttaqien dan Asda I Wawan Dermawan, dan Kepala Diparda

Iman Alirahman tegas menyatakan dirinya berada di kubu

Agus-Memo. Bahkan Iman Alirahman dalam berbagai

kesempatan breefing dengan bupati Dede Satibi tidak sedikit

pun menunjukan keberpihakan kepada atasannya yang masih

berkuasa itu.

Sikap tegas Iman Alirahman semata-mata karena ia

adalah orangnya Memo Hermawan, dan memiliki target

merebut jabatan sekretaris daerah. Target serupa juga

menjadi incaran Achmad Muttaqien yang setia berada di

30

belakang Agus Supriadi. Ketika Agus-Memo dilantik menjadi

bupati dan wakil bupati, memang pilihan menduduki jabatan

sekda jatuh ke Achmad Muttaqien.

Pertarungan kekuasaan sudah mulai diperlihatkan oleh

bupati Agus Supriadi dan Wakil Bupatinya Memo Hermawan

dari perebutan jabatan sekda. Memo kalah telak karena gagal

mengusung Iman Alirahman. Namun bukan Memo kalau tidak

mampu memainkan bidak-bidak catur politiknya. Maka melalui

peranan Iman-lah kemudian tanpa disadari oleh Agus Supriadi

bahwa sebenarnya ia sedang terancam.

Ancaman itu terbukti ketika kemarahan dan kekesalan

Memo semakin memuncak, yang akhirnya meletuslah

gelombang demontrasi yang diawali oleh kehadiran Tim dari

Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan di

pemda Garut bulan Juni 2007. (*)

Bungalau 12

Ada apa dengan Bungalau No 12 Hotel Sumber Alam.

Terkesan seperti bercanda, padahal peristiwa politik yang

tidak mungkin bisa dilupakan oleh para pelakunya. Sebelum

terjadi sesuatu di Bungalau tersebut, penulis bersama sdr.

Daba Tabrani Zeboa, salah seorang aktivis di Garut sempat

mendatangi Memo Hermawan untuk sekedar diskusi berkaitan

dengan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil

bupati.

31

Melalui perbincangan santai antara Memo Hermawan-

Penulis dan Daba Tabrani di salah satu ruangan di Hotel

Augusta awal Desember 2003, terungkaplah pernyataan

Memo yang mengejutkan sekaligus miris. Kenapa tidak, waktu

itu Memo tegas menyatakan “bagi saya dilantik atau tidak

dilantik tidak jadi masalah tetapi kalau gedung DPRD, gedung

pemda dan pusat kota Garut hancur lebur saya siap

menanggung semua resiko hukuman mati sekali pun”.

Penulis bertanya “sebenarnya apa yang menyebabkan

semua itu”. Dijawab oleh Memo, kuncinya ada di Kepala SMK

PGRI Zaeanal Arifin. Jika ada surat pernyataan yang dibuat

Kepala SMK PGRI maka pihak Departemen Dalam Negeri akan

segera memproses pengangkatan Agus-Memo sebagai bupati

dan wakil bupati Garut.

Penulis dan Daba Tabrani Zeboa, tentu saja dibuat

kaget dan miris jika apa yang diungkapkan Memo menjadi

kenyataan. Penulis dan sdr. Daba kemudian berinisiatif

menghubungi Kepala SMK PGRI tanpa pamrih apa pun,

semata-mata demi penyelamatan Garut saja.

Dalam pembicaraan di rumah pak Zaenal Arifin, di Jalan

Mustofa Kamil Tarogong dibahas kemungkinan-kemungkinan

terburuk yang bakal menimpa Garut. Salah satunya adalah

kehancuran infrastruktur yang sudah terbangun dengan baik,

seperti gedung DPRD, gedung Pemda dan pusat pertokoan di

kota Garut.

Pak Zaenal terkaget-kaget dengan kemungkinan

tersebut, dia pun mengajak penulis dan Daba Tabrani

32

mengkonsultasikan apa yang dikehendaki oleh Memo kepada

kakaknya DR. Adang Hambali, dosen di Universitas Islam

Negeri (UIN) Bandung.

DR. Adang Hambali bersedia datang ke Garut, dan

penulis mengatur pertemuan di Bungalau No.12 Hotel Sumber

Alam sekitar pertengahan Desember 2003. Di Bungalau

tersebut, ternyata DR. Adang Hambali sudah sangat paham

dengan kondisi kabupaten Garut dan dia pun menyatakan apa

yang diinginkan oleh Memo Hermawan tidak ada masalah

yang penting adiknya Zaenal Arifin siap membuat keterangan

dari sekolah yang dipimpinnya.

Redaksional pernyataan dari Zaenal Arifin dibuat

masing-masing oleh penuis, Zaenal Arifin dan Memo

Hermawan sendiri. Isinya menyatakan bahwa benar Memo

Hermawan adalah lulusan SMK PGRI Garut. Waktu itu juga

Memo melalui telepon gengangamnya (HP)

mengkonsultasikan redaksional dengan Kepala Biro Otda

Pemprop Jabar Drs. Tjatja.

Tjatja memandu Memo secara redaksional yang

dikehendaki sebagai persyaratan mempercepat SK dari

Mendagri. Kesimpulannya redaksional versi Tjatja-lah yang

terpakai dan penulis yang membuatnya di komputer milik

penulis. Kopinya di dalam disket karena waktu itu masih

jarang menggunakan flashdisk.

Pertemuan di Bungalau No.12 berakhir tanpa ada

komitmen apa pun dengan Memo Hermawan jika yang

bersangkutan benar-benar dilantik menjadi wakil bupati. DR.

33

Adang Hambali, adiknya Zaenal Arifin, Penulis dan Daba

Tabrani semata-mata hanya ingin masalah di Garut cepat

selesai sehingga tidak terjadi tindakan yang merugikan

masyarakat.

Tanggal 13 Januari 2004 ketika penulis sedang rapat di

kantor Redaksi Harian Metro Bandung (sekarang Tribun

Jabar), karena waktu itu penulis masih menjadi wartawan

Metro Bandung ditelepon oleh Memo agar pulang ke Garut

untuk menyelesaikan naskah pernyataan dari Kepala SMK

PGRI versi Tjatja.

Menurut Memo, esok harinya tanggal 14 Januari 2004 ia

ditunggu oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri

(sekarang Kemendagri) Oentarto Sindung Mawardi untuk

menyerahkan surat keterangan/pernyataan dari Kepala SMK

PGRI dalam kepentingan dikeluarkannya Surat Keputusan

Pengangkatan dirinya sebagai Wakil Bupati Garut.

Tanggal 20 Januari 2004 SK Mendagri keluar, namun

dalam waktu hampir bersamaan Memo Hermawan dikabarkan

ditangkap pihak Polda Jabar atas tuduhan pemalsuan ijazah.

Perkembangan politik memang berjalan sangat cepat, Memo

pun dipulangkan dan hari Jum’at tanggal 23 Januari 2004

dilantiklah Agus Supriadi-Memo Hermawan oleh Gubernur

Jawa Barat Danny Setiawan.

Memo Hermawan boleh dilantik bersama Agus Supriadi,

namun masalah hukum Memo terus berjalan. Nyaris setiap

saat Memo digoyang aksi demonstrasi agar penggunaan

ijazahnya yang diduga palsu terus diusut.

34

Setiap muncul aksi unjuk rasa, maka yang dibuat sibuk

dan menguras tenaga pikiran serta ongkos politik adalah

Iman Alirahman dan kawan-kawan. Anton Heryanto tampil

sebagai eksekutor karena memang memiliki otoritas dalam

penggunaan dana APBD.

Memang sulit ditelusuri aliran dana dalam penanganan

kasus Memo, atau memang tidak ada niat dari aparat

penegak hukum menelusurinya. Padahal ketika Erlan Rivan

ditetapkan sebagai tersangka mulai terbuka aliran dana APBD

masuk kemana-mana. (*)

Bertindak dengan Hati

Wajah boleh seram dan terkesan bengis, apalagi sehari-

harinya bergaul dengan tahanan dan narapidana di Lembaga

Pemsayarakatan (LP) Garut ternyata hatinya luluh juga. Itulah

Daba Tabrani Zeboa, blasteran ayah dari Pulau Nias Sumatera

Utara dan ibu dari Garut asli.

Suara yang selalu keras dalam berbagai hal, terutama

jika berdialog atau diskusi, namun Kepeduliannya terhadap

kabupaten Garut sangat luar biasa. Ketika gonjang-ganjing

dan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati

Garut terpilih (Agus Supriadi-Memo Hermawan) ia tidak

menginginkan suasana kabupaten Garut kacau balau apalagi

terjadi pertumpahan darah dan bakar-bakaran.

35

Seringkali pemikiran positif muncul dari benaknya,

termasuk mengajak penulis untuk menemui calon wakil bupati

terpilih Memo Hermawan karena tersiar kabar bahwa Memo

dengan kader PDIP-nya akan melakukan tindakan keras jika

Memo gagal dilantik sebagai wakil bupati.

Kala itu Daba Tabrani sempat mengemukan

pendapatnya “ janganlah dari konflik politik melebar menjadi

kerusuhan yang tidak ada artinya, bahkan hanya akan

merugikan masyarakat. Semua aturan hukum dan politik

adalah produk manusia yang bisa diubah-ubah kecuali

Al-Qur’an”.

Berangkat dari pemikiran itulah ia bersama penulis ingin

meyakinkan Memo Hermawan seputar kebenaran kabar yang

merebak di tengah-tengah masyarakat. Faktanya, terkatung-

katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati terselesaikan

juga setelah melalui serangkaian pembicaraan antara Memo

Hermawan dengan Kepala SMK PGRI Zaenal Arifin yang

difasilitasi Daba Tabrani Zeboa dan penulis.

Daba Tabrani memang bukan seorang aktivis yang selalu

“memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan”, karena toh

ia tidak “dibayar” oleh siapa pun semata-mata sebagai bentuk

kepedulian kepada Garut agar tidak mengalami kehancuran

hanya karena tidak dilantiknya pasangan calon bupati dan

wakil bupati terpilih. Semua tindakan harus dengan hati

bukan dengan perasaan. Jika dengan hati maka semua

persoalan akan terselesaikan dengan baik tanpa harus

36

menelan korban. Itulah yang menjadi pemicu Daba Tabrani

Zeboa mau menemui Memo Hermawan bersama penulis. (*).

Memo dan Kepala SMK PGRI

Tanggal 23 Januari 2004 Agus Supriadi dan Memo

Hermawan resmi menjadi bupati dan wakil bupati Garut masa

bakti 2004-2009. Dua pemimpin berbeda latar belakang itu

harus mengendalikan pemerintahan dengan segudang

permasalahannya.

Agus Supriadi dengan latar belakang militer, tentu saja

penerapan disiplin merupakan prioritas utamanya. Di satu sisi

harus mendisiplinkan jajarannya, namun di lain sisi bupati

Agus Supriadi membuat kebijakan yang bertentangan dengan

prinsip-prinsip disiplin. Salah satunya adalah memberikan

kepercayaan penuh kepada Anton Heryanto, seorang

pelaksana pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah.

Sekitar setahun perjalanan kepemimpinan Agus-Memo,

penulis tidak pernah berhubungan dengan kekuasaan

termasuk dengan Memo Hermawan. Penulis pun

berkonsentrasi dengan profesi sebagai wartawan dan selalu

mengkritisi kebijakan bupati yang dianggap tidak sesuai

harapan rakyat.

Anton Heryanto, dan Wawan Nurdin, yang dikenal

sebagai geng di jajaran birokrasi datang ke rumah penulis

dengan maksud akan mengislahkan penulis dengan Memo

37

karena tidak pernah ada hubungan lagi. Penulis pun dibawa

oleh mereka ke rumah dinas wakil bupati yang berada di

Jalan Sudirman (Depan Bekas Mapolwil Priangan, sekarang

Mapolres Garut).

Waktu itu penulis minta kepada Anton Heryanto dan

Wawan Nurdin, jika ingin mempertemukan penulis dengan

Memo Hermawan harus menyertakan pula Kepala SMK PGRI

Zaenal Arifin.

Alasan penulis, tidak ingin ada kesalahpahaman terlebih

suuzdon bahwa seakan-akan saya ada deal-dealan dengan

Memo Hermawan. Misalnya diberi fasilitas karena sudah

menjadi wakil bupati.

Pertemuan di rumah dinas Wakil Bupati itu berlangsung

santai dan hangat, diselingi senda gurau nyaris tidak ada

batasan antara wakil bupati dengan rakyatnya.

Ketika itu Memo berjanji akan membantu SMK PGRI,

yang memang tengah kesulitan dalam hal sarana serta

prasarana. Bahkan ruangan kelas pun tidak memadai,

termasuk sangat kurangnya guru berstatus PNS.

Melalui Anton Heryanto, SMK PGRI mendapat bantuan

berupa pembangunan tiga unit ruang belajar. Sedangkan

penulis yang terlanjur memiliki ikatan bathin dengan Kepala

SMK PGRI serta Memo Hermawan menerima permintaan

Kepala SMK agar mau menjadi Ketua Komite Sekolah.

38

Beberapa karyawan pemda Garut yang merupakan

lulusan SMEA PGRI menggagas acara re-uni. Penulis masuk

dalam jajaran panitia re-uni, termasuk di dalamnya pejabat

Bank Jabar Drs. Yamin Abdul Latif dan Drs. Dedi (sekarang

Kabid PMG) di Dinas Pendidikan Garut.

Secara politis Memo Hermawan mendapat pengakuan

yang luar biasa, karena didaulat menjadi Ketua Alumni SMEA

PGRI. Namun demikian tidak mematahkan persoalan

hukumnya karena kasusnya terus menggelinding kendati

belakangan dikabarkan sudah dihentikan perkaranya.

Memang ada kekecewaan di diri penulis karena tidak

berhasil meyakinkan geng Memo di Pemda Garut agar

memberikan penghargaan kepada Zaenal Arifin, setidak-

tidaknya ia dipromosikan dalam jabatan sebagai Kepala SMK

Negeri atau dalam jabatan yang sama baik di SMP maupun di

SMA.

Masalahnya, Zaenal Arifin adalah seoarang PNS yang

dari persyaratan sudah terpenuhi. Hanya saja, nasib Zaenal

Arifin tidak seperti yang lain. Hingga berakhirnya Memo

Hermawan dari jabatan Wakil Bupati, tetap saja Zaenal Arifin

menjadi Kepala SMK PGRI. Ironis, memang…..

Dalam waktu bersamaan, sekitar di awal tahun 2005,

penulis dihubungi Sony MS, salah seorang wartawan yang

juga guru SMP namun sangat dekat hubungan secara

personalnya dengan Memo Hermawan dan Iman Alirahman.

39

Sony meminta kepada penulis menjadi pemimpin

Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos. Di belakang Koran

Garoet Pos itu ada Memo Hermawan, Iman Alirahman, Anton

Heryanto dan Wawan Nurdin.

Selain mengajak penulis, atas permintaan Memo

Hermawan, Iman Alirahman dan Wawan Nurdin, diajak pula

Asep Burhannudin (Ketua KNPI), Asep Irvan Setiawan (Ketua

PHRI) yang penulis ketahui ketika berkumpul di rumah makan

Copong dan turut hadir waktu itu Ajengan Mimih Haeruman,

seoarang aktivis yang merupakan tokoh kerusuhan

Tasikmalaya Tahun 1996.

Kenapa Ketua KNPI harus dilibatkan?. Alasannya, karena

KNPI memiliki jaringan sampai ke pelosok pedasaan. Seluruh

Ketua KNPI tingkat kecamatan dilibatkan dalam mengelola

Surat Kabar Umum Garoet Pos baik sebagai distributor

maupun kontributor.

Di awal berdirinya Surat Kabar Umum Garoet Pos,

jabatan Asep Burhannudin adalah Pemimpin Perusahaan,

sedangkan Asep Irvan Setiawan sebagai Direktur Utama

PT. Garut Cahaya Cemerlang, sebuah perusahaan yang

menerbitkan Surat Kabar Umum Garoet Pos.

Penulis yang masih terikat sebagai wartawan Harian

Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-Grup Kompas) tidak

mampu menolak tawaran tersebut.

Berlokasi di Jalan Pasundan 47, penulis resmi menjadi

Pemimpin Redaksi yang segala sarana serta fasilitas sudah

40

disediakan oleh Wawan Nurdin dan kawan-kawan termasuk

para pegawainya.

Tanggal 17 Maret 2005, Surat Kabar Umum Groet Pos

resmi diterbitkan perdana dan lounchingnya di rumah makan

Adirasa dihadiri langsung oleh bupati Agus Supriadi dan wakil

bupati Memo Hermawan setelah mengikuti upacara Hari Jadi

Garut di lapangan Otto Iskadardinata (alun-alun Garut). (*)

Jabatan Tidak Digenggam

Drs. Zaenal Arifin adalah seorang pribadi yang nyantri,

santun, dan lembut. Kelembutannya membuat orang lain

tidak akan menyangka kalau ia seoarang pahlawan dalam

pergolakan politik di kabupaten Garut.

Ia dipercaya mengelola SMK (dulu SMEA) PGRI dalam

keadaan yang sangat memprihatinkan. Kenapa tidak, lokasi

sekolahnya saja diusir oleh sebuah Yayasan Gereja Pasundan

di Jalan Bratayudha.

Zaenal Arifin memutar otaknya untuk menyelamatkan

anak didik, yang kemudian mendapatkan lokasi baru di Jalan

Karacak berupa tanah kosong bekas lahan pesawahan. Ia

pontang-panting membangun ruang belajar tanpa bantuan

dari pemerintah.

Tidak terbetik dalam pikiran Zaenal Arifin, sekolah yang

dipimpinnya akan menjadi pusat perhatian publik pada akhir

41

tahun 2003 pasca pemilihan bupati Garut yang dimenangkan

pasangan Agus Supriadi-Memo Hermawan.

Tandatangannya ternyata dipalsukan oleh seseorang

yang pernah bekerja sebagai pegawai Tata Usaha di SMEA

PGRI di masa jayanya. Pemalsu tandatangan tersebut

bernama Isur Suryana yang mendapat perintah dari Drs.

Duden Suherman, pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten

Garut yang tiada lain adalah sohibnya Memo Hermawan.

Isur diperintahkan membuat Surat Keterangan dari SMK

PGRI untuk memenuhi persyaratan Memo Hermawan saat

akan maju menjadi calon wakil bupati Garut mendampingi

calon bupati Agus Supriadi. Entah apa yang mendorong Isur

sehingga berani memalsukan tandatangan Kepala SMK PGRI

Zaenal Arifin demi kepentingan Memo Hermawan.

Isur Suryana dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri

Garut dalam proses persidangan yang sama sekali tidak

menyentuh Memo Hermawan dan Duden Suherman. Yang

pasti pengacaranya kecewa karena dua nama tersebut hanya

sebagai saksi saja.

Zaenal Arifin, ternyata baru mengetahui tandatangannya

dipalsukan setelah pemilihan bupati yang tiba-tiba ia menjadi

“bintang” yang diperebutkan oleh kelompok yang bertikai

pasca pemilihan bupati.

Kalau saja Zaenal Arifin konsisiten tidak mau

mengeluarkan Surat Keterangannya bagi kepentingan Memo

Hermawan, maka karir politik Memo sudah berakhir pada

42

tahun 2004 karena dipastikan hanya calon bupati terpilih saja

yang memperoleh Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri

yang berhak memimpin Kabupaten Garut.

Pahlawan penyelamat kabupaten Garut itu hingga kini

masih tetap menjadi Kepala SMK PGRI, padahal ia

berkeinginan berkarir sebagai Kepala SMK atau SMP Negeri di

lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut.

Boleh jadi karena Zaenal Arifin sebagai pribadi yang

mendapat jabatan tanpa harus melalui mafia jabatan atau

dengan cara tidak halal, misalnya mengeluarkan uang pelicin.

Padahal melalui penulis sudah disampaikannya kepada Memo

Hermawan ketika masih menjadi wakil bupati dan kepada

Iman Alirahman serta Wawan Nurdin yang dikenal ahli dalam

mengatur jabatan.

Geng Memo Hermawan, yang terdiri dari Iman

Alirahman, Wawan Nurdin, Komar Mariyuana, Jaja Sudarja,

Hengki Hermawan hanya butuh Zaenal Arifin dalam

memuluskan perebutan kekuasaan saja, sementara

pengorbanan seorang Zaenal Arifin sama sekali tidak

dihargainya padahal ia tidak meminta fasilitas apa pun kecuali

ingin berkarir menjadi Kepala SMK atau SMP Negeri saja. (*)

Pejabat dan Dunia Hiburan

Pejabat dan wakil rakyat di kabupaten Garut identik

dengan dunia hiburan. Ketika tim dari Komisi Pemberantasan

43

Korupsi (KPK) tengah melakukan penggeledahan di kantor

Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Garut, yang waktu

itu Kepala BPKD-nya Komar Mariyuana, justru sejumlah

pejabat, wakil rakyat dan aktivis berkumpul di rumah makan

Copong.

Penulis termasuk salah satu yang ikut hadir di rumah

makan tersebut hingga menjelang waktu Isya. Yang hadir

waktu itu sepakat melanjutkan pertemuannya di Hotel

Imperium Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo Bandung. Penulis

berangkat belakangan menggunakan mobil kepunyaan

Hasanudin, salah seorang aktivis Garut.

Di Hotel yang tersedia ruangan karaokean ternyata

sudah menunggu beberapa pejabat dan wakil rakyat, antara

lain Asda III Kuparman, anggota DPRD Lucky Lukmansyah,

Anton Heryanto, Wawan Nurdin dan sejumlah staf dari BPKD.

Di ruang karaokean sudah disiapkan wanita yang

berprofesi sebagai Pemandu Lagu (PL) secara berpasang-

pasangan. Penulis juga sudah disediakan dan satu ruangan

(room) bersama Wawan Nurdin dan Anton Heryanto.

Malam itu dihabiskan hanya untuk bersenang-senang

dan dipastikan menguras kocek yang tidak sedikit. Yang pasti,

penulis meninggalkan hotel itu sekira jam 3.00 pagi.

Kegiatan serupa, dilakukan pula menjelang

penangkapan Agus Supriadi oleh KPK. Beberapa pejabat dari

BPKD, Bawasda (Inspektorat) dan DPRD berkumpul lagi di

Hotel Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat.

44

Penulis dimintai bantuan oleh Kepala Bawasda Hengki

Hermawan untuk meyakinkan isteri mudanya karena setiap

saat selalau meneleponnya. Sangat boleh jadi, isterinya itu

pencemburu sehingga selalu memantau aktivitas suaminya di

Jakarta.

Demi keselamatan keluarga Hengki Hermawan, penulis

mau membantunnya dengan meyakinkan isterinya, bahwa

suaminya Hengki Hermawan belum bisa pulang cepat-cepat

ke Garut karena setiap hari harus memenuhi panggilan ke

kantor KPK di Jakarta.

Aktivitas di Hotel Golden Boutique yang tarifnya cukup

mahal itu, selain untuk memudahkan KPK melakukan

pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat menjelang

penangkapan Agus Supriadi, selebihnya memang dijadikan

ajang hiburan. Kenapa tidak, di hotel tersebut tersedia

berbagai fasilitas hiburan termasuk wanita-wanita

penghiburnya, selain wanita lokal ada pula wanita asing

seperti dari China, Hongkong dan Korea. (*).

Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi

Sosok Agus Supriadi terbilang dekat dengan kalangan

pers. Ketika proses pencalonannya sebagai bupati Garut

selalu dikerubuti wartawan ketika ia dan keluarganya tinggal

di rumah kontrakan di Jalan Pajajaran Garut.

45

Kepemimpinan Agus Supriadi yang sarat kontroversi,

tentu saja menjadi buruan wartawan. Tidak heran, berita

tentang bupati Agus Supriadi selalu menghiasi halaman surat

kabar dan menjadi gunjingan di kalangan masyarakat.

Keberanian Agus Supriadi semakin kentara ketika

mengancam akan menggergaji pipa kilang gas bumi Darajat

yang dikelola PT. Chevron Texaco Energi Indonesia (CTEI),

sebuah perusahaan asing milik Amerika Serikat sebelum

persoalan yang berkaitan dengan bagi hasil bagi pemerintah

daerah belum diselesaikan secara baik dan menguntungkan

bagi Kabupaten Garut.

Gaya kepemimpinannya yang keras, tegas dan disiplin

membuat gerah para petinggi birokrasi di lingkungan pemda

Garut, apalagi tersiar kabar bahwa untuk mendapatkan

promosi jabatan harus menyetorkan sejumlah uang.

Pejabat di lingkungan pemda Garut tidak bisa

menerima gaya kepemimpinan Agus Supriadi yang penuh

disiplin itu, karena mereka sudah terbiasa dipimpin bupati

yang berasal dari sipil selama tiga periode, yaitu periode

Momon Gandasasmita (1988-1993), Toharudin Gani (1993-

1998) dan Dede Satibi (1998-2003).

Kendati tidak senang dengan gaya kepemimpinannya,

namun masalah jabatan tetap menjadi incarannya para

birokrat. Dalam kepemimpinan bupati Agus Supriadi,

keberadaan geng birokrasi tidak menonjol justru geng-geng

liar memanfaatkan nama bupati.

46

Geng liar itu kebanyakan dari kalangan luar yang

memang tidak terorganisir rapi seperti sehingga terkesan

seperti “calo jabatan” tidak seperti di era kepemimpinan

Dede Satibi dan kepemimpinan sekarang (bupati Aceng HM

Fikri).

Kondisi pemerintahan seperti itu menimbulkan

prasangka buruk dari kalangan elit di Kabupaten Garut,

bahkan sering muncul menjadi berita panas di salah satu

stasiun radio lokal yang menampung aspirasi pendengarnya.

Tentu saja gonjang-ganjing dari kabar yang memanas

itu menjadi buruan wartawan untuk diinvestigasi yang

kemudian munculah pemberitaan yang kerap membuat

banyak kalangan terutama kalangan elit tidak menyenangi

gaya kepemimpinan Agus Supriadi.

Namun demikian, sosok Agus Supriadi tidak pernah

menekan apalagi menakut-nakuti wartawan kendati dirinya

berlatarbelakang tentara. Agus justru menempatkan

wartawan sebagai mitranya, dan melalui peranan Anton

Heryanto selalu mengeluarkan kocek APBD guna membantu

tugas-tugas wartawan.

Ketika perseteruan elit, terutama yang dimotori wakil

bupati Garut Memo Hermawan maka gelombang

ketidaksenangan terhadap Agus Supriadi semakin menguat.

Awal kejatuhannya dipicu ketika Kepala Bappeda Iman

Alirahman menyatakan mundur dari jabatanya yang kemudian

diikuti oleh Anton Heryanto, sebagai Kepala Bidang Anggaran

47

di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) serta sejumlah

pejabat lainnya.

Pengunduran diri Iman Alirahman dan kawan-kawan

membuat sejumlah surat kabar menempatkan berita tersebut

di halaman muka. Akibatnya, tidak lama berselang gelombang

aksi menurunkan Agus Supriadi nyaris tidak pernah berhenti

bahkan gedung pendopo pun sempat dikepung para

demonstran.

Mundurnya Anton Heryanto, ternyata mendapat

dukungan dari seluruh Fraksi di DPRD Garut. Bahkan Fraksi

PKS yang kurang baik hubungannya dengan Anton Heryanto

mendadak menyatakan dukungannya.

Tidak hanya kalangan DPRD, tokoh keras seperti Ketua

MUI Garut KH. Abdul Halim mendukung Anton Heryanto. Kiayi

galak itu selalu berkomunikasi dengan Anton pasca

mundurnya dari jabatan di Bagian Keuangan, padahal

sebelumnya tidak pernah terjalin hubungan dekat antara KH

Abdul Halim dengan Anton Heryanto.

Ketika gelombang aksi semakin memanas, dalam waktu

bersamaan tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi justru

tengah melakukan penyelidikan dugaan terjadinya

peyimpangan keuangan di pemda Garut.

Para pejabat pemda Garut pun hampir dua pekan

berada di Jakarta, dan membooking beberapa kamar di hotel

Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat.

Sejumlah anggota DPRD Garut pun kerap muncul di hotel

48

tersebut, bahkan Kepala Bawasda (Drs. Hengki Hermawan)

mengaku ketakutan dan tidak pernah lepas dari senjata api

yang dimilikinya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan

terburuk yang menimpa dirinya.

Keberadaan sejumlah pejabat pemda Garut di Jakarta

untuk memudahkan komunikasi dan pemeriksaan-pemriksaan

yang dilakukan pihak KPK. Yang lumayan lama berada di

Jakarta adalah para pejabat dari Badan Pengelola Keuangan

Daerah (BPKD) dan dari Bawasda (sekarang Inspektorat

Daerah).

Akhirnya Agus Supriadi dipanggil KPK ke Jakarta

tanggal 27 Juli 2007, dan tidak pernah kembali lagi hingga

sekarang karena diganjar hukuman 10 tahun penjara oleh

Pengadilan Tindak Pidana korupsi (Tipikor).

Ketika Agus Supriadi baru berada di tahanan Mapolres

Metro Jakarta Selatan sekitar dua pekan, seorang aktivis

Garut Hasanudin mengajak penulis mengunjungi Agus

Supriadi di tahanan.

Sesampainya di Mapolres Metro Jakarta Selatan, penulis

tidak masuk dan hanya mengantarkan Hasanudin saja.

Selanjutnya Hasanudin tetap berada di Jakarta dan di

tempatkan di salah satu hotel bersama ajudan bupati Agus

Supriadi yaitu Bambang.

Kiprah Hasanudin di Jakarta, ternyata di luar dugaan

mampu merubah kondisi yang dialami sejumlah pejabat di

49

lingkungan pemda Garut atas ancaman yang disebut-sebut

pernah diungkapkan Agus Supriadi.

Hasanudin berhasil meluluhkan Agus Supriadi, diawali

dari kedatangan Wakil Bupati Memo Hermawan

menjenguknya di tahanan. Sejak itu pula para pejabat pemda

Garut bergiliran mendatangi Agus Supriadi, sehingga saat itu

ruang tahanan yang dihuni Agus Supriadi sekaligus menjadi

tempat beraktivitas Agus Supriadi karena masih bersatatus

sebagai bupati, seperti menandatangani surat-surat atau

dokumen. (*)

Agus Supriadi Anggap Enteng Memo

Bupati Garut Agus Supriadi yang tampil elegan sebagai

sosok perwira menengah TNI-AD sangat disegani oleh

kalangan birokrat, namun secara politis Agus Supriadi belum

teruji karena lebih banyak bertugas di pasukan tempur

ketimbang di teritorial.

Ketika ia memasuki ranah politik dan harus berhadapan

dengan para politisi terutama wakil bupatinya Memo

Hermawan, kurang cermat menghitung kalkulasi politiknya

sehingga membiarkan Memo sekaligus memperlakukan

seperti “anak bawang”.

Memo nyaris tidak diberi peran dalam mengelola

pemerintahan dan pembangunan, bahkan dalam banyak hal

Memo dibiarkan liar. Padahal Memo diam-diam menggalang

50

kekuatan di jajaran birokrasi yang dimotori oleh Iman

Alirahman dan Anton Heryanto serta Wawan Nurdin.

Sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut banyak

yang mengakui kehebatan Memo walau pun Memo sering

disebut-sebut tidak jelas sekolahnya. Ir Widyana CES, jebolan

IPB dan pernah lama di lingkungan pemda Bekasi yang

kemudian beberapa kali menduduki jabatan eselon II di

pemda Garut, adalah salah satunya yang mengakui

kecerdikan, kepintaran dan kehebatan Memo Hermawan.

Memo memang bukan politisi yang jago pidato (orator),

melainkan jago dalam hal strategi. Ia piawai membangun

jaringan dengan berbagai kelompok, tidak heran jika

kelompok yang menyerangnya berkaitan dengan dugaan

penggunaan ijazah palsunya justru berbalik menjadi

pendukung Memo.

Hal itu tidak disadari oleh Agus Supriadi, karena boleh

jadi Agus Supriadi tetap beranggapan bahwa Memo tidak

jelas sekolahnya dan tidak membahayakan dirinya, karena

memang orang bodoh. Kalau saja orang-orang dekat Agus

Supriadi, terutama staf ahlinya memberi masukan bagaimana

bahayanya seorang Memo Hermawan, maka dapat dipastikan

bupati Agus Supriadi tidak akan jatuh di tengah jalan.

Staf ahli bupati saat itu dari kalangan politisi ada

Machyar Suara, dari akademisi ada Prof.DR. Ali Ramdani, dari

kalangan aktivis ada Usep Sobar. Bahkan satu lagi dari

kalanga aktivis yang tidak terstruktural yaitu Agustiana. Para

staf ahli itu tidak mungkin tidak memiliki referensi tentang

51

kecerdikan Memo dalam berpolitik, atau pura-pura tidak tahu

sehingga tidak dijadikan program dan strategi bahasan

bersama bupati Agus Supriadi. Atau sangat boleh jadi

membiarkan Memo dengan bola panasnya karena staf ahli

pun menghendaki agar bupati Agus Supriadi jatuh di tengah

jalan. (*).

Kalau Tidak Ikut Mundur

“Kalau saja waktu itu saya tidak ikut mundur, saya jamin

pak Agus Supriadi tidak mungkin jatuh dari jabatannya

sebagai bupati.” Demikian diungkapkan Anton Heryanto

kepada penulis.

Anton Heryanto yang saat itu tengah disibukan dengan

masalah keuangan, pada hari Jum’at (lupa tanggalnya) di

bulan Juli 2007 pagi hari datang Iman Alirahman ke ruangan

kerjanya.

Iman bicara panjang lebar tentang situasi di

pemerintahan, salah satunya adalah bekerja seperti robot dan

sapi perahan oleh bupati Agus Supriadi. Iman menyampaikan

niatnya kepada Anton untuk mengundurkan diri dari

jabatannya sebagai Kepala Bappeda pada Jum’at sore hari itu

yang kebetulan akan mengikuti breefing bersama bupati Agus

Supriadi.

Betul juga, setelah breefing Iman kembali menemui

Anton di kantornya yang hanya berjarak beberapa meter saja

52

dari gedung Pendopo. Iman menyampaikan keputusannya

bahwa ia sudah mundur dari jabatan Kepala Bappeda

langsung disampaikan ke bupati.

Anton menyatakan siap mengikuti langkah Iman, yaitu

mundur juga dari jabatannya dan akan menggelar jumpa pers

esok harinya (hari Sabtu).

Sejumlah media massa sontak memuat pernyataan

Iman dan Anton yang mengundurkan dari jabatannya masing-

masing. Hari Senin di acara apel pagi, bupati Garut Agus

Supriadi sangat marah kepada Iman dan Anton yang

disampaikannya dalam pidato di depan peserta Apel. “Si Iman

dan si Anton adalah pengkhianat karena sudah mundur dari

jabatannya.”

Situasi setelah mundurnya Iman dan Anton semakin

memanas. Wakil Bupati Memo Hermawan, yang memiliki

kedekatan secara personal dengan pejabat di Komisi

Pemberantasan Korupsi meminta saran bagaimana menyikapi

dugaan korupsi yang dilakukan bupati Agus Supriadi melalui

hubungan telepon selular yang dikeluarkan suaranya

(loudspeaker) disaksikan Anton Heryanto.

Pejabat KPK menyarankan untuk mempercepat

penangkapan bupati Agus Supriadi adalah dengan cara

dilakukannya aksi unjuk rasa. Memo bersama Anton, Iman

dan pejabat pemda lainnya mengumpulkan sejumlah logistik

guna menggalang aksi unjuk rasa menuntut bupati Agus

Supriadi mundur.

53

Setelah gelombang aksi massa terus melakukan unjuk

rasa ke kantor pemda, gedung DPRD, alun-alun bahkan

mengepung gedung Pendopo sekaligus rumah dinas bupati,

maka akhirnya tanggal 27 Juli 2007 KPK memanggil bupati

Agus Supriadi ke Jakarta dan tidak kembali lagi (dilakukan

penahanan). (*)

Agus Tawari Iman jadi Sekda

Bupati Agus Supriadi yang dikenal keras dan disiplin

ternyata memiliki catatan tersendiri terhadap birokrat

bawahannya yang mempunyai kemampuan dalam kinerjanya.

Salah satunya ia memuji kecerdasan Iman Alirahman yang

justru menjadi pemicu jatuhnya Agus Supriadi dari jabatannya

sebagai bupati.

Ketika Agus Supriadi berada di sel tahanan Polres Metro

Jakarta Selatan atas peranan Hasanudin tiba-tiba antipati

terhadap Achmad Muttaqien, yang saat itu masih menjabat

sekretaris daerah.

Bupati Agus Supriadi secara tegas akan segera

mencopot Achmad Muttaqien, namun ia masih kesulitan

mencari penggantinya sebagai pejabat pelaksana tugas (Plt)

sekda. Dengan berbagai pertimbangan yang sekaligus

didiskusikan dengan Hasanudin dan Ketua APDESI Asep

Hamdani menjatuhkan plihannya ke Iman Alirahman.

54

Melalui telepon genggam milik Ketua APDESI yang saat

itu berada bersama bupati Agus Supriadi di kamar

tahanannya menelpon penulis agar menghubungi Iman

Alirahman guna menyampaikan tawarannya mau menjadi

pejabat pelkasana tugas sekda Garut. Menurut Agus Supriadi,

nama Iman Alirahman sangat pantas menjadi sekda.

Penulis lalu menemui Iman Alirahman di kantor Bappeda

menyampaikan pesan dan amanat dari bupati Agus Supriadi.

Kebetulan di ruang kerja Iman Alirahman sudah ada Wawan

Nurdin. Iman menyatakan akan piker-pikir dulu sekaligus

mengonsultasikannya dengan Wakil Bupati Memo Hermawan.

Memo Hermawan yang kemungkinan sudah mendapat

laporan dari Iman Alirahman kemudian menelpon penulis

dengan menyatakan bahwa Iman Alirahman jangan mau

menerima tawaran dari bupati Agus Supriadi tersebut. Memo

mengkhawatirkan tawaran itu sebagai sebuah jebakan dari

Agus Supriadi, kendati Memo tidak menjelaskan secara rinci

bentuk dan akibat dari jebakan Agus Supriadi.

Bupati Agus Supriadi akhirnya secara resmi

memberhentikan Achmad Muttaqien dari jabatan sekda,

sekaligus mengangkat Budiman sebagai pelaksana tugas

sekda. Waktu itu yang sudah merapat ke Agus Supriadi agar

mengangkatnya sebagai sekda antara lain Yaya.S Permana,

Wowo Wibowo dan Hilman Faridz.

Agus Supriadi memang tidak sendirian dalam

menentukan pilihannya mengangkat Plt sekda, karena dari

kalangan aktivis selalu didampingi oleh Dadan, Deni Ramdani

55

dan Ujang Saeful (Ujang Geren) dengan kelompok Dabo-Ribo-

nya.

Nama Ujang Geren adalah salah seorang aktivis yang

komitmennya dengan Agus Supriadi sangat tinggi. Ia

mempertaruhkan segala-galanya dalam membela Agus

Supriadi, bahkan selalu mengawal Agus Supriadi dalam setiap

persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Ketika Agus Supriadi mengusung Budiman sebagai Plt

Sekda, justru Kepala Badan Kepagawaian Daerah (BKD) Ara

Koswara menjadi tumbalnya karena dipecat oleh Memo

Hermawan. Padahal Ara Koswara salah satu pejabat pemda

Garut yang sangat setia membantu logistik bagi kepentingan

Agus Supriadi setelah mendekam di tahanan.

Ara Koswara dipersalahkan mengangkat Tenaga Kerja

Kontrak (TKK) dengan imbalan uang pelicin. Padahal uang

pelican tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu

dengan menjual nama bupati. Sebut saja Hasanudin ikut

menitipkan beberapa orang TKK, dan penulis termasuk yang

menitipkan kakak sepupu yang berprofesi sebagai guru dan

perawat sebagai TKK melalui Hasanudin.

Dari kasus pengangkatan TKK, Ara Koswara pernah

berurusan dengan aparat penegak hukum di Polres dan

Kejaksaan Negeri Garut. Hanya saja kasusnya tidak berlanjut,

dan Ara sendiri kini menjadi pejabat fungsional alias tidak

diberi jabatan apa pun setelah diberhentikan dari jabatannya

sebagai Kepala BKD. (*).

56

Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum

Naiknya Agus Supriadi dan Memo Hermawan sebagai

bupati dan wakil bupati tidak pernah lepas dari persoalan

hukum. Apalagi Memo Hermawan sejak awal memang sudah

bermasalah dengan hukum.

Birokrasi yang secara de jure berada di bawah

kekuasaan bupati namun faktanya de facto berada di bawah

kendali Wakil Bupati Memo Hermawan dengan Iman

Alirahman sebagai motornya. Kuatnya dominasi Memo

dengan Iman Alirahman, semakin memperkuat kelompok

birokrasi yang di bawahnya ada nama Hengki Hermawan,

Anton Heryanto, Wawan Nurdin, Erlan Rivan, Kuparman dan

Komar Mariyuana.

Setumpuk persoalan hukum yang melilit Memo dan

jajaran pejabat birokrasi lainnya selalu dapat diselesaikan

dengan menggunakan kekuatan politik. Kekuatan tersebut

tidak terlepas pula dari ajang perebutan kekuasaan, sehingga

ada kelompok yang diuntungkan secara hukum namun ada

pula kelompok yang justru jatuh karena hukum. Sebut saja

Ketua DPD Partai Golkar Garut, Drs. H. Ruhiyat Prawira MSi,

adalah bukti dari kekuatan politik yang tidak pernah mengenal

kompromi ketika sudah berhadap-hadapan dengan

kepentingan kekuasaan.

Ketika Memo Hermawan naik menjadi Penjabat Bupati

Garut, saat itu pula peta perpolitikan Garut merubah 360

derajat. Anton Heryanto yang merupakan tokoh kunci dan

tokoh pada jamannya Agus Supriadi justru didepak dari

57

kelompok Memo-Iman. Bahkan Anton harus mengalami nasib

terburuk yaitu digelandang di Kejaksaan Negeri Garut hingga

ke persidangan di Pengadilan Negeri Garut.

Korban berikutnya adalah sekda Garut Drs. Wowo

Wibowo, yang terpaksa selain dicopot dari jabatannya malah

sempat meringkuk di sel tahanan Mapolda Jawa Barat.

Beruntung Wowo Wibowo dinyatakan bebas oleh Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Garut.

Jaringan birokrasi yang dimotori Memo Hermawan,

dengan tangan kanannya Iman Alirahman dan Wawan

Nurdin terbukti sukses memuluskan pasangan Aceng HM

Fikri-Diky Candra terpilih menjadi bupati dan wakil bupati

Garut periode 2009-2014, dan mengantarkan Memo

Hermawan menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Iman

Alirahman sendiri dipercaya menjadi pejabat sementara sekda

Garut setelah ditinggalkan Wowo Wibowo.

Sosok Wawan Nurdin sebagai birokrat memiliki jaringan

yang sangat luar biasa luasnya di institusi penegakan hukum,

yaitu di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Ia memiliki

kemampuan mengatur pejabat dan politisi yang tersandung

masalah hukum, sehingga kasusnya bisa terhenti atau

menggantung.

Pejabat dan politisi yang dibantunya terdiri dari dua

kelompok, Pertama mereka yang memiliki dana kuat dan

merupakan kelompoknya, sehingga secara politis harus

mengikuti permainan Wawan Nurdin bersama kelompoknya.

Kedua, yaitu pejabat dan politisi yang hanya memiliki dana

58

namun bukan dari kelompoknya. Yang terkahir ini, jika sukses

lolos dari jeratan hokum maka secara otomatis harus tunduk

dan masuk kelompok Wawan Nurdin.

Wawan Nurdin pernah bercerita kepada penulis tentang

masalah hukum yang dihadapi mantan Kasubbag Keuangan di

BPKD Erlan Rivan. Wawan Nurdin mau membantunya asal

ada uang tidak lebih dari satu milyar rupiah. Dana sebesar itu

tidak ada artinya dibandingkan dengan jabatan dan

kehormatan.

Erlan ternyata meragukan kemampuan Wawan Nurdin,

akhirnya mencari jalan sendiri dan menurut Wawan Nurdin

dana yang dikeluarkan Erlan Rivan hingga diputus oleh

Pengadilan diperkirakan mencapai lebih dari dua milyar

rupiah, atau jauh lebih besar jika diurus oleh Wawan Nurdin.

(*).

Politisi Rebut Pemerintahan

Lengsernya Wowo dari jabatan sekda, semula akan

memuluskan Iman Alirahman sebagai penggantinya. Namun

lagi-lagi sandiwara perebutan kekuasaan tidak terhindarkan.

Birokrat senior Hilman Faridz tiba-tiba menyodok dengan

mendapat dukungan dari banyak kalangan termasuk para

politisi.

Kelompok Iman dengan kekuatan kekuatan politiknya

menyadari bahwa kekuatan Hilman semakin besar bahkan

59

disebut-sebut mendapat dukungan dari Gubernur Jawa barat

melalui jaringan partai tertentu.

Jalan Hilman menuju jabatan sekda tak terelakan lagi,

namun kubu Iman tidak tinggal diam jauh-jauh hari sudah

dipersiapkan perangkat untuk menghentikan langkah Hilman,

yaitu dengan keluarnya Peraturan Bupati Garut No. 131

Tahun 2009 Tentang Pembatasan usia pensiun bagi pejabat

di lingkungan pemda Garut.

Korban pertama dari Perbup tersebut, tentu saja adalah

Hilman Faridz. Ia hanya menjabat sebagai sekda selama

sembilan saja karena keburu terkena Peraturan Bupati.

Sedangkan dua pejabat pemda lainnya yaitu Kadisdik Komar

Mariyuana dan Asda I Arus Sukarna melenggang manis

karena mendapat perpanjangan sebelum Peraturan Bupati

diterbitkan.

Politisi di Garut memang piawai dan cerdik dalam

merebut kekuasaan di pemerintahan. Politisi pendukung

Hilman harus diapresiasi karena mereka cerdik mengantarkan

Hilman kendati belum berkuasa secara penuh karena hanya

sembilan bulan.

Politisi yang berada di belakang Iman Alirahman, juga

harus diapresiasi karena mereka tidak pernah memudar

semangatnya untuk menjadikan Iman sebagai penguasa di

pemerintahan. Iman Alirahman memang sangat dikehendaki

oleh bupati Aceng HM Fikri dan Wakil Bupati Diky Candra,

karena pemimpin muda itu akan merasakan nyaman

didampingi oleh sekdanya sekelas Iman Alirahman.

60

Sosok Iman Alirahman, memang sangat disegani selain

usianya relatif masih muda dibandingkan pejabat birokrasi

eselon II lainnya juga memiliki kemampuan luar biasa dalam

membangun jaringan baik jaringan politik maupun jaringan

hukum.

Iman memiliki seseorang yang sangat dipercayainya,

yaitu Wawan Nurdin yang sudah bersahabat ketika Iman

menjadi Camat Bayongbong dan Wawan Nurdin waktu itu

menjadi Kepala Desa Bayongbong. Persahabatannya berlanjut

hingga Wawan Nurdin diangkat menjadi pegawai negeri sipil

(PNS) di lingkungan pemda Garut.

Iman Alirahman dan Wawan Nurdin layaknya “gula dan

manis-nya” yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

Sebagai uji coba, Wawan Nurdin sempat diangkat menjadi

Kepala Bidang Pemerintahan Desa di Badan Pemberdayaan

Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) menjelang

perhelatan akbar pemilihan umum (Pemilu) Legislatif dan

pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Jabatannya itu, justru sebagai sarana untuk

menggalang kepala desa menyukseskan calon anggota DPRD

Jawa Barat Bagus Wiwaha dan Mayjen (Purn) Yahya

Sacawinata untuk DPR dari partai Demokrat. Nama Yahya

Sacawinta, waktu itu disebut-sebut bakal menjadi Menteri

Dalam Negeri jika SBY terpilih kembali menjadi presiden RI.

Setelah pemilu selesai Wawan Nurdin kembali ke habitatnya,

yaitu menjadi pejabat fungsional (jafung) di Dinas

Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA).

61

Beberapa pergantian pejabat di lingkungan pemda

Garut dalam kepemimpinan bupati Aceng HM Fikri tidak

terlepas dari peranan Wawan Nurdin dalam menempatkan

sejumlah pejabat dari mulai eselon IV hingga eselon II.

Kongkritnya, Wawan Nurdin adalah sosok birokrat yang

sangat cerdik dalam menjabarkan sekaligus

mengaktualisasikan pola yang dirancang Iman Alirahman

dalam menguasai pemerintahan, politik dan hukum. (*)

Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut)

Wakil rakyat di DPRD Kabupaten Garut pasca

tumbangnya rezim orde baru, memang menjadi sangat

berkuasa. Jika periode pertama reformasi 1999-2004 yang

diketuai Ir. Iyos Somantri dan Dedi Suryadi sangat ditakuti

eksekutif. Apa yang diminta pimpinan DPRD tidak pernah ada

yang ditolaknya.

Bupati Dede Satibi dengan sekdanya Rahmat Sudjana,

dan penguasa anggaran waktu itu Drs. Yaya S. Permana

sebagai Asda III mampu mengatur semua keiinginan dan

permintaan DPRD kendati pada akhirnya wakil rakyat

tersandung masalah hukum, menyusul terendusnya

penyimpangan dana APBD yang dikenal dengan APBD-gate.

DPRD periode 2004-2009 semakin menguat setelah

Dedi Suryadi (PPP) naik menjadi Ketua DPRD mengalahkan

Kohar Somantri didukung oleh bupati Garut Agus Supriadi.

Dedi Suryadi sebagai politisi muda yang cerdik dan energik

62

diam-diam membangun jaringan dengan wakil bupati Garut

Memo Hermawan melalui peranan Iman Alirahman-Wawan

Nurdin-Anton Heryanto dari pihak birokrasi, diperkuat

Hasanudin dari kelompok aktivis yang dikenal dekat dengan

Dedi Suryadi.

Kocek DPRD mengalir terus dari dana APBD baik yang

mengalir secara normatif berdasarkan ketentuan yang ada

maupun yang dilakukan “di belakang layar”, terutama dalam

memuluskan Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban

(LKPJ) yang selalu diselesaikan secara “adat” jika kemudian

diketahui ada yang tidak sesuai dengan kehendak DPRD.

Memo Hermawan sebagai Wakil Bupati, dan Dedi

Suryadi sebagai Ketua DPRD adalah dua sosok politisi yang

tersandung masalah hukum. Jika kasus Memo masih terus

menggantung di Polda dan Kejaksaan Tinggi (jalan di

tempat), sementara kasus Dedi Suryadi sudah masuk ke

Mahkamah Agung.

Berkat jaringan politik dan hukum yang dilakukan para

birokrat cerdik, maka kedua kasus tersebut pun dalam

terselesaikan “secara adat”. Memo hingga kini tetap “aman”

dan Dedi Suryadi sendiri justru dalam Putusan Peninjauan

Kembali (PK) di Mahkamah Agung dinyatakan bebas. Memo

akhirnya melenggang ke gedung DPRD propinsi sebagai

anggota periode 2009-2014, sedangkan Dedi Suryadi terhenti

melenggang ke Senayan (gedung DPR-RI) karena perolehan

suaranya tidak signifikan dalam pemilu legislatif tahun 2009.

63

Ahmad Bajuri diuntungkan oleh Peraturan Pemerintah

No. 16 Tahun 2010 sebagai implementasi dari UU No. 27

Tahun 2009 Bahwa yang berhak menjadi Ketua DPRD adalah

dari partai pemenang pemilu. Akhirnya Lucky Lukmansyah

harus rela di posisi sebagai Wakil Ketua DPRD.

Golkar dan PDIP mendapat jatah pula untuk posisi wakil

Ketua, yaitu Drs H. Ruhiyat Prawira dan Dedi Hasan Bahtiar.

Penunjukan Dedi Hasan Bahtiar dari PDIP semata-mata

karena condongnya Memo terhadap Dedi Hasan, yang

sebelumnya Memo pun sempat meminta pendapat dan

pandangan kepada Penulis jika Dedi Hasan menjadi Wakil

Ketua DPRD.

Pasca pemilu legislatif 2009 dengan kemenangan partai

Demokrat, maka berubah pula wajah DPRD Garut karena

politisi anak bawang Ahmad Bajuri tiba-tiba naik menjadi

Ketua DPRD padahal yang dikehendaki penguasa di

pemerintahan kabupaten Garut adalah politisi PPP. Bahkan

fungsionaris partai Demokrat, yaitu H. Gunadi BSc menggebu-

gebu memperjuangkan agar Ir. Lucky Lukmansyah Trenggana

sebagai Ketua DPRD.

Penulis sempat dihubungi H. Gunadi untuk

memperjuangkan Lucky. Penulis, yang juga anggota KPU

menyampaikan pendapat kepada H. Gunadi bahwa Lucky

tidak mungkin bisa naik menjadi Ketua DPRD karena

mekanismenya sudah diatur oleh PP No. 16 Tahun 2010 dan

tidak ada mekanisme pemilihan pimpinan DPRD melainkan

penunjukan sesuai perolehan kursi hasil pemilu 2009

64

Wajah DPRD Garut periode 2009-2014 dari segi kualitas

jauh berbeda dengan periode sebelumnya yang memiliki

sejumlah anggota sekelas Dedi Suryadi, Kohar Somantri,

Haryono, Dikdik Darmika, Gaos Syamdani, Ali Rohman.

Di periode 2009-2014 hampir semua pemain baru,

kecuali yang tersisa antara lain Lucky Lukmansyah, Ahmad

Bajuri, Dedi Hasan Bahtiar dan Yogi Yudawibawa. Semuanya

belum teruji sehingga bisa sekelas dengan wajah anggota

DPRD periode sebelumnya. Hanya Lucky Lukmansyah yang

lumayan teruji. Sedangkan Ahmad Bajuri masih harus banyak

belajar, sehingga ia tidak pernah bisa lepas dari ketiak

Wawan Nurdin dan Bagus Wiwaha.

Wajah DPRD Garut sedikit tertolong dengan masuknya

mantan pejabat pemda Garut, H Sobirin dari partai Demokrat.

Sosok Sobirin memang cukup berpengalaman, maka tidak

heran jika ia diposisikan sebagai Ketua Komisi C yang salah

satunya membidangi masalah keuangan.

Sobirin banyak terlibat di Panitia Anggaran (Panggar),

yang setidak-tidaknya bias mengimbangi pihak eksekutif yang

jago-jago dalam hal perhitungan anggaran.

Dua anggota DPRD Garut terpilih dari Partai Golkar

(Agus Ridwan, SH) dan dari PAN (Usep Jumhur) memperoleh

kursinya dengan mengorbankan seniornya di partai masing-

masing.

Agus Ridwan mendepak Ojo Sukmana di Daerah

Pemilihan Garut I berkat bantuan salah satu anggota Panitia

65

Pemilihan Kecamatan (PPK) Karangpawitan Asep Irvan yang

mengatur perolehan suara sehingga Agus Ridwan menyalip

perolehan suara Ojo Kusmana. Padahal faktanya suara Ojo

Kusmana jauh di atas suara yang diperoleh Agus Ridwan.

Asep Irvan nyaris dipidanakan, namun penulis yang

juga anggota KPU menyarankan kepada Ketua KPU Garut Aja

Rowikarim, M.Ag sebaiknya Asep Irvan dipecat saja dari

anggota PPK Kecamatan Karangpawitan. Asep Irvan akhirnya

dipecat dan dalam pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden 2009 tidak lagi ikut serta dalam kegiatan kepemiluan

di PPK Kecamatan Karangpawitan.

Sedangkan Usep Jumhur dari PAN merebut kursi DPRD

setelah calon terpilih urutan peraih suara terbanyak pertama

H. Gaos Syamdani meninggal dunia sebelum pelantikan

dilaksanakan. Mestinya pengganti H. Gaos Syamdani adalah

Hj. Tinnekeu, namun isteri mantan Ketua DPD PAN Garut H.

Sofwy Irvan itu dilaporkan ke Polres Garut dengan tuduhan

penggunaan ijazan palsu SMA-nya.

Akhirnya Hj. Tinnekeu menyatakan mengundurkan diri

dari calon anggota DPRD dan belakangan sekaligus mundur

dari keanggotaannya sebagai kader Partai berlambang

matahari. Mundurnya Hj. Tinnekeu memuluskan Usep Jumhur

yang berada di posisi ketiga menjadi anggota DPRD Garut

periode 2009-2014, dan di internal PAN masa bakti Usep

Jumhur hanya 2,5 Tahun karena berikutnya akan diganti oleh

calon urutan ke 3 Haris.

66

Begitulah percaturan politik dalam merebut kekuasaan

menghalalkan segala cara, termasuk menari di atas

penderitaan temannya sendiri yang penting kekuasaan dapat

digenggamnya. ( *).

Skandal Seks yang Di peti es kan

Adalah satu-satunya anggota DPRD Garut dari Partai

Gerinda, Hilman Yudiswara tersandung masalah pelecehan

seksual karena membawa gadis di bawah umur ke salah satu

hotel di kawasan wisata Cipanas.

Hilman dilaporkan oleh orang tua gadis yang

dikencaninya ke polisi. Hilman pun ditetapkan sebagai

tersangka, namun kasusnya hingga kini lenyap ditelan bumi

(dipeti es kan).

Dipetieskannya kasus Hilman berawal ketika Hilman

bersama ayahnya menemui penulis di kantor Redaksi Garoet

Pos. Mereka meminta bantuan penulis agar kasusnya dapat

diselesaikan tanpa harus berlanjut ke ranah hukum. Alasan

menemui penulis karena penulis salah satu anggota KPU.

Penulis menyarankan agar menemui Hasanudin (aktivis)

yang diketahui penulis punya kedekatan khusus dengan

Kapolres Garut waktu itu AKBP. Amur Candra dan

Kasatreskrim AKP. Oon Suhendar. Penulis kemudian

mempertemukan Hilman dan ayahnya dengan Hasanudin di

restoran Pujasega.

67

Selanjutnya Hasanudin bekerja untuk Hilman dengan

menggunakan lobi-lobi intensif di Polres Garut. Hasilnya,

kasus Hilman dipetieskan bahkan sekarang Hilman

melenggang menjadi Ketua DPC Partai Gerinda Kabupaten

Garut.

Hasanudin sempat mengeluhkan kekecewaannya

kepada penulis setelah sukses membantu Hilman yang kasus

pidananya tidak berlanjut. Hilman dianggap politisi kemarin

sore yang tidak komit atas penyelesaian kasusnya. Bahkan

Hasanudin menyatakan politisi seperti Hilman tidak bisa

diandalkan.

Hal yang sama dialami oleh Bendahara DPD PAN Garut,

Hj Tinekeu yang dilaporkan oleh kader PAN ke Polres dengan

dugaan menggunakan ijazah palsu dalam pencalonannya

sebagai anggota DPRD Garut pada Pemilu 2009.

Hj. Tinekeu adalah calon anggota DPRD Garut dari

Daerah Pemilihan Garut 2 meliputi kecamatan Tarogong

Kaler, Tarogog Kidul, Banyuresmi, Samarang dan Pasirwangi.

Ia seharusnya menggantikan H. Gaos Syamdani yang

meninggal dunia sebelum pelaksanaan pelantikan anggota

DPRD Garut hasil pemilu 2009.

Hj. Tinnekeu tidak dikehendaki menggantikan Gaos

Syamdani, maka didongkel-lah dugaan penggunaan ijazah

palsunya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut kerja keras

menangani proses pergantian antar waktu (PAW), dan

anggota KPU Garut M. Iqbal Santoso dan pegawai di

68

Sekretariat KPU sempat diperiksa sebagai saksi setelah Hj.

Tinnekeu ditetapkan sebagai tersangka.

Lagi-lagi istilah “politik itu kejam”, memang benar dan

dialami oleh Hj Tinnekeu yang harus menyatakan mundur dari

pencalonannya sebagai anggota DPRD Garut terpilih karena

ada deal politik tidak akan dilanjutkan perkaranya di

kepolisian.

Terbukti sudah, setelah Hj Tinnekeu menyatakan

mundur lalu DPRD dan KPU memproses pergantian antar

waktu (PAW), kemudian keluarlah surat keputusan Gubernur

Jawa Barat yang menetapkan dan mengangkat Usep Jumhur

sebagai pengganti Hj Tinnekeu maka kasusnya di Polres Garut

hingga kini raib ditelan bumi alias dipeti es kan.(*)

Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum

Penegak hukum terutama dari Polres Garut mulai

mengincar dan membidik anggota DPRD, yang diduga

menerima aliran bantuan sosial (bansos) dan dana alokasi

khusus (DAK) di Dinas Pendidikan.

Anggota Fraksi Partai Demokrat Ny. Euis Komariah

kepada penulis mengaku didatangani sejumlah anggota polisi

berseragam ke gedung DPRD Garut meminta keterangan

seputar aliran DAK dari Disdik, karena diduga sejumlah

anggota dewan mendapat jatah proyek yang didanai dari DAK

tersebut.

69

Anggota dewan yang satu ini terbilang vokal sehingga

meminta petugas dari kepolisian itu untuk tidak meminta

keterangannya di gedung DPRD melainkan secara resmi di

Markas Kepolisian Resort Garut dengan berita acara

pemeriksaan. Dengan begitu, menurut Ny. Euis Komariah bisa

leluasa berbicara apa adanya berkaitan data dan keterangan

yang dibutuhkan pihak kepolisian.

Namun ternyata tidak ada kelanjutannya, dan masih

menurut Ny Euis Komariah yang biasa dipanggil dengan

panggilan “bunda” itu padahal dirinya sudah sangat siap.

Namun belakangan malah Ketua Komisi D, dr. Helmi Budiman

yang membidangi pendidikan dan kesehatan sudah dimintai

keterangannya.

Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dinas Pendidikan

memang sangat besar, selain ada proyek pengadaan buku,

ada juga proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah-

sekolah. Kabar yang merebak proyek-proyek tersebut sudah

ada yang memegang oleh pihak-pihak yang memiliki akses

termasuk di kalangan anggota DPRD.

Karena menumpuknya proyek di Dinas Pendidikan

mengakibatkan bupati Garut Aceng HM Fikri mengalami

kesulitan mencari penggganti Kepala Dinas Pendidikan yang

ditinggalkan Komar Mariyuana setelah resmi pensiun.

Kesulitan tersebut sangat boleh jadi berkaitan dengan

pengamanan proyek yang terlanjur sudah didistribusikan ke

banyak pihak, karena sangat sulit mencari figur Kepala Dinas

70

Pendidikan setangguh Komar Mariyuana yang dikenal dekat

dengan aparat penegak hukum.

Kerja ekstra keras berpulang kepada sekda Garut Iman

Alirahman untuk mengamankan semua persoalan yang ada di

lingkungan pemda Garut, tidak terkecuali masalah yang

menumpuk di Dinas Pendidikan, termasuk yang melibatkan

anggota DPRD.

Lagi-lagi Iman diuji kemampuannya, kepiawaian

menggalang jaringan dan kekuatan hukumnya agar semua

persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan baik seperti

motto Pegadaian “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.

(*)

Aktivis dan Proyek D.A.K Buku

Jika anggota DPRD bermain dalam proyek yang didanai

dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan sudah tidak aneh

lagi. Kalau seorang aktivis bermain dalam proyek yang sama,

memang aneh apalagi melibatkan pejabat penegakan hukum

untuk memuluskan perolehan proyeknya.

Adalah Direktur Pusat Informasi dan Studi

Pembangunan (PISP) Hasanudin, dengan menggaet Kepala

Satuan Reserse Polres Garut AKP. Oon Suhendar berhasil

melumpuhkan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut

Komar Mariyuana dan jajarannya sehingga proyek D.A.K buku

71

yang nilainya 1,8 milyar rupiah diraih oleh Hasanudin dengan

mengusung bendera PT. Mangle Panglipur.

Hasanudin pernah bercerita kepada penulis bagaimana

kerasnya “berperang” melawan pesaing-pesaingnya dalam

memperebutkan proyek tersebut bahkan tangan kanan bupati

Garut Isur Suryana yang membawa pengusaha kuat harus

terpental oleh kepiawaian Hasanudin dengan gayanya yang

khas memanfaatkan ketakutan jajaran birikrat di Dinas

Pendidikan oleh pejabat di Polres Garut. Hasanudin mengaku

kecewa karena pengusaha dari Jakarta yang meminjam

bendera PT. Mangle Panglipur tidak konsisiten atas komitmen

yang disepakatinya menyangkut “komitmen fee” sebesar

sepuluh (10) persen dari nilai proyeknya.

Dari fee yang diperoleh Hasanudin dialirkan ke

beberapa pihak, terutama ke pejabat di Polres Garut, pejabat

di Dinas Pendidikan, pejabat di pemda Garut yang terlibat

dalam panitia lelang, seperti Kepala Bagian Pengendalian

Pembangunan Heri Suherman, SE.

Penulis sendiri kecipratan sebesar tiga juta rupiah,

karena saat itu Hasanudin tahu bahwa penulis sedang

kesulitan uang untuk membayar sewa kontrak kantor Redaksi

SKU Garoet Pos yang sudah habis masa kontraknya dan

pemiliknya hampir tiap hari mempertanyakan apakah akan

dilanjutkan atau tidak sewa kontraknya.

Hasanudin yang kebetulan numpang aktivitasnya di

kantor penulis mengaku kewalahan menghadapi sejumlah

72

orang yang meminta bagian dari fee proyek buku DAK itu,

termasuk sejumlah wartawan. (*)

Desakan PAW

DPRD Garut hasil pemilihan umum 2009 terus digoyang

kelompok masyarakat tertentu, menyusul beberapa anggota

DPRD yang bermasalah hukum, terutama tiga anggotanya

dari Fraksi partai Golkar, yaitu Wakil Ketua DPRD H. Ruhiyat

Prawira, Ketua Fraksi Rajab Prinaldi, dan Agus Ridwan.

DPRD kerap didatangi kelompok masyarakat yang

mendesak agar tiga anggota DPRD tersebut diberhentikan

karena dianggap sudah tidak memenuhi syarat setelah

dinyatakan bersalah oleh pengadilan sebelum yang

bersangkutan dilantik menjadi wakil rakyat.

Sekretaris DPRD Garut Ny. Farida Susilawati mengakui

berdatangannya kelompok masyarakat yang mendesak

dilakukannya pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD

itu. Hal yang sama dibenarkan oleh anggota Fraksi partai

Demokrat Ny. Euis Komariah. Bahkan menurut Ny. Euis

Komariah kelompok masyarakat yang mendesak PAW itu

menuding KPU menerima uang pengamanan dari anggota

DPRD yang bermasalah agar tidak di-PAW.

Tentu saja KPU Garut tidak terima tuduhan yang

menyakitkan itu, karena bagi KPU tidak pernah menunda-

nunda Pergantian Antar Waktu (PAW) jika prosesnya

73

ditempuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Setahu penulis bahwa mekanisme PAW diawali dari

pengusulan partai politik ke DPRD untuk memproses

Pergantian Antar Waktu (PAW), yang surat dan dokumen-

dokumen lainnya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris

partai bersangkutan. Selanjutnya DPRD mengusulkan ke KPU

agar melakukan verifikasi, dan pihak KPU membentuk

Kelompok Kerja PAW, dengan anggota pokjanya selain dari

KPU juga melibatkan unsur pemerintah daerah dan sekretariat

DPRD.

Jika hasil verifikasi sudah terpenuhi maka KPU

mengajukan usulan ke Gubernur Jawa Barat untuk

menerbitkan surat keputusan pemberhentian dan

pengangkatan anggota DPR yang terkena pergantian antar

waktu (PAW).

Kelompok penekan/pressur PAW ke DPRD Garut, diduga

kuat ada muatan-muatan politis tertentu tanpa memahami

prosedur yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan sehingga dengan arogan dan kejinya menuduh KPU

main mata dengan tuduhan menerima aliran dana dari

anggota DPRD yang bermasalah.

KPU Garut baru menyelesaikan satu kali pergantian

antar waktu (PAW) dari Partai Amanat Nasional (PAN), itu pun

prosesnya memakan waktu cukup lama karena permasalahan

di internal partai cukup alot juga sehingga pemberkasan

bolak-balik antara KPU-DPRD dan PAN. (*).

74

Tebang Pilih Penanganan Hukum

Penegakan hukum pasca tumbangnya rezim orde baru

memang semakin kencang terutama yang berhubungan

dengan pejabat dan wakil rakyat. Akan halnya di abupaten

Garut dimulai dengan diseretnya pimpinan DPRD Garut

periode 1999-2004, kemudian mnyusul bupati Garut H. Agus

Supriadi.

Setelah itu berturut-turut mantan Kepala Dinas Pasar

Drs. Djohansyah Kustiaman, mantan Sekda Garut H. Achmad

Muttaqien, dan mantan Sekda Wowo Wibowo, mantan Kabag

Keuangan Kuparman, mantan pejabat di di BPKD Anton

Heryanto, Erlan Rivan, Enjang dan lain-lain.

Dari pihak DPRD, tercatat nama mantan Wakil Ketua

Dikdik Darmika, Barman Sachyana (alm), Ofie Firmansyah, Ali

Rohman. Politisi sekaligus pengusaha H. Ruhiyat Prawira,

Rajab Pirnandi, Endang Suhendar, Agus Ridwan.

Sedangkan mantan Kepala Dinas PU Bina Marga, Ir.

Deni Suherlan dan sejumlah pejabat di bawahnya, kemudian

mantan pejabat di Bagian keuangan Totong, SE.,M.Si dan

Dra. Aneu Hayati, M.Si yang sudah ditetapkan sebagai

tersangka sejak tahun 2004 hingga kini terus menggantung

bahkan Deni Suherlan diangkat menjadi Kepala Dinas

Bangunan dan Pemukiman (sekarang Dispertacip). Totong

dan Aneu Hayati justru saat ini menjadi Kepala DPPKA dan

Kepala Bidang Perimbangan di DPPKA.

75

Kepiawaian orang atau pihak yang menggantung kasus

tersebut memang luar biasa. Bayangkan saja, tersangka dari

kalangan pengusaha yaitu H. Ocad Rosadi yang sempat

berstatus tahanan kota setelah dijatuhi hukuman empat tahun

kini beada di sel tahanan.

Hal yang sama juga dialami mantan bupati Garut

H. Agus Supriadi yang dijatuhi hukuman 10 tahun oleh

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Agus Supriadi

termasuk yang terkait kasus serupa bersama Ocad Rosadi,

Totong dan Aneu Hayati dalam aliran dana pembayaran

pembangunan pasar Cikajang.

Penulis sempat berbincang-bincang dengan salah

seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Garut, kenapa Totong

digantung. Menurut Jaksa tersebut karena Totong adalah

pejabat yang berada pada jabatan panas. Maksudnya yaitu

jabatan yang mengelola keuangan daerah.

Belakangan Kepala Dinas Bina Marga H. Atang

Subarzah, juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh

Polda Jabar, namun lagi-lagi prosesnya menggantung. Kesan

tebang pilih penanganan hukum tidak bisa dipungkiri lagi.

Faktanya, Memo Hermawan, Deni Suherlan, Totong, Aneu

Hayati, Ahmad Bajuri (Ketua DPRD), Atang Subarzah nyaris

tidak terusik lagi.

Hal yang sama, diawal kepemimpinan bupati Aceng HM.

Fikri sempat berurusan dengan Polda Jabar dari dugaan

penerimaan penerimaan dana bantuan sosial untuk kegiatan

istigosah sewaktu bupati Agus Supriadi. Lagi-lagi penanganan

76

kasus tersebut hingga saat ini tidak ada kabar beritanya lagi,

nyaris ditelan bumi dan terkubur rapat-rapat.

Kasus-kasus berskala kecil justru sebaliknya mengalir

deras ditangani pihak penegak hukum, terutama oleh Polres

Garut dan Kejaksaan Negeri Garut. Sebut saja kasus kepala

desa, proyek-proyek di Dinas Perternakan dan kasus-kasus

lainnya yang lebih kecil dibandingkan kasus yang melibatkan

sejumlah pejabat dan wakil rakyat.

Yang tak kalah menariknya adalah kasus yang melilit

Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (APDESI)

Asep Hamdani, Kepala Desa Sukakarya Kecamatan Samarang

Kabupaten Garut kendati sempat mendekam di sel tahanan

Mapolda Jabar terkait kasus bersama mantan Wakil Ketua

DPRD Garut Dikdik Darmika, dan salah seorang aktivis LSM

Tedi justru berubah hanya menjadi saksi dan kini bebas

berkeliaran, malah desanya mendapat bantuan dari

pemerintah propinsi berupa dana peradaban sebesar satu

milyar rupiah.

Konon Asep Hamdani, disebut-sebut memiliki kedekatan

dengan kekuasaan dan mendapat pembelaan dan bantuan

advokasi dari pihak kekuasaan melalui peranan Wawan

Nurdin.

Wawan Nurdin sendiri kepada penulis mengakui telah

membantu Ketua APDESI lolos dari jeratan hukum di Polda

Jawa Barat. Dengan harapan, Ketua APDESI itu bisa

membantu mendulang suara bagi calon anggota DPRD Jawa

Barat dari Partai Demokrat, yaitu Bagus Wiwaha.

77

Keterlibatan Wawan Nurdin dalam membantu

membebaskan Ketua APDESI diakuinya kepada penulis dalam

suatu perbincangan yang kerap dilakukan penulis dengan

Wawan Nurdin. Hanya saja Wawan Nurdin mengaku kecewa

terhadap Ketua APDESI itu karena tidak komit dalam

mendulang suara untuk salah satu calon anggota DPRD Jabar

dari Partai Demokrat, Bagus Wiwaha.

Wawan Nurdin tidak bisa melupakan kekecewaannya,

karena faktanya Asep Hamdani ingkar janji karena gagal

mengantarkan Bagus Wiwaha ke kursi DPRD. Keberuntungan

memang berpihak kepada Ketua APDESI Garut tersebut.

Penulis sempat pula diminta bantuan oleh Wawan

Nurdin dan Ahmad Bajuri agar menaikan suara Bagus Wiwaha

di KPU Garut, yang justru saat itu KPU Jawa Barat sedang

menggelar rapat Pleno Penghitungan suara. Penulis yang

sedang mengikuti Rapat Pleno di KPU Jabar dan menginap di

salah satu Hotel di Jalan Riau didatangi Wawan Nurdin

bersama seorang perempuan cantik, konon katanya salah

seorang mahasiswi di kota Bandung.

Penulis yang menginap bersama Kepala Sub Bagian

Teknis KPU Garut, Parhan, S.IP memutuskan untuk segera

pulang saja ke Garut karena didatangi Wawan Nurdin, dan

besok paginya penulis berangkat lagi ke Bandung untuk

mengikuti Rapat Pleno yang berlangsung sangat alot. (*)

78

Wowo Wibowo Diputus Bebas

Nasib tragis menimpa Drs. H. Wowo Wibowo M.Si yang

dilantik sebagai sekretaris daerah menjelang akhir masa

jabatan Memo yang menjadi pejabat bupati Garut, menyusul

diberhentikannya bupati Garut H. Agus Supriadi.

Terpilihnya Wowo Wibowo sebagai sekda Garut sangat

tidak dikehendaki oleh pejabat bupati Memo Hermawan.

Masalahnya Memo menghendaki Iman Alirahman sebagai

sekda karena kalkulasi politiknya justru akan menguntungkan

Memo selaku Ketua PDIP Cabang Kabupaten Garut.

Kendati Memo sempat tidak mau melantik Wowo

Wibowo, namun surat keputusan Gubernur Jawa Barat atas

dasar hasil uji kelayakan dan kepatutan yang diperkuat oleh

Kementerian Dalam Negeri bahwa Wowo-lah yang lolos

menjadi sekda Garut, akhirnya Memo tidak bias lama-lama

menunda pelantikannya.

Wowo resmi menjabat sekda Garut hanya beberapa

bulan menjelang berakhir masa jabatan Memo. Wowo

mendampingi bupati dan wakil bupati Garut terpilih hasil

pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) 2008, yaitu

Aceng HM Fikri dan Dicky Candra.

Sebelum menyerahkan jabatannya kepada Aceng HM

Fikri ada komitmen tidak tertulis antara Memo dan Aceng HM

Fikri, yaitu agar menjadikan Iman Alirahman sebagai

sekdanya sehingga di awal kepemimpinan bupati Aceng HM

79

Fikri dibuat tidak nyaman didampingi oleh Wowo Wibowo

sebagai sekdanya.

Rekayasa hukum dimainkan dengan cara mendesak

pihak Polda Jabar yang sempat menunda proses

penananganan kasus Wowo Wibowo terkait dugaan

penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) sewaktu Wowo

menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD).

Banyak kalangan yang meragukan keterlibatan Wowo

dalam kasus bansos tersebut, karena Wowo sama sekali tidak

turut menikmatinya kecuali hanya menandatangani pencairan

dana bansos sebelum APBD kabupaten Garut disahkan. Boleh

jadi, ditundanya proses penanganan kasus Wowo oleh Polda

karena hanya kesalahan penandatangan proses pencairan

saja.

Karena Wowo tidak dikehendaki mendampingi bupati

Aceng HM Fikri, dan ingin segera Iman Alirahman naik

sebagai sekda maka Polda pun melanjutkan prosesnya dan

sempat menahan Wowo di tahanan Mapolda Jawa Barat pada

tanggal 4 Mei 2009.

Polda Jabar kemudian melimpahkan berkas perkaranya

ke Kejaksaan Negeri Garut, lalu Wowo dibawa ke sidang

Pengadilan Negeri Garut dengan tuntutan dua tahun enam

bulan penjara. Proses peridangan terbilang cepat dengan

putusan/vonis bahwa Wowo dinyatakan tidak bersalah dari

semua dakwaan dan tuntutan Jaksa oleh Majelis Hakim yang

dipimpin Puji Astuti Handayani.

80

Padahal Wowo didakwa oleh Jaksa ketika menjabat

sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD)

Kab. Garut, melanggar pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang

Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat 1 ke 1 jo. pasal 64

ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Karena Wowo Wibowo dipulihakan kembali nama

baiknya, dan kembali ke pemda Garut namun tidak diberi

jabatan apa pun. Garis tangan Wowo Wibowo yang disebut-

sebut sebagai pejabat bersih memang selalu baik. Setelah

diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Garut, dan tidak punya

jabatan apa pun di pemda Garut justru dipercaya oleh Wali

Kota Bogor menjadi salah satu staf ahlinya di Pemerintah

Kota Bogor. “Memang Wowo luar biasa”.

Kalau saja pengganti Wowo, yaitu Hilman Faridz cukup

waktu menjadi sekda Garut boleh jadi akan diperlakukan

sama seperti Wowo. Beruntung Hilman dibatasi oleh

Peraturan Bupati (Perpub) No. 131 Tahun 2010 Tentang

Pembatasan Usia Pensiun Bagi Pegawai/Pejabat di lingkungan

Pemda Garut.

Selamatlah Hilman dari kemungkinan jeratan hukum,

kendati Hilman tidak tinggal diam untuk tetap

mempertahankan jabatannya. Kenapa tidak, jabatannya yang

baru dijalaninya selama sembilan bulan harus berakhir hanya

karena dibatasi Peraturan Bupati. Kalau hal itu disadari oleh

Hilman Faridz, boleh jadi ia mensyukurinya karena lolos dari

upaya pendongkelan/rekayasa hukum yang menyeretnya ke

meja hijau. (*)

81

Jabatan Sekda Dipolitisir

Jabatan sekretaris daerah jangan menjadi rebutan kepentingan karena jabatan tersebut karir tertinggi bagi pejabat birokrasi di daerah sebagai pengelola manajemen pemerintahan yang membantu tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Jabatan sekda ternyata nyaris menyamai jabatan bupati

dan wakil bupati. Kenapa tidak, setiap pergantiannya menjadi ajang rebutan kepentingan berbagai kelompok elit. Sementara rakyat hanya menonton dari kejauhan dan hampir dipastikan tidak peduli siapa yang menduduki jabatan tersebut. (Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Katholik Parahyangan Prof. DR. Asep Warlan Yusuf).

Rebutan kepentingan untuk sebuah jabatan sekda di

Garut dimulai dari kepemimpinan Bupati Garut periode 1993-1998 Drs. H Toharudin Gani. Pejabat karir di gedung Sate itu saat terpilih jadi bupati Garut harus berdampingan dengan sekda yang berasal dari gedung Sate, yaitu Memet Hamdan yang dikenal cerdas, berani dan memiliki jaringan kuat. Bupati dan sekda waktu itu kurang harmonis sehingga memunculkan beragam spekulasi.

Memet Hamdan terpental dari Garut dan harus

menerima jabatan yang sama di kabupaten Purwakarta. Nama Iing Kosim yang merupakan putera daerah Garut, tiba-tiba muncul sebagai pengganti Memet Hamdan. Toharudin pun nyaman didampingi Iing Kosim hingga akhirnya mereka maju menjadi calon bupati Garut pada pemilihan bupati 1999, kendati dikalahkan oleh Dede Satibi, yang waktu itu masih menjabat Wakil Bupati Kabupaten Bekasi.

82

Bupati Dede Satibi di awal kepemimpinanya didampingi Sekda Iing Kosim, lagi-lagi ketidakharmonisan tidak bisa dipungkiri. Iing Kosim terpaksa hengkang dari Garut dan dipromosikan menjadi Wakil Bupati Subang , sementara Dede Satibi lebih memilih pejabat karir dari lingkungan pemkab Garut , yaitu Rachman Ruhendar (Kepala Bappeda) sebagai pengganti Iing.

Sayangnya, Rachman Ruhendar tidak lama enjadi sekda

karena meninggal dunia. Dede Satibi lumayan kesulitan mencari penggantinya, apalagi kepemimpinan almarhum Rachman Ruhendar terbilang kondusif, karena ia dikenal sosok pejabat yang mumpuni, rendah hati, cerdas dan “parigel”. Kondisi pemerintahan di kabupaten Garut saat itu berjalan baik, gairah dari kalangan birokrasi pun terbangun secara baik pula.

Agaknya Drs. Dede Satibi kesulitan mencari pengganti

almarhum dari lingkungan sendiri, ia kemudian menarik sahabatnya Drs.H. Rachmat Sudjana (waktu itu Kepala Bappeda Kabupaten Sukabumi) menggantikan almarhum Rachman Ruhendar. Duet Dede Satibi-Rachmat Sudjana terbilang sukses, apalagi saat itu dihadapkan kepada kuatnya tekanan DPRD hasil pemilu pertama era reformasi.

Sukses Dede Satibi-Rachmat Sudjana bersama Drs. Yaya

S.Permana sebagai pejabat pengelola anggaran karena menjabat Asda III, tanpa disadari menjebak pimpinan dan para anggota DPRD yang kemudian berakhir dengan munculnya kasus “ APBD gate” jilid I dan jilid II.

Rezim Dede Satibi berakhir, lalu beralih ke H. Agus

Supriadi, yang saat itu tidak mau memperpanjang jabatan Rachmat Sudjana sebagai sekdanya. Agus pun dianggap

83

melanggar komitmen dengan Ketua DPC PPP Dedi Suryadi, yang juga Wakil Ketua DPRD, dimana kemenangan Agus-Memo dalam pemilihan justru ditentukan oleh suara dari Fraksi PPP. Dedi meminta kepada Agus agar memperpanjang masa jabatan sekda Rachmat Sudjana.

Agus lebih memilih Drs. Achmad Muttaqien untuk

mendampinginya. Gebyar pembangunan pun dijalankan oleh bupati H. Agus Supriadi, dan diakui banyak kalangan memang memunculkan gairah terutama di pedesaan. Kendati saat itu Achmad Muttaqien tidak terlampau signifikan menjalankan tugasnya selaku pengelola manajemen pemerintahan.

Jajaran birokrasi di pemkab Garut terpecah-pecah, dan

sekda Achmad Muttaqien tidak mampu berbuat banyak, apalagi saat itu ada kekuatan luar biasa di lingkungan pemkab Garut yang bisa mengatur banyak hal, terutama soal mutasi pejabat dan penentuan anggaran.

Agus Supriadi, nampaknya merasakan ketidaknyaman

bersama sekda Achmad Muttaqien, justru saat ia berada di sel tahanan Mapolres Metro Jakarta Selatan setelah dijebloskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Agus pun memberhentikan Muttaqien sekaligus menunjuk Budiman sebagai pelaksana tugas (Plt) sekda dan mengajukan nama Wowo Wibowo selaku sekda definitif.

Nama Drs. Wowo Wibowo diusung oleh bupati H. Agus

Supriadi melalui usulannya ke Gubernur dan dijalankannya dari sel tahanan. Pejabat bupati Garut Memo Hermawan, sempat menggantung pelantikan Wowo Wibowo kendati surat keputusan Gubernur sudah keluar.

84

Memo akhirnya mengalah, dan Wowo dilantik juga hingga bersambung mendampingi duet bupati Aceng HM Fikri dan wakil bupati Dicky Candra hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) 2008. Wowo tidak bertahan lama, karena yang bersangkutan harus menghadapi persoalan hukum hingga akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Garut “tidak bersalah” bahkan dibebaskan dari segala tuntutan hukum-nya.

Kekosongan jabatan sekda setelah ditinggalkan Wowo,

bupati Aceng HM Fikri menunjuk Iman Alirahman (Inspektur Pengawasan) sebagai pejabat pelaksana tugas (Plt). Iman bersama Hilman Faridz diusulkan bupati ke Gubernur untuk menjadi sekda definitif. Saat itulah tarik menarik kepentingan mulai muncul.

Gedung Sate dan Kantor Kementerian Dalam Negeri

nyaris tiap hari didatangi dua kelompok yang berbeda. Bupati Aceng HM fikri mengaku kewalahan menyaksikan sepak terjang dua kelompok tersebut, bahkan dikabarkan sempat “berseteru” paham dengan gubernur Jabar H. Achmad Heryawan untuk menentukan siapa sebenarnya yang layak jadi sekda Garut.

Yang pasti, kocek dari dua kelompok berbeda itu

terkuras hanya untuk “berperang” di Gedung Sate dan Kementerian Dalam Negeri, kendati belum diketahui secara pasti darimana kocek itu berasal yang mengalir deras sebagai biaya “pertarungan”.

Genderang pertarungan babak kedua mulai

dipertontonkan lagi menyusul pensiunnya H. Hilman Faridz, dan diusulkannya tiga nama oleh bupati Garut H. Aceng HM Fikri, yaitu Inspektur Pengawasan (Iman Alirahman), Kepala

85

Dinas Peternakan dan Perikanan (Ir. Hermanto), Kepala Dinas Perkebunan (Ir. Ny. Indriana Sumarto) ke Gubernur Jawa Barat. Calon sekda baru sudah diuji kelayakan dan kepatutannya (fit and propertest). Hasilnya, menurut sekda Jawa Barat, Lek Lesmana, nama Iman Alirahman paling memenuhi syarat (qualified) berdasarkan pertimbangan akhir Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Propinsi Jawa Barat.

Yang harus mengakhiri “pertarungan itu adalah pihak

Gedung Sate, dalam hal ini Gubernur Jawa Barat, dan pihak Pendopo (bupati Aceng HM Fikri). Ternyata keduanya sudah menyemburkan air sebagai pemadamnya.

Pihak Gedung Sate melalui putusan akhir BKD sudah

menetapkan nama Iman Alirahman sebagai calon sekda yang paling memenuhi syarat, lalu bupati pun siap menerima putusan tersebut dan berharap sekda yang akan mendampinginya mampu menjadi operator yang bisa melayani semua kepentingan jaringan (terkoneksi secara baik).

Bupati Aceng HM Fikri pun menganggap “pertarungan”

itu sesuatu yang wajar sebagai ciri khas dinamika kabupaten Garut, yang memang berbeda dengan daerah lain. Yang paling penting dari semua itu tetap dalam kerangka “deudeuh” ka Garut bukan “geuleuh” ka lemah cai na. ( *).

86

Jurus Perbup Jerat Hilman

Apa pun persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan tidak pernah luput dari politisasi. Jabatan sekda saja yang secara normatif adalah jabatan karir bagi pegawai negeri sipil (PNS) ternyata sarat intrik dan politisasi.

Politisasi jabatan sekda lebih mengemuka dan cenderung

menghabiskan energi dan ongkos politik yang tidak sedikit

ketika persaingan terjadi antara Hilman Faridz dan Iman

Alirahman. Hilman Faridz yang mendapat dukungan dari Tim

Sukses Bupati Garut Aceng HM Fikri, yang di dalamnya

terdapat sejumlah tokoh aktivis cerdik dan piawai mampu

menggaet kekuatan salah satu partai politik yang memiliki

kedekatan dengan kekuasaan di Gedung Sate.

Hilman harus berhadapan dengan kekuatan kelompok

Iman Alirahman yang mendapat dukungan luas dari jajaran

birokrasi. Bupati Garut Aceng HM Fikri sendiri lebih condong

berada di balik kelompok Iman Alirahman sehingga harus

berhadap-hadapan dengan tim-nya sendiri.

Berbagai intrik dimainkan, antara lain menggelindingnya

isu Ahmadiyah yang dialamatkan kepada Iman Alirahman.

Nampaknya isu tersebut cukup ampuh untuk menyingkirkan

Iman Alirahman dari kejaran jabatan sekda. Hilman Faridz

pun mendapat keuntungan dari isu tersebut, dan Gubernur

bersama Kementerian Dalam Negeri memutuskan Hilman

Faridz yang layak menjadi sekda Garut.

87

Bupati Garut Aceng HM Fikri tidak berdaya menghadapi

masalah tersebut, ia pun tidak cukp alas an untuk tidak

melantik Hilman faridz sebagai sekda. Dengan pengamanan

super ketat dari pasukan Brimob Polda Jabar mengawal acara

pelantikan Hilman Faridz di gedung pendopo.

“Biarkan anjing menggonggong kapilah tetap berlalu”.

Peribahasa tersebut menggambarkan “perang bintang”

memperebutkan jabatan sekda Garut. Artinya, biarlah Hilman

Faridz melenggang ke jabatan puncak dalam karir PNS-nya

itu, toh tidak akan lama karena kelompok Iman Alirahman

sudah menyiapkan perangkapnya yaitu Peraturan Bupati No.

131 Tahun 2010.

Peraturan bupati yang membatasi usia pensiun pejabat

pemda Garut itu, memang produk politik karena mendapat

dukungan dan persetujuan DPRD Garut. Ketika Hilman Faridz

baru menjabat sekda selama Sembilan bulan dan pada 1

Januari 2011 harus pensiun, ternyata masih memiliki

kekuatan politik. Ia dan kelompoknya berusaha

mempertahankan jabatannya dan berjuang agar Perbup No

131 dibatalkan demi hukum.

Upaya Hilman menjadi sia-sia wala pun kelompoknya

terus menggelindingkan isu Ahmadiyah yang diarahkan

kepada Iman Alirahman. Gelombang aksi dari dua kubu terus

dimainkan, akhirnya bupati Aceng HM Fikri mengambil alih

bola liar itu dengan mengumpulkan para ulama dan kiayi di

gedung pendopo guna mendaulat Iman Alirahman

mengikrarkan dua kalimah sahadat sebagai bukti benar-

88

benar seorang muslim yang mengakui dan bersaksi tiada lagi

Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan-

Nya.

Ternyata tidak selesai di pengikraran dua kalimah

sahadat, karena kelompok pendukung Iman Alirahman

dimotori mantan Ketua NU Garut KH. Sirojul Munir (Ceng

Munir) mendatangi gedung DPRD Provinsi dan Gedung Sate

mendesak agar Gubernur segera menetapkan Iman Alirahman

sebagai sekda Garut menggantikan Hilman Faridz.

Sukses mempolitisi jabatan sekda adalah dengan

dilantiknya Iman Alirahman pada tanggal 17 Pebruari 2011

namun tanpa pengamanan super ketat seperti saat melantik

Hilman faridz. Kini Iman Alirahman berhasil menguasai

pemerintahan yang diperjuangkannya sejak tahun 2004 ketika

naiknya Agus Supriadi dan Memo Hermawan sebagai bupati

dan wakil bupati Garut. (*)

Iman Putera Mahkota Bupati Momon

Bersinarnya nama Iman Alirahman di lingkungan

pemerintahan kabupaten Garut sudah terlihat ketika

kepemimpinan bupati Garut H. Momon Gadasasmita.

Iman, disebut-sebut sebagai putera mahkota Momon

Gandasasmita. Kenapa tidak, mulai dari jabatan Kasubbag

Humas terus melejit menjadi Camat Bayongbong, Cikajang

dan Garut Kota.

89

Bupati Momon Gandasasmita, sebagai sosok birokrat

tulen yang santun, intelektual, nyantri dan penuh kewibawaan

melihat ada potensi besar di diri Iman Alirahman yang kelak

akan menjadi birokrat cerdas dan handal.

Iman Alirahman yang lahir dari keluarga kaya di kota

Tasikmalaya, menurut teman sekolahnya sewaktu di SMA

(Syamsul Ma’arief/ wartawan senior di Tasikmalaya), memang

seorang pemberani, bahkan di sekolahnya kerap berkelahi

namun Iman juga termasuk murid yang cerdas dan

bertanggung jawab.

Potensi Iman Alirahaman dimulai ketika pertama kali

bertugas di pemda Garut ditempatkan di Bagian Hukum,

kemudian di Bagian Pembangunan (sekarang Bagian

Pengendalian Pembangunan), Bagian Humas lalu menjadi

Camat Bayongbong.

Penulis sempat dimintai masukan oleh Hj. Itjeu Fatimah

Momon Gandasasmita (isteri bupati) karena adanya keluhan

dari bupati Momon menyangkut kinerja Kepala Bagian Humas

(waktu itu Yaya Rochyana), yang sangat lemah sehingga

menyulitkan bupati dalam mempublikasikan program-program

serta kegiatan kesehariannya.

Penulis diminta menunjuk pejabat yang layak menjadi

Kabag Humas agar bupati merasa nyaman. Penulis

mengajukan dua nama, yaitu Suhara Kusliaman (saat itu

Camat Singajaya) dan Iman Alirahman (Camat Bayongbong).

90

Ny. Itjeu langsung menjawab, “ pak Iman tidak mungkin

dikembalikan ke Humas. Pa Iman akan dipromosikan oleh

bapak (maksudnya bupati Momon) dengan jabatan yang lebih

bagus lagi. Ibu setuju pak Suhara saja,” demikian

diungkapkan Ny. Itjeu.

Memang benar juga karena Iman Alirahman terus melejit

hingga menjadi Camat Kota dan Kepala Dinas Kebersihan.

Naluri mantan bupati Garut alm H. Momon Gandasasmita

ternyata benar adanya, karena pada 17 Pebruari 2011 Iman

Alirahman setelah melalui proses panjang dan melelahkan

dilantik juga sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Garut oleh

Bupati H. Aceng HM Fikri ( *)

Terparkirnya Pejabat Birokrasi

Politisasi jabatan di tubuh birokrasi pemda Garut tidak

terelakan, siapa yang berhadapan dengan kekuasaan dan

dianggap tidak loyal bahkan kerap melakuan perlawanan

maka jangan harap memperoleh posisi jabatan yang

dikehendakinya.

Sejumlah nama pejabat yang memiliki kemampuan baik

di lingkungan pemda, sebut saja Yaya S. Permana, Andi

Rahmat, Abdurahman, Sujana Syafei, Didit Gorda Nurawan,

Burdan Ali Junjunan harus rela ditempatkan di posisi pejabat

fungsional dengan menjadi staf ahli bupati, staf ahli Bappeda

atau posisi pejabat struktural eselon III.

91

Pejabat muda yang memiliki loyalitas tinggi terhadap

“penguasa”, seperti Dadi Jakaria, Didit Fajar Putradi, Jat-jat

Munajat, Mlenik Maumeriadi, Dadang Purwana justru melejit

menduduki posisi jabatan struktural di eselon III dan eselon

II.

Di kalangan birokrasi pemda Garut memang ada “geng

jabatan” yang salah satu tokoh gengnya adalah Wawan

Nurdin. Siapa yang bisa mendekati Wawan Nurdin, maka

jabatan yang dikehendaki bisa didapatkannya.

Contoh kongkritnya adalah Dadi Jakaria yang sekarang

menjabat Kepala BPMPD, Totong menjabat Kepala DPPKA,

dan beberapa orang yang menduduki jabatan camat. Mereka

adalah loyalis “geng” di birokrasi, sehingga dengan

kedekatannya sekaligus menyisihkan koceknya maka

melangganglah mereka ke posisi jabatan yang diincarnya.

Sedangkan yang tidak loyal harus rela diparkir di jabatan

fungsional.

Sementara nasib tragis menimpa Anton Heryanto, yang

disebut-sebut sangat berjasa dalam pembangunan di

kabupaten Garut sewaktu bupati Garut Agus Supriadi, justru

tidak diberi jabatan apa pun. Bahkan tersiar kabar, Surat

Keputusan Bupati tentang pemecatannya dari pegawai negeri

sipil (PNS) tinggal ditandatangani namun bupati Aceng HM

Fiki masih mempertimbangkannya.

Salah satu yang menjadi pertimbangan bupati Aceng HM

Fikri adalah bahwa antara dirinya dengan Anton Heryanto

memiliki hubungan personal dan emosional yang sangat

92

dekat. Aceng banyak menerima aliran dana dari Anton

Heryanto untuk kegiatannya sewaktu aktif di LSM dan

lembaga kemasyarakatan lainnya. (*)

Mafia Jabatan

Bagi jajaran birokrasi di lingkungan pemda Garut

menduduki jabatan yang diincarnya merupakan target

pengabdiannya sebagai pegawai pemerintah selaku abdi

rakyat.

Untuk menduduki jabatan tertentu mulai dari eselon IV

hingga eselon II tidak seluruhnya sesuai dengan peraturan

jabatan dan kepangkatan. Kenapa tidak, banyak birokrat yang

tiba-tiba dipromosikan dengan melanggar aturan

kepegawaian.

Dalam hal ini banyak menelan korban dan menimbulkan

sikap putus asa (prustasi) dari sejumlah pejabat di lingkungan

pemda Garut. Ternyata agar bias menempati jabatan tertentu

sesuai yang diinginkannya harus mengeluarkan uang yang

tidak sedikit melalui sindikat atau mafia jabatan yang sudah

bukan rahasia lagi bergentayangan di lingkungan pemkab

Garut.

Penulis yang memiliki kedekatan dengan sejumlah

pejabat di lingkungan pemkab Garut mengakui harus

mengeluarkan uang sedikitnya lima puluh juta rupiah agar

bisa menempati posisi sebagai camat. Bahkan di lingkungan

93

Dinas Pendidikan dengan mengincar jabatan Kepala Unit

Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pendidikan Dasar Dinas

Pendidikan Tingkat Kecamatan harus mengeluarkan “uang

jago” sedikitnya tiga puluh juta rupiah.

Agar mereka dapat masuk ke jaringan sindikasi jabatan

memerlukan waktu lumayan lama, karena harus melewati

orang atau kelompok tertentu agar bisa nyambung dengan

orang yang sangat berpengaruh dalam sindikat mafia jabatan

tersebut.

Celakanya, tidak sedikit pula yang gagal menempati

jabatan yang diinginkannya ketika persaingan semakin ketat

di tubuh sindikat mafia jabatan. Kegagalan mereka

diakibatkan ngantrinya yang mengincar jabatan sekaligus

melakukan praktek “lelang jabatan”. Siapa berani lebih besar

penawarannya maka yang di bawahnya akan kalah. Dan

gagal-lah mereka. (*).

Dua Sosok Politisi Cerdik

“Kehangatan” politik Garut tidak bisa dilepaskan dari

peran dua sosok politisi cerdik, yaitu Memo Hermawan dan

Dedi Suryadi. Keduanya bisa bersama-sama dalam sebuah

kepentingan yang sama. Misalnya, ketika menjelang

kejatuhan bupati Agus Supriadi keduanya bersatu padu yang

kemudian berlanjut dengan solidnya kedua fraksi di DPRD,

dalam hal ini Fraksi PPP dan PDIP.

94

Mereka pun memiliki kekuatan jaringan yang sama pula

dengan mediasinya Iman Alirahman dan kawan-kawan. Nyaris

tidak ada lawan politik tangguh bagi Dedi dan Memo, hal itu

dibuktikan dengan lolosnya mereka dari jeratan hukum

sementara politisi yang lain justru tumbang oleh percaturan

politik melalui badai penegakan hukum.

Memo sudah sangat teruji dalam kecerdikan

berpolitiknya. Penulis termasuk yang mengantarkan Memo ke

jenjang politik yang dimulai tahun 2001 ketika DPC PDIP

menggelar Konferansi Cabang di hotel Cempaka.

Saat itu Memo dipastikan terpental karena di arena

Konfercab beredar copy Surat Keputusan Dewan Pimpinan

Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) dimana nama

Memo Hermawan tercantum sebagai Ketua Departemen

Budaya dan Pariwisata Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PAN

Garut di bawah kepemimpinan Ketua DPD PAN Drs. H. Sofwi

Irvan.

Memo meminta bantuan penulis yang kebetulan salah

satu deklarator PAN Garut agar mengklarifikasi surat

keputusan tersebut. Padahal Ketua PAN sudah beralih ke

H. Ganiyasa, namun penulis mencoba membantu kepentingan

Memo dengan waktu hanya beberapa jam menjelang

pemilihan Ketua DPC PDIP Garut.

Setelah melakukan pembicaraan dengan H. Sofwi Irvan,

penulis dating ke kantor DPD PAN di Jalan Merdeka (Kerkov)

menemui Sekretaris DPD PAN Drs. H. Maman Sukirman

95

meminta kop surat DPD PAN semasa kepengurusan H. Sofwi

Irvan.

Kop surat tersebut sangat penting untuk dibuatkan

pernyataan tertulis dari H. Sofwi Irvan, yang menyatakan

bahwa Memo bukan pengurus DPD PAN bahkan sekali-kali

bukan kader partai matahari. Kalau pun dia tercantum dalam

SK DPP PAN yang ditandatangani Ketua Umumnya Prof Amien

Rais dan Sekjennya Faisal Basri hanya dicatut namanya.

Penulis sedikit mengalami kesulitan soal sekretaris DPD

PAN periode kepemimpinan H. Sofwi, yaitu Jajang Murod

karena terlanjur menjadi tim sukses Dadan Slamet dalam

Konfercab DPC PDIP, sehingga tidak mungkin mau

menandatangani pernyataan untuk kepentingan Memo karena

akan menjadi pesaing berat bagi Dadan Slamet.

Penulis atas petunjuk H. Sofwi akhirnya memutuskan

Wakil Sekretaris DPD PAN, Drs. Nana Suryana yang

menandatangani di atas materai Rp. 6.000,-. Setelah penulis

selesai membuat pernyataan tersebut kemudian menemui H.

Sofwi Irvan dan Nana Suryana untuk menandatangani

pernyataan tersebut. Tidak hanya berhenti di situ penulis

datang lagi ke kantor DPD PAN menemui Maman Sukirman

meminta stempel DPD PAN tahun 1999, karena stempelnya

sudah berubah. Kongkritnya, pernyataan tersebut kendati

dibuat tahun 2001 namun ditarik mundur menjadi bulan

Oktober 1999 hanya berselang beberapa hari setelah

keluarnya SK DPP PAN yang mencantumkan nama Memo

sebagai salah satu pengurus DPD PAN Garut.

96

Beruntung sistem kearsipan di DPD PAN terbilang rapi,

sehingga stempel lama masih tersimpan sehingga

memudahkan untuk kepentingan Memo Hermawan. Akhirnya

sekitar jam 19.00 WIB pernyataan tersebut selesai kemudian

penulis menyerahkannya ke Memo Hermawan di Hotel

Augusta.

Malam itu, copy surat pernyataan yang ditandatangani

H. Sofwi Irvan dan Nana Suryana beradar di arena Konfercab

PDIP. Hasilnya, subuh menjelang pagi pemilihan Ketua DPC

PDIP berakhir mulus dengan kemenangan bagi Memo

Hermawan.

Mulai saat itulah Memo Hermawan dengan cerdiknya

memainkan bidak-bidak percaturan politik di Garut. Memo,

memang salah seorang penggemar olah raga catur, sehingga

dalam memainkan politik di kabupaten Garut persis seperti

permainan catur. Ada kalanya menyerang, bertahan atau

membunuh.

Kecerdikan serupa dilakoni pula oleh Dedi Suryadi,

seorang pengusaha muda di sektor hasil bumi sayur mayor di

wilayah kecamatan Cisurupan, yang kemudian berkiprah di

Koperasi Unit Desa (KUD) penghasil susu dan sempat menjadi

kader Golkar. Namun tahun 1992 Dedi tiba-tiba muncul di

kubu Partai Persatuan Pembangunan yang memang saat itu

PPP berhasil membuat gerah penguasa orde baru.

Dedi tidak terbendung lagi sebagai sosok politisi muda,

dan mengantarkannya ke puncak yaitu sebagai Ketua DPC

97

PPP Garut, dan pasca tumbangnya rezim orde baru bertemu

dengan sosok Memo Hermawan yang sama-sama cerdik pula.

Awal kebersamaannya dimulai ketika Dedi Suryadi kalah

di pemilihan bupati Garut Tahun 1998 pada putaran pertama.

Di putaran kedua Dedi menyerahkan sisa suara Fraksi PPP

yang sudah terambil oleh pasangan Dede Satibi-Wawan

Syafei untuk menambah perolehan suara pasangan Agus

Supriadi-Memo Hermawan.

Memo dan Dedi membuat komitmen politik, yaitu jika

Agus-Memo terpilih menjadi bupati dan Wakil Bupati, maka

Dedi Suryadi harus menjadi Ketua DPRD dan

mempertahankan Sekda Garut Rachmat Sudjana sampai

perpanjangan kedua usia pensiunnya. Maka Agus-Memo

berhasil mengalahkan Dede Satibi-Wawan Syafei di putaran

kedua pemilihan bupati Garut Nopember 1998.

Komitmen yang dibangun Memo dan Dedi, ternyata

dikhianati oleh bupati Agus Supriadi yang tidak

mempertahankan Rahmat Sudjana sebagai Sekda malah

menggantinya oleh Achmad Muttaqien.

Begitu juga saat pemilihan Ketua DPRD Garut, Agus

Supriadi justru mendukung Kohar Somantri dari Partai Golkar.

Kekecewaan Dedi dan Memo semakin mengental kepada

bupati Agus Supriadi. Akhirnya kedua politisi cerdik itu

kompak mengeoyok bupati Agus Supriadi hingga jatuh di

tengah jalan tersandung kasus hukum oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK).

98

Dedi dan Memo berhasil pula mencetak politisi di

lingkungan birokrasi bahkan saat ini menguasai

pemerintahan. Mereka kompak mendukung tampilnya Aceng

HM Fikri dalam pemilihan bupati Garut melalui peranan Iman

Alirahman dan Wawan Nurdin. Bedanya, Memo sejak awal

sudah menyatakan dukungannya sementara Dedi masuk

setelah calon dari PPP, yaitu Aceng Wahdan Bakri kalah di

putaran pertama.

Kendati kedua politisi cerdik itu secara struktural tidak

punya kekuatan apa pun di partai politik, karena Memo dan

Dedi sama-sama terpental dari jabatan sebagai Ketua Partai-

nya masing-masing. Bukan Dedi dan Memo kalau lepas begitu

saja dari percaturan politik di Garut. Mereka tetap eksist

dengan jaringan dan kekuatannya baik yang ada di birokrasi,

DPRD mau pun kelompok lainnya.

Dua-duanya dikabarkan tengah bersiap-siap mengambil

alih kekuasaan melalui pemilihan umum kepala daerah

(pemilukada) tahun 2013 nanti. Dedi Suryadi saat ini tengah

mengembangkan sayap bisnisnya diberbagai bidang usaha

guna mengumpulkan logistik bagi kepentingan perebutan

kekuasaan pada pemilukada.

Memo sendiri dengan kapasitasnya sebagai anggota DPRD

Jawa Barat, apalagi masuk dalam panitia anggaran (Panggar),

tentu saja berikhtiar semaksimal mungkin bagaimana caranya

mengumpulkan logistik sebesar-besarnya guna menghadapi

pertarungan di 2013 sehingga kekuasaan di kabupaten Garut

berada di genggamannya lagi.

99

Meredupnya suhu politik di Garut di bawah kepemimpinan

bupati Aceng HM Fikri, lebih dikarenakan adanya “komitmen”

politik antara Dedi-Memo-Aceng HM Fikri. Bagi bupati Aceng

HM Fikri sendiri sangat mengakui kehebatan kedua seniornya

itu, ia pun tidak mungkin berkhianat apalagi disebut durhaka.

Jika Dedi-Memo tetap menjalankan aktivitas politiknya

seperti sekarang, maka kepemimpinan Aceng HM Fikri akan

berjalan aman sekaligus nyaman hingga berakhirnya jabatan

bupati tahun 2014. Kenyamanan Aceng HM Fikri sangat

ditentukan oleh Iman Alirahman yang saat ini sebagai

pendampingnya.

Politik memang sangat sulit ditebak, bisa saja perjalanan

Aceng HM Fikri terseok-seok atau bahkan tumbang di tengah

jalan kalau dalam mengendalikan pemerintahan tidak sejalan

dengan sekdanya Iman Alirahman. Namun banyak yang

memprediksi bahwa antara bupati Aceng HM Fikri dengan

sekda Iman Alirahman tidak akan memunculkan gesekan

yang membahayakan kedudukannya secara politis.

Jika kondisi seperti itu tetap terpelihara, maka dengan

sendirinya “dukun” politik, yakni Memo-Dedi tidak akan

turun gunung. Mereka tetap mempercayakannya kepada

Iman Alirahman, namun jika Iman sudah tidak nyaman

mendampingi Aceng HM Fikri, maka dapat dipastikan dua

politisi ulung itu dengan seketika bisa merubah keadaan. (*)

100

Memo - Dedi tak Ambil Peluang

Manusia diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan

kekurangannya. Dua sosok politisi cerdik Dedi Suryadi dan

Memo Hermawan dengan segala kelebihannya mampu

membolak-balik situasi politik di Garut, namun keduanya

lemah dalam mengambil peluang merebut kekuasaan.

Peluang di depan mata sebenarnya terjadi pada pemilihan

bupati Garut 2008. Kenapa tidak, jika mereka bersatu (koalisi)

menjadi pasangan bupati dan wakil bupati secara hitung-

hitungan (kalkulasi) politik dipastikan akan memenangkan

pertarungan maut itu.

Saat itu Memo dengan kecerdikannya sudah membuka

diri untuk berpasangan dengan Dedi Suryadi, bahkan Memo

rela di posisi calon wakil bupati jika Dedi Suryadi

berkeiinginan di posisi calon bupatinya.

Penulis dimintai bantuan oleh Memo memediasi agar Dedi

Suryadi mau maju bersamanya di pemilihan bupati itu. Dedi

Suryadi sendiri dengan perahu Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) terlanjur mengusung KH. Wahdan Bakri

dan sangat tidak mungkin menarik dukungannya apalagi tiba-

tiba merubah keputusannya dengan memaksakan maju

bersama Memo Hermawan.

Penyesalan memang dirasakan oleh Memo Hermawan,

karena peluang emas melayang begitu saja sehingga harus

menunggunya lima tahun. Waktu bergulir begitu cepat,

101

keduanya sudah berancang-ancang merebut kekuasaan pada

pertarungan pemilukada 2013.

Dedi Suryadi dikabarkan tengah menyiapkan logistik yang

cukup besar dengan terus mengembangkan usahanya di

bidang penanaman kayu, bisnis perbankan melalui Baitul Mal

Wa Tamwil (BMT), sayur-mayur serta sejumlah jaringan

bisnisnya untuk mendulang dana segar bagi kepentingan

pertarungan merebut kekuasaan di 2013.

Jika Dedi Suryadi dan Memo Hermawan maju di

pemilukada 2013, maka dipastikan suasana politik di Garut

akan semakin dinamis, seru dan layak dijadikan sebagai ajang

pembelajaran dan pendidikan politik.

Kesemarakan politik akan bertambah seru jika kemudian

Rudi Gunawan, Aceng HM Fikri, dan tokoh-tokoh lainnya

keluar dari persembunyian untuk merebut kekuasaan di

pemilukada 2013.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut sendiri sudah

menyusun dan mengajukan anggaran penyelenggaraan

pemilukada sebesar lima puluh tiga milyar rupiah lebih. Pihak

pemda dan DPRD Garut pada perhitungan APBD tahun

anggaran 2011 sudah menyimpan dana cadangan sebesar

dua milyar rupiah padahal tahun anggaran menjelang

pemilukada hanya tersisa dua tahun anggaran lagi.

Bagi KPU tidak akan ambil pusing, jika pada waktunya

penyelenggaraan apalagi awal 2013 tahapan pemilukada

102

sudah mulai dilakukannya, seperti pembentuka Panitia

Pemilihan Kecamatan (PPK) dan infrastruktur lainnya.

Seperti diungkapkan Ketua KPU Garut Aja Rowikarim,

M.Ag kalau pada saatnya memasuki tahapan pemilukada

pihak pemda dan DPRD menyediakan anggarannya, maka

KPU tidak ada alasan menunda-nundanya. Tetapi jika pada

saatnya anggaran tidak tersedia, maka tidak ada alasan pula

memaksakan diselenggarakannya pemilukada. (*).

Memo vs Hasanudin

Ketangguhan Memo Hermawan dalam kancah

perpolitikan memang sangat luar biasa, ia mampu melakukan

apa saja untuk mempertahankan kekuasaannya. Hanya saja

dalam mengendalikan partainya PDIP, ternyata Memo

berhadapan dengan lawan tangguh, yaitu Hasanudin.

Aktivis Relawan Pro-Demokrasi (Repdem), salah satu

organisasi sayap PDIP berhasil memukul knock out (KO)

sehingga Memo Hermawan terpental dari kedudukannya

sebagai Ketua DPC PDIP Garut.

Memo yang terpilih kembali menjadi Ketua PDIP periode

2010-2015 harus rela menyerahkannya kepada Yogi

Yudawibawa yang dimotori Hasanudin. Melalui jaringannya di

DPP PDIP hampir saja Memo kehilangan segalanya dan karir

politiknya dipastikan berakhir hanya karena kepiawaian

103

Hasanudin memainkan bidak caturnya untuk

“mengandangkan” Memo dari kancah politik.

Memo dihadapkan pada pilihan yang sama sekali tidak

dikehendakinya, yakni memilih menjadi Ketua DPC PDIP Garut

dengan resiko harus mundur dari anggota DPRD Jawa Barat,

dan jika ingin tetap menjadi anggota DPRD harus mundur dari

jabatan Ketua DPC PDIP terpilih.

Bukan Memo kalau tidak melakukan perlawanan politik.

Ia rela melepaskan jabatan Ketua DPC PDIP namun meminta

kepada DPP PDIP untuk tidak memberikan kesempatan

kepada Hasanudin menduduki jabatan strategis di DPC PDIP

Garut.

Hasanudin pun sadar sesadar-sadarnya jika terus

menerus berhadap-hadapan dengan Memo lelah dan

energinya akan habis juga. Ia akhirnya ikut bertarung dalam

kongres Dewan Pimpinan Nasional Repdem dan berhasil

merebut jabatan sebagai bendahara umum-nya.

Kini PDIP Garut terancam pecah dan memporak-

porandakan infrastruktur yang sudah dibangun oleh Memo

Hermawan. Kepemimpinan Yogi Yudawibawa yang kalem dan

tidak ambisius serta cenderung tidak menghambur-

hamburkan logistiknya akan semakin mengentalkan

pendukung panatiknya dengan pendukung panatik Memo

Hermawan.

Persetruan pun sudah dimulai dengan terjadinya konflik

fisik di kantor secretariat DPC PDIP Jalan Cimanuk-Pedes

104

hingga memakan korban yang berujung dibawa ke ranah

hukum melalui Polres Garut.

Jamannya Memo, ketika kader PDIP terlibat masalah

hukum selalu dapat diselesaikan “secara adat” dengan pihak

kepolisian. Sedangkan sekarang era kepemimpinan Yogi

Yudawibawa justru tidak mau melibatkan diri dalam

penanganan hukum apalagi harus diselesaikan “secara adat”.

(*).

Manggungnya Independen

Kejatuhan bupati Agus Supriadi memunculkan sebuah

spekulasi bahwa partai sudah tidak dipercaya lagi oleh

masyarakat dalam menampilkan calon pemimpinnya di Garut.

Ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut menggelar

pemilihan kepala daerah, maka seketika itu pula bermunculan

calon-calon dari unsur perseorangan (independen).

Kemenangan pasangan calon perseorangan Aceng HM

Fikri Diky Candra, disebut-sebut sebagai kelalahan partai

politik yang sudah mulai luntur kepercayaannya. Padahal

sebenarnya tidak demikian, justru kemenangan Aceng HM

Fikri tidak lepas pula dari kiprah politisi dengan mesin

partainya.

Kekalahan calon dari partai politik lebih disebabkan oleh

kesalahan para petinggi partainya, terutama di kubu partai

Golkar yang sebenarnya punya peluang besar dengan

105

meloloskan nama Rudi Gunawan melalui konvensi partai

tersebut.

Kalau saja para petinggi partai Golkar sedikit mengerti

dan atau paham dengan kecerdikan politikus ulung Memo

Hermawan, maka hasilnya akan terbalik 360 derajat. Kenapa

tidak, pasangan Rudi Gunawan dengan orang yang

dikehendaki Memo, maka koalisi partai Golkar dengan PDIP

dipastikan akan memenangkan perebutan dalam pemilihan

bupati Garut.

Penulis sempat diminta bantuan oleh Memo Hermawan

untuk melobi Rudi Gunawan dan petinggi partai Golkar,

dengan harapan partai Golkar berubah pikiran tidak

memaketkan Rudi Gunawan dengan Oim Abdurohim.

Penulis langsung menghubungi Rudi Gunawan dengan

maksud mau mempertemukanya dengan Memo Hermawan.

Rudi menolak ajakan itu dengan alasan tidak mau

berseberangan dengan keinginan para petinggi partai Golkar.

Penulis kemudian menemui salah satu fungsionaris partai

Golkar H. Endang Suhendar, yang tiada lain adalah kakak

kandung Ketua DPD Partai Golkar H. Ruhiyat Prawira

menyampaikan pesan Memo Hermawan sebelum terlanjur

didaftarkan sebagai paket pasangan ke Komisi Pemilihan

Umum. Menurut H. Endang, pemasangan Rudi dengan Oim

sudah merupakan keputusan final yang dikehendaki partai

Golkar.

106

Bukan Memo kalau tidak piawai dan cerdik memainkan

kartu-kartu politiknya. Secara formal karena ia sebagai Ketua

DPC PDIP dimana-mana menyatakan dukungannya terhadap

pasangan Rudi-Oim. Padahal, Memo sebenarnya diam-diam

menggalang kekuatan di tubuh PDIP dan jajaran birokrasi

untuk mendukung pasangan Aceng HM Fikri-Dicky Candra.

Di lain kesempatan, Memo juga menyatakan

dukungannya kepada pasangan KH Abdul Halim-Nandang.

Iman Alirahman dan Wawan Nurdin sengaja ditempatkan oleh

Memo di kubu tersebut. Padahal diam-diam Memo lari ke lain

hati. Yang pasti, dukungan mutlaknya diberikan kepada

pasangan Aceng HM Fikri-Dicky Candra, termasuk keluarga

besar Memo Hermawan berada di jajaran tim sukses

pasangan tersebut.

Menjelang putaran pertama digelar, posisi Memo masih

berada di kubu pasangan calon KH Abdul Halim-Nandang.

Namun tiba-tiba Memo berubah pikiran, dan lagi-lagi meminta

kepada penulis untuk dipertemukan dengan Aceng HM Fikri.

Tengah malam bertempat di salah satu kamar Hotel

Agusta, Memo Hermawan bertemu dengan Aceng HM Fikri

yang difasilitasi penulis. Pertemuan yang berlangsung hangat

disaksikan oleh penulis dan Ketua Fraksi PDIP DPRD Garut Iip

Sukasah.

Dalam pertemuan tersebut, Memo menyatakan dukungan

penuh kepada Aceng HM Fikri bahkan malam itu Memo

menyerahkan sejumlah uang terbungkus kantong plalstik

yang tidak tahu berapa jumlahnya. Yang pasti, Memo

107

menyerahkan uang sepuluh juta rupiah kepada penulis

sebagai biaya pemasangan iklan bagi pasangan Aceng Fikri-

Diky Candra di surat kabar yang dikelola penulis.

“Ceng, pokoknya Aceng harus menang dalam pemilihan

bupati dan akang akan membantu semaksimal mungkin. Ini

akang ada rejeki tolong terima, dan mulai besok diawali oleh

pa Iman Alirahman akan datang ke Aceng, kemudian disusul

pejabat pemda lainnya. Berapa pun mereka bantu Aceng

secara materi terima saja,” demikian disampaikan Memo

dalam pertemuan tersebut.

Perebutan suara di putaran pertama, pasangan Aceng

Fikri-Diky Candra nyaris terpental oleh pasangan koalisi PPP-

PKS (Aceng Wahdan Bakri-Helmy Budiman), kalau saja waktu

itu tidak segera diluruskan kesalahan perhitungan di Panitia

Pemilihan Kecamatan (PPK) Cibiuk maka dipastikan yang

maju ke putaran kedua adalah pasangan Rudi-Oim melawan

pasangan Aceng Wahdan-Helmi.

Di putaran kedua, pasangan Rudi-Oim berhadapan dengan

pasangan Aceng-Diky yang ternyata pasangan Aceng-Diky

mendapat dukungan kuat dari PPP melalui Dedi Suryadi.

Sehari menjelang pelaksanaan pemungutan suara, lagi-lagi

penulis memfasilitasi pertemuan antara Aceng Fikri dengan

Dedi Suryadi di rumahnya Ketua DPRD itu di Jalan Cipanas

Tarogong Garut.

Dalam pertemuan tersebut, Dedi Suryadi selain

menyatakan dukungannya bersama kader PPP, juga Aceng

mendapat bantuan materi/keuangan yang jumlahnya entah

108

berapa. Yang pasti, Dedi Suryadi karena tidak memiliki uang

tunai maka Hasanudin, salah seorang aktivis yang dikenal

dekat dengan Dedi Suryadi mencarikan dana pinjaman

kepada salah satu pengusaha rekanan di Garut.

Penulis yang kadung mendukung Aceng HM Fikri

memberikan halaman surat kabar yang dikelolanya untuk

menampilkan pasangan Aceng Fikri-Diky, baik melalui berita

atau tulisan maupun iklan kampanye. Bahkan Radio yang

dikelola penulis di Bungbulang digratiskan menyiarkan iklan

pasangan Aceng Fikri-Diky Candra.

Dalam sebuah kegiatan kampanye terbuka di pusat

Kecamatan Bungbulang, pasangan Aceng-Diky sempat

melakukan kampanye dengan siaran langsung melalui radio.

Tim sukses pasangan Aceng pun turut menyaksikannya,

anatara lain Toni Munawar, Gandi Sugandi dan beberapa

artis yang dibawa Diky Candra.

Pemungutan suara putaran kedua dilaksanakan oleh

Komisi Pemilihan Umum, dan akhirnya pasangan Aceng-Diky

menjadi pemenangnya. Ada yang menarik atas kemenangan

Aceng, yaitu pernyataan simpatik dari calon yang

dikalahkannya Rudi Gunawan. Calon dari partai Golkar itu

walau pun belum diumumkan oleh KPU siapa pemenangnya,

namun Rudi Gunawan secara kesatria menyatakan selamat

kepada pasangan Aceng-Diky pada sore hari setelah

selesainya pemungutan suara.

Kemenangan pasangan Aceng HM Fikri- Dicky Candra

sebagai bupati dan wakil bupati Garut dari unsur

109

perseorangan (independen), memang yang pertama di

Propinsi Jawa Barat dan menjadi tonggak sejarah baru dalam

kancah politik di era demokrasi.

Bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut, kemenangan

pasangan perseorangan itu membawa dampak luar biasa.

Kenapa tidak hampir seratusan kabupaten dan kota se-

Indonesia datang ke KPU Garut sekedar berguru (studi

banding) atas kemenangan pasangan perseorangan itu.

Bahkan dari Provinsi Kalimantan Selatan, seluruh KPU

Kabupaten dan Kota berikut dari pemerintahannya datang ke

Kabupaten Garut berkaitan dengan akan dilaksanakannya

pemilihan umum kepala daerah baik provinsi, kabupaten dan

kota di wilayah Provinsi tersebut.

Kedatangan tamu dari Ujung Timur Irian (Papua) hingga

ujung Barat Aceh ke kabupaten Garut, ternyata tidak

dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah kabupaten Garut

padahal KPU Garut sudah berbaik hati agar momentum

tersebut dimanfaatan pemkab Garut guna mempromosikan

wilayahnya.

Memang untuk hal-hal yang sifatnya bukan “proyek” tidak

direspon secara positif oleh pejabat birokrasi di pemda Garut.

Alasannya, biarlah itu kan urusannya KPU bukan pemerintah

daerah.

Satu-satunya yang lumayan merespon adalah Wakil

Bupati Diky Candra ketika kedatangan rombongan dari

110

Propinsi Kalimantan Selatan. Wakil bupati menyediakan Hotel

Cipanas Indah sebagai tempat penerimaan tamu tersebut.

Saat itu Wakil Bupati menyatakan, “tidak perlu di gedung

pendopo lebih baik di Cipanas saja, ya setidak-tidaknya bias

menjual air panas-lah.” Memang bupati Aceng Fikri datang

juga dalam penyambutan rombongan dari Kalsel itu kendati

waktunya sangat sempit karena kebetulan menjelang sholat

Jum’at. (*)

Aceng- Diky Tak Penuhi Syarat

Kalau Allah sudah berkehendak, benteng sekokoh apa

pun tak akan bisa menghalanginya. Akan halnya kemenangan

pasangan Aceng-Diky dalam pemilihan bupati adalah semata-

mata karena kehendak Allah.

Tetapi jika berpaling ke belakang pada saat Komisi

Pemilihan Umum melakukan verifikasi dukungan bagi calon

perseorangan (independen), ternyata pada saat menjelang

penutupan pendaftaran jumlah dukungan bagi Aceng-Diky

tidak memenuhi syarat yaitu kurang dari ketentuan 3%

jumlah penduduk kabupaten Garut sekitar 73.0000 dukungan.

Di KPU sendiri tidak bisa dihindarkan adanya

kepentingan dari pihak tertentu. Misalnya, Sekretaris KPU

Mlenik Maumeriadi dimintai bantuan oleh Wakil Bupati Memo

Hermawan agar meloloskan pasangan Sali Iskandar-Asep

111

Hamdani, mengingat Asep Hamdani sebagai Kepala Desa

sekaligus Ketua APDESI.

Dari pasangan independen, yang dianggap lolos dan

memenuhi syarat hanya KH. Abdul Halim-Nandang,

sedangkan pasangan Aceng-Diky nyaris terpental kalau saja

salah satu anggota KPU Dadang Sudrajat tidak segera

memberi tahu Tim Suksesnya melalui Deden Bima.

Dalam hitungan jam, kekurangan dukungan bagi Aceng-

Diky dikebut oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Garut

yang diketuai Ayep Rusmana, dan PPK Karangpawitan yang

ketuanya Encang.

Berkat kerja keras Deden Bima dan kawan-kawan, dan

kebaikan dari PPK Garut Kota serta Karangpawitan, maka

jumlah dukungan bagi Aceng-Diky dapat terpenuhi sehingga

dinyatakan lolos sebagai pasangan calon yang kemudian

ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kini bupati Garut Aceng HM Fikri nyaman dengan

kepemimpinanya kendati banyak kalangan menganggap tidak

kejutan apa pun dalam meningkatkan pembangunan dan

kesejahteraan rakyat.

Kenyamanannya semakin mantap setelah yang

mendampinginya sebagai sekretaris daerah adalah Iman

Alirahman. Aceng HM Fikri pun tidak segan-segan melepaskan

statusnya sebagai orang independen setelah masuk ke Partai

Golkar dan menyandang jabatan sebagai unsure ketua di DPD

Partai Golkar Jawa Barat.

112

Aceng HM Fikri diperkirakan banyak kalangan akan naik

lagi menjadi calon bupati di pemilukada 2008, dan bias

dipastiakan menggunakan kendaraan partai Golkar. Kenapa

tidak, tiketnya sudah dikantongi setelah resmi bergabung di

partai berlambang pohon beringin itu. (*)

Aceng Fikri Orang Parpol

Nama Aceng HM Fikri yang tiba-tiba muncul dari calon

perseorangan/independen, bagi sebagian warga kabupaten

Garut boleh jadi ia adalah benar-benar orang netral. Padahal

sebenarnya seorang politisi yang malang-melintang di Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pada Pemilihan Umum 1999 masih menjabat sebagai

Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB) Kabupaten Garut yang waktu itu ketuanya Ali

Rohman.

Dalam Musyawarah Cabang DPC PKB, justru Aceng HM

Fikri terpilih menjadi Ketua DPC, namun kemudian

kemenangannya tidak diakui oleh Dewan Pimpinan Pusat

(DPP) PKB Abdurahman Wahid (Gus Dur). Bahkan DPP

menunjuk karateker, yaitu Imas Ubudiah Maksum. Aceng HM

Fikri malah dipecat dari keanggotaannya di PKB.

Aceng Fikri memang poitisi muda yang harus diakui

kecerdikannya, karena pada pemilihan umum kepala daerah

113

(Pemilukada) 2008 menggaet seorang aktris sinetron Diky

Candra sebagai pasangan calon wakil bupatinya.

Dalam pencalonan dirinya dari jalur

perseorangan/independen harus berhadapan melawan

gurunya sendiri, KH Abdul Halim yang telah mendidiknya di

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Musadadiyah Garut.

Namun bukan politisi jika harus mengalah hanya karena

lawannya adalah gurunya sendiri.

Dengan tegar ia maju bersama Diky Chandra dengan

melibatkan banyak tim sukses melalui “Aceng Fikri-Diky

Chandra Center” (ANDA Center), dimotori salah satu

pengusaha sukses H. Yayan dan kawan-kawannya. Bahkan

tokoh berpengaruh dari partai Golkar Toni Munawar berbalik

mendukung pasangan Aceng-Diky.

Tokoh aktivis yang juga pengusaha sukses H. Gunadi

dari partai Demokrat menyatakan dukungannya untuk Aceng-

Diky. Sementara partai democrat sendiri berkoalisi dengan

PKB mendukung pasangan Harliman-Ali Rohman.

Kemunculan Aceng Fikri dengan keterujiannya sebagai

politisi, memang telah membuyarkan konsentrasi para

fungsionaris partai-partai. Sejak awal Ketua DPC PDIP Memo

berada di belakang Aceng Fikri, padahal partainya sendiri

berkoalisi dengan partai Golkar mengusung Rudi Gunawan-

Oim Abdurohim.

Kecerdikannya dalam berpolitik kembali dipertontonkan

Aceng HM Fikri. Ketika sekarang ia menjadi bupati dan

114

membutuhkan partai untuk maju di pemilukada 2013

mestinya kembali ke PKB yang mengalami penurunan luar

biasa di Garut karena di pemilu 2004 masih mendapat 5 kursi

namun di pemilu 2009 hanya tiga kursi. Aceng malah lari ke

partai Golkar. Itulah bukti kecerdikan seorang plitisi muda

Aceng HM Fikri. (*).

Dana Pengamanan Pemilu 2009

Pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan

wakil presiden 2009 menggunakan anggaran yang sangat luar

biasa besar. Anggaran yang dikelola Komisi Pemilihan Umum

(KPU) Kabupaten Garut saja mencapai lima puluh satu milyar

lebih.

Keseluruhan anggaran pemilu dialokasikan dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk seluruh proses

pelaksanaannya, termasuk anggaran pengamanan yang

dikelola pihak kepolisian.

Seluruh instansi terkait semula ramai-ramai mengajukan

anggaran ke pemerintah daerah melalui alokasi dana

anggaran pendapatan dan belanja daerahnya (APBD). Pihak

Polres Garut pun mengajukan anggaran bagi pengamanan

pemilu tersebut.

Ketika seluruh Kapolda, Kapolres dan KPU berkumpul di

Jakarta membahas tentang pelaksanaan pemilu terungkap

bahwa seluruh jajaran kepolisian di semua tingkatan tidak

115

boleh meminta bantuan anggaran kepada pemerintah daerah

karena sudah dianggarkan melalui APBN.

Kapolres Garut waktu itu AKBP. Rusdihartono, yang

dikenal oleh jajarannya sebagai pemimpin yang “mumpuni”

langsung mencabut usulannya kepada pemerintah daerah

terkait anggaran pemilu. Hanya saja belakangan muncul isu

adanya upaya kasak-kusuk dari oknum di lingkungan Polres

Garut yang memanfaatkan dana tersebut.

Komandan Provost Polres Garut (wakti itu Iptu U. Yusuf

Hamdani, sekarang Kasatreskrim Polres Garut) adalah orang

yang mencurigai adanya aliran dana melalui oknum Polres.

Komandan Provost menghubungi penulis sekedar

berkonsultasi tentang dana tersebut karena menganggap

penulis sebagai anggota KPU mengetahuinya.

Iptu. Yusuf meminta bantuan penulis mencari tahu untuk

mencari tahu apakah ada atau tidak aliran dana ke Polres.

Masalahnya, sudah ditegaskan oleh Kapolres tidak boleh

menerima bantuan dari pemerintah daerah. Iptu. Yusuf

diperintahkan mengamankan kebijakan Kapolres sehingga

tidak dijadikan kesempatan atau peluang oleh oknum

bawahannya.

Penulis waktu itu memberikan jawaban kepada Iptu.

Yusuf tidak mengetahui, karena memang bukan kapasitas

anggota KPU mengurusi hal-hal seperti itu. Hanya saja penulis

memberikan masukan agar mencari tahu di kantor Kesatuan

Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat

(Kesbangpollinmas) pemda Garut. Masalah hal-hal yang

116

berhubungan dengan pengamanan pemilu ada di kantor

tersebut.

Komandan Provost Polres Garut mencurigai dua orang

Kepala Satuan di Polres Garut, yang diduga “bermain mata”

dengan anggaran pengamanan dari bantuan pemerintah

daerah. Tetapi sampai sekarang tidak ada kabar lagi

kesahihan ada tidaknya aliran dana pengamanan pemilu dari

APBD ke Polres Garut. (*).

Pileg Syarat Pelanggaran

Perhelatan akbar pemilihan umum legislatif Juni 2009

syarat pelanggaran, namun tidak satu pun pelanggarannya

yang masuk ke Pengadilan.

Salah satu pelanggaran yang sangat pantastis adalah

dihentikannya proses pemungutan suara di salah satu TPS di

Kecamatan Limbangan oleh anggota Panitia Pengawas Pemilu

Kabupaten Garut Juju Nuzuludin.

Kasus tersebut merupakan kasus baru yang boleh jadi

tidak mungkin terjadi di mana pun di Indonesia. Jika saja

media massa mengendusnya, bukan mustahil akan

menimbulkan kegaduhan politik yang berimplikasi kepada

kekacauan pelaksanaan pemilu yang sangat tidak dikehendaki

oleh siapa pun.

Menyikapi pelanggaran tersebut kalangan media massa

baik cetak maupun elektronik masih berbaik hati. Walau pun

117

prinsip media massa mengincar berita yang heboh, namun

yang dimungkinkan akan menimbulkan kegaduhan nasional

sangat dihndarinya.

Tidak kurang dari Kapolda Jabar waktu itu Irjen Timur

Pradopo (sekarang Kapolri) dibikin gerah karena menyangkut

pertaruhan jabatannya, karena dianggap gagal mengawal

pelkasanaan pemilu yang aman, lancer dan penuh

kedamaian.

Beruntung wartawan media cetak dan elektronik yang

bertugas di kabupaten Garut sehari sebelum pelaksanaan

pemungutan suara bersama Kepala Bagian Informatika

Pemda Garut Drs. Dikdik Hendrajaya dating ke KPU dan

sempat berbincang-bincang dengan penulis yang memang

berprofesi sebagai wartawan walau pun dipercaya menjadi

anggota KPU.

Teman-teman pers yang masih menganggap penulis

sebagai wartawan, dan menghargai Kapolres Garut (waktu itu

AKBP. Rusdihartono) yang dikenal akrab dengan kalangan

pers tidak punya niatan merepotkan KPU dan aparat penegak

hukum sehingga kasus pelanggaran yang fatal tersebut luput

dari pemberitaan media massa.

Selamatlah jajaran Polres Garut, bahkan Kapolda pun

yang sudah diagendakan akan datang ke Garut urung juga.

Penyelenggaraan Pemilu Legislatif Tahun 2009 di kabupaten

Garut dianggap sukses, dan Kapolres Garut AKBP.

Rusihartono mendapat promosi menjadi Kapolres Cimahi,

yang kepindahannya diiringi isak tangis jajarannya di Polres

118

Garut karena merupakan Kapolres yang sangat mumpuni di

kalangan anggotanya termasuk kalangan pers, tokoh

masyarakat dan masyarakat kabupaten Garut. (*).

Potret Suram Pembangunan di Garut

Kepemimpinan Agus Supriadi sebagai bupati Garut

selama 3,5 tahun (Januari 2004-Juli 2007) terbilang sukses

menjalankan pembangunannya. Hal itu terbukti dari gairah

membangun di desa-desa setelah digulirkannya program saba

desa.

Arsitek dari program saba desa adalah Anton Heryanto,

yang mendapat kepercayaan penuh dari Agus Supriadi

sebagai pengelola keuangan daerah. Tidak hanya kepala desa

dan warganya yang bergairah namun hampir semua

komponen masyarakat merasakan kegairahan karena

menggelontornya kucuran dana ABPD melalui kepiawaian

seorang Anton Heryanto.

Tercatat beberapa prestasi spektakuler ditorehkan akibat

dari gairah membangun itu. Sebut saja desa Sukakarya

kecamatan Samarang dan Desa Sukamurni Kecamatan Cilawu

berhasil menjadi desa teladan tingkat nasional. Hampir saja

desa Cisewu kecamatan Cisewu akan mengikutinya namun

Bupati Agus Supriadi terlanjur ditangkap oleh KPK sehingga

desa Cisewu tertunda kemenangannya sebagai desa teladan

tingkat nasional.

119

Naiknya Memo Hermawan sebagai pejabat bupati,

ternyata tidak mampu melanjutkan hingar bingarnya gairah

membangun seperti sewaktu Agus Supriadi. Bahkan

kepemimpinan Memo yang disebut-sebut masa transisi justru

makin redup. Hampir saja pada pemilihan bupati putaran

kedua, pihak KPU Garut tidak mau melaksanakannya karena

pihak pemda kesulitan anggaran.

Beruntung Gubernur Jawa Barat membantu

pembiayaannya, dan Memo sendiri dengan caranya sendiri

berhasil mengalokasikan anggaran pelaksanaan pemilihan

bupati putaran kedua.

Tampilnya Aceng Fikri sebagai bupati Garut, tentunya

diharapkan oleh berbagai kalangan mampu menggairahkan

pembangunan, namun kenyataannya justru semakin meredup

saja dan status daerah tertinggal yang disandang kabupaten

Garut hingga saat ini belum mau dilepaskan.

Dalam seminar bertajuk refleksi dua tahun kepemimpinan

Aceng HM Fikri, yang digagas oleh Warga Indonesia Asal

Garut- Jakarta (Wi-Asgar Jaya) dimotori Imam Hermanto tak

terbendung hujatan kepada bupati Garut karena dianggap

tidak mampu menggairahkan pembangunan di kabupaten

Garut dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Mandegnya gairah membangun dari kepemimpinan

bupati Aceng HM Fikri selalu dengan alasan klise, yaitu

minimnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Menurut bupati Aceng HM Fikri dalam berbagai kesempatan,

untuk memperbaiki jalan kabupaten saja yang pada umumnya

120

mengalami kerusakan yang parah dibutuhkan anggaran

sedikitnya 1,3 triliun rupiah sedangkan APBD hanya 1,6 trilun

rupiah. Itu pun kata bupati sebagian besar dana APBD untuk

menggaji pegawai.

Itu hanya satu dari sekian banyak infrastruktur yang

ada, belum berapa banyak sekolah dasar yang rusak, berapa

banyak Puskesmas yang sudah tidak layak sebagai tempat

melayani kesehatan masyarakat.

Belum lagi ancaman bagi pasar tradisional yang saat ini

terus diserbu pasar modern (mini market) yang marak di

seluruh kota kecamatan di wilayah kabupaten Garut.

Kongkritnya bagi bupati Aceng HM Fikri sangat sulit

menjalankan visi-misinya mewujudkan kesejahteraan

masyarakat dalam masa kepemimpinannya yang tersisa

sekitar 2, 5 tahun lagi.

Tiga Bupati tak Mampu Wujudkan GOR

Pembangunan gelanggang olah raga (GOR) Ciateul yang

digagas semasa bupati Garut Drs H. Dede Satibi, hngga saat

ini masih belum terwujud padahal lahan seluas 14,2 hektar

sudah dibebaskan menggunakan dana dari APBD kabupaten

Garut.

Rancangan pembangunannya pun sudah dibuat dengan

bantuan LAPI Institut Teknologi Bandung (ITB), yang juga

dibayar menggunakan dana APBD yang tidak sedikit.

121

Masyarakat Garut, terutama para penggiat olah raga

mempertanyakannya karena sudah tiga kali penggantian

bupati masih tetap saja tidak terwujud.

Pada periode bupati Dede Satibi digagas pembangunan

Gelanggang Olah Raga (GOR), gagasan ini lalu dituangkan

dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 2004 oleh

Bupati Garut H. Agus Supriadi. Pemerintah daerah

menganggap pembangunan itu layak dan dapat diwujudkan,

baik dari sisi ketersediaan lahan, teknis (rancang bangun),

pembiayaan dan pengeloalaannya.

LAPI ITB yang sudah teruji kepasitas dan kapabilitasnya

sudah membuat rancang bangun yang sangat ideal untuk

sebuah GOR, yang tentu saja dilengkapi berbagai fasilitas

keolahragaan. Dalam rancang bangun tersebut, sesuai

kebutuhan anggaran sudah ditentukan pula skema

pembiayaan setiap tahunnya dari APBD.

Tidak cukup alasan jika pemda dan DPRD

membiarkannya karena perangkat aturannya sudah sangat

jelas yaitu diawali dengan Perda No. 6 Tahun 2004 dan Perda

No 9 Tahun 2006 yang justru mengatur skema pembiayaan.

Jadi apalagi alasannya, masa sih begitu saja tidak

mampu mewujudkan keiinginan masyarakat. Kapan dong

Garut mau maju kalau sarana olah raga saja dibiarkan

terkatung-katung. (*)

122

Kabupaten Garut Selatan

Desakan dibentuknya Daerah Otonomi Baru (DOB)

Kabupaten Garut Selatan terus digulirkan melalui perjuangan

tanpa lelah dari masyarakat Garut Selatan melalui tokoh-

tokohnya. Sukses pertama perjuangan mereka adalah

keluarnya Surat Keputusan Bupati dan DPRD Garut yang

menyetujui pembentukan kabupaten Garut Selatan.

Sukses berikutnya adalah Keputusan yang sama di

tingkat Propinsi, dan saat ini sudah berada di tangan

Kementerian Dalam Negeri. Langkah perjuangan masyarakat

Garut Selatan yang dalam Surat Keputusan bupati-DPRD

Garut serta Surat Keputusan Gubernur-DPRD Provinsi Jawa

Barat diputuskan sebanyak 16 kecamatan bergabung ke

kabupaten Garut Selatan, yaitu Cikajang, Banjarwangi,

Singajaya, Peundeuy, Cihurip, Cisompet, Cibalong,

Pameungpeuk, Cikelet, Mekarmukti, Caringin, Bungbulang,

Pamulihan, Pakenjeng, Cisewu dan Talegong.

Berdasarkan kajian dari Universitas Pajajaran, calon ibu

kota Kabupaten Garut Selatan berada di kecamatan

Mekarmukti. Di wilayah tersebut memang sudah tersedia

lahan untuk sarana perkantoran dan sarana kegiatan

pemerintahan.

Persoalannya kemudian, kapan terwujudnya Kabupaten

Garut Selatan itu?. Tidak bisa dianggap enteng, bahwa untuk

meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan

Kabupaten Garut Selatan oleh pemerintah dibutuhkan lobi-lobi

maksimal dengan ongkos politik yang tidak sedikit pula.

123

Kemudian jika RUU sudah masuk ke DPR, lagi-lagi

dibutuhkan lobi luar biasa dan ongkos politik yang cukup

besar apalagi di tingkat DPR akan ditangani oleh Panitia

Khusus (Pansus) UU Pembentukan Kabupaten Garut Selatan.

Siapa, berapa dan darimana ongkos politik guna

mempercepat pembentukan kabupaten Garut Selatan itu.

Pengelola APBD di pemda Garut sangat boleh jadi enggan

menyisihkan anggaran begitu besar sebagai ongkos politik

mempercepat pembentukan kabupaten Garut Selatan, sangat

berbeda dengan ongkos politik yang harus dikeluarkan demi

menyelesaikan masalah hukum yang terkait kepentingan

pejabat dan wakil rakyat. Untuk yang satu ini nyaris tanpa

ragu-ragu untuk dikeluarkannya sehingga mengalir deras

kemana-mana.

Perjuangan tanpa lelah dari para tokoh Garut Selatan

kerap merogoh koceknya sendiri, padahal secara politis belum

tentu mereka yang akan menikmatinya nanti jika kemudian

Kabupaten Garut Selatan berdiri. Masalahnya, pertarungan

politik akan terjadi dalam merebut kekuasaan di Kabupaten

Garut Selatan.

Dimotori tokoh intelektual muda asal Cisewu

DR. Gunawan Undang, memang patut diapresiasi karena

mereka bekerja keras memujudkan impiannya sejalan dengan

“wangsit karuhun” bahwa Garut Selatan harus memiliki

kabupaten sendiri apa pun resikonya. (*)

124

Jelang Pemilukada 2013

Masa jabatan bupati Aceng HM Fikri memang relatif

masih lama yaitu sekitar 2, 5 tahun lagi, namun bagi politisi

waktu tersebut relatif sangat singkat karena tidak akan terasa

akan memasuki masa persiapan merebut kekuasaan.

Partai-partai politik kini tengah berbenah diri, dan hampir

semua partai sudah melakukan pergantian kepemimpinannya.

PPP yang semula diketuai Dedi Suryadi sudah beralih ke

Lucky Lukmansyah. PDIP dari Memo Hermawan ke Yogi Yuda

Wibawa. PKB yang terus berganti-ganti, kini diambil alih tokoh

muda Dadan Hidayatulloh, PAN sudah memilih Ketua Fraksi di

DPRD Garut H. Babay Tamimi sebagai ketua DPD-nya.

Partai Hanura, yang semula dipegang tokoh pengusaha

sukses sekaligus tokoh intelektual muslim dari ICMI Drs.

Nadiman beralih ke Ny. Lela Nurlaela. PKS dari dr. Helmi

Budiman berpindah ke ustad Imron Rosyadi.

Partai Golkar masih mempertahankan Drs. H. Ruhiyat

Prawira yang tersandung masalah hukum. Dikabarkan mantan

Kepala Dinas Pendidikan Garut Drs. Komar Mariyuana

mengincar jabatan Ketua DPD Golkar menyusul

kesuksesannya merebut Ketua Kosgoro Garut yang

merupakan organisasi sayap partai Golkar.

Perebutan kursi bupati di pemilukada 2013 akan semakin

seru, memanas namun dipastikan bakal dinamis dibandingkan

pemilihan bupati 2008. Dua politisi ulung, yaitu Dedi Suryadi

dan Memo Hermawan dipastikan bakal maju walau pun belum

125

tentu partainya akan memberikan kepercayaan, mengingat

ketua partainya saat ini juga dipastikan tidak mau membuang

kesempatan emas tersebut, seperti lucky dan Yogi

Yudawibawa.

Nama Rudi Gunawan kemungkinan besar maju lagi, dan

partai Golkar tidak akan dilepaskannya, apalagi kalau Rudi

Gunawan berhasil meloloskan Ketua DPD Partai Golkar

Ruhiyat Prawira dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) di

Mahkamah Agung.

Bupati sekarang Aceng HM Fikri, yang sudah berada di

barisan Partai Golkar dengan masuknya sebagai alah satu

ketua di DPD Partai Golkar Jawa Barat, nampaknya akan maju

lagi di pemilihan bupati 2013. Aceng HM Fikri diperediksi akan

berebut perahu partai Golkar dengan Rudi Gunawan, yang

saat ini tengah berjuang habis-habis meloloskan H. Ruhiyat

Prawira dari jerat hukumnya dalam proses Peninjauan

Kembali (PK) di Mahkamah Agung.

Jika Rudi Gunawan dalam kapasitas sebagai advokat

berhasil meloloskan H. Ruhiyat Prawira, maka dapat

dipastikan genggaman partai Golkar ada di tangan Rudi

Gunawan. Jika itu yang terjadi, maka akan terjadi

pertarungan politik yang sangat menarik di tubuh partai

Golkar menjelang pemilukada 2013.

Pertarungan pemilukada 2013 kemungkinan akan

tambah seru jika keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU)

berdasarkan revisi UU No 22 Tahun 2007 sudah tidak

126

independen lagi karena nantinya akan diisi oleh orang-orang

dari partai politik.

Kemudian jika sampai dengan pemilukada 2013

Kabupaten Garut Selatan masih belum terbentuk, maka

pertarungan semakin seru dan memanas karena suara dari

Garut Selatan akan menjadi rebutan semua kandidat.

Sebaliknya, jika Kabupaten Garut Selatan sudah

terbentuk sebelum pemilukada 2013 maka politisi yang gagal

di kabupaten induk akan bertarung di kabupaten Garut

Selatan. Yang penting merebut kekuasaan dimana pun sah-

sah saja. (*)

Kepercayaan Pusat

Bagaikan bangun dari tidur, tiba-tiba masyarakat ramai

berguncing membicarakan salah seorang sosok mantan

pejabat yang cukup populer pada masa pemerintahan

sebelumnya. Adalah mantan Kabid Anggaran Badan

Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Garut

Anton Heryanto S.IP, namanya akhir-akhir ini menjadi topik

berita sejumlah surat kabar.

Anton dinyatakan sebagai tersangka baru pada kasus

dugaan korupsi anggaran makan dan minum (mamin) APBD

2007. Sejalan perubahan pemerintahan, Anton Heryanto

tenggelam namanya semenjak dimutasikan ke Kasi

127

Ketentraman dan Ketertiban di Kecamatan Cikelet dan

terakhir ditempatkan di sekretariat KORPRI.

Mengulas perjalanan karirnya di masa pemerintahan

bupati H. Agus Supriadi, terlepas dari persoalan yang

mengguncang pemda Garut, Anton Heryanto memiliki peran

besar dalam mendongkrak pemerintahan Kabupaten Garut

dari ketertinggalan.

Perannya mulai dari menyusun Rencana Strategi

(Renstra) pembangunan berbasis pedesaan hingga

membuahkan hasil beberapa desa menjadi percontohan di

tingkat nasional, meningkatkan IPM yang bermuara pada

keluarnya kabupaten Garut dari lebel kabupaten tertinggal di

Jawa Barat bersama Sukabumi. Penomenal lagi, dirinya

berperan dalam membuka akses ke pemerintahan pusat

untuk mendongkrak sekaligus menggelontorkan anggaran ke

kabupaten Garut.

”Saat itu APBD kita hanya dua ratus miliar rupiah, namun

semua kebutuhan dapat terpenuhi. Sebenarnya, jika

mengandalkan nilai APBD sebesar itu tidak mungkin cukup,

maka perlu ada jaringan dan lobi dengan pemerintah pusat

maupun lainnya. Nah, jika sekarang mendengar tunjangan

perangkat desa jadi menurun, sama sekali tidak ada alasan.

Sebab APBD 2008 mencapai 1,3 trilyun rupiah, artinya punya

keleluasaan dalam mengatur kebutuhan, belum lagi anggaran

dari APBD Propinsi dan pusat,” terang Anton Heryanto.

Menyinggung pemerintahan kabupaten Garut saat ini,

Anton berharap pemda tidak bisa hanya mengandalkan APBD.

128

Artinya, pemimpin daerah siapapun dari kelas apapun

tentunya pasti mampu kalau sekedar ”ngajeujeuhkeun”

anggaran yang ada. Maka pemda sebenarnya mesti mampu

mencari peluang dan menarik anggaran dari pusat. Semua itu

dituntut kepiawaian membuka jaringan dan lobi dari

pemerintah daerah itu sendiri. Sampai kapan pun jika tidak

dilakukan itu, mustahil semua persoalan kebutuhan anggaran

dapat teratasi. (*)

Birokrat Sulit Diatur

Mantan bupati Garut 2004-2007 H. Agus Supriadi dikenal

sosok bupati yang tegas terhadap jajaran birokrasi. Salah satu

bentuk ketegasannya adalah setiap apel hari Senin dan apel

pagi sebelum memulai aktivitas di setiap Satuan Organisasi

Perangkat Daerah (SOPD) lapangan upacara sekretariat

daerah selalu penuh.

Pria tampan lulusan Akademi Militer itu tampak semakin

tegap dan kekar, dengan wajah yang berseri-seri sempat

diwawancarainya seputar tiga tahun pengalamannya menjadi

bupati Garut. Pembicaraan santai namun penuh makna tidak

terselip sepatah kata sebagai ungkapan perasaan dendam

kepada siapa pun.

129

Berikut petikan wawancaranya :

Bagaimana bapak bisa berkesempatan ke Garut, bahkan ke

rumah sakit lagi?

Agus Supriadi : Ayah saya sedang sakit dan dirawat di RSU

Dr. Slamet Garut, tentu saja sebagai anak dalam keadaan apa

pun sebisa mungkin mendampinginya. Hanya saja saya tidak

mungkin bisa terus mendampinginya. Anda tau sendiri saya

sedang berada di LP Cipinang. Alhamdulillah saya diberi

kesempatan untuk menengoknya, dan saya tidak sendirian

karena didampingi petugas dari LP Cipinang.

Apa saja aktivitas bapak di LP Cipinang?

Agus Supriadi : Selain rutinitas sebagai penghuni LP, saya

juga banyak belajar antara lain membaca buku dan berdiskusi

dengan sesama napi. Di LP Cipinang banyak napi yang terdiri

dari beragam profesi. Ada pakar hukum, mantan birokrat,

profesional dan lainnya. Saya lebih banyak berdiskusi soal

hukum terutama masalah korupsi yang melibatkan kepala

daerah. Dari diskusi tersebut disimpulkan bahwa korupsi itu

koorporasi (bersama-sama). Jadi, jika korupsi di

pemerintahan tidak mungkin dilakukan secara perseorangan

karena berkaitan dengan sistem administrasi. Yang sederhana

saja soal suap menyuap (gratifikasi), itu melibatkan setidak-

tidaknya dua orang yaitu yang menyuap dan yang menerima

suap. Nah, dalam kasus saya terungkap di persidangan

bahwa mantan bupati Garut H. Taufik Hidayat telah

menyogok saya tetapi kenapa si penyogoknya dibiarkan.

Secara hukum, mestinya dia harus diseret juga seperti saya.

130

Namun itulah potret buram hukum kita yang belum

sepenuhnya memeunhi rasa keadilan.

Bapak menyesal atau setidak-tidaknya kecewa terhadap

keadaan seperti itu?

Agus Supriadi : Apa yang harus saya sesali toh semuanya

sudah terjadi. Bagi saya justru menjadi pelajaran berharga,

karena ternyata memimpin birokrat itu tidak mudah. Mereka

adalah pelaku administrasi dan implementasi sistim

administrasi pemerintahan yang pintar-pintar. Artinya, pintar

dalam tanda kutip. Ketika saya menjadi bupati, justru dimulai

dari hal kecil yaitu disiplin aparat. Terus terang saja sewaktu

saya dinas di militer tidak “bermain” dengan uang tapi di

birokrat sebaliknya yang mereka mainkan adalah uang. Nah,

saya terjebak juga karena betul-betul wilayah baru bagi saya.

Tetapi sekarang saya jadi punya ilmu bagaimana menaklukan

birokrat yang sudah jago-jago itu. Makanya saya tidak yakin

siapa pun bupatinya kalau dia orang baru yang masuk ke

pemerintahan, saya yakin akan menghadapi kesulitan

menertibkan birokrat yang pandai-pandai itu. Jangan-jangan

bupati Garut sekarang pun nantinya akan terjebak juga

seperti saya, tapi saya berharap tidak terjadi hal seperti itu

kapan Garut mau membangun. Resiko menjadi bupati jika

terjebak dengan sistim administrasi yang dilakukan birokrat,

maka mengalami dua keungkinan yaitu dia akan jatuh di

tengah jalan seperti saya atau tersandung setelah selesai

menjadi bupati. Hal itu banyak terjadi di beberapa daerah

bahkan banyak mantan kepala daerahnya yang sekarang

bernasib sama seperti saya. Masalah seperti itulah yang

131

sering menjadi topik hangat dan menarik dalam diskusi

hukum sesama napi di LP Cipinang.

Bagaimana pengelolaan APBD sewaktu bapak jadi bupati?

Agus Supriadi : Saya kan sudah katakan di atas, bahwa

yang pintar dan cerdik itu adalah birokrat tentu saja dalam

hal APBD pun merekalah yang sangat paham bagaimana

mengaturnya. Saya sering turun ke desa-desa dan selalu saja

memberikan bantuan langsung. Hasilnya anda boleh tanya

para kepala desa, ya paling tidak ada gairah-lah di desa

dengan APBD hanya sembilan ratus milyar rupiah. Sekarang

APBD katanya sudah satu triliun tiga ratus milyar rupiah,

apakah bupati sekarang sering turun ke desa dan memberi

bantuan langsung dan bagaimana pula gairah di desa.

Pertanyaannya kemudian seperti apa pengelolaan APBD-nya,

apalagi sekarang diterima dana bagi hasil (DBH) panas bumi.

Jika bupati kurang hati-hati maka hal itu akan menjadi sebuah

jebakan yang tidak menutup kemungkinan menjadi batu

sandungan yang kemudian berujung pada persoalan hukum.

Saya juga punya pengalaman soal penertiban kawasan

perkotaan yang kemudian Garut memperoleh piagam Adipura.

Itu kan tidak gratis karena menggunakan dana APBD, dan

saya sebagai orang yang bertanggung jawab atas

penggunaannya tetapi hal-hal yang berkaitan dengan

administrasi adalah para birokrat. Nah, birokrat itulah yang

cerdik dan pandai memainkan administrasinya dan itu bisa

saja menjadi jebakan bagi bupati.

132

Barangkali bapak punya resep menaklukan birokrat yang

pintar-pintar itu?

Agus Supriadi : Itulah pentingnya ada staf ahli bupati.

Menurut saya staf ahli bupati itu betul-betul sangat diperlukan

dan orang-orangnya pun harus terdiri dari mereka yang juga

benar-benar ahli. Pendapat dan kajian mereka harus menjadi

alat bagi bupati untuk perencanaan pembangunan,

pembenahan birokrasi serta hal-hal lain demi kemajuan

daerah. Dan yang paling penting juga bahwa birokrat itu

jangan berpolitik. Artinya, semua sistem kepegawaian yang

berkitan dengan karir harus menjadi ketentuan yang tidak

boleh diintervensi oleh kekuatan mana pun. Namun faktanya,

pejabat birokrasi justru sering “ bermain” untuk mendapatkan

kedudukan. Banyak cara yang mereka lakukan, bisa

menggunakan partai politik, tekanan dari kelompok penekan

(pressure grup), tokoh masyarakat dan lain-lain. Fakta seperti

itu pernah juga saya alami selama menjadi bupati Garut.

Untuk menaklukannya, marilah berdiskusi dengan saya

karena pengalaman adalah guru yang paling berharga.

Bagaimana pendapat bapak tentang bupati Garut sekarang?

Agus Supriadi : Saya dan bupati Garut sekarang pasti

beda. Kalau saya berasal dari militer dan sebelumnya tidak

bersentuhan dengan birokrasi di pemerinthan apalagi

pemerintahan daerah. Makanya ketika saya masuk ke ranah

pemerintahan ada sesuatu yang sangat berbeda dengan

sistim di militer. Sedangkan bupati Garut sekarang saya kira

sudah biasa bersentuhan dengan birokrat, bahkan sewaktu

133

saya jadi bupati dia sering datang ke pendopo. Ya,biasalah

namanya juga warga Garut yang punya aktivitas di gerakan

dan partai politik. Bahkan bupati yang sekarang ada

kelebihannya karena dia seorang santri. Yang penting

menurut saya, bagaimana bupati sebisa mungkin

menggairahkan pembangunan terutama di desa-desa, dan

menertibkan birokrat yang cerdik-cerdik itu. Dulu saya punya

obsesi bagaimana desa dan kecamatan bisa berkembang,

bahkan ibu kota kecamatan harus menjadi pusat perkotaan

sehingga warganya tidak harus selalu berbelanja di ibu kota

kabupaten. Jika melihat latar belakangnya saya kira dia bisa

memimpin kabupaten Garut, namun jika kurang hati-hati ya

bisa saja pengalaman saya akan terulang lagi tetapi saya

berharap tidak demikian.

Ada kabar, bapak tidak lama lagi akan bebas?

Agus Supriadi : Ya, itu sih tergantung perjuangan saya

dalam menegakan hukum dan mencari keadilan. Tadi saya

sudah katakan, bahwa korupsi di pemerintahan adalah

koorporasi (bersama-sama). Selama ini saya terus berjuang

walau pun ada di dalam penjara, dan fakta-fakta baru

(novoum) sudah bermunculan antara lain adanya sejumlah

pejabat pemda Garut, anggota DPRD yang sudah dan sedang

diproses secara hukum bahkan ada yang sudah dijatuhi

hukuman. Yang penting saya tidak berhenti berjuang walau

pun dikerangkeng, dan itu adalah hak saya sebagai warga

negara yang sedang mencari keadilan.

134

Kalau nanti bapak bebas, apa yang akan bapak lakukan?

Agus Supriadi : Tentu saja saya kembali ke keluarga yang

sudah begitu lama tidak bersama-sama dengan mereka.

Mereka sangat membutuhkan perhatian dan bimbingan saya,

dan Alhamdulillah saya semakin banyak menimba ilmu,

termasuk bagaimana saya belajar bersabar, ikhlas, tidak

mendendam dan mengambil hikmah dari semua yang saya

alami selama ini. Saya sebagai warga Garut, tentunya akan

berkiprah semampu saya bersama-sama warga yang lain agar

hidup ini bermanfaat bagi orang banyak.

Maaf pak, apakah jadi bupati itu menyenangkan?

Agus Supriadi : Jelas dong. Jadi bupati itu enak lho semua

fasilitas sudah disediakan dan didanai oleh APBD. Jadi,

apanya yang tidak menyenangkan. Bohong kalau menjadi

bupati tidak punya apa-apa. Saya saja yang banyak bergerak

ke desa-desa masih saja ada lebihnya, ya bisa beli rumah

atau mobil apalagi jika bupatinya tidak bergerak karena

secara otomatis anggaran pun tidak bergerak juga. Dan itu

harus menjadi pertanyaan, kemana mengalirnya dana APBD

karena faktanya pembangunan nyaris tidak bergerak.

Sebelum mengakhiri perbincangan dengan SKU Garoet Pos,

H. Agus Supriadi menyampaikan permohonan maaf kepada

warga Garut yang selama ini masih memberikan dukungan

moril kepadanya. Ia mengatakan, “saya belum bisa berbuat

apa-apa, jadi tolong maafkan saya semata-mata bukan

karena kesombongan dan ketamakan namun Allah telah

menakdirkan saya harus mengalami nasib seperti ini”. (*)

135

Prof. Asep Warlan Yusuf :

Pejabat Pemda jadi Bidikan Penegak Hukum

Hal-hal yang berkaitan dengan kesalahan administrasi

pemerintahan daerah, terutama yang berhubungan dengan

penggunaan dana APBD menjadi bidikan aparat penegakan

hukum. Akibatnya, tidak sedikit saat ini pejabat birokrasi yang

terjerat tindak pidana korupsi.

Demikian diungkapkan Guru Besar Hukum dari

Universitas Parahyangan Bandung, Prof DR. Asep Warlan

Yusuf MH, ketika berbicara di depan peserta sosialisasi

Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan

Undang-Undang Pelayanan Publik di Hotel Paseban Garut,

Sabtu (27/11).

Menurutnya, penggunaan dana APBD memang harus

hati-hati dan diperlukan keterbukaan kepada masyarakat.

Masalahnya, kedua UU tersebut sudah jelas ada sangsi pidana

dan ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum justru

UU lainnya sudah menanti untuk menjeratnya, seperti UU

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Tidak hanya aparat penegak hukum, lanjut Asep Warlan,

transparansi/keterbukaan penggunaan dana APBD juga

dituntut oleh kelompok masyarakat. Belum lama ini Walikota

Bandung Dada Rosada membawa sejumlah pejabat pemkot

ke Gungzhou, Cina untuk memberi semangat para atlet asal

kota Bandung yang tengah memperkuat kontingen Indonesia

di Arena Asian Games.

136

Walikota Bandung, kata Asep Warlan diprotes habis-

habisan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), soalnya

berangkat ke Cina menggunakan dana APBD. Padahal,

menurut mereka kalau mau memberikan semangat lebih dana

APBD tersebut dijadikan bonus kepada atlet kota Bandung

yang meraih medali.

Prof. Asep Warlan sempat diminta pendapat oleh

Walikota terkait protes tersebut. “Saya katakan ke pa

Walikota, anda tidak salah menggunakan dana APBD untuk

menyuport atlet di Asian Games. Tapi anda juga harus sadar

bahwa masyarakat menganggap hal itu kurang patut

dilakukan, dan lebih pautu jika dana APBD digunakan sebagai

bonus ketika nanti para atlet kota Bandung meraih medali,”

ungkapnya. (*)

Bisnis CPNSD

Setiap tahun pemerintah daerah kabupaten Garut

mendapat jatah penambahan pegawai baru melalui seleksi

calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD). Seleksi calon

CPNSD selalu diwarnai praktek kolusi dan nepotisme, hal itu

sudah bukan rahasia lagi.

Anak-anak pejabat ramai-ramai ikut seleksi, dan

memang lolos. Selain itu, terjadi pula jual beli kelulusan yang

melibatkan banyak pihak. Salah satu yang sangat signifikan

peranannya adalah Wawan Nurdin. Ia kerap mengatur siapa-

137

siapa saja yang harus diluluskan, tentu saja dengan imbalan

uang yang tidak sedikit.

Yang paling menghebohkan dalam seleksi CPNSD tahun

2010 yang meloloskan puteri mantan wakil bupati Garut

Ghea Abigail. Puteri Memo Hermawan itu dikabarkan sedang

berada di Thailand ketika pelaksanaan seleksi.

Sedangkan sejumlah peserta seleksi yang lulus dengan

imbalan uang, besarannya antara 50- 100 juta rupiah sebuah

tarif yang mencengangkan untuk menjadi calon-calon birokrat

dikemudian hari. Sedangkan pihak-pihak tertentu juga

kecipratan jatah untuk menitipkan peserta seleksi tanpa ada

imbalan uang. Biasanya yang mendapat jatah tersebut adalah

pihak atau kelompok yang dianggap membahayakan bagi

pemerintah daerah.

Bisnis CPNSD diakui bupati Aceng HM Fikri kepada

penulis di ruang Pamengkang komplek gedung Pendopo,

tanggal 14 Desember 2010 menjelang pengumuman hasil

seleksi. Menurut bupati, dari setiap penerimaan CPNSD ada

komitmen dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan

pembuat soal, antara lain Universitas Pajajaran, sebelum

diambil alih Universitas Indonesia.

Ketika masih oleh UNPAD, ada jatah secara khusus

yang diberikan kepada bupati namun ada kewajiban

menyetorkan uang masing-masing sepuluh juta rupiah ke

BKN dan dua puluh juta rupiah ke UNPAD. Dicontohkan oleh

bupati pada seleksi CPNSD tahun 2009 dirinya mendapat

jatah 97 orang CPNSD. Artinya, bupati harus menyetorkan

138

uang ke BKN sebesar Rp. 970.000.000,- (sembilan ratus tujuh

puluh juta rupiah) dan ke UNPAD

Rp. 1.940.000.000,- (satu milyar sembilan ratus empat puluh

juta rupiah). Untuk dua lembaga itu bupati harus

mengeluarkan uang sebesar Rp. 2.910.000.000,- (dua milyar

sembilan ratus sepuluh juta rupiah).

Tentu saja bupati tidak mungkin mengeluarkan uang

begitu saja dari koceknya sendiri atau dari APBD, melainkan

terpaksa menjual jatah tersebut di luar jatah yang

digratiskan. Dicontohkan bupati Aceng HM Fikri dari jatah 97

orang diambil 20 % (kurang lebih 20 orang), selebihnya

sekitar 77 orang jatah yang kemudian dijual dengan harga

rata-rata enam puluh juta rupiah karena ada yang mencapai

di atas tujuh puluh lima juta rupiah. Artinya, bupati bisa

mengantongi uang sebesar Rp. 4.620.000.000,- (empat

milyar enam ratus dua puluh juta rupiah).

Dari dana yang diperoleh sebesar Rp. 4.620.000.000,-

(empat milyar enam ratus dua puluh juta rupiah) disetorkan

ke BKN dan UNPAD sebesar Rp. 2.910.000.000,- (dua milyar

sembilan ratus sepuluh juta rupiah) maka bupati masih

mengantongi hasil penjualan jatah CPNSD sebesar

Rp. 1.710.000.000,- (satu milyar tujuh ratus sepuluh juta

rupiah). Memang setiap penerimaan CPNSD menjadi ajang

jual beli yang diistilahkan banyak orang adalah “jual jongko”.

(*).

top related