sutriani seminar
Post on 27-Nov-2015
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH SEMINAR
“AHIMSA DALAM KACAMATA
FILSAFAT”
OLEH:NI NYOMAN SUTRIANI
S1.VIII.01/ 06.900
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
AGAMA HINDU AMLAPURA
2010
AHIMSA DALAM KACA MATA FILSAFATOLEH:
NI NYOMAN SUTRIANIS1.VIII.01/ 06.900
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan filsafat tidak dapat dipisah satu sama lain. Di balik
hingar bingarnya kecanggihan yang dijanjikan ilmu pengetahuan hendaknya tidak
melupakan apa substansi dari keberadaan kecanggihan tersebut. Apabila hal
tersebut telah disadari, niscaya tidak ada yang namanya kekacauan di dunia ini.
Akan tetapi perkembangan rasio ini pulalah yang kerap membuat manusia khilaf
dan saling menjatuhkan sesamanya. Karenanya hatus ada keseimbangan antara
ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama di dalamnya.
Bagaimanapun cerdasnya manusia dengan ilmu pengetahuan dan agama
tanpa filsafat ia bagaikan makhluk tanpa kepala. Hal ini sering kita lihat di negara-
negara Timur Tengah. Dimana hampir tujuh hari dalam seminggu kita mendengar,
melihat dan membaca berita tentang perang dengan persenjataan super canggih
yang dilatar belakangi masalah agama.
Ahimsa adalah salah satu nilai keagamaan yang hendak kita telaah secara
filsafatis. Dimana kita tahu bahwa nilai-nilai kemanusiaan di jaman sekarang amat
begitu rendahnya di mata saudara-saaudara kita yang lupa akan hal tersebut.
Dalam ajaran Agama Hindu bahkan semua agama di dunia tentunya amat
melarang atau mengharamkan umatnya untuk saling menyakiti sesama umat
manusia namun pertanyaan yang timbul adalah “kenapa masih terjadi?”. Tentunya
hal ini dikarenakan begitu rendahnya pemahaman filsafat yang dimiliki umat.
Kebijaksanaan dalam filsafat adalah rasa dingin dalam es yang menjiwai
apapun yang ada di dunia ini. Dan agama adalah ucapan yang menyebut es itu
dingin. Agama akan buta dan lumpuh tanpa filsafat dan apabila hal ini tidak
disadari otomatis akan membuat penyimpangan-penyimpangan nilai yang ada
dalam agama tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang hal ini, disini akan dibahas
bagaimana pandangan Agama Hindu dan filsafat tentang Ahimsa.
AHIMSA DALAM PANDANGAN AGAMA HINDUAhimsa adalah ajaran Susila atau Etika Hindu yang tergolong dalam Panca
Yama Brata yakni lima macam pengendalian diri yang berarti tidak menyakiti
atau tidak membunuh sesama makhluk. Mahatma Gandhi dalam ajarannya juga
mendoktrinkan Ahimsa bukan hanya dalam teori tapi lebih bersifat praktis dengan
melakukan “vegetarianisme”. Meski secara praktis Gandhi menanamkan ajaran
Ahimsa melalui vegetarianisme, namun oleh Maharsi Manu dinyatakan bahwa:
“tidak ada orang yang lebih berdosa dibanding orang yang hanya menyembelih
binatang hanya untuk kesenangan pribadi dan golongannya tanpa melakukan
yadnya kepada Tuhan ataupun orang banyak”. Namun ditambahkan lagi adapun
pengecualiannya yakni: “ia yang memakan daging untuk dipersembahkan kepada
Tuhan (yadnya) ataupun kepada orang banyak, ia lepas dari dosa, apakah dari
membeli, menyembelih, ataupun menerima dari orang lain yang tidak berdosa”.
Etika Ahimsa jauh ada sebelum masuknya filsafat modern. Ahimsa sudah
mulai dikenal berabad-abad sebelum Masehi dalam filsafat Hindu Kuno utamanya
Chandogya Upanisad. Dimana ajaran nir-kekerasan ini termaktub pada bab III
sloka 7 pada kitab suci tersebut. Dimana dalam Chandogya, Himsa Karma
(membunuh, menyakiti) dinyatakan sebagai salah satu dari lima perbuatan dosa
yang maha besar. Manusia memiliki kecenderungan dua sifat pokok yang
antagonis dalam dirinya yaitu sifat keraksaan dan kedewataan yang termaktub
dengan jelas dalam kitab suci Hindu baik Sruti maupun Smrti seperti Bhagawad
Gita, Sarasamuscaya, dan kitab suci lainnya.
Kedua sifat inilah yang menimbulkan kecenderungan manusia untuk
berbuat baik ataupun buruk. Sifat keraksasaan (Asuri Sampad) membuat manusia
gelap mata karena diliputi oleh Sad Ripu dalam dirinya dan cenderung menyakiti
makhluk lain bahkan hingga membunuh. Bagaimanapun juga, segala tindakan
destruktif manusia, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, baik yang
menggunakan agama sebagai tameng kepentingan atau yang tidak, selalu berawal
dari tidak terkelolanya dengan baik Sad Ripu yang ada di dalam diri manusia.
Pada akhirnya, manusia yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu derajatnya
lebih rendah dari hewan. Dalam kitab Sarasamuscaya sloka 136 dinyatakan
sebagai berikut.
Bila orang itu sayang akan hidupnya, apa sebabnya ia itu ingin memusnahkan hidup makhluk lain; hal itu sekali-kali tidak memakai ukuran diri sendiri, segala sesuatu yang akan dapat menyenangkan kepada dirinya, mestinya itulah seharusnya dicita-citakannya terhadap makhluk lain.
Dalam sloka ini jelas dipaparkan bahwa hendaknya manusia tidak
menyiksa makhluk lain dan menciptakan kebahagiaan bagi sesamanya. Sebab
dalam Panca Sradha umat Hindu juga telah tertanam apa yang kita kenal dengan
karmaphala dan punarbhawa. Semua perbuatan yang manusia lakukan pastinya
berbuah dan mempengaruhi kegidupannya di masa datang. Seperti yang tercantum
dalam sloka berikut.
Akan tetapi orang yang keadaannya begini, menitis lahir menjadi manusia pada orang yang bernoda, berpenyakitan, berkelakuan jahat, bertabiat menyakiti (membunuh), pendek umurlah diperoleh oleh orang yang berkeadaan demikian, hal ini adalah akibat perbuatannya bengis dulu pada waktu penjelmaannya sebelum ini (yang lampau). (Sarasamusccaya,: 148)
Dalam sloka ini telah nyata dujelaskan bahwa ia yang menjalankan Himsa
Karma pada masa hidupnya niscaya akan terlahir dalam keadaan sengsara di
kehidupannya mendatang. Kesengsaraan akan datang bertubi-tubi padanya
ataupun pada keturunannya nanti. Hendaknya etika Ahimsa ini tidak hanya
diaplikasikan lewat ajaran vegetarianisme akan tetapi lebih menekankan kepada
pengaplikasian dalam Tri Kaya Parisudha baik itu wacika, manacika, dan kayika.
Bagaimanapun juga, makna ahimsā akan kabur jika misalnya, perut sudah tidak
terisi daging tetapi perkataan, tingkah laku dan pikiran kita masih terpengaruh
oleh sifat-sifat ke-daging-an (hewani). Bahwa ahimsā seharusnya terimplementasi
ke dalam Tri Kaya Parisuda dan atau Sukma.
Dimana secara jelas hal tersebut di atas termaktub dalam kitab suci Hindu
semisal: Yajur Weda, XXI.61, Yajur Weda, XIX.29, Rg Weda, X.19.4, ataupun
Bhagawadgita XVI.20. Dimana dalam persfektif kitab-kitab tersebut haruslah
nilai Ahimsa tersebut mampu kita tanamkan dalam semua aspek hidup ini guna
tercapainya Mokshartam Jagadhita.
AHIMSA DALAM KACA MATA FILSAFAT
Sekali lagi Etika Ahimsa telah ada sebelum filsafat modern. Dimana ajaran
ini telah ada dalam ajaran filsafat yang telah ada sejak jaman dahulu kala. Ajaran
filsafat yang dimaksud adalah Bhagavad Gita dan Chandogya Upanisad. Bahkan
bisa dikatakan bahwa kitan-kitab ini menjadi inspirasi bagi filsuf modern. Melihat
Ahimsa adalah salah satu ajaran etika yang dikenalkan filsafat kuno, bagaimana
Ahimsa dalam kajian filsafat ilmu?
Secara etimologi Filsafat, philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau
philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos
(cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari pengertian
tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk
mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk
merenungkan relaitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan
kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila
akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat
sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang relaitas?
Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpikir”.
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di
awang-awang (= tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada
dalam kehidupan kita sehari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit, karena
menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup
kita.
Etika sudah dikenal sejak zaman Sokrates. Etika adalah sebentuk gagasan
yang merumuskan tentang kelaziman tertentu yang seharusnya dilakoni oleh
manusia dalam hidupnya. Dengan kata lain, etika, sebagai cabang filsafat,
membicarakan soal-soal praktis hidup. Menurut Richard Lindsay, ada dua bentuk
pertanyaan etika: 1). bagaimana seharusnya manusia berperilaku?; 2). apakah ada
kebenaran obyektif moralitas?
Dua pertanyaan di atas menyangkut dua bentuk etika, yaitu etika normatif
dan meta-etika. Ada banyak macam etika yang kini semakin spesifik di bagai
disiplin ilmu, misalnya etika kedokteran, etika bisnis, dsb. Agama pun demikian.
Agama, yang memiliki sistem etika sendiri, menjawab sekaligus dua pertanyaan
Lindsay di atas. Etika agama juga bersifat praktis. Kebenaran obyektif etika
agama terletak pada reward and punishment-nya. Salah satu etika praktis agama
adalah Ahimsā atau Nir-Kekerasan (non-violence).
Ada tiga mazhab besar Filsafat Etika Barat. Yang pertama Hedonisme
yang menganggap “kenikmatan” sebagai ukuran etis; yang kedua adalah Hukum
Moral yakni Prinsip Universalitas dan Kemanusiaan sebagai tujuan dan bukan
sekadar sarana, tokohnya adalah Immanuel Kant (1724 – 1804); dan yang ketiga
adalah Realisasi Diri yaitu virtue sebagai tujuan, tokohnya Plato dan Aristoteles.
Istilah Humanisme di kemudian hari banyak dipengaruhi oleh pemikiran
Immanuel Kant yang menganggap bahwa ukuran etis adalah prinsip-prinsip
kemanusiaan.
Etika Ahimsā dalam teori modern adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia (10
Desember 1948) sebagai reaksi keras atas kebiadaban Perang Dunia I dan II, dan
juga bagian dari humanisme. Dengan kata lain, ahimsā dalam dunia modern
adalah humanisme yang menentang kekerasan. Perbedaannya dengan Etika
Ahimsā menurut agama, adalah ahimsā-non-agama kebenaran obyektifnya
bersifat relatif, bisa diperdebatkan, sementara ahimsā-agama kebenaran
obyektifnya berada pada doktrin reward and punisment-nya yaitu Jagadhita
(kebahagiaan dunia) dan Moksa (kebahagiaan akhirat).
Kerangka berpikir filsafat adalah rasional dan ilmiah dimana dari kerangka
berpikir tentang Ahimsa kita bisa mengambil suatu hipotesis kemudian menarik
kesimpulan dan menjadi suatu kebenaran. Dalam hal ini Ahimsa dapat dinyatakan
dalam contoh resiprok yakni aksi dan reaksi. Dimana suatu tindakan akan
menimbulkan akibat. Misalkan kita menyakiti orang dengan caci maki secara
otomatis orang yang kita caci akan merasa sakit hati dan ada keinginan untuk
membalas cacian kita. Namun lambat laun apa yang kita lakukan akan berbuah.
Mungkin bukan dari orag yang kita caci melainkan bisa juga dari orang lain.
Dimana hal ini terkait dengan kebenaran universal akan karmaphala.
Ada satu hal yang kita bisa sangsikan dari suatu teori keagamaan apabila
dilihat dari segi rasionalitas keilmuan. Namun apabila kita melihat filsafat yang
ada di dalamnya kita bisa meyakini bahwa suatu kebenaran agama sama
derajatnya dengan kebenaran rasionalistis ilmu pengetahuan.
Adapun yang menjadi persoalan dalam filsafat adalah keberadaan (being)
atau eksistensi, pengetahuan (knowledge) atau kebearan (truth), dan nilai (values).
Kebenaran reaksi Ahimsa secara ilmiah memang sulit untuk dibuktikan namun
dengan cara berpikir rasional dan nilai yang ada di dalamnya kita bisa memastikan
Ahimsa sebagai suatu kebenaran sejati. Kita memang menyangkakan karma dari
Ahimsa karena ada kalanya hasil dari karma tersebut tidak kita terima secara
bersamaan. Namun kita bisa mengambil kesimpulan akan kebenaran Ahimsa
melalui sebuah contoh. Ada sebuah nilai yang terkandung dalam etika Ahimsa
yang begitu relevan kita aplikasikan dalam kehidupan ini.
KESIMPULAN
Ahimsa adalah ajaran Susila atau Etika Hindu yang tergolong dalam Panca
Yama Brata yakni lima macam pengendalian diri yang berarti tidak menyakiti
atau tidak membunuh sesama makhluk. Ahimsa adalah satu ajaran tuntunan bagi
umat manusia dalam kehidupannya guna mencapai Shanti atau kedamaian yakni
tanda bahwa agama menuntun umatnya untuk berpikir, bertutur, dan berlaku
damai, dan menghindari kekerasan. Dimana kita ketahui bersama, bahwa
kekerasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Ahimsa itu penting dan
hendaknya kita mulai diri sendiri dengan pengendalian hawa nafsu (Sad Ripu).
Pengendalian Sad Ripu ini kita barengi dengan Tri Kaya Parisudha niscaya kita
akan mencapai hidup yang bahagia dunia dan akhirat (Moksartham Jagadhita ya
ca iti Dharma).
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, Nyoman. 2008. Filsafat Ilmu (Bahan Ajar). Amlapura: STKIP Agama Hindu Amlapura.
Emawati, Ida Ayu Agung. 2006. Etika Hindu (Bahan Ajar). Amlapura: STKIP Agama Hindu Amlapura.
Pudja, G. 2004. Bhagavad Gita. Surabaya: Paramitha.
Kadjeng, I Njoman. 1971. Sarasamuscaya. Proyek Penerbitan Kitab Suci Hindu dan Budha Direktorat Djendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
Thoyibi, M. 2003. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Surakarta: Universitas Muhamidiyah
Tim Dosen Filsafat Ilmu UEM. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
http://www.babadbali.com
http://www.parisadha.org
http://www.iloveblue.com
http://pesantrenciganjur.com
top related