surimi raissa alda komala 12.70.0049 b6 unika soegijapranata semarang

Post on 09-Oct-2015

14 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

Surimi merupakan salah satu produk pengolahan perantara alternatif di industri pengolahan ikan. Surimi menjadi bahan dasar dalam pembuatan bakso, sosis, dan nugget yang berbasis ikan. Surimi mengandung protein dalam jumlah yang tinggi.

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan dari surimi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan SurimiKelompokPerlakuanWHC (mg H2O)Sensoris

KekenyalanAroma

1Sukrosa 2,5%Garam 2,5%Polifosfat 0,1%240028,06+++

2Sukrosa 2,5%Garam 2,5%Polifosfat 0,1%285154,75+++++

3Sukrosa 2,5%Garam 2,5%Polifosfat 0,3%288857,17++++

4Sukrosa 5%Garam 2,5%Polifosfat 0,3%317967,62+++

5Sukrosa 5%Garam 2,5%Polifosfat 0,5%2761163,82++++

6Sukrosa 5%Garam 2,5%Polifosfat 0,5%284725,74+++

Keterangan:Kekenyalan :Aroma+: tidak kenyal +: tidak amis ++: kenyal ++: amis+++: sangat kenyal +++: sangat amis

Dari tabel diatas, proses pembuatan surimi dilakukan dengan perlakuan yang berbeda-beda. Penambahan kadar garam dari setiap kelompok sama. Pada kelompok 1, kelompok 2 dan kelompok 3 ditambah dengan sukrosa 2,5% dan pada kelompok 4, kelompok 5, dan kelompok 6 ditambah dengan sukrosa 5%. Sedangkan polifosfat 0,1% ditambahkan ke dalam surimi kelompok 1 dan kelompok 2, polifosfat 0,3% ditambahkan ke dalam surimi kelompok 3 dan kelompok 4 dan polifosfat 0,5% ditambahkan ke dalam surimi kelompok 5 dan kelompok 6. Surimi kelompok 4 memiliki daya pengikatan air yang paling tinggi sebesar 317967,62 dengan kadar sukrosa 5% dan polifosfat 0,3%, sedangkan daya pengikatan air yang paling rendah pada surimmi kelompok 1 sebesar 240028,06 dengan kadar sukrosa 2,5% dan polifosfat 0,1%. Surimi kelompok 1, kelompok 4, dan kelompok 6 memiliki tekstur yang tidak kenyal, sedangkan pada surimi kelompok 2, kelompok 3, dan kelompok 4 memiliki tekstur yang kenyal. Aroma surimi yang paling amis adalah surimi kelompok 3 dan aroma surimi kelompok 1, kelompok 2, kelompok 4, kelompok 5, dan kelompok 6 memiliki aroma yang amis.

11

2. 10

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum surimi ini memiliki tujuan untuk mengetahui proses pembuatan surimi yang menjadi salah satu produk perantara alternatif di industri pengolahan ikan. Menurut pendapat Alonso et al (2005), masyarakat di jaman sekarang tertarik dengan ahal-hal yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka, salah satunya adalah nilai nutrisi yang ada didalam dietary fiber. Produk surimi menurut Miyauchi (1970), adalah produk semi processed dari protein ikan yang menjadi bahan dasar pembuatan bakso, sosis, dan nuget yang berbasis ikan. Produk Kamaboko di Jepang juga menggunakan surimi. Menurut pendapat dari Tanaka (2001), surimi mengandung protein miofibril dengan konsentrasi yang tinggi sehingga menyebabkan tekstur surimi menjadi elastis dan kenyal. Benjakul (2003) juga menambahkan, daging ikan yang dicacah dan dicuci, mengandung protein yang larut didalam garam dan dapat membentuk gel yang unik. Sebelum dimasak pada suhu 400C, kekuatan gel surimi akan meningkat. Selain air, protein juga menjadi salah satu komponen penyusun ikan terbesar yang penting bagi tubuh. Protein pada ikan dibagi menjadi protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein jaringan ikat. Protein miofibril menempati proporsi yang paling tinggi karena larut didalam garam dan berfungsi pada kontraksi otot. 3 bagian penyusun protein miofibril, yaitu miosin, aktin, dan protein regulasi yang terdiri dari tropomin, tropomiosin, dan aktinin. Menurut pendapat dari Andini (2006), pada proses pembuatan surimi, protein miofibril akan berperan untuk membentuk gel. Menurut pendapat dari Suzuki (1981), surimi digunakan sebagai ingredient structural karena protein miofibril dapat membentuk gel yang elastis dan kuat karena adanya pemanasan. Surimi juga dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi.

Pada praktikum surimi ini, ikan yang digunakan adalah ikan tongkol. Peranginangin et al (1999) berpendapat bahwa dalam pembuatan surimi, hanya ikan tertentu yang dapat digunakan. Ikan yang memiliki daging putih, tidak amis, memiliki kemampuan untuk membentuk gel yang baik, dan tidak berbau lumpur yang dapat digunakan untuk menghasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Koswara (2001) berpendapat bahwa pembuatan surimi dipengaruhi oleh kualitas ikan. Tingkat kesegaran ikan yang tinggi akan menghasilkan surimi dengan tingkat elastisitas yang tinggi, sedangkan pada surimi dengan tingkat elastisitas yang rendah, dapat dilakukan dengan penambahan pati, gula, protein nabati, dan ikan jenis lain. Kandungan lemak yang ada pada ikan juga mempengaruhi surimi yang dihasilkan. Adanya lemak dapat menyebabkan surimi mudah mengalami ketengikan dan akan mempengaruhi daya gelatinisasi. Bila kandungan lemak pada ikan tinggi, lemak ikan harus diekstrak terlebih dahulu. Sedangkan menurut Panpipat et al (2009), dark-fish surimi dengan kualitas tinggi memiliki kemampuan untuk meningkatkan kekuatan gel dan warna putih diperoleh ketika dicampur dengan white-fleshed surimi. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (1992), surimi beku memiliki kandungan lemak maksimal sebanyak 0,5%. Sedangkan menurut Ng and Huda (2011), kualitas surimi dipengaruhi tingginya kandungan lemak yang dimulai dari proses oksidasi lemak yang menyebabkan penurunan proses gelasi dan sifat fungsional yang berubah. Nemurut Tanaka (2001), ciri-ciri surimi yang baik seperti berwarna putih, memiliki elastisitas yang tinggi, dan memiliki flavor yang baik. Surimi dapat dihasilkan dari daging ikan yang dilumat dan telah melewati proses pencucian yang berulang, pengepresan, penambahan food additive, pengemasan, dan pembekuan. Menurut pendapat dari Koswara et al (2001), pH yang ideal dalam pembuatan surimi yaitu pada pH 6,5-7.

Cara pembuatan surimi yaitu pertama, bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulit ikan dipisahkan dari fillet dan kemudian dicuci dengan air mengalir. Adanya proses pencucian ini sesuai dengan pendapat dari Andini (2006) yang menyatakan bahwa proses pencucian berulang dapat menghilangkan darah, bau, pigmen, dan lemak yang selanjutnya disimpan pada kondisi dingin -10oC- -20oC. Santana et al (2012) menambahkan bahwa surimi dihasilkan dari proses ekstraksi daging ikan yang telah dilumat dan dicuci kemudian dipisahkan dari kulit, tulang, dan jeroannya. Menurut pendapat dari Lan et al (1995), selain penambahan garam, faktor yang juga mempengaruhi pembentukan gel oleh protein sarkoplasma yaitu pH, kekuatan ion, suhu, laju pemanasan, jenis ikan dan bahan baku. Kemudian daging putihnya diambil sebanyak 100 gram dan daging digiling hingga halus dan untuk menjaga suhu agar tetap rendah dapat ditambah dengan es batu. Selanjutnya, daging ikan dicuci menggunakan air es sebanyak 3 kali dan disaring menggunakan kain saring. Menurut pendapat Miyauchi (1970), adanya penambahan bahan tambahan makanan pada fillet setelah pencucian bertujuan agar produk surimi tidak mudah rusak. Menurut pendapat Andini (2006), air yang digunakan untuk mencuci dan menggiling daging harus diperhatikan karena suhu air akan mempengaruhi jumlah protein larut air yang hilang saat proses pencucian sehingga akan mempengaruhi kekuatan gel surimi. Protein larut air akan lebih banyak hilang bila daging dicuci dengan menggunakan air yang suhunya lebih dari 150C. Hancuran daging ikan yang dicuci pada suhu 100C-150C akan menghasilkan kekuatan gel yang terbaik.

Bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam surimi yaitu sukrosa dan polifosfat. Sukrosa dan polifosfat dapat mencegah denaturasi protein saat disimpan dalam keadaan dingin dan meningkatkan kekuatan gel. Pada produk ka-en surimi ditambah garam. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Agustiani et al (2006), yang menyatakan bahwa surimi tediri dari 2 macam, yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi. Mu-en surimi dibuat tanpa penambahan garam, sedangkan ka-en surimi dibuat dengan penambahan garam dengan konsentrasi tertentu. Lalu hancuran daging ditambah dengan sukrosa sebanyak 2,5% untuk kelompok 1, kelompok 2, dan kelompok 3 dan 5% untuk kelompok 4, kelompok 5, dan kelompok 6. Menurut pendapat dari Nopianti et al., (2010), adanya penambahan sukrosa akan mencegah terjadinya denaturasi protein sehingga dihasilkan struktur gel yang baik dan dapat bertahan. Sedangkan menurut Huda et al (2001), adanya penambahan sukrosa akan mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku dan pengeringan, dan bertujuan untuk menjaga sifat fungsional protein seperti kelarutan, daya pengikatan air, pembentukan gel, emulsi, pembentukan buih dan warna. Bahan tambahan tersebut adalah cryoprotectant atau dryoprotectant. Pada hancuran daging juga ditambah dengan polifosfat sebanyak 0,1% untuk kelompok 1 dan kelompok 2; 0,3% untuk kelompok 3 dan kelompok 4; dan 0,5% untuk kelompok 5 dan kelompok 6. Nopianti et al (2010) menyatakan bahwa penambahan polifosfat bertujuan untuk meningkatkan tingkat pemotongan sehingga viskositas pasta ikan menurun. Natrium tripolifosfat mengandung gugus fosfat orthophosphate. Bila orthophosphate mengandung 2 gugus fosfat, disebut dengan pyrophosphates; 3 gugus fosfat disebut dengan triphosphates; 4 gugus fosfat disebut dengan tetraphosphates; dan 5-15 gugus fosfat disebut dengan oligophosphates. Penambahan orthophosphates juga akan meningkatkan pH sehingga pembentukan gel dan kekuatan gel, kepadatan tekstur, dan kapasitas untuk mengikat air juga akan meningkat. Penambahan polifosfat sebesar 0,5% menghasilkan kekuatan gel yang paling besar. Setiap penambahan fosfat akan diikuti dengan penambahan sukrosa. Hancuran daging juga ditambah garam sebanyak 2,5% (untuk semua kelompok) yang bertujuan untuk proses pembentukan gel secara optimal. Menurut pendapat dari Tan et al., (1988), penambahan konsentrasi garam kurang dari 2% akan menyebabkan miofibril tidak dapat larut dan bila lebih dari 12% akan menyebabkan miofibril mengalami hidrasi dan salting out. Pada pembuatan surimi, konsentrasi garam yang sering digunakan adalah 2-3%.

Kemudian hancuran daging ikan dimasukkan ke dalam wadah dan dibekukan di dalam freezer selama 24 jam. Setelah difreezer, surimi dithawing dan diukur WHC, dan kualitas sensorisnya seperti kekenyalan dan aroma. Menurut pendapat dari Singh & D. R. Heldman (2001), freezing sering dilakukan untuk mengawetkan bahan pangan agar umur simpannya lebih panjang. Sedangkan menurut pendapat Tina et al (2010), surimi dapat mengalami perubahan biokimia walaupun telah disimpan di dalam freezer. Hal ini berkaitan dengan adanya proses gelasi dan denaturasi protein miofibril. Terjadinya denaturasi protein akan menyebabkan surimi kehilangan kemampuan membentuk gel bila disimpan pada suhu -180C. Menurut pendapat dari Soeparno (1994), protein daging memiliki kemampuan untuk mengikat air yang disebut dengan water holding capacity atau water binding capacity (WHC atau WBC). Daging mempu mengikat air selama daging memperoleh pengaruh dari luar seperti pemanasan, pemotongan daging, penggilingan, dan tekanan.

Dari tabel hasil pengamatan, proses pembuatan surimi diberi perlakuan yang berbeda-beda tiap kelompok, namun penambahan jumlah kadar garam pada setiap kelompok sama. Pada praktikum ini, proses pembuatan surimi dilakukan dengan menambah sukrosa dan polifosfat sehingga disebut dengan ka-en surimi. Pada kelompok 1 dan kelompok 2 ditambah sukrosa 2,5% dan polifosfat 0,1%, pada kelompok 3 ditambah dengan sukrosa 2,5% dan polifosfat 0,3%, pada kelompok 4 ditambah dengan sukrosa 5% dan polifosfat 0,3%, dan kelompok 5 dan kelompok 6 ditambah dengan sukrosa 5% dan polifosfat 0,5%. Pada proses pencucian, penambahan sukrosa (dalam konsentrasi yang berbeda-beda) sebagai bahan cryoprotectant, fosfat sebagai bahan polifosfat, dan proses freezing akan mempengaruhi hasil akhir produk surimi. Proses pencucian berulang bertujuan untuk mempengaruhi konsentrasi protein larut garam dan warna akhir produk. Pada pembuatan surimi, pencucian berulang akan menghasilkan produk dengan konsentrasi protein larut garam yang tinggi dan warnanya akan tercampur rata dengan bahan lain. Surimi yang dicuci dengan larutan asam maupun basa memiliki hasil yang lebih baik bila dibandingkan dicuci dengan air.

Dari hasil pengamatan, niali WHC surimi yang ditambah dengan sukrosa 5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,3% pada kelompok 3 yang paling tinggi yaitu 317967,92 mg. Menurut Tina et al (2010), penambahan sukrosa sebahai bahan cryoprotectant dengan kadar yang tinggi mampu menstabilkan aktivitas enzimatik larutan saat disimpan dalam keadaan beku dan pada saat dithawing. Biasanya pada proses pembuatan surimi, sukrosa dikombinasikan dengan sorbitol dengan perbandingan 1:1, namun penggunaan sukrosa dan sorbitol dalam konsentrasi tinggi akan menghasilkan surimi dengan tingkat kemanisan yang tinggi. Pada kelompok 1 yang ditambah dengan sukrosa 2,5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,1% memiliki nilai WHC yang paling kecil bila dibandingkan dengan nilai WHC kelompok 2 yang juga menggunakan konsentrasi yang sama, yaitu pada kelompok 1 sebesar 240028,06 dan pada kelompok 2 sebesar 285154,75. Pada surimi dengan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,1% memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan surimi yang ditambah dengan sukrosa 2,5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,3% pada kelompok 3 dan kelompok 4, dan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,5% pada kelompok 5 dan kelompok 6. Nilai WHC kelompok 1 yaitu 240028,06; pada kelompok 2 yaitu 285154,75; pada kelompok 3 yaitu 288857,17; pada kelompok 4 yaitu 317967,62; pada kelompok 5 yaitu 276163,82 dan pada kelompok 6 yaitu 284725,74. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Sarker et al (2012) yaitu bahan cryoprotectant seperti sukrosa dan polifosfat yang ditambahkan ke dalam surimi akan mencegah terjadinya denaturasi protein terutama aktomiosin saat disimpan dalam keadaan beku. Santana et al (2012) menambahkan, untuk mencegah denaturasi protein juga dapat ditambah dengan sukrosa 4%, sorbitol 4%, dan fosfat 0,2% yang biasa dilakukan secara komersial. Bila penambahan bahan cryoprotectant semakin meningkat, protein akan semakin terlindungi dari proses denaturasi yang berkatian dengan daya pengikatan air (kemampuan protein untuk mengikat air dalam jumlah besar dari ikatan hidrogen dengan residu asam amino yang penting dalam proses pembentukan gel dan emulsi. Daya pengikatan air akan baik bila protein tidak rusak. Menurut pendapat dari Fennema (1985), sukrosa memiliki gugus polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air, sehingga gula dapat meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah molekul air keluar dari protein. Maka dapat disimpulkan bahwa daya daya pengikatan air akan meningkat bila cryoprotectant yang ditambah juga semakin banyak.

Aroma surimi kelompok 2 dengan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,1% yang paling amis bila dibandingkan dengan aroma surimi kelompok 1, 3, 4, 5, dan 6. Pada surimi kelompok 2, kelompok 3, dan kelompok 5 memiliki tekstur yang kenyal, dan pada kelompok 1, kelompok 4, dan kelompok 6 memiliki tekstur yang tidak kenyal. Penambahan cryoprotectant dalam jumlah sedikit akan menghasilkan tekstur yang kenyal dan penambahan cryoprotectant dalam jumlah banyak akan menyebabkan tekstur menjadi tidak kenyal. Menurut pendapat Toyoda et al (1992), adanya penambahan polyphosphate menyebabkan tekstur surimi menjadi tidak keras. Namun menurut Meritt et al (1982), kelemahan metode sensori yaitu sulit dalam menstandarisasi dan memiliki hasil yang subjektif, namun juga memiliki kelebihan karena menjadi metode yang paling memuaskan dalam menilai parameter sensoris. Metode sensori mudah diaplikasikan ke seluruh jenis produk dan tidak membutuhkan fasilitas laboratorium.

4. KESIMPULAN

Surimi dibuat dari daging ikan yang dicacah. Didalam surimi terdapat protein miofibril larut garam dan berfungsi untuk pembentukan gel. Untuk memperoleh surimi dengan tingkat elastisitas yang tinggi, daging ikan yang digunakan adalah daging ikan segar. Surimi yang bermutu baik memiliki ciri-ciri berwarna putih, elastisitas tinggi, dan punya flavor yang baik. Proses pencucian berulang dapat menghilangkan komponen bau, pigmen, darah, dan lemak. Surimi ada 2 jenis, yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi. Mu-en surimi dibuat tanpa penambahan garam, sedangkan ka-en surimi dibuat dengan pengambahan garam, namun dengan konsentrasi tertentu. Sukrosa yang ditambahkan ke dalam surimi dapat melindungi protein dari denaturasi selama disimpan dalam keadaan beku. Penambahan polifosfat ke dalam surimi dapat meningkatkan pH dan akan meningkatkan kekuatan gel, kepadatan tekstur, dan pembuatan gel. Bila konsentrasi polifosfat meningkat, surimi akan semakin tidak kenyal. Bila konsentrasi sukrosa meningkat, maka nilai WHC juga semakin tinggi. Semakin banyak polifosfat yang ditambahkan, aroma amis akan semakin berkurang. Protein ikan dibagi menjadi protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein jaringan ikat. Kualitas ikan akan mempengaruhi produk akhir surimi. Surimi mudah menjadi tengik bila terdapat lemak didalam surimi. Suhu air yang digunakan untuk mencuci dan menggiling daging akan mempengaruhi jumlah protein larut air.

Semarang, 6 Oktober 2014Asisten dosen- Dea Nahania

Raissa Alda Komala12.70.00495. 6. DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Alonso, I.S; R. H. Maleki; A. J. Borderias. (2005). Effect Of Wheat Fibre In Frozen Stored Fish Muscular Gels. Eur Food Res Technol (2006).

Andini, Yulita Sari. (2006). Karakteristik Surimi Hasil Ozonisasi Daging Merah Ikan Tongkol (Euthynnus sp.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia. 01 2694 1992. Surimi Beku. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Benjakul, Soottawat, Chakkawat Chantarasuwan, Wonnop Visessanguan. (2003). Effect of medium temperature setting on gelling characteristics of surimi from some tropical fish. Food Chemistry 82 (2003) 567574.

Fennema, O.R. (1985).Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded.New York: Marcel Dekker, Inc.

Huda, Nurul, Aminah Abdullah dan Abdul Salam Babji. (2001). Functional properties of surimi powder from three Malaysian marine Fish. International Journal of Food Science and Technology 2001, 36, 401406.

Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press.

Lan,H. Y., Mu W., Nikolic-Paterson D.J., and Atkins R.C. (1995). A Novel, Simple, Reliable, and Sensitive Method for Multiple Immunoenzyme Staining: Use of Microwave Oven Heating to Block Antibody Cross-Reactivity and Retrieve Antigens. J Histochem Cytochem 43:9710.

Meriit, J. H, M. L. Windsor, A. Aitken, I. M. Mackie. (1982). Fish Handling and Processing Second Edition. Her Majestys Stationery Office. Edinburgh.

Miyauchi, David, George Kudo and Max Patashnik. (1970). Surimi-A Semi-Processed Wet Fish Protein. Pacific Fishery Products Technology Center.

Ng, X. Y. and Huda, N. (2011). Thermal gelation properties and quality characteristics of duck surimi-like material (duckrimi) as affected by the selected washing processes. International Food Research Journal 18: 731-740.

Nopianti, Rodiana, Nurul Huda, and Noryati Ismail. (2010). Loss of functional properties of proteins during frozen storage and improvement of gel-forming properties of surimi. As. J. Food Ag-Ind. 3(06), 535-547. Panpipat, W.;M. Chaijan; and S. Benjakul. (2009). Gel Properties Of Croaker-Mackerel Surimi Blend. Elsevier.

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, dan Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut.

Santana, P., Huda, N. dan Yang, T. A. (2012). Technology for production of surimi powder and potential of applications. A review. International Food Research Journal 19(4): 1313-1323 (2012).

Sarker, Md. Zaidul Islam, M. Abd Elgadir, Sahena Ferdosh, Md. Jahurul Haque Akanda, Mohd Yazid Abdul Manap dan Takahiro Noda. (2012). Effect of Some Biopolymers on the Rheological Behavior of Surimi Gel. A Review. Molecules 2012, 17, 5733-5744; doi:10.3390/molecules17055733.

Singh, R. P. & R. Heldman. (2001). Introduction to food Engineering. 3rd Edition. Academic Press. Glasgow.

Soeparno. (1994). Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press. Yogyakarta.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publ Ltd.

Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.

Tanaka, M. (2001). Surimi and Surimi Products. Department of Food Science and Technology. Jepang.

Tina, N., Nurul, H. dan Ruzita, A. (2010). Surimi-like Material: Challenges and Prospect. A Review. International Food Research Journal 17: 509-517 (2010).

Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992) Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerella pinodes. Plant Cell Physiol. 33: 445-452.

7. LAMPIRAN

5.1. PerhitunganRumus WHC:Luas A = Luas B = Luas area basah = LA LB Kandungan air bebas = mg H2O =

Kelompok 1Luas A = = 28233,33Luas B = = 5470,67Luas Area Basah = La Lb = 28233,33 5470,67 = 22762,66mg H2O = = 240028,06

Kelompok 2Luas Atas = 32477Luas Bawah = 5436,33Luas Area Basah = La Lb = 32477 5436,33 = 27040,67mg H2O = = 285154,75

Kelompok 3Luas Atas = = 33550,83Luas Bawah = 6159,17Luas Area Basah = La Lb = 33550,83 6159,17 = 27391,66mg H2O = = 288857,17

Kelompok 4Luas Atas = = 38808Luas Bawah = 8705,67Luas Area Basah = La Lb = 38808 8705,67 = 30102,33mg H2O = = 317967,62

Kelompok 5Luas Atas = = 31745,83Luas Bawah = 5557,50Luas Area Basah = La Lb = 31745,83 5557,50 = 26188,33mg H2O = = 276163,82

Kelompok 6Luas A = = 33120Luas B = = 6120Luas area basah = LA LB = 33120 6120 = 27000mg H2O = = = 284725,74

5.2. Laporan Sementara

top related