studi keanekaragaman burung di hutan kota...
Post on 23-Feb-2018
244 Views
Preview:
TRANSCRIPT
STUDI KEANEKARAGAMAN BURUNG
DI HUTAN KOTA BUPERTA CIBUBUR
JAKARTA TIMUR
ADANG
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M / 1429 H
STUDI KEANEKARAGAMAN BURUNG DI HUTAN KOTA
BUPERTA CIBUBUR
JAKARTA TIMUR
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
ADANG
103095029750
Menyetujui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Fahma Wijayanti, M.Si Paskal Sukandar, M.Si
NIP. 150 326 910 NIP. 131 128 364
Mengetahui,
Ketua program Studi Biologi
DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud
NIP. 150 375 182
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul” Studi Keanekaragaman Burung di Hutan Kota BUPERTA
Cibubur, Jakarta Timur”, telah diuji dan dinyatakan lulus dalam Munaqosah
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada hari Rabu tanggal 24 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada
Program Studi Biologi.
Jakarta, Desember 2008
Tim Penguji
Penghuji I Penguji II
Menyetujui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi
Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis Dr. Lili Surayya Eka Putri , M.Env. Stud
NIP. 150 317 956 NIP. 150 375 182
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR-
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA APAPUN.
Jakarta, 22 Desember 2008
Adang
103095029750
ABSTRAK
Adang. Studi keanekaragaman burung di hutan kota Bumi Perkemahan Pramuka dan Graha Wisata (BUPERTA) Cibubur, Jakarta Timur. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.
BUPERTA Cibubur merupakan salah satu kawasan yang yang dijadikan sebagai hutan kota oleh PEMDA DKI Jakarta. Kurang terarahnya perencanaan tata ruang hutan kota tersebut menjadi ancaman kelangsungan hidup burung-burung yang ada di hutan kota tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang keanekaragaman burung dan profil habitat sebagai penunjang kelangsugan hidup bagi burung di hutan kota BUPERTA Cibubur. Metode penelitian dilakukan dengan metode survey. Sensus burung dilakukan dengan metode IPA Indices Puctue d’Abondance atau Indek titik kelimpahan pada stasiun yang telah ditentukan dan untuk profil habitat sketsa yang menitikberatkan wilayah yang banyak dimanfaatkan oleh burung dengan cara membuat plot yang telah ditentukan di masing-masing stasiun. Analisis data secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan keanekaragaman burung di 2 stasiun yaitu 1.159 pada stasiun 1 dan 1.173 pada stasiun 2 sedangkan profil habitat burung didapat dalam 3 lokasi yang secara umum dimanfaatkan oleh burung yaitu lokasi mencari makan, lokasi bermain dan lokasi istirahat atau tidur. Kelimpahan burung di hutan kota BUPERTA Cibubur bervariasi dengan tingkat dominansi tinggi sampai rendah.
Kata Kunci: Hutan kota, burung, keanekaragaman, habitat, kelimpahan
ABSTRACT
Adang. Study of bird diversity in urban forest at Bumi Perkemahan Pramuka and Graha Wisata (BUPERTA) Cibubur, Eastern Jakarta. Skripsi. Direction of Biology, Faculty Science and Technology. Islamic State of University Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.
BUPERTA Cibubur are anyting area who to increase as urban forest by goverment DKI Jakarta. Undirection planning place order urban forest to appoint to threaten directly life birds who life in urban forest. The riset purpose to visit information about of diversity bird and profil habitat as to kick continue life to bird in urban forest BUPERTA Cibubur. The method riset to perform with method survey. Cencus bird to perform with method IPA Indices Puctue d’Abundance. For station who aready to ascertain and for profil habitat sketsa who concentration area who much useful by bird with according makes ploting who aready to ascertaion at each station. The analysis date use descriptif. The result riset to indicate diversity bird in 2 station are 1.159 to station 1 and 1.173 to station 2 exactly profil habitat bird to find in 3 location who use general useful by bird are feeding location, playing location and rest or sleft location. The abundance bird in urban forest BUPERTA Cibubur variation with stratification dominant high to low.
Key words: Urban forest, bird, diversity, habitat, abundance
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “STUDI KEANEKARAGAMAN
BURUNG DI HUTAN KOTA BUMI PERKEMAHAN DAN GRAHA WISATA
(BUPERTA) CIBUBUR, JAKARTA TIMUR”. dibuat sebagai tugas akhir dan
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Ibunda Hj. Rodyah dan Ayahanda H. Anwar Madali (Alm.) yang telah
mencurahkan segala kasih sayang dan pengorbanan yang tidak terhingga
dan kupesembahkan skripsi ini kepada ayahku yang telah berada di sana.
2. DR. Sopiansyah Jaya Putra, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
3. DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud, selaku Ketua Program Studi
Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai dosen penguji II
pada seminar Proposal Penelitan.
4. Dra. Nani Radiastuti, M. Si, selaku dosen Pembimbing Akademik.
5. Fahma Wijayanti, M.Si, selaku Dosen Pembimbing I dan Paskal Sukandar,
M.Si, selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan semangat,
motivasi dan pinjaman bukunya dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Narti Fitriana, M.Si, selaku dosen Penguji I pada seminar Proposal
Penelitain.
7. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si, selaku dosen penguji I dan Priyanti, M.Si,
selaku penguji II pada siding Munaqosah.
8. Dosen-dosen Biologi yang telah mencurahkan ilmunya dengan tulus
terhadap kami selaku mahasiswa.
9. Antariksa, selaku Kepala BUPERTA dan staf jajarannya yang telah
menerima penulis untuk melakukan penelitian di hutan kota BUPERTA
Cibubur.
10. Kakak-kakakku dan adiku yang telah memberikan dorongan, kasih sayang
dan juga do’anya kepada penulis.
11. Ano atas pinjaman kameranya, Deden, Mardiansyah, Mae, Suci, Irul,
Sahriah, Mini, yang telah banyak membantu penulis selama penelitian dan
juga sarannya.
12. Teman-teman angkatan 2003: Ano, Mardiansyah, Nova, Angga, Deden,
Danil, Bahri, Mae, Wila, Yeni, Ade, Era, Irul dan semua teman-teman
angkatan 2003 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Semoga
kebersamaan baik canda, tawa selalu kita bina.
13. Dukungan teman-teman Biologi angkatan 2002, 2004 – 2008 yang tidak
dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
14. Inta, Giok, Farhana yang ada dalam satu kampus meskipun beda fakultas
terima kasih atas dorongan dan motivasinya kepada penulis.
15. Teman-teman JGM dan Green Monster: Adi, Putri, Suci, Dimas, Lia,
Martha atas pinjaman bukunya.
16. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam pembuatan
skripsi baik secara moril maupu materil.
Harapan penulis dengan skripsi ini semoga bermanfaat dan memberikan
nilai edukasi khususnya kepada saya pribadi umumnya kepada khalayak umum.
Namun sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan dengan keikhlasan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi adanya
suatu perubahan di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT memberikan
jalan yang lurus kepada kita semua. Amiin
Wassalamu’alaikum wr. wb
Jakarta, Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………. ii
ABSTRAK……………………………………………………………… v
ABSTRACT……………………………………………………………. vi
KATA PENGANTAR………………………………………………… vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………… viii
DAFTAR TABEL……………………………………………………… xi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………… xiii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang………………………………………………… 1
1.2. Perumusan Masalah…………………………………………... 3
1.3. Hipotesis……………………………………………………… 3
1.4. Tujuan Penelitian……………………………………………… 3
1.5. Manfaat Penelitian……………………………………………. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………. 5
2.1. BUPERTA……………………………………………………. 5
2.2. Hutan Kota……………………………………………………. 7
2.3. Bioekologi Burung……………………………………………. 10
2.3.1. Klasifikasi Burung……………………………………….. 10
2.3.2. Keanekaragaman Burung………………………………… 10
2.3.3. Habitat Burung…………………………………………… 11
2.3.4. Gangguan Terhadap Burung Kota……………………….. 14
2.3.5. Manfaat dan Fungsi Burung……………………………… 15
2.4. Kerangka Berfikir……………………………………………. 17
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……………………………. 19
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………… . 19
3.2. Peralatan Penelitian……………………………………………. 19
3.3. Metode Penelitian……………………………………………… 20
3.4. Cara Kerja……………………………………………………… 20
3.4.1. Penelitian Pendahuluan……………………………………. 21
3.4.2. Penelitian Inti……………………………………………… 21
3.4.2.1. Sensus Burung………………………………………. 21
3.4.2.2. Profil Habitat……………………………………….. 22
3.5. Anaisis Data……………………………………………………. 25
3.5.1. Analisis Data Burung……………………………………… 25
3.5.2. Analisis Data Vegetasi…………………………………….. 27
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………….. 30
4.1. Hasil Penelitian…………………………………………………. 30
4.1.1. Kelimpahan dan Indeks Dominansi Burung……………… 29
4.1.2. Keanekaragaman Burung………………………………….. 31
4.1.3. Profil Habitat Burung……………………………………… 31
4.1.4. Analisis Vegetasi…………………………………………... 35
4.2. Pembahasan……………………………………………………. 36
4.2.1. Kelimpahan dan Indeks Dominansi Burung……………… 36
4.2.2. Keanekaragaman Burung………………………………….. 40
4.2.3. Tipe Pakan dan Pencarian Pakan………………………….. 44
4.2.4. Stratifikasi Vertikal Wilayah Pencarian Pakan…………… 48
4.2.5. Profil Habitat Hutan Kota BUPERTA Cibubur………….. 49
4.2.5.1. Profil Habitat Tidur………………………………… 49
4.2.5.2. Profil Habitat Makan………………………………. 50
4.2.5.3. Profil Habitat Bermain……………………………... 50
4.2.6. Vegetasi…………………………………………………… 51
4.2.6.1. Tingkat Pohon……………………………………... 51
4.2.6.2. Tingkat Pancang…………………………………… 53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………….. 55
5.1. Kesimpulan…………………………………………………… 55
5.2. Saran………………………………………………………….. 56
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 57
LAMPIRAN…………………………………………………………….. 61
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ukuran Ketinggian Pohon……………………………………… 23
Tabel 2. Tingkatan Stratifikasi…………………………………………… 23
Tabel 3. Nilai Kelas Tingkat Dominansi dan Perananan Vegetasi………. 28
Tabel 4. Kelimpahan dan Dominansi Burung pada Stasiun 1 dan 2 ……. 30
Tabel 5. Indeks Keanekaragaman Burung pada Stasiun 1 dan 2 ……….. 31
Tabel 6. Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Vegetasi Tingkat
Pohon dan Pancang pada Stasiun 1……………………………. 35
Tabel 7. Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Vegetasi Tingkat
Pohon dan Pancang pada Stasiun 2…………………………… 34
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pintu Gerbang Hutan Kota BUPERTA Cibubur…………….. 2
Gambar 2. Diagram Kerangka Berfikir………………………………….. 17
Gambar 3. Peta BUPERTA Cibubur…………………………………….. 18
Gambar 4. Petak Contoh Vegetasi……………………………………….. 23
Gambar 5. Profil Habitat Bermain pada Stasiun 1……………………….. 31
Gambar 6. Profil Habitat Makan pada Stasiun 1………………………… 31
Gambar 7. Profil Habitat Tidur pada Stasiun 1………………………….. 32
Gambar 8. Profil Habitat Bermain pada Stasiun 2………………………. 32
Gambar 9. Profil Habitat Makan pada Stasiun 2………………………… 33
Gambar 10. Profil Habitat Tidur di Stasiun 2……………………………. 33
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar 1.1 Lokasi Stasiun 1 Plot 1………………………… 60
Gambar 1.2 Lokasi Stasiun 1 Plot 2………………………… 60
Gambar 1.3 Lokasi Stasiun 2 Plot 1…………………………. 60
Gambar 1.4 Lokasi Stasiun 2 Plot 2…………………………. 60
Gambar 1.5 Sarang Burung Bondol…………………………. 60
Gambar 1.6 Elang Alap Nipon (Accipiter gularis)………….. 61
Gambar 1.7 Bentet Kelabu (Lanius schah)………………….. 61
Gambar 1.8 Cekakak Sungai (Todirhamphus chloris)………. 61
Gambar 1.9 Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster)……….. 61
Gambar 1.10 Wiwik Lurik (Cacomantis soeratii)…………… 61
Gambar 1.11 Caladi Tilik (Dendrocopus moluccensis)……… 61
Gambar 1.12 Tekukur (Streptopelia chinensis)……………… 62
Gambar 1.13 Bondol Haji (Lonchura punculata)…………… 62
Gambar 1.14 Cinenen pisang (Orthotomus sutorius)………... 62
Gambar 1.15 Sepah Kecil (Pericrocotus cinnmomeus)……… 62
Gambar 1.16 Buah Tanaman Buni…………………………… 62
Lampiran 2. Tabel Perjumpaan Burung di Stasiun 1 dan 2……………….. 63
Lampiran 3. Nilai Kelas Tingkat Dominansi dan Peranan Vegetasi
pada Stasiun 1………………………………………………. 64
Lampiran 4. Nilai Kelas Tingkat Dominansi dan Peranan Vegetasi
pada Stasiun 2……………………………………………….. 65
Lampiran 5. Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Burung
pada Stasiun 1……………………………………………….. 66
Lampiran 6. Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Burung
pada Stasiun 2………………………………………………. 67
Lampiran 7. Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Vegetasi
Tingkat Pohon pada Stasiun 1……………………………….
68
Lampiran 8. Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Vegetasi
Tingkat Pancang pada Stasiun 1……………………………..
69
Lampiran 9. Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Vegetasi
Tingkat Pohon pada di Stasiun 2…………………………….
70
Lampiran 10.Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Vegetasi
Tingkat Pancang pada Stasiun 2…………………………….
71
AYAT-AYAT PERSEMBAHAN
Bismillahirrohmaanirrochim
Dan ketika Allah mengatakan : Hai Isya anak Maryam ! ingatilah karuniaKu
kepada engkau dan ibu engkau, ketika Aku menolong engkau dengan Ruh suci, dan engkau
berkata-kata kepada manusia dalam buaian dan sesudah dewasa dan ingati pula ketika Aku
ajarkan kepada engkau kitab, Hikmat (kebijaksanaan), Taurat dan Injil dan ingati pula
ketika engkau membuat bentuk burung dari tanah dengan izinKu, kemudian engkau hembus
ke dalamnya, lalu ia menjadi burung dengan izinKu; dan engkau sembuhkan orang-orang
buta dan orang-orang berpenyakit lepra dengan izinKu; dan ingati pula ketika engkau
menghidupkan orang mati dengan izinKu; dan Aku tahan anak-anak Israil menentang
engkau (hendak membinasakan) ketika engkau mengemukakan kepada mereka keterangan-
keterangan yang jelas, lalu orang-orang yang tidak percaya diantara mereka mengatakan ini
tidak lain dari sihir yang terang (QS Al-Maidah : 6 :110)
Dan binatang-binatang yang ada di bumi dan burung yang terbang dengan kedua
sayapnya adalah bangsa-bangsa seperti kamu juga. Tiadalah Kami alpakan sedikitpun dalam
Kitab, kemudian mereka akan dikumpulkan kepada Tuhan. (QS Al – An’aam : 6 :38)
Dan apa yang diadakan Tuhan di bumi bermacam-macam warnanya. Sesungguhnya
dalam hal itu, keterangan bagi kaum yang berpikir.
(QS An– Nahl : 16 : 13)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pesatnya pembangunan di wilayah perkotaan telah membawa dampak
positif maupun negatif bagi lingkungan, pengaruh pembangunan kota kepada
lingkungan pada umumnya mengubah keadaan fisik lingkungan alam menjadi
lingkungan buatan manusia. Banyaknya anggapan masyarakat bahwa penggunaan
ruang terbuka hijau tidaklah begitu penting jika dibandingkan dengan
pembangunan sarana kota lainnya seperti gedung-gedung, jalan-jalan, jembatan
atau apa saja yang terbangun di atas permukaan tanah. Kini ruang terbuka hijau
yang seharusnya diperluas dan dikembangkan, justru dialihfungsikan untuk
keperluan sarana lainnya seperti kantor, gedung, hotel dan lain-lain.
Dampak positif dari pembangunan dapat berupa meningkatnya taraf hidup
masyarakat dan bertambahnya sarana dan prasarana di perkotaan sedangkan
dampak negatif dari pembangunan ini antara lain terjadinya penurunan kualitas
lingkungan dan terganggunya kestabilan ekosistem perkotaan. Besarnya manfaat
hutan kota membuat PEMDA DKI Jakarta menetapkan kawasan BUPERTA
Cibubur menjadi hutan kota dimana di dalam kawasan tersebut terdapat beberapa
sumber kehidupan bagi keangsungan hidup makhluk hidup selain sebagai habitat
bagi satwa di kawasan tersebut terdapat danau, dimana pada saat musim
penghujan danau tersebut berfungsi sebagai daerah resapan air hujan dari wilayah
sekitar Cibubur, selain itu danau sering dijadikan sebagai wahana wisata air.
Sebagian satwa yang masih dapat bertahan hidup di hutan kota BUPERTA
Cibubur sampai sekarang yaitu jenis burung. Menurut Sujatnika et al. (1995)
keberadaan suatu jenis burung dapat dijadikan sebagai indikator keanekaragaman
hayati, karena kelompok burung memiliki sifat-sifat yang mendukung, yaitu hidup
di seluruh habitat, peka terhadap perubahan lingkungan dan kehidupanya serta
penyebarannya telah cukup diketahui.
Gambar 1. Pintu Gerbang Hutan Kota BUPERTA Cibubur
(Sumber: http://www.bupertacibubur.com 15 Oktober, 2008, pkl 21.30)
Konservasi burung di Indonesia saat ini masih terpusat pada kawasan
konservasi saja seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Taman Nasional.
Burung merupakan satwa liar yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi dan
mampu beradaptasi pada berbagai tipe habitat yang luas ( Welty, 1992), sehingga
upaya konservasi juga diperlukan di kawasan non konservasi, salah satunya hutan
kota karena letaknya yang berada di tengah-tengah kota di mana pengaruh
eksternal akan terasa langsung dampaknya terhadap hutan kota.
Untuk meningkatkan konservasi burung di daerah hutan kota diperlukan
kualitas lingkungan yang baik ditunjang dengan adanya areal vegetasi yang besar
(Dudun, dalam Ernawati dan Miarsyah 2003). Mengingat belum adanya data-data
terhadap keanekaragaman burung di hutan kota BUPERTA Cibubur, maka perlu
adanya suatu penelitian tentang keanekaragaman burung di hutan kota
BUPPERTA Cibubur demi menjaga kelestarianya di habitat tersebut mengingat
pembangunan di kawasan Cibubur yang kurang terarah seperti pembangunan rest
area di sekitar hutan kota dan pengelolaan yang kurang tepat.
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana keanekaragaman burung yang ada di hutan kota BUPERTA
Cibubur?
2. Bagaimana profil habitat sebagai penunjang kehidupan burung di hutan kota
BUPERTA Cibubur?
1.3. Hipotesis
1. Terdapat perbedaan keanekaragaman burung di dua stasiun hutan kota
BUPERTA Cibubur.
2. Terdapat lokasi yang baik untuk kehidupan burung di dua stasiun hutan kota
BUPERTA Cibubur.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
keanekaragaman burung yang ada di hutan kota BUPPERTA Cibubur dan
mengetahui profil habitat sebagai penunjang kehidupan burung di hutan kota
BUPERTA Cibubur.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :
1. Dasar bagi penelitian lanjutan dalam usaha pelestarian keseimbangan
ekosistem perkotaan.
2. Dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman burung yang
terdapat di hutan kota BUPPERTA Cibubur.
3. Dapat memberikan informasi tentang keanekaragaman hayati kepada kepada
BUPPERTA sebagai pengelola hutan kota dalam menjaga ekosistem kota.
4. Bahan Pertimbangan dalam memilih jenis tanaman yang dapat menunjang
kelestarian burung-burung liar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Pramuka Cibubur (BUPERTA)
Sejak tahun 1970 timbul pemikiran agar Kwartir Nasional Gerakan
Pramuka memiliki tempat yang memadai untuk mengembangkan kegiatan
pendidikan, latihan dan rekreasi sehat yang bertaraf nasional, Gerakan Pramuka
yang pada waktu itu belum mempunyai lahan perkemahan dan akan mengadakan
acara perkemahan atau pertemuan besar anggota pramuka seluruh Indonesia
(Jambore Nasional) serta Jambore Asia Pasifik, maka ketua Kwarnas Gerakan
Pramuka membicarakan hal tersebut kepada Bapak M. Soeharto Presiden RI
sebagai Pramuka Tertinggi di Indonesia.
Bumi Perkemahan Pramuka dan Graha Wisata (BUPPERTA) secara
geografis terletak di ujung timur kota Jakarta dengan luas areal 210 hektar,
sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Administratif Depok Jawa Barat
(sebelumnya Kabupaten Bogor tepatnya desa Cibubur), Utara berbatasan dengan
Munjul Jakarta Timur, Barat berbatasan dengan jalan tol Jagorawi, Timur
berbatasan dengan Pondok Ranggon Jakarta Timur, Kabupaten Bogor mempunyai
suhu rata-rata 30 oC dan kelembaban 70 % sedangkan kondisi fisik di hutan kota
BUPERTA Cibubur memiliki temperature hampir sama dengan Bogor yaitu 30 oC
dan kelembapan 70 %. Sebelumnya kawasan tersebut adalah kebun karet milik
pemerintah Koloni Belanda, pada tahun 1971 kawasan ini diambil alih oleh
pemerintah Indonesia, atas prakarsa Ibu Tien Soeharto kawasan tersebut
dialihfungsikan menjadi bumi perkemahan dan tempat pendidikan kepramukaan
Indonesia, BUPPERTA Cibubur diresmikan pada tahun 1973 oleh Presiden
Republik Indonesia Soeharto.
Selanjutnya dilanjutkan dengan peresmian komplek sarana pendidikan dan
rekreasi Gerakan pramuka yang kemudian diberi nama Widya Mandala Krida
Bhakti Pramuka (WILADATIKA) yang diartikan sebagai tempat ilmu
pengetahuan dan tempat mengolah pramuka untuk dapat berbakti kepada
masyarakat, nusa dan bangsa.
Pada tahun 1983 bangunan fasilitas pendukung seperti: Graha Wisata
Pramuka Youth Hostel, Aula Cut Nyak Dien, Loka Dewi Sinta dan Ruang Makan
Ken Dedes. Kesemuanya itu diperuntukkan bagi tamu-tamu dari luar seperti para
Pembina, Pendamping, Andalan Nasional dan tamu undangan asing diresmikan
oleh presiden Republik Indonesia Bapak Soeharto.
Pada tanggal 25 Juni 1987 dikeluarkan Surat Keputusan Kwarnas Nomor:
068 Tahun 1987 tentang penggabungan Unit Usaha Bumi Perkemahan dan Unit
Usaha Graha Wisata Pramuka menjadi Unit Usaha Bumi Perkemahan dan Graha
Wisata Pramuka yang disingkat BUPERTA. (http://www.bupertacibubur.com 15
Oktober 2008)
Melihat peranan hutan kota yang sangat vital apalagi keberadaannya di
kota mendorong Pemda DKI Jakarta untuk menyediakan beberapa tempat untuk
keperluan tersebut. Menyadari pentingnya fungsi RTH membuat Pemerintah DKI
Jakarta pada tahun 2004 meresmikan kawasan Bumi Perkemahan dan Graha
Wisata Pramuka (BUPERTA) Cibubur sebagai hutan kota. Pencanangan wilayah
tersebut dijadikan sebagai hutan kota ditandai dengan penanaman 1000 pohon
yang berasal dari sumbangan Bank Indonesia.
2. 2. Hutan Kota
Hutan kota adalah daerah seluas kira-kira seperempat hektar yang
ditanami pohon-pohon yang berdekatan, untuk mengatasi lingkungan yang keras
demi memenuhi syarat dalam rancangan pembangunan kota. Hutan kota adalah
lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberi
manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam
kegunaan khusus lainnya (Fakultas Kehutanan IPB, 1987).
Hutan kota akan dirasakan belum lengkap jika suatu hutan kota belum
dapat menghadirkan satwa liar terutama burung karena kehadirannya memberikan
suasana riang dengan bunyi kicauannya. Kehadiran burung dapat menambah nilai
estetika dan ekologis suatu hutan kota. Keberadaan burung di daerah perkotaan
pada saat ini sudah semakin terdesak oleh pesatnya pembangunan. Adanya
pembukaan areal untuk dijadikan pemukiman atau lainnya secara tidak langsung
dapat merubah atau mengurangi komposisi tumbuhan sehingga menjadi tidak
cocok untuk dijadikan habitat burung. Kondisi yang demikian itu dapat
menyebabkan populasi burung di perkotaan berkurang dan akhirnya menghilang.
Padahal menurut penelitian-penelitian yang dilakukan diketahui bahwa kota
sesungguhnya masih mampu dihuni oleh berbagai jenis burung (Janala, 1995).
Menurut Dahlan (1972) hutan kota memiliki peranan sebagai identitas
kota, pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara,
penyerap dan penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debu semen,
peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbondioksida,
penghasil oksigen, penahan angin, penyerap dan penepis bau, mengatasi
penggenangan, mengatasi intrusi air laut, ameriolasi iklim, pengelolaan sampah,
pelestarian air tanah, penapis cahaya silau, meningkatkan keindahan, sebagai
habitat burung, mengurangi stress, mengamankan pantai dari abrasi,
meningkatkan industri pariwisata sebagai hobi dan pengisi waktu.
Menurut Rachman (1996) penggunaan tanaman yang menghasilkan bunga
dalam kawasan hutan kota akan memberikan daya tarik tersendiri seperti
Flamboyan. Warna bunga akan menjadi daya tarik bagi satwa burung dan kupu-
kupu serta dapat memberikan suasana yang ceria. Kehadiran satwa tersebut akan
menambah suasana tampak alami yang dikelilingi oleh bangunan bertingkat serta
hiruk pikuk kegiatan transportasi. Kehadiran burung akan menambah keasrian
yang tampak sehingga akan memperindah kawasan tersebut. Penggunaan vegetasi
yang memiliki bunga atau buah akan menjadi daya tarik bagi burung tersebut
untuk datang dan tinggal di kawasan tersebut.
Menurut penelitian Handayani (1995) tipe vegetasi daun lebar memiliki
nilai keanekaragaman jenis tertinggi tetapi memiliki kelimpahan yang rendah, hal
yang mempengaruhi pemilihan vegetasi yang disukai burung adalah makanan
yang dihasilkan oleh tumbuhan dan struktur vegetasi, yang meliputi tinggi tajuk,
tipe percabangan dan organisasi kanopi. Sebagai sumber makanan, vegetasi yang
dalam hutan kota terdiri dari jenis vegetasi berbunga, berbuah, evergreen, dan
menggugurkan daun, yang menyediakan biji-bijian (rumput/penutup tanah), buah-
buahan (pohon/semak berbuah), beberapa contoh tumbuhan yang menjadi sumber
makanan burung adalah tanaman rumput, tanaman yang menghasilkan buah,
tanaman yang menghasilkan bunga, dan tanaman yang mengundang serangga.
Berbagai spesies burung mempunyai berbagai jenis makanan seperti buah,
biji, madu dari bunga dan serangga. Komposisi vegetasi dicapai melalui
penanaman beranekaragam pohon, perdu, semak, tanaman merambat, tanaman
penutup tanah atau rumput yang menghasilkan makanan bagi burung tersebut
(Hails et al., 1990). Selain menghasilkan makanan, tumbuhan yang dihadirkan
dalam hutan kota harus menghasilkan material dan memberi tempat bersarang.
Beberapa spesies burung menggunakan jerami, jaring laba-laba, lumut, bulu dan
material lain untuk bersarang pada pohon dan cabang-cabang pohon (Hails et al.,
1990).
Beberapa jenis burung memang benar-benar membutuhkan jenis pohon
tertentu sebagai sumber pakan atau tempat hidupnya dan jenis tersebut akan
hilang jika pohon tersebut tidak ada. Oleh karena itu jumlah jenis burung
tergantung pada profil lapisan vegetasi (Grubb, 1979).
Keanekaragaman struktur vegetasi dan penutupan vegetasi merupakan
faktor penting yang mempengaruhi keanekaragaman dan populasi burung di
daerah perkotaan (Hails et al., 1990). Jenis tumbuhan yang disukai burung sebagai
tempat tinggal atau mencari makan berkaitan dengan tinggi tumbuhan, struktur
kelebatan dedaunan, diameter tajuk, struktur dedaunan, kelebatan dedaunan,
kelebatan tajuk, tinggi bebas cabang dan arsitektur pohon (Pakpahan, 1993 a).
2.3. Bio-ekologi Burung
2.3.1. Klasifikasi Burung
Burung termasuk dalam kelas aves, sub Phylum vertebrata dan masuk ke
dalam Phylum Chordata, yang diturunkan dari hewan berkaki dua (Welty, 1982).
Di Indonesia terdapat 1549 jenis (± 17 % dari jumlah di dunia), dengan 381 jenis
burung (24,83 %) endemik, yang meliputi 90 suku (Andrew, 1992), sedangkan
Sukmantoro dkk, 2007, menyebutkan jumlah burung Indonesia saat ini 1598
spesies.
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Aves (Linnaeus, 1758)
2.3.2. Keanekaragaman Burung
Hernowo (1985) berpendapat bahwa keanekaragaman merupakan ciri khas
bagi komunitas yang dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan perimbangan jumlah
individu tiap jenis. Besarnya nilai keanekaragaman dapat dijadikan indikator
kemantapan komunitas dan kondisi lingkungan karena menurut Pakpahan (1993
b) burung merupakan kelompok satwaliar yang responsif dengan perubahan
habitat.
Menurut MacArthur (1964) dalam Arumasari (1989) keanekaragaman
jenis burung yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, hal ini tergantung
pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman adalah distribusi vertikal dari dedaunan atau
stratifikasi tajuk. Keanekaragaman jenis burung berhubungan dengan jumlah
lapisan vegetasi atau stratifikasi tajuk pohon. Sedangkan menurut Odum (1993)
keanekaragaman jenis mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberikan
reaksi berbeda terhadap faktor geografis, perkembangan atau fisik. Blake et al.
(2000) mengatakan bahwa keanekaragaman jenis burung akan semakin berubah
dengan perubahan ketinggian, dimana semakin rendah ketinggian,
keanekaragaman jenis burung semakin tinggi.
Menurut Hernowo dan Prasetyo (1989) dalam Suryowati (2000)
menyatakan bahwa burung termasuk satwa yang harus dilestarikan karena
mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat. Manfaat kelestarian
burung antara lain sebagai sumber plasma nutfah, membantu mengendalikan
hama, suaranya menyenangkan bagi manusia, sebagai objek pendidikan dan
penelitian.
2.3.3. Habitat Burung
Menurut Alikodra (1980) burung sebagai salah satu komponen ekosistem
memerlukan tempat atau ruang untuk mencari makan, minum, berlindung,
bermain dan tempat untuk berkembang biak, tempat yang menyediakan kebutuhan
tersebut membentuk suatu kesatuan yang disebut habitat. Sedangkan Odum
(1971) berpendapat bahwa habitat secara sederhana dapat dikatakan sebagai
tempat hidup burung itu berada. Pada prinsipnya burung memerlukan tempat
untuk mencari makan, berlindung, berkembang biak dan bermain.
Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan,
tempat untuk beristirahat, bermain, kawin, bersarang, bertengger dan berlindung.
Kemampuan areal menampung burung yang ditentukan oleh luasan, komposisi
dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk habitat. Burung
merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidup antara lain
habitat yang mendukung dan aman dari gangguan (Hernowo, 1985). Kelengkapan
komponen habitat mempengaruhi banyaknya jenis burung di habitat tersebut
(Mulyani, 1985).
Bentuk habitat yang baik untuk kelangsungan hidup burung adalah habitat
yang mampu melindungi dari gangguan maupun menyediakan kebutuhan
hidupnya (Hernowo dan Prasetya, 1989).
Faktor habitat merupakan faktor utama seberapa besar jumlah jenis burung
berada dalam suatu komunitas. Semakin kompleks dan kaya hutan sebagai suatu
habitat, semakin banyak jenis burung yang dapat menempatinya (Beehler, 1981
dalam Sumartono, 1999). Namun jika suatu habitat seragam, maka produktifitas
habitat yang tinggi tidak selalu diikuti dengan tingginya jumlah jenis, bahkan
mungkin hanya satu jenis saja yang dapat hidup pada kondisi tersebut
(MacArthur, 1972 dalam Sumartono, 1999).
Emlen (1974) dalam Indrawan (1989) mengemukakan bahwa pada
ekosistem perkotaan ketersediaan tempat hinggap merupakan suatu faktor yang
mempengaruhi keanekaan jenis burung. Orians (1969) dalam Ernawati dan
Miarsyah (2003) menyatakan bahwa keanekaan burung dipengaruhi beberapa
faktor antara lain kelimpahan efipit, bunga, buah-buahan, keterbukaan lantai hutan
dan sebagainya.
Menurut Janala (1995) kota Jakarta memiliki potensi keanekaragaman
burung yang cukup tinggi, mengingat letaknya berdekatan dengan pusat-pusat
konsentrasi burung (misalnya Suaka Margasatwa Pulau Rambut). Kantor Sub-
Balai KSDA Jakarta melalui leaflet (Maret, 1979) menyatakan bahwa jumlah total
jenis burung di kawasan ini adalah 113 spesies (Suwelo, 1993) sedangkan
Bapedalda DKI Jakarta (2002) menyatakan bahwa tidak kurang dari 49 jenis
burung yang terdeteksi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan ada sekitar 18
jenis burung di Lindungi dari kepunahan yang diantaranya adalah Elang Bondol,
Pecuk Ular, Ibis Roko-roko, Bluwok, Kuntul Pelatuk Besi, Raja Udang Biru Kecil
dan Raja Udang Kalung Putih.
Dari penelitian Pakpahan (1993 a) diketahui bahwa di hutan rawa
mangrove Kemayoran mampu mendukung sedikitnya 59 spesies burung, yang
terdiri dari 18 spesies burung merandai, 5 spesies burung rawa, 4 spesies burung
pantai dan 32 spesies burung teresterial. Jenis burung selama ini umum dijumpai
di pusat kota (down town) Jakarta hanya terbatas pada beberapa jenis saja, antara
lain burung Gereja (Passer montanus), Layang-layang Rumah (Apus affinis) dan
Walet Perut Putih (Collocalia esculent).
Keanekaragaman jenis burung bervariasi menurut ketinggian pohon. Ada
burung-burung yang lebih sering berada pada puncak tajuk, pertengahan tajuk
maupun bawah tajuk. Menurut Mulyani (1985) dalam penelitian lapisan atau
strata yang digunakan burung-burung dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu :
1. Stratum A berupa bagian puncak tajuk pohon
2. Stratum B berupa pertengahan tajuk pohon
3. Stratum C berupa pangkal tajuk atau tajuk pohon bagian bawah
4. Stratum D berupa bagian di bawah tajuk yaitu semak-semak dan tanah
Relung ruang dimana burung-burung tersebut dapat ditemukan,
beristirahat, mencari makan dan berkembangbiak oleh Handayani (1995)
dikelompokkan dalam beberapa strata yaitu strata I (0 – 0,6 m), strata (0,6 – 1,8
m), strata III (1,8 – 4,5 m), strata IV (4,5 – 15 m) dan strata V (di atas 15 m). Jenis
burung yang menggunakan strata I dan II adalah burung kecil (seperti perenjak,
burung gereja dan pipit), strata III sampai IV lebih banyak digunakan sebagai
tempat untuk beristirahat dan bersarang bagi burung-burung karena lebih banyak
menyediakan tempat bersembunyi. Selain itu juga menyediakan makanan, baik
buah-buahan maupun serangga. Hampir semua jenis burung menggunakan ruang
ini. Sedang strata V digunakan oleh jenis burung yang menyukai mahkota pohon,
baik untuk mencari makan, bersarang dan beristirahat. Burung yang sering terlihat
pada strata ini adalah kutilang dan kepodang.
2.3.4. Gangguan Terhadap Burung Kota
Ward (1968) menyatakan bahwa fauna burung di kota lebih miskin
daripada di habitat berhutan. Kelangkaan fauna burung ini paling sedikit
disebabkan oleh kecenderungan anak-anak untuk menembak burung dengan
ketapel atau bahkan tembakan angin. Alasan ekologis kelangkaan burung ini
antara lain adalah dengan kelangkaan sumber pakan dari tanaman produktif yang
sesuai bagi burung, hanya sedikit serangga yang dapat menggunakan pohon-
pohon asing, sehingga makanan yang tersedia bagi burung-burung pemakan
serangga seluruhnya atau burung pemakan serangga sebagian menjadi semakin
sedikit. Sebagian besar burung yang ada adalah pemakan biji-bijian di atas tanah
daripada pemakan serangga pada batang-batang pohon atau tajuk pohon yang
merupakan ciri khas burung hutan.
Pakpahan dan Mulyani (1994) juga menyatakan bahwa masyarakat masih
menganggap burung sebagai objek yang dapat dijadikan sumber penghasilan atau
sebagai satwa buruan, adapula sebagian masyarakat yang mendapat kesenangan
dengan menembak burung walaupun tidak dapat dikonsumsi. Selanjutnya
Pakpahan (1993 c) menyatakan bahwa penurunan keanekaragaman burung
disebabkan oleh perburuan liar, perdagangan dalam maupun luar negeri,
berkurangnya habitat terutama tempat mencari makan dan bersarang.
2.3.5. Manfaat dan Fungsi Burung
Burung merupakan salah satu jenis satwaliar yang memiliki banyak fungsi
dan sering dimanfaatkan manusia. Manfaat dan fungsi burung secara garis besar
dapat digolongkan dalam:
a. Nilai Ekologis
Manfaat yang dijadikan penilaian adalah peran ekologis yang secara jelas
dapat dilihat dan dirasakan langsung. Peran tersebut adalah seperti membantu
penyerbukan bunga seperti burung sesap madu, pemakan hama seperti burung
pemakan serangga atau tikus dan penyangga ekosistem terutama jenis burung
pemangsa (Sozer, 1999). Hernowo et al. (1989) mengatakan bahwa dengan
pentingnya peranan burung bagi komponen ekosistem alam, burung dapat
digunakan sebagai indikator lingkungan, karena apabila terjadi degradasi
lingkungan burung, komponen alam terdekat yang terkena dampaknya.
Menurut Welty (1982) jenis burung juga mempunyai peranan penting
dalam penyebaran biji tanaman. Burung yang dapat menyebarkan biji tersebut
antara lain adalah burung dari famili Anatidae, Columbidae, Picidae, Turdidae,
Sittidae dan Corvidae.
b. Nilai Ekonomis
Burung memiliki nilai ekonomis tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan makanan (daging, telur, sarang) produk dari burung yang dapat
diperdagangkan dan dipelihara oleh masyarakat. Menurut Welty (1982), bulu
burung yang indah banyak dimanfaatkan oleh perancang mode untuk desain
pakaian atau asesoris lainnya. Manfaat lain yang dapat diambil adalah sarang
seperti sarang burung walet. Sarang burung ini memiliki khasiat untuk
menyembuhkan beberapa jenis penyakit, sehingga memiliki harga yang sangat
mahal. Selain manfaat tersebut, daging dan telur burung merupakan salah satu
sumber protein yang sangat berguna bagi manusia.
c. Nilai Budaya
Keberadaan burung dapat juga dijadikan kalender musim tani. Lahan
pertanian yang dikerjakan lantas disemai, bertepatan dengan kedatangan dan
lewatnya burung kicuit Motacilla yang bermigrasi. Seperti yang dilakukan warga
dataran tinggi Kalimantan seperti suku Iban, Dayak dan lainnya di Kalimantan.
Lebih jauh lagi menggunakan kebudayaan pemakaian jenis burung ini sebagai
petunjuk bertani (MacKinnon, 1992).
d. Nilai Estetika
Burung menjadi inspirasi para seniman dalam berkarya, dalam bentuk
tulisan, nyanyian maupun lukisan. Banyak cerita-cerita dan lagu yang
menggambarkan keindahan burung. Lukisan Bali, baik tradisional maupun
modern banyak yang bertemakan burung (Surata, 1993 dalam Yuda, 1995).
e. Nilai Ilmu Pengetahuan
Burung dapat dijadikan hewan percoban dalam bidang farmasi dan
kedokteran. Pemahaman terhadap malaria pada manusia tidak terlepas dari
penelitian malaria pada burung. Selain itu keberhasilan pembuatan vaksin
penyakit demam Yellow fever juga tidak terlepas dari penelitian burung (Welty,
1982). Menurut Sozer et al., (1990) burung juga memiliki kepekaan tertentu
terhadap kesehatan lingkungan dalam habitatnya, sehingga dapat digunakan
sebagai indikator kesehatan lingkungan, salah satu diantaranya adalah sebangsa
raja udang.
2.4. Kerangka Berpikir
Hutan kota BUPERTA Cibubur merupakan habitat satwa sekaligus objek
wisata baik secara ekonomi maupun edukatif. Dinamika yang terjadi kiranya
dapat mengganggu atau bahkan mengurangi nilai ekologis sebagai hutan kota
yang menampung satwa liar salah satunya burung namun dengan tidak
terdapatnya data tentang burung di kawasan tersebut membuat penelitian “Studi
Keanekaragaman Burung Di Hutan Kota Bumi Perkemahan Dan Graha Wisata
(BUPERTA) Cibubur Jakarta Timur” dilakukan sebagai bahan rekomendasi bagi
pengelola kawasan hutan kota BUPERTA dalam menjada kelestarian burung dan
keseimabangan ekosistem hutan kota. Diagram kerangka berpikir disajikan pada
gambar 2.
Gambar 2. Diagram Kerangka Berfikir
Intervensi manusia :Pembangunan
Perburuan
Hutan kota BUPERTA Cibubur
Keanekaragaman HayatiFlora dan Fauna
Burung sebagai salah satu fauna yang masih terdapat di hutan kota BUPERTA Cibubur
Tidak terdapatnya data mengenai keanekaragaman burung di hutan kota BUPERTA Cibubur
Sebagai bahan rekomendasi bagi pengelola hutan kota BUPERTA Cibubur dalam menjaga kelestarian burung dan keseimbangan hutan kota
STUDI KEANEKARAGAMAN BURUNG DI HUTAN KOTA BUPERTA CIBUBUR
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Hutan Kota Bumi Perkemahan dan Graha Wisata
(BUPPERTA) Cibubur Jakarta Timur, penelitian dilakukan selama 4 bulan yaitu
bulan Desember 2007 sampai Maret 2008.
Gambar 3. Peta BUPERTA Cibubur
Sumber : Pengelola BUPERTA, 2007
3.2. Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Peta BUPPERTA Cibubur Jakarta.
2. Alat tulis dan buku catatan lapangan
3. Buku pengamatan burung “Panduan Lapangan Buurng-Burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan dan juga buku Flora, buku Taksonomi Tumbuhan
(Spermatophyta).
4. Alat penunjuk waktu atau jam tangan
5. Klinometer Suunto
6. Teropong Binokuler
7. Kamera Digital
8. “Counter” hitung
9. Alat Perekam
10. Meteran
11. Tali Plastik
12. Milimeter Block
3.3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian burung kali ini adalah metode
survey yang dikombinasikan dengan metode IPA (Indices Puctue d’Abondance
atau Indek titik kelimpahan (Bibby, 1992 Dalam Ernawati, 2002).
3.4. Cara Kerja
Cara kerja pada penelitian burung di Hutan Kota BUPERTA Cibubur di
bagi dalam dua tahapan sebagai berikut:
3.4.1 Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan dilakukan kegiatan yang lebih menekankan
pada pengenalan lokasi dengan maksud mendapatkan informasi secara pasti lokasi
yang biasa di kunjungi oleh burung di hutan kota BUPERTA Cibubur, jenis
vegetasi yang terdapat di hutan kota BUPERTA Cibubur, waktu penampakan
jenis burung di hutan kota BUPERTA Cibubur dan Metode Penelitian burung
yang akan dilakukan di hutan kota BUPERTA Cibubur.
3.4.2 Penelitian Inti
3.4.2.1. Sensus Burung
Sensus burung di hutan kota BUPERTA Cibubur menggunakan metode
IPA (Indices Puctue d’Abondance atau Indek titik kelimpahan (Bibby, 1992
Dalam Ernawati, 2002), alokasi waktu pengamatan dimulai pada pukul 06.00
WIB sampai 08.00 WIB untuk pagi hari karena pada jam-jam tersebut burung
mengawali aktifitasnya dipagi hari sedangkan menjelang malam hari burung
mengakhiri aktifitasnya pada jam 15.00 WIB sampai 17.00 WIB.
Data yang dicatat pada pengamatan burung di masing-masing stasiun
meliputi lokasi yang banyak digunakan oleh burung sebagai berikut:
1. Mencatat waktu dan tanggal penelitian
2. Mencatat jenis burung yang teramati
3. Mencatat jumlah burung yang teramati
4. Mencatat jenis vegetasi yang digunakan oleh burung
5. Mencatat waktu burung menggunakan vegetasi.
Sensus burung dilakukan dengan metode indek titik kelimpahan pada
masing-masing stasiun dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pengamat berdiri atau duduk dalam suatu plot di masing-masing stasiun
penelitian
2. Pengamat melakukan pencatatan jenis dan jumlah burung di plot penelitian
yang telah ditentukan.
3. Durasi waktu yang digunakan oleh pengamat pada saat pengamatan antara 10
–30 menit.
4. Pengamatan dilakukan 5 kali pengulangan untuk memastikan keakuratan data.
5. Pengamat mencatat jenis burung yang teramati dalam lembar kerja.
3.4.2.2. Profil Habitat
Profil habitat merupakan suatu sketsa dari penampakan vegetasi di
sepanjang garis transek dimana komposisi dari suatu habitat sangat bermanfaat
untuk membuat suatu kesimpulan tentang hubungan antara derajat kelimpahan
satwa liar dengan tipe habitatnya (Alikodra,1990).
Pembuatan profil habitat ini lebih ditekankan pada daerah yang lebih
banyak digunakan oleh burung dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pada pembuatan profil habitat vegetasi dibagi menjadi 3 kelas utama yaitu
pohon, pancang dan semai
2. Karakteristik vegetasi dicatat seperti jenisnya, tinggi dan penutupan tajuk
3. Hasil pengamatan akan berbentuk sketsa profil habitat dengan kriteria tingkat
vegetasi di bawah ini:
Tabel 1. Ukuran Ketinggian Pohon
Kriteraia Tingkat Vegetasi Kisaran Ketinggian
Pohon
Pancang
Semai
> 8 meter
0.5 meter – 8 meter
< 0.5 meter
Strahler (1978) dalam Ruslan (2004)
Sedangkan kiasaran ketinggian vegetasi dengan ukuran sebagai berikut:
Tabel 2. Tingkat Stratifikasi
Tingkat Stratifikasi Kisaran Ketinggian7654321
> 25 m10 m – 25 m8 m – 10 m2 m – 8 m0.5 m – 2 m10 cm – 0.5 m0 cm – 10 cm
Strahler (1976) dalam Ruslan (2004)
Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak
dengan teknik sampling kuadrat:
1. Petak contoh yang digunakan dalam penelitian merupakan petak ganda
(Kusman, 1997) dengan ukuran petak berdasarkan kurva spesies area.
2. Dibuat kurva sepesies area untuk medapatkan luas minimum area dari satuan
petak contoh yang mewakili satu tipe komunitas.
3. Penentuan area tipe vegetasi ditekankan pada daerah sebaran vegetasi dan
daerah yang banyak dimanfaatkan burung yaitu daerah bermain, mencari
makan dan tidur.
Kriteria tingkat vegetasi berdasarkan Warsito (1988) dalam Yusri (2003)
yaitu:
1. Pohon: Tumbuhan yang memiliki diameter batang 1.30 cm (setinggi dada)
>10 cm keliling batang > 31.40 cm.
2. Pancang:Tumbuhan yang memiliki diameter 2 – 10 cm keliling batang antara
6.3 cm – 31.40 cm yang diukur 0.5 dari permukaan tanah.
3. Semai: Tumbuhan yang memiliki batang lebih kecil dari 2 cm atau kelilig
batang kurang dari 6.3 cm.
Ukuran petak contoh adalah: Petak contoh untuk ukuran semai (5 m x 5
m), petak contoh untuk ukuran pancang (10 m x 10 m) dan petak contoh untuk
ukuran pohon (20 m x 20 m).
10
10 20 cm
20 cm
Gambar 4. Petak Contoh Vegetasi
Sumber : Kusmana 1997 dalam Ruslan 2004
Keterangan gambar:
Ukuran 5 m x 5 m untuk petak tingkat vegetasi semai
Ukuran 10 m x 10 m untuk petak tingkat vegetasi pancang
Ukuran 20 m x 20 m untuk petak tingkat vegetasi pohon
5 cm 10 cm 5 cm
10 cm
Dalam petak contoh dicatat setiap individu jenis yang terdapat dalam petak contoh
1. Pada kegiatan pengukuran dan pengenalan jenis diperlukan kriteria untuk
dihitung atau tidak dihitungnya jenis individu. Apabila individu tersebut
berada di dalam petak contoh kurang dari setengahnya maka individu tersebut
tidak perlu dihitung atau dikeluarkan dari petak contoh. Namun jika individu
tersebut sama dengan atau lebih besar dari setengahnya berada di dalam batas
petak contoh maka individu tersebut harus dihitung.
2. Di dalam ringkasan data akan diperoleh nilai Kerapatan, Dominansi dan
Frekuensi untuk setiap jenis, Indek Nilai Penting dan Keragaman jenis.
3.5. Analisis Data
3.5.1. Analisis Data Burung
Dalam penelitian ini analisis data burung dilakukan dengan cara deskriptif.
.dimana data-data tersebut diolah dengan menggunakan Microsoft Excel
berdasarkan penghitungan kelimpahan, dominansi dan keanekaragaman.
1. Kelimpahan dan Dominansi
Kelimpahan burung merupakan total jumlah individu burung yang
ditemukan selama pengamatan, dalam hal ini kelimpahan burung disajikan
berdasarkan plot-plot pengamatan. Penghitungan jumlah dari jenis-jenis burung
yang ada dengan melihat nilai kelimpahan tiap-tiap spesies (Pi) (van Balen, 1984)
yaitu :
Σ burung spesies iPi = Σ total burung
Sedangkan untuk mengetahui dominansi terhadap jenis burung yang
terdapat di hutan kota BUPERTA Cibubur dapat dihitung dengan menggunakan
rumus indeks dominansi (Cox, 1976)
Keterangan: Di = Indeks dominansi jenis ke-i
Pi = Proporsi nilai penting jenis ke-i
Kemudian mengikuti cara Jorgensen (lihat Van Helvoort, 1981) guna
mengetahui jenis-jenis burung yang terdapat di hutan kota dengan pembagian tiga
kelas dominansi, yaitu: dominan (Di > 5 %), subdominan (Di 2 – 5 %) dan
nondominan (Di < 2 %).
2. Keanekaragaman
Keanekaragaman burung di hutan kota BUPERTA Cibubur dapat dihitung
dengan menggunakan Indeks Keanekaan Shannon-Wiener dengan rumus:
H’ = - Σ Pi In Pi
Keterangan: H’= Indeks keanekaragaman
Pi = Proporsi nilai penting jenis ke-i
Ln = Logaritma natural
Di = Pi x 100 %
3.5.2. Analisis Data Vegetasi
Data yang telah diperoleh di lapangan kemudian dilakukan pengolahan
dalam lembar kerja dengan menghitung nilai Kerapatan, Frekuensi, Dominansi
dan Indek Nilai Penting (Setiadi dkk,1989).
1. Kerapatan atau kepadatan = Densitas
2. Frekuensi
Jumlah individu suatu jenis iKerapatan Mutlak / KM (i) =
Jumlah total luas area yang digunakan untuk penarikan contoh
Kerapatan mutlak jenis (i)Kerapatan Relatif / KR (i) = 100 %
Kerapatan seluruh jenis yang terambil dalam penarikan cotoh
Jumlah suatu petak contoh yang diduduki oleh jenis iFrekuensi Mutlak =
/ FM (i) Jumlah banyaknya plot yang diduduki oleh jenis i
Frekuensi mutlak jenis iFrekuensi Relatif / FR (i) = 100 %
Frekuensi total seluruh jenis i
3. Penutup = Cover = Dominansi
4. Indek Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR
Keterangan:
KR = Kerapatan Relatif
FR = Frekuensi Relatif
DR = Dominansi Relatif
5. Tingkat Peran Vegetasi
Tingkat peran suatu jenis ditentukan berdasarkan besarnya INP jenis
(Diarto, 2003 dalam Sutisna, D. J. 2008), sebagai berikut:
Tabel 3. Nilai Kelas Tingkat Dominansi dan Peranan Vegetasi
Kelas Selang INP
Tingkat Dominansi
Selang INP Tingkat Peranan
I V4 - HV Sangat TinggiII V3 - V4 Tinggi V4 – HV Paling Menonjol
III V2 - V3 Sedang V2 – V3 MenonjolIV V1 - V2 RendahV LV - V1 Rendah Sekali
LV – V1 Kurang Menonjol
Keterangan:
Total basal area atau nilai penutupDominansi Mutlak / DM (i) =
Lokasi yang dijadikan petak contoh
Dominansi suatu jeisDominansi Relatif / DR (i) = 100 %
Dominansi seluruh jenis
HV = Indeks Nilai Penting Tertinggi
LV = Indeks Nilai penting Terendah
V1 = LV + 1/5 (HV – LV)
V2 = LV + 2/5 (HV – LV)
V3 = LV + 3/5 (HV – LV)
V4 = LV + 4/5 (HV – LV)
6. Indeks Keanekaragaman Jenis Shanon – Wiener (Fachrul, M. F, 2007)
Pi = ni / N
Keterangan: H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon
ni = Jumlah Indeks Nilai Penting Suatu Jenis
N = Jumlah Indeks Nilai Penting Seluruh Jenis
Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon – Wienner
didefinisikan sebagai berikut:
Nilai H’ > 3 menunjukan bahwa keanekaragaman spesies tinggi
Nilai H’ >1 H’ < 3 menunjukan bahwa keanekaragaman spesies sedang
Nilai H’ < 1 menunjukan bahwa keanekaragaman rendah
BAB IV
H = - ∑ (pi. Log pi)
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Kelimpahan dan Indeks Dominansi Burung
Hasil pengamatan terhadap kelimpahan dan indeks dominansi burung pada
hutan kota BUPERTA Cibubur dapat di lihat di bawah ini.
Tabel 4. Kelimpahan dan Indeks Dominansi Burung pada Stasiun 1 dan 2
No Nama Ilmiah Nama LokalKelimpahan Indeks Dominansi
Stasiun1 Stasiun 2 Stasiun 1 Stasiun 21 Accipiter soloensis Elang Alap Cina 4. .96 4.92 Aegithina tiphida Cipoh Kacat 1. 71 1. 62 3.6 3.23 Alcedo meninting Raja Udang Meninting 0. 70 1.74 Anhinga melanogaster Pecuk Ular Asia 0. 30 1.55 Anthreptes malacensis Madu Kelapa 2. 82 0. 40 4.2 1.46 Arthamus leucorhynchus Kekep Babi 0. 30 0. 20 1.5 1.37 Cacomantis sonneratii Wiwik Lurik 0. 70 0. 91 1.7 2.88 Collocalia linchi Walet Linchi 6. 85 8. 11 6.1 6.59 Coturnix chinensis Gemak Batu 0. 40 1.410 Dendrocopus moluccensis Caladi Tilik 1. 41 1. 41 3.5 3.111 Dicaeum trochileum Burung Cabai Jawa 2. 52 2. 12 4.0 3.512 Dicrurus macrocercus Srigunting Hitam 0. 20 1.313 Geopelia striata Perkutut Jawa 0. 20 1.314 Gerygone sulphurea Remetuk Laut 1. 41 2. 63 3.5 3.715 Hirundo tahitica Layang-layang Batu 5. 34 5.416 Lanius schah Bentet Kelabu 0. 70 0. 91 1.7 2.817 Lonchura leucogastroides Bondol Jawa 1. 41 1.918 Lonchura punctulata Bondol Peking 7. 60 8. 11 6.5 6.519 Nectarinia jugularis Madu Sriganti 0. 70 0. 91 3.1 2.8
20 Orthotomus sepium Cinenen Jawa 0. 30 1.521 Orthotomus sutorius Cinenen Pisang 4. 33 2. 12 4.9 3.522 Parus major Gelatik Batu Kelabu 0. 70 0. 40 1.7 1.423 Passer montanus Burung Gereja 52. 01 46. 65 28.1 25.824 Pericrocotus cinnamomeus Sepah Kecil 1. 41 3. 52 2.1 4.225 Pernis ptilorhynchus Sikep Madu Asia 0. 30 1.526 Pycnonotus aurigaster Cucak Kutilang 2. 55 5. 47 4.0 5.127 Rhipidura javanica Kipasan Belang 0. 20 1.328 Streptopelia chinensis Tekukur 5. 04 5. 67 5.2 5.229 Todirhamphus chloris Cekakak Sungai 0. 91 2.830 Zosterops palpebrosus Kacamata Biasa 0. 30 0. 40 1.5 1.4
4.1.2. Indeks Keanekaragaman Burung
Hasil pengamatan terhadap keanekaragaman burung di hutan kota
BUPERTA Cibubur disajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 5. Indeks Keanekaragaman Burung pada Stasiun 1 dan 2
Lokasi Indeks Keanekaragaman (H’)Stasiun 1Stasiun 2
1.1591.173
4.1.3. Profil Habitat Burung
Beberapa tipe habitat di dalam hutan kota BUPERTA Cibubur
dimanfaatkan oleh burung dalam kegiatan sehari-harinya, penggunaan beberapa
tipe habitat seperti lokasi mencari makan, lokasi bermain atau bercengkrama satu
dengan yang lainnya dan lokasi istirahat atau tidur, baik yang dilakukan pada
siang hari maupun menjelang malam hari, namun tidak selamanya burung tersebut
menggunakan hanya satu tipe habitat tetapi ada beberapa burung yang
menggunakan beberapa tipe habitat dalam kegiatan sehari-harinya karena burung
meruapakan satwa dengan tinggi mobilitasnya yang tinggi sehingga seringkali
kita melihat jenis burung yang menggunakan beberapa lokasi pengamtan pada
saat penelitain baik pada stasiun 1 maupun pada stasiun 2. Penggunaan beberapa
tipe habitat oleh burung di hutan kota BUPERTA Cibubur dapat digambarkan
dengan bentuk profil habitat di bawah ini:
Gambar 5. Profil Habitat Bermain pada Stasiun 1
Keterangan gambar:
a. Mangga tinggi rata-rata 9 m -25 m dengan tajuk antara 3 m -89 mb. Ketapang tinggi rata-rata 22 m – 23 m dengan tajuk antara 6 m – 15 mc. Tanjung rata-rata 3 m – 8 m dengan tajuk antara 2 m – 4 md. Acasia tinggi 11 m – 24 m dengan tajuk antara 3 m – 14 me. Palem tiang tinggi 7 m dengan tajuk atara 3 m mf. Segawe tinggi 27 m dengan tajuk 16 m
Gambar 6. Profil Habitat Makan pada Stasiun 1
Keterangan gambar:
a. Salam tinggi 22 m dengan tajuk 10 mb. Tanjung tinggi antara 3 m – 7 m dengan tajuk antara 3 m – 6 mc. Ketoke tinggi antara 10 m – 20 m dengan tajuk antara 4 m – 13 md. Karet tinggi 31 m dengan tajuk 15 me. Bungur tinggi 7,5 m dengan tajuk 9 mf. Jati tinggi 2,5 m dengan tajuk 6 mg. Pinus tiggi 18 m dengan tajuk 7 m
Gambar 7. Profi Habitat Tidur pada Stasiun 1
Keterangan gambar:
a. Bunga kupu-kupu tinggi atara 7 m – 10 m dengan tajuk 5 m – 9 mb. Glodogan tinggi antara 6 m – 15 m dengan tajuk 0.5 m – 1.5 mc. Kerai payung tinggi antara 9.5 m – 15 m dengan tajuk 5 m – 11 md. Jambu tinggi 1,5 m dengan tajuk 2 m
Gambar 8. Profil Habitat Bermain pada Stasiun 2
Keterangan gambar:
a. Kiputri tinggi rata-rata 7,5 m -15 m dengan tajuk antara 4 m - 9 m b. Rambutan tinggi rata-rata 4 m – 7 m dengan tajuk antara 3 m – 7 m c. Karet tinggi rata-rata 25 m – 27 m dengan tajuk antara 15 m – 20 m d. Lamtoro tinggi 15 m dengan tajun 8 m e. Mahoni tinggi rata-rata 7 m – 12 m dengan tajuk atara 3 m – 12 m f. Mangga tinggi 9 m dengan tajuk 5 m
Gambar 9. Profil Habitat Makan pada stasiun 2
Keterangan gambar
a. Bunga kupu-kupu tinggi antara 3 m – 7 m dengan tajuk 2 m – 3 mb. Mahoni tinggi antara 8.5 m – 12 m dengan tajuk antara 3 m – 6 mc. Acasia tinggi antara 12 m – 22 m dengan tajuk antara 4 m – 9 md.Waru tinggi antara 5 m – 13 m dengan tajuk antara 3 m – 8 me. Rambutan tinggi 10 m dengan tajuk 12 mf. Jamblang tinggi 13 m dengan tajuk 15 m
Gambar 10. Profil Habitat Tidur pada Stasiun 2
Keterangan gambar:
a. Lamtoro tinggi antara 5 m – 15 m dengan tajuk antara 5 m – 10 mb. Mahoni tinggi antara 2.5 m – 8 m dengan tajuk 1 m – 3 mc. Acasia tinggi 20 m dengan tajuk 9 md. Rambutan tinggi 8 m dengan tajuk 5 me. Kapuk Randu tinggi 7.5 m dengan tajuk 3 mf. Mangga tinggi 3.5 m dengan tajuk 2 mg. Karet tinggi 7 m dengan tajuk 3.4 m
4.1.4. Analisis Vegetasi
Hasil analisa terhadap vegetasi di 2 stasiun hutan kota BUPERTA terdapat
di bawah ini:
Tabel 6. Indeks Nilai Penting dan Keanekaraman Vegetasi Tingkat Pohon dan Pancang pada Stasiun 1
NO NAMAILMIAH
NAMADAERAH
Pohon Pancang
INP Pi Log Pi(H’) INP Pi Log Pi
(H’)1 Acacia auricuilformis Akasia 15.4 0.0652 Antidesma bunius Buni 11.29 0.0432 64. 3 0. 2233 Bauhinia purpurea Bunga Kupu-kupu 28.06 0.0936 35. 77 0. 1014 Cocos nucifera Kelapa 14 0.05365 Hevea brasiliensis Karet 14.72 0.05286 Lagerstroemia speciosa Bungur 31.46 0.0997 Mimusops elengii Tajung 43.76 0.119 41. 48 0. 1118 Pinus merkusili Pinus 24.67 0.0889 Polyalthia longifolia Glodogan tiang 32.14 0.098 47. 93 0. 11810 Swietenia indica Mahoni 11.97 0.042311 Syzigium polyantrum Salam 20.46 0.0708 47. 34 0. 12012 Tectona grandis Jati 11.29 0.0432 35. 77 0. 10313 Kerai payung 33.04 0.09714 Pala Manis 10.16 0.0444 27. 42 0. 09315 Lamtoro 8.81 0.0308
Total 311. 23 1. 041 300 0. 867
Tabel 7. Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Vegetasi Tingkat Pohon dan Pancang pada Stasiun 2
NO NAMAILMIAH
NAMADAERAH
Pohon PancangINP Pi Log Pi
(H’) INP Pi Log Pi (H’)
1 Acacia auricuiformes Acasia 38.1 0.1062 Bauhinia purpurea Bunga kupu-kupu 48.8 0.1243 Calophyllum inophylum Nyamplung 22.8 0.0774 Hibiscus tiliaceus Waru 26.89 0.0835 Lagerstroemia speciosa Bungur 23.52 0.077 55.17 0.1316 Mimusops elengii Tanjung 19.06 0.0717 Pometia pinnata Matoa 24.3 0.0878 Sandoricum koetjapie Kecapi 45.91 0.1219 Swietenia indica Mahoni 106.3 0.157 76.65 0.14710 Syzigium polyantrum Salam 49.06 0.12411 Pule 40.26 0.11312 Sp 1 23.22 0.077
Total 300 0.728 300 0.767
4.2. Pembahasan
4.2.1 Kelimpahan dan Indeks Dominansi Burung
Dari hasil pengamatan di hutan kota BUPERTA Cibubur ditemukan
sebanyak 30 jenis burung dengan kelimpahan yang berbeda di dua stasiun
penelitian. Burung gereja (Passer montanus) merupakan jenis burung yang
kelimpahannya paling tinggi dan ditemukan hampir di semua plot pengamatan.
Kelimpahan ini dapat terlihat dari pengamatan yang dilakukan selama kurang
lebih 4 bulan penelitian.
Pada stasiun 1 Jenis burung yang memiliki kelimpahan dan INP tertinggi
secara berturut-turut adalah Burung gereja (Passer montanus) dengan Kr 52,01
dan INP 57,89%, Bondol peking (Lonchura punctulata) dengan Kr 7,60 dan INP
13,48%, Walet linchi (Collocalia linchi) dengan Kr 6.85 dan INP 12,73%,
Layang-layang batu (Hirundo tahitica) dengan Kr 5,34 dan Nilai INP 11,22% dan
Tekukur (Streptopelia chinensis) dengan Kr 5,04 dan Nilai INP 10,92%,
sedangkan untuk jenis burung dengan kelimpahan dan INP rendah adalah
Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dengan Kr 0,30 dan INP 3,24%, Wiwik
lurik (Cacomantis sonneratiis) dengan Kr 0,70 dan INP 3,64%, Raja udang
meninting (Alcedo meninting) dengan Kr 0,70 dan INP 3,64%. Kelimpahan jenis-
jenis ini terlihat pada saat penelitian yang sering dijumpai, sedangkan seringnya
jenis burung tersebut terlihat sepertinya sudah cukup terbiasa dengan kehidupan
manusia. Menurut MacKinnon (1992) jenis-jenis burung tersebut adalah jenis
burung yang terbiasa dengan aktifitas manusia.
Untuk indeks dominansi burung pada stasiun 1 yang tergolong dengan
dominansi tinggi yaitu burung yang memiliki nilai persentase dominansi di atas
5% hal ini terjadi pada jenis Burung gereja (Passer montanus) yang memiliki
indeks dominansi sebesar 28,1%, Tekukur (Sreptopelia chinensis) yang memiliki
indeks dominansi sebesar 5,2%, Walet linchi (Collocalia linchi) yang memiliki
indeks dominansi sebesar 6,1%. Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Cabai
jawa (Dicaeum trochileum), dan Madu sriganti (Nectarinia jugularis) merupakan
jenis-jenis burung dengan tingkat dominansi sedang yaitu dengan tingkat
dominansi 2% – 5%, sedangkan untuk jenis burung dengan tingkat dominansi
rendah yaitu jenis burung yang memiliki tingkat dominansi sebesar kurang dari
2% yaitu burung Raja udang meninting (Alcedo meninting) dengan nilai indeks
dominansi sebesar 1,7%, Cipoh kacat (Aegithina tiphida) dengan nilai indeks
dominansi sebesar 1,5%. Masih terdapatnya dominansi beberapa jenis burung di
hutan kota BUPERTA tersebut mungkin saja masih ada faktor ekologis yang
masih mendukung misalya danau, rumput dan alang-alang.
Pada stasiun 2 jenis burung yang memiliki kelimpahan yang tinggi secara
berturut-turut adalah Burung gereja (Passer montanus) dengan Kr 46,65 dan INP
51,52%, Walet linchi (Collocalia linchi) dengan Kr 8,11 dengan INP 12,98 % dan
Tekukur (Streptopelia chinensis) dengan Kr 5,68 dan INP 10,54%. sedangkan
jenis burung yang memiliki kelimahan rendah yaitu Kipasan belang (Rhipidura
javanica) dengan Kr 0,20 dan INP 2,63%, Perkutut (Geopelia striata) dengan Kr
0,20 dan INP 2,63% dan Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dengan Kr 0,40
dan INP 2,83%
Untuk indeks dominansi burung pada stasiun 2 yang tergolong dengan
dominansi tinggi yaitu burung yang memiliki nilai persentase dominansi di atas
5% hal ini terjadi pada jenis Burung gereja (Passer montanus) yang memiliki
indeks dominansi sebesar 25,8%, Bondol peking (Lonchura punctulata) yang
memiliki indeks dominansi sebesar 6.5%, Walet linchi (Collocalia linchi) yang
memiliki indeks dominansi sebesar 6,5%. Sepah kecil (Pericrocotus
cinamomeus), Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) dan Bentet kelabu (Lanius
schah) merupakan jenis-jenis burung dengan tingkat dominansi sedang yaitu
dengan tingkat dominansi 2% – 5%, sedangkan untuk jenis burung dengan tingkat
dominansi rendah yaitu jenis burung yang memiliki tingkat dominansi sebesar
kurang dari 2% yaitu Perkutut (Geopelia striata) dengan indeks dominansi
sebesar 1,3%, Gelatik batu kelabu (Parus major) dan Srigunting hitam (Dicrurus
macrocercus) dengan indeks dominansi sebesar 1,4%. Masih terdapatnya
dominansi beberapa jenis burung di hutan kota BUPERTA tersebut mungkin saja
masih ada faktor pendukung yang masih ada misalya danau, rumput dan alang-
alang.
Sedikitnya jenis burung yang tersebut dipengaruhi oleh faktor habitat yang
kurang mendukung. Menurut MacArthur dan MacArthur (1972) faktor habitat
merupakan faktor utama seberapa besar jumlah jenis burung berada di dalam
suatu komunitas. Selain habitat perburuan dapat juga mempengaruhi produktivitas
jenis burung hutan kota BUPERTA Cibubur perburuan biasanya dilakukan secara
konvensional dengan menggunaan ketapel dan senapan angin, biasanya perburuan
dilakukan terhadap jenis burung dengan kriteria tertentu misalnya suara, karena
pada saat di lapangan terkadang ada sekelompok remaja yang membawa senapan
angin, ketapel dan juga sering memanjat pohon dengan maksud mengambil sarang
burung. Burung yang memiliki suara indah akan memberikan nilai tersendiri
kepada pemiliknya, karena dalam kehidupan burung kicauan yang dinyanyikan
memiliki dua fungsi utama yaitu untuk mengumumkan penguasaan sebuah
wilayah hidup atau teritori dan upaya untuk memikat betina untuk pasangan
berkembang biak (Armstrong 1963, Catchple 1979) dalam Adhikerana dkk
(1993). Menurut MacKinnon (1998) jenis burung raja udang sering terlihat di
perairan seperti danau, sungai dan payau. Keberadaan burung raja udang
meninting dipastikan masih adanya sumber makanan di danau, namun untuk
menemukan jenis burung ini kita harus mengetahui pola hidupnya dalam mencari
makan, begitu juga untuk jenis-jenis burung lainnya
Dari kelimpahan dan juga indeks dominansi terhadap jenis burung yang
terdapat di hutan kota BUPERTA Cibubur dapat digolongkan menjadi 3 kriteria
yaitu kriteria burung dengan tingkat dominansi tinggi (Di>5%), kriteria burung
dengan tingkat dominansi rendah (Di 2-5%) dan kriteria burung dengan tingkat
dominansi rendah (Di<2%). Dari kriteria tersebut burung gereja (Passer
montanus), Tekukur (Sterptopelia Chinensis) merupakan burung dengan
dominansi tinggi, suku dari Jenis ini masuk ke dalam Ploicedae selalu terlihat di
setiap lokasi pengamatan dengan jumlah melimpah baik secara berkelompok
maupun soliter. Burung gereja merupakan burung yang berasosiasi dekat dengan
manusia, burung ini termasuk dalam kelompok bertengger yang juga dikenal
sebagai burung penyiul.
Burung gereja biasanya mencari makan di tanah, lapangan maupun di
halaman sekitar gedung sehingga sangat mudah sekali kita dapat menjumpai jenis
burung ini, karena burung ini memiliki bentuk kaki sangat kecil dan lemah dan
juga warna bulunya dengan warna coklat dan abu-abu agak suram dengan coreng
lebar berpola rerumputan. Sifat lain yang dimiliki oleh burung gereja yaitu home
insting yaitu hewan yang mempunyai insting untuk kembali ke tempat tinggalnya
semula. Ciri dari hewan yang mempunyai home insting adalah sangat terikat
dengan tempat tinggalnya selama tempat tinggal tersebut masih aman dan sesuai
dengan kebutuhannya.
Jenis burung yang memiliki kelimpahan dan INP terendah merupakan
jenis burung yang hanya terlihat sesekali pada saat pengamatan di lapangan, fakta
yang membuktikan bahwa jenis burung dengan penampakan sekali pada saat
penampakan memiliki kelimpahan yang hampir sama masing-masing tidak kurang
dari 1% dan INP masing-masing 2,9% begitu juga dengan indeks dominansinya
yang kurang dari 2% (tabel 3). Habitat merupakan hal utama yang dapat
mempengaruhi kelimpahan burung di stasiun 1, menurut Karr (1968) dan
Gavereski (1976) dalam Mendidit (2003) ukuran atau luas habitat merupakan
suatu faktor penting dalam menilai keanekaragaman jenis burung.
4.2.2. Keanekaragaman Burung
Suatu komunitas yang stabil dan baik akan mempuyai kenekaragaman
jenis burung yang tinggi, tinggi rendahnya keanekaragaman hanya bisa ditentukan
jika dua atau lebih komunitas yang dibandingkan (Odum, 1971 dalam Mendidit
2003), menurut Sheldon (1969) dalam Mendidit (2003) indeks keanekaragaman
Shannon–Wiener yang digunakan dalam fungsi perhitungan adalah fungsi dari
dua komponen yaitu kekayaan atau jumlah jenis dan indeks keseragaman antar
habitat.
Keanekaragaman burung di hutan kota BUPERTA Cibubur dapat dilihat
pada tabel 4. Dari tabel tersebut stasiun 2 memiliki indeks keanekaragaman lebih
besar dibandingkan dengan stasiun 1, yaitu pada stasiun 2 sebesar (H’= 1.173)
sedangkan di stasiun 1 sebesar (H’= 1.159), perbedaan ini terlihat dari jumlah
burung yang dijumpai selama penelitian dan juga dari hasil analisis data burung
yang diperoleh dengan hasil yang tidak jauh berbeda hanya saja jenis burung di
stasiun 2 lebih banyak bila dibandingkan dengan stasiun 1, maka nilai kekayaan
jenisnya yaitu sebanyak 25 jenis. Perbedaan ini ada hubungannya dengan luas dan
juga tipe habitat di dalam luasan habitat tersebut.
Bentuk habitat yang terdapat di hutan kota BUPERTA Cibubur merupakan
bentuk ruang terbuka hijau, dimana vegetasi yang terdapat tidak jauh berbeda
dengan ruang terbuka hijau lainnya yang ada di Jakarta keberadaan vegetasi ini
sengaja ditanam atau telah tumbuh dengan sendirinya. Habitat pada stasiun 1
tersusun atas lapangan, wilayah perairan danau dan beberapa lokasi dengan
tanaman yang digunakan sebagai penghijauan di sepanjang jalan dan beberapa
lokasi konsentrasi dengan vegetasi yang telah ada selain itu terdapat lokasi yag
dijadikan sebagai sebagai koleksi kawasan hutan kota BUPERTA Cibubur.
Sedangkan stasiun 2 tersusun atas lapangan dengan tingkat kerapatan vegetasi
yang lebih sedikit dibandingkan dengan stasiun 1 mungkin saja hal ini terjadi
karena lokasi stasiun 2 banyak digunakan sebagai tempat untuk berkemah
sehingga pengaturan dan pengawasan vegetasinyapun lebih intesif dibandingan
dengan lokasi stasiun 1. Pada stasiun 2 terdapat kubangan air seperti rawa yang
tersusun atas vegetasi rerumputan, disamping itu selain dari bentuk luasan
terbukanya stasiun 2 lebih dekat dengan wilayah yang berbatasan dengan daerah
sekitarnya yang mana di luar daerah tersebut masih terdapat sawah yang banyak
mengundang burung bondol, ruang terbuka lainnya seperti tempat pemakaman,
kebun pekarangan rumah yang masih banyak menyimpan tanaman produksi dan
semak.
Dari hasil tersebut burung kota sangat menyukai daerah yang
menyediakan sumber pakan dan juga bentuk habitat yang dapat mendukung
kelangsungan hidupnya. Menurut Peterson (1980) dalam Mendidit (2003)
penyebaran burung erat hubungannya dengan ketersediaan makanan, dengan kata
lain burung memerlukan tempat khusus untuk hidupnya, penyebaran burung
dipengaruhi oleh kesesuaian lingkungan hidup burung, meliputi adaptasi terhadap
lingkungan, kompetisi dan seleksi alam, karena burung merupakan satwa liar
pengguna ruang yang cukup baik, hal ini dapat dilihat dari penyebarannya.
Keanekaragaman burung di stasiun 1 mempunyai indeks keanekaragaman
yang lebih rendah dari stasiun 2 hal ini di pengaruhi oleh nilai kekayaan jenis
yang lebih rendah dengan 23 jenis. Bentuk lokasi stasiun 1 memiliki ruangan
terbuka yang lebih rendah dibandingakan dengan stasiun 1 hanya saja vegetasi
yanga ada lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2, selain itu lokasi stasiun 1
tersusun atas beberapa segmentasi habitat seperti danau, lapangan sepak bola,
namun karena banyaknya pengujung yang masuk ke daerah tersebut dengan
memanfaatkan danau sebagai tempat untuk rekreasi, maka pengaruhnya
membawa dampak terhadap kehidupan burung selain itu stasiun 1 sangat
berdekatan dengan lingkungan yang cukup ramai seperti jalan raya, rumah makan
dan mall. Menurut Orians (1969) Kenekaragaman burung juga dipengaruhi oleh
banyaknya faktor lainnya seperti kelimpahan epifit, keimpahan buah-buahan,
keterbukaan lantai dan juga komposisi pohon, sehingga baik secara nyata maupun
tidak nyata indikasi tersebut dapat mempengaruhi keberadaan burung terkecuali
burung yang telah beradaptasi degan lingkungan manusia.
Perbedaan keanekaragaman burung dari dua stasiun secara dipegaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
1. Ukuran luas habitat, semakin luas habitatnya, cenderung semakin tinggi
keanekaragaman jenis burungnya. Luas stasiun 1 lebih sempit dibandingkan
dengan stasiun 2 sehingga keanekaragaman burungnya dapat berbeda dari
kedua stasiun tersebut.
2. Struktur dan keanekaragaman vegetasi, di daerah yang keanekaragaman
tumbuhannya tinggi maka keanekaragaman jenis hewannya termasuk bururng
tinggi pula, hal ini disebabkan karena setiap jenis hewan hidupnya bergantung
pada sekelompok jenis tumbuhannya tertentu (Ewusie, 1990 dalam
Partasasmita, 2003). Kenakearagaman vegetasi di stasiun 2 lebih rendah di
bandingkan dengan stasiun 1 hal ini terjadi karena stasiun 2 banyak digunakan
sebagai tempat kegiatan kepramukaan sedangkan stasiun 1 keanekaragaman
vegetasinya lebih tinggi namun karena faktor eksternal burung merasa
terganggu keberadaannya sehigga jumlah burungnya lebih sedikit.
3. Keanekaan dan tingkat kualitas habitat secara umum di suatu lokasi (Gonzales,
1993 dalam Partasasmita, 2003) semakin majemuk habitatnya cenderung
semakin tinggi keanekaragaman burungnya. Untuk daerah konservasi memang
berbanding lurus semakin beranekaragam tanaman akan berdampak bagus
terhadap kelestarian burung yang melimpah sedangkan hutan kota harus lebih
konsisten penataanya supaya tidak terganggu burung yang ada di hutan kota
tersebut salah satunya faktor kebisingan dan pemilihan tanaman untuk
dijadikan sebagai habitat burung.
4. Pengendali ekosistem yang dominan. Keanekaragaman burung cenderung
rendah dalam ekosistem yang terkendali secara fisik dan cenderung tinggi
dalam ekosistem yang diatur secara biologi (Odum, 1994 dalam Partasasmita,
2003). Raja udang meninting sebagai indikator spesies perairan karena sering
terlihat burung tersebut mengambil makanan di danau hutan kota BUPERTA
Cibubur.
4.2.3. Tipe Pakan dan Pencarian Pakan
Untuk mendapatkan energi dan menjalankan kelangsungan hidupnya
burung membutuhkan suatu asupan makanan yang mana makanan tersebut dapat
diperoleh dari lingkungan sekitar pencarian pakan maupun lingkungan di luar
pencarian pakan sehingga burung yang ada di wilayah tersebut dapat
memanfaatkan makanan yang tersedia diantaranya serangga, biji-bijian, buah
maupun madu yang tersedia di habitat tersebut sehingga kelangsungan hidup akan
terus berjalan. Menurut Alikodra (1990) habitat adalah kawasan yang terdiri dari
berbagai komponen, kesatuan fisik dan biotik dan dapat dipergunakan sebagai
tempat hidup serta berbiak satwa liar, namun tidak menutup kemungkinan satwa
menggunakan satu tipe habitat untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya
sebagai contohnya burung pipit atau jenis bondol, habitat untuk mencari
makannya adalah di sawah dan habitat untuk bertelur adalah di pohon-pohon yang
ada di pekarangan atau daerah ekoton.
Sebagian besar jenis burung yang terdapat di hutan kota BUPERTA
Cibubur merupakan jenis-jenis burung pemakan serangga selain itu pemakan biji,
buah, nektar dan vertebrata kecil. Selama penelitian tampak bahwa hutan kota
BUPERTA Cibubur memiliki banyak serangga yang cukup melimpah antara lain:
capung, belalang, kupu-kupu, macam semut, tawon, lebah.
Burung pemakan biji (granivora) yang ditemukan adalah jenis Burung
gereja (Passer montanus), Bondol peking (Lochura punctulata) dan Bondol jawa
(Lonchura leucogastroides), Tekukur (Streptopelia chinensis). Dari ketiga jenis
burung yang tersebut burung gereja (Passer montanus) merupakan burung yang
sangat melimpah, sedangkan bondol jawa dan bondol peking melimpah pada
habitat yang masih banyak rerumputannya.
Lokasi yang bisa kita jumpai untuk mendapatkan jenis-jenis burung
tersebut seperti habitat yang dijadikan sebagai tempat untuk mencari makan
seperti lapangan sekitar kantor, pagar, maupun tanaman sekitar gedung yang
dimanfaatkan oleh jenis burung gereja sedangkan burung bondol dan tekukur
dapat dijumpai pada habitat rumput-rumputan dan pohon. Hal ini dapat dilihat
pada saat pengamatan, burung gereja mudah ditemukan baik di komplek
bangunan, lantai tanah, pagar, tanaman maupun jalan aspal dan tampaknya sampai
jarak tertentu burung gereja tidak merasa terganggu oleh manusia, karena burung
gereja merupakan burung yang telah berhabituasi dengan kehidupan manusia.
Menurut Setiawati dan Partasasmita (2001) burung gereja (Passer montanus)
merupakan burung yang sangat beradaptasi dengan komunitas manusia.
Jenis-jenis burung pemakan buah (frugivora) yang ditemukan di hutan
kota Cibubur adalah Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Burung cabai jawa
(Dicaeum trochileum). Burung kutilang dapat terlihat di habitat yang banyak
tanaman-tanaman produktif dan rerumputan. Pada habitat rerumputan sering kali
terlihat burung kutilang memakan jenis serangga kecil yang mana serangga
tersebut masih banyak terdapat di lapangan hutan kota BUPERTA Cibubur,
makanan jenis serangga ini merupakan sebagai makanan alternatifnya disamping
memakan buah-buahan sebagai makanan utamanya. Sedangkan burung cabai jawa
(Dicaeum trochileum) merupakan jenis burung frugivora dengan tipe khas
makanannya yaitu benalu, banyaknya benalu yang tumbuh di tanaman karet dan
kecapi seringkali burung ini terlihat cukup melimpah.
Burung pemakan vertebrata kecil baik yang dimakan berasal di danau
maupun dari hutan kota BUPERTA Cibubur yaitu jenis burung yang dapat terlihat
hanya sesekai seperti Pecuk Ular Asia (Anhinga melanogaster) dan jenis burung
migran yaitu Sikep madu Asia (Pernis ptilorhynchus) dan Elang Alap nipon
(Accipiter gullaris). Pecuk ular Asia merupakan jenis burung air yang makananya
berupa ikan-ikan kecil, datangnya burung pecuk ular ke danau hutan kota
BUPERTA Cibubur diduga individu yang terpisah dari kelompoknya, hal ini
terlihat hanya sekali dalam pengamatan dan juga prilaku pada saat terbang posisi
arah gerakan terbangnya terlihat tidak beraturan. Sikep madu Asia dan elang
nipon merupakan jenis burung raptor migran yang berasal dari belahan bumi utara
Siberia yang melintasi pulau Jawa, menurut Holmes (1999) kedua jenis burung
migran ini merupakan jenis yang paling banyak melintasi pulau Jawa. Kedua jenis
burung ini biasanya memangsa jenis makananya berupa vertebrata kecil seperti
ikan, kodok atau katak kecil, hal ini terlihat pada waktu sore ketika suara katak
berbunyi di hutan kota BUPERTA Cibubur terkadang sering terlihat jenis raptor
tersebut sering kali berputar-putar atau soaring untuk memangsa jenis katak
tersebut. Menurut beberapa anggota LSM Pengamat burung di Jakarta, JBC
(Jakarta Bird Wacther Community) bahwa di wilayah Jakarta bagian timur
terdapat beberap titik yang dijadikan daerah persinggahan pulang oleh jenis raptor
migran yakni hutan kota BUPERTA Cibubur dan hutan kota UI.
Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) dan madu kelapa
(Anthreptes malaccensis), merupakan jenis burung pemakan atau penghisap
nektar. Beberapa tanaman yang terdapat di hutan kota BUPERTA Cibubur
terdapat beberapa tanaman yang menghasilkan bunga yang mana nektar yang
terdapat di dalam bunga tersebut akan dihisap oleh burung tersebut, biasanya
untuk mendapatkan jenis-jenis burung ini dapat kita dijumpai pada habitat dengan
tanaman produktif yang menghasilkan bunga dengan warna mencolok terkadang
tanaman dengan bunga yang kurang mencolok juga jenis sering terlihat seperti
tanaman bunga kupu-kupu, flamboyan dan lamtoro atau ketoke yang
menghasilkan pancaran warna bunga yang mencolok seperti warna kuning, orange
atau merah.
4.2.4. Stratifikasi Vertikal Wilayah Pencarian Pakan
Wilayah pencarian makan merupakan wilayah yang tersusun atas gugusan
habitat dimana nantinya akan sangat bermanfaat bagi satwa sebagai tempat untuk
mencari atau mendapatakan makanan bagi burung, beberapa tumbuhan yang
terdapat dalam gugus itu dimanfaatkan oleh burung sebagai pakan atau
perlindungan. Gugus- sumberdaya (pakan), ketika terjadi pada skala kecil bahkan
lebih kecil dari 200 meter2, dapat berpengaruh langsung terhadap taktik perilaku
secara individu (Hunter dkk, 1992 dalam Arumasari, 1989).
Menurut Arumasari (1989) pembagian wilayah pencarian pakan secara
vertikal oleh berbagai jenis burung yang terdapat di Kampus UI Depok sebagai
berikut:
1. Lapisan tanah: Pada lapisan ini digunakan oleh jenis burung Tekukur
(Streptopelia chinensis) dan Burung gereja (Passer montanus).
2. Lapisan semak: Pada lapisan ini digunakan oleh jenis burung Bondol peking
(Lonchura punctulata), Bondol jawa (Lonchura leucogastroides).
3. Lapisan subkanopi: Pada lapisan ini digunakan oleh jenis burung Kutilang
(Pycnonotus aurigaster), jenis cinenen (Orthotomus sutorius).
4. Lapisan kanopi: Pada lapisan ini digunakan oleh jenis burung madu sriganti
(Nectarina jugularis), sepah kecil (Pericrocotus cinamomeus) dan lain-lain.
5. Lapisan udara: Pada lapisan ini digunakan antara lain oleh Jenis walet
4.2.5. Profil Habitat Burung
Beberapa tipe habitat di dalam hutan kota BUPERTA Cibubur
dimanfaatkan oleh burung dalam kegiatan sehari-harinya, penggunaan beberapa
tipe habitat seperti lokasi mencari makan, lokasi bermain atau bercengkrama satu
dengan yang lainnya dan lokasi istirahat atau tidur baik yang dilakukan pada siang
hari maupun menjelang malam hari, namun tidak selamanya burung tersebut
menggunakan hanya satu tipe habitat tetapi ada beberapa burung yang
menggunakan beberapa tipe habitat dalam kegiatan sehari-harinya. Penggunaan
beberapa tipe habitat oleh burung di hutan kota BUPERTA Cibubur dapat
digambarkan dengan bentuk profil habitat di bawah ini:
4.2.5.1. Profil Habitat Tidur
Pada profil gambar 7 stasiun 1 menunjukan penggunaan strata vegetasi
oleh beberapa burung untuk beraktifitas sebagian besar penggunaan strata
vegetasi ini digunakan dalam aktifitas tidur atau istirahat, kisaran penggunaan
vegetasi untuk istirahat berkisar antara 6 m sampai 15 m, beberapa burung yang
teramati pada profil habitatini yaitu Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster),
Tekukur (Streptopelia chinensis), burung gereja (Passer montanus) dan Cinenen
pisang (Orthotous sutorius).
Pada profil gambar 10 stasiun 2 menunjukan penggunaan strata vegetasi
oleh beberapa burung untuk beraktifitas sebagian besar penggunaan strata
vegetasi ini digunakan dalam kegiatan tidur atau istirahat dimana penggunaan
vegetasinya berkisar antara 7 m sampai 20 m seperti yang dilakukan oleh burung
tekukur (Sterptopelia chinensis), cucak kutilang (Pycnnootus aurigaster) dan
Sepah kecil (Pericrocotus cinamomous).
4.2.5.2. Profil Habitat Makan
Pada profil gambar 6 stasiun 1 menunjukan penggunaan strata vegetasi
oleh beberapa burung untuk beraktifitas sebagian besar penggunaan strata
vegetasi ini digunakan dalam aktifitas makan, kisaran penggunaan vegatasi untuk
mencari makan berkisar antara 5 m sampai 31 m, beberapa burung yang tampak
pada profil habitat ini yaitu Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Cabai jawa
(Dicaeum trochileum), Burung gereja (Passer montanus) dan Cipoh kacat
(Aegithina tiphida).
Pada profil gambar 9 stasiun 2 menunjukkan penggunaan strata vegetasi
oleh beberapa burung untuk beraktifitas sebagian besar penggunaan strata
vegetasi ini digunakan dalam aktifitas makan, kisaran penggunaan vegetasi utuk
mencari makan berkisara antara 4 m sampai 18 m, beberapa burung yang teramati
pada profil ini yaitu jenis burung madu (Nectarinia jugularis) dan Cinenen pisang
(Orthotomus sutorius).
4.2.5.3. Profil Habitat Bermain
Pada gambar 5 stsiun 1 menunjukkan penggunaan strata vegetasi oleh
beberapa jenis burung untuk beraktifitas sebagaian besar penggunaan strata
vegetasi ini digunakan dalam aktifitas bermain. Kisaran penggunaan vegetasi
untuk mencari makan berkisar antara 5 m sampai 31 m. Beberapa burung yang
tampak pada profil habitat ini yaitu Cucak kutiang (Pycnootus aurigaster), Cabai
jawa (Dicaeum trochileum), Burung gereja (Passer montanus) dan Cipoh kacat
(Aegithina tiphida).
Pada gambar 8 stasiun 2 menunjukan penggunaan strata vegetasi oleh
beberapa burung untuk beraktifitas sebagian besar penggunaan strata vegetasi ini
digunakan dalam aktifitas main atau bercengkrama, kisaran penggunaan vegetasi
untuk bermain berkisar antara 4 m sampai 27 m, beberapa burung yang tampak
saat penelitian pada profil ini yaitu burung gereja (Passer montanus), Cucak
kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Cabai jawa (Dicaeum trochileum).
4.2.6. Vegetasi
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data vegetasi yang terdapat
pada 2 stasiun hutan kota BUPERTA Cibubur, maka dapat dibagi dalam vegetasi
tingkat pohon dan vegetasi tingkat pancang yang terdapat di bawah ini:
4.2.6.1. Tingkat Pohon
Pada stasiun 1 diperoleh 15 jenis vegetasi tingkat pohon yang terbagi
dalam tingkat dominansi mulai dari tingkat dominansi sangat tinggi sampai
terendah. Tingkat dominansi sangat tinggi yaitu Tanjung (Mimusops elengii)
dengan INP 43,76%, 3 jenis dalam dominansi tingkat tinggi yaitu Glodogan tiang
(Polyalthia longifolia) dengan INP 3,.14%, Kerai payung dengan INP 33,04% dan
Karet (Hevea brasiliensis) dengan INP 31,46%, 2 jenis termasuk dalam tingkat
dominansi sedang yaitu Bungur (Lagerstroemia speciosa) dengan INP 28,06%
dan Pinus (Pinus merkusili) dengan INP 24,67%, 1 jenis termasuk dalam tingkat
dominansi rendah yaitu Bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dengan INP
20,46%, sedangkan 8 jenis lainnya termasuk dalam tingkat dominansi sangat
rendah yaitu Buni (Antidesma bunius) dengan INP 11,29%, Kelapa (Cocos
nuciferus) dengan INP 14%, Mahoni (Swietenia mahagoni) dengan INP 11,97%,
Pala manis dengan INP 10,16 %, Jati (Tectona grandis) dengan INP 11,29%,
Salam (Syzigium polyantrum) dengan INP 8,81%, Akasia (Acasia auricuilformis)
dengan INP 15,04% dan Lamtoro dengan INP 14,72%. Dari hasil penghitungan
indeks keanekaragaman vegetasi tingkat pohon pada stasiun 1 yaitu 1.0407 hal ini
menunjukan bahwa pada stasiun 1 keanekaragaman jenis tingkat pohon sedang,
untuk INP dan tingkat keanekaragaman vegetasi pada stasiun 1 disajikan pada
lampiran 7, nilai kelas tingkat dominansi dan peran vegetasi pada stasiun 1
disajikan pada lampiran 3 .
Pada stasiun 2 diperoleh 7 jenis vegetasi tingkat pohon yang terbagi dalam
tingkat dominansi mulai dari tingkat dominansi yang sangat tinggi sampai
terendah. Tingkat dominansi sangat tinggi yaitu Mahoni (Swietenia mahagoni)
dengan INP 106,26%, tiga jenis dalam dominansi tingkat rendah yaitu Kecapi
(Sandoricum koetjapie) dengan INP 45,91%, Pule (Alstonia scholaris) dengan
INP 40.26% dan Acasia (Acasia auricuilformis) dengan INP 38.1%, sedangkan
tiga jenis termasuk dalam tingkat dominansi sangat rendah yaitu Waru (Hibiscus
tiliaceus) dengan INP 26,89%, Bungur (Lagerstroemia speciosa) dengan INP
23,52% dan Tanjung (Mimusops elengii) dengan INP 19,06%, dari hasil
penghitungan indeks keanekaragaman vegetasi tingkat pohon pada stasiun 2 yaitu
0.728 hal ini menunjukan bahwa pada stasiun 2 keanekaragaman jenis tingkat
pohon rendah, untuk INP dan tingkat keanekaragaman vegetasi pada stasiun 1
disajikan pada lampiran 9, sedangkan nilai kelas tingkat dominansi dan peran
vegetasi pada stasiun 2 disajikan pada lampiran 4.
4.2.6.2. Tingkat Pancang
Pada stasiun 1 diperoleh 7 jenis vegetasi tingkat pancang yang terbagi
dalam beberapa tingkat dominansi mulai dari yang sangat tinggi sampai terendah,
tingkat dominansi sangat tinggi yaitu Buni (Antidesma bunius) dengan INP
64,3%, dua jenis dalam dominansi tingkat sedang yaitu Glodogan tiang
(Polyalthia longifolia) dengan INP 47,93% dan Salam (Syzigium polyantrum)
dengan INP 47,34%, tiga jenis termasuk dalam tingkat dominansi rendah yaitu
Bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dengan INP 35,77%, Jati (Tectona
grandis) dengan INP 35,77%, Tanjung (Mimusops elengii) dengan INP 41,48%,
sedangkan satu jenis lainnya termasuk dalam tingkat dominansi sangat rendah
yaitu Pala manis dengan INP 27,42%, dari hasil penghitungan indeks
keanekaragaman vegetasi tingkat pancang pada stasiun 1 yaitu 0.8667 hal ini
menunjukan bahwa pada stasiun 1 keanekaragaman jenis tingkat pancang rendah,
untuk INP dan tingkat keanekaragaman vegetasi pada stasiun 1 disajikan pada
lampiran 8, sedangkan nilai kelas tingkat dominansi dan peran vegetasi pada
stasiun 1 disajikan pada lampiran 3.
Pada stasiun 2 diperoleh 7 jenis vegetasi tingkat pancang yang terbagi
dalam beberapa tingkat dominansi mulai dari yang sangat tinggi sampai terendah,
tingkat dominansi sangat tinggi yaitu Mahoni (Swietenia mahagoni) dengan INP
76,65%, satu jenis dalam dominansi tingkat tinggi yaitu Bungur (Lagerstroemia
speciosa) dengan INP 55,17%, dua jenis dalam dominansi tingkat sedang yaitu
Salam (Syzigium polyantrum) dengan INP 49,06% dan Bunga kupu-kupu
(Bauhinia purpurea) dengan INP 48,8%, sedangkan tiga jenis termasuk dalam
tingkat dominansi sangat rendah yaitu Nyamplung (Calophyllum inophylum)
dengan INP 22,8%, Matoa (Pometia pinnata) dengan INP 24,30%, Sp 1 dengan
INP 23,22%, dari hasil penghitungan indeks keanekaragaman vegetasi tingkat
pancang pada stasiun 2 yaitu 0.767 hal ini menunjukan bahwa pada stasiun 2
keanekaragaman jenis tingkat pancang rendah, untuk INP dan tingkat
keanekaragaman vegetasi pada stasiun 2 disajikan pada lampiran 10, sedangkan
nilai kelas tingkat dominansi dan peran vegetasi disajikan pada lampiran 4.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap keanekaragaman burung di hutan
BUPERTA Cibubur dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tingkat kenekaragaman burung di hutan kota BUPERTA Cibubur masing-
masing pada dua stasiun yaitu stasiun 1 sebesar 1.159 dan stasiun 2 sebesar
1.173. Ditemukan 30 jenis, 23 Family dan 9 Ordo.
2. Profil habitat sebagai penunjang kehidupan burung di hutan kota BUPERTA
Cibubur dapat digolongkan berdasarkan tingkat penggunaan secara umum
oleh burung yaitu daerah mencari makan, bermain dan tidur .
5.2. SARAN
Dari hasil penelitian yang telah di lakukan dalam kurun waktu kurang
lebih 4 bulan ada beberapa saran yang kiranya dapat digunakan oleh pihak terkait
sebagai berikut:
1. Perlu adanya pemantauan burung di hutan kota Cibubur dalam waktu yang
berkelanjutan supaya keberadaan burung di hutan kota BUPERTA Cibubur
terpantau.
2. Perlu adanya realisasi dari pihak pengelola sebagai intansi yang mempunyai
wewenang penuh terhadap keberadaan hutan kota dengan berupaya
menyediakan dan menanam tanaman-tanaman produktif sebagai penunjang
keberadaan burung-burung kota di hutan kota BUPERTA Cibubur.
3. Tanaman yang ada sebagai habitat burung tetap dipertahankan sebagai habitat
burung kota dan mengganti tanaman yang sudah mati dengan tanaman
penunjang keberadaan burung supaya kelestarian burungnya tetap terjaga.
4. Perlu keterlibatan semua lapisan masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya
hayati burung yang terdapat di hutan kota BUPERTA Cibubur agar
masyarakat dapat terhibur dengan adanya kicauan burung di saat berkunjung
ke hutan kota tersebut.
5. Perlu adanya perluasan atau penambahan jumlah hutan kota atau ruang
terbuka hijau lainnya dalam mendukung kebebasan dan keberlangsungan
hidup satwa liar yang ada di kota.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid I. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. IPB. Bogor.
Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia: Checklist (Peters’ Sequence), Kukila Checklist No.1 Indonesian Ornithological Society. Jakarta.
Armstrong 1963 dan Cathpole 1979 dalam Adhikerana A. dan M. Noerdjito. 1993. Karakteritik Akustik Suara Kicauan Perkutut. Jurnal Biologi Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Arumsari, R. 1989. Komunitas Burung pada Berbagai Habitat di kampus UI Depok. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UI. Depok.
Bapedalda DKI Jakarta. 2002. Keanekaragaman Hayati. http:/www.dki.go.id/bapedalda.
Balen, v. B. 1984. Bird Count and Bird Observation in the Neighbourhood of Bogor. Nature Conservation Dept. Agriculture University Wageningen. The Netherlands.
Blake, J. G.; Bettle A. L. 2000. Diversity of Bird Alongan Elevational Gradient in Northern Part of Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan. Joint Biodiversity Expedition in Kayan Mentarang National Park Ministry of Forestry- WWF Indonesia- ITTO. Jakarta.
Ernawati. 2002. Keanekaragaman Vegetasi dan Berbagai Jenis Burung di Sepanjang Koridor Kebun Binatang Ragunan-Hutan Kota Universitas Indonesia. Tesis. S2-Biologi Pasca Sarjana FMIPA UI. Depok.
Ernawati dan Mieke Miarsyah. 2003. Kenekaragaman Tanaman Pekarangan dapat Menjamin Kelestarian Burung- Burung Kota. Laporan Penelitian. FMIPA UNJ. Jakarta.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi.. Bumi Aksara. Jakarta.
Fakultas Kehutanan. 1987. Konsepsi Pegembangan Hutan Kota. Fahutan IPB. Bogor.
Grubb, T. C. 1979. Factor Controling Foraging Strategi Structure Using avian Habitats as an Example. Academic Press. New York.
Hails, C. J., Mikail Kavanagh, Kanta Kumari dan Ishak arifin. 1990. Bring Back the Birds (Planning of Trees and Other Plants to support Wildlife in Urban Areas). WWF Malaysia, Kuala Lumpur. Malaysia.
Handayani, E. 1995. Perancangan Ruang Terbuka Hijau Kota Sebagai Habitat Burung. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Helvoort, B. V. 1981. Bird Populations in The Rural Ecosystem of West Java. Nature Conservation Departement. Netherlands.
Hernowo, J.B. 1985. Studi Pengaruh Tanaman pekarangan terhadap Keanekaragaman Jenis Burung Daerah Pemukiman Penduduk Perkampungan di Wilayah Tingkat II Bogor. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Hernowo dan L. B. Prasetyo. 1989. Konsepsi Ruang Terbuka Hijau di Kota sebagai Pendukung Pelestarian Burung. Media Konservasi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Indrawan, M. 1989. Komposisi dan Kelimpahan Burung di Hutan Kota Padang Golf Halim II. Skripsi. Jurusan Biologi Universiat Indonesia. Jakarta.
Janala, C. 1995. Studi Ruang Terbuka Hijau Daerah Khusus Ibukota Jakarta Berdasarkan Pendekatan Kebutuhan Oksigen. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Holmes, D. dan S. Nash. 1999. Burung-burung di Jawa dan Bali. Puslitbang- LIPI. Bogor.
Kusman, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB. Bogor.
MacKinnon, J., K. Phillips dan B. van balen. 1998. Panduan Burung di Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang- LIPI. Bogor.
Mendidit, A., Gunawan dan M. Nurhadi. 2003. Komposisi Keanekaragaman Jenis Burung Di Resort Way Kanan, Taman nasional Way Kambas, Lampung Tengah, Lampung. KKL. Universitas Nasional Jakarta. Jakarta.
Mulyani, Y. A. 1985. Studi Keanekaragaman Burung di Lingkungan Kampus Darmaga. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Saunders Company London University. London.
Pakpahan, A. M. 1993 a. Penanaman Sejuta Pohon Untuk Membina Habitat Burung. Sarasehan Dua Hari Tentang Penanaman Sejuta Pohon di Wilayah DKI Jakarta. Jakarta, 4-5 Desember 1993.
______________. 1993 b. Pengelolaan Habitat untuk Konservasi Burung di Wilayah Perkotaan. Makalah pada Lokakarya Teknologi Konservasi Fauna. Direktorat Teknologi Pemukiman dan Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta, 16 Desember 1993.
______________. 1993 c. Penurunan Keanekaragaman Burung di Pedesaan dan Perkotaan. Makalah Seminar sehari Implementasi dan Tatanan Pembangunan Lingkungan Dalam PJPT II. Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 14 Agustus 1993.
Pakpahan, A. M. dan Y. A. Mulyani. 1994. Strategi Konservasi Burung Perkotaan. Makalah pada Seminar Sehari Implementasi Konservasi Keanekaragaman Hayati untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jurusan Konservasi sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 10 Februari 1994.
Partasasmita, R. 2003. Ekologi Burung Pemakan Buah dan Peranannya Sebagai Penyebar Biji. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Partasasmita, R. dan T. Setiawati. 2001. Studi Komparatif Strategi Mencari Makan Dan Prilaku Antipredator Pada Burung Gereja Erasia dan Kerak Kerbau Pada Beberapa Taman Kota di Kotamadya Bandung DT II Bandung. FMIPA. Unpad. Bandung.
Rachman, A. 1996. Perencanaan Lansekap Simpang Susun Jakarta (Jakarta Interchange) Cawang- Jakarta Timur. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian IPB. Bogor.
Ruslan. 2004. Studi Habitat Suaka Marga Satwa Cikepuh di Sukabumi Jawa Barat sebagai Kawasan Konservasi Penyu Hijau (Chelonia Mydas) dan Satwa liar lainnya. Skripsi Sarjana. Jurusan Biologi. UNJ. Jakarta.
Setiadi, D., Muhadiono, I. dan Yusron, A. 1989. Penuntun Praktikum Ekologi. IPB. Bogor.
Sozer, R., Y. Saroni, P. F. Nurwatha.1999. Jenis-Jenis Burung Dilindungi yang Sering Diperdagangkan. Yayasan Pribumi Alam Lestari. Bandung.
Sujatnika; P. Joseph; T. R. Soehartono, N. J. Crosby, A. Mardiastuti. 1995. Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Daerah
Burung Endemik. PHPA/ BirdLife International- Indonesi Programme. Jakarta.
Sukmantoro W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, N. Kemp & M. Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia no.2. Indonesian Ornithologists’ Union. Bogor.
Sumartono, D.,G. 1999. Kelangsungan Hidup Komunitas Burung di Kampus UI Depok dan Daerah Sekitarnya. Skripsi Jurusan Biologi. FMIPA UI. Depok.
Suwelo, I. S. 1993. Jenis Burung Ditinjau dari Segi Ekologi. Makalah Seminar sehari Burung dan Upaya Pelestariannya. Jurusan Biologi FMIPA UI. Jakarta.
Ward, P. 1968. Origin of the Avifauna of Urban and Suburban Singapore. Ibis 110: 239-255.
Welty, J. C. 1982. The Life of Bird. Saunders College Publising. Philadelphia.
Yuda, P. 1995. Studi Keragaman dan Kelimpahan Burung di Berbagai Habitat di Hutan Wanagama I, DI Yogyakarta. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Yusri, S. 2003. Kondisi Habitat dan Vegetasi Pantai Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi, Jawa Barat. Jurusan Biologi. FMIPA UI. Depok.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Gambar 1.1. Lokasi Stasiun 1 Plot 1 Gambar 1.2. Lokasi Stasiun 1
Plot 2
Gambar 1.3. Lokasi Stasiun 2 Plot 1 Gambar 1.4. Lokasi Stasiun 2 Plot 2
Gambar 1.5. Sarang Burung Bondol
Lanjutan
Gambar 1.6. Elang Alap Nipon Gambar 1.7. Bentet Kelabu (Accipiter gularis) (Lanius schah)
Gambar 1.8. Cekakak sungai Gambar 1.9. Cucak Kutilang
(Todirhamphus chloris) (Pycnootus aurigaster)
Gambar 1.10.Wiwik lurik Gambar 1.11. Caladi tilik (Cacomantis sonneratii) (Dendrocopus moluccensis)
Lanjutan
Gambar 1.12. Tekukur Gambar 1.13. Bondol Jawa (Streptopelia chinensis) (Lonchura leucogastroides)
Gambar 1.14. Cinene pisang Gambar 1.15. Sepah kecil (Orthotomus sutorius) (Pericrocotus cinnamomeus)
Gambar 1.16. BuahTanaman Buni
Lampiran 2
Tabel Perjumpaan burung pada stasiun 1 dan stasiun 2
NO NAMA LOKAL Nama Ilmiah Stasion 1 Stasion 21 Tekukur Streptopelia chinensis +++ +++2 Cucak Kutilang Pycnonotus aurigaster +++ +++3 Perkutut Jawa Geopelia striata +4 Gemak Batu Coturnix chinensis ++5 Sepah Kecil Pericrocotus cinnamomeus ++ +++6 Cinenen Pisang Orthotomus sutorius +++ +++7 Bondol Jawa Lonchura leucogastroides ++ +++8 Bondol Peking Lonchura punctulata ++ +++9 Cekakak Sungai Halcyon chloris +
10 Raja Udang Meninting Alcedo meninting ++11 Sikep Madu Asia Pernis ptilorhynchus +12 Elang Alap cina Accipiter soloensis ++ ++13 Pecuk Ular Asia Anhinga melanogaster +14 Bentet Kelabu Lanius schah ++15 Wiwik Kelabu Cacomantis merulinus ++ ++16 Madu Sriganti Nectarinia jugularis ++ ++17 Cipoh Kacat Aegithina tiphida +++ +++18 Kacamata Biasa Zosterops palpebrosus ++ ++19 Remetuk Laut Gerygone sulphurea ++ ++20 Burung Cabai Jawa Dicaeum trochileum +++ +++21 Walet Linchi Collocalia linchi +++ +++22 Burung Gereja Passer montanus +++ +++23 Madu kelapa Antreptes malacensis ++
24 Gelatik Batu Parus major +25 Layang-layang Batu Hirundo tahitica + +26 Kipasan Belang Rhipidura javanica +27 Kekep Babi Arthamus leucorhynchus +28 Caladi Tilik Dendrocopus moluccensis ++ +++29 Srigunting Hitam Dicrurus macrocercus +30 Cinenen Jawa Orthotomus sepium +
Keterangan:
+ + + sering dijumpai selama pengamatan
+ + jarang dijumpai selama pengamatan
+ hanya sekali dijumpai selama pengamatan
Lampiran 3
Nilai Kelas Tingkat Dominansi dan Peranan Vegetasi pada Stasiun 1
KELAS TINGKAT DOMINANSISELANG INP
POHON PANCANGTINGKAT
PERANANI SANGAT TINGGI 36. 77 – 43. 76 56. 924 – 64. 3II TINGGI 29. 77 – 36. 77 49. 548 – 56. 924
PALING
MENONJOLIII SEDANG 22. 79 – 29. 77 42. 172 – 49. 548 MENONJOLIV RENDAH 15. 8 – 22. 79 34. 796 – 42. 172V SANGAT RENDAH 8. 81 – 15. 8 27. 42 – 34. 796
KURANG
MENONJOL
Lampiran 4
Nilai Kelas Tingkat Dominansi dan Peranan Vegetasi pada Stasiun 2
KELAS TINGKAT DOMINANSISELANG INP
POHON PANCANG
TINGKAT
PERANAN
I SANGAT TINGGI 88. 82 -106. 26 65. 88 – 76. 65II TINGGI 71. 38 – 88. 82 55. 11 – 65. 88
PALING
MENONJOLIII SEDANG 53. 94 – 71. 38 44. 34 – 55. 11 MENONJOLIV RENDAH 36. 50 – 53. 94 33. 57 – 44. 34V SANGAT RENDAH 19. 06 – 36. 50 22. 8 – 33. 57
KURANG
MENONJOL
top related