sociology of citizenship
Post on 30-Sep-2015
217 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
1
Membangun Ukhuwah Islamiyah1
Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd 2
Belajar dari sejarah masa lampau serta mencandra fenomena yang terjadi akhir-
akhir ini, menjadikan kita perlu mengkaji nilai-nilai persaudaraan yang tumbuh di
antara kita. Jika tumbuh kesadaran bahwa Islam merupakan agama universal yang
bukan untuk segolongan umat tertentu dan hadirnya di muka bumi ini sebagai rahmat
bagi semesta alam, maka sudah semestinyalah dengan komunitas masyarakat Islam
yang dominan -dalam arti kuantitatif- ini menjadikan Islam sebagai agama pembawa
rahmat bagi masyarakat Indonesia.
Fenomena empiris tidak selamanya mendukung tesis di atas, sebab pada
kebanyakan masyarakat kita belum seluruhnya menyadari (memahami?) esensi yang
diinginkan Islam -sebagai agama wahyu-. Islam saat ini dicandra sebagai lembaga
agama yang telah memisahkan mereka dari akar budaya mereka sendiri, dari etnis,
dari hubungan darah, bahkan dalam komunitas Islam itu sendiri, sehingga cendrung
dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif, terpisah dan teraleniasi.
Islam yang ditangkap kebanyakan masyarakat kita adalah Islam dengan nuansa
yang sempit, yang berbicara surga dan neraka, hukum halal, haram, selebihnya Islam
tidak membicarakannya. Islam yang muncul di hadapan mereka adalah Islam yang
membatasi mereka untuk bersahabat dengan kelompok Islam lainnya karena
perbedaan faham semata, apalagi persahabatan antar pemeluk agama yang berbeda5.
Pada akhirnya tali ukhuwah yang diharapkan dapat tersimpul baik, justru sebaliknya
kendur dan rapuh --jika tidak ingin mengatakan hancur-- seiring dengan kemajuan
zaman.
Jika begini senyatanya, maka akan terasa berat bagi umat Islam untuk menarik
gerbong peradaban ini menuju negara yang diharapkan, negara yang selalu dalam
suasana kebaikan dan senantiasa di bawah ampunan Allah. Menggalang satu ikatan
1Disampaikan dalam forum Pengabdian di Masjid Al-Muhajirin Perum. GKP Argorejo, Sedayu,
Bantul. 2Dosen FIAI UII Yogyakarta
-
2
persaudaraan dengan berdasarkan kaidah Islam yang dituntunkan al-Quran dan As-
sunah.
Untuk itu dalam upayanya untuk membangun satu peradaban baru, sudah
seharusnyalah umat Islam Indonesia kembali pada akar sejarah teologi yang benar
dengan menempatkan al-Quran dan As-Sunah sebagai parameter utama dan pertama
dalam kehidupan bermasyarakatnya. Sebab Quran telah menegaskan bahwa hadirnya
etnis, suku, bangsa-bangsa di dunia ini sebagai cara Allah untuk saling mengenalkan
antar etnis, bangsa, budaya, agama dan sebagai cara Allah untuk membuka mata
manusia bahwa kekuasaanNya terhampar di seluruh jagad ini (lihat Quran surat Al
Hujurat 13).
Meski demikian harus pula diakui, bahwa untuk menegakkan ikatan
persaudaran secara universal bukan persoalan yang mudah. Selain itu juga harus
disepakati, persoalan ukhuwah ternyata bukan hanya milik golongan umat, etinis
ataupun bangsa tertentu, juga bukan milik umat Islam Indonesia saja, tetapi
merupakan persoalan dunia pada umumnya. Artinya seluruh negara -bangsa,
pemerintah dan masyarakat- di dunia harusnya memperhatikan uhkuwah antar
manusia, jika tidak ingin meninggalkan dunia yang centang-perenang, penuh carut-
marut perselisihan dan pertentangan.
Artinya kesadaran untuk menjalin persaudaraan (ukhuwah) haruslah merupakan
kesadaran kolektif seluruh bangsa-bangsa yang ada di atas dunia, bahkan di dunia
dalam dimensi lain (semesta alam; universe). Kesadaran itu harus ditumbuhkan
melampaui batas teritorial (geografis), etnis (suku, ras, bangsa), budaya dan keyakinan
agama, bahkan seandainya mungkin menembus batas waktu yang mampu dilalui
manusia.
Dengan begitu yang harus dijalankan memang ukhuwah Islamiyah dalam arti
persaudaraan yang universal, bukan sekadar ukhuwah dinniyah, ukhuwah wathaniyah,
ukhuwah basyariyah, tetapi melampaui itu semua. Persaudaraan tersebut muncul
sebagai derivasi nilai ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan
lil 'alamin, universe, universal), tanpa batas wilayah, etnis, budaya, bahkan agama
sekalipun. Sebab, harus disadari bahwa dunia yang ingin diciptakan Islam adalah
sebuah dunia yang diliputi iklim persamaan, keadilan, persaudaraan dan toleransi (QS.
Al_hujurat: 10, 13 dan 15; An-Nisa: 58; An-Nahl90; Al Maidah: 8; Az-Zumar: 18; Al
Baqarah 256).1
-
3
Pada titik kulminasi ini harus muncul kesadaran bahwa keberadaan manusia secara
ontologi memang diharapkan oleh Sang Pencipta untuk saling mengenal, membantu
dalam kebaikan, serta berlomba-lomba dalam amal kebajikan. Dengan sendirinya
harus menghilang sifat mencurigai (syu'udhan), mencari aib orang lain, menggunjing,
membanggakan golongan, mengolok-olok kelompok lain (QS Al Hujurat: 11, 12; Ar-
Rum: 32; Al Mu'minun: 53).
Tentunya untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, yang harus dilakukan
dekontruksi terhadap anggapan bahwa dirinya yang paling benar, serta sikap
berbangga (jumawa: Jawa) dan menganggap dirinya yang paling mulia. Untuk
selanjutnya merekontruksi ulang kesadaran bahwa secara ontologi keberadaan
manusia adalah egaliter, nilai kualitatif yang membedakannya adalah kompetisi
ketaqwaan dan kebaikan. Selanjutnya persoalan kebenaran harus diyakini bahwa hal
itu hanya milik Allah SWT, sedangkan pendakuan kebenaran jelas-jelas
menyimpangan dari sunatullah.
Persoalan pembenaran secara hak, yang terindah adalah dengan menyerahkan
pada sang Khalik. Kebenaran bagi manusia adalah usaha untuk mendekati sang
Khalik, bukan meng-klaim bahwa sang Khalik miliknya, sedangkan orang lain tidak
punya hak atasNya. Sejarah perjalanan Musa A.S telah membuktikan bahwa ada
kebenaran lain selain yang dimiliki Musa, dan itu kebenaran Khidir A.S yang datang
dari Allah (kebenaran wahyu).
Jika kita mencoba untuk berupaya melakukan posisi di atas, maka tak akan
pernah kita menganggap diri yang paling benar. Dan jika hal tersebut dapat terlaksana,
maka rajutan ukhuwah antar bangsa akan menjadi lebih kuat tanpa adanya gesekan
yang membawa petaka, dan tentu saja sejarah peradaban manusia akan terbingkai
dengan format yang lebih manis dan lebih mesra.
Menarik ungkapan Samuel P Hutington pada bagian akhir tulisannya yang berjudul
Jika Bukan Peradaban, Apa? yang dimuat majalah U.Q Nomor 2 Thn V 1994, bahwa
sejarah belum berakhir dan dunia tidaklah satu. Peradaban bisa menyatukan dan
memecahkan manusia. Kekuatan yang menyebabkan benturan antarperadaban dapat
dipahami hanya jika peradaban tersebut dikenal. Dalam dunia peradaban yang
berbeda-beda, masing-masing harus harus belajar untuk hidup berdampingan dengan
yang lain.
-
4
Dengan menyadari bahwa serangkaian keyakinan yang kita miliki suatu saat
dapat menjadikan manusia terpecah, berselisih. Perselisihan yang muncul sebenarnya
lebih disebabkan arogansi yang dimiliki manusia tentang kelebihan-kelebihan yang
dimilikinya. Padahal Al-Quran menegaskan manusia adalah umat yang tunggal (Q.S.
Al Baqarah 213 dan Yunus 19), sehingga agar ikatan tersebut tetap ada maka manusia
haruslah mengenal sesamanya (Al Hujurat 13).
Wujud lain ukhuwah Islamiyah adalah kelapangan kita (munsyarihu al-sadr)
untuk menerima orang lain yang berbeda paham dengan kita. Islam mengakui
keberagaman serta menghormati segala macam bentuk keberagaman tersebut, dan
Islam tidak pernah memaksakan manusia untuk masuk dalam komunitasnya dengan
paksa (Q.S. Al Baqarah 256). Bahkan meski Allah mampu untuk melakukannya,
Allah tidak ingin keimanan manusia atas dasar paksaan (QS Yunus 99).
Inilah wujud akhir dari ukhuwah Islamiyah satu komunitas manusia
(masyarakat) yang hidup saling berdampingan, saling bantu membantu dan berlomba
dalam kebajikan (fatabiqu al-khairat) dengan berlandaskan wahyu Allah, dan
menggalang persatuan untuk mengatasi kelaparan, kemiskinan, keserakahan, dan
segala macam bentuk kejahatan yang dilandasi emosi syetan.
Dalam komunitas itu tidak lagi dibatasi etnis, golongan, ras, pangkat, kedudukan
agama atau tidak beragama. Mereka komunitas manusia yang mencoba menjalankan
ukhuwah universal berlandaskan nilai-nilai wahyu sebagai derivasi ajaran agama yang
mereka anut masing-masing. Sebab, Allah tidak menciptakan kalian dan tidak
membangkitkan kalian, kecuali seperti satu jiwa saja (QS. Luqman: 28).
Pada tahapan tersebut akan teryakini, bahwa ukhuwah Islamiyah merupakan
peradaban baru yang dicita-citakan oleh seluruh umat manusia yang menginginkan
kedamaian dan kebahagian --dunia dan akhirat-. Untuk mengaktualisasikannya,
memang butuh kesedian dan pengorbanan kita-kita yang merasa memiliki jabatan,
derajat, kekayaan, kekuasaan ataupun kejayaan masa lalu. Andai hal itu disadari
sebagai sekadar satu titipan Allah SWT, maka eksistensi manusia sebagai khalifah di
bumi ini akan dapat terwujud dalam bingkai peradaban yang lebih manis.
top related