skripsi ibu rumah tangga.docx
Post on 19-Jan-2016
117 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun (2000), sepertiga dari seluruh penduduk kurang
lebih 75 juta jiwa tinggal di kota – kota besar maupun kecil. Kondisi
tersebut dihadapkan pada ketidak mampuan pemerintah kota dalam
melayani dan menyediakan fasilitas yang diperlukan, seperti
perumahan, air bersih, sanitasi, sarana pelayanan kesehatan,
transportasi, sekolah dan sarana publik lainnya. Akibatnya adalah
terdapat bayak pemikman dengan fasilitas sederhana, kepadatan
tinggi, dan berjangkitnya penyakit menular salah satunya Demam
Berdarah Dengue.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau
Dengue Hemoragic Fever (DHF) ialah Penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus. Kedua nyamuk ini terdapat hampir di seluruh
pelosok Indonsia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 100
meter diatas permukaan laut. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan
dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan
cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas,
sejalan dengan meningkatnya morbilitas dan kepadatan penduduk.2
Menurut WHO, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting di
Indonesia dan bahkan juga merupakan suatu masalah kesehatan
masyarakat yang mendunia. Penyakit ini ditemukan nyaris di seluruh
belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara
endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan
datangnya musim penghujan.3 Beberapa dekade terakhir ini, insiden
demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat pesat di
seluruh penjuru dunia. Sde5ebanyak dua setengah milyar atau dua
perlima penduduk dunia berisiko terserang demam dengue. Sebanyak
1,6 milyar (52%) dari penduduk yang berisiko tersebut hidup di
wilayah Asia Tenggara.4 Selanjutnya menurut WHO (2012), terdapat
2
2.500 juta atau 2/5 penduduk dunia mempunyai resiko untuk
terserang DBD dengan perkiraan 50 juta kasus setiap tahunnya dan
24 juta kematian diseluruh dunia.3 Bahkan menurut Nawi (2005) dan
Hadinegoro (2002), rata-rata 23.000 orang penderita yang mesti
dirawat karena DBD dengan kematian yang mencapai 15.231 orang
selama 30 tahun sejak tahun 1968, membuat WHO mengkategorikan
Indonesia bersama negara-negara lainnya sebagai negara dengan
kasus tertinggi di dunia.5
Penyakit DBD pertama kali ditemukan di Indonesia sendiri
dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Surabaya. Sejak pertama
ditemukan penyakit DBD di Indonesia yaitu di Surabaya dan Jakarta
pada tahun 1968, jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat
dan daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun
1994 DBD telah tersebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada tahun
1968 jumlah kasus yang di laporkan sebanyak 58 kasus dengan
jumlah kematian 24 orang. Diantaranya meninggal dengan Case
Fatality Rate (CFR) = 41,32 %. Beberapa tahun kemudian penyakit ini
menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus
yang selalu meningkat. Sejak itu penyakit DBD menunjukkan
kecenderungan peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit,
dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun serta sering
menimbulkan penderita dan kematian yang besar 6.
Pada tahun 2005, Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di
Indonesia telah menyerang 95.279 orang dengan angka kematian
1,36 persen dan incidence rate nasional sebesar 43,42 kasus per
100.000 penduduk. Jumlah KLB pada tahun 2006 menurun tajam
dibandingkan jumlah KLB pada tahun 2005 yang tejadi di 12 provinsi
di 35 Kabupaten/Kota dengan jumlah kasus 3.336 orang, 55 orang
diantaranya meninggal (CFR = 1,65%). 5 Di indonesia terjadi
peningkatan kasus DBD dari tahun 2003 sampai 2007. Angka
Incidence Rate (IR) per 100. 000 penduduk pada tahun 2003 sebesar
23,87; tahun 2004 sebesar 37,11; tahun 2005 sebesar 43,42; tahun
2006 sebesar 52,48; tahun 2007 sebesar 71,78. Terjadi penurunan
pada tahun 2008 sebesar 59,92, dan meningkat kembali pada tahun
3
2009 sebesar 68,82. 6 Di Provinsi Jawa Tengah terjadi penurunan
kasus DBD pada tahun 2008 hingga 2012. Angka Incidence Rate (IR)
per 100. 000 penduduk pada tahun 2008 sebesar 59,20, tahun 2009
sebesar 57,90, tahun 2010 sebesar 56,80, tahun 2011 menurun
sangat signifikan sebesar 15,30, dan tahun 2012 kembali meningkat
sebesar 19,29. 8
Untuk Kabupaten Blora dengan kepadatan penduduk
829.728 jiwa 9 menempati urutan ke-1 untuk angka kesakitan DBD
terbanyak di Jawa Tengah dengan angka kesakitan tertinggi
sebesar 88,77/100.000 penduduk di tahun 2012.8 Blora yang masuk
dalam wilayah Indonesia yang beriklim tropis merupakan salah satu
daerah endemik demam berdarah dengue (DBD). Data Dinas
kesehatan Provinsi Jateng (2009:17), di peroleh bahwa Angka Insiden
di Kabupaten Blora termasuk tinggi yaitu >20 per 100.000 penduduk
dengan angka kematian > 1%. Data Kasus Demam Berdarah Dinas
Kesehatan Kabupaten Blora (2010), diketahui bahwa kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di Blora dari tahun ke tahun selalu
meningkat, pada tahun 2008 terjadi 149 kasus DBD, tahun 2009
terjadi 470 kasus DBD, tahun 2010 tercatat 466 kasus, tahun 2011
tercatat 64 kasus dan tahun 2012 tercatat 389 kasus yang tersebar di
berbagai area kerja Puskesmas yang ada di Kabupaten Blora. 10
Puskesmas Blora sendiri merupakan wilayah yang tertinggi
pada tahun 2012. Kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Blora pada
tahun 2008 sebanyak 30 jiwa, kemudian menurun pada tahun
berikutnya pada tahun 2009 menjadi 12 jiwa, namun pada tahun 2010
jumlah kasus DBD yang ada di wilayah kerja Puskesmas Blora
Kabupaten Blora meningkat tinggi menjadi 138 kasus dengan
presentase 27% dari jumlah kasus yang ada (466 kasus) dan memiliki
angka kematian akibat DBD tertinggi yaitu 2 orang dengan presentase
40% dari jumlah kematian yang ada (5 jiwa), tahun 2011 turun
sebanyak 7 jiwa dan tahun 2012 meningkat tajam menjadi 48 jiwa
dengan jumlah kematian 1 jiwa.11 Berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Blora , kasus DBD paling banyak terdapat di
kecamatan Blora . Hasil rekapitulasi laporan Dinkes Kabupaten Blora
4
pada tahun 2012, jumlah kasus DBD yang terjadi di Kecamatan Blora
adalah sebanyak 48 kasus, dimana kasus yang paling banyak
terdapat di daerah Karangjati pada tahun 2012 yaitu sebanyak 17
kasus.12 Dari data kasus DBD dan klasifikasi desa di Kota Blora
Tahun 2012 yang dilaporkan Dinas Kesehatan Kabupaten Blora,
Kecamatan Blora merupakan salah satu kecamatan endemis tinggi
(angka endemisnya = 34,6) Penyakit DBD dengan jumlah kasus
terbesar di Kabupaten Blora, yaitu 163 kasus. Dari 28 kelurahan yang
dimiliki oleh Kecamatan Blora, 18 kelurahan merupakan kelurahan
sporadis dan 7 kelurahan merupakan kelurahan endemis dan 3
kelurahan merupakan kelurahan potensial penyakit DBD. Salah satu
kelurahan endemis adalah Kelurahan Karangjati, terutama di wilayah
Perumnas Karangjati.
Perumnas Karangjati memiliki 1 RW (Rukun Warga) dan 09
RT (Rukun Tetangga) merupakan perumahan dengan karakteristik
yang khas, yaitu secara sosial ekonomi berpenghuni mulai dari kelas
menengah - rendah dan menengah – tinggi. Kebanyakan rumah
dihuni, namun tidak sedikit rumah yang tidak dihuni, karena biasanya
hanya berstatus rumah investasi. Semua rumah memiliki tendon air
(tempat penampung air), karena sumber air dari PDAM hanya
mengalir setiap 2 hari sekali. Kerja bakti warga (yang diwujudkan
dalam bentuk bersih-bersih blok/gang) tidak selalu dilakukan setiap 1
bulan sekali. Pada setiap ujung blok terdapat tanah kosong dan pada
setiap RW memiliki fasilitas Taman dan Lapangan. Jarak antar rumah
tidak ada karena rumah saling berhimpitan. Tingginya angka kejadian
DBD di Perumahan ini tentu dapat dikaitkan dengan adanya beberapa
faktor.
Dalam teori Bloom menyebutkan bahwa status kesehatan di
pengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan
kesehatan dan faktor genetik yang merupakan faktor determinan
status kesehatan. Determinan penyakit DBD juga dapat mengikuti
konsep Bloom, faktor lingkungan yaitu lingkungan fisik seperti suhu
dan kelembapan. Lingkungan biologi seperti keberadaan nyamuk, dan
tanaman, serta keberadaan manusia. Sedangkan faktor lingkungan
5
lain yang dapat mempengaruhi penyakit DBD yaitu lingkungan sosial
ekonomi budaya dimana pendidikan, pekerjaan, mobilitas, pemilikan
barang konsep penyakit dan nilai penyakit DBD termasuk di dalam
lingkungan ini.
Sedangkan faktor perilaku masyarakat yang dapat memicu
adanya kejadian DBD meliputi pengetahuan, sikap, dan praktik,
kebiasaan serta peran warga dalam paktik PSN (Pemberantasan
Sarang Nyamuk) dan fogging. Faktor pelayanan kesehatan meliputi
upaya penyuluhan dan pencegahan diantaranya petugas yang
melakukan pemantauan PSN secara rutin dan pemantauan
pemeriksaan jentik secara rutin. Faktor genetik atau keturunan adalah
kepekaan masyarakat sebagai host dan nyamuk sebagai perantara
vektor dari virus dengue. 13
Tingginya penyebaran penyakit DBD juga disebabkan
diantaranya oleh perilaku penduduk tentang 3M yang masih rendah.
Dalam penelitian Rahman (2012) menunjukkan tindakan masyarakat
dalam melakukan 3M masih sangat rendah, lalu tempat
penampungan air yang dibiarkan terbuka, tidak pernah dikuras dan
tidak diberi abate.14 Tindakan untuk melakukan 3M sangatlah penting,
karena pelaksanaan 3M dapat memutus siklus kehidupan nyamuk
Aedes aegypty. Jika 3M gagal dilaksanakan maka akan tersedia
tempat-tempat bagi nyamuk Aedes aegypty untuk berkembang biak
sehingga dalam jangka waktu tertentu jumlah nyamuk semakin
banyak sehingga penularan DBD akan semakin cepat.15 Untuk itu,
perlu adanya upaya pemberantasan nyamuk Aedes aegypti guna
memutuskan rantai penularan penyakit DBD. Upaya pembasmian
nyamuk Aedes aegypti terutama lebih ditekankan pada tingkat
larva yang dilakukan dengan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) melalui gerakan 3M Plus oleh seluruh lapisan masyarakat .
Peran serta masyarakat dalam PSN-DBD lebih di utamakan peran
ibu rumah tangga karena umumnya yang bertanggung jawab
mengurus rumah tangga termasuk masalah kebersihan rumah
adalah ibu rumah tangga.16 Menurut Laksmono Widagdo (2008)
Peran dalam keluarga yang melakukan 3M Plus adalah ibu 55,3%. 17
6
Seorang ibu rumah tangga mempunyai peran yang paling
penting untuk menciptakan pola hidup sehat yang bisa
menghindarkan semua penghuni rumah dari berbagai jenis ancaman
penyakit. Salah satu bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh
ibu rumah tangga untuk menjaga kesehatan keluarga. Dan karena
lebih sering tinggal di rumah, ibu rumah tangga juga berkewajiban
untuk merawat segala macam perabot yang ada di dalamnya
terutama untuk masalah kebersihan. Semua orang pasti tahu jika
salah satu syarat untuk membentuk pola hidup sehat dalam keluarga
adalah harus selalu menjaga kebersihan di lingkungan tempat
tinggalnya tersebut. Selain membuat makanan, tugas lain ibu rumah
tangga untuk menjaga kesehatan keluarga adalah memberi
pendidikan untuk anak serta pengertian, terutama bagi mereka yang
usianya masih kanak-kanak agar bisa mengatur pola hidup sehat
dalam menjalani kegiatan mereka setiap hari.18
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti
Perilaku Pemberantasan Keberadaan Jentik dan tindakan 3M Plus Ibu
Rumah Tanggga terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Perumnas Karangjati Blora.
B. Rumusan Masalah
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial
maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung
meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas sejalan
dengan meningkatnya morbilitas dan kepadatan penduduk. Di
Provinsi Jawa Tengah terjadi penurunan kasus DBD pada tahun 2008
hingga 2012. Angka Incidence Rate (IR) per 100. 000 penduduk pada
tahun 2008 sebesar 59,20, tahun 2009 sebesar 57,90, tahun 2010
sebesar 56,80, tahun 2011 menurun sangat signifikan sebesar 15,30,
dan tahun 2012 kembali meningkat sebesar 19,29. 5 Kabupaten Blora
dengan kepadatan penduduk 829.728 jiwa menempati urutan ke-1
untuk angka kasus DBD terbanyak di Jawa Tengah dengan incidence
rate sebesar 88,77 per 100.000 penduduk di tahun 2012. Rahman
7
(2012) menunjukkan tindakan masyarakat dalam melakukan 3M
masih sangat rendah, lalu tempat penampungan air yang dibiarkan
terbuka, tidak pernah dikuras dan tidak diberi abate. Upaya
pembasmian nyamuk Aedes aegypti terutama lebih ditekankan
pada tingkat larva yang dilakukan dengan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M Plus oleh seluruh lapisan
masyarakat (Sungkar,2005). Peran serta masyarakat dalam PSN-
DBD lebih di utamakan peran ibu rumah tangga karena
umumnya yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga
termasuk masalah kebersihan rumah adalah ibu rumah tangga.
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana perilaku 3M plus Ibu rumah tangga di Perumnas
Karangjati Blora?
2. Faktor – Faktor apa saja yang termasuk dalam faktor
predisposisi (predisposing), pemungkin (enabling), dan penguat
(reinforcing) yang berhubungan dengan perilaku 3M Plus Ibu
Rumah Tangga di Perumnas karangjati Blora ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mendiskripsikan Perilaku 3M Ibu rumah tangga
Perumahan Karangjati dalam mencegah Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Blora, Kabupaten Blora
dan faktor – faktor yang mempengaruhinya.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik ibu rumah tangga meliputi
usia, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pendapatan dalam
perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga di Perumnas
Karangjati Blora
b. Mendeskripsikan pengetahuan ibu rumah tangga dalam
perilaku 3M Plus di Perumnas Karangjati blora
8
c. Mendeskripsikan sikap ibu rumah tangga dalam perilaku
3M Plus di Perumnas Karangjati Blora
d. Mendeskripsikan ketersediaan informasi PSN DBD dalam
Perilaku 3M Plus Ibu rumah tanggga di Perumnas
Karangjati Blora
e. Mendeskripsikan keterjangkauan informasi dalam perilaku
3M Plus ibu rumah tangga di Perumnas Karangjati Blora
f. Mendeskripsikan dukungan suami dalam perilaku 3M Plus
ibu rumah tanggga di perumnas Karangjati Blora
g. Mendeskripsikan dukungan tetangga dalam perilaku 3M
Plus ibu rumah tangga di Perumnas karangjati blora
h. Mendeskripsikan dukungan Petugas pemantau jentik
dalam perilaku 3M Plus Ibu rumah tangga di Perumnas
karangjati blora
i. Mendeskripikan dukungan tokoh masyarakat dalam
perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di Perumnas Karangjati
Blora
j. Menganalisis hubungan antara karaktristik Ibu rumah
tangga yang meliputi usia, pendidikan terakhir, pekerjaan,
dan pendapatan dengan perilaku 3M Plus Ibu rumah
tangga di Perumnas karangjati Blora
k. Menganalisis hubungan antara pengetahuan ibu rumah
tangga dengan perilaku 3M Plus Ibu Rumah tangga
l. Menganalisis hubungan antara sikap ibu rumah tangga
dengan perilaku 3M plus ibu rumah tangga di Perumnas
Karangjati Blora
m. Menganalisis hubungan antara ketersediaan informasi
PSN DBD dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di
perumnas Karangjati blora
n. Menganalisis hubungan antara keterjangkauan informasi
PSN DBD dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di
perumnas karangjati Blora
9
o. Menganalisis hubungan antara dukungan suami dengan
perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga di perumnas
Karangjati Blora
p. Menganalisis hubungan antara dukungan tetangga dengan
perilaku 3M plus ibu rumah tangga di perumnas karangjati
Blora
q. Menganalisis hubungan antara dukungan petugas jumantik
dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di perumnas
karangjati blora
r. Menganalisis hubungan antara dukungan tokoh
masyarakat dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di
perumnas karangjati Blora
D. Manfaat penulisan
a. Bagi Penulis
Melatih dan mengembangkan cara berpikir serta
kemampuan mengidentifikasi dan menganalisa masalah
kesehatan hingga mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut
serta memperoleh pengalaman dalam melakukan studi pustaka
dan kegiatan penelitian di lapangan yang sangat berguna sebagai
bekal untuk melaksanakan penelitian berikutnya.
b. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
Dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian
mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro selanjutnya.
c. Bagi Instansi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar
dan sumber informasi penting dalam program pemberantasan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
d. Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat memperoleh informasi tentang faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku 3M Plus DBD
10
sehingga dapat melakukan upaya pencegahan secara dini agar
dapat terhindar dari penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
E. Ruang Lingkup Penelitian
1. Lingkup Disiplin Ilmu
Penelitian ini merupakan penelitian dibidang Ilmu
Kesehatan Masyarakat khususnya dibidang pendidikan kesehatan
dan ilmu perilaku
2. Lingkup Tempat Penelitian
Lokasi Penelitian dilaksanakan di Perumas Kelurahan
Karangjati Kabupaten Blora
3. Lingkup waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juni
4. Lingkup sasaran penelitian
Sasaran penelitian ini adalah Ibu Rumah Tangga di
Perumnas Kelurahan Karangjati Kabupaten Blora
5. Lingkup Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue
Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia
dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sedangkan manifestasi terberat
DBD adalah DSS yang ditandai oleh renjatan/syok.1
Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua
golongan umur. Sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih
banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat
adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam Berdarab
Dengue pada orang dewasa.2
1. Etiologi
Penyebab DBD adalah virus dengue yang termasuk
dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses), genus
Flavivirus dan famili Flaviviridae. Ada 4 serotipe yang diketahui
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Semua serotipe virus
dengue ini ditemukan bersirkulasi di Indonesia dan serotipe
terbanyak adalah DEN-3. 18
2. Vektor
Vektor penyebar virus dengue yaitu Aedes aegypti.
Pada saat terjadi kejadian luar biasa (KLB) beberapa vektor lain
seperti Aedes albopictus, Aedes polynesisensis, Aedes scutellaris
ikut berperan dalam penyebaran DBD. Virus dengue yang berada
di dalam darah individu yang terinfeksi dihisap oleh Nyamuk Aedes
sp betina. Virus tersebut mengalami inkubasi dan replikasi selama 8-
10 hari di kelenjar ludah nyamuk, lalu ditularkan kepada individu
yang lain. Nyamuk Aedes sp betina menghisap darah pada waktu
siang hari, terutama pada waktu sore hari. Ciri khas nyamuk Aedes
12
aegypti adalah memiliki tubuh hitam dengan bercak hitam putih khas
pada bagian thoraknya. Nyamuk ini berkembang biak di air
bersih, seperti bak mandi, tempayan penyimpanan air, kaleng
kosong dan kontainer buatan yang lain. Telur nyamuk ini dalam
keadaan kering dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Telur
akan menetas menjadi larva/ jentik nyamuk dalam waktu 6-8 hari dan
kemudian menjadi pupa. Dalam waktu kurang dua hari, pupa akan
berkembang menjadi nyamuk dewasa dan siklus tersebut selesai
dalam menggigit di daerah yang terlindung seperti rumah,
sekolah dan sebagainya. 18
3. Epidemiologi
Dengue endemis sedikitnya pada 100 negara di Asia,
Pasifik, Amerika, Afrika, dan Karibia. WHO memperkirakan bahwa
50 sampai 100 juta infeksi terjadi setiap tahun, termasuk 500.000
kasus DBD dan 22.000 kematian, dimana korban terbanyak
berasal dari kalangan anak-anak. 19
Berdasarkan data yang ada, Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Jumlah
kasus DBD meningkat di Asia Tenggara pada periode 1996 -
2006.6 Diperkirakan sekitar 70 % atau 1,7 miliar populasi
berisiko dengue terbanyak berada di regional Asia Tenggara-
Pasifik bagian barat, seperti Indonesia, Thailand, Myanmar, Sri
Lanka dan sisanya sebanyak 30 % populasi berisiko lainnya
tinggal di Benua Afrika, Amerika Latin, dan Amerika Selatan.20
13
Kasus DBD di Indonesia telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968
telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,
menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009.
Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun
1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. 7
Dari Gambar 2 tampak siklus epidemik terjadi setiap
sembilan-sepuluh tahunan. Hal ini kemungkinan terjadi karena
adanya pe rubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan
vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu,
kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem
daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan
terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti
nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor praktik
masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor
pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas
penduduk yang sejalan dengan peningkatan sarana transportasi
menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin
luas. 7
14
Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada
tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir
sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463
orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%).
Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki
dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.
Sedangkan distribusi umur pada kasus DBD di Indonesia
dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran, dimana pada tahun 1993
hingga tahun 1998, kelompok umur terbesar kasus DBD adalah
kelompok umur <15 tahun. Akan tetapi, mulai dari tahun 1999 –
2009, kelompok umur ≥ 15 tahun merupakan kelompok umur
dengan kasus DBD terbanyak di Indonesia.7 Namun, penyebab
kematian dengan jumlah yang signifikan pada kasus DBD
terdapat pada kelompok umur < 15 tahun.4
Pada tahun 2009, tingkat kejadian DBD di Jawa
Tengah mencapai 54 kasus per 100.000 dan 3.883 kasus DBD
terjadi di Semarang. Jumlah tersebut mengalami penurunan yang
cukup signifikan dari tahun 2008 yang mencapai 5.249 kasus
atau turun sebanyak 26%. Namun, penurunan jumlah kasus
berbanding terbalik dengan jumlah kematian akibat DBD.
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya
DBD dan DSS.Respon imun yang diketahui berperan dalam
patogenesis DBD adalah respon humoral berupa pembentukan
antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis
yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi
antibodi, limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8)
berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue dimana
diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon
gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-
5, IL-6 dan IL-10, peranan monosit dan makrofag dalam fagositosis
virus dengan opsonisasi antibodi serta aktivitasi komplemen
oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.21
15
5. Manifestasi Klinik dan Komplikasi
Berdasarkan panduan WHO terbaru tahun 2009, kriteria DBD
dibedakan menjadi kriteria dengue tanpa tanda bahaya, kriteria
dengue dengan tanda bahaya dan kriteria berat.15
Untuk kriteria dengue tanpa tanda bahaya merupakan probable
dengue yang terjadi apabila seseorang bertempat tinggal atau
sedang bepergian di daerah endemik dengue. Selain itu, terjadi
demam disertai 2 dari gejala dan tanda yaitu mual, muntah,
ruam, sakit dan nyeri, uji torniket positifserta lekopenia.
Sedangkan dengue dengan tanda bahaya meliputi nyeri perut,
muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, letargi, lemah, pembesaran hati > 2 cm serta kenaikan
hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.
Manifestasi klinis untuk kriteria dengue berat yaitu kebocoran
plasma berat yang dapat menyebabkan DSS dan akumulasi cairan
dengan distress pernafasan, perdarahan hebat serta gangguan
organ berat, misalnya hepar (AST atau ALT ≥ 1000), gangguan
kesadaran, gangguan jantung dan organ lain.
Gambaran klinis DBD dibagi menjadi 3 fase yaitu fase febris, fase
kritis dan fase pemulihan. Pada fase febris, pasien mengalami
demam tinggi 2 hingga 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema
kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
Beberapa kasus pada fase ini ditemukan nyeri tenggorok, injeksi
faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah , serta dapat
pula ditemukan manifestasi perdarahan yang ri ngan seperti
ptekie, perdarahan mukosa, dan perdarahan gastrointestinal
walaupun jarang sekali ditemukan. Pembesaran hepar dapat
ditemukan beberapa hari setelah demam terjadi. Pada fase kritis
yang terjadi pada hari 3 – 7 ditandai dengan penurunan suhu
tubuh menjadi 37,5 – 38oC disertai kenaikan permeabilitas
kapiler, peningkatan hematokrit & timbulnya kebocoran plasma
(plasma leakage). Kebocoran plasma sering didahului oleh
terjadinya leukopeni progresif & penurunan jumlah trombosit.
Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura dan asites dapat
16
dideteksi pada fase ini. Pada fase kritis ini, pasien dapat mengalami
DSS. Sedangkan pada fase pemulihan akan terjadi pengembalian
cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada
48 – 72 jam setelahnya. Proses tersebut membuat keadaan umum
penderita semakin membaik, ditandai dengan nafsu makan yang
pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. Pada fase
ini peningkatan jumlah leukosit terjadi lebih dahulu dibandingkan
dengan peningkatan jumlah trombosit. 15
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien DBD dilakukan berdasarkan
perjalanan klinis penyakit sesuai dengan urutan fase yang terjadi
yaitu fase demam, kritis dan penyembuhan.
1) Fase demam
Pada fase demam, penurunan suhu dapat dilakukan
dengan pemberian antipiretik, paracetamol 10 mg/Kg BB/ hari
jika demam >39oC setiap 4-6 jam.
Untuk pemberian nutrisi yang lebih disukai adalah
makanan lunak disertai konsumsi susu, jus buah dan air yang
adekuat. Terapi simptomatis lain juga dapat diberikan misalnya
antikonvulsan untuk kejang demam . Perlu juga diperhatikan
pemberian cairan melalui injeksi intravena serta pengawasan
tanda kegawatan yang mengarah ke DSS diberitahukan kepada
keluarga. Selanjutnya dilakukan follow up pasien setiap hari.
2) Fase Kritis
a. DBD derajat I dan II
Pada hari 3 - 5 demam dianjurkan rawat inap.
Pemantauan tanda vital dilakukan setiap 1 - 2 jam selama fase
kritis. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala setiap 4 - 6 jam.
Selain itu perlu dilakukan pencatatan tanda vital, hasil hemoglobin,
hematokrit, intake output dan pemeriksaan fisik. Selanjutnya
pemberian cairan isotonik seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat dan
sebagainya.
17
b. DBD derajat III dan IV
Pemberian terapi oksigen pada pasien DSS. Penggantian
awal cairan IV dengan larutan kristaloid 20 ml/Kg BB dengan
tetesan secepatnya (bolus selama 10 menit). Resusitasi diganti
dengan koloid 10-20 ml/kg BB selama 10 menit bila DSS belum
teratasi. Setelah terjadi perbaikan, maka resusitasi kembali
menggunakan kristaloid. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
pada pasien DBD dengan komplikasi, misalnya analisis gas
darah, fungsi hati, fungsi ginjal dan sebagainya.
3) Fase Pemulihan
Pada fase pemulihan dilakukan penghentian cairan
intravena dan pasien disarankan untuk beristirahat. Bila terjadi
overload cairan maka diberikan diuretik furosemid 1 mg/Kg BB/ dosis,
setelah sebelumnya dilakukan pemasangan kateter urin.16
B. Faktor Resiko DBD
Faktor resiko adalah faktor yang mempengaruhi penyebaran
penyakit DBD, bukan sebagai penyebab. Beberapa Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian DBD. Menurut Sari (2005) menyatakan
bahwa faktor- faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia
adalah :17
1. Kepadatan penduduk, lebih padat lebih mudah untuk terjadi
penularan DBD, oleh karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50
meter.
2. Mobilitas penduduk, memudakan penularan dari suatu tempat ke
tempat lain.
3. Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk
rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila di
suatu rumah ada nyamuk penularnya maka akan menularkan
penyakit di orang yang tinggal di rumah tersebut, di rumah
sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-
orang yang berkunjung kerumah itu.
4. Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan
penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan.
18
5. Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke
puskesmas atau rumah sakit.
6. Mata pencaharian, mempengaruhi penghasilan
7. Sikap hidup, kalau rajin dan senang akan kebersihan dan cepat
tanggap dalam masalah akan mengurangi resiko ketularan penyakit.
8. Perkumpulan yang ada, bisa digunakan untuk sarana PKM
9. Golongan umur, akan memperngaruhi penularan penyakit. Lebih
banyak golongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk
sakit DBD lebih besar.
10. Suku bangsa, tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-
masing, hal ini juga mempengaruhi penularan DBD.
11. Kerentanan terhadap penyakit, tiap individu mempunyai kerentanan
tertentu terhadap penyakit, kekuatan dalam tubuhnya tidak sama
dalam menghadapi suatu penyakit, ada yang mudah kena penyakit,
ada yang tahan terhadap penyakit.17
Sedangkan faktor yang dianggap dapat memicu kejadian DBD
adalah :
1. Lingkungan.
Perubahan suhu, kelembaban nisbi, dan curah hujan mengakibatkan
nyamuk lebih sering bertelur sehingga vektor penular penyakit
bertambah dan virus dengue berkembang lebih ganas. Siklus
perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan
nyamuk dewasa akan dipersingkat sehingga jumlah populasi akan
cepat sekali naik. Keberadaan penampungan air artifisial/ kontainer
seperti bak mandi, vas bunga, drum, kaleng bekas, dan lain-lain
akan memperbanyak tempat bertelur nyamuk. Penelitian Ririh dan
Anny menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban, tipe
kontainer, dan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap
keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti.
2. Perilaku.
Kurangnya perhatian sebagian masyarakat terhadap kebersihan
lingkungan tempat tinggal, sehingga terjadi genangan air yang
menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang baik perilaku
masyarakat terhadap PSN (mengubur, menutup penampungan air),
19
urbanisasi yang cepat, transportasi yang makin baik, mobilitas
manusia antar daerah, kurangnya kesadaran masyarakat akan
kebersihan lingkungan, dan kebiasaan berada di dalam rumah
pada waktu siang hari. Perilaku masyarakat yaitu pengetahuan dan
tindakan dalam mengurangi atau menekan kepadatan jentik nyamuk
mempunyai hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk.
3. Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan
dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga
masyarakat tidak saja sadar, tahu, dan mengerti tetapi juga tetapi
mau dan bisa melakukan sesuatu yang dianjurkan yang ada
hubungannya dengan kesehatan. Dalam hal ini kegiatan penyuluhan
yang dilaksanakan adalah tentang penyakit DBD.
4. Pemantauan jentik berkala (PJB)
Kegiatan pemantauan jentik berkala (PJB) yang dilakukan oleh juru
pemantau jentik (jumatik). Kegiatan ini bertujuan untuk memantau
tingkat kepadatan jentik dari hasil pemeriksaan rumah-rumah dan
tempat-tempat umum.
5. Iklim
Salah satu pengaruh penting iklim yang merugukan terhadap
kesehatan manusia adalah pengaruhnya terhadap kejadian suatu
penyakit. Hubungan iklim dengan penyakit meruupakan hubungan
yang sangat rumit. Ada dua aspek dasar pengaruh iklim pada
penyakit yaitu; hubungan faktor iklim terhadap pengaruh organisme
penyakit atau penyebarannya, dan pengaruh cuaca iklim terhadap
ketahanan tubuh.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Penderita penyakit DBD jika tidak mendapat perawatan yang
memadai dapat mengalami perdarahan yang hebat, syok dan dapat
mengakibatkan kematian. Oleh karena itu semua kasus DBD sesuai
dengan kriteria WHO harus mndapat perawatan di temapt pelayanan
kesehatan ataupun rumah sakit. Keterbatasan perawatan dan
penanganan penderita yang sering terjadi berpengaruh buruk
terhadap pasien.
20
a. Tingkat pendidikan kepala keluarga yang rendah mengakibatkan
rendahnya kepedulian terhadap pencegahan penyakit DBD seperti
mangakibatkan higiene atau sanitasi lingkungan, mengabaikan
gejala- gejala penyakit DBD, terlambat membawa pasien ke
rumah sakit.
b. Demikian pula dengan jenis pekerjaan kepala keluarga, bila
kepala keluarga dapat mengalokasikan waktu yang baik dalam
memperhatikan kebersihan lingkungan disela-sela kesibukan
mencari nafkah, hal ini sangat membantu dalam usaha
pencegahan penyakit DBD. Lingkungan pekerjaan yang
memperhatikan sanitasi/kebersihan akan berpengaruh terhadap
sikap dan perilaku masyarakat di luar lingkungan kerja.
7. Faktor Pemahaman tentang DBD
Rendahnya pemahaman masyarakat desa Seketi tentang penyakit
DBD menyebabkan semakin sulitnya pencegahan tentang penyakit
DBD itu sendiri antara lain meliputi:
a. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit demam berdarah pada
masyarakat desa Seketi yang meliputi gejala-gejala apa saja
yang terjadi pada pasien DBD.
b. Kurangnya pemahaman tentang bahaya akan penyakit Demam
Berdarah sehingga masyarakat kurang mengetahui bahwa
penyakit Demam Berdarah bisa menyebabkan kematian yang
pada akhirnya masyarakat banyak yang memandang penyakit
DBD seperti penyakit ringan yang tidak perlu penanganan segera.
c. Kurangnya pengetahuan tentang tempat perindukan nyamuk
Aedes aegypti sebagai vektor penyakit Demam Berdarah misalnya
kurang memperhatikan kebersihan lingkungan, tidak
melaksanakan program 3M untuk memberantas penyakit DBD. 17
8. Faktor Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Siklus hidup dari nyamuk dari telur-larva-pupa-nyamuk butuh waktu 7-
14 hari, dengan demikian penting untuk memahami siklus hidup
nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat ditentukan saat yang tepat
untuk memberantas larva dan nyamuk dewasa. 17
21
9. Faktor Pelayanan Kesehatan Masyarakat
a. Masih rendahnya pemahaman tentang penyakit DBD menuntut
pelayanan kesehatan masyarakat dan puskesmas antara lain:
Penyuluhan oleh tenaga kesehatan tentang gejala-gejala, tempat
perindukan nyamuk penyebab penyakit DBD, dan bahaya akan
kematian akibat penyakit DBD.
b. Pemberian fogging yang dilakukan oleh petugas kesehatan setiap
ada kasus DBD sampai radius 200 m akan mengurangi penularan
penyakit DBD.
c. Pemberian abate oleh tenaga kesehatan untuk membunuh
larva/jentik nyamuk Demam Berdarah akan mengurangi
perkembangbiakan vektor. 16
Menurut Depkes RI (2010:2), pengurasan tempat-tempat
penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya
seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak di tempat itu.
Pada saat ini telah dikenal pula istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M yang
diperluas. Bila PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka
populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya,
sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi.17
C. Pencegahan Penyakit DBD
1. Pemberantasan Vektor18
Pemberantasan vektor penular (Aedes aegypti dan Aedes
albopictus) merupakan cara utama untuk mengendalikan penyakit
DBD. Hal ini sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh Dinas
Kesehatan Kota Semarang. Hal ini disebabkan karena belum
tersedianya vaksin maupun obat untuk membasmi virusnya.
Pemberantasan vektor dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa
maupun jentiknya
Nyamuk Dewasa
Jentik
Fisik
Biologi
Kimia
Insektisida (fogging)
PSN
22
Cara Pemberantasan Vektor DBD
Gambar 2. Cara Pemberantasan Vektor
a. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan terhadap sarang nyamuk dewasa
dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida / fogging
pada lingkungan rumah penduduk. Hal tersebut dilakukan
berdasarkan kebiasaan nyamuk yang hinggap pada benda-
benda tergantung, karena itu penyemprotan tidak dilakukan
pada dinding rumah dan untuk keamanan maka makanan
yang ada di dalam rumah disimpan ditempat tertutup seperti
lemari agar tidak terkontaminasi insektisida. 19
b. Pemberantasan Jentik Nyamuk
Pemberantasan jentik lebih dikenal dengan istilah PSN
atau Pemberantasan Sarang Nyamuk yang dapat dilakukan
dengan cara :
1) Kimia
Pemberantasan jentik ini menggunakan zat kimia yanitu
dengan mengguanakan insektisida (larvasida) yang lebih
dikenal dengan abate. Larvasida yang digunakan
temephos dengan formulasi 10 gram untuk 100 liter air.
2) Biologi
Pemberantasan biologi yaitu dengan cara memelihara
makhluk hidup yang dapat memakan jentik nyamuk, salah
satu contohnya dengan memelihara ikan di penampungan
air seperti di kolam atau di vas bunga.
23
3) Fisika
Pemberantasan dengan cara fisika lebih dikenal dengan
nama 3M (Menguras, menutup, dan Mengubur).
Pengurasan dilakukan di tempat penampungan air. Hal ini
harus dilakukan minimal seminggu sekali. Penutupan
tempat penampungan air dilakuakn agar nyamuk tidak
dapat masuk kedalam tempat penampungan air untuk
berkembang biak. Mengubur barang bekas yang dapat
menjadi tempat berkembang biak nyamuk seperti ban
bekas, kaleng, dan botol bekas.
4) Terpadu
Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga
cara yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja
sama lintas program maupun lintas sektoral dan peran
serta masyarakat.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit
DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas,
yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras,
menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti
memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida,
menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa,
menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent,
memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll
sesuai dengan kondisi setempat.19
2. Penanggulangan Penyakit DBD
Secra umum, kegiatan pokok penanggulangan penyakit DBD
meliputi langkah-langkah berikut ini :
a. Penemuan dan pelaporan penderita
Petugas keseahatan di puskesmas atau di rumah sakit yang
menemukan penderita DBD atau penderita tersangka DBD harus
segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten agar
segera dilakuakn penyelidikan epidemiologi oleh Dinkes dan
petugas puskesmas dalam kurun waktu 24 jam di lokasi penderita
24
dan rumah sekitarnya (radius 100 m) untuk mengetahui dan
mencegah adanya penularan lebih lanjut.
b. Penanggulangan fokus
Jika dari penyelidikan epidemiologi ditemukan penderita atau
tersangka DBD sekurang-kurangnya 3 orang dengan tanda
demam tanpa sebab yang jelas dan terdapat hasil jentik positif di
tempat tersebut maka dilakukan penyemprotan insektisida atau
fogging. Penyemprotan dilakukan dalam 2 siklus dengan radius
200m dari rumah kasusu dan dilakukan dalam interval 1
minggu.19
c. Pemberantasan vektor intensif
Dilakukan kegiatan fogging bila hasil penyelidikan epidemiologi
memenuhi kriteria dan kegiatan abatisasi di desa atau kelurahan
endemis terutama di sekolah dan tempat-tempat umum. Kegiatan
ini dilakukan selama 1 bulan pada saat sebelum perkiraan
peningkatan jumlah kasus yang ditentukan berdasarkan data
kasus bulanan dalam 5 tahun terakhir. 19
d. Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang
dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan
keyakinan, sehingga ,asyarakat tidak saja sadar, tahu, dan
mengerti tetapi juga tetapi mau dan bisa melakukan sesuatu yang
dianjurkan yang ada hubungannya dengan kesehatan. Dalam hal
ini kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan adalah tentang
penyakit DBD.
e. Pemantauan jentik berkala (PJB)
Kegiatan pemantauan jentik berkala (PJB) yang dilakukan oleh
juru pemantau jentik (jumatik). Kegiatan ini bertujuan untuk
memantau tingkat kepadatan jentik dari hasil pemeriksaan rumah-
rumah dan tempat-tempat umum. 3
25
Laporan mengenai penderita/tersangka sangat diperlukan agar
kejadian DBD dapat segera ditindak lanjuti dengan penyelidikan
epidemiologi dan penanggulangan untuk membatasi penyebaran enyakit
ini. Tujuan pengamatan penyakit DBD adalah untuk :
1. Memantau situasi penyakit DBD sehingga kejadian wabah/KLB
dapat segera diketahui
2. Menetukan stratifikasi endemisitas penyakit DBD
3. Menentukan musim penularan
4. Mengetahui perkembangan situasi(tren) penyakit, sehingga
program pemberantasan penyakit DBD dapat dijalankan secara
efektif dan efisien. 3
D. Teori Perubahan Perilaku
Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Pada umumnya
dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.20 Skinner (1983),
seorang ahli psikologi mengungkapkan bahwa perilkau merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, perilaku
terjadi melalui proses stimulus terhadap organisme dan direspon oleh
organisme lainnya. Cara lebih rinci perilaku manusia sebenarnya merupakan
refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan,
kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya.21
Lawrence Green mengusulkan perencanaan pendidikan kesehatan
melalui PRECEDE framework (kerangka kerja Precede) dan PROCEED
framework sebagai terapi terhadap perilaku lama. PRECEDE merupakan
akronim Predisposing, Reinforcing and Enabling Constructs in
Educational Diagnosis and Evaluation. Sedangkan PROCEED
merupakan akronim Policy, Regulatory, and Organizational Constructs in
Educational and Environmental Development evaluation. Jika PRECEDE
merupakan proses diagnosis dan perencanaan untuk membantu dalam
pengembangan program kesehatan masyarakat yang terfokus,
PROCEED adalah pedoman dalam pelaksanaan kegiatan dan evaluasi
program yang telah didisain dengan menggunakan Precede.
Menurut teori Green, perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor
pokok, yaitu faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor diluar perilaku
26
(non behaviour causes). Perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang
dirangkum dalam akronim PRECEDE : Predisposing, enabling, dan
reinforcing Cause in Educational an evaluation. Precede ini merupakan
arahan dalam menganalisis atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk
intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Precede merupakan fase
diagnosis masalah sedangkan PROCEED: Policy, Regulatory,
Organizational Construc in Educational and Environmantal,
Development, dan evaluasi pendidikan kesehatan. Apabila Precede
merupakan fase diagnosis masalah maka proceed merupakan pelaksanaan
dan evaluasi promosi kesehatan.22
a. Precede (Predisposing, Reinforcing, Enabling, constructs in Educational/
Enviromental Diagnosis and Evaluation)
PRECEDE terdiri dari lima langkah atau fase. Tahap satu
melibatkan menentukan kualitas hidup atau masalah sosial dan
kebutuhan masyarakat tertentu. Tahap dua terdiri dari mengidentifikasi
faktor-faktor penentu kesehatan dari masalah dan kebutuhan. Tahap
ketiga melibatkan menganalisis faktor-faktor penentu perilaku dan
lingkungan dari gangguan kesehatan. Pada fase empat, faktor-faktor
yang mempengaruhi untuk, memperkuat, dan memungkinkan perilaku
dan gaya hidup diidentifikasi. Tahap lima melibatkan memastikan
yang promosi kesehatan, kesehatan pendidikan dan / atau kebijakan
yang berhubungan dengan intervensi terbaik akan cocok untuk
mendorong perubahan yang diinginkan dalam perilaku atau
lingkungan dan faktor-faktor yang mendukung mereka perilaku dan
lingkungan.
b. Preceed (Policy, Regulatory, and Organizational constructs in
Educational and Environmental Development)
PROCEED terdiri dari empat fase tambahan. Pada fase enam,
intervensi diidentifikasi dalam fase lima dilaksanakan. Tahap tujuh
memerlukan evaluasi proses intervensi. Tahap delapan mencakup
mengevaluasi dampak dari intervensi pada faktor-faktor pendukung
perilaku, dan pada perilaku itu sendiri. Tahap kesembilan dan
terakhir terdiri dari evaluasi hasil yaitu, menentukan efek akhir dari
intervensi pada kesehatan dan kualitas hidup penduduk.
27
Menurut Lawrence W. Green (1980) yang dikutip oleh Notoatmodjo
(2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni :
1. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors)
Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan
dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem
nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan dan juga variasi
demografi seperti tingkat sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan
susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu
tersebut. Faktor predisposisi terwujud dalam :
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses
sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbetuknya
perilaku terbuka (overt behavior).
b. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus
atau obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga
manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap
secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap
stimulus tertentu.
c. Nilai-nilai
Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri
seseorang.
d. Kepercayaan
Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan
tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu
penyakit yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya.
28
e. Persepsi
Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu
terhadap stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses
pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima
oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti
dan merupakan respon yang menyeluruh dalam diri individu. Oleh karena
itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus,
sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan obyek.
2. Faktor-faktor Pemungkin (enabling factors)
Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi
perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada
hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku
kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut juga faktor-faktor pendukung.
Misalnya : Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, tempat pembuangan air,
tempat pembuangan sampah dan sebagainya.
3. Faktor-faktor Penguat (reinforcing factors)
Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya
perilaku. Kadang - kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku
sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap
dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan
perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga
disini, undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun dari
pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
HEALT PROMOTION
HEALTH EDUCATION
POLICY REGULATION
ORGANIZATION
PREDISPOSING FACTORS:KnowledgeBeliefsValuesAttitudesPerceptions
ENABLING FACTORS:Availability of resourcesAccessibilityReferralsRules or laws,Skills
REINFORCING FACTORS:Attitudes and behavior of Family, peers, teachers, employers, health providers, community leader, decision makers, etc.
BEHAVIOR(actons) of individuals, groups, or communities
ENVIRONMENT
HEALTH
QUALITY OF LIFE
Phase 2Epidemiological diagnosis
Phase 1Social
diagnosis
Phase 3Beehavioral and environmental
diagnosis
Phase 4Educational and organizational
diagnosis
Phase 5Administrative
and policy diagnosis
29
Gambar 2.1 Teori Perubahan Perilaku Green22
Faktor PredisposisiPengetahuan
KeyakinanSikapNilai
Faktor EnablingKetersediaan fasilitas/sarana kesehatanKeterjangkauan fasilitas kesehatanSumber daya
Faktor Reinforcing Teman SebayaPetugas KesehatanKeluarga Peraturan/Kebijakan
Perilaku spesifik
30
E. Kerangka Teori
Keterangan : Menunjukkan hubungan langsung
Menunjukkan akibat sekunder
Gambar 2.2 Aplikasi Teori Green untuk Penelitian “Perilaku 3M Plus Ibu Rumah
Tangga dalam Pencegahan Demam Berdarah di Perumnas Karangjati Kab.
Blora”
Faktor PredisposingKarakteristikUmur Pekerjaan Pendidikan Penghasilan keluargaPengetahuan tentang DBD & 3M PlusSikap tentang 3M PlusPraktek tentang 3M Plus
Faktor EnablingKetersediaan informasi tentang PSN DBD Keterjangkauan informasi tentang PSN DBD
PERILAKU 3M PLUS IBU RUMAH TANGGA
Faktor ReinforcingDukungan dari Suami Dukungan dari tetangga Dukungan dari petugas Jumantik Dukungan dari Tokoh Masyarakat
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka konsep yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
32
B. Hipotesa Penelitian
1. Ada hubungan Pengetahuan tentang demam bedarah dengan Perilaku
3M Plus Ibu rumah tangga
2. Ada hubungan usia Ibu RumahTangga dengan perilaku 3M Plus Ibu
rumah tangga
3. Ada hubungan Pekerjaan ibu rumah tangga dengan Perilaku 3M Plus
ibu rumah tangga
4. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu rumah tangga dengan perilaku
3M Plus Ibu Rumah tangga
5. Ada hubungan Penghasilan Keluarga dengan perilaku 3M Plus ibu
rumah tangga
6. Ada hubungan Sikap Ibu rumah tangga dengan Perilaku 3M Plus ibu
rumah tangga
7. Ada hubungan Ketersediaan informasi mengenai demam berdarah
dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga
8. Ada hubungan keterjangkauan informasi dengan perilaku 3M plus ibu
rumah tangga
9. Ada hubungan dukungan dari suami dengan perilaku 3M Plus Ibu
rumah tangga
10. Ada hubungan dukungan dari tetangga dengan perilaku 3M Plus Ibu
rumah tangga
11. Ada hubungan dukungan dari petugas Jumantik dengan perilaku 3M
plus ibu rumah tangga
12. Ada hubungan dukungan dari tokoh masyarakat dengan perilaku 3M
plus ibu rumah tangga
C. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan termasuk penelitian analitik karena
menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara dua variable. Sedangkan
menurut pendekatannya, penelitian ini merupakan penelitian cross sectional
dimana penelitian ini tidak melaksanakan intervensi dan hanya melakukan
pengamatan sewaktu. 23
33
Pendekatan cross sectional adalah pendekatan penelitian dimana
pengamatan dilakukan dalam satu waktu atau periode tertentu dengan ciri
setiap subjek hanya diamati satu kali saja atau mengadakan pengamatan
sekali saja terhadap bebrapa variabel dalam satu waktu yang bersamaan. 24
Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data dengan wawancara
menggunakan kuesioner dan lembar observasi kepada ibu rumah tangga di
Perumnas Karangjati Blora.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan subyek penelitian.25
Populasi adalah keseluruhan subyek yang diteliti atau individu yang
menjadi acuan hasil – hasil penelitian akan berlaku atau diberlakukan,
dan karakteristiknya akan diukur.
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga
Perumnas Karangjati Blora, yang berjumlah 641 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari subyek atau wakil populasi yang
akan diteliti. Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan
random sampling, yakni setiap satuan sampling yang ada dalam
populasi mempunyai peluang sama untuk dipilih dalam sampel.26 yaitu
ibu rumah tangga Perumnas Karangjati Blora.
Pengambilan sampel secara acak merupakan metode
pemilihan sampel dimana setiap anggota poulasi memiliki peluang
yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel karena anggota
populasi dianggap homogen. Pengambilan sampel acak sederhana
dapat dilakukan dengan cara undian, memilih bilangan dari daftar
bilangan secara acak. 27
Selanjutnya, penentuan jumlah sampel yang dianggap
representatif,yaitu menggunakan rumus jumlah sampel minimum
(Yamane, 1967) sebagai berikut :
34
n= N
N d2+1
Keterangan :
N = Jumlah populasi (641 KK)
n = Jumlah sampel minimal
d = Tingkat kesalahan (0,1)
Maka atas dasar rumus tersebut menggunakan tingkat presisi
90%, dan tingkat kesalahan 10%, maka diperoleh sampel minimum
yaitu :
n= N
N d2+1
n= 6417,41
n=86,5
n=87
Jumlah sampel minimum yang diperoleh akan diasosiasikan secara
proposional.
¿= ¿N×n
Keterangan :
ni = Jumlah sampel pada masing RT
Ni = Jumlah populasi pada masing-masing RT
N = Jumlah populasi RT secara keseluruhan
n = Jumlah sampel dari populasi
35
Tabel 3.1 Penarikan sampel
Perumnas
KarangjatiRT Populasi Sampel
RW 05
01 87 12
02 45 6
03 78 11
04 64 9
05 83 11
06 87 12
07 66 8
08 53 7
09 78 11
641 KK 87
Adapun sampel dipilih berdasarkan pertimbangan peneliti kriteria
tertentu, yaitu :
Kriteria inklusi :
a. Bersedia menjadi responden
b. Ibu rumah tangga tidak dalam keadaan cacat mental
Kriteria eksklusi :
a. Responden mengalami sakit berat
b. Responden tidak dapat di temui atau pindah alamat
Secara teknis pengambilan sampel dalam penelitian ini
dilakukan dengan melakukan perhitungan sampel minimal kemudian
setelah mendapatkan jumlah sampel dilakukan hitungan proporsi dari
masing – masing RT. Selanjutnya setelah didapatkan jumlah proporsi
dilakukan simple random sampling dengan melakukan undian untuk
mendapatkan sampel ibu rumah tangga. Disini peneliti menyediakan
sampel atau responden cadangan, dimana digunakan apabila salah
satu responden tidak dapat ditemui dalam beberapa kali.
36
3. Variabel Penelitian
Variabel dalam suatu penelitian adalah komponen atau faktor
yang berkaitan satu sama lain dan telah di inventarisasi lebih dulu
dalam variabel peneletian. Variabel tersebut dapat bersifat bebas
(independen) atau terikat (dependent) dan dapat pula berupa variabel
lain yang ikut mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan
variabel terikat, seperti variabel penghubung, variabel pra kondisi, dan
pendahulu. 26
1. Variabel Terikat
Yang dimaksud dengan variabel terikat dalam penelitian ini
adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena
variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah Perilaku
3M Plus Ibu Rumah Tangga
2. Variabel Bebas
Yang dimaksud variabel bebas dalam penelitian ini adalah
variabel yang menjadi penyebab timbulnya atau berubahnya
variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini antara lain :
a. Usia Ibu rumah tangga
b. Pendidikan Ibu Rumah Tangga
c. Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
d. Penghasilan Keluarga
e. Pengetahuan Ibu rumah Tangga tentang DBD
f. Sikap ibu rumah tangga terhadap 3M Plus
g. Ketersediaan Informasi PSN DBD
h. Keterjangkauan informasi PSN DBD
i. Dukungan suami
j. Dukungan tetangga
k. Dukungan Petugas Jumantik
l. Dukungan Tokoh Masyarakat
37
4. Definisi Operasional dan Skala Data
No VariabelDefinisi
Operasional
Indikator /
KategoriSkala
1. Usia Ibu
Rumah tangga
Lama hidup
responden yang
dihitung sejak lahir
sampai dengan
ulang tahun terakhir
saat pengumpulan
data
Kategori :
a. < 20
b. 20-30
c. 31-40
d. >40
Rasio
2. Pekerjaan Ibu
rumah tangga
Kegiatan yang
dilakukan
responden untuk
menghasilkan
penghasilan
a. Ibu Rumah
tangga
b. PNS
c. Wiraswasta
d. Karyawan
swasta
e. Lainnya…….
Nominal
3. Pendidikan Ibu
Rumah
Tangga
Jenjang tingkat
pendidikan formal
terakhir yang
dimiliki responden
a. Kategori
rendah : SD-SMP
b. Kategori
sedang : SMA-
akademi
c. Kategori tinggi :
>akademi
Ordinal
4. Penghasilan
Keluarga
Jumlah nominal
yang diperoleh
responden rata –
rata dalam sebulan
untuk mencukupi
kebutuhan
a. Kategori tinggi :
> Rp 991.500,-
b. Kategori
rendah : ≤ Rp
991.500,-
Nominal
38
5. Pengetahuan
Tentang PSN
DBD
Kemampuan
responden dalam
mengetahui tentang
PSN DBD
Scoring adalah :
Bila jawaban tahu :
1
Bila jawaban tidak
tahu : 0
Cara penilaian :
Jika data
berdistribusi
normal, maka
menggunakan
mean :
Baik : Jika nilai
skor ≥ mean
Kurang : Jika nilai
skor < mean
Jika data
berdistribusi tidak
normal, maka
menggunakan
median
Baik : jika nilai
skor ≥ median
Kurang : jika nilai
skor < median
Ordinal
6. Sikap tentang
PSN DBD
Respon atau reaksi
dari responden
terhadap PSN DBD
Skoring :
Bila jawaban
peduli : 1
Bila jawaban tidak
peduli : 0
Cara penilaian :
Jika data
berdistribusi
normal, maka
menggunakan
mean :
Baik : Jika nilai
skor ≥ mean
Kurang : Jika nilai
skor < mean
Ordinal
39
Jika data
berdistribusi tidak
normal, maka
menggunakan
median
Baik : jika nilai
skor ≥ median
Kurang : jika nilai
skor < median
7. Ketersediaan
informasi
tentang PSN
DBD
Berbagai jenis
Informasi yang
memudahkan
responden untuk
melakukan PSN
DBD
Cara penilaian :
Jika data
berdistribusi
normal, maka
menggunakan
mean :
Baik : Jika nilai
skor ≥ mean
Kurang : Jika nilai
skor < mean
Jika data
berdistribusi tidak
normal, maka
menggunakan
median
Baik : jika nilai
skor ≥ median
Kurang : jika nilai
skor < median
Nominal
40
8. Keterjangkaun
informasi
tentang PSN
DBD
Kemudahan
responden untuk
dapat mendapatkan
informasi tentang
PSN DBD
Cara penilaian :
Jika data
berdistribusi
normal, maka
menggunakan
mean :
Baik : Jika nilai
skor ≥ mean
Kurang : Jika nilai
skor < mean
Jika data
berdistribusi tidak
normal, maka
menggunakan
median
Baik : jika nilai
skor ≥ median
Kurang : jika nilai
skor < median
Ordinal
10 Dukungan dari
suami
Merupakan respon
atau tanggapan dari
pihak suami berupa
kesadaran,
kesepakatan, dan
kerjasama
Skoring adalah :
Bila jawaban
mendukung : 1
Bila jawaban tidak
mendukung :0
Cara penilaian :
Jika data
berdistribusi
normal, maka
menggunakan
mean :
Baik : Jika nilai
skor ≥ mean
Kurang : Jika nilai
skor < mean
Jika data
Ordinal
41
berdistribusi tidak
normal, maka
menggunakan
median
Baik : jika nilai
skor ≥ median
Kurang : jika nilai
skor < median
11 Dukungan
Tetangga
Merupakan respon
atau tanggapan dari
pihak tetangga
berupa kesadaran,
kesepakatan, dan
kerjasama
Skoring adalah :
Bila jawaban
mendukung : 1
Bila jawaban tidak
mendukung :0
Cara penilaian :
Jika data
berdistribusi
normal, maka
menggunakan
mean :
Baik : Jika nilai
skor ≥ mean
Kurang : Jika nilai
skor < mean
Jika data
berdistribusi tidak
normal, maka
menggunakan
median
Baik : jika nilai
skor ≥ median
Kurang : jika nilai
skor < median
Ordinal
12 Dukungan dari
pihak Jumantik
Merupakan respon
atau tanggapan dari
pihak Jumantik
Cara Penilaian :
Baik jika nilai skor
≥mean
Ordinal
42
berupa kesadaran,
kesepakatan, dan
kerjasama
Skoring adalah :
Bila jawaban
mendukung : 1
Bila jawaban tidak
mendukung :0
Kurang : Jika nilai
skor ≤ mean Cara
penilaian :
Jika data
berdistribusi
normal, maka
menggunakan
mean :
Baik : Jika nilai
skor ≥ mean
Kurang : Jika nilai
skor < mean
Jika data
berdistribusi tidak
normal, maka
menggunakan
median
Baik : jika nilai
skor ≥ median
Kurang : jika nilai
skor < median
13 Dukungan dari
tokoh
masyaratak
Merupakan respon
atau tanggapan dari
pihak tokoh
masyarakat berupa
kesadaran,
kesepakatan, dan
kerjasama
Skoring adalah :
Bila jawaban
mendukung : 1
Cara penilaian :
Jika data
berdistribusi
normal, maka
menggunakan
mean :
Baik : Jika nilai
skor ≥ mean
Kurang : Jika nilai
skor < mean
Ordinal
43
Bila jawaban tidak
mendukung :0 Jika data
berdistribusi tidak
normal, maka
menggunakan
median
Baik : jika nilai
skor ≥ median
Kurang : jika nilai
skor < median
5. Sumber Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Data Primer
Pengumpulan data ini dilakukan dengan wawancara pada sampel
dan penyebaran kuesioner terstruktur yang meliputi karakteristik
responden, pengetahuan responden tentang 3M plus, Sikap responden
tentang 3M Plus, Ketersediaan informasi tentang 3M Plus, Dukungan
suami, dukungan tetangga, dukungan petugas pemantau jentik,
dukungan tokoh masyarakat. Wawancara adalah suatu metode yang
digunakan pada pengumpulan data dimana peneliti mendapat
keterangan langsung dari subyek penelitian. Wawancara dilaksanakan
dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebagai pedoman
dalam wawancara dan menggunakan alat tulis. Pengumpulan data ini
dilakukan dengan wawancara pada responden ibu rumah tangga di
Perumnas Karangjati Blora.
b. Data Sekunder
Data yang digunakan sebagai informasi pendukung dan juga data
pembantu yang diambil dari sumber-sumber data yang telah ada pada
literatur. Data pendukung dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
pencatatan kesehatan yang terdapat pada Dinas Kesehatan Kab blora.
Selain itu juga didapatkan data pembantu dengan mengambil referensi
44
yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Literatur yang
diambil didapat dari beberapa buku dan penelusuran artikel ilmiah
elektronik melalui internet.
6. Instrumen Penelitian dan Pengumpulan Data
Instrumen penelitian digunakan sebagai alat bantu penelitian guna
mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data. Alat bantu tersebut
berupa:
1. Kuisioner untuk memperoleh data karakteristik responden, data
terkait seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan dan faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku 3M ibu rumah tangga. Sebelum
turun kelapangan untuk melakukan pengambilan data, terlebih
dahulu dilakukan uji kuisioner kapada 30 ibu rumah tangga yang
memiliki kesamaan kriteria dengan responden penelitian.
2. Alat tulis untuk mencatat hasil wawancara.
3. Kamera untuk mendokumentasikan kegiatan.
4. Perangkat komputer beserta sofeware untuk mengolah dan
menganalisis data.
Sedangkan cara pengumpulan data dalam penelitian ini dapat diuaraikan
sebagai berikut :
1. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada responden dalam penelitian ini adalah
Ibu rumah tangga dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan
pertanyaan.
2. Dokumen
Dokumen data sekunder untuk mengetahui profil Perumnas Karangjati
Blora.
7. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data
Data yang terkumpul dari hasil wawancara dan observasi diolah
dengan menggunakan alat perangkat lunak yaitu dengan
menggunakan program SPSS versi 11.5. Adapun langkah-langkah
dalam pengolahan data adalah sebagai berikut :
a. Editing
45
Merupakan kegiatan pemeriksaan ulang atas kelengkapan,
kejelasan serta konsistensi dari seluruh jawaban yang diberikan
responden dalam kuesioner dan pengisian lembar observasi.
b. Coding
Memberikan kode untuk masing-masing data atau variabel untuk
memudahkan pengolahan dan analisis data.
c. Entry
Merupakan kegiatan memasukkan data ke komputer untuk
keperluan pengolahan dan analisis data.
d. Tabulating
Merupakan proses pengelompokan data berdasarkan variabel yang
diteliti, biasanya disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.28
2. Analisis Data
a. Analisis Univariat
Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara univariat
untuk menggambarkan variabel bebas yaitu usia, pekerjaan,
pendidikan, pendapatan keluarga, pengetahuan tentang PSN DBD,
sikap tentang PSN DBD, Ketersediaan informasi tentang PSN DBD,
Keterjangkauan informasi tentang PSN DBD, Dukungan suami,
dukungan tetangga, dukungan petugas pemantau jentik, dukungan
tokoh masyarakat dan variabel terikat yaitu perilaku 3M Plus ibu
rumah tangga. Hasil disajikan dalam bentuk Tabel dan narasi dari
variabel yang diteliti.
b. Analisis Bivariat
Uji Chi Square.
Adalah uji statistik yang digunakan untuk menguji
signifikasi hubungan antara dua kelompok yang independent atau
lebih. Uji ini digunakan apabila data penelitian yang dimiliki dalam
bentuk frekuensi-frekuensi yang dikelompokkan dalam skala
nominal atau ordinal.
Uji chi Square dalam penelitian ini digunakan untuk
menjawab berbagai hipotesis alternatif yang telah disebutkan
sebelumnya, dengan menggunakan program SPSS 11.5
46
Interpretasi:
Ho ditolak, Ha diterima bila Pvalue ≥ 0,05
Ho diterima, Ha ditolak bila Pvalue ≤ 0,05. 29
E. Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan jadwal seperti pada tabel berikut:
Tabel Rencana dan Jadwal Penelitian
Kegiatan
Bulan
Des Jan
Fe
b Mar Apr Mei Jun Jul
Ag
s
Pembuatan
proposal,
bimbingan
dan
persiapan
seminar
xSeminar
proposal
Revisi dan
pengambila
n data
Analisis
data dan
konsultasi
Pembuatan
laporan dan
seminar
hasil
Ujian
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.
In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati. Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta, Indonesia; 2006.p. 1709-13.
2. Kemenkes RI. 2012. Kasus DBD Indonesia Masih Tertinggi di
Dunia.[online]http://news.okezone.com/read/2012/06/15/340/647934/kasu
s-dbd-indonesia-masihtertinggi-di-dunia [diakses 27 September 2013].
3. WHO. 2012. Dengue: guideline for diagnosis, treatment, prevention and
control. Geneva: WHO Press.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. Atlanta:
Centers for Disease Control and Preventation [Internet]. c2010 [cited
2011 Dec 12]. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/
epidemiology/index.html.
5. World Health Organization South-East Asia Region. Situation Update
Of Dengue In The SEA Region, 2010. World Health Organization
South-East Asia Region [Internet]. c2010 [cited 2011 Sep 28].
Available from:
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Dengue_update_SEA_2010.p
df.
6. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Buletin Jendela
Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Vol. 2. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. c2010 [cited 2011 Oct
25]. Available from:
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN
%20DBD.pdf.
7. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang
2009 [Internet]. c2010 [cited 2011 Sep 27]. Available from:
48
http://www.dinkeskotasemarang.go.id/download/profil_kesehatan_2009.p
df.
8. Dinkes Jawa Tengah. 2012. Profil Kesehatan Prov Jateng Tahun 2012.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota
9. Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, P2 DKK Blora 2013, Blora
10. Dinas Kesehatan Kota Blora. Data Endemisitas DBD 2009-2011. Blora:
Dinas Kesehatan Blora; 2013.
11. Puskesmas Blora, P2 Puskesmas Blora 2013, Blora
12. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, P2 DKK Blora 2013, Blora
13. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta; 2007.p. 58-179.
14. Setyobudi, Agus, 2011.
15. Rochman, Abdul., 2004. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Praktik
Ibu Rumah Tangga dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSNDBD) Di Desa Plesungan Kecamatan
Gondangrejo Kabupaten Karanganyar Tahun 2004.
16. Depkes RI., 1998. Kepemimpinan wanita. Jakarta.
17. Anisati. 2008. Peran media massa terhadap perilaku ibu dalam upaya
pencegahan demam berdarah dengue pada rumah tangga di kota
Yogyakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan6:210-215
18. Depkes RI, 2010, Penemuan Dan Tatalaksana Penderita Demam
Berdarah Dengue, Jakarta: Depkes RI
19. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan.
Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia , Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2010.
20. World Health Organization Panduan lengkap Pencegahan &
Pengendalian Dengue & Demam Berdarah Dengue. Jakarta: EGC;
2005.p. 63-77.
21. Depkes RI, 2010, Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah
Dengue, Jakarta: Depkes RI.
22. Notoatmaja, S, 2003, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan. Yogyakarta:Andi Ofset.
23. Nana Syaodih Sukmadinata, 2008, Metode Penelitian Pendidikan,
Bandung: Remaja Rosdakarya
49
24. Khorsandi, F, Hidarnia, A, Faghihzades, S, Ghobadzadeh, M. 2012. The
Effect Of Precede Proceed Model Combined With The Health Belief
Model And The Theory Of Self-Efficacy To Increase Normal Delivery
Among Nulliparous. Procedia: Social and Behavioral Sciences.
25. Moleong LJ. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya. 2007
26. Y, Slamet. Analisis Data Kualitatif Untuk Data Sosial. Solo : Dabora
Publisher. 1993
27. Notoatmojo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT
Reineka Cipta. 2002
28. Murti B. Desain Dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kualitatif Dan
Kuantitatif Di Bidang Kesehatan. Jakarta: Gadjah Mada University Press.
2006
29. Notoatmodjo S. 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
30. Herdiansyah, H. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba
Humanika. 2010
31. Murti B. 2006. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan
kualitatif di bidang kesehatan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
top related