skripsi ibu rumah tangga.docx

72
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun (2000), sepertiga dari seluruh penduduk kurang lebih 75 juta jiwa tinggal di kota – kota besar maupun kecil. Kondisi tersebut dihadapkan pada ketidak mampuan pemerintah kota dalam melayani dan menyediakan fasilitas yang diperlukan, seperti perumahan, air bersih, sanitasi, sarana pelayanan kesehatan, transportasi, sekolah dan sarana publik lainnya. Akibatnya adalah terdapat bayak pemikman dengan fasilitas sederhana, kepadatan tinggi, dan berjangkitnya penyakit menular salah satunya Demam Berdarah Dengue. 1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemoragic Fever (DHF) ialah Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonsia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 100 meter diatas permukaan laut. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas, sejalan dengan meningkatnya morbilitas dan kepadatan penduduk. 2

Upload: rachman-ramadhana

Post on 19-Jan-2016

117 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun (2000), sepertiga dari seluruh penduduk kurang

lebih 75 juta jiwa tinggal di kota – kota besar maupun kecil. Kondisi

tersebut dihadapkan pada ketidak mampuan pemerintah kota dalam

melayani dan menyediakan fasilitas yang diperlukan, seperti

perumahan, air bersih, sanitasi, sarana pelayanan kesehatan,

transportasi, sekolah dan sarana publik lainnya. Akibatnya adalah

terdapat bayak pemikman dengan fasilitas sederhana, kepadatan

tinggi, dan berjangkitnya penyakit menular salah satunya Demam

Berdarah Dengue.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau

Dengue Hemoragic Fever (DHF) ialah Penyakit yang disebabkan oleh

virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti

dan Aedes albopictus. Kedua nyamuk ini terdapat hampir di seluruh

pelosok Indonsia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 100

meter diatas permukaan laut. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih

merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan

dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan

cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas,

sejalan dengan meningkatnya morbilitas dan kepadatan penduduk.2

Menurut WHO, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting di

Indonesia dan bahkan juga merupakan suatu masalah kesehatan

masyarakat yang mendunia. Penyakit ini ditemukan nyaris di seluruh

belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara

endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan

datangnya musim penghujan.3 Beberapa dekade terakhir ini, insiden

demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat pesat di

seluruh penjuru dunia. Sde5ebanyak dua setengah milyar atau dua

perlima penduduk dunia berisiko terserang demam dengue. Sebanyak

1,6 milyar (52%) dari penduduk yang berisiko tersebut hidup di

wilayah Asia Tenggara.4 Selanjutnya menurut WHO (2012), terdapat

2

2.500 juta atau 2/5 penduduk dunia mempunyai resiko untuk

terserang DBD dengan perkiraan 50 juta kasus setiap tahunnya dan

24 juta kematian diseluruh dunia.3 Bahkan menurut Nawi (2005) dan

Hadinegoro (2002), rata-rata 23.000 orang penderita yang mesti

dirawat karena DBD dengan kematian yang mencapai 15.231 orang

selama 30 tahun sejak tahun 1968, membuat WHO mengkategorikan

Indonesia bersama negara-negara lainnya sebagai negara dengan

kasus tertinggi di dunia.5

Penyakit DBD pertama kali ditemukan di Indonesia sendiri

dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Surabaya. Sejak pertama

ditemukan penyakit DBD di Indonesia yaitu di Surabaya dan Jakarta

pada tahun 1968, jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat

dan daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun

1994 DBD telah tersebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada tahun

1968 jumlah kasus yang di laporkan sebanyak 58 kasus dengan

jumlah kematian 24 orang. Diantaranya meninggal dengan Case

Fatality Rate (CFR) = 41,32 %. Beberapa tahun kemudian penyakit ini

menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus

yang selalu meningkat. Sejak itu penyakit DBD menunjukkan

kecenderungan peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit,

dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun serta sering

menimbulkan penderita dan kematian yang besar 6.

Pada tahun 2005, Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di

Indonesia telah menyerang 95.279 orang dengan angka kematian

1,36 persen dan incidence rate nasional sebesar 43,42 kasus per

100.000 penduduk. Jumlah KLB pada tahun 2006 menurun tajam

dibandingkan jumlah KLB pada tahun 2005 yang tejadi di 12 provinsi

di 35 Kabupaten/Kota dengan jumlah kasus 3.336 orang, 55 orang

diantaranya meninggal (CFR = 1,65%). 5 Di indonesia terjadi

peningkatan kasus DBD dari tahun 2003 sampai 2007. Angka

Incidence Rate (IR) per 100. 000 penduduk pada tahun 2003 sebesar

23,87; tahun 2004 sebesar 37,11; tahun 2005 sebesar 43,42; tahun

2006 sebesar 52,48; tahun 2007 sebesar 71,78. Terjadi penurunan

pada tahun 2008 sebesar 59,92, dan meningkat kembali pada tahun

3

2009 sebesar 68,82. 6 Di Provinsi Jawa Tengah terjadi penurunan

kasus DBD pada tahun 2008 hingga 2012. Angka Incidence Rate (IR)

per 100. 000 penduduk pada tahun 2008 sebesar 59,20, tahun 2009

sebesar 57,90, tahun 2010 sebesar 56,80, tahun 2011 menurun

sangat signifikan sebesar 15,30, dan tahun 2012 kembali meningkat

sebesar 19,29. 8

Untuk Kabupaten Blora dengan kepadatan penduduk

829.728 jiwa 9 menempati urutan ke-1 untuk angka kesakitan DBD

terbanyak di Jawa Tengah dengan angka kesakitan tertinggi

sebesar 88,77/100.000 penduduk di tahun 2012.8 Blora yang masuk

dalam wilayah Indonesia yang beriklim tropis merupakan salah satu

daerah endemik demam berdarah dengue (DBD). Data Dinas

kesehatan Provinsi Jateng (2009:17), di peroleh bahwa Angka Insiden

di Kabupaten Blora termasuk tinggi yaitu >20 per 100.000 penduduk

dengan angka kematian > 1%. Data Kasus Demam Berdarah Dinas

Kesehatan Kabupaten Blora (2010), diketahui bahwa kejadian demam

berdarah dengue (DBD) di Blora dari tahun ke tahun selalu

meningkat, pada tahun 2008 terjadi 149 kasus DBD, tahun 2009

terjadi 470 kasus DBD, tahun 2010 tercatat 466 kasus, tahun 2011

tercatat 64 kasus dan tahun 2012 tercatat 389 kasus yang tersebar di

berbagai area kerja Puskesmas yang ada di Kabupaten Blora. 10

Puskesmas Blora sendiri merupakan wilayah yang tertinggi

pada tahun 2012. Kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Blora pada

tahun 2008 sebanyak 30 jiwa, kemudian menurun pada tahun

berikutnya pada tahun 2009 menjadi 12 jiwa, namun pada tahun 2010

jumlah kasus DBD yang ada di wilayah kerja Puskesmas Blora

Kabupaten Blora meningkat tinggi menjadi 138 kasus dengan

presentase 27% dari jumlah kasus yang ada (466 kasus) dan memiliki

angka kematian akibat DBD tertinggi yaitu 2 orang dengan presentase

40% dari jumlah kematian yang ada (5 jiwa), tahun 2011 turun

sebanyak 7 jiwa dan tahun 2012 meningkat tajam menjadi 48 jiwa

dengan jumlah kematian 1 jiwa.11 Berdasarkan data dari Dinas

Kesehatan Kabupaten Blora , kasus DBD paling banyak terdapat di

kecamatan Blora . Hasil rekapitulasi laporan Dinkes Kabupaten Blora

4

pada tahun 2012, jumlah kasus DBD yang terjadi di Kecamatan Blora

adalah sebanyak 48 kasus, dimana kasus yang paling banyak

terdapat di daerah Karangjati pada tahun 2012 yaitu sebanyak 17

kasus.12 Dari data kasus DBD dan klasifikasi desa di Kota Blora

Tahun 2012 yang dilaporkan Dinas Kesehatan Kabupaten Blora,

Kecamatan Blora merupakan salah satu kecamatan endemis tinggi

(angka endemisnya = 34,6) Penyakit DBD dengan jumlah kasus

terbesar di Kabupaten Blora, yaitu 163 kasus. Dari 28 kelurahan yang

dimiliki oleh Kecamatan Blora, 18 kelurahan merupakan kelurahan

sporadis dan 7 kelurahan merupakan kelurahan endemis dan 3

kelurahan merupakan kelurahan potensial penyakit DBD. Salah satu

kelurahan endemis adalah Kelurahan Karangjati, terutama di wilayah

Perumnas Karangjati.

Perumnas Karangjati memiliki 1 RW (Rukun Warga) dan 09

RT (Rukun Tetangga) merupakan perumahan dengan karakteristik

yang khas, yaitu secara sosial ekonomi berpenghuni mulai dari kelas

menengah - rendah dan menengah – tinggi. Kebanyakan rumah

dihuni, namun tidak sedikit rumah yang tidak dihuni, karena biasanya

hanya berstatus rumah investasi. Semua rumah memiliki tendon air

(tempat penampung air), karena sumber air dari PDAM hanya

mengalir setiap 2 hari sekali. Kerja bakti warga (yang diwujudkan

dalam bentuk bersih-bersih blok/gang) tidak selalu dilakukan setiap 1

bulan sekali. Pada setiap ujung blok terdapat tanah kosong dan pada

setiap RW memiliki fasilitas Taman dan Lapangan. Jarak antar rumah

tidak ada karena rumah saling berhimpitan. Tingginya angka kejadian

DBD di Perumahan ini tentu dapat dikaitkan dengan adanya beberapa

faktor.

Dalam teori Bloom menyebutkan bahwa status kesehatan di

pengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan

kesehatan dan faktor genetik yang merupakan faktor determinan

status kesehatan. Determinan penyakit DBD juga dapat mengikuti

konsep Bloom, faktor lingkungan yaitu lingkungan fisik seperti suhu

dan kelembapan. Lingkungan biologi seperti keberadaan nyamuk, dan

tanaman, serta keberadaan manusia. Sedangkan faktor lingkungan

5

lain yang dapat mempengaruhi penyakit DBD yaitu lingkungan sosial

ekonomi budaya dimana pendidikan, pekerjaan, mobilitas, pemilikan

barang konsep penyakit dan nilai penyakit DBD termasuk di dalam

lingkungan ini.

Sedangkan faktor perilaku masyarakat yang dapat memicu

adanya kejadian DBD meliputi pengetahuan, sikap, dan praktik,

kebiasaan serta peran warga dalam paktik PSN (Pemberantasan

Sarang Nyamuk) dan fogging. Faktor pelayanan kesehatan meliputi

upaya penyuluhan dan pencegahan diantaranya petugas yang

melakukan pemantauan PSN secara rutin dan pemantauan

pemeriksaan jentik secara rutin. Faktor genetik atau keturunan adalah

kepekaan masyarakat sebagai host dan nyamuk sebagai perantara

vektor dari virus dengue. 13

Tingginya penyebaran penyakit DBD juga disebabkan

diantaranya oleh perilaku penduduk tentang 3M yang masih rendah.

Dalam penelitian Rahman (2012) menunjukkan tindakan masyarakat

dalam melakukan 3M masih sangat rendah, lalu tempat

penampungan air yang dibiarkan terbuka, tidak pernah dikuras dan

tidak diberi abate.14 Tindakan untuk melakukan 3M sangatlah penting,

karena pelaksanaan 3M dapat memutus siklus kehidupan nyamuk

Aedes aegypty. Jika 3M gagal dilaksanakan maka akan tersedia

tempat-tempat bagi nyamuk Aedes aegypty untuk berkembang biak

sehingga dalam jangka waktu tertentu jumlah nyamuk semakin

banyak sehingga penularan DBD akan semakin cepat.15 Untuk itu,

perlu adanya upaya pemberantasan nyamuk Aedes aegypti guna

memutuskan rantai penularan penyakit DBD. Upaya pembasmian

nyamuk Aedes aegypti terutama lebih ditekankan pada tingkat

larva yang dilakukan dengan pemberantasan sarang nyamuk

(PSN) melalui gerakan 3M Plus oleh seluruh lapisan masyarakat .

Peran serta masyarakat dalam PSN-DBD lebih di utamakan peran

ibu rumah tangga karena umumnya yang bertanggung jawab

mengurus rumah tangga termasuk masalah kebersihan rumah

adalah ibu rumah tangga.16 Menurut Laksmono Widagdo (2008)

Peran dalam keluarga yang melakukan 3M Plus adalah ibu 55,3%. 17

6

Seorang ibu rumah tangga mempunyai peran yang paling

penting untuk menciptakan pola hidup sehat yang bisa

menghindarkan semua penghuni rumah dari berbagai jenis ancaman

penyakit.  Salah satu bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh

ibu rumah tangga untuk menjaga kesehatan keluarga. Dan karena

lebih sering tinggal di rumah, ibu rumah tangga juga berkewajiban

untuk merawat segala macam perabot yang ada di dalamnya

terutama untuk masalah kebersihan. Semua orang pasti tahu jika

salah satu syarat untuk membentuk pola hidup sehat dalam keluarga

adalah harus selalu menjaga kebersihan di lingkungan tempat

tinggalnya tersebut. Selain membuat makanan, tugas lain ibu rumah

tangga untuk menjaga kesehatan keluarga adalah memberi

pendidikan untuk anak serta pengertian, terutama bagi mereka yang

usianya masih kanak-kanak agar bisa mengatur pola hidup sehat

dalam menjalani kegiatan mereka setiap hari.18

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti

Perilaku Pemberantasan Keberadaan Jentik dan tindakan 3M Plus Ibu

Rumah Tanggga terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

di Perumnas Karangjati Blora.

B. Rumusan Masalah

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial

maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung

meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas sejalan

dengan meningkatnya morbilitas dan kepadatan penduduk. Di

Provinsi Jawa Tengah terjadi penurunan kasus DBD pada tahun 2008

hingga 2012. Angka Incidence Rate (IR) per 100. 000 penduduk pada

tahun 2008 sebesar 59,20, tahun 2009 sebesar 57,90, tahun 2010

sebesar 56,80, tahun 2011 menurun sangat signifikan sebesar 15,30,

dan tahun 2012 kembali meningkat sebesar 19,29. 5 Kabupaten Blora

dengan kepadatan penduduk 829.728 jiwa menempati urutan ke-1

untuk angka kasus DBD terbanyak di Jawa Tengah dengan incidence

rate sebesar 88,77 per 100.000 penduduk di tahun 2012. Rahman

7

(2012) menunjukkan tindakan masyarakat dalam melakukan 3M

masih sangat rendah, lalu tempat penampungan air yang dibiarkan

terbuka, tidak pernah dikuras dan tidak diberi abate. Upaya

pembasmian nyamuk Aedes aegypti terutama lebih ditekankan

pada tingkat larva yang dilakukan dengan pemberantasan sarang

nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M Plus oleh seluruh lapisan

masyarakat (Sungkar,2005). Peran serta masyarakat dalam PSN-

DBD lebih di utamakan peran ibu rumah tangga karena

umumnya yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga

termasuk masalah kebersihan rumah adalah ibu rumah tangga.

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan

masalah penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana perilaku 3M plus Ibu rumah tangga di Perumnas

Karangjati Blora?

2. Faktor – Faktor apa saja yang termasuk dalam faktor

predisposisi (predisposing), pemungkin (enabling), dan penguat

(reinforcing) yang berhubungan dengan perilaku 3M Plus Ibu

Rumah Tangga di Perumnas karangjati Blora ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mendiskripsikan Perilaku 3M Ibu rumah tangga

Perumahan Karangjati dalam mencegah Kejadian Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Blora, Kabupaten Blora

dan faktor – faktor yang mempengaruhinya.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik ibu rumah tangga meliputi

usia, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pendapatan dalam

perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga di Perumnas

Karangjati Blora

b. Mendeskripsikan pengetahuan ibu rumah tangga dalam

perilaku 3M Plus di Perumnas Karangjati blora

8

c. Mendeskripsikan sikap ibu rumah tangga dalam perilaku

3M Plus di Perumnas Karangjati Blora

d. Mendeskripsikan ketersediaan informasi PSN DBD dalam

Perilaku 3M Plus Ibu rumah tanggga di Perumnas

Karangjati Blora

e. Mendeskripsikan keterjangkauan informasi dalam perilaku

3M Plus ibu rumah tangga di Perumnas Karangjati Blora

f. Mendeskripsikan dukungan suami dalam perilaku 3M Plus

ibu rumah tanggga di perumnas Karangjati Blora

g. Mendeskripsikan dukungan tetangga dalam perilaku 3M

Plus ibu rumah tangga di Perumnas karangjati blora

h. Mendeskripsikan dukungan Petugas pemantau jentik

dalam perilaku 3M Plus Ibu rumah tangga di Perumnas

karangjati blora

i. Mendeskripikan dukungan tokoh masyarakat dalam

perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di Perumnas Karangjati

Blora

j. Menganalisis hubungan antara karaktristik Ibu rumah

tangga yang meliputi usia, pendidikan terakhir, pekerjaan,

dan pendapatan dengan perilaku 3M Plus Ibu rumah

tangga di Perumnas karangjati Blora

k. Menganalisis hubungan antara pengetahuan ibu rumah

tangga dengan perilaku 3M Plus Ibu Rumah tangga

l. Menganalisis hubungan antara sikap ibu rumah tangga

dengan perilaku 3M plus ibu rumah tangga di Perumnas

Karangjati Blora

m. Menganalisis hubungan antara ketersediaan informasi

PSN DBD dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di

perumnas Karangjati blora

n. Menganalisis hubungan antara keterjangkauan informasi

PSN DBD dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di

perumnas karangjati Blora

9

o. Menganalisis hubungan antara dukungan suami dengan

perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga di perumnas

Karangjati Blora

p. Menganalisis hubungan antara dukungan tetangga dengan

perilaku 3M plus ibu rumah tangga di perumnas karangjati

Blora

q. Menganalisis hubungan antara dukungan petugas jumantik

dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di perumnas

karangjati blora

r. Menganalisis hubungan antara dukungan tokoh

masyarakat dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga di

perumnas karangjati Blora

D. Manfaat penulisan

a. Bagi Penulis

Melatih dan mengembangkan cara berpikir serta

kemampuan mengidentifikasi dan menganalisa masalah

kesehatan hingga mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut

serta memperoleh pengalaman dalam melakukan studi pustaka

dan kegiatan penelitian di lapangan yang sangat berguna sebagai

bekal untuk melaksanakan penelitian berikutnya.

b. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

Dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian

mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Diponegoro selanjutnya.

c. Bagi Instansi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar

dan sumber informasi penting dalam program pemberantasan

penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).

d. Bagi Masyarakat

Masyarakat dapat memperoleh informasi tentang faktor-

faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku 3M Plus DBD

10

sehingga dapat melakukan upaya pencegahan secara dini agar

dapat terhindar dari penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

E. Ruang Lingkup Penelitian

1. Lingkup Disiplin Ilmu

Penelitian ini merupakan penelitian dibidang Ilmu

Kesehatan Masyarakat khususnya dibidang pendidikan kesehatan

dan ilmu perilaku

2. Lingkup Tempat Penelitian

Lokasi Penelitian dilaksanakan di Perumas Kelurahan

Karangjati Kabupaten Blora

3. Lingkup waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juni

4. Lingkup sasaran penelitian

Sasaran penelitian ini adalah Ibu Rumah Tangga di

Perumnas Kelurahan Karangjati Kabupaten Blora

5. Lingkup Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau

nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia

dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang

ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau

penumpukan cairan di rongga tubuh. Sedangkan manifestasi terberat

DBD adalah DSS yang ditandai oleh renjatan/syok.1

Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua

golongan umur. Sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih

banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat

adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam Berdarab

Dengue pada orang dewasa.2

1. Etiologi

Penyebab DBD adalah virus dengue yang termasuk

dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses), genus

Flavivirus dan famili Flaviviridae. Ada 4 serotipe yang diketahui

yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Semua serotipe virus

dengue ini ditemukan bersirkulasi di Indonesia dan serotipe

terbanyak adalah DEN-3. 18

2. Vektor

Vektor penyebar virus dengue yaitu Aedes aegypti.

Pada saat terjadi kejadian luar biasa (KLB) beberapa vektor lain

seperti Aedes albopictus, Aedes polynesisensis, Aedes scutellaris

ikut berperan dalam penyebaran DBD. Virus dengue yang berada

di dalam darah individu yang terinfeksi dihisap oleh Nyamuk Aedes

sp betina. Virus tersebut mengalami inkubasi dan replikasi selama 8-

10 hari di kelenjar ludah nyamuk, lalu ditularkan kepada individu

yang lain. Nyamuk Aedes sp betina menghisap darah pada waktu

siang hari, terutama pada waktu sore hari. Ciri khas nyamuk Aedes

12

aegypti adalah memiliki tubuh hitam dengan bercak hitam putih khas

pada bagian thoraknya. Nyamuk ini berkembang biak di air

bersih, seperti bak mandi, tempayan penyimpanan air, kaleng

kosong dan kontainer buatan yang lain. Telur nyamuk ini dalam

keadaan kering dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Telur

akan menetas menjadi larva/ jentik nyamuk dalam waktu 6-8 hari dan

kemudian menjadi pupa. Dalam waktu kurang dua hari, pupa akan

berkembang menjadi nyamuk dewasa dan siklus tersebut selesai

dalam menggigit di daerah yang terlindung seperti rumah,

sekolah dan sebagainya. 18

3. Epidemiologi

Dengue endemis sedikitnya pada 100 negara di Asia,

Pasifik, Amerika, Afrika, dan Karibia. WHO memperkirakan bahwa

50 sampai 100 juta infeksi terjadi setiap tahun, termasuk 500.000

kasus DBD dan 22.000 kematian, dimana korban terbanyak

berasal dari kalangan anak-anak. 19

Berdasarkan data yang ada, Asia menempati urutan

pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Jumlah

kasus DBD meningkat di Asia Tenggara pada periode 1996 -

2006.6 Diperkirakan sekitar 70 % atau 1,7 miliar populasi

berisiko dengue terbanyak berada di regional Asia Tenggara-

Pasifik bagian barat, seperti Indonesia, Thailand, Myanmar, Sri

Lanka dan sisanya sebanyak 30 % populasi berisiko lainnya

tinggal di Benua Afrika, Amerika Latin, dan Amerika Selatan.20

13

Kasus DBD di Indonesia telah menjadi masalah

kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968

telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan

kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,

menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009.

Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun

1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. 7

Dari Gambar 2 tampak siklus epidemik terjadi setiap

sembilan-sepuluh tahunan. Hal ini kemungkinan terjadi karena

adanya pe rubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan

vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.

Perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu,

kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem

daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan

terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti

nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor praktik

masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor

pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas

penduduk yang sejalan dengan peningkatan sarana transportasi

menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin

luas. 7

14

Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada

tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir

sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463

orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%).

Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki

dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.

Sedangkan distribusi umur pada kasus DBD di Indonesia

dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran, dimana pada tahun 1993

hingga tahun 1998, kelompok umur terbesar kasus DBD adalah

kelompok umur <15 tahun. Akan tetapi, mulai dari tahun 1999 –

2009, kelompok umur ≥ 15 tahun merupakan kelompok umur

dengan kasus DBD terbanyak di Indonesia.7 Namun, penyebab

kematian dengan jumlah yang signifikan pada kasus DBD

terdapat pada kelompok umur < 15 tahun.4

Pada tahun 2009, tingkat kejadian DBD di Jawa

Tengah mencapai 54 kasus per 100.000 dan 3.883 kasus DBD

terjadi di Semarang. Jumlah tersebut mengalami penurunan yang

cukup signifikan dari tahun 2008 yang mencapai 5.249 kasus

atau turun sebanyak 26%. Namun, penurunan jumlah kasus

berbanding terbalik dengan jumlah kematian akibat DBD.

4. Patogenesis dan Patofisiologi

Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya

DBD dan DSS.Respon imun yang diketahui berperan dalam

patogenesis DBD adalah respon humoral berupa pembentukan

antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis

yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi

antibodi, limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8)

berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue dimana

diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon

gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-

5, IL-6 dan IL-10, peranan monosit dan makrofag dalam fagositosis

virus dengan opsonisasi antibodi serta aktivitasi komplemen

oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan

C5a.21

15

5. Manifestasi Klinik dan Komplikasi

Berdasarkan panduan WHO terbaru tahun 2009, kriteria DBD

dibedakan menjadi kriteria dengue tanpa tanda bahaya, kriteria

dengue dengan tanda bahaya dan kriteria berat.15

Untuk kriteria dengue tanpa tanda bahaya merupakan probable

dengue yang terjadi apabila seseorang bertempat tinggal atau

sedang bepergian di daerah endemik dengue. Selain itu, terjadi

demam disertai 2 dari gejala dan tanda yaitu mual, muntah,

ruam, sakit dan nyeri, uji torniket positifserta lekopenia.

Sedangkan dengue dengan tanda bahaya meliputi nyeri perut,

muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan

mukosa, letargi, lemah, pembesaran hati > 2 cm serta kenaikan

hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.

Manifestasi klinis untuk kriteria dengue berat yaitu kebocoran

plasma berat yang dapat menyebabkan DSS dan akumulasi cairan

dengan distress pernafasan, perdarahan hebat serta gangguan

organ berat, misalnya hepar (AST atau ALT ≥ 1000), gangguan

kesadaran, gangguan jantung dan organ lain.

Gambaran klinis DBD dibagi menjadi 3 fase yaitu fase febris, fase

kritis dan fase pemulihan. Pada fase febris, pasien mengalami

demam tinggi 2 hingga 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema

kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.

Beberapa kasus pada fase ini ditemukan nyeri tenggorok, injeksi

faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah , serta dapat

pula ditemukan manifestasi perdarahan yang ri ngan seperti

ptekie, perdarahan mukosa, dan perdarahan gastrointestinal

walaupun jarang sekali ditemukan. Pembesaran hepar dapat

ditemukan beberapa hari setelah demam terjadi. Pada fase kritis

yang terjadi pada hari 3 – 7 ditandai dengan penurunan suhu

tubuh menjadi 37,5 – 38oC disertai kenaikan permeabilitas

kapiler, peningkatan hematokrit & timbulnya kebocoran plasma

(plasma leakage). Kebocoran plasma sering didahului oleh

terjadinya leukopeni progresif & penurunan jumlah trombosit.

Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura dan asites dapat

16

dideteksi pada fase ini. Pada fase kritis ini, pasien dapat mengalami

DSS. Sedangkan pada fase pemulihan akan terjadi pengembalian

cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada

48 – 72 jam setelahnya. Proses tersebut membuat keadaan umum

penderita semakin membaik, ditandai dengan nafsu makan yang

pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. Pada fase

ini peningkatan jumlah leukosit terjadi lebih dahulu dibandingkan

dengan peningkatan jumlah trombosit. 15

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien DBD dilakukan berdasarkan

perjalanan klinis penyakit sesuai dengan urutan fase yang terjadi

yaitu fase demam, kritis dan penyembuhan.

1) Fase demam

Pada fase demam, penurunan suhu dapat dilakukan

dengan pemberian antipiretik, paracetamol 10 mg/Kg BB/ hari

jika demam >39oC setiap 4-6 jam.

Untuk pemberian nutrisi yang lebih disukai adalah

makanan lunak disertai konsumsi susu, jus buah dan air yang

adekuat. Terapi simptomatis lain juga dapat diberikan misalnya

antikonvulsan untuk kejang demam . Perlu juga diperhatikan

pemberian cairan melalui injeksi intravena serta pengawasan

tanda kegawatan yang mengarah ke DSS diberitahukan kepada

keluarga. Selanjutnya dilakukan follow up pasien setiap hari.

2) Fase Kritis

a. DBD derajat I dan II

Pada hari 3 - 5 demam dianjurkan rawat inap.

Pemantauan tanda vital dilakukan setiap 1 - 2 jam selama fase

kritis. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala setiap 4 - 6 jam.

Selain itu perlu dilakukan pencatatan tanda vital, hasil hemoglobin,

hematokrit, intake output dan pemeriksaan fisik. Selanjutnya

pemberian cairan isotonik seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat dan

sebagainya.

17

b. DBD derajat III dan IV

Pemberian terapi oksigen pada pasien DSS. Penggantian

awal cairan IV dengan larutan kristaloid 20 ml/Kg BB dengan

tetesan secepatnya (bolus selama 10 menit). Resusitasi diganti

dengan koloid 10-20 ml/kg BB selama 10 menit bila DSS belum

teratasi. Setelah terjadi perbaikan, maka resusitasi kembali

menggunakan kristaloid. Pemeriksaan laboratorium dilakukan

pada pasien DBD dengan komplikasi, misalnya analisis gas

darah, fungsi hati, fungsi ginjal dan sebagainya.

3) Fase Pemulihan

Pada fase pemulihan dilakukan penghentian cairan

intravena dan pasien disarankan untuk beristirahat. Bila terjadi

overload cairan maka diberikan diuretik furosemid 1 mg/Kg BB/ dosis,

setelah sebelumnya dilakukan pemasangan kateter urin.16

B. Faktor Resiko DBD

Faktor resiko adalah faktor yang mempengaruhi penyebaran

penyakit DBD, bukan sebagai penyebab. Beberapa Faktor yang

Berhubungan dengan Kejadian DBD. Menurut Sari (2005) menyatakan

bahwa faktor- faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia

adalah :17

1. Kepadatan penduduk, lebih padat lebih mudah untuk terjadi

penularan DBD, oleh karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50

meter.

2. Mobilitas penduduk, memudakan penularan dari suatu tempat ke

tempat lain.

3. Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk

rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila di

suatu rumah ada nyamuk penularnya maka akan menularkan

penyakit di orang yang tinggal di rumah tersebut, di rumah

sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-

orang yang berkunjung kerumah itu.

4. Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan

penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan.

18

5. Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke

puskesmas atau rumah sakit.

6. Mata pencaharian, mempengaruhi penghasilan

7. Sikap hidup, kalau rajin dan senang akan kebersihan dan cepat

tanggap dalam masalah akan mengurangi resiko ketularan penyakit.

8. Perkumpulan yang ada, bisa digunakan untuk sarana PKM

9. Golongan umur, akan memperngaruhi penularan penyakit. Lebih

banyak golongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk

sakit DBD lebih besar.

10. Suku bangsa, tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-

masing, hal ini juga mempengaruhi penularan DBD.

11. Kerentanan terhadap penyakit, tiap individu mempunyai kerentanan

tertentu terhadap penyakit, kekuatan dalam tubuhnya tidak sama

dalam menghadapi suatu penyakit, ada yang mudah kena penyakit,

ada yang tahan terhadap penyakit.17

Sedangkan faktor yang dianggap dapat memicu kejadian DBD

adalah :

1. Lingkungan.

Perubahan suhu, kelembaban nisbi, dan curah hujan mengakibatkan

nyamuk lebih sering bertelur sehingga vektor penular penyakit

bertambah dan virus dengue berkembang lebih ganas. Siklus

perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan

nyamuk dewasa akan dipersingkat sehingga jumlah populasi akan

cepat sekali naik. Keberadaan penampungan air artifisial/ kontainer

seperti bak mandi, vas bunga, drum, kaleng bekas, dan lain-lain

akan memperbanyak tempat bertelur nyamuk. Penelitian Ririh dan

Anny menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban, tipe

kontainer, dan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap

keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti.

2. Perilaku.

Kurangnya perhatian sebagian masyarakat terhadap kebersihan

lingkungan tempat tinggal, sehingga terjadi genangan air yang

menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang baik perilaku

masyarakat terhadap PSN (mengubur, menutup penampungan air),

19

urbanisasi yang cepat, transportasi yang makin baik, mobilitas

manusia antar daerah, kurangnya kesadaran masyarakat akan

kebersihan lingkungan, dan kebiasaan berada di dalam rumah

pada waktu siang hari. Perilaku masyarakat yaitu pengetahuan dan

tindakan dalam mengurangi atau menekan kepadatan jentik nyamuk

mempunyai hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk.

3. Penyuluhan

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan

dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga

masyarakat tidak saja sadar, tahu, dan mengerti tetapi juga tetapi

mau dan bisa melakukan sesuatu yang dianjurkan yang ada

hubungannya dengan kesehatan. Dalam hal ini kegiatan penyuluhan

yang dilaksanakan adalah tentang penyakit DBD.

4. Pemantauan jentik berkala (PJB)

Kegiatan pemantauan jentik berkala (PJB) yang dilakukan oleh juru

pemantau jentik (jumatik). Kegiatan ini bertujuan untuk memantau

tingkat kepadatan jentik dari hasil pemeriksaan rumah-rumah dan

tempat-tempat umum.

5. Iklim

Salah satu pengaruh penting iklim yang merugukan terhadap

kesehatan manusia adalah pengaruhnya terhadap kejadian suatu

penyakit. Hubungan iklim dengan penyakit meruupakan hubungan

yang sangat rumit. Ada dua aspek dasar pengaruh iklim pada

penyakit yaitu; hubungan faktor iklim terhadap pengaruh organisme

penyakit atau penyebarannya, dan pengaruh cuaca iklim terhadap

ketahanan tubuh.

6. Faktor Sosial Ekonomi

Penderita penyakit DBD jika tidak mendapat perawatan yang

memadai dapat mengalami perdarahan yang hebat, syok dan dapat

mengakibatkan kematian. Oleh karena itu semua kasus DBD sesuai

dengan kriteria WHO harus mndapat perawatan di temapt pelayanan

kesehatan ataupun rumah sakit. Keterbatasan perawatan dan

penanganan penderita yang sering terjadi berpengaruh buruk

terhadap pasien.

20

a. Tingkat pendidikan kepala keluarga yang rendah mengakibatkan

rendahnya kepedulian terhadap pencegahan penyakit DBD seperti

mangakibatkan higiene atau sanitasi lingkungan, mengabaikan

gejala- gejala penyakit DBD, terlambat membawa pasien ke

rumah sakit.

b. Demikian pula dengan jenis pekerjaan kepala keluarga, bila

kepala keluarga dapat mengalokasikan waktu yang baik dalam

memperhatikan kebersihan lingkungan disela-sela kesibukan

mencari nafkah, hal ini sangat membantu dalam usaha

pencegahan penyakit DBD. Lingkungan pekerjaan yang

memperhatikan sanitasi/kebersihan akan berpengaruh terhadap

sikap dan perilaku masyarakat di luar lingkungan kerja.

7. Faktor Pemahaman tentang DBD

Rendahnya pemahaman masyarakat desa Seketi tentang penyakit

DBD menyebabkan semakin sulitnya pencegahan tentang penyakit

DBD itu sendiri antara lain meliputi:

a. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit demam berdarah pada

masyarakat desa Seketi yang meliputi gejala-gejala apa saja

yang terjadi pada pasien DBD.

b. Kurangnya pemahaman tentang bahaya akan penyakit Demam

Berdarah sehingga masyarakat kurang mengetahui bahwa

penyakit Demam Berdarah bisa menyebabkan kematian yang

pada akhirnya masyarakat banyak yang memandang penyakit

DBD seperti penyakit ringan yang tidak perlu penanganan segera.

c. Kurangnya pengetahuan tentang tempat perindukan nyamuk

Aedes aegypti sebagai vektor penyakit Demam Berdarah misalnya

kurang memperhatikan kebersihan lingkungan, tidak

melaksanakan program 3M untuk memberantas penyakit DBD. 17

8. Faktor Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Siklus hidup dari nyamuk dari telur-larva-pupa-nyamuk butuh waktu 7-

14 hari, dengan demikian penting untuk memahami siklus hidup

nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat ditentukan saat yang tepat

untuk memberantas larva dan nyamuk dewasa. 17

21

9. Faktor Pelayanan Kesehatan Masyarakat

a. Masih rendahnya pemahaman tentang penyakit DBD menuntut

pelayanan kesehatan masyarakat dan puskesmas antara lain:

Penyuluhan oleh tenaga kesehatan tentang gejala-gejala, tempat

perindukan nyamuk penyebab penyakit DBD, dan bahaya akan

kematian akibat penyakit DBD.

b. Pemberian fogging yang dilakukan oleh petugas kesehatan setiap

ada kasus DBD sampai radius 200 m akan mengurangi penularan

penyakit DBD.

c. Pemberian abate oleh tenaga kesehatan untuk membunuh

larva/jentik nyamuk Demam Berdarah akan mengurangi

perkembangbiakan vektor. 16

Menurut Depkes RI (2010:2), pengurasan tempat-tempat

penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya

seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak di tempat itu.

Pada saat ini telah dikenal pula istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M yang

diperluas. Bila PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka

populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya,

sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi.17

C. Pencegahan Penyakit DBD

1. Pemberantasan Vektor18

Pemberantasan vektor penular (Aedes aegypti dan Aedes

albopictus) merupakan cara utama untuk mengendalikan penyakit

DBD. Hal ini sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh Dinas

Kesehatan Kota Semarang. Hal ini disebabkan karena belum

tersedianya vaksin maupun obat untuk membasmi virusnya.

Pemberantasan vektor dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa

maupun jentiknya

Nyamuk Dewasa

Jentik

Fisik

Biologi

Kimia

Insektisida (fogging)

PSN

22

Cara Pemberantasan Vektor DBD

Gambar 2. Cara Pemberantasan Vektor

a. Pemberantasan Nyamuk Dewasa

Pemberantasan terhadap sarang nyamuk dewasa

dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida / fogging

pada lingkungan rumah penduduk. Hal tersebut dilakukan

berdasarkan kebiasaan nyamuk yang hinggap pada benda-

benda tergantung, karena itu penyemprotan tidak dilakukan

pada dinding rumah dan untuk keamanan maka makanan

yang ada di dalam rumah disimpan ditempat tertutup seperti

lemari agar tidak terkontaminasi insektisida. 19

b. Pemberantasan Jentik Nyamuk

Pemberantasan jentik lebih dikenal dengan istilah PSN

atau Pemberantasan Sarang Nyamuk yang dapat dilakukan

dengan cara :

1) Kimia

Pemberantasan jentik ini menggunakan zat kimia yanitu

dengan mengguanakan insektisida (larvasida) yang lebih

dikenal dengan abate. Larvasida yang digunakan

temephos dengan formulasi 10 gram untuk 100 liter air.

2) Biologi

Pemberantasan biologi yaitu dengan cara memelihara

makhluk hidup yang dapat memakan jentik nyamuk, salah

satu contohnya dengan memelihara ikan di penampungan

air seperti di kolam atau di vas bunga.

23

3) Fisika

Pemberantasan dengan cara fisika lebih dikenal dengan

nama 3M (Menguras, menutup, dan Mengubur).

Pengurasan dilakukan di tempat penampungan air. Hal ini

harus dilakukan minimal seminggu sekali. Penutupan

tempat penampungan air dilakuakn agar nyamuk tidak

dapat masuk kedalam tempat penampungan air untuk

berkembang biak. Mengubur barang bekas yang dapat

menjadi tempat berkembang biak nyamuk seperti ban

bekas, kaleng, dan botol bekas.

4) Terpadu

Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga

cara yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja

sama lintas program maupun lintas sektoral dan peran

serta masyarakat.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit

DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas,

yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras,

menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti

memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida,

menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa,

menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent,

memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll

sesuai dengan kondisi setempat.19

2. Penanggulangan Penyakit DBD

Secra umum, kegiatan pokok penanggulangan penyakit DBD

meliputi langkah-langkah berikut ini :

a. Penemuan dan pelaporan penderita

Petugas keseahatan di puskesmas atau di rumah sakit yang

menemukan penderita DBD atau penderita tersangka DBD harus

segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten agar

segera dilakuakn penyelidikan epidemiologi oleh Dinkes dan

petugas puskesmas dalam kurun waktu 24 jam di lokasi penderita

24

dan rumah sekitarnya (radius 100 m) untuk mengetahui dan

mencegah adanya penularan lebih lanjut.

b. Penanggulangan fokus

Jika dari penyelidikan epidemiologi ditemukan penderita atau

tersangka DBD sekurang-kurangnya 3 orang dengan tanda

demam tanpa sebab yang jelas dan terdapat hasil jentik positif di

tempat tersebut maka dilakukan penyemprotan insektisida atau

fogging. Penyemprotan dilakukan dalam 2 siklus dengan radius

200m dari rumah kasusu dan dilakukan dalam interval 1

minggu.19

c. Pemberantasan vektor intensif

Dilakukan kegiatan fogging bila hasil penyelidikan epidemiologi

memenuhi kriteria dan kegiatan abatisasi di desa atau kelurahan

endemis terutama di sekolah dan tempat-tempat umum. Kegiatan

ini dilakukan selama 1 bulan pada saat sebelum perkiraan

peningkatan jumlah kasus yang ditentukan berdasarkan data

kasus bulanan dalam 5 tahun terakhir. 19

d. Penyuluhan

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang

dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan

keyakinan, sehingga ,asyarakat tidak saja sadar, tahu, dan

mengerti tetapi juga tetapi mau dan bisa melakukan sesuatu yang

dianjurkan yang ada hubungannya dengan kesehatan. Dalam hal

ini kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan adalah tentang

penyakit DBD.

e. Pemantauan jentik berkala (PJB)

Kegiatan pemantauan jentik berkala (PJB) yang dilakukan oleh

juru pemantau jentik (jumatik). Kegiatan ini bertujuan untuk

memantau tingkat kepadatan jentik dari hasil pemeriksaan rumah-

rumah dan tempat-tempat umum. 3

25

Laporan mengenai penderita/tersangka sangat diperlukan agar

kejadian DBD dapat segera ditindak lanjuti dengan penyelidikan

epidemiologi dan penanggulangan untuk membatasi penyebaran enyakit

ini. Tujuan pengamatan penyakit DBD adalah untuk :

1. Memantau situasi penyakit DBD sehingga kejadian wabah/KLB

dapat segera diketahui

2. Menetukan stratifikasi endemisitas penyakit DBD

3. Menentukan musim penularan

4. Mengetahui perkembangan situasi(tren) penyakit, sehingga

program pemberantasan penyakit DBD dapat dijalankan secara

efektif dan efisien. 3

D. Teori Perubahan Perilaku

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Pada umumnya

dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.20 Skinner (1983),

seorang ahli psikologi mengungkapkan bahwa perilkau merupakan respon

atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, perilaku

terjadi melalui proses stimulus terhadap organisme dan direspon oleh

organisme lainnya. Cara lebih rinci perilaku manusia sebenarnya merupakan

refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan,

kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya.21

Lawrence Green mengusulkan perencanaan pendidikan kesehatan

melalui PRECEDE framework (kerangka kerja Precede) dan PROCEED

framework sebagai terapi terhadap perilaku lama. PRECEDE merupakan

akronim Predisposing, Reinforcing and Enabling Constructs in

Educational Diagnosis and Evaluation. Sedangkan PROCEED

merupakan akronim Policy, Regulatory, and Organizational Constructs in

Educational and Environmental Development evaluation. Jika PRECEDE

merupakan proses diagnosis dan perencanaan untuk membantu dalam

pengembangan program kesehatan masyarakat yang terfokus,

PROCEED adalah pedoman dalam pelaksanaan kegiatan dan evaluasi

program yang telah didisain dengan menggunakan Precede.

Menurut teori Green, perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor

pokok, yaitu faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor diluar perilaku

26

(non behaviour causes). Perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang

dirangkum dalam akronim PRECEDE : Predisposing, enabling, dan

reinforcing Cause in Educational an evaluation. Precede ini merupakan

arahan dalam menganalisis atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk

intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Precede merupakan fase

diagnosis masalah sedangkan PROCEED: Policy, Regulatory,

Organizational Construc in Educational and Environmantal,

Development, dan evaluasi pendidikan kesehatan. Apabila Precede

merupakan fase diagnosis masalah maka proceed merupakan pelaksanaan

dan evaluasi promosi kesehatan.22

a. Precede (Predisposing, Reinforcing, Enabling, constructs in Educational/

Enviromental Diagnosis and Evaluation)

PRECEDE terdiri dari lima langkah atau fase. Tahap satu

melibatkan menentukan kualitas hidup atau masalah sosial dan

kebutuhan masyarakat tertentu. Tahap dua terdiri dari mengidentifikasi

faktor-faktor penentu kesehatan dari masalah dan kebutuhan. Tahap

ketiga melibatkan menganalisis faktor-faktor penentu perilaku dan

lingkungan dari gangguan kesehatan. Pada fase empat, faktor-faktor

yang mempengaruhi untuk, memperkuat, dan memungkinkan perilaku

dan gaya hidup diidentifikasi. Tahap lima melibatkan memastikan

yang promosi kesehatan, kesehatan pendidikan dan / atau kebijakan

yang berhubungan dengan intervensi terbaik akan cocok untuk

mendorong perubahan yang diinginkan dalam perilaku atau

lingkungan dan faktor-faktor yang mendukung mereka perilaku dan

lingkungan.

b. Preceed (Policy, Regulatory, and Organizational constructs in

Educational and Environmental Development)

PROCEED terdiri dari empat fase tambahan. Pada fase enam,

intervensi diidentifikasi dalam fase lima dilaksanakan. Tahap tujuh

memerlukan evaluasi proses intervensi. Tahap delapan mencakup

mengevaluasi dampak dari intervensi pada faktor-faktor pendukung

perilaku, dan pada perilaku itu sendiri. Tahap kesembilan dan

terakhir terdiri dari evaluasi hasil yaitu, menentukan efek akhir dari

intervensi pada kesehatan dan kualitas hidup penduduk.

27

Menurut Lawrence W. Green (1980) yang dikutip oleh Notoatmodjo

(2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni :

1. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors)

Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi

terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan

dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan

masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem

nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan dan juga variasi

demografi seperti tingkat sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan

susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu

tersebut. Faktor predisposisi terwujud dalam :

a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses

sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbetuknya

perilaku terbuka (overt behavior).

b. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus

atau obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga

manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap

secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap

stimulus tertentu.

c. Nilai-nilai

Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku

yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri

seseorang.

d. Kepercayaan

Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan

tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu

penyakit yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya.

28

e. Persepsi

Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu

terhadap stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima

oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti

dan merupakan respon yang menyeluruh dalam diri individu. Oleh karena

itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus,

sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan obyek.

2. Faktor-faktor Pemungkin (enabling factors)

Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi

perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan

prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada

hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku

kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut juga faktor-faktor pendukung.

Misalnya : Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, tempat pembuangan air,

tempat pembuangan sampah dan sebagainya.

3. Faktor-faktor Penguat (reinforcing factors)

Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya

perilaku. Kadang - kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku

sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap

dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan

perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga

disini, undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun dari

pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

HEALT PROMOTION

HEALTH EDUCATION

POLICY REGULATION

ORGANIZATION

PREDISPOSING FACTORS:KnowledgeBeliefsValuesAttitudesPerceptions

ENABLING FACTORS:Availability of resourcesAccessibilityReferralsRules or laws,Skills

REINFORCING FACTORS:Attitudes and behavior of Family, peers, teachers, employers, health providers, community leader, decision makers, etc.

BEHAVIOR(actons) of individuals, groups, or communities

ENVIRONMENT

HEALTH

QUALITY OF LIFE

Phase 2Epidemiological diagnosis

Phase 1Social

diagnosis

Phase 3Beehavioral and environmental

diagnosis

Phase 4Educational and organizational

diagnosis

Phase 5Administrative

and policy diagnosis

29

Gambar 2.1 Teori Perubahan Perilaku Green22

Faktor PredisposisiPengetahuan

KeyakinanSikapNilai

Faktor EnablingKetersediaan fasilitas/sarana kesehatanKeterjangkauan fasilitas kesehatanSumber daya

Faktor Reinforcing Teman SebayaPetugas KesehatanKeluarga Peraturan/Kebijakan

Perilaku spesifik

30

E. Kerangka Teori

Keterangan : Menunjukkan hubungan langsung

Menunjukkan akibat sekunder

Gambar 2.2 Aplikasi Teori Green untuk Penelitian “Perilaku 3M Plus Ibu Rumah

Tangga dalam Pencegahan Demam Berdarah di Perumnas Karangjati Kab.

Blora”

Faktor PredisposingKarakteristikUmur Pekerjaan Pendidikan Penghasilan keluargaPengetahuan tentang DBD & 3M PlusSikap tentang 3M PlusPraktek tentang 3M Plus

Faktor EnablingKetersediaan informasi tentang PSN DBD Keterjangkauan informasi tentang PSN DBD

PERILAKU 3M PLUS IBU RUMAH TANGGA

Faktor ReinforcingDukungan dari Suami Dukungan dari tetangga Dukungan dari petugas Jumantik Dukungan dari Tokoh Masyarakat

31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka konsep yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

32

B. Hipotesa Penelitian

1. Ada hubungan Pengetahuan tentang demam bedarah dengan Perilaku

3M Plus Ibu rumah tangga

2. Ada hubungan usia Ibu RumahTangga dengan perilaku 3M Plus Ibu

rumah tangga

3. Ada hubungan Pekerjaan ibu rumah tangga dengan Perilaku 3M Plus

ibu rumah tangga

4. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu rumah tangga dengan perilaku

3M Plus Ibu Rumah tangga

5. Ada hubungan Penghasilan Keluarga dengan perilaku 3M Plus ibu

rumah tangga

6. Ada hubungan Sikap Ibu rumah tangga dengan Perilaku 3M Plus ibu

rumah tangga

7. Ada hubungan Ketersediaan informasi mengenai demam berdarah

dengan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga

8. Ada hubungan keterjangkauan informasi dengan perilaku 3M plus ibu

rumah tangga

9. Ada hubungan dukungan dari suami dengan perilaku 3M Plus Ibu

rumah tangga

10. Ada hubungan dukungan dari tetangga dengan perilaku 3M Plus Ibu

rumah tangga

11. Ada hubungan dukungan dari petugas Jumantik dengan perilaku 3M

plus ibu rumah tangga

12. Ada hubungan dukungan dari tokoh masyarakat dengan perilaku 3M

plus ibu rumah tangga

C. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan termasuk penelitian analitik karena

menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara dua variable. Sedangkan

menurut pendekatannya, penelitian ini merupakan penelitian cross sectional

dimana penelitian ini tidak melaksanakan intervensi dan hanya melakukan

pengamatan sewaktu. 23

33

Pendekatan cross sectional adalah pendekatan penelitian dimana

pengamatan dilakukan dalam satu waktu atau periode tertentu dengan ciri

setiap subjek hanya diamati satu kali saja atau mengadakan pengamatan

sekali saja terhadap bebrapa variabel dalam satu waktu yang bersamaan. 24

Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data dengan wawancara

menggunakan kuesioner dan lembar observasi kepada ibu rumah tangga di

Perumnas Karangjati Blora.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan subyek penelitian.25

Populasi adalah keseluruhan subyek yang diteliti atau individu yang

menjadi acuan hasil – hasil penelitian akan berlaku atau diberlakukan,

dan karakteristiknya akan diukur.

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga

Perumnas Karangjati Blora, yang berjumlah 641 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari subyek atau wakil populasi yang

akan diteliti. Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan

random sampling, yakni setiap satuan sampling yang ada dalam

populasi mempunyai peluang sama untuk dipilih dalam sampel.26 yaitu

ibu rumah tangga Perumnas Karangjati Blora.

Pengambilan sampel secara acak merupakan metode

pemilihan sampel dimana setiap anggota poulasi memiliki peluang

yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel karena anggota

populasi dianggap homogen. Pengambilan sampel acak sederhana

dapat dilakukan dengan cara undian, memilih bilangan dari daftar

bilangan secara acak. 27

Selanjutnya, penentuan jumlah sampel yang dianggap

representatif,yaitu menggunakan rumus jumlah sampel minimum

(Yamane, 1967) sebagai berikut :

34

n= N

N d2+1

Keterangan :

N = Jumlah populasi (641 KK)

n = Jumlah sampel minimal

d = Tingkat kesalahan (0,1)

Maka atas dasar rumus tersebut menggunakan tingkat presisi

90%, dan tingkat kesalahan 10%, maka diperoleh sampel minimum

yaitu :

n= N

N d2+1

n= 6417,41

n=86,5

n=87

Jumlah sampel minimum yang diperoleh akan diasosiasikan secara

proposional.

¿= ¿N×n

Keterangan :

ni = Jumlah sampel pada masing RT

Ni = Jumlah populasi pada masing-masing RT

N = Jumlah populasi RT secara keseluruhan

n = Jumlah sampel dari populasi

35

Tabel 3.1 Penarikan sampel

Perumnas

KarangjatiRT Populasi Sampel

RW 05

01 87 12

02 45 6

03 78 11

04 64 9

05 83 11

06 87 12

07 66 8

08 53 7

09 78 11

641 KK 87

Adapun sampel dipilih berdasarkan pertimbangan peneliti kriteria

tertentu, yaitu :

Kriteria inklusi :

a. Bersedia menjadi responden

b. Ibu rumah tangga tidak dalam keadaan cacat mental

Kriteria eksklusi :

a. Responden mengalami sakit berat

b. Responden tidak dapat di temui atau pindah alamat

Secara teknis pengambilan sampel dalam penelitian ini

dilakukan dengan melakukan perhitungan sampel minimal kemudian

setelah mendapatkan jumlah sampel dilakukan hitungan proporsi dari

masing – masing RT. Selanjutnya setelah didapatkan jumlah proporsi

dilakukan simple random sampling dengan melakukan undian untuk

mendapatkan sampel ibu rumah tangga. Disini peneliti menyediakan

sampel atau responden cadangan, dimana digunakan apabila salah

satu responden tidak dapat ditemui dalam beberapa kali.

36

3. Variabel Penelitian

Variabel dalam suatu penelitian adalah komponen atau faktor

yang berkaitan satu sama lain dan telah di inventarisasi lebih dulu

dalam variabel peneletian. Variabel tersebut dapat bersifat bebas

(independen) atau terikat (dependent) dan dapat pula berupa variabel

lain yang ikut mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan

variabel terikat, seperti variabel penghubung, variabel pra kondisi, dan

pendahulu. 26

1. Variabel Terikat

Yang dimaksud dengan variabel terikat dalam penelitian ini

adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena

variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah Perilaku

3M Plus Ibu Rumah Tangga

2. Variabel Bebas

Yang dimaksud variabel bebas dalam penelitian ini adalah

variabel yang menjadi penyebab timbulnya atau berubahnya

variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini antara lain :

a. Usia Ibu rumah tangga

b. Pendidikan Ibu Rumah Tangga

c. Pekerjaan Ibu Rumah Tangga

d. Penghasilan Keluarga

e. Pengetahuan Ibu rumah Tangga tentang DBD

f. Sikap ibu rumah tangga terhadap 3M Plus

g. Ketersediaan Informasi PSN DBD

h. Keterjangkauan informasi PSN DBD

i. Dukungan suami

j. Dukungan tetangga

k. Dukungan Petugas Jumantik

l. Dukungan Tokoh Masyarakat

37

4. Definisi Operasional dan Skala Data

No VariabelDefinisi

Operasional

Indikator /

KategoriSkala

1. Usia Ibu

Rumah tangga

Lama hidup

responden yang

dihitung sejak lahir

sampai dengan

ulang tahun terakhir

saat pengumpulan

data

Kategori :

a. < 20

b. 20-30

c. 31-40

d. >40

Rasio

2. Pekerjaan Ibu

rumah tangga

Kegiatan yang

dilakukan

responden untuk

menghasilkan

penghasilan

a. Ibu Rumah

tangga

b. PNS

c. Wiraswasta

d. Karyawan

swasta

e. Lainnya…….

Nominal

3. Pendidikan Ibu

Rumah

Tangga

Jenjang tingkat

pendidikan formal

terakhir yang

dimiliki responden

a. Kategori

rendah : SD-SMP

b. Kategori

sedang : SMA-

akademi

c. Kategori tinggi :

>akademi

Ordinal

4. Penghasilan

Keluarga

Jumlah nominal

yang diperoleh

responden rata –

rata dalam sebulan

untuk mencukupi

kebutuhan

a. Kategori tinggi :

> Rp 991.500,-

b. Kategori

rendah : ≤ Rp

991.500,-

Nominal

38

5. Pengetahuan

Tentang PSN

DBD

Kemampuan

responden dalam

mengetahui tentang

PSN DBD

Scoring adalah :

Bila jawaban tahu :

1

Bila jawaban tidak

tahu : 0

Cara penilaian :

Jika data

berdistribusi

normal, maka

menggunakan

mean :

Baik : Jika nilai

skor ≥ mean

Kurang : Jika nilai

skor < mean

Jika data

berdistribusi tidak

normal, maka

menggunakan

median

Baik : jika nilai

skor ≥ median

Kurang : jika nilai

skor < median

Ordinal

6. Sikap tentang

PSN DBD

Respon atau reaksi

dari responden

terhadap PSN DBD

Skoring :

Bila jawaban

peduli : 1

Bila jawaban tidak

peduli : 0

Cara penilaian :

Jika data

berdistribusi

normal, maka

menggunakan

mean :

Baik : Jika nilai

skor ≥ mean

Kurang : Jika nilai

skor < mean

Ordinal

39

Jika data

berdistribusi tidak

normal, maka

menggunakan

median

Baik : jika nilai

skor ≥ median

Kurang : jika nilai

skor < median

7. Ketersediaan

informasi

tentang PSN

DBD

Berbagai jenis

Informasi yang

memudahkan

responden untuk

melakukan PSN

DBD

Cara penilaian :

Jika data

berdistribusi

normal, maka

menggunakan

mean :

Baik : Jika nilai

skor ≥ mean

Kurang : Jika nilai

skor < mean

Jika data

berdistribusi tidak

normal, maka

menggunakan

median

Baik : jika nilai

skor ≥ median

Kurang : jika nilai

skor < median

Nominal

40

8. Keterjangkaun

informasi

tentang PSN

DBD

Kemudahan

responden untuk

dapat mendapatkan

informasi tentang

PSN DBD

Cara penilaian :

Jika data

berdistribusi

normal, maka

menggunakan

mean :

Baik : Jika nilai

skor ≥ mean

Kurang : Jika nilai

skor < mean

Jika data

berdistribusi tidak

normal, maka

menggunakan

median

Baik : jika nilai

skor ≥ median

Kurang : jika nilai

skor < median

Ordinal

10 Dukungan dari

suami

Merupakan respon

atau tanggapan dari

pihak suami berupa

kesadaran,

kesepakatan, dan

kerjasama

Skoring adalah :

Bila jawaban

mendukung : 1

Bila jawaban tidak

mendukung :0

Cara penilaian :

Jika data

berdistribusi

normal, maka

menggunakan

mean :

Baik : Jika nilai

skor ≥ mean

Kurang : Jika nilai

skor < mean

Jika data

Ordinal

41

berdistribusi tidak

normal, maka

menggunakan

median

Baik : jika nilai

skor ≥ median

Kurang : jika nilai

skor < median

11 Dukungan

Tetangga

Merupakan respon

atau tanggapan dari

pihak tetangga

berupa kesadaran,

kesepakatan, dan

kerjasama

Skoring adalah :

Bila jawaban

mendukung : 1

Bila jawaban tidak

mendukung :0

Cara penilaian :

Jika data

berdistribusi

normal, maka

menggunakan

mean :

Baik : Jika nilai

skor ≥ mean

Kurang : Jika nilai

skor < mean

Jika data

berdistribusi tidak

normal, maka

menggunakan

median

Baik : jika nilai

skor ≥ median

Kurang : jika nilai

skor < median

Ordinal

12 Dukungan dari

pihak Jumantik

Merupakan respon

atau tanggapan dari

pihak Jumantik

Cara Penilaian :

Baik jika nilai skor

≥mean

Ordinal

42

berupa kesadaran,

kesepakatan, dan

kerjasama

Skoring adalah :

Bila jawaban

mendukung : 1

Bila jawaban tidak

mendukung :0

Kurang : Jika nilai

skor ≤ mean Cara

penilaian :

Jika data

berdistribusi

normal, maka

menggunakan

mean :

Baik : Jika nilai

skor ≥ mean

Kurang : Jika nilai

skor < mean

Jika data

berdistribusi tidak

normal, maka

menggunakan

median

Baik : jika nilai

skor ≥ median

Kurang : jika nilai

skor < median

13 Dukungan dari

tokoh

masyaratak

Merupakan respon

atau tanggapan dari

pihak tokoh

masyarakat berupa

kesadaran,

kesepakatan, dan

kerjasama

Skoring adalah :

Bila jawaban

mendukung : 1

Cara penilaian :

Jika data

berdistribusi

normal, maka

menggunakan

mean :

Baik : Jika nilai

skor ≥ mean

Kurang : Jika nilai

skor < mean

Ordinal

43

Bila jawaban tidak

mendukung :0 Jika data

berdistribusi tidak

normal, maka

menggunakan

median

Baik : jika nilai

skor ≥ median

Kurang : jika nilai

skor < median

5. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Data Primer

Pengumpulan data ini dilakukan dengan wawancara pada sampel

dan penyebaran kuesioner terstruktur yang meliputi karakteristik

responden, pengetahuan responden tentang 3M plus, Sikap responden

tentang 3M Plus, Ketersediaan informasi tentang 3M Plus, Dukungan

suami, dukungan tetangga, dukungan petugas pemantau jentik,

dukungan tokoh masyarakat. Wawancara adalah suatu metode yang

digunakan pada pengumpulan data dimana peneliti mendapat

keterangan langsung dari subyek penelitian. Wawancara dilaksanakan

dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebagai pedoman

dalam wawancara dan menggunakan alat tulis. Pengumpulan data ini

dilakukan dengan wawancara pada responden ibu rumah tangga di

Perumnas Karangjati Blora.

b. Data Sekunder

Data yang digunakan sebagai informasi pendukung dan juga data

pembantu yang diambil dari sumber-sumber data yang telah ada pada

literatur. Data pendukung dalam penelitian ini diperoleh dari hasil

pencatatan kesehatan yang terdapat pada Dinas Kesehatan Kab blora.

Selain itu juga didapatkan data pembantu dengan mengambil referensi

44

yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Literatur yang

diambil didapat dari beberapa buku dan penelusuran artikel ilmiah

elektronik melalui internet.

6. Instrumen Penelitian dan Pengumpulan Data

Instrumen penelitian digunakan sebagai alat bantu penelitian guna

mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data. Alat bantu tersebut

berupa:

1. Kuisioner untuk memperoleh data karakteristik responden, data

terkait seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan dan faktor-faktor

yang berhubungan dengan perilaku 3M ibu rumah tangga. Sebelum

turun kelapangan untuk melakukan pengambilan data, terlebih

dahulu dilakukan uji kuisioner kapada 30 ibu rumah tangga yang

memiliki kesamaan kriteria dengan responden penelitian.

2. Alat tulis untuk mencatat hasil wawancara.

3. Kamera untuk mendokumentasikan kegiatan.

4. Perangkat komputer beserta sofeware untuk mengolah dan

menganalisis data.

Sedangkan cara pengumpulan data dalam penelitian ini dapat diuaraikan

sebagai berikut :

1. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada responden dalam penelitian ini adalah

Ibu rumah tangga dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan

pertanyaan.

2. Dokumen

Dokumen data sekunder untuk mengetahui profil Perumnas Karangjati

Blora.

7. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data

Data yang terkumpul dari hasil wawancara dan observasi diolah

dengan menggunakan alat perangkat lunak yaitu dengan

menggunakan program SPSS versi 11.5. Adapun langkah-langkah

dalam pengolahan data adalah sebagai berikut :

a. Editing

45

Merupakan kegiatan pemeriksaan ulang atas kelengkapan,

kejelasan serta konsistensi dari seluruh jawaban yang diberikan

responden dalam kuesioner dan pengisian lembar observasi.

b. Coding

Memberikan kode untuk masing-masing data atau variabel untuk

memudahkan pengolahan dan analisis data.

c. Entry

Merupakan kegiatan memasukkan data ke komputer untuk

keperluan pengolahan dan analisis data.

d. Tabulating

Merupakan proses pengelompokan data berdasarkan variabel yang

diteliti, biasanya disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.28

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara univariat

untuk menggambarkan variabel bebas yaitu usia, pekerjaan,

pendidikan, pendapatan keluarga, pengetahuan tentang PSN DBD,

sikap tentang PSN DBD, Ketersediaan informasi tentang PSN DBD,

Keterjangkauan informasi tentang PSN DBD, Dukungan suami,

dukungan tetangga, dukungan petugas pemantau jentik, dukungan

tokoh masyarakat dan variabel terikat yaitu perilaku 3M Plus ibu

rumah tangga. Hasil disajikan dalam bentuk Tabel dan narasi dari

variabel yang diteliti.

b. Analisis Bivariat

Uji Chi Square.

Adalah uji statistik yang digunakan untuk menguji

signifikasi hubungan antara dua kelompok yang independent atau

lebih. Uji ini digunakan apabila data penelitian yang dimiliki dalam

bentuk frekuensi-frekuensi yang dikelompokkan dalam skala

nominal atau ordinal.

Uji chi Square dalam penelitian ini digunakan untuk

menjawab berbagai hipotesis alternatif yang telah disebutkan

sebelumnya, dengan menggunakan program SPSS 11.5

46

Interpretasi:

Ho ditolak, Ha diterima bila Pvalue ≥ 0,05

Ho diterima, Ha ditolak bila Pvalue ≤ 0,05. 29

E. Jadwal Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan jadwal seperti pada tabel berikut:

Tabel Rencana dan Jadwal Penelitian

Kegiatan

Bulan

Des Jan

Fe

b Mar Apr Mei Jun Jul

Ag

s

Pembuatan

proposal,

bimbingan

dan

persiapan

seminar                  

xSeminar

proposal                  

Revisi dan

pengambila

n data                  

Analisis

data dan

konsultasi                  

Pembuatan

laporan dan

seminar

hasil                  

Ujian                  

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.

In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati. Ilmu

Penyakit Dalam. Jakarta, Indonesia; 2006.p. 1709-13.

2. Kemenkes RI. 2012. Kasus DBD Indonesia Masih Tertinggi di

Dunia.[online]http://news.okezone.com/read/2012/06/15/340/647934/kasu

s-dbd-indonesia-masihtertinggi-di-dunia [diakses 27 September 2013].

3. WHO. 2012. Dengue: guideline for diagnosis, treatment, prevention and

control. Geneva: WHO Press.

4. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. Atlanta:

Centers for Disease Control and Preventation [Internet]. c2010 [cited

2011 Dec 12]. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/

epidemiology/index.html.

5. World Health Organization South-East Asia Region. Situation Update

Of Dengue In The SEA Region, 2010. World Health Organization

South-East Asia Region [Internet]. c2010 [cited 2011 Sep 28].

Available from:

http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Dengue_update_SEA_2010.p

df.

6. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Buletin Jendela

Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Vol. 2. Jakarta: Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. c2010 [cited 2011 Oct

25]. Available from:

http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN

%20DBD.pdf.

7. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang

2009 [Internet]. c2010 [cited 2011 Sep 27]. Available from:

48

http://www.dinkeskotasemarang.go.id/download/profil_kesehatan_2009.p

df.

8. Dinkes Jawa Tengah. 2012. Profil Kesehatan Prov Jateng Tahun 2012.

Semarang: Dinas Kesehatan Kota

9. Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, P2 DKK Blora 2013, Blora

10. Dinas Kesehatan Kota Blora. Data Endemisitas DBD 2009-2011. Blora:

Dinas Kesehatan Blora; 2013.

11. Puskesmas Blora, P2 Puskesmas Blora 2013, Blora

12. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, P2 DKK Blora 2013, Blora

13. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka

Cipta; 2007.p. 58-179.

14. Setyobudi, Agus, 2011.

15. Rochman, Abdul., 2004. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Praktik

Ibu Rumah Tangga dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam

Berdarah Dengue (PSNDBD) Di Desa Plesungan Kecamatan

Gondangrejo Kabupaten Karanganyar Tahun 2004.

16. Depkes RI., 1998. Kepemimpinan wanita. Jakarta.

17. Anisati. 2008. Peran media massa terhadap perilaku ibu dalam upaya

pencegahan demam berdarah dengue pada rumah tangga di kota

Yogyakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan6:210-215

18. Depkes RI, 2010, Penemuan Dan Tatalaksana Penderita Demam

Berdarah Dengue, Jakarta: Depkes RI

19. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan.

Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di

Indonesia , Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2010.

20. World Health Organization Panduan lengkap Pencegahan &

Pengendalian Dengue & Demam Berdarah Dengue. Jakarta: EGC;

2005.p. 63-77.

21. Depkes RI, 2010, Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah

Dengue, Jakarta: Depkes RI.

22. Notoatmaja, S, 2003, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Kesehatan. Yogyakarta:Andi Ofset.

23. Nana Syaodih Sukmadinata, 2008, Metode Penelitian Pendidikan,

Bandung: Remaja Rosdakarya

49

24. Khorsandi, F, Hidarnia, A, Faghihzades, S, Ghobadzadeh, M. 2012. The

Effect Of Precede Proceed Model Combined With The Health Belief

Model And The Theory Of Self-Efficacy To Increase Normal Delivery

Among Nulliparous. Procedia: Social and Behavioral Sciences.

25. Moleong LJ. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:

Remaja Rosdakarya. 2007

26. Y, Slamet. Analisis Data Kualitatif Untuk Data Sosial. Solo : Dabora

Publisher. 1993

27. Notoatmojo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT

Reineka Cipta. 2002

28. Murti B. Desain Dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kualitatif Dan

Kuantitatif Di Bidang Kesehatan. Jakarta: Gadjah Mada University Press.

2006

29. Notoatmodjo S. 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

30. Herdiansyah, H. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba

Humanika. 2010

31. Murti B. 2006. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan

kualitatif di bidang kesehatan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.