sintesis dan karakterisasi surfaktan alkil...
Post on 20-Jan-2020
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SINTESIS DAN KARAKTERISASI
SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG)
UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR)
SKRIPSI
CHINTA PERMATASARI SUPIANDI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
SINTESIS DAN KARAKTERISASI
SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG)
UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR)
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
CHINTA PERMATASARI SUPIANDI
11140960000078
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
ABSTRAK
CHINTA PERMATASARI SUPIANDI. Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan
Alkil Poliglikosida (APG) untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery (EOR).
Dibimbing oleh DEDE SUKANDAR dan AGNESYA PUTRI G.
Enhanced Oil Recovery (EOR) merupakan tahapan ketiga dari produksi minyak
bumi yang bertujuan meningkatkan perolehan minyak bumi. Salah satu teknik yang
dapat dilakukan adalah chemical flooding. Surfaktan alkil poliglikosida (APG)
merupakan salah satu surfaktan yang dapat diaplikasikan pada proses EOR.
Surfaktan disintesis menggunakan fatty alcohol (C12), D-glukosa, katalis para
toluene sulfonic acid (PTSA) dengan konsentrasi katalis 0,5, 1, 1,25 dan 1,5% serta
variasi purging N2 dan non purging N2. APG dikarakterisasi menggunakan fourier
transform infra red (FTIR), uji kompatibilitas, interfacial tension (IFT), stabilitas
termal, pH dan kelakuan fasa. Uji FTIR menunjukkan adanya uluran CH pada
bilangan gelombang 2.924,09 cm-1, gugus OH pada bilangan gelombang 3.373,50
cm-1 dan puncak peregangan C-O-C yang lemah pada bilangan gelombang 1.714,42
cm-1. Hasil uji kompatibilitas dan stabilitas termal yaitu kompatibel terhadap air
formasi dan stabil pada kondisi termal, nilai pH 10, uji kelakuan fasa terbentuk
emulsi fasa tengah. Nilai IFT yang dihasilkan pada non purging N2 dengan
konsentrasi surfaktan 0,5 dan 2%, menunjukkan konsentrasi optimum pada formula
A3X yaitu konsentrasi katalis 1,25% dengan nilai IFT berturut-turut sebesar 0,0125
mN/m dan 0,0092 mN/m. Penggunaan purging N2 dengan konsentrasi surfaktan
0,5% menunjukkan konsentrasi optimum pada formula A4Y yaitu konsentrasi
katalis 1,5% dengan nilai IFT sebesar 0,0009 mN/m. Sedangkan penggunaan
purging N2 pada konsentrasi surfaktan 2% menunjukkan konsentrasi optimum pada
formula A1Y dengan nilai IFT sebesar 0,0008 mN/m.
Kata Kunci: Alkil poliglikosida (APG), EOR, IFT, surfaktan
ABSTRACT
CHINTA PERMATASARI SUPIANDI. Synthesis and Characterization of Alkyl
Polyglycoside (APG) Surfactants for Enhanced Oil Recovery (EOR) Applications.
Guided by DEDE SUKANDAR and AGNESYA PUTRI G.
Enhanced Oil Recovery (EOR) is the third stage of petroleum production that aims
to increase petroleum production. One technique that can be done is chemical
flooding. Alkyl polyglycoside (APG) surfactant is one of the surfactants that can be
applied to the EOR process. Surfactants are synthesized using fatty alcohol (C12),
D-glucose, catalysts for toluene sulfonic acid (PTSA) with catalyst concentrations
of 0,5, 1, 1,25 and 1,5% as well as variations in purging N2 and non purging N2.
APG was characterized using fourier transform infra red (FTIR), compatibility test,
interfacial tension (IFT), thermal stability, pH and phase behavior. The FTIR test
showed a CH stretching at wave number 2.924,09 cm-1, OH group at wave number
3.373,50 cm-1 and stretching vibration C-O-C at wave number 1.714,42 cm-1. The
results of thermal compatibility and stability test are compatible with formation
water and stable in thermal conditions, pH value 10, phase behavior test formed
middle phase emulsion. The IFT value produced on non-purging N2 with a
concentration of 0,5 and 2% surfactant, showed the optimum concentration in the
A3X formula namely 1,25% catalyst concentration with an IFT value of 0,0125
mN/m and 0,0092 mN/m respectively. The use of purging N2 with a 0.5% surfactant
concentration showed the optimum concentration in the A4Y formula, namely the
concentration of 1,5% catalyst with an IFT value of 0,0009 mN / m. While the use
of N2 purging at a 2% surfactant concentration shows the optimum concentration
in the A1Y formula with an IFT value of 0,0008 mN / m.
Keywords: Alkyl polyglycosides (APG), EOR, IFT, surfactants
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wassalam serta kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga
akhir zaman. Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) untuk
Aplikasi Enhanced Oil Recovery (EOR)”.
Skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa ada pihak-pihak yang
terus menerus memberikan bimbingan, dukungan dan saran kepada penulis. Oleh
sebab itu tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Pembimbing I sekaligus Ketua Program
Studi Kimia di Fakultas Sains dan Teknologi yang telah memberikan arahan
serta semangat yang diberikan dalam membimbing penulis selama proses
penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Agnesya Putri Gustianthy, M.Si selaku Pembimbing II yang telah membantu
penulis selama penelitian, memberikan arahan, kritik dan saran serta telah
meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan dukungan semangat
kepada penulis.
3. Dr. Siti Nurbayti, M.Si dan Isalmi Aziz, MT selaku Penguji I dan II yang telah
banyak memberikan saran serta masukan yang bermanfaat untuk skripsi ini.
4. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vii
5. Segenap dosen Program Studi Kimia atas ilmu pengetahuan dan pengalaman
hidup yang dengan ikhlas diajarkan dan diberikan kepada penulis.
6. Orang tua dan keluarga tercinta H. Irwan E Supiandi dan Hj. Ida Widyawati
yang senantiasa mengirimkan doa, selalu berusaha membangkitkan semangat
dan selalu mendukung baik moril maupun materil. Tak lupa kepada kakanda
Widya Permatasari Supiandi S.Sy dan adinda Citra Permatasari Supiandi yang
senantiasa memberikan dukungan dan semangat.
7. Kak Nita, Kak Adim, Kak Vivi, Kak Eva, Kak Elsa, Kak Fuad, dan Mas Syaiful
yang telah membantu penulis selama penelitian.
8. Sahabat-sahabat tercinta Ambar, Nurlathifah, Lucyta, Fauziyah, Afriana, Isni,
Isti, Dhiya dan Hanif yang selalu memberikan kebahagiaan serta kebersamaan
kepada penulis selama kuliah dan dalam berjuang menyusun skripsi.
9. Pertamina Research and Technology Center, khususnya Laboratorium Kimia
dan Lingkungan serta Laboratorium Kimia Fakultas Teknik Universitas
Indonesia.
10. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.
Jakarta, Maret 2019
Penulis
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Skema proses produksi minyak bumi ............................................ 8
Gambar 2. Proses thermal recovery ................................................................. 10
Gambar 3. Proses gas injection ........................................................................ 10
Gambar 4. Proses chemical flooding ................................................................. 11
Gambar 5. Crude Oil lapangan X................................................................. ..... 12
Gambar 6. Air formasi ...................................................................................... 13
Gambar 7. (a).Struktur molekul surfaktan; (b).Struktur molekul surfaktan
didalam air ....................................................................................... 15
Gambar 8. Proses APG sintesis satu tahap ........................................................ 18
Gambar 9. Reaksi pembentukan butanolisis ..................................................... 18
Gambar 10. Reaksi pembentukan alkil poliglikosida ........................................ 19
Gambar 11. Pembentukan hemiasetal oleh aldehid dan alkohol ....................... 22
Gambar 12. Struktur pembentukan asetal dari D-glukosa................................. 22
Gambar 13. Elongated droplet minyak dalam tabung berisi larutan surfaktan
yang diputar .................................................................................... 27
Gambar 14. Phase behaviour berdasarkan sistem Winsor ................................ 29
Gambar 15. Diagram alir sintesis ...................................................................... 32
Gambar 16. Mekanisme reaksi butanolisis ........................................................ 40
Gambar 17. Mekanisme reaksi transasetalisasi ................................................. 41
Gambar 18. Hasil sintesis APG tahap transasetalisasi ...................................... 42
Gambar 19. Hasil sintesis alkil poliglikosida (APG) ........................................ 44
Gambar 20. Spektrum FTIR alkil poliglikosida ................................................ 45
xii
Gambar 21. Kompatibilitas surfaktan APG....................................................... 43
Gambar 22. Perbandingan formulasi surfaktan APG dengan konsentrasi 0,5%
dan 2% pada penggunaan non purging N2 ..................................... 50
Gambar 23. Perbandingan formulasi surfaktan APG dengan konsentrasi 0,5%
dan 2% pada penggunaan purging N2 ............................................ 57
Gambar 24. Analisis kelakuan fasa pada konsentrasi surfaktan 0,5% pada
formula A2Y .................................................................................. 58
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik Crude Oil ....................................................................... 13
Tabel 2. Karakteristik air formasi...................................................................... 14
Tabel 3. Reaksi kimia terhadap fatty alcohol dan hasilnya ............................... 20
Tabel 4. Bilangan gelombang spektrum FTIR .................................................. 25
Tabel 5. Karakteristik surfaktan APG dari jenis alkohol lemak C12
dengan pengujian FTIR ....................................................................... 46
Tabel 6. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji kompatibilitas .............. 47
Tabel 7. Nilai pH formulasi surfaktan APG 0.5% dan 2% ............................... 53
Tabel 8. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji stabilitas termal
(kualitatif) ............................................................................................ 55
Tabel 9. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji stabilitas termal
(kuantitatif) ......................................................................................... 55
Tabel 10. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji kelakuan fasa .............. 57
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Reaktor dan destilasi yang digunakan ............................................. 66
Lampiran 2. Alat instrumen yang digunakan ...................................................... 66
Lampiran 3. Hasil uji sintesis APG tahap netralisasi .......................................... 66
Lampiran 4. Formulasi surfaktan alkil poliglikosida .......................................... 67
Lampiran 5. Hasil uji karakterisasi kompatibilitas ............................................. 67
Lampiran 6. Hasil uji karakterisasi stabilitas termal ........................................... 68
Lampiran 7. Hasil uji karakterisasi kelakuan fasa............................................... 68
Lampiran 8. Hasil uji karakterisasi FTIR ............................................................ 70
Lampiran 9. Hasil uji pengukuran IFT ................................................................ 72
Lampiran 10. Hasil perhitungan bahan baku........................................................72
Lampiran 11. Data perhitungan IFT menggunakan instrumen spinning drop
tensiometer .................................................................................... 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minyak bumi merupakan sumber daya alam yang memberikan kontribusi
penting dalam kehidupan manusia. Terdapat beberapa teori mengenai pembentukan
minyak bumi, salah satunya yaitu teori organik mengenai terjadinya minyak bumi
yang diajukan oleh Engler pada tahun 1911, yang menyebutkan bahwa minyak
bumi dan gas alam terbentuk dari beraneka jasad organik seperti hewan dan
tumbuhan yang mati dan tertimbun endapan pasir dan lumpur, hingga mengendap
jutaan tahun didasar lautan (Hardjono, 2000).
Berdasarkan Qur’an Surah Al-ala (1-5) yang berbunyi :
Artinya : Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Yang menciptakan dan
yang menyempurnakannya dan yang menentukan lalu menunjukkan.
Dan yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Lalu dijadikannya tumbuh-
tumbuhan itu kering kehitam-hitaman. (Q.S Al-a’la [87:1-5 )
Menurut Depag RI (2009), berdasarkan ayat ke-5 surah Al-a’la terdapat kata
Ghutsaa-an yang berarti seperti buih yaitu mendidihnya sesuatu pada sesuatu yang
lain. Ahwa berarti gelap atau hitam kehijauan. Merujuk pada ayat sebelumnya yaitu
2
ayat 4, bahwa Allah telah menumbuhkan rumput-rumputan yang bercampur dengan
daun dan sampah yang busuk. Mengendap didasar bumi dan tertutup lumpur, yang
lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh tekanan dan lapisan
diatasnya. Kemudian bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik tersebut
menjadi minyak dan gas disebabkan meningkatnya suhu dan tekanan sehingga
terbentuknya minyak bumi yang berwarna hitam kental.
Kebutuhan akan minyak bumi di dunia khususnya di Indonesia selalu
meningkat tiap tahunnya. Hal ini tidak sebanding dengan hasil produksi minyak
yang semakin lama semakin menurun. Berdasarkan Renstra ESDM tahun 2015-
2019, sejak tahun 2010 sampai dengan 2014 terjadi penurunan produksi rata-rata
sekitar 4,41% per tahun. Puncak produksi minyak di Indonesia terjadi sebanyak 2
kali yaitu pada tahun 1977 dan 1995 dimana produksi minyak bumi masing-masing
sebesar 1,68 juta barel per day (bpd) dan 1,62 juta bpd. Rendahnya kemampuan
produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena sumur-sumur minyak
Indonesia yang umumnya merupakan lapangan tua (mature fields), yang mana
lapangan tua tersebut telah melewati masa puncak produksi, dimana proses
produksi minyak yang dilakukan masih pada tahap primary recovery.
Produksi minyak sumur reservoir melalui primary recovery diperoleh
sekitar 20-40% dari potensi minyak yang ada, dan karenanya masih terdapat 60-
80% minyak yang tersisa di reservoir (Abidin et al., 2012). Upaya peningkatan
produksi dan perolehan minyak dapat dilakukan dengan usaha pengurasan tahap
lanjut (secondary recovery). Usaha tersebut diantaranya dengan menginjeksikan
air, yang ditujukan untuk mempertahankan tekanan reservoir dan mendorong
minyak tersisa setelah tahap awal pengurasan. Namun, proses injeksi air tersebut,
3
masih menyisakan minyak di dalam reservoir kurang lebih sebanyak 50-70% OOIP
(Original Oil In Place) (Abidin et al., 2012). Oleh sebab itu, diperlukan metode
perolehan kembali minyak bumi tahap lanjut atau dikenal dengan istilah Enhanced
Oil Recovery (EOR).
Teknik dalam EOR diklasifikasikan berdasarkan tiga kategori yaitu thermal
flooding, gas injection dan chemical flooding. Namun, berdasarkan beberapa
penelitian dilaporkan bahwa teknik thermal flooding dan gas injection tidak cocok
diaplikasikan di lapangan minyak bumi Indonesia karena terkendala oleh sumber
bahan/energi yang digunakan diantaranya sumber panas dan letak reservoir yang
jauh dari cadangan gas CO2 (Naqvi, 2012). Salah satu teknologi EOR yang banyak
dilakukan adalah chemical flooding. Pada chemical flooding, bahan kimia
diinjeksikan ke dalam reservoir guna meningkatkan efisiensi perolehan minyak
bumi. Bahan kimia yang umumnya digunakan pada chemical flooding adalah
surfaktan, polimer, dan alkali.
Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk aplikasi chemical
flooding dengan menggunakan bahan kimia alkali, polimer dan surfaktan. Naqvi
(2012) melaporkan bahwa senyawa alkali dapat digunakan untuk mengubah asam
yang terkandung dalam minyak bumi sehingga produksi minyak bumi meningkat.
Namun, penggunaan senyawa alkali pada carbonate reservoir dapat menyebabkan
pembentukan kalsium hidroksida, akibat reaksi antara senyawa alkali dengan ion
kalsium yang terdapat dalam batuan. Berdasarkan penelitian Wang et al (2014)
penambahan polimer dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi surfaktan ke dalam
inti batuan pada carbonate reservoir. Injeksi surfaktan merupakan salah satu cara
untuk mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan
4
cara menginjeksikan suatu zat aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga
tegangan antarmuka minyak-air dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan
antarmuka maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori batuan
reservoir dapat dikurangi sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori
batuan dapat didesak dan diproduksi (Rivai et al., 2011). Sampai saat ini, surfaktan
yang banyak digunakan oleh industri perminyakan di Indonesia adalah petroleum
sulfonat. Namun, surfaktan tersebut harganya relatif mahal dan bersifat tidak ramah
lingkungan.
Salah satu jenis surfaktan yang sedang dikembangkan saat ini adalah
surfaktan alkil poliglikosida (APG) yang bersifat ramah lingkungan. Surfaktan
APG merupakan surfaktan yang bersifat nonionik, karena pada gugus polar
(hidrofilik) dan nonpolarnya (hidrofobik) tidak bermuatan. Sifat APG nonionik
menjadikan surfaktan ini tidak terpengaruh terhadap kesadahan dan perubahan pH
sehingga berpotensi sebagai alternatif surfaktan pada aplikasi EOR (Salager, 2002).
Beberapa penelitian mengenai sintesis surfaktan APG telah dilakukan diantaranya
yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sukkary et al. (2008) mengenai sintesis
surfaktan APG dengan panjang rantai atom yang berbeda. Namun, tidak
diaplikasikan untuk proses EOR. Erliza et al. (2012) mengenai sintesis surfaktan
APG dengan menggunakan fatty alcohol (C16). Namun, glukosa yang digunakan
adalah glukosa cair 85% dan Uzwatania et al. (2017) mengenai sintesis APG
dengan fatty alcohol (C12) dan fatty alcohol (C16). Namun, katalis yang digunakan
adalah katalis (mehyl ester sulfonic acid) MESA yang bukan merupakan katalis
komersil sehingga tidak diperjual belikan serta hasil sintesis surfaktan APG yang
dihasilkan tidak diaplikasikan untuk EOR. Oleh sebab itu, pada penelitian ini
5
dilakukan sintesis dengan menggunakan fatty alcohol (C12), glukosa pada
konsentrasi yang lebih rendah yaitu 75% dan katalis para toluene sulfonic acid
(PTSA). Sehingga diharapkan penggunaan bahan baku glukosa dengan nilai
ekonomis yang lebih rendah dan katalis yang dijual secara komersial dapat
menghasilkan produk dengan hasil yang sama atau bahkan lebih baik.
Surfaktan APG yang akan diaplikasikan untuk proses EOR memilki
parameter utama yaitu nilai interfacial tension (IFT). Interfacial tension (IFT)
merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui tegangan antarmuka. Dari
pengujian ini dapat diketahui kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan
antarmuka minyak-air agar minyak yang terperangkap dalam batuan dapat
terangkat. Pada sintesis ini ditambahkan penggunaan Purging N2 dan Non Purging
N2 untuk mengetahui seberapa besar pengaruh surfaktan terhadap nilai IFT yang
dihasilkan. Karena penggunaan purging N2 bertujuan untuk menggantikan kondisi
vakum yang dapat menghasilkan nilai IFT yang lebih baik.
Sintesis APG dapat dilakukan dengan metode Fisher melalui proses
asetalisasi (satu tahap) atau melalui proses butanolisis dan transasetalisasi (dua
tahap) yang dilanjutkan dengan tahap netralisasi, distilasi, pelarutan, dan
pemucatan (Uzwatania et al., 2017). Pada penelitian ini, pembuatan surfaktan
dilakukan dengan metode Fisher melalui sintesis APG butanolisis dan
transasetalisasi (dua tahap), karena menurut penelitian El-Sukkary (2008) dan Ware
et al. (2007), tingkat kepolaran glukosa dalam alkohol rantai panjang yang
hidrofobik sangat rendah disebabkan karena perbedaan kepolarannya. Oleh sebab
itu, direaksikan terlebih dahulu glukosa dengan alkohol rantai pendek (butanol)
6
melalui reaksi butanolisis yang dilanjutkan dengan reaksi transasetalisasi dengan
alkohol rantai yang lebih panjang untuk membentuk alkil poliglikosida (APG).
Surfaktan disintesis menggunakan fatty alcohol (C12) dan D-glukosa
dengan katalis para toluene sulfonic acid (PTSA). Katalis PTSA dipilih karena
merupakan asam lemah, sehingga tidak korosif dan lebih mudah ketika dilakukan
proses netralisasi pada proses pemurnian APG (Hill, 2000). D-glukosa dipilih
karena cukup banyak diproduksi dalam skala industri dan fatty alcohol (C12) dipilih
karena Wuest et al. (1992) menyarankan penggunaan alkohol lemak dilakukan
dengan panjang rantai C8-C12. APG yang dihasilkan dikarakterisasi dengan
parameter uji Fourier Transform Infra Red (FTIR), kompatibilitas, Interfacial
Tension (IFT) dengan menggunakan alat spinning drop tensiometer, stabilitas
termal, pH, dan kelakuan fasa.
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan diteliti adalah
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi katalis berdasarkan parameter nilai
interfacial tension (IFT) yang dihasilkan?
2. Bagaimana pengaruh penggunaan purging N2 dan non purging N2 pada
sintesis alkil poliglikosida (APG) terhadap nilai interfacial tension (IFT)
yang dihasilkan?
3. Bagaimanakah karakteristik hasil sintesis surfaktan alkil poliglikosida
(APG) berdasarkan parameter uji FTIR, kompatibilitas, stabilitas termal, pH
dan kelakuan fasa yang akan diaplikasikan untuk proses enhanced oil
recovery (EOR)?
7
1.3 Hipotesis
1. Konsentrasi optimum katalis yang didapatkan akan mempengaruhi
penurunan nilai IFT sehingga menghasilkan nilai IFT yang semakin baik.
2. Penggunaan purging N2 menghasilkan nilai IFT yang lebih rendah apabila
dibandingkan dengan non purging N2.
3. Surfaktan APG yang dihasilkan memiliki karakteristik yaitu kompatibel
terhadap air formasi, stabil dalam pengaruh termal, pH netral,
menghasilkan emulsi fasa tengah dan menghasilkan nilai IFT terendah.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1. Menentukan konsentrasi katalis optimum berdasarkan parameter nilai IFT
yang dihasilkan.
2. Menentukan jenis perlakuan purging N2 maupun non purging N2 terhadap
parameter nilai IFT yang dihasilkan.
3. Menentukan karakteristik surfaktan APG hasil sintesis dari glukosa 75%,
fatty alcohol (C12) dan katalis PTSA.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan suatu gambaran mengenai
surfaktan alkil poliglikosida (APG) pada proses produksi minyak dari reservoir
yang dapat dijadikan suatu pertimbangan ataupun acuan bagi ilmu pengetahuan
khususnya dalam melakukan kinerja lapangan dibidang produksi minyak bumi.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Enhanced Oil Recovery (EOR)
Enhanced Oil Recovery (EOR) merupakan teknik yang digunakan untuk
meningkatkan produksi minyak pada suatu sumur dengan cara mengangkat minyak
yang sebelumnya tidak dapat diproduksi lagi. Berdasarkan proses produksinya,
perolehan minyak bumi pada reservoir dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu
primary recovery, secondary recovery, dan tertiery recovery. Teknik EOR
dilakukan setelah tahap primer dan sekunder dikerjakan. Primary recovery
merupakan cara memproduksi minyak menggunakan tenaga dorong alami yang
berasal dari tekanan sumur dan menggunakan pompa atau dengan gas lift (Naqvy,
2012). Berikut pada Gambar 1 merupakan skema proses produksi minyak bumi
berdasarkan primary recovery, secondary recovery dan tertiery recovery :
Gambar 1. Skema proses produksi minyak bumi (Abidin et al, 2012)
9
Produksi minyak sumur reservoir melalui primary recovery diperoleh sekitar 20-
40% dari potensi minyak yang ada, dan karenanya masih terdapat 60-80% minyak
yang tersisa direservoir. Tahap selanjutnya adalah secondary recovery yaitu
peningkatan produksi dan perolehan minyak dengan cara menginjeksikan air, yang
ditujukan untuk mempertahankan tekanan reservoir dan mendorong minyak tersisa
setelah tahap awal pengurasan. Proses injeksi air tersebut, masih menyisakan
minyak di dalam reservoir kurang lebih sebanyak 50-70% Original Oil In Place
(OOIP) (Abidin et al 2012). Sementara itu tertiary recovery atau yang dikenal
dengan istilah Enhanced Oil Recovery (EOR) yang dapat memproduksi minyak
bumi hingga 60% dari total cadangan minyak yang ada, dilakukan dengan
menambahkan bahan kimia pada air yang diinjeksikan, injeksi gas yang larut dalam
minyak, dan injeksi uap air untuk menurunkan kekentalan (Naqvi, 2012).
Ada beberapa teknik EOR yang dapat dilakukan, yaitu: thermal flooding,
gas injection dan chemical flooding yaitu
1. Thermal flooding
Teknik ini dilakukan dengan menginjeksikan sumber panas yang dapat
berupa steam, air panas ataupun pembakaran ke dalam reservoir guna menurunkan
viskositas minyak bumi dan meningkatkan laju alir minyak bumi ke reservoir.
Namun, pada aplikasi thermal flooding memiliki beberapa kelemahan diantaranya
hanya dapat diaplikasikan pada reservoir yang dangkal dan memiliki batuan dengan
porositas yang besar, serta tidak adanya sumber panas yang dekat dengan reservoir
(Naqvi, 2012).
10
Berikut pada Gambar 2 merupakan proses EOR dengan mengunakan thermal
flooding :
Gambar 2. Proses thermal flooding (Baihaki, 2015)
2. Gas Injection
Bertujuan untuk meningkatkan tekanan di reservoir dengan cara
menginjeksikan gas ke dalam reservoir guna meningkatkan laju alir minyak bumi.
CO2 merupakan gas yang umum digunakan. Teknik ini mempunyai kelemahan
yaitu teknik gas injection hanya dapat diaplikasikan pada lapangan minyak bumi
yang memiliki sumber CO2 yang dekat dan berkapasitas besar (Naqvi, 2012). Pada
Gambar 3 dibawah ini merupakan proses gas injection:
Gambar 3. Proses gas injection (Baihaki, 2015)
11
3. Chemical Flooding
Prinsip kerja chemical flooding adalah membebaskan minyak yang
terperangkap di dalam batuan dengan menggunakan injeksi bahan kimia. Pada
chemical flooding bahan kimia seperti surfaktan, polimer, alkali ataupun kombinasi
ketiganya diinjeksikan ke dalam reservoir. Surfaktan pada chemical flooding
menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) antara air dengan minyak
dan dapat meningkatkan capillary number sehingga minyak bumi yang
terperangkap pada pori-pori batuan menjadi dapat mengalir (Lohne & Fjelde,
2012). Gambar 4 dibawah ini merupakan proses EOR dengan menggunakan
chemical flooding :
Gambar 4. Proses chemical flooding (Baihaki, 2015)
Polimer pada chemical flooding berfungsi untuk meningkatkan viskositas
pada fasa air dan mengurangi permeabilitas air agar minyak bumi dapat mengalir
(Abidin et al., 2012). Sedangkan alkali pada chemical flooding bermanfaat dalam
mengurangi retensi surfaktan dalam batuan. Pada beberapa jenis minyak, alkali
dapat mengubah asam dalam minyak bumi dan membantu produksi minyak bumi
(Naqvi, 2012).
12
2.1.1 Crude Oil
Crude oil biasa disebut sebagai minyak mentah atau minyak bumi yang
merupakan cairan kental, berwarna coklat gelap, atau kehijauan, mudah terbakar,
dan berada di lapisan atas pada beberapa area kerak bumi. Minyak mentah bersifat
kompleks terutama mengandung senyawa parafin, napthenic dan aromatik. Minyak
mentah mengandung semua senyawa alkena mulai C1 sampai C120. Kandungan
senyawa hidrokarbon dalam campuran bervariasi mulai dari 50 sampai lebih dari
97% yang terdiri dari alkana, sikloalkana dan beberapa jenis senyawa aromatik.
Komponen lainnya adalah senyawa nitrogen, oksigen, sulfur, dan logam-logam
terikut lainnya seperti besi, nikel, tembaga dan vanadium (Yasin et al., 2013).
Berikut merupakan crude oil lapangan X yang digunakan pada proses karakterisasi
EOR :
Gambar 5. Crude Oil X (Dokumentasi pribadi, 2018)
Secara umum, crude oil dapat dikategorikan sebagai fraksi ringan, fraksi
sedang, dan fraksi berat berdasarkan titik didihnya. Fraksi ringan dan fraksi sedang
yang terdapat pada crude oil akan terpisah terlebih dahulu dibandingkan fraksi
beratnya. Fraksi ringan dan sedang tersebut mengandung komponen-komponen
seperti gas, nafta, bensin dan kerosin. Pada crude oil, fraksi berat tidak mampu
Crude X
13
menguap dan akhirnya terpisahkan dari fraksi ringan maupun fraksi sedangnya
yang mampu menguap pada suhu yang lebih rendah. Komponen-komponen fraksi
berat tersebut seperti aspal, paraffin wax, dan residu (Baihaki, 2015).
Crude yang digunakan pada penelitian ini memiliki karakteristik sebagai
berikut :
Tabel 1. Karakteristik Crude Oil lapangan X
Parameter Nilai
API Gravity 32,7 oAPI
Saturated Hydrocarbon 60,68 %
Resin 1,38 %
Aromatic Hydrocarbon 35,36 %
Asphaltenes 2,58 %
2.1.2 Air Formasi
Air formasi merupakan air yang terakumulasi dalam suatu reservoir
bersama minyak mentah hasil pengeboran banyak mengandung garam-garam. Air
formasi biasanya disebut dengan oil field water atau connate water atau
intertial water. Air formasi selalu ditemukan di dalam reservoir yang menempati
sebagian minimal 10% dari keseluruhan pori. Di dalam air formasi terlarut sejumlah
ion antara lain kation (Na+, Ca2+, Mg2+, Ba2+, Sr2+, dan Fe3+) dan anion ( Cl-, HCO3-
, SO42-, CO3
2-). Berikut merupakan air formasi pada lapangan X :
Gambar 6. Air formasi lapangan X (Dokumentasi Pribadi, 2018)
14
Kandungan garam dalam air formasi dapat mempengaruhi interfacial
tension minyak dan air sehingga akan mempengaruhi juga keefektifan pelepasan
minyak dari batuan dengan metode EOR (Baihaki, 2015). Air formasi yang
digunakan pada penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
Tabel 2. Karakteristik Air formasi
Parameter / Sumber Data Nilai
Konstituen, mg/L
Na 5070,5
K 63,2
Ca 55,1
Mg 25,6
Sr 4,0
Fe 0
Cl- 9076,0
HCO3- 2802,4
SO42-
Total kation, mg/L
Total Anion, mg/L
Total konsentrasi NaCl equivalen, ppm
13,0
5255,04
11931,59
12897
2.2 Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif
permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air
karena strukturnya yang amphifilik, yaitu adanya dua gugus yang memiliki derajat
polaritas yang berbeda pada molekul yang sama. Bentuk umum surfaktan terdiri
dari gugus hidrokarbon yang bersifat nonpolar dan gugus yang bersifat polar.
Gugus hidrokarbon pada surfaktan biasa disebut “ekor” dan gugus yang bersifat
polar disebut “kepala”. Gugus hidrokarbon dapat berupa rantai lurus maupun
bercabang. Gugus hidrokarbon pada surfaktan bereaksi sangat lemah dengan
molekul air, maka gugus hidrokarbon ini disebut hydrophobic. Sedangkan
15
kelompok polar bereaksi kuat dengan molekul air, sehingga disebut hydrophilic
(Sany et al., 2008).
Surfaktan biasanya senyawa organik yang amphifilik. Oleh karena itu,
mereka larut dalam pelarut organik dan air. Mereka mengadsorpsi atau
berkonsentrasi di permukaan atau antarmuka fluida/cairan untuk mengubah sifat
permukaan secara signifikan, khususnya untuk mengurangi tegangan permukaan
atau tegangan antar muka (IFT) (Sheng et al., 2015). Ashrawi (1984) menyatakan,
jenis surfaktan yang digunakan dalam injeksi kimia/surfaktan harus disesuaikan
dengan kondisi reservoir terutama kadar garam, suhu dan tekanan karena akan
mempengaruhi daya kerja surfaktan untuk menurunkan tegangan antarmuka (IFT
minyak-air). Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan
untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling
larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang
dimiliki oleh surfaktan.
Berikut merupakan gambar molekul surfaktan yang dapat dilihat pada
Gambar 7.
(a) (b)
Gambar 7. (a). Struktur molekul surfaktan; (b). Struktur molekul surfaktan didalam air ( Green and Willhite, 1998)
16
Berdasarkan muatannya surfaktan dibagi menjadi empat golongan berdasarkan
gugus polarnya (Holmberg et al., 2002) yaitu:
1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Umumnya surfaktan anionik digunakan pada produk-produk perawatan diri
(personal care product), deterjen dan sabun. Kelemahan surfaktan ini adalah
sensitif terhadap adanya mineral dan perubahan pH. Contoh surfaktan anionik
antara lain alkilbenzen sulfonat linier (LAS), metil ester sulfonat (MES).
2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Surfaktan kationik banyak digunakan sebagai bahan antikorosi,
kondisioner, dan lain sebagainya. Kelemahan surfaktan ini adalah tidak memiliki
kemampuan deterjensi bila diformulasikan ke dalam larutan alkali. Contoh
surfaktan kationik antara lain garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil
dimethil ammonium.
3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Surfaktan nonionik umumnya digunakan pada produk-produk perawatan diri
(personal care products), formulasi herbisida, dan kosmetik. Keunggulan
surfaktan ini adalah tidak terpengaruh oleh kesadahan air dan perubahan pH.
Contoh surfaktan nonionik antara lain polietilena alkil amina, alkil poliglukosida
(APG), mono alkanol amina.
4. Surfaktan amfoterik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan
positif dan negatif. Surfaktan amfoterik sangat dipengaruhi oleh perubahan pH,
dimana pada pH rendah berubah menjadi surfaktan kationik dan pada pH tinggi
akan berubah menjadi surfaktan anionik. Contohnya surfaktan yang
mengandung asam amino, betain, fosfobetain.
17
2.2.1 Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)
Alkil poliglikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium
oleh Emil Fischer sekitar 100 tahun yang lalu. Aplikasi paten dengan menggunakan
alkil poliglikosida sebagai bahan bakunya dipublikasikan di Jerman sekitar 40
tahun kemudian, hingga saat ini berbagai penemuan tentang alkil poliglikosida
terus berkembang. Pada awalnya Fischer mereaksikan glukosa dan alkohol yang
bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain kemudian
mereaksikannya pada alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai alkil dari octil
(C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol lemak. Hasil
sintesis yang diperoleh berupa kumpulan dari alkil mono, poli, dan oliglikosida.
Karena kompleksitas inilah maka produk yang dihasilkan disebut Alkil
poliglikosida (Hill, 2000).
Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang ramah
lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis
karbohidrat dan alkohol lemak. APG telah diuji mengenai dampak terhadap
lingkungan dan telah mendapatkan beberapa green label seperti Ecocert, EU
Ecoflower, Green Seal dan sebagainya sebagai surfaktan yang ramah lingkungan.
APG juga tidak beracun atau berbahaya bagi manusia, memiliki sifat iritasi yang
rendah pada kulit jika dibandingkan dengan surfaktan lainnya (Mehling et al.,
2007).
2.2.2 Sintesis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)
Sintesis surfaktan APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang bereda
yaitu berupa tahap asetalisasi menggunakan bahan baku dekstrosa dan alkohol
18
lemak (fatty alcohol) serta melalui tahap butanolisis dan tahap transasetalisasi.
Kemudian pada kedua cara ini dilanjutkan tahap netralisasi, distilasi, pelarutan, dan
pemucatan sehingga diperoleh surfaktan APG (Hill, 2000). Pada reaksi APG satu
tahap glukosa langsung direaksikan dengan alkohol rantai panjang dengan bantuan
katalis asam yang akan menghasilkan alkil poliglikosida (APG). Proses reaksi APG
satu tahap dapat dilihat pada Gambar 8:
Gambar 8. Proses APG sintesis satu tahap (Wuest et al, 1992)
Sedangkan pada proses reaksi dua tahap, tahap pertama dilakukan dengan
mereaksikan glukosa dengan alkohol rantai pendek yang disebut butanolisis.
Kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu tahap tr ansasetalisasi dengan
mereaksikan hasil butanolisis dengan alkohol rantai panjang yang akan membentuk
alkil poliglikosida (APG).
Proses reaksi APG dua tahap dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10:
Gambar 9. Reaksi pembentukan butanolisis (Hill, 2000)
19
Gambar 10. Reaksi pembentukan alkil poliglikosida (Hill, 2000)
Wuest et al (1992) telah melakukan sintesis surfaktan APG dengan reaksi
dua tahap berbahan baku pati. Tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai
pendek, terutama butanol dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan
alkohol rantai lebih panjang C8 sampai C22
terutama C12
sampai C18. Tahap
butanolisis dilakukan pada suhu 140-150ᵒC, tekanan reaktor sebesar 4,5-7 bar
dalam zona reaksi tertutup dan tahap transasetalisasi dilakukan pada suhu 110-120
ᵒC dengan kondisi vakum. Menurut Gibson dan Leedy (2001) konsentrasi katalis
yang digunakan pada proses sintesis APG sekitar 0,7-1,4% dari berat glukosa/pati
pada reaksi butanolisis dan pada reaksi transasetalisasi sekitar 25-50% dari berat
katalis yang ditambahkan pada reaksi butanolisis.
2.2.3 Fatty Alcohol
Fatty Alcohol adalah termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar,
merupakan alkohol rantai panjang. Alkohol Alifatik dengan panjang rantai antara
C6 sampai C22. Sebagian besar merupakan rantai lurus serta dapat diserap atau
mempunyai satu atau lebih ikatan ganda. Alkohol dengan panjang atom karbon
lurus di atas C22 lebih dikenal dengan Wax Alkohol. Fatty alcohol merupakan
turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit
20
yang lebih dikenal sebagai fatty alcohol alami sedangkan turunan dari petrokimia
(parafin dan etilen) dikenal sebagai fatty alcohol sintetis (Hill, 2000).
Berikut merupakan sifat fisik dan kimia fatty alcohol C12 :
Nama Kimia : 1-Dodekanol
Nama umum : Lauryl Alcohol
Rumus Molekul : C12H26O
Warna : Putih
Bentuk : Seperti bubur
Massa Molar : 186,33 g/mol
Densitas : 0,83 g/cm3 pada 20°C
Kelarutan dalam air : 0,004 g/l pada 25°C
Titik Leleh : 21-24 °C
Titik Didih : 258 - 265°C pada 1,013 hPa
Tekanan Uap : 8,48 x 10-4 mm Hg at 25°C
Titik Nyala : 119°C
Fatty alcohol utamanya digunakan sebagai bahan intermediate, di Eropa
Barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan
dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan fatty alcohol untuk pembuatan surfaktan
kira-kira sebesar 70-75%. Lebih dari dua per tiga atau sekitar 80% dari jumlah fatty
alcohol yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan.
Sebagai bahan baku surfaktan fatty alcohol mampu bersaing dengan produk turunan
petroleum seperti alkil benzena. Selain karena surfaktan yang dihasilkan bersifat
lebih stabil, juga harganya lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan turunan
petroleum (Presents, 2000). Berikut merupakan beberapa reaksi kimia terhadap
fatty alcohol C12 :
Tabel 3. Reaksi kimia terhadap fatty alcohol dan hasilnya
Pereaksi Hasil
Fatty Alcohol
+ Oksigen Aldehid, Asam Karboksilat
+ Basa cair Asam Karboksilat
+ Asam Karboksilat Ester
+ Ammonia Amina
+ Aldehid / Keton Asetal
Sumber: Presents (2000)
21
Seperti halnya alkohol, fatty alcohol memiliki gugus hidroksil (OH). Dimana
sifat kelarutannya sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen. Dengan bertambah
panjangnya rantai karbon pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun.
Akibatnya alkohol dengan bobot molekul rendah cenderung larut dalam air
sedangkan alkohol berbobot tinggi sebaliknya cenderung bersifat non polar (Hui,
1996).
2.2.4 Glukosa
Monosakarida (gula sederhana) adalah satuan karbohidrat yang
tersederhana, yang tidak dapat dihidrolisis menjadi molekul karbohidrat yang lebih
kecil. Glukosa merupakan monosakarida yang terpenting, kadang-kadang disebut
sebagai gula darah (karena dijumpai dalam darah), gula anggur (karena dijumpai
dalam anggur) atau dekstrosa (karena memutar bidang polarisasi kekanan
(Fessenden dan Fessenden, 1982).
Berikut merupakan sifat fisik dan kimia D-Glukosa :
Nama Kimia : D-Glukosa
Nama Umum : Dextrose anhydrous
Rumus Molekul : C₆H₁₂O₆ Bentuk : Padat
Warna : Tidak berwarna
Massa Molar : 180,16 g/mol
Titik Lebur : 146 °C
Kelarutan dalam air : 470 g/l pada 20°C
Monosakarida yang mengandung gugus aldehida dirujuk sebagai aldosa
(aldehid plus –osa). Glukosa, galaktosa, ribosa dan deoksiribosa semuanya aldosa.
Monosakarida yang mengandung gugus ketosa dirujuk sebagai ketosa (keton plus
–osa), misalnya fruktosa. Seperti air, suatu alkohol dapat mengadisi suatu gugus
karbonil (salah satunya aldehid dan keton). Dalam kebanyakan hal, keseimbangan
22
terletak pada sisi aldehid atau keton, sama seperti reaksi dengan air. Produk adisi
satu molekul suatu alkohol pada suatu aldehida disebut suatu hemiasetal, sedangkan
produk adisi dua molekul alkohol (dengan hilangnya H2O) disebut asetal (hemiketal
dan ketal merupakan nama padanan untuk produk keton). Semua reaksi ini
dikatalisis oleh asam kuat. Berikut merupakan proses pembentukan hemiasetal oleh
aldehid dan alkohol (Gambar 11) :
Gambar 11. Pembentukan hemiasetal oleh aldehid dan alkohol (Fessenden dan Fessenden, 1982)
Bila suatu hemisetal diolah dengan suatu alkohol, akan terbentuk suatu
asetal. Asetal monosakarida disebut glikosida dan memperoleh nama berakhir
dengan –osida. Berikut pada Gambar 12 merupakan reaksi pembentukan asetal dari
D-Glukosa :
Gambar 12. Reaksi pembentukan asetal dari D-Glukosa
(Fessenden dan Fessenden, 1982)
23
Karbon glikosida (karbon 1 dalam suatu aldosa) mudah dikenal karena mempunyai
dua gugus OR yang terikat pada karbon 1 itu. Meskipun suatu hemisetal dari suatu
monosakarida berada dalam keseimbangan dengan bentuk rantai terbuka dan
dengan anomernya dalam larutan air, suatu asetal bersifat stabil dalam larutan netral
dan basa (Fessenden dan Fessenden, 1982).
2.2.5 Surfaktan dalam industri minyak
Surfaktan untuk aplikasi EOR dalam industri perminyakan memerlukan
karakteristik tertentu. Karakteristik surfaktan yang dibutuhkan diantaranya, tahan
pada kondisi air formasi (brine water) yang mempunyai tingkat salinitas dan
kesadahan yang tinggi, tahan pada suhu reservoir, memiliki IFT 10-3-10-6 mN/m
(Hambali et al., 2011).
Menurut BP MIGAS 2009, surfaktan yang digunakan untuk aplikasi EOR
memiliki persyaratan khusus, yakni memiliki ultralow interfacial tension ≤ 10-3
mN/m, stabil dalam suhu reservoir, pH berkisar 6-8, memiliki phase behaviour tipe
III, rasio filtrasi < 1,2 dan incremental oil recovery berkisar 15-20% OOIP.
Surfaktan yang diinjeksikan ke dalam reservoir, harus tetap stabil terhadap
kondisi suhu reservoir dalam waktu yang lama karena prosesnya memakan waktu
hingga bertahun-tahun. Selain itu injeksi surfaktan harus menghindari adanya
pengendapan atau pemisahan fasa lain yang tidak diinginkan. Surfaktan juga harus
dapat mengembangkan tegangan antar muka (IFT) yang sangat rendah dengan
minyak mentah di dalam kondisi reservoir, rendah adsorpsi batuan reservoir, larut
satu fasa dengan air pada saat pencampuran dan suhu injeksi. (Puerto et al., 2010).
24
2.3 Karakterisasi Surfaktan Alkil Poliglikosida
2.3.1 Spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Spektrofotometri Fourier Transform Infra Red (FTIR) merupakan suatu
metode analisis yang dipakai untuk analisis gugus fungsi, pengenalan senyawa, dan
analisa campuran. Penemuan gugus fungsional diperoleh berdasarkan bilangan
gelombang yang dibutuhkan untuk suatu molekul bervibrasi pada suatu ikatan baik
berupa rentangan (streaching) maupun berupa bengkokan (bending) dimana setiap
ikatan mempunyai bilangan gelombang yang spesifik sehingga setiap molekul
mempunyai spektra infra merah yang spesifik atau sidik jari (fingerprint) tertentu
(Ibrahim dan Sitorus, 2013).
Suatu molekul bila menyerap radiasi infra merah, maka energi yang diserap
menyebabkan kenaikan amplitudo getaran atom-atom yang terikat, sehingga
molekul berada dalam keadaan tereksitasi. Energi yang diserap akan dilepaskan
dalam bentuk panas jika molekul kembali ke keadaan dasar. Panjang gelombang
yang diabsorpsi suatu ikatan bergantung pada jenis getaran dari ikatan tersebut,
ikatan yang berlainan akan menyerap pada panjang gelombang yang berlainan. Hal
inilah yang menyebabkan spektroskopi infra merah dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya gugus fungsi dalam suatu molekul. Banyaknya energi
infra merah yang diserap oleh suatu molekul beraneka ragam yang disebabkan
perubahan momen dipol pada saat energi diserap. Ikatan non polar seperti C-H atau
C-C menyebabkan absorpsi lemah, sedangkan ikatan polar seperti O-H, N-H dan
C=O menyebabkan absorpsi yang lebih kuat (Supratman, 2010).
Penggunaan metode tersebut menghasilkan spektroskopi IR yang dapat
menyerap radiasi hingga frekuensi 5.000–400 cm-1. Daerah radiasi spektroskopi
25
infra merah (IR) berkisar pada bilangan gelombang 12.800-10 cm-1 atau panjang
gelombang 0,78-1.000 μm. Umumnya daerah radiasi IR terbagi dalam daerah IR
dekat (12.800-4.000 cm-1), daerah IR tengah (4.000-200 cm-1), dan daerah IR jauh
(200-10 cm-1) (Hermanto, 2008).
Informasi yang diperoleh dalam analisis struktur senyawa organik
menggunakan FTIR adalah frekuensi atau bilangan gelombang berbagai gugus
fungsional yang menyerap sinar infra merah.
Daerah bilangan gelombang terpenting yang digunakan ditampilkan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Bilangan gelombang spektrum FTIR
Gugus Fungsi Bilangan Gelombang (cm-1)
- CH2
Asymmetric bending
Asymmetric strech
1.461
2.932
- CH3
Symmetric bending
Symmetric strech
Asymmetric strech
1.375
2.865
2.960
- O-H 3.200-3.400
- C-O 1.055
- CHO 1.716
- Ether Linkage 1.150
Sumber : El-Sukkary, 2008
2.3.2 Kompatibilitas
Kompatibilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui kelarutan
surfaktan APG hasil sintesis dengan air formasi yang berasal dari lapangan minyak.
Uji kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kecocokan antara
surfaktan dengan air formasi dalam suatu reservoir. Uji ini merupakan uji paling
awal dilakukan sebelum uji-uji lainnya. Apabila pada uji ini surfaktan tidak cocok
(tidak kompatibel), maka surfaktan dianggap tidak layak untuk reservoir yang
26
bersangkutan. Oleh karena itu, uji-uji lainnya tidak perlu dilakukan. Ada tiga
kemungkinan yang terjadi pada pencampuran surfaktan dengan air formasi, yaitu :
1. Larut sempurna, terbentuk larutan jernih.
2. Koloid (milky) terbentuk campuran yang terlihat seperti air susu (milky).
3. Terbentuknya suspensi
Pada uji kompatibilitas diharapkan campuran yang terjadi adalah larutan
sempurna atau koloid, sedangkan suspensi sangat tidak diharapkan karena
dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan pada saat larutan surfaktan diinjeksikan
ke dalam batuan. Uji bernilai positif bila surfaktan larut sempurna dalam air
formasi, sedangkan uji bernilai negatif bila surfaktan tidak larut sempurna dalam
air formasi. Surfaktan yang baik untuk EOR dapat membentuk emulsi O/W, jernih,
tidak keruh, dan tidak membentuk endapan (Sukriya, 2011).
2.3.3 Pengukuran Interfacial Tension (IFT)
Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis
permukaan suatu cairan, sedangkan tegangan antar muka adalah energi yang
bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Gaya ini timbul karena adanya
kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Berdasarkan satuan Standard
International (SI) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mN/m atau
dyne/cm.
Menurut Myers (2006) terdapat tiga mekanisme utama dalam pencapaian
EOR menggunakan senyawa aditif surface active, antara lain:
a) Tegangan antarmuka minyak dan larutan kurang ≤ 10-3 mN/m.
27
b) Secara spontan, membentuk emulsifikasi atau mikroemulsi dari minyak yang
terjebak dalam pori-pori batuan.
c) Kontrol keterbasahan pori-pori batuan, untuk mengoptimalkan pengambilan
minyak
Interfacial tension (IFT) adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui
tegangan antarmuka. Analisis dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop
tensiometer. Pengujian ini dapat mengetahui kemampuan surfaktan dalam
menurunkan tegangan antarmuka pada air. Setelah dilarutkan denga air formasi,
surfaktan APG hasil sintesis diharapkan memiliki nilai ultralow interfacial tension
≤ 10-3 mN/m, sesuai dengan persyaratan BP MIGAS.
2.3.4 Spinning Drop Tensiometer
Spinning drop tensiometer merupakan alat yang hanya dapat digunakan
untuk pengukuran tegangan antarmuka cair-cair. Berikut merupakan Ilustrasi
pengukuran nilai IFT antara surfaktan dengan minyak dapat dilihat pada Gambar
13.
Gambar 13. Elongated droplet minyak dalam tabung berisi larutan surfaktan
yang diputar (Drelich et al., 2002)
Suatu tube sampel diisi dengan larutan surfaktan yang sudah dilarutkan
dalam air formasi dan dimasukkan minyak. Tabung di putar dengan kecepatan
tinggi. Droplet minyak dapat dilihat dengan lampu pada alat. Bentuk droplet
minyak tergantung pada tegangan antarmuka kedua cairan. Batas pengukuran untuk
28
menggunakan alat spinning drop tensiometer adalah 10-6 mN/m (Drelich et al.,
2002).
Ilustrasi pengukuran IFT surfaktan terhadap minyak mentah yaitu tetesan
minyak mentah dimasukkan ke dalam campuran surfaktan. Keseluruhan massa itu
dirotasikan sehingga tetesan minyak mentah tadi akan berada di tengah. Rotasi
tabung yang horizontal menciptakan gaya sentrifugal ke arah dinding tabung,
bulatan (droplet) cairan akan mulai memanjang (elongated) dan perpanjangan ini
akan berhenti bila tegangan antarmuka dan gaya sentrifugal yang seimbang.
2.3.5 Stabilitas termal
Pengujian stabilitas termal dilakukan untuk mengetahui kestabilan
surfaktan terhadap suhu reservoir. Surfaktan yang baik akan tetap stabil terhadap
pengaruh suhu. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan
selama mengalir dalam media berpori adalah degradasi formula surfaktan akibat
suhu. Larutan surfaktan yang stabil dan tidak rusak (tidak terdegradasi) ditandai
dengan warna yang jernih dan tidak terbentuk endapan (Sugihardjo, 2002). Selain
melakukan pengamatan, selama uji ini juga dilakukan pengukuran interfacial
tension (IFT) secara berkala dengan periode 1 minggu sekali selama dua minggu.
Diharapkan IFT tetap stabil (rendah) atau menurun.
2.3.3 Kelakuan fasa
Kelakuan fasa adalah uji yang dilakukan untuk melihat fase yang terbentuk
antara surfaktan dengan minyak bumi setelah dikontakkan, uji ini juga dapat
mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan minyak bumi. Penentuan kelakuan
29
fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam
memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak pada proses injeksi
surfaktan. Proses emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida
pendorong dengan minyak. Pada dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat
membentuk beberapa macam jenis emulsi yang diantaranya dapat menurunkan
tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde 10-2 sampai
dengan 10-4 mN/m, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo, 2001).
Berikut merupakan kelakuan fasa berdasarkan sistem winsor:
Gambar 14. Phase behaviour berdasarkan Sistem Winsor (Gudiña et al., 2013)
1. Sistem winsor I adalah sistem yang terdapat kelebihan fasa minyak. Emulsi
yang terbentuk pada sistem ini yaitu emulsi fasa bawah (emulsi yang terbentuk
berada dalam fasa air).
2. Sistem winsor II adalah sistem yang terdapat kelebihan fasa air. Emulsi yang
terbentuk pada sistem ini yaitu emulsi fasa atas (emulsi yang terbentuk berada
dalam fasa minyak).
30
3. Sistem winsor III adalah sistem yang terdapat keseimbangan antara fasa air dan
fasa minyak (mikroemulsi). Emulsi yang terbentuk pada sistem ini yaitu emulsi
fasa tengah berupa mikroemulsi
Phase behaviour yang diharapkan adalah terbentuknya Type III
(berdasarkan sistem winsor) yakni terbentuknya emulsi fasa tengah atau
mikroemulsi, sesuai dengan persyaratan dari (BP MIGAS, 2009). Terbentuknya
sistem winsor III menandakan kinerja surfaktan yang baik. Kinerja yang dimaksud
adalah pada kondisi tersebut dihasilkan nilai IFT yang sangat rendah atau mencapai
ultralow IFT sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat berjalan secara
optimal.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Material & Chemical Research,
Research and Technology Center Pertamina dan laboratorium Kimia Fakultas
Teknik Universitas Indonesia dari bulan Oktober 2017 – April 2018.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas (pipet ukur,
pipet tetes, gelas ukur, erlenmeyer, dan beaker glass), corong pisah, labu leher dua,
neraca analitik digital, statif, aluminium foil, botol kaca, botol vial, batang
pengaduk, kertas saring whattman no 42, pH indikator universal, spatula, hot plate,
magnetic stirrer, oven, piknometer, reaktor berpengaduk yang dapat diatur suhu
dan tekanan, thermostat, Distilasi Vakum ASTM D 1160, instrumen FTIR
Shimadzu seri IR Prestige-21, instrumen spinning drop tensiometer seri M6500,
dan tabung phase behavior.
3.2.2 Bahan
Bahan kimia yang digunakan adalah fatty alcohol (C12) yang diperoleh dari
PT. Ecogreen Oleochemical, D-glukosa dari PT. Raya Sugarindo Inti, katalis para
toluene sulfonic acid (PTSA), butanol, NaOH 50%, aquadest, air formasi, dan
crude oil lapangan X.
32
3.3 Diagram Alir
Gambar 15. Diagram alir sintesis surfaktan APG
Glukosa 75% Butanol Katalis PTSA
(0,5, 1, 1,25, 1,5%)
Butanolisis ( 150 ˚C, t = 2 jam P= 1- 4 bar )
Transasetalisasi ( T= 110-120 ˚C,
t = 2 jam)
Fatty alcohol + 50%
katalis PTSA proses
butanolisis
Netralisasi
( T = 80 ˚C pH = 6 – 8 ) + NaOH 50%
Distilasi
T = 180 – 200 ˚C P = Vakum Fatty
alcohol +
butanol
berlebih
Alkil Poliglikosida
(APG)
Formulasi surfaktan
APG 0,5% dan 2%
+ Aquades ( 1:1 )
Formulasi
surfaktan terbaik
Stabilitas termal pH Kelakuan fasa
FTIR
Non Purging N2
Disaring Karakterisasi
kompatibilitas
Interfacial
Tension (IFT)
APG : Aquades
(1:1)
+ Air formasi
Purging N2
Karakterisasi
tahap lanjut
33
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Preparasi sampel minyak mentah
Sampel minyak mentah yang digunakan yaitu minyak mentah yang berasal
dari lapangan X. Sampel minyak mentah dipanaskan selama 1 jam pada suhu 40˚C
dengan pengocokan agar sampel minyak mentah tersebut lebih homogen sebelum
diujikan.
3.4.2 Preparasi air formasi
Air formasi adalah air yang mengandung garam-garam kation dan anion.
Preparasi air formasi yang berasal dari lapangan X dilakukan dengan cara
penyaringan menggunakan kertas whattman 42. Air formasi yang semula terdapat
sisa-sisa minyak yang menempel dan endapan kuning menjadi jernih.
3.4.3 Preparasi D-Glukosa
D-glukosa yang berasal dari PT. Raya Sugarindo Inti dibuat dengan
konsentrasi 75% dalam 500 mL aquadest (b/v). Sebanyak 375 gram serbuk d-
glukosa dimasukan kedalam beaker glass sambil dipanaskan, kemudian
ditambahkan dengan aquadest sedikit demi sedikit sambil diaduk. D-glukosa yang
ditambahkan dengan aquadest apabila tidak diaduk secara merata akan terjadi
gumpalan dan sulit untuk diaduk. Suhu yang digunakan berkisar 150 ˚C dengan
kecepatan 300 rpm.
34
3.4.4 Sintesis alkil poliglikosida (APG)
Proses sintesis alkyl polyglycoside (APG) dilakukan dengan memodifikasi
metode Wuest et al. (1992) dan Gibson et al. (2001). Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan reaktor berpengaduk yang dapat diatur suhu dan tekanan.
Sintesis alkyl polyglycoside (APG) dilakukan dengan dua tahap reaksi yaitu tahap
butanolisis dan tahap transasetalisasi. Kemudian dilanjutkan dengan netralisasi dan
distilasi. Secara skematis sintesis APG melalui beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahap Butanolisis
Proses butanolisis dilakukan pada reaktor berpengaduk yang dapat diatur
suhu dan tekanan dengan mencampurkan butanol sebanyak 145,77 gram, glukosa
75% sebanyak 60,05 gram dan katalisator asam p-toluena sulfonat dengan
konsentrasi katalis 0,5, 1, 1,25 dan 1,5% dari berat glukosa yang digunakan. Pada
reaksi butanolisis rasio mol yang digunakan antara glukosa dan butanol adalah
1:5,9. Kondisi proses dilakukan pada suhu 150 oC pada tekanan 1 – 4 bar, selama 2
jam. Sebelum dilanjutkan proses transasetalisasi, proses sintesis dimodifikasi
dengan penggunaan purging N2 dan tanpa penggunaan purging N2. Penggunaan
purging N2 bertujuan untuk mendapatkan kondisi vakum sehingga tidak kontak
dengan udara luar. Pada proses ini akan didapatkan 4 produk butilglikosida yang
dilakukan dengan purging N2 dan 4 produk butilglikosida tanpa penggunaan
purging N2.
2. Tahap Transasetalisasi
Proses transasetalisasi dilakukan pada reaktor dengan mencampurkan hasil
proses butanolisis pada penggunaan purging N2 maupun tanpa penggunaan purging
N2 dengan fatty alcohol (C12) dan katalisator asam p-toluena sulfonat. Dilakukan
35
dengan kondisi proses pada suhu 110 – 120oC selama 2 jam. Pada reaksi
transasetalisasi rasio mol antara glukosa dengan fatty alcohol (C12) adalah 1:3
dengan konsentrasi katalis PTSA sekitar 50% dari katalis yang digunakan pada
proses butanolisis.
3. Tahap Netralisasi
Tahap netralisasi dilakukan setelah mendapatkan hasil transasetalisasi yang
telah didinginkan hingga mencapai suhu 90oC. Proses ini dilakukan dengan
menggunakan NaOH 50% sampai pH netral tercapai (berkisar 6-8). Suhu yang
digunakan pada saat netralisasi yaitu 80oC.
4. Tahap Distilasi
Proses distilasi bertujuan untuk menghilangkan butanol dan alkohol
berlebih yang tidak bereaksi. Proses distilasi dilakukan dengan menggunakan
distilasi vakum ASTM D 1160 yang dilakukan pada suhu 180-200oC dan tekanan
15 mmHg hingga didapatkan hasil sintesis berupa padatan alkyl polyglycoside
(APG).
3.4.5 Formulasi surfaktan APG
Sebelum dilakukan karakterisasi, APG hasil sintesis dilarutkan terlebih
dahulu dengan air formasi sebanyak 50% dengan perbandingan 1:1. Kemudian
dibuat larutan surfaktan APG 0,5 dan 2%. Larutan surfaktan APG tersebut
kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring whattman 42, dikarenakan
menghasilkan fasa yang tidak homogen.. Kemudian dikarakterisasi dengan uji
FTIR, kompatibilitas, uji interfacial tension (IFT) dengan menggunakan alat
spinning drop tensiometer, pH, stabilitas termal dan kelakuan fasa.
36
3.5 Karakterisasi Produk Surfaktan APG
3.5.1 FTIR (Fourier Transformation Infra Red) (Lemigas, 2008)
Analisa instrumen spektroskopi infra merah dilakukan dengan
menggunakan peralatan spektrofotometer Shimadzu seri IR Prestige-21. Sampel
APG dapat langsung diuji tanpa proses preparasi. Sebanyak 1 g sampel APG
formula A1Y dimasukan ke dalam tube FTIR untuk dianalisis dengan bilangan
gelombang 400-4.000 cm-1. Sinar inframerah ditembakkan pada sampel, dengan
bantuan software komputer kemudian ditampilkan hasil spektrogram gugus fungsi
dari sampel.
3.5.2 Kompatibilitas (Lemigas, 2008)
Pengujian kompatibilitas dilakukan secara manual yakni dengan mengamati
hasil formulasi surfaktan APG konsentrasi 0,5 dan 2% pada tabung reaksi apakah
surfaktan larut sempurna dalam air formasi atau tidak. Pengamatan dilakukan setiap
hari selama 2 minggu. Surfaktan yang baik akan menghasilkan surfaktan yang larut
dalam air formasi, jernih dan tidak terbentuk endapan.
3.5.3 Densitas (Lemigas, 2008)
Pengukuran densitas dilakukan dengan menggunakan piknometer 10 mL.
Piknometer yang kosong dan bersih terlebih dahulu dimasukan kedalam oven
dengan suhu reservoir 40 ˚C selama 5 menit dan ditimbang sebagai bobot kosong
(W1). Kemudian diisi piknometer dengan surfaktan APG yang telah dibuat
konsentrasinya 0,5% dan 2%, setelah itu dimasukkan kedalam oven dengan suhu
reservoir 40 ̊ C selama 15 menit dan ditimbang sebagai bobot isi (W2). Pengukuran
densitas akan dimasukan sebagai perhitungan nilai IFT.
37
3.5.4 Pengukuran nilai Interfacial Tension (IFT) (Lemigas, 2008).
Pengukuran nilai IFT dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop
tensiometer seri M6500. Sebelum diuji sampel surfaktan APG terlebih dahulu
dilarutkan dengan air formasi yang berasal dari lapangan jirak pada konsentrasi 0,5
dan 2%. Alat beserta komputer dinyalakan dan suhu diatur sampai 400C mengikuti
suhu reservoir. Tube sampel diisi dengan larutan surfaktan sampai penuh. Didalam
tube sampel tersebut tidak boleh ada gelembung udara karena dapat mengganggu
proses pengukuran. Sebanyak 1 mikroliter sampel minyak mentah diinjeksikan
menggunakan syringe ke dalam tube sampel yang telah berisi larutan surfaktan.
Lalu tube sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat. Frekuensi putaran diatur
sebesar 3.000 rpm selama 30 menit. Gambar droplet minyak yang terbentuk di
capture dan diukur diameter droplet minyak tersebut.
Penentuan nilai IFT dilakukan berdasarkan rumus dibawah ini (Drelich, 2002) :
ϒ = 1.44 x 10-7 x Δρ x D3 x θ2 ................. (1)
Keterangan :
ϒ = Tegangan antarmuka (mN/m)
Δρ = perbedaan densitas fluida (g/mL)
D = Jari-jari droplet (mm)
θ = kecepatan putaran (rpm)
3.5.5 pH (Lemigas, 2008)
Pengujian pH dilakukan dengan menggunakan indikator pH universal.
Sebelum diuji sampel surfaktan APG terlebih dahulu dilarutkan dengan air formasi
dari lapangan jirak pada konsentrasi 0,5 dan 2%.
38
3.5.6 Stabilitas termal (Lemigas, 2008)
Pengujian stabilitas termal dilakukan dengan memasukkan formulasi
surfaktan APG konsentrasi 0,5 dan 2% pada tabung reaksi, kemudian dipanaskan
kedalam oven dengan suhu 40 oC yang disesuaikan dengan kondisi suhu reservoir
pada lapangan X. Kemudian diamati apakah surfaktan tetap stabil terhadap suhu
atau tidak. Surfaktan yang stabil terhadap suhu reservoir tidak akan membentuk
endapan dan air yang keruh. Pengamatan dilakukan selama 2 minggu.
Selain melakukan pengamatan, selama uji ini juga dilakukan pengukuran
IFT secara berkala dengan periode 1 minggu sekali selama dua minggu. Pengujian
ini dilakukan untuk menentukan apakah surfaktan terdegradasi oleh pengaruh suhu
atau tidak. Surfaktan yang baik akan stabil pada kondisi suhu reservoir dan tidak
terdegradasi oleh pengaruh suhu dengan tidak adanya kenaikan nilai IFT.
3.5.7 Kelakuan fasa (Lemigas, 2008)
Pengujian kelakuan fasa dilakukan secara manual dengan cara memasukkan
larutan surfaktan yang sudah dicampurkan dengan air formasi dengan konsentrasi
0,5 dan 2% kedalam phase behaviour testing aparatus kemudian ditambahkan
minyak mentah dari lapangan X dengan perbandingan antara surfaktan dan minyak
mentah adalah 1:1. Selanjutnya phase behaviour testing aparatus yang sudah
disiapkan dimasukkan kedalam oven sesuai dengan suhu reservoir yaitu 40oC
selama 30 menit dan dikocok sebanyak 3 kali dan dimasukkan kembali kedalam
oven selama 1 jam. Kemudian diamati emulsi yang terbentuk. Pengamatan
dilakukan setiap hari selama 2 minggu.
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sintesis alkil poliglikosida
Senyawa APG diperoleh melalui metode Fisher dengan dua tahap reaksi
yaitu tahap butanolisis dan transasetalisasi. Tahap butanolisis yaitu dengan
mereaksikan glukosa 75% dan butanol yang ditambahkan dengan katalis PTSA.
Tahap transasetalisasi yaitu penambahan fatty alcohol (C12) dengan 50% katalis
PTSA dari proses butanolisis. Kemudian dilanjutkan dengan tahap netralisasi, dan
distilasi sehingga didapatkan padatan alkil poliglikosida (APG). Proses sintesis ini
dilakukan dengan menggunakan reaktor berpengaduk yang dilengkapi dengan
thermoset sehingga dapat diatur suhu dan tekanan.
1. Butanolisis
Tahap butanolisis merupakan reaksi antara glukosa 75% dan butanol dengan
menggunakan katalis asam yaitu katalis para toluene sulfonac acid (PTSA) dengan
variasi katalis yang digunakan yaitu 0,5, 1, 1,25 dan 1,5%. Reaksi berlangsung pada
xv kondisi temperatur 150 ᵒC dengan tekanan 1- 4 bar selama 2 jam. Menurut
Luders (2000), penggunaan suhu tinggi pada proses sintesis maka reaksi akan
berjalan lebih cepat, penambahan katalis yang semakin tinggi memungkinkan
terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses butanolisis.
Dengan suasana asam memungkinkan ion H+ yang diperoleh dari katalis membantu
terjadinya ikatan antara gula dan butanol. Berikut reaksi yang terjadi antara glukosa
dan butanol yang ditunjukkan pada Gambar 16:
40
Gambar 16. Mekanisme reaksi butanolisis (Hill, 2000)
Berdasarkan Wang et al. (2014) reaksi tanpa menggunakan katalis lebih
sulit dilakukan karena laju reaksi yang sangat lambat dan glukosa terkumpul
menghasilkan ukuran partikel yang lebih besar sehingga dapat menyebabkan
terjadinya karamelisasi. Selain itu, reaksi pembentukan asetal (glikosida) terjadi
karena salah satu oksigen diprotonasi oleh katalis asam. Hasil proses sintesis pada
tahap butanolisis akan menghasilkan butilglikosida. Sebelum memasuki tahap
transasetalisasi proses sintesis divariasikan dengan menggunakan purging N2 dan
non purging N2. Penggunaan purging N2 dan non purging N2 untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh surfaktan terhadap nilai IFT yang dihasilkan. Karena
penggunaan purging N2 bertujuan untuk menggantikan kondisi vakum sehingga
dapat menghasilkan nilai IFT yang lebih baik.
41
2. Transasetalisasi
Proses sintesis dilanjutkan melalui tahap transasetalisasi, tahap
transasetalisasi pada sintesa alkyl polyglycosides (APG) merupakan tahapan yang
sangat penting, karena pada tahap ini ikatan antara butilglikosida dan fatty alcohol
terbentuk. Pada tahapan ini terjadi proses penggantian C4 oleh C12 dengan katalis
asam p-toluene sulfonat sebanyak 50% dari proses butanolisis dengan suhu reaksi
pada interval 110-120 ˚C. Berikut merupakan mekanisme reaksi yang terjadi :
Gambar 17. Mekanisme reaksi transasetalisasi (Hill, 2000)
Alkil poliglikosida yang dihasilkan menentukan keseimbangan gugus
hidrofilik dan hidrofobik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi
ketidakseimbangan yaitu terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak
atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh
keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai
hidrofobiknya terlalu pendek, komponen akan memiliki keterbatasan kelarutan
42
dalam minyak (Swern, 1979). Wuest et al. (1992) menyarankan penggunaan
alkohol lemak dengan panjang rantai C8-C12. Alkohol lemak pada APG diperlukan
untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat
hidrofobik. Semakin panjang rantai gugus alkil, sifat non polar akan semakin tinggi.
Pada proses transasetalisasi, butil glikosida bereaksi dengan alkohol lemak yang
dilakukan pada kondisi vakum untuk menurunkan titik didih dari alkohol lemak
sehingga gugus OH akan menjadi lebih reaktif untuk menggantikan rantai pendek
alkohol (butil) oleh rantai panjang alkohol sehingga membentuk senyawa surfaktan
alkil poliglikosida (APG).
Hasil akhir reaksi transasetalisasi yaitu larutan alkil poliglikosida. Sintesis
APG berbahan baku larutan glukosa 75% dan fatty alcohol C12 menghasilkan
larutan warna coklat tua hingga kehitaman. Selama proses transasetalisasi
berlangsung, sisa butanol dan air yang dihasilkan pada proses butanolisis akan
keluar melalui proses distilasi vakum. Gambar 18 dibawah ini merupakan hasil
sintesis APG tahap transasetalisasi :
Gambar 18. Hasil sintesis APG tahap transasetalisasi
A3X Purging N2
A3X Non purging N2
43
McCurry (1994), menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi terdiri dari
dodecil poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan sebagian kecil gula
yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak.
3. Netralisasi
APG yang dihasilkan masih bersifat asam yaitu memiliki pH berkisar 3
sehingga perlu dinetralkan terlebih dahulu dengan penambahan NaOH 50% sekitar
30-40 tetes sampai pH yang dihasilkan bernilai 7-9. Tahapan netralisasi
berlangsung pada suhu 80ᵒC dan tekanan normal sambil diaduk menggunakan
magnetic stirrer kurang lebih selama 30 menit. Pada penelitian ini pH yang
dihasilkan sekitar 7-8. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan
karena gugus eter yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih
stabil dalam kondisi netral dan basa (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Penggunaan NaOH untuk proses netralisasi karena NaOH tidak bereaksi
dengan fatty alcohol. Selain itu penggunaan natrium hidroksida lebih luas, dengan
biaya rendah dan memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan basa lainnya
meskipun dengan konsentrasi rendah (Hargreaves, 2003). Jika tidak dilakukan
netralisasi maka APG yang telah terbentuk dalam larutan hasil transasetalisasi akan
mengalami kerusakan pada proses destilasi. Hal ini disebabkan karena larutan
masih bersifat asam dan suhu yang digunakan >140oC yang dapat merusak APG
yang telah terbentuk (Erliza, 2012). Setelah netralisasi tahapan selanjutnya adalah
distilasi.
4. Distilasi
Tahapan distilasi ini bertujuan untuk menghilangkan fatty alcohol (C12)
yang tidak bereaksi dan butanol berlebih, perbedaan titik didih akan memisahkan
komponen tersebut dari APG. Proses distilasi ini dilakukan pada interval suhu
44
sekitar 180-200oC dengan tekanan vakum. Hasil akhir proses distilasi akan
diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman yang akan
segera mengeras pada suhu ruang seperti gulali. Berikut merupakan hasil sintesis
padatan APG ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Hasil sintesis APG (Alkil Poliglikosida)
Warna coklat tua hingga kehitaman yang terbentuk pada produk akhir APG
diperoleh dari proses pembuatannya, timbulnya warna gelap dapat disebabkan
karena pengaruh suhu yang terlalu tinggi dan penggunaan katalis asam yang
digunakan dalam pembentukan senyawa alkil poliglikosida. APG yang dihasilkan
akan mudah sekali mengeras sehingga harus segera diambil hasil distilasinya
didalam labu karena kalau tidak akan memadat dan sulit untuk dikeluarkan.
Menurut Ware et al. (2007) sintesis APG menggunakan alkohol lemak C8 dan C10
akan menghasilkan APG yang bersifat cairan kental, sedangkan menggunakan
alkohol lemak dengan jumlah C yang lebih tinggi, APG yang dihasilkan akan
berbentuk padat pada suhu kamar. Hasil sintesis ini akan dikarakterisasi
menggunakan FTIR bertujuan untuk melihat gugus fungsi yang terkandung didalam
surfaktan APG.
45
4.2 Karakterisasi Surfaktan APG
4.2.1 FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Alkil poliglikosida yang disintesis memiliki gugus molekul yang dapat
diidentifikasi dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR).
Spektrofotometer infra merah transformasi fourier merupakan alat untuk
mendeteksi gugus fungsi suatu senyawa dengan spektrum infra merah dari senyawa
organik yang memiliki sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah akan
diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau
vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C=O, O-H dan
sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua
senyawa berbeda akan mempunyai absorpsi yang berbeda. Gambar 20 dibawah ini
merupakan spektrum FTIR hasil sintesis APG dari formulasi surfaktan A1Y :
Gambar 20. Spektrum FTIR APG hasil sintesis
46
Menurut Wang et al. (2014), terbentuknya alkil poliglikosida didukung oleh
spektrum FT-IR dimana memberikan puncak peregangan getaran C-O-C yang
lemah pada bilangan gelombang disekitar 1710 yang menunjukkan apakah
memiliki jenis dari bahan surfaktan APG C12 yang dihasilkan atau tidak. puncak
peregangan getaran C-O-C yang lemah pada surfaktan APG hasil sintesis
dihasilkan pada bilangan gelombang 1.714,72 cm-1 dan serapan pada bilangan
1.149,57 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur C–O–C.
Berikut merupakan tabel hasil karakterisasi FTIR :
Tabel 5. Karakteristik surfaktan APG dari jenis alkohol lemak C12 dengan
pengujian FTIR
Gugus
Fungsi
Bilangan Gelombang (Cm-1)
Sukkary et al.
2007
Uzwatania et
al. 2017
APG
Komersial
APG hasil
Sintesis
O-H 3.200-3400 3.369.29 3.394,70 3377.36
C-O-C 1.120-1.170 1.152.26 1.152,45 1149.57
CH 2.932 2.924,23 2.924,67 2924.09
CHO 1.716 1.738,57 1.637,25 1714.72
Hal ini sesuai pendapat Sukkary et al. (2007), bahwa gugus eter (C-O-C)
sebagai komponen gugus utama pada APG terdapat pada serapan bilangan
gelombang 1.120–1.170 cm-1, sedangkan gugus OH terbentuk pada serapan
bilangan gelombang 3.200–3400 cm-1. Hasil spektra gugus fungsi FTIR surfaktan
APG dapat dilihat pada Gambar 22, terbentuknya gugus eter (C-O-C) menandakan
bahwa sintesis antara gugus hidroksil dari glukosa dengan alkohol lemak telah
terbentuk, yang berarti struktur gugus hidrofobik dari surfaktan APG juga telah
terbentuk. Gugus OH menandakan gugus hidrofilik dari surfaktan APG telah
terbentuk.
47
4.2.2 Kompatibilitas
Untuk mengetahui karakteristik suatu surfaktan pada aplikasi EOR, uji yang
dilakukan paling awal dibandingkan uji-uji lainnya yaitu uji kompatibilitas. Uji
kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kecocokan antara
surfaktan dengan air formasi dalam suatu reservoir. Apabila pada uji ini surfaktan
tidak cocok (tidak kompatibel), maka surfaktan dianggap tidak layak untuk
reservoir yang bersangkutan. Uji bernilai positif bila surfaktan larut sempurna
dalam air formasi, sedangkan uji bernilai negatif bila surfaktan tidak larut sempurna
dalam air formasi. Uji kompatibilitas ini dilakukan dengan mengamati kelarutan
formulasi surfaktan APG 0,5 dan 2% yang telah dibuat dan diamati setiap hari
selama 2 minggu. Berikut merupakan tabel hasil karakterisasi berdasarkan uji
kompatibilitas :
Tabel 6. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji kompatibilitas
Surfaktan Konsentrasi
Formulasi
Kompatibilitas ( Hari ke 1-14 )
A1X 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
A2X 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
A3X 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
A4X 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
A1Y 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
A2Y
A3Y
A4Y
0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
2%
0,5%
2%
0,5%
2%
Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
Larut, jernih dan tidak membentuk endapan
48
Keterangan :
A1X = Non Purging, Katalis PTSA 0,5%
A2X = Non Purging, Katalis PTSA 1%
A3X = Non Purging, Katalis PTSA 1,25%
A4X = Non Purging, Katalis PTSA 1,5%
A1Y = Purging, Katalis PTSA 0,5%
A2Y = Purging, Katalis PTSA 1%
A3Y = Purging, Katalis PTSA 1,25%
A4Y = Purging, Katalis PTSA 1,5%
Sifat surfaktan APG ini cenderung lebih larut dalam air sehingga larut dalam
air formasi dan tidak membentuk endapan. Pada umumnya, kelarutan surfaktan
dapat dilihat dari jenis surfaktan yang di uji. Surfaktan yang memiliki sifat
hidrofilik (suka terhadap air) yang lebih tinggi akan lebih larut dalam air formasi.
Sebaliknya, surfaktan yang memiliki sifat lipofilik (suka terhadap minyak) yang
lebih tinggi akan sulit larut dalam air atau dapat dikatakan lebih larut dalam minyak.
Hasil pengamatan secara visual yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Kompatibilitas surfaktan APG
Pada uji kompatibilitas diharapkan campuran yang terbentuk adalah larutan
sempurna atau koloid, sedangkan suspensi sangat tidak diharapkan karena
dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan pada saat larutan surfaktan diinjeksikan
ke dalam batuan. Berdasarkan hasil uji kompatibilitas, maka disimpulkan bahwa
surfaktan APG yang dibuat pada konsentrasi 0,5 dan 2% ini kompatibel terhadap
A1X A2X A3X A4X
A1Y
49
air formasi, karena pada hasil uji ini tidak menunjukkan adanya endapan atau
gumpalan yang dapat menimbulkan penyumbatan pada batuan reservoir.
4.2.3 Interfacial Tension (IFT)
Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis
permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan
yang berbeda fase (Myers, 2006). Interfacial Tension (IFT) atau tegangan
antarmuka minyak-air merupakan parameter yang sangat penting untuk
menentukan apakah suatu jenis surfaktan baik digunakan untuk aplikasi enhanced
oil recovery (EOR) atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari parameter nilai IFT yang
dihasilkan, nilai IFT yang diharapkan berdasarkan BP MIGAS (2009) sebesar ≤10-
3 mN/m.
Pengukuran nilai IFT ini menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer seri
M6500. Nilai IFT yang diperoleh didapatkan dengan membandingkan nilai IFT
antara penggunaan purging N2 dan non purging N2 pada konsentrasi formulasi 0,5
dan 2%. Pembuatan formulasi surfaktan dengan konsentrasi 0,5 dan 2% disebabkan
karena surfaktan yang akan diaplikasikan untuk EOR dibatasi dengan konsentrasi
3%. Oleh sebab itu, diharapkan dengan pembuatan konsentrasi surfaktan serendah
mungkin dengan tidak melebihi konsentrasi surfaktan 3% dapat bekerja secara
optimum sehingga menurunkan biaya yang akan dikeluarkan pada produksi
surfaktan yang akan diaplikasikan. Berikut merupakan grafik surfaktan APG
dengan penggunaan non purging N2 antara formulasi surfaktan APG 0,5 dan 2% :
50
Gambar 22. Perbandingan formulasi surfaktan APG dengan konsentrasi 0,5 dan
2% pada penggunaan non purging N2
Hasil dari uji kemampuan menurunkan tegangan antarmuka dari surfaktan
APG dengan penggunaan non purging N2 baik formula 0,5 maupun 2% mencapai
konsentrasi optimum pada formula A3X dengan kecepatan 3000 rpm, nilai IFT
yang diperoleh masing-masing sebesar 0,0125 mN/m dan 0,0092 mN/m. Hasil
keduanya menunjukan kinerja yang baik. Menurut Suryani et al. (2000) penurunan
tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan
gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antarmolekul yang bekerja diantara molekul-
molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antarmolekul yang
bekerja diantara molekul-molekul yang tidak sejenis. Gaya tolak-menolak bersifat
menstabilkan emulsi karena gaya ini mempertahankan butiran droplet agar tetap
terpisah.
Surfaktan APG kemudian diuji nilai IFT nya dengan penggunaan purging
N2 dan formulasi konsentrasi APG 0,5 dan 2%. Berikut merupakan grafik nilai IFT
penggunaan purging N2 dengan konsentrasi surfaktan 0,5 dan 2% :
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
A1X A2X A3X A4X
Inte
rfac
ial
Ten
sio
n (
mN
/m)
0,50%
2%
51
Gambar 23. Perbandingan formulasi surfaktan APG dengan konsentrasi 0,5 dan
2% pada penggunaan purging N2
Surfaktan APG hasil sintesis 0,5% dengan penggunaan purging N2
memperlihatkan hasil yang baik karena beberapa formulasi dapat mencapai nilai
IFT hingga 10-3 mN/m dan paling tinggi nilai IFT yang dihasilkan berkisar 10-2
mN/m. Nilai konsentrasi optimum pada penggunaan purging N2 konsentrasi 0,5%
dicapai pada formulasi A4Y yaitu konsentrasi PTSA 1,5% sebesar 0,0009 mN/m
pada 3000 rpm.
Hasil uji pengukuran IFT yang ditunjukkan pada gambar 24, nilai IFT
surfaktan dapat mencapai 10-3 mN/m pada formulasi surfaktan A3Y. Jika
dibandingkan dengan nilai IFT seperti yang ditunjukkan pada konsentrasi 0,5%,
nilai IFT pada konsentrasi 2% menunjukkan hasil yang lebih rendah atau lebih baik
seperti yang diharapkan pada penelitian ini. Konsentrasi optimum pada formula
surfaktan 2% dicapai pada formula A1Y sebesar 0,0008 mN/m pada 3000 rpm. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kenaikan konsentrasi pada penurunan
nilai IFT. Menurut Sheng (2015) bahwa tegangan antarmuka (IFT) menurun seiring
bertambahnya konsentrasi surfaktan, penurunan sampai pada konsentrasi tertentu
nilai tegangan antar muka akan mencapai nilai minimum. Nilai konsentrasi
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
A1X A2X A3X A4X
Inte
rfac
ial
Ten
sio
n (
mN
/m)
0,50%
2%
52
surfaktan tertentu yang menunjukkan nilai tegangan antar muka dan tegangan
permukaan minimal merupakan nilai Critical Micelle Concentration (CMC) yang
sebenarnya. Jumlah molekul surfaktan dalam campuran minyak mentah dan brine
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi surfaktan ketika konsentrasi
surfaktan pada fasa cair mendekati nilai CMC, kemudian nilai tegangan antar muka
dan tegangan permukaan akan mencapai nilai minimum. Dengan demikian
diharapkan surfaktan ini dapat efektif dalam meningkatkan % oil recovery.
Surfaktan dapat dikatakan efektif dalam meningkatkan % oil recovery apabila
surfaktan mampu menurunkan IFT sampai 10-3 – 10-6 mN/m (Rosen, 2004).
Apabila dibandingkan tanpa dan dengan penggunaan purging N2,
penggunaan purging N2 pada saat sintesis menghasilkan nilai IFT yang lebih baik
dibandingkan dengan non purging N2. Hal ini disebabkan karena penggunaan
purging N2 bertujuan untuk mendapatkan kondisi vakum, agar tidak kontak dengan
udara luar. Sehingga nilai IFT yang dihasilkan akan semakin baik. Penggunaan
katalis sangat menentukan keberhasilan ikatan asetal antara glukosa dan fatty
alcohol (C12) yaitu terbentuknya Alkil Poliglikosida (APG), diasumsikan bahwa
penggunaan katalis yang semakin banyak akan memperbesar peluang reaktan untuk
saling bertumbukan sehingga produk yang terkonversi semakin banyak sehingga
mempengaruhi penurunan nilai IFT yang dihasilkan. Uji kemampuan menurunkan
tegangan permukaan air dari APG yang dihasilkan menunjukkan kinerja yang baik
karena hal ini sudah sesuai dengan syarat ketentuan nilai IFT yaitu ≤10-3 mN/m.
Hasil tersebut menunjukkan karakteristik surfaktan APG dalam menurunkan
tegangan antar muka memiliki kecenderungan menurun pada konsentrasi formula
2% dengan penggunaan purging N2. Oleh sebab itu, formula surfaktan APG
53
Purging N2 akan dikarakterisasi lebih lanjut dengan uji pH, stabilitas termal dan
kelakuan fasa.
4.2.4 pH
Derajat keasaman (pH) surfaktan alkil poliglikosida (APG) dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat keasaman surfaktan yang dihasilkan. Pengujian
ini digunakan secara kualitatif menggunakan pH indikator. Dengan diketahuinya
nilai pH tersebut, maka dapat diketahui seberapa besar korosif yang dapat
ditimbulkan bila kontak dengan peralatan fasilitas injeksi surfaktan. Nilai pH
berkaitan dengan konsentrasi ion hidrogen sebagai bagian komponen keasaman dan
konsentrasi ion hidroksil sebagai bagian komponen kebasaan. Pada kondisi pH
netral maka konsentrasi kedua ion menjadi seimbang, namun jika konsentrasi ion
hidrogen lebih besar dari ion hidroksil maka pH akan cenderung rendah (asam)
(Rondinini et al., 2001).
Pengujian dilakukan dengan menggunakan surfaktan APG hasil sintesis
yang dicampur dengan air formasi dengan pembuatan konsentrasi surfaktan 0,5%
dan 2%. Air formasi yang digunakan berasal dari lapangan X, kemudian diuji
nilainya dan mendapatkan nilai pH 10. Data hasil analisis pH surfaktan APG
disajikan pada Tabel dibawah ini:
Tabel 7. Nilai pH formulasi surfaktan APG 0,5 dan 2%
Formulasi Konsentrasi pH
A1Y
A2Y
A3Y
A4Y
0,5% 10
2%
0,5%
2%
0,5%
2%
0,5%
2%
10
10
10
10
10
10
10
54
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua formulasi surfaktan APG
yang dihasilkan memiliki pH 10. Umumnya surfaktan yang belum dicampurkan
dengan air formasi akan bersifat netral. Kondisi basa pada surfaktan APG diperoleh
pada proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50% dan diperoleh dari
formulasi surfaktan yang dicampurkan dengan air formasi yang bersifat basa dan
bernilai 10. Selain itu, APG merupakan suatu asetal dimana asetal akan lebih stabil
pada kondisi netral dan lebih baik lagi dalam kondisi basa (Fessenden dan
Fessenden, 1982). Hal ini menandakan bahwa untuk pengujian nilai pH, surfaktan
APG telah sesuai dengan karakter air formasi yang digunakan. Air formasi yang
diambil dari dalam perut minyak bumi mempunyai kandungan ion-ion negatif dan
positif dengan konsentrasi tertentu. Adanya ion-ion tersebut dapat mempengaruhi
nilai pH dari larutan surfaktan APG.
4.2.5 Stabilitas termal
Uji thermal stability bertujuan untuk mengetahui kestabilan formula larutan
surfaktan yang akan digunakan terhadap suhu reservoir lapangan minyak.
Pemanasan dilakukan pada suhu reservoir lapangan X yaitu 40ᵒC. Suhu pada
reservoir lapangan minyak lebih tinggi dibandingkan dengan suhu ruang. Kondisi
thermal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap degradasi formula
surfaktan. Uji ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Uji kualitatif dilakukan
dengan mengamati kelarutan surfaktan setelah dilakukan pemanasan sedangkan uji
kuantitatif pada penelitian ini dilakukan dengan pengukuran IFT setelah dilakukan
pemanasan dengan periode 1 minggu sekali selama 14 hari. Karakteristik uji
kualitatif stabilitas termal dapat dilihat pada Tabel 8 berikut :
55
Tabel 8. Karakteristik Surfaktan APG berdasarkan uji Stabilitas Termal
Formula
Surfaktan
Konsentrasi Pengamatan ( Hari ke 1-14 )
A1Y 0,5% Stabil pada suhu reservoir
2% Stabil pada suhu reservoir
A2Y 0,5% Stabil pada suhu reservoir
2% Stabil pada suhu reservoir
A3Y 0,5% Stabil pada suhu reservoir
2% Stabil pada suhu reservoir
A4Y 0,5% Stabil pada suhu reservoir
2% Stabil pada suhu reservoir
Tabel 9 menunjukkan bahwa uji stabilitas termal surfaktan APG pada semua
formulasi yang dilakukan selama 14 hari mendapatkan hasil yang diharapkan yaitu
memiliki ketahanan terhadap suhu yang baik karena setelah 14 hari larutan tetap
jernih atau tidak terbentuk endapan. Kemudian setelah dilakukan pengujian ini
dilakukan juga pengujian stabilitas termal dengan melihat nilai IFT yang dihasilkan.
Berikut merupakan data hasil pengamatan uji stabilitas termal:
Tabel 9. Karakteristik Surfaktan APG berdasarkan uji stabilitas termal (IFT)
Surfaktan
Konsentrasi
Formulasi
Tanpa
Pemanasan
(mN/m)
Minggu 1
Pemanasan
40 ˚C
(mN/m)
Minggu 2
Pemanasan
40 ˚C
(mN/m)
A1Y 0,5% 0,0042 0,0050 0,0011
2% 0,0008 0,0007 0,0007
A2Y 0,5% 0,0183 0,0117 0,0114
2% 0,0237 0,0221 0,0218
A3Y 0,5% 0,0021 0,0119 0,0027
2% 0,0013 0,0010 0,0089
A4Y 0,5% 0,0009 0,0009 0,0007
2% 0,0151 0,0056 0,0048
Data hasil pengukuran IFT pada Tabel 9 diatas menunjukkan perubahan
nilai IFT pada formula surfaktan sebelum dan sesudah pemanasan selama
pengukuran satu kali dalam seminggu yang dilakukan selama 14 hari. Selama
minggu pertama dan minggu kedua terjadi penurunan nilai IFT pada masing-
masing formula bila dibandingkan dengan tanpa pemanasan. Hal ini disebabkan
56
karena pada saat formulasi dengan pemanasan, reaktan-reaktan bergerak lebih
cepat dan saling bertumbukan sehingga dapat mempercepat laju reaksi.
Peningkatan suhu berpengaruh dalam mempercepat laju reaksi, jika tanpa
pemanasan, reaktan tidak mempunyai energi yang cukup untuk bereaksi. Sehingga
diasumsikan penurunan nilai IFT dapat terjadi (Novita, 2011). Berdasarkan uji
thermal stability maka dapat disimpulkan surfaktan APG stabil terhadap panas.
Sehingga diharapkan surfaktan APG memiliki karakteristik yang tetap baik dan
tidak terpengaruh oleh pemanasan.
4.2.6 Kelakuan fasa
Uji kelakuan fasa bertujuan untuk melihat terbentuknya fasa antara larutan
surfaktan dengan minyak bumi. Uji ini juga digunakan untuk mengetahui
kompatibilitas atau kecocokan antara surfaktan dengan fluida minyak. Penentuan
kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam
memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi
surfaktan. Jenis emulsi yang diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah
emulsi fasa tengah (Fase Form III) atau paling tidak emulsi fasa bawah. Pada
kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang
sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan
berjalan efektif (Lemigas, 2002).
57
Tabel berikut merupakan karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji
kelakuan fasa :
Tabel 10. Karakteristik Surfaktan APG berdasarkan uji kelakuan fasa
Keterangan : √ = emulsi fasa tengah - = tidak terbentuk emulsi, emulsi dibawah dan diatas.
Penentuan uji kelakuan fasa dilakukan secara visual dengan
membandingkan antara fasa larutan surfaktan terhadap fasa minyak. Pengamatan
dilakukan selama minimal 14 hari pada suhu reservoir lapangan X 40˚C. Hasil yang
didapatkan menunjukkan bahwa kelakuan fasa yang terbentuk tidak konstan
dimulai dari hari ke-1 sampai hari ke-14. Hal ini disebabkan karena faktor teknis
penggunaan oven yang bergantian dengan sampel pada saat pengujian, sehingga
diasumsikan terjadi ketidak seimbangan pengaruh suhu yang naik turun antara
surfaktan dan minyak mentah. Pada hari ke1-2 tidak terbentuk emulsi, fase yang
dicapai surfaktan APG adalah fase bawah.
Formula
Surfaktan Konsentrasi Hasil Pengamatan (Hari ke-)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
A1Y 0,5% - - -
2% - - - - - - -
A2Y 0,5% - - - - -
2% - - - - -
A3Y 0,5% - - - - - - - -
2% - - - - -
A4Y 0,5% - - -
2% - -
58
Gambar 24. Analisis kelakuan fasa pada konsentrasi surfaktan 0,5% pada
formula A2Y
Emulsi mulai terlihat konstan dan terbentuk emulsi fasa tengah dicapai pada
hari ke-13 dan berjalan konstan pada hari terakhir pengujian yaitu hari ke-14.
Walaupun demikian, dapat dilihat bahwa pengaruh pemanasan terhadap kelakuan
fasa menunjukkan kelarutan minyak meningkat seiring dengan lama pemanasan.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa emulsi yang terbentuk berada pada fase air
sehingga menambah volume air dan mengurangi volume minyak. Kelarutan
minyak tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula
surfaktan mampu membentuk emulsi.
59
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Penggunaan purging N2 pada konsentrasi surfaktan 2% menunjukkan
konsentrasi optimum pada formula A1Y dengan nilai IFT sebesar 0,0008
mN/m.
2. Penggunaan purging N2 pada saat sintesis menghasilkan penurunan
tegangan antarmuka yang lebih rendah apabila tanpa purging N2.
3. Karakteristik surfaktan APG yang dihasilkan memiliki pH 10, stabil dalam
kondisi termal, fasa yang terbentuk adalah fasa tengah pada hari terakhir
pengujian, niilai IFT yang dihasilkan pada rentang 10-2 – 10-4.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengujian karakteristik EOR yang lebih lama kurang lebih
selama 3 bulan serta memperhatikan kondisi peralatan teknis yang
digunakan pada saat pengujian, seperti kondisi temperatur untuk
mendapatkan hasil yang optimal terhadap pengaruh surfaktan yang
dihasilkan.
2. Perlu dilakukan karakteristik lebih lanjut yaitu pengujian imbibisi untuk
melihat kemampuan surfaktan dalam mengangkat minyak yang
terperangkap dalam batuan.
60
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Puspasaria, Nugroho. 2012. Polymers for Enhanced Oil Recovery
Technology. Procedia Chemistry, 4, 11–16.
Aisyah, S. 2011. Produksi surfaktan alkil poliglikosida (APG) dan aplikasinya
pada sabun cuci tangan cair. [Thesis]. Institut Pertanian Bogor.
Ashrawi SS. 1984. A Study of The Relationship Between Surfactant/Oil/Brine
System Fase Behavior and Chemical Flood Recovery in Short Core. SPE/DOE.
1272 : 311-320.
Baihaki, M. 2015. Universitas indonesia seleksi dan formulasi surfaktan untuk
meningkatkan produksi minyak bumi melalui teknik chemical flooding.
[Skripsi]. Universitas Indonesia.
Bastian, F., & Suryani, A. 2012. Peningkatan Kecerahan Pada Proses Sintesis
Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka Dan
Dodekanol. Reaktor, 14(2), 143–150.
BP MIGAS. 2009. Spesifikasi Teknis Surfaktan untuk Aplikasi EOR. Jakarta: BP
MIGAS.
Buchanan Charles Michael dan Matthew Davie Wood, “Process For Making
Alkylpolyglycosides”, United States Patent. No. 6,077,945.
Depag RI. 2009. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Syigma Exemedia
Arkanleema.
Drelich J, Fang C, White CL. 2002. Measurement of interfacial tension in fluidfluid
systems. Encyclopedia of Surface and Colloid Science. Ed ke-1. New York:
Marcel Dekker. hlm 3:3152-3166.
E, S., Tobing, Dan, & Pratomo, S. W. 2001. Kelakuan fasa campuran antara
“reservoir-injeksi-surfaktan” untuk implementasi enhanced water flooding.
Yogyakarta: Prosiding Simposium Nasional IATMI.
El-Sukkary, Mohamed, Mahmoud, Rahman. 2008. Synthesis and characterization
of some alkyl polyglycosides surfactants. Journal of Surfactants and
61
Detergents, 11(2), 129–137.
Erliza Hambali, Pudji Permadi, Y. A. 2012. Surfaktan Alkil Poliglikosida Dari
Palm Fatty Alcohol. Institut Pertanian Bogor.
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1982. Kimia Organik (diterjemahkan oleh
Pudjaatmaka, A.H.), Ed ke-3, Jilid 2, Erlangga, Jakarta.
Gibson dan Leedy. 2001. Process for reducing cycle times in reaction during the
Prod of APGs. US006100391A.
Gudiña, Vivek Rangarajan, Ramkrishna Sen. 2013. Potential therapeutic
applications of biosurfactants. Trends in Pharmacological Science, 34(12),
667-665
Green, D.W. and Willhite, G.P., 1998. Enhanced Oil Recovery. SPE textbook
series, 6. SPE,Richardson, Texax. 34(12), 667–675.
Hambali, E., A. Suryani, M. Rivai, H. Handoko, E. Zulchaidir. 2011. Optimal
Salinity Metil Ester Sulfonat dari Jarak Pagar untuk EOR. Bogor : IPB
Hardjono, A. 2000. Teknologi Minyak Bumi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Hargreaves T. 2003. Chemical Formulation: An Overview of Surfactant - Based
Preparation Used in Everyday Life, RCS Publishing, Cambridge.
Hermanto, S. (2008). Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan
Spektrofotometri. Jakarta: Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah.
Hill, K. 2000. Fats and Oils as Oleochemical Raw Materials. Journal of Oleo
Science, 72(7), 1255–1264.
Holmberg, K., Jonsson, B., Holmberg, K. and Lindman, B. 2002. Surfactants and
Polymers in Aqueous Solution. John Wiley & Sons, New York.
Hui, Y. H., 1996, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-5, volume ke-
2, New York: John Willey & Sons, Inc.
Ibrahim S dan Sitorus M. 2013. Teknik Laboraturium Kimia Organik (1st ed.).
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lohne, A., & Fjelde, I. 2012. Surfactant Flooding in Heterogeneous Formations.
63
The SPE Imroved Oil Recovery Symposium-USA, (April), 14–18.
Lembaga Minyak dan Gas Bumi. 2002. Analisis Surfaktan dan Polimer untuk EOR.
Jakarta (ID): Lemigas.
Lembaga Minyak dan Gas Bumi. 2008. Prosedur Analisis Surfaktan dan Polimer
untuk EOR. Jakarta (ID): Lemigas.
Luders H. 2000. Structure and Nomenclature of Surface-Active Alkyl Glucosides.
Noninonic Surfactants Alkyl Polyglucosides.
McCurry Patrick M., Carl E. Pickens, both of Decatur, Ill, “Process for Preparation
of Alkylglycosides”, United States Patent, No. 4,950,743, 1990.
Mehling, A., Kleber, M., & Hensen, H. 2007. Comparative studies on the ocular
and dermal irritation potential of surfactants. Food and Chemical Toxicology,
45(5), 747–758.
Myers, D. 2006. Surfactant science and Technology (3rd ed.). United states of
American: Wiley intersence a john Wiley & Sons, Inc Publication.
Naqvi, S. 2012. Enhanced Oil Recovery of Heavy Oil by Using Thermal and Non-
Thermal Methods. Dalhousie University, Nova Scotia, Canada.
Novita, Ikha. 2011. Formulasi Surfaktan untuk Screening awal Chemical Flooding
pada EOR (Enhanced Oil Recovery) [Skripsi]. Universitas Indonesia.
Ophardt, Charles E., 2003, Diabetes-Errors of Metabolism, Virtual Chembook
Elmhurst University, USA.
Presents Z. 2000. All about fatty alcohol. http://www.condea.org. [13 Agustus,
2018].
Rivai Rivai, Tun Terja Irawadi. 2011. Perbaikan Proses Produksi Surfaktan Metil
Ester Sulfonat dan Formulasinya Untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery
(EOR). J. Tek. Ind. Pert. Vol. 21 (1), 41-49
Rondinini S, Buck RP, dan Covington AK. 2001. The measurement of pH-
definition, standards and procedures. Journal Pure Applied Chemistry. 74
(11):2169-2200
Rosen, Milton J.(2004). Surfactants and Interfacial phenomena. Third edition, John
Willey and Sons, Inc.,Publication:New York
Salager, J.-L. 2002. Surfactants Types and Uses. Laboratory of Formulation,
Interfaces, Rheology and Processes, 2, 1–49.
64
Sany 2008. Analisa Pengaruh Konsentrasi dan Stabilitas Surfactant Non Ionic
Terhadap Temperature Duration Resistant Test Melalui Proses Imbibisi
Spontanius. Jurnal ITB.
Sheng JJ, Bernd L, Nasser A. 2015. "Status of Polymer Flooding Technology".
Journal of Canadian Petroleum Technology.
Sugihardjo E, Tobing dan S. W. Pratomo. 2001. Kelakuan fasa campuran antara
reservoir-injeksi-surfaktan untuk impelementasi enhanced water flooding.
Prosiding Simposium Nasional IATMI. Yogyakarta (ID) 3-5 Oktober 2001.
Sugihardjo. 2002. Formulasi optimum campuran surfaktan, air, dan minyak.
Lembaran Publikasi Lemigas 36(3): 37-42.
Sukriya, I. N. M. 2011. Formulasi Surfaktan untuk Screening Awal Chemical
Flooding pada EOR (Enhanced Oil Recovery). Depok : Universitas Indonesia.
Supratman, U. 2010. Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Bandung: Widya
Padjajaran.
Suryani, An., & Tjokrowardojo, A. S. 2008. Sintesis Alkil Poliglikosida (apg)
berbasis Alkohol Lemak dan Pati Sagu untuk Formulasi Herbisida, 5(1), 10–
20.
Swern, D., 1979, Bailey’s Industrial Oil and Fat Product Vol. I-4th Edition., John
Willey and Sons, Interscience Publication, New York.
Tong, Mingzhe, Liu, Pu, Zhang, Lufang, Zhu, Yajie. (1986). An improved Model
for interfacial Activity of Acidic Oil/Caustic System for Alkalone Flooding.
China : International Meeting on Petreleum Engineering, BeijingPost
Graduate School, Est China Petroleum Institute.
Uzwatania, F. 2015. Sintesis alkil poliglikosida (apg) berbasis dodekanol dan
heksadekanol dengan reaktan glukosa cair 75%. [Thesis]. Institut Pertanian
Bogor
Uzwatania, F. 2017. sintesis surfaktan poliglikosida (APG) berbasis dodekanol dan
heksadekanol dengan reaktan glukosa cair 75%. 27(1), 9–16.
Wang Jigang, Yongle Xin, Danting Fan dan Sitong Chen. 2015. Synthesis and
Characterization of APG-12. Open Journal of Composite Materials, 5.
Ware, A. M., Waghmare, J. T., & Momin, S. A. 2007. Alkylpolyglycoside:
Carbohydrate based surfactant. Journal of Dispersion Science and
Technology, 28(3), 437–444.
65
Wuest, Rainer Eskuchen, Josef. 1992. Process for preparing alkylglucoside
compounds from oligo-and/or polysaccharides.
Yasin, G., Iqbal Bhanger, M., Mahmood Ansari, T., Muhammad Sibtain Raza
Naqvi, S., Ashraf, M., & Naz Talpur, F. 2013. Quality and chemistry of crude
oils. Journal of Petroleum Technology and Alternative Fuels, 4(3), 53–63.
66
LAMPIRAN
Lampiran 1. Reaktor dan alat destilasi yang digunakan
a. Reaktor berpengaduk
b. Destilasi Vakum
Lampiran 2. Alat instrumen yang digunakan
a. Spinning drop tensiometer
b. FTIR
Lampiran 3 . Hasil uji sintesis APG tahap netralisasi
a. pH sebelum ditambahkan NaOH
b. pH setelah ditambahkan NaOH
67
Lampiran 4. Formulasi surfaktan alkil poliglikosida
a. Formulasi surfaktan 50:50 (APG : Aquades)
(
b. Formulasi surfaktan 0,5% dan 2%
Lampiran 5. Hasil uji karakterisasi kompatibilitas
Hari ke 1- 14 kompatibel terhadap air formasi tidak
membentuk endapan
68
Lampiran 6. Hasil uji karakterisasi stabilitas termal
a. Hasil uji stabilitas termal surfaktan 0,5% (hari ke 1-14 tetap stabil terhadap
pemanasan)
b. Hasil uji stabilitas termal surfaktan 2% (hari ke1-14 tetap stabil terhadap
pemanasan)
Lampiran 7. Hasil uji karakterisasi kelakuan fasa
a. Hasil uji kelakuan fasa hari ke 1 dan 2 tidak terbentuk mikroemulsi
69
b. Hasil uji kelakuan fasa hari ke-10
c. Hasil uji kelakuan fasa hari ke-6
formula A3Y 2% tidak terbentuk
mikroemulsi
d. Hasil uji kelakuan fasa hari ke-13
formula A1Y 0.5% terbentuk
mikroemulsi
70
Lampiran 8. Hasil uji karakterisasi FTIR
a. Hasil uji overlapping APG dengan menggunakan karakterisasi FTIR
71
b. Hasil uji karakterisasi FTIR Formulasi A1Y (Purging N2)
72
Lampiran 9. Hasil pengukuran IFT menggunakan instrumen spinning drop
tensiometer
a. Hasil pengukuran IFT surfaktan A1Y Formulasi 0,5% dengan kecepatan
putaran 3000 rpm
b. Hasil pengukuran IFT surfaktan A4Y Formulasi 0,5% dengan kecepatan
6000 rpm
Lampiran 10. Perhitungan bahan baku yang digunakan
Diketahui : BM Butanol = 74,12 g/mol
BM Dodekanol = 186,33 g/mol
BM glukosa anhidrat = 180, 16 g/mol
Rasio mol glukosa : butanol = 1 : 5.9
Rasio mol glukosa : fatty alcohol = 1 : 3
PTSA = 1% dari glukosa
73
1. Perhitungan pembuatan konsentrasi larutan glukosa 75% (asumsi densitas
air adalah 1)
Pembuatan larutan D-glukosa dengan konsentrasi 75% dalam 500 ml
aquades :
75% = 𝑏
𝑣
75% = 𝑏
500 𝑚𝑙
b = 75 x 5
b = 375 gram
2. Perhitungan 1 : 3 konsentrasi PTSA 1 % dari glukosa :
- Butanol = 1/3 (BM butanol x 5.9)
= 1/3 (74.12 x 5.9)
= 1/3 (437.31 g/mol)
= 145.77 g
- Glukosa 75% = 1/3 (BM Glukosa)
= 1/3 (180.16 g/mol)
= 60.05 g
- PTSA 1% = 1/100 (massa glukosa 75%)
= 1/100 (60.05 g)
= 0.60 g
- Dodekanol = 1/3 (BM dodekanol x 3)
= 1/3 (186.33 g/mol x 3)
= 186.33 g
74
Lampiran 11. Hasil pengukuran IFT menggunakan instrumen spinning drop
tensiometer
Surfaktan Formulasi
Konsentrasi
Rotasi
(rpm)
Suhu
(˚C)
Density
media
(g/cm3)
Density
drop
(g/cm3)
D
vertikal
(mm)
IFT
(mN/m)
A1X 0.5% 3000 40 1.0020 0.8471 0.8712 0.1327
2% 3000 40 1.0043 0.8471 0.6773 0.0633
A2X 0.5% 3000 40 1.0075 0.8471 1.5621 0.2743
2% 3000 40 1.0076 0.8471 1.0159 0.2181
A3X 0.5% 3000 40 1.0043 0.8471 0.3944 0.0125
2% 3000 40 1.0064 0.8471 0.3545 0.0092
A4X 0.5% 3000 40 1.0373 0.8471 0.4187 0.0181
2% 3000 40 0.9674 0.8471 0.4346 0.0128
A1Y 0.5% 3000 40 1.0054 0.8471 0.2742 0.0043
2% 3000 40 1.0086 0.8471 0.1563 0.0008
A2Y 0.5% 3000 40 1.0039 0.8471 0.4482 0.0183
2% 3000 40 1.0087 0.8471 0.3734 0.0109
A3Y 0.5% 3000 40 1.0008 0.8471 0.2227 0.0022
2% 3000 40 1.0037 0.8471 0.1857 0.0013
A4Y 0.5% 3000 40 1.0056 0.8471 0.1636 0.0009
2% 3000 40 1.0107 0.8471 0.4145 0.0151
top related