pemakain surfaktan

118
PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: tia-hulwah-jiddan

Post on 06-Aug-2015

227 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: pemakain surfaktan

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL

POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN

DODEKANOL

FEBRUADI BASTIAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 2: pemakain surfaktan

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pemurnian

Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol”

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Februadi Bastian

NRP. F351080051

Page 3: pemakain surfaktan

ABSTRACT

FEBRUADI BASTIAN. Purification of Alkyl Polyglycosides Nonionic

Surfactant Based on Tapioca Starch and Dodecanol. Supervised by ANI

SURYANI and TITI CANDRA SUNARTI.

Alkyl polyglycosides (APG) , a nonionic surfactant, has got some green

labels such as Ecocert, EU Eco-flower and Green Seal as environmentally

friendly surfactant. Sugar as APG's raw material, supplied the hydrophilic group,

and fatty alcohol acted as hydrophobic group. Some undesirable compounds

formed during the APG production had caused low quality. The research aimed

to increase the quality and performance of APG, by controlling its process. The

catalyst of p-toluene sulfonic acid (PTSA) was added and investigated the effect

of catalysis concentration (0,018-0,036 mole per mole of starch) to enhance the

butanolysis of starch. Addition 0-10% of activated carbon and 0-0,3% of NaBH4

in APG pre-purification process; 2% (w/w) of H2O2 35% and 500 ppm of MgO in

the bleaching process were examined to process high quality and high

performance of APG. The results showed that 0.027 mole of PTSA per mole

starch and process temperature of 140 OC could minimize the residual sugars after

butanolysis. The best APG was obtained from purification step by addition 0%

of activated carbon and 0,2% of NaBH4, with the characteristics of clarity of

59,02(%T); the ability to reduce surface and interfacial tensions at 1%

concentration were 61,98% and 95,60% respectively; 81,71% of stability of

emulsion, 62,5% of foam height and stable up to 315 minutes.

Keywords: Nonionic surfactant, alkyl polyglycoside, purification, bleaching

Page 4: pemakain surfaktan

RINGKASAN

FEBRUADI BASTIAN. Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida

(APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan

TITI CANDRA SUNARTI.

Produksi surfaktan saat ini telah beralih ke produksi dengan bahan baku

yang ramah lingkungan dan terbarukan. Salah satu jenis surfaktan yang ramah

lingkungan yaitu alkil poliglikosida (APG). Surfaktan APG telah mendapatkan

berbagai sertifikat yang menyatakan bahwa APG merupakan surfaktan yang

ramah lingkungan seperti Ecocert, EU Eco-flower dan Green Seal. Surfaktan

APG biasa digunakan pada formulasi beberapa produk personal care, kosmetik,

detergen, maupun herbisida.

APG merupakan jenis surfaktan berbasis gula yang disintesis dari glukosa

dan alkohol lemak. Glukosa akan membentuk gugus hidrofilik dan alkohol lemak

akan membentuk gugus hidrofobik dengan bantuan katalis p-toluene sulfonic acid

(PTSA). Kebutuhan surfaktan nonionik Indonesia saat ini masih dipenuhi dari

impor yang jumlahnya semakin tahun semakin meningkat, padahal Indonesia

memiliki potensi produksi pati dan PKO yang cukup besar.

Salah satu permasalahan dalam sintesis surfaktan APG yaitu terbentuknya

warna gelap yang tidak diinginkan. Warna gelap ini berasal dari residu glukosa

hasil hidrolisis pati yang tidak bereaksi dengan alkohol lemak untuk membentuk

APG. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan desain proses produksi

dan pemurnian APG dengan karakteristik dan kinerja yang baik.

Sintesis APG menggunakan pati sebagai bahan bakunya melalui dua tahap

yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada proses butanolisis terjadi proses

hidrolisis pati menjadi gula sederhana dan proses alkoholisis antara gula

sederhana dan butanol hingga membentuk butil glikosida. Selama proses

butanolisis terdapat residu gula yang tidak bereaksi yang berpotensi membentuk

polidekstrosa dan hidroksil metil furfural (HMF) yang merupakan penyebab

warna gelap. Oleh karena itu dilakukan variasi perlakuan penambahan katalis dan

pengaturan suhu selama proses butanolisis untuk menghasilkan produk butanolisis

yang memiliki residu gula yang rendah dan tingkat kecerahan yang masih tinggi.

Perlakuan rasio mol katalis PTSA yang digunakan yaitu 0,018-0,036 mol

PTSA : 1 mol pati, sedangkan perlakuan suhu yaitu 140-150 OC. Hasil terbaik dari

proses butanolisis yaitu kombinasi rasio mol katalis 0,027 : 1 mol pati dan

perlakuan suhu 140 OC. Kombinasi perlakuan ini menghasilkan residu gula yang

cukup rendah yaitu 39,7% dan kejernihan yang masih tinggi yaitu 45,75%T.

Hasil terbaik pada proses butanolisis kemudian digunakan untuk proses

sintesis pada tahap selanjutnya. Residu gula yang dihasilkan pada proses

butanolisis akan membentuk polidekstrosa dan HMF pada proses transasetalisasi.

Oleh karena itu dilakukan tahap pemurnian yang meliputi proses penyaringan

netralisasi, penambahan arang aktif, penambahan NaBH4 dan destilasi, kemudian

untuk meningkatkan kejernihan produk dilakukan proses pemucatan (bleaching).

Page 5: pemakain surfaktan

Penambahan arang aktif dimaksudkan untuk mengurangi warna gelap yang

terbentuk setelah proses transasetalisasi, sedangkan penambahan NaBH4

dilakukan untuk mengubah residu glukosa yang masih tersisa menjadi sorbitol

melalui proses hidrogenasi. Sorbitol lebih tahan pada suhu tinggi selama proses

destilasi yang menggunakan suhu 140-160 OC dibandingkan dengan glukosa,

sehingga kerusakan glukosa menjadi HMF dapat terhindarkan.

Konsentrasi arang aktif yang ditambahkan sebanyak 0-10% sedangkan

konsentrasi penambahan NaBH4 yaitu 0-0,3% dari bobot hasil transasetalisasi.

Penambahan arang aktif dan NaBH4 dapat meningkatkan kejernihan produk APG

yang dihasilkan. Penambahan arang aktif 5% mampu meningkatkan kejernihan

APG dibandingkan perlakuan tanpa penambahan arang aktif dan penambahan

arang aktif 10%, namun penambahan arang aktif dapat menurunkan kinerja APG

yang dihasilkan. Pengaruh penambahan NaBH4 hingga 0,2% mampu

meningkatkan kejernihan dan kinerja APG.

Kombinasi perlakuan terbaik yaitu tanpa penambahan arang aktif (0%) dan

NaBH4 0,2%. Pada kombinasi perlakuan ini diperoleh tingkat kejernihan sebesar

59,02%(Transmisi); kemampuan menurunkan tegangan permukaan sebesar

61,94%; kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sebesar 95,60%;

kestabilan emulsi 81,71%; tinggi busa yang dihasilkan sebesar 62,5%; stabilitas

busa selama 315 menit; dan rendemen sebesar 58,55%.

Kata kunci: surfaktan nonionik, alkil poliglikosida, pemurnian, pemucatan.

Page 6: pemakain surfaktan
Page 7: pemakain surfaktan

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Page 8: pemakain surfaktan

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL

POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN

DODEKANOL

FEBRUADI BASTIAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 9: pemakain surfaktan

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si.

Page 10: pemakain surfaktan

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG)

Berbasis Tapioka dan Dodekanol

Nama Mahasiswa : Februadi Bastian

NRP : F351080051

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian: 30 Desember 2010 Tanggal Lulus:

Page 11: pemakain surfaktan

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-

Nya sehingga penulisan hasil penelitian dengan judul “Pemurnian Surfaktan

Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol” dapat

terselesaikan dengan baik. Penulisan penelitian ini diajukan sebagai salah satu

tahapan penyelesaian tesis di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis

sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu antara lain:

1. Dr. Ir. Machfud, MS., selaku Ketua Program Studi

2. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., selaku Ketua Komisi Pembimbing

3. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing

4. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si., selaku Dosen Penguji Luar Komisi

5. Teknisi laboratorium dan staf TIP : Ibu Rini, Ibu Sri, Ibu Ega, Pak

Sugiardi, dan Pak Edi, Serta Ibu Nur. Terima kasih bantuannya.

6. Siti Aisyah, Donna Imelda, Saud, Andrew, Niken, Citra, Fatma, Deli,

Dessy, Kartika, Jaelani, Bpk. Adi Salamun dan Bpk Agus yang banyak

membantu selama penelitian.

7. Bapak, Mama, Kakak dan Adik yang selalu memacu agar cepat selesai.

8. Istri, Febriani Antasari dan Ananda Fadhil Hafizahin Bastian atas

kesabaran, dukungan dan doa.

9. Bpk. Erwin Susanto dan Bpk. Abun Lie dari PT Ecogreen atas bantuan

bahan baku alkohol lemak.

10. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

IPB, yang telah memberikan sebagian bantuan dana penelitian.

11. Teman-teman TIP IPB angkatan 2008 dan teman-teman di PTD

12. Dan semua pihak yang telah membantu penulisan hasil penelitian.

Penulis meyakini bahwa tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Oleh

karena itu penulis menerima segala kritik dan saran yang dapat membantu

kesempurnaan hasil penelitian ini.

Bogor, Januari 2011

Februadi Bastian

Page 12: pemakain surfaktan

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Ujungpandang pada tanggal 5 Februari 1982. Penulis

merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Adolf Bastian

dan Ibu Dina Sulle. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun

1994 di SD Sudirman I Makassar, kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah

tingkat pertama di SLTP Neg. 6 Makasaar. Pada tahun 1997, penulis kemudian

melanjutkan pendidikan di SLTA Neg. 2 Makassar dan lulus pada tahun 2000.

Ditahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Program

Studi Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian

Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2005.

Pada tahun 2005, penulis memulai karir di sebuah media lokal di kota

Makassar. Pada Tahun 2006 penulis terangkat menjadi staf pengajar di Jurusan

Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Tak lepas dari

hobby penulis di bidang IT, selama tahun 2006-2008 penulis sempat menjadi

koordinator ICT pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan staf Bidang

Program dan Teknis ICT Global Development Learning Network (GDLN)

Universitas Hasanuddin.

Pada tahun 2008 Penulis melanjutkan pendidikan program master di jurusan

Teknologi Industri Pertanian IPB dengan sponsor pembiayaan dari BPPS dan

bantuan penelitian yang berasal dari Departemen Teknologi Industri Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Bogor, Januari 2011

Penulis

Page 13: pemakain surfaktan

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ ix

1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................. 3

1.2.1 Tujuan Umum .......................................................................... 3

1.2.2 Tujuan Khusus ......................................................................... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 5

2.1 Surfaktan ........................................................................................... 5

2.1.1 HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) ...................................... 6

2.1.2 Tegangan Permukaan .............................................................. 7

2.1.3 Tegangan Antarmuka ............................................................... 7

2.1.4 Kemampuan pembusaan ........................................................... 7

2.1.5 Stabilitas Emulsi ...................................................................... 8

2.2 Alkil Poliglikosida ............................................................................ 9

2.2.1 Butanolisis ............................................................................... 12

2.2.2 Transasetalisasi ........................................................................ 13

2.2.3 Netralisasi ................................................................................ 14

2.2.4 Distilasi .................................................................................... 15

2.2.5 Pemucatan (bleaching) ............................................................. 15

2.2.6 Bahan Pemucat ........................................................................ 16

2.2.7 Katalis ...................................................................................... 18

2.2.8 Natrium Borohidrat (NaBH4) ................................................... 19

2.2.9 Arang Aktif .............................................................................. 20

2.2.10 Proses Pencoklatan ................................................................. 21

2.3 Bahan Baku Alkil Poliglikosida......................................................... 22

2.3.1 Alkohol Lemak ........................................................................ 22

Page 14: pemakain surfaktan
Page 15: pemakain surfaktan

2.3.2 Sumber Karbohidrat ................................................................. 23

2.3.3 Tapioka .................................................................................... 24

3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 27

3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 27

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 28

3.3 Alat dan Bahan .................................................................................. 28

3.4 Metode Penelitian.............................................................................. 28

3.4.1 Penentuan Rasio Mol Katalis dan Suhu Butanolisis .................. 28

3.4.2 Tahap Produksi APG (sintesis dan pemurnian) ......................... 30

3.4.2.1 Proses Sintesis APG (Butanolisis dan Transasetalisasi)... 30

3.4.2.2 Proses Pemurnian APG................................................... 30

3.4.3 Karakterisasi ............................................................................ 32

4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 33

4.1 Pengaruh Rasio Mol Katalis dan Suhu pada Proses Butanolisis ......... 33

4.1.1 Residu Gula Pereduksi ............................................................. 34

4.1.2 Residu Total Gula .................................................................... 36

4.1.3 Kejernihan ............................................................................... 38

4.1.4 Pemilihan Rasio Mol dan Suhu Terbaik Proses Butanolisis ...... 40

4.2 Produksi APG ................................................................................... 41

4.2.1 Proses Sintesis (Butanolisis dan Transasetalisasi) ..................... 41

4.2.2 Proses Pemurnian APG ............................................................ 42

4.2.2.1 Proses Penyaringan ......................................................... 42

4.2.2.2 Proses Netralisasi ........................................................... 43

4.2.2.3 Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 ............................. 44

4.2.2.4 Proses Distilasi ............................................................... 44

4.2.2.5 Proses Pemucatan (Bleaching) ........................................ 45

4.2.2.6 Karakteristik Kejernihan ................................................. 45

4.2.2.7 Rendemen ...................................................................... 47

4.3 Karakterisasi APG ............................................................................. 48

4.3.1 Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan ...................... 48

Page 16: pemakain surfaktan
Page 17: pemakain surfaktan

4.3.2 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka ...................... 50

4.3.3 Kestabilan Emulsi .................................................................... 52

4.3.4 Pembusaan (Tinggi dan Kestabilan Busa) ................................. 54

4.3.5 Penentuan Perlakuan Terbaik ................................................... 56

4.3.6 Analisa Gugus Fungsi .............................................................. 58

4.3.7 Karakterisasi Formasi Emulsi dengan menentukan nilai HLB.. 58

4.3.8 Perbandingan Karakteristik APG Sintesis dan APG Komersial . 60

4.4 Perhitungan Biaya Bahan Baku Untuk Produksi APG ....................... 61

5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 63

5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 63

5.2 Saran ................................................................................................. 63

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 65

LAMPIRAN ............................................................................................. 69

Page 18: pemakain surfaktan

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai HLB dan Aplikasinya ...................................................................... 6

2 Data Impor Surfaktan Nonionik Indonesia ............................................... 9

3 Syarat Mutu Tapioka ................................................................................ 25

4 Derajat Polimerisasi dan Persentase Residu Total Gula dari Berbagai

Sampel ..................................................................................................... 38

5 Perbandingan Karakteristik APG Sintesis dan APG Komersial ................ 61

6 Biaya Bahan Baku Pembuatan APG ......................................................... 62

Page 19: pemakain surfaktan

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Proses Sintesis Alkil poliglikosida (APG) dengan Metode Satu dan

Dua Tahap. ......................................................................................... 10

2 Proses Sintesis APG Satu Tahap ......................................................... 11

3 Proses Sintesis APG Dua Tahap .......................................................... 12

4 Reaksi Perubahan Gugus Aldehid/Keton Menjadi Gugus Alkohol

dengan Pereduksi NaBH4 .................................................................... 20

5 Proses Perubahan D-glukosa Menjadi HMF ........................................ 22

6 Pemilihan karbohidrat dalam industri APG ......................................... 24

7 Diagram Alir Proses Butanolisis Tahap Pertama ................................. 29

8 Diagram Alir Proses Produksi APG .................................................... 32

9 Pengaruh Faktor Rasio Mol Katalis dan Faktor Suhu Terhadap Residu

Gula Pereduksi .................................................................................... 35

10 Pengaruh Faktor Rasio Mol Katalis dan Faktor Suhu Terhadap Residu

Total Gula ........................................................................................... 37

11 Hasil dari Proses Butanolisis ............................................................... 39

12 Pengaruh Rasio Mol Katalis dan Suhu Terhadap Kejernihan (%T) ...... 39

13 Perbandingan Hasil Pengamatan Residu Gula Pereduksi, Residu Total

Gula dan Kejernihan Dari Tiap Perlakuan ........................................... 41

14 Hasil Akhir Proses Transasetalisasi ..................................................... 42

15 Perubahan Warna Pada Saat Netralisasi Menggunakan NaOH............. 44

16 APG Kasar Hasil Proses Destilasi ....................................................... 45

17 Produk APG Murni Hasil Proses Pemucatan (Bleaching) .................... 46

18 Hasil Analisa Kejernihan Produk APG Sintesis ................................... 47

19 Rendemen APG dari Perlakuan Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 48

Page 20: pemakain surfaktan
Page 21: pemakain surfaktan

20 Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan dari APG yang

Dihasilkan ........................................................................................... 50

21 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka APG Sintesis pada

Konsentrasi 1% Bahan Aktif ............................................................... 52

22 Proses Penghitungan Kestabilan Emulsi .............................................. 53

23 Tingkat Kestabilan Emulsi Air dan Xilena dari Penambahan APG ...... 54

24 Pengaruh Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 Terhadap Tinggi Busa 55

25 Pengaruh Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 Terhadap Stabilitas

Busa .................................................................................................... 56

26 Skor dari Perlakuan Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 .................. 57

27 Perbandingan Gugus Fungsi FTIR Antara APG Hasil Sintesis dan

APG Komersial ................................................................................... 59

Page 22: pemakain surfaktan
Page 23: pemakain surfaktan

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur Analisis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ....................... 71

2 Analisa Statistik Residu Gula Reduksi Hasil Proses Butanolisis .......... 75

3 Analisa Statistik Residu Total Gula Hasil Proses Butanolisis............... 76

4 Analisa Statistik Kejernihan Hasil Proses Butanolisis .......................... 77

5 Perbandingan Residu Gula Reduksi, Residu Total Gula, dan

Kejernihan Hasil Proses Butanolisis .................................................... 78

6 Hasil Perbandingan Gula Reduksi Setelah Proses Transasetalisasi....... 79

7 Proses Butanolisis ............................................................................... 80

8 Analisa Statistik Kejernihan APG Murni ............................................. 81

9 Analisa Statistik Rendemen APG Murni ............................................. 83

10 Analisa Statistik Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan

APG Murni ......................................................................................... 84

11 Analisa Statistik Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka

APG Murni ......................................................................................... 87

12 Analisa Statistik Kestabilan Emulsi APG Murni.................................. 90

13 Analisa Statistik Pembusaan APG Murni ............................................ 93

14 Penentuan Perlakuan Terbaik Pemurnian APG Melalui Pembobotan

parameter ukurnya ............................................................................. 95

15 Perhitungan HLB ................................................................................ 96

16 Perhitungan Biaya Bahan Baku Produksi APG .................................... 97

Page 24: pemakain surfaktan

I P E N D A H U L U A N

1.1 Latar Belakang

Surfaktan merupakan senyawa yang memiliki kemampuan menurunkan

tegangan permukaan dan antarmuka. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan

hidrofobik dalam satu molekul. Karena sifat inilah surfaktan dapat digunakan

sebagai bahan penggumpal, pembusaan, dan emusifier oleh industri farmasi,

kosmetik, kimia, pertanian dan pangan.

Peningkatan kebutuhan akan surfaktan diikuti oleh semakin berkembangnya

industri-industri pengguna surfaktan. Saat ini perilaku industri selalu dihadapkan

pada masalah lingkungan terutama dari segi bahan baku dan limbah yang

dihasilkan. Untuk menjawab masalah tersebut, industri surfaktan mulai

menghasilkan surfaktan yang memiliki sifat bebas dari toxic, biodegradable, dan

mudah diformulasikan dengan komponen lain. Flider (2001) menyatakan bahwa

surfaktan berbahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu berbasis

minyak-lemak (monogliserida, digliserida, poligliserol ester, MES, dietanolamida,

dan sebagainya), berbasis karbohidrat (alkil poliglikosida, sorbitan esters, sukrosa

ester, alkil xylosides, dan n-metil glukamida), ekstrak bahan alami (lesitin dan

saponin), dan biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme (rhamnolipida,

sophorolipida, lipopeptida dan sebagainya).

Alkil poliglikosida merupakan surfaktan nonionik ramah lingkungan yang

dihasilkan dari bahan baku pati dan alkohol lemak. Surfaktan alkil poliglikosida

(APG) merupakan salah satu surfaktan nonionik yang ramah lingkungan karena

disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis minyak nabati dan

karbohidrat seperti tapioka, sagu, dan lain-lain. APG telah diklasifikasikan

sebagai surfaktan kelas satu yang ramah lingkungan (Hill et al. 2000) yang

banyak digunakan untuk industri personal care product, herbisida, kosmetik dan

industri tekstil. Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit dan

membran, mengurangi efek iritan serta dapat terurai dengan baik secara aerob dan

anaerob (Mehling et al. 2007)

Kebutuhan akan APG di Indonesia saat ini dipenuhi dari impor. APG

sebagai surfaktan nonionik mempunyai keunggulan yaitu sifat tidak beracun

Page 25: pemakain surfaktan

(nontoxic), tidak menyebabkan iritasi dan ramah terhadap lingkungan. Hal ini

mengakibatkan tingginya mengakibatkan permintaan dunia terhadap surfaktan ini

mencapai 85.000 ton/tahun (Hill 2009), sedangkan jumlah impor surfaktan

nonionik yang masuk ke indonesia pada tahun 2009 mencapai 18.176 ton. Disisi

lain Indonesia memiliki potensi kelapa sawit yang sangat besar dengan hasil

produksi CPO mencapai 17 juta ton pada tahun 2008 dan produksi PKO 2,6 juta

ton pada tahun 2009 yang dapat disintesa menjadi alkohol lemak. Jumlah produksi

alkohol lemak indonesia pada tahun 2009 mencapai 155.000 ton. Potensi akan

sumber pati di Indonesia juga sangat besar. Sumber karbohidrat yang potensial di

Indonesia dapat berasal dari umbi-umbian seperti ubi kayu ataupun dari batang

seperti sagu. Namun jika dibandingkan antara kedua sumber pati tersebut, ubi

kayu lebih mudah dibudidayakan jika dibandingkan dengan sagu. Produksi ubi

kayu Indonesia pada tahun 2008 mencapai 21,7 juta ton.

Melihat potensi permintaan yang besar di Indonesia akan surfaktan

nonionik, maka peluang untuk produksi APG sebagai salah satu surfaktan

nonionik masih sangat besar.

Permasalahan dalam proses pengolahan pati dan alkohol lemak menjadi

APG yaitu kelarutan monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida yang rendah

terhadap alkohol lemak; proses pemisahan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi;

menghilangkan by-product yang terbentuk seperti warna yang gelap; bau yang

menyengat; dan performa yang kurang bagus.

Pada pembuatan APG, pati digunakan sebagai sumber gugus hidrofiliknya

melalui beberapa tahapan proses. Pertama yaitu tahap butanolisis untuk mengubah

pati menjadi gula sederhana dan membuat ikatan dengan alkohol rantai pendek

dengan bantuan katalis asam. Proses dilanjutkan ke tahap transasetalisasi untuk

mengganti alkohol rantai pendek dari butanol dengan alkohol rantai panjang yang

berasal dari alkohol lemak. Alkohol lemak yang tidak bereaksi dikeluarkan

melalui proses distilasi, kemudian APG yang dihasilkan dilakukan proses

pemucatan untuk mendapatkan APG murni.

Permasalahan utama dalam sintesis surfaktan alkil poliglikosida (APG)

yaitu terbentuknya warna gelap yang tidak diinginkan. Warna yang gelap

diakibatkan oleh proses pencoklatan non-enzimatis dengan terbentuknya

Page 26: pemakain surfaktan

furfuraldehid dari turunan pati. Penggunaan bahan baku yang berasal dari pati

ataupun gula-gula sederhana dalam pembuatan alkil poliglikosida sangat mudah

mengalami degradasi akibat penggunaan suhu tinggi dan keadaan asam maupun

basa selama proses sintesis. Proses degradasi inilah yang menghasilkan by-

product yang tidak diinginkan selama proses sintesis APG

Perbedaan sifat kepolaran dari bahan baku menyebabkan ikatan antara

glukosa hasil degradasi pati dengan alkohol lemak sulit untuk saling terikat,

sehingga glukosa lebih mudah membentuk sebuah polimer (polydextrose) atau

terjadinya dehidrasi pada glukosa menjadi hidroksil metil furfural (HMF) sebelum

berikatan dengan alkohol lemak. Terbentuknya polimer glukosa dan HMF

merupakan penyebab terjadinya warna gelap. Kondisi ini sangat dimungkinkan

untuk terjadi karena perlakuan suhu yang tinggi, kandungan air bahan dan

keadaan asam selama proses sintesis.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan desain proses

produksi dan pemurnian APG dengan karakteristik dan kinerja yang baik.

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui pengaruh suhu, dan rasio mol katalis selama proses butanolisis

terhadap karakteristik dan tingkat konversi pati.

2. Mendapatkan konsentrasi penambahan arang aktif dan NaBH4 pada proses

pemurnian terhadap karakteristik dan kinerja APG yang dihasilkan.

Page 27: pemakain surfaktan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 S u r f a k t a n

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface

active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat

hidrofilik yang bersifat polar dan hidrofobik yang bersifat non polar. Karena sifat

ini surfaktan dapat larut dalam larutan yang berbeda derajat polaritas dan ikatan

hidrogennya seperti air dan minyak. Konfigurasi hidrofilik dan hidrofobik tersebut

membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di berbagai industri. Aplikasi

surfaktan dalam industri antara lain sebagai pembasah, pembentukan busa,

penstabil emulsi, dan lain sebagainya yang memanfaatkan perbedaan sifat dari

gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan

Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara

luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut

adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan

amfoterik (Rieger 1985). Pembagian jenis-jenis surfaktan tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa

gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya

merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina.

2. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan

ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan

terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif.

3. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air,

kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak

membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang

menyebabkan terjadinya momen dipol.

4. Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik

seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media

dan nilai pH.

Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya grup yang dapat

larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya grup tersebut adalah gugus

Page 28: pemakain surfaktan

hidroksil (R–OH) dan gugus eter (R–O–R’). Daya larut dalam air gugus hidroksil

dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan gugus sulfat atau sulfonat.

Kelarutan grup hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan

penggunaan grup multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk

multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil)

antara lain: glukosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan

poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter 1991).

Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat

dibagi menjadi empat kelompok yaitu :

1. Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, dan poligliserol ester

2. Berbasis karbohidrat seperti alkil poliglikosida, dan n-metil glukamida

3. Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin

4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan

sophorolipid

2.1.1 H L B (Hydrophile-Lipophile Balance)

Keseimbangan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada surfaktan

dihitung dengan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). Menurut Holmberg

et al. (2003) nilai HLB menentukan aplikasi dari surfaktan yang dihasilkan. Nilai

HLB dan aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai HLB dan aplikasinya

Nilai HLB Aplikasi

3 – 6 Pengemulsi W/O

7 – 9 Wetting agent

8 – 14 Pengemulsi O/W

9 – 13 Detergen

10 – 13 Solubilizer

12 – 14 Dispersant Sumber : Menurut Holmberg et al. (2003)

2.1.2 Tegangan permukaan

Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang dibutuhkan untuk

memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan

Page 29: pemakain surfaktan

disebabkan oleh adanya gaya tarik-menarik dari molekul cairan. Tegangan

permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan

dalam dyne/cm atau mN/m.

Pada cairan terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah pemukaan

dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-

menarik molekul di bawah permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan

gaya tarik dari molekul-molekul dibawahnya yang mencoba menarik ke tubuh

cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan

luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola

(sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan

tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan

maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue 1989).

2.1.3 Tegangan antarmuka

Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk

menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut,

kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki

oleh surfaktan. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya

meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan

tegangan antarmuka (Matheson 1996). Tegangan antarmuka adalah gaya

persatuan panjang yang terjadi pada antarmuka dua fase cair yang tidak dapat

tercampur. Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan

tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan

permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar 1989)

2.1.4 Kemampuan pembusaan

Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk busa, baik secara

diinginkan maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Busa cair adalah

sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair.

Kestabilan busa diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini

teradsorpsi ke daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas

sehingga diperoleh suatu kestabilan (Noerdin 2008).

Page 30: pemakain surfaktan

Struktur busa cair tidak ditentukan oleh komposisi kimia atau ukuran busa

rata-rata melainkan kandungan zat cairnya. Jika fraksi cair lebih dari 5%, maka

gelembung gas akan mempunyai bentuk hampir bola, sebaliknya, jika kurang dari

5% maka bentuk gelembung gas adalah polihedral. Struktur busa dapat berubah

jika diberi gaya dari luar, apabila gaya tersebut kecil, maka struktur busa akan

kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan. Namun, jika gaya yang

diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi (Noerdin 2008).

Kemampuan pembusaan dipengaruhi oleh panjang rantai hidrokarbon.

Dibandingkan dengan surfaktan anionik sebagai agen pembusa yang telah lama

digunakan, surfaktan nonionik dianggap sebagai surfaktan yang memiliki

kemampuan pembusaan yang lebih rendah. Ware et al. (2007), melakukan

pengujian kemampuan pembusaan antara surfaktan Sodium Lauryl Sulfate (SLS),

APG C10 dan APG C12. Hasilnya yang diperoleh yaitu kemampuan surfaktan APG

memiliki kemampuan pembusaan lebih rendah dibandingkan surfaktan SLS.

2.1.5 Stabilitas emulsi

Mekanisme kerja dari surfaktan untuk menstabilkan emulsi yaitu dengan

menurunkan tegangan permukaan dengan membentuk lapisan pelindung yang

menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan

lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil. Emulsi yang stabil

mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga

proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kamel

1991)

Suatu sistem emulsi, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak

stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk

bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak

membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas

emulsi merupakan salah satu karakter penting dan mempunyai pengaruh besar

terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al. 2000)

2.2 Alkil poliglikosida (APG)

Alkil poliglikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium

oleh Emil Fischer sekitar 100 tahun yang lalu. Aplikasi paten dengan

Page 31: pemakain surfaktan

menggunakan alkil poliglikosida sebagai bahan bakunya dipublikasikan di Jerman

sekitar 40 tahun kemudian hingga saat ini berbagai penemuan tentang alkil

poliglikosida terus berkembang. Pada awalnya Fischer mereaksikan glukosa dan

alkohol yang bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain

kemudian mereaksikannya pada alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai

alkil dari octil (C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol

lemak. Hasil sintesis yang diperoleh berupa kumpulan dari alkil mono, poli, dan

oliglikosida. Karena kompleksitas inilah maka produk yang dihasilkan disebut

Alkil poliglikosida (Hill 2000).

Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang ramah

lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis

karbohidrat dan alkohol lemak. APG telah diuji mengenai dampak terhadap

lingkungan dan telah mendapatkan beberapa green label seperti Ecocert, EU Eco-

flower, Green Seal dan sebagainya sebagai surfaktan yang ramah lingkungan.

APG juga tidak beracun atau berbahaya bagi manusia, memiliki sifat iritasi yang

rendah pada kulit jika dibandingkan dengan surfaktan lainnya (Mehling et al.

2007). Saat ini produksi APG dunia mencapai 85.000 ton/tahun (Hill 2009).

Kebutuhan surfaktan nonionik APG di Indonesia saat ini dipenuhi dari impor.

Kebutuhan surfaktan nonionik di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Data impor surfaktan non ionik Indonesia

Tahun Jumlah (Kg) Nilai (US$)

2003 14.527.188 17.351.004

2004 25.342.925 38.339.722

2005 16.735.515 29.790.690

2006 15.408.042 26.659.130

2007 14.865.928 28.353.164

2008 17.168.473 42.172.772

2009 18.176.494 38.617.994

Jan-Agt 2010 17.016.995 38.878.278 Sumber: BPS (2010)

Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda,

yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol

lemak), sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan

Page 32: pemakain surfaktan

pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan

APG dari masing-masing prosedur disajikan pada Gambar 1. Pada diagram proses

tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara tahap prosedur

pertama dengan kedua. Prosedur pertama, berbasis pati-alkohol lemak melalui

proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis

dekstrosa-alkohol lemak hanya melalui proses asetalisasi sebelum masing-masing

prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan (Hill

2000).

PATI

BUTANOLISIS

BUTANOL

TRANSASETALISASI

NETRALISASI

ASETALISASI

GLUKOSA ANHIDRAT /

GLUKOSA MONOHIDRAT

ALKOHOL

LEMAK

ALKOHOL

LEMAK

DISTILASI

PEMUCATAN

APG

BUTANOL

DAN AIR

ALKOHOL

LEMAK

PROSES SATU TAHAPPROSES DUA TAHAP

Gambar 1 Proses sintesis Alkil poliglikosida (APG) dengan metode satu dan dua

tahap (Hill 2000)

Menurut Wuest et al. (1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi

dua tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa,

tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan

tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C8-22

Page 33: pemakain surfaktan

terutama C12-18 dari alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan

pada suhu diatas 125 OC dan dengan tekanan 4-10 bar. Reaksi transasetalisasi

dilaksanakan pada temperatur 115-118 OC pada kondisi vakum dengan rasio mol

pati dengan alkohol rantai panjang adalah 1:1,5 sampai 1:7, 1:2,5 sampai 1:7, dan

1:3 sampai 1:5, sedangkan rasio mol sakarida : air = 1:5 sampai 1:12, 1:6 sampai

1:12, 1:6 sampai 1:9, 1:6 sampai 1:8.

Menurut Buchanan et al. (1998) tahapan proses APG dengan dua tahap

meliputi langkah-langkah dasar sebagai berikut: 1) reaksi glikosidasi

menggunakan katalis asam dari sumber monosakarida dengan butanol untuk

membentuk butil glikosida, dengan pemisahan gugusan air selama reaksinya, 2)

transglikosidasi dari butil glikosida dengan C8 sampai C20 alkohol menjadi APG

rantai panjang, dengan pemisahan butanol selama reaksinya, 3) netralisasi dari

katalis asam, 4) distilasi untuk memisahkan rantai panjang alkohol yang tidak

bereaksi, 5) pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk, dan 6)

isolasi alkil poliglikosida. Reaksi glikosidasi dan transglikosidasi dikendalikan

pada keadaan seimbang sampai katalis dinetralkan. Untuk proses sintesis APG

tipe tahap tunggal (Gambar 2) meliputi semua langkah dari proses dua tahap

(Gambar 3), dengan pengecualian pada penggabungan langkah 1 dan 2 yang

ditunjukkan di atas dengan mereaksikan glukosa secara langsung dengan rantai

panjang alkohol.

Gambar 2 Proses sintesis APG satu tahap (Hill 2000)

Page 34: pemakain surfaktan

Keterangan :

I. Reaksi Glikosidasi (Butanolisis)

II. Reaksi Transglikosidasi (Transasetalisasi)

Gambar 3 Proses sintesis APG dua tahap (Hill 2000)

2.2.1 Butanolisis

Lueders (2000), melakukan penelitian dengan mereaksikan pati dengan

butanol dan katalis p-toluene sulfonic acid (PTSA) dengan rasio mol 11,3 butanol,

dan 0,012 mol p-toluene sulfonic acid dalam reaktor bertekanan pada suhu 160 OC

selama 30 - 40 menit. Hasil yang diperoleh dari proses sintesis tersebut yaitu 87%

butilglikosida yang berwarna coklat tua. Penggunaan suhu atau konsentrasi katalis

yang rendah mengakibatkan penurunan jumlah konversi yang nyata. Butil

glikosida yang dihasilkan dapat langsung di konversi langsung menjadi APG

dengan mereaksikannya dengan alkohol rantai panjang. Wuest et al. (1992),

melakukan proses butanolisis dengan rasio mol 8 mol air; 8,5 mol butanol; dan

0,036 mol PTSA per satu mol pati. Dengan suhu 140 OC selama 30 menit dengan

tekanan 5 bar. Penggunaan suhu dan konsentrasi asam yang rendah

mengakibatkan penurunan konversi produk butil glikosida yang dihasilkan.

Butil glikosida terbentuk dari sakarida, butanol, asam dan dalam keadaan

panas serta bertekanan, Jika bahan baku sakarida yang digunakan berasal dari pati,

maka terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain

terbentuknya butil glikosida atau butil oligosida juga terbentuk warna yang gelap

akibat degradasi dari gula. Pada proses butanolisis juga terjadi pemisahan air dari

I.

II.

Pati-patian Butanol Butil Glikosida Air

Alkohol

lemak

Butanol Alkil Poliglikosida

Page 35: pemakain surfaktan

hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H+ dari katalis (Lueders

1989).

Alkoholisis pati menjadi glikosida memerlukan kondisi yang lebih

kompleks daripada glikosidasi dari D-glukosa atau transglikosidasi dari alkil

glikosida sederhana. Penyebabnya adalah struktur molekul dari pati yang tersusun

dari amilosa dan amilopektin yang memiliki kemampuan swelling terbatas pada

alkohol, khususnya alkohol hidrofobik, dan berkurangnya jembatan hidrogen

antar molekul. Ikatan α(1,6) glikosida pada atom karbon kedua menunjukkan

kestabilan yang lebih besar daripada ikatan atom yang pertama pada alkil

glikosida sederhana (Lueders 2000).

2.2.2 Transasetalisasi

Alkil poliglikosida merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati

(glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8–C22). Sehingga proses pengikatan

glukosa siklis terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (Wuest et al.

1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan

glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses

asetalisasi pada sintesis APG sering juga disebut glikosidasi.

Gugus hidrofobik pada APG diperoleh dari alkohol rantai panjang alkohol

lemak. Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH) yang sifat kelarutannya

sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon.

Dengan bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil

yang bersifat polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol

lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai

bagian yang bersifat hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan

berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai

maka titik didihnya semakin tinggi. Selama proses transasetalisasi berlangsung,

sisa butanol dan air yang dihasilkan pada proses butanolisis akan keluar melalui

proses distilasi vakum.

Selama proses transasetalisasi diharapkan air yang terdapat pada bahan

segera mungkin diuapkan bersamaan dengan butanol yang tidak bereaksi selama

proses butanolisis. Kehadiran air dan glukosa dapat menyebabkan terbentuknya

Page 36: pemakain surfaktan

polidektrosa yang merupakan hasil samping yang tidak diinginkan dan merupakan

salah satu penyebab terbentuknya warna gelap.

Kondisi asam dan suhu tinggi selama sintesis alkil poliglikosida

menghasilkan produk sekunder seperti polidekstrosa, dan warna kotoran. Dengan

menggunakan suhu yang lebih rendah (<100 OC) pada proses asetalisasi

menghasilkan produk sekunder yang rendah, namun waktu reaksi yang

dibutuhkan lebih lama. Pada penggunaan suhu tinggi (>120 OC) dapat

mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat.

Namun hal penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu bagaimana cara untuk

menghilangkan air dalam sistem reaksi dengan mengurangi tekanan. Namun air

masih diperlukan dalam jumlah tertentu (sekitar 0,1-0,25%) untuk menghindari

terjadinya dehidrasi pada glukosa yang dapat menyebabkan karamelisasi

(Eskuchen dan Nitsche 1997).

2.2.3 Netralisasi

Tahapan netralisasi bertujuan unutk menghentikan proses transasetalisasi

dengan menambahkan basa hingga mencapai pH 8–10. Basa yang digunakan

untuk proses netralisasi meliputi alkali metal, almunium salt, selain itu dapat

digunakan dari anion, dari basa organik maupun inorganik seperti sodium

peroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, almunium

hidroksida dan sebagainya. Penggunaan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH

tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Proses penambahan dengan

menggunakan NaOH akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak

memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et

al. 1992). Proses netralisasi juga diperlukan karena sakarida akan lebih mudah

rusak dalam keadaan asam selama proses destilasi yang menggunakan suhu yang

tinggi.

Untuk memastikan bahwa kadar glukosa tersisa tidak akan bereaksi

menghasilkan produk yang tidak diinginkan pada saat destilasi menggunakan

suhu tinggi, maka pada larutan dapat ditambahkan natrium borohidrat (NaBH4)

yang dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Diperlukan 1 g NaBH4 untuk

setiap 10 -20 g glukosa yang berlebih. Sorbitol lebih tahan terhadap kondisi asam

Page 37: pemakain surfaktan

dan suhu tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan warna selama proses

distilasi (McCurry 2000). Luders (2000), mereduksi sisa glukosa menjadi sorbitol

dengan menambahkan 0,1% sodium borohidrat dan memisahkan sisa alkohol

lemak pada suhu 180 OC, dan hasil yang diperoleh yaitu APG yang memiliki

warna yang lebih terang dibandingkan tanpa penambahan sodium borohidrat.

Lueders (1991), melakukan penambahan arang aktif 1–10% sebelum dan

sesudah proses destilasi dan diperoleh APG yang lebih cerah pada penambahan

sebelum proses distilasi. Namun karena sifat arang aktif yang hidrofobik maka

akan mengurangi sifat nonpolar dari surfaktan (Rosu 2007)

2.2.4 Distilasi

Tahapan distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak

ikut bereaksi. Proses distilasi ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan rendah

untuk memisahkan/menguapkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses

distilasi ini dapat dilakukan pada suhu sekitar 140-180 OC dengan tekanan vakum,

tergantung alkohol lemak yang digunakan. Semakin panjang rantai alkohol lemak

maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan.

Pada tahapan destilasi diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak

sekecil mungkin pada produk APG yaitu kurang dari 5% dari berat produk.

Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi

efektifitas kerja dari surfaktan APG.

Hasil akhir proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar

berbentuk pasta yang berwarna kecoklatan dan berbau kurang enak. Oleh karena

itu perlu dilakukan proses pemurnian untuk memperoleh APG yang memiliki

penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.

2.2.5 Pemucatan (bleaching)

Proses pemurnian APG terdiri dari beberapa tahap yaitu : tahap netralisasi,

distilasi, pelarutan dan tahap pemucatan serta isolasi produk (Buchanan et al.

2000). Proses pemucatan merupakan tahapan akhir dari sintesis APG untuk

menghasilkan APG dengan penampakan dan bau yang lebih baik. Proses

pemucatanan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dengan penambahan

Page 38: pemakain surfaktan

air dan NaOH yang dilakukan pada suhu 80-90 OC selama 30-120 menit pada

tekanan normal (Hill et al. 2000).

Buchanan et al. (2000) menyatakan bahwa warna gelap produk surfaktan

APG dapat terjadi selama proses sintesis yang disebabkan oleh beberapa faktor

yaitu:

1. Suhu pemanasan yang tinggi dan tidak terkontrol pada tahapan distilasi,

sehingga menimbulkan kerusakan warna dan kegosongan pada produk

yang terjadi selama distilasi.

2. Penggunaan katalis asam pada proses sintesis. Pemilihan katalis ini

merupakan titik kritis terhadap warna dari produk akhir APG.

3. Turunan furan dengan warna yang gelap yang tinggi seperti furfuraldehid.

Turunan furan ini dihasilkan pada proses dehidrasi monosakarida oleh

katalis asam kuat.

4. Logam seperti Fe, Ca, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak

diinginkan dalam produk APG.

2.2.6 Bahan Pemucat

Bahan pemucat (bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat

memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan

kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorpsi yang

membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau

diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat

juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul

berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan

(Kirk dan Othmer 1985).

Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi dua macam

pemucatan, yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan pemucatan dengan reaksi

reduksi. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan karena

lebih baik dibandingkan dengan menggunakan adsorben. Keunggulan penggunaan

bahan kimia sebagai bahan pemucat adalah karena hilangnya sebagian produk

dapat dihindarkan dan zat warna diubah menjadi zat yang tidak berwarna yang

tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren 1985)

Page 39: pemakain surfaktan

Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching

agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide,

CaSO4, TiO2, dll. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya

diperoleh dengan menggunakan pelarut hidrogen peroksida (H2O2) yang cukup

kuat.

Hidrogen peroksida (H2O2) tidak berwarna, berbau khas agak keasaman,

dan larut dengan baik dalam air. Mayoritas penggunaan hidrogen peroksida

adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang

intinya menghasilkan oksigen. Hidrogen peroksida biasa digunakan sebagai

bleaching agent pada industri pulp, kertas dan tekstil. Senyawa ini juga biasa

dipakai pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen,

makanan dan minuman, medis, serta industri elektronika (pembuatan PCB).

Hidrogen peroksida bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen

menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin

meningkatnya konsentrasi H2O2.

Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator

yang lainnya adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan

residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan

kebutuhan. Dalam industri APG hidrogen peroksida dibutuhkan dengan

konsentrasi 30% (Buchanan et al. 1998). Penggunaan hidrogen peroksida biasa

dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen

peroksida pun semakin tinggi.

Hidrogen peroksida dalam kondisi asam sangat stabil, sedangkan pada

kondisi basa sangat mudah terurai. Peruraian hidrogen peroksida juga dipercepat

dengan naiknya suhu. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen

peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil (HOO-). Anion yang

terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut :

H2O2 + HO- ↔ HOO

- + H2O

Ion HOO- inilah yang mempunyai peran aktif didalam proses pemutihan.

Namun jika terdapat logam transisi seperti Fe, Mn, Mg dan Cu, dekomposisi

hidrogen peroksida dalam larutan basa berlangsung menurut reaksi berikut :

Page 40: pemakain surfaktan

H2O2 + HO2 → H2O + O2 + HO

Pada proses pemucatan diharapkan yang terjadi pada persamaan reaksi yang

pertama karena menghasilkan ion HOO- sedangkan dengan adanya logam transisi

maka dekomposisi hidrogen peroksida akan diarahkan mengikuti persamaan

reaksi yang kedua. Pada reaksi yang kedua proses pemucatan berlangsung dengan

memberikan efek oksidasi dengan terbentuknya senyawa O2 namun daya

pemucatannya kurang efektif jika dibandingkan dengan persamaan pertama

(Fuadi dan Sulistya 2008)

2.2.7 Katalis

Pemilihan katalis pada proses sintesa APG sangat menentukan keberhasilan

terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesa berlangsung.

Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses asetalisasi

meliputi :

1. Asam anorganik: asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.

2. Asam organik: asam triflouroasetat, asam p-toluena sulfonat, asam

sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam

lemak tersulfonasi, dll.

3. Asam dari surfaktan: asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat,

alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari

asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat, dll.

Dari katalis tersebut diatas dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat,

karena katalis tersebut cenderung bersifat organik dan dapat terurai serta berupa

asam lemah. Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi

dengan menghidrolisa glukosa. Penggunaan asam lemah juga akan memudahkan

dalam proses netralisasi. Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak

korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill 2000).

Buchanan et al. (2000), menentukan katalis asam yang digunakan dalam

proses butanolisis dengan perbandingan rasio mol/mol katalis yaitu 0,018 – 0,036.

Sedangkan untuk reaksi transasetalisasi ditambahkan katalis kira-kira 25-50% dari

berat katalis pertama.

Page 41: pemakain surfaktan

2.2.8 Natrium Borohidrat (NaBH4)

Natrium borohidrat dikenal juga sebagai natrium tetrahidroborat, merupakan

senyawa pereduksi anorganik dengan rumus NaBH4. Senyawa ini berbentuk padat

berwarna putih, biasa terdapat berbentuk serbuk ataupun granula. Kegunaan

senyawa ini sangat luas baik dalam skala laboratorium maupun skala teknis.

Sebagian besar digunakan dalam pemucatan pulp kayu. Berat molekul NaBH4

yaitu 37,83 mol/g, dan nilai densitas 1,0740 g/cm3. NaBH4 biasa digunakan untuk

mengubah gugus aldehid dan keton menjadi gugus alkohol (Anonim 2010b).

Himakumar et al. (2006) menyatakan bahwa NaBH4 merupakan senyawa

pereduksi yang menyimpan unsur hidrogen, dan bereaksi dengan air untuk

menghasilkan sejumlah hidrogen. Reaksi NaBH4 dan air dapat dilihat pada

persamaan reaksi berikut:

NaBH4 + 4H2O → NaBO2.2H2O + 4 H2 + 300 kl

Sejumlah H2 yang dihasilkan dari reaksi tersebut digunakan untuk

mengubah gugus aldehid pada glukosa ataupun gugus keton pada fruktosa

menjadi sorbitol. Sorbitol diketahui lebih tahan pada suhu tinggi sehingga pada

proses destilasi yang menggunakan suhu 140-180 OC sorbitol tidak mengalami

kerusakan hingga penbentukan warna gelap dapat dihindari. McCurry et al

(2000), menambahkan 1 g NaBH4 pada setiap 10-20 g kelebihan glukosa yang

tidak bereaksi.

Reaksi pembentukan gugus alkohol dari gugus aldehid ataupun keton

dengan menggunakan NaBH4 dapat juga dimulai dengan ionisasi NaBH4 menjadi

Na+ + (BH4)

- . Mula-mula salah satu atom H dari BH4 mendekati ikatan rangkap

C=O. salah satu ikatan akan bergeser ke O sehingga atom H akan berikatan

dengan C. Atom O- akan mengikat salah satu atom H dari air hingga membentuk

gugus alkohol. Secara simultan gugus BH3- mampu berikatan dengan atom O

+

(Fox dan Whitesell 1994) Proses ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 42: pemakain surfaktan

Gambar 4 Reaksi perubahan gugus aldehid/keton menjadi gugus alkohol dengan

pereduksi NaBH4 (Fox dan Whitesell 1994).

2.2.9 Arang Aktif

Arang aktif dibuat dengan mengaktifasi arang dengan tujuan untuk

memperbesar luas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup,

sehingga memperbesar kapasitas adsorpsi terhadap zat warna. Mutu arang aktif

yang diperoleh tergantung dari luas permukaan partikel, ukuran partikel, volume

dan luas penampung kapiler, sifat kimia permukaan arang, sifat arang secara

alami, jenis bahan pengaktif yang digunakan dan kadar air.

Daya adsorpsi arang aktif disebabkan karena arang mempunyai pori-pori

dalam jumlah besar, dan adsorpsi akan terjadi karena adanya perbedaan energi

potensial antara permukaan arang dan zat yang diserap. Arang aktif sebagai bahan

pemucat lebih efektif untuk menyerap warna dibandingkan dengan bleaching

clay (Ketaren 2005).

Luders (1991), melakukan penambahan arang aktif sebesar 1–10% setelah

proses netralisasi APG pada suhu 40-100 OC. arang aktif dipisahkan dengan

perlakuan sentrifugasi dan dilanjutkan dengan penyaringan. Penggunaan arang

aktif sebaiknya menggunakan yang berbentuk serbuk karena memiliki daya serap

yang lebih bagus dibandingkan dengan arang aktif yang berbentuk granula,

Page 43: pemakain surfaktan

namun penggunaan arang aktif serbuk dapat menyisakan partikel-partikelnya pada

produk yang dihasilkan.

2.2.10 Proses Pencoklatan

Proses karamelisasi yang terjadi pada proses sintesis APG merupakan reaksi

pencoklatan non enzimatis yang melibatkan degradasi gula karena pemanasan

(Mathur 1978). Tanpa melibatkan reaktan yang mengandung nitrogen seperti

protein dan asam amino (Putra 1990). Karamelisasi memberikan warna mulai dari

kuning hingga coklat tua hingga warna gelap selama peningkatan suhu

(Broadhursh 2002).

Proses karamelisasi terbagi menjadi tiga tahap yaitu (1) tahap 1,2 enolisasi,

(2) tahap dehidrasi, dan (3) tahap pembentukan pigmen. Pada tahap pertama

menghasilakn 1,2 enediol. Reaksi ini akan lebih cepat pada pH basa. Tahapan

kedua dapat terjadi melalui tahapan dehidrasi (pelepasan air) atau reaksi fisi

(pemecahan). Dehidrasi terjadi pada pemanasan gula dalam suasana asam, yaitu

pada nilai pH dibawah 6,4 dan mencapai maksimal pada nilai pH dibawah 3.

Setelah reaksi dehidrasi maka terbentuk senyawa 4-hidroksimetil-2-furfuraldehida

yang merupakan senyawa prekursor dari pigmen coklat (Shallenber dan Birch

1975).

Menurut Aida (2007), pembentukan furfural dari D-glukosa diawali dengan

pembentukan 1,2 enediol, kemudian terbentuk D-Fruktosa dan dilanjutkan

pembentukan 3-Ketose. Setelah itu terbentuk arabinosa yang terdehidrasi

mengeluarkan H2O hingga menjadi furfural. Skema proses perubahan glukosa

menjadi furfural dapat dilihat pada Gambar 5.

Pada keadaan asam encer, monosakarida bersifat relatif stabil dan pada

penambahan asam kuat akan terhidrasi menjadi furfural atau hidroksi metil

furfural. Pada penambahan alkali encer monosakarida dapat mengalami isomerasi

atau terbentuk senyawa yang lebih pendek D-manosa dan D-1-fruktosa. Sedang

pada penambahan alkali kuat enediol dapat berubah menjadi formaldehid atau

pentosa (Winarno 1992). Proses dehidrasi pelepasan H2O pada gula heksosa

membentuk turunan-turunan furfuraldehida, misalnya hidroksil metil furfural

(HMF).

Page 44: pemakain surfaktan

Gambar 5 Proses perubahan D-Glukosa menjadi HMF (Aida 2007)

2.3 Bahan Baku Alkil poliglikosida

2.3.1 Alkohol lemak

Alkohol lemak dapat diperoleh dari sumber petrokimia (alkohol lemak

sintetik) maupun dari sumber minyak dan lemak nabati. Alkohol lemak yang

digunakan dalam sintesis APG berfungsi untuk membangun gugus hidrofobik.

Alkohol lemak alami dapat diperoleh setelah melalui proses transesterifikasi dan

fraksinasi lemak dan minyak (trigliserida) kemudian di hidrogenasi (Noerdin

2008).

Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di eropa

barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan

dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan

kira-kira sebesar 70-75% (Presents 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar

80% dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku

pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan alkohol lemak mampu

Page 45: pemakain surfaktan

bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena

surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika

dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer 1963).

Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (aldehid/keton), gugus OR akan

melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat

bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan keton dapat bereaksi

dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan

hemiasetal/hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O)

diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon

karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart 2003).

Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril

(dodekanol/dodecy alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6

mol/g, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259 OC, tidak berwarna dan tidak

larut dalam air.

2.3.2 Sumber Karbohidrat

Gugus Hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat. Untuk proses

sintesis sumber karbohidratnya dapat bersumber dari pati atau dari glukosa.

Pemilihan bahan baku tidak hanya mempengaruhi biaya bahan baku, tetapi juga

biaya produksi. Pemilihan penggunaan bahan baku gula akan meningkatkan biaya

bahan baku, tetapi dapat menurunkan biaya produksi karena peralatan yang

digunakan lebih sedikit (Gambar 6) (Eskuchen dan Michael 1997).

Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit D-glukosa yang

dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan APG karena lebih praktis, mudah

didapatkan dan lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan D-glukosa.

Pati dari sereal, umbi-umbian ataupun dari biji-bijian dalam bentuk granula pati

dengan diameter sekitar 10-100 µm. Pati terdiri dari gugus amilosa dan

amilopektin dalam bentuk kristal dengan kandungan air sekitar 10%. Amilosa

adalah polisakarida dimana unit-unit D-glukosa tergabung pada ikatan glikosida

α(1,4). Amilopektin merupakan polisakarida yang memiliki rantai cabang yang

menyusun unit D-glukosa pada ikatan glikosida α(1,4) dan α(1,6) pada

percabangannya. Proses alkoholisis pati menjadi alkil glikosida membutuhkan

Page 46: pemakain surfaktan

kondisi yang lebih ekstrim jika dibandingkan dengan proses glikosidasi D-

glukosa. Alasannya karena struktur makromolekul pati terdiri dari amilopektin

dan amilosa yang dapat menghambat kemampuan mengembang pati dalam

alkohol, khususnya alkohol hidrofobik.

PATILow DE

Syrup Deksrosa

Low DE

Syrup Deksrosa

Glukosa

MonohydrateGLUKOSA

Dua Tahapan Proses

1. Butanolisis

2. Transasetalisasi

Satu Tahap Proses

Asetalisasi

Alkyl Polyglicoside (APG)

Harga bahan baku mahal

Peralatan mahal

Gambar 6 Pemilihan karbohidrat dalam industri APG (Eskuchen dan Michael

1997).

Hill (2000) menggambarkan proses alkoholisis pati menggunakan metanol

dalam reaktor tubular bertekanan dan bersuhu tinggi. Pati dicampurkan dengan

metanol, dan katalis dengan rasio 6,8 mol metanol dan 0,005 mol p-toluene

sulfonic acid per mol glukosa direaksikan dalam reaktor dengan suhu 167 OC

selama 8 menit menghasilkan produk yang terdiri dari sekitar 77% metil

monoglucosides (45% metil α-D-glukopiranosida, 27% metil-β-D

glukopiranosida, 5% metil α/β-D-glukofuranosida), 14% metil diglukosida, 3%

metil triglukosida, dan <1% oligomer lainnya.

2.3.3 Tapioka

Tapioka merupakan pati yang berasal dari ubi kayu. Kadar pati ubi kayu

cukup besar, yaitu 25-35%. Salah satu ciri khas dari tapioka yaitu kandungan

lemak dan proteinnya yang rendah dibandingkan dengan pati jenis lain. Tabel 3

menunjukkan syarat mutu dari tapioka. Besarnya potensi pati ubi kayu ini juga

didukung dengan besarnya produksi ubi kayu di Indonesia. Produktifitas ubi kayu

Page 47: pemakain surfaktan

Indonesia pada tahun 2000 adalah 125 kw/ha dan pada tahun 2004 sebesar 155

kw/ha. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan sebesar 32%. Sedangkan rata-

rata pertumbuhan produktivitas dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 adalah

sebesar 30%. Ditahun 2008 produksi ubi kayu Indonesia mencapai 20 juta ton

(Anonim 2009). Berdasarkan struktur kimia, tapioka adalah polimer glukosa yang

terdiri atas rantai lurus amilosa (20-25%) dan rantai cabang amilopektin (75-

80%).

Tabel 3 Syarat mutu tapioka (Miller 2009)

Kandungan Jumlah

Air (% maksimum) 13

Pati (%minimum) 85

Abu (% maksimum) 0,2

pH 5 – 7

Sulfur dioksida (ppm) 30

Sianida (ppm) 0

Page 48: pemakain surfaktan

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus

melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi

hidrolisis pati menjadi gula sederhana kemudian dilanjutkan dengan proses

alkoholisis membentuk butil glikosida. Namun tidak semua produk hasil hidrolisis

pati membentuk butil glikosida, sehingga terdapat residu gula yang tidak ikut

bereaksi dengan butanol. Proses butanolisis berlangsung dengan bantuan katalis

asam (PTSA) dan menggunakan suhu yang tinggi. Kondisi asam dan suhu tinggi

diperlukan untuk menghidrolisis pati dan membentuk butil glikosida, namun

kondisi asam dan suhu tinggi dapat menyebabkan dehidrasi pada gula menjadi

HMF yang menyebabkan warna gelap. Oleh karena itu diperlukan penambahan

katalis dan perlakuan suhu yang tepat untuk dapat meminimalkan residu gula

namun masih menghasilkan warna dengan tingkat kejernihan yang masih tinggi.

Residu gula yang tidak bereaksi dan pembentukan warna gelap pada tahap

butanolisis harus diminimalkan untuk menghindari terbentuknya polidekstrosa

selama proses transasetalisasi dan meningkatkan tingkat kejernihan produk APG.

Pada proses transasetalisasi, butil glikosida akan direaksikan dengan alkohol

lemak C12 untuk membentuk APG. Residu gula yang terdapat dalam larutan dari

hasil butanolisis juga mampu berikatan dengan alkohol lemak membentuk APG,

namun karena perbedaan kelarutan maka gula sederhana lebih mudah untuk saling

berikatan satu sama lainnya membentuk endapan polidekstrosa. Polidekstrosa

merupakan produk sekunder yang tidak diharapkan karena merupakan salah satu

penyebab warna gelap pada produk APG dan dapat menurunkan kinerja APG.

Pada tahap pemurnian dilakukan pemisahan polidekstrosa dengan penyaringan.

Untuk meningkatkan kejernihan produk diberikan perlakuan penambahan arang

aktif. Sebelum tahap distilasi, residu glukosa yang masih tersisa akan diubah

menjadi sorbitol dengan menggunakan senyawa hidrogenasi seperti NaBH4.

Sorbitol memiliki sifat yang lebih tahan panas dan stabil dalam kondisi asam

maupun basa (Lueders 2000), sehingga dapat menghindari terbentuknya HMF

akibat rusaknya glukosa karena suhu yang tinggi selama proses distilasi.

Page 49: pemakain surfaktan

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses, Departemen

Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian

Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada pada bulan Februari 2010- Agustus 2010.

3.3 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan meliputi reaktor double jacket yang dilengkapi

dengan termostat, agitator dan motor, kondesor, pompa vakum, magnetic stirrer,

oven, Cole-parmer surface tensiometer, vortex mixer, pH meter, hot plate,

termometer, Spectrofotometer, serta peralatan gelas.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : tapioka, dodekanol

(alkohol lemak C12), butanol, MgO, DMSO, NaOH, H2O2, p-toluena sulfonic

acid, aquades, xylene, piridina, benzena, larutan DNS, larutan fenol, glukosa

standar, H2SO4, NaBH4, arang aktif, span 20, tween 80, dan asam oleat.

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Tahap 1. Penentuan rasio mol katalis dan suhu proses butanolisis

Tahapan ini adalah tahap butanolisis dengan penambahan butanol dengan

rasio mol 8,5:1 mol pati dan H2O dengan rasio mol 8:1 mol pati. Proses

butanolisis berlangsung selama 30 menit dengan tekanan 6-8 kg/cm2 dan

kecepatan pengadukan 200 rpm (Wuest et al. 1992). Gambar 7 menunjukkan

diagram alir dari proses butanolisi pada tahap pertama. Untuk meningkatkan

efisiensi proses ditambahkan p-toluena sulfonic acid (PTSA) yang berfungsi

sebagai katalis dan memberikan suasana asam. Suhu yang tinggi juga diperlukan

selama proses butanolisis. Pada tahap ini akan dikaji perbandingan rasio mol

katalis: pati dan suhu yang berbeda. Rancangan percobaan pada tahap pertama

menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor yaitu rasio mol katalis

dan suhu reaksi:

Rasio mol katalis terdiri dari 3 taraf yaitu:

A1 = 0,018 mol/mol pati

A2 = 0,027 mol/mol pati

A3 = 0,036 mol/mol pati

Page 50: pemakain surfaktan

Suhu reaksi terdiri dari 2 taraf yaitu:

B1 = 140 OC

B2 = 150 OC

Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan

menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan pengaruh faktor yang

dicobakan, maka dilakukan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf nyata

5%. Model matematika dalam percobaan ini sebagai berikut:

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ɛijk

Keterangan:

Yijk = Variabel respon/hasil pengamatan

µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya (rata-rata umum)

Ai = Pengaruh faktor A (rasio mol katalis) taraf ke-i (i=1,2,3)

Bj = Pengaruh faktor B (suhu reaksi) tarf ke-j (j=1,2)

(AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

ɛijk = Pengaruh galat faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k

(k=1,2)

Hasil dari butanolisis kemudian dianalisis residu gula pereduksi, residu total

gula, dan kecerahan. Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1. Hasil rasio mol

katalis dan perlakuan suhu terbaik kemudian akan digunakan pada proses sintesis

pada tahap selanjutnya.

AIR

(8 mol)

n-Butanol

(8,5 mol)

Tapioka

(1 mol)

BUTANOLISISP : 6-8 Kg/cm

2

T : 140 OC dan 150

OC

t : 30 menit

200 RPM

Katalis

(0,018; 0,027;

0,036 mol)

Butil glikosida, residu gula,

air, dan butanol

ANALISA

Kejernihan, gula reduksi, dan total

gula

Gambar 7 Diagram alir proses butanolisis tahap pertama

Page 51: pemakain surfaktan

3.4.2 Tahap 2. Tahap produksi APG (proses sintesis dan proses

pemurnian)

3.4.2.1 Proses Sintesis APG (proses butanolisi dan proses transasetalisasi)

Hasil rasio mol katalis dan suhu terbaik pada proses butanolisis yang

dilakukan di tahap pertama kemudian akan digunakan pada proses sintesis APG.

Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1 mol pati

dan H2O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati. Lama reaksi butanolisis yaitu 30 menit

pada tekanan 6-8 kg/cm2

dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Pada proses

transasetalisasi ditambahkan alkohol lemak C12 dengan perbandingan rasio mol

alkohol lemak : pati yaitu 5 : 1. Suhu reaksi 115 OC – 120

OC selama 2 jam, dalam

keadaan vakum (-15 cmHg) dan kecepatan pengadukan 200 rpm (Merupakan

modifikasi metode Wuest et al. (1992)). Hasil dari tahap ini akan dihitung jumlah

gula yang tidak bereaksi sebagai total gula pereduksi. Prosedur analisa dapat

dilihat pada Lampiran 1.

3.4.2.2 Proses pemurnian APG (penyaringan, netralisasi, distilasi dan

bleaching)

Proses pemurnian terdiri dari tahap penyaringan untuk memisahkan

polidesktrosa, netralisasi untuk menghentikan proses transasetaslisasi, distilasi

untuk memisahkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi, dan pemucatan untuk

meningkatkan warna APG.

Setelah proses transasetalisasi dilakukan penyaringan untuk memisahkan

endapan polidekstrosa yang terbentuk. Penyaringan dilakukan dengan

menggunakan kain saring setelah larutan mencapai suhu 80 OC. Kemudian

dilakukan proses netralisasi pada suhu 80 OC dengan menggunakan NaOH hingga

mencapai pH 9 (Wuest et al. 1992). Setelah dinetralisasi kemudian dilakukan

penambahan arang aktif yang berfungsi sebagai adsorben dari warna gelap. Pada

penambahan arang aktif dilakukan pengadukan selama 1 jam pada suhu 30 OC.

Kemudian larutan disentrifugasi 3000 rpm selama 30 menit dan disaring vakum

untuk memisahkan arang aktif (Lueders 1991). Dilakukan juga penambahan

NaBH4 untuk mengubah sisa glukosa menjadi sorbitol. Kemudian dilanjutkan ke

tahap distilasi untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada suhu

140-160 OC. Hasil yang diperoleh yang berupa APG kasar kemudian dilarutkan

dengan menggunakan air dengan konsentrasi 50%, kemudian dipucatkan dengan

Page 52: pemakain surfaktan

menggunakan H2O2 dengan konsentrasi 35% sebanyak 2% (b/b) dari berat

larutan dan penambahan magnesium oksida 500 ppm pada suhu 70 OC selama 1

jam (McCurry et al. 1994). Gambar 8 menunjukkan diagram alir tahap produksi

APG.

Tahap pemurnian mengkaji pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4

setelah proses netralisasi. Rancangan percobaan pada tahapan pemurnian

menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor yaitu konsentrasi arang

aktif dan konsentrasi NaBH4 :

Konsentrasi arang aktif terdiri dari 3 taraf yaitu :

A1 = 0%

A1 = 5%

A2 = 10%

Konsentrasi NaBH4 terdiri dari 4 taraf yaitu :

B1 = 0%

B2 = 0,1%

B3 = 0,2%

B4 = 0,3%

Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan

menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan pengaruh faktor yang

dicobakan, maka dilakukan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf nyata

5%. Model matematika dalam percobaan ini sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ɛijk

Keterangan :

Yijk = Variabel respon/hasil pengamatan

µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya (rata-rata umum)

Ai = Pengaruh faktor A (konsentarsi arang aktif) taraf ke-i (i=1,2,3)

Bj = Pengaruh faktor B (konsentrasi NaBH4) taraf ke-j (j=1,2,3,4)

(AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor T taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

ɛijk = Pengaruh galat faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k

(k=1,2)

Hasil dari proses tahapan produksi APG kemudian dianalisa rendemen dan

kejernihan produk yang dihasilkan. Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1.

3.4.3 Tahap 3. Karakterisasi

Page 53: pemakain surfaktan

Tiap sampel kemudian dianalisa tegangan permukaan, tegangan antar

muka, kestabilan emulsi, kestabilan busa, gugus fungsi dan HLB. kemudian hasil

terbaiknya dibandingkan dengan APG komersial. Prosedur karakterisasi produk

disajikan pada Lampiran 1. Nilai karakterisasi kemudian dibandingkan dengan

APG komersial.

AIR

(8 mol)

n-Butanol

(8,5 mol)

Tapioka

(1 mol)

BUTANOLISISP : 6-8 Kg/cm

2

T : Suhu terbaik dari tahap 1

t : 30 menit

200 RPM

Katalis

Terbaik dari tahap

1

Butil glicoside, residu gula,

air, dan butanol

Fatty Alcohol C12

5 mol/1 mol patiTRANSASETALISASI

P : -15 cmHg

T : 115-120 OC

t : 120 menit

200 RPMKatalis

(50% dari mol

butanolisis)

NETRALISASI

setelah pendinginan hingga

suhu 80OC (30 menit) pada

tekanan 1 ATM hingga

mencapai pH 9

DISTILASI

P : -76 cmHg

T : 140 – 160 OC

APG KASAR

fatty alcohol

BLEACHING

P : 1-2 Bar, T : 70OC,

t : 30 menit

NaOH 50%

H2O2 2% Dan MgO

(500 ppm)

APG MURNI

Butanol, air

Air (50% b/b) T :

70OC

ANALISA

Kejernihan, tegangan antar muka,

tegangan permukaan, kestabilan

emulsi, rendemen, Gugus fungsi

(FTIR), HLB

Penambahan arang aktif

0%; 5%; 10%

Sentrifugasi 3000 rpm selama 30

menit dan penyaringan vakumArang Aktif

Penambahan NaBH4

0%; 0,1%; 0,2%; 0,3%

Penyaringan

T : 80 OC

Endapan

Polidekstrosa

Gambar 8 Diagram alir proses produksi APG

Page 54: pemakain surfaktan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis

Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan

bahan baku sakarida yang memiliki dextrose equivalent (DE) yang rendah seperti

sirup dextrosa atau pati melalui proses butanolisis terlebih dahulu (Eskuchen dan

Michael 1997). Pada proses ini terjadi proses hidrolisis asam untuk memutus

ikatan glikosida pada pati kemudian terbentuk gula sederhana. Gula sederhana

tersebut akan berikatan dengan butanol melalui proses alkoholisis hingga

terbentuknya butil monoglikosida atau butil poliglikosida.

Bahan baku pati yang digunakan dalam penelitian ini adalah tapioka. Alasan

pemilihan bahan baku tapioka karena lebih mudah didapatkan, selain itu harga

tapioka yang juga relatif lebih murah, jika dibandingkan dengan jenis pati lain

atau menggunakan gula dengan tingkat derajat ekuivalensi yang tinggi.

Karakteristik fisiko kimia tapioka sesuai dengan pati pada umumnya yang

mengandung amilosa dan amilopektin yang disusun oleh D-glukosa.

Alkoholisis pati membutuhkan kondisi yang lebih ekstrim dibandingkan

proses alkoholisis D-glukosa. Hal ini disebabkan karena pati masih mengandung

amilosa dan amilopektin yang memiliki keterbatasan pelarutan dan sweeling pada

alkohol, khususnya alkohol hidrofobik. Karena hal tersebut maka diperlukan suhu

yang tinggi dan bertekanan, serta kondisi asam untuk memutus ikatan glikosida

pati. Pemecahan pati menjadi D-glukosa diharapkan dapat berikatan dengan

butanol. Pada proses ini terjadi pelepasan H2O akibat proses pembentukan asetal

antara gugus aldehid pati dan alkohol dengan bantuan katalis asam. Suhu yang

tinggi dan kondisi asam selain menyebabkan pemutusan ikatan glikosida pati juga

mampu membuat dehidrasi gula sederhana yang telah terbentuk menjadi hidroksil

metil furfural (HMF). Senyawa HMF ini menyebabkan warna gelap pada produk

hasil proses butanolisis. Selain pembentukan warna gelap juga terdapat residu dari

gula yang tidak ikut bereaksi dengan butanol.

Proses butanolisis diberikan perlakuan penambahan katalis PTSA dengan

rasio mol/mol pati sebesar 0,018 – 0,036, sedangkan perlakuan suhu yang

diberikan yaitu suhu 140 OC dan 150

OC. Proses ini berlangsung selama 30 menit

Page 55: pemakain surfaktan

dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Dengan

proses penambahan berbagai konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu

diharapkan butil glikosida yang terbentuk akan menjadi maksimal. Hal ini dapat

dilihat dari jumlah residu total gula ataupun gula pereduksi yang dihasilkan.

Semakin rendah residu total gula, maka dapat diasumsikan butil glikosida yang

terbentuk akan semakin banyak. Jumlah residu gula pereduksi menunjukkan

jumlah glukosa yang tidak bereaksi dengan butanol untuk menghasilkan butil

glikosida. Residu gula yang dihasilkan dari proses butanolisis akan

mempengaruhi terbentuknya polidekstrosa pada tahap transasetalisasi.

Selain berdampak pada jumlah residu gula yang dihasilkan, perlakuan

penambahan konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu selama proses

butanolisis juga berdampak pada kejernihan produk hasil proses butanolisis.

Semakin tinggi konsentrasi rasio mol maka pH selama proses butanolisis semakin

rendah. pH yang rendah dan suhu yang semakin tinggi dapat menyebabkan

rusaknya gula hingga terbentuknya HMF yang menyebabkan warna menjadi

gelap.

4.1.1 Residu gula pereduksi

Pemecahan ikatan glikosida pati menjadi glukosa akan berikatan dengan

butanol menjadi butil glikosida dengan bantuan katalis PTSA, namun tidak semua

hasil pemecahan pati yang terbentuk mampu menghasilkan butil glikosida.

Terdapat residu glukosa dari proses butanolisis yang terlarut dalam filtrat dan

dihitung sebagai gula pereduksi.

Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus karbonil yang reduktif.

Sifat pereduksi ini ditentukan oleh ada tidaknya gugus OH bebas yang reaktif.

Gugus reduktif ini terdapat pada atom C no 1 pada glukosa. Jumlah residu gula

reduksi menentukan kualitas APG yang akan dihasilkan, karena jika gula

pereduksi tinggi maka pembentukan polidekstrosa akan semakin tinggi.

Hasil pengukuran gula pereduksi dari produk hasil proses butanolisis

berkisar antara 18.075 – 58.281,25 ppm. Dari hasil analisa ragam menunjukkan

faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor

berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan (α=0,05) dari faktor rasio mol

Page 56: pemakain surfaktan

katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,018; 0,027; dan 0,036

masing-masing berbeda nyata satu sama lain. Dari hasil uji lanjut Duncan

(α=0,05) perlakuan rasio mol 0,027 pada suhu 150 OC (sampel A2B2) dan

perlakuan rasio mol 0,036 pada suhu 140 OC (sampel A3B1) menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Pengaruh dari faktor rasio mol katalis dan

faktor suhu terhadap residu gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Pengaruh faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula

pereduksi.

Semakin tinggi residu gula pereduksi yang dihasilkan pada proses

butanolisis menyebabkan kemungkinan pembentukan warna gelap semakin tinggi

pada proses selanjutnya dalam pembuatan APG. Oleh karena itu diharapkan

residu gula pereduksi yang dihasilkan serendah mungkin. Semakin tinggi rasio

mol katalis PTSA/1 mol pati yang ditambahkan selama proses butanolisis maka

semakin rendah residu gula pereduksi yang dihasilkan. Demikian pula dengan

perlakuan suhu, semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan maka residu gula

pereduksi semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya rasio

katalis maka semakin banyak ion H+ yang dapat digunakan untuk membentuk

asetal antara gugus aldehid glukosa dan butanol. Luders (2000), menyatakan

bahwa diperlukan ion H+ yang cukup dari katalis asam untuk membantu reaksi

antara gula dan butanol.

Panas yang cukup diperlukan untuk membantu reaksi antara glukosa dan

butanol. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa semakin tinggi suhu yang

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

0.018 0.027 0.036

Gu

la P

ered

uks

i (p

pm

)

Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati

140

150

Suhu (OC)

Page 57: pemakain surfaktan

digunakan maka semakin rendah pula residu gula yang dihasilkan. Perlakuan suhu

150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang rendah dibandingkan dengan

perlakuan suhu 140 OC. Pada suhu 150

OC reaksi antara glukosa dan butanol

lebih banyak terjadi karena dengan meningkatnya suhu maka semakin cepat pula

reaksi yang terjadi. Dengan batasan waktu proses butanolisis selama 30 menit,

perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang lebih rendah.

Hal ini sesuai dengan pendapat Luders (2000), suhu yang digunakan untuk proses

butanolisis adalah 140-165 OC. semakin rendah suhu maka proses reaksi akan

berjalan semakin lambat. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka reaksi akan

berjaan lebih cepat, namun proses harus dijaga untuk meminimalkan

pembentukan by-product yang tidak diinginkan pada penggunaan suhu yang

tinggi.

4.1.2 Residu total gula

Tidak semua hasil hidrolisis pati dengan menggunakan asam akan

menghasilkan monosakarida, namun ada juga yang berbentuk oligosakarida atau

polisakarida. Hasil hidrolisis pati ini diukur sebagai total gula. Oligosakarida juga

mampu bereaksi dengan butanol, namun produk yang dihasilkan berupa butil

oligoglikosida. Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat

bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye

hingga kekuningan yang stabil (Winarno 2008).

Residu total gula yang dihasilkan pada proses butanolisis berasal dari hasil

hidrolisa asam pada tapioka. Semakin banyak residu total gula, maka semakin

tidak efisien proses butanolisis yang terjadi. Kondisi proses reaksi butanolisis

yang menggunakan suhu 140-150 OC dan dalam keadaan asam mendukung untuk

terjadinya proses hidrolisa pati. Hasil penelitian pada perhitungan residu total

gula berkisar antara 44.047,62-143.928,57 ppm, atau sekitar 28,51 – 82,4% dari

total pati yang digunakan.

Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor

perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap

pembentukan residu total gula (Lampiran 3). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)

dari faktor rasio mol katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol

Page 58: pemakain surfaktan

0,018 berbeda nyata dengan perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol

0,027 dan 0,036. Perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036

tidak berbeda nyata. Hasil uji Duncan (α=0,05) pada tiap perlakuan menunjukkan

hasil yang berbeda nyata, kecuali pada perlakuan rasio mol katalis 0,036 dan suhu

150 OC (sampel A3B1) tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan rasio

mol katalis 0,027 pada suhu 140 OC dan 150

OC (sampel A2B1 dan A2B2).

Pengaruh dari perlakuan rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu

total gula dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Pengaruh rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total

gula

Semakin tinggi rasio mol katalis dan perlakuan suhu, maka semakin rendah

residu total gula yang dihasilkan. Penambahan katalis yang semakin tinggi

memungkinkan terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses

butanolisis. Dengan suasana asam memungkinkan untuk terjadinya hidrolisis pati

dan ion H+ yang diperoleh dari katalis membantu terjadinya ikatan antara gula dan

butanol. Pada perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu total gula yang lebih

rendah jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 OC.

Dari data residu total gula dan residu gula sederhana dapat diperoleh data

derajat polimerisasi (DP) dari residu sakarida yang dihasilkan dari hasil proses

butanolisis. Derajat polimerisasi merupakan hasil bagi dari jumlah residu total

gula dan jumlah residu gula pereduksi. Nilai DP dari hasil proses butanolisis

berkisar antara 2-3. Dari nilai DP yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi

gula pereduksi terhadap total gula masih tinggi atau berkisar antara 55,5-34,5%;

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

140000

160000

0.018 0.027 0.036

Tota

l Gu

la (p

pm

)

Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati

140

150

Suhu (OC)

Page 59: pemakain surfaktan

sedangkan jumlah persentase total gula terhadap keseluruhan hasil butanolisis

sebesar 25,1-82,4% (Tabel 4). Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dari

residu total gula yang terdapat pada hasil butanolisis yaitu terbentuknya

polidekstrosa atau membentuk ikatan asetal dengan alkohol lemak rantai panjang

pada tahap transasetalisasi (McCurry 2000).

Tabel 4 Derajat polimerisasi dan persentase residu gula dari berbagai sampel

Sampel Perlakuan DP Residu Gula (%)

A1B1a Katalis 0,018; suhu 140

OC 2,4 82,40

A1B2a Katalis 0,018; suhu 150

OC 1,9 49,75

A2B1a Katalis 0,027; suhu 140

OC 1,8 39,70

A2B2a Katalis 0,027; suhu 150

OC 2,2 31,35

A3B1a Katalis 0,036; suhu 140

OC 2,9 38,20

A3B2a Katalis 0,036; suhu 150

OC 2,4 28,51

Ludersb

Katalis 0,012; suhu 165OC

(syrup glukosa low DP) n/a

c 13,00

Keterangan : aperlakuan penelitian, bLuders (2000), cdata tidak tersedia

4.1.3 Kejernihan

Luders (1991) dan Noerdin (2008) menyatakan bahwa warna produk hasil

butanolisis antara kuning hingga coklat tua. Pembentukan warna ini disebabkan

oleh dehidrasi glukosa dengan kehilangan 3H2O hingga membentuk hidroksil

metil furfural (HMF) (Gambar 5). Perlakuan suhu tinggi hingga 150 OC juga

menjadi penyebab pembentukan warna gelap pada hasil proses butanolisis. Hasil

butanolisis yang berwarna gelap akan mempengaruhi kualitas warna produk APG

selanjutnya. Semakin gelap produk butanolisis, maka produk APG yang

dihasilkan juga akan semakin gelap.

Penetapan kejernihan produk dari hasil butanolisis dilakukan dengan

menggunakan spektrofotometer. Pada perhitungan kejernihan digunakan panjang

gelombang 470 nm (McCurry 1994), dengan menghitung %Transmisi sampel.

Hasil dari perhitungan %Transmisi kecerahan produk butanolisis berkisar antara

0,1 – 80,35 %T. Semakin rendah nilai %T maka semakin gelap produk.

Hasil analisa ragam menunjukkan faktor rasio mol, faktor suhu dan interaksi

kedua faktor berpengaruh nyata (Lampiran 4). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)

dari faktor rasio mol katalis, penambahan katalis dengan rasio mol 0,027; dan

Page 60: pemakain surfaktan

0,036 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan katalis

dengan rasio mol 0,018. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap tiap

kombinasi perlakuan menunjukkan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,036

pada suhu 140 OC dan 150

OC (A3B1 dan A2B2) serta perlakuan rasio mol katalis

0,027 pada suhu 150 OC tidak berbeda nyata. Kombinasi perlakuan rasio mol

katalis 0,018; suhu 150 OC (A1B2) dan kombinasi perlakuan rasio mol katalis

0,027; suhu 140 O

C (A2B1) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.

Warna dari hasil proses butanolisis yaitu kuning muda hingga hitam. Warna dari

hasil proses butanolisis ini dapat dilihat pada Gambar 11. Grafik kejernihan APG

akibat pengaruh penambahan rasio mol katalis dan perlakuan suhu dapat dilihat

pada Gambar 12.

Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036 B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC

Gambar 11 Hasil dari proses butanolisis

Gambar 12 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu terhadap kejernihan (%T)

Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis dan semakin tinggi perlakuan

suhu maka kejernihan produk yang dihasilkan akan semakin rendah. Perlakuan

0102030405060708090

0.018 0.027 0.036

Kej

ern

ihan

(%T)

Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati

140

150

Suhu (OC)

Page 61: pemakain surfaktan

penambahan rasio mol katalis 0,027 dan 0,036 dengan kombinasi perlakuan suhu

150 OC menghasilkan nilai kejernihan yang sangat rendah. Semakin tinggi

penambahan rasio mol katalis menyebabkan penurunan pH yang semakin tinggi

pula. Kondisi asam ini menyebabkan gula sederhana hasil hidrolisa pati

mengalami dehidrasi hingga membentuk furfural. Hal ini sesuai dengan pendapat

Winarno (1992) yang menyatakan bahwa asam akan menyebabkan dehidrasi pati

menjadi furfural, yaitu suatu turunan aldehid. Perlakuan suhu yang semakin tinggi

menyebabkan reaksi pembentukan warna gelap semakin tinggi. Suhu yang tinggi

dapat meningkatkan pembentukan butil glikosida namun dapat menyebabkan by-

product yang tidak diinginkan yaitu pembentukan warna gelap (Luders 2000).

4.1.4 Pemilihan rasio mol dan suhu terbaik proses butanolisis

Residu total gula diasumsikan sebagai gula yang tidak mampu berikatan

dengan butanol membentuk butil glikosida. Semakin tinggi residu total gula maka

semakin rendah produk butil glikosida yang terbentuk.

Semakin tinggi rasio mol katalis/1 mol pati dan semakin tinggi perlakuan

suhu yang diberikan selama proses butanolisis maka tingkat %Transmisi

kecerahan dari hasil butanolisis semakin rendah, dan produk yang dihasilkan

semakin gelap. Dari Gambar 13 dapat dilihat pada perlakuan rasio mol katalis

0,018 (pada suhu 140 OC dan 150

OC) hasil dari proses butanolisis memiliki

tingkat kejernihan yang tinggi. Pada perlakuan ini diindikasikan bahwa telah

terjadi proses hidrolisis pati menjadi gula sederhana, karena tidak terdapat lagi

suspensi pati. Jika dilihat dari jumlah residu total gula pada kombinasi perlakuan

rasio mol 0,018; suhu 140 OC (A1B1) masih cukup tinggi yaitu 82,40%, artinya

pembentukan butil glikosida masih rendah. Jika suhu dinaikkan menjadi 150 OC

(A1B2) maka total gula akan menurun menjadi 49,75%.

Berdasarkan perbandingan tersebut maka dipilih perlakuan rasio mol 0,027

dan suhu proses butanolisis 140 OC (A2B1) karena memiliki residu total gula yang

cukup rendah (39,7%) dan kejernihan yang masih tinggi (45,75 %T). Hasil

perbandingan residu gula pereduksi, residu total gula dan kejernian dapat dilihat

pada Gambar 13. Perlakuan rasio mol dan suhu ini kemudian digunakan

seterusnya pada proses butanolisis untuk menghasilkan sampel APG.

Page 62: pemakain surfaktan

Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036

B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC

Gambar 13 Perbandingan hasil pengamatan residu gula pereduksi, residu total

gula dan kejernihan dari tiap perlakuan

4.2 Tahap produksi APG

4.2.1 Proses Sintesis (proses butanolisis dan proses transasetalisasi)

Pada proses butanolisis jumlah rasio mol katalis PTSA yaitu 0,027 mol : 1

mol pati, sedangkan perlakuan suhu yang diberikan yaitu suhu 140 OC sesuai

dengan perlakuan terbaik pada tahap penentuan rasio mol katalis dan suhu proses

butanolisis. Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1

mol pati dan H2O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati Proses ini berlangsung selama

30 menit dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm.

Secara umum proses transasetalisasi merupakan proses penggantian C4 oleh

C12 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Pada proses ini terjadi pemutusan

ikatan antara sakarida dan butanol kemudian digantikan oleh alkohol lemak C12.

Pada proses ini berlangsung pada suhu 115-120 OC selama dua jam dengan

kecepatan pengadukan 200 rpm dan dalam keadaan vakum (-15 cmHg). Selama

berlangsungnya proses ini butanol dan air dikeluarkan melalui proses penguapan

dan kondensasi.

Setelah proses transasetalisasi didapatkan hasil berupa cairan berwarna

coklat muda. Derajat keasaman larutan yang dihasilkan yaitu antara pH 2–2,4.

Rata-rata gula pereduksi yang masih terdapat dalam larutan hasil transasetalisasi

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

140000

160000

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

%Tr

an

smis

i

Ko

nse

ntr

asi (

pp

m)

Residu Total Gula (ppm)

Residu Gula Pereduksi (ppm)

Kejernihan (%Transmisi)

Page 63: pemakain surfaktan

yaitu sebesar 563,64 ppm (Lampiran 6), sedangkan menurut Lueders (2000),

kandungan D-glukosa yang tersisa dalam larutan hasil transasetalisasi sebesar 450

ppm.

Polidekstrosa sangat berpengaruh terhadap Pada pembentukan warna gelap

karena jika dilanjutkan pada proses distilasi maka produk APG akan semakin

gelap. McCurry (1994), menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi

terdiri dari dodecil poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan

sebagian kecil gula yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak. Hasil dari

proses transasetalisasi dapat diihat dari Gambar 14.

Gambar 14 Hasil akhir proses transasetalisasi

4.2.2 Proses Pemurnian APG

Proses pemurnian dilakukan untuk memperoleh APG yang memiliki

penampakan lebih jernih, karena aplikasi APG saat ini lebih banyak digunakan

pada industri personal care product yang menuntut kondisi fisik APG yang lebih

menarik dan memiliki kinerja yang bagus. Tahap proses pemurnian meliputi:

penyaringan, netralisasi, penambahan arang aktif dan NaBH4, distilasi dan

pemucatan.

4.2.2.1 Proses Penyaringan

Setelah proses transasetalisasi larutan didinginkan hingga mencapai suhu 80

OC. Di dasar larutan terdapat endapan coklat tua gelap. Jika endapan ini

dipisahkan menggunakan kain saring akan diperoleh pasta yang akan mengeras

pada suhu ruang. Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), endapan ini merupakan

Page 64: pemakain surfaktan

polidekstrosa hasil polimerisasi glukosa yang tidak bereaksi dengan alkohol

lemak. Endapan ini harus dipisahkan, karena akan menyebabkan penurunan

kualitas fisik dan kinerja APG yang dihasilkan. Tidak semua polidekstrosa dapat

tersaring, karena ada juga yang masih larut dalam larutan. Rata-rata endapan

polidektrosa yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 4,3% dari jumlah

transasetalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat McCurry (2000) bahwa

kandungan polidekstrosa berkisar antara 2-13% dan kandungan by-product

lainnya sebesar 1-3% dari hasil proses transasetalisasi.

4.2.2.2 Proses Netralisasi

Proses netralisasi dilakukan untuk menghentikan proses transasetalisasi. Jika

tidak dilakukan netralisasi maka APG yang telah terbentuk dalam larutan hasil

transasetalisasi akan mengalami kerusakan pada proses destilasi. Hal ini

disebabkan karena larutan masih bersifat asam dan suhu yang digunakan >140 OC

yang dapat merusak APG yang telah terbentuk. Perlakuan proses netralisasi

produk dilakukan dengan penambahan NaOH 50% hingga pH larutan mencapai

pH 9. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan karena gugus

ether yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih stabil

dalam kondisi basa (Noerdin 2008). Penggunaan larutan sodium hidroksida

(NaOH) sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol ataupun

produk APG (Wuess et al. 1996).

Pada saat penambahan NaOH untuk menetralkan larutan terjadi perubahan

warna pada larutan hasil proses transasetalisasi. Mulanya larutan berwarna coklat

muda kemudian setelah penambahan NaOH larutan berubah menjadi coklat tua

(Gambar 15). Perubahan warna ini disebabkan karena masih terdapat kandungan

sakarida dalam larutan. Menurut Soeharsono (1988), jika sakarida diberikan

larutan basa berkadar tinggi, maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi, D-

glukosa akan berubah menjadi D-manosa atau D-fruktosa. Monosakarida akan

mudah mengalami dekomposisi dan menghasilkan hidroksil metil furfural (HMF)

selama proses pencoklatan non-enzimatis.

Page 65: pemakain surfaktan

Gambar 15 Perubahan warna pada saat netralisasi menggunakan NaOH

4.2.2.3 Penambahan Arang aktif dan NaBH4

Untuk meningkatkan kejernihan produk maka diberikan perlakuan

penambahan arang aktif 0%, 5%, dan 10% setelah netralisasi. Arang aktif

dipisahkan dengan melakukan sentrifugasi dan penyaringan. Setelah itu

ditambahkan NaBH4 sebanyak 0,1%, 0,2% dan 0,3% (b/b). Pada saat penambahan

NaBH4 akan menghasilkan gelembung dan busa yang cukup banyak. Hal ini

menandakan terjadi pelepasan H2 dari NaBH4 yang akan mengubah gugus aldehid

pada sisa glukosa yang tidak bereaksi menjadi gugus alkohol untuk menghasilkan

sorbitol.

4.2.2.4 Proses Distilasi

Proses distilasi dilakukan untuk memisahkan kelebihan alkohol lemak yang

tidak bereaksi. Alkohol lemak C12 (dodekanol) memiliki titik didih 259 OC. Hasil

pengamatan yang dilakukan pada suhu 140 OC dengan tekanan vakum -76cmHg

dan selama kurang lebih 1 jam dodekanol mampu menguap. Proses distilasi

dihentikan jika suhu mencapai 160 OC. Jika dari suhu melebihi 160

OC, maka

produk yang dihasilkan akan gosong dan rusak. Proses aliran dodekanol yang

menguap juga dapat diamati pada lubang kaca yang terdapat pada kondensor, jika

sudah tidak terdapat titik-titik embun, maka proses distilasi dihentikan.

Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh APG kasar yang berwarna

coklat tua (Gambar 16). Mula-mula APG kasar ini berbentuk cair yang kemudian

akan menjadi keras pada suhu kamar. Hal ini berhubungan dengan titik leleh dari

APG C12 yaitu berkisar antara suhu 116-119OC (Ware et al. 2007)

Page 66: pemakain surfaktan

Gambar 16 APG Kasar Hasil proses destilasi

4.2.2.5 Proses pemucatan (bleaching)

Sebelum dilakukan pemucatan, APG kasar hasil dari proses distilasi

dilarutkan terlebih dahulu dengan perbandingan penambahan akuades (suhu 90

OC) 1 : 1 dengan APG kasar hingga konsentrasi bahan aktif APG 50%. Setelah

dipanaskan suhu diturunkan hingga 70 OC kemudian dilakukan penambahan MgO

500 ppm dan H2O2 35% sebanyak 2% (b/b) dari larutan. Selama penambahan

H2O2 suhu akan naik hingga 110 OC. Proses ini berlangsung selama kurang lebih

45 menit hingga gelembung akibat penambahan H2O2 hilang.

Kemurnian H2O2 yg digunakan tidak boleh lebih dari 50% dan penambahan

pada saat bleaching tidak boleh lebih dari 3%, karena sifat H2O2 yang sangat

oksidatif (Hill et al. 2000). Penambahan H2O2 berlebih akan menyebabkan

kerusakan pada produk APG sehingga APG yang dihasilkan menjadi 2 lapisan.

hal ini menandakan bahwa ikatan antara gugus hidrofilik dan hidrofobiknya telah

rusak. Hasil proses pemucatan dapat dilihat pada Gambar 17.

4.2.2.6 Karakteristik kejernihan

Pembentukan warna gelap selama proses sintesis APG terjadi karena

terbentuknya polidekstrosa selama proses transasetalisasi karena kondisi asam,

suhu tinggi dan kandungan air. Warna gelap juga terbentuk dari degradasi glukosa

menjadi hidroksil metil furfural (HMF). Arang aktif telah dikenal sebagai salah

satu absorben yang mampu menyerap zat warna, sehingga dapat mengurangi

warna gelap produk. NaBH4 merupakan senyawa hidrogenasi yang mampu

mereduksi glukosa menjadi sorbitol yang lebih tahan panas.

Setelah dilakukan pemucatan terjadi perubahan warna pada produk APG,

produk yang dihasilkan berwarna putih kekuningan hingga coklat muda (Gambar

Page 67: pemakain surfaktan

18). APG hasil sintesis berbentuk pasta sedangkan APG komersial bersifat cairan

kental berwarna keruh transparan. Hal ini disebabkan karena APG komersial

mengkombinasikan alkohol lemak C8, C10, C12 dan C14. Menurut Ware et al

(2007) sintesis APG menggunakan alkohol lemak C8 dan C10 akan menghasilkan

APG yang berisfat cairan kental, sedangkan menggunakan alkohol lemak C12 akan

menghasilkan APG yang berbentuk pasta. Pada alkohol lemak dengan jumlah C

yang lebih tinggi, APG yang dihasilkan akan berbentuk padat pada suhu kamar.

Gambar 17 Produk APG murni hasil proses pemucatan (bleaching)

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai kejernihan sebagai %Transmisi

berkisar antara 27,86–63,68. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa faktor

penambahan arang aktif berbeda nyata terhadap kejernihan APG yang dihasilkan,

demikian pula dari faktor penambahan NaBH4 berpengaruh nyata terhadap

kecerahan APG yang dihasilkan. Interaksi kedua faktor antara penambahan arang

aktif dan penambahan NaBH4 menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata. Hasil

uji Duncan (α=0,05) menunjukkan faktor penambahan NaBH4 0,2% dan 0,3%

tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0% dan

Arang Aktif 0%

Arang Aktif 5%

Arang Aktif

10%

NaBH4

0%

NaBH4

0,1%

NaBH4

0,2% NaBH4 0,3%

Page 68: pemakain surfaktan

0,1% (Lampiran 8). Hasil penelitian terhadap warna APG dapat dilihat pada

Gambar 18.

Gambar 18 Hasil analisa kejernihan produk APG sintesis

Hasil analisa warna menunjukkan penggunaan arang aktif 5% mampu

menghasilkan kejernihan produk yang lebih tinggi dengan nilai %Transmisi yang

lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena arang aktif mampu menyerap HMF yang

terbentuk. faktor penambahan arang aktif 10% menyisakan partikel arang aktif

berlebih yang tersisa pada produk, sehingga menyebabkan produk menjadi lebih

gelap.

Perlakuan penambahan NaBH4 mampu meningkatkan kejernihan produk.

Hal ini disebabkan karena NaBH4 mengubah sisa glukosa yang tidak bereaksi

menjadi sorbitol yang lebih tahan pada suhu tinggi selama proses distilasi

(McCurry 2000).

4.2.2.7 R e n d e m e n

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah

dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan terhadap bahan

baku untuk setiap tahap pada sintesa APG, antara lain yaitu tapioka dan dodekanol

(alkohol lemak C12)

Hasil sidik ragam menunjukkan faktor penambahan arang aktif berpengaruh

nyata terhadap rendemen APG yang dihasilkan. Demikian pula faktor

penambahan NaBH4. Namun interaksi dari kedua faktor tidak berpengaruh nyata

terhadap rendemen yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05), tiap

0

10

20

30

40

50

60

70

0 5 10

%Tr

ansm

isi

Arang Aktif (%)

NaBH4 0%

NaBH4 0,1%

NaBH4 0,2%

NaBH4 0,3%

Page 69: pemakain surfaktan

perlakuan penambahan arang aktif berbeda nyata. Penambahan NaBH4 0,1%;

0,2%; dan 0,3% tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada perlakuan tanpa

penambahan NaBH4 0% (Lampiran 9). Hasil dari perhitungan rendemen dapat

dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Rendemen APG dari perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH4

Dari hasil perhitungan rendemen, dapat dilihat bahwa semakin tinggi

penambahan arang aktif, maka semakin rendah rendemen yang diperoleh.

Rendemen yang diperoleh antara 47,07– 59,85%. Arang aktif dapat mengurangi

tingkat rendemen karena sifat arang aktif yang mampu menyerap senyawa

surfaktan. Pengaruh penambahan NaBH4 menunjukkan hasil yang lebih rendah

dibandingkan tanpa penambahan NaBH4. Meskipun rendemen APG yang

dihasilkan rendah, namun beberapa bahan baku masih dapat di recovery dan

digunakan kembali, seperti butanol dan alkohol lemak yang diperoleh dari proses

distilasi.

4.3 Tahap Karakterisasi APG

4.3.1 Kemampuan menurunkan tegangan permukaan

Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk

menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut,

kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki

oleh surfaktan. Surfaktan akan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya

40

45

50

55

60

65

0 5 10

Ren

dem

en (%

)

Konsentrasi Arang Aktif (%)

NaBH4 0%

NaBH4 0,1%

NaBH4 0,2%

NaBH4 0,3%

Page 70: pemakain surfaktan

meningkatkan gaya adhesi sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan

(Matheson 1996).

Pengujian kemampuan menurunkan tegangan permukaan dilakukan dengan

berbagai konsentrasi APG murni. Konsentrasi yang digunakan yaitu 0,001%;

0,01%; 0,05%; 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%. Dengan berbagai konsentrasi

tersebut akan dilihat kecenderungan penurunan dari kemampuan untuk

menurunkan tegangan permukaan. Dari hasil pengamatan dilihat semakin tinggi

konsentrasi APG yang ditambahkan maka tegangan permukaan cairan akan

semakin rendah (Lampiran 10). Hasil dari uji kemampuan menurunkan tegangan

permukaan air dari APG yang dihasilkan menunjukkan kinerja yang baik. Dari

perhitungan dengan konsentrasi APG 1%, persentase penurunan tegangan

permukaan berkisar antara 60,63 - 61,94%. Sebagai pembanding pada konsentrasi

yang sama, APG komersial memiliki kemampuan menurunkan tegangan

permukaan sebesar 58,89%. Dari hasil uji ragam, penambahan arang aktif

berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan. Hasil

uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap faktor penambahan arang aktif menunjukkan

bahwa penambahan arang aktif 5% dan 10% tidak berbeda nyata. Hasil uji ragam

menunjukkan faktor penambahan NaBH4 berpengaruh nyata. Hasil uji Duncan

(α=0,05) menunjukkan hanya perlakuan penambahan NaBH4 0,1% tidak berbeda

nyata dengan tanpa penambahan NaBH4. Penambahan NaBH4 0,2% menghasilkan

nilai peningkatan kemampuan menurunkan tegangan permukaan yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan penambahan NaBH4 0%; 0,1% dan 0,3%. Hasil analisa

terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan dapat dilihat pada

Gambar 20.

Penambahan arang aktif 5% dan 10% menunjukkan hasil kemampuan

menurunkan tegangan permukaan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan

tanpa penggunaan arang aktif. Hal ini disebabkan karena sifat arang aktif yang

non polar. Penambahan arang aktif mampu menyerap gugus hidrofobik, surfaktan

dapat teradsorpsi pada arang aktif karena interaksi hidrofobik (Rosu 1997),

sehingga mampu menurunkan kemampuan APG dalam menurunkan tegangan

permukaan.

Page 71: pemakain surfaktan

Gambar 20 Kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari APG yang

dihasilkan

Penambahan NaBH4 juga mampu mengurangi pembentukan polidekstrosa

yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan menurunkan tegangan

permukaan maupun tegangan antar muka. Glukosa yang tidak bereaksi berubah

menjadi sorbitol sehingga mengurangi proses terbentuknya polidekstrosa yang

dapat menurunkan kinerja APG.

Perhitungan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dilakukan pada

konsentrasi 1% APG. Pada konsentrasi yang rendah, molekul surfaktan dalam

larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air, jika ditambahkan konsentrasi

surfaktan, maka surfaktan akan teradsorbsi pada permukaan hingga mencapai

kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan, pada tahap ini telah

terbentuk misel. Misel terbentuk ketika surfaktan mencapai konsentrasi tertentu

yang disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Pada konsentrasi dibawah

CMC tegangan permukaan dan antar muka akan turun dengan meningkatnya

konsentrasi surfaktan. Jika konsentrasinya lebih tinggi maka tidak terjadi

penurunan tegangan permukaan atau penurunannya sangat rendah (Balzer 2000).

4.3.2 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka

Tegangan antar muka adalah gaya persatuan panjang dari dua fase cair yang

tidak dapat tercampur. Menurut Hargreaves (2003), antar muka adalah bagian

dimana dua fase saling bertemu atau kontak, sedangkan permukaan adalah antar

muka dimana satu fase kontak dengan gas (biasanya udara). Tegangan antar muka

sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan

59.5

60

60.5

61

61.5

62

62.5

0 5 10

Ke

mam

pu

an m

en

uru

nka

n t

ega

nga

n

Pe

rmu

kaan

(%

)

Konsentrasi arang aktif (%)

0%

0,10%

0,20%

0,30%

NaBH

4

Page 72: pemakain surfaktan

selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama.

Pengukuran tegangan antar muka menunjukkan kemampuan surfaktan untuk

menurunkan tegangan antar muka dua fase yang berbeda dalam larutan. Dalam

aplikasinya kemampuan menurunkan tegangan antarmuka ini erat hubungannya

dengan pembentukan emulsi, kemampuan daya bersih atau dalam penggunaan

sebagai oil recovery.

Perhitungan penurunan kemampuan tegangan antarmuka dilakukan pada

laruran air dan xilena. Tegangan antar muka air dan xilena yaitu 42 dyne/cm.

Konsentrasi penambahan APG hasil sintesis pada campuran air dan xilena yaitu

0,001–1%. Dengan berbagai konsentrasi tersebut akan dilihat kecenderungan

penurunan dari kemampuan untuk menurunkan tegangan antar muka. Dari hasil

pengamatan dilihat semakin tinggi konsentrasi APG yang ditambahkan maka

tegangan antar muka cairan air dan xilena akan semakin rendah.

APG hasil sintesis dengan konsentrasi 1% bahan aktif memiliki nilai

penurunan tegangan antar muka antara 1,85–2,35 dyne/cm atau memiliki nilai

kemampuan penurunan tegangan antarmuka 95,6–94,4%, dengan konsentrasi

yang sama (1%) APG komersial memiliki nilai penurunan tegangan antar muka

2,7 dyne/cm (kemampuan menurunkan tegangan sebesar 93,57%).

Hasil uji ragam pada faktor penambahan arang aktif, dan faktor penambahan

NaBH4 berpengaruh nyata, namun interaksi kedua faktor menunjukkan hasil yang

tidak berpengaruh nyata. Pada kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4

0,2% memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang paling tinggi

(95,6%) dibandingkan dengan perlakuan kombinasi lainnya. Sedangkan

kombinasi perlakuan arang aktif 10% dan NaBH4 0% merupakan perlakuan yang

memiliki nilai kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang paling rendah

yaitu 94,4%. Semua kombinasi perlakuan antara arang aktif dan NaBH4 0,2%

memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang tertinggi jika

dibandingkan dengan perlakuan arang aktif 0%; 0,1% dan 0,3% (Lampiran 11).

Hal ini menunjukkan penambahan NaBH4 hingga konsentrasi 0,2% mampu

menaikkan kinerja APG untuk menurunkan tegangan antarmuka, namun pada

konsentrasi 0,3% kemampuan APG untuk menurunkan tegangan antar muka tidak

berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0,2%. Pola ini hampir sama dengan

Page 73: pemakain surfaktan

hasil analisa pada kemampuan APG dalam menurunkan tegangan permukaan.

Pada konsentrasi NaBH4 0,3% jika dikombinasikan dengan penambahan arang

aktif (0%, 5%, dan 10%) diduga terjadi reduksi terhadap APG yang telah

terbentuk. Proses reduksi ini terjadi karena tingginya konsentrasi NaBH4 yang

dapat merusak gugus eter yang telah terbentuk antara glukosa dan alkohol lemak.

Rusaknya gugus ini akan menyebabkan menurunnya kinerja APG. Hasil dari

perhitungan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG hasil sintesis

pada konsentrasi 1% dapat dilihat pada Gambar 21

Gambar 21 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG sintesis pada

konsentrasi 1% bahan aktif

4.3.3 Kestabilan emulsi

Emulsi merupakan penyatuan dari dua atau lebih jenis larutan yang tidak

saling larut, salah satu cairan terdispersi kedalam cairan yang lain (Gambar 22).

Namun karena perbedaan berat molekul ataupun karena pengaruh gaya kohesi

maka larutan tersebut secara perlahan akan terpisah lagi. Alkil poliglikosida

memiliki kemampuan untuk menstabilkan emulsi yang memiliki kepolaran

berbeda, karena memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik, semakin panjang rantai

alkil yang dimiliki oleh APG maka kelarutan surfaktan dalam larutan nonpolar

akan lebih stabil (Sukkary et al. 2007).

Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan dengan menambahkan APG

sebanyak 0,1%; 0,5% dan 1% pada larutan air dan xilena kemudian dikocok

menggunakan vortex dan didiamkan selama 300 menit, tinggi emulsi yang

terbentuk kemudian diukur untuk melihat kestabilan emulsinya. Kombinasi

93.894

94.294.494.694.8

9595.295.495.695.8

0 5 10

Ke

mam

pu

an m

en

uru

nka

n t

ega

nga

n

anta

r m

uka

(%

)

Konsentrasi Arang Aktif (%)

0%

0,10%

0,20%

0,30%

NaBH

4

Page 74: pemakain surfaktan

penambahan arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% menghasilkan tinggi emulsi yang

lebih tinggi. Perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0% dan 0,3%

menghasilkan kestabilan emulsi yang paling rendah. Kestabilan emulsi

dipengaruhi oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh APG. Pada

pegujian ini digunakan air sebagai bahan polar dan xylene sebagai bahan non

polar, penambahan APG diharapkan dapat membentuk emulsi antara air dan

xilena.

Gambar 22 Proses penghitungan kestabilan emulsi

Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan pada tinggi emulsi pada menit ke

300. Hasil uji ragam menunjukkan pengaruh faktor penambahan arang aktif dan

NaBH4 berpengaruh nyata, demikian pula dengan interaksi kedua faktor. Semakin

tinggi penambahan arang aktif maka kestabilan emulsi larutan semakin rendah.

Sedangkan penambahan NaBH4 0,2% menunjukkan kestabilan emulsi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Dari hasil uji lanjut Duncan

(α=0,05) kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0%; dan kombinasi

perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0,1% menunjukkan tinggi emulsi yang tidak

berbeda nyata. Perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% (A1B3)

yang memiliki kestabilan emulsi paling tinggi (81,71%) berbeda nyata dengan

dengan perlakuan kombinasi arang aktif 5% NaBH4 0,2% (A2B3) , namun

perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,3% (A1B4) tidak berbeda

nyata pada perlakuan A1B3 dan A2B3. Perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan

NaBH4 0% dan 0,3% (A3B1 dan A3B4) merupakan kombinasi perlakuan yang

memiliki kestabilan emulsi yang paling rendah yaitu 67,07%, kedua perlakuan ini

Page 75: pemakain surfaktan

tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0,1

dan 0,2 (A3B2 dan A3B3) serta perlakuan kombinasi arang aktif 5% dan NaBH4

0% (A2B1). Data hasil uji statistik mengenai kestabilan emulsi dapat dilihat pada

Lampiran 12. Hasil pengukuran kestabilan emulsi pada penelitian ini dapat dilihat

pada Gambar 23.

Penambahan arang aktif selama proses pemurnian APG dapat

menurunkan jumlah gugus hidrofobik, sehingga kemampuan untuk membuat

emulsi antara air dan xilena pun semakin berkurang. Kemampuan pembentukan

emulsi juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan menurunkan tegangan

antarmuka dari surfaktan (Iglauer et al. 2009)

Gambar 23 Tingkat kestabilan emulsi air dan xilena dari penambahan APG

4.3.4 Pembusaan (tinggi dan kestabilan busa)

Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk busa baik diinginkan

maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Busa cair adalah sistem koloid

dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan busa

diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini teradsorpsi ke

daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas sehingga diperoleh

suatu kestabilan (Noerdin 2008).

60

65

70

75

80

85

0 5 10

Kes

tab

ilan

em

uls

i (%

)

Konsentrasi Arang Aktif (%)

0%

0,10%

0,20%

0,30%

NaBH

4

Page 76: pemakain surfaktan

Dibandingkan dengan surfaktan anionik yang terkenal sebagai foaming

agent, APG termasuk kategori surfaktan low foam (Ware et al. 2007), oleh karena

itu penggunaannya sangat cocok untuk personal care product. Untuk

meningkatkan jumlah busa dari produk yang menggunakan APG, maka dapat

ditambahkan foaming agent seperti fatty alcohol sulphates atau fatty alcohol ether

sulfate (Anonim 2010a).

Penghitungan tinggi busa dilakukan dengan konsentrasi APG murni 1%.

Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan penambahan arang aktif tidak

berpengaruh nyata pada faktor penambahan arang aktif hadap tinggi busa. Namun

faktor perlakuan penambahan NaBH4 berpengaruh nyata terhadap tinggi busa

yang dihasilkan. Interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi

busa yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (α=0,05%) pada faktor penambahan

NaBH4 0%; 0,1%; dan 0,2% berbeda nyata, sedangkan faktor penambahan NaBH4

0,3% tidak berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0,1% dan 0,2%. Tinggi

busa yang terbentuk berkisar antara 55-62% dari tinggi larutan, sedangkan tinggi

busa dari APG komersial yaitu 67,5%. Tinggi busa yang dihasilkan dari penelitian

ini dapat dilihat dari Gambar 24.

Gambar 24 Pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4 terhadap tinggi busa

Stabilitas busa adalah lama terbentuknya busa. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa busa stabil hingga 300–315 menit. Analisa ragam

menunjukkan faktor penambahan arang aktif, penambahan NaBH4, dan interaksi

50.00

52.00

54.00

56.00

58.00

60.00

62.00

64.00

0 5 10

Tin

ggi B

usa

(%

)

Konsentrasi Arang Aktif (%)

0%

0,1%

0,2%

0,3%

NaBH

4

Page 77: pemakain surfaktan

kedua faktor berpengaruh nyata. Hasil uji duncan (α=0,05) menunjukkan

perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0%; 0,2% dan 0,3% tidak

berbeda nyata dan memberikan nilai kestabilan busa yang tertinggi yaitu antara

312-320 menit, sedangkan perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,1%

merupakan perlakuan yang memiliki nilai kestabilan busa yang paling rendah

yaitu 307 menit. Data statistik mengenai pembusaan dapat dilihat pada Lampiran

13 Kestabilan busa yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat dari Gambar

25.

Gambar 25 Pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4 terhadap stabilitas busa

Kemampuan menghasilkan busa dipengaruhi oleh gugus hidrofobik

surfaktan, semakin panjang rantai alkohol lemak yang digunakan, maka semakin

tinggi kestabilan bisa yang diperoleh. Ware et al. (2007) melakukan perhitungan

kestabilisan busa dengan membandingkan antara APG C8, APG C10, dan APG

C12, hasil yang diperoleh APG C12 menghasilkan tinggi busa dan kestabilan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan APG lainnya.

4.3.5 Penentuan perlakuan terbaik

Penentuan perlakuan terbaik dari berbagai perlakuan penambahan arang

aktif dan NaBH4 dilakukan dengan membandingkan hasil perkalian bobot dari

variabel kinerja APG dan nilai dari tiap sampel. Variabel kinerja yaitu: kejernihan,

kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka, kestabilan emulsi,

290.00

295.00

300.00

305.00

310.00

315.00

320.00

325.00

0 5 10

Kes

tab

ilan

bu

sa (

men

it)

Konsentrasi Arang Aktif

0%

0,1%

0,2%

0,3%

NaBH

4

Page 78: pemakain surfaktan

dan pembusaan. Kejernihan produk memiliki bobot tertinggi yaitu 30%, karena

subjek utama penelitian ini untuk memperoleh APG yang memiliki warna yang

lebih terang. Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan, kemampuan

untuk menurunkan tegangan antar muka, dan kestabilan emulsi memperoleh nilai

bobot yang sama yaitu 20%, sedangkan nilai bobot untuk kestabilan busa yaitu

10%. Perhitungan skoring dapat dilihat pada Lampiran 14. Nilai skor penentuan

terbaik dari tiap sampel dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26 Skor dari perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH4

Dari Gambar 26 dapat dilihat bahwa perlakuan penambahan arang aktif 0%

dan penambahan NaBH4 0,2% adalah perlakuan terbaik. Perlakuan ini memiliki

nilai skor tertinggi dibandingkan dengan pelakuan lainnya. Hasil perkalian bobot

dari variabel kinerja APG dan nilai dari tiap sampel menunjukkan nilai

karakteristik kemampuan menurunkan tegangan permukaan, kemampuan

menurunkan tegangan antarmuka, kestabilan emulsi, dan pembusaan APG yang

dihasilkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun jika

dilihat dari karakteristik kejernihan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan

kombinasi perlakuan penambahan arang aktif 5% dan NaBH4 0,2%.

2.652.45

1.7

3.22.95

2.15

4.64.25

2.4

4.2

3.55

2

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5

0 5 10

Sko

r

Konsentrasi Arang Aktif (%)

NaBH4 0%

NaBH4 0,1%

NaBH4 0,2%

NaBH4 0,3%

Page 79: pemakain surfaktan

4.3.6 Analisa Gugus Fungsi

Spektrofotometer infra merah transformasi fourier (FTIR) merupakan alat

untuk mendeteksi gugus fungsi suatu senyawa dengan spektrum infra merah dari

senyawa organik yang memiliki sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah

akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami

rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C-H, C=O, O-H

dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda.

Hasil analisa FTIR menunjukkan peak yang hampir sama antara APG

sintesis dan APG komersial. Gugus eter (C-O-C) pada APG hasil sintesis terdapat

pada serapan jumlah gelombang 1.151,72 cm-1

sedangkan APG komersial terdapat

pada serapan jumlah gelombang 1.153,02 cm-1

. Gugus OH pada APG hasil

sintesis terdapat pada serapan jumlah gelombang 3.368,60 cm-1

sedangkan APG

komersial terdapat pada serapan jumlah gelombang 3395,15 cm-1

. Hal ini sesuai

pendapat Sukkary et al (2007), bahwa gugus eter (C-O-C) sebagai komponen

gugus utama pada APG terdapat pada serapan jumlah gelombang 1.120–1.170 cm-

1, sedangkan gugus OH terbentuk pada serapan jumlah gelombang 3.200–3400

cm-1

. Terbentuknya gugus eter menandakan bahwa sintesis antara glikosida dan

alkohol lemak telah terbentuk dan struktur gugus hidrofobik telah terbentuk,

sedangkan gugus OH menandakan gugus hidrofilik dari APG. Hasil dari

pengamatan perbandingan gugus fungsi FTIR antara APG hasil sintesis dan APG

komersial dapat dilihat pada Gambar 27.

4.3.7 Karakteristik formasi emulsi dengan menentukan nilai HLB

Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) merupakan nilai perbandingan gugus

hidrofilik dan lipofilik pada surfaktan. Semakin panjang rantai lipofilik, maka

semakin rendah nilai HLB. Surfaktan dengan nilai HLB yang rendah larut dalam

minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (w/o). Sebaliknya surfaktan

dengan nilai HLB tinggi akan larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak

dalam air (o/w). Nilai HLB berkisar antara 1-20 (Holmberg et al. 2003).

Fungsi surfaktan ditentukan dari nilai HLB surfaktan yang akan digunakan.

Pengelompokan surfaktan berdasarkan nilai HLB dan penggunaannya disajikan

pada Tabel 2.

Page 80: pemakain surfaktan

Gambar 27 Perbandingan gugus fungsi FTIR antara APG hasil sintesis dan APG

komersial

Page 81: pemakain surfaktan

Metode untuk menentukan HLB dari APG yang digunakan adalah metode

titrimetri dengan metode bilangan air (water number method). Akuades

digunakan sebagai titran dan larutan yang mengandung 1 g dalam 25 ml campuran

(95:5 v/v) piridina dan benzena sebagai titrat. Kepala polar yang diperoleh dari

glukosa yang bersifat hidrofilik akan tarik menarik dengan molekul air yang

besifat polar dan ion nitrogen dari piridina yang bersifat non polar. Ekor dari APG

yang diperoleh dari alkohol lemak bersifat hidrofobik akan menarik molekul

benzena yang non polar dan cincin heterosiklik aromatik molekul piridina. Titik

akhir titrasi dicapai pada saat kekeruhan permanen. Pada kondisi tersebut larutan

telah jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air

maupun piridina dan benzena (Noerdin 2008).

Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan liniar dari jenis surfaktan

yang telah diketahui nilainya. Menurut Moectar (1989), nilai HLB tween80 ialah

15, nilai HLB span20 adalah 8,6 dan asam oleat adalah 1. Hasil pengukuran dari

surfaktan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Dari data tersebut dibuatkan

kurva standarnya, dimana pada perhitungan HLB selanjutnya menggunakan kurva

standar tersebut untuk menentukan nilai HLB. Kurva standar HLB dapat dilihat

pada Lampiran 15. Persamaan linear dari kurva standar (y=0,259x-2,38)

digunakan untuk menentukan nilai HLB dari APG sintesis dan APG komersial.

Nilai HLB APG perlakuan terbaik yang diperoleh yaitu 10,24; sedangkan APG

Komersial yaitu 12,01. Dengan demikian APG hasil sintesis merupakan APG

golongan pengemulsi o/w. demikian pula APG komersial yang juga masuk dalam

nilai kisaran jenis surfaktan pengemulsi o/w.

4.3.8 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial

Hasil sintesis APG dengan perlakuan terbaik dibandingkan dengan APG

komersial (Glucopon) menunjukkan bahwa karakteristik kemampuan untuk

menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan kestabilan emulsi

APG hasil sintesis menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan APG

komersial, namun dari karakteristik warna dan pembusaan APG komersial

memiliki nilai yang lebih baik. Hasil perbandingan karakteristik APG sintesis dan

APG komersial dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 82: pemakain surfaktan

Tabel 5 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial

Karakteristik

APG Sintesis

APG

Komersial

Perlakuan penambahan

arang aktif 0% dan

NaBH4 0%

Perlakuan

terbaik proses

pemurnian

Kejernihan (%T) 27,86 59,02 77,04

Kemampuan untuk

menurunkan tegangan

permukaan (%)

61,18 61,94 58,89

Kemampuan untuk

menurunkan tegangan

antarmuka (%)

94,88 95,60 93,57

Kestabilan emulsi (%) 72,0 81,71 73,2

Tinggi Busa (%) 57,5 62,5 67,5

Kestabilan Busa (menit) 312,5 315 342,5

Hasil perbandingan ini dapat dilihat bahwa APG hasil sintesis memiliki

karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan APG komersial. Perbedaan

karakteristik ini disebabkan oleh perbedaan penggunaan alkohol lemak. APG

komersial menggunakan alkohol lemak campuran dari C10-C16, sedangkan APG

sintesis menggunakan alkohol lemak C12.

4.4 Perhitungan biaya bahan baku untuk produksi APG

Perhitungan biaya bahan baku untuk memproduksi APG dilakukan dengan

basis 1 ton tapioka. Dari 1 ton tapioka akan menghasilkan 1,8 ton APG kasar atau

3,7 ton APG murni. Bahan baku yang digunakan yaitu: tapioka, PTSA, butanol,

alkohol lemak C12, DMSO, NaOH, NaBH4, H2O2, dan MgO. Perhitungan neraca

massa produksi APG dapat dilihat pada Lampiran 16.

Berdasarkan neraca massa diperoleh kebutuhan bahan baku dan jumlah

produk yang dihasilkan. Untuk memproses 1 ton tapioka dibutuhkan biaya bahan

baku sebesar Rp. 35.341.409 untuk menghasilkan APG murni. Sedangkan jika

hanya memproduksi APG kasar dibutuhkan biaya bahan baku sebesar Rp.

27.645.531. APG murni yaitu APG kasar yang telah melalui proses pemucatan

menggunakan H2O2 dan penambahan akuades hingga konsentrasi bahan aktif

APG 50%. Biaya bahan baku produksi APG dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 83: pemakain surfaktan

Tabel 6 Biaya bahan baku pembuatan APG

Bahan Baku Berat (kg) Harga (Rp./kg) Total (Rp.)

Tapioka 1.000,00 2.500a 2.500.000,00

PTSA 47,55 47.500a 2.258.625,00

Butanol 388,27 10.650a 4.135.092,60

Dodekanol 1.123,76 15.420a 17.328.322,48

DMSO 107,38 12.350a 1.326.088,03

NaOH 27,83 3.500b 97.403,56

NaBH4 12,94 522.500c 6.763.237,43

H2O2 73,94 12.500b 924.321,91

MgO 1,84 4.500b 8.318,89

Total biaya APG murni 35.341.409,91

Total biaya APG kasar 27.645.531,67 Sumber : a) www.alibaba.com

b) www.icis.com/staticpages/a-e.htm

c) www.linkinghub.elsevier.com

Page 84: pemakain surfaktan

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan :

1. Perlakuan terbaik untuk proses butanolisis yaitu kombinasi rasio mol

katalis : pati yaitu 0,027 : 1 dan suhu 140 OC. Pada perlakuan ini memiliki

nilai kejernihan (%T) sebesar 45,75 dan residu total gula sebesar 69.345,2

ppm atau sebesar 39,70%.

2. Perlakuan terbaik pada proses pemurnian adalah kombinasi penambahan

konsentrasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% dilihat dari karakteristik

warna (59,02 %T)dan kinerja produk yaitu kemampuan untuk menurunkan

tegangan permukaan (61,94%), kemampuan untuk menurunkan tegangan

antarmuka (95,6%), stabilitas emulsi (81,71%), tinggi busa (62,5%) dan

kestabilan busa (315 menit). Hasil analisa gugus fungsi APG sintesis

menunjukkan lintasan yang mirip dengan APG komersial. Nilai HLB APG

hasil sintesis dan APG komersial masuk dalam kisaran surfaktan

pengemulsi o/w.

3. Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar

muka serta kestabilan emulsi APG hasil sintesis memiliki nilai yang lebih

tinggi dibandingkan dengan APG komersial, namun nilai kejernihan dan

pembusaan APG hasil sintesis lebih rendah jika dibandingkan dengan

APG komersial.

4. Biaya bahan baku untuk memproduksi APG murni dengan basis

perhitungan 1 ton tapioka yaitu sebesar Rp. 35.341.409, sedangkan untuk

memproduksi APG kasar yaitu sebesar Rp. 27.645.531.

5.2 S a r a n

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan untuk penelitian selanjutnya

yaitu :

1. Penelitian lanjutan mengenai aplikasi dalam produk sehingga dapat

dievaluasi pengaruh proses pemurnian terhadap berbagai konsentrasi APG

Page 85: pemakain surfaktan

2. Dilakukan modifikasi perlakuan pada proses transasetalisasi antara lain

dengan modifikasi waktu proses dan jumlah katalis yang tepat untuk

mengurangi terbentuknya polidekstrosa.

3. Penelitian dengan menggunakan pelarut seperti gliserol dan polioksialkil

glikol untuk membantu memisahkan APG dan alkohol lemak.

4. Penelitian analisis tekno ekonomi

Page 86: pemakain surfaktan

DAFTAR PUSTAKA

Aida, TM., sato, Y., Watanabe, M., Tajima, K., Nonaka, T., Hattori, H., Arai, K.,

2007. Dehydration of D-glucose in high temperature water at pressures up

80 MPa. J of Supercritical Fluid 40:381-388

Anonim, 2009. http://www.bps.go.id. Luas panen, produktivitas dan produksi ubi

kayu. [diakses 10 Desember 2009].

Anonim, 2010a. http://www.cognis.com/countries/Indonesia/bh/History/ Sejarah

cognis Indonesia. [diakses 5 November 2010]

Anonim, 2010b. Sodium borohydride, http://en.wikipedia.org/wiki/Sodium

_borohydride [1 November 2010]

Bodner, G.M., dan Pardue, H.L. 1989. Chemistry An Experimental Science. John

Willey and Sons. Inc., New York.

Balzer, D., 2000. Surfactant properties. Di dalam : Balzer D and Luders H, editor.

Noninonic Surfactants Alkyl Polyglucosides. Ed ke-10. USA: Marcel

Dekker. Hlm 85-278.

BPS, 2010. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia. Badan Pusat Statistik,

Jakarta

Broadhursh, A. H., 2002. Modeling Adsorrption of Cane Sugar Solution Colorant

in Packed-Bed Ion exchanges. Thesis. University Of Natal, South Africa

Buchanan, M., Charles, W., dan Matthew. Penemu; United States Paten, 20 Juni

1998. Process for Making Alkylpolyglycosides. US006077945.

Djatmiko, B.,dan S. Ketaren.1985. Pemurnian Minyak Makan. Agroindustri Press,

Jurusan Teknologi Industri Pertanian. FATETA. IPB, Bogor.

Eskuchen, R., dan Michael Nitsche. 1997. Technology and Production of Alkyl

Poliglycosides. Di dalam : Hill, K., von Rybinski, W., Stoll, G., Editor.

1997. Alkyl Polyglicoside: Technology, Properties and Applications. New

York : VCH Publishers. hlm : 10 – 11

Flider, F. J., 2001. Commercial considerations and markets for naturally derived

biodegradable surfactant. Inform 12: 1161 – 1164

Fox, Marye A., dan Whitesell J.K. 1994. Organic Chemistry. Jones and Bartlett

Publishers. London

Fuadi, A.M., dan Sulistya H., 2008. Pemutihan pulp dengan hidrogen peroksida.

Reaktor 12: 123-128.

Page 87: pemakain surfaktan

Gibson, MW., 2001. Process for reducing cycle times in reaction during the

production of alkyl polyglicosides. http://www.uspto.gov [13 Januari

2010]

Gorius, O., Bertho, JN., dan Nuzillard, JN., 2001. Determination and prediction of

the average polymerization degree of alkyl polyglucosides. J Anal Chimica

Acta 440: 231-237

Hargreaves, T. 2003. Cemical formulation: An Overview of Surfactant-Based

Preparation Used In Everyday Life. RSC Paperbacks, Chambridge.

Hill, K., von Rybinski, W., Stoll, G. 2000. Alkyl Polyglicoside: Technology,

Properties and Applications. New York : VCH Publishers

Hill, K., 2009. Alkyl Polyglycosides – Where green meets performance. SOFT

Journal 2 : 6-14

Himakumar, L., Viswanathan, B., dan Murthy, S., 2006. Catalytic effects in

generation of hydrogen from NaBH4. J of the Catalysis Society of India 5:

94-100

Hoffmann, B., dan Platz, G., 2001. Phase and aggregation behaviour of

alkylglycosides. J Colloids and Interface Sci 6: 171-177

Holmberg, K., B. Jönsson, B. Kronberg dan B. Lindman. 2003. Surfactants and

Polymers in Aqueous Solution (2nd ed.), Wiley, New York

Iglauer, S., Yongfu Wu, Shuler, P., Tang Y., Goddard, W.A., 2009. Alkyl

polyglycoside surfactant-alcohol cosolvent formulations for improved oil

recovery. J Colloids and Surface 339: 48-59.

Johansson, I., dan Svensson M., 2001. Surfactants based on fatty acids and other

natural hydrophobes. J Colloids and Interface Sci 6: 178-188

Kamel, B.S., 1991. Emulsifier. Di dalam Food Additive User’s Handbook. Smith,

Jim (ed). Van Nostrand Reinhoid. New York.

Ketaren, S., 2005. Pengantar Tekknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit

Unibersitas Indonesia (UI-Press). Jakarta

Kirk, R.E. dan Othmer, D.F. 1985. Encyclopedia of Chemical Technology. Vol. 1.

The Interscience Encyclopedia Inc., New York.

Kuang, D., O.J. Obaje., dan A.M. Ali. 2000. “Synthesis and characterization of

acetylated glucose fatty esters from palm and palm kernel oil fatty methyl

esters”. J. of Oil Palm 12 (2):14-19.

Page 88: pemakain surfaktan

Lueders, H., Penemu: United States Patent, 11 april 1989. Process for producing

colorless butyloligoglycosides. US4820814

Lueders, H., Penemu; United States Patent, 5 Februari 1991. Method of

manufacturing alkyl oligoglycosides. US4990605.

Luders, H., 2000. Structure and nomenclature of surface-active alkyl glucosides.

Di dalam : Balzer D and Luders H, editor. Noninonic Surfactants Alkyl

Polyglucosides. Ed ke-10. USA: Marcel Dekker. Hlm 1-75.

Matheson, K. L., 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and

Uses. Di dalam : Spitz, L., editor. Soap and Detergents : A Theoretical

and Practical Review. AOCS Press, Champaign, Illinois.

Mathur, R. B. A., 1978. Handbook of Cane Sugar Technology. Oxford and

Publishing Co. Calcuta, Bombay, New Delhi.

McCurry, Pattrick Jr., Klein, Robert L., Gibson, Michael W., Beaulieu, James D.,

dan Varvil Janet R. Penemu: United States Patent, 8 November 1994.

Continuous bleaching of alkylpolyglycosides. US5362861

McCurry, Pattrick Jr., Carl E. Pickens. Penemu; United States Patent, 21

Augustus 2000. Process for preparation of alkylglycosides. US4950743.

Mehling, A., Kleber, M., dan Hensen, H. 2007. Comparative studies on the ocular

and dermal irritation potential of surfactants. J Food and Chem Toxicol 14

: 747-758

Miller, JB., dan Wistler Roy., 2009. Starch : Chemistry and Technology.

Academic Press.USA

Moechtar. 1989. Farmasi Fisika: Bagian Larutan dan Dispersi, Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Porter, M.R. 1991. Handbook of Surfactant. Chapman & Hall, New York.

Presents, Z., 2000. All About Fatty Alcohol. http://www.condea.org. [13 Maret

2010]

Putra I. N. K., 1990. Kajian reaksi pencoklatan thermal pada proses pembuatan

gula merah dari nira aren. Thesis. IPB Bogor.

Rieger, M. M. 1985. Surfactan in Cosmetic. Surfactan Science Series. Marcel

Dekker Inc., New York. pp

Rosu, M., Anita M., Aydin K., dan Adrian S., 2007. Surfactant adsorption onto

activated carbon and its effect on absorption with chemical reaction. J

Chem Eng Sci 62:7336-7343

Page 89: pemakain surfaktan

Shallenber, R. S dan G. G. Birch. 1975. Sugar Chemistri. The Avi Publ. Co. Inc

Soeharsono, 1978. Petunjuk Praktikum Biokimia. PAU Pangan dan Gizi, UGM

Yogyakarta.

Sukkary, M. M., A. Nagla, Aid S. I dan Azab, W. I., 2007. Synthesis and

characterization of some alkyl polyglycosides surfactans. J of Dispersion

and Technol 2:129-137

Suryani, A., Sailah, I., dan Hambali, E., 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan

Teknologi Industri Pertanian, IPB-Bogor.

Tadros, T.F., 1992. Encyclopedia of Physical Science and Technology 2nd

edition,

vol-16. Academic Press Inc., California.

Winarno, F.G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta

Winarno, F.G., 2008. Kimia Pangan dan Gizi (Edisi Terbaru). PT. Embrio

Biotekindo, Bogor.

Ware, AM., Waghmare JT., dan Momin SA., 2007. Alkylpolyglycoside:

carbohydrate based surfactant. J of Dispersion Sci and Technol 28: 437-

444

Wuest, W., Eskuchen, R., Wollman, J., Hill, K., Biermann, M., penemu; United

States Patent, 11 Agustus 1992. Process for preparing alkylglucoside

compounds from oligo- and/or polysaccharides. US005138046

Page 90: pemakain surfaktan

Lampiran 1. Prosedur Analisis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)

1. Analisa stabilitas emulsi (Modifikasi ASTM D 1436. 2000)

Stabilitas emulsi diukur diantara air dan xilena. Xilena dan air

dicampur dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5

menit menggunnakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antara air dan

xilena diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa sebelum dan

sesudah ditambahkan surfaktan dibandingkan nilainya. Penetapan

stabilitas emulsi dengan cara yang sederhana, yaitu dengan cara

pengukuran berdasarkan pemisahan dengan asumsi bahwa sistem emulsi

yang sempurnah bernilai 100

% 𝑆𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = (𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 − 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑒𝑚𝑖𝑠𝑎ℎ𝑎𝑛)

𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑥 100

2. Pengukuran tegangan permukaan metode Du Nouy (ASTM D-1331.2000)

Peralatan dan wadah sampel yang digunakan harus dibersihkan

terlebih dahulu dengan larutan asam sulfat-kromat dan dibilas dengan

aquades, lalu dikeringkan. Cincin platinum yang digunakan pada alat

tensiometer dan mempunyai mean circumferense = 5,945.

Posisi alat diatur agar horizontal dengan water pass dan diletakkan

pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar

matahari dan panas. Larutan surfaktan dengan ragam konsentrasi,

dimasukkan ke dalam gelas kimia dan diletakkan di atas dudukan

tensiometer. Suhu cairan di ukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum

dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di

bawah permukaan cincin). Skala vernier tensiometer diatur pada posisi nol

dan jarum penunjuk harus berada pada posisi terhimpit dengan garis pada

kaca. Selanjutnya kawat torsi diputar perlahan-lahan sampai film cairan

tepat putus, saat film cairan tepat putus, skala di baca dan dicatat sebagai

nilai tegangan permukaan.

Page 91: pemakain surfaktan

3. Pengukuran tegangan antar muka (ASTM D-1331. 2000)

Metode menentukan tegangan antarmuka hampir sama dengan

pengukuran tegangan permukaan. Tegangan antarmuka menggunakan dua

cairan yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu larutan surfaktan dengan

ragam konsentrasi dan xilena (1:1). Larutan surfaktan terlebih dahulu

dimasukkan ke dalam wadah sampel, kemudian dicelupkan cincin

platinum ke dalamnya (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah

permukaan cincin). Setelah itu, secara hati-hati larutan xilena ditambahkan

di atas larutan surfaktan sehingga sistem terdiri atas dua lapisan. Kontak

antara cincin dan larutan xilena sebelum pengukuran harus dihindari.

Setelah tegangan antarmuka mencapai equilibrium, yaitu benar-benar

terbentuk dua lapisan terpisah yang sangat jelas, pengukuran selanjutnya

dilakukan dengan cara yang sama pada pengukuran tegangan permukaan.

4. Penentuan HLB

Nilai HLB digunakan untuk menentukan sifat kelarutan APG di

dalam air dan menentukan aplikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB yang

dimiliki surfaktan APG.

Penentuan nilai HLB (Gupta et al. 1983 dalam Kuang et al. 2000).

HLB dari surfaktan APG ditentukan menggunakan metode bilangan air

(water number method). Larutan yang mengandung 1 g surfaktan APG

dalam 24 ml campuran piridina dan benzena 95:5 (v/v) dititrasi dengan

akuades

Sampai kekeruhan permanen. Nilai HLB dari dari sampel surfaktan

APG diperoleh dengan interpolasi pada kurva standar HLB

5. Spektroskopi infra merah

Analisis spektroskopi infra merah memberikan informasi mengenai

adanya gugus fungsi yang terdapat dalam molekul. Vibrasi dari setiap

gugus fungsi akan muncul pada bilangan gelombang yang berbeda.

Page 92: pemakain surfaktan

6. Pengukuran rendemen

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh

setelah proses pemucatan dengan berat total bahan baku awal yang

digunakan

𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 % = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑃𝐺 𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑎𝑤𝑎𝑙 x 100

7. Pengukuran kejernihan (Spectrofotometer)

Alat Spectrofotometer 20 dinyalakan 15 menit sebelum digunakan.

Pilih %Transmisi. Kemudian panjang gelombang diset pada panjang

gelombang 470 nm (McCurry 1994). Kuvet kemudian diisi dengan larutan

blanko (aquades) dan selanjutnya diset hingga menunjukkan angka 100%.

Setelah itu kuvet yang berisi larutan blanko diganti dengan contoh

surfaktan surfaktan yang akan diukur kejernihannya dan dicatat persen

transmitan yang terbaca pada skala.

8. Pengukuran gula reduksi metode DNS (Miller 1959).

- Pembuatan Pereaksi DNS

DNS sebanyak 5 g dilarutkan dalam 100 ml NaOH 2 N, diaduk dan

ditambahkan 250 ml akuades. Potassium tartat sebanyak 15 g

ditambahkan, kemudian diaduk sampai larut dan ditepatkan hingga

tanda tera (500 ml)

- Pembuatan Standar Glukosa

Standar glukosa dibuat pada konsentrasi 0, 50, 100, 150 dan 200 ppm

- Pengukuran Kadar Gula Pereduksi metode DNS

Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 550 nm terhadap 0,5 ml sampel yang

ditambahkan dengan 1,5 ml pereaksi DNS dan diletakkan dalam air

mendidih selama 5 menit.

Page 93: pemakain surfaktan

9. Pengukuran Total Gula (Dubois et al. 1959)

Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 490 nm terhadap 2 ml sampel yang ditambahkan

dengan 1 ml pereaksi fenol 5% dan 5 ml H2SO4 pekat dan didiamkan

selama 10 menit.

10. Kestabilan Busa (Sukkary et al. 2007)

Pengukuran kestabilan busa dilakukan dengan konsentrasi APG

0,5% yang dilarutkan dalam air. Kemudian dimasukkan 5 ml kedalam

tabung ulir 10 ml. Kemudian di kocok hingga busa terbentuk. Busa yang

terbentuk kemudian diukur tinggi dan berapa lama kestabilannya.

Page 94: pemakain surfaktan

Lampiran 2 Analisa statistik residu gula pereduksi hasil proses butanolisis

Hasil perhitungan residu gula pereduksi hasil proses butanolisis

kode mol Suhu Gula

reduksi (ppm)

Standar Deviasi

A1B1 0,018 140 58.281,25 220.97

A1B2 0,018 150 43.906,25 574,52

A2B1 0,027 140 37.812,5 353,55

A2B2 0,027 150 24.550 176,77

A3B1 0,036 140 22.612,5 247,49

A3B2 0,036 150 18.075 335,88

Analisa ragam residu gula pereduksi hasil proses butanolisis

Sumber Variasi Dk Jk kt F Hitung F tabel

0.05

Rata-rata 1 14.040.810.469 14.040.810.469

perlakuan mol 2 1.946.028.750 973.014.375 8.231,71 5,14 perlakuan suhu 1 345.076.875 345.076.875 2.919,36 5,99 interaksi mol*suhu 2 58.046.562,5 29.023.281,25 2.45,58 5,14

Error 6 709.218,75 118.203,13

Jumlah 12 16.390.671.875

Uji lanjut Duncan faktor rasio mol terhadap residu gula pereduksi

Rasio Mol

Rata-rata (ppm)

N Duncan 0.05

0,018 51.093,75 4 C

0,027 31.181,25 4

B

0,036 20.343,75 4

A

Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap residu gula pereduksi

Kode Rata-rata

(ppm) N Duncan 0,05

A1B1 58.281,25 2 F

A1B2 43.906,25 2

E

A2B1 37.812,5 2

D

A2B2 24.550 2

C A3B1 22.612,5 2

B

A3B2 18.075 2

A

Page 95: pemakain surfaktan

Lampiran 3 Analisa statistik residu total gula hasil proses butanolisis

Hasil perhitungan residu total gula hasil proses butanolisis

kode mol suhu Total gula

(ppm) Standar Deviasi

A1B1 0,018 140 143.928,57 1.683,59

A1B2 0,018 150 86.904,76 1.515,23

A2B1 0,027 140 69.345,24 1.683,59

A2B2 0,027 150 54.761,90 1.094,33

A3B1 0,036 140 66.726,19 1.851,95

A3B2 0,036 150 44.047,62 2.609,56

Analisa ragam residu total gula hasil proses butanolisis

Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F

tabel

0,05

Rata-rata 1 72.296.598.639 72.296.598.639

perlakuan mol 2 8.660.848.923 4.330.424.461 1.339,17 5,14

perlakuan suhu 1 2.963.265.306 2.963.265.306 916,38 5,99

interaksi mol*suhu 2 1.015.440.760 507.720.379,80 157,01 5,14

Error 6 19.401.927,44 3.233.654,57

Jumlah 12 84.955.555.556

Uji lanjut Duncan faktor rasio mol terhadap residu total gula

Rasio Mol

Rata-rata (ppm) N

Duncan 0,05

0.018 115.416,67 4 B

0.027 62.053,57 4

A

0.036 55.386,90 4

A

Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap residu total gula

Kode Rata-rata (ppm)

N Duncan 0.05

A1B1 143.928,57 2 E

A1B2 86.904,76 2

D

A2B1 69.345,24 2

C

A2B2 54.761,90 2

B

A3B1 66.726,19 2

C B

A3B2 44.047,62 2

A

Page 96: pemakain surfaktan

Lampiran 4 Analisa statistik kejernihan hasil proses butanolisis

Hasil perhitungan kejernihan hasil proses butanolisis

kode mol suhu Kejernihan

(%T) Standar Deviasi

A1B1 0,018 140 80,35 0,64

A1B2 0,018 150 62,05 0,35

A2B1 0,027 140 45,75 0,64

A2B2 0,027 150 0,1 0

A3B1 0,036 140 5,75 0,92

A3B2 0,036 150 0,1 0

Analisa ragam kejernihan hasil proses butanolisis

Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F

tabel 0,05

Rata-rata 1 12.558,27 12.558,27

perlakuan mol 2 9.855,94 4.927,97 16611,1

3 5,14 perlakuan suhu 1 1.614,72 1.614,72 5442,88 5,99 interaksi mol*suhu 2 836,06 418,01

1409,014 5,14

Error 6 1,78 0,30

Jumlah 12 24.866,72

Uji lanjut Duncan faktor rasio mol terhadap kejernihan

Rasio Mol

Rata-rata (%T)

Duncan 0.05

Duncan 0.05

0.018 71,2 4 B

0.027 22,92 4

A

0.036 2,93 4

A

Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap kejernihan

Kode Rata-rata (%T) N Duncan 0.05

A1B1 80,35 2 C

A1B2 62,05 2

B

A2B1 45,75 2

B

A2B2 0,1 2

A

A3B1 5,75 2

A

A3B2 0,1 2

A

Page 97: pemakain surfaktan

Lampiran 5 Perbandingan residu gula reduksi, residu total gula, dan

kejernihan hasil proses butanolisis

Sampel Perlakuan Residu Gula

Reduksi

(ppm)

Residu Total

Gula (ppm)

Kejernihan

(%T)

A1B1 Katalis 0,018; suhu 140OC 58.281,3

f 143.928,6

e 80,35

c

A1B2 Katalis 0,018; suhu 150OC 43.906,3

e 86.904,8

d 62,05

b

A2B1 Katalis 0,027; suhu 140OC 37.812,5

d 69.345,2

c 45,75

b

A2B2 Katalis 0,027; suhu 150OC 24.550,0

c 54.761,9

b 0,1

a

A3B1 Katalis 0,036; suhu 140OC 22.612,5

b 66.726,2

bc 5,75

a

A3B2 Katalis 0,036; suhu 150OC 18.075,0

a 44.047,6

a 0,1

a

Keterangan : angka yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Page 98: pemakain surfaktan

Lampiran 6 Hasil perhitungan gula reduksi setelah proses transasetalisasi

Sampel

Gula pereduksi (ppm)

rata-rata Ulangan

1 Ulangan2

A1B1 523,75 493,75 508,75

A1B2 548,75 557,5 553,13

A1B3 531,25 547,5 539,38

A1B4 526,25 532,5 529,38

A2B1 618,75 606,25 612,5

A2B2 597,5 582,5 590

A2B3 605 571,25 588,13

A2B4 558,75 551,25 555

A3B1 571,25 580 575,63

A3B2 546,25 541,25 543,75

A3B3 563,75 582,5 573,13

A3B4 595 592,5 593,75

rata-rata 563,54

Page 99: pemakain surfaktan

Lampiran 7. Proses butanolisis

Hasil pengamatan proses butanolisis tahap pertama

Sampel Pati

(g)

Butanol

(g)

Air

(g) PTSA (g)

Suhu

(OC)

pH Keterangan

Warna

A1B1-1 40,50 157,25 32,85 0,85 140 2,4 Kuning muda

A1B1-2 40,50 157,25 32,85 0,85 140 2,2 Kuning muda

A1B2-1 40,49 157,26 32,85 0,85 150 2,2 Kuning tua

A1B2-2 40,49 157,26 32,86 0,85 150 2,3 Kuning tua

A2B1-1 40,48 157,25 32,85 1,28 140 1,8 Kuning tua

A2B1-2 40,51 157,25 32,85 1,28 140 1,6 Kuning tua

A2B2-1 40,49 157,23 32,86 1,28 150 1,6 Hitam

A2B2-2 40,50 157,25 32,85 1,28 150 1,6 Hitam

A3B1-1 40,51 157,25 32,86 1,71 140 1,2 Coklat tua +

A3B1-2 40,51 157,27 32,85 1,71 140 1,2 Coklat tua +

A3B2-1 40,51 157,27 32,85 1,71 150 1,1 Hitam

A3B2-2 40,51 157,25 32,84 1,71 150 1,2 Hitam

Page 100: pemakain surfaktan

Lampiran 8 Analisa statistik kejernihan APG murni

Hasil perhitungan kejernihan APG murni

Sampel Kejernihan (%T) Rata-

Rata (%T) Warna

1 2

glucopon 76,38 77,62 77,01

Buram, Transparan

A1B1 27,99 27,73 27,86 merah bata A1B2 46,88 46,24 46,56 Kuning tua

A1B3 59,29 58,75 59,02 kuning muda A1B4 59,84 59,16 59,50 kuning muda

A2B1 37,76 37,33 37,54 coklat muda A2B2 45,71 45,92 45,81 kuning tua

A2B3 63,97 63,39 63,68 putih kekuningan

A2B4 62,81 63,10 62,95 putih kekuningan

A3B1 28,77 28,91 28,84 coklat muda

A3B2 29,17 29,04 29,11 hijau kehitaman

A3B3 29,44 29,44 29,44 hijau kehitaman

A3B4 29,85 29,72 29,79 hijau kehitaman

Analisa ragam kejernihan APG murni

Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F tabel

0,05

Rata-rata 1 45.084,72 45.084,72 Perlakuan Arang Aktif 2 2.440,71 1.220,35 14.957,66 3,88

perlakuan NaBH4 3 1.557,28 519,09 6.362,43 3,49 interaksi 6 771,27 128,55 1.575,56 3,00

Error 12 0,98 0,08

Jumlah 24 49.854,96

Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kejernihan

Arang aktif Rata-Rata N Duncan 0,05

0% 48,24 8

B

5% 52,50 8

A

10% 29,29 8 C

Page 101: pemakain surfaktan

Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kejernihan

NaBH4 Rata-rata N Duncan 0,05

0% 31,41 6 C

0,10% 40,49 6

B

0,20% 50,72 6

A

0,30% 50,74 6

A

Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap kejernihan

Sampel Rata-rata N Duncan 0,05

A1B1 27,86 2 E

A1B2 46,56 2

C

A1B3 59,02 2

B A

A1B4 59,50 2

A

A2B1 37,54 2

D

A2B2 45,81 2

C

A2B3 63,68 2

B A

A2B4 62,95 2

B

A3B1 28,84 2

D

A3B2 29,11 2 E

A3B3 29,44 2 E

A3B4 29,79 2 E

Page 102: pemakain surfaktan

Lampiran 9 Analisa statistik rendemen APG murni

Hasil perhitungan rendemen APG murni

Sampel Ulangan 1 Ulangan

2 Rata-rata

A1B1 59,52 60,17 59,85 A1B2 57,94 60,16 59,05

A1B3 58,82 58,28 58,55 A1B4 57,43 56,94 57,18

A2B1 56,55 55,40 55,97 A2B2 54,50 55,40 54,95

A2B3 55,15 54,44 54,95 A2B4 52,29 54,42 53,36

A3B1 51,22 48,71 49,96 A3B2 47,60 47,69 47,65

A3B3 49,07 46,26 47,66 A3B4 46,34 47,80 47,07

Analisa ragam rendemen APG murni

Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F

tabel 0,05

Rata-rata 1 69.563,26 69.563,26 Perlakuan Arang Aktif 2 457,52 228,76 186,84 3,88 perlakuan NaBH4 3 22,48 7,49 6,12 3,49

interaksi 6 1,83 0,30 0,25 3,00 Error 12 14,69 1,22

Jumlah 24 70.059,78

Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap rendemen APG murni

Arang aktif Rata-Rata N Duncan 0,05

0% 58,66 8 C

5% 54,77 8

B

10% 48,09 8

A

Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap rendemen APG murni

NaBH4 Rata-rata N Duncan

0,06

0% 55,26 6 B

0,10% 53,88 6

A

0,20% 53,67 6

A

0,30% 52,54 6

A

Page 103: pemakain surfaktan

Lampiran 10 Analisa statistik kemempuan menurunkan tegangan permukaan APG murni

Hasil perhitungan kemampuan menurunkan tegangan permukaan APG murni

Sampel

Tegangan Permukaan (dyne/cm)

0,001 0,01 0,05 0,2 0,4 0,6 0,8 1

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Glucopon 38,8 38,6 34,1 34,3 33,1 33,1 32,9 32,7 32,8 32,7 32,6 32,7 31,7 31,6 29,5 29,7 A1B1 37,4 37,7 33,5 33,5 31,4 31,5 30,5 30,7 29,8 29,6 28,9 29,3 28,6 28,3 28,0 27,9

A1B2 37,5 37,4 33,0 32,9 31,0 31,2 30,6 30,5 29,1 29,4 28,6 28,7 28,1 28,0 28,1 27,9 A1B3 37,5 37,3 32,8 32,9 31,0 31,0 29,6 29,8 29,0 29,2 28,6 28,6 28,0 27,8 27,5 27,3

A1B4 37,4 37,5 33,2 33,4 30,9 31,2 30,1 30,4 29,7 29,5 28,8 29,0 28,4 28,1 27,7 27,6

A2B1 37,4 37,6 34,4 34,2 31,9 31,8 30,5 30,8 30,2 30,4 29,6 29,6 28,8 28,5 28,2 28,4 A2B2 37,6 37,3 33,8 33,9 31,6 31,9 30,5 30,4 29,8 29,9 29,3 29,4 28,8 28,4 28,0 28,2

A2B3 37,5 37,3 33,5 33,3 31,2 31,5 30,5 30,3 29,9 29,6 29,5 29,0 28,2 28,4 28,0 27,9

A2B4 37,3 37,7 33,8 33,7 31,8 31,7 30,5 30,6 30,2 30,0 29,1 29,5 28,5 28,4 28,2 28,0

A3B1 37,6 37,5 34,3 34,5 33,8 32,0 30,9 30,8 30,5 30,4 29,7 29,8 28,7 28,9 28,4 28,3 A3B2 37,6 37,4 33,8 34,0 31,7 31,8 30,9 30,8 30,3 30,0 29,7 29,5 28,5 28,7 28,2 28,4

A3B3 37,5 37,5 33,7 33,5 31,5 31,7 30,6 30,2 29,8 29,7 29,2 29,4 28,4 28,3 28,0 28,1

A3B4 37,5 37,7 34,1 34,3 31,9 31,8 30,5 30,4 29,8 29,8 29,4 29,4 28,4 28,6 28,1 28,1

Page 104: pemakain surfaktan

Hasil perhitungan rekapitulasi kemampuan menurunkan tegangan permukaan

APG murni

Sampel

Tegangan Permukaan (dyne/cm) Penurunan TP (konsentrasi

1%) (%) 0 0,001 0,01 0,05 0,2 0,4 0,6 0,8 1

Glucopon 72 38,70 34,20 33,10 32,80 32,75 32,65 31,65 29,60 58,89

A1B1 72 37,55 33,50 31,45 30,60 29,70 29,10 28,45 27,95 61,18

A1B2 72 37,45 32,95 31,10 30,55 29,25 28,65 28,05 28,00 61,11

A1B3 72 37,40 32,85 31,00 29,70 29,10 28,60 27,90 27,40 61,94

A1B4 72 37,45 33,30 31,05 30,25 29,60 28,90 28,25 27,65 61,60

A2B1 72 37,50 34,30 31,85 30,65 30,30 29,60 28,65 28,30 60,69

A2B2 72 37,45 33,85 31,75 30,45 29,85 29,35 28,60 28,10 60,97

A2B3 72 37,40 33,40 31,35 30,40 29,75 29,25 28,30 27,95 61,18

A2B4 72 37,50 33,75 31,75 30,55 30,10 29,30 28,45 28,10 60,97

A3B1 72 37,55 34,40 32,90 30,85 30,45 29,75 28,80 28,35 60,63

A3B2 72 37,50 33,90 31,75 30,85 30,15 29,60 28,60 28,30 60,69

A3B3 72 37,50 33,60 31,60 30,40 29,75 29,30 28,35 28,05 61,04

A3B4 72 37,60 34,20 31,85 30,45 29,80 29,40 28.50 28.10 60.97

Page 105: pemakain surfaktan

Analisa ragam kemampuan menurunkan tegangan permukaan APG murni

Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F

tabel 0,05

Rata-rata 1 89.544,77 89.544,77 Perlakuan Arang Aktif 2 1,76 0,88 37,69 3,88

perlakuan NaBH4 3 1,14 0,38 16,31 3,49 interaksi 6 0,26 0,04 1,83 3,00

Error 12 0,28 0,02

Jumlah 24 89.548,21

Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kemampuan

menurunkan tegangan permukaan APG murni

Arang aktif Rata-Rata

(%) N

Duncan 0,05

0% 61,46 8 B

5% 60,95 8

A

10% 60,83 8

A

Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kemampuan menurunkan

tegangan permukaan APG murni

NaBH4 Rata-rata

(%) N Duncan 0,05

0% 60,83 6

A

0,10% 60,93 6

A

0,20% 61,39 6 C

0,30% 61,18 6

B

Page 106: pemakain surfaktan

Lampiran 11 Analisa statistik kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG murni

Hasil perhitungan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG murni

Sampel

Tegangan Antar Muka (dyne/cm)

0,001 0,01 0,05 0,2 0,4 0,6 0,8 1

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Glucopon 20,2 20,0 7,6 7,8 5,5 5,6 3,8 3,7 3,5 3,5 3,0 3,2 3,0 2,9 2,7 2,7 A1B1 18,1 18,3 6,8 6,9 4,5 4,3 3,3 3,4 3,2 3,0 2,9 2,8 2,5 2,4 2,2 2,1

A1B2 17,7 17,8 6,7 6,8 4,2 4,4 3,3 3,2 3,0 3,1 2,7 2,8 2,4 2,4 2,1 2,2 A1B3 17,3 17,2 6,3 6,2 3,9 4,0 3,0 2,9 2,6 2,5 2,4 2,4 2,2 2,1 1,9 1,8

A1B4 17,4 17,3 6,7 6,5 4,1 4,2 3,0 3,1 2,7 2,8 2,4 2,6 2,3 2,2 2,0 1,9

A2B1 18,0 18,4 7,3 7,2 4,4 4,6 3,2 3,4 3,0 3,2 2,9 3,0 2,6 2,5 2,3 2,3 A2B2 17,7 17,8 7,0 7,0 4,4 4,5 3,3 3,1 3,1 3,0 2,7 2,7 2,4 2,6 2,2 2,3

A2B3 17,4 17,5 6,9 6,8 4,2 4,4 3,2 3,1 2,9 2,7 2,5 2,7 2,5 2,3 2,0 2,1

A2B4 17,6 17,7 7,0 7,0 4,4 4,4 3,3 3,3 3,0 2,8 2,7 2,8 2,5 2,6 2,2 2,0

A3B1 18,4 18,2 7,4 7,3 4,6 4,5 3,2 3,4 3,1 3,3 3,0 3,1 2,8 2,6 2,4 2,3 A3B2 18,1 18,0 7,2 7,3 4,5 4,5 3,3 3,2 3,2 3,2 2,9 3,0 2,6 2,7 2,2 2,2

A3B3 17,8 17,6 7,0 7,0 4,4 4,2 3,1 3,2 3,0 2,9 2,9 2,9 2,5 2,5 2,1 2,2

A3B4 17,7 17,9 7,3 7,4 4,5 4,6 3,2 3,2 3,0 3,0 2,8 3,1 2,6 2,6 2,1 2,2

Page 107: pemakain surfaktan

155

Hasil perhitungan rekapitulasi kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG

murni

Sampel Rata-rata Tegangan Antar Muka (dyne/cm) Penurunan TAM

(konsentrasi 1%) (%) 0 0,001 0,01 0,05 0,2 0,4 0,6 0,8 1

Glucopon 42 20,10 7,70 5,55 3,75 3,50 3,10 2,95 2,70 93,57

A1B1 42 18,20 6,85 4,40 3,35 3,10 2,85 2,45 2,15 94,88

A1B2 42 17,75 6,75 4,30 3,25 3,05 2,75 2,40 2,15 94,88

A1B3 42 17,25 6,25 3,95 2,95 2,55 2,40 2,15 1,85 95,60

A1B4 42 17,35 6,60 4,15 3,05 2,75 2,50 2,25 1,95 95,36

A2B1 42 18,20 7,25 4,50 3,30 3,10 2,95 2,55 2,30 94,52

A2B2 42 17,75 7,00 4,45 3,20 3,05 2,70 2,50 2,25 94,64

A2B3 42 17,45 6,85 4,30 3,15 2,80 2,60 2,40 2,05 95,12

A2B4 42 17,65 7,00 4,40 3,30 2,90 2,75 2,55 2,10 95,00

A3B1 42 18,30 7,35 4,55 3,30 3,20 3,05 2,70 2,35 94,40

A3B2 42 18,05 7,25 4,50 3,25 3,20 2,95 2,65 2,20 94,76

A3B3 42 17,70 7,00 4,30 3,15 2,95 2,90 2,50 2,15 94,88

A3B4 42 17,80 7,35 4,55 3,20 3,00 2,95 2,60 2,15 94,88

Page 108: pemakain surfaktan

Analisa ragam kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG murni

Sumber Variasi dk jk kt F

Hitung F tabel

0,05

Rata-rata 1 216.193,05 216.193,05 Perlakuan Arang Aktif 2 0,89 0,45 14,54 3,88 perlakuan NaBH4 3 1,37 0,46 14,85 3,49

interaksi 6 0,18 0,03 1,00 3,00 Error 12 0,37 0,03

Jumlah 24 216195,86

Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kemampuan

menurunkan tegangan antarmuka APG murni

Arang aktif Rata-Rata

(%) N Duncan 0,05

0% 95,18 8 A

5% 94,82 8

B

10% 94,73 8

B

Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kemampuan menurunkan

tegangan antarmuka APG murni

NaBH4 Rata-rata

(%) N

Duncan 0,05

0% 94,60 6 B

0,10% 94,76 6 B

0,20% 95,20 6

A

0,30% 95,08 6

A

Page 109: pemakain surfaktan

157

Lampiran 12 Analisa statistik kestabilan emulsi APG murni

Hasil perhitungan kestabilan emulsi APG murni

Waktu (menit)

Tinggi Emulsi (mm)

Glucopon A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

5 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 10 41 41 41 41 41 41 41 40 41 41 41 41 40 41 41 40 40 40 41 41 41 41 41 41 41 41 15 41 41 41 40 40 40 38 40 39 40 40 41 38 39 41 40 40 39 41 40 41 41 41 41 41 41 20 41 41 39 40 40 40 37 38 37 39 38 39 37 37 39 40 39 39 40 40 41 40 41 40 41 41 25 40 41 39 40 40 40 36 37 37 38 36 38 37 37 38 39 36 38 40 39 40 40 40 40 40 41 30 39 39 38 39 38 38 36 36 36 37 33 35 35 36 37 38 36 36 39 39 38 39 38 40 39 40 35 38 39 37 38 37 36 35 36 36 36 33 35 35 36 37 38 35 36 39 39 35 36 38 39 38 40 40 37 37 37 38 37 36 35 36 36 36 33 34 35 35 36 37 33 34 38 38 34 36 37 38 37 39 45 37 37 36 38 36 36 35 35 36 36 33 34 35 35 35 36 30 31 38 38 32 33 36 37 37 39 50 36 36 35 36 36 35 35 35 36 36 33 33 35 35 35 36 30 30 38 38 30 31 36 37 36 37 55 36 36 35 36 34 35 35 35 36 36 33 30 34 35 35 36 30 30 37 38 30 31 35 37 35 36 60 36 36 33 35 34 35 35 35 36 36 33 30 34 35 35 35 30 30 37 37 30 31 35 35 34 35

90 34 35 33 35 33 35 35 35 36 36 30 30 34 34 35 35 30 30 35 37 30 30 34 35 34 33 120 32 33 30 33 33 30 35 35 35 36 30 29 33 34 35 35 30 30 33 35 30 30 34 35 32 33 150 30 31 30 33 30 30 35 35 35 36 30 29 33 33 35 35 30 30 33 35 28 30 32 33 32 33

180 30 30 29 30 30 30 35 35 35 36 29 28 33 33 35 34 30 30 30 33 28 29 31 30 30 30 210 30 30 29 30 29 30 35 34 35 34 29 28 30 32 32 34 30 30 29 28 28 29 29 28 29 28 240 30 30 29 30 29 30 34 34 33 34 28 28 30 30 32 32 30 30 29 28 28 28 29 28 28 27 270 30 30 29 30 29 30 34 34 33 34 28 28 30 30 32 32 30 30 28 28 28 28 29 28 28 27 300 30 30 29 30 29 30 34 33 32 33 28 28 30 30 32 32 30 30 28 27 28 28 29 28 28 27

Page 110: pemakain surfaktan

Hasil rekapitulasi perhitungan kestabilan emulsi APG murni

Waktu Tinggi Emulsi (mm)

Glucopon A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4

5 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0

10 41,0 41,0 41,0 40,5 41,0 41,0 40,5 40,5 40,0 41,0 41,0 41,0 41,0

15 41,0 40,5 40,0 39,0 39,5 40,5 38,5 40,5 39,5 40,5 41,0 41,0 41,0

20 41,0 39,5 40,0 37,5 38,0 38,5 37,0 39,5 39,0 40,0 40,5 40,5 41,0

25 40,5 39,5 40,0 36,5 37,5 37,0 37,0 38,5 37,0 39,5 40,0 40,0 40,5

30 39,0 38,5 38,0 36,0 36,5 35,0 37,0 37,5 36,0 39,0 38,5 39,0 39,5

35 38,5 37,5 36,5 35,5 36,0 35,0 37,0 35,0 35,5 39,0 35,5 38,5 39,0

40 37,0 37,5 36,5 35,5 36,0 35,0 37,0 35,0 33,5 38,0 35,0 37,5 38,0

45 37,0 37,0 36,0 35,0 36,0 35,0 35,0 35,5 30,5 38,0 32,5 36,5 38,0

50 36,0 35,5 35,5 35,0 36,0 35,0 35,0 35,5 30,0 38,0 30,5 36,5 36,5

55 36,0 35,5 32,0 35,0 36,0 31,5 34,5 35,5 30,0 37,5 30,5 36,0 35,5

60 36,0 34,0 32,0 35,0 36,0 31,5 34,5 35,0 30,0 37,0 30,5 35,0 34,5

90 34,5 34,0 32,0 35,0 36,0 30,0 34,0 35,0 30,0 36,0 30,0 34,5 33,5

120 32,5 31,5 31,5 35,0 35,5 29,5 33,5 35,0 30,0 34,0 30,0 34,5 32,5

150 30,5 31,5 30,0 35,0 35,5 29,5 33,0 35,0 30,0 34,0 29,0 32,5 32,5

180 30,0 29,5 30,0 35,0 35,5 28,5 33,0 34,5 30,0 31,5 28,5 30,5 30,0

210 30,0 29,5 29,5 34,5 34,5 28,5 31,0 33,0 30,0 28,5 28,5 28,5 28,5

240 30,0 29,5 29,5 34,0 33,5 28,0 30,0 32,0 30,0 28,5 28,0 28,5 27,5

270 30,0 29,5 29,5 34,0 33,5 28,0 30,0 32,0 30,0 28,0 28,0 28,5 27,5

300 30,0 29,5 29,5 33,5 32,5 28,0 30,0 32,0 30,0 27,5 28,0 28,5 27,5

% 73,2 72,0 72,0 81,7 79,3 68,3 73,2 78,0 73,2 67,1 68,3 69,5 67,1

Page 111: pemakain surfaktan

Analisa ragam kestabilan emulsi APG murni

Sumber Variasi dk jk kt F

Hitung F tabel

0,05

Rata-rata 1 126.008,58 126.008,58 Perlakuan Arang Aktif 2 277,12 138,56 79,86 3,88 perlakuan NaBH4 3 175,24 58,41 33,67 3,49

interaksi 6 79,81 13,30 7,67 3,00 Error 12 20,82 1,74

Jumlah 24 126561,57

Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kestabilan emulsi APG

murni

Arang aktif Rata-

Rata (%) N Duncan 0,05

0% 76,22 8 C

5% 73,17 8

B

10% 67,99 8

A

Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kestabilan emulsi APG

murni

NaBH4 Rata-rata

(%) N Duncan 0,05

0% 69,11 6 A

0,10% 71,14 6

B

0,20% 76,42 6

D

0,30% 73,17 6

C

Tabel 51 Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap kestabilan emulsi

Interaksi Rata-rata

(%) N Duncan 0,05

A1B1 71,95 2

C B

A1B2 71,95 2

C B

A1B3 81,71 2 E

A1B4 79,27 2 E D

A2B1 68,29 2

A

A2B2 73,17 2

C

A2B3 78,05 2

D

A2B4 73,17 2

C

A3B1 67,07 2

A

A3B2 68,29 2

A

A3B3 69,51 2

B A

A3B4 67,07 2

A

Lampiran 13 Analisa statistik pembusaan APG murni

Page 112: pemakain surfaktan

Hasil perhitungan pembusaan APG murni

Sampel Tinggi Busa (%)

Stabilitas Busa (menit)

Rata-rata Tinggi

Busa (%)

Stabilitas busa

(menit) 1 2 1 2

Glucopon 67,5 67,5 340 345 67,5 342,5

A1B1 57,5 57,5 310 315 57,5 312,5 A1B2 57,5 60 310 305 58,75 307,5

A1B3 62,5 62,5 310 320 62,5 315

A1B4 62,5 60 320 320 61,25 320

A2B1 57,5 57,5 305 300 57,5 302,5 A2B2 60 57,5 305 305 58,75 305

A2B3 60 60 310 310 60 310

A2B4 60 55 300 300 67,5 300 A3B1 55 55 300 300 55 300

A3B2 57,5 60 305 300 58,75 302,5 A3B3 60 60 310 305 60 307,5

A3B4 60 60 300 300 60 300

Analisa ragam tinggi busa APG murni

Sumber Variasi dk jk kt F

Hitung

F tabel

0,05

Rata-rata 1 83.426,04 83.426,04 Perlakuan Arang Aktif 2 13,02 6,51 3,13 3,88

perlakuan NaBH4 3 55,21 18,40 8,83 3,49 interaksi 6 18,23 3,04 1,46 3,00

Error 12 25,00 2,08 Jumlah 24 83.537,50

Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap tinggi busa APG murni

NaBH4 Rata-rata

(%) N Duncan 0,05

0% 56,67 6

A

0,10% 58,75 6

B

0,20% 60,83 6 C

0,30% 59,58 6 C B

Page 113: pemakain surfaktan

Analisa ragam kestabilan busa APG murni

Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F

tabel 0,05

Rata-rata 1 2.260.134,38 2.260.134,38 Perlakuan Arang Aktif 2 581,25 290,63 31,00 3,88

perlakuan NaBH4 3 136,46 45,49 4,85 3,49 interaksi 6 210,42 35,07 3,74 3,00

Error 12 112,50 9,38

Jumlah 24 2.261.175,00

Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kestabilan busa APG

murni

Arang aktif Rata-Rata

(%) N

Duncan 0,05

0% 313,75 8

A

5% 304,38 8

A

10% 302,50 8 B

Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kestabilan busa APG

murni

NaBH4 Rata-rata (%) N Duncan

0,05

0% 305,00 6

A

0,10% 305,00 6

A

0,20% 310,83 6 B

0,30% 306,67 6

A

Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap kestabilan busa

Sampel Rata-rata

(%) N Duncan 0,05

A1B1 312,50 2 B

A1B2 307,50 2

A

A1B3 315,00 2 B

A1B4 320,00 2 B

A2B1 302,50 2 B A

A2B2 305,00 2 B A

A2B3 310,00 2 B A

A2B4 300,00 2 B A

A3B1 300,00 2 B A

A3B2 302,50 2 B A

A3B3 307,50 2 B A

A3B4 300,00 2 B A

Page 114: pemakain surfaktan

Lampiran 14 Penentuan perlakuan terbaik pemurnian APG melalui

pembobotan parameter ukurnya

Sampel Kejerniha

n (%T) TP (%)

TAM (%)

Kestabilan Emulsi

(%)

tinggi Busa (%)

Kestabilan Busa

(menit)

A1B1 27,86 61,18 94,88 71,95 57,50 312,50 A1B2 46,56 61,11 94,88 71,95 58,75 307,50

A1B3 59,02 61,94 95,60 81,71 62,50 315,00 A1B4 59,50 61,60 95,36 79,27 61,25 320,00

A2B1 37,54 60,69 94,52 68,29 57,50 302,50 A2B2 45,81 60,97 94,64 73,17 58,75 305,00

A2B3 63,68 61,18 95,12 78,05 60,00 310,00 A2B4 62,95 60,97 95,00 73,17 57,50 300,00

A3B1 28,84 60,63 94,40 67,07 55,00 300,00 A3B2 29,11 60,69 94,76 68,29 58,75 302,50

A3B3 29,44 61,04 94,88 69,51 60,00 307,50 A3B4 29,79 60,97 94,88 67,07 60,00 300,00

Sampel kejernihan TP TAM

Kestablian Emulsi

Tinggi Busa

Kestabilan Busa Jumlah Urutan

0,3 0,2 0,2 0,2 0,05 0,05

A1B1 1 4 3 3 3 4 2,65 7 A1B2 3 4 3 3 3 3 3,20 5

A1B3 4 5 5 5 5 3 4,60 1 A1B4 4 5 4 4 4 4 4,20 3

A2B1 2 3 3 2 3 2 2,45 8 A2B2 3 3 3 3 3 2 2,95 6

A2B3 5 4 4 4 4 3 4,25 2 A2B4 5 3 3 3 3 2 3,55 4

A3B1 1 3 2 1 2 2 1,70 12 A3B2 1 3 3 2 3 2 2,15 10

A3B3 1 4 3 2 4 2 2,40 9 A3B4 1 3 3 1 4 2 2,00 11

Nilai kejernihan

(<30=1), (30-40=2), (41-50=3), (51-60=4), (>61=5)

Nilai tegangan permukaan

(<60=1), (60-60,5=2), (60,51-61,00=3), (61,01-61,50=4),(>61,51=5)

Nilai tegangan antarmuka

(<94=1),(94,00-94,50=2), (94,51-95,00=3), (95,01-95,50=4), (>95,51=5)

Nilai Kestabilan emulsi (<68,00=1), (68,01-71,50=2), (71,51-75,00=3), (75,01-80,50=4), (>80,51=5)

Tinggi Busa

(<55=1), (55-57,5=2), (57,51-60,00=3), (60,01-62,5=4), (>62,5=5)

Kestabilan Busa

(<300=1), (300-305=2), (306-310=3), (311-315=4), (>316=5)

Page 115: pemakain surfaktan

Lampiran 15 Perhitungan HLB

Hasil titrasi akuades

Surfaktan Akuades yang digunakan

Rata-rata HLB Ulangan 1 Ulangan 2

Asam oleat 14,3 16,8 15,55 1

Span20 38,3 37,7 38 8,6

Tween80 67,7 70 68,85 15

Kurva standar HLB

Nilai HLB

Surfaktan Aquadest yang digunakan

Rata-rata HLB Ulangan 1 Ulangan 2

APG Komersial 55,7 55,4 55,55 12,01

APG terbaik 48,4 49,1 48,75 10,24

y = 0.259x - 2.380R² = 0.980

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

HLB

Volume Aquades (ml)

HLB

Page 116: pemakain surfaktan

Lampiran 16 Perhitungan biaya bahan baku produksi APG

Neraca massa produksi APG berbasis 1 ton tapioka

BUTANOLISIS

TAPIOKA

1000 Kg

BUTANOL

3882,7 Kg

PTSA

31,7 Kg

Gula Sisa : 365,9 Kg

PTSA : 31,7 Kg

Butilglikosida :1012,6 Kg

Butanol sisa :3425,9 Kg

Air :967,1 Kg

AIR

888,8 Kg

TRANSASETALISASI

PTSA : 15,8 Kg

FAC12 : 5751,2 Kg

DMSO : 107,3 Kg

BUTANOL

3882,7 Kg

AIR

888,8 KgGula Sisa : 2,7 Kg

PTSA : 47,5 Kg

DMSO :107,3 Kg

APG+FA sisa+Polidekstrosa:

6748,2 Kg

PENYARINGAN

ENDAPAN

POLIDEKSTROSA

276,2 Kg

Gula Sisa : 2,7 Kg

PTSA : 47,5 Kg

DMSO :107,3 Kg

APG+FA sisa: 6471,9 KgNaOH : 27,8 Kg

NaBH4 : 12,9 Kg

Air : 72,9 Kg

NETRALISASI

Sorbitol : 2,7 Kg

PTSA : 47,5 Kg

DMSO :107,3 Kg

APG+FA sisa: 6471,9 Kg

NaOH : 27,8 Kg

NaBO2.2H2O : 84,5 Kg

DESTILASI

PTSA : 47,5 Kg

DMSO :107,3 Kg

FA sisa: 4627,5 Kg

NaOH : 27,8 Kg

NaBO2.2H2O : 84,5 Kg

APG KASAR :

1848,6 Kg

PEMUCATAN

Air : 1848,6 Kg

H2O2 : 73,945

MgO : 1,8 Kg

H2O2 : 73,945

APG MURNI :

3699,1 Kg

A1

A2

A2A3 A4

A5

A5

A6

A7

A7A8

A9

A9A10

A11

A11A12 A13

A14

Neraca massa proses butanolisis

Page 117: pemakain surfaktan

Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)

A1 A2

Tapioka 1000.000,00

Gula sisa 365.954,60

Butanol 3.882.716,05

Air 888.888,89

PTSA 31.700,00 31.700,00

Butilglikosida 1.012.635,52

Butanol sisa 3.425.925,93

Air 967.088,89

jumlah 5.803.304,94 5.803.304,94

Neraca massa proses transasetalisasi

Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)

A2 A3 A4 A5

Gula sisa 365.954,60 2.765,40

PTSA 31.700,00 15.850,00 47.550,00

Butil glikosida 1.012.635,52

Butanol sisa 3.425.925,93

Air 967.088,89 888.888,89

Butanol 3.882.716,05

FA C12 5.751.234,57

DMSO 107.375,55 107.375,55

APG+FA C12 sisa

+polidekstrosa 6.748.234,57

Jumlah 5.803.304,94 5.874.460,12 4.771.604,94 6,905,925,52

Total 11.677.765,06 11.677.530,46

Neraca massa proses penyaringan

Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)

A5 A6 A7

gula sisa 2.765,40 2.765,40

PTSA 47.550,00 47.550,00

DMSO 107.375,55 107.375,55

APG+FA C12 sisa+

polidekstrosa 6.748.234,57

endapan polidekstrosa 276.237,02

APG+FAC12 sisa 6.471.997,55

Jumlah 6.905.925,52 276.237,02 6.629.688,50

Total 6.905.925,52 6.905.925,52

Neraca massa proses netralisasi

Page 118: pemakain surfaktan

Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)

A7 A8 A9

APG+FAC12 Sisa 6.471.997,55 6.471.997,55

Gula sisa 2.765,40

PTSA 47.550,00 47.550,00

DMSO 107.375,55 107.375,55

Air 72.926,57

NaOH 27.829,59 27.829,59

NaBH4 12.944,00

Sorbitol 4.124,52

NaBO2.2H2O 84.511,45

Jumlah 6.629.688,50 113.700,16 6.743.388,65

Total 6.743.388,65 6.743.388,65

Neraca massa proses destilasi

Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)

A9 A10 A11

APG+FAC12 sisa 6.471.997,55

PTSA 47.550,00 47.550,00

DMSO 107.375,55 107.375,55

NaOH 27.829,59 27.829,59

Sorbitol 4.124,52

NaBO2.2H2O 84.511,45 84.511,45

APG Kasar 1.848.643,82

FAC12 sisa 4.627.478,25

Jumlah 6.743.388,65 4.894.744,83 1.848.643,82

Total 6.743.388,65 6.743.388,65

Neraca massa proses pemucatan

Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)

A11 A12 A13 A14

APG kasar 1.848.643,82

H2O2 73.945,75 73.945,75

MgO 1.848,64

Air 1.848.643,82

APG murni 3.699.136,28

Jumlah 3.697.287,64 75.794,40 73.945,75 3.699.136,28

Total 3.773.082,04 3.773.082,04