sejarah kesenian tarawangsa di rancakalong sumedang
Post on 07-Feb-2016
990 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1. Pendahuluan
Dalam kesempatan ini penulis akan mendeskripsikan tentang sejarah
Instrumen Tarawangsa, dengan batasan wilayah kesenian tarawangsa di
Sumedang, tepatnya di Kecamatan Rancakalong yang terletak 50 Kilometer di
Arah Timur Utara. Jika naik mobil, akan memakan waktu sekitar tiga jam dari
kota bandung.
Dalam memaparkan sejarah kesenian Tarawangsa ini penulis
menggunakan metoda dasar yang merupakan hal-hal terutama dalam pelaporan
sejarah dengan menggunakan prinsip 5W+1H, What yaitu apa itu Tarawangsa,
apa saja kegunaan fungsi dari Instrumen tersebut, lalu When, Kapan tepatnya
Instrumen tersebut ditemukan dan asal mula Instrumen tersebut hingga menjadi
fungsi dalam masyarakatnya, Where yaitu dimana kesenian tersebut tumbuh dan
berkembang hingga sekarang, Why, mengapa kesenian ini begitu penting bagi
masyarakat rancakalong sehingga wajib dilestarikan bahkan merupakan sebuah
kebutuhan yang pokok bagi masyarakat sumedang. Who, Siapa pelaku dan
penerus yang hingga sekarang tetap melestarikan dan menjaga kesenian ini, dan
How, Bagaimana istilah Tarawangsa itu muncul, serta asal muasal istilah tersebut
berasal. Semua akan secara terperinci akan dijelaskan dalam deskripsi dibawah
ini.
1. Deskripsi Umum
Tarawangsa, merupakan jenis seni pertunjukan tradisi dalam masyarakat
sunda di provinsi Jawa Barat. Khususnya pada masyarakat Sunda saat ini,
kesenian ini masih terdapat di tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Sumedang,
Bandung dan Tasikmalaya, serta satu kabupaten di provinsi Banten, yaitu pada
masyarakat Baduy di kabupaten Lebak. Tarawangsa sering dipertunjukan dalam
peristiwa ritual yang berhubungan dengan acara penghormatan terhadap Spirit
Padi dan Leluhur. Padi dihormati dan diupacarakan secara khusus karena
tanaman ini merupakan makanan pokok yang dapat memberikan tenaga, baik
lahiriah maupun batiniah dan Leluhur dihormati karena dari mereka segala tata
cara kehidupan diturunkan. Merupakan ensemble yang terdiri dari dua instrumen
musik yaitu kecapi dan rebab tarawangsa disebut juga ngek-ngek. Yang
1
keduanya merupakan jenis instrument berdawai (kordopon) dengan resonator
berbahan kayu. Biasanya disertai tarian (Ngibing) oleh perempuan lanjut usia,
juga disajikan pada ritus-ritus tertentu.
Desa Pangguyangan misalnya, salah satu contoh dari keberadaan
kesenian Tarawangsa saat ini. secara demografi tepatnya berada di kampung
kecil desa Sukanagara di perbukitan tinggi lebih dari 825 m diatas permukaan
laut, yang mana desa Sukanagara merupakan pemekaran dari desa panyirapan
yang diresmikan tanggal 31 Juli 1996 oleh Bupati Bandung H.U. Hatta
Jatipermana, terletak disebelah selatan desa panyirapan . dan sekarang luas desa
Sukanagara sendiri seluruhnya 38.225 hektar. Semua penduduk kampung
Pangguyangan merupakan etnis Sunda, dengan bahasa Sunda sebagai percakapan
sehari-harinya dan dengan budaya kampung pada masa sebelumnya dengan
penduduk mayoritas bekerja sebagai petani yang menggarap sawah dan kebun
milik pribadi maupun milik orang lain.
2. Ajaran Budhisme Wajrayana Berkaitan Dengan Keberadaan
Tarawangsa.
Berdasarkan naskah kuno sunda Sewaka Darma yang ditulis pada tahun
1518 Tarawangsa sudah disebut sebagai alat musik, sehingga Kesenian
Tarawangsa termasuk salah satu dari tiga jenis seni karawitan kuno khas sunda
yang diperkirakan telah ada di Sunda sejak masa Hindu-Budha selain kesenian
Pantun dan Goong Renteng pada abad ke -15 Masehi.1
Sunda, Jawa Barat, masa itu adalah masa berkembangnya budaya Hindu-
Budha, maka dapat dipastikan bahwa ketiga kesenian tersebut telah ada di Sunda
jauh sebelum masuknya agama islam maupun budaya Jawa (Kerajaan Mataram
Islam). Dan dalam menapaki jejak kesenian Tarawangsa ini juga disadari
pentingnya mengetahui agama yang sedang berkembang di Sunda pada masa itu,
karena agama merupakan faktor penting yang melatarbelakangi kesenian
tersebut.
1 Ganjar Karnia & Arthur S Nalan, Deskripsi kesenian Jawa Barat, (Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat), Bandung, 2003.
2
Dalam naskah-naskah sunda kuno, semua isi teksnya bersumber pada dasar
yang sama yaitu ajaran agama hindu aliran Siwa, ajaran Budha-Mahayana, dan
ajaran hidup dari leluhur Sunda.2 Kita dapat melihat salah satu naskah sunda
kuno yang telah disebutkan di atas yaitu Naskah Sewaka Darma, yang mencatat
“Tarawangsa” sebagai alat musik. Sewaka Darma dituliskan pada helaian daun
nipah sebanyak 37 lempir (74 Halaman, namun yang ditulisi hanya 67 halaman),
dan disusun oleh pertapa perempuan bernama buyut Ni Dawit yang bertapa di
pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang. Berdasarkan isinya,
Sewaka Darma dapat dianggap sebagai salah satu bukti bahwa pada masa itu
pernah berkembang agama Budha aliran Wajrayana (Vajrayana) di wilayah
Sunda.3
Dalam naskah Sunda Sewaka Darma perjalanan manusia yang Moksa
(meninggal, hilang, pindah dan hdup dalam alam lain) ke alam Kalanggengan
(Keabadian, Surga) dan untuk memasuki alam itu manusia harus melewati
tahapan tertentu. Dalam salah satu tahapan menuju surga itulah terdengar bunyi
Tarawangsa. Dibawah ini merupakan kutipan naskah Sewaka Darma :
“Nu na(ng)gapan, sada canang, sada gangsa tumpang kembang, sada
kumbang tarawangsa ngeui(k), sada titila(r)ri(ng) bumi, sada
tatabeuhan jawa, sada gobeng direka cali(n)tu di an(n)jung, sada
handaru kacapi la(ng)nga. Sada keruk sagung“ (Danasasmita, dkk.,
1987:30)
Terj. :
“Terdengar bunyi-bunyian, suara canang, suara gamelan tumpang
kembang, surara kumbang dan tarawangsa menyayat hati, suara
peninggalan bumi, suara gamelan jawa, suara baling-baling
2 Edi S Ekajati, Kebudayaan Sunda-Zaman Pajajaran (Jakarta: Pusaka jaya, 2005), 215.3 Berdasarkan tulisan Ayatrohaedi berjudul “Nganjang Ka Kalanggengan_Agama Orang Sunda Pra Islam Menurut Naskah” dalam Prosiding Konfrensi Internasional Budaya Sunda Jilid 1 (Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2006), 475-476.
3
ditingkah calintuh di dangau, suara deru kacapi penuh khawatir,
suara sedih semua” (Danasasmita, dkk., 1987:30)
Gambar 1.
Naskah Kuno Sunda Sewaka Darma
(Foto diambil dari Language and Literature, Indonesia Heritage 10,
Singapore: Archipelago Press, 1998, Halaman 31.
Wajrayana (Vajrayana), disebut juga sebagai Tantrayana, Mantrayana,
atau Esoteric Buddhism, adalah salah satu aliran dari ketiga aliran besar agama
Budha, di samping Theravada (Disebut juga sebagai Hinayana atau Nikaya) dan
Mahayana.
Wajrayana muncul di India sebagai campuran agama Hindu.
Kepercayaan lokal yang mengandung unsur magis, dengan agama Budha-
Mahayana pada abad ke-4 Masehi. Wajrayana berkembang hingga abad ke-11
masehi namun di India sendiri hampir punah pada abad ke-13 Masehi.
Khususnya di Indonesia Wajrayana masuk pada abad ke-8 Masehi di kerajaan
4
Sriwijaya, Namun pada abad ke -13 setelah masuknya agama islam, Wajrayana
mulai pudar, dan akhirnya punah.
Ciri Khas dari alran Wajrayana terletak pada empat hal diantaranya :
adanya ‘mantra’ (Ritual Frase), dan pengulangan pengucapan mantra, kedua
penggunaan mandala (bagan atau diagram), sebagai simbol dari kosmologi.
Ketiga, pelaksanaan ‘tapa’ (di gunung). Keempat, yakni ciri khas utama aliran ini
yaitu Esoteric Transmission. Aliran ini juga disebut sebagai Esoteric Budhism
oleh karena proses transmisinya ssangat esoteris. Ajarannya diturunkan guru
kepada murid yang sangat terbatas, secara langsung dengan lisan dan secara
rahasia. Ajarannya tidak bisa dipelajari dari buku (Kitab) dengan mudah. Ciri
khas ajaran Wajrayana ini dapat dilihat dari penyajian Tarawangasa maupun
dalam transmisi (Proses menurunkan) tarawangsa dari seorang guru kepada
seorang murid secara jelas terdapat unsur Wajrayana.
3. Tarawangsa Sebagai Pemujaan Terhadap Dewi Sri
Kesenian ini begitu penting bagi masyarakat Sumedang Rancakalong,
karena sebagian besar di wilayah sumedang adalah sebagai masyarakat peladang,
dengan sistem sawah, maka adanya sosok Dewi Sri yang sangat dihormati bagi
masyarakat yang hidup dan mencari makan dari sistem persawahan, karena sosok
ini merupakan Dewi padi yang diyakini membawa padi dari mataram menuju
Desa ini.
Sesuai dengan Aliran Budhisme Wajrayana (Vijrayana) yang pernah
berkembang ditatar sunda, yang merupakan campuran agama Hindu yang
muncul di India, maka Mitos Dewi Sri juga berasal dari India, kesamaan ini
muncul di kalangan masyarakat agraris tradisional Sunda yang meyakini bahwa
‘Tanaman Padi’ merupakan titisan Dewi Sri (Dewi Padi), (di Daerah Sunda
Khususnya Dewi Sri, dikenal dengan nama Nyi Pohaci atau Nyi Pohaci
Sanghiang Sri), kesamaan ini diasumsikan karena ajaran Wajrayana yang muncul
di India yang juga sempat berkembang di Jawa Barat di tatar Sunda khususnya,
Juga secara latar belakang kehidupan masyarakatnya adalah sebagai petani. Di
lain pihak India pun dilansir telah membawa pengaruh sistim sawah di Pulau
Jawa. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan dibawah ini :
5
“Pada awal abad Masehi budidaya padi di Nusantara
masih sederhana berbentuk perladangan. Sentuhan teknologi
cocok tanam padi mulai muncul ketika pengaruh In-dia masuk.
Bangsa Kalinga (nama sebelum Orissa) yang berada di India
selatan itu masuk ke wilayah Jawa sekitar abad ke-empat.
Kedatangan mereka yang terdiri dari berbagai kasta
membawa pengaruh dalam teknologi penanaman padi.
Kasta brahmana yang berkuasa atas ilmu pengetahuan
antara lain membawa metode penanaman padi dengan
pengairan. Kaum brahmana memperkenalkan sejumlah
teknologi yang memungkinkan produksi padi meningkat.
Catatan di dalam kitab Desawarnana atau
Negarakertagama menceritakan tentang raja yang memanggil
rakyatnya untuk membuka hutan, kemudian menjadikannya
lahan untuk sawah. Rakyat yang mendapat hak untuk
mengelola lahan itu harus membayar pajak ke raja.
Sawah beririgasi juga sudah disebut dalam kitab itu.
Selama masa Majapahit, ekspor beras juga sudah dilakukan.
Dalam salah satu kakawin juga disebutkan tentang adanya
beberapa biarawan terlihat menanam padi dan keberadaan
lumbung.” 4
Selain kutipan tullisan diatas pemujaan terhadap Dewi Sri di Indonesia dan asal
mula mitos Dewi Sri, dijelaskan oleh Denys Lombard sebagai berikut :
“Kultus Tua lainnya adalah pemujaan dewi padi, Dewi Sri, di
Pasundan maupun di Tanah Jawa. Sekalipun nama Sri
berasalh dari India, mitos itu terdapat di seluruh Nusantara,
sampai di pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh
pengaruh India. Versinya berbeda-beda, akan tetapi ceritanya
sederhana : Sri telah dikuburkan, dan dari berbagai bagian
4 Andreas Maryoto “Nenek Moyang kita petani padi”, Kompas edisi 20 April 2006.
6
tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman bedidaya yang utama,
termasuk padi. Pemujaan terhadap Dewi Sri dewasa ini masih
terus dilangsungkan oleh para petani di desa untuk
mendapatkan hasil panen yang baik. Doa itujukan kepadanya
pada saat penyemaian, sambil mempersembahkan ikat-ikat
padi pertama yang kemudian disimpan dengan khidmat sampai
penebaran benih tabur berikutnya.”5
Di Sunda proses paling penting dalam pertanian adalah panen padi, terutama
proses penyimpanan padi ke dalam lumbung (disebut dengan Goah atau Leuit),
setelah padi disimpan di lumbung, dilaksanakan suatu upacara ritual yang disebut
dengan “Netepkeun Pare” atau “Ngineubkeun Pare”, dengan maksud agar Dewi
Sri tetap betah tinggal di Lumbung. Dalam Upacara tersebut, kesenian
Tarawangsa sebagai sarana pengiring upacara ritual baik untuk mendatangkan
maupun untuk menghormati Dewi Sri (Nyi Pohaci) serta roh-roh para leluhur
(Karuhun). Dan dalam kosmologi sunda kedudukan Nyi Pohaci dan para leluhur
(Karuhun) memiliki derajat yang sama.
4. Istilah Tarawangsa
Muncul beberapa pengertian tentang peristilahan Tarawangsa, khususnya
dari para ahli yang berusaha menelusuri tentang kesenian ini yang pada
umumnya mereka adalah penulis masa kini pada abad ke -20, namun tidak
banyak yang dapat memberikan informasi secara pasti tentang Tarawangsa itu
sendiri. Salah satu kesimpulan, yang juga belum dapat dikatakan kesimpulan
final, yang hanya sebagai bahan pemikiran dari penulis saja selain dari sumber
lain yang lebih akurat, dapat diambil beberapa kutipan-kutipan selain salah
satunya dari naskah kuno Sewaka Darma yang telah disebutkan di atas yang
dapat diasumsikan sebagai bunyi-bunyian di Surga atau sebagai keadaan bunyi-
bunyian yang imajiner, bukan yang dapat dijangkau pada keadaan sebenarnya.
5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu 3 – Wawasan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hidayat Yusuf. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Forum Jakarta – Paris Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2005,2008
7
Cahtrine Falk juga mendefinisikan Tarawangsa sebagai berikut :
“The Tarawangsa is a two or three-stringed bowed, plucked and struck
instrument. It is used by the rural villagers in the Priangan area of West
Java and by the Baduy People”
Terj.:
Tarawangsa adalah instrumen dua atau tiga dawai yang digesek dan
dipetik, dipakai oleh masyarakat kampung di daerah Priangan di Jawa
Barat dan masyarakat Baduy (Falk, Catherine, 1978:v).
Peristilahan tarawangsa juga menurut literatur Jaap Kunst dalam bukunya
Hindu-Javanese Musical Instruments (1968). Kunst Menduga bahwa kata
Trewasa, dan Trewasa yang muncul dalam tiga karya Bali, Cupak, Kidung
Adiparwa, dan Malat, berhubungan dengan Tarawangsa. Dalam Kitab Kidung
Adiparwa tercatat nama instrumen Trewasa, dalam kitab Malat tercatat Trawasa,
dan dalam kitab Bagus Turunan tercatat “Trawangsah”. Kunst juga mengatakan
bahwa kata “Tarawangsa” tidak hanya digunakan sebagai nama alat musik saja,
tetapi telah menjadi nama keseluruhan upacara.6
Kunst (1921 & 1923a) juga menduga bahwa kata Tarawangsa atau
Triwangsa, mengacu pada tiga alat – tarawangsa, suling, kacapi. – Kata Tri
(sanskrit) bermakna tiga, dan Wangsa (Sunda) atau Bangsa (Indonesia) berarti
“Keluarga, kerabat, ras, negara”.
Keterangan lainnya, menurut Falk. Ada makna dalam bahasa Sansekerta
yaitu tara menunjukan tantra artinya mempunyai dawai, tara artinya musik yang
berasal dari alat yang berdawai. Tara mempunyai akar kata Tri, dengan arti
tinggi, keras, nada tinggi, terang, bersih, jernih. Kata Tar juga berhubungan
dengan makna alat musik yang berdawai baik yang dipetik, maupun yang
digesek, ditemukan di India dan Timur Tengah. Contohnya sitar, ektar, tar,
sehtar. Sedangkan wangsa berarti negara, kerabat, keluarga, keturunan.
(Satjadibrata 1950:406).
Diantara keterangan-keterangan yang ada, ada juga keterangan lain yang
berasal dari masyarakat pelaku keseniannya yang dapat diterangkan atau
6 Kunst (1986, 1921 & 1923)
8
diperjelas melalui ilmu Kirata, hal tersebut sudah tentu sulit untuk diuji
kebenarannya, dikarenakan peristilahan yang tepat haruslah disesuaikan dengan
konteks waktu dan wilayah keberadaan Tarawangsa pada saat yang tepat.
5. Kesenian dan Ritus Penyajian Tarawangsa
Berdasarkan tradisi lisan asal-usul seni tarawangsa berkaitan erat dengan
bencana yang menimpa masyarakat Rancakalong yang terjadi pada jaman
dahulu. Bencana itu dimulai ketika musim kemarau panjang menerpa masyarakat
Rancakalong sehingga pesawahan yang mereka miliki menjadi kering.
Akibatnya, padi gagal dipanen bahkan hanya untuk mendapatkan benih padi pun
sangatlah sulit. Untuk memenuhi kebutuhan pangannya, masyarakat
Rancakalong mengonsumsi biji hanjeli. Akan tetapi, biji hanjeli tersebut malah
mencelakakan warga. Dalam proses mengolah biji hanjeli supaya siap dimakan,
satu keluarga terjerumus ke dalam mesin penggiling biji hanjeli.
Peristiwa tersebut membuat masyarakat Rancakalong menjadi trauma dan
tabu menanam pohon hanjeli. Di lain pihak, menanam padi masih belum
memungkinkan karena tidak ada satupun keluarga yang memiliki bibi padi.
Melihat musibah yang menerpa warganya, Wisanagara, seorang tokoh
masyarakat setempat yang ditemani oleh beberapa pengawalnya, berupaya
mencari benih padi ke wilayah Kerajaan Mataram. Untuk bisa masuk ke wilayah
Mataram, Wisanagara menyamar menjadi seorang pengamen dengan kecapi dan
rebab sebagai alat musiknya. Sebagai imbalan dari tiap ngamennya Wisanagara
mendapatkan padi. Setelah berkali-kali ngamen dan memeroleh padi yang cukup
banyak, Wisanagara memutuskan untuk kembali ke Rancakalong. Sesampainya
di Rancakalong, Wisanagara mengolah padi yang diperoleh di Mataram untuk
dijadikan bibit. Bibit padi itulah yang ditanam oleh masyarakat Rancakalong
ketika musim hujan tiba. Dengan air yang mencukupi, padi yang menanami
pesawahan masyarakat Rancakalong tumbuh dengan suburnya sehingga
masyarakat Rancakalong terbebas dari bencana kelaparan.
Sebagai rasa syukur atas keberhasilan panen, masyarakat menggelar
kesenian yang dijalankan oleh Wisanagara selama menjadi pengamen di
9
Mataram yang dilengkapi dengan upacara-upacara tertentu yang disebut
ngalaksa. Sejak saat itu, kesenian tarawangsa menjadi bagian dari
kehidupanmasyarakat Rancakalong, Sumedang. Sesuai dengan yang dilakukan
oleh Wisanagara, kesenian tarawangsa hanya mempergunakan dua buah alau
musik, yaitu kecapi dan rebab ngekngek. Kacapi dipergunakan sebagai alat
musik untuk mengiringi lagu dan rebab ngekngek dipergunakan sebagai alat
musik untuk megiringi melodi.
Foto : Kesenian Tarawangsa Sekitar Tahun 1920-anSumber: Wijnand Kerkhoff. t.t. Het Paradijs van Java. Batavia. Hlm. 12.
Disbudpar Sumedang, 14.Dikutip dari (“Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa”, Pusat Kebudayaan Sunda (PKS), Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kabupaten Sumedang)
Alat Musik Utama Kesenian Tarawangsa Milik KetuaMasyarakat Adat Rancakalong (Tahun 2008 )Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 23 Juli 2008.
Dikutip dari (“Sejarah Sumedang dari Masa
ke Masa”, Pusat Kebudayaan Sunda (PKS),
Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran,
Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kabupaten
Sumedang)
10
Penyajian tarawangsa identik
dengan ritus untuk memanggil dan
memuja Dewi Sri serta Karuhun.
Didaerah rancakalong, pada setiap
upacara, sepasang boneka berkedok
wanita dan lelaki diletakkan di
depan tarawangsa dan kacapi.
Boneka
berkedok wanita adalah tak lain perlambang Dewi Sri yang disebut juga sebagai
Nyi Pohaci atau ‘Nu Geulis’, sedangkan boneka berkedok lelaki dianggap
pasangannya yang biasa disebut ‘Nu Kasep’, Boneka berkedok wanita dan lelaki
tersebut terbuat dari Geugeus, yaitu ikatan padi kering. Diatas geugeus diberi
baju dan kedok.
Selain itu juga ritus upacara ritual tarawangsa harus dibakar kemenyan
untuk mengundang Dewi Sri serta Karuhun, dan harus disediakan berbagai sesaji
untuk Dewi Sri dan Karuhun.
Diantara sesaji yang lazim disediakan, baik pada saat upacara maupun di
dalam goah sehari-hari, sesaji yang dianggap paling penting (yang harus ada)
adalah rurujakan, yaitu rujak, yang berbeda dengan rujak yang dikenal oleh
11
masyarakat dewasa ini. Yang dimaksud dengan rurujakeun dalam istilah
masyarakat setempat adalah irisan buah-buahan dalam air gula merah, maka
rasanya asam manis. Rurujakan yang untuk di goah sehari-hari, biasanya satu
jenis buah saja, namun pada saat upacara, biasanya disediakan berbagai
rurujakan yang terdiri atas rujak pisang (dua atau tiga macam), rujak nanas, rujak
kelapa, rujak roti, rujak kembang ros dan sebagainya. Mengapa rurujakan
dianggap paling penting oleh masyarakat agraris Sunda?, Jawabannya adalah,
karena Dewi Sri (dianggap atau diharapkan) sedang hamil biasanya ingin makan
yang rasanya asam manis.) Dewi Sri sedang hamil berati padi sedang hamil, hal
ini sangat penting bagi masyarakat agraris karena hal ini identik dengan terjamin
panen yang berlimpah.
Berikut sesaji yang biasa disediakan pada saat upacara :
- Bubur Merah (Bubur yang dicampur dengan gula merah).
- Bubur putih (Bubur yang dicampur dengan garam).
- Duwegan (kelapa muda yang di atasnya diletakkan sebuah gula
merah.
- Seupaheun (yaitu daun sirih dan bumbu yang terdiri atas gambir,
buah pinang, kapol, kapur dan cengkeh).
- Rokok, Bako Tampan, Cerutu.
- Bakakak (Seekor ayam utuh yang dibakar, jeroannya dipepes).
- Puncak manik (nasi tumpeng yang dibungkus dengan daun
pisang, diatasnya diletakkan sebutir telur rebus).
- Kopi manis dan pahit, teh manis dan pahit, air putih.
- Berbagai buah buahan dan berbagai makanan ringan yang terbuat
dari beras atau ketan (Kupat, Leupeut, tangtangangin, papais
tipung merah putih dibungkus dengan daun pisang.
- Gulampok, wajit, opak, rangginang, kelepon, kelontong, angleng,
dan lain-lain.
12
DAFTAR PUSTAKA
“Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa”, Pusat Kebudayaan Sunda (PKS), Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kabupaten Sumedang
Mariko Sasaki, Laras Pada Karawitan Sunda, P4ST UPI, Bandung, 2007.
Ganjar Karnia & Arthur S Nalan, Deskripsi kesenian Jawa Barat, (Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat), Bandung, 2003.
Didi Wiardi, Konservasi Tradisi Musik Tarawangsa di Kampung Pangguyangan Bandung, STSI, 2008.
Witoro, Yusup Napiri M, Martua Sihaloho, Lumbung Pangan: Jalan Menuju Keterjaminan Pangan, KRKP, Bogor, Desember 2006.
Andreas Maryoto “Nenek Moyang kita petani padi”, Kompas edisi 20 April 2006.
Language and Literature, Indonesia Heritage 10, Singapore: Archipelago Press, 1998.
Edi S Ekajati, Kebudayaan Sunda-Zaman Pajajaran, Pusaka jaya, Jakarta, 2005.
Ayatrohaedi, Nganjang Ka Kalanggengan Agama Orang Sunda Pra Islam Menurut Naskah, Prosiding Konfrensi Internasional Budaya Sunda Jilid 1, Yayasan Kebudayaan Rancage, Bandung, 2006.
13
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu 3 –
Wawasan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Versi bahasa Indonesia yang
diterjemahkan oleh Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan
Nini Hidayat Yusuf. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Forum Jakarta –
Paris Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2005,2008
Jaap Kunst, Hindu-Javanese Musical Instruments, 1968.
14
top related