review beberapa cara perbaikan tanam pada tanaman tebu ratoon
Post on 12-Jun-2015
4.183 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BEBERAPA CARA PERBAIKAN TANAM PADA TANAMAN TEBU RATOON
Oleh :
Memet Hakim¹) & Mahfud Arifin2)
1) Mahasiswa Program Doktor (By Research ), Fakultas Pertanian, Unpad NPM : 1501 3008 0026
2).Direktur Program Pasca Sarjana, Unpad, Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad, Ketua Tim Promotor
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia kini masih menjadi negara pengimpor gula, keinginan agar
Indonesia tidak melaksanakan impor gula mulai tahun 2010, sebenarnya dapat
dicapai, dengan syarat seluruh stakeholder mempunyai komitmen bersama untuk
mengutamakan kepentingan nasional. Bahkan pemerintah (IKAGI,2008), pada
kesempatan kongres Ikatan Ahli Gula Indonesia menyatakan swasembada gula
merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia. Di lain pihak Tim Percepatan
Peningkatan Produktivitas Gula, Direktorat Jendral Perkebunan, Departemen
Pertanian, menunjukkan bahwa kenaikan produksi gula saat ini masih ditunjang
oleh adanya pertambahan areal tanam atau ekstensifikasi (Media Perkebunan,
2008)
Nahdodin (1999), menjelaskan bahwa pada lahan sawah usaha tani tebu
mengalami penurunan produktivitas yaitu sekitar 16 sampai 17 ton hablur pada
1
tahun 1930an menjadi 5 sampai 7 ton hablur pada tahu 1990an. Pada lahan tegalan
produktivitas usaha tani tebu di pulau Jawa sangat rendah dibandingkan dengan
PG swasta di luar Jawa yang sekitar 6 sampai 7.5 ton hablur/ha. Di Thailand
produktivitasnya mencapai 4 sampai 6 ton hablur/ha dan di Australia antara 9
sampai 14 ton hablur/ha. Rachmat M, 1996 (vide Nahdodin, 2000)
mengemukakan bahwa terjadi penggunaan pupuk dan tenaga kerja di bawah
optimal.
Penurunan produktivitas gula ini tidak lepas dari perubahan sistem yakni
dari sistim sewa tanah masyarakat menjadi sistim kerjasama antara pabrik gula
dan petani tebu yang memperoleh kredit dari pemerintah berbunga murah. Pad
sistem ini petani mendapat bimbingan teknologi dari pihak pabrik gula. Sistem ini
dikenal dengan nama Tebu Rakyat Intensifikasi atau TRI. Dalam perkembangan
perubahan sistem di atas, telah terjadi berbagai masalah sosial ekonomi, baik bagi
petani, pabrik gula maupun lembaga terkait lainnya (Agus Pakpahan, 1999)
Dampak lainnya adalah terhadap masalah teknis seperti pada banyak kasus
agronomi antara lain masalah pemupukan (dosis, jenis, cara, frekuensi) dan mutu
keprasan yang kurang baik dan yang paling terlihat adalah turunnya produktivitas
hablur secara tajam.
Tebu memerlukan curah hujan yang merata sepanjang masa
pertumbuhannya, idealnya antara 1.500 – 2.000 mm per tahun dengan hari hujan
antara 150- 200 hari per tahun dengan musim kemarau pada saat tebang, namun
bukan berarti tebu tidak dapat tumbuh di daerah yang kering atau basah. Tebu
yang tumbuh di daerah kering memerlukan irigasi, sedang yang tumbuh di daerah
2
basah tinggal mengatur pengairannya. Untuk mengetahui pengaruh iklim, maka
perlu pencatatan data iklim untuk kemudian dihitung berapa banyak defisit air
bulanan dan tahunan. ”Water deficit” sampai di atas 500 mm per tahun dapat
menurunkan produktivitas sampai 70 %, kecuali jika diberi pengairan secukupnya
maka produktivitas tebu dan rendemennya bahkan akan meningkat.
Curah hujan yang cukup (di atas 5 mm) per hari hujan yang merata sepanjang
masa pertumbuhan dan kering 2-3 bulan pada saat menjelang masa tebang,
merupakan iklim yang paling cocok untuk tebu. Pengairan pada tebu diperlukan
terutama pada wilayah yang musim keringnya relatif panjang. Selain itu banyaknya
embung atau kolam air atau danau-danau kecil sangat membantu upaya pengairan
dan membentuk mikro klimat yang relatif lebih lembab.
Yahya et al (2000), mengemukakan bahwa penggunaan pupuk anorganik
secara berlebih dan terus menerus dalam pertanian intensif sangatlah merugikan.
Hal ini terutama dapat menurunkan tingkat kesuburan lahan karena perubahan
sifat kimia dan fisika tanah serta menurunnya kehidupan biologis dalam tanah.
Kesuburan tanah dapat ditingkatkan dengan memberikan zat organik dan mikroba
tanah yang bermanfaat bagi tanaman. Hal ini dapat meningkatkan kadar humus
tanah, kegemburan tanah dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk organik.
Bahan organik sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui mekanisme
ketersediaan hara, sifat fisik tanah, pengendalian erosi tanah, sumber energi jazad
renik, kapasitas pertukaran kation , adsorpsi pestisida dan hubungannya dengan
patogen tanah. Diluar itu bahan organik dapat menyimpan air seberat bahan
organik itu sendiri.
3
Potensi limbah padat organik dari pabrik gula antara lain ampas tebu
sebesar 32-34 %, blotong 3 %, abu ketel 0.3 % (Paturau 1989 vide Yahya et al
2000), namun jumlahnya tentu saja tidak akan cukup untuk digunakan pada
seluruh lahan di areal diwilayah pabrik gula. Selain itu sampah kota dan kotoran
hewan merupakan sumber bahan organik yang besar. Bahan tersebut dapat diolah
jadi kompos dan diperkaya dengan bahan lainnya seperti mikroba pelarut fosfat,
abu sebagai sumber kalium dan mikroba yang mampu memfiksasi nitrogen. Bahan
bahan inilah yang perlu diteliti dampaknya pada pertumbuhan tanaman tebu.
Disbun Jatim (2009), menyatakan turunnya produktivitas tidak lepas dari
turunnya populasi tanaman tebu pada tanaman ratoon, penggunaan bibit,
pengairan, perawatan akar yang tidak optimal dan pola pemupukan yang tidak
mendukung produktivitas tanaman. Pada akhir abad ke 20, tercatat bahwa proporsi
luas areal tebu keprasan terhadap luas areal tebu pertama (plant cane) sangat
fantastis, yaitu dengan perbandingan 9 : 1. Kenyataan ini menjadi sangat tidak
menguntungan, karena komposisi kategori tanaman jauh di bawah ideal yaitu
maksimal adalah 4 : 1. Kondisi komposisi kategori tanaman yang tidak ideal
tersebut diduga sebagai penyebab rendahnya perolehan produktivitas tebu.
Keadaan tersebut diperburuk lagi oleh situasi komposisi tanaman keprasan yang
ada dengan dominasi tanaman ratoon yang dikepras secara berulang-ulang lebih
dari 3 kali dan bahkan di beberapa tempat dijumpai pengeprasan tanaman tebu
lebih dari 10 kali.
Fakta menunjukkan bahwa budidaya tebu keprasan sampai pada kondisi
ratoon tertentu sangat menguntungkan. Dibanding dengan budidaya tanaman
4
baru, budidaya keprasan membutuhkan biaya relatif lebih kecil. Ini karena
terdapat penghematan dengan tidak diperlukannya biaya pembelian bibit dan
pengolahan tanah. Namun demikian, budidaya keprasan juga tidak selamanya
menguntungkan karena pada tingkat keprasan perolehan produksi yang rendah
tidak sebanding dengan pembiayaan. Pada kondisi tebu keprasan yang sudah
tidak menguntungkan seharusnya tanaman tersebut dibongkar dan diganti dengan
tanaman tebu baru). Pada umumnya sampai kepada ratoon ketiga budidaya
keprasan masih menguntungkan dan hal demikian yang diharapkan oleh petani
tebu sehingga budidaya keprasan sangat menjanjikan.
Tindakan pengeprasan diperlukan apabila sisa tebangan masih tinggi di
atas permukaan tanah. Hal ini dilakukan untuk memacu keluarnya tunas keprasan
dari dongkelan bagian bawah. Tindakan penyulaman diperlukan karena banyak
tanaman yang mati karena kekeringan, tergenang air, terlindas kendaraan,
terserang penyakit dan lain lain penyebab. Penyulaman dilakukan pada gaps atau
bagian barisan tebu keprasan yang kosong karena rumpun-rumpun tebunya mati.
Pemupukan memberikan pengaruh penting pada pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Pada tanaman ratoon kondisi tanah telah mulai mengeras,
sehingga “daya cengkam air” dan daya tembus oksigen dalam tanah berkurang.
Itulah sebabnya pemberian pupuk organik diperlukan selain pupuk kimia. Pupuk
organik dapat membantu perbaikan sifat fisik tanah yakni memelihara
kegemburan tanah dan sifat biologi untuk memelihara perkembangan mikroba
dalam tanah. Sifat tanah yang indikasinya terlihat pada kadar C organik,
merupakan indikator kesuburan tanah. Apabila kandungan hara dalam pupuk
5
organik tergolong rendah, maka perlu dibantu dengan pupuk buatan. Keunggulan
pupuk organik lainnya adalah kandungan mikroba, baik yang alami maupun yang
dibudidayakan, karena beberapa jenis mikroba dapat melarutkan hara dalam tanah
yang tadinya tidak tersedia menjadi tersedia untuk tanaman.
1.2. Permasalahan
Penyebab rendahnya produktivitas pada tanaman tebu memang cukup
banyak, salah satu yang cukup dominan adalah masalah pemupukan. Pemupukan
dengan pupuk buatan yang terus menerus ternyata membuat tanah menjadi keras
sehingga produktivitasnya cenderung semakin rendah. Penggunaan pupuk organik
demikian juga. Namun penggunaan keduanya akan menghasilkan sinergi positip
yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Permasalahan timbul seberapa
banyak dosis pupuk organik dan pupuk kimia yang diperlukan tanaman tebu untuk
mendapatkan pertumbuhan tanaman, kandungan hara dalam daun dan
produktivitas optimum ? Masalah inilah yang akan dibahas lebih lanjut.
Masalah lain adalah seberapa jauh analisa daun hasilnya dapat diterapkan
pada pembuatan rekomendasi pemupukan atau yang dikenal dengan ”diagnosis
and recommendation integrated system (DRIS), menggantikan cara lama yakni
dengan analisa tanah saja.
Ada empat masalah pokok yang mengakibatkan rendahnya produktivitas
tebu ini yakni (1) Sampai seberapa jauh pengurangan populasi tanaman pada
tanaman ratoon dapat ditolerir. (2) Seberapa akuratnya pembuatan rekomendasi
6
pemupukan. (3) Bagaimana pembibitan, yang sampai saat ini masih
menggunakan pola empat tahap yakni dimulai dengan Kebun Bibit Pokok, Nenek,
Induk, dan Datar dimana lokasinya terus berpindah-pindah sehingga sulit dapat
dipertahankan mutunya. Pembibitan seperti ini rawan terhadap penyimpangan
mutu (4) Seberapa jauh perawatan akar dilaksanakan ( tebu berakar serabut), yang
jika seluruh potensi tumbuhnya akar diperhatikan dengan benar tentu penyerapan
haranya akan bertambah optimal. Contoh yang sering dilupakan adalah
pembumbunan, pemutusan akar samping, dan keprasan pendek yang semuanya
akan menghasilkan tunas jadi per rumpun yang lebih banyak.
7
II . KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka
Tebu merupakan tanaman yang memerlukan hara dalam jumlah yang
tinggi untuk dapat tumbuh secara optimum. Di dalam 1 ton hasil panen tebu
terdapat 1,95 kg N; 0,30 - 0,82 kg P2O5 dan 1,17 - 6,0 kg K2O yang berasal dari
dalam tanah (Hunsigi, 1993; Halliday dan Trenkel, 1992). Ini berarti pada setiap
panen tebu akan terjadi pengurasan hara N, P, dan K yang sangat besar dari dalam
tanah. Oleh karena itu pada sistem budidaya tebu diperlukan pemupukan N, P dan
K yang cukup tinggi agar hasil panen tebu tetap tinggi dan daya dukung tanah
dapat dipertahankan. (Ismail, 2007)
Untuk melakukan pendekatan perhitungan kebutuhan pupuk untuk tebu,
kita perlu mengetahui berapa zat hara yang diperlukan setiap ton tebu yang
diambil ke pabrik. Kemudian perlu diketahui hasil analisa tanahnya serta
kandungan unsur hara dalam daun, sehingga “prediksi” dosis pupuk pada tanaman
tebu akan lebih akurat. Jika produktivitas yang direncanakan sudah diketahui,
maka perkiraan kebutuhan hara dapat diketahui, namun tentu saja tidak cukup
8
dengan cara tersebut, masih ada pertimbangan lainnya antara lain adanya
gangguan organisme pengganggu tanaman, gejala defisiensi, jenis tanah.
Penurunan produktivitas lahan saat ini disebabkan oleh penggunaan pupuk
an-organik yang terus menerus dalam dosis makin tinggi sehingga kandungan
bahan organik tanah semakin menurun. Tisdale et al. (1975) dan Bastari (1996)
menambahkan bahwa pemberian pupuk yang melebihi kebutuhan tanaman yang
dilakukan untuk meningkatkan produksi apabila dilakukan secara terus-menerus
dan tanpa upaya pengembalian unsur-unsur yang diserap tanaman tentunya akan
berakibat merugikan kesuburan tanah dan merusak sifat fisik dan kimia tanah.
Tabel 1 : Perbandingan unsur hara makro yang diambil tebu dari dalam tanah
URAIAN UNSUR HARA YANG DIAMBIL TEBU1 ton tebu 70 ton tebu 100 ton tebu 150 ton tebu
N (Nitrogen)
ZA
Urea
1.0
4.76
2.10
70
333
146
100
476
210
150
714
315
P2O5 (Phosphat)
RP
SP 36
0.6
2.31
1.68
42
161
117
60
231
168
90
346
252
K2O (Kalium)
KCl(MoP)
2.25
3.82
157
262
225
382
337
573
Sumber : diolah dari Sundaran B, 1998
Pemupukan yang tidak berimbang akan mempercepat terkurasnya hara
dalam tanah. Menurut Taslim et al. (1989), penggunaan pupuk an-organik secara
terus menerus akan menyebabkan penurunan kandungan C-organik, P-tersedia dan
KTK tanah. Bahkan sebagian besar tanah sawah di Jawa menurut Karama (2000),
9
mempunyai kandungan C-organik di bawah 1%, sehingga menyebabkan
terjadinya kemerosotan kualitas lahan ( Arifin, 2005)
Setelah itu ternyata masih diperlukan perhitungan lebih lanjut apabila
produktivitas masih ingin ditingkatkan pada level yang lebih baik. Kebutuhan hara
tanaman tebu dibedakan sesuai dengan tingkat produktivitasnya, semakin tinggi
produktivitas akan semakin tinggi kebutuhan haranya, sebagai berikut :
Tabel 2 : Kebutuhan hara pada peningkatan produktivitas tebu lebih lanjut
URAIAN
Perkiraan kasar Unsur Hara yang diperlukan untuk
meningkatkan setiap ton tebu
1 ton 40 ton 70 ton 100 ton
N (Nitrogen)
ZA
Urea
2.25
10.7
4.9
90
43
20
157
749
343
225
1.070
490
P2O5 (Phosphat)
RP
SP 36
0.6
3.3
1.7
24
13
7
42
23
12
60
33
17
K2O (Kalium)
KCl(MoP)
1.25
2.0
50
80
87
140
125
200
Sumber :Diolah dari Sundaran B, 1998
Arifin (2005), menyimpulkan dalam penelitiannya tentang adanya
peningkatan produksi hablur dan efisiensi biaya pemupukan an-organik pada
tanaman tebu Plant Cane dicapai yakni dengan menggunakan pupuk Mixed G
(pupuk organik) 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha. Pada pertanaman
tebu Ratoon Cane menggunakan pupuk Mixed-G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha +
ZA 200 kg/ha diperoleh pengurangan biaya pemupukan, namun terjadi penurunan
10
produksi hablur sehingga pendapatan usahatani tebu lebih rendah dibanding
pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA 800 kg/ha + SP-36 100 kg/ha +
KCl 100 kg/ha).
Adanya kandungan bahan organik tanah sering dikaitkan sebagai indikator
tanah subur. Tanah subur apabila kandungan C-organik tanah di atas 3 %.
Peranan bahan organik dalam tanah mempunyai peranan langsung dengan
tanaman, karena kemampuannya untuk menjadi media yang cocok bagi
perkembangan mikroba, terutama yang “dapat melarutkan hara”, sehingga unsur
hara yang tadinya tidak tersedia buat tanaman, menjadi tersedia buat tanaman.
Keunggulan lainnya adalah memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.
Bahan organik mempunyai kemampuan menyimpan air dalam rongga-
rongga (pori-pori) dalam tanah dan meningkatkan aerasi serta meningkatkan
efisiensi penyerapan hara bagi tanaman. Bagi mikroba yang hidup dalam tanah,
bahan organik, disamping berfungsi sebagai aerator dan pelembab tanah juga
berfungsi sebagai sumber energi untuk kehidupan organisme tanah. Ukuran yang
biasa digunakan sebagai parameter adalah kadar C organik. Tanah yang subur
dinyatakan dengan C organiknya ≥ 3 %, tanah yang sedang tingkat kesuburannya
≥ 2 % dan yang tergolong miskin ≤ 1 %.
Bokhtiar, et al (2002), dalam penelitiannya di Bangladesh, memperlihatkan
pengaruh yang nyata atas pemberian pupuk organik dan pupuk kimia pada
produktivitas tanaman seperti pertumbuhan tunas, batang dan kwalitas jus sebesar
22-74 %. Penambahan campuran pupuk kandang dan blotong sebesar 12.5 ton/ha,
11
sedang penambahan blotong sendiri, hanya dapat meningkatkan produktivitas
sebesar 16-20 % saja.
Apabila kita mengetahui tingkat kesuburan lahan rendah tentu sebaiknya
diberikan tambahan bahan organik dengan antara lain kompos yang umumnya
tersedia dimana saja. Kompos dapat berasal dari bahan apa saja, seresah tanaman,
jerami, bagas, kotoran hewan, sampah kota, dll. Ada juga yang membuat pupuk
organik menjadi bentuk granular, dengan tingkat kekeringan sampai di bawah 10
%.
Lengkapnya dapat dilihat pada table sebagai berikut :
Tabel 3 : Pengelompokan Tingkat Kesuburan Tanah
Tanah SangatRendah
Rendah Sedang Tinggi SangatTinggi
C-Org. <1.00 1–2 2.01-3.0 3.01-5.00 >5.00N-Org. <0.10 0.10-0.20 0.21-0.50 0.51-0.75 >0.75
C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25P2O5 HCl 25 % (mg/100 g) <15 15-20 21-40 41-60 >60P2O5 Bray 1 (ppm P) <4 4-7 8-10 11-15 >15P2O5 Olsen (ppm P) <5 5-10 11-15 16-20 >20K2O HCL 25% (mg/100 g) <10 10-20 21-40 41-60 >60Ca (me/100g) <2 2-5 6-10 11-20 >20Mg (me/100g) <0.3 0.4-1.0 1.1-2.0 2.1-8.0 >8.0K (me/100g) <0.1 0.1-0.3 0.4-0.5 0.6-1.0 >1.0Na (me/100g) <0.1 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.0 >1.0KTK (me/100g) <5 5-16 17-24 25-40 >40Kejenuhan Basa (%) <20 20-40 41-60 61-80 80-100Kejenuhan Al (%) <5 5-10 11-20 20-40 >40
Cadangan Mineral <5 5-10 11-20 20-40 >40
% Na-dd (%) <2 2-4 5-10 10-15 >15Sumber: BPBPI, 2005
Abro, et al(2002), dalam penelitiannya di Pakistan memperlihatkan hasil
yang positip atas pemberian pupuk organik yakni tinggi batang meningkat dari
12
1.4 m menjadi 3.1 m, ruas meningkat jadi dari 12 ruas (kontrol) menjadi 27.25,
lilit batang dari 0.25 cm (kontrol) menjadi 2.5 cm,
Tabel 4 : Pedoman Penambahan Bahan Organik
PenambahanBahan Organik
(C-Organik)
KesetaraanPer ton Tanah
(kg/ton)
Kesetaraan per ha lahanKedalaman 20 cm
(ton/ha)
Kesetaraan per ha lahanKedalaman 10 cm
(ton/ha)
0.1 % 1 2 1
0.2 % 2 4 2
0.5 % 5 10 5
0.8 % 8 16 8
1 % 10 20 10
2 % 20 40 20
3 % 30 60 30
4 % 40 80 40
5 % 50 100 50
C-Organik kriteria sedang kadarnya antara 2-3 %
Sumber : Basuki, BPBPI, 2006
Selain itu untuk meningkatkan produktivitas tebu perlu diketahui titik
kritis status hara dalam daun yang biasa dikenal dengan istilah “Nutrient Critical
Level” sebagai pedoman untuk menjaga agar tanaman tidak kekurangan hara.
Dengan pedoman ini,dapat diambil tindakan korektif untuk periode pemupukan
selanjutnya. Standar kandungan hara dapat berbeda untuk tempat yang berbeda
diuraikan sebagai berikut :
Tabel 5 : Standar Kandungan Hara pada Daun Tebu di India
KriteriaKandungan Unsur Hara
N P K Mg Fe
13
+Baik-
2.00 0.12 2.30 0.12 0.30
+Medium-
1.70 0.10 2.20 0.10 0.25
+Kurang-
1.40 0.08 2.10 0.80 0.20
Sumber : Diolah dari Sundara, B, 1998.
Tabel 6 : Standar Kandungan hara pada daun Tebu di Australia
Unsur Hara Nilai Kritis Kadar Optimum% %
Nitrogen (N) 1.80 2.00-2.60
Phosphorus (P) 0.19 0.22-0.30
Potassium (K) 0.90 1.00-1.60
Sumber : Anderson and Bowen (1990)
Tabel 7 : Standar Kandungan Hara pada daun Tebu di Brazil
Kandungan Hara Makro
N P K
1.80% 0.19% 0.90%
Sumber : Gascho, , 2000
Menurut penelitian Widyatmoko (2002), kemasaman tanah menjadi penting
sebagai indikator kesuburan tanah, karena disamping secara langsung dapat
berinteraksi dari ion hydrogen dengan perakaran tanaman, juga parameter ini
memiliki hubungan yang luas dengan ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman.
Pengelompokkan pH sebagai berikut :
Tabel 8 : Pengelompokan Jenis Tanah berdasarkan pH (H20)
14
Uraian pH (H20)
Sangat Masam < 4.5
Masam 4.5 – 5.5
Agak Masam 5.6 – 6.5
Netral 6.6 - 7.5
Agak Alkalis 7.6 - 8.5
Alkalis > 8.5
Sumber : PPT (1982), TOR-Tipe-As Survai Kapabilitas Tanah
Misalnya ketersediaan hara P dan hara mikro dikontrol oleh pH tanah
serta ketersedian unsur yang bersifat racun seperti Al dikontrol pula oleh
kemasaman tanah. Pada pH tanah rendah, ketersediaan Al meningkat dan dapat
meracuni perakaran tanaman.
Kandungan hara yang terdapat dalam tanah dapat dikelompokkan atas
beberapa katagori yakni kurang sampai sangat baik, namun kadar N agak sulit
digunakan sebagai pedoman jika waktu analisa tanahnya sudah berlangsung
beberapa bulan karena sifatnya yang sangat mobil. Tabel 9 menyajikan katagori
kadar hara utama tanah untuk pengelolaan kebun sebagai berikut :
Tabel 9. Kriteria kadar hara utama tanah untuk pengelolaan tebu
Kategori Kadar N tanah (%)
Kadar P Tanah(ppm)
Kadar K Tanah (me/100g)
Sangat Baik > 2,0 > 50 > 0,4
Baik 1,0-2,0 25-50 0,3-0,4
Sedang 0,1-1,0 15-25 0,2-0,3
Kurang < 0,1 < 25 < 0,2
Sumber : Olahan dari Widyatmoko (2002)
Pemberian kalium melalui pemupukan pada tanaman tebu sering
dilakukan. Pada kondisi kadar K tanah sangat tinggi tidak perlu lagi diberikan
15
pupuk K, karena K tersedia dalam tanah dalam bentuk K dapat ditukarkan sangat
efektif diserap oleh akar. Karena K dibutuhkan banyak pada fase pemanjangan
batang, maka pemberiaan pupuk K dapat dilakukan pada saat bersamaan tanam
(dikarenakan K tidak mudah hilang tercuci) atau pada saat tanaman tebu berumur
1-2 bulan.
Diperlukan catatan khusus tentang pemupukan, namun biasanya catatan ini
tidak ada. Catatan ini disebut kartu tanaman dimana catatan tersebut bergabung
dengan catatan tindakan agronomi lainnya. Kartu ini memuat semua data tanaman
yang telah dikerjakan dalam petak atau blok tertentu yang telah dibuat
sebelumnya. Blok tersebut disebut Leaf Sample Unit, satuan luas ini “dianggap”
homogeny dalam semua hal, sehingga dianggap satu satuan. (contoh terlampir).
Gawander, et al(2002), dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan
K dalam tanah dapat dipengaruhi oleh (1) pemberian K dalam bentuk pupuk (2)
adanya “run on” atau pemindahan hara dari atas kebawah misalnya (3) erosi (4)
pencucian (5)“run off” akibat pengolahan tanah. K yang dapat dipertukarkan
sangat penting peranannya dalam pertumbuhan tanaman, karena hanya K tersebut
dan larutan K yang tersedia bagi tanaman. K yang tersedia ini umumnya berada
dilapisan atas tanah dan tergantung dari jenis tanahnya juga.
Hasil analisa daun terutama pada tiga elemen utama (unsur N,P,K) harus di
“cross check” dengan “gejala defisiensi“ pada pemeriksaan visual dilapangan
sebagai hasil akhir atau respon tanaman terhadap perlakuan yang terlihat oleh
mata, sehingga jika terdapat kesalahan dalam proses analisa daun akan terlihat.
16
Untuk memudahkan analisa hasil pengamatan gejala defisiensi ini dibuat dalam
skore 0-5, sehingga kelak dapat diuji secara statistik.
Mabry McCray et al (2005), menyatakan bahwa gejala visual dari
defisiensi hara dan toksisitas sering dijumpai dilapangan, yang mengalami
masalah penterapan unsur hara. Gejala yang diketahui ini segara perlu dikoreksi
dengan penambahan dosis pupuk korektif. Seberapa banyak gejala ini
diketemukan dilapangan dibandingkan dengan hasil analisa daun, karena ada saja
kemungkinan hasil analisa daun di laboratorium tidak sama dengan pengamatan
visual.
Faktor lain seperti pengairan sangat menunjang peningkatan produktivitas
tanaman, namun kelebihan atau kekurangan air dapat menyebabkan pertumbuhan
tanaman terganggu. Tebu memerlukan air pada saat pertumbuhan kecambah,
pertunasan dan pertumbuhan. Delapan sampai 13 minggu sebelum panen tanaman
tebu harus dikeringkan untuk mendapatkan produktivitas tanaman tertinggi
(Bamber et al, 2002 ). Pendekatan perhitungan defisit air diuraikan pada tabel 10.
Diperkirakan setiap 100 mm air hujan ( 1.000.000 liter air/ha) menghasilkan 5-15
ton tebu/ha (Bristow, 2002). Metoda pengairan sangat bervariasi antar lokasi
sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing.
Untuk itulah perhitungan water deficit, amat membantu pertimbangan saat
tanam, dan waktu serta jumlah pemupukan. Aplikasi irigasi dapat mengandalkan
perhitungan water deficit seperti ini, hasilnya akan lebih efisien dibanding tanpa
pedoman. Perhitungan kekurangan air ini dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan air atau water use efisiency. Dengan asumsi water holding capacity
17
sebanyak 100 mm (untuk kelapa sawit 200 mm karena perakarannya lebih dalam)
dan evapotranspirasi pada hari hujan < 11 hari 150 mm, >12 hari 120 mm, maka
perhitungan menjadi seperti disajikan pada tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Perhitungan Water Defisit untuk Tanaman TebuCurah Hari Pers. Evapo Sisa Stok Water
Hujan Hujan Air di Trans air Air Deff.
No Bulan mm mm Tanah Pirasi mm mm mmmm mm (> 0 = 0)
1 Jan. 350 21 100 120 330 100 0
2 Feb. 220 14 100 120 200 100 0
3 Mart 267 12 100 120 247 100 0
4 April 188 16 100 120 168 100 0
5 Mei 132 15 100 120 112 100 0
6 Juni 65 5 100 150 15 15 0
7 Juli 48 6 15 150 0 0 87
8 Agust. 0 0 0 150 0 0 150
9 Serpt 0 0 0 150 0 0 150
10 Okt 89 6 0 150 0 0 61
11 Nov. 365 19 0 120 245 100 0
12 Des. 427 23 100 120 407 100 0
Total 2151 137 1590 448
Catatan : Water Holding Capacity dianggap 100 mm
1. CH ≥ 11 : Evapotranspirasi 120 mm 3. Persediaan air dalam tanah bulan ke 1 dianggap 100 mm
2. CH < 10 : Evapotranspirasi 150 mm 4. Pers.air dlm tanah ≥ 0 = Water Deficit = 0
Serangan hama/penyakit menuntut adanya pemupukan ekstra untuk
membantu recovery pertumbuhan tanaman. Hama penggerek batang dapat
dikendalikan secara biologis, dengan menggunakan predator yang dapat
dikembangkan. Hama boktor dikendalikan dengan mengembangkan parasitnya.
Mengingat umur tanaman di atas 4 tahun, maka perhitungan target produksi
minimal harus 3 tahun ke depan, walaupun pemupukan tebu hasilnya langsung
18
TahunKe 2
TahunKe 3
Tahunke 1
Sulam batang/ha batang/ha batang/ha m/batang m/batang m/batang kg/batang kg/batang kg/batang
Membuat target
terlihat pada tahun ybs. Tahun pertama setelah pemupukan hanya berat batang,
tinggi dan berat dapat berubah. Tahun kedua dan tahun ketiga berat batang , tinggi
dan jumlah batang tebu sebagai faktor pokok produksi sudah memperlihatkan
perkembangan yang diinginkan.
Gambar 1 : Skema membuat target produksi
6.4. Waktu Pemupukan
Pemupukan akan efektip dilaksanakan jika tanahnya mengandung air, jadi
kondisi di atas terjadi pada awal musim hujan sampai akhir hujan. Pada saat hujan
atau hari akan hujan pemupukan tidak dianjurkan. Risiko aplikasi pemupukan
pada saat hujan, zat haranya akan mengalir (run off) ketempat yang lebih rendah
dan kesungai. Idealnya pada awal musim hujan dan pada akhir musim hujan ,
dimana curah hujan tidak terlalu tinggi. Waktu ini akan berbeda setiap daerah,
karena disamping ada iklim tahunan juga ada ilklim mikro yang
mempengaruhinya.
19
Waktu Pemupukan Ideal
050
100150200250
Januari
Februari
Mart
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Mart
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Mart
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
2005 2006 2007
Bulan/ Tahun
Hari dan m
m H
uja
n
Pagi sampai siang hari merupakan waktu yang ideal untuk aplikasi
pemupukan dilapangan. Semakin pagi aplikasinya semakin baik, karena pagi hari
jarang turun hujan. Idealnya aplikasi pemupukan dilaksanakan pada saat akar
dalam kondisi baik, artinya tanah dalam kondisi lembab atau basah. Pada musim
yang kemaraunya di bawah 1 bulan, pemupukan dapat dilaksanakan kapan saja
dengan frekuensi minimal 2 kali yakni pada saat tanam atau tebang dan pada umur
3 bulan, dimana tebu sedang bertunas.
Pada daerah dengan musim kemarau di atas 3 bulan, aplikasi pemupukan
harus disesuaikan dengan kondisi perakaran tebu, misalnya pada akhir musim
kemarau, akar di permukaan tanah (0 – 30 cm) biasanya kering dan mati sehingga
harus menunggu perkembangan akar terlebih dahulu. Itulah sebabnya pada
kondidi demikian diperlukan irigasi.
Mengingat bidang pertanian termasuk perkebunan sangat tergantung dari
kondisi iklim, maka perhitungan waktu pemupukan juga harus disesuaikan dengan
iklim. Sehubungan dengan hal tersebut manajemen logistik perkebunan,
khususnya ketersediaan pupuk harus dijaga agar stok minimal harus tersedia.
Aplikasi pemupukan sebaiknya 3-4 kali pada masa tanam sampai masa
pertumbuhan, namun minimal 2 kali setahun. Semakin sering frekwensi aplikasi
hasilnya akan semakin baik, terutama bagi jenis pupuk yang cepat larut dalam air.
Pada akhir musim kemarau panjang, akar banyak yang mati , itulah
sebabnya waktu pemupukan harus menunggu pada saat akar mulai tumbuh
kembali sekitar 1- 1.5 bulan setelah hujan pertama datang.
20
Gambar 2 : Skema waktu pemupukan
6.5. Sulaman/Sisipan
Meningkatkan jumlah tanaman, agar sesuai dengan norma yakni menjadi
100.000 batang/ha atau sekitar 120 rumpun dengan jumlah batang 8
batang/rumpun dengan cara :
a. Menanam dengan bibit yang baik dan seragam (1 varitas) dengan
jumlah yang cukup (120.000 mata atau lebih), sehingga menghasilkan
sekitar 100.000 batang/ha.
b. Sulaman pada ratoon dilakukan pada minggu pertama setelah tebang
dengan bibit yang telah disiapkan dalam polybag.
c. Bibit Sulaman/sisipan ditanam dalam polibeg 1.5-2 bulan sebelum
tebang.
Bibit dalam polybag belum biasa digunakan dalam tanaman tebu, namun jika hal
ini dapat dilaksanakan tentu produktivitas tanaman tebu akan meningkat. Bibit
dapat disiapkan oleh masing masing petani atau perusahaan. Secara ekonomis pola
penyulaman dengan bibit polibeg lebih menguntungkan dibandingkan dengan
stek.
21
Gambar 3 : Persiapan tanam bibit polibeg dilapangan
Gambar 4 : Akar Bibit Tebu dalam polibag
6.6. Perakaran
Akar tebu adalah akar serabut, yang tumbuh pada ruas batang, akar-akar
ini harus dirawat dan diperliharan dengan baik agar pertumbuhannya optimal.
Sebagai bagian tanaman yang ”menyerap” unsur hara dari tanah, akar dapat
mendukung laju peningkatan produktivitas tanaman.
Jumlah akar baik yang hidup maupun yang mati sekitar 0.9-1.1 kg/m2, sedang
panjang akar (14.0-17.5 km/m2). Berat akar tanaman baru (plant cane) 0.75 kg/m2
dan pada akhir tanaman ratoon 13.8 km/m2. Akar yang mati selama 2 minggu
sebelum tanaman ratoon dipanen ada sekitar 0.15 kg/m2, jadi sekitar 17 % dari
total akar yang ada. Kematian akar di atas terjadi pada kondisi tanpa adanya tebu
bakar atau pembakaran klaras atau seresah tebu. Sebagian kecil dari jumlah akar
ada dalam lapisan di bawah seresah yakni, sebesar 1% dari total massa dan 3%
dari panjang (Ball-Coelho et al, 1991)
22
Pada ujung akar terdapat banyak sekali bulu-bulu akar, yang berfungsi
untuk menyerap unsur hara dan air kedalam tanaman melalui proses osmosa dan
respirasi. Jika tanah mengandung cukup bahan organik, tentu disekitar bulu-bulu
akar terjadi proses dimana unsur hara yang tadinya tidak tersedia dalam tanah
menjadi tersedia. Unsur hara ini semakin banyak tersedian tentu semakin banyak
dapat diserap tanaman.
Gambar 5 : Ujung dan Bulu Akar
Tanah yang gembur memungkinkan udara masuk ke dalam ruangan-
ruangan yang terbentuk, demikian juga air akan tertahan dalam ruangan tersebut.
Ujung akar akan mudah tumbuh pada kondisi demikian. Bulu akar adalah organ
terdepan tanaman yang menyerap unsur hara dan air di dalam tanah. Jumlah bulu
akar ini sangat dipengaruhi antara lain oleh:
1. Jumlah akar yang tumbuh
2. Diameter akar
3. Diameter batang
4. Panjang akar
23
Gambar 6 : Stek yang telah tumbuh tunas serta akarnya (Sumber : Memet Hakim & Netasim vide wwww.google.co.id ,2007)
Sumber :Memet Hakim, 2007
Jadi semakin banyak jumlah bulu akar, akan semakin tinggi kemampuan akar
dalam menyerap tanaman.
Apabila mikroba tumbuh dengan baik di sekitar tudung akar, maka unsur
hara yang tersedia dan dapat diserap oleh tanaman melalui akar akan semakin
banyak jumlahnya. Apalagi jika ditunjang oleh perakaran yang baik dan jumlah
akar aktif maka kemampuan penyerapan unsur hara semakin tinggi.
Stek yang ditanam tentu saja belum tumbuh akarnya. Akar stek ini baru
tumbuh setelah 2 minggu ditanam sampai sekitar 8 mingguan. Itulah sebabnya
pemupukan pada tanaman baru lebih tepat dilaksanakan pada minggu ke 4 setelah
tanam, disusul minggu ke-8 dan 12 serta 16. Bagian pucuk biasanya bertunas
terlebih dahulu, disusul bagian tengahnya dan terakhir bagian pangkal batangnya.
Namun berdasarkan pengamatan banyaknya akar tidak ditentukan oleh cepatnya
tumbuh tunas.
24
Gambar 7 : Akar baru (shoot root) tumbuh diantara akar asli (sett root)
Akar baru tumbuh berukuran lebih besar, mempunyai akar rambur lebih banyak
dan lebih panjang dibanding akar lama yang tumbuh dari ruas.
Ada beberapa alasan mengapa biasanya produktivitas ratoon menurun
antara lain adalah :
1. Karena tanaman ratoon dianggap sebagai tanaman sisa, sehingga
perawatan pada tanaman sisa ini tidak optimal.
2. Kerapatan batang tebu berkurang karena pertumbuhan tunas berkurang.
3. Banyak tanaman yang mati akibat berbagai sebab.
4. Berkurangnya kesuburan tanah.
5. Tanah semakin keras dan padat.
6. Semakin banyak serangan hama dan penyakit.
Fakta bahwa produktivitas ratoon menurun akan berubah dengan
diperbaikinya kelemahan di atas dengan empat pilar teknis agronomis di atas
yakni perbaikan pola kebun bibit, penyulaman sejak plant cane, penerapan teknik
analisa daun dan diterapkannya manajemen perakaran.
Secara logika dengan sulaman/sisipan yang cukup jumlah batang tebu akan
bertambah menjadi sesuai norma yakni 100.000 batang. Jika 1 batang rata-rata
beratnya 1 kg saja, maka berat tebu akan menjadi 100.000 ton/ha/tahun. Serangan
hama penggerek tetap akan terkendali apabila pelepasan predator berjalan dengan
semestinya.
25
Perawatan akar, pemupukan (termasuk penggunaan pupuk organik) yang
baik dibantu dengan teknik analisa daun dan percobaan lapangan akan
memperbaiki pertumbuhan tanaman tebu. Dengan asumsi pertambahan berat
batang tebu 0.2 kg saja per batang, maka berat rata-rata batang tebu menjadi 1,2
kg, artinya produktivitas tanaman tebu akan menjadi 120 ton/ha/tahun. Realitas
saat ini umumnya produktivitas tebu hanya mencapai sekitar 60 ton per ha. Dalam
percobaan pengairan oleh Robertson et al. Vide Inman-Bamber et al. di Ayr,
Queensland, Australian, 1994-1996, produktivitasnya dapat mencapai 159 ton
tebu per ha atau 26.7 ton gula per ha.
Perbaikan kesuburan biologi tanah dan fisika tanah dengan menambahkan
kompos atau bahan organik lainnya sangat membantu ”daya cengkam air” atau
”water holding capacity” dan ”aerasi” dalam tanah. Kedua faktor tadi menjadikan
kompos sebagai penjaga kelembaban tanah dan sebagai bioreaktor tanah yang
sangat membantu pertumbuhan akar dalam tanah.
Selain itu kompos dapat menjadi tempat berkembang biaknya mikroba,
beberapa diantaranya yang berfungsi sebagai pelarut unsur hara dan kemudian
akan lebih mudah diserap oleh akar. Kemudian akan terjadi siklus pembuatan
bahan organik dari air (H2O) dan karbondioksida (CO2) dan unsur hara.
Kesuburan kimia tanahnya dapat diberikan sebagian kecil dari kompos
atau bahan organik lainnya dan penggunaan pupuk buatan (pupuk tunggal atau
majemuk). Semakin banyak akar aktif yang tumbuh, akan semakin banyak unsur
hara yang diserap tanaman. Selanjutnya pertumbuhan batang dan daun akan
semakin baik, artinya proses metabolisme pada tanaman dan fotosintesanya akan
26
Ratoon
PC
semakin optimal. Dengan demikian tingkat produktivitas tanaman akan semakin
baik.
2.2. Kerangka Pemikiran
Tanaman tebu mayoritas bukan lagi merupakan tanaman semusim karena
dipelihara ratoonnya, sehingga menjadi lebih dari 4 tahun umurnya, bahkan ada
yang sampai 25 tahun. Dengan demikian perlakuan dan pemikiran terhadap
tanaman ini harus bersifat jangka menengah dan jangka panjang. Pemikiran dan
perlakuan jangka pendek seperti pada pola tanaman semusim perlu diperbaiki.
Analisa Daun sangat bermanfaat dalam ”memotret” kondisi tanaman pada
masa pertumbuhan. Analisa daun ini efektif dan efisien khususnya dalam
menetapkan jumlah pupuk yang nilainya sangat besar. Pengamatan tanaman
dilakukan lebih detil dan lebih terarah. Produktivitas dapat diatur sesuai dengan
keinginan kita (pada batas-batas tertentu tentunya sesuai dengan hukum ”the law
of diminishing return”). Untuk itu diperlukan perubahan paradigma dalam
mengelola tanaman tebu. Sebagai gambaran trend produktivitas yang ideal apabila
tanaman ratoon dipelihara dengan baik adalah sebagai berikut :
t/ha
27
0 1 2 3 4 5
Gambar 8 : Tren Produksi Tebu jika diurus dengan baik
Umumnya bahkan telah menjadi norma, bahwa tanaman keprasan
produktivitasnya lebih rendah dari tanaman baru. Produktivitas tanaman keprasan
akan semakin rendah lagi jika ratoonnya seiring dengan lamanya keprasan
dikelola. Rendahnya produktivitas tanaman keprasan, adalah suatu akibat logis
karena tidak ada penyulaman, mutu keprasan tidak baik , perawatan akar dan
perawatan tanaman tidak optimal. Hal ini terjadi karena tanaman keprasan
dianggap sebagai tanaman sisa.
Apabila dikelola sebagai tanaman tahunan, tentu pola pikir dan pola tanam
menjadi berbeda. Tanaman keprasan bukan lagi dianggap tanaman sisa tapi
merupakan tanaman harapan. Berpikir jangka panjang untuk merawat tanaman
tebu, tidak dapat dihindari adanya penyulaman untuk menjaga populasi tanaman
dan perbaikan mutu keprasan untuk menjaga agar setiap tunas yang tumbuh akan
jadi batang yang diharapkan.
Penyulaman umumnya dilakukan dengan stek pucuk yang banyak
ditinggalkan dilapangan setelah tebang. Stek yang ditanam akan tertinggal
tumbuhnya oleh tanaman yang ada, karena tanaman yang disulam telah
mempunyai akar yang banyak dan kuat, sedang stek sulaman belum mempunyai
akar dan selanjutnya kalah bersaing untuk mendapatkan sinar matahari dan
penyerapan hara dari dalam tanah.
Sebagai jalan keluar, penyulaman dilakukan dengan bibit dalam polibeg
yang ditanam 2 bulan sebelum tebang. Syarat bibit harus sehat, seragam dan sama
28
varitasnya. Bibit tersebut dapat ditanam dilapangan ataupun secara khusus di
pembibitan, yang penting lahan pembibitan harus dekat sumber air. Biaya
pembuatan bibit dalam polibeg ini nilainya sama dengan 1 batang tebu, sehingga
jika tiap rumpun menghasilkan 7 batang, keuntungannya menjadi 6 batang
Pada saat panen (tebang), dalam banyak hal tunggul batang tebu
ditinggalkan setinggi 5-20 cm, karena alasan praktis, yakni tenaga kerja terbatas
sehingga toleransi terhadap kesalahan ini tinggi sekali. Tunggul batang yang
seharusnya adalah 0 cm. Pada tunggul yang panjang, tunas tumbuh dan berakar di
atas tanah, sehingga tunas tersebut akan mati sebelum akarnya menyentuh tanah.
Jika tunas tunggul tersebut tumbuh dari batang yang berada dalam tanah, maka
tunasnya akan tumbuh dengan baik dan normal.
Bagaimanapun tanaman tebu memerlukan air pada saat pembentukan akar,
pembentukan tunas (tillering) dan pada waktu pertumbuhan, tapi perlu kering
menjelang panen atau tebang. Pengairan perlu dilakukan pada saat a) Waktu
tanam, b) Waktu pertumbuhan tunas, c) Tanaman berada pada fase pertumbuhan.
Jumlah air yang diperlukan identik dengan yang menguap (evapotranspirasi).
Bristow, KL, 2002, sumber air seperti yang berada dalam tanah, curah hujan yang
disimpan dalam tanah semua tersedia bagi tanaman. Sisanya mengalir
dipermukaan dan sebagian masuk ke permukaan air tanah (water table).
Diperkirakan secara kasar tiap 100 mm air hujan ( 1.000 M³) dapat membuat 5
sampai 15 ton tebu/ha. Tentu sesuai dengan jenis tanah kemampuan tanah
menyimpan air berbeda-beda.
29
Sundara, 1998, menyatakan bahwa dibanyak negara umumnya tanaman
ratoon produktivitasnya menurun, tetapi 10 % diantaranya mempunyai
produktivitas yang sama dengan tanaman baru, bahkan ada yang lebih baik dari
tanaman baru. Terbukti dari percobaan Arifin dan Prahardini (2006),
memperlihatkan bahwa tebu ratoon produktivitas tebunya dapat lebih tinggi yakni
118,77 ton/ha dibanding tebu plant cane 111.84 ton/ha. Realita yang saat ini
menjadi minoritas dapat diperbaiki menjadi mayoritas, karena hal ini merupakan
potensi nyata dari tebu ratoon.
Rendahnya produktivitas tanaman ratoon karena (a) produksi ratoon
dianggap sebagai tanaman sisa, (b) Populasi tanaman yang terus berkurang, (c)
Adanya penurunan kadar hara dalam daun, (d) pengerasan tanah dan kesuburan
fisik menurun, (e) adanya serangan hama dan penyakit (f) pembiayaan yang lebih
kecil.
Teori tentang tanaman tebu bukan tanaman semusim banyak ditentang dan
masih kontroversi dikalangan masyarakat pergulaan, oleh karena itu penelitian
ini akan menjelaskan secara ilmiah mengapa tanaman ratoon harus lebih tinggi
produktivitasnya dibanding tanaman barunya. Dengan bantuan analisa daun,
pengamatan gejala defisiensi hara, percobaan pemupukan, analisa tanah, tentu
akan memberikan data yang lebih lengkap dalam membuat rekomendasi
pemupukan.
30
III. DISKUSI
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa rendahnya produktivitas tebu terutama
diakibatkan oleh ”pandangan” terhadap tanaman tebu yang kurang tepat, mereka
menganggap bahwa tebu yang dipelihara ratoonnya masih merupakan tanaman
musiman. Padahal tanaman tenu di atas sudah masuk ke dalam kelompok tanaman
tahunan.
Akibat pandangan tadi, banyak tanaman ratoon dianggap ”tanaman sisa”,
sehingga tidak ada upaya perawatan lebih lanjut, jadi sangat logis apabila tanaman
tebu ini terus merosot produktivitasnya. Sebagai contoh di Lampung, Sunaryo
(2009), menjelaskan data di kebun PT Gunung Madu Plantation memperlihatkan
gejala seperti di atas, misalnya tahun 2008, produktivitas plant cane = 89.9 ton/ha ,
ratoon 1 = 81.6 ton/ha , ratoon 2 = 75.4 ton/ha , ratoon 3 = 72.7 ton/ha.
Sri Nuryanti (2007), meneliti di Yogyakarta dan Jawa Tengah,
mengemukakan bahwa produktivitas plant cane dilahan sawah = 95,4 ton/ha,
sedang ratoon = 91.7 ton/ha, ratoon 1-3 = 91,2 dan ratoon di atas tahun ke 3 =
31
PC R 1 R 2 R 3
88.6. Produktivitas tanaman tebu ditegalan plant cane = 71.3 ton/ha, ratoon = 46.3
ton/ha, ratoon 1-3 = 60.9 dan ratoon di atas tahun ke 3 = 48.6 ton/ha.
Sama halnya di PTPN II (2009), taksasi produksi 2008/2009 pada tebu
sendiri (TS) sebagai berikut : plant cane =76.52 ton/ha, ratoon 1 = 64.85, ratoon 2
= 60.13 ton/ha, ratoon 3 = 52.55 ton/ha, sedang pada tanaman tebu rakyat (TR) :
plant cane = 63.28 ton/ha, ratoon 1 = 56.86 ton/ha, ratoon 2 = 52.67 ton/ha, ratoon
3 = 45.00 ton/ha.
Tabel 11 : Produktivitas tebu sesuai tingkat (Umur Tanaman) tanaman di Sumatra
Uraian
Produktivitas tebu ( ton/ha)
PC R 1 R 2 R3
PT GMP* 89.9 81.6 75.4 72.7
TS N2** 76.52 64.85 60.13 52.55
TR N2** 63.28 56.86 52.67 45
Potensi 90 100 110 120
Catatan : *) Tahun 2007/2008 **) Tahun 2008/2009
0
20
40
60
80
100
120
140
f(x) = 10 x + 80R² = 1
f(x) = − 5.903 x + 69.21R² = 0.988534159631712
f(x) = − 7.663 x + 82.67R² = 0.970278320501696
f(x) = − 5.78 x + 94.35R² = 0.954634815407475
PT GMP
Linear (PT GMP)
TS N2
Linear (TS N2)
TR N2
Linear (TR N2)
Potensi
Linear (Potensi)
32
Ton/ha
Gambar 9 : Grafik linier tebu menurut tingkat (umur) tanaman
Fakta ini menguatkan uraian pada Bab I sampai Bab II. Selain itu tanaman
tebu saat ini bukanlah tanaman perkebunan primadona, bahkan ada yang
menyebutkan tebu adalah komoditi yang merugikan, sehingga masyarakat tidak
tertarik menanamnya. Rendahnya produktivitas tanaman dan hablur merupakan
masalah pokok yang membuat harga pokok gula menjadi mahal.
Berbagai upaya telah dijalankan untuk meningkatkan produktivitas, namun
hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Pada tanaman baru memang telah terjadi
kenaikan yang berarti, namun pada tanaman ratoon masih belum memuaskan.
Masalah yang terbesar karena adanya pemikiran bahwa tanaman tebu di
tegalan masih merupakan tanaman semusim (annual crop), sehingga pola pikirnya
jangka pendek. Tebu Keprasan masih dianggap sebagai tanaman sisa, sehingga
perawatannya sekedarnya saja. Sebelum tahun 1970 an, memang tebu ditanaman
sebagai tanaman semusim, artinya setiap selesai panen, tanaman tebu dibongkar
dan lahannya ditanami padi serta palawija.
Saat ini, terutama setelah populasi penduduk bertambah banyak, lahan
semakin terbatas, tanaman tebu ditanam juga dilahan kering. Lama kelamaan tebu
yang ditanam dilahan basah (sawah) juga dipelihara ratoon (tanaman pulihan)nya.
Umumnya tanaman ratoon dipelihara sampai keprasan ke 4-5. Dengan demikian
tanaman tebu saat ini berumur lebih dari 4 tahun bahkan ada yang sampai 25
tahun. Di Indonesia paling lama sekitar 10 tahun. Fakta ini memperlihatkan bahwa
tebu perlu dirawat seperti tanaman tahunan, hanya panennya setahun sekali. Hal
33
ini merupakan akibat logis dari sifat tanaman yang termasuk tanaman tahunan
(perennial crop).
Oleh karena itu teknik budidaya tebu perlu ada perubahan yang mendasar,
seperti misalnya cara pandang (paradigma) terhadap sifat tanaman yakni tanaman
tahunan bukan lagi tanaman semusim. Berpikir jangka panjang, sehingga tanaman
ratoon yang selama ini dianggap tanaman sisa menjadi tanaman harapan. Selama
ini yang dianggap dasar untuk membuat rekomendasi pemupukan adalah analisa
tanah, perlu dilengkapi dengan analisa daun dan pengamatan defisiensi hara yang
gejalanya terlihat pada daun tebu. Penelitian ini akan membuktikan sejauh mana
hipotesis di atas kebenarannya.
Pola pembuatan rekomendasi pemupukan saat ini hanya menggunakan
pendekatan analisa tanah saja, padahal dengan ditambahkan analisa daun,
pemeriksaan lapangan serta pembuatan percobaan pemupukan hasilnya akan lebih
sempurna. Penggunaaan ratio-ratio atas kandungan hara (”Diagnosis and
Reccomendation Integrated System”) merupakan cara baru yang tengah
berkembang saat ini.
Kecenderungan aplikasi pemupukan menjadi 1 x selama 1 tahun,
menjadikan efisiensi penyerapan hara tanaman menjadi rendah. Begitu pula
minimnya menggunakan pupuk organik, menyebabkan peningkatan sulit dicapai.
Keprasan pendek ternyata merangsang tunas tumbuh lebih baik, karena tunas
yang tumbuh dari dalam tanah akarnya dapat terus berkembang, sedang pada
keprasan tinggi akar yang dihasilkan berupa akar gantung yang akhirnya mati jika
tidak sampai menyentuh tanah. Dengan “cane cutter” pekerjaan keprasan selain
34
lebih sempurna juga lebih efisien dalam penggunaan tenaga tebang. Dengan
adanya perbaikan mutu keprasan tentu dapat meningkatkan populasi tanaman
melalui pertambahan tunas per rumpun.
Diharapkan dengan penelitian ini, dapat dibuktikan bahwa tanaman
keprasan dapat menghasilkan tebu lebih banyak dari tanaman baru. Tanaman baru
menghasilkan tebu lebih tinggi lagi, sehingga secara keseluruhan tebu dapat
menghasilkan produksi yang optimal.
Gambar 8 : Sisa tebangan biasanya (kiri) dan pendek (kanan)
Sumber : Memet Hakim (2009)
Dari penelitian ini diharapkan juga dapat ditemukan titik efiensi
ekonomisnya, sehingga tidak terjadi pemborosan pupuk seperti yang terjadi saat
ini. Pada dasarnya untuk menghasilkan output yang optimal tentu inputnya harus
sesuai dan prosesnya harus optimal. Sehubungan dengan hal tersebut, daun
sebagai alat untuk fotosintesis dan akar sebagai organ yang bertugas menyerap
hara harus tumbuh optimal, agar batang dapat tumbuh optimal. Bagaimanapun
hasil akhir tanaman berupa produktivitas (out put) akan tergantung dari masukan
(input) yang akan diberikan serta sejauh mana proses fotosintesis dan
metabolisme dalam tanaman dapat mendukung proses mengolah input menjadi
output yang optimal.
35
PROSES OUTPUTINPUT
Gambar 9. : Skema Input, proses dan output
Pupuk organik dan pupuk buatan jika diberikan secara bersama akan
bersinergi positip terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Namun jika
diberikan sendiri-sendiri akan memberikan respon yang lebih rendah karena sifat
masing-masing jenis pupuk yang mempunyai kelemahan.
Kelemahan pupuk organik adalah kandungan hara yang rendah, serta
mutunya tidak sama, tergantung dari bahan asal organik. Kelemahan pupuk buatan
jika diberikan secara terus menerus akan mengeraskan tanah, membunuh mikroba
penyubur tanah. Namun jika keduanya digunakan akan terjadi keseimbangan
tergantung rasio campuran kedua jenis pupuk tersebut.
36
IV. SIMPULAN
Paradigma terhadap tanaman tebu perlu ada perubahan, dengan
memperlakukan tanaman tebu sebagai tanaman tahunan, maka pola perencanaan,
tindakan dan kontrol akan mengacu pada pola jangka panjang. Artinya tidak ada
lagi anggapan bahwa tanaman ratoon merupakan tanaman sisa.
Selanjutnya teknis agronomi yang perlu dilakukan adalah 1)
penyulaman/sisipan (paling baik dengan polibeg) 2) tebang atau kepras pandes
atau maksimal 0.5 cm di atas permukaan tanah 3) perbaikan pola pembuatan
rekomendasi pemupukan 4) perbaikan pola pembibitan 5) melakukan pengairan
jika memungkinkan dan 6) pengendalian hama dan penyakit secara alami.
Dengan penyulaman produktivitas dapat meningkat sebesar jumlah
penyulaman itu sendiri yakni antara 10-40 %, dengan tebang pandes produktivitas
tebu yang diangkut ke pabrik dan rendemen akan meningkat minimal sebesar 5 %,
dengan perbaikan pola pembuatan rekomendasi pemupukan akan terjadi efisiensi
biaya dan peningkatan produktivitas yang jumlahnya sangat tergantung pada
kondisi lapangan, dengan perbaikan pola pembibitan dapat meningkatkan
keseragaman tanaman dan menekan biaya bibit, dengan pengairan produktivitas
akan meningkat di atas 20 % bahkan dapat mencapai 74 %, adanya intensifikasi
pengendalian organisme pengganggu tanaman tentu dapat meningkatkan
37
produktivitas tanaman melalui penekanan investasi serangan organisme
pengganggu tanaman.
Dengan luasan lahan sebesar sekitar 80 % dari total lahan di Indonesia
sebesar 430.000 ha, maka perbaikan pandangan ini akan dapat meningkatkan
produktivitas gula rata-rata di atas 20 %, suatu jumlah yang sangat besar. Pola
intensifikasi pada ratoon sangat mungkin mencapai di atas 100 ton/ha,
dibandingkan saat ini yang hanya mencapai 40-60 ton/ha.
38
top related