refleksi kasus
Post on 07-Aug-2015
66 Views
Preview:
TRANSCRIPT
REFLEKSI KASUS
CHOLELITHIASIS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SA
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
B. KASUS
Os datang dengan keluhan muntah-muntah ke RS dengan keluhan muntah-muntah
sejak 1 minggu sebelumnya. Pasien juga mengeluh demam, menggigil (-), berkeringat
banyak, pusing, lemes, nyeri ulu hati dan nyeri perut kanan atas. Nyeri datang tidak
menentu dan berkurang setelah makan namun tidak selalu, terkadang nyeri dirasakan
memberat hingga pasien diberi suntik analgetik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
murphy’s sign (+), sklera ikterik. Hasil USG menunjukkan cholelithiasis.
C. PEMBAHASAN
Pada pembahasan refleksi kasus ini akan dibahas tentang penegakan diagnosis
cholelithiasis.
1. Definisi
Cholelithiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan
dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang
memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi. Cholelithiasis lebih sering
dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan
memiliki factor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm.
Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat
menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi
ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati
dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus
yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus
hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus
vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan
permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica
kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah
arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung
empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.
Gambar Anatomi vesica fellea.
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50
ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu
sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang
tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.
Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.
Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum
mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus
yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke
duodenum.
Pengosongan Kandung Empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung
empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung
distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan
empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan
oleh dua hal yaitu:
a. Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b. Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum
dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung
empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
3. Etiologi
Batu empedu kolesterol, pigmen hitam dan coklat memiliki patogenesis dan
faktor resiko yang berbeda. Di Amerika Serikat, batu kolesterol hampir 75%
sampai 80% dari semua cholelithiasis. Batu kolesterol mengandung 50-90%
kolesterol dari total berat badan. Dari analisis beberapa batu, ada yang miskin
kolesterol. Garam kalsium pigmen bilirubin, karbonat dan protein terkandung
dalam batu. Faktor resiko pembentukan batu empedu meliputi obesitas, penurunan
berat badan mendadak, trauma tulang belakang, jenis kelamin wanita lebih
beresiko, paritas dan penggunaan estrogen. Batu pigmen dikategorikan batu hitam
dan coklat tergantung komposisi kimia dan penampakan batu. Batu ini juga
dibedakan berdasarkan patogenesis dan manifestasi klinisnya.
Tiga faktor utama dalam pembentukan batu kolesterol antara lain perubahan
komposisi empedu hepar, pembentukan inti kolesterol dan gangguan fungsi
kandung empedu.
Peranan infeksi – walaupun infeksi dikatakan menjadi faktor penting dalam
pembentukan batu kolesterol, DNA bakteri ditemukan dalam batu ini. Secara
konsep, bakteri mungkin terdekonjugasi dalam garam empedu selama absorpsi dan
penurunan kelarutan kolesterol. Infeksi bilier berperan dalam pembentukan batu
pigmen coklat, mayoritas mengandung bakteri pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron.
Umur – peningkatan prevalensi cholelithiasis secara bermakna tiap tahunnya,
kemungkinan peningkatan isi kolesterol dalam empedu. Pada umur 75 tahun, 20%
laki-laki dan 35% wanita memiliki cholelithiasis. Cholelithiasis kedua batu pigmen
dan tipe kolesterol sudah dilaporkan pada anak.
Genetik – pasien dengan cholelithiasis secara relatif frekuensi batu meningkat
dua sampai empat kali, tidak tergantung pada umur, berat badan dan diet mereka.
Alel apoE4 lipoprotein E memiliki predisposisi pembentukan batu kolesterol.
Frekuensi apoE4 lebih tinggi pada pasien dengan riwayat kolesistektomi
dibandingkan penderita tanpa batu empedu. Adanya apoE4 memiliki prediksi
kekambuhan batu secara cepat setelah litotripsi. Mekanisme ini masih belum jelas
walaupun apolipoprotein E mungkin memainkan peranan absorpsi lipid diet,
transport dan distribusi ke jaringan. ApoE4 tidak dihubungkan dengan
pembentukan cholelithiasis baru selama kehamilan.
Obesitas – sindrom metabolik pada obesitas, resistensi insulin, diabetes
mellitus tipe II, hipertensi dan hiperlipidemia erat kaitannya dengan peningkatan
sekresi kolesterol hepar dan merupakan faktor resiko pembentukan batu kolesterol.
Biasanya terjadi pada wanita dengan umur kurang dari 50 tahun. Obesitas erat
kaitannya dengan peningkatan sintesis kolesterol. Tidak ada perubahan yang
konsisten pada volume kandung empedu post prandial. Pola makan (2100 kJ per
hari) bisa menghasilkan cairan empedu dan pembentukan batu empedu simtomatis
pada individu dengan obesitas. Sejumlah kecil lemak dalam diet untuk menjaga
pengosongan kandung empedu dapat menurunkan resiko pembentukan batu
empedu.
Diet – peningkatan diet kolesterol meningkatkan kolesterol empedu tetapi
tidak ada data epidemiologi dan pola makan yang memaparkan asupan kolesterol
dengan cholelithiasis.
Sirosis hepatis – sekitar 30% pasien sirosis menderita cholelithiasis. Resiko
pembentukan cholelithiasis sangat berhubungan kuat dengan sirosis Child’s grade
C dan sirosis alkoholik dengan insiden tiap tahunnya 5%. Mekanismenya masih
belum jelas. Semua pasien dengan penyakit hepatoseluler menunjukkan derajat
hemolisis yang bervariasi. Walaupun sekresi asam empedu menurun, batu yang
terbentuk biasanya merupakan batu pigmen hitam. Phospolipid dan sekresi
kolesterol juga menurun sehingga empedu tidak tersaturasi.
Tipe dan Komposisi Batu Empedu
Secara normal, empedu terdiri atas 70% garam empedu (terutama cholic dan
asam chenodeoxycholic), 22% pospholipid (lechitin), 4% kolesterol, 3% protein
dan 0,3% bilirubin. Terdapat tiga tipe utama batu empedu antara lain batu
kolesterol, pigmen hitam dan pigmen coklat. Di negara barat lebih banyak
ditemukan batu kolesterol. Walaupun batu ini predominan terdiri atas kolesterol
(51-99%), diantara semua tipe, memiliki komponen kompleks dan mengandung
proporsi yang bervariasi dari kalsium karbonat, fosfat, bilirubinate, dan palmitat,
fospolifid, glikoprotein dan mukopolisakarida. Batu pigmen hitam terdiri atas 70%
kalsium bilirubinat dan lebih banyak terjadi pada pasien dengan anemia hemolitik
dan sirosis. Batu pigmen coklat jarang terjadi, dibentuk dalam saluran empedu
intrahepatik dan ekstrahepatik sama halnya yang terjadi pada kandung empedu.
Batu pigmen coklat dibentuk dari stasis dan infeksi dalam sistem empedu oleh
bakteri E. coli dan Klebsiella spp.
4. Patofisiologi
Sekitar 75% pasien, batu empedu terdiri atas kolesterol, dan sisanya
merupakan batu pigmentasi yang terutama mengandung bilirubin tidak
terkonjugasi. Secara normal, kolesterol tidak mengendap dalam empedu, karena
mengandung garam empedu terkonjugasi dan phosphatidylcholine secukupnya
dalam bentuk micellar solution. Jika rasio konsentrasi kolesterol : garam empedu
dan phosphatidylcholine meningkat, kelebihan kolesterol dalam batas minimal,
kejenuhannya akan meningkat (supersaturasi) dalam larutan lumpur. Adanya
supersaturasi oleh peningkatan rasio kolesterol, akan menyebabkan hepar
mensekresi kolesterol konsentrasi tinggi sebagai inti vesikel unilamelar dalam
kandung empedu dimana phosphatidylcholine menjadi kulit luar pembungkus
vesikel dengan diameter 50-100 nm. Jika jumlah kandungan kolesterol relatif
meningkat, vesikel multilamelar akan terbentuk (diameter melebihi 1000 nm).
Vesikel-vesikel ini tidak stabil dan mengendap lingkungan cairan dalam bentuk
kristal kolesterol. Kristal kolesterol ini merupakan prekursor batu empedu.
Penyebab penting peningkatan rasio kolesterol : garam empedu dan
phosphatidylcholine adalah:
1. Peningkatan sekresi kolesterol, baik oleh karena peningkatan sintesis kolesterol
(peningkatan aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl [HMG]-CoA-kolesterol
reduktase) ataupun penghambatan esterifikasi kolesterol seperti progesterone
selama kehamilan
2. Penurunan sekresi garam empedu oleh karena penurunan simpanan garam empedu
pada penyakit Crohn’s atau setelah reseksi ataupun selama puasa dan nutrisi
parenteral
3. Penurunan sekresi phosphatidylcholine sebagai penyebab batu kolesterol
ditemukan pada wanita Chili yang hidup hanya memakan sayuran.
Batu pigmen terdiri atas sebagian besar kalsium bilirubinat (50%) yang
memberikan warna hitam atau coklat pada empedu. Batu hitam juga mengandung
kalsium karbonat dan fosfat, dimana batu coklat juga mengandung stearat, palmitat
dan kolesterol. Peningkatan jumlah bilirubin tak terkonjugasi pada empedu, yang
dipecahkan hanya dalam micelles, ini merupakan penyebab utama pembentukan
batu empedu, dimana normalnya mengandung hanya 1-2% dalam empedu.
Adapun sebagai penyebab meningkatnya konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi
adalah meningkatnya pemecahan hemoglobin seperti pada anemia hemolitik, yang
mana terdapat banyak bilirubin yang akan mengalami proses konjugasi dengan
perantara enzim glukorunidase dalam hepar, ditemukan kelainan sebagai berikut:
Penurunan kapasitas konjugasi dalam hepar seperti pada sirosis hepar
Dekonjugasi non-enzimatik bilirubin dalam empedu khususnya monoglukoronat
Dekonjugasi enzimatik (β-glucosidase) oleh bakteri.
Bakteri juga tidak mengkonjugasi secara enzimatik garam empedu sehingga
terjadi pembebasan palmitat dan stearat (dari phoshatidylcholine) dalam presipitat
sebagai garam kalsium. Batu hitam dibentuk oleh tiga mekanisme pertama diatas,
mengandung komponen tambahan, kalsium karbonat dan fosfat, inilah yang akan
menurunkan kapasitas keasaman dalam kandung empedu.
Kandung empedu, dimana komponen spesifik (kolesterol, garam empedu,
phoshatidylcholine) terkonsentrasi dalam waktu yang lama keterikatan dalam air,
juga merupakan bagian penting dalam pembentukan batu empedu. Gangguan
pengosongan kandung empedu bisa menjadi salah satu penyebab baik karena
insufisiensi CCK (tidak ada asam lemak bebas yang dilepaskan dalam lumen pada
insufisiensi pancreas) sehingga rangsangan kontraksi ke kandung empedu
melemah, ataupun karena vagotomy nonselektif tidak terdapat sinyal kontraksi dan
asetilkolin. Kontraksi kandung empedu melemah juga pada keadaan kehamilan.
Saat itu menjadi waktu yang sangat cukup terjadi endapan kristal untuk
membentuk batu yang besar. Peningkatan sekresi mukus (dirangsang oleh
prostaglandin) bisa memicu peningkatan jumlah inti kristalisasi.
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada cholelithiasis adalah kolik. Jika
terjadi penghambatan saluran empedu oleh sumbatan batu empedu, tekanan akan
meningkat dalam saluran empedu dan peningkatan kontraksi peristaltik di daerah
sumbatan menyebabkan nyeri viseral pada daerah epigastrik, mungkin dengan
penyebaran nyeri ke punggung dan disertai muntah.
5. Gejala Klinis
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu pasien
dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien
dengan komplikasi batu empedu. Sedangkan dilihat dari tahapan penyakitnya,
dapat dibagi menjadi 4 stadium yaitu stadium litogenik, dimana kondisi yang
memungkinkan terbentuknya batu; batu empedu asimtomatis; episode kolik biliaris
dan cholelithiasis terkomplikasi. Gejala dan komplikasi cholelithiasis merupakan
efek yang terjadi dalam kandung empedu atau dari batu yang keluar dari kandung
empedu ke saluran duktus biliaris komunis.
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu
diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien
dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50%
pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier dan 20% mendapat
komplikasi. Pada pasien cholelithiasis asimtomatis ditemukan secara insidental.
Pada kebanyakan kasus cholelithiasis asimtomatis tidak memerlukan penanganan.
Kolik bilier – kolik bilier timbul secara episodik, nyeri hebat, berlokasi di
epigastrium atau di kuadran kanan atas. Nyeri ini menyebar ke belakang atau
daerah punggung kanan tetapi biasanya tidak fluktuatif, sebagaimana istilah kolik
pada umumnya. Nyeri ini mula-mula timbul secara tiba-tiba di daerah epigastrium
atau kuadran kanan atas dan menyebar di sekitar punggung tepatnya di
interskapula. Secara umum, nyeri timbul secara cepat, kurang dari 30 menit sampai
3 jam, dan secara berangsur-angsur mereda. Kolik bilier benigna tidak
berhubungan dengan demam, leukositosis atau tanda peritoneal akut. Adanya
gejala ini atau nyeri bilier lebih lama dari 4 sampai 6 jam, kemungkinan
kecurigaan kolekistitis akut. Kolik bilier timbul akibat desakan batu empedu pada
duktus kistikus selama kontraksi kandung empedu, peningkatan tekanan dinding
kandung empedu. Konstraksi kandung empedu ini timbul akibat pelepasan
kolekistokinin yang dirangsang oleh diet lemak. Pada kebanyakan kasus, obstruksi
akan kembali ke relaksasi kandung empedu dan nyeri akan mereda. Nyeri bersifat
konstan dan tidak ditimbulkan oleh muntah, antasid, defekasi atau perubahan
posisi. Nyeri ini diikuti oleh mual dan muntah.
Gejala komplikasi – kolesistitis akut maupun kronis terjadi bila batu
menyumbat dan terjepit dalam duktus kistikus menyebabkan kandung empedu
menjadi distensi dan inflamasi progresif. Pasien akan merasakan nyeri kolik
biliaris tetapi secara spontan hilang timbul dan kadang akan memberat.
Pertumbuhan koloni bakteri yang banyak pada kandung empedu sering terjadi, dan
pada kasus yang berat, akumulasi pus dalam kandung empedu yang dikenal dengan
empiyema kandung empedu. Dinding kandung empedu akan menjadi nekrotik
kemudian timbul perforasi dan abses polikistik. Kolekistitik akut merupakan
kedaruratan bedah, walaupun nyeri dan inflamasi dapat ditangani secara
konservatif seperti dengan hidrasi dan antibiotik. Jika serangan akut timbul secara
spontan, inflamasi kronis berubah berlangsung lama dengan eksaserbasi akut.
Fistula biliaris interna atau fistula kolekistoenterik merupakan komplikasi
penyerta migrasi batu empedu akut atau biasanya kronis. Batu kandung empedu
dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal.
Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran
cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
6. Diagnosis
Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita cholelithiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di
daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa
nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi cholelithiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu – apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan
dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,
hidrop kandung empedu, empiyema kandung empedu, atau pankreatitis. Pada
pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak
anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu – batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam
fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium – batu kandung empedu yang asimtomatik
umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Tes laboratorium sangat membantu, tetapi memberikan hasil yang tidak
spesifik untuk diagnosis cholelithiasis. Karena pasien dengan cholelithiasis tidak
menimbulkan gejala atau sering asimptomatik sehingga hasil tes laboratorium
normal berarti tidak ditemukan kelainan. Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah
yaitu bilirubin, tes fungsi hati, dan enzim pankreatik. Hasil yang diperoleh,
diantaranya :
Meningkatnya serum kolesterol.
Meningkatnya fosfolipid.
Menurunnya ester kolesterol.
Meningkatnya protrombin serum time
Tes fungsi hati ; meningkatnya bilirubin total lebih dari 3mg/dL,
transaminase (serum glumatic-pyruvic transaminase dan serum glutamic-
oxaloacetic transaminase) meningkat pada pasien choledocholithiasis dengan
komplikasi cholangitis, pankreatitis atau keduanya.
Pemeriksaan Radiologis
Manfaat pemeriksaan radiologi intervensional, diantaranya :
Digunakan pemeriksaan endoscopic retrograde cholangiopancreatography dan
percutaneous transhepatic cholangiography.
Radiologi intervensional memiliki keakuratan yang sangat tinggi untuk mendeteksi
cholelithiasis dan sebagai akses dalam memberikan terapi.
Merupakan suatu tatacara yang invasif dengan risiko terjadinya pankreatitis,
hemoragik dan sepsis.
Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa.
Pelebaran saluran empedu merupakan tabung (tubulus) yang anekoik (cairan)
dengan dinding hiperekoik yang berkelok-kelok dan sering berlobulasi. Kadang-
kadang berkonfluensi membentuk gambaran stellata yang tidak terdapat pada vena
porta. Pada dinding bawah bagian posteriornya mengalami penguatan
akustik (acoustic enhancement). Bila kita ragu-ragu apakah suatu
duktus choledochus melebar atau tidak, maka pemeriksaan dilakukan setelah
penderita diberi makan lemak terlebih dahulu. Pada keadaan obstruksi
duktus choledochus, maka setelah fatty meal tersebut akan terlihat lebih lebar;
sedangkan pelebaran fisiologik, misalnya pada usia tua, di mana elastisitas dinding
saluran sudah berkurang, maka diameternya akan menjadi lebih kecil. Prosedur ini
akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadaan distensi.
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatica.
Computed Tomography (CT)
Batu ginjal dengan kalsifikasi memberikan gambaran yang khas pada
pemeriksaan CT scan tapi tidak jelas menggambarkan batu ginjal tanpa kalsifikasi.
Komplikasi seperti sumbatan saluran empedu dan kolesistitis juga dapat
terlihat pada pemeriksaan ini tapi USG merupakan tes investigasi yang utama.
Pemeriksaan Cholecystography
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada
keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi
pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP terutama digunakan untuk mendiagnosa dan mengobati penyakit-
penyakit saluran empedu termasuk batu empedu. Sampai saat ini, endoscopic
retrograde cholangiopancreatography (ERCP) menjadi kriteria standar untuk
diagnosis dan terap. Karena ERCP merupakan pedoman tehnik diagnostik untuk
visualisasi lithiasis traktus biliaris. Bagaimanapun ini merupakan teknik yang
invasif dan dihubungkan dengan kelahiran maupun kematian.
ERCP merupakan kombinasi antara sebuah endoskopi (panjang,fleksibel, pipa
bercahaya) dengan prosedur fluoroskopi yang menggunakan sinar X pada biliaris
memberikan efek yang sama seperti MRCP, tetapi keuntungan yang didapatkan
pada sesuai dengan prosedur terapi seperti sfingterotomi dengan pengangkatan batu
dan penempatan biliaris. ERCP dikerjakan dengan menyuntikkan bahan kontras di
bawah fluoroskopi melalui jarum sempit, gauge berada di dalam parenkim hati. Ini
penting, keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage empedu,
bila perlu biopsi jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan cairan dan
menempatkan eksternal dan internal drainage stents dapat dikerjakan secara
perkutan.
Pemeriksaan ERCP memerlukan waktu sekitar 30 menit hingga 2 jam.
Sebaiknya untuk prosedur yang aman dan akurat, perut dan duodenum harus
dikosongkan. Tidak boleh makan atau minum apapun setelah tengah malam
sebelum malam melakukan prosedur, atau untuk 6 hingga 8 jam sebelumnya,
tergantung dari waktu sesuai dengan prosedur dan juga operator harus mengetahui
adanya alergi atau tidak, khususnya terhadap iodine.
7. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaan antara lain :
Kolesistektomi terbuka – operasi ini merupakan standar terbaik untuk
penanganan pasien dengan cholelithiasis simtomatik. Komplikasi yang paling
bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2%
pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut.
Kolesistektomi laparaskopi – indikasi awal hanya pasien dengan cholelithiasis
simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledukus. Secara teoritis,
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat
cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan
insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih
sering pada kolesistektomi laparaskopi.
Disolusi medis – masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah
digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat
disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol.
Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa
disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini
dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
Disolusi kontak – meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut
kolesterol yang poten seperti metil-ter-butil-eter (MTBE) ke dalam kandung
empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam
melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan
kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) – sangat populer digunakan
beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan
bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Kolesistotomi – dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan disamping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama
untuk pasien yang sakitnya kritis.
Referensi
Beckingham, IJ. Gallstone disease. In: ABC of Liver, Pancreas and Gall Bladder. London: BMJ Books; 2001.
Douglas M Heuman, MD, FACP, FACG, AGAF; Chief Editor: Julian Katz, MD. Cholelithiasis, available from http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview#showall Last update November 11 2011 (diakses tanggal 26 Februari 2012)
Lesmana L. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.
Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D, Dupon L, editors. Kelley’s Textbook of Internal Medicine. 4th ed.
Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Billiary System. 11 th ed. Oxford: Blacwell Science; 2002.
Silbernagl S, Florian Lang. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme Stuttgart; 2000.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.
Yogyakarta, 27 Februari 2012
dr. Yunada H.R. SpB-KBD
top related