referat gg. somatisasi

Post on 06-Oct-2015

68 Views

Category:

Documents

8 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

ikj

TRANSCRIPT

REFERAT

Gangguan Somatisasi

Pembimbing : dr. Linda Kartika Sari Sp. KJ

Disusun Oleh:

Laberna Shandra Puspitarini112013258KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMOPERIODE 23 Juni 2014 s.d 26 Juli 2014

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA

Kata Pengantar

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nyalah maka referat ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing dr. Linda Sp.KJ yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.

Referat ini mengangkat tema gangguan somatisasi. Semoga referat ini dapat berguna bagi pembaca untuk menambah pengetahuan mengenai gangguan somatisasi.

Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan referat ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk membaca referat ini.

Semarang, Juli 2014

Penulis

BAB IPENDAHULUANLatar Belakang

Gangguan somatisasi merupakan salah satu bentuk gangguan somatoform, yang sumber gangguannya adalah kecemasan yang dimanifestasikan dalam keluhan fisik, sehingga orang lain tidak akan mengerti jika individu tidak mengeluh. Somatisasi juga merupakan suatu bentuk gangguan yang ditunjukkan dengan satu atau beberapa macam keluhan fisik akan tetapi secara medis tidak mempunyai dasar yang jelas. Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut. Sejauh ini gangguan somatisasi hampir selalu ada pada pelayanan primer. Maka dari itu makalah ini membahas mengenai pengenalan gangguan somatisasi.

BAB IIPEMBAHASAN2.1 DEFINISI

Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboraturium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpah berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis, berkaitan dengan stresor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan. Dikenal juga sebagai Briquets syndrome. 1Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Wanita lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan pria dengan rasio 5 berbanding 1. Awitan gangguan ini sebelum usia 30 tahun dan biasanya dimulai ketika usia remaja. 12.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum diperkirakan 0,1 sampai 0,2 persen walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa angka sebenarnya dapat lebih mendekati 0,5 persen. Perempuan dengan gangguan somatisasi jumlahnya melebihi laki-laki 5- 20 kali tetapi perkiraan tertinggi dapat disebabkan adanya tendensi dini tidak mendiagnosis gangguan somatisasi pada pasien laki-laki. Gangguan ini yang lazim ditemukan. Perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 5:1. Diantara pasien di praktik umum dan dokter keluarga, sebanyak 5- 10% dapat memenuhi kriteria diagnostik gangguan somatisasi. Gangguan somatisasi didefinisikan dimulai sebelum usia 30 tahun; dan paling sering dimulai selama masa remaja.22.3 ETIOLOGI Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi lebih sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan terhadap sensasi tersebut atau menginterprestasikannya sebagai suatu yang membahayakan. Kemungkinan yang lain adalah mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dibanding orang lain. Sebuah pandangan perilaku mengenai gangguan somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan nyeri, rasa tidak nyaman, dan disfungsi merupakan manifestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem-sistem tubuh. Sejalan dengan pemikiran bahwa terdapat faktor kecemasan yang tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki kadar kortisol tinggi, suatu indikasi bahwa mereka berada dibawah tekanan. Mungkin ketegangan ekstrim yang dimiliki individu berpusat pada otot-otot perut, mengakibatkan rasa mual atau muntah. Bila keberfungsian normal terganggu, pola maladiaptif akan menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu.3,41. Faktor psikososial

Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial, gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.

Aspek pengajaran pada anak untuk menggunakan somatisasi. Faktor sosial, kultur dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi. 12. Faktor biologis dan genetik Sejumlah studi mengemukan bahwa pasien memiliki perhatian yang khas dan hendaya kognitif yang menghasilkan persepsi penilaian input somatosensorik yang salah. Ketidakmampuan menghabituasi stimulus berulang, pengelompokan konstruksi kognitif dengan dasar impresionistik, hubungan parsial dan sirkumstansial , serta kurangnya xelektivitas, seperti yang ditunjukkan sejumlah studi potensial bangkitan. Sejumlah studi pencitraan otak melaporkan adanya penurunan metabolisme lobus frontalis dan hemisfer nondominan.2Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi. Terjadi pada saudara laki-lakinya cenderung menjadi penyalahguna zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.1

Penelitian sitokin, suatu area baru studi ilmu neurologi dasar, dapat relevam dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lain. Sitokin adalah molekul pembawa.23. Faktor pencetus Termasuk peristiwa-peristiwa kehidupan dan menimbulkan stres (misal penyakit dan konflik antar pribadi.34. Faktor penunjang

Termasuk interaksi-interaksi antar pasien, keluarga dan dokter dan sistem sosial. Keuntungan finansial dan bentuk-bentuk lain keuntungan sekunder memperkuat somatisasi, demikian pula faktor-faktor iantrogenik seperti pengujian yang tidak perlu, efek samping obat, dan komplikasi pemeriksaan invasif.32.4 GAMBARAN KLINIS Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah mual, muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai nafas pendek (bukan karena olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Seringkali pasien beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang hidupnya.1

Gejala pseudoneurologik sering dianggap gangguan neurologik namun tidak patognomonik. Misalnya gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau sakit, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan, atau hilangnya kesadaran bukan karena pingsan. 1Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas dan depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien mengungkapkan keluhannya secara dramatik, dengan muatan emosi dan berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan manipulatif.1 2.5 DIAGNOSISDiagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak satupun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IIV-TR:

A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosoal, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.

B. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan pun selama perjalanan dari gangguan :

1. Empat gejala nyeri : riawayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat atau fungsi yang berbeda (mis: kepala abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama buang air kecil)

2. Dua gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal selain nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare, atau intoleransi beberapa makanan berbeda)

3. Satu gejala seksual : sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif selain nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tidak teratur, pendarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)

4. Satu gejala pseudoneurologik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan tenggorokan afonia, retensi urin, halusinansi, kehilangan sensasi rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif seperti amnesia, hilang kesadaran bukan karena pingsan )C. Salah satu dari 1) atau 2)

1. Setelah penelusuran yang sesuai tiap gejala pada kriteria B tak dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan efek langsung dari zat (mis: penyalahgunaan zat, karena medikasi)

2. Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboraturiumD. Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).

Diagnosis pasti gangguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:4a. Ada banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasarnya adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun;

b. tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya; c. terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampaak daari perilakunya.2.6 DIAGNOSA BANDINGKlinis selalu menyingkirkan keadaan medis nonpsikiatri yang dapat menjelaskan gejala pasien. Sejumlah gangguan medis sering menunjukkan kelainan yang sementara dan nosspesifik pada kelompok usia yang sama. Gangguan medis ini mencakup sklerosis multipel (MS), miastenia gravis, systemic lupus erythematosus (SLE), acquired immune deficiency syndrome (AIDS), porfiria akut intermiten, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, dan infeksi sistemik kronik. Awitan berbagai gejala somatik pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun harus dianggap disebabkan oleh keadaan medis nonpsikiatri sampai pemeriksaan medis yang mendalam telah dilengkapi. 2Banyak gangguan jiwa dipertimbangkan dalam diagnosis banding, yang dipersulit pengamatan bahwa sedikitnya 50% pasien dengan gangguan somatisasi juga memiliki gangguan jiwa lain bersamaan. Pasien dengan gangguan depresif berat, gangguan ansietas menyeluruh, dan skizifrenia semuanya dapat memiliki keluhan awal yang berpusat pada gejala somatik. Meskipun demikian pada semua gangguan ini, gejala depresi, ansietas atau psikosis akhirnya mendominasi keluhan somatik. Walaupun pasien dengan gangguan panik dapat mengeluhkan banyak gejala somatik yang berkaitan dengan serangan paniknya, mereka tidak terganggu oleh gejala somatik di antara serangan panik. Di antara semua gangguan somatoform, hipokondriasis, ganggguan konversi, dan gangguan somatisasi nyeri, pasien dengan hipokondriasis memiliki keyakinan salah bahwa mereka memiliki penyakit tertentu, sedangkan pasien dengan gangguan somatisasi mengkhawatirkan banyak gejala. Gejala gangguan konversi terbatas pada satu atau dua sistem neurologis bukannya gejala gangguan somatisasi yang sangat beragam. Gangguan nyeri terbatas pada satu atau dua keluhan gejala nyeri.2 2.7 PERJALANAN GANGGUAN DAN PROGNOSISGangguan somatisasi adalah gangguan bersifat kronik. Diagnosis biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja. Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan seksual seringkali berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala-gejala somatik. Sering terdapat hubungan antara periode meningkatnya stres dan memberatnya gejala somatiknya.1,2 2.8 TERAPI Penanganan sebaiknya dengan satu orang dokter, sebab apabila dengan beberapa dokter pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan somatiknya. Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus dilakukan untuk setiap keluhan somatik yang baru, dokter atau terapis harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medik.1 Meskipun demikian, pasien dengan gangguan somatisasi juga dapat memiliki penyakit fisik yang sesungguhnya, oleh sebab itu, dokter harus selalu menilai gejala mana yang harus diperiksa dan sampai seberapa jauh. Strategi jangka panjang yang yang beralasan untuk dokter di tempat pelayanan primer yang merawat pasien dengan gangguan somatisasi adalah meningkatnya kesadaran pasien akan kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala sampai pasien mampu menemui klinisi kesehatan jiwa. Pada kasus yang rumit dengan banyak tampilan medism psikiater lebih mampu menilai apakah harus mencari konsultasi medis atau eperasi berdasarkan kemampuan medisnya; meskipun demikian profesional kesehatan jiwa nonmedis juga dapat menggali hal psikologis sebelumnya dengan dokter. 2 Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran dana perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit. Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengeskpresikan emosi yang mendasari dan mengembangkan sretegi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya. 1Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid). Pengawasan ketat terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan berganti-ganti dan tidak rasional.1Berikut adalah penanganan pada gangguan somatisasi.5,61. Farmakoterapi

Tidak ada percobaan klinis terapi obat yang adekuat untuk somatisasi primer. Obat-obat yang yang efektif dalam situasi-situasi sebagai berikut :

a. Gejala-gejala spesifik yang sulit disembuhkan seperti nyeri kepala, mialgia, dan bentuk-bentuk penyakit kronik lainnya dapat hilang dengan antidepresan trisiklik. Demikian pula pasien-pasien cemas dengan terapi aprazolam, benzodiazepin, atau beta-bloker. Walaupun pasien-pasien tersebut tidak memnuhi kriteria gangguan panik atau kecemasan.

b. Obat-obat simtomatik murni (misal: analgetik, antasida) Konsultasi psikiatrik2. Konsultasi psikiatrik

Kita harus merujuk pasien pada suatu pelayanan hubungan konsultasi atau kepada seorang dokter ahli jiwa. Konsultasi mengakibatkan intervensi psikiatrik jangka pendek selain strategi-strategi penatalaksanaan yang dianjurkan oleh dokter di perawatan primer. Pasien dengan somatisasi kronik berat mungkin mendapatkan perbaikan dengan program-program terapi rawat inap.

3. Strategi penatalaksanaan

Terapi perilaku kognitif (CBT, cognitive behavior therapy) akan bermanfaat jika diadaptasi untuk keluhan somatisasi utama. Pasien mungkin perlu dibantu untuk mengenali dan mengatasi stresor sosial yang dialami.4 Terapi kognitif-behavioral, untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien. Teknik behavioral, terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara menyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Terapi ini dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder (keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan untuk menangani stress, dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan seseorang. Terapi ini berusaha untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya pada perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap yang mendasarinya.

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik :

1) Diberikan hanya bila indikasinya jelas

2) Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi

3) Anti anxietas dan antidepresan

Obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obatnya dengan tidak teratur dan tidak dipercaya. Pada pasien tanpa gangguan jiwa lain, sedikit data yang tersedia menunjukan bahwa terapi farmakologis efektif bagi mereka.2 BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboraturium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpah berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri.

Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-macam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah, biasanya sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun, dan menyebabkan disabilitas individu tersebut di masyarahat dan keluarga. Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang bersifat kronik dan progresif umumnya sedang sampai buruk.

Terapi gangguan somatisasi adalah dengan psikoterapi dan terapi psikofarmakologis. Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran dana perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit. Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengeskpresikan emosi yang mendasari dan mengembangkan sretegi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya.DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar Psikiatri. Jakarta: Penerbit FKUI; 2010.h. 287-90. 2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks synopsis of Psychiatry. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.h.268-70.3. Mangel MB. Dkk, Referensi Manual Kedokteran Keluarga, Editor edisi bahasa Indonesia, perpustakaan Nasional, Jakarta:2001 .h.701-709.4. Maslim R. Buku Saku diagnosis gangguan jiwa: Rujukan ringkasan dari PPDGJ III dan DSM-5: Jakarta; 2001.h.84.5. Maramis, WF. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga University Press : Surabaya.6. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current diagnosis and treatment in Psychiatry [Serial Online]. McGraw-Hill; 2008.13

top related