psikiatri refrat
Post on 25-Jan-2016
43 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini konsep kedokteran mengenai pengobatan gangguan psikotik
masih berputar pada penggunaan antipsikotik. Antipsikotik merupakan salah satu
obat golongan psikotropik. Obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk
terapi gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication). Menurut WHO (1966)
obat psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau
pengalaman. Psikotropik hanya mengubah keadaan jiwa penderita sehingga lebih
kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik.
Berdasarkan penggunaan klinik, psikoterapi dibagi menjadi 4 golongan
yaitu: (1) antipsikotik; (2) antianxietas; (3) antidepresi; dan (4) psikotogenik.
Antipsikotik atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik (major tranquilizer)
bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik. Antipsikotik bekerja dengan
menduduki reseptor dopamin , serotonin dan beberapa reseptor neurotransmiter
lainnya . Antipsikotik dibedakan atas antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi
pertama) antara lain klorpromazin, flufenazin, tioridazin, haloperidol; serta
antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) seperti klozapin, olanzapin,
risperidon dan lain sebagainya.
Obat antipsikotik tipikal tentunya memiliki efek samping yang perlu
diketahui agar pengobatan klinis dapat efisien dan sesuai dengan proporsi dan
tentunya agar mencapai target terapi. Untuk itu kita harus mengenali obat
1
antipsikotik ini terlebih dahulu, karena selain manfaatnya, antipsikotik juga
mempunyai kerugian yang menyertainya. Beberapa proses fisiologis dipengaruhi
oleh antipsikotik. Secara khusus, antipsikotik mempengaruhi SSP seperti
terjadinya gangguan dalam bergerak, efek sedasi, kejang dan beberapa efek
samping lainnya yang dapat mengganggu pasien seperti pengaruh dalam seksual
dan fungsi reproduksi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. OBAT ANTI PSIKOTIK TIPIKAL
1. DEFINISI
Sekelompok obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2) sering
dinamakan sebagai antipsikotik generasi pertama. Indikasi utama untuk
pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan gannguan psoikotik lainnya. Obat
antipsikotik juga dinamakan sebagai neuroleptik dan trankuiliser mayor.
Istilah “neuroleptik” menekankan efek neurologis dan motorik dari
sebagian besar obat. Istilah “trankuiliser mayor” secara tidak akurat menekankan
efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien dan dikacukan dengan obat
yang dinamakan trankuiliser minor seperti benzodiazepine.
Antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, suatu derivate phenotiazine
yang merupakan antagonis reseptor dopamine, adalah yang pertama dinamakan
antipsikotik klasik atau tipikal yang disintesis awal tahun 1950-an.
Diperkenalkannya obat antipsikotik merupakan revolusi terapi pasien skizofrenia
dan pasien psikotik serius lainnya. Pemakaian antipsikotik tipikal menghasilkan
perbaikan klinis yang bermakna pada kira-kira 50-75% pasien psikotik dan
hamper 90% pasien psikotik mendapatkan manfaat klinis dari obat tersebut.
2. KLASIFIKASI ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Adapun penggolongan dari antipsikotik tipikal dapat dilihat sebagai
berikut:
3
A. Derivat Fenotiazin
1. Rantai Aliphatic
- Chlorpromazine
Sediaan : 25-100 mg
Dosis anjuran : 150-600 mg/hari
Efek ekstrapiramidal (++), efek otonomik (+++), efek sedatif (+++),
efek hipotensi(++)
2. Rantai Piperazine
- Perphenazine
Sediaan : 2mg, 4 mg, 8 mg
Dosis anjuran : 12-24 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)
- Trifluoperazine
Sediaan : 1 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 10-15 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)
- Fluphezine
Sediaan : 2,5 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 10-15 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (++)
3. Rantai Piperidine
- Thioridazine
Sediaan : 50 mg, 100 mg
Dosis anjuran : 150-300 mg/hari
4
Efek ekstrapirimidal (+), efek otonomik (+++), efek sedatif (+++)
B. Derivat Butyrophenone
Haloperidol
Sediaan : 0,5 mg; 1,5 mg; 5 mg
Dosis anjuran : 5-15 mg/hr
Efek ekstrapirimidal (++++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)
C. Derivat Diphenyl butyl piperidine
Pimozide
Sediaan : 4 mg
Dosis anjuran : 2-4 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)
3. MEKANISME KERJA ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade dopamin
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem
ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonis), sehingga efektif untuk gejala
positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-
neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini
terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya
bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang
berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron-
neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari
5
sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus
anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat
pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang
berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik
tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.
Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2
khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga
dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,
dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan
dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan
terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan
menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik
dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur
6
nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,
mengontrol movements atau pergerakan.
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi
seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin
tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,
aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada
keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1)
juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat
bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.
4. EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine
ternyata memberi efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu,
berbagai antipsikotik juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan
histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang
ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek
samping baik endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat
memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan
7
efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya, penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua efek
samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup
pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .
A. Efek Samping Non neurologis
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan
dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan
perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi
segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada
gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes
yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan
karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk
mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50
tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan
magnesium.
2. Hipotensi ortostatik (postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic
yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya
chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari
pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan.
Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien
terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
8
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM),
tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis
pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang
efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan sangat membantu pasien
sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada pasien
yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan
membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi
volume dengan cairan sangat membantu. Pemberian epinefrin
dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan
norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.
Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak
menghambat adrenergic.
3. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat
pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada
hamper semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah
suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah
granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di
tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan
kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia,
radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi
dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.
Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung
9
darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan
terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera
dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura
trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang dapat
terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik.
4. Efek Antikolinergik Perifer
Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut
dan hidung kering, hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi
urin, dan midriasis. Beberapa pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat
antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine
adalah antikolinergik yang poten.
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan
dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering
membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau
permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan
infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi
harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta
preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi
ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau
penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin
berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin.
5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular
menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan
10
pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta
penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut
dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan
impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan
pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione,
dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga
dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis
adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang
paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat
badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah
kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan
antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi
kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah
dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai
proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan
tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih
dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan
11
chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari.
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila
diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek
tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan
dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi
kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif
ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa
anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3
kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi
granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak
mempengaruhi penglihatan pasien.
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang
relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus
muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian
atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan
peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika
ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan
terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi
pada fluphenazine dan trifluoperazine.
9. Overdosis Antipsikotik
12
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis,
penurunan reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis
yang parah adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi
overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif (activated
charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi
kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan
terapi overdosis antipsikotik atipikal.
B. Efek Samping Neurologis
Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang
mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius.
Efek neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal.
Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada
DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok
tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi.
1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik
Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien
yang diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-90 hari
setelah awal terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau
rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel
rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes.
Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang
terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor
esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat
13
medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek
ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara
alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat
membiasakan diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng,
bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan
terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering
didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada
skizofrenia.
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme
akibat neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun
jarang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat
menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan
aktivitas antikolinergik yang rendah. Kemungkinan chlorpromazine dan
thioridazine kemungkinan tidak terlibat. Penghambatan transmisi
dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme
akibat neuroleptik.
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian
obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus
dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira
50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan
terapi.
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala
parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3
14
bulan sehingga perlu meneruskan pemberian antikolinergik setelah
menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih sepenuhnya.
2. Distonia Akut akibat Neuroleptik
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi
antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi
dalam beberapa jam atau hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan
oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat
menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher (tortikolis
atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan
dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan
tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis okulorigik,
ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe distonia
lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia
lain berupa blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan diartria,
disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis.
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin
tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada
semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi
tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas
dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP
mulai menurun diantara pemberian dosis.
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan
biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi
profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau
15
diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hamper selalu menghilangkan gejala.
Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan
hipnosis dilaporkan juga efektif.
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan
yang dapat terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Gejala
motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme,
obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan
peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium
adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati,
mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal
ginjal.
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan
peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana
antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik
potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat
potensi tinggi.
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor
dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling
menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur
biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek
merugikan tersebut dapat terjadi.
16
6. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi
terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi
pupil. Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah
pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian physostigmine
(antilirium, Eserine) 2 mg malalui infuse IV lambat, diulangi dalam satu jam
seperlunya. Terlalu banyak physostigmine juga membahayakan. Gejala
toksisitas physostigmine adalah hipersalivasi dan berkeringat. Atropin sulfat
(0,5 mg) dapat membalikkan physostigmine.
B. OBAT ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
1. DEFINISI
Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik
generasi kedua, adalah kelompok obat penenang antipsikotik digunakan untuk
mengobati kondisi jiwa. Beberapa antipsikotik atipikal yang disetujui FDA untuk
digunakan dalam pengobatan skizofrenia. Beberapa disetujui FDA untuk indikasi
mania akut, depresi bipolar, agitasi psikotik, pemeliharaan bipolar, dan indikasi
lainnya. Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir reseptor dalam jalur
dopamin otak, tetapi antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal karena
cenderung dapat menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien, yang
meliputi penyakit gerakan parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak
terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh yang abnormal bisa menjadi permanen obat
bahkan setelah antipsikotik dihentikan.
2. JENIS-JENIS OBAT ATIPIKAL
17
Berikut ini adalah antipsikotik atipikal :
• Amisulpride
• Aripiprazole
• Asenapine
• Blonanserin
• Clotiapine
• Clozapine
• Iloperidone
• Mosapramine
• Olanzapine
• Paliperidone
• Perospirone
• Quepin
• Quetiapine
• Remoxipride
• Risperidone
• Sertindole
• Sulpiride
• Ziprasidone
• Zotepine
3. FARMAKOLOGI ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
Mekanisme kerja dari antipsikotik atipikal sangat berbeda tiap obatnya.
Antipsikotik mengikat reseptor secara bervariasi, sehingga antipsikotik hanya
memiliki kesamaan efek anti-psikotik, efek sampingnya sangat bervariasi. Tidak
18
jelas mekanisme di belakang aksi antipsikotik atipikal. Semua antipsikotik bekerja
pada sistem dopamin tapi semua bervariasi dalam hal afinitas ke reseptor
dopamin.
Ada 5 jenis reseptor dopamin pada manusia. Kelompok "D1-like"
contohnya tipe 1 dan 5, mirip dalam struktur dan sensitivitas obat. Kelompok "D2-
like" termasuk reseptor dopamin 2, 3 dan 4 dan memiliki struktur yang sangat
serupa tetapi sensitivitas sangat berbeda. reseptor "D1-like" telah ditemukan
bahwa tidak secara klinis relevan dalam tindakan terapeutik.
Jika reseptor D1 merupakan komponen penting dari mekanisme AAP,
memblokir reseptor D1 hanya akan meningkatkan gejala psikiatri yang tampak.
Jika reseptor D1 mengikat komponen penting dari antipsikotik, reseptor D1 perlu
ada dalam pemeliharaan dosis. Ini tidak terlihat. D-1 tidak ada atau mungkin ada
dalam jumlah rendah atau dapat diabaikan, bahkan tidak mempertahankan
penghapusan gejala yang terlihat.
Kelompok reseptor dopamin "D2-like" diklasifikasikan berdasarkan
strukturnya, bukan berdasarkan sensitivitas obat. Telah ditunjukkan bahwa
blokade reseptor D2 diperlukan untuk tindakan. Semua antipsikotik mengeblok
reseptor D2 sampai taraf tertentu, tetapi afinitas antipsikotik bervariasi antar obat.
Afinitas yang bervariasi menyebabkan perubahan pada efektivitas.
Satu teori bagaimana antipsikotik atipikal bekerja adalah teori "cepat-off".
AAP memiliki afinitas rendah untuk reseptor D2 dan hanya mengikat pada
reseptor secara longgar dan cepat dilepaskan. AAP secara cepat mengikat dan
memisahkan dirinya pada reseptor D2 untuk memungkinkan transmisi dopamin
19
normal. Mekanisme pengikat sementara ini membuat tingkat prolaktin normal,
kognisi tidak terpengaruh, dan menyingkirkan EPS.
Dari sudut pandang historis telah ada penelitian terhadap peran serotonin
dan pengobatan dengan menggunakan antipsikotik. Pengalaman dengan LSD
menunjukkan bahwa blokade reseptor 5-HT2A mungkin merupakan cara yang
menjanjikan untuk mengobati skizofrenia.Satu masalah dengan hal ini adalah
kenyataan bahwa gejala psikotik yang disebabkan oleh agonis reseptor 5-HT2
berbeda secara substansial dari gejala-gejala psikosis skizofrenia. Salah satu
faktor yang menjanjikan ini adalah tempat reseptor 5-HT2A terletak di otak.
Mereka terlokalisasi pada sel-sel hipokampus dan korteks piramidal dan memiliki
kepadatan yang tinggi di lapisan neokorteks lima, tempat masukan dari berbagai
daerah otak kortikal dan subkortikal terintegrasi.
Pemblokiran reseptor area ini menarik mengingat daerah-daerah di otak
yang menarik dalam pengembangan skizofrenia.Bukti menunjukkan fakta bahwa
serotonin tidak cukup untuk menghasilkan efek antipsikotik tetapi aktivitas
serotonergik dalam kombinasinya dengan blokade reseptor D2 mungkin untuk
menghasilkan efek antipsikotik. Terlepas dari neurotransmiter, AAP memiliki
efek pada obat-obatan antipsikotik muncul untuk bekerja dengan menginduksi
restrukturisasi jaringan saraf. Mereka mampu mendorong perubahan-perubahan
struktur.
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA)
atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi
anatar serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang
menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi
20
gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat
memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG II yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia.
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara serotonin dan dopamin.
APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan
demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas
menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini
menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan
dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan
APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak
dari reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor
5HT2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas
jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal
berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat
21
mempengaruhi blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade
reseptor D2 menang. Hal ini yang menyebabkan APG II dapat memperbaiki
gejala positif. Pada keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan
dari dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter
serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol
sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan
prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian
APG II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga
menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan
prolaktin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.
4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi
jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok,
akan terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut
extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia,
dystonia (terutama pada wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau
bradikinesia.
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu: 4
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya
pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
22
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG I.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.
3.1. CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan
timbulnya EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi
peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang
telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal
bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik
yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak,
yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang
berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (daerah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin).
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan
skizofrenia baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest
dan incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu
2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya.
Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selama
pengobatan. Selain itu, karena resiko efek samping EPS yang sangat rendah, obat
23
ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala EPS yang berat bila diberikan
antipsikosis yang lain. Namun, karena clozapin memiliki efek resiko
agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yag lain, maka
pengunaannya di batasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat
mentoleransi antipsikosis lain. Pasien yang diberi clozapine perlu di pantau sel
darah putihnya setiap minggu.
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna
pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam
setelah pemberian obat. Clozapine secara ekstensif diikat protein plasma (>95%),
obat ini di metabolisme hampir sempurna sebelum dieksresi lewat urin dan tinja
(30% melaui kantong empedu dan 50% melaui urine), dengan waktu paruh rata-
rata 11,8 jam sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. 6 Distribusi
dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya
afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A
sehingga cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS.
Pada reseptor D4 afinitasnya lebig tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik
lainnya, dimana reseptor D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada daerah
striatal. Hal ini lah yang membedakan clozapine dengan APG I.
Dosis :
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan
pemberian terbagi.
- Dosis maksimal 600 mg / hari.
- Sediaan yang ada di pasaran tablet 25 mg dan 100 mg
24
Efek samping
1. Agranulositosis
Risiko agranulositosis akibat pemberian klozapin sebesar 0,73% pada
tahun pertama pengobatan, dan menjadi 0,07% pada tahun ke-2. Risiko ini
[aling besar pada 3 bulan pertama pengobatan. Pada pasien dengan
agranulositosis karena klozapin, ditemukan hasil laboratorium berupa
jumlah netrofil absolut<500sel/mm2 atau leukosit <1000 sel/mm2.
2. Sialorrhea
Pasien dengan efek samping sialorrhea akan mengalami hipersalivasi pada
saat tidur. Efek samping ini hanya berlangsung saat awal pengobatan.
3. Sistem kardiovaskular
Efek samping kardiovaskular pada pemberian klozapin yang paling sering
adalah takikardia, hipotensi postural dan aritmia. Takikardia kemingkinan
disebabkan karena efek vagolitik dari klozapin. Klozapin dapat
menyebabkan perubahan pada gambaran EKG, berupa pemanjangan QT
interval yang dapat mengakibatkan aritmia ventrikular. Posturalhipotensi
terjadi ketika dosis pemberian klozapin > 75mg/hari.
4. Efek samping perifer antikolinergik
Efek samping perifer antikolinergik pada pemberian klozapin berupa:
mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, dan retensi urin.
5. Gangguan pengaturan temperatur tubuh
Hipertermia terjadi pada awal pengobatan. Namun, perlu dievaluasi untuk
keberadaan penyebab hipertermia lainnya, seperti infeksi, heat stroke,
dehidrasi, dan lain-lain.
25
6. Peningkatan berat badan
Penihnngkatan berat badan terjadi sebanyak 4,45 kg dalam 10 minggu.
Menurut penelitian, berat badan pasienakan terus naik dalam jangka waktu
5 tahun.
7. Diabetes mellitus
Peningkatan berat badan dapat memicu terjadinya resistensi insulin.
Akibatnya, risiko diabetes mellitus tipe 2 akan meningkat. Kasus diabets
biasanya muncul setelah 6 bulan terapi klozapin.
8. Gangguan gastrointestinal
Konstipasi kemungkinan terjadi karena efek antimuskarinik klozapin dan
dapat berujung pada obstruksi saluran cerna.
9. Efek pada urogenital
Efek samping urogenital akibat pemberian klozapin berupa gangguan
berkemih.
10. Efek ekstrapiramidal
Efek samping ekstrapiramidal klozapin merupakan yang paling rendah di
antara antipsikotik lainnya. Akatisia sebanyak 6%, tremor 6%, rigiditas
5%. Tidak ditemukan adanya distonia akut dan diskinesia tardif.
11. Sindrom neuroleptik maligna
Sindrom ini hanya muncul ketika klozapin dikombinasikan dengan litium.
Karena efek samping klozapin mirip dengan sindrom ini, tenaga medik
perlu waspada munculnya sindrom ini di tengah pengobatan dengan
klozapin.
12. Kejang
26
klozapin menurunkan ambang batas kejang dan meningkatkan risikonya
seiring dengan meningkatnya dosis.
Kontra indikasi :
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.
- Gangguan fungsi Sumsum tulang.
- Epilepsi yang tidak terkontrol.
- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.
- Intoksikasi obat.
- Koma.
- Kollaps sirkulasi.
- Depresi SSP.
- Ganguan jantung dan ginjal berat.
- Gangguan liver.
3.2. RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA
(Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Rumus
kimianya adalah benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di usus tidak di
pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada
dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat
mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan
sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian riperidone masih
diizinkan dalam dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang kecil
27
dihentikan, misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan
perilaku yang di hubungkan dengan demensia.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP
2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4.
Hydroxyrisperidone mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang
setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperiodne
dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini
menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian
bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk
meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini
dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4
sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama
carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah.
Indikasi :
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).
Dosis :
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg,
ditingkatkan sp 1 – 2 mg dengan 2 x pemberian.
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal,
jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.
28
Efek samping
1. Efek ekstrapiramidal bergantung dosis
efek ekstrapiramidal pada risperidon bergantung pada dosisnya. Dosis
batas aman risperidon dari efek samping ekstrapiramidal adalah 6 mg/hari.
Namun, terkadang dengan rentang dosis 4 mg – 16 mg/hari masih muncul
akatisia. Dosis terbaik untuk mencegah munculnya efek samping ini
adalah 2 – 4 mg.
2. Peningkatan prolactin plasma
karena risperidon memiliki affinitas yang lumayan kuat terhadap reseptor
D2, salah satu efek yang muncul adalah hiperprolaktinemia, yang dapat
berujung pada galaktorrhea, gangguan menstruasi pada perempuan dan
disfungsi seksual pada laki-laki.
3. Sindrom neuroleptik maligna
risperidon dapat menginduksi munculnya sindrom neuroleptik maligna,
tetapi dengan risiko yang rendah.
3.3. OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan
dibenobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5-6 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 30
jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari.
Olanzapine merupakan antagonis monoaminergik selektif yang
mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin
(5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor
29
kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan
reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di
sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita
yang merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan
fluvoxamine atau antibiotik ciprofloxacin. Afinitas lemah pada sitokrom P450 hati
sehingga pengaruhnya terhadap metabolisme obat lain rendah dan pengaruh obat
lain minimal terhadap konsentrasi olanzapine.
Eliminasi waktu paruh dari olanzapine memanjang pada penderita usia
lanjut. Cleareance 30% lebih rendah pada wanita dibanding pria, hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan efektivitas dan efek samping antara wanita
dan pria. Sehingga perlu modifikasi dosis yang lebih rendah pada wanita.
Cleareance olanzapine meningkat sekitar 40% pada perokok dibandingkan yang
tidak merokok, sehingga perlu penyesuaian dosis yang lebih tinggi pada penderita
yang merokok.
Indikasi :
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.
-
Dosis :
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.
Efek samping
30
1. Peningkatan berat badan
Olanzapin meningkatkan berat badan dan kadar trigliserid serum pada
dosis 2,8 mg/hari. Penggunaan olanzapin berhubungan dengan penngkatan
5 kali lipat risiko munculnya hiperlipidemia.
2. Diabetes mellitus
Hiperglikemia dan diabetes mellitus berhubunagn dengan efek samping
potensial penggunaan olanzapine. Pada studi, terdapat 237 pasien yang
mengalami hiperglikemia dan diabetes terkait olanzapin. Ketika pemberian
olanzapin dihentikan, 78% pasein mencapai kontrol glikemik yang baik.
Di Jepang, olanzapine dikontraindikasikan bagi pasien dengan riwayat
diabetes.
3.4. QUETIAPINE
Struktur kimia yang mirip dengan clozapine, masuk dalam kelompok
dibenzodiazepine derivates. Absorpsinya berlangsung cepat setelah pemberian
oral, konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 1,5 jam setelah pemberian.
Metabolisme terjadi di hati, pada jalur sulfoxidation dan oksidasi menjadi
metabolit tidak aktif dan waktu paruhnya 6 jam.
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A),
reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan
α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.
Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu
penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
31
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,
carbamazepin dan antijamur ketokonazole.
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan
mood. Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi
pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian
pada pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk
mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural. Dimulai dengan dosis 50 mg
per hari selama 4 hari, kemudian dinaikkan menjadi 100 mg selama 4 ahri,
kemudian dinaikkan lagi menjadi 300 mg. Sete;ah itu dicari dosis efektif antara
300-450 mg/hari.
Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi postural,
pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi.
3.5. ZIPRASIDONE
APG II dengan struktur kimia yang baru, obai ini belum tersedia di
Indonesia. Ziprasidone merupakan antipsikotik dengan efek antagonsis antara
reseptor 5HT2A dan D2. Berinteraksi juga denga reseptor 5HT2C, 5HT1D dan 5HT1A,
afinitasnya pada reseptor ini sama atau lebih besar dari afinitas pada reseptor D2.
Afinitas sedang pada reseptor histamin dan α1. Ziprasidone tidak bekerja pada
muskarinik (M1).
Ziprasidone juga antipsikotik yang mempunyai mekanisme kerja yang
unik karena menghambat pengambilan kembali (reuptake) neurotransmiter
serotonin dan norepineprine di sinaps. Obat ini efektif digunakan untuk gejala
negatif dan penderita yang refrakter dengan antipsikotik. Obat ini aman diberikan
pada penderita usia lanjut.
32
Absorpsi ziprasidone akan meningkat dengan adanya makan, tetapi tidak
dipangruhi oleh usia, jenis kelamin, gangguan fungsi hati atau ginjal. Konsentrasi
plasma puncak dicapai dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian oral dengan waktu
paruh obat rata-rata 5-10 jam, sehingga pemberiannya 2 kali sehari. Metabolsime
ziprasidone melalui hati, sebagian besar pada isoenzim CYP 3A4 dan sebagian
kecil di CYP 1A2. Mekanisme kerja farmakologik diperkirakan pro-serotonergik
dan pro-noradregenik sehingga di prediksi dapat bekerja sebagai antidepresan dan
ansiolitik. Efikasi dari ziprasidone terjadi pada dosis 80-160 mg/hari, untuk
pengobatan terhadap gejala positif, negatif, dan depresif pada pasien skizofrenia.
Dosis intial yang aman diberikan tanpa dosis titrasi adalah sebesar 40 mg
perhari. Pemberiannya akan semakin efektif bila bersamaan dengan makanan.
Dosis pemeliharaan berkisar antara 40-60 mg per hari.
Terjadinya efek samping EPS rendah dan tidak terjadi peningkatan kadar
prolaktin. Efek samping yang dijumpai selama uji klinis adalah somnolen (14%),
peningkatan berat badan (10%), gangguan pernafasan (8%), EPS (5%), dan
bercak-bercak merah di kulit (4%). Peningkatan berat badan sangat kecil atau
dapat dikatan tidak ada, karena bekerja sangat lemah pada reseptor AH1 walaupun
bekerja juga sebagai antagonis pada reseptor 5HT2c. Ziprasidone tidak
menyebabkan gangguan jantung.
3.6. ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis
pada reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor
serotonin 5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-
33
dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya
lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter
dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter
dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin.
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6
dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini
mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari
keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga
pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi
plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole
sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai
keluhan dispepsia, mual dan muntah.
Indikasi :
- Skizofrenia.
Dosis :
- 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
34
4. EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai antipsikotik
atipikal bervariasi dan spesifik pada masing-masing obat. Secara umum,
antipsikotik atipikal diharapkan memiliki kemungkinan lebih rendah untuk
terjadinya tardive dyskinesia daripada antipsikotik tipikal. Namun, tardive
dyskinesia biasanya berkembang setelah penggunaan antipsikotik jangka panjang
(mungkin beberapa dekade). Tidak jelas, kemudian, jika antipsikotik atipikal,
yang telah di gunakan untuk waktu yang relatif singkat, menghasilkan insiden
tardive dyskinesia yang lebih rendah.
Akathisia lebih cenderung kurang intens dengan obat daripada antipsikotik
tipikal. Walaupun banyak pasien akan membantah klaim ini. Pada tahun 2004,
Komite untuk Keselamatan Obat-obatan (CSM) di Inggris mengeluarkan
peringatan bahwa olanzapine dan risperidone tidak boleh diberikan kepada pasien
lansia dengan demensia, karena peningkatan risiko stroke. Kadang-kadang
antipsikotik atipikal dapat menyebabkan perubahan abnormal pada pola tidur, dan
kelelahan ekstrim dan kelemahan.
Pada tahun 2006, USA Today mempublikasikan sebuah artikel tentang
efek obat antipsikotik pada anak-anak. Tak satu pun dari antipsikotik atipikal
(Clozaril, Risperdal, Zyprexa, Seroquel, Abilify, dan Geodon) telah disetujui
untuk anak-anak, dan ada sedikit penelitian tentang dampaknya pada anak-anak.
Dari 2000-2004, ada 45 kematian dilaporkan, di mana sebuah antipsikotik atipikal
tercatat sebagai tersangka utama. Ada juga 1.328 laporan efek samping yang
serius, dan kadang-kadang mengancam kehidupan. Ini termasuk tardive
dyskinesia dan distonia.
35
Beberapa efek samping lain yang telah diusulkan adalah bahwa
antipsikotik atipikal meningkatkan resiko penyakit jantung.Penelitian Kabinoff et
al mengatakan peningkatan penyakit kardiovaskular dilihat terlepas dari perlakuan
yang mereka terima, melainkan disebabkan oleh berbagai faktor seperti gaya
hidup atau diet .Efek samping seksual juga telah dilaporkan. Antipsikotik
mengurangi gairah seksual laki-laki, merusak performa seksual dengan kesulitan
utama berupa kegagalan untuk ejakulasi. Pada wanita mungkin ada siklus haid
normal dan infertilitas. Pada laki-laki dan perempuan mungkin payudara
membesar dan kadang-kadang akan mengeluarkan cairan dari puting.
EFEK SAMPING NEUROLOGIK OBAT NEUROLEPTIK
EFEKGAMBARAN
KLINIS
WAKTU
RESIKO
MAKSIMAL
MEKANISME PENGOBATAN
Distonia akut
Spasme otot
lidah, wajah,
leher,
punggung ;
dapat
menyerupai
bangkitan ;
bukan histeria
1-5 hariBelum
diketahui
Dapat diberikan
berbagai pengobatan,
obat anti Parkinson
bersifat diagnostik dan
kuratif
Akatisia
Ketidak-
tenangan,
motorik, bukan
ansietas atau
agitasi
5-60 hariBelum
diketahui
Kurangi dosis atau ganti
obat; obat anti
Parkinson,
benzodiazepin, atau
propanolol
Parkinsonisme Bradikinesia,
rigiditas,
macam-macam
5-30 hari Antagonisme
dengan
dopamin
Obat anti Parkinson
menolong
36
tremor, wajah
topeng, suffling
gait
Sindroma
malignan
Katatonik,
stupor, demam,
tekanan darah
tidak stabil,
mioglobinemia,;
dapat fatal
Berminggu-
minggu,
dapat
bertahan
beberapa hari
setelah obat
dihentikan
Ada kontribusi
antagonisme
dengan
dopamin
Hentikan neuroleptik
segera; dantrolene atau
bromokriptin dapat
menolong; obat anti
Parkinson lainnya tidak
efektif
Tremor
perioral
(sindroma
kelinci)
Tremor perioral
(mungkin
sejenis
perkinsonisme
yang dating
terlambat)
pengobatan
Setelah
berbulan-
bulan atau
bertahun-
tahun
Belum
diketahui
Obat antiparkinson
sering menolong
Diskinesia
tardif
Diskinesia
mulut-wajah;
koreoatetosis
atau distonia
meluas
Setelah
berbulan-
bulan atau
bertahun-
tahun
(memburuk
dengan
penghentian)
Diduga :
kelebihan efek
dopamin
Sulit dicegah,
pengobatan tidak
memuaskan
SEDIAAN ANTIPSIKOSIS DAN DOSIS ANJURAN
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis
Anjuran
1 Chlorpromazine LARGACTIL Tab. 25 mg, 100 150-600
37
PROMACTIL
MEPROSETIL
ETHIBERNAL
mg
Amp.25 mg/ml
mg/h
2 Haloperidol SERENACE
HALDOL
GOVOTIL
LODOMER
HALDOL DECA-
NOAS
Tab. 0,5 mg,
1,5&5 mg
Liq. 2 mg/ml
Amp. 5 mg/ml
Tab. 0,5 mg, 2 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Amp. 50 mg/ml
5-15 mg/h
50 mg / 2-4
minggu
3 Perphenazine TRILAFON Tab. 2 mg, 4&8
mg
12-24 mg/h
4 Fluphenazine
Fluphenazine-
decanoate
ANATENSOL
MODECATE
Tab. 2,5 mg, 5 mg
Vial 25 mg/ml
10-15 mg/h
25 mg / 2-4
minggu
5 Levomepromazine NOZINAN Tab.25 mg
Amp. 25 mg/ml
25-50 mg/h
6 Trifluoperazine STELAZINE Tab. 1 mg, 5 mg 10-15 mg/h
7 Thioridazine MELLERIL Tab. 50 mg, 100
mg
150-600
mg/h
8 Sulpiride DOGMATIL –
FORTE
Tab. 200 mg
Amp. 50 mg/ml
300-600
mg/h
38
9 Pimozide ORAP FORTE Tab. 4 mg 2-4 mg/h
10 Risperidone RISPERDAL
NERIPROS
NOPRENIA
PERSIDAL-2
RIZODAL
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 2 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab 2-6 mg/h
11 Clozapine CLOZARIL Tab. 25 mg, 100
mg
25-100 mg/h
12 Quetiapine SEROQUEL Tab. 25 mg, 100
mg, 200 mg
50-400 mg/h
13 Olanzapine ZYPREXA Tab. 5 mg, 10 mg 10-20 mg/h
BAB III
KESIMPULAN
Obat antipsikotik tipikal yang juga disebut obat neuroleptik atau mayor
transkuilizer merupakan golongan obat psikotropik yang bekerja menghambat
39
reseptor dopamine tipe 2 (D2). Obat antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik
generasi pertama yang terdiri dari tiga golongan yaitu golongan fenotiazin
(chlorpromazine, trifluoperazine, fluphenazine, perphenazine), golongan
butyrophenone (haloperidol) dan golongan diphenyl-butyl-piperidine (pimozide).
Obat-obat antipsikotik tipikal bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine
di otak, dengan target untuk menurunkan gejala-gejala psikotik seperti halusinasi,
waham dan lain-lain. System dopamine yang terlibat yaitu system nigrostriatal,
sistem mesolimbokortikal, dan sistem tuberoinfundibuler. Karena kerja yang
spesifik ini maka dapat diperkirakan efek samping yang mungkin timbul bila
sistem-sistem tersebut mengalami hambatan yang berlebih. Bila hambatan pada
system nigrostriatal berlebihan maka akan terjadi gangguan terutama pada
aktivitas motorik, sedangkan system mesolimbokortikal mempengaruhi fungsi
kognitif, dan fungsi endokrin terganggu bila system tuberoinfundibuler terhambat
berlebihan.
Efek samping antipsikotik dapat dikelompokkan menjadi efek samping
neurologis dan nonneurologis. Efek samping neurologis berupa sindrom
parkinson, akatisia, distonia, sindrom neuroleptik maligna, tardive dyskinesia.
Sedangkan efek samping nonneurologis berupa efek pada kardiovaskuler,
hipotensi ortostatik, kematian mendadak, efek endokrinologi, efek dermatologi,
efek antikolinergik perifer dan sebagainya.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Culpepper, L. (2007) A Roadmap to Key Pharmacologic Principles in
Using Antipsychotics, Primary Care Companion To The Journal of
Association of Medicine and Psychiatry 9(6) 444-454 Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2139919/
41
2. Farah A (2005). "Atypicality of atypical antipsychotics". Prim Care
Companion J Clin Psychiatry7 (6): 268–74. doi:10.4088/PCC.v07n0602.
PMID 16498489. PMC
1324958. http://www.psychiatrist.com/pcc/redirect/v07n06p268.htm
3. Seeman P (February 2002). "Atypical antipsychotics: mechanism of
action". Can J Psychiatry47 (1): 27–38. PMID 11873706.
4. Jones PB, Barnes TR, Davies L, et al. (2006). "Randomized controlled
trial of the effect on Quality of Life of second- vs first-generation
antipsychotic drugs in schizophrenia: Cost Utility of the Latest
Antipsychotic Drugs in Schizophrenia Study (CUtLASS 1)". Arch. Gen.
Psychiatry63 (10): 1079–87. doi:10.1001/archpsyc.63.10.1079. PMID
17015810.
5. Horacek, J., Bubenikova-Valeova, V., Kopecek, M., Palenicek, T.,
Dockery, C., Mohr, P. & Höschl, C. (2006) Mechanism of Action of
Atypical Antipsychotic Drugs and the Neurobiology of Schizophrenia,
CNS Drugs 20(5) 389-405 Retrieved from Psychology and Behavioral
Sciences Collection database.
6. McKim, W. (2007) Antipsychotics in Drugs and Behavior: An
Introduction to Behavioral Pharmacology (pp.241–260). Upper Saddle
River, NJ.: Pearson Prentice Hall
7. Horacek, J., Bubenikova-Valeova, V., Kopecek, M., Palenicek, T.,
Dockery, C., Mohr, P. & Höschl, C. (2006) Mechanism of Action of
Atypical Antipsychotic Drugs and the Neurobiology of Schizophrenia,
42
CNS Drugs 20(5) 389-405 Retrieved from Psychology and Behavioral
Sciences Collection database.
8. McKim, W. (2007) Antipsychotics in Drugs and Behavior: An
Introduction to Behavioral Pharmacology (pp.241–260). Upper Saddle
River, NJ.: Pearson Prentice Hall
43
top related