prof. dr. thomas djamaluddin:“perbedaan itu rahmat, tetapi kesatuan lebih menentramkan”
Post on 10-Mar-2016
220 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
Revisi-PL2/Wawancara/B/2010 Tristia Riskawati
210110090293
Prof. Dr. Thomas Djamaluddin:
“Perbedaan itu Rahmat, Tetapi Kesatuan
Lebih Menentramkan”
Pemerintah menetapkan Iduladha (Lebaran Haji) 10 Zulhijah 1431 H/2010 M jatuh pada Rabu
(17/11) karena awal Zulhijah 1431 jatuh pada hari Senin (18/11). Demikian hasil keputusan
sidang isbat yang dipimpin Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Nasaruddin
Umar di Gedung Kemenag Jln. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (8/11).
Jika pemerintah memutuskan Iduladha 17 November, Muhammadiyah justru
menetapkannya hari Selasa, 16 November 2010. Alasannya, karena awal Zulhijah jatuh pada
Minggu, 7 November 2010. Pemerintah Arab Saudi juga menetapkan Iduladha tanggal 16
November 2010.
Nasaruddin mengajak semua pimpinan ormas (organisasi masyarakat) agar
menyikapi perbedaan yang terjadi pada Iduladha tahun ini dengan bijaksana. Hal senada
disampaikan Umar Shihab. “Umat Islam Indonesia walaupun selalu berikhtiar mencapai satu
titik temu, tetapi sudah terbiasa dengan perbedaan karena tetap dibingkai dalam ukhuwah
yang berkualitas,” kata Shihab.
“Perbedaan sebagai suatu keindahan. Kami mohon kepada para pimpinan ormas
Islam agar betul-betul dan penuh kekhusyuan meyakini sebagai suatu kebenaran,” kata
Nasruddin.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag, yang juga Kepala
Badan Hisab dan Rukyat Kemenag Rohadi Abdul Fattah mengatakan, hasil pengamatan hilal
awal Zulhijah 1431 H yang dilakukan Badan Hisab dan Rukyat Kemenag dan beberapa ormas
di seluruh Indonesia pada Sabtu (16/11) lalu menyimpulkan, hilal tidak terlihat. Adapun
2
konjungsi awal Zulhijah terjadi pada Sabtu (16/11) bertepatan dengan tanggal 29 Zulkaidah
pada pukul 11.25 WIB (Pikiran Rakyat, 9/11)
Sebenarnya, apakah yang menyebabkan perbedaan dalam penetapan waktu
beribadah antar umat ini, baik hari raya Iduladha maupun penentuan awal bulan? Bagaimana
perhitungan untuk menentukan awal bulan dalam kalender Qamariyah? Mengapa kriteria
yang ditentukan masing-masing ormas dapat berbeda? Apa sajakah upaya pemerintah dalam
menyamakan persepsi antar ormas? Kemudian, bagaimana tindakan yang tepat bagi umat
Muslim Indonesia dalam menyikapi perbedaan ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut mahasiswa Jurusan Jurnalistik
Fikom Unpad angkatan 2009, Tristia Riskawati, mewawancarai Prof. Dr. Thomas
Djamaluddin, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Minatnya
terhadap astronomi diawali dari banyak membaca cerita tentang Unindentified Flying Object
(UFO), sehingga ia menggali lebih banyak pengetahuan tentang alam semesta dari
Encyclopedia Americana dan buku-buku lainnya yang tersedia di perpustakaan SMA. Lulus
dari ITB (1986), Thomas kemudian masuk LAPAN Bandung sebagai peneliti antariksa. Pada
tahun 1988 – 1994, Thomas mendapat kesempatan tugas belajar program S2 dan S3 di
Department of Astronomy, Kyoto University, Jepang, dengan beasiswa Monbusho. Tesis
master dan doktornya berkaitan dengan materi antarbintang dan pembentukan bintang.
Terkait dengan kegiatan penelitiannya, saat ini ia menjadi anggota Himpunan
Astronomi Indonesia (HAI), International Astronomical Union (IAU), dan National Committee
di Committee on Space Research (COSPAR), serta anggota Badan Hisab Rukyat (BHR),
Kementerian Agama RI dan BHR Daerah Provinsi Jawa Barat. Lebih dari 50 makalah ilmiah,
100 tulisan populer, dan lima buku baik tentang astronomi maupun keislaman telah
dipublikasikannya.
Berikut petikan wawancara Tristia Riskawati dengan Thomas Djamaluddin di LAPAN,
Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung, pada Rabu (17/08/2010) sore:
Saya menanyakan kepada beberapa orang awam tentang arti hilal dan saya mendapatkan
jawaban: “Hilal itu bulan sabit yang sangat tipis sekali. Biasanya terdapat pada awal
bulan.” Adakah definisi yang lebih tepat dari hilal menurut sudut pandang astronomi?
3
Memang betul. Hilal itu adalah bulan sabit yang sangat tipis sekali, dapat dikatakan sebagai
bulan sabit yang pertama kali bisa dilihat. Ukurannya sangat tipis, bentuknya bukan
lengkungan sempurna, dan itu menjadi dasar penentuan bulan qamariyah (penentuan bulan
yang didasarkan pada rotasi bulan.red).
Jadi, untuk setiap pergantian bulan dalam kalender Qamariyah, ditentukan lewat hilal?
Iya. Jadi, pada dasarnya, untuk kepentingan ibadah yang mensyaratkan adanya hilal itu
memang harus dilakukan rukyat (pengamatan.red). Tapi memang kalau hanya sekedar untuk
membuat kalender tahunan Islam itu cukup dilakukan dengan perhitungan.
Perhitungan dengan cara apa yang Anda maksud?
Perhitungan yang dilakukan adalah dengan menentukan ketinggian dan jarak bulan dari
matahari. Kemudian juga dilakukan perhitungan persentase ketebalan hilal, dan umur hilal.
Tapi biasanya yang dijadikan patokan ahli hisab itu hanya masalah ketinggian dari hilal
tersebut.
Berapa hari hilal di langit dapat bertahan?
Dalam pergerakan bulan mengitari bumi, setiap harinya terdapat bulan sabit akan berubah-
ubah bentuknya. Jadi hilal itu hanya merupakan ketampakan bulan sabit yang sangat tipis
dan itu hanya terjadi pada hari pertama.
Bisakah Anda menjelaskan proses rotasi bulan dalam rentang waktu satu bulan
perhitungan Qamariyah?
Ya, jadi selanjutnya pada hari kedua bulan hijriah, itu tidak lagi disebut hilal, tapi hanya
disebut sebagai bulan sabit biasa. Ukurannya makin tebal, dan pada hari berikutnya semakin
tebal, dengan posisi semakin tinggi dan terus akhirnya pada hari ke-7 kita melihat sudah
menjadi setengah lingkaran. Kemudian, ketebalan bulan akan terus bertambah dan pada hari
ke-14 atau 15 itu sudah menjadi lingkaran penuh dan disebut sebagai bulan purnama.
4
Setelah itu, ketebalan bulan akan mulai mengecil lagi, menjadi setengah lingkaran lagi dan
dapat dilihat pada pagi hari. Itu berarti sudah bulan tanggal 21/22. Kemudian akan makin
mengecil dan menjadi bulan sabit kembali pada tanggal tua. Barulah muncul bulan mati,
tidak terlihat apapun. Itu merupakan peralihan dari kondisi di akhir bulan menuju awal bulan.
Saya membaca blog Anda dan menemukan kalimat yang kurang dimengerti. Apakah
maksud dari “Bulan di Indonesia saat Maghrib 6 November 2010 sudah di atas ufuk dengan
tinggi positif kurang dari 2 derajat.”?
Jadi, bulan itu selalu bergerak ke arah timur. Pengamatan hilal selalu diamati pada Maghrib.
Jadi saat Maghrib ketika matahari sudah mulai terbenam dan bulan masih berada di atas,
nah, ini dinamakan sudah positif. Tetapi karena ketinggiannya dari ufuk garis horizon itu
kurang dari 2 derajat, itu tidak mungkin bisa dirukyat. Dengan kata lain, tidak mungkin dapat
dilihat karena bulannya sangat tipis. Artinya, dari definisi rukyatulhilal itu tanggal 6 saat
maghrib dan november lalu tidak mungkin ada ruhiyatul hilal. Tetapi jika dilihat dari kriteria
wujudul hilal, hilal itu sudah wujud di atas ufuk, saudara-saudara kita di Muhammadiyah
menjadikannya sebagai dasar penentu awal bulan. Jadi karena itu sudah positif, dianggap
sudah wujud, maka malam itu telah dianggap sebagai awal bulan Dzulhijah. Jadi tanggal 7
November 2010 sebagai tanggal 1 Dzulhijah, hingga mereka beriduladha pada tanggal 16
November.
Jadi, hilal hanya dapat dilihat pada Maghrib ya?
Iya, betul. Rukyatul hilal dilakukan pada saat Maghrib. Oleh karena itu, pergantian hari dalam
Islam itu dimulai saat Maghrib. Jadi masyarakat kita yang menyebut Kamis malam dengan
sebutan malam Jumat, itu merujuk pada konsep Islam: bahwa hari itu dimulai pada Maghrib.
Dalam blog Anda, dikatakan terdapat dua macam hilal yang terdapat di Indonesia, yaitu
hilal Muhammadiyah dan hilal Persis (Persatuan Islam) dan NU (Nadhlatul Ulama).
Memangnya apa perbedaan dari hilal yang dianut dari masing-masing ormas (organisasi
masyarakat) tersebut?
5
Perbedaan tersebut terletak pada kriteria masing-masing ormas dalam menentukan awal
bulan. Jadi jika dilihat dari kriteria rukyat atau observasi seperti yang dianut oleh NU itu,
sebenarnya bila asal bulan sudah terlihat, maka itu merupakan hilal. Tetapi untuk
kepentingan pembuatan kalender, untuk perhitungan astronominya, itu perlu ada kriteria-
kriteria. Pada ketinggian bulan sekian derajat dianggap rukyat itu bisa dilakukan atau
dianggap sudah mulai masuk bulan baru. Nah, kriterianya selama ini belum ada kesepakatan.
Muhammadiyah mendasarkan pada kriteria wujudul hilal, yaitu asal wujud hilal di atas ufuk.
Contoh, pada tanggal 6 November lalu, menurut perhitungan tinggi bulan sudah mencapai
1,7 derajat. Artinya, sudah positif. Karena sudah positif, maka menurut Muhammadiyah, itu
sudah masuk ke bulan Dzulhijah dan ditentukan tanggal 7 November sebagai awal bulan.
Tetapi kata NU, ketinggian minimal 2 derajat baru memungkinkan dianggap masuk bulan
baru. Sedangkan pada tanggal 6 November, tinggi bulan hanya mencapai 1,7 derajat. Secara
umum di seluruh wilayah Indonesia, itu kurang dari 2 derajat, hingga belum dianggap sebagai
awal Dzulhijah, baru besoknya. Ini yang dipercayai Persis dan NU, yaitu tanggal 8 November-
lah yang menjadi awal bulan. Jadi inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan. Persis juga
memiliki kriteria yang berbeda juga, tetapi secara umum mendasarkan pada kriteria
kemungkinan bisa dirukyat.
Saya kurang yakin dengan pengertian rukyat menurut kesimpulan dari apa yang telah saya
dapat. Sebenarnya apa sebenarnya pengertian tepat dari rukyat?
Rukyat itu artinya observasi atau pengamatan. Kalau hisab atau perhitungan astronomi itu
digunakan untuk pembuatan kalender, dan semua ormas Islam melakukan itu. Hanya dalam
pengambilan keputusan untuk keperluan ibadah, NU mensyaratkan harus dibuktikan dengan
rukyat. Betul tidak hilal tersebut tampak atau tidak tampak. Jadi itu yang membedakan
antara hisab dengan rukyat. Secara konsep, seharusnya hisab dengan rukyat saling
melengkapi, jadi komplemen satu sama lain.
Bagaimana dengan negara lain? Apakah ada perbedaan waktu pelaksanaan hari raya
seperti di Indonesia?
Negara lain mempunyai sistem yang berbeda. Di Malaysia atau Brunei, tidak diperbolehkan
ada masyarakat yang berbeda dari keputusan pemerintah.
6
Apakah ada sanksi jika masyarakat Malaysia atau Brunei melanggar keputusan tersebut?
Saya tidak tahu pasti. Yang pasti, jika itu keputusan tersebut dilanggar, maka itu dianggap
sebagai pelanggaran hukum. Jadi di Malaysia, Brunei, dan juga di Arab Saudi, keputusan
pemerintah atau keputusan mahkamah agungnya dalam penetapan awal bulan wajib ditaati
oleh masyarakatnya. Sehingga di negara-negara tersebut, tidak terdengar adanya perbedaan.
Bagaimana dengan di Indonesia? Bagaimana sikap pemerintah terhadap persepsi-persepsi
setiap ormas yang berbeda satu sama lain?
Di Indonesia, ormas-ormas masih diberikan kebebasan melaksanakan hari raya sesuai dengan
persespsinya masing-masing. Pemerintah tidak menekan ormas untuk sama dengan
pemerintah sehingga perbedaan itu tetap terjadi.
Lalu bagaimana upaya pemerintah untuk menyamakan persespi antar ormas ini?
Pemerintah selalu mengupayakan adanya dialog antar ormas. Pemerintah tidak ingin
melakukan pemaksaan dalam hal yang terkait dengan keyakinan. Jadi keyakinan dalam
penentuan awal bulan, tidak dapat dipaksakan semuanya harus seragam. Karena secara de
facto, Kementerian Agama itu lahir belakangan setelah terbentuknya ormas-ormas. NU dan
Muhammadiyah berdiri sekitar tahun 1910-an atau 1920-an. Sedangkan Kementerian Agama
baru dibentuk sejak Indonesia merdeka. Jika dipandang dari segi daya pengaruh kepada
umat, ormas-ormas memiliki daya pengaruh yang cukup besar. Jadi Kementerian Agama
dapat dikatakan bersifat hanya sebagai lembaga perangkul kepentingan semua masyarakat,
kemudian mengupayakan adanya dialog. Dialog yang telah dilakukan juga beragam. Ada
seminar, lokakarya, kemudian ada dialog antar ormas.
Adakah hasil-hasil yang dicapai dari upaya-upaya yang dilakukan pemerintah tersebut?
Kemajuan-kemajuan yang penting berkat upaya pemerintah tersebut terjadi tepatnya pada
tahun 2007. Pada waktu itu Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla mengajak dua pimpinan
7
ormas terbesar, Ketua PBNU Hasyim Nurjadi dan Ketua PB Muhammadiyah Din Syamsuddin
untuk bertemu pada Ramadhan tahun 2007. Setelah pertemuan tersebut, dua ormas ini
kemudian menyatakan kesiapan untuk menyamakan persepsi. Menyamakan persepsi dalam
konteks kasus ini adalah menyamakan kriteria.
Untuk menyamakan kriteria, pada waktu itu direncanakan ada tiga pertemuan teknis.
Pertama di markas PBNU pada Oktober 2007, kemudian sekali di PB Muhammadiyah
Yogyakarta pada 6 Desember 2007, dan ada satu lagi rencana agenda pertemuan di UIN
(Universitas Islam Negeri) Jakarta untuk merumuskan secara teknis titik temu permasalahan
ini. Tetapi sampai saat ini belum terjadi. Walaupun seperti itu, Kementerian Agama sudah
berkomitmen untuk menindaklanjuti pertemuan ini. Jadi nantinya pertemuan yang akan
dilaksanakan tidak melibatkan dua ormas saja, tetapi semua ormas yang terkait dengan
pakar-pakar ilmu falak (astronomi yang lebih berorientasi pada posisi.red) dan ilmu
astronomi secara umum.
Pada tanggal 2 November 2010 lalu telah diusulkan untuk menginvestarisasi ide-ide dan
gagasan tentang penyamaan persepsi kriteria. Diharapkan pada awal tahun 1432 hijriah,
mudah-mudahan telah dirumuskan kriteria yang dapat mempersatukan semua umat Islam.
Bagaimana Anda menyikapi perbedaan pelaksanaan hari raya? Apakah ini merupakan
sesuatu yang baik atau buruk?
Secara umum para ulama mengatakan perbedaan itu sebagai rahmat. Jadi, itu sebagai
rahmat jika itu mendorong untuk berpikir. Dengan adanya perbedaan, masyarakat diajak
berpikir, “Mengapa bisa terjadi perbedaan?”, “Mengapa sistem perhitungan kalender
Qamariyah seperti itu?” Ini merupakan suatu hal yang positif.
Anda telah menyebutkan sisi positif yang disebabkan oleh perbedaan ini, bagaimana
dengan sisi negatif dari perbedaan persepsi mengenai hal ini?
Perbedaan sering menimbulkan potensi untuk perpecahan, sehingga sering menimbukan
kekhawatiran, kebingungan, dan ketidaktentraman. Saya selalu mengatakan memang
perbedaan itu rahmat, tetapi kesatuan lebih menentramkan. Jadi sekarang sedang
diupayakan agar kesatuan tersebut dapat tercipta.
8
Apa yang dimaksud dengan sidang isbat? Bukankah sidang tersebut berfungsi untuk
menyamakan persepsi antar ormas?
Sidang isbat atau sidang penetapan hanya dilakukan untuk penentuan awal Ramadhan, awal
Syawal, dan awal Dzulhijah saja. Sidang ini dilakukan setiap tahun sebagai salah satu upaya
pemerintah untuk mengambil keputusan secara musyawarah. Jadi bukan hanya pemerintah
yang menetapkan.
Siapa saja yang diundang untuk ikut bermusyawarah dalam sidang isbat ini?
Semua perwakilan ormas Islam diundang, kemudian pakar hisab dan rukyat juga hadir.
Berdasarkan hasil pengamatan, berdasarkan hasil perhitungan, kemudian diambil kesimpulan
kapan awal Ramadhan, hari Idulfitri, dan Iduladha. Itulah proses yang terjadi di Indonesia
dalam menetapkan bulan-bulan yang terkait dengan ibadah.
Apakah cukup bagi pemerintah dengan hanya melakukan penetapan awal bulan yang
terkait dengan ibadah? Mengapa tidak dilakukan musyawarah serupa untuk membuat
kalender satu tahun hijirah?
Untuk pembuatan kalender, masing-masing ormas membuat perhitungan sendiri untuk
setiap bulan. Ada yang mengonfirmasi melakukan pengamatan. Badan Hisab Ru’iyat (BHR)
Kementrian Agama sebagai badan yang diminta pendapatnya oleh Menteri Agama untuk
menentukan awal bulan pun membuat kalender standar. Tetapi, untuk yang terkait dengan
waktu pelaksanaan ibadah, maka ada pertemuan khusus yang dinamakan sidang isbat ini
yang mengupayakan adanya kesepakatan bersama.
Sebenarnya apa fungsi dari Badan Hisab Rukyat (BHR)? Siapa saja yang tergabung ke
dalamnya?
Badan Hisab Rukyat itu terdiri atas perwakilan berbagai ormas islam, pakar-pakar hisab
rukyat perseorangan, dan pakar-pakar dari lembaga penelitian atau lembaga yang terkait
dengan astronomi. Ada perwakilan dari astronomi ITB (Institut Teknologi Bandung.red),
observatorium Boscha, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan
9
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), planetarium, kemudian bahkan ada dari
Dinas Hidros Angkatan Laut.
Dimana letak Badan Hisab Rukyat dalam struktur pemerintahan?
Badan Hisab Rukyat itu semacam badan non-struktural atau badan ad hoc yang membantu
menteri agama dalam menentukan awal bulan-bulan Islam.
Apakah pemerintah tidak menciptakan badan khusus untuk meneliti perhitungan bulan-
bulan Qamariyah?
Kalau penelitian sudah ada. Di observatorium Boscha ada dosen Astronomi ITB, ada dari
LAPAN, kemudian terdapat perwakilan dari Planetarium. Itu lembaga-lembaga yang
melakukan pengamatan dan penelitian rutin.
Apakah kegiatan tersebut dilakukan di bawah pengawasan pemerintah atau independen?
Tentu kalau ITB itu kan perguruan tinggi negeri dan merupakan lembaga pemerintah juga.
LAPAN juga merupakan lembaga pemerintah. Planetarium juga di bawah pengawasan
pemerintahan DKI Jakarta. Pemerintah hanya menghimpun ahli-ahli hisab rukyat di ormas
dan pakar-pakar hisab rukyat perseorangan.
Jadi setiap ormas Islam memiliki ahli astronomi masing-masing? Apakah mereka menuntut
ilmu khusus tentang astronomi terlebih dahulu atau belajar secara otodiak?
Ya. Masing-masing memiliki ahli astronomi tersendiri. Ilmu hisab dan ilmu falak itu diajarkan
di pesantren. Sedangkan yang terkait dengan astronomi itu hanya terdapat di ITB. Di IAIN
atau UIN, atau yang setingkat dengan itu mengajarkan juga ilmu falak. Jurusan-jurusan
syariah itu juga turut mengajarkan ilmu falak. Kalau di IAIN Semarang, telah ada program
magister dan doktoral untuk ilmu falak.
10
Seberapa besarkah potensi perpecahan umat yang diakibatkan oleh perbedaan dalam
penentuan hilal di Indonesia?
Secara umum, potensi untuk timbulnya perpecahan dalam umat pasti ada. Tetapi
Alhamdulillah di Indonesia tingkat toleransinya masih cukup tinggi. Hanya memang
dikhawatirkan dalam kondisi tertentu ada sebab-sebab pemicu yang lain. Ada yang
menyatakan bahwa sekitar tahun 1930-an, wilayah Sulawesi terjadi bentrok fisik terkait
dengan perselisihan hari raya. Kemungkinan di tempat lain juga ada. Namun sekarang
masyarakat sudah semakin paham dan tingkat toleransinya sudah semakin tinggi.
Apakah ketika zaman kekhalifahan Islam di masa lampau pernah terjadi perbedaan
persepsi penentuan hari raya seperti di Indonesia kini?
Pada zaman Mu’awiyah ada perbedaan antara Syams dan Madinah. Ketika rombongan
pedagang Syams berkunjung ke Madinah, baru diketahui awal Ramadhannya hari Jum’at,
tetapi di Madinah hari Sabtu. Ini disebabkan karena perbedaan titik pandang dalam observasi
hilal tersebut yang bersifat lokal. Itu dijadikan dasar bahwa setiap wilayah dapat menentukan
awal bulannya masing-masing.
Jadi, dalam negara berhukum Islam sekalipun dapat terjadi perbedaan dalam penentuan
hilal, ya?
Secara fiqih sebenarnya Imam Syafi’i menganjurkan adanya sebuah wilayah hukum. Wilayah
hukum berperan sebagai patokan sejumlah keputusan dari beragam bidang, termasuk dalam
bidang penentuan hilal. Misalnya, jika Aceh ditetapkan sebagai wilayah hukum di Indonesia,
maka seluruh wilayah di Indonesia wajib mematuhi hukum-hukum yang berlaku di Aceh. Hal
ini dilakukan demi menjaga kesatuan antar umat di suatu negara Islam.
Dalam Islam sendiri, bagaimana hukumnya jika terjadi perbedaan pelaksanaan hari raya
seperti yang terjadi di Indonesia?
Dalam hal pelaksanaan ibadah, hukum sesuatu itu didasarkan pada keyakinan. Jadi, jika kita
yakin bahwa hari ini sudah masuk hari raya, maka hukumnya untuk haram puasa. Tetapi jika
11
ada yang meyakini bahwa hari tersebut belum hari raya, dalam kasus Ramadhan itu masih
dianggap sebagai hari Ramadhan, maka masih wajib shaum. Dilihat dari segi hukumnya, itu
didasarkan dari keyakinan masing-masing. Jadi dalam beribadah, jangan sampai kita
mengambil keputusan dalam keragu-raguan karena itu menyebabkan ibadah kita menjadi
tidak sah. Pilih mana yang dianggap paling meyakinkan bagi Anda untuk diikuti.
Adakah hubungan lain antara astronomi dengan Islam di luar penetapan hilal?
Selain penetapan hilal, astronomi juga digunakan untuk menentukan arah kiblat untuk
Shalat. Astronomi juga bisa digunakan sebagai alat untuk memahami ayat-ayat yang
terkandung dalam Al-Qur’an, terutama yang berhubungan dengan alam semesta. Jadi
terdapat ayat-ayar Qur’an yang mudah dipahami bila kita paham tentang astronomi. Contoh,
isi Surat Al-Anbiya ayat 30 berbunyi “...apakah mereka tidak memahami bahwa langit dan
bumi keduanya dahulu menyatu, kemudian Kami Pisahkan antara keduanya...”. Dalam
astronomi, dapat dipahami bahwa langit atau bumi itu asal-usulnya sama, termasuk sama
dengan asal-usul matahari dan planet-planet yang ada di antariksa. Ini dapat membantu
manusia dalam menjelaskan proses pembentukkan alam semesta.***
Biodata Narasumber
Prof. Dr. Thomas Djamaluddin
Tempat/Tanggal Lahir: Purwokerto/23 Januari 1962
Alamat: Kantor Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl. Dr. Djundjunan 133,
Bandung 40173
Telepon: 081573888987
Email: t_djamal@bdg.lapan.go.id, t_djamal@yahoo.com, t_djamal@hotmail.com
Riwayat Pendidikan: SMA Negeri II Cirebon, S1 Astronomi ITB, S2 dan S3 Department of Astronomy,
Kyoto University
Istri: Erni Riz Susilawati
Anak: Vega Isma Zakiah (lahir 1992), Gingga Ismu Muttaqin Hadiko (lahir 1996), dan Venus Hikaru
Aisyah (lahir 1999).
12
Lampiran
**Objek: Thomas Djamaluddin
Tempat pemotretan: Kantor LAPAN, Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173
Waktu pemotretan: 17 November 2010, pukul 17.04
Pemotret: Tristia Riskawati
top related