ancok djamaluddin speech of modal sosial

Upload: dewi-adlantern

Post on 09-Jul-2015

365 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat Djamaludin Ancok Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di hadapan Rapat Majelis Guru Besar Terbuka Universitas Gadjah Mada pada tanggal 3 Mei 2003 di Jogjakarta Oleh: Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D

1

Yang terhormat: Ketua, Sekretaris dan Para Anggota Majelis Wali Amanat, Universitas Gadjah Mada; Ketua, Sekretaris dan Para Anggota Majelis Guru Besar, Universitas Gadjah Mada; Ketua, Sekretaris dan Para Anggota Senat Akademik, Universitas Gadjah Mada; Ketua dan Sekretaris Dewan Audit, Universitas Gadjah Mada; Rektor dan Para Wakil Rektor, Universitas Gadjah Mada; Para Dekan, Wakil Dekan dan Ketua Lembaga Universitas Gadjah Mada; Para dosen, karyawan serta para tamu undangan yang saya muliakan. Assalamualaikum, w.w. dan salam sejahtera buat kita semua. A. Pengantar Suatu hal yang sering terlihat dalam kehidupan bangsa Indonesia akhirakhir ini adalah hilangnya rasa percaya antar sesama komponen bangsa. Kini makin sering kita mendengar komentar masyarakat bahwa elit politik tidak bisa dipercaya. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri dan kepentingan partai mereka. Pada aspek yang lain sesama elit pemerintah sering kali terjadi saling serang pendapat yang membingungkan masyarakat awam. Banyak gagasan yang disampaikan oleh para elit yang sedang berkuasa justeru dikritik dan dicerca tanpa memberi peluang kepada para elit untuk melaksanakan gagasannya. Konflik berdarah antar kelompok seperti perkelahian antar kampung, konflik yang bernuansa kesukuan dan agama seperti yang terjadi di Sampit, Poso dan Ambon telah memakan banyak korban. Selain itu banyak permasalahan sosial yang bersifat patologis yang menghinggapai kehidupan masyarakat seperti semakin meningkatnya angka kriminalitas, peredaran narkoba, kriminalitas dan premanisme dalam berbagai bentuk. Bangsa kita seakan-akan seperti selembar kain yang tercabik, yang tidak menampilkan sosok sebagai bangsa yang utuh. Dalam kondisi yang demikian tersebut akan sulit bangsa ini untuk keluar dari krisis multidimensional yang saat ini sedang dihadapinya. Bangsa ini sepertinya tidak memiliki perekat yang dapat mempersatukan seluruh warganya. Tampaknya bangsa ini sudah kehilangan modal untuk melepaskan dirinya dari kemelut kehidupan. Modal ini yang oleh banyak pakar disebuat sebagai modal sosial.

2

Risalah ini mencoba membahas permasalahan modal sosial dan apa perannya dalam kehidupan manusia. Apa yang dikemukan di dalam risalah ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Secara konsep hal-hal yang akan dibicarakan ini sesuatu yang sudah diajarkan oleh agama. Dalam kitab suci Al-Quran Allah menyuruh kita untuk membangun modal sosial: Hai manusia, sungguh Kami telah ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. (Al-Hujarat, ayat 13). Pilihan terhadap topik ini didorong oleh keinginan untuk ikut menyumbangkan pemikiran tentang penyebab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kita saat ini. Siapa tahu dari pemikiran ini akan muncul gagasan untuk memecahkan masalah bangsa kita. . B. Kenapa kualitas masyarakat semakin rendah. Banyak pakar yang prihatin terhadap terjadinya penurunan kualitas kehidupan masyarakat. Banyak tulisan yang muncul yang menggambakan keprihatinan ini ( lihat Hesselbein, F., et.al. 1998). Menurut pendapat saya ada berbagai alasan yang dapat diajukan guna menjelaskan kenapa mutu kehidupan masyarakat semakin menurun. 1. Orientasi pembangunan ekonomi pertumbuhan. Menurut pandangan seorang ahli psikologi sosial, Paul Wachtel (1989) timbulnya bermacam-macam patologi sosial dikarenakan orientasi pembangunan yang selalu menekankan pada pertumbuhan (growth) bukan pada pendistribusian hasil pembangunan dengan merata dan adil. Wachtel berpendapat bahwa orientasi ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan telah menumbuhkan mental pertumbuhan (growth mentality) yang membuat orang mengakumulasi materi sebanyak-banyaknya, dengan tidak memperdulikan orang lain yang sangat membutuhkan materi tersebut tetapi tidak memperolehnya. Pola pikir (mind-set ) orang berubah untuk mengejar dan mengakumulasi materi sebanyak-banyaknya, karena keyakinan bahwa materi yang banyak akan memberikan kepuasan hidup. Kondisi demikian ini akan membuat orang semakin berorientasi pada dirinya sendiri dan kurang memikirkan kesejahteraan orang lain. Hasil kajian Wachtel pada masyarakat Amerika menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup selalu berbanding terbalik dengan akumulasi kekayaan. Makin meningkat jumlah kekayaan materi yang dimiliki, makin meningkat jumlah permasalahan kehidupan, dan makin tidak bahagia kehidupan manusia.

3

Dalam masyarakat yang terlalu berorientasi pada pengumpulan kekayaan sifat-sifat yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lainnya akan makin berkembang. Ini adalah buah dari suatu sistim kapitalis yang bisa menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat. ( lihat Kortens, 1997). . Kehadiran teknologi informasi yang makin canggih telah mengikat kehidupan antar manusia dalam sebuah kepentingan yang menekankan pada pengembangan kekayaan informasi. Don Tapscott (1996) menggambarkan era ini sebagai era yang merubah wajah ekonomi menjadi ekonomi yang dihela oleh teknologi informasi digital. Kehidupan masyarakat makin terintegrasi secara semu, karena interaksi melalui teknologi informasi sangat menekan pada spek kognitif dan kurang melibatkan aspek afeksi. Dari perspektif psikologi sosial kehidupan masyarakat dalam ekonomi yang dihela oleh teknologi informasi akan banyak menimbulkan banyak konflik antar unsur-unsur dalam masyarakat (discordance). Dalam kondisi ekonomi yang dihela oleh sistim informasi teknologi yang canggih, masyarakat yang unggullah yang akan memetik keuntungan yang besar. Masyarakat yang berpendidikan rendah, secara ekonomi lemah, dan tidak memiliki akses kekuasaan akan ketinggalan jauh. Kondisi demikian akan menumbuhkan masalah sosial dan psikologis. Kesenjangan ekonomi antara golongan atas dan golongan bawah semakin melebar. Untuk menjadi pemain dalam era ekonomi baru diperlukan manusia yang memiliki pengetahuan yang luas (knowledge workers). Mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan tidak bisa memasuki pasaran kerja. Dalam era ekonomi digital, berbagai bentuk patologi sosial akan semakin tinggi kualitas dan kuantitasnya. Pengangguran akan semakin meningkat, yang selanjutnya akan diikuti oleh meningkatnya angka kriminalitas. Ketegangan karena kesenjangan sosial yang melebar ini dapat mengambil bentuk mudahnya masyarakat terlibat dalam kerusuhan sosial. Ketegangan emosi yang amat tinggi akan menyebabkan manusia dengan mudah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Orientasi sistim kapitalis yang sangat menekankan efisiensi tanpa ditemani oleh orientasi manusiawi telah menghancurkan karakter manusia. Kebermaknaan hidup dalam dunia kerja dan komitmen pada organisasi menjadi luntur. Tragedi seperti ini di digambarkan dengan memilukan di dalam tulisan Richard Sennet yang berjudul The Corrosion of Character: The Personal Consequences of Work in the New Capitalism (1998). Dalam upaya peningkatan daya saing perusahaan, manajemen melakukan penciutan

4

organisasi, dan memperkecil jumlah karyawan tetap. Karyawan yang dipertahankan hanyalah karyawan inti (core) yang memegang peran strategic. Karyawan inti ini adalah mereka yang berpengetahuan luas (knowledge worker). Sedangkan mereka yang berkerja di bagian yang tidak inti (non-core) tidak diangkat sebagai karyawan tetap tetapi disewa dari luar (outsourcing) untuk waktu yang pendek selama ada pekerjaan yang perlu dilakukan. Kondisi yang demikian ini merubah kontrak hubungan kerja dari kontrak yang seharusnya bersifat sosial ekonomi berubah menjadi kontrak yang sangat berorientasi ekonomi. Kondisi yang demikian ini menyebabkan kehidupan dalam organisasi binis yang seharusnya menjadi komunitas yang saling mengasihi berubah menjadi arena pertarungan untuk mencapai keunggulan dengan mengalahkan orang lain. 2. Orientasi pengembangan manusia yang berfokus pada aspek kognitif Untuk menopang kehidupan manusia dalam suatu sistim ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan diperlukan manusia yang cocok untuk orientasi yang demikian. Orientasi pendidikan di Indonesia pun ditekankan pada pengembangan kompetensi dengan fokus yang sangat dominan pada pengembangan aspek kognitif. Kata-kata yang paling banyak muncul dalam perdebatan tentang arah pendidikan manusia adalah membangun manusia yang memiliki daya saing tinggi yang hanya berfokus pada penguasaan ilmu dan teknologi yang mengabaikan aspek pengembangan karakter. Dengan orientasi pemikiran yang demikian itu semua pihak yang terkait dengan pendidikan formal amat menekankan pada peningkatan kemampuan kognitif. Porsi waktu yang diberikan untuk mengembangkan karakter manusia yang kondusif untuk hidup bersama secara damai kurang mendapat perhatian. Dalam dunia bisnis, pengembangan sumberdaya manusia hanya menitik beratkan pada pengembangan kompetensi di bidang kerja dan mengabaikan upaya untuk membangun manusia yang memiliki karakter cinta kasih pada sesama. 3. Melemahnya infrastruktur sosial pengikat silaturahmi. Oleh karena pengaruh modernisasi banyak organisasi tradisional seperti banjar yang dijumpai di Bali, lembaga adat, perkumpulan pengairan sawah, kelompok yasinan, lumbung paceklik, dan berbagai bentuk lembaga sosial lainnya semakin diancam kepunahan (lihat Ancok, 1991). Sistim birokrasi moderen yang diadopsi oleh pemerintah dari konsep barat telah diterapkan tanpa memperhatikan unsur budaya lokal. Organisasi sosial yang tradisional

5

diganti oleh LKMD, karang taruna, PKK, P2KSS dan berbagai bentuk organisasi lainnya. Tentu saja pembentukan organisasi yang demikian ini tidak terlepas dari kepentingan politik pada zaman orde baru. Organisasi ini telah dijadikan wadah untuk pengembangan kader politik yang mendukung kepentingan partai pemegang kekuasaan. Organisasi moderen yang dibentuk pemerintah telah menjadi predator bagi organisasi sosial yang tumbuh dari masyarakat sendiri. Pemberian dana kepada organisasi moderen untuk menunjang kegiatan organisasi telah menyebabkan berubahnya motivasi untuk terlibat dalam organisasi. Semula orientasinya adalah sangat sosial demi kemaslahatan bersama, kemudian berubah menjadi kehidupan yang berfokus pada ekonomi. Banyak lembaga sosial ciptaan pemerintah yang ditujukan sebagai wadah untuk peningkatan penghasilan (income generating) anggota organisasi. Tentu orientasi ini tidak salah, tetapi tanpa ditekankan pada semangat kebersamaan organisasi yang demikian akan membunuh semangat sosial masyarakat. Sudah banyak penelitian yang dilakukan oleh pakar psikologi bahwa pemberian insentif yang bersifat ekstrinsik akan membunuh motivasi intrinsik. Lepper dan kawan-kawan melakukan kajian tentang dampak pemberian hadiah pada subjek penelitian yang melakukan pekerjaan yang memang mereka sukai. Pemberian hadiah tersebut ternyata mengurangi kesukaan subjek pada pekerjaan yang semula mereka sukai. (dalam Durkin, 1995). Organisasi sosial yang tradisional dibangun masyarakat untuk kepentingan bersama. Mereka terlibat dalam organisasi didasari oleh kontrak sosial. Para anggota berkumpul diikat oleh kepentingan emosional dan sosial, tidak menekankan pada kepentingan bersifat materi. Selain itu para anggota berpartisipasi dalam kegiatan organisasi sejak perencanaan sampai dengan implementasi kegiatan. Partisipasi penuh seperti ini akan menimbulkan rasa memiliki organisasi (sense of ownership). Kehadiran organisasi moderen yang dibangun pemerintah dengan pemberian dana kegiatan, telah merubah motivasi berkelompok lebih pada orientasi eksterinsik berupa penambahan pendapatan. Pada organisasi yang demikian ini kontrak antar sesama anggota lebih bersifat kontrak ekonomi. Menurut pandangan psikologi lembaga yang dibangun sendiri oleh anggotanya akan memiliki nilai instrinsik yang tinggi. Orang termotivasi karena adanya faktor suka dengan keterlibatan dalam organisasi tersebut. Organisasi yang dibentuk oleh pemerintah dengan janji-janji akan memperoleh dana bagi kegiatan anggota kelompok akan menghilangkan motivasi intrinsik tersebut, dan beralih ke motivasi ekstrinsik (dapat dana).

6

C. Tahapan Perkembangan Kehidupan Masyarakat Kehidupan masyarakat bila dilihat dari aspek aktivitas kehidupannya bisa dibuat dalam berbagai tahapan. Alvin Toffler (1990) beranggapan bahwa perkembangan kehidupan masyarakat terjadi dalam tahapan yang berbeda mulai dari gelombang pertama (First Wave), gelombang kedua (Second Wave), dan gelombang ketiga (Third Wave). Tahapan yang dikemukan oleh Toffler tersebut selanjutnya diikuti oleh gelombang keempat (Fourth Wave). Maynard dan Mehrtens (lihat Ancok, 1998) menamakan era dunia tanpa batas (borderless world) sebagai gelombang keempat (Fourth Wave) dari perkembangan dunia. Gelombang Pertama (First Wave) adalah era pertanian, yang berfokus pada kehidupan yang bergelut dengan alam. Hubungan manusia dengan alam lebih tertuju pada perlakuan individual terhadap alam, dan manusia lebih dikuasai oleh alam dari pada dia menguasai alam. Pada masa ini manusia bisa hidup sendiri-sendiri untuk mencari kehidupan. Peranan otot (brawn) akan lebih besar dari peranan otak (brain) di dalam kelangsungan hidup manusia. Pekerjaan manusia di era pertanian lebih didominasi oleh kerja otot mengolah alam daripada kerja otak.. Pada era pertanian kerjasama antar manusia tidak terlalu urgen untuk keberlangsungan hidup. Pada masa ini nuansa kompetisi antar manusia sangat lemah atau hampir tidak ada kompetisi. Gelombang Kedua (Second Wave) adalah era industrialisasi. Manusia semakin menggunakan akalnya untuk menciptakan mesin guna mepermudah kehidupan manusia. Pada masa ini diciptakan mesin uap, pembangkit tenaga listrik, alat-alat transportasi yang menggunakan mesin. Irama hidup manusia semakin cepat karena adanya alat transportasi dan alat komunikasi yang semakin cangggih. Pada masa ini nuansa kompetisi antar manusia semakin mengental. Manusia berkompetisi untuk menguasai sumberdaya alam. Persaingan menuntut mereka untuk unggul dan mandiri. Dalam masa ini ada kecenderungan kuat untuk melihat pihak lain sebagai kompetitor. Masa ini ditandai dengan suatu pola permainan zero-sum game. Saya menang kamu kalah, atau sebaliknya kamu menang saya kalah. Pada era ini nuansa keserakahan manusia untuk menguasai sumberdaya sangat menonjol. Gelombang Ketiga (Third Wave) adalah era informasi. Ini adalah bagian penting dari era globalisasi. Pada era ini manusia memanfaatkan informasi sebagai kekuatan dalam kehidupan. Teknologi komputer menjadi

7

penguasa. Hampir semua pekerjaan sudah bisa diatur oleh komputer, dan banyak pekerjaan dilakukan oleh robot yang diprogram oleh komputer. Pada era ini manusia saling terkait satu dengan lainnya dan mereka harus bekerja sama. Era ini ditandai dengan keterkaitan manusia melalui internet. Manusia menghadapi peluang untuk belajar yang sangat besar karena mereka bisa memanfaatkan internet sebagai sarana untuk memperluas pengetahuan mereka. Kemampuan belajar untuk meperluas pengetahuan akan menjadi faktor survival. Pada masa ini masyarakat harus mebangun learning society. Pada era ini manusia saling terkait dan harus saling bekerjasama untuk berbagi wawasan guna memperoleh keuntungan bersama (lihat Ancok, 2000). Gelombang keempat (Fourth wave) adalah era yang ditandai oleh semakin intensifnya pemanfaatan teknologi informasi, dan semakin canggihnya perangkat teknologi informasi. Nuansa perubahan pada gelombang ketiga yang menekankan pada kerjasama ternyata tidak cukup kuat untuk menangkal dampak negatif yang muncul dari era gelombang ketiga. Pada era gelombang keempat ini manusia harus membangun tata-nilai baru. Manusia di berbagai bangsa akan survive bila mereka dapat melihat dirinya dalam suatu kesatuan. Manusia harus menjadi pelayan dunia (serve as a global steward), harus memiliki visi, misi, dan values yang sama untuk menjaga kelangsungan hidup alam semesta. termasuk kehidupan bersama ummat manusia. Hidup pada era gelombang keempat tidak lagi hanya terfokus pada kelangsungan hidup manusia, tetapi juga kelangsungan hidup alam yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan manusia. Fokus perhatian dalam kegiatan pembangunan harus berorientasi pada kelangsungan hidup di masa depan. Strategi kelangsungan di gelombang keempat ini sangat sesuai dengan ajaran agama yang memerintahkan manusia untuk menjaga alam semesta ini. Manusia harus melihat dirinya sebagai ummat yang satu (ummataw-wahidah) sebagai kalifatullah fil-ard yang harus memelihara alam semesta, dan secara bersama-sama berbuat untuk kepentingan bersama. Maynard dan Mehrtens (lihat Ancok, 1998) menggambarkan kondisi tersebut dalam suatu paradigma kehidupan baru berorientasi pada we are one and choose to co-create. Pada gelombang keempat ini makin diperlukan pengembangan modal sosial untuk kemaslahatan hidup besama. Pada era gelombang keempat ini kita harus semakin menyadari pentingnya penghargaan terhadap keanekaragaman (diversity). Kelangsungan hidup bermasyarakat dan bisnis sangat tergantung pada pengakuan dan penghargaan pada keanekaragaman tersebut. (lihat Moore, 1996). Moore mengatakan suatu organisasi bisnis akan berusia panjang bila dia

8

memperhatikan ekosistem bisnis yang beraneka ragam, dan membangun sinergi dengan berbagai organisasi yang merupakan komponen ekosistem tersebut. Tidak ada komponen kehidupan dalam masyarakat yang tidak memberi peluang untuk kemajuan bersama. Pendiri negara Indonesia sudah sangat menyadari betapa pentingnya menghargai dan memanfaatkan perbedaan tersebut seperti yang termuat dalam lambang negara Bhinneka Tunggal Ika . Pengalaman menunjukkan bahwa bila kekuatan politik hanya muncul dari kekuatan single majority yang tidak memperhatikan aspirasi kelompok yang beraneka ragam dengan memaksakan ideologi yang dianggapnya paling benar maka hancurlah suatu negara yang dikuasai oleh single-majority. D. Karakteristik Masyarakat yang berkualitas. Pada dasarnya suatu masyarakat adalah suatu kumpulan manusia yang memiliki kepentingan bersama yang harus dicapai melalui pengorganisasian anggotanya melalui sebuah infrastuktur organisasi. Kemampuan organisasi untuk meningkatkan kualitas masyarakat menuntut adanya kejelasan konsep bagaimana organisasi harus dibangun. Kanter (1997) misalnya mengatakan bahwa organisasi bisnis kelas dunia harus memiliki tiga ciri, yakni konsep (concept) , kompetensi (competence) dan koneksi (connection). Menggunakan konsep yang dikemukan oleh Kanter tersebut diperkirakan suatu masyarakat berkualitas paling sedikit juga harus memiliki ciri yang demikian. Dan ciri itu merupakan roh kehidupan sebuah masyarakat. Konsep. Konsep adalah sebuah gagasan yang dihasilkan dari hasil pengelohan terhadap kumpulan pengetahuan dan wawasan yang dijadikan dasar untuk menghasilkan sebuah inovasi. Bangsa yang bisa menciptakan dan mengelola pengetahuan akan mempunyai peluang yang besar untuk berinovasi dan menjadi bangsa yang unggul di antara bangsa lainnya. Bangsa Indonesia memiliki beberapa tokoh yang memiliki kemampuan konseptual yang hebat. Sebagai contoh Ki Hadjar Dewantoro ditahun 1939 telah memperoleh sebuah konsep yang akhir-akhir ini dikenal dengan konsep strategic benchmarking (Hartanto, 2002). Menurut pandangan beliau suatu bangsa yang unggul harus mengembangkan kebiasaan Tiga N. Bagian pertama dari tiga ini disebut dengan Niteni . Niteni adalah kebiasaan untuk selalu melihat apa yang dilakukan oleh pihak lain yang baik-baik. Ini berarti setiap manusia harus terus belajar dengan melihat pada apa yang dilakukan oleh orang lain, atau bangsa lain. Setelah seseorang memperoleh pengetahuan dari

9

orang lain yang memiliki keungulan, kemudian dilanjutkan dengan kebiasaan melaksanakan N yang kedua yang disebut Niroke Kebiasaan kedua ini adalah semangat untuk meniru keunggulan orang lain atau bangsa lain. Tapi kebiasaan meniru ini tidak cukup membuat seseorang unggul. Dia hanya akan menjadi pengikut saja, dan tidak pernah menjadi orang yang di depan yang melebih orang lain. Oleh karena itu perlu dilakukan N yang ketiga, yakni Nambahi. Yang dimaksud dengan Nambahi adalah semangat untuk terus berinovasi. Tanpa inovasi kehidupan akan berhenti. Keunggulan inovatif harus dibangun oleh sebuah masyarakat bila dia ingin berbaris di barisan terdepan. Menurut Hartanto (2002) apa yang dikemukan oleh Ki Hadjar Dewantoro tersebut adalah konsep benchmarking. Konsep benchmarking sebagai salah satu strategi untuk mengejar keunggulan, baru marak diperbincangkan oleh pakar di luar negeri di tahun sembilan puluhan (lihat Bendell, Boulter & Kelly, 1993). Selain itu apa yang dikemukan oleh Ki Hadjar Dewantoro adalah konsep belajar terus menerus (life long learning). Konsep ini yang menjadi dasar berkembangnya konsep organisasi pembelajar (learning rganization). Konsep organisasi pembelajar ini barusan marak dibahas di luar negeri di saat Peter Senge mempublikasikan karyanya dalam buku yang berjudul The Fifth Discipline di tahun 1990 (lihat Senge, 1990). Untuk membangun kemampuan menciptakan konsep ini, suatu masyarakat harus membangun kebiasaan dan kemampuan belajar bersama yang terus menerus. Untuk ini warga suatu masyarakat harus menjadi komunitas pembelajar (learning community) . Dalam komunitas pembelajar semua warga komunitas harus mengembangkan diri menjadi orang yang rajin belajar hal-hal baru dan saling berbagi wawasan. tentang hal-hal yang baru itu. Kumpulan pengetahuan yang bersumber dari pengetahuan warga komunitas ini akan menjadi modal intelektual suatu bangsa. Dengan besarnya modal intelektual ini (dalam wujud makin banyaknya pengetahuan baru) akan besar kemungkinan suatu masyarakat menghasilkan berbagai inovasi, baik dalam produk inovasi yang bersifat fisik (barang dan jasa) maupun inovasi sosial ( pendekatan baru dalam mengelola kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik). Kompetensi Sebuah konsep tentang sesuatu hal, baru akan menjadi produk atau jasa bila konsep tersebut diterjemahkan secara operasional dalam suatu langkah nyata . Untuk menterjemahkan konsep secara operasional diperlukan adanya kompetensi. Oleh karena itu suatu masyarakat yang berkualitas harus

10

mengembangkan kompetensinya untuk merealisasikan sebuah konsep. Kalau tidak dilakukan masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang banyak bicara konsep yang muluk-muluk yang tidak pernah menjadi kenyataan. Masyarakat Indonesia pada dasarnya masyarakat yang kaya dengan konsep. Sebagi contoh masyarakat sudah lama memahami konsep pesawat terbang dari cerita perwayangan yang menokohkan konsep Gatotkaca yang bisa terbang. Cerita tentang Gatotkaca ini telah diketahui sejak zaman nenek moyang. Demikian pula konsep pesawat terbang yang terbang secara otomatis (flight by wire) sebenarnya sudah ada sejak dulu dikenal, sewaktu nenek moyang kita memahami bahwa Gatotkaca itu memiliki ciri otot kawat balung besi.Namun bangsa Indonesia baru berhasil membangun pesawat terbang setelah dimilikinya kompetensi tentang pesawat terbang oleh Prof. Dr. B.J Habibie yang membangun pesawat terbang CN 235 yang diberi nama Tetuko, yaitu nama Gatotkaca semasa kecil. Setelah itu Habibie dan kawan-kawan berhasil membangun pesawat CN 250 yang diberi nama Gatotkaca. Contoh yang lainnya adalah konsep tentang kepemimpinan menurut versi Ki Hadjar Dewantoro, Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Menurut pendapat pakar ini adalah konsep kepemimpinan transformasional yang dijabarkan oleh Bass (lihat Bass, 1998). Hendroyuwono (2002) melihat bahwa ciri-ciri pemimpin yang transformasional adalah pemimpin yang melakukan ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Pemimpin yang transformasional adalah pemimpin yang memberdayakan pengikutnya. Untuk memberdayakan pengikut maka sang pengikut harus dikembangkan tingkat kedewasaannya di dalam bersikap dan bekerja. Sangat disayangkan konsep yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantoro tidak dijabarkan secara sistimatik ke dalam langkah operasional oleh anak bangsa sendiri. Koneksi Banyak pakar yang berpendapat bahwa sukses hidup dalam bermasyarakat ditentukan oleh kemampuan membangun koneksi. (lihat Hesselbein, Goldsmith, Beckhard & Schubert, 1998). Agar supaya suatu produk atau jasa (service) dapat menghasilkan nilai (create value) warga suatu bangsa harus menciptakan jaringan kerja (koneksi) baik dengan pihak lain . Bila dia seorang pengusaha, dia harus membina hubungan yang baik dengan konsumen, sumber dana, pemasok, pemerintah, maupun pihak lain yang berkepentingan. Jaringan kerja inilah yang akan menentukan apakah sebuah produk inovatif yang dihasilkan tersebut laku dijual. Koneksi baik pada tingkat lokal, nasional,

11

regional maupun global adalah sesuatu yang harus dibangun oleh warga suatu bangsa. Aliansi yang bersifat strategik dengan berbagai pihak menjadi sebuah keharusan agar seorang pengusaha atau tokoh masyarakat lainnya memiliki keunggulan dalam berkiprah. Mungkin kegagagalan perusahaan IPTN dikarenakan oleh kurang suksesnya perusahaan ini membangun jaringan kerja (koneksi), sehingga pesawat CN 235 dan N 250 yang dibangun oleh bangsa sendiri tidak sukses di pasaran. Selain ketiga ciri di atas menurut pandangan saya masyarakat yang berkualitas harus pula memiliki dua ciri yang lain yakni kredibilitas (credibility) dan kepedulian (caring). Kredibilitas Kredibilitas terkait dengan kejujuran di dalam berinteraksi dengan pihak lain . Tidak ada orang yang mau membangun hubungan sosial yang bertahan lama dengan pihak lain kalau pihak lain tersebut melangar etika hubungan sosial. Di dalam sebuah bisnis pelaksanaan etika bisnis menjadi sangat penting. Good ethics is a good business ini adalah kalimat yang sering kita dengar. Etika harus didasari pada kejujuran. Hubungan sosial yang berlangsung lama adalah hubungan yang didasari oleh kejujuran. Tentu saja kredibilitas tidak hanya semata-mata kejujuran, tetapi juga konsistensi dalam perlakuan, perlakuan yang adil (fairness) , saling memberi dan menerima (reciprocity). Etika adalah pegangan bersama yang menjadi rambu-rambu dalam sebuah interaksi antar manusia. Sukses tidaknya sebuah interaksi sangat tergantung kepada pelaku yang terlibat dalam interaksi apakah berpegang pada ramburambu tersebut ( lihat Velasquez, 2002). Kepedulian Sifat peduli diwujudkan dengan pemberian perhatian pada sesama warga komunitas. Bila dia seorang pejabat di sebuah lembaga negara atau elit politik lainnya seperti anggota DPR dan MPR kepeduliannya tertuju kepada kemajuan semua pihak yang menjadi warga suatu bangsa yang diamanahkan kepada mereka, bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan kepentingan partainya saja. Bila dia seorang warga sebuah masyarakat dia akan peduli pada sesama. Orang yang kaya akan peduli pada orang yang miskin, orang yang kuat akan melindungi orang yang lemah.

12

Bila dia seorang pengusaha dia akan peduli pada karyawannya, mitra kerja, konsumen dan masyarakat di sekitar perusahaan maupun masyarakat luas lainnya. Perusahaan yang memiliki kepedulian tidak hanya mencari keuntungan perusahaan saja, tetapi juga berbuat untuk kemajuan karyawan, mitra kerja, konsumen masyarakat, dan negara. Tanggung jawab sosial perusahaan ( corporate social responsibility) dapat diwujudkan dengan memberikan kasih sayang dan perlakuan yang baik pada karyawan (Velasquez, 2002). Kalau karyawan diperlakukan dengan manusiawi dan dianggap sebagai anggota perusahaan bukan sebagai sumber daya seperti halnya mesin, modal, tanah, dan pabrik, maka karyawan akan memiliki komitmen kerja yang tinggi. Selain itu perusahaan harus membantu masyarakat disekitar perusahaan yang memerlukan bantuan ( Buchholz, 1990). Program pengembangan masyarakat (community development) adalah bagian dari rasa kepedulian ini. Pada program seperti ini perusahaan menyusun rencana strategik untuk ikut terlibat di dalam pengembangan masyarakat melalui penyediaan dana, personil dan alat-alat yang diperlukan. Koneksi, kredibilitas, dan kepedulian seperti yang dikemukakan di atas sangat erat hubungannya dengan pembentukan modal sosial. Ketiga hal tersebut adalah pendukung terbentuknya modal sosial. Masyarakat yang berkualitas memiliki ikatan sosial yang erat satu dengan yang lain.Pada masyarakat yang demikian akan terwujud sebuah keharmonisan antar sesama warga masyarakat yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang harmonis di samping memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga memiliki angka patologi sosial yang rendah. E. Konsep Modal Sosial Konsep modal sosial dikemukakan pertama kali oleh Hanifan di tahun 1916, di saat dia membicarakan tentang pusat komunitas yang terkait dengan sekolah di wilayah pedesaan ( dalam Cohen & Prusak, 2002). Hanifan menggunakan istilah modal sosial untuk membicarakan faktor substansi dalam kehidupan masyarakat yang antara lain berupa niat baik (good will), rasa simpati, perasaan persahabatan, dan hubungan sosial yang membentuk sebuah unit sosial. Kemudian istilah modal sosial dipopulerkan oleh James S. Coleman (1990). Pembahasan tentang konsep modal sosial akhir-akhir ini semakin hangat setelah munculnya artikel yang ditulis oleh Putnam (1993), dua buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama (1995, 2000). Yang pertama adalah Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity yang terbit tahun 1995. Kemudian diikuti oleh buku yang kedua yang lebih mutakhir dengan judul The

13

Great Depression: Human Nature and the Reconstitution of Social Order yang diterbitkan di tahun 2000. Pembahasan terhadap topik tersebut semakin meriah setelah terbit buku tulisan Robert Putnam yang berjudul Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community yang terbit tahun 2000 juga menjadi pemicu pembahasan terhadap konsep modal sosial. Selain itu muncul berbagai artikel jurnal yang membahas topik tersebut dengan mengajukan berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan modal sosial. Adler & Kwon (2002) menyajikan reviu yang baik berisikan berbagai pandangan pakar tentang modal sosial. Munculnya berbagai tulisan tentang modal sosial adalah suatu respon terhadap semakin merenggangnya hubungan antar manusia., dan semakin melemahnya ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Fukuyama (1995) sangat kuatir tentang masa depan komunitas manusia yang diutarakannya seperti berikut: We no longer have realistic hopes that we can create a great society through large government program ( p.4). Kehadiran masyarakat yang menekankan pada kehidupan yang menekankan pada ekonomi yang terlalu tertuju pada pertumbuhan seperti yang diutarakan oleh Wachtel (1989) telah menghantarkan manusia pada kehancuran. Di mata Fukuyama (2000) transisi masyarakat dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi semakin memperenggang ikatan sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti meningkatnya angka kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya kepercayaan pada sesama komponen masyarakat. Dalam upaya membangun sebuah bangsa yang kompetitif peranan modal sosial semakin penting. Banyak kontribusi modal sosial untuk kesuksesan suatu masyarakat. Dalam era informasi yang ditandai semakin berkurangnya kontak berhadapan muka (face to face relationship), modal sosial sebagai bagian dari modal maya (virtual capital) akan semakin menonjol peranannya (lihat Ancok, 1998) Definisi Modal Sosial. Modal sosial adalah sebuah konsep yang rancu dan banyak definisinya (lihat Adler & Seok, 2002). Pandangan para pakar dalam mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (social net-work), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.

14

Pendapat kelompok pertama ini diwakili antara lain oleh para pakar berikut. Brehm & Rahn ( 1997, p. 999) berpendapat bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Definisi lain dikemukan oleh Pennar (1997, p.154) the web of social relationships that influences individual behavior and thereby affects economic growth ( jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi). Woolcock (1998,p. 153) mendefinisikan modal sosial sebagai the information, trust, and norms of reciprocity inhering in ones social networks. Cohen dan Prusak (2001, p.3) berpendapat bahwa Social capital consists of the stock of active connections among people: the trust, mutual understanding and shared values and behaviours that bind the members of human networks and communities and make cooperative action possible. (Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama). World Bank (1999) mendefinisikan Social capital refers to the institutions, relationships, and norms that shape the quality and quantity of a society's social interactions... Social capital is not just the sum of the institutions which underpin a society it is the glue that holds them together. (The World Bank 1999) Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerjasama yang sinergistik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. Pendapat pakar dari kelompok kedua diwakili antara lain oleh Fukuyama. Fukuyama (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: social capital: the ability of people to work together for common purposes in groups and organizations ( p.10) . Dengan bahasa yang lain Fukuyama (1997) menjelaskan bahwa Social capital can be defined simply as the existence of a certain set of informal values or norms shared among members of a group that permit cooperation among them. (Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang

15

dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka). Sejalan dengan pendapat Fukuyama, Bowles & Gintis (2000, p.2) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut:Social capital generally refers to trust, concern for ones associates, a willingness to live by the norms of ones community and topunish those who do not). Dari sudut pandang psikologi, pendapat kelompok pertama ini diwakili oleh berbagai teori dinamika kelompok yang melihat modal sosial sebagai suatu kelompok yang memiliki ciri yang kohesifitas yang tinggi. Sedangkan kelompok kedua diwakili oleh kelompok teori kepribadian (traits theorist) yang melihat bahwa munculnya suatu kelompok kerja yang kohesif baru akan terjadi kalau individu memiliki sifat kepribadian tertentu yang mendukung interaksi sosial. Definisi yang dikemukan oleh Fukuyama menurut hemat saya adalah definisi yang melihat modal sosial itu sebagai sesuatu traits (sifat) yang melekat (embedded) pada diri individu yang berupa tata nilai kehidupan dan aturan yang dianut dan dijalankan oleh individu yang memfasilitasi kerjasama yang baik. Menurut pendapat saya definisi yang dikemukan oleh Fukuyama ini mengandung beberapa aspek nilai (value) yang dikemukakan oleh Schwartz (1994). Ada empat nilai yang sangat erat kaitannya dengan definisi yang dikemukakan oleh Fukuyama, yakni: universalism nilai tentang pemahaman terhadap orang lain, apresiasi, toleransi serta proteksi terhadap manusia dan makhluk ciptaan tuhan lainnya lain; benevolence nilai tentang nilai pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan orang lain; tradition nilai yang mengandung penghargaan, komitmen dan penerimaan terhadap tradisi dan gagasan budaya tradisional; conformity nilai yang terkait dengan pengekangan diri terhadap dorongan dan tindakan yang merugikan orang lain, serta security nilai yang mengandung keselamatan, keharmonisan, kestabilan masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain dan memperlakukan diri sendiri. Modal sosial pada dasarnya bersumber dari rasa percaya (trust) pada stiap pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Sifat pribadi yang menumbuhkan modal sosial. Terkait dengan orientasi nilai Schwartz yang dikemukakan di atas, sifat kepribadian berikut ini adalah sifat kepribadian yang menjadi bagian modal sosial.

16

1) Mentalitas berkelimpahan (abundance mentality). Sifat kepribadian yang demikian dimiliki oleh orang yang suka membagi bagi apa yang dimiliki kepada orang lain. Orang yang demikian selalu merasa bahwa dengan memberikan apa yang dia miliki kepada orang lain akan membuat dia merasa semakin kaya. Sifat demikian adalah lawan dari mentalitas yang pelit (scarcity mentality). Orang yang memiliki sifat pelit ini selalu ketakutan dia tidak akan mendapat sesuatu bila orang lain sudah mendapatkannya (lihat Covey, 1990). 2) Pikiran positif pada orang lain. Bila seseorang memiliki sifat demikian dia akan melihat orang lain sebagai bagian dari kebahagiaan hidupnya sendiri. Selain itu dia selalu melihat sisi positif dari hal-hal yang dilakukan dan dipikirkan oleh orang lain. Covey (1990) menggunakan istilah seek first to understand than to be understood (berusaha mengerti orang lain lebih dahulu baru meminta diri sendiri dimengerti). Orang yang memiliki sifat kepribadian ini tidak akan segera menarik kesimpulan tentang apa yang dikatakan orang lain sebelum dia mengerti apa yang dipikirkan oleh orang lain. 3) Kemampuan berempati. Sifat ini dimiliki oleh orang yang bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Kepekaan perasan yang dimilikinya membuat dia mudah merasakan kegembiraan dan kesusahan orang lain. Orang yang tidak memiliki kemampuan berempati biasanya sangat sulit untuk bisa berhubungan baik dengan orang lain. Perasaannya tumpul di dalam memahami kebutuhan orang lain.(lihat Goleman, 2002). 4) Komunikasi transformasional. Sifat ini dimiliki oleh orang yang selalu memilih kata-kata yang enak didengar telinga di dalam berbicara pada orang lain. Bila terjadi perbedaan pendapat antara dia dengan orang lain, dia tetap memilih kata-kata yang menyejukkan hati dan pikiran dalam menanggapi perbedaan tersebut.. 5) Berorientasi sama sama puas (win-win). Orang yang memiliki sifat demikian dalam interaksinya dengan orang selalu ingin membuat orang lain merasa gembira dan dia juga gembira. Orang yang demikian memiliki rasa respek pada orang lain. 6) Sifat melayani (serving attitude). Orang yang memiliki sifat demikian ini sangat senang melihat orang lain senang dan sangat susah melihat orang lain susah. Sifat ini adalah lawan dari sikap egois yang hanya mementingkan diri sendiri, atau golongannya sendiri. Orang yang memiliki sifat melayani, kalau menjadi pimpinan, dia bukan minta

17

dilayani tetapi melayani kepentingan orang yang dipimpinnya (lihat Frick & Spears, 1996). 7) Kebiasaan apresiatif. Orang yang memiliki sifat ini suka memberikan apresiasi pada apa yang dilakukan oleh orang lain. Dengan apresiasi yang diberikan pada orang lain membuat orang lain merasa dihargai. Seorang pimpinan memberikan apresiasi kepada bawahannya biasanya akan menumbuhkan rasa bermakna di dalam kehidupan kerjanya. Amat disayangkan bangsa kita bukanlah bangsa yang suka memberi apresiasi. Pada kebanyakan tempat kerja pemimpin tidak biasa memberikan penghargaan (berupa ucapan terima kasih atau pujian) kepada karyawan yang bekerja dengan baik. Hal ini dikarenakan pimpinan merasa kerja dengan baik adalah tugas karyawan, dan karyawan digaji untuk bekerja dengan baik. Biasanya banyak pemimpin yanglebih suka memarahi daripada memberikan apresiasi. Manfaat Modal Sosial Di dalam literatur banyak kajian yang melihat kegunaan modal sosial di dalam kehidupan. Berbagai manfaat dari modal sosial adalah seperti berikut: Manfaat pada masyarakat Seperti yang telah dikemukan sebelumnya dasar dari terbentuknya modal sosial adalah rasa percaya (trust). Kepercayaan (trust) menjadi pengikat masyarakat. Pada masyarakat yang low-trust ikatan kelembagaan / institusi diikat oleh keanggotaan dalam keluarga. Karena dalam ikatan keluarga trust tidak perlu dipermasalahkan. Anggota keluarga adalah bagian dari diri sendiri. Selain itu pada kelompok multi etnik, kepercayaan antar anggota etnik yang sama lebih mudah berkembang daripada antar etnik. Fukuyama berpendapat bahwa trust berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam bukunya Fukuyama menulis seperti berikut: A nations well being, as well as its ability to compete, is conditioned by a single, pervasive cultural characteristics: the level of trust inherent in the society Selanjutnya ia menulis bahwa social capital represented by trust will be as important physical capital (Fukuyama, 1995, hal 26). Putnam (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi sangat berkorelasi dengan kehadiran modal sosial. Pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat akan baik apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarakat: (1) Hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakatnya; (2) adanya para pemimpin yang jujur dan egaliter yang memperlakukan dirinya sebagai bagian

18

dari masyarakat bukan sebagai penguasa: Adanya rasa saling percaya dan kerjasama di antara unsur masyarakat. Putnam menemukan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan di wilayah utara Italia berkorelasi dengan kehadiran ciri-ciri di atas. Pertumbuhan ekonomi yang cepat di wilayah Asia Timur disebabkan oleh adanya kegiatan ekonomi yang bertumpu pada penumbuhan modal sosial. Kemajuan negara Cina dalam bidang ekonomi digambarkan oleh Putnam (1993) sebagai akibat dari penerapan konsep ekonomi yang berdasarkan jaringan sosial, khususnya jaringan sosial bisnis antar sesama masyarakat dalam negeri dan masyarakat cina perantauan (overseas chinese). Pengembangan ekonomi pedesaan (village economy) dalam sebuah sinergi antar satu kegiatan ekonomi di suatu desa dengan desa yang lainnya telah membangkitkan pertumbuhan ekonomi negara Cina. Jaringan sosial yang seperti itu pula yang membuat pertumbuhan ekonomi di wilayah Silicon Valley maju dengan pesat. Apa yang dikemukakan para pakar di atas membuktikan kebenaran sebuah hadist nabi: Barangsiapa yang membangun silaturahmi akan Aku beri rezeki, Aku beri kesehatan dan Aku panjangkan umurnya. Selain itu ulasan para pakar tersebut semakin membuat kita yakin akan kebenaran pepatah masyarakat Jawa Rukun agawe santoso (hidup dalam kerukunan akan memberikan kesentosaan). Manfaat pada organisasi Modal sosial akan memungkinkan manusia bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang besar. Akumulasi pengetahuan akan berjalan lebih cepat melalui interaksi antar manusia yang berbagi wawasan. Akumulasi pengetahuan sebagai hasil dari interaksi sosial menjadi kekuatan organisasi karena dia bisa menciptakan berbagai inovasi. Hartanto ( 2002) mengemukakan beberapa proposisi tentang hubungan modal sosial dengan kemajuan organisasi. Beberapa proposisi tersebut telah didukung oleh data penelitian disertasi yang dibimbingnya bersama saya. Sulasmi (2003) dalam penelitian disertasinya menemukan bahwa semangat kerjasama, rasa saling percaya, berkorelasi dengan intensitas kerjasama yang selanjutnya mempengaruhi kualitas sinergi kerja organisasi. Tjakraatmaja (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa terbentuknya sebuah organisasi pembelajar (learning organization) berkorelasi dengan kehadiran rasa saling percaya dan kemauan belajar bersama (team learning).

19

Beberapa penilitian di luar Indonesia menemukan hal-hal yang menunjukkan peranan modal sosial dalam kehidupan organisasi. Kraatz ( 1998) menemukan bahwa modal sosial berkorelasi dengan pembelajaran antar lembaga bisnis. Selain itu modal sosial juga ditemukan mempengaruhi kerjasama antar unit dan inovasi produk baru (Gabbay & Zuckerman, 1998). Angka karyawan yang meninggalkan perusahaan (turn-over) juga dipengaruhi oleh modal sosial. Semakin baik hubungan dan suasana kerja dalam perusahaan semakin betah para pekerja untuk tetap berada disebuah perusahaan (Krackhardt & Hanson, 1993). Selain itu dilaporkan oleh Nahapiet dan Gozal dalam penelitian mereka (1998) bahwa prasyarat untuk berkembangnya modal intelektual adalah adanya modal sosial yang berupa rasa saling percaya dan kemauan untuk berbagi wawasan dalam sebuah jaringan kerja. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hartanto (1997). Sebuah organisasi yang memiliki banyak anggota yang cerdas belum tentu akan menjadi organisasi yang cerdas. Anggota organisasi yang cerdas tetapi tidak memiliki kemampuan bersinergi dengan orang lain tidak akan memberikan kontribusi yang maksimal. Penyebab dari sulitnya anggota organisasi untuk bekerjasama dengan orang lain adalah sifat kepribadian yang arogan dan kurang menghargai pendapat orang lain. Manfaat pada individu. Goleman ( 1995) mengemukakan konsep inteligensi emosional yang komponennya banyak kesamaannya dengan berbagai sifat yang mendukung terbentuknya modal sosial. Goleman berargumentasi bahwa kemajuan karir seseorang lebih ditentukan oleh angka kecerdasan emosional (EQ) dari angka kecerdasan yang bersifat kognitif (IQ). Gabbay & Zukerman (1998) juga melaporkan bahwa individu yang memiliki modal sosial yang tinggi ternyata lebih maju dalam karir jika dibandingkan dengan mereka yang modal sosialnya rendah. Kompensasi yang diperoleh pekerja juga dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya (Burt 1997). Demikian pula suksesnya seseorang di dalam memperoleh pekerjaan juga dipengaruhi modal sosial yang dimilikinya (Lin & Dumin, 1996). Faktor yang menyuburkan modal sosial Untuk mengembangkan modal sosial, habitat yang menjadi tempat berinteraksi manusia haruslah mendukung pertumbuhannya. Dalam risalah ini saya membedakan tiga jenis habitat tempat berseminya modal sosial, yakni habitat masyarakat dan habitat organisasi.

20

1. Habitat masyarakat: Menurut pendapat saya masyarakat yang bisa menumbuhkan modal sosial dan menghasilkan karya besar adalah masyarakat yang berorientasi kita bukan masyarakat yang berorientasi kami (lihat Hartanto, 2002; Fuad Hassan, 2002; ). Masyarakat yang berorientasi kita akan memfokuskan perhatian dan tindakannya pada upaya penigkatan kemajuan dan kesejahteraan bersama. Masyarakat yang berorientasi pada kita akan menghasilkan suatu ciri masyarakat yang ideal.. 1. Masyarakat yang bebas dari penindasan (opresi). Banyak penindasan yang dilakukan di dalam masyarakat, antara lain adalah penindasan para penguasa pada rakyatnya, penindasan oleh pemilik modal pada mereka yang tidak bermodal, penindasan oleh negara berkuasa pada negara yang lemah, penindasan oleh mereka yang mempunyai pengetahuan pada mereka yang tidak mempunyai pengetahuan. 2. Masyarakat yang bebas dari rasa takut. Kebebasan akan rasa takut tersebut meliputi bebas dari rasa takut akan diculik dihukum, atau dihabiskan nyawanya oleh oknum negara dikarenakan oleh perbedaan pendapat dengan pihak penguasa. Bebas dari rasa takut akan teror yang ditebarkan oleh pihak lain pada anggota masyarakat yang dianggap berbeda pandangan politik, kepercayaan dan agama. Bebas dari rasa takut akan ancaman dari suku, agama atau kelompok lain yang berbeda. 3. Masyarakat yang bebas dari perlakuan diskriminatif.. Dalam sebuah masyarakat yang ideal tugas sebuah pemerintah adalah membangun komitmen pada kebersamaan dengan menghilangkan diskriminasi berdasarkan ikatan primordial. Pandangan seperti ini kelihatannya sangat ekstrim karena sebuah masyarakat terdiri atas keluarga, kerabat, suku, dan agama yang diikat oleh ikatan primordial. Namun demi terbangunnya sebuah masyarakat yang berkualitas anngota masyarakat harus berani menomorduakan kepentingan primordial dan mengutamakan kepentingan bersama. Pada negara yang multi kultur, multi agama, dan multi golongan seringkali terjadi perilaku yang mendiskriminasi suatu golongan. Sebagai contoh di Indonesia warga keturunan diwajibkan untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, walaupun mereka sudah turun temurun lahir di Indonesia.

21

Berlakunya UU. no 22, tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terasa mulai ada pengaruhnya terhadap diskriminasi suku. Pengutamaan putra daerah dalam jabatan pemerintah ataupun peluang ekonomi adalah salah satu bentuk diskriminasi atas orang dari suku luar. 4. Masyarakat yang transparan dalam proses berbangsa dan bernegara. Masyarakat berhak mengetahui kegiatan pemerintah, penganggaran, dan kemana dana dihabiskan. Masyarakat harus diberi tahu secara transparan atas segala penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat negara. Dalam sejarah Indonesia seteah merdeka kasus korupsi tidak pernah dibuka pada masyarakat secara transparan. Temuan-temuan BPK, BPKP hanya disimpan dan tidak ditindak lanjuti secara hukum. Kalau sekiranya dibuka pada publik, masyarakat bisa melakukan upaya tuntutan hukum. Upaya untuk menutupi kasus korupsi ini disertai dengan penekanan pada lembaga press melalui pemberangusan. Dalam suatu masyarakat madani tidak ada pemberangusan terhadap press. Press menjadi alat kontrol karena diberikan kebebasan untuk membuka informasi secara transparan pada masyarakat. Selama informasi yang disampaikan adalah benar (tentu saja dengan pertimbangan keselamatan rakyat, bukan pejabat) maka tidak ada pelarangan pemberian informasi pada rakyat oleh press. . 5. Pemerintah yang bermitra dengan masyarakat Kegairahan anggota masyarakat di dalam kegiatan pembangunan yang konstruktif ditentukan oleh sejauh mana mereka diajak berpartisipasi sebagai mitra, sejak perencanaan pembangunan sampai pada pelaksanaan serta evaluasi hasilnya. Giddens ( 1998) melihat kemitraan antara masyarakat dan pemerintah ini adalah salah satu ciri dari masyarakat yang berkualitas. Pandangan seperti ini amat ditekankan pula oleh penulis buku Reinventing Government (Osborne & Gaebler, 1992) yang menuntut agar pemerintah memberdayakan masyarakat dalam kegiatan pembangunan, pemerintah hanya mengarahkan masyarakat bukan menggiring masyarakat atas kemauan pemerintah, dan pemerintah memberi wewenang kepada masyarakat bukannya memberikan segala atas kemauan pemerintah. 6. Masyarakat yang membangun kepedulian (caring).

22

Kepedulian (caring ) adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh siapa saja. Kepedulian ini dinyatakan pada kepedulian atas sesama, kepedulian si kaya pada si miskin, kepedulian mereka yang memiliki kesempatan pada kekuasaan atas mereka yang tidak memilikinya, kepedulian pada kelestarian lingkungan, dan kepedulian pada aturan norma hidup bermasyarakat (ethics). Tujuan membangun sebuah komunitas (termasuk negara) adalah untuk mensejahterakan setiap anggota komunitas tersebut. Program sosial yang berasal dari masyarakat untuk masyarakat seperti community development (pegembangan masyarakat) yang disponsori oleh kalangan industri adalah contoh dari kepedulian tersebut. Selain itu membangun institusi bisnis yang berdasarkan etika bisnis adalah salah satu wujud dari kepedulian. Kepedulian para pengusaha menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan sistim kapitalis akan membuat orang menjadi serakah dan hanya menjadi binatang ekonomi saja. Kritik tajam atas sistim kapitalis yang tidak memiliki kepedulian ini dengan gamblang disampaikan oleh banyak pakar (lihat Korten, 1997). Sistim kapitalis telah membuat orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin, dan membuat kerusakan lingkungan yang sangat besar. Adalah tidak adil kalau pihak korporasi menjadi kaya raya dengan melakukan kerusakan lingkungan dan pemiskinan pada masyarakat. 2. Habitat organisasi Untuk membangun masyarakat yang berorientasi pada kita bukannya kami diperlukan adanya struktur organisasi dan kepemimpinan yang sesuai. Dalam kehidupan organisasi masyarakat, apakah itu organisasi publik, organisasi politik, organisasi sosial, organisasi bisnis, dan lembaga swadaya masyarakat, pengkotakan kegiatan adalah ciri utama organisasi. Masing-masing kotak berjalan sendiri-sendiri tanpa ada pegangan visi dan misi bersama. Kondisi yang demikian ini akan menyulit pencapaian citacita bersama dalam kehidupan masyarakat. Seharusnya pengorganisasian kegiatan masyarakat harus bersifat lintas batas (borderless) dengan membentuk sinergi antar kegiatan. Dengan demikian sumberdaya (resources) yang dimiliki oleh masing-masing unit organisasi akan dapat digunakan secara bersama-sama agar diperoleh efisiensi dan nilai tambah yang tinggi. Oleh karena suatu masyarakat memiliki banyak organisasi, seharusnya ada cara untuk mempertemukan kepentingan masyarakat yang berbeda-beda

23

dalam suatu wadah, sehingga sebuah sinergi yang positif bisa diperoleh. Saya menyarankan kepemimpinan daerah yang seringkali disebut dengan Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) diperluas tidak hanya orang dalam birokrasi pemerintah baik legislatif, yudikatif, dan eksekutif, tetapi juga ditambah dengan pimpinan kelompok pelaku bisnis, majelis ulama, lembaga sosial keagamaan, lembaga pendidikan, LSM, dll. Organisasi yang sifatnya polisentrik ini akan lebih mampu menampung keinginan warga masyarakat. Organisasi polisentrik ini ibarat lima jari tangan. Jari jempol adalah eksekutif pemerintah, jari telunjuk adalah lembaga pendidikan, jari tengah adalah lembaga keagamaan, jari manis adalah para pelaku bisnis, dan jari kelingking adalah rakyat jelata yang diwakili. Tanpa salah satu jari tersebut akan sangat berkurang kekuatan sebuah genggaman tangan. Inilah gambaran sebuah modal sosial yang bisa bersinergi positif. Selain itu organisasi harus pula dipimpin oleh seorang pemimpin transformasional yang memiliki ciri sifat melayani masyarakat, yang bersifat egaliter, dan melihat sukses adalah hasil kerja semua pihak, serta yang didorong oleh motif spritual ingin menjadi rahmat untuk orang banyak. Pendapat Raka (2003) tentang persyaratan sebuah komunitas yang baik tampaknya dapat dijadikan acuan untuk menumbuhkembangkan modal sosial. Persyaratan itu adalah (1) menghilangkan sifat eksekulisfisme yang lebih menonjolkan semangat kami daripada semangat kita; (2) menghilangkan budaya sinis; (3) menghilangkan penekanan pada formalitas dengan berlindung dibalik peraturan organisasi, (4) dan tidak terjebak pada semangat transaksional yang bersifat sementara; dan (5) menghilangkan kebiasaan diskriminatif dengan memberikan perlakuan khusus pada kelompok tertentu.. Contoh habitat organisasi yang kecil yang kondusif untuk pertumbuhan individu yang memiliki modal sosial yang baik adalah keluarga yang harmonis, yang memberikan kasih sayang atas sesama anggota keluarga. Upaya untuk meningkatkan modal sosial Proses pendidikan pada umumnya sangat bersifat individual, dan kurang menekankan pada belajar kelompok. Selain itu proses pendidikan sangat berfokus pada pengembangan aspek kognitif. Modal sosial adalah bagian dari proses yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga bersifat afektif. Modal sosial muncul dari hasil kerjasama antar individu. Oleh karena itu pembentukan modal sosial hanya bisa dilakukan dengan efektif apabila melibatkan sejumlah

24

orang yang bekerjasama dalam sebuah kelompok. Beberapa peneliti juga menunjukkan bahwa belajar bersama dalam kelompok ( learning group) dapat meningkatkan hasil kerja kelompok dan perasaan menyatu dalam organisasi (lihat Cunningham, 2002). Hasil observasi terhadap dampak Leadership Development Program di PT. Caltex Pacific Indonesia beberapa waktu setelah program dilaksanakan menunjukkan adanya penguatan modal sosial. Sesama anggota perusahaan merasa lebih akrab dan melihat orang lain sebagai bagian dari sukses perusahaan ( Ancok, 1997). Salah satu bentuk pelatihan yang paling efektif adalah pembentukan kerja sama tim (team building exercise) yang dilakukan melalui pelatihan berdasarkan pengalaman di alam terbuka (lihat Ancok, 2002). Pengalaman melaksanakan kegiatan outbound management training menunjukkan bahwa kerja sama tim dan antar tim semakin meningkat pada berbagai organisasi yang menggunakan metode tersebut. Maraknya penggunaan pelatihan di alam terbuka dengan melibatkan belajar dalam kelompok di berbagai organisasi perusahaan menunjukkan bahwa metode ini dianggap efektif di dalam membangun kerjasama kelompok. Organisasi yang menggunakan metode semacam outbound ini tidak hanya lembaga bisnis. Kini semakin banyak organisasi pemerintah yang mengembangkan organisasinya melalui penerapan pelatihan kelompok di alam terbuka. Sepengetahuan saya ada dua Pemerintah Daerah, Pemda Riau dan Pemda Sumatera Bagian Selatan yang telah menerapkan metode ini yang dampaknya belum bisa dilihat karena programnya belum dilaksanakan secara tuntas. Selain itu berbagai organisasi kepemudaaanpun menggunakan metode seperti ini di dalam membangun karakter para remaja. Tampaknya pengalam hidup bersama dalam proses pelatihan ini memupuk pertumbuhan kepribadian yang menjadi pendukung munculnya modal sosial. Afiatin (2003) melaporkan berbagai hasil penelitian yang melihat dampak penggunaan pelatihan outbound bagi perkembangan kepribadian yang menumbuhkan modal sosial, misalnya Johnson & Johnson menemukan keberadaan dalam pelatihan telah menumbuhkan nuansa hidup berkomunitas. Pendidikan karakter untuk mengembangkan kemampuan individu agar bisa berinteraksi dengan orang lain juga perlu dilakukan guna peningkatan modal sosial. Pelatihan inteligensi emosional, dan pelatihan untuk membangun kebiasaan positif seperti the seven habits of highly effective people (Covey, 1990) sangat perlu dilakukan pada warga masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda. Pelatihan lain yang perlu dilakukan adalah pelatihan

25

kepemimpinan untuk menjadi pemimpin yang transformasional (Oakley & Krug, 1991). Sisi negatif modal sosial Modal sosial akan menjadi bencana apabila dimiliki oleh kelompok manusia yang tidak bermoral. Kelompok gengster mafia adalah kumpulan orang-orang yang memiliki modal sosial yang tinggi. Solidaritas dan kerjasama yang intens dapat digunakan kearah yang buruk. Oleh karena itu setiap usaha pengembangan modal sosial harus didasari oleh semangat spiritual dan etika yang tinggi. Fanatisme kelompok yang mendiskriminasikan kelompok lain adalah refleksi dari sisi negatif modal sosial. Kondisi di Indonesia setelah berlakunya undang-undang otonomi daerah tampaknya semakin menuju kearah ini. Banyak daerah yang hanya mementingkan orang dari daerahnya sendiri, dengan mendiskriminasikan orang lain yang berasal dari luar daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Gargiulo & Bernassi (1999) menunjukkan bahwa solidaritas yang kuat di dalam sebuah kelompok menimbulkan sikap diskriminatif pada kelompok lain. Hadirin yang saya muliakan Perkenankanlah saya mengakhiri pidato pengukuhan ini dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rakhmat dan karunianya yang telah dilimpahkan kepada saya sekeluarga. Hanya karena ridha Allah saya diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato ini. Pada keempatan ini saya ingin menghaturkan ucapan terima kasih kepada Majelis Guru Besar, Rektor, para Wakil Rektor, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi UGM serta tim penilai karya ilmiah saya di Fakultas dan di Universitas yang telah memproses usulan saya menjadi guru besar. Terima kasih juga pada Pemerintah RI yang telah mengesahkan pengangkatan guru besar saya. Terima kasih saya sampaikan kepada guru-guru saya di SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, khususnya kepada Bapak Prof, Dr. Masrun, MA yang telah mendidik saya dan memberikan bantuan pengiriman saya ke Amerika dan memberikan biaya hidup sewaktu saya mengalami kesulitan biaya. Terima kasih pada Prof. Sutrisno Hadi; Prof. Dr. Sri Mulyani Martaniah,MA; Prof.Dr. Sumadi Suryabrata; Prof. Dr. Bimo Walgito dan Dr. Soekarti serta guru saya yang lainnya di Fakultas Psikologi UGM yang telah mendidik saya dan menyemangati saya untuk mencintai ilmu psikologi.

26

Terima kasih pula kepada Prof. Dr. Jerry Chertkoff; Prof. Dr. Steven J. Sherman; Prof. Dr. Myrtle Scott dan Prof. Dr. Russell Fazio dari Indiana University, USA yang telah membimbing saya dalam penulisan disertasi sehingga saya dapat memperoleh gelar doktor. Terima kasih pada seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi UGM, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, dan Fakultas Psikologi, Universitas Islam Indonesia atas kerjasama yang baik selama saya aktif sebagai anggota Fakultas dan lembaga tersebut. Terima kasih juga saya sampaikan kepada keluarga Mirota Group Ibu Hendrosutikno, MbakYangki sekeluarga, keluarga mas Gunawan, SH; Pak Siswanto, Pak.Hamzah, keluarga Bapak Marsekal (purn) Udara Hanafi Asnan, dan keluarga Mas Artok karena telah banyak memberikan bantuan dalam hidup saya baik moril maupun materil. Saya juga berterima kasih kepada kakak- adik kandung serta ipar saya, Hotijah, Majidah, Sofiah, Abubakar, Suyono, Wiranto, Widianti, Candrayanti, David Wijaya, dan Diani yang secara terus menerus memberikan perhatian dan kasih sayang. Sebelum saya mengucapkan terima kasih pada keluarga yang paling dekat, perkenankan saya mengucapkan terima kasih tak terhingga pada anggota T-4 Lan-Sek (empat usia lanjut) Dr. Wisnubrata Hendroyuwono dari Universitas Padjadjaran; Prof. Dr. Frans Mardi Hartanto dan Prof. Dr. Gede Raka dari Institut Teknologi Bandung yang telah menjadi teman hidup di dalam mengembangkan modal sosial dan kehidupan penuh makna. Beliau bertiga ini telah bertindak sebagai guru , orangtua, dan sekaligus kolega saya. Saya berterima kasih pada PT. Caltex Pacific Indonesia yang telah mempertemukan saya dengan ketiga beliau ini. Melalui T-4 ini saya menemukan arti hidup yang sesungguhnya bahwa perbedaan agama, etnik, budaya, dan lembaga tempat bekerja tidaklah menjadi hambatan untuk membangun modal sosial. Ternyata perbedaan dan keanekaragaman itu telah menjadi kekuatan untuk menemukan hidup rukun yang penuh makna. Saya mengucapkan terima kasih yang dalam kepada kedua orang tua saya, Almarhum Haji Abdullah dan Hajjah Djaniah yang hari ini tidak bisa hadir karena sudah uzur, dan kedua mertua saya almarhum Mansur Djojo Rahardjo dan Kusumawati; Terakhir saya mengucapkan terima kasih yang paling dalam pada isteri saya Indrawati, dan anak saya Faizal, Alfi dan Afifa yang telah bersabar atas kesibukan saya sebagai suami dan ayah. Terakhir kali saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan perhatian Bapak dan Ibu serta semua handai tolan dalam sidang hari ini.

27

Semoga Allah meridhoi segala kebaikan hati Bapak dan Ibu semua. Amin ya robbal alamien. Wassalamualaikum,w.w. Daftar Pustaka Adler, P.S. & Seok, W.K. ( 2002). Social Capital: Prospect for A new Concept. Academy of Management Review Vol. 27. No.1, 17-40. Afiatin, T. (2003). Pengaruh program kelompok AJI dalam peningkatan harga diri, asertivitas dan pengetahuan mengenai napza untuk prevensi penyalahgunaan napza pada remaja. Disertasi. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada. Al-Quran. Jakarta:Departemen Agama, Republik Indonesia. Ancok, D. (1991) The Role of Traditional Organization on Family Planning Acceptance in Indonesia. Populasi, I, 2, 1991 pp 34-44 Ancok, D. Revitalisasi Sumber Daya Manusia dalam Era Perubahan, Kelola: Gadjah Mada University Business Review, No.8, 104117. 1995 Ancok, D. Managing Change Through Leadership Development Program: Social Psychological Approach. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, vol 12, No.3, 21-30. 1997 Ancok, D. (1998). Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium ke Tiga. Psikologika, No. 6, 5-17. Ancok, D, (2000). Tantangan milenium ketiga dan institusi pendidikan psikologi. Psikologika, No. 9, 5-16. Ancok, D. & Muchiri, M.K. ( 2001). The organization of the future: Reckoning with the digital economy. Jurnal Siasat Bisnis, Vol.2, no.6. 181-216. Ancok, D. (2002). Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.

28

Bass, B.M.(1998). Transformational Leadership: Industrial, Military, and Educational Impact. London: Lawrence Erlbaum Associate Publisher. Bendell, T; Boulter, L & Kelly, J ( 1993). Benchmarking for Competitive Advantage. London : Pitman Publishing. Bowles, S. & Gintis, H. Social capital and community governance. Paper for a symposium submitted to the Economic Journal. http://wwwunix.oit.umass.edu/bowles. Buchholz, R.A. (1990). The Evolution of Corporate Social Responsibility. Dalam Madsen, P. & Shafritz. (Eds.) Essentials of Business Ethics. New York: Penguin Books Ltd. Burt, R.S. (1997). The contingent value of social capital. Administrative Science Quarterly. Vol. 42, 339-365. Bridges, T (1997) Essay- 2: The rhetorical analysis of civic culture dalam Civic Culture : What it is. Philosophy and Civil Society Home Page. Cohen, D. & Prusak, L. (2001). In Good Company, Boston: Harvard Business School Press Coleman, J.S. (1990). Foundations of Social Theory. Cambridge: Harvard University Press. Covey, S.R. (1990). The Seven Habits of Highly Effective People. New York: A Fireside Book. Cunningham, I. (2002). Developing human and social capital in organisations. Industrial and Commercial Training, Vol. 34, No.4. 89-94. Durkin, K. (1995) Developmental Social Psychology: From Infancy to Old Age. Cambridge: Blackwell Publisher. Fricks, D.M. & Spears, L.C. (1996) On Becoming a Servant Leader. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

29

Fukuyama, F. (1995). Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. London: Hamish Hamilton. Fukuyama, F.( 1997). Social capital and the modern capitalist economy: Creating a high trust workplace. Stern Business Magazine, Vol 4. no 1. Fukuyama, F. (2000). The Great Depression: Human Nature and the Recosntitution of Social Order. London: Profile Book. Gabbay, S.M.& Zuckermana, E.W.(1998). Social capital and opportunity in corporate R&D: The contingent effect of contact density on mobility expectations. Social Science Research, vol. 27, 189-217. Giddens, A. (1998) The Third Way: (terj.) Jakarta: Gramedia. Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. Goleman, D.(2002). The New Leaders: Transforming the Art of Leadership into the Science of Results. London: Little-Brown. Hartanto, F.H. (1997). Maximizing the Value of Social Capital: An Indonesian Experience. Makalah yang disajikan dalam pertemuan Internasional di Michigan State University. Hartanto, F.H. (2002). Memahami Lingkungan Bisnis Kontemporer. Bahan Leadership Development Program. Bandung: PT. Integre Quadro. Hendroyuwono, W. (2002) Kepemimpinan Transformasional. Bahan Leadership Development Program: Bandung: PT. Integre Quadro. Hesselbein, F.; Goldsmith, M.; Beckhard, R. & Schubert, R. E. (1998). The Comunity of the Future. San Fransisco: Jossey and Bass Publisher. Kanter, R.M. (1997). Frontiers of Management. Massachussetts: Harvard Business Review Book. Korten, D. C (1997). When Corporations Rule the World. (terj.). Jakarta: Professional Books.

30

Kraatz, M.S (1998). Learning by association? Interorganizational neworks and adaptation to environmental change. Academy of Management Journal, vol 41, 621-643. Krackhardt, D. & Hanson, J.R. (1993) Informal network: The company behind the chart. Harvard Business Review, Vol 71, no. 4, 104-111. Lin, N.& Dumin, M.(1996). Access to occupation through social ties. Social Networks. vol.8, 365-385. Moore, J.F. (1996). The Death of Competition: Leadership & Strategy in the Age of Business Ecosystems. New York: Harper Business. Nahapiet, J. & Ghosal, S. Social capital, intellectual capital and the organaizational advantage. Academic of Management Review, Vol. 23, 242-266. Osborne, D dan Gaebler, T. (1992). Reinventing Government. Addison-Wesley. Reading:

Putnam, R.D (1993). The prosperous community: Social capital and public life. The American Prospect. Vol.4, no. 13. Putnam, R.D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster. Raka, G. (2003). Mengaris-bawahi peran idealisme, karakter dan komunitas dalam transformasi institusi. Risalah disampaikan sebagai Pidato Ilmiah pada Sidang Terbuka Peringatan Dies Natalis ke 44, Institut Teknologi Bandung. Schwartz, S. H. (1994) Are there universal aspects in the structure and contents of human values?. Journal of Social Issues, Vol. 50, No.4. 19-45. Senge, P.M. (1990). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. New York: Double Day.

31

Sennet, R. (1998). The Corrosion of Character: The Personal Consequences of Work in the New Capitalism. New York: W.W. Norton & Company. Sulasmi, S. (2003). Kontribusi perilaku kelompok, karakteristik anggota kelompok, dan kepemimpinan pada usaha membangun kualitas sinergi. Disertasi (draft). Bandung: Institut Teknologi Bandung. The World Bank (1999) 'What is Social Capital?', http://www.worldbank.org/poverty/scapital/whatsc.htm PovertyNet

Tjakraatmaja, J. H. (2002) Manajemen transformasi pengetahuan dalam tim dan organisasi belajar. Disertasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Velasquez, M. G.(2002). Business Ethics: Concepts and Cases. New Jersey: Prentice Hall-Upper Saddle River Wachtel, P.L. (1989) Poverty of Affluence : A Psychological Portraits of the American Way of Life. Philadelphia: New Society Publishers. Woolcock, M. (1998). Social capital and economic development: Toward a theoretical synthesis and policy framework. Theory and Society, Vol. 27, 151-208.

32