problematika kelas 5
Post on 12-Jul-2015
2.803 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN
DI KELAS V SDN BARENG 3 MALANG
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Problematika Pembelajaran
Yang dibina oleh Bapak I Made Suwardana
Oleh:
Kiki Niken Saptri 109151420271
Shely Nur Pramita R 109151422298
Dian Novianti 109151415407
Novia Anjarwati 109151415414
Lukman Nur Hidayat 109151422297
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRASEKOLAH
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
Oktober 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan sekolah merupakan salah satu bagian dari Tri Pusat
Pendidikan. Sekolah sebagai tempat proses belajar mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu pendidikan di sekolah
memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan tercapainya pendidikan
nasional secara optimal seperti yang diharapkan. Dalam proses belajar mengajar
tersebut guru menjadi pemeran utama dalam menciptakan situasi interaktif yang
edukatif, yakni interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan
sumber pembelajaran dalam menunjang tercapainya tujuan belajar.
Sebagai pendidik, guru juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai orang
tua para siswa di lingkungan sekolah. Sebagai seorang guru yang setiap hari
mengajar, guru tidak jarang harus menangani anak-anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar. Anak-anak yang sepertinya sulit sekali menerima materi
pelajaran, baik pelajaran membaca, menulis, serta berhitung yang merupakan
kebutuhan dasar yang akan dipelajari pada saat sekolah dasar. Hal ini terkadang
membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana menghadapi anak-anak
seperti ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki anak-anak yang memiliki
kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka menjadi anak yang pandai,
mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah kesedihan mereka, kerika
melihat kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan dalam belajar. Akan tetapi
yang lebih menyedihkan adalah perlakuan yang diterima anak yang mengalami
kesulitan belajar dari orang tua dan guru yang tidak mengetahui masalah yang
sebenarnya, sehingga mereka memberikan cap kepada anak mereka sebagai
anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal tanpa memahami dan menelusuri
latar belakang, sebab akibat kenapa anak tersebut mengalami kegagalan dalam
belajar.
Permasalahan- permasalahan pada lingkungan sekolah juga ditemui di
SDN Bareng 03 khususnya pada siswa kelas V. Dalam makalah ini terdapat 10
permasalahan disertai dengan landasan teori masalah serta alternatif pemecahan
masalah.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1. Apa sajakah bentuk permasalahan yang terjadi di kelas V SDN Bareng 3
Kota Malang?
2. Bagaimanakah kesesuaian antara permasalahan di kelas V dengan teori?
3. Bagaimanakah alternatif pemecahan dari masalah yang muncul di kelas V
SDN Bareng 3 Kota Malang?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari makalah ini antara
lain:
1. Menjabarkan permasalahan pembelajaran yang muncul di kelas V SDN
Bareng 3 Kota Malang
2. Menjabarkan kesesuian antara permasalahan di kelas V dengan teori
3. Menjelaskan alternatif pemecahan masalah dari permasalahan yang
muncul di kelas V SDN Bareng
BAB II
PEMBAHASAN
1. Anak Hiperaktif dan Distruptive Behavior
a. Landasan teori
Setiap pendidik mempunyai keinginan membangun keberhasilan
dalam proses belajar yang menimbulkan sikap atau perilaku yang baik.
Namun, dengan beragamnya karakteristik para peserta didik memunculkan
banyaknya ragam tingkah laku yang sejalan maupun menyimpang dengan
tujuan pembelajaran. Sering sekali ditemui permasalahan belajar karena
gangguan sosial emosional yang dapat ditemui dalam proses pembelajaran.
Hyperaktif dan distruptive behavior merupakan bagian didalam
permasalahan belajar tersebut. Menurut Kurnia (2008:6-19) Hyperaktif
adalah kecenderungan sikap anak yang tidak bisa diam, bergerak terus
menerus, suka berlarian, melompat-lompat bahkan berteriak-teriak di kelas.
Anak tipe ini sulit di kontrol dalam bertindak terutama dalam hal
mengganggu teman dan gurunya.
Sedangkan menurut Kurnia (2008: 6.20) distruptive behavior adalah
anak yang sering mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak sopan dengan
nada mengejek serta menentang guru.
Menurut teori Individual Physchologie dalam Yatim (2008: 108), anak
yang memiliki sifat tersebut, dikarenakan anak pada masa ini menderita rasa
rendah diri yang timbul sebagai akibat membandingkan dirinya dengan
orang dewasa, dimana dirinya selalu kalah dalam perbandingan itu.
Sehingga memunculkan aksi melagak atau jual aksi.
Tindakan anak seperti itu juga dapat dipengaruhi oleh faktor
perkembangan kepribadian. Menurut Kurnia (2008 : 3.31) ada tiga faktor
yang menentukan perkembangan kepribadian peserta didik, yaitu :
1. Faktor bawaan, termasuk sifat-sifat yang diturunkan secara genetik
dari orang tua kepada anaknya.
2. Pengalaman awal, terjadi pada lingkungan keluarga yang membuat
pengalaman membentuk konsep diri primer yang sangat berpengaruh
pada kepribadian anak.
3. Pengalaman kehidupan, memperkuat konsep diri dan dasar
kepribadian yang sudah ada.
b. Permasalahan
Permasalahan hyperaktif dan distruptive behavior juga ditemui di
SDN Bareng 3 Malang pada siswa kelas V. Anak yang bernama Nazar
selalu membuat ulah di dalam kelas. Mulai dari awal masuk yang tidak
mengikuti berdoa seperti teman lainnya sampai pada proses pembelajaran.
Nazar mempunyai sifat temperamental, serta sikap yang hyperaktif dan
distruptive behavior. Setiap pembelajaran dimulai, hanya beberapa detik
saja Nazar memusatkan perhatiannya. Namun, tidak lama kemudia dia akan
berteriak-teriak tidak jelas. Seringkali Nazar bermain sendiri tiarap-tiarapan
di bawah meja. Sehingga, terkadang jika ada temannya yang tertarik melihat
dia bermain maka temannya akan terpengaruh untuk mengikutinya bermain
tiarap-tiarapan. Tidak jarang sekali Nazar tiba-tiba keluar kelas dan berlari
kekamar mandi tanpa ada ijin terlebih dahulu kepada guru.
Sebenarnya guru sudah memberikan peraturan-peraturan kepada
siswa, serta memberikan penjelasan tentang hukuman yang akan didapat
bila melanggar peraturan tersebut. Mengetahui peraturan tersebut, Nazar
tidak menggubris sama sekali. Dia melakukan apa yang dia inginkan
Gambar 1.1 Nazar membuat ulah dengan berteriak-teriak tidak sopan
sendiri. Suatu hari, ketika guru meminta berdiskusi dengan kelompok
yang sudah ditentukan sebelumnya Nazar malah tidak mau ikut
berdiskusi. Nazar bermain anjing-anjingan saat yang lain berdiskusi. Guru
sudah menasehati dan mengajaknya untuk berdiskusi bersama tetapi
hasilnya tidak mempan. Ketika guru memberi hukuman, Nazar seringkali
tidak melaksanakan hukuman tersebut. Akhirnya, saat itu guru memakai
cara mendiamkan Nazar. Nazar melakukan tindakan sesuai dengan
keinginannya. Dia tetap bermain-main di kelas di saat temannya
berdiskusi. Selain sering membuat ulah di kelas, Nazar juga sering
berbiacara tidak sopan kepada guru. Jika diajari untuk berkata sopan, dia
malah menolak dan mengejek gurunya.
Tingkah laku yang luar biasa pada Nazar tidak hanya di kelas saja,
sewaktu istirahat dia sering bermain-main di tempat guru PPL berkumpul.
Berteriak-teriak dan mengejek guru PPL merupakan cara dia mencari
perhatian. Nazar juga tidak tanggung-tanggung sering membuat temannya
menangis. Namun dari semua sikapnya yang cenderung bersifat tercela,
ada sisi yang perlu diberi nilai plus dari tindakanya menjaga adiknya.
Nazar merupakan kakak dari Nizar, Nizar merupakan kembaran Nazar
yang mempunyai sikap berkebalikan dari Nazar. Sekilas tentang Nizar,
yaitu seorang anak yang pendiam, penurut, dan pintar. Setiap melihat
adiknya di luar kelasnya, Nazar langsung menemuinya dan dengan bahasa
kasarnya Nazar berkata kepada Nizar,” Lapo nang njobo... cepetan
mlebun kelaso kono lo...” (kenapa kamu di luar... cepatlah masuk kelas).
Kadang sewaktu kelas Nizar sudah istirahat duluan dan kelas Nazar
belum istirahat, Nazar sering melihat adiknya dengan penuh perhatian.
Bahkan ketika guru bertanya kenapa dia di dekat pintu, Nazar menjawab
ingin melihat adiknya. Jika ada yang berbuat jahat pada adiknya, maka
dialah anak yang pertama kali akan menolong adiknya sebaliknya juga
pada Nizar. Walaupun pendiam, Nizar juga membantu kakaknya jika
sedang bertengkar dengan temannya walaupun jelas sekali kakaknya yang
membuat kesalahan.
Masalah tersebut merupakan salah satu contoh masalah belajar
berupa hyperaktif dan distruptive behavior yang terjadi pada siswa kelas
V SDN Bareng 3. Permasalahn tersebut membuat proses pembelajaran
terhambat serta dapat mempengaruhi temannya yang lain untuk mengikuti
tindakan yang tidak seharusnya terjadi dalam kelas.
c. Alternatif pemecahan masalah
Untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan permasalahan
belajar pada anak yang hyperaktif dan distruptive behavior akan
dipaparkan beberapa alternatif pemecahan masalah sebagai berikut:
1) Pemberian perhatian lebih khusus pada anak tersebut, sehingga
penggunaan team theacing sangat efektif dilakukan agar anak tersebut
mendapatkan pelayanan yang lebih dari anak lain. Anak yang
mempunyai sikap hyperaktif dan distruptive behavior tidak dapat di
beri perlakuan keras. Perlu motivasi secara langsung agar anak tersebut
melakukan proses pembelajaran dengan baik.
2) Memberikan label baik dihadapan anak tersebut ketika berbicara
dengan orang lain. Hal tersebut bukan berarti membohongi kondisi
anak yang sebenarnya, melainkan agar anak mempunyai motivasi
bahwa dia adalah anak yang mempunyai kelakuan baik sehingga tidak
mau mengecewakan orang yang telah memujinya.
3) Mendekati anak di luar jam pelajaran. Anak dibuat senyaman mungkin
dengan kita, sehingga ketika kita bertanya dia akan menjawab secara
jujur. Ketika anak sudah percaya kepada kita, buatlah sebuah
perjanjian yang disepakati oleh anak tersebut. Menurut Santrock
(2008: 278) menggunakan perjanjian merupakan salah satu cara efektif
untuk menanamkan sikap disiplin pada anak.
4) Jika anak tetap tidak mengurangi tingkah laku yang berlebihan maka
guru dapat mengambil cara terakhir yaitu memberikan punishment.
Menurut Slavin, 1997; Eggen & Kauchak, 2004 dalam Imanuel (2009 :
41) hasil studi yang dilakukan menunjukkan penggunaan punishment
bisa berdampak negative pada perkembangan tingkahlaku anak.
Punishment yang diberikan sebelumnya sudah disepakati oleh kelas,
yaitu dengan cara yang digunakan guru masing-masing. Misalnya saja,
guru membuat peraturan disertai kartu kuning dan kartu merah.
Siapapun yang melanggar peraturan yang telah disepakati, maka akan
dikenakan kartu kuning. Dua kali melakukan kesalahan berarti juga
mendapatkan dua kali kartu kuning, dan setelah melakukan 2x
pelanggaran maka akan mendapat kartu merah yang artinya siswa akan
mendapatkan hukumannya. Peraturan tersebut harus konsisten
terhadap hukumannya, sehingga jika ada anak yang terkena kartu
merah langsung ditindak.
2. Anak Overachiver dan Individualis.
a. Landasan Teori
Seorang pendidik pasti sangat merasa senang apabila mempunyai
siswa yang mempunyai semangat belajar yang tinggi dan mempunyai
respon yang sangat cepat, namun apabila semangat belajar tersebut tidak
sesuai porsinya maka hal tersebut dapat mejadi permasalahan dalam proses
pembelajaran. Menurut Kurnia (2008: 6.21) overachiver adalah anak yang
mempunyai semangat belajar tinggi dan memberikan respon yang cepat
tetapi tidak bisa menerima kegagalan serta tidak mudah menerima kritik
dari siapapun termasuk gurunya.
Anak belajar dengan cara meniru. Menurut Imran (1995:21)
Pendidikan berlangsung dalan tiga lingkungan pendidikan, yaitu dalam
keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat ada yang secara formal,
informal dan ada pula secara nonformal. Ketiga lingkungan pendidikan itu
oleh Ki Hadjar Dewantara disebut tri pusat pendidikan. Maksudnya tiga
pusat yang secara bertahap dan terpadu mengemban suatu tanggung jawab
pendidikan bagi generasi mudanya. Ketiga penanggung jawab pendidikan
ini dituntut melakukan kerja sama diantara mereka baik secara langsung
atau tidak langsung,dengan saling menopang kegiatan yang sama secara
sendiri - sendiri maupun bersama-sama. Lingkungan keluarga merupakan
lingkungan pendidikan yang pertama dan utama, karena dalam keluarga
inilah anak pertama -tama mendapatkan didikan dan bimbingan.
Kemampuan seorang anak kecil untuk merekam tingkahlaku yang
ada disekitarnya merupakan hal yang menakjubkan. Anak juga belajar dari
pengalaman dimana dia berada. Lingkungan membentuk tingkahlaku dan
pengetahuan anak (dalam Severe, 1997: 27). Orangtua adalah tokoh utama
yang menjadi model bagi anak berbuat baik. Jangan pernah menyalahkan
anak apabila anak sering berbohong, hal tersebut didapatkan anak karena
belajar dari apa yang mereka lihat dan mereka alami.
b. Permasalahan
SDN bareng 03 merupakan SD terletak di tengah kota yang
mempunyai siswa beranekaragam karakteristiknya. Salah satunya
mempunyai siswa yang mempunyai semangat belajar tinggi dan
memberikan respon cepat melalui proses pembelajaran. Namun, sikap
tersebut diiringi oleh sikap yang kurang bisa menghargai dan tidak mau
menerima kritik dari seseorang. Ivan merupakan salah satu murid yang
termasuk kedalam overchiver. Ivan merupakan anak yang pintar, anak yang
cepat memberikan respon terhadap pembelajaran yang diberikan oleh guru.
Ivan merupakan anak yang cenderung belajar secara individual. Dia lebih
suka mengerjakan tugas secara individu daripada berdiskusi. Seringkali dia
membuat ulah, dengan melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh
dilakukan malah dilakukan.
Gambar 1.2 Ivan sedang mengejarkan soal sendiri
Waktu itu pelajaran IPA dengan materi Indera Pengecap. Guru
telah menyiapkan beberapa alat dan bahan percobaan. Guru sebelumnya
sudah menekankan agar anak tidak mecoba dahulu larutan yang diberikan
oleh guru, bahkan guru sudah membohongi anak bahwa larutan itu
memakai air mentah. Namun, mungkin karena rasa ingin mencobanya tidak
dapat dikendalikan maka Ivan melanggar aturan yang diberikan oleh guru.
Ivan meminum salah satu larutan percobaan yang diberikan guru, larutan
itu merupakan larutan jeruk nipis. Ivan yang belum mengetahui larutan
tersebut, langsung saja meludah ketika merasakan rasanya yang asam. Ivan
juga sering berteriak-teriak sendiri di dalam kelas dan ketika dia mendapat
reward yang sudah dijanjikan oleh guru, maka dia akan menagih terus
menerus selama proses pembelajaran.
Terkadang ketika guru memberikan pertanyaan Ivan selalu
mengangkat tangannya, namun ketika dia ditunjuk dia akan meminta guru
untuk mengulang pertanyaannya. Ciri khas menjawabnya yaitu garuk-garuk
kepala sambil tersenyum dan menanyakan kembali pertanyaan yang
dilontarkan guru. Saat teman-teman yang lainnya belum mengerti
penjelasan dari guru, Ivan merupakan salah satu anak yang tidak termasuk
didalamnya. Ivan mempunyai tingkah laku yang unik, dia sering tertawa
disaat sendiri. Ivan sering bermain sendiri diwaktu istirahat, dan dia
menikmati itu. Diwaktu guru mencoba mendekati, guru bertanya tentang
keluarga Ivan dan saat itu guru mulai mengetahui dasar dari tingkah laku
Ivan yang kurang wajar. Ivan adalah anak yang setiap ada tugas mengisi
biodata dari sekolah, tidak pernah mencantumkan nama ayahnya. Ketika
ditanya keberadaan ayahnya, Ivan hanya bilang dia tidak pernah
mempunyai ayah dan dia hanya dilahirkan oleh ibunya. Ibu Ivan adalah
seorang dosen di salah satu Universitas di kota Malang. Melihat dari buku
penghubung yang tidak pernah di tanda tangani oleh ibunya, maka guru
juga menyimpulkan bahwa kurangnya perhatian dan kasih sayang dari
kedua orang tuanyalah yang membuat perilaku Ivan sediki menyimpang
dari anak-anak lainnya.
Ivan sering tinggal bersama kakek dan neneknya. Tidak hanya
ibunya saja yang bekerja sebagai dosen melainkan kakeknya juga
merupakan dosen. Melihat latar belakang keluarga, Ivan mempunyai dasar
kuat untuk memiliki kecerdasan yang cukup tinggi, namun dalam
bersosialisasi kurang bisa untuk menghargai orang lain. Selain kurangnya
perhatian dan kasihsayang dari orangtuanya, kemungkinan besar dia berada
pada lingkungan yang kurang mempunyai sikap menghargai orang lain. Hal
tersebut dapat dilihat saat kakek Ivan sudah menjemput Ivan saat Ivan
mendapat giliran piket kelas.
Saat itu wali kelas Ivan mencari keberadaan Ivan, karena Ivan
harus berkewajiban membersihkan kelas sesuai dengan jadwal piket yang
disepakati. Ivan akhirnya kembali ke kelas dan melaksanakan tugasnya.
Ketika ditanya oleh guru mengapa Ivan langsung pulang saat giliran piket
kelas, Ivan hanya menjawab karena sudah dijemput kakeknya. Saat Ivan
piket kelas, tiba-tiba ada seorang kakek di depan pintu kelas Ivan dan
berkata,“Apa sekolah ini tidak mempunyai petugas kebersihan? Mengapa
malah muridnya yang disuruh bersih-bersih?”. Mendengar kata-kata
tersebut, wali kelas yang tadinya ikut menata buku tanpa mengetahui ada
orang di depan pintu langsung kaget mendengar hal tersebut. Guru Ivan
menjelaskan pada kakek Ivan tentang peraturan yang ada di sekolah, salah
satunya yaitu siswa kelas tinggi harus melaksanakan piket kelas agar
mempunyai sikap tanggungjawab, gotong royong, dan cinta kebersihan.
Namun kakek Ivan tetap tidak menerima, beliau malah menjelaskan
menurut teori dari beberapa ahli bahwa anak yang disuruh piket tersebut
tidak akan menghasilkan tindakan atau sikap khusus pada diri anak. dari hal
tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa memang dalam lingkungan
keluarga Ivan, merupakan lingkungan yang kurang bisa menerima pendapat
orang lain dan kurang adanya sikap menghargai kepada orang lain.
c. Alternatif pemecahan masalah
Pada permasalahan ini terdapat bermacam-macam cara pemecahan
masalah, yaitu sebagai berikut:
1) Berikan perhatian khusus pada anak tersebut. Menurut Triandis,
Brislin, & Hui dalam Santrock (2008: 172) anak yang individualistik
dapat diberikan cara sebagai berikut :
a) Beri lebih banyak perhatian pada keanggotaan kelompok.
b) Lebih tekankan pada kerjasama ketimbang kompetisi.
c) Jika ingin mengkritik, lakukan secara hati-hati dan hanya secara
privat.
d) Pupuklah hubungan jangka panjang.
2) Berikan pemodelan kreatif pada anak tersebut, misalnya saja tentang
ilmu lidi. Kemudian buatlah suatu kompetisi yang dilakukan secara
kelompok. Penilaian kompetisi tersebut bukan berdasarkan benar atau
salahnya jawaban, melainkan proses menjawabnya, kemudian dapat
dinilai dari tingkahlakunya kepada anggota lain dalam kelompok.
3) Guru melakukan kerjasama dengan keluarga, guru secara hati-hati
harus memberikan gambaran pada orang tua tentang sikap anaknya di
sekolah.
4) Memberikan peraturan kepada siswa, yang sudah disepakati bersama.
3. Anak Impulsif
a. Landasan teori
Impulsif adalah dorongan yang didasarkan keinginan atau untuk
pemuasan atau keinginan secara sadar maupun tidak sadar. Bertindak
impulsif adalah suatu tindakan yang didasarkan dengan adanya dorongan
untuk mengekspresikan keinginan. Bertindak impulsif juga berarti bertindak
tanpa berpikir/memikirkan tindakan itu terlebih dahulu. Dan itulah yang
biasanya dilakukan oleh pecandu, bertindak tanpa berpikir. Perilaku yang
ingin segera mendapat feedback dari lingkungannya. Perilaku yang tidak
sabar menunda keinginannya.
Biasanya anak di bawah usia 8 tahun relatif lebih impulsif dari pada
anak usia 9 - 18 tahun. Orang tua sering memandang impulsivitas sebagai
agresi, ketidakmatangan emosi. Anak impulsive sering bertengkar sehingga
dianggap anak nakal. Biasanya karena anak ini ingin segera memiliki mainan
yang sedang dimainkan temannya, tidak sabar untuk meminta jadinya
merebut. Sehingga jadi memancing terjadi keributan. Orangtua melihat anak
impulsif karena ketidakmatangan emosi. Salah satu penyebab impulsif adalah
karena perilaku orangtua yang kelewat cemas atau khawatir terhadap
anaknya.
Ciri-ciri anak impulsif :
1. Tidak mampu mengontrol diri
2. Cenderung agresif
3. Sering melanggar peraturan
4. Sering memotong pembicaraan orang lain
5. Bila mengingingkan sesuatu harus segera memperolehnya
6. Tidak sabar menunggu giliran
7. Memberikan jawaban sebelum guru selesai memberi pertanyaan
b. Permasalahan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan kelas VC SDN Bareng 03
Kota Malang, terdapat salah satu masa belajar yaitu anak impulsif. Dia
bernama Reyfondra Putra Gustivo. Sikap yang ditampakkan si reyfondra
miliki kesamaan ciri dengan ciri anak impulsive, yaitu tidak mampu
mengontrol diri, cenderung agresivf, sering melanggar peraturan dan sering
memotong pembeicaraan orang lain.
Gambar 1.3 Reyfondra memasuki kelas
Berdasarkan pengakuan dari wali kelas VC. Reyfondra ini sejak kecil
memang sudah demikian, ketika di kelas I pun, sikapnya sulit diatur, dia
bertindak semaunya sendiri. Membutuhkan perlakuan yang khusus untuk
menangani si Reyfondra ini sehingga dapat mengikuti proses pembelajaran
sebagimana mestinya.
c. Alternatif Pemecahan
1. Ajarilah anak unutk melakukan Self Talk (berkata pada diri sendiri untuk
memotivasi dirinya sendiri)
2. Bermain bersama anak
3. Membuat anak menyadari akibat/konsekuensi perbuatannya pada orang
lain, sehingga anak akan berusaha menunda reponnya.
4. Memberikan imbalan pada tingkah laku anak
5. Memberikan tanda isyarat
4. Anak Lamban Belajar (Slow Learner)
a. Landasan Teori
Dalam dunia pendidikan tentunya kita tidak akan lepas dari
permasalahan pendidikan, mulai dari permasalahan kesulitan belajar
seperti disleksia, disgrafia, dyscalculis, disfarsia, dispraksia dan
sebagainya. Selain itu ada pula permasalahan yang dihadapi oleh siswa
juga terjadi pada siswa yang cepat belajar, bisa jadi karena tidak mampu
menyesuaikan diri, lingkungan yang tidak cocok, dan lain sebagainya. Dan
masih banyak lagi permasalahan-permasalahan yang akan kita temui di
dalam dunia pendidikan.
Anak lamban belajar adalah anak yang mengalami hambatan atau
keterlambatan dalam perkembangan mental (fungsi intelektual di bawah
teman-teman seusianya) disertai ketidakmampuan/kekurangmampuan
untuk belajar dan untuk menyesuaikan diri sedemikian rupa sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Masalah-masalah yang
mungkin bisa jadi penyebab anak lamban belajar antara lain karena
masalah konsentrasi, daya ingat yang lemah, kognisi, serta masalah sosial
dan emosional.
Menurut Santrock (2008: 510-511) motivasi murid di kelas
berkaitan dengan alasan di balik perilaku murid dan sejauh mana perilaku
mereka diberi semangat, punya arah dan dipertahankan dalam jangka
waktu lama. Jika murid tidak menyelesaikan tugas karena bosan, dan
malah mengalihkan ke hal-hal lainnya, maka dia kekurangan motivasi.
Jika murid menghadapi tantangan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya,
tetapi dia terus berjuang dan mengatasi rintangan, maka dia punya
motivasi yang besar.
Karakteristis Anak Yang Lamban Belajar
1. Rata-rata prestasi belajarnya kurang dari 6,
2. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat
dibandingkan teman-teman seusianya,
3. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
4. Pernah tidak naik kelas.
c. Permasalahan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di kelas V SDN Bareng
03 Kota Malang, terdapat salah satu masalah belajar di kelas VC.
Permasalahannya adalah anak tersebut mengalami masalah Lamban Belajar.
Namanya adalah M. Ramadhani. Anak ini mengalami lamban dalam belajar.
Meskipun telah dijelaskan secara berulang-ulang, anak ini hanya menagkap
sedikit apa yang dijelaskan oleh guru. Sehinga dalam tes atau pengerjaan
soal, anak ini selalu mengalami ketinggalan atau keterlambatan. Nilainya
pun tidak terlalu bagus, dia sering mendapat nilai di bawah standar
ketuntasan minimal.
Gambar 1.4 Dani sedang persiapak masuk kelas
Wali kelaspun, mengiyakan memang anak yang bersangkutan mengalami
kelambanan dalam belajar atau dalam istilah asing disebut slow learner.
Ketika kami melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata anak yang
bersangkutan pernah tidak naik kelas. Dalam proses pembelajarannya pun,
anak sering selesai belakangandan nilainya pun kurang memuaskan.
d. Alternatif pemecahan
Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang konselor atau
guru dalam melakukan bimbingan terhadap siswa yang lambat belajar.
Strategi-strategi yang bisa dialakukan oleh seorang konselor atau guru
antara lain:
1) Bimbingan bagi anak dengan masalah konsentrasi
Untuk mengatasi masalah ini bisa dengan mengubah gaya mengajar
dan jumlah materi yang diajarkan. Siswa yang mengalami masalah
perhatian dapat ketinggalan jika materi yang diberikan terlalu cepat atau
jika beban menumpuk dengan materi yang kompleks.
2) Adakan pertemuan dengan siswa
Siswa mungkin tidak menyadari peranan perhatian dalam proses
pengajaran. Mereka juga tidak menyadari kalau perhatian merupakan
bidang kesulitan tertentu bagi mereka. Dalam pertemuan ini, guru
memberikan penjelasan dengan cara yang tanpa memberikan hukuman
atau ancaman bagi siswa.
3) Bimbing siswa lebih dekat ke proses pengajaran
Karena tanpa disadari kita telah mengalihkan perhatian kita dari
siswa. Dengan membawa siswa lebih dekat dengan kita, maka anak akan
lebih mudah menerima pelajaran dengan siswa.
4) Berikan dorongan secara langsung dan beulang-ulang
Berikan motivasi terus menerus pada siswa . kotak mata secara
langsung sangat diperlukan kepada siswa. Agar siswa merasa kalau dirinya
diperhatikan. Penghargaan juga perlu diberikan pada siswa unutk
menambah motivasi siswa.
5) Utamakan Ketekunan perhatian daripada kecepatan menyelesaikan tugas
Siswa akan merasa kecil hati dan tidak diperhatikan bila mereka
dihukum karena tidak menyelesaikan tugas dengan cepat seperti teman
yang lain
6) Ajarkan self monitoring of attention
Melatih siswa untuk memantau perhatian mereka sendiri sewaktu-
waktu dengan menggunakan timer. Dengan ini mereka diajarkan untuk
menjawab dengan ketepatan waktu, sehingga lama-kelamaan siswa akan
terbiasa mengerjakan sesuatu sesuai dengan waktu yang ditentukan.
5. Perilaku Menyimpang Guru (Mengoperasikan jejaring sosial saat
mengajar di kelas)
a. Landasan teori
Guru Indonesia selalu tampil secara profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru Indonesia
memiliki kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya utama untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Menurut Ibrahim (2004: 53-54) guru Indonesia adalah insan yang
layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
khususnya oleh peserta didik yang dalam melaksanakan tugas berpegang
teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut
wuri handayani”. Tut Wuri Handayani mengandung arti pendidik dengan
kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh,
tidak menarik-narik anak dari depan, membiarkan anak mencari jalan
sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya.
Peranan guru semakin penting dalam era global. Hanya melalui
bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya
manusia yang berkualitas, kompetetif dan produktif sebagai aset nasional
dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan di
masa mendatang. Dalam melaksanakan tugas profesinya guru Indonesia
menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia
sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam
bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik
putera-puteri bangsa (Sudrajat, 2000).
Dengan pembaharuan pendidikan yang semakin berkembang luas di
negara kita ini, maka perlu dipermasalahkan tentang ahli kependidikan atau
guru yang profesional. Setiap guru ataupun tenaga kependidikan harus
menyadari profesinya secara mendalam, sehingga tidak akan mudah mereka
berganti profesi. Pekerjaan guru adalah profesional. Ciri khas dari suatu
profesi terlihat dengan adanya suatu peraturan yang mengikat jabatan itu.
Maka profesi guru, perlu memiliki kode etik guru. Perkataan “etik” berasal
dari perkataan Yunani “ethos” yang berarti watak, adat atau cara hidup.
Disini dapat diartikan bahwa etik itu menunjukkan “cara berbuat yang
menjadi adat karena persetujuan dari kelompok manusia”. Dan etik ini
biasanya dipakai untuk pengkajian sistem nila-nilai atau kode. Sehingga
bisa diterjemahkan dengan “Kode Etik” (Roestiyah, 1982: 182-183).
Menurut Roestiyah (1982: 181) seorang pendidik profesional adalah
seseorang yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap profesional,
yang mampu dan setia mengembangkan profesinya, menjadi anggota
organisasi profesional pendidikan, memegang teguh kode etik profesinya,
ikut serta di dalam mengkomunikasikan usaha pengembangan profesi dan
bekerja sama dengan profesi yang lain.
Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki
andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk
mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua
mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan
terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa,
2005:10).
b. Permasalahan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Kelas V Sekolah Dasar
Negeri Jatimulyo 5 Kota Malang, nampak bahwa ada salah satu guru kelas V
yang bernama Bu Dina setiap kali mengajar selalu mengoperasikan jejaring
sosial menggunakan blackberry miliknya. Beliau selalu mendownload lagu dan
artis korea. Dalam pembelajarannya di kelas pun guru yang bersangkutan
kurang bersahabat dengan siswanya. Seperti ada jarak antara guru dan siswa.
Guru sering mengajar dengan hanya memberikan tugas untuk mengerjakan
buku paket atau LKS. Setelah melakukan observasi ternyata guru yang
bersangkutan telah mendapat teguran dari sesama guru kelas V. Karena pada
saat masuk ke kelas tersebut, Bu Dina selalu sibuk dengan blackberry
miliknya. Padahal siswanya ramai sendiri, tapi dengan perilaku guru teresbut
siswa tambah senang karena mereka bisa mengobrol dengan teman-temannya.
Bu Dina sibuk dengan blackberry miliknya, ternyata tidak hanya pada
saat mengajar di kelas, tetapi pada saat berada di ruang guru ternyata Beliau
juga berperilaku demikian. Padahal guru tersebut juga sudah bersertifikasi.
Ternyata saat dilakukan wawancara dengan guru yang bersangkutan, Beliau
memang bosan dengan rutinitas mengajar, jadi memerlukan refreshing yaitu
Gambar 1.5 Guru yang sedang keluar kelas untuk mengoprasikan jejaring sosial
dengan mengoperasikan blackberry miliknya. Tidak peduli di manapun
tempatnya, Beliau selalu melakukan hal yang demikian. Ketika bertanya
kepada siswa yang diajar Beliau memang guru tersebut juga demikian, ketika
mengajar setelah siswa diberi tugas ia langsung mengoperasikan blackberry
miliknya.
Perilaku tersebut sangat bertentangan dengan dan azas pendidikan yaitu
Tut Wuri Handayani dan kode etik profesional seorang guru Pasal 6 ayat 1
bagian a yaitu: (1) hubungan guru dengan peserta didik: a. Guru berperilaku
secara profesional dalam melaksanakan tugas didik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil
pembelajaran (Sudrajat, 2000).
c. Alternatif pemecahan
Berdasarkan permasalahan perilaku menyimpang guru yaitu
mengoperasikan jejaring sosial saat mengajar di kelas ada beberapa alternatif
pemecahan masalah, diantaranya:
1) Melalui pengingatan atau peneguran melalui teman sesama guru, dan hal
ini telah dilakukan oleh salah seorang guru berulang kali, namun tetap
tidak ada perubahan dari pihak guru tersebut.
2) Kepala sekolah seharusnya lebih memperhatikan para guru dan staf
pengajar di sekolah dengan cara melakukan kunjungan atau sidak ke kelas-
kelas saat proses pembelajaran berlangsung. Hal ini bertujuan untuk
memantau kerja para guru di sekolah tersebut.
3) Harus ada peraturan dari kepala sekolah tentang penggunaan barang-
barang milik pribadi seperti Hp atau Blackberry tidak pada jam mengajar.
Atau kalau memang mendesak, sebaiknya menggunakannya di luar kelas.
Dengan izin pada siswa untuk keluar sebentar. Sehingga tidak
mengganggu proses belajar di kelas.
4) Kesadaran dari guru tersebut bahwa ia adalah seorang guru yang memiliki
kode etik profesional keguruan dan sebagai seorang guru harus
menjunjung tinggi azas pendidikan Tut Wuri Handayani yang digagas
oleh Ki Hajar Dewantara.
6. Anak cenderung cepat bosan (Distractibility Child)
a. Landasan teori
Perkembangan seorang anak mengikuti pola tertentu yang dapat
diramalkan. Misalnya pola-pola teratur dari perkembangan fisik, bicara dan
perkembangan intelektual. Jika kondisi lingkungan (seperti faktor makanan,
kesehatan dan pendidikan) tidak menghambat, perkembangan anak akan
mengikuti pola umum. Tetapi sering kondisi tersebut tidak terpenuhi, dan oleh
karena itu, ada tugas tambahan bagi guru pembimbing untuk mengkaji pola
perkembangan siswa tertentu. Hal ini dikarenakan tidak adanya kejelasan yang
menyatakan bahwa individu-individu memiliki pola perkembangannya sendiri
walaupun ternyata bahwa laju perkembangan dari satu individu dengan
individu lainnya adalah berbeda.
Sehingga Ridwan (1998: 112) menyebutkan bahwa setiap individu anak
berbeda, jadi orang tidak dapat meramalkan secara tepat bagaimana orang akan
mereaksi terhadap suatu situasi sekalipun ada informasi yang cukup tentang
kemampuannya, dan sekalipun diketahui bagaimana orang pada umumnya
berperilkau pada situasi yang sama. Juga seseorang tidak dapat mengharapkan
hasil yang sama dari orang lain dengan perkembangan usia dan intelektual
yang sama. Akhirnya, perbedaan individu justru berarti karena perbedaan ini
diperlukan bagi individualitas dalam pembentukan kepribadian. Pembentukan
kepribadian seorang anak tidak lepas dari lingkungan sosial. Kadangkala
lingkungan sosial tersebut sulit sekali dikontrol anak untuk bisa sesuai dengan
keinginannya. Sehingga, pada kenyataanya di lapangan banyak sekali ditemui
anak yang pada saat masih belajar mengalami masalah gangguan sosial
emosional.
Menurut Kurnia (2008: 19) gangguan sosial emosional, satu
diantaranya adalah distractibility child yaitu tipe anak yang cenderung cepat
bosan. Tapi juga cepat tertarik pada hal-hal baru. Ia sering kali mengalihkan
perhatiannya ke berbagai objek lain di kelas. Anak ini sangat mudah
dipengaruhi, namun tidak dapat memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan
yang berlangsung di kelas. Dan hal ini menghambat anak, untuk bisa
menyelesaikan tugas-tugasnya di sekolah.
Menurut Santrock (2008: 510-511) motivasi murid di kelas berkaitan
dengan alasan di balik perilaku murid dan sejauh mana perilaku mereka diberi
semangat, punya arah dan dipertahankan dalam jangka waktu lama. Jika murid
tidak menyelesaikan tugas karena bosan, dan malah mengalihkan ke hal-hal
lainnya, maka dia kekurangan motivasi. Jika murid menghadapi tantangan
dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, tetapi dia terus berjuang dan mengatasi
rintangan, maka dia punya motivasi yang besar.
Siswa yang cenderung merasa bosan di kelasnya akibat kurang
efektifnya manajemen kelas seorang guru. Padahal, seorang guru di kelas ibarat
seorang sopir yang akan membawa para penumpangnya pergi kemana dengan
kondisi selamat atau tidak. Menurut para ahli psikologi guru yang efektif
adalah membangun dan mempertahankan lingkungan belajar yang kondusif.
Agar lingkungan itu optimal, guru perlu senatiasa meninjau ulang strategi
penataan dan prosedur pengajaran, pengorganisasian kelompok, monitoring,
dan mengaktifkan kelas, serta menangani tindakan murid yang mengganggu
kelas (Algozzine & Kay, 2002; Emmer & Stough, 2001; Lindberg & Swick,
2002; Martella, Nelson & Marchand-Martella, 2003 dalam Santrock (2008: 9)).
Selain itu guru yang efektif adalah guru yang punya strategi yang baik
untuk memotivasi murid agar merasa nyaman di kelas, tidak cepat merasa
bosan, dan aktif saat pelajaran (Boekaerts, Pintrich & Zeidner, 2000; Stipeck,
2002 dalam Santrock (2008: 9)).
b. Permasalahan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Kelas V Sekolah Dasar
Negeri Bareng 3 Kota Malang, salah satu masalah ditemukan di kelas VB.
Permasalahan di kelas VB ada anak yang bernama Yananta ketika di dalam
kelas dia cepat bosan. Tapi juga cepat tertarik pada hal-hal baru. Ia sering kali
mengalihkan perhatiannya ke berbagai objek lain di kelas. Anak ini sangat
mudah dipengaruhi, namun tidak dapat memusatkan perhatian pada kegiatan-
kegiatan yang berlangsung di kelas. Dan hal ini menghambat anak, untuk bisa
menyelesaikan tugas-tugasnya di sekolah dan mengganggu proses KBM di
kelas.
Bentuk permasalahan yang dialami oleh anak yang bernama Yananta
ketika diajar Bu Evi matapelajaran IPA ia adalah anak yang sangat menarik
perhatian diantara anak yang menarik untuk diperhatikan. Ketika itu ia duduk
di bangku yang paling depan. Saat guru menjelaskan, awalnya ia juga ikut
memperhatikan. Tetapi jeda waktu 10 menit ia mulai bertingkah ijin ke kamar
mandi. Waktu itu saya mengikuti, ternyata Yananta tidak ke kamar mandi
melainkan ke kantin membeli jajan. Kemudian saat ia kembali ke kelas ia
mulai memperhatikan guru kembali, tak lama setelah itu ia kembali mengajak
teman sebangkunya mengobrol. Bu Evi pun mengingatkan, tapi tak lama
kemudian Yananta kembali mengajak mengobrol teman di belakangnya.
Teguran kedua dari Bu Evi kembali ia terima. Saat Bu Evi menyalakan LCD
untuk memperlihatkan video pembelajaran tentang penyesuaian diri hewan ia
pun berteriak “Bu, kok lucu.....hewan apa itu?” Bu Evi pun menjawab “Ini
adalah hewan bunglon”. Ia pun kembali bertanya pada gurunya “Lho Bu.....kok
warna tubuhnya berubah-ubah, seperti siluman ya Bu?”. Sontak semua anak
satu kelas menertawakannya. Bu Evi memberi komentar “Ini bukan siluman,
Gambar 1.6 Yananta sedang menerima hukuman guru dan mengalihkan perhatian dengan
mengangkat kaki ke atas
tapi ini adalah hewan jenis reptil yaitu bunglon yang menyesuaikan diri
terhadap lingkungannya dengan cara berubah warna tubuhnya”. Bu Evi pun
bertanya pada Yananta “Apakah yang dimaksud dengan adaptasi?” ia malah
mengalihkan perhatian dengan “Bu, low kok LCD nya mati?mati lampu ya
Bu....” teman sekelasnya kembali tertawa. Tak lama kemudian, saat Bu Evi
menyuruh anak-anak untuk mengerjakan soal latihan, ia mulai mengalihkan
perhatian “Bu, papan tulisnya tak hapus ya?” Bu Evi kembali menegur.
“Yananta, Ibu menyuruh kamu untuk mengerjakan soal latihan bukan untuk
menghapus papan tulis. Ayo, cepat dikerjakan! Teman-temanmu sudah hampir
selesai itu low!”. Dan kejadian seperti itu berulang kali terjadi saat proses
pembelajaran di langsung.
Saat melakukan wawancara dengan Bu Evi, memang Yananta tipe anak
yang cepat bosan, dan ia pun sering mengalihkan perhatian ke hal-hal yang ada
di sekitarnya. Tapi uniknya ia mudah tertarik dengan hal-hal baru, walaupun
dengan hal baru tersebut ia juga akan tetap merasa bosan.
Ketika melakukan observasi tentang penyebab mengapa anak tersebut
berperilaku demikian, ternyata Yananta sering tidak diikut sertakan dalam
aktifitas belajar saat belajar di kelas, ia pun sering dimarahi guru karena sering
melakukan perilaku yang mengganggu teman-temannya, dan ia pun ternyata di
rumah termasuk anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Ia
adalah anak pertama dari lima saudara. Adik keduanya kelas 4 tapi beda
sekolah dengan Yananta, adik ketiganya kelas 2, adik keempatnya kelas TK A,
dan adik terakhirnya masih berumur 4 tahun. Ayahnya juga sibuk bekerja, dan
ibunya harus membagi perhatiaannya kepada adik-adiknya.
c. Alternatif pemecahan
Berdasarkan permasalahan distractibility child ada beberapa alternatif
pemecahan masalahnya. Diantaranya:
1) Menurut Santrock (2008: 510-511) jika anak tidak menyelesaikan tugas
karena bosan, dan malah mengalihkan ke hal-hal lainnya, maka dia
kekurangan motivasi. Maka cara yang paling efektif yaitu dengan
memberikan motivasi kepada anak. Motivasi yang efektif berupa kata-kata
pujian atau sanjungan pada anak, tapi juga diiringi dengan sentuhan.
2) Menurut Algozzine & Kay, 2002; Emmer & Stough, 2001; Lindberg &
Swick, 2002; Martella, Nelson & Marchand-Martella, 2003 dalam
Santrock (2008: 9) dengan cara menjadi seorang guru yang efektif yang
memiliki keahlian manajemen kelas dan keahlian motivasional yang baik.
Keahlian manajemen kelas meliputi:
a. meninjau ulang strategi penataan ruang kelas
b. melakukan prosedur pengajaran yang baik
c. pengorganisasian kelompok
d. monitoring
e. mengaktifkan kelas
f. menangani tindakan murid
3) Memberi perhatian khusus kepada anak seperti Yananta, dengan selalu
menjaga moodnya agar tidak cepat bosan. Jika dia mulai bosan ajaklah
bernyanyi atau melakukan hal-hal yang baru bagi dia.
4) Ciptakan kondisi lingkungan belajar menarik, dengan menggunakan model
dan media yang menarik bagi anak.
5) Beri reward kepada setiap siswa yang berhasil menyelesaikan tugasnya
dengan baik berupa ucapan motivasi.
6) Jangan pernah mengingatkan dia dengan cara membentak, tapi sebaliknya
dengan menggunakan kata-kata yang halus.
7) Beri kesempatan anak untuk mengaktifkan diri, dengan sering menyuruh
anak untuk mengerjakan tugas di depan.
8) Guru mengajar mengajar dengan hati. Enam belas pilar pembentukan
karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
1. kasih sayang,
2. penghargaan,
3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
4. kepercayaan,
5. kerjasama,
6. saling berbagi,
7. saling memotivasi,
8. saling mendengarkan,
9. saling berinteraksi secara positif,
10. saling menanamkan nilai-nilai moral,
11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
12. saling menularkan antusiasme,
13. saling menggali potensi diri,
14. saling mengajari dengan kerendahan hati,
15. saling menginsiprasi,
16. saling menghormati perbedaan (Ronnie, 2005:62).
9) Guru melakukan hubungan dan komunikasi yang berkesinambungan
dengan pihak keluarga yang bersangkutan, untuk lebih memperhatikan
anaknya ketika berada di rumah.
7. Anak yang ditolak dalam pergaulannya (rejected children)
a. Landasan teori
Manusia sebagai makhluk sosial, senantiasa berhubungan dengan
manusia lainnya dalam masyarakat. Hubungan sosial merupakan hubungan
antarmanusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial dimulai dari
tingkat yang sederhana yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana.
Semakin dewasa, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan
demikian, tingkat hubungan sosial juga berkembang menjadi amat
kompleks. Pada jenjang perkembangan remaja, seorang remaja bukan saja
memerlukan orang lain demi memenuhi kebutuhan pribadinya, tetapi
mengandung maksud untuk disimpulkan bahwa pengertian perkembangan
sosial adalah berkembangnya tingkat hubungan antar manusia sehubungan
dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia. Pendidikan merupakan
media sosialisasi yang terarah bagi anak. sebagai proses pengoperan ilmu
yang normatif, pendidikan akan memberi warna terhadap kehidupan sosial
anak di masa yang akan datang (Fatimah, 2008: 92).
Menurut Hurlock (1980:155-156), akhir masa anak –anak sering
disebut sebagai usia berkelompok karena ditandai dengan adanya minat
terhadap aktivitas teman –teman dan meningkatnya keinginan yang kuat
untuk dapat diterima sebagai anggota kelompok dan merasa tidak puas bila
tidak bersama –sama dengan temannya. Anak tidak lagi puas bermain-
main sendiri di rumah atau dengan saudara -saudara kandungnya atau
melakukan kegiatan dengan keluarganya. Anak ingin bersama teman –
temannya dan merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama dengan
teman –temannya.
Ketika anak berada di kelas tinggi sekolah dasar, anak berada pada
pertengahan dan akhir masa anak-anak. menurut Desmita (2008:185), pada
masa pertengahan dan akhir-akhir, anak mulai mengembangkan suatu
penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Pemilihan teman
terjadi pada masa anak –anak. Pemilihan tersebut memberikan peluang
apakah anak dipilih temannya sehingga menjadi anak populer atau
diabaikan oleh teman –temannya sehingga menjadi anak yang tidak
populer.
Anak yang populer adalah anak yang ramah, suka bergaul,
bersahabat, sangat peka secara social dan mudah bekerja sama dengan
orang lain, selain itu anak yang populer adalah anak –anak yang dapat
menjalin interaksi social dengan mudah, memahami situasi social,
memiliki ketrampilan tinggi dalam hubungan antar pribadi dan cenderung
bertindak kooperatif, prososial seta selaras dengan norma –norma
kelompok (Desmita, 2008:186). Jadi anak yang populer cenderung tidak
memiliki masalah dalam proses sosialisasi mereka dan interaksi mereka
dengan orang –orang disekitarnya.
Berkebalikan dengan anak yang populer, anak non populer
cenderung mengalami masalah dalam perkembangan sosialisasinya.
Dalam Desmita (2008:187), anak tidak populer dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1) anak –anak diabaikan (neglected children).
Anak -anak diabaikan adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari
teman –teman sebaya mereka, tetapi bukan berarti mereka tidak disenangi
oleh teman –teman sebayanya.
2) anak –anak ditolak (rejected children)
Anak yang ditolak adalah mereka yang tidak disukai oleh teman-temannya
dan cenderung bersifat mengganggu, egois dan mempunyai sedikit sifat
positif. Akan tetapi tidak semua anak yang ditolak bersifat agresif.
Meskipun perilaku agresif impulsive dan mengganggu mereka sering
menjadi penyebab mengapa mereka mengalami penolakan, namun kira –
kira 10-20% anak –anak yang ditolak adalah anak –anak pemalu
b. Permasalahan
Permasalahan anak yang ditolak dalam pergaulannya ditemui di kelas V
SDN Bareng 3. Salah satu siswa di kelas V yang bernama Nanda merupakan
anak yang ditolak dari pergaulan dengan teman sebayanya. Ketika
pembelajaran secara berkelompok, semua anak di kelas tersebut tidak
menerima Nanda sebagai salah satu anggotanya dan menolak apabila guru
memasukkan Nanda pada salah satu kelompok. Apabila guru memaksa
memasukkan Nanda pada salah satu kelompok, maka teman dalam kelompok
tersebut tidak menghiraukan kehadiran Nanda dan tidak mengikutsertakannya
dalam kerja kelompok.
Selain ditolak dalam kegiatan berkelompok, Nanda juga mendapat
cemooh dari teman kelasnya. Apabila Nanda mendapat ditunjuk untuk
menjawab suatu pertanyaana, tetapi jawabannya salah, maka teman-temannya
akan mengejeknya sebagai anak yang bodoh. Permasalahan tersebut juga
terjadi di luar kelas. Nanda tidak memiliki teman dalam bermain, ia cenderung
menyendiri dan tidak mau bergaul dengan teman-temannya.
Gambar 1.7 Nanda bermain sendiri saat waktu istirahat
Ketika penyebab permasalahan ini ditanyakan kepada siswa kelas V,
mereka tidak ingin berteman dengan Nanda dikarenakan Nanda anak yang
pemalu dan pada kelas-kelas sebelumnya pernah buang air besar di celana.
Selain itu, Nanda memiliki bau badan sehingga teman-temannya merasa jijik
jika berteman dengannya.
Perlakuan teman sebayanya tersebut mengakibatkan Nanda menjadi
anak yang pemalu dan penyendiri. Hal ini mengakibatkan ia tidak memiliki
motivasi dalam belajarnya sehingga pelajarannya tertinggal. Hal ini juga
secara tidak langsung berpengaruh pada kegiatan belajar teman sekelasnya.
Ketika Nanda berbuat kesalahan, maka teman yang lainnya akan mengejeknya
sehingga kelas cenderung ramai dan tidak focus dalam pembelajaran
c. Alternatif pemecahannya
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, alternatif pemecahannya antara
lain:
1) Memberikan pengertian kepada rejected children (Nanda) tersebut untuk
mengubah penyebab ia tidak disukai teman-temannya. Siswa tersebut
memerlukan bimbingan sosial-pribadi. Menurut Yusuf (2008:11),
bimbingan sosial-pribadi merupakan bimbingan untuk membantu para
individu dalam memecahkan masalah-maasalah sosial-pribadi, misalnya
masalah hubungan dengan teman sebaya, dengan guru atau dengan staf
sekolah. Cara yang dapat dilakukan antara lain:
a) Memberikan pengertian kepada siswa bahwa guru adalah orang tua
siswa di sekolah. Siswa diberikan nasehat agar tidak merasa malu
mengungkapkan keinginannya kepada guru, misalnya meminta ijin ke
kamar mandi.
b) Memberikan pengarahan kepada siswa untuk selalu menjaga
kebersihan dirinya agar teman-temannya tidak merasa terganggu
dengan kehadirannya.
2) Melakukan hubungan dengan orang tua siswa untuk memperhatikan
perkembangan anaknya, terutama dalam perkembangan sosialnya. Menurut
Fatimah (2008:92), keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama
yang memberikan banyak pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan
sosial anak. keluarga merupakan media sosialisasi yang paling efektif bagi
anak.
3) Memberikan pengertian kepada teman sekelas rejected children tersebut
agar menerima siswa yang bersangkutan dalam kelompok. Cara yang dapat
dilakukan adalah dengan mengembangkan pendidikan karakter pada diri
siswa, terutama karakter sikap penghargaan kepada setiap manusia.
4) Melakukan metode pembelajaran yang melibatkan semua siswa dan
memerlukan kerja sama antar siswa, misalnya melalui permainan.menurut
Kurnia (2008: 21), anak sekolah dasar (6-12 tahun) disebut juga usia
bermain, karena minat dan kegiatan bermain anak semakin meluas dengan
lingkungan yang lebih bervariasi. Guru dapat melakukan permainan
kooperatif yang membutuhkan kerja sama antar siswa sehingga interaksi
antara anak popular dan anak yang tidak popular menjadi lebih dekat.
Dalam permainan kooperatif, anak-anak bermain dalam kelompok yang
terorganisir, dimana setiap anak mempunyai peranan sendiri-sendiri,
misalnya dengan permainan bisik berantai.
8. Anak yang bermain telepon genggam (handphone) saat kegiatan
belajar mengajar
a. Landasan teori
Perkembangan teknologi yang pesat melahirkan berbagai inovasi baru
dalam kehidupan manusia, baik dalam bidang transportasi, komunikasi
maupun ilmu pengetahuan. Salah satu produk dari perkembangan teknologi ini
adalah adanya handphone. Handphone adalah teknologi yang diciptakan oleh
manusia untuk mempermudah komunikasi. Saat ini handphone sudah beragam
macamnya, walau fungsi utamanya adalah untuk menelepon/berbicara jarak
jauh, fitur handphone sudah banyak berkembang., mulai dari penambahan
fitur kamera, MP3, bahkan jaringan internet.
Di zaman serba teknologi seperti sekarang ini, handphone atau ponsel
bukanlah barang asing bagi siapapun. Bahkan, anak-anak usia sekolah dasar
pun sudah banyak yang bermain dengan handphone. Sebagian anak-anak yang
memiliki handphone ini membawanya ke sekolah. Alasan anak membawa
telepon genggam ke sekolah adalah sebagai alat komunikasi dengan orang
tuanya ketika jam pulang sekolah tiba.
Penggunaan handphone ketika jam pelajaran berlangsung
mengakibatkan perhatian siswa teralihkan. Padahal, perhatian merupakan
salah satu prinsip belajar yang penting agar pembelajaran berlangsung secara
efektif. Menurut Gagne dan Berliner dalam Dimyati (2006:42), perhatian
mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Perhatian adalah
pemusatan tenaga psikis atau aktivitas jiwa yang tertuju kepada suatu objek
dan mengesampingkan objek yang lain. Dari kajian teori belajar pengolahan
informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi
belajar.
b. Permasalahan
SDN Bareng merupakan salah satu sekolah dasar yang berada di tengah
kota. Sebagian besar siswa di sekolah merupakan anak-anak dari keluarga
menengah ke atas. Tidaklah mengherankan apabila siswa di sekolah ini
memiliki peralatan dan fasilitas belajar yang cukup lengkap. Salah satunya
adalah kepemilikan handphone atau telepon genggam. Sebagian besar siswa,
terutama siswa kelas tinggi membawa handphone tersebut ke sekolah. Alasan
yang dikemukakan siswa adalah handphone tersebut digunakan untuk
menghubungi orang tuanya, terutama saat jam pelajaran berakhir.
Ketika observasi di kelas VA SDN Bareng 3 dilakukan, pelajaran
Bahasa Indonesia sedang berlangsung dan guru menjelaskan materi di depan
kelas. Sebagian besar siswa memperhatikan penjelasan guru, namun terlihat di
bagian belakang terdapat beberapa siswa yang bermain game di handphone
dan tidak memperhatikan penjelasan guru.
Selain di dalam kelas, pemakaian handphone di sekolah juga terjadi
ketika siswa belajar di luar kelas. Ketika siswa ditugaskan menggambar di luar
kelas pada mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, banyak di antara
siswa mengabaikan tugas tersebut dan bermain game dengan handphone
mereka. Akibatnya, ketika waktu habis, ada beberapa siswa yang tidak
mengumpulkan tugasnya.
c. Alternatif pemecahannya
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berikut ini terdapat beberapa
alternative pemecahannya, yaitu:
1) Mempertegas peraturan sekolah untuk melarang siswanya membawa
handphone atau telepon genggam ke sekolah. Dengan adanya peraturan
yang tegas, maka penyalahgunaan telepon genggam di sekolah diharapkan
akan berkurang. Dengan adanya peraturan sekolah tersebut, guru ataupun
staf sekolah sesekali melakukan sidak untuk memeriksa siswa yang masih
membawa handphone.
2) Melakukan pemeriksaan bagi siswa yang membawa telepon genggam,
terutama dari foto atau video yang ada dalam handphone tersebut
Gambar 1.8 Siswa bermain hp saat kegiatan belajar di luar kelas
3) Menyediakan telepon umum sebagai sarana siswa untuk menghubungi
orangtuanya. Dengan penyediaan sarana telepon umum, siswa tidak lagi
memerlukan handphone.
4) Untuk menarik perhatian siswa, hendaknya guru menggunakan pengajaran
yang menarik bagi siswa, mendasarkan pada hal-hal yang sudah dikenal
anak dan berisi sesuatu yang baru baginya.
9. Pembelajaran Lebih Berpusat pada Guru (Teacher Center)
a. Landasan teori
Pembelajaran akan lebih bermakna bagi anak jika anak dapat
mengalami langsung dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
Seperti dalam teori yang dikemukakan Ausubel, pembelajaran akan lebih
bermakna jika ada pengalaman langsung yang dilakukan anak pada
lingkungan sekitarnya. Jadi perang lingkungan sebagai salah satu sumber
belajar juga sangat penting dsini.
Guru sebagai fasilitator, seyogyanya tidaklah menguasai penuh
suatu proses pembelajaran, melainkan memberikan kesempatan bagi anak
untuk mengembangkan pengetahuannya melalui serangkaian kegiatan untuk
menemukan konsep. Guru yang terlalu mendominasi jalannya proses belajar
mengajar di kelas dikenal dengan pembelajran “teacher center”.
Pembelajaran Teacher Center adalah proses pembelajaran dimana guru
menjadi pusat pembelajaran. Peserta didik hanya menjadi objek
pembelajaran.
Menurut Djamarah (2006: 82), latar belakang pendidikan guru
diakui mempengaruhi kompetensi. Kurangnya penguasaan terhadap
berbagai jenis metode menjadi kendala dalam memilih dan menentukan
metode. Sungguh pun begitu, baik dia berlatar belakang pendidikan guru
maupun dia yang berlatar belakang bukan pendidikan guru, dan sama-
sama minim pengalaman mengajar di kelas, cenderung sukar memilih
metode yang tepat.
Dalam pembelajaran teacher center, gurulah yang harus menjadi
pusat dalam KBM dan memegang peran sangat penting. Guru
menentukan segalanya. Mau diapakan siswa, apa yang harus dikuasai
siswa, semua tergantung guru. Guru lebih banyak menggunakan metode
ceramah. Menurut Makmun (2005:239), metode ceramah adalah suatu
cara belajar mengajar dimana bahan disajikan oleh gurusecara monologue
(sologuy)sehingga pembicaraan lebih bersifat satu arah (one way
communication). Sedangkan menurut Djamarah (2006:97), metode
ceramah adalah cara penyajian pelajaran yang dilakukan guru dengan
penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa.
Posisi siswa dalam pembelajaran seharusnya yang paling utama
yakni sebagai subyek bukan obyek belajar. Hal ini sesuai dengan prinsip
belajar aktif yang dikemukakan oleh Soulders &Prescott (dalam Johnson,
2002: 154) bahwa belajar aktif yang disebut juga belajar “langsung” yakni
belajar yang membuat belajar melekat. Mencari dan menggabungkan
informasi secara aktif dari tempat kerja, masyarakat, maupun ruang kelas,
lalu menggunakannnya untuk alasan tertentu akan menyematkan
informasi tersebut dalam ingatan.
b. Permasalahan
Salah satu bentuk permasalahan pembelajaran yang terjadi di kelas 5
SDN Bareng 3 adalah cara pembelajaran yang masih berpusat pada guru
atau pembelajaran teacher center. Guru di masing-masing kelas 5, yakni Bu
Imah, Bu Sugiarti dan Bu Sri Astuti umumnya masih cenderung
menerapkan pembelajaran teacher center di kelas yang mana siswa lebih
pasif dan gurulah yang aktif dalam proses belajar mengajar.
Pembelajaran teacher center ini khususnya sangat tidak cocok
diterapkan pada bidang studi yang menuntun unjuk kerja dari siswa dalam
menemukan konsep, misalnya pada materi bahan makanan yang
mengandung karbohidrat, protein, dan lemak. Guru kelas 5 tidak
menggunakan metode demonstrasi atau eksperimen dalam mengajarkan
materi ini melainkan malah dengan mengggunakan metode ceramah.
Gambar 1.9 Bu Imah saat menggunakan metode ceramah
Kekurangcocokan metode yang digunakan guru ini dapat
menimbulkan dampak negatif bagi pemahamann konsep anak karena jika
guru yang menggunakan metode ceramah tersebut kurang menguasai
materi, maka informasi yang diberikan bisa salah untuk setrusnya di benak
anak. Tidak adanya aktivitas fisik guna membuktikan kebenaran teori juga
dapat mematikan kreativitas anak dalam penemuan konsepnya, sehingga
anak hanya akan menerima informasi yang ia dengar saja tanpa memiliki
usaha untuk mengaplikasikannya melaui kegiatan pembuktian teori
(eksperimen).
Bu Imah contohnya, beliau sering bahkan hampir selalu menggunakn
pembelajran teacher center ini di kelas sehingga siswa di kelas 5 A
cenderung bersifat pasif selama proses pembelajaran. Tidak jarang dari
mereka terlihat bosan dan lebih memilih untuk berbicara dengan teman
sebnagkunya atau bermain sendiri di kelas saat pelajaran sedang
berlangsung.
c. Alternatif pemecahan masalah
Adapun berabagai alternatif pemecahan masalah yang dapat
digunakan untuk mengatasi problematika pembelajaran tersebut adalah:
1) Guru menggunakan variasi model dan metode pembelajaran yang
lebih berorientasi pada siswa atau student center.
2) Memberikan kesempatan siswa untuk belajar secara aktif, misalnya
melalui metode ekspreimen atau model inquiri dimana siswa dituntut
untuk aktif dalam menemukan konsep pengetahuannya sendiri.
3) Mengaitkan pembelajaran dengan lingkungan sekitar siswa
(Contextual Learning) sehingga konsep yang deterima anak lebih
mudah dipahami dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
4) Guru mencari literatur tentang macam-macam metode dan model
pembelajaran. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan
mencari literatur dari mahasiswa PPL yang ada di sekolah tersebut.
5) Penggunaan media belajar yang menarik dan bervariasi bisa
membantu guru untuk menjelaskan materi daripada hanya melalui
metode ceramah saja.
10. Kecenderungan Siswa Berperilaku Dewasa Sebelum Waktunya
a. Landasan Teori
Masa anak usia SD, khususnya anak SD yang duduk di kelas tinggi (10-
12) menurut tahap perkembangannya telah memasuki masa beranjak remaja.
Charlotte Buhler (dalam Makmun, 2002:130) menambahkan bahwa suatu
masa transisi ke periode ini ialah masa pre-puberteit (pra-remaja) yang
berkisar sekitar 10-12 tahun dari kalender kelahiran yang bersangkutan.
Menurut Freud (dalam Makmun, 2002:131), masa remaja ditafsirkan
sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang
definitif karena perpaduan (unifikasi) hidup seksual yang banyak bentuknya
(polymorph) dan infantile (sifat kekanak-kanakan)
Pada masa pra remaja anak lebih cenderung meniru orang-orang yang
dianggapnya lebih dewasa darinya untuk kemudian ia tiru (imitasi). Menurut
Partowhisastro (1983:30), anak belum dapat berfikir jauh. Ia hanya melihat
apa yang ada di depan matanya saja, tanpa mengadakan pemikiran yang lebih
mendalam. Dan apa yang dapat memberi kepuasan terhadap kebutuhan-
kebutuhannya itulah yang penting, yang merupakan realitas baginya. Apa
yang tidak dapat memberikan kepuasan baginya itu bukan realitas.
Perilaku anak pada masa pra remaja, khususnya anak kelas tinggi, akan
memiliki kecenderungan untuk bertindak seolah ia telah dewasa. Oleh karena
itu perilaku-perilaku yang ia tunjukkan kadang lebih mengarah ke prilaku
positif, namun juga bisa ke arah perilaku negatif.
Menurut Erikson (dalam Makmun, 2002:112), identitas pribadi
seseorang itu tumbuh dan terbentuk melalui perkembangan proses krisis
psikososial yang berlangsung dari fase ke fase. Ia berasumsi bahwa setiap
individu yang sedang tumbuh itu dipaksa harus menyadari dan berinteraksi
dengan lingkungan sosialny yang berkembang semakin luas. Jika individu
tersebut mampu mengatasi krisis demi krisis, ia kan muncul sebagai
kepribadian yang sehat yang ditandai oleh kemampuan menguasai
lingkungannya, fungsi-fungsi psikofisiknya terintegrasi, dan memahami
dirinya secara optimal. Sebaliknya jika ia tidak mampu mengatasi krisis-krisis
psikososial tersebut, maka ia akan larut (deffuse) ditelan arus kehidupan
masyarakatnya yang terus berkembang.
b. Permasalahan
Bentuk permasalahan yang terjadi pada siswa kelas 5 sehubungan
dengan tahap perkembangan pra remaja adalah kecenderungan siswa untuk
berperilaku dewasa sebelum waktunya. Masalah ini dialami oleh Louis dan
Prisillia, siswa kelas 5B di SDN Bareng 3. Kedua siswa ini menunjukkan
perilaku seolah mereka telah dewasa dengan melakukan lempar melempar
suran cinta saat pelajaran sedang berlangsung.
Perilaku tersebut dapat mengganggu siswa lain di kelasnya karena
siswa akan merasa kurang nyaman dan tidak dapat berkonsentrasi terhadap
pelajaran yang sedang berlangsung. Selain bagi siswa lain, perilaku ini juga
dapat merugikan kedua siswa tersebut sendiri. Mereka tidak dapat mengikuti
pelajaran dengan baik sehingga pemerolehan materinya juga kurang daripada
siswa lainnya.Saat di luar kelas, kedua siswa ini juga berperilaku seperti dua
orang kekasih dengan memanggil satu sama lain menggunakan panggilan
sayang, yaitu “Miko dan Miku”.
Latar belakang kedua siswa tersebut melakukan perilaku
kecenderungan seperti orang dewasa ini karena dipicu oleh peniruan atau
imitasi anak dari berbagai sumber atau media yang dilihatnya, misalnya
melalui sinetron, iklan, atau adegan di TV. Selain itu, media internet dan
media cetak juga menjadi sumber pengimitasian yang salah oleh anak.
Permasalahan lain yang muncul adalah siswa bermain judi-judian.
Meskipun hanya menggunakan kartu mainan, namun mereka menggunakan
taruhan uang. Perilaku ini didapat anak melalui imitasi terhadap orang-orang
di lingkungan sekitarnya. Kebanyakan masyarakat yangberada di tempat
tinggalnya sering melakukan kegiatan ini, sehingga memicu anak untuk
meniru perilaku buruk tersebut.
Gambar 1.10 Siswa yang bermain judi-judian
c. Alternatif pemecahan masalah
Beberapa alternatif pemecahan masalah yang dapat digunakan untuk
mengatasi probelmatika ini antara lain:
1) Pendekatan Perubahan Tingkah Laku.
Peranan guru adalah mengembangkan tingkah laku anak didik
yang baik dan mencegah tingkah laku yang kurang baik. Jika dengan
pendekatan yang halus siswa tidak dapat diarahkan, maka guru dapat
menggunakan pendekatan korektif dengan memberikan peringatan cukup
keras pada siswa yang bersangkutan.
2) Pendekatan Suasanan Emosi dan Hubungan Sosial
Suasana emosional dan hubungan sosial yang positif, artinya ada
hubungan yang baik dan positif antara guru dengan anak didik, atau
antara anak didik dengan anak didik. Disini guru adalah kunci terhadap
pembentukan hubungan pribadi itu, dan perannya adalah menciptakan
hubungan pribadi yang sehat.
3) Pemberian Contoh yang Baik dari Guru.
Jalan yang paling strategis untuk mengatasi masalah ini adalah
dengan menapilkan contoh pribadi yang baik sehingga dapat menjadi
obyek identifikasi sebagai pribadi idola para siswa.
4) Komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak
Jika telah terjalin komunikasi yang baik antara orang tua dengan
anak mereka, maka kecenderungan perilaku anak yang negatif sebagai
dampak dari imitasi terhadap orang dewasa dapat diminimalkan. Orang
tua juga harus selalu mengontrol masa pertumbuhan anak, khususnya
anak yang memasuki masa remaja.
5) Diaktifkannya hubungan orang tua dan guru (parent-teacher association)
(Makmun, 2002:139)
Dengan adanya kerjasama yang baik antara guru dan orang tua,
perilaku sehari-hari anak yang menyimpang dapat diketahui orang tua
melalui penuturan dari guru. Jika ditemukan anak yang melakukan
penyimpangan perilaku, guru dapat berdiskusi dengan orang tua tentang
cara penanganan anak tersebut
6) Membekali siswa dengan pengetahuan spiritual.
Cara ini dapat dilakukan baik oleh orang tua, guru kelas, maupun
guru agama yang ada di sekolah. Dengan pengetahuan tentang
Ketuhanan yang baik, maka siswa akan menyadari dengan sendirinya
akan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak boleh
melanggar perintah Tuhannya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tentang prolematika pembelajaran yang
terdapat di SDN Bareng 3, dapat disimpulkan bahwa macam-macam problematika
yang ada di SD tersebut adalah anak Hiperaktif dan Distruptive Behavior, anak
overachiver dan Individualis, anak Impulsif, perilaku menyimpang Guru
(mengoperasikan jejaring sosial saat mengajar di kelas), anak cenderung cepat
bosan (Distractibility Child), anak yang ditolak dalam pergaulannya (rejected
children), anak yang bermain telepon genggam (handphone) saat kegiatan belajar
mengajar, pembelajaran lebih berpusat pada guru (Teacher Center), dan
kecenderungan siswa berperilaku dewasa sebelum waktunya.
B. Saran
Dalam mengatasi berbagai permasalahan yang muncul pada pembelajaran,
seorang guru harus dapat menemukan cara-cara atau solusi yang tepat dan
berkelanjutan karena ada beberapa masalah yang membutuhkan waktu yang relatif
lama yakni pada pembentukan kepribadian yang baik bagi anak. guru juga harus
menguasai berbagai model dan metode mengajar yang bervariasi agar tidak timbul
kebosanan pada diri anak saat pembelajaran. selain itu, guru juga seyogyanya
dapat mengenal murid dengan pendekatan-pendekatan tertentu agar jalinan emosi
siswa dan guru harmonis dan baik.
DAFTAR RUJUKAN
Desmita. 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Djamarah, Syaiful Bahri. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Fatimah, Enung. 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia.
Hitipeuw, Imanuel. 2009. Belajar & Pembelajaran. Malang: FIP UM
Hurlock, Elisabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
Yusuf, Syamsul. 2008. Landasan Bimbingan & Konseling. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Ibrahim. 2004. Pengantar Pendidikan. Malang: IKIP Malang.
Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching &Learning. Bandung: Mizan
Media Utama
Kurnia, Inggridwati. Dkk. 2008. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta:
Depdiknas
Makmun, Abidin Syamsuddin. 2002. Psikologi Pendidikan Perangkat Sistem
Pengajaran Modul. Bandung: Rosda
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Partowisastro, Koestoer. 1983. Dinamika dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Erlangga
Ridwan. 1998. Penanganan Efektif: Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Riyanto, Yatim. 2008. Paradigma Baru Pembelajaran. Surabaya: Prenada Media
Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media
Komputindo.
Roestiyah. 1982. Masalah-masalah Ilmu Keguruan. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta: Prenada
Media Group.
Severe, Sal. 2002. Bagaimana Bersikap pada Anak Agar Anak Bersikap Baik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Sudrajat, Akhmad. 2000. Kode Etik Guru. (Online),
(http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/.../kode-etik-guru-
indonesia.pdf), diakses tanggal 25 September 2012.
top related