press release iapi menolak materi ruu akuntan publik
Post on 04-Aug-2015
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
IAPI MENOLAK MATERI RUU AKUNTAN PUBLIK
Sebagaimana telah diumumkan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) bahwa saat ini Komisi XI DPR RI telah mulai
pembahasan terhadap RUU Akuntan Publik yang diajukan oleh Pemerintah kepada
DPR RI dan RUU tersebut telah menjadi agenda Prolegnas Prioritas tahun 2010.
Bagi kami profesi akuntan publik, UU Akuntan Publik akan menegaskan peran
penting profesi akuntan publik di Negara ini dan melengkapi UU yang telah ada yang
menyebutkan peranan akuntan publik seperti UU PT, UU Pasar Modal, UU
Perbankan, UU BUMN, UU BPK, UU Pemilu Legislatif /Pilkada dan ketentuan
lainnya.
Menyikapi perihal tersebut, Institut Akuntan Publik Indonesiia (IAPI) juga telah
mengadakan Rapat Umum Anggota Luar Biasa (RUALB) pada tanggal 24 Juni 2010
dengan agenda membahas RUU Akuntan Publik. Aspirasi yang berkembang pada
saat RUALB adalah anggota menolak hampir seluruh substansi pengaturan dalam
RUU Akuntan Publik yaitu diantaranya mengenai aspek pengenaan sanksi pidana,
pengaturan perizinan dan kewenangan pengaturan profesi oleh Menteri Keuangan,
dan liberalisasi akuntan asing.
PERTAMA, kami menolak pengaturan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 63 dan Pasal 64 RUU Akuntan Publik.
Pasal 63 ayat (1) mengatur tentang pengenaan sanksi pidana apabila akuntan publik
melakukan atau terlibat atau memberikan keterangan palsu, dokumen palsu,
manipulasi data. Kami sangat keberatan terhadap ketentuan tersebut karena
perbuatan-perbuatan tersebut telah diatur dalam KUHP, sehingga akan berdampak
munculnya duplikasi aturan, tumpang tindih, dan berpotensi menimbulkan
perbedaan interpretasi atas suatu permasalahan sehingga menimbulkan
ketidakpastian.
2
Pasal 63 ayat (2) mengatur tentang pengenaan sanksi pidana kepada akuntan
publik yang tidak mematuhi standar profesi akuntan publik dan ketentuan lainnya
dan merugikan bagi pihak lain. Sungguh kami sangat keberatan atas pengaturan
tersebut karena tidak sesuai dengan karakteristik profesi akuntan publik dan
beberapa alasan lainnya, yaitu:
1. Bahwa seorang akuntan publik bukanlah kuasi Negara, kuasi Pemerintah, atau
pejabat publik yang diberikan kewenangan atas nama publik atau Negara
sehingga produk akuntan publik bukan merupakan legal binding sehingga tidak
sebanding apabila dikenakan sanksi pidana.
2. Bahwa produk dari pekerjaan akuntan publik adalah suatu opini atau pendapat
akuntan publik terhadap suatu laporan keuangan atau informasi keuangan
dimana opini tersebut merupakan suatu bentuk keyakinan memadai
(reasonable assurance) dan bukan merupakan suatu pernyataan kebenaran
absolut (mutlak) atas laporan keuangan atau informasi keuangan lainnya.
Produk akuntan publik tersebut bukan akta otentik sebagaimana dikeluarkan
oleh pejabat publik.
3. Bahwa standar profesi dan kode etik yang digunakan oleh akuntan publik
adalah bukan merupakan produk hukum yang termasuk dalam jenis dan hirarki
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU No.10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Perundang-undangan karena standar profesi dan kode
etik ditetapkan oleh asosiasi profesi.
4. Bahwa standar profesi akuntan publik adalah suatu acuan yang digunakan
dalam menjalankan profesinya dimana dalam pelaksanaanya banyak
menggunakan professional jugdement dan berbasis sampling, oleh karena itu
pengaturannya berbeda dengan ketentuan hukum yang sifatnya pasti dan tidak
menimbulkan keragu-keraguan.
5. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut dan sifat serta karakteristik jenis
pekerjaan akuntan publik maka dikhawatirkan akan rawan timbulnya
kriminalisasi terhadap profesi akuntan publik.
Selain alasan tersebut, pengenaan sanksi pidana atas pekerjaan akuntan publik juga
akan menimbulkan dampak meningkatnya risiko profesi dan bisnis akuntan publik
sehingga akan mengurangi minat dan tidak mendorong pertumbuhan profesi
akuntan publik. Selain itu dengan adanya ketentuan yaitu Pasal 64 RUU Akuntan
3
Publik yang mengenakan sanksi pidana bagi pihak terasosiasi (termasuk karyawan)
maka akuntan publik akan kesulitan dalam melaksanakan pekerjaannya karena sulit
mencari staf karyawan serta adanya kekhawatiran mereka dapat dipidanakan
sehingga cenderung akan mencari pekerjaan di luar kantor akuntan publik karena
lebih aman.
Kami berpendapat bahwa atas ketidakpatuhan terhadap standar profesi dan kode
etik cukup diatur melalui pengenaan sanksi profesi, yaitu pengenaan sanksi
terhadap perizinan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 17 tahun 2008
sudah diatur sanksi peringatan, pembekuan dan pencabutan terhadap perizinan
akuntan publik. Namun demikian sanksi tersebut belum dilakukan secara optimal
termasuk sanksi pencabutan izin yang selama ini belum pernah dilaksanakan.
Namun demikian, kami sangat setuju terhadap pengaturan dalam Pasal 65 RUU
yang mengenakan sanksi terhadap pemalsu profesi akuntan publik karena pada
saat ini praktik pemalsuan sangat marak baik berupa pemalsuan dengan modus
mencatut nama akuntan publik asli dengan menerbitkan laporan palsu, maupun
dengan memalsu yang seolah-olah adalah akuntan publik. Kami juga mengusulkan
agar pengaturan sanksi terhadap pemalsu ini dibuat lebih ketat dengan
menyebutkan lebih spesifik terhadap jenis pekerjaan yang termasuk kategori
pemalsuan selain pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 65 RUU. Kami
berpendapat bahwa pengaturan pemalsuan dalam KUHP belum cukup untuk
mengantisipasi pemalsuan yang terjadi. Karena itu perlu dipertegas dalam UU ini.
Praktik pemalsuan saat ini sudah marak terjadi yang digunakan untuk persyaratan
tender pengadaan barang dan jasa maupun untuk persyaratan pengajuan kredit di
perbankan. Kami telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas pemalsuan
tersebut dengan membuat pengumuman di koran, mengirimkan surat kepada
pengguna jasa, dan melaporkan ke Polisi pelakunya. Namun demikian sampai
dengan saat ini praktik pemalsuan masih sering terjadi.
Pengaturan yang ketat tentang pemalsuan profesi akuntan publik tidak hanya akan
berdampak positif bagi profesi akuntan publik, namun juga akan memberikan
dampak berupa perlindungan terhadap kepentingan publik, adanya kepastian
hukum, mengurangi country risk dan menyehatkan perekonomian.
4
KEDUA, kami keberatan terhadap pengaturan akuntan publik asing sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 13 ayat (4) RUU Akuntan Publik. Pengaturan
akuntan publik asing tersebut lebih bersifat untuk mengakomodir kepentingan untuk
memenuhi kesepakatan WTO dan kesepakatan liberalisasi jasa akuntansi di
kawasan ASEAN 2015 sebagaimana telah ditandatanganinya “ASEAN MRA
Framework on Accountancy Services” oleh Negara-negara ASEAN tahun 2008,
daripada untuk memberikan perlindungan terhadap akuntan publik lokal. Sebagai
informasi statistik Akuntan Publik di Indonesia pada saat ini menunjukkan bahwa
jumlah Akuntan Publik di Indonesia hanya sebanyak 920 orang yang bergabung di
501 Kantor Akuntan Publik. Dari jumlah tersebut, sebanyak 64% telah berusia di
atas 51 tahun dan 11% berusia kurang dari 40 tahun. Selain itu dari jumlah tersebut,
sebanyak 55% berdomisili di Wilayah Jabodetabek dan sisanya menyebar di seluruh
Indonesia. Apabila dibandingkan dengan Negara tetangga di kawasan ASEAN,
jumlah akuntan publik di Indonesia yang berpenduduk 230 juta jiwa relatif sedikit.
Singapore dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta jiwa mempunyai Akuntan Publik
sekitar 15.000 orang, Philipina dengan jumlah penduduk 88 juta jiwa mempunyai
Akuntan Publik sebanyak 15.000 orang, Thailand dengan jumlah penduduk 66 juta
jiwa mempunyai Akuntan Publik sebanyak 6.000 orang, Malaysia dengan jumlah
penduduk 25 juta jiwa mempunyai Akuntan Publik sebanyak 2.500 orang, Vietnam
dengan jumlah penduduk 85 juta jiwa mempunyai akuntan publik 1.500 orang. Data
tersebut menunjukkan bahwa rasio jumlah Akuntan Publik di Indonesia dibandingkan
dengan jumlah penduduk sangat kecil apabila dibandingkan dengan rasio di Negara-
negara tetangga di kawasan ASEAN.
Kami berpendapat bahwa pengaturan dalam pasal-pasal tersebut menempatkan
akuntan publik asing mempunyai hak dan kewajiban yang sama termasuk dalam
kesempatan untuk mendapatkan klien-klien di Indonesia, bahkan pengaturannya
lebih mudah dibandingkan dengan pengaturan akuntan publik lokal.
Kami berpendapat bahwa pengaturan demikian disamping akan menggusur
keberadaan akuntan publik lokal juga dapat berpotensi menimbulkan ancaman
terhadap kepentingan dan keamanan Negara. Akuntan publik asing dapat
mengakses aspek strategis dan kerahasiaan Negara melalui pemberian jasa kepada
instansi Pemerintah, BUMN, atau entitas strategis lainnya. Apalagi potensi tersebut
akan bertambah ketika akuntan publik dapat melakukan audit atas laporan
5
keuangan Pemerintah untuk dan atas nama BPK. Karena itu kami berpendapat
bahwa RUU ini kurang memberikan perlindungan terhadap keselamatan Negara.
Selain itu RUU ini juga tidak mengantisipasi bagaimana bentuk tanggung jawab
hukum terhadap akuntan publik asing, mengingat sesuai Pasal 38 RUU Akuntan
Publik disebutkan bahwa akuntan publik (sebagai individu) bertanggung jawab atas
jasa yang diberikan. Pengaturan demikian akan menimbulkan permasalahan pada
saat akuntan publik asing sudah tidak berdomisili atau keluar dari Indonesia, namun
terdapat suatu kasus yang melibatkan akuntan asing tersebut.
KETIGA, kami berpendapat bahwa RUU ini tidak mencerminkan good governance
yang baik. Prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi dan kesetaraan
tidak tercermin dalam RUU ini, karena:
1. Dari 69 pasal dalam RUU Akuntan Publik terdapat 28 Pasal yang memberikan
kewenangan pengaturan lebih lanjut kepada Pemerintah.
2. Penarikan kewenangan sertifikasi profesi, pendidikan profesi berkelanjutan
(PPL), penyusunan standar profesi termasuk kode etik dan reviu
mutu/pemeriksaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33, 34, 35, 36 dan 45
yang selama ini telah dilaksanakan oleh profesi akuntan publik melalui IAPI
ditarik menjadi wewenang Pemerintah sepenuhnya.
a. Kami berpendapat bahwa elemen yang diatur dalam Pasal-pasal tersebut
adalah bidang pekerjaan yang merupakan kompetensi profesi dan selama ini
telah dikerjakan oleh IAPI secara mandiri. Kondisi tersebut tidak
memberdayakan IAPI dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalitas
Akuntan Publik. Kami juga berpendapat bahwa skema pengaturan
pelimpahan kewenangan dan sewaktu-waktu dapat dicabut kembali (pasal
34, 35, 36) merupakan ketentuan yang tidak lazim dan tidak memberikan
kepastian hukum.
b. Kami juga berpendapat bahwa pengaturan dalam Pasal-pasal yang terkait
dengan standar profesi akuntan publik, kode etik dan standar akuntansi
keuangan (pasal 34, 35, 36: kewenangan di Pemerintah, didelegasikan ke
asosiasi dan kemudian dapat ditarik kembali) tidak sejalan dengan ketentuan
dalam Pasal 66 dan Pasal 69 ayat (1) UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar
6
Modal. Pasal 66 UU Pasar Modal menyatakan bahwa “Setiap Profesi
Penunjang Pasar Modal wajib menaati kode etik dan standar profesi yang
ditetapkan oleh asosiasi profesi masing-masing sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya”. Profesi
Penunjang Pasar Modal yang dimaksud dalam ayat tersebut diantaranya
adalah akuntan publik. Sedangkan Pasal 69 ayat (1) menyatakan bahwa
“Laporan keuangan yang disampaikan kepada Bapepam-LK wajib disusun
berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum” dan dalam penjelasan
pasal disebutkan Penjelasan Pasal 69 Ayat (1) “Yang dimaksud dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam ayat ini adalah Standar
Akuntansi Keuangan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan
praktik akuntansi lainnya yang lazim berlaku di Pasar Modal.”
c. Pengaturan terhadap Pasal 45 juga menimbulkan ketidakpastian hukum
mengenai bagaimana pemeriksaan yang dilakukan terhadap akuntan publik,
karena pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada siapa saja sehingga tidak
jelas kualifikasi pemeriksanya. Selain itu, lingkup pemeriksaan terhadap
akuntan publik yang dimaksud dalam UU ini juga meliputi pemeriksaan
terhadap kepatuhan terhadap standar auditing dan kode etik serta ketentuan
UU yang berlaku. Kami berpendapat bahwa semestinya pemeriksaan yang
dilakukan terhadap akuntan publik dengan cakupan sesuai dengan UU ini
haruslah dilakukan oleh pihak yang mengerti profesi dan mempunyai keahlian
sebagai akuntan publik, seperti pengalaman berpraktik sebagai akuntan
publik sehingga tujuan pemeriksaan tercapai. Pemeriksaan yang dilakukan
oleh pihak yang tidak kompeten hanya akan menimbulkan dampak buruk
terhadap profesi akuntan publik.
3. RUU Akuntan Publik ini tidak mengatur mekanisme pembuktian, keberatan dan
banding Akuntan Publik yang dinyatakan bersalah (dikenakan sanksi), (pasal 48
sampai dengan pasal 62). Selain itu RUU ini juga: (a) tidak mengatur adanya
mekanisme check and balance; (b) Terdapat 15 pasal (22%) dari 69 jumlah
seluruh pasal merupakan pasal sanksi administrasi dan 2 pasal sanksi pidana
sehingga RUU ini lebih mengesankan sebagai UU yang hanya berisi sanksi; (c)
Memberikan “check kosong” melalui pemberian kewenangan lebih lanjut ke
peraturan di bawah Undang-undang untuk membuat tata cara sanksi; (d) Praktik
yang selama ini terjadi mekanisme pengenaan sanksi kurang transparan bagi
7
individu Akuntan Publik dan due process tidak jelas, dan tidak ada kesempatan
banding/keberatan bagi akuntan publik atas sanksi yang dikenakan.
4. Pasal 5 dan Pasal 18 RUU ini juga memberikan kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk memberikan izin akuntan publik dan kantor akuntan publik
termasuk pengenaan sanksi dan perpanjangan izin. Kami menolak skema
pengaturan demikian termasuk perpanjangan perizinan.
Dari uraian poin-poin diatas menunjukan bahwa RUU ini memberikan kewenangan
yang luar biasa kepada Menteri Keuangan untuk mengatur profesi akuntan publik,
yaitu dari perizinan, penetapan standar profesi dan kode etik, ujian sertifikasi profesi,
pemeriksaan, pengenaan sanksi termasuk keberadaan asosiasi profesi. Pengaturan
demikian hanya akan menambah beban Pemerintah dan bersifat government centris
dan tidak memberdayakan masyarakat sipil (civil society). Kami memandang bahwa
pengaturan tersebut bukan merupakan suatu best practice sesuai dengan prinsip
good governance karena tidak memberdayakan civil society masyarakat, profesi
akuntan publik dan tidak memberikan kepastian hukum karena lebih berupa
pemberian “check kosong” kepada Pemerintah.
Dampak pengaturan demikian adalah independensi dan kemandirian profesi
akuntan publik berpotensi tersubordinasi di bawah kendali dan kehendak
Pemerintah sehingga karakteristik utama profesi akuntan publik sebagai sebuah
profesi yang membutuhkan kemandirian dan independensi menjadi hilang. Dampak
atas pola hubungan ini akan terlihat jelas, pada saat akuntan publik harus
melakukan audit atas laporan keuangan BUMN sesuai amanah UU BUMN, atau
melakukan audit untuk dan atas nama BPK atas laporan keuangan Pemerintah
sesuai UU BPK. Dilain pihak, sesuai dengan UU Keuangan Negara dan UU BUMN,
Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara yang berperan sebagai
penanggung jawab laporan keuangan Pemerintah dan pemegang saham BUMN.
Dalam kondisi demikian maka akan terjadi potensi benturan kepentingan dan
menurunkan tingkat independesi pada saat akuntan publik menjalankan peran
sebagai auditor independen, karena akuntan publik diurus, diatur, diawasi, dan
dikenakan sanksi oleh Menteri Keuangan, yang sekaligus juga sebagai Bendahara
Umum Negara. Selain itu, banyak dijumpai bahwa komisaris di berbagai BUMN
banyak dijabat secara rangkap oleh pejabat eselon Pemerintah termasuk dari
Kementerian Keuangan, sehingga dalam hubungannya dengan akuntan publik maka
8
posisi komisaris juga dapat menimbulkan benturan kepentingan baik secara institusi
maupun personal.
SOLUSI Aspirasi anggota IAPI menghendaki bahwa profesi ini harus diatur dalam suatu UU
dimana perizinan, pengaturan, pembinaan dan pengawasan profesi akuntan publik
dilakukan oleh suatu lembaga independen yang melibatkan partisipasi seluruh
stakeholder profesi. Kami mengusulkan agar dibentuk KONSIL AKUNTAN PUBLIK
INDONESIA (KAPI) yang bertugas dan menjalankan fungsi pengaturan, pembinaan
dan pengawasan akuntan publik yang anggotanya terdiri atas unsur Pemerintah,
akuntan publik, akademisi, dan pengguna jasa serta didanai oleh profesi dan
Pemerintah. Kami juga mengusulkan agar RUU ini hendaknya memberikan
kerangka dasar (blue print) pengembangan profesi akuntan publik di masa depan
untuk mewujudkan akuntan publik Indonesia yang mempunyai kualitas internasional
sehingga siap bersaing di tingkat global. Tren global menunjukan bahwa di banyak
Negara termasuk G-20 dan ASEAN pengaturan profesi akuntan publik diatur dalam
UU dan kewenangan profesi diatur oleh suatu badan (council) independen yang
terdiri atas unsur-unsur para stakeholders.
Demikian atas perhatian dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.
Jakarta, 20 Agustus 2010
Tia Adityasih – Ketua Umum (0816-874612)
Tarkosunaryo – Sekretaris Umum (0811-8110228, 0815-1843200)
top related