postmodern dalam antropologi - repositori | … · 2017-06-06 · 0 postmodern dalam antropologi...
Post on 11-Jul-2018
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
0
POSTMODERN dalam ANTROPOLOGI
Oleh:
I Gusti Ketut Gde Arsana
Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Denpasar 2015
1
Kata Pengantar
Karya tulis yang berjudul: “Postmodern dalam Antropologi”ini didasarkan
atas hasil penelitian pustaka yang selanjutnya diharapkan dapat menambah khasanah
pustaka, khususnya di bidang Antropologi.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada petugas perpustakaan
Program Studi Kajian Budaya, Unud, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Unud. Dan
Program Studi Antropologi, Fakulatas Ilmu Budaya, Unud. yang telah membantu
dalam memberikan akses bahan-bahan bacaan yang diperlukan dalam penulisan karya
ini.
Karya tulis ini tentu masih jauh dari harapan, dan untuk itu kami sampaikan
maklum atas segala kekurangannya.
Peneliti/ Penulis, 2015.
2
Abstrak
Sesungguhnya postmodern dalam antropologi bukanlah hal yang sama sekali baru. Oleh karena di pelbagai bidang kekhususan (antropologi spesialisasi tertentu) seperti misalnya: Antropologi Simbolik, Antropologi Feminis dan atau gender, Antropologi Politik,Antropologi yang Marxistik dan lain-lain, perbincangan postmodernisme sudah lama lekat dengannya. Sedangkan di bagian lainnya, masih ada pakar-pakar antropologi yang kurang peduli dengan aliran pemikiran postmodern tersebut. Postmodern sebagai aliran pemikiran (baru) dalam antropologi budaya diartikan sebagai ‘suatu kesadaran yang lebih besar’(self-consciusness) mengenai posisi seorang ‘peneliti’ yang nota-bena juga adalah manusia biasa dengan berbagai perasaan, prasangka dan nilai-nilai yang dianutnya, sebagaimana halnya warga masyarakat (subjek) yang mereka teliti (de-objectivation). Objektivitas yang selama ini dianggap ada dan dapat digapai serta direalisasikan , sebenarnya warisan dari tradisi kajian antropologi konvensional dalam upaya memeroleh pengakuan status ‘ilmu’. Hasil-hasil kajian yang demikian diharapkan dapat memiliki predikat ‘ilmiah’ (scientific) seperti yang ditirunya dari cara kerja serta prosedur dalam tradisi ilmu-ilmu alam (natural science).Semakin disadari bahwa dalam penulisan etnografi misalnya, bagaimanapun upaya untuk mengobjektifkannya, tidak pernah bisa objektif, bebas dari prasangka, sebagaimana halnya deskripsi dalam ilmu-ilmu alam.Fenomena sadar diri ini dalam antropologi postmodern sekarang tampak dalam hal penekanan pada soal pentingnya refleksivitas bahwa antropologi bukanlah ‘ilmu bebas nilai’. 1.Pendahuluan
Profesor Koentjaraningrat adalah salah seorang pakar antropologi dan sekaligus
perintis pengembangan Program Studi Antropologi di wilayah Indonesia. Kini beliau
telah tiada, dan menjadi tanggung jawab moral bagi para pelanjutnya untuk mengawal
antropologi ke depannya.
Kini dan ke depan, seperti halnya cabang-cabang ilmu pengetahuan humaniora
yang lainnya, antropologi juga menghadapi perubahan perkembangan dalam hal
paradigma ilmu pengetahuan dan budaya yang bisa dikatakan sangat radikal.
Tetapi tampaknya sedikit sekali ada pakar antropologi Indonesia yang tanggap
akan hal tersebut; dan di antara mereka sepertinya menyikapi dingin terhadap
perubahan paradigma dalam wacana ilmiah akhir-akhir ini. Sikap dingin semacam itu,
entah disebabkan bahwa antropologi dengan paradigmanya tersendiri tetap merasa
tidak membutuhkan kehadiran pemikiran-pemikiran yang berparadigma baru, yakni
postmodernis, ataupun karena alasan yang lain. Apabila karena sebab ini, saya menjadi
3
risih.Kita masih teringat kritik beberapa pemikir yang menganggap bahwa sejak
beberapa dekade belakangan ini kita menyaksikan berbagai perubahan peradaban
(iptek) yang luar biasa bahkan terbilang sungguh ekstrim.
“Menjelang akhir abad ke-20. Semakin jelas bahwa dunia berubah , tidak hanya kuantitas tapi juga kualitatif. Masyarakat manusia bergerak ke dalam satu fase baru sejarah. Perkembangan ekonomi dan teknologi mendorong diversitas kebudayaan yang bahkan lebih besar, fragmentasi dan diferensiasi dalam wadah homoginitas dan standardisasi yang sebelumnya merupakan tanda khas modernisasi dan masyarakat massa” (Hall dan Jacques, dalam: Saifuddin, 2005).
Ilmu pengetahuan sekarang ini menurut Akhyar Yusuf Lubis (2004) telah
kehilangan kepercayaan terhadap penggunaan akal budi (rasio) tradisional, seperti
logika yang dibangun Aristoteles yang telah menjadi fondasi utama pemikiran ilmu
pengetahuan modern. Logika ini memang sangat cocok dalam memahami fenomena
alam yang mekanistik tetapi bukan pada fenomena manusia. Menurut J.W.N. Sulivan
(dalam: Lubis, 2004) menegaskan bahwa, penjelasan ilmiah tentang alam semesta
paling jelas dan menyakinkan manakala penjelasan itu menyangkut materi tak hidup
(inanimate), seperti gerak, massa, berat dan lain-lain. Namun ketika fenomena itu
semakin rumit dan kompleks, semakin halus, maka semakin sulit membatasi fenomena
itu pada pola-pola prilaku konsisten. Misalnya manusia tidak dapat direduksi hanya
pada kesamaan, tidak ada kesamaan absolut pada fenomena kehidupan manusia, seperti
tidak ada sidik jari dan ataupun pengalaman hidup yang sama. Karena itu manusia
disebut sebagai makhluk yang unik, penuh misteri dan teka-teki.
Definisi konseptual yang menyebut manusia adalah makhluk rasional
sesungguhnya merupakan abstraksi , penyederhanaan dan membatasi. Hal itu tidak
terlepas dari ulah produsen ilmu pengetahuan (contoh: Aristoteles) dalam merumuskan
konsepnya sesuai dengan kebutuhannya, dan tak pelak juga adanya kepentingan yang
tersembunyi di baliknya. Demikian juga absolutisme ternyata dapat merusak upaya
pencarian kebenaran ilmiah yang terbukti bersifat sementara dan konvensional.Dalam
tradisi keilmuan postivisme maupun positisme logis berkeyakinan bahwa realisme
ilmiah (realismnaïf) adalah teori yang obyektif universal dengan kenyataan yang
sebenarnya. Mereka berpandangan bahwa, bahasa ilmiah(teori) mencerminkan realitas
4
dan inilah yang mereka anut sebagai kriteria bagi kebenaran seperti menjadi pedoman
bagi kalangan penganut paradigma postivistik (Lubis, 2004).
Proses munculnyasuatu paradigmaadalah melalui proses kompetisi antara
berbagai macam teori yang pernah ada. Biasanya hanya teori yang terbaik saja yang
akan dapat diterima sebagai suatu paradigma oleh komunitas ilmiah. Walaupun begitu
sejarah membuktikan bahwa tidak ada paradigma yang sempurna dalam menyelesaikan
problem ilmiah. Oleh karena itu penelitian akan tetap terus dibutuhkan; Dan suatu
paradigma akan membentuk suatu komunitas ilmiah tertentu.
Suatu paradigma yang sudah disepakati oleh komunitas ilmiah , karena
keunggulannya dalam memecahkan problem ilmiah selanjutnya akan menjadi fondasi
bagi muculnya apa yang dinamakan normal science yakni semacam standar baku yang
bersifat tunggal dan selanjutnya menjadi ciri esensi dari program studi. Antropologi
misalnya, sejak era Profesor Koentjaraningrat mencanangkannya sebagai antropologi
positivistik. Periksa karya-karya Profesor Koentjaraningrat baik yang ditulisnya sendiri
(1961, 1984, 1993) maupun sebagai redaktur tulisan lainnya (1984, 1991) dapat
dikatakan seluruhnya memakai logika epistemelogi positivistik; karena pada dasarnya
antropologi yang ingin dibangun tampaknya menuju ke antropologi positivistik. Dan
jejaknya itu juga diikuti oleh bagian terbesar para pakar antropologi Indonesia lainnya,
walaupun ada di antaranya yangmencoba mengembangkannya ke dalam varian yang
agak berbeda. Profesor Parsudi Suparlan misalnya, menawarkan varian antropologi
berepistemologi fenomenologi yang biasanya mengikuti logika antropologi kognitif
atau etnosains dari W.H. Goodenough. Di sisi lainnya, ada yang melirik varian
antropologi simbolik atau tafsiriah (epistemologi hermeneutis) terutama yang mengacu
dari Riceour dan Tylor. Sepengetahuan saya, beberapa pakar antropologi Indonesia
yang pernah mengikuti jejak pemikiran epistemologihermeneutis misalnya: Johnz
Mansoben, Budi Susanto, SJ., dan PM. Laksono (Arsana, 1995). Sedangkan antropolog
kebangsaan Amerika (AS) seperti Clifford Geertz misalnya, asumsi-asumsi yang
mendasari pemikirannya ketika ia meluncurkan karyanya yang cukup terkenal: “The
Interpretation of Cultures: Selected Essays”secara kuat dipengaruhi oleh epistemologi
hermeneutis. Buku tersebut menjadi lebih dikenal di Indonesia, di samping berdasarkan
hasil studinya di Indonesia (khususnya Bali) sejak tahun 1992 karya Geertz ini telah
5
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul: Tafsir Kebudayaan dan diberi kata
pengantar oleh Budi Susanto SJ.
Baik antropologi yang berepistemologi fenomenologi maupun hermeneutis,
memiliki asumsi-asumsi yang berbeda dengan yang digunakan oleh pendekatan
positivistik, dan menurut saya tampaknya justru lebih dekat dengan asumsi-asumsi
yang terdapat dalam pendekatan postmodern.
Terdapat sedikitnya tiga ciri dan varian dari aplikasi epistemologipositivistik
yang berkembang di Indonesia di antaranya: (1) studi antropologi yang bertujuan untuk
bisa menghasilkan generalisasi tentang gejala sosial budaya; (2) telaah struktural-
fungsional yang secara implisit menggunakan model sistem dalam kajiannya; dan (3)
telaah fungsional terhadap suatu gejala sosial budaya dengan fokus pada
“fungsi”dari gejala yang dikaji dalam konteks yang lebih luas. Kajian-kajian seperti
itu saya katakanpositivistik sebab para ahli antropologi (terang-terangan/ sembunyi-
sembunyi) analogi yang dibangunnya meniru analogi yang terdapat dalam kelaziman
pada ilmu-ilmu alam(natural sciences) khususnya biologi. Masyarakat atau kebudayaan
dalam studi itu ditanggapi sebagai “organisme”, yang mana berbagai unsuryang
membentuknya saling berkaitan dan memiliki hubungan fungsional satu dengan lainnya
(Arsana, 1995).Dalam filsafat antropologi juga ditandaskan bahwa, antropologi adalah
cabang dari metafisika khusus yang membicarakan tentang manusia. Apakah hakikat
manusia?; Bagaimanakah hubungan antara manusia dan alam?; Dan bagaimana pula
hubungan antara manusia dengan manusia?. Filsafat antropologi dengan demikian,
berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut apa adanya, baik menyangkut
esensi, eksisitensi, maupun status relasinya (Sumarna, 2004).
Dengan demikian, epistemologipositivisme adalah sebentuk
“realismeontologisme” yang percaya bahwakenyataan yang ada “di luar sana
digerakkan oleh hukum-hukum alam (hukum kausalitas) dan tujuan ilmu (antropologi)
untuk menemukan hukum-hukum itu.Fenomena dan hukum itu dapat diketahui ‘apa
adanya’ terlepas dari kehadiran/ keterlibatan subjek yang meneliti (bebas nilai/ value
free).Syarat utama untuk menemukan teori yang objektif-universal itu adalah ilmuwan
harus melakukan penelitian sesuai dengan prosedur metodologi yang benar yang
langkah-langkahnya sesuai dengan siklus empiris (Lubis, 2014).
6
Selanjutnya Neuman (dalam: Lubis 2014) merumuskan asumsi-asumsi yang
terkandung dalam paradigma postivisme, sebagai berikut:
1. Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah untuk menemukan hukum-hukum
pada phenomenasosial; pandangan esensialisme tentang realitas sebagai
fakta yang dapat dibuktikan secara empirik.
2. Manusia adalah mahluk rasional; dan tindakan individu adalah tindakan
yang diterministik.
3. Ilmu pengetahuan berbeda dan lebih superior dari bentuk pengetahuan lain;
Penjelasan ilmiah berupa perumusan hukum sebagai hasil penalaran
deduktif-nomologis.
4. Ilmu pengetahuan sosial memerlukan pembuktian yang disepakati
komunitas ilmuwan.
5. Orientasi instrumental dalam ilmu pengetahuan semacam itu dipengaruhi
oleh perspektif teknokratis yang ada dalam ilmu pengetahuan; dan, ilmu
pengetahuan haruslah bebas dari nilai-nilai dan objektif.
Karena paradigma positivisme itu diterima luas dei kalangan pakar antropologi di
Indonesia, maka dengan sendirinya mereka kurang bersikap kritis terhadap paradigma
tersebut.Padahal menurut Lincoln dan Guba (dalam: Lubis, 2014), positivisme
mengandung berbagai kelemahan, seperti:
1. Reduksi realitas pada fakta yang teramati telah menyingkirkan dimensi dan
perspektif lain (dimensi subjek), dan memandang manusia hanya sebagai objek;
Pandangan ini tidak bisa dibenarkan (lalu ilmuwan itu bukankah manusia?/ lalu
apakah ia hanya objek)?
2. Positivisme tidak mengakui sifat kontigensi, relativitas dan historisitas pikiran
(rasio) manusia. Manusia bukanlah Tuhan; dan karenanya, mustahilah ia
mampu melihat realitas yang utuh apa adanya. Dalam pandangan kaum
konstruktivis (seperti: Gadamer, Heidegger, Khun, Rorty, dan lain-lain)
manusia adalah mahluk yang terbatas, mahluk historis, sehingga tidaklah
mungkin memiliki kemampuan untuk melihat realitas dengan transparan dan
holistik.
3. Pandangan positivisme tentang keseragaman serta kesatuan hukum alam (grand
theory) tidak mampu menjelaskan keberagaman budaya (budaya lokal, etnis,
7
agama, kultur yang berbeda) dan keunikan manusia. Pandangan seperti ini
kemudian menjadi sarang kritik dan semakin ditinggalkan. Pandangan yang
menekankan pluralisme ilmiah dewasa ini semakin berkembang pesat.
4. Bagi positivisme, optimisme secara berlebihan terhadap kemajuan yang
ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan ilmiah, menjadikannya ia bersikap apriori
terhadap akibat negative yang terselip di balik apa yang tampak dipermukaan
dari hasil modernisasi tersebut. Kepercayaan terhadap kemampuan ilmu
pengetahuan untuk menciptakan kemakmuran, keadilan dalam masyarakat
tetapi sumber malapetaka, ketidak-adilan,yang episentrumnya juga berada
padanya, bagi kaum positivisme lebih dilihat hanya sebagai ekses-ekses dari
modernisasi.
Segala aktivitas penelitian ilmiah yang taat dengan paradigma tertentu,
walaupun dengan formulasi-formulasi dan berbagai pengembangan, berarti ia masih
berada di bawah naungan paradigma standarnya. Pertanyaannya, lalu ke mana
antropologi akan berjalan menuju masa depan ? Karena pada dasarnya, antropologi
mau tidak mau akan bersentuhan juga dengan isu-isu dan masalah-masalah baru. Mau
tidak mau juga antropologi harus berbenah diri yaitu melengkapi diri dengan perangkat
(epistemologi) dalam menyikapi dunia yang terus berkembang. Metode-metode kajian
lapangan tradisional (termasuk teori) harus diperbaharui agar relevan dengan masalah-
masalah sosial yang baru dalam masyarakat lokal dan global. Menurut Ahmed dan
Shore (dalam: Saifuddin, 2005) bahwa kemandekan dalam perspektif antropologi
“modern” (terutama postivistik) bukanlah krisis representasi sebagaimana banyak
dinilai oleh para ahli antropologi, melainkan isu relevansi. Selanjutnya, menurut
Ahmed dan Shore antropologi sosial-budaya akan terpinggirkan kecuali disiplin ini
mampu mengadaptasi perubahan dunia yang kini mengancam kelangsungan teori-teori,
metode-metode dan praktik-praktik antropologi. Dengan demikian eksistensi
antropologi masih bisa hidup alias tidak mati.
Wacana kematian ilmu memang sempat menggema di mana-mana terkait
dengan keraguan yang dimiliki oleh rumpun ilmiah itu untuk memecahkan problem
ilmiah di era yang serba berubah, belakangan ini.Dalam kata pengantar buku karya
Akhyar Yusuf Lubis (2014) disebutkan beberapa cabang ilmiah telah kolep alias mati,
karena paradigma tradisionalnya semakin tidak sesuai lagi dengan logika baru yang
8
berkembang, belakangan ini.Disebutkan misalnya seperti sosiologi modern yang
dianggap tidak lagi relevan dengan masa kini.Kematian sosiologi (juga ilmu politik) ini
dikaitkan dengan kemunculan era reformasi (jaringan) di mana orang lebih banyak
bicara dan melihat fenomena sosial-politik secara global melalui internet atau televisi
(dunia virtual) yang tidak bisa dihadapi dengan logika empiristik seperti yang dianut
sosiologi modern.
Dalam bidang lainnya, Paul Ormerod pernah menyebut “ekonomi-pun sudah
mati”.Maksudnya yang mati atau yang tidak relevan lagi itu adalah pandangan
ekonomi modern yang cenderungmengabaikan faktor-faktor non ekonomisebagai
variabel seperti misalnya faktorpsikologisyang bisa memengaruhi kiprah perekonomian
(Lubis, 2014).
Di era kapitalisme lanjut (advanced capitalism) seperti yang kita alami sekarang
ini, paradigma ekonomi-pun dituntut untuk mereformasi diri.Karena pada dasarnya di
era kini logika ekonomi yang berkembang semakin jauh dan keluar dari logika
sebelumnya. Para pemikir sosial seperti: Jameson, Baudrillard dan Bell disebut-sebut
sebagai pemikir yang menaruh perhatian terhadap logika-logika kehidupan budaya
ekonomi yang semakin berkembang ke titik ekstrem (hyper), belakangan ini. Berbagai
logika ekonomi (seperti konsumsi misalnya), yang secara mendasar mengubah model
hubungan antara manusia (yang mengkonsumsi) dan objek atau benda (yang
dikonsumsi). Dalam pandangan para pemikir sosial tersebut, kini (era masyarakat
konsumer)obyek berkembang sedemikian rupa sehingga tidak lagi terikat pada logika
utilitas (utility), fungsi dan kebutuhan (need), tetapi pada apa yang disebut sebagai
“logika tanda” (logic of sign). Dalam kondisi kehidupan ekonomi seperti ini tanda-
lah yang menentukan tindak konsumsi, bukan kebutuhan; Yang dibeli orang adalah
tanda, bukan lagi nilai utilitas sebuah benda. Setiap unsur ekonomiberkembang kearah
titik yang seharusnya tidak ia lewati; produksi berkembang ke arahhyper-
production(produksi yang melampaui kapasitas konsumsi); konsumsi berkembang
kearahhyper-consumption (konsumsi yang melampaui kebutuhan manusia). Begitu
pula aspek-aspek yang terkait dengan ekonomi lainnya, seperti pasar misalnya
berkembang menjadi hyper-market, komuditi berkembang menjadi hyper-commodity,
dan sebagainya (Piliang, 2004).
9
Demikian halnyasastra menurut J. Hillis Miler, kini juga telah mati. Kematian
sastra menurutnya ditandai oleh munculnya cultural-studies yang mengabaikan studi
mengenai sastra.Cultural-studies mengalihkan perhatiannya kepada masalah-masalah
seperti kajian perempuan, post-kolonial, multikulturalisme, budaya pop, kajian media,
kajian film, media sampai dengan kajian iklan.Cultural-studies sendiri adalah bentuk
kajian budaya (baru) ,Pergantian paradigma ( paradigm shift) dalam arti filasafat
merupakan keniscayaan karena menandai bahwa ilmu pengetahuan tersebut mengalami
progress. Pergeseran paradigma (ilmiah) mengandung beberapa unsur/ pengertian,
seperti:
(1) Munculnya cara berpikir baru mengenai masalah-masalah baru;
(2) Dalam paradigma ada prinsip (asumsi) yang selalu hadir akan tetapi kita tidak
kenal/ sadari;
(3) Paradigma baru tidak dapat diterapkan kecuali dengan meninggalkan paradigm
lama (prinsip incommensurable);
(4) Paradigma baru selalu dihadapi/ ditanggapi dengan kecurigaan dan tak pelak
dengan permusuhan (Lubis, 2004).
2. Munculnya Kesadaran Ilmiah Baru
Kemunculan kesadaran ilmiah baru adalah keniscayaan dalam filsafat ilmu; Dan
merupakan hakikat dari ilmu itu sendiri yang senantiasa mengalami perkembangan
(idea ofprogress).Kesadaran ilmiah baru adalah sintesa atau lawan dari ide pemikiran
sebelumnya yang pernah dianggap mapan; Dan dalam hal ini disebut kesadaran ilmiah
lama.
Dalam ilmu pengetahuan normal, ilmuwan terkadang berhadapan dengan fenomena
baru dan tak terduga yang menyebabkan paradigma tersebut tidak cukup memadai lagi
untuk memecahkan persoalan yang baru itu.Apa yang kemudian terjadi? Menurut Khun
bahwa, mula-mula respons ilmuwan adalah kesadaran akan hadirnya anomali yang
menuntut pengamatan yang cermat untuk mengidentifikasi fakta, dan kemudian
menyeleksi, menyelaraskan, atau memodifikasi teori-teori yang berupaya
mengeksplanasi fenomena anomaly itu. Jika ternyata modifikasi atas paradigma tidak
memadai/ mencukupi untuk memecahkan anomaly itu, maka ilmu pengetahuan normal
akan terdorong ke dalam krisis, dan paradigma lama lambat-laun akan surut dan
10
digantikan paradigma baru yang mampu mentransformasi anomali itu kearah yang
diharapkan (Khun, dalam: Saifuddin, 2005).
Kesadaran ilmiah lama dicirikan oleh adanya keyakinan tentang ide
universalitas yakni suatu kepercayaan (komunitas ilmiah) bahwa sebuah teori dapat
menggambarkan keseluruhan realitas di mana saja dan kapan saja.Pandangan ilmiah
semacam ini dari sudut epistemology lazim diistilah dengan mirror theoryatau copy
theory yang disebut-sebut menjadi salah satu cirri dari logika positivisme dengan grand
theory-nya (Lubis, 2015).Sedangkan kesadaran ilmiah baru lebih menerima ide
lokalitas atau partikularitas di mana diasumsikan, bahwa sebuah teori dianggap tidak
dapat merangkum keseluruhan realitas.Oleh karena kesadaran ilmiah baru lebih
menerima pluralitas teori yang memungkinkan terjaminnya keragaman dan bukan ide-
ide penyeragaman seperti tradisi generalisasi yang dianut dalam kesadaran ilmiah lama.
Pada dasarnya kesadaran ilmiah baru sering mewarnai pemikiran-pemikiran dari
pemikir kritis kontemporer seperti kalangan postpositivistik, poststrukturalis,
postmodern dan juga post-kolonial.Dari sekian banyak alasan yang memicu lahirnya
kesadaran ilmiah baru.Akhyar Yusuf Lubis merumuskan ada tiga alasan utama.
Pertama, muncul dari kesadaran bahwa suatu kebenaran tidaklah selalu bersifat
universal, tetapi tergantung pada konteks.Menurut Thomas Samuel Kuhn hal itu
utamanya disebabkan oleh konsep paradigm,bahwa sebuah teori tidak terlepas dari
sudut pandang sehingga kebenarannya tidak bisa diuniversalkan pada setiap
konteks.Kedua, terlintas dari pemikir kritis Jurgen Habermas (tokoh teori kritis
generasi kedua) yang berpandangan bahwa setiap ilmu pengetahuan terkait dengan
kepentingan ilmiah yang berbeda.Ketiga, biasanya terlintas dalam pemikiran-pemikiran
di kalangan pemikir postmodern misalnya: Jacques Derrida, Michel Foucault, Francois
Lyotard, Richard Rorty dan tokoh postmodern lainnya yang mengajukan konsep seperti
pengetahuan itu bersifat lokal, partikular dan sesuai dengan permainan bahasa (
language game) masing-masing (Lubis, 2015).
Lebih lanjut Lubis (2015) menambahkan bahwa, selain ikhwal ide universalitas,
kepentingan dan rekayasa permainan dalam bahasa, kesadaran ilmiah lama condong
bersifat disipliner (terspesialisasi dan atau menggunakan sudut pandang tunggal)
sedangkan kesadaran ilmiah baru bersifat lintas disipliner (multi perspektif).
11
Senada dengan alasan dari kemunculan kesadaran ilmiah baru, di bagian lain
dalam karya Listiyono Santoso, dkk berjudul: “Seri Pemikiran Epistemologi
Kiri“(2015) yang meluncurkan istilah “epistemology kiri”terkait dengan muculnya
konter konsep terhadap pemikiran sebelumnya (epistemology kanan) yang serba berbau
establishment, terutama kemapanan pengetahuan itu. Spirit epistemology kiri
diletakkan pada pembacaan ulang (reshape) secara kritis atas berbagai bentuk
pengetahuan yang dominan yang diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya
(mainstream). Pada saat yang bersamaan, ia akan meminggirkan realitas kebenaran
yang lain. Atau dengan lain perkataan, setiap yang berbeda dengan pemahaman
konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan. Setiap muncul
pemikiran yang keluar dari mainstream yang dominan akan dianggap sebagai
pemikiran yang aneh-aneh dan tak jarang secara ekstrem distigma ‘sesat’
(Listiyono Santoso, dkk.,2015).
Pergantian paradigma ( paradigm shift) dalam arti filasafat merupakan keniscayaan
karena menandai bahwa ilmu pengetahuan tersebut mengalami progress. Pergeseran
paradigma (ilmiah) mengandung beberapa unsur/ pengertian, seperti:
(1) Munculnya cara berpikir baru mengenai masalah-masalah baru;
(2) Dalam paradigma ada prinsip (asumsi) yang selalu hadir akan tetapi kita tidak
kenal/ sadari;
(3) Paradigma baru tidak dapat diterapkan kecuali dengan meninggalkan paradigm
lama (prinsip incommensurable);
(4) Paradigma baru selalu dihadapi/ ditanggapi dengan kecurigaan dan tak pelak
dengan permusuhan (Lubis, 2004).
Sikap penolakan terhadap perbedaan dalam ilmu pengetahuan menimbulkan
hegemoni,etnosentrisme, eurosentrisme (western minded) yang kemudian menjadi
sasaran kritik tajam terutama dari kalangan pendukung teori poskolonial,
postpositivisme, dan postmodernisme (Lubis, 2004). Terbentuk sekat-sekat yang
menajam antar bidang program studi adalah juga produk dari kefanatikan dari tradisi
semacam itu. Profesor IGusti Ngurah Bagus sebagai perintis berdirinya Program Studi
Kajian Budaya di Universitas Udayana, sebelumnya juga telah memberi refleksinya
terhadap sikap keilmuan yang bekerja lebih atas dasar sebuah perspektif tunggal (mono
12
disiplin) yang kaku (kaca mata kuda: Pen.), melalui gagasannya tentang:
“Kebudayaan sebagai Pola Ilmiah Pokok”(PIP) Universitas Udayana. Di dalamnya
mencakup ide untuk membangun kultur keilmuan yangmengakui keterlibatan subyek
(tidak bebas nilai) dalam praktik kerja keilmuan (partisipasi, dialektis). Dengan
demikian semakin disadari bahwa komunitas keilmuan bukanlah koloni-koloni
intelektual yang memproduksi ilmu pengetahuan itu hanya berdasarkan kepentingan
perspektif bidangnya sendiri-sendiri (unifierd science) yang selanjutnya seringkali
menciptakan sekat-sekat keilmuan yang eksklusivisme.Dengan demikian PIP
Kebudayaan tersebut merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kesadaran
ilmiah baru. Bahwa kebudayaan dijadikan spirit atau meminjam istilah Lubis (2015)
sebagai“iman epistemology”yang memperlakukan ilmu pengetahuan bersifat
tentatif, partikular, kontingensi, historis dan sarat nilai.
Ide membangun kultur keilmuan seperti yang tertuang dalam PIP Kebudayaan
selanjutnya dikembangkan pula melalui pembentukan program studi (strata S2 dan
strata S3) yang dikenal dengan Program Studi Kajian Budaya di Universitas Udayana.
Melalui dapur ilmiah tersebut diharapkan Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan itu dapat
dimatangkan dan diseminasikan.Berbeda dengan program studi yang serupa yang
memang telah mapan dalam dunia akademis (semisal Antropologi), kajian budaya
dikembangkan berdasarkan paradigma kritis yang banyak mengadopsi asumsi-asumsi
pemikiran yang berada di wilayah postmodern.Pilihan ini dipandang sesuai dengan
semangat yang mendasari visi & misi dari PIP Kebudayaan Unud yakni membangun
kesadaran ilmiah (baru) yang lebih humanistik dan refleksif.
3. Postmodern
Istilah postmodern muncul pertama kali di wilayah seni dan digunakan oleh
Frederico de Onis tahun 1930-an untuk merespons seni modern.Gaumnya semakin luas
terdengar setelah tahun 1960/1970-an yakni dalam cakupan bidang-bidang seni rupa,
arsitektur, politik, sastra, feminism, filsafat, psikologi, sosiologi dan juga secara
terbatas terlintas dalam antropologi.
Pengertian postmodern memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya sehingga
istilah postmodern tidak mungkin didefinisikan dalam satu definisi tunggal dan ketat.
Richard Appignanesi dan Chris Garratt (dalam: Lubis, 2014) memperlihatkan bahwa
13
pengertian postmodern di antara para pemikir tampak berbeda-beda. Ada yang
menggunakannya sebagai “hasil dari modernisme”, “akibat dari modernisme”,
“anak modernisme”, “perkembangan dari modernisme”dan ada yang
menggunakan sebagai konter terhadap modernisme (“penyangkalan tentang
modernisme”/ penolakan atas modernisme”).
Para postmodern sendiri umumnya tidak suka dengan penyeragaman dan tidak
suka pula pada definisi atau pembatasan, tetapi lebih suka menerima perbedaan.
Penekanan pada perbedaan (difference sebagai salah satu kata kuncinya), keberagaman,
anti-esensialisme merupakan watak yang membedakannya dengan cara berpikir yang
mengutamakan universalitas, kesatuan dan esensialitas yang sangat dominan pada
paradigma sebelumnya (paradigma modern).
Setidak-tidaknya berkembang dua varian yang agak ekstrem dalam memahami
postmodern.Pertama, para pemikir yang bersikap moderat, yang memandang bahwa
postmodern adalah lanjutan saja dari modern. Pemikir-pemikir yang berada dalam
ranah pemikiran seperti itu di antaranya seperti: Daniel Bell (memberinya istilah:
“post-industri”), Anthony Giddens memberi istilah: era modernisme radikal, the last
modern, high modernity( Giddens, 1984), dan Jurgen Habermas menyebutnya: “post-
pencerahan” atau “lanjutan dari pencerahan”. Berdasarkan pemahaman seperti itu,
menurut Lubis (2004) ,bahwapendekatan postmodern dengan demikian bukanlah
penghapusan atas segala hal yang berbau modern dan bukan pula gerakan yang mau
kembali ke masa lalu. Postmodern, masih bisa memanfaatkan hal-hal yang dianggap
baik pada era modern (re-use) dan penyusunan kembali potongan-potongan (collage)
dari unsur-unsur tradisional dan modern serta mendaur ulang dalam konteks yang baru.
Hal ini paling jelas terlihat dalam seni rupa,arsitektur, rancangan busana postmodern
“(Kvale dalam: Lubis, 2004).
Kedua, adalah pandangan yang bersifat ekstrem yang memahami peralihan dari modern
ke postmodern tersebut adalah perubahanparadigma yang radikal dan bukan sekadar
lanjutan saja. Penganut pemikiran ini salah satunya misalnya Francois Lyotard yang
berpandangan bahwa tidak adanya kelanjutan (diskontinuitas) paradigma berpikir dari
kedua era itu. Menurutnya, postmodern adalah era ketidakpercayaan pada narasi besar
atau meta narasi dan digantikan dengan narasi kecil. Martin Heidegger menyebutnya
14
“era berakhirnya filsafat”; Dan Francis Fukuyama menyebutnya “era berakhirnya
sejarah”, era masyarakat konsumer pada Fredrich Jameson, Jean Baudrillard dan
Fearhersstone. Sementara Jacques Derridamenyebutnya “matinya rasionalitas atau
logos”, dan Lyotard dan Jean Baudrillard menyebutnya era ekonomi libidinal (Piliang,
2003; Lubis 2004).
Pauline Marie Rosenau mengklasifikasi ke dalam dua kelompok besar
postmodernisme yaitu: postmodernisme skeptis (skeptic postmodernism) dan
postmodernisme afirmatif (affirmative postmodernism).
Ciri mendasar dari postmodern skeptik terutama yang mendapat pengaruh kuat dari
Heidegger dan Nietzshche adalah sikapnya yang anti-epistemologi, anti-fondasi, anti-
ideologi dan anti sosial. Sedangkan postmodern afirmatif terutama yang terpengaruh
oleh pemikiran seperti: Rousseau, Goethe, Schiller, Blake, Schleirmacher, tidak anti
epistemology, tidak anti-fondasi dan tidak anti sosial, tetapi lebih menekankan
pluralisme dalam epistemology dan ideology. Postmodern afirmatif mendambakan
terciptanya penghargaan kembali akan keanekaragaman idologi, realitas, objek,
peristiwa, tempat dan pengalaman manusia yang sangat kompleks (Zaprulkhan, 2015).
Di pihak lain ada yang menyebut postmodern (isme) itu ‘suatu masa kiamat
yang datang perlahan-lahan (Barthes, 1983); Postmodernitas adalah teka-teki yang
menggangu (Foucault,1984); Dan sebagian yang lainnya melukiskan postmodernitas itu
adalah budaya panik, histeris..Para pemikir postmodern seperti Lyotard menyebut era
baru ini sebagai ‘era postmodern’; Jameson menyebutnya ‘era masyarakat
konsumer’; Dan Baudrillard menyebutnya dengan ‘era hilangnya realitas’ (era
simulakra) (Lubis, 2015).
Terkait dengan fenomena tersebut, Saifuddin (2005) mempertanyakan: “lalu,
kemana antropologi akan berjalan menuju masa depan?Bagaimana antropologi
berespons terhadap perubahan-perubahan itu dan seberapa relevan bidang ilmu ini
(antropologi) untuk mampu memahami isu-isu kunci tersebut dalam menghadapi dunia
modern manakala ia memasuki millennium berikutnya”?
15
4. Postmodern Dalam Antropologi
Pengaruh paradigmapositivisme (positivisme logis) dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan (secara umum pada ilmu-ilmu humaniora ) masih terasa kuat sampai
sekitar tahun 1960-an. Bahkan dalam antropologi (budaya) pengaruh kuat positivisme
masih terasa berlanjut di tahun 1980-an. Di samping positivisme, dalam antropologi
(khususnya di Indonesia) nuansa akademis juga terasa ditandai oleh pengaruh
strukturalisme.Di pelbagai cabang ilmiah lainnya,di era tahun 1980-an pengaruh
paradigmapositivisme boleh dikatakan berakhir karena mendapatkan kritik dari
berbagai pemikiran (baru) seperti: postpositivisme, teori kritis, poststrukturalismedan
postmodernisme, termasuk berkembangnya paradigma hermeneutika kontemporer yang
memiliki alur pemikiran yang jauh berbeda dengan hermeneutika klasik. Paradigma
yang disebut terakhir selanjutnya disebut “paradigma baru, sementara
positivismedisebut“paradigma lama”(Lubis, 2004).
Melunturnya kepercayaan pada rasionalitas dan doktrin ilmu pengetahuan serta
semakin pesatnya perkembangan teknologi tinggi informasi (cyberpace) menurut
Toynbee dapat mempercepat munculnya jaman postmodern. Bersamaan itu semakin
surutlah dominasi Barat dan bangkitnya kebudayaan non-Barat serta menguatnya
pluralisme sebagai awal dari munculnya kebudayaan postmodern yang berimplikasi
terhadap perubahan mainstream keilmuan (Toynbee dalam: Lubis,2004).
Dalam menyikapi perubahan kebudayaan yang terbilang spektakuler di abad
informasi ini, yang dibarengi pula oleh adanya tuntutan akan perubahan paradigma
keilmuan, seringkali menciptakan keterbelahan sikap di antara kalangan intelektual.
Tetapi menurut Khun bahwa memang kebanyakan para ilmuwan memilih sikap untuk
bertahan pada paradigma lama. Karena jika mengikuti paradigma baru telah disadari
akan membawa dampak yang berat bagi studi dan kegiatan mereka. Perubahan yang
bersifat paradigmatik selalu bersifat revolusioner, dan efeknya sama seperti sebuah
perubahan perspektif atau orientasi. “New paradigms tulis Khun, give us new ways of
seeing the world, new ways of thingking , and new goals and methods for investigating
nature”(Artinya:“paradigma baru memberi kita cara-cara baru dalam melihat dunia,
cara-cara baru dalam berpikir, serta tujuan dan metode-metode baru dalam mengkaji
alam semesta”). Selanjutnya Khun menandaskan bahwa, sebuah paradigma baru perlu
membuang paradigm lama, bukan cuma sekadar sebuah pengembangan terhadap teori-
16
teori sebelumnya.Karena itu revolusi saintifik meniscayakan penolakan terhadap
paradigma lama, bukan cuma sekadar penambahan. Akan tetapi merupakan perubahan
secara radikal, yang satu mematikan yang lain (incommensurable)(Khun dalam:
Zaprulkhan, 2015).
Menurut sebagian teoretisi social kontemporer, postmodernisme mendorong
terjadinya ‘krisis representasi’dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dalam antropologi
keadaan ini mendorong meningkatnya ‘ketidakpastian cara yang tepat dalam
memaparkan realitas sosial’, merosotnya kepercayaan atas paradigma ilmiah yang ada
dan rasa keraguan yang mendalam terhadap metanaratif yang merupakan karakter ilmu-
ilmukemanusiaan pada abad keduapuluh ini (Saifuddin, 2005).
Cara pandang perkembangan ilmu semacam itulah kemudian terlintas dalam
pemikiran-pemikiran tokoh yang sering disebut-sebut penganut postmodern seperti:
Francois Lyotard, FredrichJameson, Jean Baudrillard, dan lain-lain. Senada dengan
Khun, para pemikir postmodernis tersebut juga berpandangan bahwa di era postmodern
sekarang ini, modernitas telah ditinggalkan (telah berlalu); Dan oleh karena itu, yang
berkembang sekarang adalah teori-teori yang sejalan dengan masyarakat baru itu
(Lubis, 2015).
Walaupun telah memberi sumbangan besar dalam perkembangan arus
pemikiran, tetapi pandangan Lyotard yang radikal seputar incommensurablemasih
menyisakan kritik.Hal itu utamanya muncul dari kalangan pemikir moderat yang masih
melihat keterhubungan atau kontinuitas antara paradigma lama dan yang baru.Mereka-
mereka ini tidak sepenuhnya sependapat dengan Khun yang berpandangan bahwa
terjadi diskontinuitas di antara paradigma lama dan yang baru.
Giddens (dan juga Habermas) adalah kelompok ilmuwan yang masih mendukung
modernitas, walaupun juga mengakui adanya perubahan radikal (luar biasa) dalam
kebudayaan dan ilmu pengetahuan modern.Tetapi menurutnya perubahan itu masih
merupakan bagian dari era modern.Oleh karana itu Giddens lebih suka menyebutnya
sebagai ‘modernitas tinggi’ untuk menggambarkan keberlanjutan era baru itu.Era
postmodern menurut Giddens maupun Habermas hanya merupakan kelanjutan dan
perbaikan atas hal-hal yang dianggap kurang sempurna pada era modern (pencerahan)
(Lubis, 2015).Lalu, bagaimana di kalangan ahli antropologi memandang apa yang
disebut ‘postmodern’ itu?
17
Menurut Antropolog muslim bernama Akbar S. Ahmed, bahwa postmodern di
dalamnya tercakup esai-esai pemikiran baru. Di antara yang penting seperti:
(1) Menjelajahi pemikiran postmodern menandai adanya keraguan dan ketidak-
percayaan terhadap proyek modernitas yang dibangun di atas fondasi pemikiran
yang mengedepankan totalitas universal. Postmodern membutuhkan
pemahaman wawasan makna bukan model berpikir hitam putih;
(2) Berkembang pesatnya teknologi tinggi informasi (cyberpace) menjadi
instrument yang kuat dalam memproyeksikan kultur dominan dari peradaban
global dewasa ini. Oleh Amerika Serikat misalnya, telah menjadikan teknologi
informasi berskala tinggi tersebut sebagai media penyebar berkembang biaknya
virus-virus kapitalis hegemoni (dominan) dalam semua lini sisi kehidupan
masyarakat di dunia ini.
(3) Tokoh-tokoh postmodern lebih sebagai filsuf daripada seorang Antropolog
(etnograf), karena pada dasarnya tugas postmodern lebih menyasar pada
persoalan pragmentasi ide-ide sosial- politik dan perubahan pemikiran (Ahmed
dalam: Lubis, 2015).
Menurut Antropolog Indonesia Heddy Shri Ahimsa- Putra (2005), postmodernisme
dalam antropologi budaya sebenarnya merupakan fenomena yang agak khas Amerika.
Artinya, berbagai pandangan baru yang dikatakan ‘postmodernis’dalam antropologi
umumnya berasal dari ahli-ahli antropologi Amerika Serikat, termasuk reaksi-reaksi
positif dan negatifnya. Sedangan di kalangan Antropolog di belahan dunia lain
misalnya Eropa (Belanda, Prancis dan Inggris) kurang banyak terlibat dalam diskusi-
diskusi seputar paradigma postmodern. Padahal menurut Ahimsa-Putra, jurnal-jurnal
antropologi (seperti: Critique of Anthropology dan Dialectical Anthropology) yang
sering memuat wacana postmodernis ternyata berpusat di Eropa.Itu tidak serta merta
berarti, bahwa mereka tidak tahu tentang postmodern; Dan begitu pula di Amerika
Serikat tidak semua kalangan ahli antropologi yang peduli terhadap postmodern.
Menurut Ahimsa-Putra, perbincangan seputar postmodern umumnya lebih tampak
dalam antropologi spesialisasi (seperti: Antropologi Simbolik, Antropologi Politik,
Antropologi yang Marxistis, dan Antropologi Feminis). Sementara yang lainnya
(seperti: Antropologi Ekonomi, Lingkungan, Kekerabatan, Kependudukan, Perkotaan,
Agama) umumnya kurang begitu tertarik dalam diskusi-diskusi postmodern; Dan
18
mereka cenderung memilih untuk memosisikan diri sebagai pendengar saja (Ahimsa-
Putra, 2005).
James Cliffordadalah seorang Antropolog Amerika (yang juga mengeritik
pemikiran hermeneutika Clifford Geertz) misalnya, memandang postmodern itu
sebagai aliran pemikiran baru, antara lain mengartikannya sebagai suatu kesadaran
yang lebih besar (kesadaran ilmiah baru) mengenai hal-hal yang memengaruhi,
mengungkung, mengendalikan dan mengekang proses penulisan etnografi. Dengan
kesadaran ilmiah baru ini, bagaimana seharusnya seorang Antropolog menulis sebuah
karya etnografi. Menurut Clifford, setiap penulisan etnografi seharusnya selalu
dibarengi dengan proses ‘self-reflection’(proses sadar diri) yakni lebih sadar
mengenai apa yang ingin disampaikannya serta bagaimana cara menyampaikannya
(Ahimsa-Putra, 2005).
Selanjutnya menurut Ahimsa-Putra (2005), kesadaran seperti itu bukanlah hal baru
dalam antropologi. Jauh sebelum masa kejayaan postmodern itu (1980-an), di kalangan
ahli antropologi telah muncul kesadaran diri (self-consciousness) dalam proses
penelitiannya. Hal itu ditunjukkan misalnya melalui karya-karya yang mirip dengan
otobiografi (kisah-kisah pengalaman sipeneliti) yang sadar bahwa dirinya juga adalah
manusia biasa yang memiliki perasaan, prasangka, nilai-nilai yang dianutnya,
sebagaimana halnya warga masyarakat (subjek) yang mereka teliti (refleksivitas). Di
samping itu juga, di AS era 1940-an telah berkembang kesadaran di kalangan ahli-ahli
antropologi untuk mengalihkan perhatiannya pada‘subjectivization’untuk
menggantikan tradisi empirisme naïf sebagai landasan berpikir sebelumnya.
‘Subjectivization’tidak membuat dekotomi objek & subjek; Karena pada dasarnya
yang diteliti juga adalah sama-sama manusia; maka objek seperti yang dimaksud dalam
tradisi empirisme naïf sekaligus ‘subjek’ itu sendiri.Berbeda sekali dengan ilmu-
ilmu kealaman (nature science) objek yang diteliti adalah alam sedangkan sipenelitinya
adalah manusia, sehingga jelas merupakan dua hal yang berbeda.
Berbeda dengan tradisi antropologi generasi sebelumnya (masa kejayaan: EB. Tylor
dan J.G. Frazer) yang menyusun karya didasarkan atas hasil penelitian orang lain;
Maka para Antropolog selanjutnya, hampir dapat dikatakan tidak lagi mengikuti jejak
pendahulunya itu. Kesadaran baru ini tampaknya telah dirintis sejak era F. Boas dan B.
Malinowski, di mana para murid-muridnya diwajibkan untuk melakukan penelitian
19
lapangan untuk jangka waktu yang relatif lama. Keterlibatan langsung sipeneliti dengan
objek penelitiannya seperti itu menurut Ahimsa-Putra (2005) merupakan ‘fusi’ atau
penyatuan prasangka antara sipeneliti dengan para informannya (subjek) sehingga apa
yang ditulisnya (pernyataan-pernyataan) terasa meyakinkan (istilah positivisme logis:
‘objektif’). Dengan demikian, karya-karya etnografi yang ditulis berdasarkan
keterlibatan langsung sipenulisnya di lapangan studi seperti itu, dapat menghasilkan
karya etnografi yang bukan berasal dari proses peniruan belaka (‘mimesis’) seperti
banyak terjadi di masa lampau.
Para penganut postmodernistis dalam antropologi tidak lagi mempercayai adanya
etnografi yang objektif, utuh sebagaimana adanya. Menurut von Hassel, setiap
etnografi selalu mengandung sifat fiktif, karena tidaklah mungkin untuk melukiskan
keseluruhan secara utuh (masyarakat dan atau kebudayaan) dan tepat tentang situasi
lapangan penelitian. Selain tidak memungkinkan melukiskan benar-benar apa yang
dialami, dilihat, diperoleh dan dikerjakan oleh sipeneliti selama dia di lapangan, sebuah
etnografi merupakan karya dari seorang Antropolog yang dikerjakan melalui proses
merangkum, menyunting, menyusun, menambah dan mengurangi berbagai catatan
lapangannya. Dalam kegiatan seperti itu maka apa yang dilukiskan sebagai karya
etnografi dengan sendirinya telah mengalami banyak distorsi sehingga tidaklah bisa
disebut ‘objektif’(Ahimsa-Putra, 2005).
Dalam dunia antropologi yang postmodern, kesadaran bahwa etnografi yang
bersifat objektif itu tidak pernah ada karena tidak akan pernah bisa objektif,
sebagaimana halnya deskripsi dalam ilmu-ilmu alam (walaupun sekarang sudah mulai
diragukan). Dalam sosiologi, Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai pendekatan
“sosiologi refleksif”. Istilah ini ditandai dengan proses pembentukan teori yang
bukan saja sebagai refleksi atas unsur-unsur realitas masyarakat, akan tetapi juga
sebagai refleksi (kritis) terhadap problem objektivitas dan subjektivitas. Teori sosial-
refleksif atau juga disebut konstruktif sekaligus untuk mengatasi debat tentang
dualisme objektif-subjektif yang merebat di kalangan penganut arus pemikiran modern
(positivism-logis) versus postmodern (Lubis, 2005). Lalu bagaimana dalam
Antropologi?
Apabila demikian halnya, Ahimsa-Putra (2005) menganjurkan dengan nada
pertanyaan, seperti berikut:
20
“Jika upaya untuk menggapai ‘objektivitas’dalam melukiskan, menggambarkan, mengemukakan sebuah gejala sosial, peristiwa sosial dan kebudayaan, adalah kesia-siaan, mengapa tidak mengubah saja langkah dan menerima kenyataan dengan lapang dada, bahwa ‘subjektivitas’ adalah bagian yang tak akan pernah bisa lepas dari kajian, deskripsi, dan analisis ilmu sosial? Dan merumuskan kembali tujuan ilmu sosial dan humaniora (tentu yang positivistik), agar lebih sesuai dengan kenyataan yang ada! Dan bukan mengambil strategi burung unta, dengan menganggap bahwa persoalan “objektivitas” dan “subjektivitas”sudah selesai atau menganggap bahwa unsur“subjektivitas”dapat ditekan, dapat disingkirkan dari deskripsi etnografi dan kajian kebudayaan”?!
Dilihat dari sudut persoalan ini, arus pemikiran postmodern dalam antropologi
budaya, dapat dikatakan sebagai sebuah arus pemikiran yang berusaha untuk lebih jujur
terhadap diri sendiri dan lebih berani menerima kenyataan sekaligus tuduhan bahwa
etnografi adalah ‘fiksi’; (fiksi dalam arti tertentu). Namun dengan sikap ini pula,
para penulis etnografi yang mengikuti arus pemikiran postmodern, menjadi lebih
mampu memanfaatkan sarana yang mereka gunakan dalam menyampaikan ide dan
pesan mereka, yakni penulisan dan retorika. Arus pemikiran postmodern dalam
antropologi budaya, dengan perenungannya yang lebih dalam dan kritis mengenai
kemampuan dan keterbatasan retorik dalam proses penulisan etnografi, serta perhatian
yang lebih serius terhadap proses ‘representasi’, menampilkan suatu kebudayaan.
Dengan demikian, diharapkan akan mampu memanfaatkan retorik tersebut untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, yakni melancarkan dan sekaligus meluncurkan kritik
kebudayaan melalui retorik yang dianggap paling efektif. Dalam pandangan
antropologi postmodernada pengakuan bahwa bentuk retorik yang digunakan dalam
suatu etnografi bisa ‘empowers’, memberdayakan atau memperkuat, tetapi sekaligus
juga ‘subverts’, menggerogoti, melemahkan pesan yang ingin disampaikan.Dengan
begitu menurut Ahimsa-Putra, penulis etnografi postmodern, tidak akan risih lagi
dengan segala macam dakwaan dan kecaman dari perkemahan kaum positivistic,
bahwa etnografi mereka tidak objektif, sebab kritik semacam itu tidak ada maknanya
sama sekali bagi mereka. Kritik seperti itu dianggap berangkat dari sebuah keyakinan
yang tak berdasar, yakni bahwa dalam melukiskan gejala sosial-budaya orang dapat
mengerjakannya dengan ‘objektif’, tanpa prasangka dan bebas nilai. Dalam
antropologi postmodern, tuduhan semacam ini tidak hanya merupakan sebuah
21
pengingkaran atas kenyataan, jika bukan suatu bentuk kemunafikan (Ahimsa-Putra,
2005). Diakui pula oleh Ahimsa Putra, perbincangan tentang postmodern di kalangan
antropologi (khususnya di Indonesia) akan menimbulkan reaksi dan atau tantangan.
Menurut Ahimsa-Putra, hal ini karena pertama, tidak semua ilmuwan sosial- budaya di
Indonesia cukup siap untuk menerima dan memahami secara arif kritik-kritik dari
aliran baru itu (postmodern) terhadap pandangan-pandangan yang sudah mapan dalam
disiplin mereka. Kedua, diskusi serius yang berada pada tataran filosofis,
epistemologis, masih terasa sebagai diskusi para imuwan “Menara Gading”yang
tidak bersentuhan dengan problem praktis masyarakat Indonesia pada umumnya,
sehingga akan terasa sangat elitis dan mudah menuai kecaman dari pihak-pihak
tertentu. Ketiga, buku-buku dasar dan asli mengenai aliran pemikiran baru itu masih
dirasakan sulit didapatkan di Indonesia sehingga tidak banyak ilmuwan social-budaya
di Indonesia yang betul-betul memahami aliran pemikiran baru tersebut dengan segala
seluk-beluknya, kecuali mereka yang memang betul-betul mempelajari dengan serius
dan telah menerapkannya dalam penelitiannya (Ahimsa Putra, 2005).
Namun di sisi lainnya, terutama bagi kalangan antropologi feminis dan atau
juga bidang spesialisasi lainnya, justru kehadiran postmodern dirasakan amat penting
untuk mengisi kelemahan positivisme. Paradigma positivismedianggap terlalu diwarnai
semangat maskulinitas dan mengabaikan perspektif feminis. Karena itu
memungkinkan dekonstruksi teori yang berperspektif feminis seperti yang banyak
disediakan dalam teori kritis, dan maupun konstruktivis yang menjadi wilayah
postmodern. Oleh karena itu, menurut Maggie Humm (dalam: Lubis, 2006) perlunya
upaya-upaya pendefinisian kembali teori-teiri besar dalam antropologi (khususnya
Antropologi Feminis) serta perlunya disiplin antropologi dan etnografi bagi studi
feminis. Beverly Skeggs sejalan dengan pemikiran seperti itu dan menawarkan suatu
etika etnografis yang lebih “ramah perempuan”dengan memberdayakan dan
memajukan kaum perempuan local dan terpinggirkan (Skeggs, dalam: Lubis, 2006).
Jauh sebelumnya, Clifford Geertz menekankan bahwa Antropolog seharusnya
bergeser dari upaya melakukan eksplanasi menjadi upaya menemukan makna dan
memandang penting simbol dalam penelitian antropologi (Geertz, 1992).Geertz
menekankan signifikansi konteks sosial sebagai unsur yang amat penting dalam
memahami makna simbol. Berbeda dengan tradisi hermeneutika (interpretivisme
22
simbolik) sebelumnya, Gerrtz ingin mengembangkan model hermeneutika yang lebih
baru dan dipandang lebih sesuai dengan antropologi non-positivistik yakni melalui
pengalihan orientasi dari yang awalnya lebih menekankan penelitiannya terhadap tanda
dan simbol dalam abstraksi “ke penelitian tentang tanda dan simbol dalam habitat
alamiahnya – dunia alamiah di mana manusia melihat, memberi nama, mendengar dan
membuat”.
Selanjutnya Geertz mengkritik perkemahan antropologi positivistik yang ia sebut
memiliki angan-angan menjadi ilmu pengetahuan dengan cara seperti ilmu fisika,
dengan hukum dan generalisasi yang didasarkan pada data empiris dan dapat
diverifikasi. Geertz yakin bahwa antropologi harus didasari realitas kongkret, tetapi dari
realitas ini, antropolog menemukan makna dan bukan prediksi yang didasarkan data
empiris.Sejak itulah pendekatan interpretivismesimbolik memperoleh tempat yang
penting dan sejalan dengan pemikiran postmodern (Saiffudin, 2005).
Apa yang ditawarkan Geertz seperti telah disinggung terdahulu telah banyak
dikuti oleh kalangan antropolog sejak tahun 1970-an hingga kira-kira pertengahan
tahun 1980-an. Walaupun pendekatan interpretatif (hermeneutik) demikian telah
memberikan sumbangan besar dalam antropologi (antropologi simbolik), tetapi
penekanan penelitian simbol yang dilakukan Geertz selanjutnya juga banyak menuai
kritik. Salah satu kritik yang paling tajam dalam mengungkapkan kelemahan konsep
kebudayaan (simbol) Geertz adalah Talal Asad.Kritik Asad sebetulnya ditujukan
kepada definisi Geertz tentang agama. Tetapi walaupun demikian, Asad juga mengakui
bahwa definisi semacam itu juga sangat kaya dalam menggambarkan bagaimana agama
itu membentuk pengetahuan dan sikap manusia terhadap hidup, definisi yang diajukan
Geertz itu sama sekali tidak menyinggung proses sebaliknya, yaitu bagaimana
kehidupan manusia memengaruhi, mengkondisikan dan membentuk simbol-simbol
keagamaan? Asad menilai pemahaman Geertz itu berorientasi pada satu sisi (hubungan
satu arah) dan memandang simbol keagamaan bersifat sui generis dan mengabaikan
bagaimana perspektif keagamaan itu dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya menurut Asad kelemahan utama
pendekatan Geertz disebabkan oleh definisinya tentang kebudayaan yakni sebagai
“suatu totalitas arti yang bersifat a-priori(seolah-olah diterima jadi dari generasi
sebelumnya), yang sama sekali dipisahkan dari proses pembentukan kekuasaan dan
23
efek-efeknya”. Sebagai akibat dari konsepsi kebudayaan demikian, menurut Asad
terwujudlah dalam pendekatan Geertz “jurang pemisah” (hiatus) sistem kebudayaan
dan realitas sosial (Bachtiar Alam, 1997).
Konsep teoretis yang mencoba mengisi kelemahan definisi kebudayaan
demikian adalah konsep practice (=”praksis”) yang dipopulerkan oleh Pierre
Bourdieu. Berbeda dengan konsep “tindakan”(action) seperti pandangan Weber
yang diadopsi Geertz (lihat Geertz, 1992:5); Practice menekankan adanya hubungan
timbal-balik antara sipelaku yang dipandang Bourdieu sebagai ‘struktur
objektif’yang mencakup juga ‘kebudayaan’sebagai sistem konsepsi yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Hubungan timbal balik itu sebagai 1) struktur
objektif direproduksi terus-menerus dalam praksis para pelakunya yang berada dalam
kondisi historis tertentu, 2) dalam proses tersebut para pelaku mengartikulasikan dan
mengapropriasi symbol-simbol budaya yang terdapat dalam struktur objektif sebagai
tindakan strategis dalam konteks sosial tertentu, 3) sehingga proses timbal-balik secara
terus-menerus antara praksis dan struktur objektif dapat menghasilkan baik perubahan
maupun kontinuitas.
Berbeda dengan pandangan sebelumnya (seperti juga dianut Geertz), konsep praksis
yang diajukan Bourdieu berimplikasi pada pemahaman khususnya tentang konsep
kebudayaan itu senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena keberadaanya
tergantung pada praksis para pelakunya yang berada dalam konteks social tertentu dan
juga sudah tentu memiliki ‘kepentingan’tertentu. Dengan demikian, kebudayaan
dalam pengertian ini merupakan konstruksi sosial yang berkaitan dengan kepentingan
dan kekuasaan yang dimiliki sipelaku. Menurut Bachtiar Alam, pengertian kebudayaan
sebagai praksis seperti ini sama sekali tidak terungkap dalam pendekatan interpretatif
yang telah lama mendominasi kajian-kajian antropologi (Bourdieu, dalam: Bachtiar
Alam, 1997).Bourdieu memandang bahwa dunia sosial itu adalah sebagai arena
pertarungan terus bergerak dinamis antara apa yang ia sebut
‘hetrodoxa’vs.‘orthodoxa’.(Basis, 2003).
5.Penutup
24
Postmodern dalam antropologi utamanya lebih diletakkan sebagai refleksi diri
dalam upaya melakukan koreksi diri ke dalam, mengevaluasi/ meninjau kembali cara-
cara yang selama ini dipergunakan (epistemologi) dan tujuan (aksiologis) yang
diharapkan. Dengan perkataan lainnya, antropologi harus mengevaluasi kembali objek-
objek konvensional kajiannya dan mengembangkan ranah dan metode pengkajian yang
baru yang relevan dengan subjek-subjek dan kekuatan-kekuatan sosial yang baru, yang
tumbuh di era modern (kontemporer).Di samping itu, agar dapat berkontribusi lebih
luas dalam kiprah kemanusiaan (misi pembebasan) maka antropologi haruslah berani
lebih menegaskan dirinya sebagai ‘ilmu yang tidak bebas nilai’.
Inovasi teori dalam antropologi sebenarnya terjadi terus-menerus. Kombinasi
pendekatan interpretatif yang berasal dari antropologi simbolik, dengan pendekatan
materi dan historis misalnya adalah salah satu yang mengemuka sehingga pemikiran
kritis (marxis: tempat berpijak teori-teori berparadigma kritis/ postmodern) banyak
diadopsi dalam antropologi dan menguatkan lapangan kajian antropologi baru,
selanjutnya.Sejak beberapa dekade, kurikulum antropologi (di Indonesia) juga sudah
mulai diperkuat dengan teori-teori yang ber-mainstream postmodern seperti: teori
kritis, postmodern, marxis, feminis, dan lain-lain.
Pengapdopsian paradigma postmodern dalam antropologi memang dapat
‘empower’(memberdayakan dan menguatkan), tetapi sekaligus disadari pula bisa
subverts (menggerogoti dan melemahkan) pesan yang ingin disampaikan, terutama
dalam retorika penulisan etnografi.
Hemat saya, postmodern afirmatif (affirmative postmodernism) barangkalilebih
relevan diadopsi dalam antropologi, karena karakteristiknya yang inklusif dan
moderat.Postmodern afirmatif mendambakan terciptanya penghargaan kembali akan
keanekaragaman idologi, realitas, objek, peristiwa, tempat dan pengalaman manusia
yang sangat kompleks, dan tidak secara ekstrem menolak atau tidak anti epistemologi,
tidak anti fondasi maupun tidak anti sosial, tetapi lebih menekankan pluralisme dalam
epistemologi dan ideologi. Dengan pilihan ini, kombinasi pendekatan interpretatif
(yang berasal dari antropologi simbolik) dengan pemikiran Marxisme dalam
antropologi dapat berjalan selaras.Kombinasi dua pemikiran ini dapat menuju
terbangunnya paradigma ‘postmodernisme jalan tengah’dalam antropologi.Dengan
demikian,postmodern dalam antropologi tidaklah harus dipandang sebagai ‘revolusi
25
ilmiah’, tetapi merupakan upaya pembiakan, inovasi epistemologis, sehingga
antropologi menjadi lebih adaptifdan produktif. Hal ini telah ditunjukkan misalnya
dengan pembiakan kurikulum mata kuliah (terbilang relatif baru) pada program studi
antropologi, seperti: teori Marxisme, teori kritis & postmodern, antropologi gender,
teori interpretatif, dan lain-lain.
26
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, 2005.“Poststrukturalisme Dan Postmodernisme: Sebuah
Sketsa Komparatif”. Makalah dalam Seminar Cultural Studies: Isu, Teori dan
Metode, di Universitas Udayana.
Alam, Bachtiar, 1997. “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori
Kebudayaan”. Makalah dalam Widyakarya Nasional Antropologi dan
Pembangunan yang diselenggarakan di Hotel Indonesia Jakarta 26-28 Agustus
1997.
Arsana, I Gusti Ketut Gde, 1995.“Pemahaman Antropologi Dari Perspektif
Epistemologi Dan Penerapannya Di Indonesia.Diktat Kuliah Antropologi,
Universitas Udayana, Denpasar.
Barthes, Roland, 1983. The Fashion System, terj. Matthew Ward dan Richard Howard.
New York. Hill&Wang.
Basis, 2003.“Edisi Khusus Pierre Bourdieu”. No.11-12, Tahun ke 52, Nopember-
Desember 2003.
Foucault, Michel, 1984. Power Knowledge : Selected Interview and Other Writings.
Terj. A. Sheridan. New York. Vintage.
Geertz, Clifford, 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Giddens, Anthony, 1984. The Constitution of Society: outline of the Theory of
Structuration. Cambridge: Polity.
Koentjaraningrat, 1961.“Some Social_Anthropological Observations on Gotong
Royong Practice in Two Villages of Central Java”. Ithaca: Cornel University
Modern Indonesia Procect. Monografh Series.
_____________, 1984.“Ciracas Dan Cilangkap: Dua Desa DiPasar Rebo Selatan
Jakarta”, dalam :Masyarakat Desa Di Indonesia Masa Kini. Jakarta: Lembaga
Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universtas Indonesia.
_____________, 1984a.Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
_____________, 1991.Masyarakat Suku Terasing Di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
_____________, 1993.Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional. Jakarta. UI
Press.
27
Listiyono Santoso, dkk.,Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Penerbit
AR-RUZZ MEDIA.
Lubis, Akhyar Yusuf, 2004. Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor:
AKADEMIA.
_____________, 2006.Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme,
Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultual Studies. Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu.
_____________, 2014. Postmodernisme: Teori Dan Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
_____________, 2015.Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Cultural
Studies, Feminisme, Postkolonial Hingga Multikulturalisme. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Piliang, Yasraf Amir, 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultual Studies Atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
____________, 2004. Dunia Yang Berlari: Mencari Tuhan-Tuhan Digital. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Saifuddin, Achmad Fedyani, 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Penerbit Pustaka
Bani Quraisy.
Zaprulkhan, 2015.Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
top related