perlindungan hukum terhadap...
Post on 12-May-2018
240 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Volume 11, No.1 Mei 2011 i
Perlindungan Hukum Terhadap Hak-
Hak Rakyat Atas Tanah Dalam
Pembangunan (Kajian Atas Perpres No.
65 Tahun 2006);
Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU
No. 16 Tahun 2004;
Kewenangan PTUN Dalam Penanganan
Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU
PTUN;
Akibat Hukum Terhadap Perjanjian
Hutang Menurut KUH Perdata;
Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat
Terbitnya Keputusan Tata Usaha
Negara;
Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP
No. 44 Tahun 1993 Tentang Bea
baliknama Kendaraan Bermotor;
Perlindungan Hukum Advokat Sebagai
Penerima Kuasa.
Volume 11, No.1 Mei 2011 ISSN 1412-2928
Volume 11, No.1 Mei 2011 ii
JURNAL “YUSTITIA”
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura
Pimpinan Redaksi
Muhammad, S.H.,MH.
Wakil Pimpinan Redaksi
Achmad Rifai, S.H., M.Hum.
M.Amin Rachman, S.H., MH.
Sekretaris Redaksi
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.
Konsultan Redaksi
Drs. H. Kutwa, M.Pd.
Drs. H. Abd. Roziq, MH.
Dr. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.
Redaksi Pelaksana
H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.
Dr. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.
Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.
Adrianana Pakendek, S.H., MH.
Anni Puji Astutik, S.H., MH.
Pembantu Umum
Hj.Wasilaning Rahayu
Toyyib Muniri
Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan
E-mail: fh_unira@telkom.net
Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan
pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam
media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
Volume 11, No.1 Mei 2011 iii
EDITORIAL
Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan
adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap
tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa
apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk
kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, , maka
pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan
dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.Hal ini
diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini.
Tulisan ke dua memaparkan tentang kedudukan, tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara
hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah yang
dilaksanakan sendiri oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam kaitannya itu dengan
implementasi wewenang BPN membatalkan pemberian Hak Atas Tanah berbenturan
dengan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.
Akibat hukum yang timbul dalam perjanjian hutang menurut Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, selama ini perjanjian penanggungan merupakan jaminan
perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu
diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya
Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan
publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan jaminan terhadap hak masyarakat baik secara yuridis konstitusional maupun secara etika sosial.
. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan
nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus
dilakukan penyerahan yuridis, dan akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam
BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan;
Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian
bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas
tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam
rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan
sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan
Editor
Volume 11, No.1 Mei 2011 iv
DAFTAR ISI
EDITORIAL …………………………………………………… ii
1. Dr.H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam
Pembangunan (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006) …………………. 1
2. Nur Hidayat, S.H., M.Hum.
Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 ……………………………………….. 26
3. H.Hofney Setyo Poernamo, SH.,M.Hum.
Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penanganan
Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU PTUN .............................................. 52
4. Sri Sulastri, SH.M.Hum.
Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata ....... 83
5. Win Yuli Wardani, SH.,M.Hum.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh
Pelayanan Publik ............................................................................................. 103
6. M.Amin Rachman, S.H.,MH.
Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ........................................................... 123
7. Achmad Rifai, SH.M.Hum.
Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa ……………........ 147
Volume 11, No.1 Mei 2011 v
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH
DALAM PEMBANGUNAN (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006)
Oleh:
H. Akh.Munif.1*
ABSTRAK
Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam
pembangunan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang
hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah
perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari
diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk kepentingan umum
melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, maka pengadaan
tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan
dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum – Hak-Hak Rakyat – Atas Tanah.
LATAR BELAKANG
Peranan pembangunan dalam masa-masa sekarang ini, sangatlah dirasakan
adanya peningkatan kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai macam aspek
dalam menumbuhkan pembangunan yang merata bagi lapisan masyarakat, terutama
pembangunan dibidang fisik baik desa maupun kota. Tanah sebagai modal dasar
pembangunan memegang peranan yang sangat penting untuk melaksanakan kegiatan pembangunan, seperti mendirikan gedung sekolah, pelebaran jalan dan lain sebagainya.
Akan tetapi banyaknya tanah yang tersedia untuk keperluan pembangunan sangatlah
terbatas.
Adapun faktor yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul di atas,
berawal dari seringnya muncul sengketa mengenai tanah diantara kelompok-kelompok
yang ada di masyarakat yang sangat mengharapkan suatu keadilan. Adapun ukuran
keadilan itu subyektif dan relatif. Subyektif, karena ditentukan oleh manusia (hakim)
yang mempunyai wewenang untuk memutuskan, namun tidak mungkin memiliki
kesempurnaan yang absolut. Relatif, karena bagi seseorang dirasa sudah adil, tetapi
bagi orang lain dirasa sama sekali tidak adil.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
Volume 11, No.1 Mei 2011 vi
Oleh kerena itu dalam setiap kegiatan pembangunan tidak saja menjadi
tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga dibutuhkan peran aktif dari pihak swasta
dan masyarakat pada umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah bagi
pemerintah maupun perusahaan swasta, kecil sekali kemungkinannya menggunakan
tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara dikarenakan persediaan tanahnya yang
terbatas. Sebagai solusinya adalah menggunakan tanah-tanah hak rakyat dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang pokok agraria (UUPA) pada pasal 6 telah disebutkan bahwa
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah
dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau disesuaikan dengan keadaannya dan
sifat dari haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam
ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan
perseorangan haruslah saling mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapailah
tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Berhubungan dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa
tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah
kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula
dari setiap badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan
tanah itu. Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang
ekonomis lemah.2
Pranata hukum yang mengatur pengambilan tanah-tanah penduduk untuk
keperluan pembangunan, dilakukan dengan melalui :
1. Pengadaan tanah
Pengadaan tanah ialah setiap kegiatan yang mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
Pelepasan adalah kegiatan melepaskan hubungan antara pemegang hak atas tanah
dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar
musyawarah.
Pengadaan tanah erat sekali hubungannya dengan pembebasan atau pelepasan
hak atas tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun untuk
kepentingan swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara yang
satu dengan yang lainnya.
2 Arif, Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. III, CV. Mandar Maju, Bandung,
1994, h. 45.
Volume 11, No.1 Mei 2011 vii
Menurut Soedharyo Soimin, pembebasan tanah adalah “melepaskan hubungan
hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanah dengan cara
pemberian ganti rugi.2
Namun dalam prakteknya, rakyat sering dijadikan akses para penguasa. Rakyat
seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan mengambil suatu kebijaksanaan
yang menyangkut nasib dan masa depan mereka. Pada umumnya mereka hanya diberi pengarahan yang harus diterima dengan penuh kepatuhan, bahkan rakyat seringkali
dibodohi dengan janji-janji yang menggiurkan, sehingga mereka merasa kecewa dan
merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bila persoalan
semacam ini tidak mendapatkan perhatian yang serius, pada gilirannya akan
menimbulkan masalah yang berdampak politik.
Hal-hal tersebut di atas tentunya menimbulkan keresahan dalam masyarakat
yang dirugikan secara moril dan materiil. Padahal dalam pelaksanan pengadaan tanah
harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang sesuai dengan
prinsip bahwa negara kita adalah suatu negara hukum. Oleh karenanya, dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu
pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum),
prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi
kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa
negara kita adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan kita harus
memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap
terpelihara.3
Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat merupakan faktor
dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan pembangunan dan perlu
ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan baik melalui investigasi
dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat berarti memberikan setiap
manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan untuk rakyat berarti menjamin bahwa
setiap kemajuan yang diperoleh sebagai hasil pembangunan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat banyak.
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka dapat diangkat
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah hak dan kewajiban rakyat atas tanah ?
2 Soedharyo Soimin, Stutas Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2001, h. 76. 3Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan
Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51.
Volume 11, No.1 Mei 2011 viii
b. Bagaimanakah perlindungan hukumnya terhadap hak-hak rakyat atas tanah
dalam Pembangunan ?
HAK DAN KEWAJIBAN RAKYAT ATAS TANAH
A. Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah
Berbicara tentang masalah tanah, jika ditinjau dari hukum adat merupakan
suatu hal yang cukup esensiil dalam kehidupan manusia. Menurut Suyono Wignjodipuro
ada dua hak pokok yang menyebabkan tanah mempunyai kedudukan penting, yaitu :
a. Karena sifatnya:
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bagaimanapun
keadaannya masih tetap bersifat tetap atau kadang-kadang bahkan
menguntungkan.
b. Karena fakta
Suatu kenyataan bahwa tanah itu :
- merupakan tempat tinggal persekutuannya;
- merupakan penghitungan bagi warga persekutuan; - merupakan tempat warga dikebumikan;
- dan juga merupakan tempat tinggal para roh dan dayang-dayang leluhur
persekutuan.4
Untuk kedudukan tanah karena sifatnya dalam hukum adat, sebagaimana
dimaksud di atas contohnya sebidang tanah yang dibakar atau di atasnya dijatuhkan
bom, tanah tersebut tidak akan lenyap, sebab setelah api itu padam atau setelah
pemboman selesai, sebidang tanah tersebut akan muncul kembali dan telah berwujud
tanah seperti semula. Memandang betapa tanah mempunyai arti yang sangat
penting, maka hal-hal yang berkaitan dengan tanah selalu mendapatkan perhatian
khusus, terutama tentang transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah termasuk juga persewaan tanah pertanian.
Transaksi tanah, sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat riil, di dalam
lapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu perbuatan tunai dan berobyek
tanah. Intinya ialah penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan
penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadang-kadang sebagian, selaku kontra
prestasi). Perbuatan “menyerahkan” itu dinyatakan dengan istilah “jual”(Indonesia),
“adol” (Jawa).
4 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, CV. Haji
Masagung, Jakarta, 1968, h. 197.
Volume 11, No.1 Mei 2011 ix
Oleh karena itu transaksi tanah segi dua atau timbal balik tersebut di atas
menyimpulkan pokok pikiran sebagai berikut : “saya melepaskan tanah setelah saya
menerima sejumlah uang tertentu, dan anda menjadi pemegang hak atas tanah itu :
1. atau untuk selamanya;
2. atau selama saya tidak menebusnya; 3. atau untuk beberapa lama saja.5
Dengan demikian transaksi-transaksi semacam itu digolongkan ke dalam perjanjian riil
atas tanah, berhadapan dengan perjanjian-perjanjian jenis lain yaitu:
1. perjanjian yang biasanya digolongkan kedalam transaksi yang bersangkutan
dengan tanah, di mana tanah merupakan faktor penting, namun tidak dapat
disebut obyek transaksi dan tidak bermaksud seperti pada transaksi jual;
2. perjanjian di mana tanah memegang peranan sangat penting dan didalamnya
terdapat perbuatan tunai.
B. Hak-Hak Rakyat Atas Tanah
Dalam membicarakan hak dan kewajiban atas tanah ada beberapa hak atas tanah yang penting harus diketahui yang berasal dari hukum agraria sebelum adanya
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Hak atas tanah menurut hukum Adat sebelum berlakunya UUPA yaitu :
1. Hak ulayat
Hak ulayat ialah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota
masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara
menyeluruh.
Adapun hak warga masyarakat atas tanah yang berwujud dalam hak ulayat ini
pada dasarnya berupa :
a. Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di
wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka yang bersangkutan. b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka.
Tetapi dalam konsepsi hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakikatnya
tetap terdapat juga hak anggota masyarakat yang bersangkutan untuk secara
perseorangan menguasai sebagian dari obyek penguasaan hak ulayat tersebut secara
tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu) agar diketahui para anggota
masyarakat lainnya dalam waktu yang tertentu pula.
2. Hak milik dan hak pakai
5 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,
Yogyakarta, 1979, h. 177.
Volume 11, No.1 Mei 2011 x
Hak milik (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh
perseorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak ulayat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Contohnya tanah yang dikuasai dengan hak
milik dalam hukum adat itu berupa sawah dan beralih turun temurun, sedangkan hak
pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah
memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah tertentu bagi kepentingannya. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak pakai dalam
Hukum Adat itu berupa ladang.6
Hak atas tanah menurut hukum (Perdata) Barat sebelum berlakunya UUPA
yaitu :7
1. Hak Eigendom (pasal 570 KUHPer/BW).
Hak eigendom atas tanah ialah suatu hak yang terkuat dalam hukum barat.
Tidaklah sama hakikatnya hak “milik” atas tanah menurut konsepsi hukum (perdata)
Barat ini dengan hakikat hak milik atas tanah menurut konsepsi UUPA kita dewasa ini.
Dengan hak eigendom hak atas tanah, pemilik (eigenaar) tanah yang bersangkutan
mempunyai hak “mutlak” atas tanahnya. Hal ini dapat kita mengerti mengingat konsepsi
hukum Barat ini dilandasi oleh jiwa dan pandangan hidup yang bersifat individualistis-
materialistis, yaitu suatu pandangan hidup yang lebih mengagungkan kepentingan perorangan dari pada kepentingan umum maupun kebendaan dari pada keahlakan.
2. Hak opstal (pasal 711 KUH Per/BW).
Hak opstal ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk memiliki segala sesuatu yang terdapat di atas tanah eigendom
orang lain sepanjang sesuatu tersebut bukanlah kepunyaan “eigenaar” tanah yang
bersangkutan. Segala sesuatu yang dapat dimiliki itu misalkan rumah atau bangunan,
tanaman dan sebagainya. Disamping wewenang untuk dapat memiliki benda-benda
tersebut, hak opstal juga memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk :
- Memindahtangankan (benda yang menjadi) haknya itu kepada
orang lain;
- Menjadikan benda tersebut sebagai jaminan hutangnya (dengan Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996 );
- Mengalihkannya kepada ahli warisnya sepanjang jangka waktu
berlakunya hak opstal itu belum habis menurut perjanjian yang telah ditetapkan
bersama pemilik tanah.
3. Hak erfpacht (pasal 720 KUHPer/BW).
6 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 27. 7 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet. III,
Alumni Bandung, 1992, h. 128.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xi
Hak erfpacht ialah hak untuk dapat mengusahakan atau mengolah tanah orang
lain dan menarik manfaat atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut. Di
samping menggunakan tanah orang lain itu untuk dimanfaatkan hasilnya, pemegang hak
atas tanah, pemegang hak erfpacht ini berwenang pula untuk memindahtangankan
haknya itu kepada orang lain, menjadikannya sebagai jaminan hutang (dengan Hak
Tanggungan) dan mengalihkannya pula kepada ahli warisnya sepanjang belum habis masa berlakunya.
4. Hak gebruik (pasal 818 KUHPer/BW).
Hak gebruik ialah suatu hak atas tanah sebagi hak pakai atas tanah orang lain
(gebruik = pakai). Hak gebruik ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
dapat memakai tanah eigendom orang lain guna diusahakan dan diambil hasilnya bagi
diri dan keluarganya saja. Di samping itu pemegang hak gebruik in boleh pula tinggal di
atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku hak itu.
Hak atas tanah menurut hukum agraria Indonesia, setelah berlakunya UUPA
yaitu :
1. Hak milik (pasal 20 sampai dengan 27 UUPA)
Hak milik ialah suatu hak atas tanah yang terpenuh, terkuat dan paling sempurna di antara hak-hak atas tanah lainnya. Tetapi pengertian terkuat, terpenuh dan
paling sempurna di sini tidaklah berarti bahwa si pemilik tanah itu boleh bertindak atau
melakukan apa saja atas tanahnya itu.
Hak milik menurut UUPA ialah hak milik yang mempunyai fungsi sosial
seperti juga semua hak atas tanah lainnya (pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung
arti bahwa :
a. Hak milik atas tanah tersebut di samping hanya memberikan manfaat bagi
pemiliknya, harus diusahakan pula agar sedapat mungkin dapat bermanfaat
pula bagi orang lain atau kepentingan umum, bila keadaan memang
memerlukan.
b. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban dan kepentingan umum.
Hakikat hak milik menurut UUPA adalah demikian karena UUPA sebagai hukum
agraria nasional telah dijiwai dan dilandasi oleh Pncasila sebagai pandangan hidup
bangsa, yang menempatkan kehidupan manusia dalam taraf keserasian antara demensi
individual dan demensi sosialnya. Dengan demikian, maka hal ini tentu saja berarti
bahwa di Indonesia pemenuhan kepentingan individu dan kepentingan sosial sama-sama
dijamin dan dilindungi penuh oleh hukum dalam taraf keseraisian pula. Akibatnya hak
milik sebagai suatu lembaga yang merupakan kepentingan individual seseorang atau
suatu pihak, memang dilindungi oleh hukum (proteksi hukum) tetapi disamping itu
tentu saja tetap dibatasi pula (restriksi hukum) sampai pada batas-batas kelayakan dan
kewajaran tertentu.
2. Hak guna usaha (pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA)
Volume 11, No.1 Mei 2011 xii
Hak guna usaha ialah suatu hak yan memberikan wewenang kepada
pemegfangnya untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara untuk
kegiatan-kegiatan pertanian saja. Jadi apabila yang bnersangkutan tidak berkegiatan
dalam bidang pertanian, hak guna usaha atas tanah ini tidak akan diberikan. Kegiatan
pertanian sendiri pada asasnya mengandung pengertian pertanian dalam arti luas dan
dalam arti sempit. Yang dimaksud dengan pertanian dalam arti luas ilah kegiatan pertanian yang disertai atau meliputi juga kegiatan-kegiatan peternakan, perkebunan,
perikanan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan pertanian dalam arti
sempit ialah pertanian yang kegiatannya hanyalah pertanian semisim panen belaka.
Disamping itu wewenang untuk mengusahakan tanah tersebut, pemegang hak
guna usaha yang bersangkutan juga berhak untuk menjadikan hak guna usaha atas tanah
ini sebagai jaminan hutang, atau memindahtangankannya dan mengalihkannya kepada
ahli warisnya sepanjang jangka waktu berlakunya hak tersebut belum habis.
3. Hak guna bangunan (pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA)
Hak guna bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, baik tanah itu merupakan milik orang atau pihak lain maupun berupa tanah yang langsung dikuasai negara.
Disamping itu pemegang hak guna bangunan atas suatu tanah berwenang pula
untuk memindahtangankan hak tersebut, menjadikannya sebagai jaminan hutang dan
mengalihkannya epada ahli warisnya sepanjang belum habis jangka waktunya.
4. Hak pakai (pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA)
Hak pakai ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
menggunakan tanah pihak lain untuk keperluan penggunaan apa saja misalkan untuk
ditanami atau didiami dan didrikan bangunan diatsnya dan sebagainya selama waktu
tertentu menurut perjanjian. Sedangkan tanah yang dimaksud dalam hal ini bisa saja
tanah milik orang lain atau taah yang langsung dikuasai negara. Dalam hal yang terakhir maka hak pakai UUPA analog dengan hak pakai Adat.
5. Hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sampai dengan pasal 45 UUPA).
Hak sewa untuk bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang bagi
pemegangnya untuk mempergunakan tanah milik orang lain guna keperluannya
mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.
6. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA).
a. Hak gadai ialah suatu hak yang dipegang oleh seorang kreditur yang
memberikan wewenang kepadanya untuk menguasai tanah debiturnya dan
turut menikmati atau mengambil hasilnya selama si reditur itu belum dapat
melunaskan hutangnya. Taah yang dibebankan hak gadai ini dapat tanah
Volume 11, No.1 Mei 2011 xiii
pertanian atau dapat juga tanah untuk bangunan. (Hak gadai UUPA tidak
analog dengan hak gadai Adat).
b. Hak usaha bagi hasil, yaitu hak yang memberkan wewenang kepada seorang
penggarap untuk dapat mengerjakan atau mengusahakan tanah milik orang lain
dengan memberikan sebagian tertentu dari jumlah hasil tanah tersebut kepada
pemiliknya menurut perjanjian. c. Hak menumpang, ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada
seseorang atau suatu pihak untuk menumpang tinggal diatas tanah milik orang
lain baik dengan menempati bangunan yang sudah ada maupun dengan
membangun sendiri bila seandainya tanah tersebut masih kosong.8
C. Kewajiban Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan
Merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak di situ
ada kewajiban dan sebaliknya. Karena itu maka dengan adanya hak atas tanah lahirlah
kewajiban atas tanah. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa
“Takaran Hak ialah Kewajiban” sehingga hal ini mengandung arti bahwa “seseorang
atau suatu pihak yang menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya untuk dapat menikmati hak tersebut”. Karena itu maka
sebanding dengan hak yang dapat diperoleh atas tanah, tentu saja ada pula kewajiban
yang harus dipenuhi oleh pihak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah, menurut Hukum Adat
yaitu :
1. Kewajiban pemegang hak ulayat.
Pemegang hak ulayat pada dasarnya berkewajiban untuk :
a. Menggunakan haknya sebagaimana mestinya untuk meramu atau berburu dalam
hutan wilayah hukum masyarakatnya itu;
b. Menepati ketentuan dan kata sepakat yang telah tercapai antar warga dalam
penggunaan hak ulayat tersebut baik secara bersama-sama maupun secara
pribadi atas tanah yang bersangkutan; c. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi alam tempat mereka
melakukan mata pencahariannya tersebut.
2. Kewajiban pemegang hak milik dan hak pakai.
Pemegang hak milik adat pada dasarnya berkewajiban untuk :
a. Menggunakan tanahnya secara semestinya menurut tujuannya;
b. Menjaga agar penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan
kepentingan orang lain atau kepentingan umum, dan memelihara tanah tersebut
dengan baik sehingga tanahnya dapat berfungsi sosial, sebagaimana hal ini
sudah menjadi “jiwa asli” yang melandasi hukum adat Indonesia.
8 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Op. Cit, h. 31.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xiv
Pemegang hak pakai adat bila dipandang sebagai masing-masing individu
yang menjadi bagian dari masyarakatnya, pada dasarnya berkewajiban untuk :
a. Sedapat mungkin berusaha agar ia dapat menambah kegunaan dari tanah yang
dipakai atau digarapnya itu. Peningkatan hasil tersebut tentunya berguna bagi
dirinya sendiri sebagai orang yang berhak memungut hasilnya selaku
penggarap. Disamping itu dengan adanya kewajiban ini, maka orang lain yang nantinya (menurut giliran berikutnya) menjadi pemakai/penggarap tanah
tersebut tentunya akan beruntung pula karena ia mendapat tanah garapan yang
sudah meningkat daya hasilnya. Dengan demikian maka sistem penggarapan
tanah menurut hak ulayat ini dapatlah disimpulkan bahwa setiap orang atau
kepala keluarga akan sedapat mungkin berusaha untuk meninggalkan tanah
bekas garapan mereka dalam keadaan yang sebaik mungkin.
b. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi tanah garapan yang
telah baik dan sedapat mungkin pula meningkatkan kondisi tanah yang masih
kurang daya hasilnya selama masa garapan mereka masing-masing.
Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah menurut Hukum Perdata
Barat yaitu :
1. Kewajiban pemegang hak eigendom. Kalau diresapi secara mendalam dan dibandingkan secara cermat antara hak
dan kewajiban atas tanah yang termaktub dalam hak eigendom ini bagi pemegangnya,
maka dengan segera akan terkesan bahwa antara hak dan kewajiban yang ada dalam
suatu hak eigendom tersebut sama sekali tidak berimbang. Hal ini disebabkan karena
bila dibandingkan dengan haknya yang demikian besar dan demikian banyaknya
melahirkan wewenang bagi pemegangnya, maka kewajiban pemegang hak tersebut
dapat dikatakan sangatlah ringan dan bahkan hampir tidak ada kewajiban lain selain
mungkin hanya membayar pajak milik atas tanah itu semata-mata.
Para pemegang hak eigendom itu tidak wajib memperhatikan apakah
penggunaan tanah yang dilakukan dengan seenaknya itu merugikan/mengganggu
kepentingan orang lain atau tidak. Hal ini dapat dimengerti mengingat landasan dari pada hak eigendom ini ialah Hukum (Perdata) Barat yang tentu saja konsepsinya masih
dilandasi pula oleh jiwa yang individualistis, yakni jiwa yang berpandangan bahwa
kepentingan perorangan harus lebih diperhatikan dan didahulukan dari pada
kepentingan umum. Karena itulah maka konsepsi hak eigendom ini sama sekali tidak
terpakai lagi dalam pembentukan konsepsi hak milik atas tanah menurut UUPA.
2. Kewajiban pemegang hak opstal.
Hampir sama halnya dengan hak eigendom, kewajiban pemegang hak opstal
inipun hampir tidak ada selain hanya menggunakan hak tersebut selaras dengan
perjanjian dan tujuannya selama jangka waktu berlakunya, dengan maksud tentunya
agar hak opstal itu sendiri jangan terhapus karena kadaluwarsaan akibat tidak pernah
digunakan selama masa berlakunya.
3. Kewajiban pemegang hak erfpacht. Pemegang hak erfpacht pun tidak banyak kewajibannya, selain hanya :
Volume 11, No.1 Mei 2011 xv
a. Menggunakan tanah yang bersangkutan secara baik, dalam arti tidak merusak
keadaannya sehingga mendatangkan kerugian bagi pemiliknya;
b. Membagi hasil tanah garapannya itu kepada pemiliknya dengan cara yang
pantas dan jumlah yang adil, selama ia menjadi penggarap tanah tersebut
menurut jangka waktunya;
4. Kewajiban pemegang hak gebruik.
Kewajiban pemegang hak gebruik pada dasarnya hanyalah menjaga dan
memelihara kondisi dan keadaan tanah yang garapannya itu selama masa berlakunya
hak gebruik yang bersangkutan.9
Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah berdasarkan Hukum Agraria
Indonesia, setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa
kewajiban harus dipenuhi oleh pemegang hak milik atas tanah pada dasarnya ialah :
a. Sebelum menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus
memenuhi syarat bahwa ia itu adalah orang yang berkewarganegaraan Indonesia
secara tunggal atau badan hukum yang telah ditunjuk pemerintah sebagai badan
hukum yang dapat atau boleh memegang hak milik atas tanah di Indonesia (pasal
21 ayat (1) dan (2) UUPA); b. Kalau yang bersangkutan adalah orang asing (termasuk didalamnya bekas warga
negara Indonesia) yang telah menjadi warga negara lain atau orang Indonesia yang
tidak berkewarganegaraan Indonesia secara tunggal tetapi telah terlanjur memiliki
tanah di Indonesia, maka orang tersebut wajib melepaskan hak milinya atas tanah
tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, terhitung sejak hak milik itu
diperolehnya atau sejak ia kehilangan kewarganegaraan Indonesianya secara
tunggal (pasal 21 ayat (3) dan 4 UUPA);
c. Setelah menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus
mendaftarkan hak miliknya tersebut, lengkat dengan segala hal yang berkaitan
didalamnya,misalkan ada tidaknya hak-hak lain yang dibebankan atas hak milik
tersebut, peralihannya kepada pihak lain (kalau hak milik tersebut dialihkan kepada pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya) dan sebagainya (*pasal 23 ayat (1) jo.
Pasal 19 UUPA);
d. Menggunakan hak miliknya atas tanah tersebut sebagaimana mestinya dalam arti :
- Tanah miliknya itu tidak diterlantarkan;
- Tanah miliknya itu tidak digunakan untuk kepentingan apa pun juga yang
sifatnya merugikan atau mengganggu kepentingan umum.
e. Menjaga dan memelihara tanah tersebut sedemikian rupa sehingga selalu ada fungsi
sosialnya, dalam arti selalu dapat juga bermanfaat bagi orang lain (kepentingan
umum) bila sewaktu-waktu diperlukan (pasal 6 UUPA).10
9 Ibid, h. 31-34. 10 Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1999, h. 128.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xvi
Sedangkan kewajiban rakyat atas tanah dalam pembangunan, maka dapat
diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh
pemegang hak atas tanah. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Perpres No. 36 Tahun
2005 yang dimaksud dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Sebelum
memperoleh hak atas tanah, Instansi Pemerintah (pemerintah) yang memerlukan tanah
terlebih dahulu melaksanakan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah.
Musyawarah tersebut dilaksanakan untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi
atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah.11
Sedangkan pengertian dari musyawarah ialah kegiatan yang mengandung
proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta
keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan
masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan
dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.
Rumusan musyawarah menunjukkan adanya proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara demokratis. Prinsip mendengar dan saling mendengar (to give a
little and to take a little) untuk mencapai kesepakatan yang bulat terhadap masalah yang
menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
Musyawarah diharapkan dapat dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah
dengan instansi yang memerlukan tanah. Jika pemegang hak atas tanah berhalangan
dapat menguasakan kepada wakil-wakilnya. Proses musyawarah akan berjalan
seimbang manakala masing-masing pihak yang melakukannya dalam keadaan
seimbang, baik dalam hal pengetahuannya, kekuatan bargainingnya, maupun sumber
daya ekonomis serta politisnya.
Salah satu prinsip yang penting dalam musyawarah dalam rangka pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah ialah prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Disini diperlukan kesamaan persepsi, apresiasi terhadap sesuatu hak yang
memperhatikan prinsip kewajaran, kepatutan, keadilan, dan kemanusiaan. Prinsip fungsi
sosial (pasal 6 UUPA) tidak dapat dipakai sebagai dasar melanggar bahkan
melenyapkan hak individual secara tidak wajar, adil, patut, dan berperikemanusiaan.12
11 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, PRO JUSTIA, tahun XVI No. 4, Oktober, 1998, Fak. Hukum
UNPAR, Bandung, 1998, h. 32. 12 Achmad Sodiki, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Materi
Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum Ekonomi,
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Batu, 29-31-Juli, 1996, h. 6-8.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xvii
Apabila dalam musyawarah antara pemegang hak atas tanah dan instansi
pemerintah yang memerlukan hak atas tanah tercapai kesepakatan dalam penetapan
bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka pemegang hak atas tanah mengisi surat
pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang telah disiapkan oleh Panitia
Pengadaan Tanah, dan bersamaan itu pula ganti kerugian tersebut diserahkan oleh
instansi pemerintah yang memerlukan tanah langsung kepada pemegang hak atas tanah. Akan tetapi bilamana tidak terdapat kesepakatan dalam musyawarah antara
pihak-pihak mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian walaupun keperluan akan
tanah tersebut sifatnya mendesak untuk kepentingan umum sedangkan lokasinya tidak
dapat dipindahkan ketempat lain, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah
tidak dapat menggunakan konsinyasi, tetapi langsung mengajukan pencabutan hak atas
tanah kepada pihak yang berwenang.
BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK
RAKYAT ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN
A. Perangkat Peraturan Perundang-undangan Dibidang Pertanahan
Peraturan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum sebagaimana diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai mengandung
beberapa kelemahan. Oleh karena itu Pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan
Perpres No. 36 Tahun 2005 dan sekarang sudah dirubah dengan Perpres No. 65 Tahun
2006, penerbitan peraturan dalam bentuk Perppres di samping untuk meningkatkan
legitimasi peraturan pengadaan tanah untuk pembangunan, juga memenuhi ketentuan
dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur tata urutan peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut pasal 5
Perppres No. 65 Tahun 2006, hanya dibatasi untuk pembangunan yang dilakukan dan
selanjutnya dimiliki oleh pemerintah daerah serta tidak digunakan mencari keuntungan
dalam bidang lain sebagai berikut : a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang tanah, ataupun
diruang bawah tanah), saluran air minum / bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit sekali dirumuskan dan lebih-lebih kalau kita secara operasional. Akan tetapi dalam
rangka penggunaan tanah masyarakat penegasan tentang kepentingan umum yang akan
Volume 11, No.1 Mei 2011 xviii
menjadi dasar dan kreterianya perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan
tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku.13
Dalam konsinyasi instansi pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan
uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri setempat, terserah kepada pemegang hak
atas tanah mau mengambil atau tidak uang ganti kerugian tersebut di Pengadilan Negeri
setempat. Instansi pemerintah menganggap bahwa dirinya telah melaksanakan kewajiban memberikan ganti kerugian yang dinilai telah memadai kepada pemegang
hak atas tanah melalui penitipan uang di Pengadilan Negeri setempat. Untuk
selanjutnya, tanah beserta benda-benda yang ada diatasnya dibebaskan oleh panitia
Pembebasan Tanah, sehingga proyek pembangunan yang telah direncanakan tersebut
segera dilaksanakan.14
Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan tanah untuk kepentingan
pemerintah diatur dalam pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 adalah sebagai berikut :
(1). Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat
dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain,
maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua
puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.
(2). Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti
rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi
tanah yang bersangkutan.
(3). Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri
yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.
Pelaksanaan asas musyawarah dalam rangka pengadaan tanah bagi
peleksanaan pembangunan untuk kepentingan umum seperti yang disebut dalam ayat 2
Pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa asas musyawarah
merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam rangka pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu
peranan panitia dalam hal ini sangat menentukan kualitas wakil dalam pelaksanaan
musyawarah ini dan perlu dihindari adanya wakil yang tidak aspiratif, tidak mampu
menyuarakan keinginan yang diwakili, mempunyai sikap yang jelas tetapi tidak kau dan
juga sebaliknya jangan sampai ditunjuk wakil yang sulit memehami maksud baik
pemerintah. Tegasnya wakil tersebut diharapkan adalah mereka yang mampu
menjembatani keinginan Panitia Pengadaan Tanah dan keinginan masyarakat.
Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah untuk
kepentingan pemerintah jelas sangat merugikan pemegang hak atas tanah, karena
13 Abdurrahman, Op. Cit, h. 51. 14 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Lok Cit,
Volume 11, No.1 Mei 2011 xix
pemegang hak atas tanah tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan besarnya ganti
kerugian dan pemegang hak atas tanah tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus
menerima besarnya ganti kerugian yang telah dititipkan kepada Pengadilan Negeri
setempat. Oleh karena itu untuk menjamin dan memberikan perlindungan hukum serta
kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam menentukan besarnya ganti rugi
Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan pemilik/pemegang hak atas tanah berdasakan harga umum setempat, selain itu juga menentukan bahwa
dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Lokasi dan faktor strategi lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah.
Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus
berpedoman ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan
Umum/Dinas Pertanian setempat;
b. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah, dan fasilitas lain.15
Ketentuan tentang konsinyasi dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang diatasnya ada bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah
dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa dari mereka
tidak ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak ditemukan
tersebut, dikonsinyasikan di Pengadikan Negeri setempat oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
Ketentuan diatas mengenai konsinyasi masih menimbulkan persoalan yuridis
yaitu :
1. Jika beberapa pemilik yang secara bersama-sama memiliki tanah, bangunan,
tanaman atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah diketahui tidak
menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang
membutuhkan tanah, apakah dapat dibenarkan ganti kerugiannya dikonsinyasikan
di Pengadilan Negeri setempat ?
2. Bagaimanakah prosedur Konsinyasi atas ganti kerugian bagi seorang pemilik atau
beberapa orang pemilik, bangunan, tanaman atau benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, yang tidak ditemukan oleh instansi pemerintah yang membutuhkan? Dengan demikian hal ini dapat menyulitkan dalam pelaksanaan konsinyasi. Oleh
karena itu Soedalhar berpendapat bahwa uang ganti kerugian baru dapat
dikonsinyasikan bilamana :
a. Musyawarah mengenai ganti kerugian tercapai dalam arti beberapa pemilik tanah
atas sebidang tanah menyetujui ganti kerugian, sedang satu atau beberapa orang
pemilik atas sebidang tanah tadi tidak dapat ditemukan,
15 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang, Yogyakarta, 2006,
h. 156.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xx
b. Yang memerlukan tanah adalah instansi pemerintah.16
Untuk memahami satu pasal dalam suatu peraturan harus dikaitkan dengan pasal-
pasal yang lain dalam peraturan tersebut. Atas dasar intepretasi ini, pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan apabila pemegang hak atas tanah
menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah. Dengan demikian konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat diterapkan apabila beberapa pemilik tanah atas sebidang
tanah, bangunan, atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah telah memberikan
persetujuan mengenai besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa orang dari
mereka tidak dapat ditemukan tempat tinggalnya.
Mengenai prosedur konsinyasi atas ganti kerugian bagi satu atau beberapa
pemilik sebidang tanah, bangunan, tanaman, atau benda-benda lain yang terkait dengan
tanah yang tidak ditemukan tempat tinggalnya oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah, maka hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan
konsinyasi tersebut. Sebagai jalan keluarnya pihak instansi pemerintah berupaya untuk
mencari tempat tinggal pemilik hak atas tanah dengan jalan memasang iklan nama-
nama orang yang berhak atas tanah yang tidak diketahui tempat tinggalnya di media
cetak dan elektronik dengan biaya pemasangan iklan ditanggung oleh isntansi pemerintah yang memerlukan tanah. Jika dalam waktu 30 hari setelah pemasangan iklan
tersebut tetap tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak ada tanggapan, maka instansi
pemerintah yang memerlukan tanah baru dapat menkonsinyasikan uang ganti kerugian
kepada Pengadilan Negeri setempat. Namun sebaliknya jika ada tanggapan dalam
waktu tiga puluh hari setelah pemasangan iklan, maka instansi pemerintah yang
memerlukan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pihak dengan dipandu
oleh Panitia Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Meskipun sebagian besar pemegang hak atas tanah dalam suatu kawasan telah
menyetujui bentuk dan besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi
pemerintah yang memerlukan tanah, namun demikian masih ada satu atau beberapa
pemegang hak atas tanah yang berbeda bidang tanahnya dalam kawasan tersebut belum menyetujui bantuk dan besarnya ganti kerugian, maka terhadap satu atau beberapa
pemegang hak atas tanah ini uang ganti kerugiannya tidak dibenarkan dikonsinyasikan
oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
Menurut AP. Parlindungan tidak mungkin lagi konsinyasi bagi orang yang
tidak bersedia menerima uang ganti kerugiannya karena alasan-alasan tertentu
16 Soedalhar, Fungsi Hukum Mengendalian Pembebasan Tanah Dalam
Pembangunan Berkesinambungan, Makalah, Seminar Hukum Sebagai Pengenadalian
Kesinambungan Pembangunan Nasional, Surabaya, 24 Oktober 1993, h. 8.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxi
sebagaimana praktek-praktek yang sudah banyak berlangsung dibanyak daerah dan
telah dibenarkan pula oleh beberapa pengadilan tertentu.17
Upaya yang seharusnya ditempuh oleh instansi pemerintah yang
membutuhkan tanah apabila dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya
ganti kerugian tidak tercapai kesepakatan dan lokasi pembangunan yang bersangkutan
tidak dapat dipindahkan adalah mengajukan permohonan pencabutan hak atas tanah kepada Presiden berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-hak Atas tanah dan Benda-benda Yang Ada diatasnya.
Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
memang dibuat tidak mudah dilakukan oleh instasi pemerintah yang memerlukan tanah.
Hal ini dimaksudkan agar pemegang hak atas tanah mendapatkan perlindungan hukum
terhadap hak-hak atas tanahnya dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
instansi pemerintah yang membutuhkan tanah.18
Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah jenis yang pertama yakni
untuk kepentingan umum diawali dengan pembentukan Panitia pengadaan Tanah.
Panitia ini dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi, panitia ini juga dibentuk
ditiap Kabupaten atau Kotamadya. Jika pengadaan tanah menyangkut dua wilayah
Kabupaten/Kotamadya, maka panitia diketuai atau dibentuk oleh Gubernur yang susunan anggotanya mencerminkan instansi terkait dari propinsi maupun daerah tingkat
II yang bersangkutan (pasal 6).
Adapun susunan pantia terdiri dari seorang Ketua (Bupati/Walikota)
merangkap anggota, enam anggota, dua sekretaris (I dan II) bukan anggota. Tidak
dijelasklan mengapa dalam komposisi Panitia Pengadaan tanah tidak mengikut sertakan
wakil rakyat pemilik/pemegang hak atas tanah. Dengan mengikutkan sertakan wakil
rakyat diharapkan proses penentuan ganti kerugian maupun prosedur yang harus
ditempuh akan berlangsung lebih transparan dan obyektif.
Jika komposisi panitia ini benar-benar mencerminkan wakil-wakil mereka
yang terlibat dalam proses pengadaan tanah, berarti aspirasi mereka lebih dapat
diakomodasikan dengan lebih baik, sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan jurang perbedaan yang mungkin timbul.
Sedangkan tugas dari panitia berdasarkan pasal 7 Perppres No. 65 Tahun 2006
antara lain :
a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi tanah, bangunan, tanaman dan benda-
benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
17 AP. Parlindungan, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah dan
Swasta, Makalah., Dialog Agraria HUT UUPA, Fak. Hukum USU, Medan, 24
September 1993, h. 7. 18 Urip santoso, Aspek Konsinyasi, Op.Cit, h. 35.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxii
b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan
atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana
pembangunan dan /atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka,
media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh
masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi
pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka
menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;
f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah;
g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
h. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan
menyerahkan kepada pihak yang berkopeten.
Tugas inventarisasi tanah, bangunan maupun status haknya adalah untuk19 memenuhi asas spesialitas dan legalitas hak tersebut. Keduanya mengarah kepada asas
kepastian hukum. Kepastian hukum baik bagi subyek maupun obyeknya. Dengan
demikian akan jelas siapa yang akan diundang dalam musyawarah untuk menetapkan
atau menyetujui ganti rugi yang akan diberikan.
Berkenaan dengan kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan pemerintah masih dapat menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya.
Misalnya dalam suatu pengadaan tanah Panitia Pengadaan Tanah menyampaikan
kepada pemegang hak atas tanah bahwa tanahnya diperlukan untuk proyek
pembangunan yang mempunnyai sifat kepentingan umum. Oleh karena itu pemegang
hak atas tanah melepaskan atau menyerahkan hak atas tanahnya dengan pemberian uang
ganti kerugian yang telah disepakati bersama. Ternyata, dikemudian hari, pemegang hak atas tanah mengetahui bahwa hak atas tanah yang sudah dilepaskan atau diserahkan
tersebut digunakan bukan untuk proyek pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan perusahaan swasta. Dalam keadaan
seperti ini, apakah pemegang hak atas tanah dapat meminta tanahnya kembali dengan
mengembalikan ganti kerugian yang telah diserahkan atau meminta tambahan ganti
kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.20 Oleh karena itu untuk mengantisipasi
timbulnya praktek tersebut diatas dan memberikan perlindungan hukum bagi pemegang
hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau
19 Achmad Sodiki, Op.Cit, h. 18-21. 20 Urip Santoso, Aspek Kepentingan, Op.Cit, h. 47.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxiii
penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat
klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan
tanahnya bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan
swasta, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal demi hukum dan uang ganti
kerugian yang telah diterima akan dikembalikan kepada Panitia pengadaan Tanah, atau
pemegang hak atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.
Oleh karena itu latar belakang diterbitkannya Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005 yang sekarang sudah dirobah dengan Pepres No. 65 Tahun 2006, karena
dua alasan, yaitu pertama, meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan
dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah. Kedua, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum sebagaimana yang ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai sudah
tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi pengadaan tanah untuk pembangunan
demi kepentingan umum. Penerbitan Perpres No. 36 Tahun 2005 yang sudah dirobah
dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 berdasarkan beberapa peraturan perundang-
undangan, yaitu : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu8n 1945;
2. Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043);
3. Undang-Undang Nomor 51 /Prp./Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 158. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2106);
4. Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan hak Atas Tanah dan Benda-
benda yang ada diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961
Nomor 288. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara R.I Tahun 1992 Nomor 115. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501).21
Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan pelaksanaan pasal 18
UUPA, yaitu untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Kriteria kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum
yaitu suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat
kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau,
21 Muhadar, Op. Cit, h. 132.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxiv
b. Kepentingan masyarakat, dan/atau,
c. Kepentingan rakyat banyak, dan/atau,
d. Kepentingan pembangunan.
Dalam pengajuan usul penyelesaian pengadan tanah untuk kepentingan umum
dengan cara pencabutan hak atas tanah oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi kepada
Presiden melalui Menteri Agraria/Kepala BPN. Usul ini penyelesaiannya dilakukan karena upaya penyelesaian yang ditempuh oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi tetap
tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang
bersangkutan tidak dapat dipindahkan.
Pada acara perolehan hak atas tanah akan menemui masalah terhadap
penerapan bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan
umum, maka untuk penyelesaiannyai dapat menggunakan salah satu asas perundang-
undangan, yaitu : “Lex Posteriori derogat Legi Priori”.22 Atas dasar asas ini, maka
peraturan tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum maka peraturan yang lebih baru yang dijadikan dasar walaupun
peraturan tersebut sama-sama dibuat oleh presiden dan materinya juga sama-sama
mengatur tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum.
B. Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Untuk mempercepat proses perolehan hak atas tanah dalam rangka
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, isntansi pemerintah yang memerlukan tanah
mengajukan permohonan untuk mengkonsinyasikan uang ganti kerugiannya melalui
Pengadilan Negeri setempat.
Pengadilan Negeri setempat berkewajiban menerima berkas permohonan
konsinyasi uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk
diperiksa lebih lanjut. Adalah kewajiban Pengadilan Negeri untuk menerima setiap
perkara yang masuk seperti yang ditegaskan dalam ketentuan pasal 14 UU No. 04
Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu : 1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian
perkara perdata secara perdamaian.
Kewajiban memeriksa dan mengadili permohonan konsinyasi atas uang ganti
kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah oleh Pengadilan Negeri tidak
berarti secara otomatis mengabulkan permohonan tersebut, akan tetapi Pengadilan
22 Hartono Hadisuprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1982, h. 30.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxv
Negeri sebelum mengambil keputusan atas permohonan konsinyasi tersebut harus
mempelajari dengan baik ketentuan-ketentuan tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap ketentuan-ketentuan tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun asas-asas, peraturan, dan hukum
pertanahan, maka putusan Pengadilan Negeri tentang permohonan konsinyasi atas uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah dapat berakibat
timbulnya kerugian bagi pemegang hak atas tanah dan tidak adanya penghormatan
terhadap hak-hak rakyat atas tanah.
Pengadilan Negeri seharusnya mengabulkan permohonan konsinyasi atas uang
ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum apabila unsur-unsur
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yaitu beberapa pemilik atas
sebidang tanah telah menyetujui besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa
pemilik tanah tersebut benar-benar tidak diketahui tempat tinggalnya setelah instansi
pemerintah yang memerlukan tanah berupaya secara maksimal mengumumkan melalui
media cetak dan elektronik. Sebaliknya kalau unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi
seharusnya Pengadilan Negeri menolak permohonan konsinyasi atas uang ganti
kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah.23 Putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan konsinyasi yang diajukan
oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah walaupun belum tercapai kesepakatan
antara para pihak mengenai besarnya ganti kerugian merupakan penyimpangan terhadap
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini karena tidak ada dalam satu
pasal atau ayatpun yang membenarkannya adanya konsinyasi bilamana para
pihak dalam musyawarah tidak tercapai kesepakatan. Boedi Harsono mengatakan
bahwa dengan adanya praktek konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah
(pengadaan tanah) timbul kesan seakan-akan bagi rakyat yang bersangkutan hanya ada
satu pilihan, yaitu mengambil uang ganti rugi tersebut di Pengadilan Negeri, atau akan
kehilangan tanahnya tanpa ganti rugi.24 Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum merupakan bentuk pemaksaan, perlakuan secara sepihak oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah terhadap pemegang hak atas tanah. Upaya
ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk pencabutan hak atas tanah secara terselubung
oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Praktek yang demikian dapat
dikatakan telah melangkahi kewenangan Presiden, karena pengambilan tanah-tanah
secara sepihak untuk kepentingan umum adalah kewenangan presiden melalui upaya
pencabutan hak atas tanah. 25
23 Ibid, h. 36. 24Boedi Harsono, Aspek Yuridis Penyediaan Tanah, Majalah Hukum dan
Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,No. 2 Tahun XX,Jakarta, April
1990, h. 168. 25 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Op Cit, h. 37.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxvi
Menurut Ali Sofwan Husein, praktek konsinyasi dalam pengadaan tanah
sebenarnya “tidak dibenarkan” oleh hukum karena lembaga konsinyasi itu
mensyaratkan adanya hubungan hukum (perdata) terlebih dahulu antar pihak sebelum
uang tersebut dititipkan di pengadilan. Sedangkan dalam pengadaan tanah tidak ada
hubungan hukum yang dimaksudkan itu. Dari sini jelas bahwa penguasa hanya
mengambil gampangnya saja untuk mencari keabsahan dan legalitas atas tindakannya, yaitu ketika tidak tercapai kesepakatan ganti rugi, maka uang yang dianggarkan itu
langsung dititipkan di pengadilan dan kemudian menganggap masalah penggusuran
tanah telah beres dan selesai.26
Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak dapat
dibenarkan. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, instansi pemerintah
sebagai pihak yang memerlukan tanah harus memberikan ganti kerugian kepada
pemegang hak atas tanah berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati bersama
mengenai besarnya ganti kerugian. Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian,
pemegang hak atas tanah membuat surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah sehingga tanah tersebut menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Untuk selanjutnya instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan hak atas tanah yang baru atas tanah yang dilepaskan tersebut kepada Badan
Pertanahan Nasional.
C. Pemberian Konpensasi Ganti Rugi dan Konsinyasi
Masalah pokok yang banyak mendapat perhatian dalam pelaksanaan
pengadaan tanah itu adalah persoalan mengenai ganti kerugian, karena persoalan ganti
kerugian adalah menyangkut masalah hak-hak dari si pemilik tanah yang tanahnya
dibebaskan sehingga dapatlah dikatakan bahwa unsur yang mutlak harus ada dalam
pelaksanaan pengadaan tanah. Dalam pasal 13 Perpres No. 65 Tahun 2006 ditentukan
bentuk ganti kerugian berupa :
a. Uang b. Tanah pengganti
c. Pemukiman kembali
d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana huruf b dan
huruf c
e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yangbersangkutan.
Sesuai dengan Perpres No.65 Tahun 2006 pasal 15 ditegaskan bahwa dasar
dan cara penghitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar :
26 Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1997, h. 94.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxvii
a. Nilai jual objek pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan nilai
objek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga
tanah yang ditunjuk oleh panitia.
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab dibidang bangunan
c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian.
Menurut pasal 6 ayat (1) pembebasan hak atas tanah Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, juga menegaskan pula bahwa, didalam penafsiran
atau penetapan mengenai besarnya ganti kerugian, oleh panitia pembebasan tanah harus
mengadakan musyawarah dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah dan benda atau
tanaman yang diatasnya berdasarkan harga setempat.27
Berdasarkan uraian diatas untuk menetapkan besarnya ganti kerugian harus
diperhatikan antara lain :
a. Penetapan ganti kerugian haruslah didasarkan musyawarah antara panitia
dengan para pemegang hak atas tanah. Didalam mengadakan
penafsiran/penetapan besar ganti kerugian panitia pengadaan tanah hendaknya
benar-benar mengusahakan tercapainya persetujuan antara kedua belah pihak berdasarkan musyawarah.
b. Penetapan ganti kerugian haruslah dengan memperhatikan faktor-faktor
lainnya yang mempengaruhi harga tanah.
Dalam menentukan besarnya ganti kerugian, panitia pengadaan tanah juga
telah memakai cara penghitungan ganti kerugian yang telah ditetapkan, atas dasar pasal
15 (1) Perpres No. 65 Tahun 2006, yaitu : “Harga tanah yang didasarkan atas nilai
nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek pajak bumi dan
bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.
Selain itu panitia pengadaan tanah juga telah mempertimbangkan kerugian
imaterial yang dipikul oleh pemegang hak atas tanah setelah tanahnya dibebaskan,
misalkan kerugian karena mereka akan kehilangan sebagian dari tanah, yang menjadi mata pencaharian mereka. Dalam pertimbangan lainnya panitia pengadaan tanah dalam
memberikan gati kerugian, dengan melihat harga tanah sekitarnya yang terjadi dalam
tahun ang sama di wilayah yang digunakan untuk pembangunan.
Setelah ada kata sepakat antara kedua belah pihak, maka panitia pengadaan
tanah memberikan ganti kerugian tersebut kepada pemegang hak atas tanah dengan
disaksikan oleh anggota panitia pengadaan tanah diantaranya Camat dan Kepala Desa
yang wilayahnya terkena proyek pembangunan.
27 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Kebebasan
Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxviii
Pada intinya, tata cara pelaksanaan kongsinya dalam penyelesaian masalah
ganti kerugian pengadaan tanah, dapat dijelaskan sebagai berikut :
(1) Instansi pemerintah yang memerlukan tanah
membuat daftar nominatif pemberi ganti kerugian berdasarkan hasil
inventarisasi.
(2) Pemberian ganti kerugian dalam bentuk yang dibayarkan secara langsung kepada yang berhak dilokasi yang ditentukan
oleh panitia, dengan disaksikan dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
anggota panitia.
(3) Pemberi ganti kerugian dalam bentuk uang
dibuktikan dengan tanda terima.
Lebih jauh dalam pasal 29 peraturan yang bersangkutan diatur mengenai
pembayaran ganti kerugian ini sebagai berikut :
(1) Pemberi ganti kerugian selain berupa uang, dituangkan dalam berita acara
pemberian ganti kerugian yang ditandatangani oleh penerimaan ganti
kerugian yang bersangkutan dan ketua atau wakil ketua panitia serta
sekurang-kurangnya 2 (dua) arang anggota panitia.
(2) Pemberian ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk tanah wakaf dilakukan melalui nadzir yang bersangkutan
(3) Untuk pemberian ganti kerugian tanah ulayat dilakukan dalam bentuk
prasarana yag dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
Namun belakangan dinyatakan oleh banyak pihak bahwa pengadaan tanah
melalui lembaga konsinya merupakan kebijakan yang menyimpang dari konteks
kelembagaan hukum yang ada, sebagaimana pernah dinyatakan oleh J. Prihatmoko
seorang peneliti muda LIPI dan ketua LSPN (Lingkar Studi Pendidikan Nasional)
Semarang (Jayakarta, 14 Januari 1993).
Pengadaan tanah pada hakekatnya merupakan hubungan hukum jual beli,
yang masuk dalam lingkup perdata. Kegiatan musyawarah antara pemegang hak atas
tanah dengan panitia pengadaan tanah juga murni perdata. Ini membutuhkan suatu kesepakatan diantara para pihak. Oleh karenanya itu sebenarnya tidak diperlukan
adanya kegiatan konsinya uang ganti rugi di pengadilan terhadap ketidaksediaan rakyat
yang tanahnya dibebaskan. Jika kegiatan konsinya tersebut tetap dilaksanakan, itu
berarti syarat kesepakatan tidak tercapai, akrena terjadi pemaksaan terhadap pemilik
atau pemegang hak atas tanah yang mau tak mau diharuskan menerima keputusan dari
pantia pengadaan tanah.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam pembahasan permasalahan sebagaimana telah
diketengahkan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Hak dan kewajiban rakyat atas tanah merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak disitu ada kewajiban, oleh karena itu apabila seseorang
menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxix
untuk dapat menikmati hak tersebut. Dengan demikian pemegang hak atas tanah
rakyat agar menjaga penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan
kepentingan orang lain atau kepentingan umum. Sedangkan kewajiban rakyat atas
tanah dalam pembangunan dapat diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah. b. Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan
adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah
terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang
menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya
bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-
lain, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah
diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak
atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.
SARAN
a. Hendaknya penyuluhan hukum terhadap masyarakat lebih ditingkatkan agar supaya
pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pembangunan benar-benar mengerti
tentang arti pembangunan untuk kepentingan umum.
b. Pihak Pemerintah yang memerlukan tanah hendaknya memberikan petunjuk kepada
petugas yang melaksanakan pengadaan tanah dalam memberikan ganti kerugian
terhadap pemegang hak atas tanah sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan, dengan demikian hak-hak atas tanah rakyat yang
diperlukan untuk pembangunan dapat terlindungi.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxx
KEDUDUKAN JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004
Oleh:
Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )
berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara
hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kata Kunci: Kedudukan Jaksa – Penyidikan – Tindak Pidana Korupsi.
LATAR BELAKANG
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang di hadapi oleh Indonesia
dewasa ini. Setiap penguasa baru pada awalnya selalu menjanjikan akan melakukan
tindakan hukum yang tegas terhadap para koruptor. Termasuk dalam hal ini adalah
penguasa baru Indonesia pada saat ini . Umumnya janji tersebut tidak pernah
dilaksanakan dan dipenuhi secara sungguh-sungguh. Namun demikian janji-janji serupa
yang dibuat oleh penguasa, tetap disambut dengan suatu harapan bahwa janji tersebut dapat dilaksanakan secara serius. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin
meningkat dalam tahun-tahun terakhir, harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang
meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi . Indonesia masih tetap saja
termasuk dalam peringkat lima negara tertinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia. 1
Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan itu terlihat semakin rumit,
karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level
masyarakat . Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1 Hukum Online, Indonesia Masih Lima Besar Negara Terkorup , 20 Oktober
2004.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxi
korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak bisa dilenyapkan sama
sekali.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi. Pembentukan dua institusi ini
merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Karena dalam praktek,
baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja
pemberantasan Korupsi terbentur banyak permasalahan. Permasalahan tersebut antara
lain adalah hubungan kordinasi antara KPK dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan
sebagai sub sistem dari Peradilan Pidana Terpadu dan juga tugas dan peranan KPK itu
sendiri sebagai ‘super body’.
Dalam rangka membangun kembali kepercayaan publik terhadap peran dan
citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka salah satu mekanisme dalam sub
sistem peradilan pidana yaitu penyidikan dan penuntutan, perlu untuk diberdayakan
secara lebih optimal.
Keberadaan ketiga lembaga yang masing – masing mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana Korupsi yaitu
Kepolisian Negara Indonesia , Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Korupsi ,
dimana kewenangan dari ketiga lembaga itu didasarkan pada ketentuan Undang –
Undang yaitu Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 , Undang – Undang Nomor 16
tahun 2004 , Undang – Undang Nomor 30 tahun 2002 serta Undang – Undang Nomor
8 tahun 1981 sebagai payung nya , justru akan menyebabkan timbulnya suatu tarik
ulur dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi, serta akan
menyebabkan pula saling berebut kue perkara diantara tiga lembaga tersebut .
Tumpang tindihnya kewenangan yang ada pada ketiga lembaga tersebut
dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi akan menyebabkan pula
semakin sulit dan susahnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.. Pernyataan bahwa sama – sama mempunyai kewenangan atau sebaliknya akan selalu
dijadikan sebagai dasar untuk melemparkan tanggung jawabnya kepada pihak lain .
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ( yang selanjutnya disingkat
KUHAP ) sebagai hukum acara pidana yang bersifat unifikasi menyebutkan bahwa
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat
polisi negara Republik Indoneia dan yang mempunyai kewenangan penyidikan adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia , serta pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang –undang . Akan tetapi ternyata ketentuan
ini dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang sifatnya khusus , yaitu dalam hal ini
ketentuan yang ada dalam Undang – Undang Kejaksaan , dan Undang – Undang
Komisi Pemberantasan Korupsi . Undang –Undang Kejaksaan didalam pasal 30 ayat
1d menyebutkan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxii
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang ,
tindak pidana tertentu disini yang dimaksud adalah tindak pidana Korupsi seperti yang
diatur didalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 , sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selanjutnya
dalam Undang –Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi pasal 6 huruf c menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( selanjutnya disingkat KPK ) mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa permasalahan Korupsi diperlukan
penangan secara khusus apalagi korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merambah
kesemua sektor baik ekonomi , hukum , sosial dan hankam dan bahkan korupsi
seperti menjadi budaya dari bangsa Indonesia , hal ini dapat kita lihat dari hasil survie
lembaga Internasional , dimana Indonesia sebagai peringkat ke 5 ( lima ) sebagai
negara terkorup didunia .
Penanganan secara sungguh – sungguh terhadap korupsi di Indonesia sangat
diperlukan , dan pada saat ini sejak Susilo Bambang Yudoyono menjadi Presiden ada
sedikit harapan untuk mengikis sedikit demi sedikit korupsi yang terjadi di Indonesia ,
terbukti pemerintah saat ini ada keberanian untuk menyeret pelaku – pelaku korupsi yang sebelumnya sulit dijerat dengan pidana , sekarang sudah banyak para koruptor
kelas kakap yang menjadi penghuni baru lembaga pemasyarakatan mulai dari para
Bupati , Anggota Dewan Perwakilan Rakyat , Gubenur dan bahkan para penegak
hukumpun sudah ada yang dikenakan pidana berdasarkan Undang Undang Tindak
Pidana Korupsi .
Permasalahan yang ada dan timbul pada saat ini adalah dalam hal
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi , karena pada saat ini ada tiga
lembaga yang mempunyai kompetensi melakukan tugas pemberantasan tindak pidana
korupsi .
Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK merupakan
suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih
dalam diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi , menjadikan dua lembaga yang sudah ada sebelumnya yaitu
Kepolisian dan Kejaksaan yang berdasarkan ketentuan undang – undang yang ada juga
mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi, seakan - akan tugas dan wewenangnya diambil alih sepenuhnya oleh
KPK.
Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka dapat penulis uraikan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan Penyidik Polri dalam Tindak Pidana Korupsi ?
2. Bagaimanakah tugas dan wewenang KPK dalam penyidikan tindak pidana
korupsi ?
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiii
KEDUDUKAN PENYIDIK POLRI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Penyidik
Kepolisian Republik Indonesia , sebagai aparat penegak hukum yang
merupakan bagian dari Criminal Justice System , menduduki posisi sebagai “
diferensiasi fungsional “ sebagaimana digariskan didalam KUHAP , sehingga Polisi
diberikan “ peran “ ( role ) yang berupa “ kekuasaan umum menangani kriminal “ (
general policing authority in criminal matter ) di seluruh wilayah Hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia3. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut , Polri
berperan melakukan kontrol kriminal ( crime control ) dalam bentuk “ investigasi -
penangkapan – penahanan – penggeledahan – penyitaan ” .
Posisi sebagaimana yang telah digariskan didalam KUHAP tersebut harus “
dijaga kebebasan “ polisi dari “ politik “ ( police politically independent )4 , sehingga
dalam pelaksanaan operasional dan penggunaan desisi maupun diskresi tidak boleh
didiktekan oleh dan atau untuk kepentingan penguasa atau pemerintah , maupun oleh kepentingan partai politik tertentu , serta boleh kooperatif dan partisipatif secara saling
menguntungkan ( mutual beneficiary ) dengan pihak manapun atas informasi kriminal
yang diketahuinya . Dalam menegakkan hukum dan mendeteksi tindak pidana harus
benar – benar bebas , dengan pEngertian menentukan sendiri tanpa pengaruh , apakah
seorang tersangka diajukan untuk dituntut atau tidak , dan polisi tidak boleh menjadi
“budak” ( servant ) dari siapa pun , karena polisi hanya bertanggungjawab terhadap
law enforcement .
Kebebasan yang dimiliki oleh polisi dalam penegakan hukum seperti yang
diuraikan diatas akan terlaksana apabila polisi dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya selalu berpedoman kepada ketentuan – ketentuan yang telah ada khususnya
ketentuan yang diatur didalam KUHAP.
Sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh polisi dalam
penegakan hukum , maka KUHAP menentukan bahwa apabila ada laporan dan atau
pengaduan mengenai telah terjadi suatu tindak pidana , harus terlebih dahulu dilakukan
penyelidikan yaitu berupa serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu
3 M . Yahya Harahap Pembahasan , Permasalahan , dan Penerapan KUHAP,
Penyelidikan dan Penuntutan , Edisi kedua , Sinar Grafika, Jakarta, 2000 , h. 91. 4 Ibid , h. 93.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiv
keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak
pidana atau yang diduga sebagai tindak pidana , dengan maksud untuk menentukan
sikap pejabat penyelidik , apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan
atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP . Jadi , sebelum dilakukan
tindakan penyidikan , terlebih dahulu dilakukan penyelidikan oleh pejabat penyelidik
untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan penyidikan .
Jika diperhatikan dengan seksama , motivasi dan tujuan penyelidikan
merupakan bentuk tuntutan tanggungjawab kepada aparat penyidik , untuk tidak
melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat
manusia , serta juga sebagai tuntutan dan tanggung jawab moral yang sekaligus juga
sebagai peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati – hati .
Penyidikan sebagai tindak lanjut dari penyelidikan hanya dapat dilakukan
oleh pejabat Polri ataupun pejabat pegawai negeri sipil “ tertentu “ yang diberi
wewenang khusus oleh undang – undang , dan hal ini sangat berbeda dengan
penyelidikan yang dapat dilakukan oleh semua pejabat Polri .
Pengertian Penyidikan sebagaimana disebutkan didalam pasal 1 butir 2
KUHAP menyebutkan “ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan mnurut cara yang diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya . Sedangkan pengertian “ Penyidik “
adalah sebagaimana disebutkan didalam ketentuan pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu “
Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang – undang untuk melakukan
penyidikan .
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyidik itu dapat
digolongkan kedalam dua bagian yaitu penyidik dari Polri yang telah diberi tugas
khusus untuk melakukan penyidikan , serta penyidik dari pegawai negeri sipil tertentu
( seperti pegawai pada kantor Pajak , Imigrasi , Bea dan Cukai , Lingkungan Hidup , Kehutanan ) yang telah mendapatkan Surat keputusan sebagai penyidik dari Menteri
Departemen yang bersangkutan .
B. Tugas dan Tanggung Jawab Penyidik Polri dalam Tindak Pidana
KUHAP sebagai hukum acara pidana yang bersifat unfikasi merupakan
undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas Legalitas . Pelaksanaan dan
penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law, dimana semua
tindakan penegakan hukum harus didasarkan pada :
- ketentuan hukum dan undang-undang,
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxv
- kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya, sehingga
terwujud suatu kehidupan masyarakat dan bangsa , yang takluk dan tunduk
dibawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia . Jadi arti the
rule of law dan supremasi hukum , adalah menguji dan meletakkan setiap
tindakan penegakan hukum takluk dan tunduk di bawah ketentuan konstitusi , undang-undang dan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah kesadaran
masyarakat . Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat dari bangsa lain , tidak dapat disebut the rule of law, bahkan
mungkin berupa penindasan.
Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan
supremasi hukum , maka jajaran aparat penegak hukum ( Polisi ) tidak
dibenarkan :
- Bertindak diluar ketentuan hukum, atau (undue to law) maupun (undue
process),
- Bertindak sewenang-wenang (illegal abuse of power),
Dan setiap orang , baik dia sebagai tersangka atau terdakwa mempunyai
kedudukan :
- Sama derajat dihadapan hukum (equal before the law),
- Mendapatkan “perlindungan” yang sama oleh hukum (equal protection on the
law),
- Mendapat pengakuan keadilan yang sama dibawah hukum ( equal justice
under the law ) 5.
Penanggulangan kejahatan dalam bahasa kepolisian adalah fungsi “represif”
jadi, tindakan “represif kepolisian” tidak sama artinya dengan “menggunakan
kekerasan” yang sering dinyatakan oleh sementara orang akhir-akhir ini . Fungsi
“represif yustisial kepolisian” merupakan bagian integral, bahkan sebagai ujung
tombak dari sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) yang disemua negara
demokrasi ditetapkan dengan undang-undang dan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).
Disadari bersama bahwa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi sangat pesat yang mengakibatkan arus informasi bergerak dengan cepat pula
sehingga pengaruh globalisasi masuk ke setiap aspek kehidupan. Hal ini membawa
konsekuensi logis bahwa penyidik dalam melaksanakan tugasnya akan menghadapi
tantangan yang semakin berat dan kompleks serta juga dituntut untuk mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi , tanpa harus kehilangan jati dirinya.
5 Ibid, h. 36.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxvi
Kemampuan penyesuaian diri tersebut akan dapat diwujudkan apabila sedini
mungkin telah dipersiapkan gambaran tentang perkiraan ancaman ( tindak pidana ) yang
akan dihadapi, sehingga dapat diperkirakan pula arah pengembangan kemampuan dan
kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman tersebut.
Disisi lain, masih dirasakan bersama bahwa kualitas penyidik Polri masih
relatif rendah, dimana hal ini ditandai dengan masih adanya beberapa masalah seperti terjadinya praperadilan , bolak-baliknya berkas perkara pidana yang dikirim ke Penuntut
Umum , masih minimnya penyidik atau penyidik pembantu yang mengikuti pendidikan
kejuruan Reserse, serta rendahnya tingkat penyelesaian perkara / kasus yang terjadi ,
belum lagi dihadapkan kepada kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru dan bersifat
transnasional seperti White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih), Money Laundring
(Kejahatan Pencucian Uang), Kejahatan Komputer, Kejahatan Bidang Perbankan ,
Monoter , Pasar Modal , Korupsi , Subversi, Lingkunga Hidup, Perpajakan, Kehutanan ,
Terorisme dan kejahatan-kejahatan lainnya yang berintensitas tinggi yang diikuti
dengan kekerasan dalam nuansa politik.
Diatas sudah dijelaskan bahwa Penyidikan seperti halnya dengan penuntutan
dan peradilan tidak boleh diintervensi oleh penguasa, apakah itu Presiden, Menteri,
Gubernur, dan bahkan oleh Pejabat atasan penyidik itu sendiri, hal ini harus benar – benar dilaksanakan agar supaya proses penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik
dapat menghasilkan suatu keadilan dan memenuhi rasa keadilan . Oleh karena itu maka
kewenangan yang dimiliki oleh penyidik harus benar – benar dapat dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan perundangan yang telah ada dan harus mendapatkan
dukungan dari semua pihak .
Didalam Pasal 7 KUHAP disebutkan bahwa Penyidik mempunyai
kewenangan berupa :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka . 4. melakukan penangkapan , penahanan , penggeledahan , dan penyitaan .
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
6. mengambil sidik jari dan memotret seseorang
7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
8. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara .
9. mengadakan penghentian penyidikan
10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Disamping kewenangan seperti diatas juga ada pembagian kewenangan
menurut KUHAP, dimana dijelaskan bahwa kewenangan Polisi, yaitu :
1. Dibidang penyidikan kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak
pidana umum .
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxvii
2. Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan.
3. Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai
Negeri Sipil.
Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undang-Undang
Kepolisian yang baru yaitu Undang Undang Nomor 28 Tahun 1997 yang kemudian
dinyatakan tidak berlaku lagi karena sudah ada undang undang yang baru yaitu Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 , menyatakan Polisi dapat melakukan penyidikan untuk
semua tindak pidana. Pernyataan ini seolah ingin menangkis anggapan bahwa untuk
penyidikan tindak pidana khusus hanya Jaksa yang berwenang, padahal menurut Pasal
284 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dimana wewenang Jaksa
itu bersifat sementara. Polisi seolah juga ingin menyatakan bahwa mereka kini sudah
mampu untuk menyidik perkara-perkara yang sulit seperti kasus tindak pidana korupsi,
ekonomi, dan subversi.
Keberadaan Kepolisian Negara yang profesional menuntut adanya sistem
yang kondusif, untuk itu Kepolisian harus dikeluarkan dari “sistem yang membelenggu”
dan tidak menguntungkan , karena keadaan seperti ini berimplikasi terhadap kerugian
sosial ekonomis bagi masyarakat, khususnya masyarakat pencari keadilan. Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) bisa terkatung-katung dan bolak-balik, karena ada trik tarik-menarik antara pelaksanaan kewenangan kepolisian dan kejaksaan.
Menurut Alkostar, sistem yang menjepit kepolisian berupa antara lain :
1. Saat ini Polisi belum sepenuhnya menjadi penyidik tunggal, karena Jaksa
masih sering melakukan penyidikan tambahan, belum lagi dalam perkara
Pidana Khusus.
2. Polisi masih sering menanggung beban angkatan lain, misalnya seseorang
dipukuli oleh angkatan lain lalu diserahkan kepada Polisi yang
sebelumnya tidak tahu tentang penangkapan dan pemukulan tersebut.6
Sebagai tindak lanjut Inpres Nomor 2 Tahun 1999, yang memisahkan Polri
secara struktural dari ABRI, maka tanggal 1 Juni 2000 dengan Keppres Nomor 89
Tahun 2000, Polri dikeluarkan dari Departemen Pertahanan dan berada langsung di bawah Presiden. Sementara itu juga, amendemen UUD 1945 dan Tap-Tap MPR yang
disahkan pada Agustus 2002 itu lebih mempertegas kedudukan dan peran Polri sebagai
Kepolisian Nasional Indonesia.
Harapan masyarakat, yang masih sukar untuk segera dapat dipenuhi ialah
setelah Polri mandiri yaitu agar kemampuan dan budaya Polri yang seperti militer dapat
berubah dan mampu menjadi penegak hukum yang profesional, sebagai pengayom,
pelindung, dan pelayan masyarakat serta penanggulang kejahatan di seluruh wilayah
Indonesia sesuai dengan motto Kepolisian Republik Indonesia.
6 Artidjo Alkostar, Membangun Kultur Polri yang Berorientasi Madani, UGM
Yogyakarta, 1999.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxviii
Adapun hal-hal yang menyangkut penyidikan menurut KUHAP yang
merupakan dasar, perlu dikemukakan dengan jelas dan pasti, karena hal ini langsung
menyinggung dan membatasi kepada Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebagai
berikut :
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik atau peristiwa. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.
4. Pemeriksaan tersangka atau terdakwa.
5. Penahanan sementara.
6. Penggeladahan.
7. Pemeriksaan atau interogasi.
8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan ditempat).
9. Penyitaan.
10. Penyampingan perkara.
11. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliaannya kepada
penyidik untuk disempurnakan.7
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi, dalam wujud profesi penyidik dapat
dilihat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik yang harus didukung oleh kecakapan taktis dan teknis penyidikan. Kecakapan teknis ini diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, pengalaman-pengalaman tugas dan didukung oleh ilmu
pengetahuan (kepolisian). Hal tersebut merupakan landasan bagi profesi penyidik,
karena :
1. Profesi penyidik berkaitan dengan jaminan hak dan kewajiban setiap
warga negara yang berorientasi kepada kepentingan umum.
2. Pelaksanaan tugas profesi penyidik terkait dengan kepastian hukum dan
keadilan.
3. Profesi penyidik dibatasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,
sehingga memerlukan kemahiran dan penguasaan hukum.
4. Adanya pengawasan ketat atas perilaku pribadi penyidik melalui kode etik profesi.8
Adapun kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana
dalam penggolongannya menurut KUHAP adalah sebagai berikut :
1. Penyelidikan.
2. Penindakan.
3. Pemeriksaan.
4. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara.
7 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2000,
h.118. 8 Nurfaizi, Polisi dan Masyarakat, Cipta Manunggal, Jakarta, 1998 ,h. 100.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxix
Dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana dilaksanaakan setelah diketahui
bahwa sesuatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana. Dan diketahuinya tindak
pidana mempunyai dasar hukum yaitu :
1. Pasal 102 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP,
2. Pasal 106 KUHAP,
3. Pasal 108 KUHAP, 4. Pasal 109 ayat (1) KUHAP,
5. Pasal 111 KUHAP.
Didalam KUHAP ada empat kemungkinan diketahuinya terjadinya delik yaitu
sebagai berikut :
1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KHUAP).
2. Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP).
3. Karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP).
4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik
mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di Surat Kabar, mendengar
dari radio atau orang bercerita, dan selanjutnya.
Dan sasaran dalam penyelidikan ialah :
1. Orang, 2. Benda atau barang,
3. Tempat.
“Dalam melakukan penangkapan, penyelidik Polri harus memperhatikan hal-
hal yang tidak boleh dilakukan penangkapan kecuali dalam kondisi atau keadaan
“ondecking op heterdaad” atau keadaan tertangkap tangan (Pasal 1 Butir 19 KUHAP),
yaitu :
1. Penangkapan tidak boleh dilakukan di ruang sidang Pengadilan yang
sedang melakukan sidang walaupun sifatnya terbuka.
2. Tidak boleh melakukan penangkapan di ruang DPR/DPRD yang
melakukan sidang.
3. Tidak boleh melakukan penangkapan di tempat-tempat ibadah yang sedang melakukan ibadah.
Apabila terjadi tindak kejahatan dan pada saat itu pula dalam keadaan
tertangkap tangan, maka dalam penyidikan deliknya lebih mudah dilakukan karena
terjadinya baru saja. Dan hal itu berbeda dengan delik biasa yang kejadiannya sudah
berselang beberapa waktu yang lalu.
Satu hal yang perlu diperhatikan ialah dalam KUHAP ada definisi tentang
delik tertangkap tangan, ialah tidak terperincinya tentang cara menyidik yang secara
khusus tentang siapa saja (Who) yang dapat menangkap si pelaku. Hanya saja
disebutkan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang
bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu
Tindakan selanjutnya adalah penangkapan, dimana pada tingkat penyidikan
yang mempunyai wewenang adalah Polisi. Dan hal itu diatur dalam Pasal 20 sampai
Volume 11, No.1 Mei 2011 xl
dengan Pasal 31 KUHAP, lamanya melakukan penangkapan ( 1 X 24 jam ) kecuali
seperti yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi
undang – undang dengan undang – undang nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana
terorisme yaitu penangkapan bisa dilakukan sampai paling lama ( 7 X 24 jam )
sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 .”
Mengenai penyidik kaitannya dengan Penuntut Umum (Jaksa Penuntut Umum) yaitu : Berdasarkan Pasal 110 KUHAP, “ Penyidik menyerahkan berkas perkara
kepada Penuntut Umun “. Penyerahan berkas perkara dilakukan :
(a). Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara setelah
sudah memenuhi syarat kelengkapan dalam berkas perkaranya ;
(b). Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.
Lahirnya Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002, menjadi suatu momentum awal terciptanya suasana baru bagi keberadaan
negara umumnya dan lembaga penegak hukum Kepolisian pada khususnya dibidang
palaksanaan sistem keamanan bangsa dan negara Republik Indonesia. Tepatnya pada
tanggal 1 Juli 2000 melalui Keppres Nomor. 89 Tahun 2000, POLRI dikeluarkan dari
Departemen Pertahanan dan berada langsung di bawah Presiden, melalui amandemen UUD 1945 dan TAP MPR/RI No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR/RI No.VII/MPR/2000
yang telah disahkan pada Agustus 2002 lalu mempertegas kedudukan dan peran Polri
sebagai Kepolisian Nasional Indonesia.
Didalam Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisiain Negara
RI, Bab I Pasal 1, yang dimaksud Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai
wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Penyidik Pembantu adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara RI berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas
penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya dalam penyidikan dan penyelidikan,
Kepolisian Negara RI “melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak
pidana semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya”, menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2002 bab III pasal
14 (ayat 1) butir (g), tentang Kepolisian.
Menurut Pasal 16 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian menyebutkan :
(1). Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan
14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang
Untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan ;
Volume 11, No.1 Mei 2011 xli
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan ;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan ;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri ; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat ;
f. memanggil orang untuk mendengarkan dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi ;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara ;
h. mengadakan penghentian penyidikan ;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak
atau mendadak untuk mencegah atau menangkalorang yang disangka
melakukan tindak pidana ;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum ; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf 1 adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai
berikut :
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum ;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan ;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya ;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan
e. menghormati hak asasi manusia. Berdasarkan pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut,
merupakan dasar bagi penyidik kepolisian dalam melakukan tugas dan wewenangnya
melakukan penyidikan. Dimana, seringkali tujuan polisi dalam melakukan penyidikan
ialah supaya semua tersangka yang ditahan, dituntut, diadili, dapat dan dikenakan
dipidana , karena menurut pandangan polisi setiap kegagalan penuntutan dan
pemidanaan akan merusak kewajibannya dalam masyatakat. Penuntut umum pun tidak
mampu menuntut manakala polisi memperkosa hak-hak tersangka dalam proses
penyidikan, karena perkosaan demikian mengakibatkan bebasnya perkara itu di
pengadilan. Hal itu merupakan awal dalam proses penciptaan profesionalisme kerja
polisi sesuai dengan kewenangannya yang bersifat preventif dan kewenangan represif.
C. Kedudukan Penyidik Polri Dalam Tindak Pidana Korupsi
Volume 11, No.1 Mei 2011 xlii
Korupsi merupakan kejahatan yang sangat sophisticated dan sudah masuk
dalam katagori extra ordinary crimes , dan bahkan sudah dapat dikatakan sebagai
kejahatan yang terorganisir , sehingga bukanlah pekerjaan yang mudah untuk
membuktikan adanya kejahatan korupsi. Tentunya tantangan yang akan dihadapi oleh
pihak kepolisian dalam hal ini para penyidiknya akan semakin berat . Profesionalisme
terhadap penanganan kejahatan ini sangat dibutuhkan , karena kekeliruan sedikit saja dalam proses penyidikan akan mengakibatkan perkara tersebut tidak dapat dikenakan
pidana , sehingga sia – sialah usaha penyidikan yang telah dilakukan oleh pnyidik
yang telah banyak menyita waktu dan tenaga . Penanganan yang serius dan hati – hati
sangat diperlukan mengingat tindak pidana korupsi akan selalu terkait dengan berbagai
jenis tindak pidana lainnya dan pelakunya lebih banyak dari mereka yang mempunyai
suatu kedudukan tertentu , oleh karena itu korupsi sering disebut sebagai white collar
crime , sehingga keahlian dari penyidik sangat dibutuhkan dalam proses penyidikan
tindak pidana korupsi ini .
Polisi sebagaimana disebutkan didalam KUHAP dan Undang-undang Nomor
2 Tahun 2002 , merupakan penyidik dalam segala tindak pidana , baik tindak pidana
umum maupun tindak pidana khusus . Dalam penyidikan tindak pidana umum sudah
tidak terbantahkan lagi , karena polisi sudah menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana digariskan oleh KUHAP , akan tetapi berlainan keadaannya terhadap
tindak pidana khusus ( tindak pidana koupsi ) , karena pada saat ini terdapat dua
lembaga lain selain kepolisian yang juga mempunyai tugas dan wewenang untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yaitu Kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( KPK ) . KUHAP didalam ketentuan pasal 6
menyebutkan bahwa : Penyidik adalah : (1) pejabat polisi negara Republik Indonesia
dan (2) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang
– undang . Apabila mendasarkan kepada ketentuan pasal diatas , maka jelas bahwa
polisi adalah penyidik dalam segala tindak pidana baik yang bersifat umum , maupun
yang bersifat khusus , karena KUHAP merupakan undang – undang hukum acara yang
bersifat umum , dan merupakan hukum positif serta berkedudukan sebagai unifikasi dalam hukum acara pidana , artinya KUHAP dijadikan sebagai pedoman dalam hukum
acara untuk semua tindak pidana yang terjadi di Indoneia .
Begitu juga halnya didalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia didalam ketentuan pasal 14 ayat ( 1 ) e
menyebutkan “ Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya “ , dengan mendasarkan kepada kedua ketentuan
peraturan perundangan diatas , maka seyogyanya Polisi sebagai bagian dari criminal
justice system harus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegakan
hukum dalam bidang penyelidikan dan penyidikan pada semua jenis tindak pidana baik
Volume 11, No.1 Mei 2011 xliii
umum maupun khusus , karena polisi sudah memiliki sarana dan prasarana berupa
tenaga atau personel yang sudah tersebar sampai tingkat kecamatan ( Polsek ) ,
sehingga hal ini akan lebih mempercepat proses penegakan hukum atas suatu tindak
pidana yang terjadi baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus , disamping
itu polisi pada saat ini juga sudah banyak memiliki personel yang berlatar belakang
pendidikan hukum .
TUGAS DAN WEWENANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tugas dan Wewenang Jaksa Dalam Penyidikan
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat
pembedaan pengertian antara Jaksa dalam pengertian umum dan Penuntut Umum dalam
pengertian Jaksa yang menuntut suatu perkara. Dalam Pasal 1 butir 6 ditegaskan hal itu
sebagai berikut :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melakukan atau melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dilihat dari perumusan Undang-Undang tersebut, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa pengertian “jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan penuntut
umum menyangkut fungsi. Mengenai hal penuntut umum diatur dibagian ke-tiga Bab IV KUHAP,
wewenang penuntut umum pada bagian ini diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu pasal 14
dan pasal 15 antara lain, yaitu :
Pasal 14
Penuntut Umum mempunyai wewenang :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu ;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik ;
c. Memberikan perpaanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik ;
d. Membuat surat dakwaan ;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan ;
Volume 11, No.1 Mei 2011 xliv
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah
ditentukan ;
g. Melakukan penuntutan ;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum ; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini ;
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 15
“Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah
hukummnya menurut ketentuan Undang-Undang”.
Dari perincian wewenang tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Bahwa jaksa atau penuntut umum di Indeonesia tidak mempunyai wewenang
menyidik perkara, dari permulaan atau lanjutan. Hal ini berarti jaksa atau penuntut
umum di Indonesia tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap tersangka ataupun
terdakwa. Ketentuan pasal 14 KUHAP dapat dikategorikan kepada sistem tertutup,
artinya tertutup yaitu ada kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan
penyidikan meskipun dalam arti insidentil dalam perkara-perkara berat khususnya dari
segi pembuktian dan masalah teknis yuridisnya dan dalam penyidikan disini hanya
dilakukan terhadap berkas perkara , jadi tidak kepada tersangkanya .
Menurut KUHAP seperti yang telah dikemukakan tersebut, tertutup
kemungkinan bagi penuntut umum Indonesia melakukan penyidikan sendiri dan mengambil alih pemeriksaan yang telah dimulai oleh polisi. Dalam hal pengawasan,
masih tersirat secara samar peranan penuntut umum dalam penyidikan. Hal ini dapat
disimpulkan dari bunyi beberapa pasal, antara lain Pasal 109 dan 110 KUHAP:
Pasal 109
1. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan peyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana , penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum.
2. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum , tersangka atau keluarganya.
3. Dalam hal penghentian tersebut, pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimna dimaksudkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf b pemberitahuan mengenai
hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
Volume 11, No.1 Mei 2011 xlv
1. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
2. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata
masih kurang lengkap, penuntut umum segera mngembalikan berkas perkara itu
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
3. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk
dari penuntut umum.
4. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas
waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut
umum kepada penyidik.
Dalam Pasal 109 ayat (1) tersebut, hanya dikatakan memberitahukan, tidak wajib
memberitahukan. Lagi pula tidak ada ketentuan yang memberi wewenang penuuntut
umum untuk memerintahkan penghentian penyidikan, umpama kerena kurang alasan.
Begitu pula ketentuan dalam pasal 110 ayat (2) hanya disebutkan ”……disertai
petunjuk untuk dilengkapi. Jadi, tidak disebutkan kemungkinan penuntut umum memerintahkan untuk tidak meneruskan penyidikan karena tidak ada alasan.9
Akan tetapi mengacu kepada pasal 138 KUHAP yang berbunyi :
Ayat 1
“Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari
dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum”.
Ayat 2
“Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan
untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum”.
Selanjutnya landasan hukum berlakunya UU tertentu yang memberikan
wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan disebutkan
dalam KUHAP dan dimuat di dalam Ketentuan Peralihan pasal 284 ayat 2. Ketentuan
ini sifatnya sementara, mengingat UU tertentu tersebut akan “ditinjau kembali, diubah
atau dicabut dalam waktu yang sesingkat singkatnya” penjelasan pasal 284 ayat 2
9 Andi Hamzah, S.H., op. cit., h.76.
Volume 11, No.1 Mei 2011 xlvi
KUHAP Sampai saat ini, setelah KUHAP berlaku lebih dari 24 tahun, beberapa UU
tertentu telah dicabut, antara lain UU Tindak Pidana Ekonomi dan UU Pemberantasan
Subversi dan terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru yaitu
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001,
ternyata masih memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara korupsi. Wewenang Jaksa di sini tidak lagi bersifat
sementara, karena dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 pada
tanggal 16 Agustus 1999, maka wewenang Jaksa tersebut tidak lagi terkait dengan pasal
284 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian dalam perkara korupsi terdapat dua aparat
penyidik yaitu Jaksa (berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 16 Tahun
2004) dan Polisi (berdasarkan KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002).
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan ,yang merupakan suatu bentuk pembaharun terhadap peraturan perundang-
undangan yang mempunyai kekuatan mengikat kepada seluruh warga negara Indonesia.
Dimana, dengan perkembangan jaman yang semakin maju membawa bangsa Indonesia
kearah perkembangan kebutuhan hukum pada masyarakat yang signifikan dan mendasar
dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang menyatakan fungsi dan hubungannya dengan badan-badan lainnya yaitu salah
satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia.
Adapun maksud dan tujuan atas perubahan Undang-Undang tentang Kejaksaan
Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan
peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun, yaitu yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakkan supremasi hukum, penegakan hak asasi manusia, serta
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-
perubahan tersebut diatas.
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dan penyidikan harus mampu mewujudkan kepastian hukum,
ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan
norma-norma keagamaan, kesopanan,dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai
kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya, dalam proses pembangunan
antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
Volume 11, No.1 Mei 2011 xlvii
serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewajiban pemerintah dan
negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Dengan berlandaskan Pasal 30 ayat (1) butir (e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkan bahwa :
“melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”.
Apabila diteliti dalam pasal ini ada 2 (dua) batasan dalam ketentuan ini, yaitu :
1. Berkas perkara tertentu ;
2. Dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik ;
Yang mempunyai maksud, bahwa :
a. “perkara tertentu” adalah hanya nota bene terhadap perkara-perkara yang sulit
pembuktiaannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau yang dapat
membahayakan keselamatan negara;
b. dalam hal pengkoordinasiannya tidak boleh dilakukan terhadap tersangka;
c. harus dapat dilaksanakan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakan sesuai
ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP;
d. prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik. Dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu :
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja
sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi
lainnya”.
Maksud dari Pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, adalah sejalan dengan
prinsip koordinasi yang termaktub dalam Pasal 30 ayat (1) butir (e) Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 baik dengan penyidik maupun berbagai badan penegak hukum
dan atau instansi lainnya yang berkompetensi dalam melaksanakan dan menjalankan
penegakan supremasi hukum di negara kesatuan RI.
Mendasarkan kepada beberapa ketentuan yang telah diuraikan diatas , sudah
jelas dan pasti bahwa tugas dan wewenang jaksa dalam penegakan hukum adalah sebagai penuntut untuk segala macam tindak pidana yang terjadi di Indonesia , jadi
bukan sebagai penyidik kecuali untuk tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya ,
maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung , sehingga dari
ketentuan ini dapat dipahami bahwa jaksa bisa berkedudukan sebagai penyidik, dan hal
ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 30 ayat 1 d Undang-undang Nomor
16 Tahun 2004 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999 .
B. Kedudukan Jaksa Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Volume 11, No.1 Mei 2011 xlviii
Pada pembahasan didepan sudah dijelaskan bahwa Tindak Pidana Korupsi
merupakan kejahatan yang sangat sophisticated dan sudah masuk dalam katagori extra
ordinary crimes , dan bahkan sudah dapat dikatakan sebagai kejahatan yang terorganisir
, sehingga bukanlah pekerjaan yang mudah untuk membuktikan adanya kejahatan
korupsi , sehingga apabila bertitik tolak pada materi Tindak Pidana Korupsi , maka
Tindak Pidana Korupsi itu adalah sebagai bagian dari Hukum Pidana Khusus ( Ius Speciale , Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht ) dan mendasarkan pada pandangan yang
demikian maka pihak Kejaksaanlah yang mempunyai wewenang untuk melakukan
penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi . Akan tetapi KUHAP sebagai hukum
acara yang dijadikan sebagai landasan hukum dalam proses beracara , menentukan
bahwa penyidik itu adalah polisi atau pegawai negeri sipil tetrtentu yang diberi
wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat 1 KUHAP.
Dualisme dalam penyidikan tindak pidana Korupsi itu terjadi disebabkan karena
kurang jelasnya ketentuan pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
hanya menentukan bahwa :
“ Penyidikan , penuntutan , dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku , kecuali ditentukan
lain dalam undang – undang ini “ , dari ketentuan ini tidak terdapat secara eksplisit ketentuan lembaga mana yang bertugas melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi . Asumsi dasar yang menentukan kejaksaan sebagai pihak yang berwenang
melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didasarkan pada argumentasi
sebagai berikut 10 :
1. bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale , Ius Singulare /
Bijzonder Strafrecht ) , maka modus operandi dan aspek pembuktian dari
tindak pidana korupsi ditangani secara spesifik sehingga dibutuhkan
ketrampilan dan profesionalisme tertentu .
2. apabila bertitik tolak pada ketentuan yuridis , berdasarkan ketentuan Pasal
284 ayat 2 KUHAP yang berbunyi “ dalam waktu dua tahun setelah undang –
undang ini diundangkan , maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang – undang ini , dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada
undang – undang tertentu , sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi , akan tetapi kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 beserta penjelasannya, serta ketentuan Pasal
10 Lilik Mulyadi , Tindak Pidana Korupsi Tinjauan khusus terhadap proses
penyidikan , penuntutan , peradilan serta upaya hukumnya menurut Undang – Undang
Nomor 31 tahun 1999 , Citra Aditya Bakti Bandung 2000 , h. 48-49
Volume 11, No.1 Mei 2011 xlix
30 ayat 1d Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 beserta penjelannya ,
maka Jaksa adalah sebagai penyidik untuk tindak pidana korupsi .
3. ketentuan pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan
bahawa : “ Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan
penyelidikan , penyidikan , dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
dilakukan bersama – sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer “. Penegrtian mengkoordinasikan adalah merupakan
kewenangan Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan .
4. Instruksi Presiden RI Nomor 15 Tahun 1983 dan Keppres RI Nomor 15
Tahun 1991 dimana pada pokoknya ditentukan bahwa dalam pedoman
pelaksanaan pengawasan maka Menteri / Pinpinan Lembaga Pemerintah Non
Departeman / Pimpinan Instansi lainnya yang bersangkutan setelah menerima
laporan maka melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan
kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi
tindak pidana khusus seperti korupsi dan lain- lain .
5. Bertitik tolak pada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor :
R-124/F/Fpk.1/7/1995 tanggal 24 Juli 1995 dalam angka 2 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 Nopember
1994 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Nusrul Yasid bin Abu
Yasid yang telah ditolak Majelis Hakim dengan alasan bahwa berkas perkara
tidak sah , oleh karena perkaranya disidik Penyidik Umum / Polri dan
berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1991 tetntang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI di mana pada Bab II Bagian Pertama
Pasal 4 angka 6 adanya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang mana
pada pasal 22 angka 3 Keppres 55 Tahun 1991 membawahi Direktorat Tindak
Pidana Korupsi dan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP 035/J.A/3/1992
tanggal 22 Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
RI pada Bab XVIII bagian pertama pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri di mana Pasal 573 angka 6 Susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah Asisten
Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak Pidana Korupsi ( Pasal
627 ayat 1 angka 2 ). Sedangkan untuk tingkat Kejaksaan Negeri yang
tergolong Tipe A Pasal 692 ayat 1 angka 5 salah satu bagian adalah seksi
Tindak Pidana Khusus dan berdasarkan Pasal 708 ayat 1 angka 2 salah satu
subseksi Tindak Pidana Korupsi adalah subseksi Tindak Pidana Korupsi dan
pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan Pasal 718 ayat 1 angka 5 adalah
Seksi Tindak Pidana Khusus , Perdata dan Tata Usaha Negara .
Apabila mengkaji ketentuan yang telah disebutkan diatas , maka dapat
ditarik suatu pemahaman bahwa khusus Tindak Pidana Khusus ( Korupsi ) ,
Kejaksaan mempunyai kompetensi untuk melakukan penyidikan terhadap Tindak
Pidana Korupsi , mengingat Tindak Pidana Korupsi merupakan Tindak Pidana yang tergolong sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale , Ius Singulare /
Volume 11, No.1 Mei 2011 l
Bijzonder Strafrecht ) , maka modus operandi dan aspek pembuktian dari tindak pidana
korupsi ditangani secara spesifik sehingga dibutuhkan ketrampilan dan profesionalisme
tertentu , selanjutnya apabila Tindak Pidana Korupsi itu pelakunya adalah para
pelaksana negara atau aparatur pemerintah.
C. Tugas dan Wewenang KPK Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 2
( dua ) tahun sejak undang ini berlaku , dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi , yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai
pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan
wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam
Undang-Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana
korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh
karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-
Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan
dengan berbagai instansi tersebut.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:
1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara;
2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah). Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1. dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan
institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2. tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan;
3. berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4. berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada,
dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Volume 11, No.1 Mei 2011 li
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah
didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1. ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang
asas pembuktian terbalik;
2. ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat
melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku
pejabat negara;
3. ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada
publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan;
4. ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota
Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan
5. ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah
pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi
Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat
sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat
independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan
manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut
terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan
keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus
melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik
Indonesia.Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau
Volume 11, No.1 Mei 2011 lii
pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek
kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi
diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut
berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan
secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas.
Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas
dan berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan
Korupsi perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi
dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di
daerah provinsi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga
dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex
specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur
mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan
umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri
atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian
pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang
hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan
ditentukan jangka waktu secara tegas.
Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur
pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi
Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan
Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku.
Dari gambaran yang telah disebutkan diatas , maka dalam rangka
pemberantasan dan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi , KPK
berdasrkan pada ketentuan pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 , dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
a. kepastian hukum; b. keterbukaan;
Volume 11, No.1 Mei 2011 liii
c. akuntabilitas;
d. kepentingan umum; dan
e. proporsionalitas.
“Kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
“Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
“Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
“Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas,
wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketentuan diatas memberikan makna bahwa KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan pada hukum , kepatutan dan rasa keadilan , serta
dilaksanakan secara terbuka , jujur , dan tidak diskriminatif , bersifat aspiratif ,
akomodatif serta selektif dengan mengutamakan kesejahteraan umum dan
keseimbangan antara tugas , wewenang , tanggung jawab dan kewajiban .
Sedangkan tugas dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu :
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dari tugas yang dibebankan , maka KPK mempunyai wewenang seperti yang
diuraikan dalam ketentuan pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang meliputi antara
lain :
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi;
Volume 11, No.1 Mei 2011 liv
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Sedangkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh KPK sebagaimana
disebutkan dalam pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang berupa :
a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan
laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana
korupsi;
b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan
bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan
tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan; d. menegakkan sumpah jabatan;
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi
, KPK tetap menggunakan KUHAP sebagai dasar untuk melaksanakan tugas tersebut
, akan tetapi dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik
, ketentuan pada pasal 7 ayat 2 KUHAP tidak berlaku pada penyelidik atau penyidik
KPK , yaitu suatu ketentuan yang menentukan bahwa penyidik dalam melaksanakan
tugasnya sesuai undang – undang yang menjadi dasar hukumnya masing – masing dan
dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
tersebut dalam pasal 6 ayat 1 huruf a (dalam hal ini adalah penyidik Polri ) . Dari ketentuan ini sudah jelas bahwa penyidik KPK dalam menjalankan tugas penyidikan
dikesampingkan dari ketentuan yang ada dalam KUHAP.
Disamping ketentuan yang telah diuraikan diatas , KPK juga dapat
berkedudukan sebagai super body dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu
berupa suatu kewenangan untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah
ada , dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan , penyidikan , dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian
dan atau kejaksaan . Sebagai super body dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
, maka KPK sesuai ketentuan pasal 50 UU Nomor 30Tahun 2002 yang berbunyi :
(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah
dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib
Volume 11, No.1 Mei 2011 lv
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan
tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan
oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( KPK ) , mempunyai wewenang untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan bahkan penuntutan terhadap Tindak Pidana
Korupsi yang terjadi di Indonesia , serta tugas dan wewenang yang dimilikinya sangat
luas jika dibandingkan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian
maupun Jaksa , hal ini dapat kita lihat dari kedudukan sebagai super body dalam
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan dengan perumusan sebagai berikut :
a Kepolisian Republik Indonesia , sebagai aparat penegak hukum yang merupakan
bagian dari Criminal Justice System , menduduki posisi sebagai “
diferensiasi fungsional “ sebagaimana digariskan didalam KUHAP , sehingga
Polisi diberikan “ peran “ ( role ) yang berupa “ kekuasaan umum menangani
kriminal “ ( general policing authority in criminal matter ) di seluruh wilayah
Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut , Polri berperan melakukan kontrol kriminal ( crime control ) dalam
bentuk “ investigasi - penangkapan – penahanan – penggeledahan – penyitaan ” .
Sebagai Lembaga yang diberikan peran dan kekuasaan dalam penegakan hukum,
Polisi harus bebas dari segala macam intervensi dari pihak manapun juga Polisi
sebagai Penyidik tunggal berdasarkan KUHAP , dapat melakukan penyidikan
untuk semua tindak pidana baik umum maupun khusus.
b. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan
proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara hukum mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian juga Keterbukaan yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
Volume 11, No.1 Mei 2011 lvi
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sedangkan
Akuntabilitas menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi
Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
SARAN
Berdasarkan uraian dari pembahasan diatas , penulis ingin mengajukan
beberapa saran sebagai berikut :
a. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) menentukan bahwa
Penyidik adalah Polisi tertentu dan Pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi tugas
atau wewenang berdasarkan undang – undang , maka dalam pelaksanaannya
supaya tetap memperhatikan ketentuan dalam KUHAP tersebut , karena Lembaga
Kepolisian ada dan tersebar sampai tingkat sektor , sehingga dengan demikian
apabila penyelidikan dan penyidikan untuk semua macam tindak pidana
diserahkan sepenuhnya kepada Kepolisian maka proses penyelesaian perkara pidana dapat cepat dilakukan sesuai dengan asas Spedy trial ( Contante Justicie ) ,
apalagi pada dewasa ini Kepolisian dari aspek Sumber daya manusia , sudah
banyak memiliki anggota kepolisian yang berlatar pendidikan hukum ( Sarjana
Hukum )
b. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai wewenang lebih
luas dari dua lembaga penegak hukum lainnya ( Kepolisian dan Kejaksaan )
dalam penanganan tindak pidana Korupsi hendaknya hanya menangani perkara
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara yang sulit
tersentuh (untouchable ) oleh hukum , hal ini mengingat bahwa KPK langsung
berada dibawah perintah Presiden.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lvii
KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM
PENANGANAN SENGKETA PERTANAHAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG PTUN
Oleh:
H. Hofney Setyo Poernomo, S.H.,M.Hum.3
ABSTRAK
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, dan Nomor
9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, sepanjang menyangkut Pembatalan
Pemberian Hak Atas Tanah yang dilaksanakan sendiri oleh Badan
Pertanahan Nasional. Dalam kaitannya itu dengan implementasi
wewenang BPN membatalkan pemberian Hak Atas Tanah berbenturan
dengan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.
Kata Kunci: Kewenangan Pengadilan – Sengketa Pertanahan –
Undang-Undang PTUN.
LATAR BELAKANG
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dipergunakan dan
dimanfaatkan menurut hak serta kewajiban yang berimbang antara lain untuk memenuhi
baik bagi kebutuhan diri pribadi maupun kebutuhan masyarakat. Realisasi pemenuhan kebutuhan akan tanah tersebut menurut hukum ditata dalam rangka hubungan yang
serasi dan seimbang antara hak dan kewajiban agar terjamin pergaulan hidup yang
tertib, aman dan damai serta kehidupan yang berkeadilan sosial. Eratnya hubungan
antara manusia dengan tanah dilihat dari hubungan antar pribadi, pribadi dengan
masyarakat dan perorangan dengan badan hukum serta antar bangsa secara keseluruhan
dan pribadi dengan bangsa secara keseluruhan, tercermin dalam fungsi hak milik atas
tanah ditentukan oleh tata susunan masyarakatnya.
Didalam negara yang tata susunan masyarakatnya berdasarkan faham
individualistis, maka hak milik atas tanah bersifat mutlak, artinya bahwa hak milik yang
menurut terminologi hukum Belanda disebut eigendom, para eigenaarnya, pemilik,
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lviii
bebas menggunakan atau tidak menggunakan tanahnya sepanjang tidak dilarang oleh
undang-undang. Sebaliknya di dalam negara yang tata susunan masyarakatnya
menganut faham kolektivisme, maka hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial,
artinya penggunaan hak atas tanah selalu harus memperhatikan kepentingan sosial atau
kemasyarakatan.
Dalam Second Treatises Of Government, John Locke mengatakan bahwa : Sesungguhnya Tuhan telah menciptakan bumi u\ini untuk diberikan kepada
sesama manusia, agar bumi ini dikerjakan dan memberikan kesejahteraan bagi
setiap orang. Tiada seorangpun mempunyai hak istimewa baik atas hasil alam
maupun binatang yang diciptakan diatas bumi ini. Segalanya merupakan
warisan kita bersama. Untuk dapat mencuptakan kesejahteraan tersebut, maka
harus ada cara agar benda-benda tersebut dapat dimilki. Dengan kata lain,
individu dapat memetik kegunaan secara konkret apabila dia mempunyai hak
milik atas benda itu dan pekerjaannya sendiri.1
Asas Ketuhanan tersebut juga ditegaskan dalam pasal 1 ayat 2 UUPA yang
berbunyi : “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang akngkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”, disini dikedepankan bahwa kekayaan Indonesia merupakan rahmat
dan karunia Tuhan, sedangkan dalam pasal 5 UUPA memberikan ketentuan bahwa
hukum agraria dan peraturan perundang-undangan lainnya dengan “mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Hal yang demikian ini menunjukkan
bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air serta ruang angkasa adalah
merupakan hubungan yang bersifat pribadi sekali dan bahkan dalam pasal 1 ayat 3
menyebutkan bahwa hubungan itu merupakan suatu hubungan yang abadi. Sudargo
Gautama menafsirkan hubungan sebagai abadi ini menunjukkan bahwa selama rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta
ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka hubungan ini tidak dapat diputuskan, meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga.2
Berbeda halnya dengan negara yang menganut faham sekulerisme yang
memisahkan antara kebendaan dengan agama, sebagaimana disebutkan Emeliana
Krisnawati bahwa negara yang menganut faham sekulerisme seperti Belanda dalam
menyusun peraturan perundang-undangan selalu memisahkan antara urusan agama
dengan susunan negara dan meskipun ada dogma agama yang digunakan, namun
1Achmad Sodiki, Konflik Pemilikan Hak Atas Tanah Perkebunan, Prisma,
1996, h. 4-5. 2Sudargo gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria (1960) dan
Peraturan-peraturan pelaksanaannya (1996), Cet. Ke- X, PT. Citra Aditya Bakti,
bandung, 1997, h. 51.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lix
penerumaannya sedemikian rupa sehingga menjadi hukum positif tanpa menyertakan
agama lagi.3
Diberikannya temapt untuk mengkedepankan asas Ketuhanan dan tempat yang
layak bagi hukum agama ini merupakan bukti bahwa masalah tanah sangat menentukan
sekali bagi hidup dan penghidupan manusia, sedangkan secara filosofis Moh. Koesnoe
memberikan pemahaman tentang makna tanah dengan adanya mitos4 yang dimulai dari adanya dua fenomena. Pertama ialah langit dan yang kedua ialah bumi atau tanah, dan
menurutnya bahwa :
Langit adalah merupakan bapak alam semesta dan bumi adalah merupakan
ibunya dan perkawinan langit dengan bumi, sama artinya dengan perkawinan
bapak dengan ibunya. Dari perkawian itu menghasilkan anak-anak. Siapa yang
termasuk anak-anak ialah segala apa yang ada diatas bumi antara lain benda-
benda mati, tumbuh-tumbuhan, segala macam dan jenis binatang yang
diantaranya ialah yang berjenis manusia.5
Dalam mitos itu dapat dijumpai adanya pandangan tentang bagaimana
hubungan manusia dengan tanah, lingkungannya dimana dia hidup dan menjalani
kehidupannya serta bagaimana hubungan manusia dengan segala apa yang ada di dalam lingkungan dimana manusi hidup dan menjalani kehidupannya, selanjutnya Koesnoe
menerangkan tentang mitos tersebut bahwa :
Mitos pada lahirnya merupakan cerita dan menurut ukuran pikiran biasa hal
tersebut adalah hanya cerita khayal yang tidak masuk akal. Tetapi bila mitos
itu diperhatikan dengan hati-hati, khayalan yang aneh isinya itu adalah hasil
kemampuan berfikir yang sangat abstrak terhadap totalitas yang dihadapinya
secara mendalam. Dalam kerangka hal termaksud, mitos yang
dikemukakandan dihayati itu mengandung arti dan nilai kemanusiaan yang
dalam. Atas dasar dan berpedoman pada nilai-nilai yang tersimpan didalam
mitos itu, rakyat berusaha untuk melaksanakan didalam kehidupan sehari-hari
sebagai idealnya.6
Pandangan masyarakat yang digambarkan dalam mitos dan filsafat tersebut
dapat difahami bagaimana masyarakat memberikan makna tanah dimana mereka
dilahirkan, dibesarkan dan menjalani kehidupannya. Hal yang demikian ini
3Emelia Krisnawati, Problematik Asas Monogami Dalam Undang-undang No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2000,
h. 56. 4Mitos dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat bahasa
Departemen pendidikan Nasional, balai Pustaka, jakarta, 2001, h. 479. 5Moh. Koesno, Prinsip-perinsip Hukum Adat Tentang hak Atas tanah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum, tahun XIII, No. 150 Maret 1998, h. 89. 6Ibid., h. 88.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lx
menunjukkan tentang sikap batin dan kemesraan hubungan antara masyarakat dengan
tanah lingkungannya dimana mereka tinggal dan hidup diatasnya, sekaligus
menunjukkan bahwa masalah tanah bersinggungan erat dengan faktor adat.
Menurut Imam Sudiyat, bagi kehidupan dan penghidupan, tanah merupakan
conditio sine qua nom, seperti halnya udara yang kita hidup7 dan dalam kaitannya
dengan faktor adat tersebut, Boedi Harsono menyatakan bahwa : “ hukum adat dipakai sebagai dasar hukum tanah nasional adalah sesuai dengan kepribadian bangsa kita,
karena hukum adat adalah hukum asli kita …. dst.”, oleh karena itu dalam penjelasan
umum angka III ayat 1 UUPA dinyatakan secara tegas hubungan antara tanah dengan
hukum adat, hal ini dapat dicermati pada kalimat “ ….. hukum agraria baru tersebut
akan didasrkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat …. dst”; selanjutnya Pasal 5
UUPA menyebutkan “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat …. dst”; penjelasan pasal 5 menyebutkan “ …. Hukum adat dijadikan
dasar hukum Agraria yang baru”; penjelsan Pasal 16 menyebutkan “ ….. Hukum
Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat ….. dst.” Dan dalam Pasal 56
menyebutkan “selama Undang-undang mengenai hak milik ….. belum terbentuk, maka
yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat ….. dst.”, sedangkan
kalimat yang tidak menyebut hukum adat secara langsung namun apa yang disebut”peraturan yang tidak tertulis” mencakup juga hukum adat dapat dilihat pada
Pasal 58, hal ini dapat dilihat juga pada pendapat Kusumadi Pudjosewojo yang
menggunakan sebutan hukum adat sebagai “keseluruhan aturan hukum tidak tertulis”.8
Menurut Ali Sofwan Husein, tanah merupakan investasi yang sangat
menguntungkan, karena nilainya tidak akan pernah turun, demikian juga pemiliknya
tidak perlu susah-susah memperbaiki mutu tanahnya, karena faktor alamiah, yaitu
tekanan penduduk yang selalu bertambah dan kebutuhan manusia yang terus meningkat.
Apalagi jika ada campur tangan manusia untuk mengupayakan naiknya nilai tanah
tambah tanah, maka tanah akan menjadi basis dari tambang kekayaan siapa saja yang
mempunyai akses terhadapnya.9
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah yang bertitik tolak dari judul dan latar belakang masalah adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsekuensi yuridis pembatalan pemberian hak atas tanah
dimuka Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional ?
2. Bagaimanakah Menyerasikan antinomi norma hukum pembatalan pemberian
hak atas tanah ?
7Iman Sidyat, Beberapa Masalah Penguasaan tanah di Berbagai Masyaraka
Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta, 1982, h. 7.t 8Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara
Baru, jakarta, 1975, h. 79. 9 Ali Sofwan Husein, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Pustaka Sinar
harapan, Jakarta, 1995, h. 8.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxi
KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
DI MUKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN BADAN
PERTANAHAN NASIONAL
A. Wewenang Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan
Nasional Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan
Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 secara tegas dosebutkan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum10 dan dalam sejarah ketatanegaraan R.I. konsep negara
hukum ini dalam penjelasan UUD 1945 disebut dengan istilah Indonesia negara yang
berdasar atas hukum “rechtsstaat”11 yang dilawankan dengan “machtsstaat” yang
artinya negara tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum menghendaki segala
tindakan semua orang maupun badan hukum wajib tunduk pada hukum, Martiman
Prodjohamidjojo memberikan makna negara hukum itu berarti semua orang menjunjung
tinggi hukum dan tidak ada tempat bagi orang yang mempertahankan haknya dengan
kekuatan sendiri.12 Demikian juga Pemerintah tidak ada kecualinya wajib tunduk pada
hukum, baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Arief
Budiman menulis bahwa keabsahan negara memerintah karena negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat dan
mengabdi pada kepentingan umum.13 Negara hukum pada prinsipnya terutama
bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya, oleh karena itu
menurut Philipus M.Hadjon14 perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak
pemerintahan dilandasi oleh dua pihak, yakni , prinsip hak asasi manusia dan prinsip
negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat
tempat yang paling utama, dan dapat dikatakan sebagai tujuan negara hukum. Berbeda
dalam negara totaliter tidak ada tempat bagi hak-hak asasi manusia.
Negara hukum yang disebutkan dalam UUD 1945 merupakan negara hukum
dalam arti formal, oleh karenanya menurut Rochmat Soemitro harus diisi agar menjadi
negara hukum dalam arti materiel15 dan adanya kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
10Perubahan ketiga UUD 1945 yang diputuskan dalam rapat Paripurna MPR
ke-7 dalam sidang tahunan tanggal 9 Nopember 2001. 11Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, P.T.
Bina Ilmu, Cetakan Pertama, Surabaya, 1987, h. 72-82. 12 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata
Usaha Negara, P.T. Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997, h. 1. 13Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, P.T.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, h. 1. 14Op. Cit., h. 71. 15Rochmat Soemitro, Peradilan tata Usaha negara, P.T. Eresco, Bandung,
1987, h. 1.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxii
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia, hal ini menurut Soemitro merupakan langkah untuk
menyempurnakan bobot negara hukum dan guna menjadikan negara hukum formal
menjadi negara hukum materiel16. Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat 2 UUD
1945 dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada
dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum. Lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Sebagai konsekuensi sebuah negara hukum, maka menurut pasal 27 ayat 1
UUD 1945 segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya,
sehingga setiap orang menurut Pasal 28 D ayat 1 oerubahan kedua UUD 1945 berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum. Demikian juga pengakuan, jaminan dan perlindungan
hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah,
maka ia dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan melalui PTUN,
oleh karenanya menurut Staablaad peradilan Tata Usaha Negara merupakan satu unsur
mutlak negara hukum,17 sedangkan menurut Soerjono upaya hukum itu dapat dilakukan melalui tiga badan, yaitu sebagai berikut :
1). Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administrasi;
2). Peradilan Tata Usaha negara, dan
3). Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau
KUHPerdata.18
Memahami konsep negara hukum yang diamanatkan UUD 1945 tersebut
menunjukkan bahwa keberadaan hukum merupakan suatu conditio sine quanom atau
syarat mutlak untuk menganut semua tindakan, baik yang dilakukan oleh warga
masyarakat maupun oleh Pemerintah. Demikian juga tindakan Pemerintah dalam
mengelola negara dilarang untuk bertindak semena-mena, hal ini menurut Hobhouse
yang mendukung rule of law atau tertib hukum mengatakan : syarat utama untuk pemerintah yang bebas yaitu pemerintahan tidak atas dasar kesewenang-wenangan
kehendak penguasa, namun atas dasar rules of law yang mapan dan penguasa juga
menundukkan diri.
Kekuasaan dan wewenang merupakan dua kalimat yang tidak dapat
dipisahkan. Dalam kaitannya itu Mochtar Kusumaatmaja mengungkapkan bahwa
16Ibid., 17Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan
Peradilan Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Cetakan Ketiga, Bandung, 1981, h.
85. 18Soerjono, Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh Penguasa UUD
dan Masalah ganti Rugi, dalam Himpunan Karangan di Bidang Hukum Tata Usaha
Negara, Jakarta, 1993, h. 41.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxiii
kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal atau formal authority yang
memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu pihak dalam suatu
bidang tertentu, oleh karenanya dapat dikatakan kekuasaan itu bersumber pada hukum,
yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemberian wewenang.19
Demikian pula wewenang PTUN untuk mengadili bersumber dari UU No. 9 Tahun
2004, tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau ditulis UU PTUN dan undang-undang ini dalam Pasal 144 dapat disebut juga Undang-undang Peradilan Administrasi Negara,
namun demikian istilah Peradilan Administrasi Negara dikritisi oleh Sjachran Basah. Ia
menulis, predikat negara menjadi berlebihan dan tidak perlu, sebab sesungguhnya
hanyalah negara saja yang berhak membentuk peradilan yang ditetapkan dengan
undang-undang.20 Pandangan itu sesuai dengan dengan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang
No. 35 tahun 1999, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
menyebutkan bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia yaitu
Peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-undang. Disamping itu menurut
Philipus, arti istilah administrasi dalam hukum administrasi yaitu pemerintahan, oleh
karena itu tidaklah ekonomis apabila sebutan peradilan administrasi ditambah dengan
atribut negara, karena tidak ada pemerintahan yang tidak berkaitan dengan negara.21
Wewenang PTUN memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara seperti disebutkan diats dan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
perundang-undangan yang berlaku. Keputusan TUN yang menurut pengertian Pasal 1
ayat 3 yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat yang
berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang dapat merugikan orang atau
badan hukum perdata. Tindakan hukum tata usaha negara menurut Philipus M.Hadjon
tidaklah sama maknanya dengan tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha
negara. Tidak semua tindakan pejabat merupakan tindakan hukum tata usaha negara.22
Indroharto menilai bahwa yang dapat dirugikan oleh kepusan TUN sebenarnya
dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu : Kelompok Pertama,
19Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, P.T.
Alumni Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Bandung, 2002, h. 5. 20Sjachran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi
Di Indonesia, Penerbit Alumni, Cetakan ke-3, Bandung, 1997, 35. 21Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam
Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato disampaikan pada enerimaan jabatan
Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya,
10 Oktober 1994, h. 5. 22Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah mada
University Press, Cetakan ketujuh, Yogyakarta, 2001, h. 319.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxiv
Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu
keputusan TUN. Dalam hal ini orang atau badan hukum perdata tersebut secara
langsung terkena kepentingannya, oleh karena itu mereka berhak untuk mengajukan
gugatan terhadap badan atau Pejabat TUN;
KelompokKkedua,
Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang meliputi :
a. individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan dan
kelompok ini sangat luas variasinya. Mereka itu merasa terkena
kepentingannya secara tidak langsung dengan adanya keputusan TUN yang
sebenarnya dialamatkan kepada orang lain. Kepentingan mereka ini ada yang
berlawanan dengan kepentingan dari si alamat yang dituju oleh keputusan
TUN yang bersangkutan;
b. kepentingan pihak ketiga bersifat pararel dengan kepentingan dari sialamat
yang dituju oleh keputusan TUN yang bersangkutan; dan
c. organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat merasa
berkepentingan, karena keluarnya suatu keputusan TUN itu dianggapnya
bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Kelompok Ketiga,
Badan atau Pejabat TUN lain yang terkena keputusan TUN23.
Dalam proses di PTUN pihak yang berhak mengajukan gugatan sesuai Pasal
53 ayat 1 yaitu orang atau badan hukum perdata yang disebut sebagai tergugat, oleh
karena itu kelompok ketiga yang disebutkan Indroharto tidak dapat menjadi pihak
penggugat, mengingat UU PTUN tidak memberikan hak kepadanya untuk mengajukan
gugatan. Berbeda dengan pihak-pihak dalam peradilan umum, kedudukan sebagai
penggugat yaitu orang, badan hukum perdata maupun badan hukum publik, sedangkan
yang dapat menjadi tergugat yaitu orang, badan hukum perdata maupun badan hukum
publik. Keputusan Badan atau Pejabat TUN yang bagaimana menjadi wewenang
PTUN untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketanya, yaitu terhadap :
1. keputusan TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat konkret, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, Pasal 1
angka 3;
2. keputusan TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, Pasal 53 ayat 2 huruf a. Ada tiga hal pengertian :bertentangan
23Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan tata
Usaha Negara, Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994, h.35-36.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxv
dengan peraturabn perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang
bersangkutan itu :
a. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat prosedural/formal;
b. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat materiel/substansial; c. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak
berwenang, penjelasan Pasal 53 ayat 2 huruf b .
Menurut Philipus M.Hadjon tidak berwenangnya itu bila dikaitkan dengan
ruang lingkup komptensi suatu jabatan, kemungkinan ada tiga macam bentuk
tidak berwenangnya atau onbevoegheid, yaitu onbevoegheidratione materiae
atau menyangkut kompetensi absolut, onbevoegheidratione loci
ataumenyangkut kompetensi relatif dan onbevoegheidratione temporis yaitu
tidak berwenang dari segi waktu.24
3. Badan atau Pejabat TUN yang pada waktu mengeluarkan keputusan telah
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut;
4. Badan tau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan telah mempertimbangkan semua kepentingan yang bersangkutan
dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan
tersebut, Pasal 53 ayat 2 huruf a, b dan c.
Rumusan wewenang PTUN untuk mengadili sengketa TUN tersebut di atas
oleh Philipus M.Hadjon,25 dipertegas sebagai berikut :
a. Keputusan TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pertentangan itu menyangkut prosedur, substansi
dan wewenang keputusan;
b. Keputusan TUN tersebut mengandung unsur penyalahgunaan wewenang;
dan
c. Keputusan TUN tersebut mengandung unsur sewenang-wenang. Mengkaji beberapa wewenang hakim PTUN dalam memutus sengketa dengan
menggunakan Asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seharusnya hakim
berpedoman kembali kepada perintah Mahkamah Agung dimaksud yang secara tegas
menyebutkan bahwa penerapan AUPB pada “akhirnya harus mengacu pada Pasal 53
ayat 2 UU. PTUN”, Kata harus merupakan kewajiban hukum yang tidak boleh
disimpangi oleh hakim PTUN. Demikian juga dalam hal keputusan TUN yang
bagaimana yang menjadi wewenang PTUN untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa pembatalan pemberian hak atas tanah. Keputusan BPN yang
menerbitkan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah dapat dibedakan
24Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum …… Op. Cit, h. 326-327. 25Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif, ….. Op. Cit, h. 10.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxvi
hak atas tanah yang timbul karena penetapan dan hak atas tanah yang timbul dari hukum
adat.
Sertifikat hak atas tanah yang bersal dari hukum adanya penetapan, yaitu
pemberian hak atas tanah-tanah negara berupa hak milik, hak gunan usaha, hak guna
bangunan, hak pakai dan hak pengelolaan, termasuk tanah negara yang menjadi obyek
landreform dan hak-hak yang diberikan menurut pasal 66 Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, tentang ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997, tentang
Pendaftaran Tanah. Penetapan yang kemudian menerbitkan sertifikat hak atas tanayh ini
Philipus M. Hadjon disebut dengan keputusan Tata Usaha Negara konstitutif, sedangkan
yang berasal dari hukum adat disebut sebagai keputusan tata usaha negara deklaratif 26.
Indroharto mengartikan konstitutif yaitu keputusan tata usaha negara yang melahirkan
atau menghapuskan suatu hubungan hukum dan deklarator yaitu untuk menetapkan
mengikatnya suatu hubungan hukum.27
Terhadap keputusan BPN yang bersifat konstitutif bila terjadi sengketa yang
wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan yaitu PTUN. Sedangkan yang
bersifat deklaratif menjadi wewenang peradilan umum. Peradilan umum pada
hakekatnya menurut Bernadus Sukismo berwenang menampung dan menyelesaikan
segala persengketaan hukum, baik yang nyata-nyata merupakan kewenangannnya maupun sengketa-sengketa hukum lainnya yang bukan merupakan kompetensi
lingkungan peradilan lainnya.28
Berbeda dengan wewenang PTUN, BPN juga mempunyai wewenang untuk
menyelesaikan sengketa hukum di bidang pertanahan dengan cara membatalkan hak-
hak atas tanah yang meliputi pembatalan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, hak penguasaan dan ijin membuka tanah yang
tanahnya berasal dari tanah negara yang berakibat batalnya sertifikat. Landasan hukum
pembatalan hak-hak atas tanah tersebut semula diatur oleh Pasal 12 Permendagri No. 6
Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah yang
selanjutnya setelah dibentuknya lembaga Pemerintah non departemen dengan nama
BPN, pembatalan hak-hak atas tanah itu diatur dalam pasal 16 huruf c Kepres No. 26 Tahun 1988, tentang BPN.Wewenang pembatalan hak atas tanah yang diatur oleh
Kepres tersebut kemudian dijabarkan secara lebih specipik oleh Permeneg
Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan Permeneg
Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
26Philipus M. Hadjon, Masalah Pertanahan Dalam Peradilan Tata Usaha
Negara, Yiridhika No. 4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993, h. 3. 27Indroharto, Usaha Memahami, ….Op. Cit, h. 181. 28Bernadus Sukismo, Peradilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga, 2001, h. 427.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxvii
Peraturan pelaksanaan pembatalan pemberian hak atas tanah tersebut
memberikan landasan hukum bagi BPN untuk mengatur tata cara pembatalan hak yang
selama ini belum pernah ada ketentuan yang mengaturnya, kecuali pembatalannya
dalam bentuk gugatan melalui PTUN dan sebelum ada lembaga PTUN, gugatan
terhadap badan atau pejabat PTUN dilakukan melalui peradilan umum. Gugatan melalui
peradilan umum ini dapat dilihat pada yurisprudensi Mahkamah Agung No. 421 K/Sip/1969 tertanggal 29 Oktober 1969 yang dalam pertimbangannya menyatakan :
“sebelum ada undang-undang tentang PTUN, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus gugatan-gutan terhadap Pemerintah Indonesia”.29
B. Penyelesaian Sengketa Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Dimuka
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Di Badan Pertanahan Nasional
Pengajuan gugatan dimuka PTUN dibatasi oleh tenggang waktu dan pasal 55
UU PTUN memberikan batas waktu sembilan puluh hari yang dihitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya keputusan PTUN. Hal ini berarti bila gugatan diajukan
setelah lewat dari sembilan puluh hari, maka pengadilan tidak akan menerima gugatan
tersebut. Rasionya menurut Wicipto Setiadi untuk menjaga agar kekuatan hukum dari keputusan TUN yang digugat itu tidak terlalu lama dalam keadaan yang tidak pasti.30
Dalam hal tenggang waktu sembilan puluh hari belum dilewati, maka gugatan dapat
dimajukan dan orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh keputusan pemberian hak atas tanah disebut sebagai : Penggugat, sedangkan
Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten 31yang menerbitkan keputusan pembatalan
pemberian hak atas tanah disebut sebagai : Tergugat. Proses penanganan sengketa
sampai pelaksanaan putusan dimuka PTUN dirinci sebagai berikut :
1. Rapat Pemusyawaratan
Proses rapat permusyawaratan ini merupakan kewajiban ketua pengadilan untuk
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-
pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu tidak diterima atau tidak berdasar sebelum pokok perkaranya diperiksa, Pasal 62 ayat 1. Proses ini oleh Indroharto
disebut prosedur dismissal yang berarti ketua pengadilan telah memutus perkara
dengan acara yang sangat singkat atau acara yang sangat sederhana32 dan A.
Sudjadi menyebutkan rapat permusyawaratan itu merupakan suatu prosedur
29Yurisprudensi Mahkamah Agung, RI., Penerbit Mahkamah Agung R.I., 1970
h. 441-452. 30Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu
Perbandingan, P.T. Raja Grafindo Persada, Ed. I, Cetakan kedua, jakarta, 1995, h. 173. 31Kepala Kantor berwenang menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah
sesuai Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian
Hak Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan hak Pengelolaan. 32Indiharto, Usaha Memahami ….. Op., Cit., h. 86.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxviii
penyelesaian perkara yang disederhanakan atau vereenvoudigde behandeling atau
dismissal procedure33 , sebaliknya bila ketua berpendapat bahwa tidak terdapat
alasan baginya untuk menyatakan gugatan tersebut tidak diterima atau tidak
berdasar, maka gugatan tersebut dapat diperiksa dengan cara biasa.34
2. Pemeriksaan Persiapan
Proses pemeriksaan persiapan ini wajib dilakukan oleh hakim sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas, Pasal 63 ayat
1 dan pemeriksaan ini menurut Indroharto dilakukan hakim setelah proses rapat
permusyawaratan persiapan menurut angka III.I. Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 2 Tahun 1991 yaitu untuk mematangkan perkara.
3. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Proses pemeriksaan dengan acara cepat dapat dilakukan bila terdapat kepentingan
Penggugat yang cukup mendesak yang dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonannya dan bila permohonan pemeriksaan perkara dengan acara cepat ini
dikabulkan oleh ketua pengadilan, maka pemeriksaan perkara dan putusannya
dengan hakim tunggal tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan, Pasal 98 dan
99 Undang-undang Nomor 9 tahun 2004.
4. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa Proses pemeriksaan dengan acara biasa ini dilakukan dengan tiga orang hakim atau
majelis hakim sesuai Pasal 68 ayat 1 dan proses pemeriksaan selanjutnya sebagai
berikut :
a. Setelah Tergugat atau BPN menerima surat gugatan Penggugat, Tergugat dapat
menanggapinya dengan memberikan jawaban kepada penggugat, Pasal 74 dan
kemudian Penggugat diberi kesempatan untuk memberikan replik, Pasal 75
ayat 1. Selanjutnya Tergugat dapat memberikan duplik kepada Penggugat,
Pasal 75 ayat 2.
b. Setelah para pihak menyampaikan tanggapan berupa jawaban, replik dan
duplik, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan alat bukti berupa surat
atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim, pasal 100. Kemudian para pihak diberi kesempatan untuk
memberikan pendapat akhir berupa kesimpulan, Pasal 97 ayat 1 dan
selanjutnya majelis hakim memberikan putusannya, Pasal 97 ayat 6.
c. Dalam hal putusan pengadilan mengabulkan gugatan Penggugat berupa
pembatalan atau pencabutan keputusan pemberian hak atas tanah, Tergugat
dapat mengajukan upaya hukum banding sesuai Pasal 122 sampai Pasal 130
dan dalam hal putusan pengadilan dikuatkan oleh pengadilan Tinggi, maka
Tergugat dapat mengajukan upaya hukum kasasi sesuai Pasal 131 dan Pasal 35
ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung.
33A.Sudjadi, Mengenai Peradilan tata Usaha Negara Dalam Negara Hukum
Republik Indonesia, Varia Peradilan, Penerbitan VI No. 62, Nopember 1990, h. 102. 34Indroharto, Usaha memahami ….. Op. Cit., H. 86.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxix
Dalam hal putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan tinggi,
maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
d. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum telah dapat
dilaksanakan sesuai pasal 115. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, yaitu putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah
tidak dapat dilawan atau dimuntakan pemeriksaan banding, putusan pengadilan tinggi yang tidak dimintakan pemeriksaan kasasi lagi, dan putusan Mahkamah
Agung dalam tingkat kasasi. Pelaksanaan putusan pengadilan ditentukan sesuai
Pasal 116 yang bila dikaitkan dengan kajian karya ilmiah ini dapat dirinci
sebagai berikut :
1). Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dikirimkan kepada para pihak selambat-lambatnya dalam waktu empat
belas hari;
2). Dalam hal empat bulan setelah putusan diterima Tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai Pasal 97 ayat 9 huruf a, maka
keputusan Tergugat yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan
hukum tetap;
3). Dalam hal tiga bulan setelah putusan diterima Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sesuai Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c, maka Penggugat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar Tergugat
diperintahkan untuk melaksanakan putusan;
4). Dalam hal Tergugat tetap tidak melaksanakan putusan, ketua pengadilan
mengajukan hal ini kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Propensi sebagai
instansi atasan harus sudah memerintahkan tergugat untuk melaksanakan
putusan pengadilan. Selanjutnya secara berjenjang ketua pengadilan
mengajukan hal ini kepada BPN dan terakhir kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan tersebut.
Mengkaji pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai perintah Pasal 116 tersebut, Paupuls Effendie Lotulung menulis
bahwa sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang dianut PTUN, yaitu :
a. eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban, yaitu kewajiban
berupa pencabutan keputusan TUN atau beschikking yang bersangkutan sesuai
Pasal 97 ayat 9 huruf a. Terhadap eksekusi jenis ini ditetapkan Pasal 116 ayat
2, yaitu empat bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap
dikirimkan Tergugat tidak melaksanakan, maka keputusan tergugat tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, dengan demikian tidak diperlukan lagi
ada tindakan-tindakan ataupun upaya lain dari pengadilan, misalnya memberi
surat peringatan, sebab keputusan TUN tersebut dengan sendirinya akan hilang
kekuatannya hukumnya. Cara eksekusi ini disebut eksekusi otomatis;
b. eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban, yaitu kewajiban berupa pencabutan keputusan TUN atau beschikking yang baru sesuai Pasal 97
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxx
ayat 9 huruf b dan c. Terhadap eksekusi jenis ini diterapkan Pasal 116 ayat 3
sampai ayat 6 yaitu ketua pengadilan memberi surat perintah kepada Tergugat
dan seterusnya secara berjenjang. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan
eksekusi hierarkis.35
Lebih lanjut Paulus menulis bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN
menekankan pada rasa self respecct dan berdasarkan hukum dari pejabat PTUN untuk melaksanakan dengan sukarela tanpa adanya upaya hukum pemaksaan atau dwang
middelen yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap
pejabat PTUN yang bersangkutan36. Penerapan eksekusi dengan bersandar pada Pasal
116 dan hanya menunggu kesadaran hukum pejabat PTUN tentunya akan sangat
merugikan Penggugat sebagai pencari keadilan, padahal pejabat TUN sebagai pegawai
negeri sipil merupakan unsur aparatus Negara, Abdi negara dan Abdi Masyarakat yang
wajib mentaati semua peraturan perundang-undangan, termasuk putusan pengadilan,
sesuai PP No. 30 Tahun 1980, tetang Peraturan Disiplin Pegawai negeri Sipil. Terhadap
Pelaksanaan putusan pengadilan yang secara normatif berpedoman pada Pasal 16 itu,
Paulus memberikan kajian beberapa pemikiran sebagai berikut :
Pertama,
Pada eksekusi otomatis, bagaimana akibat hukumnya bagi pihak ketiga yang tidak ikut berperkara bilamana keputusan tata usaha negara atau sertifikat yang bersangkutan demi
hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, sedangkan dalam hukum tata usaha
negara atau hukum administrasi negara putusan pengadilan mengandung sifat erga
omnes, artinya berlaku untuk siapa saja, siapapun harus terikat dengan putusan
pengadilan, baik pihak yang berperkara maupun diluar itu. Bisa saja terjadi sertifikat
tanah ketika dalam proses sebelumnya telah berada pada pihak ketiga atau pada suatu
bank sebagai agunan kredit. Dalam hal ini pihak bank atau pihak ketiga yang beritikad
baik akan sangat dirugikan, sedangkan ia tidak menjadi pihak daklam suatu sengketa,
sehingga darimana ia mengetahui adanya keputusan TUN yang bersangkutan sudah
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.36
Makna asas erga omnes menurut Philipus M.Hadjon yaitu putusan berlaku bagi semua orang dan bukan mengikat para pihak yang bersengketa saja, hal ini merupakan
pengejawantahan esensi peradilan administrasi yang pada dasarnya menegakkan hukum
publik.37
35Paulis Effendi Lotulung, Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha negara
Dan Problematiknya Dalam Praktik, dalam Machrup Elrick (Editor), Kapita Selekta
Hukum, Mengenang Almarhum Prof. Oemar Seno Adji, S.H., h. 268-269. 36Paulus Effendie Lotulung, Ibid., h. 268. 36Paulus Effendie Lotulung, Ibid., h. 270. 37Siparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi,
Airlangga University Press, Cetakan Pertama, Surabaya, 1997, h. 75.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxi
Kedua,
Pada eksekusi hierarkis, bagaimana bila semua jalur instansi atasan sampai presiden
ternyata tetap tidak melaksanakan putusan pengadilan, apakah kontrol lain dalam
bentuk political control dari DPR dan social control dari masyarakat ataupun mass
media control masih dapat diandalkan.38
Melihat sistem eksekusi dengan menerapkan Pasal 116 UU PTUN ternyata mengandung kelemahan tanpa adanya upaya pemaksaan dalam melaksanakan putusan
pengadilan itu Zairin Harahap menulis bahwa ketentuan ini dapat saja sekaligus
merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan sekedar memuat perintah dan
larangan. Dibalik larangan terutama harus ada ketentuan sanksi atas
ketidakpatuhan.39Kepatuhan hukum oleh siapa saja, baik pejabat umum maupun
masyarakat merupakan suatu hal yang menjadi tolok ukur bagi dilaksanakannya asas
supremasi hukum dalam negara hukum dan semua warga negara seyogyanya merasa
dirinya terikat dan concern dengan asas tersebut.
Sedangkan sengketa pembatalan pemberian hak atas tanah di Badan
Pertanahan Nasional, dalam hal ini definisi sengketa pertanahan menurut BPN yaitu
perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas
tanah.Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya antara pihak-pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan
hukum dengan bidang tanah tertentu, Pasal 1 Angka 1 dan 2 Permeneg. Agraria/kepala
BPN No. 1 Tahun 1999, tentang Tata cara Penanganan sengketa Pertanahan. Untuk
penanganan sengketa tersebut dilakukan oleh unit kerja prosedural yang
keanggotaannya berasal dari unit kerja struktural di lingkungan kantor Menteri Negara
Agraria/BPN, Pasal 2 . Dari definisi tersebut terlihat bahwa penyelesaian sengketa
pertanahan dilakukan oleh BPN di luar lembaga peradilan dan sebelum ada lembaga
BPN menurut Rusmadi Murad penanganan sengketa pertanahan dilakukan oleh team
yang merupakan sekumpulan aparat fungsional antar departemen maupun aparat
fungsional antar komponen departemen dalam negeri atau aparat teknis yang merupakan
kelompok kerja lapangan antar sub-sub komponen direktorat jenderal agraria.40 Tujuan dibentuknya team ini menurut Murad yaitu untuk mencapai sasaran penyelesaian secara
koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simultan dengan maksud agar hasil
penyelesaiannya dapat dilaksanakan secara baik, terpadu dan konsisten.41
Penyelesaian sengketanya menurut Permeneg. Agraria/kepala BPN No. 1
Tahun 1999 dan No. 9 Tahun 1999 dapat ditangani oleh Kantor Menteri Negara
Agraria/BPN, Kanwil BPN Propensi atau Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten.
38Paulus Effendie lotulung, Op. Cit., h. 270. 39Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, P.T. Raja
Grafindo Persada, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Jakarta, h. 153. 40Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,
Cetakan Ke-1, Bandung, 1991, h. 39. 41Rusmadi Murad, Ibid, h. 39.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxii
Pelaksanaannya dilakukan karena adanya permohonan, tanpa adanya permohonan dan
karena untuk melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap. Proses penyelesaiannya dilaksanakan sebagai berikut :
1. Proses pembatalan karena permohonan
a. permohonan diajukan oleh pemohon kepada menteri melalui kantor pertanahan
dengan disertai alasan-alasannya, Pasal 108 dan pasal 110; b. kantor pertanahan meneliti kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan
serta memeriksa kelayakan permohonan sebelum diproses lebih lanjut, Pasal 112
ayat 1;
c. dalam hal keputusan pembatalan hak dilimpahkan kepada kepala kantor wilayah,
kepala kantor pertanahan menyampaikan berkas permohonan kepada kepala
kantor wilayah disertai pendapat dan pertimbangannya, Pasal 112 ayat 2. Dalam
hal keputusan pembatalan hak tidak dilimpahkan, kepala kantor pertanahan
menyampaikan berkas permohonan kepada menteri, Pasal 114;
d. setelah mengadakan penelitian berkas yang diterima, menteri atau kepala kantor
Wilayah memperhatikan pendapat dan pertimbangan kepala kantor Pertanahan,
kemudia ia menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau
menerbitkan keputusan penolakan disertai alasan penolaknnya, Pasal 115. Keputusan tersebut disampaikan kepada pemohon melaluio surat tercatat atau
dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang
berhak, Pasal 118.
2. Proses pembatalan tanpa permohonan.
a. pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang
dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses
penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya
permohonan. Kepala kantor Pertanahan mengadakan penelitian data yuridis dan
data fisik terhadap keputusan pemberian dan/atau sertifikat yang diketahui cacad
hukum administratif dalam penerbitannya. Selanjutnya hasil penelitian itu
disampaikan kepada kepala Kantor Wilayah atau kepada Menteri untuk diusulkan pembatalannya disertai pendapat dan pertimbangannya, Pasal 119 dan Pasal 120;
b. setelah berkas diterima dan memeriksa pendapat serta pertimbangan Kepala
Kantor pertanahan, menteri atau Kepala kantor Wilayah memutuskan dapat atau
tidaknya diterbitkan keputusan pembatalannya atau keputusan penolakan disertai
alasan penolakannya dan keputusan tersebut disampaikan kepada yang berhak,
Pasal 121 dan Pasal 123.
3. Proses pembatalan karena melaksanakan putusan pengadilan
a. keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang
berkepentingan. Permohonan ini dapat diajukan langsung kepada Menteri atau
kepala kantor Wilayah atau melalui Kantor Pertanahan, pasal 124 dan Pasal 125;
b. permohonan diajukan pemohon dengan dilengkapi keterangan pemohon, keterangan mengenai tanahnya dan harus dilampiri fotocopy surat
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxiii
keputusan/sertifikat, putusan pengadilan dan berita acara eksekusi apabila
perkara perdata atau pidana, Pasal 126;
c. setelah menerima berkas permohonan, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah
meneliti kebenaran data yuridis dan data fisik, kemudian memeriksa kelayakan
permohonan tersebut dapat atau tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan,
Pasal 129 ayat 1 dan ayat2; d. Menteri atau Kepala kantor Wilayah memutuskan permohonan tersebut dengan
menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau
memberitahukan bahwa amar putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan
disertai alasan dan pertimbangannya, Pasal 129 ayat3;
e. dalam hal menteri atau Kepala kantor Wilayah berpendapat tidak dapat
melaksanakan amar putusan pengadilan, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah
dapat mohon fatwa Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar putusan
pengadilan tersebut, Pasal 129 ayat 4.
C. Konsekuensi Yuridis Pembatalan Keputusan Pemberian hak Atas Tanah
Dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara dan Di Badan Pertanahan Nasional
Disamping amar putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap
belum tentu dilaksanakan BPN yang telah disebutkan di atas, proses penyelesaian
pembatalan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah dimuka PTUN
mempunyai akibat hukum sebagai berikut :
1. putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut masih dapat
digugat oleh pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itu di lembaga peradilan
umum atau pengadilan negeri dan pihak ketiga yang dimaksudkan yaitu orang atau
badan hukum perdata yang memegang surat keputusan pemberian hak atas tanah.
Bila gugatan pihak ketiga diajukan dimuka PTUN dapat dipastikan gugatannya
tidak akan diterima dengan berpedoman pada rapat permusyawaratan atau
raadkamer sesuai Pasal 62, karena gugatannya bukan termasuk wewenang PTUN. Putusan PTUN yang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah menurut
pasal 2 huruf e tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN. Dasar gugatan
pihak ketiga itu dengan argumentasi sebagai berikut :
a. selama proses sengketa berlangsung antara Penggugat dengan Tergugat atau
BPN, pihak ketiga tersebut tidak pernah ikut serta atau diikutkan dalam proses
sengketa;
b. pihak ketiga yang dirugikan selain mengajukan gugatan dimuka lembaga
peradilan umum, ia dapat mengajukan juga gugatan perlawanan terhadap
pelaksanaan putusan PTUN tersebut. Pasal 118 yang pada pokoknya
menentukan bahwa pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau
diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa, sedangkan ia dirugikan
terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxiv
tetap itu, maka ia dapat mengajukan gugatan perlawanan kepada PTUN yang
mengadili sengketa tersebut;
2. selama proses pembatalan, hak atas tanah tersebut tidak dapat dialihkan kepada
pihak lain dan dijaminkan kepada pihak bank atau kreditur lainnya.
Atas dasar kajian tersebut terlihat bahwa putusan PTUN yang memperoleh
kekuatan hukum tetap masih dapat dipermasalahkan oleh pihak ketiga yang kepentingannya dirugikan dengan cara melalui upaya gugatan perlawanan di PTUN dan
lembaga peradilan umum. Peradilan umum menurut Bernadus Sukismo pada
hakekatnya berwenang menampung dan menyelesaikan segala persengketaan hukum,
baik yang nyata-nyata merupakan kewenangannya maupun sengketa-sengketa hukum
lainnya yang bukan merupakan kompetensi lingkungan peradilan lainnya 42, dengan
demikian semua sengketa hukum yang bukan merupakan wewenang lembaga peradilan
lainnya dapat diajukan di lembaga peradilamn umum.
Tidak ikut sertanya pihak ketiga selama proses sengketa, meskipun Pasal 83
memberikan peluang baginya merupakan konsekuensi penerapan asas erga omnes
dalam PTUN yang disebutkan diatas, yaitu putusan PTUN berlaku bagi siapapun dan
bukan hanya mengikat para pihak yang bersengketa saja. Berbeda dengan putusan
hakim perdata yang pada hakekatnya hanya mempunyai kekuatan mengikat para pihak yang bersengketa dan menurut Suparno Wijoyo dalam diktum putusan hakim perdata
sering berbunyi : agar pihak-pihak tertentu, baik yang diikutsertakan pada salah satu
pihak maupun yang tidak diikutsertakan, tunduk dan mentaati putusan pengadilan.43
Demikian juga Indroharto membedakan kedua putusan itu dengan menegaskan bahwa
kalau pada putusan pengadilan perkara perdata pada prinsipnya hanya mempunyai
kekuatan hukum mengikat antara para pihak yang bersengketa, maka putusan PTUN
mempunyai daya kerja seperti suatu keputusan hukum publik, yang bersifat umum yang
berlaku terhadap siapapun.44Terhadap gugatan pihak ketiga pada PTUN dan peradilan
umum tersebut atas putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap jelas
bertentangan dengan asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan. Pasal 4 ayat 2 UU KPKK beserta penjelasannya menegaskan bahwa peradilan harus memenuhi harapan pencari keadilan dan tidak diperlukan pemeriksaan serta acara
yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan
harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan, sehingga biayanya tidak dapat
dipikul oleh rakyat. Upaya hukum tetap membuktikan semakin tidak adanya kepastian
hukum bagi penyelesaian sengketa pertanahan, padahal perkara yang masih menumpuk
42Bernadus Sukismo, Peradilan Pajak …..Op. Cit., h. 427. 43Suparto Wijoyo, Karakteristik …..Op. Cit., h. 75. 44Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku II, Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Edisi Baru, jakarta, 1994, h. 29.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxv
di Mahkamah Agung sampai tanggal 30 Juni 2003 berjumlah 16.581 perkara sesuai
penjelasan Bagir Mannan dalam sidang tahunan MPR masa persidangan tahun 2003.45
Konsekuensi hukum atas putusan PTUN yang membatalkan keputusan
pemberian hak atas tanah agaknya tidak berbeda dengan konsekuensi hukum atas
keputusan BPN. Penerbitan keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah olewh
BPN masih dapat diajukan gugatan oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan haknya atas keputusan tersebut, oleh karena keputusan BPN itu termasuk keputusan Tata Usaha
negara yang dalam rumusan Pasal 1 ayat 3 UU PTUN disebutkan :
Keputusan Tata Usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dengan ketentuan pengajuan gugatan tenggang waktunya tidak lebih dari sembilan
puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusannya BPN
sesuai Pasal 55, namun bila tenggang waktu tersebut dilewati gugatan dapat diajukan
melalui Peradilan Umum.
Perbedaannya terletak pada penerapam Pasal 129 ayat 3 dan 4 yang merupakan wewenang BPN untuk tidak melaksanakan amar putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Perbedaan lainnya selama proses permohonan pembatalan
melalui BPN, pihak yang memegang keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat
masih dapat mengalihkan hak atas tanhanya kepada pihak lain dan menjaminkan
tanahnya kepada pihak bank atau kreditur lainnya.
Konsekuensi hukum ini sebagai akibat pembatalan keputusan pemberian hak
atas tanah oleh dua lembaga negara yang berbeda. Disatu sisi pembatalan keputusan
pemberian hak atas tanah dapat diajukan gugatan dimuka peradilan dan disisi lain
pembatalannya dapat melalui lembaga eksekutif, yaitu BPN, padahal corak sengketa
pertanahan itu bervariasi. Litbang harian kompas mencatat tipologi sengketa tanah dapat
berupa : (a). sengketa perkebunan, (b). sengketa kawasan hutan, (c). sengketa kawasan perumahan, (d). sengketa obyek landreform, (e). sengketa hak dan batas, dan (f).
sengketa putusan pengadilan.46
ANTINOMI NORMA HUKUM PEMBATALAN PEMBERIAN HAK ATAS
TANAH
A. Antinomi Norma Hukum Dalam Penerapan Hukum Pembatalan Pemberian
Hak Atas tanah
45Bagir mannan, Varia Peradilan, Ukahi, Majalah Hukum Tahun XVIII, No.
216, Jakarta, 2003, h. 3. 46Kompas, Minggu, 28 September 2003, h. 36.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxvi
Langkah penerapan hukum yang diawali dengan identifikasi aturan hukum
dalam bidang pertanahan seringkali dijumpai adanya antinomi atau konflik norma
hukum.47 Konflik norma hukum yang dalam filsafat hukum disebut antinomi ini
dijumpai pula dalam hal dua institusi melakukan kewenangan yang tumpang tindih.
Terjadi dalam hal BPN menjalankan kewenangan yang merupakan kewenangan Badan
Peradilan pada pembatalan pemberian hak atas tanah. Adanya antinomi dapat diilustrasikan dalam penerapannya sebagai berikut :
1. BPN atas permohonan pihak ketiga membatalkan keputusan pemberian hak atas
tanah yang sudah diberikan kepada pihak lain. Alasan pembatalan yang diajukan
bahwa surat keputusan pemberian haknya mengandung salah satu kreteria cacat
hukum administratif dalam penerbitannya, yaitu adanya kesalahan subyek haknya;
2. Berdasarkan kewenangannya BPN setelah melakukan penelitian membatalkan
keputusan pemberian hak atas tanah milik pihak lain itu dan kemudia tanah yang
dibatalkan tersebut oleh BPN diberikan kepada pihak ketiga atau pemohon;
3. Pihak lain yang merasa dirugikan atau keputusan pembatalan itu kemudian
mengajukan gugatan terhadap BPN dimuka PTUN, sedangkan pemohon yang
memperoleh pemberian hak dari BPN dalam proses persidangan itu dapat ikut serta
atau diikutsertakan sebagai pihak, atau mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap bila
putusan PTUN merugikan kepentingannya.
Dari ilustrasi di atas terlihat adanya antinomi antara norma hukum yang satu
dengan norma hukum yang lainnya, sehingga dapat menjadi sengketa yang
berkepanjangan di lembaga peradilan. Sengketa yang berkepanjangan ini dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. pembatalan pemberian hak atas tanah oelh BPN terhadap pihak lain atas
permohonan pihak ketiga yang kemudian diikuti dengan pemberian hak kepada
pemohon tersebut dapat menjadi sengketa di PTUN;
2. pihak lain yang dibatalkan hak atas tanahnya itu dapat mengajukan gugatan
terhadap BPN dan PTUN, sedangkan pemohon yang diberi hak oleh BPN dapat ikut serta atau diikutsertakan dalam proses persidangan tersebut dan
pemohon ini disebut tergugat II intervensi48; dan
3. jika semua proses persidangan pemohon tidak ikut serta atau diikutsertakan,
maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN yang
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
Mencermati kajian tersebut secara hukum apabila BPN diberi wewenang
membatalkan pemberian hak atas tanah akan terjadi tumpang tindih kewenangan untuk
47Philipus M.Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam
Majalah Yuridhika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No. 6 Tahun IX,
November-Desember 1994, h. 4. 48Lihat Pasal 83 ayat 2 UU PTUN berikut Penjelasannya.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxvii
menyelesaikan sengketa pertanahan. Antinomi norma hukum tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
Pertama,
Pengadilan sesuai Pasal 97 ayat 9 UU PTUN memiliki kewenangan untuk membatalkan
keputusan pemberian hak atas tanah dan sekaligus memberikan kewenangan
menetapkan kewajiban yang harus dilakukan BPN untuk menerbitkan keputusan yang barus berupa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga;
Kedua,
BPN sesuai Pasal 106 Permeneg Agraria/Kepala BPN tersebut berwenang untuk
membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah, baik atas permohonan maupun atas
inisiatif BPN sendiri dan sesuai Pasal 129 BPN berwenang untuk tidak melaksanakan
amar putusan pengadilan disertai dengan pertimbangannya kemudia meminta fatwa
Mahkamah Agung.
Apabila dikaji dari sudut pandang Hans Kelsen, antinomi kedua norma hukum
itu sebagai suatu pertentangan norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi
dan dalam ilmu hukum dogmatik disebut sinkronisasi vertikal. Hans Kelsen menyatakan
tentang sifat dinamis dari hukum yaitu :
Karakter pilihan dari norma yang lebih tinggi menentukan norma yang lebih rendah untuk mencegah pertentangan nyata antara norma yang hierarkhinya
lebih tinggi dengan norma yang hierarkhinya lebih rendah. Pertentangan antara
norma yang lebih rendah dengan ketentuan pertama dari dua pilihan yang
diberikan oleh norma yang lebih tinggi hanya relevan jika menetapkan
keberadaan hukum dari pertentangan semacam ini dengan jalan membatalkan
norma yang lebih rendah. Sebaliknya suatu pertentangan antara dua norma dari
tata hukum yang berbeda tidak dapat terjadi. Kesatuan tata hukum tidak pernah
dapat terancam oleh suatu pertentangan antara norma yang hierarkhinya lebih
rendah.49
Lebih lanjut tentang tata urutan itu Hans Kelsen melihat juga dari segi pembentukannya, ia menegaskan pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan
oleh norma yang lebih tinggi dan seterusnya.50 Ajaran tata urutan pertingkatan peraturan
perundang-undangan ini atau stufenbau des recht oleh Bagir mannan diberikan makna,
yaitu :
a. peraturan yang lebih rendah harus mempunyai sumber atau dasar pada peraturan
yang lebih tinggi;
b. peraturan perundang-undangan merupakan sebuah tertib hukum atau legal order;
dan
49Hans Kelsen, General Theory of Law And State, By Russell & Russell, New
York, 1961, h. 161-162. 50Hans Kelsen, Ibid., h. 124.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxviii
c. peraturan perundang-undangan untuk menjamin tata urutan itu dalam suatu
sistem yang tertib.51
Mencermati pandangan Hans Kelsen itu dapat disimpulkan bahwa norma yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi dan bila norma
yang lebih rendah bertentangan dengan norma yang lebih tinggi, maka norma yang
lebih rendah itu batal demi hukum. Hal ini merupakan asas lex superior derogat legi inferiori 52. Bertitik tolak dari teori tersebut dan berkaitan dengan kajian ini, lembaga
PTUN yang dibentuk berdasarkan Undang-undang dapat membatalkan keputusan
pemberian hak atas tanah yang dibuat BPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden, namun jika dikaji dari tata hukum yang berbeda, pembatalan keputusan
pemberian hak atas tanah dari dua lembaga tersebut tidak dapat terjadi sesuai teori Hans
Kelsen di atas.
Antinomi norma hukum dalam pembatalan pemberian hak atas tanah seperti
disebutkan di atas tidak dapat dihindari, mengingat kedua lembaga masing-masing
memiliki wewenang yang sama, yakni sama-sama memiliki wewenang untuk
membatalkan keputusan pemberian hak hak atas tanah, oleh karena itu dalam penulisan
ini akan dijelaskan tentang sumber hukumnya dengan menekankan pada aspek yang
hakiki atau mendasar serta mengkaji berbagai pandangan para ahli. Pandangan-pandangan para ahli, baik ahli hukum maupun filsafat seringkali terdapat perbedaan-
perbedaan, namun ahli hukum maupun filsaat seringkali terdapat satu dengan yang
lainnya. Perbedaan-perbedaan pikiran mereka ternyata saling isi mengisi atau saling
melengkapi wacana berfikir. Begitu pentingnya makna nilai bagi kehidupan manusia,
Louis O. Kattsoff menulis macam-macam nilai sebagai berikut :
a. mengandung nilai, artinya berguna;
b. merupakan nilai, artinya, baik atau benar atau indah;
c. mempunyai nilai, artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang
dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai
tertentu; dan
d. memberi nilai, artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
Lebih lanjut kemudian ia membedakan nilai dalam dua macam, yaitu nilai instrinsik dan
nilai insterumental. Nilai insrinsik yaitu nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah
bernilai, sedangkan nilai instrumental yaitu nilai dari sesuatu karena dapat dipakai
sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuatu.
Adanya pernyataan “berbuatlah yang baik, hindarilah yang jahat” merupakan
ungkapan yang menunjukkan keputusan pikirang yang bernilai positif dan negarif yang
51Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang Peraturan Pengganti
Undang-undang (Perpu), Universitas Muhammadiyah, Malang, 2002, h. 23. 52Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu pengantar, Liberty, Edisi
Keempat, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 1999, h. 85.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxix
oleh Theo Huijbers disebut bonum est faciendum, malum est vitandum53dan pernyataan
itu dalam ajaran Thomas Aquinas merupakan karakteristik manusia sebagai persona
diwujudkan dalam aturan pertama hukum kodrat, dengan kata lin hukum kodrat pada
dasarnya yaitu manifestasi nilai-nilai dasar kemanusiaan yang tercermin dalam aktivitas
refleksi akal budi.54
Antinomi norma hukum penerapan pembatalan pemberian hak atas tanah dikaji dari nilai instrumental terlihat ada dua institusi yang berwenang membatalkan, yaitu
Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN dan Badan Pertanahan Nasional atau BPN.
Dikaji dari sumber hukumnya, pembatalan pemberian hak atas tanah yang dilakukan
PTUN berasal dari Undang-undang, sedangkan pembatalan oleh BPN yang dibentuk
dengan keputusan presiden berasal dari peraturan memnteri seperti yang disebutkan
pada II diatas. Dikaji dari segi kelembagaan, lembaga PTUN yang berpuncak pada
Mahkamah Agung merupakan pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi yang
kedudukannya sama dengan Presiden yang membentuk BPN yang merupakan lembaga
non depertemen yang bertanggungjawab langsung kepadanya. Kedua-duanya sama
sebagai lembaga tinggi negara. Uraian norma hukum untuk memperjelas adanya
antinomi dalam pembatalan pemberian hak atas tanah dapat ditemukan sebagai berikut :
Pertama, 1). Pada lembaga PTUN,
Dalam Pasal 47 disebutkan pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha negara dan dalam Pasal 53 ayat
1 UU PTUN pada pokoknya disebutkan bahwa seseorang atau badan hukum
perdata yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan dengan tuntutan agar keputusan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah.
Dengan demikian oleh karena surat keputusan pemberian hak atas tanah oleh BPN
itu merupakan keputusan tata usaha negara, maka gugatan itu dapat diajukan
dimuka lembaga PTUN;
2). Pada lembaga BPN, Dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 3, Pasal 108 dan Pasal 119 Permeneg
Agraria/Kepala BPN di atas yang pada pokoknya disebutkan pembatalan keputusan
pemberian hak atas tanah atau sertifikatnya dilakukan oleh menteri yang
wewenangnya dapat dilimpahkan kepada kepala kantor wilayah propensi atau
kepala kantor pertanahan kota/kabupaten dan pembatalannya itu atas permohonan
atau tanpa permohonan. Dengan demikian terlihat bahwa pembatalan keputusan
pemberian hak atas tanah atau sertifikatnya dapat dilakukan oleh BPN tanpa
melalui proses dimuka lembaga peradilan. Dalam hal BPN menerima permohonan
53Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Cetakan
ke 15, Yogyalarta, 1982, h. 252. 54E. Sumaryono, Etika & Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas, Kanisius, Cetakan ke-5, Yogyakarta, 2002, h. 250.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxx
untuk melaksanakan amar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap, BPN setelah meneliti putusan tersebut, ia dapat memberikan keputusan
berupa pembatalan atau penolakan permohonan tersebut;
Kedua,
1). Alasan hukum pembatalan oleh PTUN,
Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah oleh PTUN didasari alasan-alasan sesuai Pasal 53 ayat 2 dan penjelasannya yang pada pokoknya disebutkan :
a. keputusan BPN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, baik bersifat prosedur formal dan bersifat materiel substansial;
b. keputusan BPN dikeluarkan atas dasar enyalahgunaan wewenang atau de
tounement de pouvoir, dan
c. keputusan BPN dikeluarkan atas dasar perbuatan sewenang-wenang atau
wullekeur.
2. alasan hukum pembatalan oleh BPN,
Sesuai Pasal 107 keputusan pemberian hak atas tanah dapat dibatalkan bila
keputusan itu mengandung cacat hukum administratif dalam penerbitannya yang
meliputi :
a. adanya kesalahan prosedur; b. kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. kesalahan subyek hak;
d. kesalahan obyek hak;
e. kesalahan jenis hak;
f. kesalahan perhitungan luas;
g. terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
h. data yuridis atau data fisik tidak benar da
i. kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.
Ketiga,
1). Proses pembatalan dimuka PTUN,
Bahwa permohonan gugatan didaftarkan ke panitera PTUN yang kemudian dilakukan pemeriksaan dismissal yang dilanjutkan dengan pemeriksaan persiapan.
Kemudian dilanjutkan dengan permulaan sidang berupa jawaban BPN sebagai
tergugat atas surat gugatan seseorang atau badan hukum perdata sebagai penggugat,
tanggapan penggugat atas jawaban BPN yang disebut replik, tanggapan BPN atas
replik penggugat yang disebut duplik, proses pembuktian, kesimpulan selama
sidang dan selanjutnya putusan majelis hakim PTUN. Dari putusan tersebut para
pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat mengajukan upaya hukum berupa
banding ke pengadilan tinggi TUN dan kasasi ke Mahkamah Agung serta dapat
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung;
2). Proses pembatalan di BPN,
Bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan melalui kepala kantor Pertanahan
Kota/kabupaten, kepala kantor Wilayah BPN Propensi atau dapat langsung kepada Kepala BPN. Setelah permohonan diterima dilakukan penelitian kebenaran
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxi
permohonan dan kemudian menerbitkan keputusan pembatalan atau penolakan
permohonan tersebut. Proses pembatalan ini dapat dilakukan BPN sendiri tanpa ada
permohonan. Dalam hal BPN menerima permohonan untuk melaksanakan amar
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan ia menolak
permohonannya, maka BPN minta fatwa Mahkamah Agung.
Keempat, 1). Pelaksanaan putusan pembatalan oleh PTUN,
Salinan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang
membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah dikirimkan kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten dan bila tidak dilaksanakan secara benjenjang
akan dikirimkan kepada kepala Kantor Wilayah BPN Propensi, Kepala Badan
Pertanahan Nasional dan bila putusan masih tidak tetap tidak dilaksanakan, Ketua
Pengadilan mengirimkan surat kepada Presiden sebagai atasan langsung Kepala
BPN. Dengan demikian pelaksanaan putusan PTUN menunggu itikad baik pejabat
BPN yang oleh Paulus Effendie Lotulung disebut ai atas sebagai rasa self respect
dan kesadaran hukum pejabat PTUN untuk melaksanakan putusan, hal ini dapat
difahami mengingat PTUN menurut S.F. Marbun tidak memiliki lembaga
eksekutorial yang secara khusus berfungsi melaksanakan putusannya,55 dengan demikian putusan itu tidak dapat dieksekusi atau noneksekutabel56; dan
2). Pelaksanaan keputusan pembatalan oleh BPN,
Keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah dan sertfikat oleh Kepala BPN atau
Kepala Kantor Wilayah BPN Propensi langsung dapat dilaksanakan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten. Dalam hal surat keputusan pemberian hak atas
tanah atau sertifikat yang dibatalkan tidak diserahkan dan atau dikembalikan
kepada kantor Pertanahan, maka Kepala Pertanahan mencatat batalnya surat
keputusan dan sertifikat pada Buku Tanah dan daftar umum lainnya yang ada pada
administrasi pendaftaran tanah serta mengumumkan surat keputusan pembatalan itu
di surat kabar harian setempat.57
Dengan demikian pelaksanaan putusan pembatalan hak atas tanah pada PTUN menunggu itikad baik BPN, sedangkan pelaksanaan keputusan pembatalan
pemberian hak atas tanah pada BPN langsung dapat dilaksanakan tanpa menunggu
itikad baik yang dibatalkan.
Mengkaji uraian tersebut diatas dapat ditemukan empat perbedaan antinomi
norma hukum, yaitu :
55S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di
Indonesia, Liberty, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, 1997, h. 325. 56M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Gramedia, Jakarta, 1988, h. 309. 57Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3-v-2002, tanggal
17 Oktober 2002, Tentang Pembatalan Sertifikat.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxii
1). Wewenang PTUN berbeda dengan wewenang BPN untuk membatalkan keputusan
pemberian hak atas tanah dan atau sertifikat;
2). Alasan hukum PTUN dalam membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah
berbeda dengan alasan hukum BPN; dan
3). Proses pembatalan pemberian hak atas tanah pada PTUN berbeda dengan di BPN;
dan 4). Pelaksanaan putusan atau eksekusi PTUN yang mempunyai kekuatan hukum tetap
yang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah berbeda dengan
pelaksanaan keputusan pembatalam pemberian hak atas tanah oleh BPN.
Dilihat dari segi asas hukum, baik lembaga PTUN maupun lembaga BPN pada
prinsipnya memiliki asas yang sama, yaitu penyelesaian sengketa dilakukan dengan
cara yang sederhana. Secara umum PTUN mengikuti asas peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, sesuai Pasal 4 ayat 2 UU No. 35 tahun
1999, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara khusu
menerapkan asas hukum “pemeriksaan dengan secara singkat” serta “pemeriksaan
dengan acara cepat” sesuai Pasal 62 ayat 4 dan 98 UU PTUN. Demikian juga BPN
memiliki asas hukum “penyelesaian sengketa pertanahan dilakukan secara cepat
dan tuntas” sesuai konsideran huruf c Kepres No. 26 Tahun 1998, tentang BPN dan konsideran huruf b Permeneg. Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 1999, tentang
Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, oleh karena itu asas hukum pada
kedua lembaga tersebut tidak saling bertentangan, sedangkan dari segi norma
hukum keduanya saling bertentangan dalam wewenang pembatalannya.
B. Penyerasian Antinomi Norma Hukum Penerapan Pembatalan Pemberian hak
Atas tanah
Adanya antinomi norma hukum pembatalan pemberian hak atas tanah seperti
yang dijabarkan diatas karena sistem hukum PTUN dengan BPN berbeda. Perbedaan
pokoknya terletak pada kewenangan dan dasar atau alasan pembatalannya. PTUN
memiliki wewenang mengadili sengketa pertanahan yang kemudian dapat menyatakan batal atau tidak sah keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan
BPN dan BPN memiliki wewenang mebatalkan keputusan pemberian hak atas tanah
yang ia terbitkan sendiri oleh Ali Achmad Chomzah disebut penyelesaian secara
administrasi yang merupakan koreksi serta merta dari pejabat PTUN58, sedangkan
Maria S.W. Sumardjono mengemukakan sengketa pertanahan dalam berbagai dimensi
yang pada umumnya diselesaikan melalui keputusan administrasi.59
58Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003,
h. 29. 59Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Anatara Regulasi &
Implementasi, Buku Kompas, Jakarta, 2001, h. 48.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxiii
Demikian pula dasar atau alasan pembatalannya juga berbeda antara PTUN
dengan BPN. PTUN membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan
BPN itu dengan alasan, yaitu :
a. keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, atau
b. adanya penyalahgunaan wewenang, atau c. adanya perbuatan sewenang-wenang;
sedangkan BPN dalam membatalkan keputusannya sendiri berupa pemberian hak atas
tanah dengan alasan adanya cacat hukum administratif dalam penerbitannya seperti
disebutkan sebelumnya. Dasar pembatalan oleh PTUN dapat memandang argumentasi
hukum, apakah BPN yang mengadakan koreksi administratif terhadap produknya
sendiri berupa pembatalan pemberian hak atas tanah karena adanya cacat hukum
administratif itu dapat dikategorikan PTUN sebagai keputusan BPN yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau BPN menyalahgunakan
wewenangnya, atau BPN telah berbuat sewenang-wenang ?. Demikian pula dalam hal
BPN membatalkan pemberian hak atas tanah dengan alasan telah ditemukan adanya
cacat hukum administratif dalam keputusannya itu bukan termasuk sengketa pertanahan
yang merupakan wewenang PTUN ?. Perbedaan norma hukum dalam pembatalan hak atas tanah ini yang
mengakibatkan adanya antinomi, padahal suatu sistem hukum ini seharusnya
merupakan kesatuan utuh dari aturan-aturan yang saling berhubungan, sistem hukum
juga untuk menyelesaikan sengketa atau dispute settlement, dengan kata lain
menurutnya sistem hukum itu merupakan agen penyelesaian sengketa. Jadi pada
hakekatnya sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo merupakan suatu kesatuan
hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian yang di dalamnya setiap masalah
menemukan jawaban atau penyelesaiannya. Di Dalam sistem hukum tidak dikehendaki
adanya konflik dan jika terjadi konflik tidak akan dibiarkan,60 namun apakah PTUN
yang pembentukannya dari undang-undang dan BPN yang pembentukannya dari Kepres
itu merupakan suatu sistem hukum perlu dikaji lebih lanjut. Mengikuti pandangan sistem hukum yang dikemukakan di atas terlihat bahwa
baik wewenang PTUN maupun wewenang BPN untuk membatalkan pemberian hak atas
tanah masih belum memadai untuk disebut sebagai suatu sistem hukum, mengingat
pembatalan pemberian hak yang ia laksanakan masih belum dapat menyelesaikan
sengketa pertanahan dan bahkan dapat menimbulkan konsekuensi hukum berkelanjutan
yang pada gilirannya merugikan masyarakat pencari keadilan, oleh karena itu perlu
menyerasikan antinomi pada kedua norma hukum tersebut.
Guna memecahkan masalah antinomi norma hukum tersebut ada tiga pilihan
untuk mengatasinya yang oleh Dert Fredrik Malt disebut tiga pilihan penyelesaian
secara tradisional. Ia mengatakan ketiga aturan umum atau prinsip umum ia sebutkan
sebagai berikut :
60 Sudikno Mertokusumo, Mengenal …., Op. Cit., h. 116-119.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxiv
1. The lex posterior principle : lex posterior derogat legi priori, yaitu Undang-undang
yang kemudian mengalahkan yang terdahulu;
2. The lex posterior principle : lex specialis derogat legi generali, yaitu Undang-
undang khusus mengalahkan yang umum; dan
3. The lex posterior principle : lex superrior legi inferior, yaitu Undang-undang yang
lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.61 Pada prinsip lex posterior , antara PTUN dengan BPN tidak dapat diterapkan, oleh
karena baik PTUN maupun BPN dalam pembatalan pemberian hak atas tanah norma
hukumnya berbeda, artinya keduanya tidak dapat saling mengesampingkan dengan
menyatakan norma hukum yang satu ada setelah norma hukum lainnya. Pada prinsip lex
specialis , norma hukum PTUN secara umum bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, artinya tidak secara khusus
menangani sengketa pertanahan, sedangkan BPN norma hukumnya secara khusu untuk
membatalkan pemberian hak atas tanah. Dengan demikian norma hukum BPN yang
secara khusus membatalkan pemberian hak atas tanah dapat mengesampingkan norma
hukum PTUN yang bersifat umum berwenang menyelesaikan sengketa tata Usaha
negara. Demikian pula pada prinsip lex superior , keputusan BPN membatalkan
pemberian hak atas tanah, oleh karena BPN dibentuk oleh Kepres sedangkan PTUN dibentuk oleh Undang-undang yang susunan tata hukumnya lebih tinggi.
Penerapan salah satu dari tiga prinsip umum tersebut tidaklah mudah, dengan
argumentasi, siapakah yang berwenang menentukan pilihan ketiga prinsip umum itu
dalam pembatalan pemberian hak atas tanah ?, oleh karena itu kemudian Gert Frederik
Malt menyatakan penggunaan salah satu dari ketiga prinsip tersebut dapat menyesatkan
dan menimbulkan akibat-akibat hukum, karena memilih salah satu prinsip dari
ketiganya itu berarti meremehkan prinsip lainnya.62
Kajian antinomi penerapan norma hukum pembatalan pemberian hak atas
tanah ini menunjukkan bahwa tidak secara keseluruhan norma hukum yang ada pada
PTUN bertentangan dengan seluruh norma hukum pada BPN, demikian juga
sebaliknya. Dalam hal yang demikian itu Samsul Wahidin menyebutkan pertentangan aturan hukum ada dua, yaitu :
1. pertentangan secara keseluruhan dan
2. pertentangan pasal-pasalnya atau sebagaian.63
Sedangkan dalam kajian ini hanya sebagian saja norma hukum yang menjadi antinomi,
oleh karena itu remedy ini dapat digunakan untuk menyerasikan antinomi norma hukum
pembatalan pemberian haka atas tanah. Anotasi norma hukum yang dapat diserasikan
sebagai berikut :
61Gert Fredrik Malt, Coherence and Conflict in Law, Kluwer Law and Taxation
Publishers Deventer/Boston, Amsterdam, 1992, h. 203. 62Ibid, 63Samsul Wahidin, Hak Mengiji Materiil Menurut UUD 1945, Cendana Press,
Edisi Pertama. Cetakan Pertama, jakarta, 1984, h. 49.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxv
1. alasan atau dasar pembatalan yang digunakan BPN berupa cacat hukum
administrasi dapat diadopsi atau diambil alih PTUN dalam membatalkan
pemberian hak atas tanah. Dasar pembatalan adanya cacat hukum administratif
dalam pemberian hak atas tanah lebih terinci atau spesifik yang didefisinikan
BPN dibandingkan dengan dasar pembatalan yang digunakan yang sifatnya
umum, yaitu : keputusan BPN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Pasal 53;
2. BPN meneliti adanya keputusan pemberian hak atas tanah yang mengandung
cacat hukum administrasi, sedangkan proses penyelesaian pembatalan
keputusan di BPN yang bersifat tertutup itu diserahkan kepada hukum acara
PTUN yang merupakan lembaga peradilan sebagai penyelenggara kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan proses pemeriksaannya bersifat terbuka untuk
umum;
3. pelaksanaan putusan PTUN atau eksekusi pembatalan pemberian hak atas
tanah diserahkan kepada BPN untuk melaksanakannya. Pelaksanaan
pembatalan di BPN berupa pengumuman di harian umum lebih sederhana
dengan biaya iklan yang sudah pasti dibandingkan dengan pelaksanaan putusan
pembatalan di PTUN dengan biaya tidak pasti dan belum tentu dilaksanakan oleh BPN.
Penyerasian antinomi norma hukum tersebut diatas dengan remedy ini dapat
menjadi sistem hukum dalam pembatalan pemberian hak atas tanah. Seperti
dikemukakan sebelumnya bahwa sistem hukum ini merupakan kesatuan yang saling
berhubungan dan di dalam sistem hukum itu tidak dikehendaki adanya konflik.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebelumnya, maka dapat saya
tarik kesimpulan dengan rumusan sebagai berikut:
1. a. Pembatalan pemberian hak atas tanah milik orang atau badan hukum perdata
mengandung konsekuensi yuridis sebagai berikut : (a). selama proses sengketa hak atas tanahnya tidak dapat dijaminkan atau dipindah
tangankan kepada pihak lain;
(b). selama proses sengketa pihak lain yang merasa berkepentingan dapat
mengajukan intervensi;
(c). dalam hal putusan PTUN yang membatalkan pemberian hak atas tanah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak lain yang merasa dirugikan atas
putusan PTUN itu dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN
tersebut; dan
(d). putusan PTUN yang memperoleh kekuatan hukum tetap belum tentu
dilaksanakan BPN, oleh karena putusan PTUN tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxvi
b. pembatalan pemberian hak atas tanah melalui BPN :
(a). keputusan pembatalan pemberian hak atas tanah oleh BPN masih dapat
dipermasalahkan oleh pihak lain yang dirugikan melalui gugatan di PTUN;
(b). apabila keputusan pembatalan oleh BPN diketahui pihak lain yang dirugikan
lebih dari sembilan puluh hari, gugatan dapat diajukan dimuka lembaga
peradilan umum atau pengadilan negeri; dan (c). selama proses pembatalan, hak atas tanahnya masih dapat dijaminkan dan
dipindah tangankan kepada pihak lain.
2. Penerapan pembatalan pemberian hak atas tanah di dua lembaga, yaitu lembaga
PTUN dan lembaga BPN dapat menimbulkan antinomi dan antinomi norma hukum
tersebut mengakibatkan tidak adanya keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatannya bagi masyarakat pencari keadilan, sehingga bertentangan pula
dengan tujuan ideal UUPA antara lain untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan, keadilan dan kepastian hukum.
Guna menghindari terjadinya antinomi norma hukum pembatalan hak atas tanah,
penyelesaiannya melalui musyawarah melalui penyerasian, artinya norma hukum
PTUN diserasikan dengan notma hukum BPN. Penyerasiannya dengan
menggunakan konsep remedy atau pembetulan. Konsep ini tidak saling menyingkirkan norma hukum lainnya, namun saling melengkapi kelemahan
masing-masing norma hukumnya.
SARAN
Mencermati adanya antinomi norma hukum penerapan pembatalan pemberian
hak atas tanah dan penyelesaian alternatifnya dengan menggunakan remedy atau
pembetulan, penulis menyampaikan saran sebagai berikut :
1. Wewenang BPN yang semula meneliti adanya pemberian hak atas tanah atau
sertifikat yang cacat hukum administrasi dan selanjutnya melakukan proses untuk
menerbitkan keputusan pembatalan, hendaknya dibatasi hanya pada penelitian saja
yang menentukan cacat hukum administrasi, sedangkan proses pembatalannya menggunakan hukum acara PTUN.
Disamping itu Alasan atau dasar pembatalan pemberian hak atas tanah yang
dilakukan oleh PTUN dengan menggunakan Pasal 53 UU PTUN sebagai acuan
hendaknya dikesampingkan dan mengadopsi saja alasan atau dasar pembatalan
yang digunakan BPN yang mengacu pada cacat hukum administrasi. Anotasinya,
definisi cacat hukum administrasi yang digunakan BPN lebih spesifik dan sampai
sekarang sulit ditemukan sengketa pertanahan diluar definisi tersebut, dan
pelaksanaan putusan PTUN yang mempunyai kekuatan hukum tetap hendaknya
menghadapi pelaksanaan keputusan yang digunakan BPN, yaitu cukup dengan
mencatat dan mematikan buku tanahnya serta mengumumkannya pada harian
umum setempat. Anotasinya pelaksanaan keputusan pembatalan yang dilakukan
BPN lebih konkrit, yaitu memenuhi asas sederhana, cepat dan biaya ringan, dan biaya yang dikeluarkan lebih pasti, yaitu biaya iklan pengumuman saja.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxvii
2. Landasan hukum berpijak guna mewujudkan penyerasian antinomi tersebut
tentunya tidak cukup dengan adanya political will lembaga pemerintah dan
lembaga yudicial saja, namun lebih dari itu, yaitu harus ada kemauan hati dari
kedua lembaga tersebut dengan semangat sebagai Abdi Rakyat. Kemauan hati itu
dapat diwujudkan sebagai berikut :
a. merevisi atau membuat remedy Kepres No. 26 Tahun 1998, tentang BPN jo Kepres No. 154 Tahun 1999, tentang Perubahan Kepres No. 26 Tahun 1988,
tentang BPN;
b. merevisi atau membuat remedy Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun
1999, tentang Tata cara Penanganan Sengketa Pertanahan jo No. 3 Tahun
1999, tentang pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan
Keputusan Pemberian hak Atas tanah Negara jo. No. 9 Tahun 1999, tentang
Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan hak Atas tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxviii
AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Oleh:
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.*4
ABSTRAK
Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian hutang menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selama ini perjanjian
penanggungan merupakan jaminan perorangan maupun corporate
guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu diadakan antara
kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak
memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1820 KUHPerdata.
Kata Kunci : Akibat Hukum – Perjanjian Hutang – KUH Perdata.
LATAR BELAKANG
Sampai saat ini perjanjian hutang atau perjanjian kredit yang dibuat antara
bank dengan nasabah debitur telah dibuat dengan berlandaskan semata-mata hanya
kepada asas kebebasan berkontrak. Sebagaimana lazimnya pada setiap pembuatan
perjanjian yang semata-mata berlandaskan pada asas tersebut, maka juga pada perjanjian kredit, masing-masing pihak berusaha untuk merebut atau menciptakan
dominasi terhadap pihak lainnya, jadi yang saling berhadapan ialah antara dua lawan
janji bukan mitra janji.
Dalam hal perjanjian hutang biasanya kedudukan bank sebagai kreditur dan
nasabah sebagai debitur tidak pernah seimbang. Ada kalanya bank lebih kuat daripada
nasabah debitur dalam hal nasabah debitur termasuk pengusaha golongan ekonomi
lemah. Namun bila bank berhadapan dengan nasabah yang termasuk konglomerat, maka
kedudukan bank lemah. Yang lebih memprihatinkan lagi para konglomerat ini adalah
setelah memperolah bantuan hutang justru pemerintah memberi pengampunan kepada
*1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
Volume 11, No.1 Mei 2011 lxxxix
para konglomerat yang berhutang, yang sangat dirasakan berat oleh
masyarakat adalah bebasnya dari kewajiban pembayaran utang tersebut. Akibatnya,
pada hakikatnya utang puluhan triliun untuk setiap konglomerat itu paling banyak hanya
bisa tertagih 30%. Perbedaan sebesar 70% dari nilai utang merupakan kerugian negara
dan dibebankan kepada rakyat, melalui pembebanan pajak.5
Lain halnya pada golongan ekonomi lemah, maka posisinya selalu lemah, terlebih pada saat pengajuan perjanjian kredit, hal tersebut dirasa karena pada saat
pembuatan perjanjian itu calon nasabah debitur sangat membutuhkan bantuan kredit
dari bank. Dalam hal demikian itu pada umumnya calon nasabah debitur tidak akan
banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan
oleh bank. Hal itu menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat.
Sehingga perjanjian hutang atau kredit bank yang dilandaskan hanya pada asas
kebebasan berkontrak semata-mata isi atau klausul-klausulnya dapat sangat berat
sebelah, yaitu akan lebih banyak melindungi kepentingan pihak yang kuat.
Di dalam praktek perbankan yang lazim di Indonesia, pada umumnya
perjanjian kredit bank yang dipakai adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang
klausul-klausulnya telah disusun sedemikian rupa oleh bank, dengan demikian maka
calon nasabah sebagai calon debitur hanya mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi dari perjanjian itu atau tidak bersedia menerima klausul-klausulnya itu sebagian atau
seluruhnya yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut. Oleh karena
perjanjian-perjanjian kredit bank di Indonesia dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau
dibuat dengan klausul-klausul baku, maka ada kemungkinan dapat menimbulkan hal-hal
negatif dalam arti pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat dapat
memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat
keuntungan dari tindakannya tersebut, padahal dalam perjanjian telah ditegaskan
mengenai jaminan umum yang dimiliki oleh debitur, inipun masih dianggap kurang
kuat.
Dalam Pasal 1131 KUHPerdata dijelaskan bahwa segala kebendaan seorang,
baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.
Meskipun demikian, jaminan secara umum itu sering dirasakan kurang cukup dan
kurang aman oleh pihak kreditur, terlebih jika ada banyak kreditur, ada kemungkinan
beberapa orang dari mereka tidak lagi mendapat bagian. Dengan adanya kemungkinan
tersebut maka seringkali seorang kreditur minta diberikan jaminan khusus dan jaminan
khusus ini bisa berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fiduciair) dan bisa juga
5 Catatan Redaktur, Aspek Pajak R&B, Harian Bisnis Indonesia, Jakarta,
Senin, 2 Desember 2002, h. 5
Volume 11, No.1 Mei 2011 xc
berupa jaminan perorangan. Yang terakhir inilah yang dinamakan penanggungan hutang
atau sering disebut dengan “borgtocht atau quaranty”.6
Jadi penanggungan hutang merupakan suatu bentuk jaminan yang bersifat
pribadi dan dalam hal ini adanya akan menunjang setelah adanya jaminan kebendaan
tersebut, sehingga penanggungan ini bersifat tambahan saja. Sedangkan munculnya
kewajiban untuk memberikan penanggungan atau penjaminan pada umumnya kadang-kadang timbul dari dalam undang-undang atau dari dalam suatu keputusan atau
penetapan.7 Seperti diketahui dalam hukum perdata dikenal pembagian atas hak
kebendaan yang memberi kenikmatan dan memberi jaminan. Atas hak kebendaan yang
memberi jaminan pada dasarnya dapat ditujukan terhadap benda bergerak dan benda
tetap. Dengan demikian yang dimaksud dengan jaminan kebendaan adalah jaminan
yang objeknya adalah benda baik bergerak maupun tetap. Atas benda tetap lembaga
jaminan yang disediakan dalam KUHPerdata adalah hipotik, kemudian dengan lahirnya
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 disediakan lembaga jaminan khusus atas tanah
berupa hak tanggungan. Atas benda bergerak dalam KUHPerdata disediakan lembaga
jaminan berupa gadai, namun karena kebutuhan masyarakat diadakanlah lembaga
jaminan lembaga fidusia.
Dalam praktek perjanjian hutang terkadang, tidak hanya adanya jaminan umum tersebut oleh kreditur sebagai benda jaminan sebagai salah satu persetujuan perjanjian
hutang. Hal ini dimaklumi, sehubungan seringkali pihak kreditur harus mengalami
kekecewaan dan kerugian karena debiturnya bukanlah orang yang beritikad baik
sehingga dengan mudahnya memperalihkan objek jaminan yang ada dalam
kekuasaannya. Fakta tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian hukum khususnya
bagi kreditur pemegang jaminan kebendaan tersebut, sementara fungsi jaminan sendiri
sebenarnya adalah untuk memberikan kepastian hukum.
Menyadari fungsi dan peranan jaminan dalam perjanjian hutang sangat
menentukan maka, disamping jaminan umum yang bersifat kebendaan tersebut dalam
KUHPerdata, khususnya pasal 1820 memberikan tambahan berupa jaminan perorangan
atau yang sering disebut dengan penanggungan. Hal ini perlu terutama dalam mendukung kelangsungan dunia usaha, serta sejalan dengan keinginan untuk
menegakkan supremasi hukum, yaitu adanya kepastian hukum kreditur atas kembalinya
uang yang telah dihutangkan kepada debitur.
Atas dasar pemikiran tersebut, kemudian adanya ketentuan seseorang bebas
untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya, termasuk
didalamnya dalam perjanjian hutang, maka para pihak bebas pula untuk memilih pihak
mana yang layak sebagai kreditur begitu pula sebaliknya, pihak kreditur yang seringkali
memiliki posisi yang kuat, bebas pula untuk memilih pihak mana yang layak sebagai
6 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid II, Rajawali, Jakarta,
1984, h. 445 7 Ibid, h. 444
Volume 11, No.1 Mei 2011 xci
debiturnya, sehingga permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah sistem perjanjian hutang pada umumnya di Indonesia ?
b. Bagaimanakah bentuk dan sifat penanggungan dalam perjanjian hutang menurut
Kitab Unsdang-undang Hukum Perdata ?
PERJANJIAN HUTANG PADA UMUMNYA
A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya. Ketentuan dalam pasal ini dinilai kurang tepat, karena ada beberapa
kelemahan-kelemahan, diantaranya adalah, hanya menyangkut sepihak saja, dengan
kata “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, seharusnya rumusan
itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian
“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan, tindakan melawan
hukum, yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah
“persetujuan”,
Pengertian perjanjian terlalu luas, karena mencakup juga perjanjian kawin
yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku
III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan
bersifat kepribadian (personal). Tanpa menyebut tujuan, dalam rumusan diatas tidak
disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu
tidak jelas untuk apa.8
Berdasarkan alasan-alasan diatas, maka perjanjian sebenarnya dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
Sehingga apabila diperinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
a. ada pihak-pihak, paling sedikit dua orang, (subyek) b. ada persetujuan antara pihak-pihak itu ( konsensus)
8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,
2000, h. 224
Volume 11, No.1 Mei 2011 xcii
c. ada obyek yang berupa benda,
d. ada tujuan bersifat kebendaan,
e. ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.9
Kemudian untuk membentuk perbuatan hukum yang disebut perjanjian diatas,
dalam pasal 1320 KUHPerdata menentukan empat hal syarat yang harus dipenuhi, syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
b. kecakapan untuk membuat perjanjian,
c. suatu hal tertentu,
d. suatu sebab yang halal.10
Selanjutnya mengenai perikatan merupakan hubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari
pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak
menuntut sesuatu tadi dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.
Dari kedua pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perikatan
merupakan pengertian yang abstrak yaitu menyangkut hak dan kewajiban, sedangkan perjanjian merupakan pengertian yang konkrit yaitu perbuatan.11
Oleh karena itu, hubungan antara perjanjian dan perikatan dapat dibandingkan
dengan kejadian dan akibat adalah kejadian merupakan perjanjian sedangkan akibat
sebagai perikatan. Secara luas kejadian itu meliputi fakta hukum atau peristiwa hukum.
Peristiwa hukum ini terdiri dari :
a. Perbuatan hukum, yang terbagi menjadi :
1. Perbuatan hukum yang dilakukan dengan tujuan menimbulkan suatu akibat
hukum tertentu, bisa bersifat sepihak atau timbal balik, dan dapat berbentuk
lisan atau tertulis. Perjanjian termasuk dalam pengertian ini,
2. Perbuatan hukum yang dilakukan bukan dengan tujuan menimbulkan akibat
hukum, perbuatan ini terbagi lagi menjadi 2.1. Perbuatan hukum yang sah ( sesuai pasal 1354 dan 1359 KUHPerdata )
2.2. Perbuatan hukum yang tidak sah ( perbuatan melawan hukum, pasal 1365
KUHperdata )
9 Ibid, h. 225 10 Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unusr-unsur Perikatan, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1985, h. 28 11 Ibid, h. 23
Volume 11, No.1 Mei 2011 xciii
b. Bukan perbuatan hukum, misalnya lahirnya anak (pasal 250 KUHPerdata), hidup
bertetangga (pasal 625 KUHPerdata). Mengenai hal-hal ini, undang-undang
menentukan adanya akibat hukum tertentu yaitu perikatan.12
Mengenai hubungan antara perjanjian dan perikatan dapat juga dikatakan
bahwa perjanjian merupakan sumber dari perikatan, bahkan salah satu sumber yang terpenting disamping sumber-sumber yang lain. Dari pasal 1233 KUHPerdata dijelaskan
bahwa sumber perikatan diantaranya adalah perjanjian dan undang-undang.
Dari beberapa uraian diatas maka perjanjian hutang yang didasarkan atas
penanggungan perorangan, segala kebendaan seorang, baik yang bergerak maupun yang
tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan, sesuai dengan pasal 1131
KUHPerdata.13
B. Pengelompokan Sistem Perjanjian di Indonesia
Mengenai sistem yang dianut dalam Buku III KUHPerdata tentang hukum
perikatan ini dikatakan menganut sistem terbuka dan sifatnya adalah sebagai pelengkap
artinya bahwa Para pihak diperbolehkan membuat perjanjian apapun, asal isinya tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sesuai dengan
pasal 1337 KUHPerdata. Jika para pihak tidak mengatur perjanjian yang mereka buat
secara lengkap, maka undang-undang akan melengkapinya.14
Mengenai sistem terbuka dan sifat pelengkap yang dianut dalam Buku III KUHPerdata itu sebagian kalangan menyimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.15
Dengan menekankan pada perkataan “semua” maka pasal tersebut seolah-olah
berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan
mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.
Didalam hukum perjanjian berlaku juga asas konsensualisme, yang berarti
untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Sehingga suatu perjanjian
kadang juga dinamakan dengan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau
bersepakat mengenai sesuatu hal. Arti asas konsensualisme, pada dasarnya perjanjian
12 Ibid, h. 24. 13 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,
h. 163 14 Oey Hoey Tiong, Op.Cit, h. 29 15 Ibid, h. 30
Volume 11, No.1 Mei 2011 xciv
dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan.16
Sedangkan perjanjian-perjanjian sendiri dapat dikelompokkan menurut
berbagai cara, diantaranya adalah :
a. Bila dipandang dari sudut hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian dapat
dibedakan atas : i. Perjanjian-perjanjian timbal balik adalah perjanjian-perjanjian dimana masing-
masing pihak mempunyai hak dan kewajiban terhadap pihak lain. Contoh
dalam perjanjian hutang, pihak debitur berhak atas uang yang disepakati dan
berkewajiban membayar kembali hutang tersebut sesuai dengan jumlah yang
diperjanjikan sedangkan kreditur berhak untuk menerima kembali uangnya dan
berkewajiban untuk memberikan pinjaman kepada debitur sesuai yang
disepakati.
ii. Perjanjian-perjanjian yang sepihak, perjanjian ini dimana hanya salah satu
pihak saja yang mempunyai hak sedangkan pihak lainnya hanya mempunyai
kewajiban, seperti dalam perjanjian pemberian hadiah, hibah atau wasiat.17
iii. Perjanjian-perjanjian timbal balik yang tidak sempurna, merupakan perjanjian yang senantiasa timbul suatu kewajiban pokok bagi satu pihak, tetapi mungkin
juga pihak lainnya wajib untuk melakukan sesuatu, tanpa disitu dengan tegas
ada prestasi-prestasi yang satu dengan yang lain saling seimbang.18
b. Bila dipandang dari sudut imbalan antar pihak, maka perjanjian itu dapat dibedakan
atas :
i. Perjanjian-perjanjian atas beban, yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak
masing-masing terbebani kewajiban terhadap pihak lain, perjanjian ini disebut
juga dengan perjanjian imbalan. Contoh, dalam perjanjian jual beli, pergantian
ganti rugi.
ii. Perjanjian-perjanjian tanpa beban atau tanpa imbalan, yaitu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan sesuatu kepada pihak lain tanpa imbalan atau
kewajiban apapun, jadi secara cuma-cuma.
c. Bila dipandang dari sudut kemungkinan terlaksananya, maka perjanjian dapat
dibedakan atas :
i. Perjanjian biasa, yaitu perjanjian yang pada dasarnya akan ditepati oleh para
pihak bila tidak ada sebab-sebab tertentu yang membatalkannya dan hal yang
diperjanjikan sudah pasti,
16 Subekti, op.cit, h. 15 17 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1984, h. 155 18 H.F.A. Vollmar, op.cit, h.134
Volume 11, No.1 Mei 2011 xcv
ii. Perjanjian untung-untungan, yaitu perjanjian yang belum pasti terjadi dan
kalau terjadi dapat mendatangkan keuntungan atau mungkin juga kerugian atau
resiko bagi salah satu pihak.
d. Bila ditinjau dari sudut kekuatan yang mendasarinya, maka perjanjian itu dapat
dibedakan atas, i. Perjanjian kesepakatan ( konsensuil ), yaitu perjanjian yang baru terjadi atas
dasar kata sepakat atau persetujuan para pihak yang bersangkutan.
ii. Perjanjian nyata ( riil ), yaitu perjanjian yang terjadi disamping berdasarkan
kata sepakat juga telah terjadi suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan,
misalnya dengan penyerahan barang atau sejumlah uang sebelumnya dan
sebagainya.
e. Bila ditinjau dari sudut pandang tingkatan kepentingan maka perjanjian itu dapat
dibedakan atas :
i. Perjanjian primer (utama), yaitu perjanjian yang berisi hal-hal pokok yang
mengikat kedua belah pihak untuk dipenuhi, seperti perjanjian hutang
merupakan salah satu diantaranya, ii. Perjanjian sekunder (tambahan), yaitu perjanjian yang timbul kemudian
sehubungan dengan akibat dari adanya perjanjian primer, jadi lahirnya sebagai
akibat sampingan dari adanya perjanjian pokok diatas, contoh perjanjian
penanggungan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok
sebelumnya yaitu perjanjian hutang.
f. Bila dikaji dari sudut pandang pengaturan masalah yang disebutkan dalam perjanjian
maka perjanjian itu dapat dibedakan atas :
i. Perjanjian bernama, umpamanya perjanjian hutang, perjanjian jual beli, dan
sebagainya,
ii. Perjanjian tak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian lainnya yang tidak termasuk dalam perjanjian bernama dan diatur tersendiri (perjanjian-perjanjian
khusus).19
Disamping pembedaan-pembedaan yang sudah disebut masih ada petunjuk-
petunjuk untuk kategori-kategori perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut :
a. Perjanjian liberator kebalikan dari obligator. Liberator ini merupakan perjanjian
pembebasan hutang, sesuai dengan pasal 1474 KUHperdata,
b. Perjanjian-perjanjian pembuktian dan perjanjian penetapan,
c. Perjanjian yang bersifat hukum publik, yaitu perjanjian-perjanjian yang seluruhnya
atau sebagian diliputi oleh hukum publik.20
19 A. Ridwan Halim, Op.Cit, h. 155-157
Volume 11, No.1 Mei 2011 xcvi
C. Prestasi Yang Lahir Setelah Adanya Perjanjian Hutang
Seperti dijelaskan diatas bahwa suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu. Hal yang harus dilaksanakan itu didalam perjanjian
dinamakan prestasi.
Yang dimaksud dengan prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh
debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah obyek perikatan. Dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai dengan jaminan harta kekayaan debitur.
Dalam pasal 1131 dan pasal 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua harta
kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur. Tetapi
jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang
ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Sedangkan prestasi yang lahir setelah adanya perjanjian hutang ini dapat
disimak pada pasal 1234 KUHPerdata, dinyatakan bahwa terdapat tiga kemungkinan
wujud prestasi yaitu :
a. Memberikan sesuatu
Dalam pasal 1235 KUHPerdata memberikan sesuatu ini adalah menyerahkan
kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam
hutang piutang, dalam hal ini kewajiban si berhutang untuk menyerahkan
kebendaan yang bersangkutan sebagai barang jaminan kepada si berpiutang dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat
penyerahan.
b. Berbuat sesuatu,
Disini debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam
perjanjian, misalnya untuk mengosongkan rumah jika si berhutang tidak mampu
lagi untuk membayar atau mengembalikan seluruh hutang-hutangnya kepada si
berpiutang,
c. Tidak berbuat sesuatu,
Disini debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian,
mislanya, tidak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tapi jika debitur
berbuat berlawanan dengan perjanjian ini ia bertanggung jawab karena ia telah
melanggar perjanjian yang telah disepakatinya. Sedangkan prestasi yang lahir setelah adanya perjanjian hutang, akan
bermasalah jika si berhutang (debitur) tidak menepati janjinya kepada si berpiutang
20 H.F.A. Vollmar, Op.Cit, h. 134-135
Volume 11, No.1 Mei 2011 xcvii
(kreditur) sehingga si berhutang tidak mampu lagi melaksanakan prestasinya dengan
baik. Padahal seperti dijelaskan diatas, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah dapat
berakibat :
a. dapat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,
b. perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan c. perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik, dalam hal ini baik debitur
maupun kreditur harus mampu melaksanakan prestasinya dengan baik.
Dalam perjanjian hutang ini, jika salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya dan isi dari perikatan itu tentunya telah diketahui oleh kedua belah pihak.
Dalam hal perjanjian hutang ini, agar terjamin bahwa debitur akan melunasi hutangnya
tepat pada waktunya maka diadakan suatu perjanjian somasi (ancaman) bahwa bila
debitur terlambat membayar hutangnya, maka untuk tiap bulan terlambat ia harus
membayar bunga misalnya 10 % dari jumlah hutang yang masih tersisa.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa si berhutang tidak dapat
melaksanakan prestasinya dengan baik yaitu membayar hutangnya kepada si berpiutang
maka si berhutang memiliki dua hal prestasi yaitu prestasi primair, yakni sejumlah
tertentu yang ia pinjam dari si berpiutang ( utang pokok ) dan prestasi subsidair, yakni suatu ganti rugi atas keterlambatan pembayaran dari si berhutang kepada si berpiutang.
Sedangkan barang yang subsidair ini tergantung dari isi perjanjian yang telah
disepakati antara si berhutang dengan si berpiutang soal besarnya ganti rugi atau yang
sering diebut dengan bunga ini.21
Menurut ketentuan pasal 1243 KUHPerdata ganti kerugian karena tidak
dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang
telah dilampaukannya.
D. Tindakan Hukum Atas Wanprestasi Dari Salah Satu Pihak
Wanprestasi merupakan kelalaian suatu pihak dalam memenuhi kewajibannya
terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya berdasarkan perikatan yang telah
dibuat, berarti jika salah satu pihak wanprestasi artinya pihak tersebut tidak memenuhi
sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak
dipenuhinya kewajiban oleh debitur dapat disebabkan oleh dua hal kemungkinan alasan yaitu :
a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun
karena kelalaian,
21 Subekti, Op.Cit, h. 36
Volume 11, No.1 Mei 2011 xcviii
b. Karena keadaan memaksa, overmacht, force majeure, jadi diluar kemampuan
debitur, jadi debitur tidak bersalah.22
Sedangkan untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan
wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau
lalai tidak memenuhi prestasi itu, ada 4 (empat) keadaan, yaitu :
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, dalam hal ini tidak diperlukan penetapan lalai. Debitur dapat segera dituntut ganti
rugi. Selain itu penetapan lalai tidak diperlukan dalam hal :
i. Jika prestasi debitur yang berupa memberi atau berbuat sesuatu hanya
mempunyai arti bagi kreditur, jika dilaksanakan dalam waktu yang sudah
ditentukan, sesuai dengan pasal 1243 KUHPerdata,
ii. Jika debitur melanggar perikatan untuk tidak berbuat.23
b. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasinya, maka diperlukan penetapan
lalai. Debitur baru dapat dibebani ganti rugi setelah ia diberi penetapan lalai, tetapi
tetap lalai untuk memenuhi prestasinya. Penetapan lalai ini tidak diperlukan dalam
hal :
i. Debitur setelah terjadinya perikatan, baik secara tegas maupun diam-diam membebaskan kreditur dari kewajiban untuk memberikan penetapan lalai,
ii. Debitur memberitahukan kreditur bahwa ia tidak akan memenuhi prestasi. 24
c. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru,
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.25
Kemudian akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi
adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini :
a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur,
sesuai dengan pasal 1243 KUHPerdata,
b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau
pembatalan perikatan melalui hakim, sesuai dengan pasal 1266 KUHPerdata,
c. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi, sesuai pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata,
d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian, sesuai pasal 1267
KUHPerdata,
e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan,
dan debitur dinyatakan bersalah.26
22 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 203
23 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung,
1999, h. 19
24 Ibid, h. 20
25 Subekti, Op.Cit, h. 45
26 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 204-205
Volume 11, No.1 Mei 2011 xcix
Dengan demikian jika debitur melakukan wanprestasi maka kreditur berhak
untuk :
a. Tetap menuntut agar debitur melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang
diharapkan semula, meskipun sudah terlambat,
b. Menuntut agar debitur tetap melaksanakan kewajibannya yang sudah terlambat
itu dengan ganti kerugian yang layak, c. Menuntut ganti kerugian saja seluruhnya, yang meliputi kerugian yang sudah
diderita dan laba yang tidak jadi diterima karena lalainya pihak debitur,
d. Menuntut agar perjanjian dibatalkan (berdasarkan asas lex commisoria yang
berarti bahwa hukum membatalkan bila ada wanprestasi).27
Sehubungan wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka
harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau lalai,
dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Terkadang
juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali
juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi
yang dijanjikan. Dalam perjanjian hutang misalnya, tidak ditetapkan kapan
pelunasannya harus ditentukan atau berapa bunga bila terjadi keterlambatan atas
pembayaran hutang tadi. Sehingga yang paling mudah untuk menetapkan seorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan
suatu perbuatan, apabila ia melakukannya berarti ia melanggar hukum.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Rumusan Penanggungan
Seperti dijelaskan diatas sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata bahwa segala
kebendaan seorang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan. Meskipun demikian, jaminan secara umum itu sering
dirasakan kurang cukup dan kurang aman, karena selainnya bahwa kekayaan si
berhutang pada suatu waktu bisa habis, juga jaminan secara umum itu berlaku untuk
semua kreditur, sehingga kalau ada banyak kreditur, ada kemungkinan beberapa orang
dari mereka tidak lagi mendapat bagian.
Jadi penanggungan merupakan suatu bentuk jaminan yang bersifat pribadi dan dalam hal ini adanya berhadapan dengan jaminan kebendaan. Suatu kewajiban untuk
memberikan penanggungan atau penjaminan pada umumnya kadang-kadang timbul dari
dalam undang-undang atau dari dalam suatu keputusan atau penetapan.28
27 A. Ridwan Halim, Op.Cit, h. 158-159
28 H.F.A. Vollmar, Op.Citt, h. 444.
Volume 11, No.1 Mei 2011 c
Oleh karena itu maka seringkali seorang kreditur minta diberikan jaminan
khusus dan jaminan khusus ini bisa berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fiduciair)
dan bisa juga berupa jaminan perorangan. Yang terakhir inilah yang dinamakan
penanggungan hutang atau sering disebut dengan “borgtocht atau quaranty”.29
Selanjutnya penanggungan atau borgtocht ini ada dua pihak yang dapat
berlaku sebagai penanggung dalam perjanjian hutang yaitu : a. Personal guarantee, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh orang
perseorangan,
b. Corporate guarantee, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh suatu badan
hukum atau korporasi atau sebuah perusahaan.30
Sedangkan pengertian penanggungan atau borgtocht sendiri diatur dalam
Buku III Bab XVII, khususnya dalam pasal 1820 KUHPerdata adalah suatu perjanjian
dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya.
Jika dalam hal hipotik, gadai dan fiduciair sudah diletakkan suatu ikatan
kebendaan (kreditor memperoleh suatu hak atas benda-benda tertentu), maka dalam hal
penanggungan ini baru tercipta suatu perikatan perorangan. Kemudian dalam pasal 1821 KUHPerdata disebutkan bahwa tiada
penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun dapatlah seorang
mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan , biarpun perikatan itu dapat
dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya pribadi si berhutang,
misalnya dalam hal orang belum dewasa.
B. Bentuk dan Sifat Penanggungan Dalam Perjanjian Hutang
Sebenarnya sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata, bentuk perjanjian ini
dapat dilaksanakan bebas sesuai dengan kehendak para pihak, namun guna kepentingan
pembuktian maka bentuk perjanjian penanggungan dan perjanjian hutang ini dapat
dibedakan kedalam beberapa bentuk, diantaranya :
a. Dalam bentuk tertulis, ini dapat terbagi dalam :
i. dalam bentuk standar atau baku sebagaimana perjanjian kredit pada
umumnya,
ii. akta baik notarial maupun dibawah tangan,
iii. para pihak sendiri dalam bentuk sehelai surat b. Dalam suatu pernyataan lisan.31
29 Ibid, h. 445
30 A. Yudha Hernoko, Hukum Jaminan, PPS, Univ. Airlangga, Surabaya, 2000,
h. 23
31 Ibid, h. 5
Volume 11, No.1 Mei 2011 ci
Sedangkan dalam pembuktian dari perjanjian penanggungan maka perjanjian
penanggungan dalam perjanjian hutang yang paling kuat adalah dalam bentuk akta
otentik yang definisinya diberikan dalam pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik
adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat
oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana
akta itu dibuatnya, sedangkan akta dibawah tangan, dalam pasal 1874 KUHPerdata dijelaskan bahwa sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan, surat-surat, register-register
surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan
seorang pegawai umum.
Disamping itu, pada asasnya setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian-
perjanjian atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum apa saja yang dikehendakinya
dan orang lain tak dapat mencampuri ataupun menghalang-halangi perbuatan-
perbuatannya itu.
Ketentuan diatas menunjukkan bahwa penanggungan itu adalah suatu
perjanjian accessoir seperti halnya dengan perjanjian hipotik dan pemberian gadai, yaitu
bahwa eksistensi atau adanya penanggungan itu tergantung dari adanya suatu perjanjian
pokok, yaitu perjanjian yang pemenuhannya ditanggung atau dijamin dengan perjanjian
penanggungan itu. Sehingga masih adanya kemungkinan untuk diadakannya suatu perjanjian penanggungan terhadap suatu perjanjian pokok, yang dapat dimintakan
pembatalannya, misalnya suatu perjanjian pokok yang diadakan oleh seorang yang
belum cukup dewasa. Hal itu dapat diterima dengan pengertian, bahwa apabila
perjanjian pokok itu dikemudian hari dibatalkan, maka perjanjiannya penanggungan
juga ikut batal.
Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa syarat-syarat daripada seorang
penanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 1822 KUHPerdata yaitu antara lain
sebagai berikut :
a. seorang penanggungan tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih dari utangnya
yang ada pada perjanjian pokoknya,
b. seorang penanggung tidak dapat mengikatkan dirinya untuk lebih berat daripada syarat-syarat yang ada dalam perjanjian pokoknya,
c. jika hal itu tetap dilaksanakan, maka perikatannya tidak sama sekali batal,
melainkan penanggung hanya sah sesuai dengan apa yang ada di dalam
perjanjian pokoknya itu saja.
Persyaratan diatas berkaitan dengan sifat perjanjian penanggungan sebagai
suatu perjanjian accessoir, sebagaimana diterangkan diatas. Perikatan-periktan dalam
perjanjian yang sifatnya “tambahan atau mengabdi” kepada suatu perjanjian pokok,
tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu.
Sehingga perjanjian penanggungan akan lahir setelah adanya perjanjian
pokoknya terlebih dahulu yaitu perjanjian hutang antara debitur dengan kreditur, begitu
pula sebaliknya, jika perjanjian hutangnya gugur atau batal atau tidak jadi maka
Volume 11, No.1 Mei 2011 cii
perjanjian penanggungannyapun secara otomatis juga ikut gugur, tetapi jika perjanjian
penanggungannya yang gugur maka perjanjian pokoknya (hutang) belum tentu gugur.
C. Ketentuan Tentang Hapusnya Perjanjian Hutang
Mengenai hapusnya perjanjian hutang ini secara umum telah ditegaskan dalam
pasal 1381 KUHPerdata, bahwa perikatan-perikatan hapus dikarenakan beberapa hal
diantaranya adalah :
a. pembayaran,
Dalam perjanjian hutang, maka jika si berhutang atau debitur atau seorang
penanggung hutang atau dalam pasal 1332 dapat juga pihak ketiga bertindak dan
atas nama debitur untuk melunasi utangnya dengan melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah dari isi perjanjian hutang dengan kreditur maka secara otomatis
perjanjian hutang tersebut akan hapus,
b. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan jika kreditur menolak
pembayaran. Misalnya kreditur tidak mau menerima pembayaran dari debitur
dalam bentuk barang, maka debitur melakukan pelelangan atas barang tersebut,
setelah laku baru dibayarakan kepada kreditur, namun seluruh biaya penyimpanan,
penitipan dan pelelangan barang itu dibebankan kepada debitur.
c. Pembaharuan hutang atau novasi
Novasi adalah suatau persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan
pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai
pengganti perikatan semula.32 Novasi ini terdiri dari 3 macam yaitu novasi obyektif, dimana perikatan yang telah
ada diganti dengan perikatan lain, kemudian novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lainnya dan novasi subyektif aktif, yaitu krediturnya
diganti oleh kreditur lain.33
d. Perjumpaan hutang atau kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan hutang piutang secara timbal balik antara kreditur dengan
debitur. Misalnya A punya hutang B sejumlah Rp 1.000.000,-, kemudian B punya
hutang A sejumlah Rp 800.000,- hal itu jika dikompensasikan maka A masih
hutang kepada B sebesar Rp 200.000,-
e. Percampuran hutang, Hapusnya hutang dalam percampuran hutang ini benar-benar demi hukum dalam
arti otomatis, seperti debitur dan kreditur akhirnya melakukan perkawinan dalam
suatu kesatuan harta kawin.
32 R. Setiawan, Op.Cit, h. 116
33 Ibid, h. 117
Volume 11, No.1 Mei 2011 ciii
f. Pembebasan hutang,
Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur
melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Jadi dengan sendirinya
kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan
melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka hubungan
hutang piutang itu dengan sendirinya juga hapus. g. Musnahnya barang yang terutang,
Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan atau hilang hingga sama sekali tak diketahui, apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perjanjiannya.
h. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan
Kebatalan ini dapat berimplikasi pada dua hal yaitu batal demi hukum ini
kebatalannya terjadi karena undang-undang dan dapat dibatalkan, kebatalan ini
baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim. Suatu perbuatan hukum adalah
batal, jika perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan akibat-akibat hukum yang
dimaksud. Jadi perjanjian- perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan adalah
batal secara mutlak, maka hapus pula perjanjian hutang yang dilaksanakan atas
dasar itu.
D. Akibat Hukum Adanya Perjanjian Penanggungan
Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, kecuali
jika siberpiutang lalai, sedangkan harta bendanya si berhutang ini harus lebih dahulu
disita dan dijual untuk melunasi hutangnya, sesuai dengan pasal 1831 KUHPerdata. Dari ketentuan tersebut, maka tanggung jawab si penanggung merupakan
suatu cadangan dalam halnya harta benda si debitur tidak mencukupi untuk melunasi
hutangnya, barulah tiba gilirannya untuk menyita barang harta benda si penanggung.
Tegasnya apabila seorang penanggung dituntut untuk membayar hutangnya debitur
(yang ditanggung olehnya) ia berhak untuk menuntut supaya dilakukan lelang sita untuk
melunasi hutangnya dalam hal :
a. Jika ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut dilakukannya lelang sita
lebih dahulu atau harta benda si berhutang tersebut,
b. Jika ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berhutang-utana secara
tanggung menanggung, dalam hal ini akibat-akibat perikatannya diatur menurut
asas-asas yang ditetapkan untuk hutang-hutang tanggung menanggung, c. Jika si berhutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya
sendiri secara pribadi,
d. Jika si berhutang berada dalam keadaan pailit, dan
e. Dalam halnya dengan penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.34
34 R. Subekti, Op.Cit, h. 168
Volume 11, No.1 Mei 2011 civ
Kemudian dari pasal 1832 KUHPerdata dapat diurai sebagai berikut :
a. Bahwa ada kemungkinan si penanggung melepaskan haknya untuk menuntut
dilakukannya lelang sita lebih dahulu atas harta benda si berhutang utama,
pelepasan hak istimewa itu dilakukan dalam perjanjiannya penanggungan yang
diadakan dengan kreditur, tetapi juga dapat dilakukan kemudian, baik dalam suatu perjanjian lagi maupun dengan suatu pernyataan sepihak,
b. Bahwa ada kemungkinan si penanggung mengikatkan dirinya bersama-sama
(dalam satu perjanjian) dengan si berhutang utama secara tanggung menanggung
atau sering disebut dengan “penanggung solieder” atau “solidaire borg”. Keadaan
yang seperti itu memperkuat kedudukan kreditur, karena ia dapat menuntut baik
debitur maupun penanggung masing-masing untuk seluruh hutang, menurut
kehendaknya,
c. Tangkisan yang hanya mengenai dirinya si berhutang sendiri secara pribadi adalah
misalnya kalau hutang yang dituntut pembayarannya, yang telah ditanggung oleh si
penangung, dibuat oleh debitur dalam kedudukannya sebagai direktur sebuah
perseroan, sedangkan perusahaannya sudah tidak ada lagi dipegangnya kedudukan
tersebut, gugatan itu oleh hakim dinyatakan tidak diterima. Jika tangkisan (eksepsi) itu diterima, maka bagi kreditur sudah tidak ada jalan lagi untuk mendapat uangnya
kembali,
d. Jika si debitur jatuh pailit, ia tidak lagi dapat digugat dimuka pengadilan dan tidak
dapat dilakukan penyitaan lagi atas harta bendanya,
e. Penanggungan yang diperintahkan oleh hakim adalah misalnya penanggungan yang
diperintahkan kepada seorang wali sebagai jaminan atas pengurusan harta benda
seorang anak yang belum dewasa,
Si berpiutang tidak diwajibkan untuk menyita dan menjual lebih dulu harta
benda si berhutang, kecuali jika hal itu diminta oleh si penanggung pada waktu pertama
kali dituntut dimuka pengadilan.
Dari berbagai uraian diatas maka mengenai hubungan hukum antara penanggung dan debitur dan mengenai hubungan hukum antar para penanggung. Seperti
diketahui dalam perjanjian penanggungan terkadang tidak hanya melibatkan satu orang
penanggung saja tetapi dimungkinkan lebih dari itu, hal ini diatur sedemikian rupa
antara penanggung satu dengan lainnya agar tidak ada penanggung yang merasa
dirugikan. Tetapi jika ada penanggung yang merasa dirugikan, seperti penanggung telah
melunasi hutangnya si berhutang, baik secara terpaksa maupun dengan cara suka rela,
diberikan hak untuk memperoleh pelunasan mengenai apa yang telah dibayarkan dari
debitur utama tersebut.
E. Hambatan Atas Penanggungan Hutang
Volume 11, No.1 Mei 2011 cv
Sehubungan perjanjian penanggungan ini merupakan jaminan perorangan
maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu diadakan antara
kreditur dan pihak ketiga dalam perjanjian dengan mana pihak ketiga guna kepentingan
kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur
sendiri tidak memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1820 KUHPerdata.
Oleh karena itu penanggungan hutang ini diadakan untuk kepentingan kreditur, maka penanggungan hutang dapat diadakan baik dengan sepengetahuan
debitur maupun tidak sepengetahuannya, hal ini sesuai dengan pasal 1823 KUHPerdata.
Dengan mengadakan perjanjian penanggungan hutang ini, jika debitur lalai memenuhi
perikatannya maka kreditur dapat menuntut pihak penanggung, tanpa mengurangi hak
penanggung untuk menuntut agar barang-barang debitur bisa disita terlebih dahulu dan
dijual untuk melunasi hutangnya.
Dari beberapa uraian diatas maka terdapat kendala atau masalah dalam
penanggungan hutang oleh perorangan ini dalam praktek perjanjian hutang selama ini,
yaitu
a. Adanya ketentuan bahwa kesediaan penanggung untuk menjadi penanggungan ini
dapat dilakukan sepengetahuan debitur maupun tanpa sepengetahuan debitur. Jika
hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan debitur maka dikhawatirkan terjadi kemungkinan dari pihak debitur sendiri, dengan alasan yang bersangkutan tidak
memintanya, sehingga jika terjadi kerugian atas diri penanggung maka
penanggung tersebut tidak dapat meminta ganti rugi kepada debitur;
b. Adanya perjanjian penanggungan hutang ini, jika debitur lalai memenuhi
perikatannya maka kreditur dapat menuntut pihak penanggung, tanpa mengurangi
hak penanggung untuk menuntut agar barang-barang debitur bisa disita terlebih
dahulu dan dijual untuk melunasi hutangnya.
KESIMPULAN
a. Sistem perjanjian pertanggungan hutang pada umumnya di Indonesia, sebagaimana
dalam sistem yang dianut dalam Buku III KUHPerdata tentang hukum perikatan ini dikatakan menganut sistem terbuka dan sifatnya adalah sebagai pelengkap artinya
bahwa para pihak diperbolehkan membuat perjanjian apapun, asal isinya tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sesuai
dengan pasal 1337 KUHPerdata. Jika para pihak tidak mengatur perjanjian yang
mereka buat secara lengkap, maka undang-undang akan melengkapinya. Mengenai
sistem terbuka dan sifat pelengkap yang dianut dalam Buku III KUHPerdata itu
dari pasal 1338 ayat (1), maka semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Disamping itu perjanjian
pertanggungan hutang ini bersifat accessoir. Perikatan-perikatan dalam perjanjian
yang sifatnya “tambahan atau mengabdi” kepada suatu perjanjian pokok,
tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok
Volume 11, No.1 Mei 2011 cvi
itu. Sehingga perjanjian penanggungan akan lahir setelah adanya perjanjian
pokoknya terlebih dahulu yaitu perjanjian hutang antara debitur dengan kreditur,
begitu pula sebaliknya, jika perjanjian hutangnya gugur atau batal atau tidak jadi
maka perjanjian penanggungannyapun secara otomatis juga ikut gugur, tetapi jika
perjanjian penanggungannya yang gugur maka perjanjian pokoknya (hutang) belum
tentu gugur. b. Masalah-masalah hukum yang timbul perjanjian hutang menurut Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, selama ini adalah bahwa perjanjian penanggungan
merupakan jaminan perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian
penanggungan ini selalu diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna
kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur
bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya, seperti yang dijelaskan dalam pasal
1820 KUHPerdata, namun sayangnya, ada beberapa kendala diantaranya adalah :
- tidak sembarang orang dapat untuk menjadi penanggung, tetapi harus terlebih
dahulu adanya persetujuan dari pihak kreditur, baik sepengetahuan debitur
maupun tidak,
- sehubungan dalam dunia perbankan, terdapat Daftar Orang Tercela, maka
prinsip kehati-hatian dan kepercayaan kreditur dalam memberikan pinjaman kepada debitur nasabah, tetap tak terabaikan, sehingga meskipun ada pihak
penanggung namun tidak semestinya pihak kreditur langsung menyetujui
perjanjian tersebut,
- Sehubungan perjanjian penanggungan hutang ini, pihak penanggung suatu saat
harus mampu menanggung hutang pihak debitur maka, tidak sembarang orang
pula mau untuk menjadi penanggung atas hutang- hutang debitur.
SARAN
a. Perlu adanya profesionalisme kerja pada tataran perbankan, khususnya menyangkut
perjanjian hutang, sebab tidak sedikit para debitur kelas kakap yang nyata-nyata
sebagai debitur yang tidak baik, justru mereka inilah yang selalu mendapatkan
kepercayaan dari pihak kreditur, maka jangan heran jika banyak perusahaan-perusahaan besar justru cepat jatuh sehubungan pemiliknya berkaitan dengan
ketidakjujuran ini,
b. Perlu adanya perjanjian hutang yang sederajat, antara pihak debitur dengan kreditur
sehingga mereka sama-sama memiliki posisi yang kuat sehingga pihak kreditur
tidak merasa kuat atas posisi debitur yang dinilai paling membutuhkan kreditur,
sehingga seharusnya yang terjadi adalah mitra janji bukan lawan janji.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cvii
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT DALAM
MEMPEROLEH PELAYANAN PUBLIK OLEH PEMERINTAH DAERAH
Oleh:
Win Yuli Wardani, SH., M.Hum35
*
ABSTRAK
Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh
pelayanan publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan jaminan terhadap hak masyarakat baik secara yuridis
konstitusional maupun secara etika sosial yang merupakan cita-cita
Negara hukum Indonesia yang sejak awal didirikan menghendaki
perlindungan hak masyarakat warga Negara.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum - Hak Masyarakat –
Pelayanan Publik.
LATAR BELAKANG
Negara adalah sebuah lembaga yang terbentuk dari persekutuan manusia atau
rakyat yang secara bersama-sama melakukan aktifitas dalam upaya pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Kehendak manusia untuk berkumpul dan berkelompok disebabkan
disebabkan oleh kesadarannya akan kepentingan bersama yang kemudian terwujud
dalam proses interaksi sosial. Dari interaksi sosial tersebut dihasilkan sitem nilai yang
selanjut menghasilkan kaedah-kaedah yang teraktualisasi dalam bentuk hak dan
kewajiban dalam masyarakat.
Bertolak pada pengembangan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat yang
demokratis, unsur yang sangat menentukan pengembangan sistem hukum dan
penegakannya adalah budaya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Budaya hukum
dalam konteks perkembangan perjalanan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang demokratis dapat menjadi faktor integral yang mempersatukan bangsa Indonesia di
tengah-tengah tuntutan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia, sekaligus juga hak masyarakat.
Salah satu konsekwensi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar
oleh negara adalah diwujudkan dalam bentuk pembentukan peraturan perundang-
undangan. Dalam kaitan dengan hal ini, pemerintah wajib memberikan pelayanan
1*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cviii
terhadap masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya
sebagai regulasi dan payung hukum dari hak masyarakat.
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani
setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus
dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan
dasar masyarakat.
Pelayanan publik adalah salah satu hak yang dapat dinikmati oleh setiap
masyarakat yang berkepentingan dengan apa yang mereka butuhkan. Karena pelayanan
publik merupakan natural rights di mana mereka sejak lahir sudah memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan
kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Oleh karena itu pelayanan publik merupakan
hak yang sudah selayaknya dapat dinikmati oleh segenap masyarakat. Dalam hal ini
penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang diselenggarakan oleh pemerintah
pusat, lebih dari itu juga pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Namun demikian semua peraturan yang mengatur tentang sistem pelayanan publik disemua institusi yang berada disetiap tingkatan daerah otonom secara hierarkhi tetap
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal
ini tidak lain karena peraturan perundang-undangan yang lebih rendah juga merupakan
implementasi dari peraturan tingkat di atasnya.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah masih
dihadapkan pada beberapa kendala, yang antara lain adalah sistem pemerintahan yang
belum efektif dan efisien yang disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia dari
aparatur ataupun sarana yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya
keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media
massa.
Namun demikian upaya peningkatan terhadap kualitas dari sistim pelayanan publik harus tetap menjadi tujuan dalam rangka upaya pemenuhan hak-hak dasar
manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas, maka dapat
diidentifikasi 2 (dua) rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sistem pelayanan publik menurut hukum positif di Indonesia ?
2. Sejauhmanakah perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh
pelayanan publik oleh pemerintah?
Penelitian ini mengambil judul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak
Masyarakat Dalam Memperoleh Pelayanan Publik Oleh Pemerintah ”. Judul di atas
terdiri dari beberapa sub pokok konsep/pengertian yang berkaitan dengan pelayanan
publik di daerah seperti hak, perlindungan hukum, konsep pelayanan publik, prinsip
pelayanan publik, dan teori kualitas pelayanan publik sebagai parameter analisis hasil penelitian di bab berikutnya yang akan penulis jelaskan sebagai berikut:
Volume 11, No.1 Mei 2011 cix
Perlindungan hukum adalah suatu jaminan perlindungan pemerintah yang
diberikan terhadap warga negara sebagai subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum
baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pengertian ini
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan ketertiban, keadilan, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian
bagi masyarakat.
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.36
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat diartikan sebagai segala bentuk jasa
pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang menjadi tanggung
jawab dan dilaksanakan oleh pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN
atau BUMD baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.37
Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.38
SISTEM PELAYANAN PUBLIK MENURUT HUKUM POSITIF DI
INDONESIA
A. Transparansi Pelayanan Publik
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa jika dicermati dewasa ini
penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kendala - kendala yang
menjadikan sebab sistem pelayanan publik tidak sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat khususnya di daerah. Keadaan
tersebut diikuti dengan pergeseran nilai yang harus disikapi dengan bijak melalui
langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek
pembangunan untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan pelayanan publik.
Menurut Ahmad Hidayat beberapa studi menunjukkan bahwa akar
permasalahan yang menyebabkan buruknya kinerja pelayanan publik adalah
36 R I Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1
angka 1.
37 Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
38 R I Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1
angka 2.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cx
prosedur pelayanan publik yang berbelit-belit dan tidak transparan (tidak terbuka).
Oleh karena itu, transparency (trans paransi/keterbukaan) pelayanan publik adalah
merupakan salah satu hal yang harus segera diwujudkan demi untuk meningkatkan
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan memenangkan persaingan di era
globalisasi sekarang ini.39
Transparansi (transparency) merupakan salah satu prinsip dalam perwujudan good governance (pemerintahan yang baik). Good governance dan
otonomi daerah adalah dua konsep yang saling berkaitan, dan berinteraksi dalam
suatu korelasi yang bersifat positif. Keduanya saling menyediakan iklim kondusif yang
berkembang satu sama lain. Akan tetapi, konsep good governance mudah diucapkan,
namun sebenarnya agak sulit untuk merumuskan ke dalam satu bahasa yang bisa
diterima khalayak karena di dalamnya ada unsur etika atau tata nilai.40
Dalam hubungannya dengan transparansi pelayanan publik di atas, maka
pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan transparansi pelayanan publik.
Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan transparansi pelayanan publik diatur
dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor.
KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis
Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kebijakan tersebut berdasarkan pada alinea ke4 pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa negara wajib melayani setiap
warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka
pelayanan umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat
kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk
memberikan pelayanan publik. Birokrasi dan para pejabatnya lebih menempatkan
dirinya sebagai penguasa dari pada sebagai pelayan masyarakat. Akibatnya sikap dan
perilaku birokrasi dalam penyelegaraan pelayanan publik cenderung mengabaikan
aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Berkembangnya budaya paternalistik ikut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elit politik dan birokrasi sebagai variabel yang
dominan dalam penyelengaraan pelayanan publik. Elit politik dan birokrasi, dan atau
yang dekat dengan mereka, seringkali memperoleh perlakuan istimewa dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan
publik sering berbeda tergantung pada kedekatannya dengan elit birokrasi dan politik.
Hal seperti ini sering mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang nerasa
diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik.
39 Ahmad Hidayat, “Transparansi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di
Indonesia”, artikel dalam www.untagjakarta.ac.id pdf diakses 10 Pebruari 2011, hal. 1
40 Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxi
B. Aspek Hukum Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan program nasional untuk memperbaiki fungsi pada
sistem pelayanan publik. Pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat.
Pelayanan publik dibatasi pada pengertian bahwa pelayanan publik merupakan segala
bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar
masyarakat untuk kesejahteraan sosial, sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem
kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap
beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan
merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan
bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut
sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.
Pelaksanaan pelayanan publik erat kaitannya dengan kebijakan yang diturunkan kepada pejabat pelaksana pelayanan yang merupakan serangkaian petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi pelayanan
publik.
Sedangkan dari sisi masyarakat yang penting adalah adanya suatu standar
pelayanan publik yang menjabarkan pada masyarakat tentang pelayanan apa yang
menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga
bagaimana bentuk layanan itu.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut
efektif, maka diperlukan sedikitnya 3 (tiga) hal:
a. Adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga
dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan;
b. Kebijakan ini harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; dan c. Adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik
mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami
penyimpangan atau tidak.41
Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui
keputusan-keputusan MENPAN sebagaimana tersebut di atas, namun juga melalui
peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan
dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan dalam diklat-
diklat struktural pada berbagai tingkatan.
Sesuai dengan katentuan di atas, Pasal 2 Undang-undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa undang-undang pelayanan publik
41 www.wikipedia.org 2008.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxii
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat
dan penyelenggara dalam pelayanan publik.
Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik mengatur/menetapkan tujuan undang-undang tentang pelayanan publik adalah:
1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung
jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
Perwujudan batasan dan hubungan mengenai hak, kewajiban serta tanggung
jawab antara pemberi pelayanan dengan masyarakat sebagai pihak yang
terlayani tidak boleh tidak harus diwujudkan dalam konsep sistem standarisasi
pelayanan publik melalui pengaturan hukum pelayanan publik yang merespon
semua kebutuhan masyarakat.
2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik.
Sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak akan mampu
memberikan kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan bahkan
mampu memberikan interes positif bagi masyarakat.
3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketika pelayanan publik sudah didasarkan pada standar
pelayanan yang telah ditetapkan oleh masing-masing institusi pelayanan
publik, maka optimalisasi pelayanan publik akan terwujud.
4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Jaminan perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat hanya dapat diperoleh apabila ada dan didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya bukan didasarkan pada
kehendak pejabat institusi pelayanan publik.
Jadi jika diamati dari Pasal 3 tersebut di atas, maka jelas bahwa aspek hukum
pelayanan publik ini adalah adanya hubungan hak dan kewajiban antara birokrasi
pelayanan publik dengan masyarakat sebagai penerima pelayanan publik, adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak
pelayanan publik, adanya payung hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak
pelayanan publik sebagai hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah, dan
terciptanya standarisasi pelayanan publik melalui pengaturan hukum pelayanan publik
yang merespon semua kebutuhan masyarakat.
C. Efektivitas Pelayanan Publik
Efektif tidaknya pelayanan publik disemua institusi pada tiap tingkatan daerah
otonom sedikit banyak akan dipengaruhi oleh pengaturan hukum dan birokrasi sebagai
pelayan publik yang akan penulis jelaskan di bawah ini.
Di Indonesia upaya memperbaiki pelayanan publik sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres Nomor 5 Tahun 1984
tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxiii
Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan
Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan
mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.
Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Kemudian lahirlah Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor.
KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis
Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Dalam kaitan ini, ada 2 (dua) badan yang mengelola pelayanan publik.
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPan) bertanggungjawab
terhadap regulasi yang mengatur administrasi negara. Badan ini menjalankan fungsinya
melalui pengumuman kebijakan dan surat keputusan menteri yang seringkali tidak
dihiraukan oleh birokrasi lainnya. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) secara formal
bertanggungjawab terhadap implementasi perundangan pelayanan publik dengan
mengeluarkan ”rule of the game”/aturan main dalam penerimaan, pemecatan dan
promosi, dan meregulasi jumlah pelayanan ini. Departemen Keuangan juga memainkan peran penting, karena alokasi anggarannya menentukan jumlah ini. Departemen Dalam
Negeri juga memegang peran penting melalui desentralisasi administrasi dalam
pengelolaan pelayanan publik mereka.
Standarisasi pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai
kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan
yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.42
Pejabat Pemerintah sebagai administrator publik adalah birokrat mempunyai
kewenangan sebagai pelaksana kebijaksanaan yang telah dirumuskan oleh superior
politiknya (pembuat kebijaksanaan). Dengan demikian, ia tidak memiliki peran politik,
tetapi semata-mata instrumental yang mempunyai tanggung jawab administratif/administrative responsibility. Ia hanya pelaksana kepentingan publik dan
bukan yang berperan dalam menerjemahkan/merumuskan kepentingan publik.43
Michael Mon Harmon menyatakan, bahwa tugas utama administrator publik
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kepentingan publik, tetapi sayangnya
42 R I Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 1
angka 7
43 Irfan Ilamy, 1989. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta:
Bina Aksara hlm. 11
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxiv
jarang sekali mereka mengenal teori tentang kepentingan publik.44
Krisis ini memberikan pelajaran betapa rapuhnya sistem birokrasi publik di Indonesia
dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam lingkungannya.
Mengenai permasalahan kurang efektif dan efisiensinya pelayanan publik oleh
aparat sebagai dampak negatif yang disebabkan besarnya jumlah pegawai dan
penambahan jumlah instansi. Saat ini pemerintah membutuhkan kinerja yang profesional dan orientasi pada kesejahteraan sosial. Melalui seleksi pegawai yang adil
dan proposional dapat melihat permasalahan yang sebenarnya terjadi ditengah
masyarakat baik dari segi ekonomi, politik, hukum dan budaya.
Birokrasi yang rumit merupakan permasalahan klasik yang diturunkan melalui
era orde baru status quo. Pengalaman yang terjadi adalah prosedur administrasi mulai
dari bawah sampai ke-atas secara hierarkis tidak mampu menyelesaikan masalah
melainkan menambah masalah baru, yaitu monopoli aparat penyelenggara pelayanan
yang hanya dapat tunduk kepada atasannya. Tidak terbatasnya kewenangan aparat
membuat kontrol masyarakat sulit dilakukan pada akhirnya cenderung menimbulkan
patologi birokrasi.
Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering
atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam
pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat
memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang
diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap
masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit.
Studi-studi menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan
publik telah melahirkan dampak multidimensional. Secara sosial-politik, buruknya
pelayanan publik menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap
pemerintah yang pada gilirannya meruntuhkan ketertiban dan kedamaian pada
masyarakat.45 Pelayanan Publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan
yang mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam
penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum
44 Robert H. Simmon dan Eugene P. Dvorin, Public Administration: Values Policy
and Change, Port Washington; N.Y. 11050: Alfred Publishing Co, Ind., hlm. 470,
dalam Irfan Islami, 1989, Prinsip-Prinsip Perumusan............................, Ibid. hlm. 14.
45 Edi Suharto, 2008, “Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat
Dengan Kebutuhan Khusus”, artikel Disampaikan pada Focused Group Discussion
(FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special
Needs) pada Sektor Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara, Sahira Butik
Hotel, Bogor 9-10 Oktober 2008, hlm. 3
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxv
memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas produk
layanan juga belum memuaskan para penggunanya.
Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespon dinamika
yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh
bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam
pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu sendiri. Akan tetapi birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan
tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya
penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-
belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal
pelayanan publik).
Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu,
birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya dalam rangka
efektivitas pelayanan publik antara lain :
Pertama, birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan
pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
Kedua, birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan
organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara
tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi
tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
Ketiga, birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan
prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni :
pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi
biaya dan ketepatan waktu.
Keempat, birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan.
Kelima,birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari
birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya
lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT DALAM
MEMPEROLEH PELAYANAN PUBLIK OLEH PEMERINTAH DAERAH
A. Hak Asasi Manusia
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu
dan terikat oleh satu sistem hukum yang sama. Dengan kata lain masyarakat adalah komunitas yang didasarkan oleh adanya kesamaan geografis, kultur, sistem nilai tertentu
yang mengikat setiap anggotanya. Sedangkan hak masyarakat merupakan akumulasi
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxvi
yang berasal dari hak perseorangan baik sebagai individu ataupun sebagai oanggota
masyarakat.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak
asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat dirinya serta keharmonisan
lingkungannya. Disamping itu manusia juga mengemban tugas mengelola dan
memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia.Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, yang bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun.
Pasal 3 Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999 menetapkan bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil
serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh
karena itu mendapatkan pelayanan publik merupakan sesuatu yang sudah selayaknya
didapat oleh masyarakat yang membutuhkan, karena pelayanan publik juga termasuk
bagian dari hak asasi manusia.
B. Pengertian Perlindungan Hukum
Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan
adil. Untuk mencapai kedamaian Hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan
mengadakan perimbanagn antara kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain
dan setiap orang harus memperoleh apa yang menjadi haknya.46 Berkenaan dengan
tujuan tersebut hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, dimana hukum
bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi
wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian
hukum itu sendiri. Beranjak dari hal tersebut, berbagai pakar di bidang hukum maupun
di bidang ilmu sosial lainnya mengemukakan pandangannya masing-masing tentang
tujuan hukum itu sendiri berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat,
Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun
mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari
pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dengan demikian berdasarkan pada konsep perlindungan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa perlindungan hukum adalah suatu jaminan perlindungan pemerintah
yang diberikan terhadap warga negara sebagai subyek hukum dalam bentuk perangkat
hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis
46 Van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm.
10-11
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxvii
maupun tidak tertulis dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
pengertian ini perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu
konsep dimana hukum dapat memberikan ketertiban, keadilan, kepastian, kemanfaatan
dan kedamaian bagi masyarakat.
C. Asas-Asas Dalam Pelayanan Publik Oleh Pemerintah
Sebagaimana penulis jelaskan di awal, bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma dari rule government menjadi good
governance, dalam paradigma dari rule government penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan publik senantiasa menyandarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau
negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun ekstern birokrasi.
Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan
pelayanan publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari
good governance.
Salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah adalah pelayanan publik. Peraturan perundangan Indonesia telah
memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan atas
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme
menyebutkan asas-asas tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum, Transparan, Daya
Tanggap, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung Jawab, Akuntabilitas dan Tidak
Menyalahgunakan Kewenangan sebagai berikut: Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme disebutkan
beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalan negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan negara.
Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang
berdasarkan suatu keputusan pemerintah meskipun keputusan itu salah. Jadi demi
kepastian hukum setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak
untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. Asas
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxviii
ini menghendaki terciptanya penyelenggaraan negara yang tertib dan teratur dalam
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan.
3. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Asas ini menghendaki agar
pemerintah dalam menjalankan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum
di atas kepentingan pribadi maupun golongan. 4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas ini menghendaki agar pemerintah
dalam menjalankan tugasnya selalu memberikan akses informasi kepada
masyarakat dalam setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan.
5. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara negara. Asas ini menghendaki pemerintah dalam
menjalankan tugasnya selalu mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini menghendaki pemerintah dalam menjalankan tugasnya selalu memberikan kepada
para ahli yang memiliki keahlian di bidangnya sehingga tugas-tugas pemerintahan
dapat berjalan dengan lancar.
7. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini
menghendaki pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan hasil
akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van
behoorlijk bestuur) ini menjadi landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas tersebut digunakan oleh para aparatur penyelenggara kekuasaan negara dalam
menentukan perumusan kebijakan publik pada umumnya serta pengambilan keputusan
pada khususnya, jadi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) ini
diterapkan secara tidak langsung sebagai salah satu dasar penilaian.
Sesuai dengan penjelasan di atas, menurut Philipus M. Hadjon, Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) harus dipandang sebagai norma-norma
hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang
tepat dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan
teliti. Dapat pula dikatakan bahwa AAUPL adalah asas - asas hukum tidak tertulis,
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxix
dari mana untuk keadaan – keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum
yang dapat diterapkan.47
Senada dengan asas umum pemerintahan yang baik yang telah penulis
sebutkan di atas, Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun menyebutkan macam-macam
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) adalah sebagai berikut :48
1. Asas Kepastian Hukum
Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang
berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi
kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak
untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan.
2. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian
atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang
jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang
dilakukan oleh seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus
yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian
hukum.
3. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan
Asas ini menghendaki badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam
arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Meskipun demikian,
agaknya dalam kenyataan sehari-hari sukar ditemukan adanya kesamaan mutlak
dalam dua atau lebih kasus. Oleh karena itu, menurut Philipus M. Hadjon, asas ini
memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan.
4. Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan
Asas ini menghendaki agar pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalam
melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sehingga
tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Apabila berkaitan dengan tindakan
pemerintah untuk mengeluarkan keputusan, pemerintah harus mempertimbangkan
secara cermat dan teliti semua faktor dan keadaan yang berkaitan dengan materi keputusan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, juga harus mempertimbangkan akibat-akibat
hukum yang muncul dari keputusan tata usaha negara tersebut.
5. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan
Asas ini menghendaki setiap keputusan badan-badan pemerintah harus mempunyai
motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan
sedapat mungkin alasan atau motivasi itu tecantum dalam keputusan. Motivasi atau
47 Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta,
Gajah Mada University Press, hlm. 265-266
48 SF. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik di Indonesia, Tulisan Pada Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, Yogyakarta, UII Press, hlm. 29-39
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxx
alasan ini harus benar dan jelas sehingga pihak administrabele memperoleh
pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang ditujukan kepadanya. Asas
pemberiaan alasan ini dapat dibedakan dalam tiga sub varian berikut ini :
1. Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan
2. Ketetapan harus memiliki dasar fakta tang teguh
3. Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung 6. Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan
Kewenangan pemerintah secara umum mencakup 3 (tiga) hal, yaitu kewenangan
dari segi material (bevoegheid ratione materiale), kewenangan dari segi wilayah
(bevoegheid ratione loci), dan kewenangan dari segi waktu (bevoegheid ratione
temporis). Asas tidak mencampuradukkan kewenangan ini menghendaki agar
pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain
selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan
wewenang yang melampaui batas.
7. Asas Permainan yang Layak (fair play)
Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatanuntuk membela diri
dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan
dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Asas keterbukaan ini
mempunyai fungsi-fungsi penting, yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi partisipasi
2. Fungsi pertanggungjawaban umum dan pengawasan keterbukaan
3. Fungsi kepastian hukum
4. Fungsi hak dasar
8. Asas keadilan dan Kewajaran
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara
selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap
orang.
9. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus
menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu, aparat
pemerintah harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah
terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak
menguntungkan bagi pemerintah.
10. Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal
Asas ini berkaitan dengan pegawai, yang dipecat dari pekerjaannya dengan suatu
surat ketepan (beschikking). Proses menempatkan kembali pada pekerjaan semula,
pemberian ganti rugi atau kompensasi, dan pemulihan nama baik merupakan cara-cara untuk meniadakan akibat keputusan yang batal atau tidak sah.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxi
11. Asas Perlindungan Atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi
Asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap
pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara,
sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan
melindungi hak asasi setiap warga negara. Dengan kata lain, asas ini merupakan
pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum, yakni perlindungan hak asasi. 12. Asas Kebijaksanaan
Asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya
diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus
terpaku pada peraturan perundang-undangan formal karena peraturan perundang-
undangan formal atau hukum tertulis itu selalu membawa cacat bawaaan yang
berupa tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua persoalan serta cepat
ketingggalan zaman, sementara perkembangan masyarakat itu bergerak dengan
cepat dan dinamis. Oleh karena itu, pemerintah bukan saja dituntut untuk bertindak
cepat, tetapi juga dituntut untuk berpandangan luas dan jauh serta mampu
memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari tindakannya tersebut.
13. Penyelenggaraan Kepentingan Umum
Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua
aspek kehidupan orang banyak. Penyelenggaraan kepentingan umum dapat
berwujud hal-hal di antaranya :
1. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai kepentingan negara, di
mana contohnya tugas pertahanan dan keamanan
2. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama dari warga
negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara sendiri yang contohnya
adalah persediaan sandang pangan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain.
3. Memelihara kepentingan bersama tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh para
warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan negara. Contohnya pendidikan
dan pengajaran, kesehatan, dan lain-lain. 4. Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang tidak
seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk
bantuan negara karena adakalanya negara memelihara seluruh kepentingan
perseorangan tersebut yang contohnya adalah memelihara fakir miskin, anak
yatim piatu, anak cacat, dan lain-lain
5. Memelihara ketertiban, keamanan, dan kemakmuran setempat, yang contohnya
adalah perturan lalu lintas, pembangunan, perumahan, dan lain-lain.
Berdasarkan macam-macam asas umum pemerintahan di atas, maka jika
dikaitkan terhadap Pasal 4 Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik bahwa Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:
a. Kepentingan umum. Artinya Pemberian pelayanan tidak boleh
mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxii
b. Kepastian hukum. Artinya jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan.
c. Kesamaan hak. Artinya Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
d. Keseimbangan hak dan kewajiban. Artinya Pemenuhan hak harus sebanding
dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan.
e. Keprofesionalan. Artinya pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi
yang sesuai dengan bidang tugas.
f. Partisipatif. Artinya Peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan
harapan masyarakat.
g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Setiap warga negara berhak
memperoleh pelayanan yang adil.
h. Keterbukaan. Artinya setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah
mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang
diinginkan.
i. Akuntabilitas. Artinya proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Artinya Pemberian
kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam
pelayanan.
k. Ketepatan waktu. Artinya penyelesaian setiap jenis pelayanan
dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.
l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Artinya Setiap jenis
pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.
D. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh
Pelayanan Publik
Dalam konsideran Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik menegaskan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan
penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka
pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan
penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi
pengaturan secara jelas sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 25 tahun 2009
Tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxiii
Publik adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang
baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri.
Sedangkan sebagai upaya untuk menjamin kualitas pelayanan publik maka
diterbitkan pula Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kemudian lahirlah Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, bahkan di daerah kabupaten/kota lahir Peraturan
daerah tentang pelayanan publik.
Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan
profesi yang semakin penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas sambilan, tanpa payung
hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak negara
berkembang pada masa lalu.49
Sebagai sebuah lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan
administrasi negara yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan
pengelolaan sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Sebagai
profesi, pelayanan publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti
akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi semua penerima pelayanan.50
Dalam konteks era desentralisasi ini, menurut Ismail Mohamad, pelayanan
publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik. Paradigma
pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan
yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan
(customer-driven government) dengan ciri-ciri:51
1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang
memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat
mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.
49 Edi Suharto, 2008. “Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat
Dengan Kebutuhan Khusus”, artikel Disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special
Needs) pada Sektor Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara, Sahira Butik
Hotel, Bogor 9-10 Oktober 2008.hlm.
50 Edi Suharto, Ibid.
51 Ismail Mohamad, 2003, “Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi, artikel
Disampaikan dalam acara Seminar “Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi”
diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas,
Jakarta Pusat.diakses 20 Pebruari 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxiv
3. Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu
sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada
hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan.
5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6. Pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan.
7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan.
8. Lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan
9. Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain:
(1) memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide
stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5)
memiliki complex and debated performance indicators, serta (6) seringkali menjadi
sasaran isu politik.
Dalam hal perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam memperoleh
pelayanan publik terkait adanya hubungan hak dan kewajiban yang harus dilindungi
oleh pemerintah, di mana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memberikan hak kepada masyarakat untuk:
a. Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
b. Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
c. Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
d. Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;
e. Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan
apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
f. Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
g. Mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan
dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; h. Mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan
dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan
ombudsman; dan
i. Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.
Menurut Philipus M. Hadjon terdapat 2 (dua) macam perlindungan hukum
secara umum, yaitu:52
1. Perlindungan hukum preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini sebaiknya hukum diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapatkan bentuk yang definetif. Tujuannya adalah untuk mencegah
52 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya, Bina Ilmu, hlm. 3-5
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxv
terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi
tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan
adanya perlindungan preventif ini pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati
dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum
ada pengaturan secara khsusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2. Perlindunghan hukum represif Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa termasuk
dalam perlindungan hukum represif adalah penanganan perlindungan hukum oleh
peradilan administrasi di Indonesia.
Jadi, perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan
publik oleh pemerintah daerah memiliki arti memberikan perlindungan kepada
masyarakat agar terlindungi dengan perangkat-perangkat hukum. Dengan kata lain,
perlindungan hukum bagi masyarakat merupakan upaya memberikan perlindungan
secara hukum agar hak-hak maupun kewajiban masyarakat sebagaimana penulis
jelaskan di atas dapat dilaksanakan pemenuhannya, sehingga di dalam perlindungan
hukum bagi masyarakat dalam memperoleh hak pelayanan publik oleh pemerintah
daerah yang terutama ialah perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat.
Hukum merupakan salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk tercapainya tujuan perlindungan tersebut baik dari segi hukum pidana, hukum perdata maupun
hukum administrasi Negara/publik.
J. Satrio menyebutkan bahwa setiap manusia, dalam arti hukum diakui sebagai
pribadi atau subyek hukum yang mempunyai wewenang berhak yang
dimulai dari saat lahirnya dan akan beralih kepada pewaris dengan
meninggalnya.53
Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya ialah untuk
mengintegrasikan dan mengoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa
berbenturan satu sama lain, sehingga bisa ditekan sekecil-kecilnya benturan itu.
Pengorganisasian kepentingan-kepentingan dilakukan dengan membatasi dan
melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sesuai dengan keinginan dan hak masyarakat.
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa analisis yang telah penulis paparkan dalam hasil dan
pembahasan di awal sebagai jawaban atas permasalahan yang telah ditetapkan, maka
diakhir penelitian ini penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Mengenai sistem pelayanan publik menurut hukum positif di Indonesia, telah diatur
oleh beberapa peraturan peruturan perundang-undangan secara hierarkis dalam
53 J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi Bagian I - Persoon Alamiah, Bandung, Citra
Aditya Bakti, hlm. 13-20
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxvi
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Inpres Nomor 5
Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di
Bidang Usaha, Inpres Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan
Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Surat Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang
Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Kemudian pada awal reformasi pemerintah melalui Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk
Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.
2. Perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik oleh
pemerintah melalui perlindungan hukum preventif maupun perlindungan hukum
represif memiliki makna memberikan perlindungan kepada masyarakat agar
terlindungi dengan perangkat-perangkat hukum. Perlindungan hukum bagi
masyarakat merupakan upaya memberikan perlindungan secara hukum agar hak-
hak maupun kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan terpenuhi di
antaranya hak atas kebenaran isi standar pelayanan; hak untuk mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; hak mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang
diajukan; hak mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;
hak atas memberitahukan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; hak
mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan
dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; dan
hak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan
pelayanan.
SARAN
1. Perlu adanya penetapan “standar pelayanan publik” yang merupakan komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan berkualitas atas dasar
akumulasi/perpaduan harapan masyarakat dan kemampuan sarana dan pra sarana
pihak penyelenggara pelayanan.
2. Agar perlindungan hukum bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik
oleh pemerintah daerah berjalan secara optimal, maka disarankan perlu adanya
“penetapan dan pengembangan standar proses operasional” atau yang biasa
dikenal standard operating procedures. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan
proses pelayanan publik tersebut berjalan secara konsisten. Selain hal tersebut di
atas, juga disarankan adanya karakter positif/komitmen kebijakan pemerintah
daerah dalam mengembangkan pelayanan publik mengingat kebutuhan pelayanan
publik tiap satuan tingkatan pemerintah daerah otonom tidak sama disebabakan perbedaan kultur masyarakat, letak dan kondisi geografis daerah, tingkat dan
macam kebutuhan masyarakat serta kemampuan masing-masing daerah.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxvii
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PASAL 174 PP NO. 44 TAHUN 1993
TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR
Oleh:
M..Amin Rachman, S.H.,MH.*
ABSTRAK
. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan
nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga
harus dilakukan penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan
kepemilikan sepeda motor dari penjual kepada pembeli. Perobahan status
kepemilikan sepeda motor yang didaftarkan, akan melahirkan perobahan
nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan;
Kata Kunci: Tinjauan Yuridis – Bea Balik Nama – Kendaraan Bermotor.
LATAR BELAKANG
Setiap penyerahan benda-benda terdaftar menghendaki adanya balik nama atau
penyerahan secara yuridis yang memerlukan akta otentik. Benda-benda terdaftar pada
perkembangan zaman sekarang ini tidak saja meliputi benda-benda tidak bergerak tetapi
juga mencakup benda-benda bergerak.
Pendapat-pendapat modern cenderung untuk mengakui perbedaan benda pada
benda-benda atas nama dan tidak atas nama atau benda-benda terdaftar dan benda-
benda tidak terdaftar daripada perbedaan secara lama yaitu benda bergerak dan benda
tidak bergerak.54 Yang dimaksud benda-benda terdaftar ialah benda-benda dimana
pemindahan dan pembebanannya disyaratkan harus didaftarkan dalam register. Tujuan
diadakan pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum.
Disamping itu juga harus diakui bahwa ketentuan melaksanakan pendaftaran juga
terdapat kepentingan fiskal.
54A. Yuda Hernoko, Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek
Hukum Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 2001, h.11
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxviii
Benda bergerak yang terdaftarpun dalam penyerahannya mendapat perlakuan
yang sama dengan benda-benda tidak bergerak, yaitu memerlukan adanya penyerahan
secara yuridis. Hanya dengan penyerahan nyata saja belum menimbulkan adanya
pemilik baru. Dalam karya ilmiah ini, saya menunjuk pada peristiwa jual beli kendaran
bermotor bekas yang dijumpai dalam masyarakat. Sengaja dipilih kendaran bermotor
yang bekas karena penguasaan terhadap benda ini sering dilakukan tanpa balik nama. Kendaraan bermotor adalah benda bergerak, benda bergerak pada umumnya
berlaku syarat penyerahan sekaligus, antara penyerahan nyata (feitelik levering) dan
penyerahan yuridis (yuridische levering) jatuh bersaman pada waktu benda diserahkan.
Anggapan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat, sehingga penyerahan secara
yuridis yang harus dilakukan terhadap benda bergerak terdaftar sering diabaikan. Di
lapangan praktek asal barang sudah ditangan maka ia menjadi pemilik.
Maksud ketentuan di atas, sebenarnya menghendaki agar setiap peralihan
kendaran bermotor diikuti dengan penyerahan kekuasaan melalui balik nama. Namun
dalam praktek, justru yang dinyatakan sebagai pemilik bukanlah orang yang tersebut
sebagai pemilik dalam STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) atau BPKB (Bukti
Pemilik Kendaraan Bermotor), melainkan secara faktual yang menguasai kendaraan
beserta surat-suratnya (dalam hal ini STNK dan BPKB). Ketentuan ini cenderung memberikan perlindungan kepada para pemegang kendaraan bermotor.
Dalam sistem Eropa dikenal adanya lembaga bezitt. Pasal 1977 KUH Perdata
menyabutkan bahwa “terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun
piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang
menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.55 Dalam teori-teori tentang basit, baik
eigendoms theorie maupun legitimetie theorie, soal penyerahan tidak perlu dilakukan
oleh orang yang berwenang, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 548 KUH
Perdata, tentang cara memperoleh hak milik.56
Sistem yang dibicarakan diatas sepanjang mengenai sistem yang dikenal dalam
KUH Perdata. Mengenai sistem-sistem yang lain yang terdapat dalam hukum adat,
maka ini menjadi pedoman dalam pembahasan karya ilmiah ini. Selaras dengan adanya suatu prinsip law is a tool of social engineering guna merintis jalan yang lapang untuk
memungkinkan terlaksananya pembangunan ekonomi yang lancar, khususnya proses
transaksi kendaraan bermotor dalam tradisi (hukum) adat, dengan jalan
mengaplikasikan nilai-nilai yang kerap dipraktekkan dalam transaksi jual beli kendaraan
bermotor melalui fungsi rechtsvinding (penemuan hukum).57
55Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab Tentang
Hukum Benda, Cet.I, bina ilmu, Surabaya, 1984, h..63. 56Ibid., h..66. 57Soetandyo Wignjosoebroto, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan
Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga
Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco, Bandung, 1995, h. 419.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxix
Alternatif lain tidak dilaksakannya penyerahan yuridis, adalah kemungkinan
menghindari pengenaan bea balik nama. Alternatif-alternatif ini menjadi latar belakang
permasalahan dalam karya ilmiah ini.
Padahal dalam sisi lain, menghendaki adanya kepastian hak dan kepastian hukum. Agar
tujuan ini tercapai pembuat undang-undang menghendaki adanya proses balik nama
untuk memperoleh hak milik berdasarkan suatu alas hak. Sedangkan pembuat undang-undang berpendapat tidak ada pemilikan yang sah terhadap pemilikan kendaraan
bermotor tanpa dilakukan proses balik nama kepada pemilik yang terakhir sebagai
pemilik yang sebenarnya dan sah secara hukum. Sedangkan kenyataan yang terjadi,
masyarakat sudah dapat menganggap menjadi pemilik dan merasa mendapat kepastian
walaupun penyerahan secara yuridis tidak dilaksanakan. Sejauh mana akibat hukum dari
pemilikan terhadap benda-benda ini, menjadi pokok bahasan dalam karya ilmiah ini.
Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik permasalahan konkrit dengan
rumusan sebagai berikut:
a. Bagaimana perlindungan hukum atas jual beli kendaraan bermotor ?
b. Bagaimana proses penyerahan yuridis atas benda-benda terdaftar dalam suatu
transaksi?
c. Bagaimana akibat hukum terhadap pemilikan kendaraan bermotor ?
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR
A. Jual beli harus dilaksanakan oleh orang yang berhak
Sebagaimana diatur dalam pasal 584 KUH Perdata, salah satu cara
memperoleh hak milik harus dilaksanakan oleh orang yang berwenang. Orang yang berwenang mempunyai kewenangan berhak (beschikkingsbevoegdheid) untuk
memindahkan milik ketangan lain.58 Hanya ada dua persoalan yang ingin saya
kemukakakan dari pasal ini, yaitu pertama pemindahan milik oleh orang berhak atas itu
dan kedua titel (alas hak) yang menjadi alasan bagi pemindahan tadi.
Persyaratan untuk kewenangan berhak adalah tidak lain dari suatu penerapan
azas tiada seorang pun dapat memindahkan hak lebih dari pada apa yang ia miliki
sendiri (Nemo plus juris ad alium transfere potest quam ipse haberet) atau dengan kata
lain : “tidak seorangpun dapat menerima suatu hak dari tangan seseorang yang tidak
berhak.”59
Mengenai benda bergerak dalam hal ini harus diperhatikan pasal 1977 KUHP
Perdata yang berbunyi untuk benda bergerak yang tidak terdiri atas bunga atau piutang
58Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Loc.cit. 59Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty,
Yogyakarta, 2000, h.122.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxx
yang pembayarannya dapat dilakukan kepada pemegangnya (toonder papieren), berlaku
ketentuan “bezit merupakan titel yang sempurna”60
Dalam teori kausal, alas hak menjadi alasan penting bagi pemindahan hak
milik itu. Suatu yang menyebabkan pemindahan tersebut sama sekali tidak dapat
dilepaskan dari titel tersebut. Jadi apabila perjanjian tersebut batal , maka pemindahan
atas hak milik akan batal. Dalam jual beli kendaran bermotor bekas dari tangan ke tangan lain yang
sering terjadi, kurang memperhatikan siapa orang yang berwenang. Sesuai dengan
ketentuan di atas, bila jual beli demikian dilakukan oleh orang yang tidak berwenang
seharusnya batal, karena sahnya perjanjian menjadi sumber pokok perpindahan milik.
Pendapat ini sesuai dengan kehendak para pembuat undang-undang. Mereka
memandang bahwa sahnya perjanjian jual beli harus dilakukan oleh orang yang
berwenang, artinya orang itu dapat menunjukkan akta / surat-surat tanda pemilikan atas
namanya. Agar pihak ketiga (pembeli barang) menjadi orang yang berwenang baru,
maka setiap perpindahan hak milik harus disertai balik nama. Inilah seharusnya
ketentuan yang berlaku terhadap benda-benda terdaftar. Antara orang yang berwenang,
atas hak yang sah dan penyerahan yuridis merupakan suatu proses pemindahan hak
milik. Jika salah satu diantaranya tidak sah, maka pemindahan milik itu batal demi hukum.
Pada pokoknya, pemindahan benda-benda terdaftar menyerupai benda-benda
tidak bergerak, seperti yang berlaku sebagai berikut: kesepakan kehendak saja
kebanyakan belumlah untuk melakukan perpindahan hak milik. Acapkali disyaratkan
bahwa persetujuan kebendaan (zakelijk overeenkomst) itu diikuti dengan formalitas-
formalitas tertentu. Demikian penyerahan pada benda-benda tidak bergerak adalah tidak
cukup, bila hanya ada kehendak dari pihak-pihak saja. Untuk itu, di samping diperlukan
pula adanya suatu akta notariil (617 KUH Perdata, yang dibalik nama dalm daftar
umum pasal 616KUH Perdata).
Penafsiran lain mengenai pasal 584 di atas dikenal dengan teori abstrak.
Menurut ajaran abstrak, penyerahan dan atas hak itu merupakan hal-hal yang terpisah satu sama lain. Untuk sahnya penyerahan tidak tergantung pada alas hak nyata.
Sehingga menurut abstrak yang murni konsekuensinya bisa terjadi bahwa penyerahan
itu akan sah juga sekalipun titelnya tidak sah, bahkan sekalipun tanpa titel.61
Ajaran ini berlawanan dengan yang diuraikan sebelumnya, pendapat di atas
cenderung mengatakan sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak
berwenang. Seperti dikatakannya dalam teori ini, bahwa alas hak dan penyerahan
merupankan hal yang terpisah. Dengan demikian transaksi jual beli dimaksud dianggap
sudah dapat menimbulkan penyerahan yang sah.
60Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Cet.I, PT.Pembimbing Masa, Jakarta,
1969, h.174.
61Soetojo Prawirohamidjojo R dan Marthalena Pohan, Op.cit., h..43.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxi
Disamping itu, terdapat cara-cara memperoleh hak milik diluar pasasl 584.
Apakah cara ini menjadi lembaga baru untuk mengatur benda-benda terdaftar dan tidak
terdaftar. Undang-undang mengatur tersendiri, walaupun pengaturannya tidak
berdasarkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam KUH Perdata. Namun lembaga
penyerahan mempunyai peranan penting dalam pengaturan benda-benda semacam ini.
Apabila kita berfikir sederhana, seperti kebanyakan anggapan masyarakat, orang yang berwenang terhadap benda-benda berupa kendaraan bermotor adalah
pemegang sendiri. Mereka merasa dapat bebas mengadakan jual beli tanpa harus terikat
kewajiban penyerahan secara yuridis, dan tanpa rasa khawatir jual beli akan dibatalkan.
B. Status Pemilikan
Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat, agar jangan
sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-penyimpangan, akan tetapi
masyarakat selalu berkembang dan berubah. Ketentuan yang semula diatur secara rinci
dan jelas ternyata pada akhirnya tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat.
Ditinjau dari segi yuridis, setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan, jelas
hukum tidak akan memberikan kepastian hak dan kepastian hukum.
Dalam hal kepastian hukum diberikan kepada mereka yang berhak atas milik.
Artinya yang dimaksud dengan hak, tidak hanya penguasaan pada suatu benda, akan
tetapi meliputi kepentingan hukum yang menyertainya. Terhadap penguasaan di sini
saya juga menggunakan istilah pemilikan, karena dipandang lebih sesuai dengan
keadaan dalam praktek.
Dalam jual beli kendaraan bermotor bekas, masyarakat cenderung melupakan
kepentingan hukumnya daripada pemilikannya, untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemilikan
dalam konteks ini dianggap lebih bermanfaat dari pada kepentingan hukumnya. Apakah
karena tidak mempunyai arti ekonomis, kepentingan hukum selalu dikorbankan? Kedua
aspek ini tidak harus dipertentangkan. Antara kebutuhan ekonomi dan kepentingan
hukum memang berbeda. Tetapi perbedaan ini bukan untuk saling mengorbankan. Jika
ekonomi berputar, maka hukumnya harus diterapkan. Peranan hukum yang sangat penting adalah kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan
antar manusia di dalam masyarakat.
Apabila kita berfikir yuridis antara kepentingan hukum dan pemilikan benda-
benda itu adalah melekat pada suatu “hak”. Timbulnya kepentingan hukum adalah
karena adanya penguasaan/pemilikan tehadap benda. Apabila pemilikan dipindahkan
juga berarti kepentingan hukumnya juga harus dipindahkan. Dan pemilik pertama tidak
lagi mempunyai kepentingan hukum.
Benda-benda bergerak adalah pembagian yang sudah lama dikenal masyarakat,
dan jumlahnya jauh lebih besar dari pada benda-benda serupa yang terdaftar. Benda-
benda bergerak dalam lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum benda diperlakukan
sangat berbeda dengan benda-benda tidak bergerak, yang menyerupai benda-benda terdaftar. Pergeseran kecenderungan dari pembagian benda-benda bergerak atau tidak
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxii
bergerak menjadi benda terdaftar atau tidak terdaftar, ternyata belum dapat
meninggalkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam mengatur benda-benda bergerak
atau tidak bergerak. Seperti dapat dilihat dalam pasal 1977 KUH Perdata. Hukum ini
menghapuskan persyaratan kewenangan berhak untuk memperoleh benda-benda
bergerak yang berwujud, sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dalam bezit, ada dua aspek penting yaitu aspek pembuktian dan aspek itikad baik. Benda-benda terdaftar yang menjadi kreteria baru pembagian benda masih
berlindung pada ketentuan pasal 1977 KUH Perdata. Dalam praktek, pasal 1977 KUH
Perdata sering dihadapkan dengan pasal 584 KUH Perdata. Pasal 1977 merupakan
penyelesaian dan terobosan pertama terhadap pengesahan perolehan hak milik atas
benda bergerak yang terdaftar. Untuk selebihnya mengenai hal-hal yang tidak dapat
ditampung oleh ketentuan ini, maka perlu dipancangkan pasal 584 KUH Perdata.
Di sini kembali kewenangan berhak menentukan sahnya penyerahan hak milik.
Penyerahan yuridis terhadap benda-benda bergerak terdaftar, tetap harus dilakukan.
Bilamana penyerahan yuridis atau balik nama tidak dilakukan, maka selama itu pula
kepemilikan atas benda bergerak terdaftar adalah milik si empunya yang lama atau
penjual.
Transport akta (akta peralihan) memerlukan adanya pendaftaran, di mana dalam penyelenggaraan pendaftaran, dikenal adanya sistem negatif dan sistim positif.
Sistim ini lazim digunakan dalam pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah.
Surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan untuk benda-benda bergerak terdaftar
dapat dikatakan menganut sistim positif.
Sistem positif menganggap bahwa apa yang tercantum dalam pendaftaran
merupakan alat pembuktian yang mutlak. Bila sistim ini berlaku atas tanah, maka
bertujuan untuk kepentingan tentang bisa atau tidaknya di adakan pembuktian baru
dalam gugat yang diajukan.
Terhadap benda-benda bergerak yang terdaftar cenderung menganut sistim
positif. Di sini tidak bisa digunakan sistim negatif karena tidak menghendaki adanya
pembuktian baru. Dan sudah barang tentu apabila sistim ini digunakan tidak akan berjalan efektif. Dalam ilmu hukum sistim-sistim ini tidak digunakan terhadap benda-
benda terdaftar. Hanya dapat dimengerti bahwa hak yang diberikan kepada pemilik
mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat publiekrechtelijk.
Semua hak-hak (subjectieve rechten), maksudnya kewenangan-kewenangan
yang diberikan oleh hukum, yang mempunyai sifat baik publiekrechtelijk itu maupun
privatrechtelijk. Kewenangan-kewenangan publiekrechtelijk itu tidak dapat dipindahkan
(niet overdrangbear). Demikian misalnya, hak pilih tidak dapat dipindahkan.
Kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada pemilik benda-benda bergerak
terdaftar bersifat publiekrechtelijk, artinya hak itu tidak dapat dipisahkan dari bendanya
sebab berkenaan dengan pengenaan pajak.62 Pajak hanya dapat dikenakan kepada orang
62Moch. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma
Muda, Surabaya, 1996, h.127.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxiii
yang langsung menikmati benda yang dalam penguasaannya. Hak wajib pajak ini tidak
dapat dipindahkan atau dikenakan pada orang lain yang tidak langsung menikmati
bendanya.
C. Bentuk Penyimpangan Hukum
Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat setiap
ketentuannya, agar jangan sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-
penyimpangan. Walaupun tidak bersifat statis, namun peerkembangan masyarakat lebih
cepat dibandingkan dengan ketentuan hukum yang ada. Ketentuan yang dibuat
tertinggal dan tidak dapat menampang kenyataan yang ada. Selama undang-undang ini
belum dirubah atau diganti, maka ia akan tetap dipertahankan. Setiap perbuatan yang
menyimpang dari ketentuan itu, jelas hukum tidak akan memberikan perlindungan yuridis berupa kepastian hak dan kepastian hukum. Sudah barang tentu pada waktu
undang-undang dibuat, akan selalu menganggap bahwa setiap orang dapat bertindak
jujur. Sebab undang-undang hanya dapat dilaksanakan dengan kejujuran serta membuat
pagar agar setiap orang jangan bertindak tidak jujur. Tentang kejujuran sering
dibicarakan dalam hukum perjanjian dan sering disebut dengan tegoeder trouw (itikad
baik), yang dapat diartikan bahwa apa yang menjadi tujuan seseorang, bertindak akan
sesuai dengan apa yang direncanakan dalam hati sebelumnya.
Memperoleh hak kebendaan pada umumnya berasal dari suatu perjanjian, yaitu
perjanjian yang menimbulkan kewajiban pernyerahan hak milik. Penyerahan hak milik
benda-benda terdaftar dibebani proses balik nama dan dikenakan bea. Bea balik nama
kendaraan bermotor (BBNKB) merupakan bea langsung yang obyeknya adalah transaksi. Jadi dasar pelaksanaan balik nama adalah suatu transaksi. Transaksi dapat
meliputi perhubungan hukum (titel), kewajiban dan penyerahan. Proses balik nama
adalah ketentuan yuridis, yang selama ini hanya dikenal dalam penyerahan atau
peralihan atau pemindahan hak milik. Di mana ketentuan ini seharusnya diletakkan,
apabila hanya disebut transaksi, maka peristiwa jual beli kendaraan bermotor bekas
sudah melalui perjanjian, pelaksanaan kewajiban dan penyerahan. Andaikata yang
disebut transaksi ini lebih menitik-beratkan kepada titelnya, maka kemungkinan semua
penyerahan yuridis dengan kewajiban membayar bea balik nama. Penyerahan terhadap
benda-benda terdaftar semacam kendaraan bermotor bekas harus melalui pendaftaran,
yaitu mengganti nama pemilik semula ke pemilik yang baru dengan dinyatakan dalam
surat-surat otentik BPKB dan STNKB-nya. Kewajiban terhadap pendaftaran ini yang
biasanya enggan dilaksanakan. Agar hukum tidak menjatuhkan sanki yuridis kepada pemilik kendaraan bermotor tanpa surat-surat yang dibalik nama, sering dijumpai para
pihak mengadakan persepakatan tersendiri untuk tidak menggunakan jalur hukum.
Misalnya tidak saling mengadakan tuntutan.
Walaupun hukum perdata menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan,
namun hukum diselenggarakan oleh negara untuk kepentingan perorangan maupun
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxiv
masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian campur tangan negara adalah demi
kepentingan negara. Agar kepentingan ini tidak dikorbankan, maka undang-undang
menetapkan aturan-aturan membayar pajak setiap transaksi peralihan kendaraan
bermotor agar dilaksanakan balik nama.
Dalam hukum benda, tidak dapat diciptakan hak-hak baru kecuali yang telah
ditentukan. Sedang dalam hukum perjanjian, karena sebagian besar merupakan regelen (pelengkap saja) dapat menciptakan hal-hal baru diluar ketentuan yang ada.
Di sini ada dua sifat yang saling berhadapan, yaitu sifat tertutup pada hukum
benda disatu pihak dan sifat terbuka pada hukum perikatan. Apabila ketentuan dalam
hukum benda tidak dilaksanakan berarti masyarakat cenderung bergantung pada sifat
dari ketentuan-ketentuan hukum perikatan. Dalam perjanjian dikenal adanya kebebasan
berkontrak Kebebasan ini dianggap “menyelamatkan” dari ketentuan-ketentuan yang
bersifat tertutup. Akan tetapi dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenal
adanya perbuatan untuk melaksanakan suatu ketentuan untuk tidak melaksanakan suatu
ketentuan yang lain. Dalam hukum perjanjian memang diakui bahwa setiap perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(pasal 1338 KUH Perdata).63
Salah satu unsur syarat perjanjian yang sah adalah itikad baik, di sini peranan kejujuran setiap orang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang. Apabila terjadi
persepakatan untuk menyimpangi suatu ketentuan yang lain dari undang-undang, maka
hukum memberi sanksi batal dan perjanjian tidak boleh dilaksanakan. Inilah pagar-
pagar yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang. Namun pagar-pagar ini
merupakan benda mati. Sedang yang berubah adalah manusianya sebagai pelaksana dari
undang-undang, maka pagarpun tetap dapat diterobos.
Jika azas dari pasal 1338 KUH Perdata ini dipergunakan untuk memperkuat
pemilikan benda-benda terdaftar berupa kendaraan bermotor, ini berarti terhadap obyek,
pemilik hanya mempunyai hak perorangan saja. Benda-benda ini hanya dapat
dipertahankan kepada orang-orang tertentu atau pemilik sebelumnya. Ini hasil yang
diperoleh dari pemilikan tanpa melaksanakan ketentuan yang ada. Padahal pemilikan atas benda-benda ini adalah untuk memperoleh hak-hak kebendaan, yaitu yang
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap
tiap orang.64 Agar dapat dipertahankan undang-undang memerintahkan penyerahan
yuridis terhadap benda-benda terdaftar.
PROSES PENYERAHAN YURIDIS BENDA-BENDA TERDAFTAR
A. Dasar Hukum
63Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.66-67. 64Achmad Ichsan, Op.cit., h.154
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxv
Dasar hukum kewajiban melaksanakan balik nama kendaraan bermotor adalah
dikarenakan terdapat suatu kewajiban untuk selalu mendaftarkan, demikian pula
bilamana terjadi perobahan kepemilikan karena penjualanan kendaraan bermotor
diwajibkan pula untuk melaporkan terjadinya perobahan kepemilikan atas kendaraan
bermotor tersebut. Hal ini mengacu pada: - Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992;
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993;
- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993;
- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993.65
Kendaraan bermotor menurut pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 14 tahun
1992 adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada
kendaraan itu. Adapun kendaraan itu sendiri dalam angka 6 pasal yang sama
didefinisikan sebagai suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan
bermotor atau kendaraan tidak bermotor.
Setiap balik nama kendaran bermotor, diwajibkan membayar bea balik nama
yang disebut bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 pasal 174 ayat 2. Ketentuan dalam pasal ini adalah bersifat imperatif, karena terimplementasikan dari kata “wajib”, namun dalam praktek
setiap pelanggaran atas pasal di atas pengenaan sanksinya menjadi kabur, seolah tidak
ada sanksi hukum terhadap pembeli kendaraan sepeda motor yang tidak melakukan
balik nama.
Kemudian dijumpai pula ketentuan yang tertera di balik Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (STNKB) bahwa STNK harus diadakan perubahan atau
penggantian STNK di daerah yang bersangkutan bilamana:
a. Identitas pemilik berobah;
b. Spesifikasi tehnis kendaraan berobah;
c. STNK hilang;
d. STNK rusak; e. Dioperasikan 3 (tiga) bulan terus menerus di daerah lain;66
Memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, timbulnya kewajiban penyerahan
secara yuridis/balik nama hanya ditentukan oleh lima alasan di atas, selebihnya tidak
ada ketentuan yang mengaturnya. Bagi pejabat yang berwenang melakukan balik nama
kendaraan bermotor, dapat menentukan kapan terjadinya waktu atau saat timbulnya
kewajiban tersebut. Hal ini adalah tidak mungkin ditetapkan secara pasti dan matematis,
sehubungan terjadinya transaksi sepeda motor antar pedagang dengan konsumen atau
65Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pelaksanaannya 1993, Cet.I, BP. Tri Rasaki,
Jakarta, 1993, h.3. 66Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 04 April 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxvi
antar pedagang dengan pedagang “tidak pernah diberitahukan”. Sedang bagi kendaraan
bermotor bukan pemilik, masalah tersebut selalu dapat dibuat seakan-akan belum
menimbulkan kewajiban balik nama sesuai ketentuan-ketentuan diatas. Ketentuan-
ketentuan tentang jangka waktu yang berbeda-beda di atas, apabila kita hubungkan
dengan masa berlaku herregistrasi yang ditetapkan satu tahun, menjadi kurang efektif.
Karena pada saat herregistrasi, disamping membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu-lintas (SWDKL), langsung dapat
dibayarkan /diselesaikan balik nama, apabila terjadi penyerahan hak milik. Sehingga
jarang orang memberikan keterangan tentang balik nama sebelum STNK lama habis
masa berlakunya. Mengingat STNK lama masih berlaku selama tidak dikeluarkan
STNK lain/baru atau habis masa berlakunya.
Pejabat yang bertugas melakukan balik nama kendaraan bermotor, dilarang
untuk menyelenggarakan balik nama sesuatu kendaraan bermotor, atau memberi catatan
tentang adanya penyerahan kendaraan bermotor, sebelum kepadanya diserahkan bukti-
bukti bahwa bea balik nama kendaraan bermotor beserta dendanya kalau ada, telah
dilunasi atau diserahkan sesuatu surat keterangan bahwa penyerahan kendaraan
bermotor itu bebas balik nama kendaraan bermotor.
Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan balik nama adalah : a. Penyerahan kendaraan bermotor kepada negara dan daerah otonomi;
b. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Organisasi Internasional;
c. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Diplomatik, konsuler dan wakil
lain dari negara asing.67
Dari uraian diatas, kewajiban balik nama merupakan kewajiban para pemegang
kendaraan bermotor dengan tidak mengurangi tanggung jawab terhadap pihak yang
menyerahkan kendaraan bermotor itu.
B. Proses Balik Nama Kendaraan Bermotor.
Pelaksanaan balik nama kendaraan bermotor dilakukan melalui Sistim
Administrasi Manunggal Di bawah satu Atap (SAMSAT) yang merupakan gabungan dari instansi-instansi : POLRI, Dinas Pendapatan Daerah dan PERUM Asuransi
Kerugian Jasa Raharja.
Sistim ini melayani penyelesaian kewajiban yang berkaitan dengan kendaraan bermotor
yaitu :
- Penyelesaian Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB)
- Penyelesaian pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta
- Penyelesaian Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu lintas (SWDKL)
Menyelesaikan pembayaran bea balik nama kendaraan bermotor berarti
melakukan penyerahan secara yuridis. Dalam penyerahan secara yuridis akan terjadi
mutasi terhadap pajak kendaraan bermotor. Sedang yang disebut mutasi kendaraan
67Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxvii
bermotor adalah pemindahan bagi mereka yang menguasai kendaraan bermotor yang
dipindahkan dari wilayah lain baik atas nama tetap maupun yang dipindahkan tangan
atau ganti pemilik, karena jual beli atau hibah.
Adapun syarat-syarat bagi pemilik kendaraan bermotor bekas yang diperoleh
dari pembelian atau pemindahan dari wilayah lain untuk mengajukan permohonan
STNKB atas namanya antara lain : - Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) asli dan satu (1) foto copy.
- STNK asli dan satu (1) foto copy
- Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli dan foto copy
- Surat Keterangan Fiskal yaitu surat keterangan yang menyatakan bahwa
pajak kendaraan bermotor terakhir telah lunas.
- Gesekkan nomor mesin dan nomor rangka
- Jika ganti pemilik kwitansi jual beli
- Materai68
Persyaratan diatas hampir sama dengan persyaratan untuk mengadakan
herregitrasi STNK setiap tahun, kecuali kwitansi jual beli atau segala keterangan yang
harus diberikan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Keterangan atau pemberi tahuan itu harus memuat :
- Nama dan alamat lengkap baik dari yang menyerahkan atau yang
menerima penyerahan kendaraan bermotor.
- Tanggal penyerahan
- Jenis, merk dan tahun pembikinan kendaraan bermotor, nomor chasis
(landasan atau rangka) dan nomor mesin.
- Dasar atas nama penyerahan dilakukan
- Harga penjualan atau harga pembelian69
Karena kebesasan dalam jual beli kendaran bermotor bekas yang
menyebabkan pemindahan hak milik secara nyata, tidak dapat diketahaui oleh pejabat yang berwenang melakukan balik nama kendaraan bermotor, apabila yang bersangkutan
tidak memberikan keterangan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Oleh
karena sifat yang demikian ini, maka sering terjadi penyimpangan. Seperti diketahui
kendaraan bermotor harus didaftar ulang (herregistrasi) setiap tahun, dengan persyaratan
sebagaiman diatas, tetap dapat dilaksanakan walaupun telah ganti pemilik, dengan
upaya tetap menggunakan pemilik sesuai yang diberikan STNKB/BPKB.
Meskipun persyaratan itu mentetapkan kartu tanda penduduk pemilik yang
asli (sesuai nama dalam STNKB/BPKB), dalam kenyataannya persyaratan ini dapat
dilengkapi dengan cara meminjam kepada pemilik asli. Perjanjian ini adalah perbuatan
yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Sehingga pejabat yang
68Ibid. 69Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxviii
berwenang tetap dapat mengeluarkan STNKB baru setelah STNKB yang lama habis
masa berlakunya. Dapat juga dengan membuat kwitansi kosong, yang pengisiannya
dapat diatur sendiri oleh pemegang kendaran motor bekas, yang seakan-akan belum
timbul kewajiban adanya penyerahan yaitu mewajibkan pemegang kendaraan bermotor
itu.
C. Peranan Pendaftaran Terhadap Kendaran Bermotor
Sebagaimana telah diuraikan di atas pada bab pertama, bahwa tujuan
pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum. Demi
kepentingan itu, maka setiap pemilikan kendaraan bermotor perlu didukung dengan
pendaftaran dan diberikan STNK bagi pemiliknya. Dengan demikian STNK dapat
berfungsi sebagai bukti pendaftaran, juga berfungsi sebagai surat kuasa untuk menyetor
(SKUM) bea balik nama kendaran bermotor (BBNKB), SKP Pajak Kendaran Bermotor
(PKB) dan tanda lunas sumbangan wajib dana kecelakan lalu-lintas (SWDKL).
Sehingga setiap mengadakan pendaftaran harus membayar lunas pajak itu lebih dahulu
untuk jangka waktu satu tahun. Karena pajak berlaku untuk waktu satu tahun, maka
pendaftaran harus diulangi (herregitrasi) jika masa laku satu tahun telah habis dengan membayar pajak untuk tahun berikutnya.
Kedua fungsi ini saling berkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di
satu pihak untuk kepastian hak dan kepastian hukum dan di satu pihak untuk
kepentingan pajak. Mengingat semua urusan yang berkaitan dengan kendaraan
diserahkan kepada Daerah Tingkat 1 serta penyerahan pajak-pajak negara kepada
daerah otonom, maka setiap kewajiban pendaftaran selalu dituangkan dalam peraturan-
peraturan yang melaksanakan pajak. Sehingga kepentingan pajak lebih mendominasi
dari pada sekedar melaksanakan pendaftaran.
Namun setiap pemilikan kendaran bermotor tanpa STNK yang sesuai dengan
pemilik, tetap akan merugikan pemerintah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya
transaksi jual beli yang tidak langsung diadakan balik nama. Pajak yang seharusnya
menjadi inkam (pendapatan) daerah tidak dapat dipungut karena peraturannya tidak dilaksanakan. Padahal peraturan daerah diadakan dalam rangka mengadakan efisiensi di
dalam bidang pemajakan, mengingat penjualan kendaran bermotor pada dewasa ini
tidak rendah dari pada harga penjualan atau penjualan nilai benda tidak bergerak,
sedangkan barang-barang yang berupa kendaran bermotor tersebut di dalam masyarakat
dijadikan suatu obyek spekulasi oleh para pedagang kendaran bermotor. Benda-benda
terdaftar berupa kendaran bermotor dalam penggunaannya selalu menyangkut
kepentingan umum di jalan raya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992, tentang Lalu-
lintas dan Angkutan Jalan Raya, mengatur kelancaran, keamanan dan ketertiban lalu-
lintas dan ketentuan-ketentuan pokok tentang politik pemerintah di bidang angkutan
jalan raya.
Agar undang-undang ini dapat terlaksana dengan baik, pemerintah daerah harus mengadakan pengawasan, melaksanakan uji kendaran bermotor, memelihara
keamanan serta pemberian fasilitas di bidang angkutan umum serta pemakai jalan.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxxxix
Semua ini memerlukan pengaturan dalam pemilikan. Pemberian STNK atas nama
pemilik, sebagai bukti adanya pelaksanaan pendaftaran mempunyai peranan penting
bagi terselengaranya kepentingan-kepentingan di atas, di samping tanda lunas
membayar pajak.
Untuk itu ditetapkan bahwa peraturan membayar pajak dapat dilakukan
sekaligus melaksanakan pendaftaran. Antara lain dengan membayar bea balik nama berarti telah melaksanakan peyerahan secara yuridis.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMILIKAN KENDARAN BERMOTOR
A. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Dibalik Nama
Akibat Hukum terhadap pemilikan kendaran bermotor yang tidak di balik nama
yang ditetapkan oleh peraturan-peraturan tentang bea balik nama kendaran bermotor
adalah akibatnya berupa sanksi hukum tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajak/bea balik nama kendaran bermotor, yang berupa denda.
Seperti telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang bea balik nama
kendaraan bermotor, bahwa dalam satu bulan dari saat penyerahan harus meminta surat
kuasa untuk menyetor (SKUM) bea balik nama kendaraan bermotor. Sedang
pembayaran bea balik nama ini harus dilakukan pada saat mengajukan SKUM
dimaksud. Akan tetapi apabila dalam hal seorang akan mengajukan SKUM bea balik
nama sebelum sampai pada batas waktu yang ditentukan dan belum dapat membayar
lunas bea balik nama, maka yang bersangkutan dapat menunda pengajuan permintaan SKUM bea balik nama diatas selambat-lambatnya sampai pada batas waktu tersebut.70
Jika pada batas waktu itu, belum juga dilaksanakan pengajuan SKUM, dapat
dikenakan denda sebesar 25 % ( dua puluh lima persen ) dari jumlah bea yang terutang.
Gubernur Kepala Daerah dapat memperpanjang waktu yang dimaksud dengan waktu
satu bulan, apabila untuk itu oleh yang berkepentingan diajukan permohonan pada
waktu sebelum batas waktu itu lampau dan menurut pertimbangan terdapat alasan untuk
dikabulkan. Atas permohonan tertulis dari yang berkepentingan Gubernur Kepala
Daerah berwenang mengurangi atau membebaskan dari kewajiban dimaksud bila
terdapat alasan untuk itu. Bila yang menerima penyerahan tidak setuju dengan jumlah
yang dipakai sebagai dasar pengenaan bea, ia dapat mengajukan permohonan supaya
nilai jual kendaraan bermotor ditetapkan oleh suatu komisi taksasi.71
Kewajiban balik nama merupakan beban bagi orang yang menerima penyerahan. Apabila orang tersebut tidak mampu membayar, maka orang yang
70Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 4 April 2011. 71Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxl
menyerahkan kendaraan tersebut dapat pula dipertanggung jawabkan pembebanan
pembayarannya.
Berdasarkan ketentuan diatas, sebagai dasar pertama timbulnya kewajiban
membayar bea balik nama adalah saat penyerahan, yang kemudian dari saat penyerahan
pula terhitung batas waktu, yang apabila terlampaui akan dikenakan denda. Saat
penyerahan adalah perbuatan hukum antara pihak yang menyerahkan dan yang menerima penyerahan dalam suatu perjanjian. Apabila pada saat penyerahan tidak
dibuat secara tertulis, maka sesuai ketentuan yang ada, yang digunakan sebagai syarat
penyerahan adalah kwitansi jual beli antara pihak yang mengadakan penyerahan.
Walaupun sebenarnya tanggal yang tercantum dalam kwitansi adalah saat pembayaran,
sedang yang diperlukan adalah saat Penyerahan. Padahal seperti dijelaskan dalam bab
sebelumnya, yaitu sering kali terjadi jual beli dengan kwitansi kosong, sehingga tanggal
saat penyerahan dapat diatur seakan-akan belum menimbulkan balik nama.
Dengan demikian balik namapun dapat diatur dan beapun sulit dipungut.
Perihal yang sama adalah akibat jual beli kendaraan bermotor yang dilakukan secara
lisan. Para pihak dapat membuat sendiri suatu persepakatan yang mengatur penyerahan
apabila pada suatu saat diminta saat penyerahan secara tertulis. Dalam hal ini balik
nama masih dapat dilakukan.
Terhadap penguasaan kendaraan bermotor bukan pemilik dalam waktu
yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan dalih karena perjanjian pinjam
meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk memperoleh hak milik. Dalam
peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan bermotor, sudah berusaha untuk
mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai mana di atas.
Perjanjian pinjam meminjam untuk jangka waktu yang lama, ditetapkan
apabila lebih satu tahun dianggap sebagai penyerahan dalam hak milik. Menganggap
penyerahan hak milik dengan cara tersebut diatas, merupakan ketentuan yang bersifat
“pukul rata”. Sehingga akibat negatif berupa penguasaan kendaraan bermotor yang
berasal dari perbuatan hukum yang tidak sah kurang menjadi pertimbangan.
Mengenai bea balik nama ini Pemerintah Daerah mempunyai hak utama terhadap semua barang penanggung pajak. Hak utama ini mendahului segala hak
lainnya kecuali terhadap piutang tersebut dalam pasal 1139 sub 1 dan 4 serta pasal 1149
sub 1 KUH Perdata demikian pula pasal 80 dan 81 KUH Dagang, terhadap ikatan panen
hak gadai dan hipotik yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata yang
diadakan sebelum saat pajak terutang atau dalam hal diadakannya setelah saat itu,
sepanjang untuk itu diberikan suatu surat keterangan sebagai berikut :
a. Sebelum dan sesudah diadakan hipotik (saat ini bernama Hak Tanggungan)
menurut KUH Perdata, maka pemberi hipotik dapat minta surat keterangan,
bahwa hipotik itu mendahului hak utama sebagai mana dimaksud.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxli
b. Gubenur Kepala Daerah memberi surat keterangan tersebut jika tidak ada bea
balik nama yang mendahului hipotik atau menurut pendapatnya ada jaminan
bahwa bea balik nama terserbut akan dilunasi.
c. Dalam surat keterangan itu disebutkan tahun-tahun yang bersangkutan, dan
dalam hal surat keterangan tidak diberikan, maka pemberi hipotik dapat
mengajukan keberatannya kepada Gubernur Kepala Daerah, jika menurut pendapatnya ada alasan untuk itu, sedangkan terhadap ikatan kredit, diperlukan
juga ketentuan ini.
Terhadap tanah yang dimiliki menurut hukum adat, maka hak utama ini tidak
mendahului ikatan kredit yang diadakan, sebelum saat wajib bayar bea balik nama
terjadi atau dalam hal diadakannya sesudah saat itu, sepanjang sat itu diberikan suatu
keterangan seperti dimaksud. Tanah atau barang yang digadaikan menurut hukum adat,
maka hak Pemerintah Daerah tidak mendahului hak pemegang gadai atas pembayaran
uang gadai. Hak utama akan hilang setelah dua tahun sejak tanggal surat kuasa untuk
menyetor atau jika dalam waktu itu diberitahukan surat paksa untuk membayar dua
tahun setelah diberitahukannya akta tuntutan yang terakhir. Dalam hal ini diberitahukan
penundaan pembayaran, maka waktu tersebut, karena hukum dapat diperpanjang
dengan waktu penundaan paling lama dua tahun.
Walaupun pemilikan kendaraan bermotor dengan cara menyelundupkan
hukum seperti dimaksud dalam uraian di atas, ketentuan yang ada tidak memberikan
sanksi mencabut hak (onteigenen) yang diberikan. Ketentuan yang ada hanya
menetapkan tidak berlaku suatu hak yang diberikan berupa BPKB/STNKB. Apabila
ketentuan ini tidak ditaati, maka pemilikan itu tidak berdasarkan yuridis, sehingga tidak
terdapat kepastian hak dan kepastian hukum. Seperti diketahui pada lembaga
pencabutan hak hanya mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan.
Pencabutan itu dapat berupa :
a. Pengambilan suatu benda oleh pemerintah dan untuk kepentingan umum,
dengan penggantian kerugian dengan perantaraan hakim.
b. Penyitaan (inbeslagneming) dalam soal-soal kriminil yaitu : pengambilan atau penahanan suatu benda yang dapat dijadikan bukti untuk menemukan
kebenaran, atau benda-benda yang disita yang dapat diperintahkan
pemusnahannya atau supaya tidak dapat dipakai lagi.
c. Suatu nasionallisasi yaitu pengambilan suatu benda untuk dialihkan haknya
kepada nagara.72
Kriteria penyalahgunaan hak dapat berupa :
a. Penggunaan hak milik itu tidak masuk kepentingan umum.
b. Perbuatan itu dilakukan dengan maksud untuk merugikan orang lain.
72Muqodim, Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press, Yogyakarta, 1999, h. 82.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlii
Terhadap kendaraan bermotor dikenal adanya lembaga tilang. Benda-benda
tersebut dalam penggunaannya selalu menyangkut kepentingan umum di jalan raya.
Setiap pemakai jalan selalu diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1992
Tentang Lalu-lintas Jalan Raya. Penyalahgunaan terhadap surat nomor, surat uji coba
dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan tidak benar dalam permohonannya
maka surat nomor, surat uji kendaraan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak berlaku. Pemilik kendaran bermotor yang tidak menyerahkan secara yuridis kepada
pemilik baru, selalu dimintai pertanggungjawabannya apabila terjadi penyalahgunaan
hak pada kendaraan bermotor yang seharusnya menjadi wewenang/haknya.
Dilain pihak serung terjadi pembelian kendaraan bermotor yang masih
diangsur pelunasannya oleh pemilik pertama. Hal ini selalu menimbulkan masalah yang
rumit apbila ternyata pemilik pertama ini tidak melunasi harga pembeliannya yang telah
diperjanjikan dengan pemilik asal. Sehingga kendaraan bermotor dapat dituntut
pengembaliannya oleh pemilik asal kendaran bermotor.
Benda-benda bergerak berupa kendaran bermotor merupakan suatu obyek yang
dapat dijadikan suatu jaminan. Lembaga jaminan yang ada dalam pengaturannya,
membedakan jelas antara benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak.
Benda-benda tidak bergerak dapat dikenakan jaminan hipotik(saat ini diganti dengan Hak Tanggungan), sedang benda-benda bergerak dapat dibebani sebagai jaminan gadai
(pand). Benda-benda bergerak terdaftar, sulit dimasukkan pada pembagian benda-benda
diatas. Karena ia berdiri diantara kedunya.
Pada perkembangan selanjutnya, dalam praktek muncul lembaga jaminan
fudusia. Kita mengetai pula bahwa lembaga fidusia mengenai benda bergerak, meskipun
diakui oleh yurisprudensi sangat mudah disalahgunakan oleh debitur pemberi fidusia
dengan menjual lagi barang yang telah difidusiakan itu. Perlindungan yang diberikan di
sini kepada pembeli yang beritikad baik berdasarkan pasal 1997 ayat 2 KUH Perdata,
justru akan merugikan pihak pemberi fidusia. Pengaturan tentang lembaga jaminan,
tidak dapat dilepaskan dari pengaturan benda itu sendiri.
Adanya lembaga jaminan, berdasarkan hak-hak atas benda yang ditetapkan oleh undang-undang, seperti antara lain hak milik. Oleh karena itu tentang pemilikan
yang diatur oleh undang-undangtidak dapat digunakan sebagai barang jaminan, seperti
kendaran bermotor tanpa proses balik nama. Mengingat diadakannya tujuan pendaftaran
terhadap benda-benda terdaftar, Memerintahkan agar dibuat suatu register umum
(openbear register) dan supaya tiap-tiap orang dapat mengetahui tentang adanya hak
milik.
Adapun fidusia sendiri lahirnya dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan
dalam praktek, yaitu:
a. barang bergerak sebagai jaminan hutang;
b. tidak semua hak atas tanah (dulu) dapat dihipotikkan;
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxliii
c. barang obyek jaminan hutang yang bersifat khusus;
d. barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan.73
Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum kita, dan juga hukum di
kebanyakan negera-negara Eropa kontinental, bahwa jika yang menjadi obyek jaminan
hutang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal
ini, obyek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak,
maka jaminan tersebut haruslah (dulu) berbentuk hipotik (sekarang ada hak
tanggungan). Dalam hal ini barang obyek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur,
tetapi tetap dalam kekuasaan debitur.
Akan tetapi, terdapat kasus-kasus di mana barang obyek jaminan hutang masih
tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas
barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan
bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu, dibutuhkan
adanya suatu bentuk jaminan hutang yang obyeknya masih tergolong benda bergerak
tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur.
Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru di mana obyek benda bergerak, tetapi
kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan jaminan fidusia. Sebaliknya, ada juga kasus-kasus di mana jaminan
hutang diberikan atas benda tidak bergerak, tetapi ada kebutuhan atau para pihak
sepakat agar barang tidak bergerak tersebut dialihkan kekuasaannya kepada pihak
kreditur. Inilah yang mendorong munculnya gadai tanah yang banyak dipraktekkan
dalam sistem hukum adat.
Latar belakang lain yang memotivasi timbulnya atau berkembangnya praktek
fidusia adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau
hak tanggungan. Misalnya, dahulu hak pakai atas tanah tidak dijaminkan dengan
hipotik, sehingga atas hak pakai tersebut diikat dengan jaminan fidusia.
Sedangkan obyek jaminan hutang yang bersifat khusus adalah ada barang-
barang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai sifat-sifat seperti barang tidak bergerak. Sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup
memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda
obyek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan. Misalnya,
fidusia atas pesawat terbang dahulu sebelum berlakunya Undang-undang tentang
penerbangan nomor 15 Tahun 1992. Dengan undang-undang tersebut, hipotik dapat
diikatkan atas sebuah pesawat terbang. Atau terhadap hasil panen, yang juga tidak
mungkin diikatkan dengan hipotik.
73Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
h.1-3.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxliv
Pekembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu juga tidak selamanya
dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas barang
yang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik. Misalnya,
tidak dapat diikatkan dengan hipotik atas strata title atau atas rumah susun. Maka
Undang-undang Rumah Susun Nomor 16 Tahun 1985, memperkenalkan fidusia
terhadap hak atas satuan rumah susun tersebut. Akan tetapi, sekarang dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka atas strata
title dapat diikatkan hak tanggungan asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan, artinya
adakalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar
diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang
dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada
pihak kreditur. Misalnya, saham perseroan yang belum dicetak sertifikatnya. Karena itu,
timbul fidusia saham atau fidusia atas benda bergerak, tetapi benda tersebut karena
sesuatu dan lain hal masih di tangan pihak ketiga, sehingga penyerahan barang tersebut
belum dapat dilakukan. Karena itu, gadai tidak dapat dilakukan.
Mahkamah Agung Negeri Belanda dapat dipandang sebagai lembaga
pengadilan yang memungkinkan dipergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan melalui putusannya yang terkenal dengan nama Bierbrowery Arrest tanggal 25 Januari 1929,
sekalipun sebenarnya lembaga jaminan yang demikian ini sudah lama dikenal sejak
Jaman Romawi.74
Ada sementara pihak yang beranggaapan bahwa Arrest tersebut menyalahi
ketentuan undang-undang mengenai gadai oleh karena ketentuan mengenai gadai sudah
menentukan secara tegas bahwa barang yang dijadikan jaminan harus diserahkan
kepada kreditur, akan tetapi dalam fidusia tetap dipegang oleh debitur, sedangkan
sebaliknya ada pula ahli hukum yang memberikan dukungan terhadap Arrest tersebut,
sehingga lembaga fidusia berkembang seperti sekarang ini.
Ada yang berpendapat bahwa hal yang demikian dapat dibenarkan atas dasar
tuntutan masyarakat karena membutuhkan adanya lembaga jaminan yang demikian, sehingga undang-undang harus menyingkir atas dasar prinsip bahwa undang-undang
untuk manusia dan masyarakat, bukannya masyarakat untuk undang-undang. Sedangkan
pendapat lain yang pro terhadap putusan Hoge Raad di atas, menyetujui
dikembangkannya lembaga fidusia ini didasarkan pada asumsi bahwa jika fidusia ini
diterima maka ketentuan pasal 1152 KUH Perdata yang mengharuskan adanya
penyerahan benda yang digadaikan harus dihapuskan terlebih dahulu dan ada pula
pendapat yang tidak mau mengkaitkannya dengan persoalan gadai serta menilai fidusia
ini sebagai suatu lembaga jaminan baru yang dibutuhkan dalam praktek.
74Abdurrahman dan Sasul Wahidin, Beberapa Catatan Tentang Hukum
Jaminan dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni, Bandung, 1985, h.39.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlv
Adanya pandangan yang demikian sangat banyak pengaruhnya terhadap
perkembangan fidusia itu sendiri. Dan berbagai putusan pengadilan, baik di negeri
Belanda maupun di negeri kita sudah terlihat adanya suatu kecenderungan untuk tetap
mempertahankan dan mengembangkan lembaga ini sekalipun hanya dimungkinkan
terhadap benda bergerak saja.
Di kalangan para ahli hukum sudah ada yang melangkah lebih jauh untuk memungkinkan diadakannya fidusia terhadap benda tetap seperti untuk memberikan
jaminan kepada penagih dengan jalan penyerahan hak milik. Pemberian jaminan secara
demikian ini sebenarnya hanya merupakan “pengurangan kebebasan hak kepemilikan
atas suatu benda”. Oleh karena itu, bisa saja terjadi “juridische levering” artinya dengan
“zakelijk overeenkomst” pendaftaran pada kadaster dan adanya perjanjian bahwa
penyerahan itu hanya atas dasar kepercayaan saja. Akan tetapi hal yang demikian adalah
jarang terjadi disebabkan karena telah ada peraturan tentang hipotik.
Keberadaan lembaga jaminan fidusia semula tidak lahir dengan kesepakatan
bulan dari para ahli hukum, melainkan masih melalui pertentangan yang cukup tajam,
seperti adanya pendapat bahwa benda tetap tidak dapat dibebani dengan lembaga
jaminan fidusia. Di samping itu, banyak pula yang mengungkapkan beberapa
kelemahan yang terkandung di dalam lembaga tersebut, karena terlalu banyak mengandung resiko antara lain seorang pemberi fidusia masih ada kemungkinan untuk
main curang dengan menjual atau menggadaikan lagi benda jaminan yang sudah
difidusiakan itu.
Di samping hal tersebut berbeda dengan hipotik yang harus didaftarkan, maka
fidusia tidak didaftarkan dan tidak mempunyai akta (pada saat timbul pengusulan
semula) dari sertifikatnya, sehingga dari pihak ketiga akan mudah dengan begitu saja
berdalih bahwa ia tidak tahu menahu mengenai adanya fidusia terhadap barang yang
telah diserahkan kepadanya, oleh karena pihak ketiga yang beritikad baik yang telah
membeli barang tersebut adalah dilindungi oleh hukum sekalipun penjual telah
melakukannya dengan tipu muslihat dan penjual tersebut adalah untuk kedua kalinya.
Saat itu dipersoalkan, apakah fidusia sebagai lembaga jaminan perlu untuk diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tersendiri. Sebab pada saat itu fidusia
masih belum ada undang-undangnya. Mengenai hal ini, di Belanda sedang dibahas
mengenai masalah fidusia guna dicari wadahnya yang paling tepat.
Bentuk pengaturan ini hanyalah dimaksudkan untuk mencari jalan keluar
melalui jalan yang melingkar, di mana atas dasar ketentuan udnang-undang yang ada
tidak diperkenankan. Bilamana pembentuk undang-undang menganggap perlu, dapat
mencapai maksud yang sama secara langsung dengan cara mengubah jalan melingkar
melalui fidusia ini.
Setelah dilakukan penelitian secara mendalam, maka tentang praktek
fidusia di negeri Belanda dengan mendasarkan pada nilai efektifitas lembaga fidusia
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlvi
yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka telah terbukti untuk
memberikan wadah lembaga jaminan fidusia dalam suatu undang-undang.
Perkembangan selanjutnya dari lembaga fidusia dalam praktek peradilan di
negeri kita ternyata pula telah menetapkan bahwa penyerahan hak milik sebagai
jaminan fidusia hanya sah sepanjang mengenai barang-barang bergerak saja. Dari
perkembangan ini pulalah, kelahiran pembagian benda-benda terdaftar dan benda-benda tidak terdaftar menjadi semakin diperlukan, dengan maksud untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam proses kepemilikan benda terdaftar.
Adapun untuk memperoleh benda terdaftar, dalam praktek dapat diperoleh
dengan cara membeli (dalam transaksi jual beli), hibah, tukar menukar, hadiah ataupun
bentuk transaksi lainnya yang menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak
dilarang, baik secara obyektif maupun secara subyektif.
Dalam seminar hukum mengenai lembaga-lembaga jaminan di Yogyakarta
pada tanggal 9 Oktober 1984 sampai dengan 11 Oktober 1984 terdapat gagasan hukum
kendaraan bermotor yang terdapat gagasan bahwa kendaraan bermotor yang terdaftar
dapat digunakan lembaga jaminan hipotik (versi baru) atau bila tidak terdaftar lembaga
jaminannya adalah gadai (pand). Suatu benda tidak berwujud (misalnya hak untuk
menagih) ia dapat memakai lembaga gadai atau fidusia.75
Dengan mengetahui tentang arti pentingnya lahirnya suatu undang-undang
yang mengatur benda-benda bergerak terdatar, di mana semula lahir dari perkembangan
praktek penerapan lembaga jaminan fidusia. Maka pemberlakuan sanksi hukum dalam
transaksi jual beli kendaraan bermotor roda dua, menjadi semakin jelas keberadaannya
beserta aplikasinya.
Sebagaimana telah diketahui bersama hukum adalah merupakan suatu sistem,
hukum benda adalah merupakan suatu sub-sub sistem dari hukum perdata sebagai sub
sistemnya. Adapun yang dimaksud dengan sistem adalah antara sub sistem dengan sub-
sub sistem ataupun dengan sub sistem yang lain selalu berkait dan terikat dalam
pengaplikasiannya dan tidak dapat dilepas satu persatu dan dioperasionalisasikan satu
persatu dengan tanpa memfungsikan sistem atau sub sistem yang lain.
B. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik Nama
Terhadap penguasaan kendaraan bermotor yang tidak di balik nama atau
bukan pemilik dalam waktu yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan
dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk
memperoleh hak milik. Dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan
75Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlvii
bermotor, sudah berusaha untuk mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai
mana di atas.
Dengan demikian akibat hukum dalam transaksi sepeda motor atau kendaraan
bermotor roda dua adalah masalah sanksi hukum yang tidak dapat dilepaskan dari
kepastian hukum dan perlindungan hukum. Artinya ketika para pihak yang melakukan
traksaksi jual beli sepeda motor sesuai dengan undang-undang, artinya para pihak mendaftarkan terjadinya perobahan kepemilikan sepeda motor sesuai dengan pasal 176
ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993, maka pada saat itu pula telah tejadi
kepastian hukum yaitu bahwa pemilik kendaraan atau sepeda motor telah beralih pada
pembeli (baik secara nyata ataupun secara hukum) dus perlindungan hukum dapat
diperoleh, baik oleh pihak penjual maupun oleh pihak pembeli.
Bilamana dalam proses pendaftaran perobahan kepemilikan kendaraan itu,
pembeli tidak mau membayar bea balik nama, maka ia akan memperoleh sanksi hukum
yang dapat berupa denda. Sebaliknya, jika pembeli telah mendaftarkan perobahan status
kepemilikan kendaraan tersebut, maka secara otomatis pembeli mendapat perlindungan
hukum sebagai pemilik sepeda motor yang sah. Ia dapat dapat mempertahankan hak
miliknya terhadap siapapun atas dasar hak kebendaan.
Bagi pihak penjual perihal sanksi hukum, kepastian hukum dan perlindungan hukum juga dapat diberlakukan dan diperoleh, sepanjang pihak penjual juga mengikuti
aturan main transaksi jual beli yang telah ditentukan dalam undang-undang di atas. Kita
dapat membuktikan, bahwa perlindungan hukum bagi penjual kendaraan atau sepeda
motor dapat diperoleh ketika penjual benar-benar mengikuti prosedur perjanjian jual
beli sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Artinya penjual baru
berkewajiban melakukan pemenuhan prestasi pada saat pembeli memenuhi
kewajibannya melakukan kontra prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Hal
ini dikarenakan, walaupun antara penjual dan pembeli telah terjadi kesepakatan dalam
transaksi jual beli sepeda motor itu, namun perjanjian yang telah disepakati tersebut
masih dalam taraf “obligatoir” dan belum menyebabkan terjadinya perpindahan hak
kepemilikan.
Proses perpindahan hak milik dari penjual ke pembeli akan terjadi, bilamana
kedua belah pihak telah saling memenuhi “prestasi dan kontra prestasi”. Pada saat itulah
kepastian hukum lahir sebagai akibat terjadinya perjanjian jual beli tersebut, artinya
pada saat itu telah dapat ditentukan siapa yang berkedudukan sebagai pemilik atas
sepeda motor yang telah diperjual-belikan tersebut. Tahap berikutnya, pemilik tinggal
melakukan pendaftaran, dan bersamaan dengan proses pendaftaran dimaksud
“perlindungan hukum” muncul dengan sendirinya. Artinya, kedudukan pembeli yang
telah tercantum sebagai pemilik dalam Buku Pemilik Kendaraan Bermotor secara
yuridis adalah sah hukumnya sebagai pemilik.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlviii
B. Alasan-alasan Yang Memberatkan Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik
Nama
Ditinjau dari proses penyelesaian balik nama seperti telah diuraikan pada bab
sebelumnya, dapat diketahui tidak terlalu memberatkan atau menyulitkan. Mengingat
sistim administrasi manunggal dibawah satu atap dibentuk dengan tujuan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang meliputi :
a. Menyederhanakan, mempercepat dan dapat dipertanggung jawabkan dalam
pelayanan penyelesaian balik nama kendaraan bermotor serta pajak lainnya.
b. Menyelenggarakan urusan surat-surat yang ada hubungannya dengan
kendaraan bermotor.76
Kemudian mengingat bahwa objek balik nama adalah transaksi, maka bea ini
tidak dipungut secara pereodik seperti pajak-pajak lain terhadap kendaraan bermotor.
Apabila bea pemilikan kendaraan bermotor (dalam balik nama) yang akan
digunakan/dimiliki sendiri untuk seterusnya, maka bea akan dibayar sekali yang
harusnya dibayar oleh pemilik. Sepanjang kendaraan bermotor itu tidak diserahkan
kepada pihak lain, tidak pernah timbul kewajiban balik nama. Akan tetapi sebaliknya
apabila kendaraan bermotor itu sering dilakukan penyerahan, maka sebanyak jumlah
penyerahan itu kewajiban balik nama harus dilakukan.
Walaupun prosedur dibuat sedemikian mudah, namun balik nama tetap saja
dapat dihindari. Seperti diketahui ketentuan yang khusus berupaya mencegah
penyimpangan ini terdapat pada peraturan daerah tentang Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor. Ketentuan ini bersifat menunggu, sampai adanya pemberi tahuan yang
mengakibatkan kewajiban balik nama. Sehingga walaupun ketentuan-ketentuan yang
diberikan bersifat kewajiban membayar pajak, tetapi kewajiban itu timbul setelah ada
perbuatan yang mengandung unsur perdata. Ketentuan yang terdapat dalam KUH
Perdata dapat berfungsi sebagai pelengkap (aanvullend recht) tetapi ketentuan balik
nama tidak dapat dikatakan sebagai pelengkap. Walaupun cara memperoleh hak milik
dapat berasal dari suatu perjanjian, akan tetapi dalam setiap perjanjian yang
mengakibatkan penyerahan hak milik benda-benda terdaftar harus diikuti dengan balik nama. Dengan catatan bahwa perjanjian pokok yang dibuat tidak boleh menyimpang
dari undang-undang. Maka berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian
dinyatakan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-
undang. Kenyataan dalam praktek, perjanjian ini yang banyak dibuat tidak sah menurut
undang-undang. Tidak lain dengan tujuan agar kewajiban berikutnya, berupa balik nama
dapat dihindari. Oleh karena hukum mudah disimpangi, maka dapat digunakan alasan
untuk tidak melaksanakan kewajiban balik nama.
Bagi pedagang kendaraan bermotor bekas, yang sering mengadakan
perjanjian jual beli pada umumnya menguasai sejumlah kendaraan bermotor. Sehingga
76Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan, 6 April 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxlix
untuk melaksanakan kewajiban tersebut diatas, mereka mempunyai pertimbangan antara
lain :
a. Benda-benda itu tidak untuk dimiliki sendiri, akan tetapi setiap saat akan dibeli
dan diserahkan kepada orang lain.
b. Menambah harga jual karena bea yang dikeluarkan untuk balik nama.
c. Menghendaki penjualan yang cepat dengan harga bersaing serta segera memperoleh keuntungan yang diharapkan.
d. Sebagai pedagang, apabila semua kendaraan bermotor yang dikuasainya harus
dibalik nama, akan memakan waktu, biaya dan tenaga, dan atas pertimbangan
ini mereka memilih untuk tidak melakukan balik nama kendaraan bermotor
yang menjadi barang dagangannya.77
Adanya pemilikan tanpa proses balik nama, terdapat pula unsur untuk
menghindari pengenaan bea. Dibanding dengan pajak lain, bea balik nama memang
lebih besar pengenaannya. Hal ini lebih menyangkut tentang kendaraan sebagai wajib
pajak serta usaha aparat yang berwenang dalam mengadakan pemungutan pajak.
KESIMPULAN
a. Setiap transaksi jual beli kendaraan bermotor pada dasarnya harus dilakukan, baik
secara nyata ataupun secara yuridis, namun bilamana ketentuan ini tidak diikuti
karena kebiasaan, maka kedudukan seorang pemegang sepeda motor yang sah
(dengan cara membeli) dan yang tidak sah (dengan cara pencurian, dan penadahan)
tidak dapat dibedakan. Apalagi ketentuan hukum dalam KUH Perdata khususnya
pasal 1977 ayat 1 hanya berlaku terhadap benda bergerak yang tidak terdaftar,
untuk itu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor menjadi wajib; b. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas
sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan
penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor dari
penjual kepada pembeli. Perobahan status kepemilikan sepeda motor yang
didaftarkan, akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK
sepeda motor yang bersangkutan;
c. Adapun akibat hukum terhadap transaksi jual beli sepeda motor dengan tanpa balik
nama dengan maksud untuk menghindari pengenaan bea balik nama, adalah akan
melahirkan sanksi hukum, tidak ada perlindungan hukum dan tidak ada kepastian
hukum. Sanksi hukum akan timbul bilamana pihak pemilik yang terakhir
mendaftarkan melewati tenggang waktu jatuh tempo penagihan pajak kendaraan
bermotor. Dengan tidak dilakukannya perobahan status kepemilikan sepeda motor, maka bilamana kendaraan yang telah dibeli oleh pemegang terakhir “diakui atau
digugat” oleh orang lain, maka perlindungan hukum bagi pembeli tersebut tidak
77Penjelasan Pedagang Kendaraan Bermotor Roda Dua Bekas di Pamekasan, 9
April 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cl
ada, artinya hukum akan tetap memberikan perlindungan hukum pada siapa yang
tertera namanya dalam BPKB ataupun STNK-nya.
SARAN
Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait untuk
segera melakukan tindakan-tindakan:
a. Penyuluhan hukum tentang arti penting perjanjian jual beli kendaraan bermotor
yang harus dilakukan secara yuridis;
b. Mewajibkan pembeli sepeda motor bekas untuk selalu mendaftarkan sepeda motor
yang telah dibelinya;
c. Memberikan sanksi berupa denda, kepada pembeli yang tidak mendaftarkan
transaksi jual beli bendaraan bermotor, dengan cara melakukan balik nama;
Volume 11, No.1 Mei 2011 cli
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PASAL 174 PP NO. 44 TAHUN 1993
TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR
Oleh:
M..Amin Rachman, S.H.,MH.*
ABSTRAK
. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan
nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga
harus dilakukan penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan
kepemilikan sepeda motor dari penjual kepada pembeli. Perobahan status
kepemilikan sepeda motor yang didaftarkan, akan melahirkan perobahan
nama pemilik dalam BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan;
Kata Kunci: Tinjauan Yuridis – Bea Balik Nama – Kendaraan Bermotor.
LATAR BELAKANG
Setiap penyerahan benda-benda terdaftar menghendaki adanya balik nama atau
penyerahan secara yuridis yang memerlukan akta otentik. Benda-benda terdaftar pada
perkembangan zaman sekarang ini tidak saja meliputi benda-benda tidak bergerak tetapi
juga mencakup benda-benda bergerak.
Pendapat-pendapat modern cenderung untuk mengakui perbedaan benda pada
benda-benda atas nama dan tidak atas nama atau benda-benda terdaftar dan benda-
benda tidak terdaftar daripada perbedaan secara lama yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.78 Yang dimaksud benda-benda terdaftar ialah benda-benda dimana
pemindahan dan pembebanannya disyaratkan harus didaftarkan dalam register. Tujuan
diadakan pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum.
Disamping itu juga harus diakui bahwa ketentuan melaksanakan pendaftaran juga
terdapat kepentingan fiskal.
Benda bergerak yang terdaftarpun dalam penyerahannya mendapat perlakuan
yang sama dengan benda-benda tidak bergerak, yaitu memerlukan adanya penyerahan
secara yuridis. Hanya dengan penyerahan nyata saja belum menimbulkan adanya
78A. Yuda Hernoko, Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek
Hukum Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 2001, h.11
Volume 11, No.1 Mei 2011 clii
pemilik baru. Dalam karya ilmiah ini, saya menunjuk pada peristiwa jual beli kendaran
bermotor bekas yang dijumpai dalam masyarakat. Sengaja dipilih kendaran bermotor
yang bekas karena penguasaan terhadap benda ini sering dilakukan tanpa balik nama.
Kendaraan bermotor adalah benda bergerak, benda bergerak pada umumnya
berlaku syarat penyerahan sekaligus, antara penyerahan nyata (feitelik levering) dan
penyerahan yuridis (yuridische levering) jatuh bersaman pada waktu benda diserahkan. Anggapan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat, sehingga penyerahan secara
yuridis yang harus dilakukan terhadap benda bergerak terdaftar sering diabaikan. Di
lapangan praktek asal barang sudah ditangan maka ia menjadi pemilik.
Maksud ketentuan di atas, sebenarnya menghendaki agar setiap peralihan
kendaran bermotor diikuti dengan penyerahan kekuasaan melalui balik nama. Namun
dalam praktek, justru yang dinyatakan sebagai pemilik bukanlah orang yang tersebut
sebagai pemilik dalam STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) atau BPKB (Bukti
Pemilik Kendaraan Bermotor), melainkan secara faktual yang menguasai kendaraan
beserta surat-suratnya (dalam hal ini STNK dan BPKB). Ketentuan ini cenderung
memberikan perlindungan kepada para pemegang kendaraan bermotor.
Dalam sistem Eropa dikenal adanya lembaga bezitt. Pasal 1977 KUH Perdata
menyabutkan bahwa “terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang
menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.79 Dalam teori-teori tentang basit, baik
eigendoms theorie maupun legitimetie theorie, soal penyerahan tidak perlu dilakukan
oleh orang yang berwenang, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 548 KUH
Perdata, tentang cara memperoleh hak milik.80
Sistem yang dibicarakan diatas sepanjang mengenai sistem yang dikenal dalam
KUH Perdata. Mengenai sistem-sistem yang lain yang terdapat dalam hukum adat,
maka ini menjadi pedoman dalam pembahasan karya ilmiah ini. Selaras dengan adanya
suatu prinsip law is a tool of social engineering guna merintis jalan yang lapang untuk
memungkinkan terlaksananya pembangunan ekonomi yang lancar, khususnya proses
transaksi kendaraan bermotor dalam tradisi (hukum) adat, dengan jalan mengaplikasikan nilai-nilai yang kerap dipraktekkan dalam transaksi jual beli kendaraan
bermotor melalui fungsi rechtsvinding (penemuan hukum).81
Alternatif lain tidak dilaksakannya penyerahan yuridis, adalah kemungkinan
menghindari pengenaan bea balik nama. Alternatif-alternatif ini menjadi latar belakang
permasalahan dalam karya ilmiah ini.
79Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab Tentang
Hukum Benda, Cet.I, bina ilmu, Surabaya, 1984, h..63. 80Ibid., h..66. 81Soetandyo Wignjosoebroto, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan
Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga
Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco, Bandung, 1995, h. 419.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cliii
Padahal dalam sisi lain, menghendaki adanya kepastian hak dan kepastian hukum. Agar
tujuan ini tercapai pembuat undang-undang menghendaki adanya proses balik nama
untuk memperoleh hak milik berdasarkan suatu alas hak. Sedangkan pembuat undang-
undang berpendapat tidak ada pemilikan yang sah terhadap pemilikan kendaraan
bermotor tanpa dilakukan proses balik nama kepada pemilik yang terakhir sebagai
pemilik yang sebenarnya dan sah secara hukum. Sedangkan kenyataan yang terjadi, masyarakat sudah dapat menganggap menjadi pemilik dan merasa mendapat kepastian
walaupun penyerahan secara yuridis tidak dilaksanakan. Sejauh mana akibat hukum dari
pemilikan terhadap benda-benda ini, menjadi pokok bahasan dalam karya ilmiah ini.
Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik permasalahan konkrit dengan
rumusan sebagai berikut:
d. Bagaimana perlindungan hukum atas jual beli kendaraan bermotor ?
e. Bagaimana proses penyerahan yuridis atas benda-benda terdaftar dalam suatu
transaksi?
f. Bagaimana akibat hukum terhadap pemilikan kendaraan bermotor ?
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR
A. Jual beli harus dilaksanakan oleh orang yang berhak
Sebagaimana diatur dalam pasal 584 KUH Perdata, salah satu cara
memperoleh hak milik harus dilaksanakan oleh orang yang berwenang. Orang yang
berwenang mempunyai kewenangan berhak (beschikkingsbevoegdheid) untuk
memindahkan milik ketangan lain.82 Hanya ada dua persoalan yang ingin saya
kemukakakan dari pasal ini, yaitu pertama pemindahan milik oleh orang berhak atas itu dan kedua titel (alas hak) yang menjadi alasan bagi pemindahan tadi.
Persyaratan untuk kewenangan berhak adalah tidak lain dari suatu penerapan
azas tiada seorang pun dapat memindahkan hak lebih dari pada apa yang ia miliki
sendiri (Nemo plus juris ad alium transfere potest quam ipse haberet) atau dengan kata
lain : “tidak seorangpun dapat menerima suatu hak dari tangan seseorang yang tidak
berhak.”83
Mengenai benda bergerak dalam hal ini harus diperhatikan pasal 1977 KUHP
Perdata yang berbunyi untuk benda bergerak yang tidak terdiri atas bunga atau piutang
yang pembayarannya dapat dilakukan kepada pemegangnya (toonder papieren), berlaku
ketentuan “bezit merupakan titel yang sempurna”84
82Soetojo Prawirohamidjojo R. dan Marthalena Pohan, Loc.cit. 83Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty,
Yogyakarta, 2000, h.122. 84Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Cet.I, PT.Pembimbing Masa, Jakarta,
1969, h.174.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cliv
Dalam teori kausal, alas hak menjadi alasan penting bagi pemindahan hak
milik itu. Suatu yang menyebabkan pemindahan tersebut sama sekali tidak dapat
dilepaskan dari titel tersebut. Jadi apabila perjanjian tersebut batal , maka pemindahan
atas hak milik akan batal.
Dalam jual beli kendaran bermotor bekas dari tangan ke tangan lain yang
sering terjadi, kurang memperhatikan siapa orang yang berwenang. Sesuai dengan ketentuan di atas, bila jual beli demikian dilakukan oleh orang yang tidak berwenang
seharusnya batal, karena sahnya perjanjian menjadi sumber pokok perpindahan milik.
Pendapat ini sesuai dengan kehendak para pembuat undang-undang. Mereka
memandang bahwa sahnya perjanjian jual beli harus dilakukan oleh orang yang
berwenang, artinya orang itu dapat menunjukkan akta / surat-surat tanda pemilikan atas
namanya. Agar pihak ketiga (pembeli barang) menjadi orang yang berwenang baru,
maka setiap perpindahan hak milik harus disertai balik nama. Inilah seharusnya
ketentuan yang berlaku terhadap benda-benda terdaftar. Antara orang yang berwenang,
atas hak yang sah dan penyerahan yuridis merupakan suatu proses pemindahan hak
milik. Jika salah satu diantaranya tidak sah, maka pemindahan milik itu batal demi
hukum.
Pada pokoknya, pemindahan benda-benda terdaftar menyerupai benda-benda tidak bergerak, seperti yang berlaku sebagai berikut: kesepakan kehendak saja
kebanyakan belumlah untuk melakukan perpindahan hak milik. Acapkali disyaratkan
bahwa persetujuan kebendaan (zakelijk overeenkomst) itu diikuti dengan formalitas-
formalitas tertentu. Demikian penyerahan pada benda-benda tidak bergerak adalah tidak
cukup, bila hanya ada kehendak dari pihak-pihak saja. Untuk itu, di samping diperlukan
pula adanya suatu akta notariil (617 KUH Perdata, yang dibalik nama dalm daftar
umum pasal 616KUH Perdata).
Penafsiran lain mengenai pasal 584 di atas dikenal dengan teori abstrak.
Menurut ajaran abstrak, penyerahan dan atas hak itu merupakan hal-hal yang terpisah
satu sama lain. Untuk sahnya penyerahan tidak tergantung pada alas hak nyata.
Sehingga menurut abstrak yang murni konsekuensinya bisa terjadi bahwa penyerahan itu akan sah juga sekalipun titelnya tidak sah, bahkan sekalipun tanpa titel.85
Ajaran ini berlawanan dengan yang diuraikan sebelumnya, pendapat di atas
cenderung mengatakan sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak
berwenang. Seperti dikatakannya dalam teori ini, bahwa alas hak dan penyerahan
merupankan hal yang terpisah. Dengan demikian transaksi jual beli dimaksud dianggap
sudah dapat menimbulkan penyerahan yang sah.
Disamping itu, terdapat cara-cara memperoleh hak milik diluar pasasl 584.
Apakah cara ini menjadi lembaga baru untuk mengatur benda-benda terdaftar dan tidak
terdaftar. Undang-undang mengatur tersendiri, walaupun pengaturannya tidak
berdasarkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam KUH Perdata. Namun lembaga
penyerahan mempunyai peranan penting dalam pengaturan benda-benda semacam ini.
85Soetojo Prawirohamidjojo R dan Marthalena Pohan, Op.cit., h..43.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clv
Apabila kita berfikir sederhana, seperti kebanyakan anggapan masyarakat,
orang yang berwenang terhadap benda-benda berupa kendaraan bermotor adalah
pemegang sendiri. Mereka merasa dapat bebas mengadakan jual beli tanpa harus terikat
kewajiban penyerahan secara yuridis, dan tanpa rasa khawatir jual beli akan dibatalkan.
B. Status Pemilikan
Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat, agar jangan
sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-penyimpangan, akan tetapi
masyarakat selalu berkembang dan berubah. Ketentuan yang semula diatur secara rinci
dan jelas ternyata pada akhirnya tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat.
Ditinjau dari segi yuridis, setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan, jelas
hukum tidak akan memberikan kepastian hak dan kepastian hukum.
Dalam hal kepastian hukum diberikan kepada mereka yang berhak atas milik.
Artinya yang dimaksud dengan hak, tidak hanya penguasaan pada suatu benda, akan
tetapi meliputi kepentingan hukum yang menyertainya. Terhadap penguasaan di sini
saya juga menggunakan istilah pemilikan, karena dipandang lebih sesuai dengan
keadaan dalam praktek.
Dalam jual beli kendaraan bermotor bekas, masyarakat cenderung melupakan
kepentingan hukumnya daripada pemilikannya, untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemilikan
dalam konteks ini dianggap lebih bermanfaat dari pada kepentingan hukumnya. Apakah
karena tidak mempunyai arti ekonomis, kepentingan hukum selalu dikorbankan? Kedua
aspek ini tidak harus dipertentangkan. Antara kebutuhan ekonomi dan kepentingan
hukum memang berbeda. Tetapi perbedaan ini bukan untuk saling mengorbankan. Jika
ekonomi berputar, maka hukumnya harus diterapkan. Peranan hukum yang sangat
penting adalah kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan
antar manusia di dalam masyarakat.
Apabila kita berfikir yuridis antara kepentingan hukum dan pemilikan benda-
benda itu adalah melekat pada suatu “hak”. Timbulnya kepentingan hukum adalah
karena adanya penguasaan/pemilikan tehadap benda. Apabila pemilikan dipindahkan juga berarti kepentingan hukumnya juga harus dipindahkan. Dan pemilik pertama tidak
lagi mempunyai kepentingan hukum.
Benda-benda bergerak adalah pembagian yang sudah lama dikenal masyarakat,
dan jumlahnya jauh lebih besar dari pada benda-benda serupa yang terdaftar. Benda-
benda bergerak dalam lembaga-lembaga yang dikenal dalam hukum benda diperlakukan
sangat berbeda dengan benda-benda tidak bergerak, yang menyerupai benda-benda
terdaftar. Pergeseran kecenderungan dari pembagian benda-benda bergerak atau tidak
bergerak menjadi benda terdaftar atau tidak terdaftar, ternyata belum dapat
meninggalkan lembaga-lembaga yang dikenal dalam mengatur benda-benda bergerak
atau tidak bergerak. Seperti dapat dilihat dalam pasal 1977 KUH Perdata. Hukum ini
menghapuskan persyaratan kewenangan berhak untuk memperoleh benda-benda bergerak yang berwujud, sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clvi
Dalam bezit, ada dua aspek penting yaitu aspek pembuktian dan aspek itikad
baik. Benda-benda terdaftar yang menjadi kreteria baru pembagian benda masih
berlindung pada ketentuan pasal 1977 KUH Perdata. Dalam praktek, pasal 1977 KUH
Perdata sering dihadapkan dengan pasal 584 KUH Perdata. Pasal 1977 merupakan
penyelesaian dan terobosan pertama terhadap pengesahan perolehan hak milik atas
benda bergerak yang terdaftar. Untuk selebihnya mengenai hal-hal yang tidak dapat ditampung oleh ketentuan ini, maka perlu dipancangkan pasal 584 KUH Perdata.
Di sini kembali kewenangan berhak menentukan sahnya penyerahan hak milik.
Penyerahan yuridis terhadap benda-benda bergerak terdaftar, tetap harus dilakukan.
Bilamana penyerahan yuridis atau balik nama tidak dilakukan, maka selama itu pula
kepemilikan atas benda bergerak terdaftar adalah milik si empunya yang lama atau
penjual.
Transport akta (akta peralihan) memerlukan adanya pendaftaran, di mana
dalam penyelenggaraan pendaftaran, dikenal adanya sistem negatif dan sistim positif.
Sistim ini lazim digunakan dalam pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah.
Surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan untuk benda-benda bergerak terdaftar
dapat dikatakan menganut sistim positif.
Sistem positif menganggap bahwa apa yang tercantum dalam pendaftaran merupakan alat pembuktian yang mutlak. Bila sistim ini berlaku atas tanah, maka
bertujuan untuk kepentingan tentang bisa atau tidaknya di adakan pembuktian baru
dalam gugat yang diajukan.
Terhadap benda-benda bergerak yang terdaftar cenderung menganut sistim
positif. Di sini tidak bisa digunakan sistim negatif karena tidak menghendaki adanya
pembuktian baru. Dan sudah barang tentu apabila sistim ini digunakan tidak akan
berjalan efektif. Dalam ilmu hukum sistim-sistim ini tidak digunakan terhadap benda-
benda terdaftar. Hanya dapat dimengerti bahwa hak yang diberikan kepada pemilik
mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat publiekrechtelijk.
Semua hak-hak (subjectieve rechten), maksudnya kewenangan-kewenangan
yang diberikan oleh hukum, yang mempunyai sifat baik publiekrechtelijk itu maupun privatrechtelijk. Kewenangan-kewenangan publiekrechtelijk itu tidak dapat dipindahkan
(niet overdrangbear). Demikian misalnya, hak pilih tidak dapat dipindahkan.
Kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada pemilik benda-benda bergerak
terdaftar bersifat publiekrechtelijk, artinya hak itu tidak dapat dipisahkan dari bendanya
sebab berkenaan dengan pengenaan pajak.86 Pajak hanya dapat dikenakan kepada orang
yang langsung menikmati benda yang dalam penguasaannya. Hak wajib pajak ini tidak
dapat dipindahkan atau dikenakan pada orang lain yang tidak langsung menikmati
bendanya.
86Moch. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma
Muda, Surabaya, 1996, h.127.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clvii
C. Bentuk Penyimpangan Hukum
Para pembuat undang-undang sudah mengatur demikian rapat setiap
ketentuannya, agar jangan sampai terjadi terobosan-terobosan atau penyimpangan-
penyimpangan. Walaupun tidak bersifat statis, namun peerkembangan masyarakat lebih
cepat dibandingkan dengan ketentuan hukum yang ada. Ketentuan yang dibuat
tertinggal dan tidak dapat menampang kenyataan yang ada. Selama undang-undang ini
belum dirubah atau diganti, maka ia akan tetap dipertahankan. Setiap perbuatan yang
menyimpang dari ketentuan itu, jelas hukum tidak akan memberikan perlindungan
yuridis berupa kepastian hak dan kepastian hukum. Sudah barang tentu pada waktu
undang-undang dibuat, akan selalu menganggap bahwa setiap orang dapat bertindak
jujur. Sebab undang-undang hanya dapat dilaksanakan dengan kejujuran serta membuat
pagar agar setiap orang jangan bertindak tidak jujur. Tentang kejujuran sering dibicarakan dalam hukum perjanjian dan sering disebut dengan tegoeder trouw (itikad
baik), yang dapat diartikan bahwa apa yang menjadi tujuan seseorang, bertindak akan
sesuai dengan apa yang direncanakan dalam hati sebelumnya.
Memperoleh hak kebendaan pada umumnya berasal dari suatu perjanjian, yaitu
perjanjian yang menimbulkan kewajiban pernyerahan hak milik. Penyerahan hak milik
benda-benda terdaftar dibebani proses balik nama dan dikenakan bea. Bea balik nama
kendaraan bermotor (BBNKB) merupakan bea langsung yang obyeknya adalah
transaksi. Jadi dasar pelaksanaan balik nama adalah suatu transaksi. Transaksi dapat
meliputi perhubungan hukum (titel), kewajiban dan penyerahan. Proses balik nama
adalah ketentuan yuridis, yang selama ini hanya dikenal dalam penyerahan atau
peralihan atau pemindahan hak milik. Di mana ketentuan ini seharusnya diletakkan, apabila hanya disebut transaksi, maka peristiwa jual beli kendaraan bermotor bekas
sudah melalui perjanjian, pelaksanaan kewajiban dan penyerahan. Andaikata yang
disebut transaksi ini lebih menitik-beratkan kepada titelnya, maka kemungkinan semua
penyerahan yuridis dengan kewajiban membayar bea balik nama. Penyerahan terhadap
benda-benda terdaftar semacam kendaraan bermotor bekas harus melalui pendaftaran,
yaitu mengganti nama pemilik semula ke pemilik yang baru dengan dinyatakan dalam
surat-surat otentik BPKB dan STNKB-nya. Kewajiban terhadap pendaftaran ini yang
biasanya enggan dilaksanakan. Agar hukum tidak menjatuhkan sanki yuridis kepada
pemilik kendaraan bermotor tanpa surat-surat yang dibalik nama, sering dijumpai para
pihak mengadakan persepakatan tersendiri untuk tidak menggunakan jalur hukum.
Misalnya tidak saling mengadakan tuntutan.
Walaupun hukum perdata menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan, namun hukum diselenggarakan oleh negara untuk kepentingan perorangan maupun
masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian campur tangan negara adalah demi
kepentingan negara. Agar kepentingan ini tidak dikorbankan, maka undang-undang
menetapkan aturan-aturan membayar pajak setiap transaksi peralihan kendaraan
bermotor agar dilaksanakan balik nama.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clviii
Dalam hukum benda, tidak dapat diciptakan hak-hak baru kecuali yang telah
ditentukan. Sedang dalam hukum perjanjian, karena sebagian besar merupakan regelen
(pelengkap saja) dapat menciptakan hal-hal baru diluar ketentuan yang ada.
Di sini ada dua sifat yang saling berhadapan, yaitu sifat tertutup pada hukum
benda disatu pihak dan sifat terbuka pada hukum perikatan. Apabila ketentuan dalam
hukum benda tidak dilaksanakan berarti masyarakat cenderung bergantung pada sifat dari ketentuan-ketentuan hukum perikatan. Dalam perjanjian dikenal adanya kebebasan
berkontrak Kebebasan ini dianggap “menyelamatkan” dari ketentuan-ketentuan yang
bersifat tertutup. Akan tetapi dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenal
adanya perbuatan untuk melaksanakan suatu ketentuan untuk tidak melaksanakan suatu
ketentuan yang lain. Dalam hukum perjanjian memang diakui bahwa setiap perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(pasal 1338 KUH Perdata).87
Salah satu unsur syarat perjanjian yang sah adalah itikad baik, di sini peranan
kejujuran setiap orang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang. Apabila terjadi
persepakatan untuk menyimpangi suatu ketentuan yang lain dari undang-undang, maka
hukum memberi sanksi batal dan perjanjian tidak boleh dilaksanakan. Inilah pagar-
pagar yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang. Namun pagar-pagar ini merupakan benda mati. Sedang yang berubah adalah manusianya sebagai pelaksana dari
undang-undang, maka pagarpun tetap dapat diterobos.
Jika azas dari pasal 1338 KUH Perdata ini dipergunakan untuk memperkuat
pemilikan benda-benda terdaftar berupa kendaraan bermotor, ini berarti terhadap obyek,
pemilik hanya mempunyai hak perorangan saja. Benda-benda ini hanya dapat
dipertahankan kepada orang-orang tertentu atau pemilik sebelumnya. Ini hasil yang
diperoleh dari pemilikan tanpa melaksanakan ketentuan yang ada. Padahal pemilikan
atas benda-benda ini adalah untuk memperoleh hak-hak kebendaan, yaitu yang
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap
tiap orang.88 Agar dapat dipertahankan undang-undang memerintahkan penyerahan
yuridis terhadap benda-benda terdaftar.
PROSES PENYERAHAN YURIDIS BENDA-BENDA TERDAFTAR
A. Dasar Hukum
Dasar hukum kewajiban melaksanakan balik nama kendaraan bermotor adalah
dikarenakan terdapat suatu kewajiban untuk selalu mendaftarkan, demikian pula
bilamana terjadi perobahan kepemilikan karena penjualanan kendaraan bermotor
87Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.66-67. 88Achmad Ichsan, Op.cit., h.154
Volume 11, No.1 Mei 2011 clix
diwajibkan pula untuk melaporkan terjadinya perobahan kepemilikan atas kendaraan
bermotor tersebut. Hal ini mengacu pada:
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992;
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993;
- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993;
- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993.89 Kendaraan bermotor menurut pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 14 tahun
1992 adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada
kendaraan itu. Adapun kendaraan itu sendiri dalam angka 6 pasal yang sama
didefinisikan sebagai suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan
bermotor atau kendaraan tidak bermotor.
Setiap balik nama kendaran bermotor, diwajibkan membayar bea balik nama
yang disebut bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 pasal 174 ayat 2. Ketentuan dalam pasal ini adalah
bersifat imperatif, karena terimplementasikan dari kata “wajib”, namun dalam praktek
setiap pelanggaran atas pasal di atas pengenaan sanksinya menjadi kabur, seolah tidak
ada sanksi hukum terhadap pembeli kendaraan sepeda motor yang tidak melakukan
balik nama. Kemudian dijumpai pula ketentuan yang tertera di balik Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (STNKB) bahwa STNK harus diadakan perubahan atau
penggantian STNK di daerah yang bersangkutan bilamana:
f. Identitas pemilik berobah;
g. Spesifikasi tehnis kendaraan berobah;
h. STNK hilang;
i. STNK rusak;
j. Dioperasikan 3 (tiga) bulan terus menerus di daerah lain;90
Memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, timbulnya kewajiban penyerahan
secara yuridis/balik nama hanya ditentukan oleh lima alasan di atas, selebihnya tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Bagi pejabat yang berwenang melakukan balik nama
kendaraan bermotor, dapat menentukan kapan terjadinya waktu atau saat timbulnya
kewajiban tersebut. Hal ini adalah tidak mungkin ditetapkan secara pasti dan matematis,
sehubungan terjadinya transaksi sepeda motor antar pedagang dengan konsumen atau
antar pedagang dengan pedagang “tidak pernah diberitahukan”. Sedang bagi kendaraan
bermotor bukan pemilik, masalah tersebut selalu dapat dibuat seakan-akan belum
menimbulkan kewajiban balik nama sesuai ketentuan-ketentuan diatas. Ketentuan-
ketentuan tentang jangka waktu yang berbeda-beda di atas, apabila kita hubungkan
89Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pelaksanaannya 1993, Cet.I, BP. Tri Rasaki,
Jakarta, 1993, h.3. 90Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 04 April 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clx
dengan masa berlaku herregistrasi yang ditetapkan satu tahun, menjadi kurang efektif.
Karena pada saat herregistrasi, disamping membayar pajak kendaraan bermotor (PKB)
dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu-lintas (SWDKL), langsung dapat
dibayarkan /diselesaikan balik nama, apabila terjadi penyerahan hak milik. Sehingga
jarang orang memberikan keterangan tentang balik nama sebelum STNK lama habis
masa berlakunya. Mengingat STNK lama masih berlaku selama tidak dikeluarkan STNK lain/baru atau habis masa berlakunya.
Pejabat yang bertugas melakukan balik nama kendaraan bermotor, dilarang
untuk menyelenggarakan balik nama sesuatu kendaraan bermotor, atau memberi catatan
tentang adanya penyerahan kendaraan bermotor, sebelum kepadanya diserahkan bukti-
bukti bahwa bea balik nama kendaraan bermotor beserta dendanya kalau ada, telah
dilunasi atau diserahkan sesuatu surat keterangan bahwa penyerahan kendaraan
bermotor itu bebas balik nama kendaraan bermotor.
Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan balik nama adalah :
d. Penyerahan kendaraan bermotor kepada negara dan daerah otonomi;
e. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Organisasi Internasional;
f. Penyerahan kendaraan bermotor kepada wakil Diplomatik, konsuler dan wakil
lain dari negara asing.91 Dari uraian diatas, kewajiban balik nama merupakan kewajiban para pemegang
kendaraan bermotor dengan tidak mengurangi tanggung jawab terhadap pihak yang
menyerahkan kendaraan bermotor itu.
B. Proses Balik Nama Kendaraan Bermotor.
Pelaksanaan balik nama kendaraan bermotor dilakukan melalui Sistim
Administrasi Manunggal Di bawah satu Atap (SAMSAT) yang merupakan gabungan
dari instansi-instansi : POLRI, Dinas Pendapatan Daerah dan PERUM Asuransi
Kerugian Jasa Raharja.
Sistim ini melayani penyelesaian kewajiban yang berkaitan dengan kendaraan bermotor
yaitu : - Penyelesaian Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB)
- Penyelesaian pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta
- Penyelesaian Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu lintas (SWDKL)
Menyelesaikan pembayaran bea balik nama kendaraan bermotor berarti
melakukan penyerahan secara yuridis. Dalam penyerahan secara yuridis akan terjadi
mutasi terhadap pajak kendaraan bermotor. Sedang yang disebut mutasi kendaraan
bermotor adalah pemindahan bagi mereka yang menguasai kendaraan bermotor yang
dipindahkan dari wilayah lain baik atas nama tetap maupun yang dipindahkan tangan
atau ganti pemilik, karena jual beli atau hibah.
91Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxi
Adapun syarat-syarat bagi pemilik kendaraan bermotor bekas yang diperoleh
dari pembelian atau pemindahan dari wilayah lain untuk mengajukan permohonan
STNKB atas namanya antara lain :
- Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) asli dan satu (1) foto copy.
- STNK asli dan satu (1) foto copy
- Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli dan foto copy - Surat Keterangan Fiskal yaitu surat keterangan yang menyatakan bahwa
pajak kendaraan bermotor terakhir telah lunas.
- Gesekkan nomor mesin dan nomor rangka
- Jika ganti pemilik kwitansi jual beli
- Materai92
Persyaratan diatas hampir sama dengan persyaratan untuk mengadakan
herregitrasi STNK setiap tahun, kecuali kwitansi jual beli atau segala keterangan yang
harus diberikan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor.
Keterangan atau pemberi tahuan itu harus memuat :
- Nama dan alamat lengkap baik dari yang menyerahkan atau yang
menerima penyerahan kendaraan bermotor. - Tanggal penyerahan
- Jenis, merk dan tahun pembikinan kendaraan bermotor, nomor chasis
(landasan atau rangka) dan nomor mesin.
- Dasar atas nama penyerahan dilakukan
- Harga penjualan atau harga pembelian93
Karena kebesasan dalam jual beli kendaran bermotor bekas yang
menyebabkan pemindahan hak milik secara nyata, tidak dapat diketahaui oleh pejabat
yang berwenang melakukan balik nama kendaraan bermotor, apabila yang bersangkutan
tidak memberikan keterangan tentang adanya balik nama kendaraan bermotor. Oleh
karena sifat yang demikian ini, maka sering terjadi penyimpangan. Seperti diketahui kendaraan bermotor harus didaftar ulang (herregistrasi) setiap tahun, dengan persyaratan
sebagaiman diatas, tetap dapat dilaksanakan walaupun telah ganti pemilik, dengan
upaya tetap menggunakan pemilik sesuai yang diberikan STNKB/BPKB.
Meskipun persyaratan itu mentetapkan kartu tanda penduduk pemilik yang
asli (sesuai nama dalam STNKB/BPKB), dalam kenyataannya persyaratan ini dapat
dilengkapi dengan cara meminjam kepada pemilik asli. Perjanjian ini adalah perbuatan
yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Sehingga pejabat yang
berwenang tetap dapat mengeluarkan STNKB baru setelah STNKB yang lama habis
masa berlakunya. Dapat juga dengan membuat kwitansi kosong, yang pengisiannya
dapat diatur sendiri oleh pemegang kendaran motor bekas, yang seakan-akan belum
92Ibid. 93Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxii
timbul kewajiban adanya penyerahan yaitu mewajibkan pemegang kendaraan bermotor
itu.
C. Peranan Pendaftaran Terhadap Kendaran Bermotor
Sebagaimana telah diuraikan di atas pada bab pertama, bahwa tujuan
pendaftaran ini penting dalam rangka kepastian hak dan kepastian hukum. Demi kepentingan itu, maka setiap pemilikan kendaraan bermotor perlu didukung dengan
pendaftaran dan diberikan STNK bagi pemiliknya. Dengan demikian STNK dapat
berfungsi sebagai bukti pendaftaran, juga berfungsi sebagai surat kuasa untuk menyetor
(SKUM) bea balik nama kendaran bermotor (BBNKB), SKP Pajak Kendaran Bermotor
(PKB) dan tanda lunas sumbangan wajib dana kecelakan lalu-lintas (SWDKL).
Sehingga setiap mengadakan pendaftaran harus membayar lunas pajak itu lebih dahulu
untuk jangka waktu satu tahun. Karena pajak berlaku untuk waktu satu tahun, maka
pendaftaran harus diulangi (herregitrasi) jika masa laku satu tahun telah habis dengan
membayar pajak untuk tahun berikutnya.
Kedua fungsi ini saling berkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di
satu pihak untuk kepastian hak dan kepastian hukum dan di satu pihak untuk kepentingan pajak. Mengingat semua urusan yang berkaitan dengan kendaraan
diserahkan kepada Daerah Tingkat 1 serta penyerahan pajak-pajak negara kepada
daerah otonom, maka setiap kewajiban pendaftaran selalu dituangkan dalam peraturan-
peraturan yang melaksanakan pajak. Sehingga kepentingan pajak lebih mendominasi
dari pada sekedar melaksanakan pendaftaran.
Namun setiap pemilikan kendaran bermotor tanpa STNK yang sesuai dengan
pemilik, tetap akan merugikan pemerintah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya
transaksi jual beli yang tidak langsung diadakan balik nama. Pajak yang seharusnya
menjadi inkam (pendapatan) daerah tidak dapat dipungut karena peraturannya tidak
dilaksanakan. Padahal peraturan daerah diadakan dalam rangka mengadakan efisiensi di
dalam bidang pemajakan, mengingat penjualan kendaran bermotor pada dewasa ini
tidak rendah dari pada harga penjualan atau penjualan nilai benda tidak bergerak, sedangkan barang-barang yang berupa kendaran bermotor tersebut di dalam masyarakat
dijadikan suatu obyek spekulasi oleh para pedagang kendaran bermotor. Benda-benda
terdaftar berupa kendaran bermotor dalam penggunaannya selalu menyangkut
kepentingan umum di jalan raya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992, tentang Lalu-
lintas dan Angkutan Jalan Raya, mengatur kelancaran, keamanan dan ketertiban lalu-
lintas dan ketentuan-ketentuan pokok tentang politik pemerintah di bidang angkutan
jalan raya.
Agar undang-undang ini dapat terlaksana dengan baik, pemerintah daerah
harus mengadakan pengawasan, melaksanakan uji kendaran bermotor, memelihara
keamanan serta pemberian fasilitas di bidang angkutan umum serta pemakai jalan.
Semua ini memerlukan pengaturan dalam pemilikan. Pemberian STNK atas nama pemilik, sebagai bukti adanya pelaksanaan pendaftaran mempunyai peranan penting
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxiii
bagi terselengaranya kepentingan-kepentingan di atas, di samping tanda lunas
membayar pajak.
Untuk itu ditetapkan bahwa peraturan membayar pajak dapat dilakukan
sekaligus melaksanakan pendaftaran. Antara lain dengan membayar bea balik nama
berarti telah melaksanakan peyerahan secara yuridis.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMILIKAN KENDARAN BERMOTOR
A. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Dibalik Nama
Akibat Hukum terhadap pemilikan kendaran bermotor yang tidak di balik nama
yang ditetapkan oleh peraturan-peraturan tentang bea balik nama kendaran bermotor adalah akibatnya berupa sanksi hukum tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajak/bea balik nama kendaran bermotor, yang berupa denda.
Seperti telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang bea balik nama
kendaraan bermotor, bahwa dalam satu bulan dari saat penyerahan harus meminta surat
kuasa untuk menyetor (SKUM) bea balik nama kendaraan bermotor. Sedang
pembayaran bea balik nama ini harus dilakukan pada saat mengajukan SKUM
dimaksud. Akan tetapi apabila dalam hal seorang akan mengajukan SKUM bea balik
nama sebelum sampai pada batas waktu yang ditentukan dan belum dapat membayar
lunas bea balik nama, maka yang bersangkutan dapat menunda pengajuan permintaan
SKUM bea balik nama diatas selambat-lambatnya sampai pada batas waktu tersebut.94
Jika pada batas waktu itu, belum juga dilaksanakan pengajuan SKUM, dapat dikenakan denda sebesar 25 % ( dua puluh lima persen ) dari jumlah bea yang terutang.
Gubernur Kepala Daerah dapat memperpanjang waktu yang dimaksud dengan waktu
satu bulan, apabila untuk itu oleh yang berkepentingan diajukan permohonan pada
waktu sebelum batas waktu itu lampau dan menurut pertimbangan terdapat alasan untuk
dikabulkan. Atas permohonan tertulis dari yang berkepentingan Gubernur Kepala
Daerah berwenang mengurangi atau membebaskan dari kewajiban dimaksud bila
terdapat alasan untuk itu. Bila yang menerima penyerahan tidak setuju dengan jumlah
yang dipakai sebagai dasar pengenaan bea, ia dapat mengajukan permohonan supaya
nilai jual kendaraan bermotor ditetapkan oleh suatu komisi taksasi.95
Kewajiban balik nama merupakan beban bagi orang yang menerima
penyerahan. Apabila orang tersebut tidak mampu membayar, maka orang yang
menyerahkan kendaraan tersebut dapat pula dipertanggung jawabkan pembebanan pembayarannya.
94Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan , 4 April 2011. 95Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxiv
Berdasarkan ketentuan diatas, sebagai dasar pertama timbulnya kewajiban
membayar bea balik nama adalah saat penyerahan, yang kemudian dari saat penyerahan
pula terhitung batas waktu, yang apabila terlampaui akan dikenakan denda. Saat
penyerahan adalah perbuatan hukum antara pihak yang menyerahkan dan yang
menerima penyerahan dalam suatu perjanjian. Apabila pada saat penyerahan tidak
dibuat secara tertulis, maka sesuai ketentuan yang ada, yang digunakan sebagai syarat penyerahan adalah kwitansi jual beli antara pihak yang mengadakan penyerahan.
Walaupun sebenarnya tanggal yang tercantum dalam kwitansi adalah saat pembayaran,
sedang yang diperlukan adalah saat Penyerahan. Padahal seperti dijelaskan dalam bab
sebelumnya, yaitu sering kali terjadi jual beli dengan kwitansi kosong, sehingga tanggal
saat penyerahan dapat diatur seakan-akan belum menimbulkan balik nama.
Dengan demikian balik namapun dapat diatur dan beapun sulit dipungut.
Perihal yang sama adalah akibat jual beli kendaraan bermotor yang dilakukan secara
lisan. Para pihak dapat membuat sendiri suatu persepakatan yang mengatur penyerahan
apabila pada suatu saat diminta saat penyerahan secara tertulis. Dalam hal ini balik
nama masih dapat dilakukan.
Terhadap penguasaan kendaraan bermotor bukan pemilik dalam waktu
yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk memperoleh hak milik. Dalam
peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan bermotor, sudah berusaha untuk
mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai mana di atas.
Perjanjian pinjam meminjam untuk jangka waktu yang lama, ditetapkan
apabila lebih satu tahun dianggap sebagai penyerahan dalam hak milik. Menganggap
penyerahan hak milik dengan cara tersebut diatas, merupakan ketentuan yang bersifat
“pukul rata”. Sehingga akibat negatif berupa penguasaan kendaraan bermotor yang
berasal dari perbuatan hukum yang tidak sah kurang menjadi pertimbangan.
Mengenai bea balik nama ini Pemerintah Daerah mempunyai hak utama
terhadap semua barang penanggung pajak. Hak utama ini mendahului segala hak
lainnya kecuali terhadap piutang tersebut dalam pasal 1139 sub 1 dan 4 serta pasal 1149 sub 1 KUH Perdata demikian pula pasal 80 dan 81 KUH Dagang, terhadap ikatan panen
hak gadai dan hipotik yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata yang
diadakan sebelum saat pajak terutang atau dalam hal diadakannya setelah saat itu,
sepanjang untuk itu diberikan suatu surat keterangan sebagai berikut :
a. Sebelum dan sesudah diadakan hipotik (saat ini bernama Hak Tanggungan)
menurut KUH Perdata, maka pemberi hipotik dapat minta surat keterangan,
bahwa hipotik itu mendahului hak utama sebagai mana dimaksud.
b. Gubenur Kepala Daerah memberi surat keterangan tersebut jika tidak ada bea
balik nama yang mendahului hipotik atau menurut pendapatnya ada jaminan
bahwa bea balik nama terserbut akan dilunasi.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxv
c. Dalam surat keterangan itu disebutkan tahun-tahun yang bersangkutan, dan
dalam hal surat keterangan tidak diberikan, maka pemberi hipotik dapat
mengajukan keberatannya kepada Gubernur Kepala Daerah, jika menurut
pendapatnya ada alasan untuk itu, sedangkan terhadap ikatan kredit, diperlukan
juga ketentuan ini.
Terhadap tanah yang dimiliki menurut hukum adat, maka hak utama ini tidak mendahului ikatan kredit yang diadakan, sebelum saat wajib bayar bea balik nama
terjadi atau dalam hal diadakannya sesudah saat itu, sepanjang sat itu diberikan suatu
keterangan seperti dimaksud. Tanah atau barang yang digadaikan menurut hukum adat,
maka hak Pemerintah Daerah tidak mendahului hak pemegang gadai atas pembayaran
uang gadai. Hak utama akan hilang setelah dua tahun sejak tanggal surat kuasa untuk
menyetor atau jika dalam waktu itu diberitahukan surat paksa untuk membayar dua
tahun setelah diberitahukannya akta tuntutan yang terakhir. Dalam hal ini diberitahukan
penundaan pembayaran, maka waktu tersebut, karena hukum dapat diperpanjang
dengan waktu penundaan paling lama dua tahun.
Walaupun pemilikan kendaraan bermotor dengan cara menyelundupkan
hukum seperti dimaksud dalam uraian di atas, ketentuan yang ada tidak memberikan
sanksi mencabut hak (onteigenen) yang diberikan. Ketentuan yang ada hanya menetapkan tidak berlaku suatu hak yang diberikan berupa BPKB/STNKB. Apabila
ketentuan ini tidak ditaati, maka pemilikan itu tidak berdasarkan yuridis, sehingga tidak
terdapat kepastian hak dan kepastian hukum. Seperti diketahui pada lembaga
pencabutan hak hanya mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan.
Pencabutan itu dapat berupa :
d. Pengambilan suatu benda oleh pemerintah dan untuk kepentingan umum,
dengan penggantian kerugian dengan perantaraan hakim.
e. Penyitaan (inbeslagneming) dalam soal-soal kriminil yaitu : pengambilan atau
penahanan suatu benda yang dapat dijadikan bukti untuk menemukan
kebenaran, atau benda-benda yang disita yang dapat diperintahkan
pemusnahannya atau supaya tidak dapat dipakai lagi. f. Suatu nasionallisasi yaitu pengambilan suatu benda untuk dialihkan haknya
kepada nagara.96
Kriteria penyalahgunaan hak dapat berupa :
c. Penggunaan hak milik itu tidak masuk kepentingan umum.
d. Perbuatan itu dilakukan dengan maksud untuk merugikan orang lain.
Terhadap kendaraan bermotor dikenal adanya lembaga tilang. Benda-benda
tersebut dalam penggunaannya selalu menyangkut kepentingan umum di jalan raya.
Setiap pemakai jalan selalu diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1992
96Muqodim, Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press, Yogyakarta, 1999, h. 82.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxvi
Tentang Lalu-lintas Jalan Raya. Penyalahgunaan terhadap surat nomor, surat uji coba
dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan tidak benar dalam permohonannya
maka surat nomor, surat uji kendaraan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak
berlaku. Pemilik kendaran bermotor yang tidak menyerahkan secara yuridis kepada
pemilik baru, selalu dimintai pertanggungjawabannya apabila terjadi penyalahgunaan
hak pada kendaraan bermotor yang seharusnya menjadi wewenang/haknya.
Dilain pihak serung terjadi pembelian kendaraan bermotor yang masih
diangsur pelunasannya oleh pemilik pertama. Hal ini selalu menimbulkan masalah yang
rumit apbila ternyata pemilik pertama ini tidak melunasi harga pembeliannya yang telah
diperjanjikan dengan pemilik asal. Sehingga kendaraan bermotor dapat dituntut
pengembaliannya oleh pemilik asal kendaran bermotor.
Benda-benda bergerak berupa kendaran bermotor merupakan suatu obyek yang
dapat dijadikan suatu jaminan. Lembaga jaminan yang ada dalam pengaturannya,
membedakan jelas antara benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak.
Benda-benda tidak bergerak dapat dikenakan jaminan hipotik(saat ini diganti dengan
Hak Tanggungan), sedang benda-benda bergerak dapat dibebani sebagai jaminan gadai
(pand). Benda-benda bergerak terdaftar, sulit dimasukkan pada pembagian benda-benda
diatas. Karena ia berdiri diantara kedunya.
Pada perkembangan selanjutnya, dalam praktek muncul lembaga jaminan
fudusia. Kita mengetai pula bahwa lembaga fidusia mengenai benda bergerak, meskipun
diakui oleh yurisprudensi sangat mudah disalahgunakan oleh debitur pemberi fidusia
dengan menjual lagi barang yang telah difidusiakan itu. Perlindungan yang diberikan di
sini kepada pembeli yang beritikad baik berdasarkan pasal 1997 ayat 2 KUH Perdata,
justru akan merugikan pihak pemberi fidusia. Pengaturan tentang lembaga jaminan,
tidak dapat dilepaskan dari pengaturan benda itu sendiri.
Adanya lembaga jaminan, berdasarkan hak-hak atas benda yang ditetapkan
oleh undang-undang, seperti antara lain hak milik. Oleh karena itu tentang pemilikan
yang diatur oleh undang-undangtidak dapat digunakan sebagai barang jaminan, seperti
kendaran bermotor tanpa proses balik nama. Mengingat diadakannya tujuan pendaftaran terhadap benda-benda terdaftar, Memerintahkan agar dibuat suatu register umum
(openbear register) dan supaya tiap-tiap orang dapat mengetahui tentang adanya hak
milik.
Adapun fidusia sendiri lahirnya dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan
dalam praktek, yaitu:
e. barang bergerak sebagai jaminan hutang;
f. tidak semua hak atas tanah (dulu) dapat dihipotikkan;
g. barang obyek jaminan hutang yang bersifat khusus;
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxvii
h. barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan.97
Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum kita, dan juga hukum di
kebanyakan negera-negara Eropa kontinental, bahwa jika yang menjadi obyek jaminan
hutang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal
ini, obyek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai
(kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak, maka jaminan tersebut haruslah (dulu) berbentuk hipotik (sekarang ada hak
tanggungan). Dalam hal ini barang obyek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur,
tetapi tetap dalam kekuasaan debitur.
Akan tetapi, terdapat kasus-kasus di mana barang obyek jaminan hutang masih
tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas
barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan
bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu, dibutuhkan
adanya suatu bentuk jaminan hutang yang obyeknya masih tergolong benda bergerak
tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur.
Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru di mana obyek benda bergerak, tetapi
kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur. Inilah yang
disebut dengan jaminan fidusia. Sebaliknya, ada juga kasus-kasus di mana jaminan hutang diberikan atas benda tidak bergerak, tetapi ada kebutuhan atau para pihak
sepakat agar barang tidak bergerak tersebut dialihkan kekuasaannya kepada pihak
kreditur. Inilah yang mendorong munculnya gadai tanah yang banyak dipraktekkan
dalam sistem hukum adat.
Latar belakang lain yang memotivasi timbulnya atau berkembangnya praktek
fidusia adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau
hak tanggungan. Misalnya, dahulu hak pakai atas tanah tidak dijaminkan dengan
hipotik, sehingga atas hak pakai tersebut diikat dengan jaminan fidusia.
Sedangkan obyek jaminan hutang yang bersifat khusus adalah ada barang-
barang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai sifat-sifat
seperti barang tidak bergerak. Sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda
obyek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan. Misalnya,
fidusia atas pesawat terbang dahulu sebelum berlakunya Undang-undang tentang
penerbangan nomor 15 Tahun 1992. Dengan undang-undang tersebut, hipotik dapat
diikatkan atas sebuah pesawat terbang. Atau terhadap hasil panen, yang juga tidak
mungkin diikatkan dengan hipotik.
Pekembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu juga tidak selamanya
dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas barang
97Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
h.1-3.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxviii
yang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik. Misalnya,
tidak dapat diikatkan dengan hipotik atas strata title atau atas rumah susun. Maka
Undang-undang Rumah Susun Nomor 16 Tahun 1985, memperkenalkan fidusia
terhadap hak atas satuan rumah susun tersebut. Akan tetapi, sekarang dengan
berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka atas strata
title dapat diikatkan hak tanggungan asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Barang bergerak obyek jaminan hutang tidak dapat diserahkan, artinya
adakalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar
diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang
dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada
pihak kreditur. Misalnya, saham perseroan yang belum dicetak sertifikatnya. Karena itu,
timbul fidusia saham atau fidusia atas benda bergerak, tetapi benda tersebut karena
sesuatu dan lain hal masih di tangan pihak ketiga, sehingga penyerahan barang tersebut
belum dapat dilakukan. Karena itu, gadai tidak dapat dilakukan.
Mahkamah Agung Negeri Belanda dapat dipandang sebagai lembaga
pengadilan yang memungkinkan dipergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan melalui
putusannya yang terkenal dengan nama Bierbrowery Arrest tanggal 25 Januari 1929,
sekalipun sebenarnya lembaga jaminan yang demikian ini sudah lama dikenal sejak Jaman Romawi.98
Ada sementara pihak yang beranggaapan bahwa Arrest tersebut menyalahi
ketentuan undang-undang mengenai gadai oleh karena ketentuan mengenai gadai sudah
menentukan secara tegas bahwa barang yang dijadikan jaminan harus diserahkan
kepada kreditur, akan tetapi dalam fidusia tetap dipegang oleh debitur, sedangkan
sebaliknya ada pula ahli hukum yang memberikan dukungan terhadap Arrest tersebut,
sehingga lembaga fidusia berkembang seperti sekarang ini.
Ada yang berpendapat bahwa hal yang demikian dapat dibenarkan atas dasar
tuntutan masyarakat karena membutuhkan adanya lembaga jaminan yang demikian,
sehingga undang-undang harus menyingkir atas dasar prinsip bahwa undang-undang
untuk manusia dan masyarakat, bukannya masyarakat untuk undang-undang. Sedangkan pendapat lain yang pro terhadap putusan Hoge Raad di atas, menyetujui
dikembangkannya lembaga fidusia ini didasarkan pada asumsi bahwa jika fidusia ini
diterima maka ketentuan pasal 1152 KUH Perdata yang mengharuskan adanya
penyerahan benda yang digadaikan harus dihapuskan terlebih dahulu dan ada pula
pendapat yang tidak mau mengkaitkannya dengan persoalan gadai serta menilai fidusia
ini sebagai suatu lembaga jaminan baru yang dibutuhkan dalam praktek.
98Abdurrahman dan Sasul Wahidin, Beberapa Catatan Tentang Hukum
Jaminan dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni, Bandung, 1985, h.39.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxix
Adanya pandangan yang demikian sangat banyak pengaruhnya terhadap
perkembangan fidusia itu sendiri. Dan berbagai putusan pengadilan, baik di negeri
Belanda maupun di negeri kita sudah terlihat adanya suatu kecenderungan untuk tetap
mempertahankan dan mengembangkan lembaga ini sekalipun hanya dimungkinkan
terhadap benda bergerak saja.
Di kalangan para ahli hukum sudah ada yang melangkah lebih jauh untuk memungkinkan diadakannya fidusia terhadap benda tetap seperti untuk memberikan
jaminan kepada penagih dengan jalan penyerahan hak milik. Pemberian jaminan secara
demikian ini sebenarnya hanya merupakan “pengurangan kebebasan hak kepemilikan
atas suatu benda”. Oleh karena itu, bisa saja terjadi “juridische levering” artinya dengan
“zakelijk overeenkomst” pendaftaran pada kadaster dan adanya perjanjian bahwa
penyerahan itu hanya atas dasar kepercayaan saja. Akan tetapi hal yang demikian adalah
jarang terjadi disebabkan karena telah ada peraturan tentang hipotik.
Keberadaan lembaga jaminan fidusia semula tidak lahir dengan kesepakatan
bulan dari para ahli hukum, melainkan masih melalui pertentangan yang cukup tajam,
seperti adanya pendapat bahwa benda tetap tidak dapat dibebani dengan lembaga
jaminan fidusia. Di samping itu, banyak pula yang mengungkapkan beberapa
kelemahan yang terkandung di dalam lembaga tersebut, karena terlalu banyak mengandung resiko antara lain seorang pemberi fidusia masih ada kemungkinan untuk
main curang dengan menjual atau menggadaikan lagi benda jaminan yang sudah
difidusiakan itu.
Di samping hal tersebut berbeda dengan hipotik yang harus didaftarkan, maka
fidusia tidak didaftarkan dan tidak mempunyai akta (pada saat timbul pengusulan
semula) dari sertifikatnya, sehingga dari pihak ketiga akan mudah dengan begitu saja
berdalih bahwa ia tidak tahu menahu mengenai adanya fidusia terhadap barang yang
telah diserahkan kepadanya, oleh karena pihak ketiga yang beritikad baik yang telah
membeli barang tersebut adalah dilindungi oleh hukum sekalipun penjual telah
melakukannya dengan tipu muslihat dan penjual tersebut adalah untuk kedua kalinya.
Saat itu dipersoalkan, apakah fidusia sebagai lembaga jaminan perlu untuk diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tersendiri. Sebab pada saat itu fidusia
masih belum ada undang-undangnya. Mengenai hal ini, di Belanda sedang dibahas
mengenai masalah fidusia guna dicari wadahnya yang paling tepat.
Bentuk pengaturan ini hanyalah dimaksudkan untuk mencari jalan keluar
melalui jalan yang melingkar, di mana atas dasar ketentuan udnang-undang yang ada
tidak diperkenankan. Bilamana pembentuk undang-undang menganggap perlu, dapat
mencapai maksud yang sama secara langsung dengan cara mengubah jalan melingkar
melalui fidusia ini.
Setelah dilakukan penelitian secara mendalam, maka tentang praktek
fidusia di negeri Belanda dengan mendasarkan pada nilai efektifitas lembaga fidusia
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxx
yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka telah terbukti untuk
memberikan wadah lembaga jaminan fidusia dalam suatu undang-undang.
Perkembangan selanjutnya dari lembaga fidusia dalam praktek peradilan di
negeri kita ternyata pula telah menetapkan bahwa penyerahan hak milik sebagai
jaminan fidusia hanya sah sepanjang mengenai barang-barang bergerak saja. Dari
perkembangan ini pulalah, kelahiran pembagian benda-benda terdaftar dan benda-benda tidak terdaftar menjadi semakin diperlukan, dengan maksud untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam proses kepemilikan benda terdaftar.
Adapun untuk memperoleh benda terdaftar, dalam praktek dapat diperoleh
dengan cara membeli (dalam transaksi jual beli), hibah, tukar menukar, hadiah ataupun
bentuk transaksi lainnya yang menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak
dilarang, baik secara obyektif maupun secara subyektif.
Dalam seminar hukum mengenai lembaga-lembaga jaminan di Yogyakarta
pada tanggal 9 Oktober 1984 sampai dengan 11 Oktober 1984 terdapat gagasan hukum
kendaraan bermotor yang terdapat gagasan bahwa kendaraan bermotor yang terdaftar
dapat digunakan lembaga jaminan hipotik (versi baru) atau bila tidak terdaftar lembaga
jaminannya adalah gadai (pand). Suatu benda tidak berwujud (misalnya hak untuk
menagih) ia dapat memakai lembaga gadai atau fidusia.99
Dengan mengetahui tentang arti pentingnya lahirnya suatu undang-undang
yang mengatur benda-benda bergerak terdatar, di mana semula lahir dari perkembangan
praktek penerapan lembaga jaminan fidusia. Maka pemberlakuan sanksi hukum dalam
transaksi jual beli kendaraan bermotor roda dua, menjadi semakin jelas keberadaannya
beserta aplikasinya.
Sebagaimana telah diketahui bersama hukum adalah merupakan suatu sistem,
hukum benda adalah merupakan suatu sub-sub sistem dari hukum perdata sebagai sub
sistemnya. Adapun yang dimaksud dengan sistem adalah antara sub sistem dengan sub-
sub sistem ataupun dengan sub sistem yang lain selalu berkait dan terikat dalam
pengaplikasiannya dan tidak dapat dilepas satu persatu dan dioperasionalisasikan satu
persatu dengan tanpa memfungsikan sistem atau sub sistem yang lain.
B. Akibat Hukum Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik Nama
Terhadap penguasaan kendaraan bermotor yang tidak di balik nama atau
bukan pemilik dalam waktu yang tidak ditentukan, balik nama dapat dihindari dengan
dalih karena perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian yang lain yang tidak untuk
memperoleh hak milik. Dalam peraturan daerah tentang bea balik nama kendaraan
99Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxi
bermotor, sudah berusaha untuk mencegah terjadinya penyelundupan hukum sebagai
mana di atas.
Dengan demikian akibat hukum dalam transaksi sepeda motor atau kendaraan
bermotor roda dua adalah masalah sanksi hukum yang tidak dapat dilepaskan dari
kepastian hukum dan perlindungan hukum. Artinya ketika para pihak yang melakukan
traksaksi jual beli sepeda motor sesuai dengan undang-undang, artinya para pihak mendaftarkan terjadinya perobahan kepemilikan sepeda motor sesuai dengan pasal 176
ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993, maka pada saat itu pula telah tejadi
kepastian hukum yaitu bahwa pemilik kendaraan atau sepeda motor telah beralih pada
pembeli (baik secara nyata ataupun secara hukum) dus perlindungan hukum dapat
diperoleh, baik oleh pihak penjual maupun oleh pihak pembeli.
Bilamana dalam proses pendaftaran perobahan kepemilikan kendaraan itu,
pembeli tidak mau membayar bea balik nama, maka ia akan memperoleh sanksi hukum
yang dapat berupa denda. Sebaliknya, jika pembeli telah mendaftarkan perobahan status
kepemilikan kendaraan tersebut, maka secara otomatis pembeli mendapat perlindungan
hukum sebagai pemilik sepeda motor yang sah. Ia dapat dapat mempertahankan hak
miliknya terhadap siapapun atas dasar hak kebendaan.
Bagi pihak penjual perihal sanksi hukum, kepastian hukum dan perlindungan hukum juga dapat diberlakukan dan diperoleh, sepanjang pihak penjual juga mengikuti
aturan main transaksi jual beli yang telah ditentukan dalam undang-undang di atas. Kita
dapat membuktikan, bahwa perlindungan hukum bagi penjual kendaraan atau sepeda
motor dapat diperoleh ketika penjual benar-benar mengikuti prosedur perjanjian jual
beli sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Artinya penjual baru
berkewajiban melakukan pemenuhan prestasi pada saat pembeli memenuhi
kewajibannya melakukan kontra prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. Hal
ini dikarenakan, walaupun antara penjual dan pembeli telah terjadi kesepakatan dalam
transaksi jual beli sepeda motor itu, namun perjanjian yang telah disepakati tersebut
masih dalam taraf “obligatoir” dan belum menyebabkan terjadinya perpindahan hak
kepemilikan.
Proses perpindahan hak milik dari penjual ke pembeli akan terjadi, bilamana
kedua belah pihak telah saling memenuhi “prestasi dan kontra prestasi”. Pada saat itulah
kepastian hukum lahir sebagai akibat terjadinya perjanjian jual beli tersebut, artinya
pada saat itu telah dapat ditentukan siapa yang berkedudukan sebagai pemilik atas
sepeda motor yang telah diperjual-belikan tersebut. Tahap berikutnya, pemilik tinggal
melakukan pendaftaran, dan bersamaan dengan proses pendaftaran dimaksud
“perlindungan hukum” muncul dengan sendirinya. Artinya, kedudukan pembeli yang
telah tercantum sebagai pemilik dalam Buku Pemilik Kendaraan Bermotor secara
yuridis adalah sah hukumnya sebagai pemilik.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxii
B. Alasan-alasan Yang Memberatkan Kendaraan Bermotor Yang Tidak di Balik
Nama
Ditinjau dari proses penyelesaian balik nama seperti telah diuraikan pada bab
sebelumnya, dapat diketahui tidak terlalu memberatkan atau menyulitkan. Mengingat
sistim administrasi manunggal dibawah satu atap dibentuk dengan tujuan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang meliputi :
c. Menyederhanakan, mempercepat dan dapat dipertanggung jawabkan dalam
pelayanan penyelesaian balik nama kendaraan bermotor serta pajak lainnya.
d. Menyelenggarakan urusan surat-surat yang ada hubungannya dengan
kendaraan bermotor.100
Kemudian mengingat bahwa objek balik nama adalah transaksi, maka bea ini
tidak dipungut secara pereodik seperti pajak-pajak lain terhadap kendaraan bermotor.
Apabila bea pemilikan kendaraan bermotor (dalam balik nama) yang akan
digunakan/dimiliki sendiri untuk seterusnya, maka bea akan dibayar sekali yang
harusnya dibayar oleh pemilik. Sepanjang kendaraan bermotor itu tidak diserahkan
kepada pihak lain, tidak pernah timbul kewajiban balik nama. Akan tetapi sebaliknya
apabila kendaraan bermotor itu sering dilakukan penyerahan, maka sebanyak jumlah
penyerahan itu kewajiban balik nama harus dilakukan.
Walaupun prosedur dibuat sedemikian mudah, namun balik nama tetap saja
dapat dihindari. Seperti diketahui ketentuan yang khusus berupaya mencegah
penyimpangan ini terdapat pada peraturan daerah tentang Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor. Ketentuan ini bersifat menunggu, sampai adanya pemberi tahuan yang
mengakibatkan kewajiban balik nama. Sehingga walaupun ketentuan-ketentuan yang
diberikan bersifat kewajiban membayar pajak, tetapi kewajiban itu timbul setelah ada
perbuatan yang mengandung unsur perdata. Ketentuan yang terdapat dalam KUH
Perdata dapat berfungsi sebagai pelengkap (aanvullend recht) tetapi ketentuan balik
nama tidak dapat dikatakan sebagai pelengkap. Walaupun cara memperoleh hak milik
dapat berasal dari suatu perjanjian, akan tetapi dalam setiap perjanjian yang
mengakibatkan penyerahan hak milik benda-benda terdaftar harus diikuti dengan balik nama. Dengan catatan bahwa perjanjian pokok yang dibuat tidak boleh menyimpang
dari undang-undang. Maka berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian
dinyatakan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-
undang. Kenyataan dalam praktek, perjanjian ini yang banyak dibuat tidak sah menurut
undang-undang. Tidak lain dengan tujuan agar kewajiban berikutnya, berupa balik nama
dapat dihindari. Oleh karena hukum mudah disimpangi, maka dapat digunakan alasan
untuk tidak melaksanakan kewajiban balik nama.
Bagi pedagang kendaraan bermotor bekas, yang sering mengadakan
perjanjian jual beli pada umumnya menguasai sejumlah kendaraan bermotor. Sehingga
100Penjelasan Kepala Unit Samsat Pamekasan, 6 April 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxiii
untuk melaksanakan kewajiban tersebut diatas, mereka mempunyai pertimbangan antara
lain :
e. Benda-benda itu tidak untuk dimiliki sendiri, akan tetapi setiap saat akan dibeli
dan diserahkan kepada orang lain.
f. Menambah harga jual karena bea yang dikeluarkan untuk balik nama.
g. Menghendaki penjualan yang cepat dengan harga bersaing serta segera memperoleh keuntungan yang diharapkan.
h. Sebagai pedagang, apabila semua kendaraan bermotor yang dikuasainya harus
dibalik nama, akan memakan waktu, biaya dan tenaga, dan atas pertimbangan
ini mereka memilih untuk tidak melakukan balik nama kendaraan bermotor
yang menjadi barang dagangannya.101
Adanya pemilikan tanpa proses balik nama, terdapat pula unsur untuk
menghindari pengenaan bea. Dibanding dengan pajak lain, bea balik nama memang
lebih besar pengenaannya. Hal ini lebih menyangkut tentang kendaraan sebagai wajib
pajak serta usaha aparat yang berwenang dalam mengadakan pemungutan pajak.
KESIMPULAN
b. Setiap transaksi jual beli kendaraan bermotor pada dasarnya harus dilakukan, baik
secara nyata ataupun secara yuridis, namun bilamana ketentuan ini tidak diikuti
karena kebiasaan, maka kedudukan seorang pemegang sepeda motor yang sah
(dengan cara membeli) dan yang tidak sah (dengan cara pencurian, dan penadahan)
tidak dapat dibedakan. Apalagi ketentuan hukum dalam KUH Perdata khususnya
pasal 1977 ayat 1 hanya berlaku terhadap benda bergerak yang tidak terdaftar,
untuk itu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor menjadi wajib; b. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan nyata atas
sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus dilakukan
penyerahan yuridis, yaitu pendaftaran perobahan kepemilikan sepeda motor dari
penjual kepada pembeli. Perobahan status kepemilikan sepeda motor yang
didaftarkan, akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam BPKB dan STNK
sepeda motor yang bersangkutan;
c. Adapun akibat hukum terhadap transaksi jual beli sepeda motor dengan tanpa balik
nama dengan maksud untuk menghindari pengenaan bea balik nama, adalah akan
melahirkan sanksi hukum, tidak ada perlindungan hukum dan tidak ada kepastian
hukum. Sanksi hukum akan timbul bilamana pihak pemilik yang terakhir
mendaftarkan melewati tenggang waktu jatuh tempo penagihan pajak kendaraan
bermotor. Dengan tidak dilakukannya perobahan status kepemilikan sepeda motor, maka bilamana kendaraan yang telah dibeli oleh pemegang terakhir “diakui atau
digugat” oleh orang lain, maka perlindungan hukum bagi pembeli tersebut tidak
101Penjelasan Pedagang Kendaraan Bermotor Roda Dua Bekas di Pamekasan, 9
April 2011.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxiv
ada, artinya hukum akan tetap memberikan perlindungan hukum pada siapa yang
tertera namanya dalam BPKB ataupun STNK-nya.
SARAN
Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait untuk
segera melakukan tindakan-tindakan:
d. Penyuluhan hukum tentang arti penting perjanjian jual beli kendaraan bermotor
yang harus dilakukan secara yuridis;
e. Mewajibkan pembeli sepeda motor bekas untuk selalu mendaftarkan sepeda motor
yang telah dibelinya;
f. Memberikan sanksi berupa denda, kepada pembeli yang tidak mendaftarkan
transaksi jual beli bendaraan bermotor, dengan cara melakukan balik nama;
Daftar Rujukan
Abdurrahman dan Sasul Wahidin. 1985. Beberapa Catatan Tentang Hukum Jaminan
dan Hak-hak Jaminan atas Tanah, Cet.I, Alumni. Bandung.
Fuady, Munir. 2000. Jaminan Fidusia, Cet.I. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hernoko, A. Yuda. 2001. Diktat Hukum Perjanjian Kredit dan Jaminan – Aspek Hukum
Jaminan dan Lembaga Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Surabaya.
Ichsan, Achmad. 1969. Hukum Perdata IA, Cet.I, PT. Pembimbing Masa. Jakarta.
Isnaeni, Moch. 1996. Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Cet.I, CV. Dharma Muda.
Surabaya. Mertokusumo, Sudikno. 2000. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed.II, Liberty.
Yogyakarta. 2000.
Muqodim. 1999. Perpajakan Buku Dua, Ed.II, UII Press. Yogyakarta.
Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan dari Undang-undang, Cet.I, Mandar Maju. Bandung.
Prawirohamidjojo R. Soetojo dan Marthalena Pohan. 1984. Bab-bab Tentang Hukum
Benda, Cet.I, Bina Ilmu. Surabaya.
Wignjosoebroto, Soetandyo.1995. Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan
Hukum Di Indonesia pada Era Pascakolonial, Karya Ilmiah Para Pakar
Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, PT. Eresco.
Bandung.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxv
PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT SEBAGAI PENERIMA KUASA
Oleh:
Achmad Rifai, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian
bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru
dalam batas tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak
seorang advokat dalam rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan sanksi terhadap pihak lain untuk
menyerahkan bukti yang dibutuhkan
Kata Kunci: Perlindungan Hukum – Advokat – Penerima Kuasa.
LATAR BELAKANG
Satu hal yang menyebabkan proses penyelesaian krisis multi dimensi di negara kita menjadi berlarut-larut adalah terjadinya kekacauan hukum (judicial disarray).
Karena itu salah satu jalan keluar dari masalah krisis multi dimensi ini adalah perlu
dilakukan reformasi dalam bidang hukum.102 Yang dimaksud dengan reformasi hukum
adalah perubahan dan pembaharuan total terhadap seluruh sistem hukum (legal system)
dan penegakan hukum (law enforcement), terutama terhadap lembaga penegak hukum
kita seperti hakim, jaksa, polisi dan advokat. Hal ini harus dilakukan mengingat selama ini merekalah yang sebenarnya sumber dan turut menjadi bagian dari terjadinya
kekacauan hukum tersebut.
Bangsa Indonesia memiliki masalah tidak berimbangnya akses hukum antara
yang kaya dan miskin. Tidak semua warga masyarakat mempunyai kemampuan untuk menggunakan jasa advokat/penasehat hukum untuk membela kepentingan mereka
dalam memperoleh keadilan. Hal ini karena masih sangat banyak warga masyarakat
hidup di bawah garis kemiskinan dan kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum.
102Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya),
Cet.I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, h.22.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxvi
Kenyataan sehari-hari menunjukkan masih banyak warga masyarakat yang
tersisih dari pembangunan, baik di kota maupun di desa. Masih kita dengar terjadinya
tindakan semena-mena atas hak seseorang yang dapat dikategorikan melanggar hak
asasi manusia oleh pihak yang kuat kepada yang lemah. Masih dijumpai tersangka yang
diabaikan haknya dan diperlakukan tidak adil, bahkan mengalami penyiksaan dan
direndahkan martabatnya sebagai manusia.103
Bantuan hukum adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh
negara dan bukan belas kasihan dari negara. Seringkali bantuan hukum diartikan
sebagai belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan
hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh
karena itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil oleh negara.
Salah satu ciri dari faham negara hukum adalah tiada seorangpun karena
ketidakmampuannya akan kehilangan haknya untuk memperoleh keadilan. Maka,
apabila seseorang tidak mampu untuk membiayai usahanya memperoleh keadilan dalam membela diri akan tetap berhak untuk mendapatkannya antara lain melalui usaha
bantuan hukum.
Ketentuan yang mengatur pendampingan advokat atau penasehat hukum antara
lain Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya Pasal 54 - 56. Pasal tersebut mengatur tentang tersangka atau terdakwa yang berhak mendapat bantuan
hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap
tingkat pemeriksaan.
Bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH sifatnya pro deo (demi Tuhan),104
tidak dipungut biaya karena disediakan terutama untuk warga masyarakat yang tidak
mampu. Pembiayaan operasional lembaga bantuan hukum diharapkan berasal dari
pemerintah dan warga masyarakat yang mampu. Dengan bekerjanya LBH yang
didukung oleh masyarakat, organisasi profesi hukum, dan pemerintah, dapat diharapkan
terjadi peningkatan jumlah pembela umum.
Lembaga bantuan hukum berperan dalam pemerataan keadilan sehingga baik
orang kaya maupun miskin dapat memperoleh bantuan hukum yang sama. Lembaga
bantuan hukum diharap mampu menjadi alternatif untuk meredam segala keresahan
103Poltak Hasiholan Hutadjulu, Bantuan Hukum pada Pemeriksaan
Pendahuluan oleh Penyidik Polri, Polisi dan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP
(Bunga Rampai), Cet.I, Sibaya, Bandung, 1999, h.23 104Simorangkir JCT et al., Kamus Hukum, Cet.VI, Sinar Grafika, Jakarta, 2000,
h.134
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxvii
sosial yang berdampak buruk maupun gejolak sosial dengan memberikan pelayanan
hukum kepada warga tidak mampu.
Bantuan hukum tidak dapat dikatakan bersaing dengan advokat profesional
karena pangsa pasar dan klien yang dibela berlainan. LBH lebih mengkonsentrasikan
diri untuk membela orang miskin. Ketidakmampuan secara ekonomi orang miskin tidak
memungkinkan untuk memperoleh pembelaan dan pelayanan hukum dari advokat
profesional.
Kondisi demikian menuntut dukungan kuat dari advokat baik berupa tenaga
maupun dana untuk pelaksanaan bantuan hukum. Bantuan dana dikumpulkan melalui
organisasi profesi untuk kemudian disalurkan kepada lembaga-lembaga bantuan hukum
yang memang telah memenuhi syarat untuk mendapatkannya. Sumbangan ini menjadi
alternatif pembiayaan pelaksanaan bantuan hukum, tanpa harus tergantung pada negara
atau lembaga donor asing.
Selayaknya setiap organisasi profesi advokat yang ada di Indonesia
meningkatkan fungsi sosialnya di masyarakat dan turut berpartisipasi dalam
memikirkan persoalan hukum yang ada dalam masyarakat. Organisasi advokat akan
berwibawa bila mampu membela keadilan tanpa rasa takut atau memihak. Organisasi
advokat harus mampu membela kehormatan, wibawa dan kebebasan lembaga peradilan. Tugas lain yang tidak kalah penting adalah mendorong reformasi hukum dengan
memberi komentar atas isi, hakikat, penafsiran dan penerapan hukum yang berlaku dan
akan diberlakukan terus menerus.
Bantuan hukum bagi warga masyarakat yang miskin bukan semata-mata
kedermawanan tetapi adalah suatu hak yang dapat dituntut pemenuhannya. Warga yang
tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana orang kaya
mendapatkannya. Namun, disadari tidak setiap orang yang merupakan pemegang hak
dapat menuntut pemenuhan hak yang ada padanya karena adanya berbagai keterbatasan,
baik yang melekat pada dirinya sendiri, misalnya kebodohan, ketidakberanian, juga
faktor eksteren seperti sistem peradilan, dan tenaga pemberi bantuan.
Negara bertanggung jawab memberikan fasilitas baik infrastruktur maupun
dalam bentuk pembiayaan. Namun, harus dihindari bentuk-bentuk campur tangan
negara yang dapat mengurangi pelaksanaan bantuan hukum yang obyektif dan
transparan. Hal ini juga ditentukan oleh peran pihak lain di luar negara seperti advokat,
organisasi profesi dan peran masyarakat. Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat
yang tidak mampu oleh negara merupakan wujud perlindungan yang diberikan negara
bagi warga negaranya.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxviii
Pelaksanaan bantuan hukum tidak hanya melibatkan advokat melainkan juga
aparat penegak hukum yang ada di dalam seluruh proses peradilan, seperti hakim, polisi
dan jaksa. Masing-masing aparat penegak hukum memiliki peran sendiri-sendiri dalam
pelaksanaan bantuan hukum sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Selama ini,
pelaksanaan bantuan hukum terkesan terhambat karena tidak ada koordinasi antara para
pihak yang terkait.
Bantuan hukum agar dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat, pelaksanaanya
perlu dilakukan secara merata dengan penyaluran melalui berbagai institusi penegakan
hukum yang ada seperti pengadilan, kejaksaan, organisasi advokat maupun organisasi
masyarakat yang bergerak di bidang bantuan hukum.
Pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat atas pendampingan advokat dalam setiap proses
hukum melainkan lebih jauh dari hal tersebut yaitu bagaimana menjadikan masyarakat
untuk lebih mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang ada. Hal ini
dilaksanakan dengan memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat.
Oleh para ahli hukum Indonesia, bantuan hukum dibagi menjadi dua yaitu;
bantuan hukum individual dan bantuan hukum struktural. Bantuan hukum individual
merupakan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu dalam bentuk pendampingan oleh advokat/pengacara dalam proses penyelesaian sengketa yang
dihadapi dalam rangka menjamin pemerataan pelayanan hukum kepada seluruh lapisan
masyarakat.
Dalam bantuan hukum struktural segala aksi atau kegiatan yang dilakukan
tidak semata-mata ditujukan untuk membela kepentingan atau hak hukum masyarakat
yang tidak mampu dalam proses peradilan. Namun lebih luas lagi, bantuan hukum
struktural bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan pengertian masyarakat tentang
hukum. Tujuan bantuan hukum ini adalah pemberdayaan masyarakat untuk
memperjuangkan kepentingannya terhadap penguasa yang melanggar hak-hak warga.
Proses bantuan hukum struktural melalui pemberdayaan rakyat, penyadaran
dan pendidikan hukum kritis yang ditujukan untuk membawa perubahan pada pemikiran
dan motivasi rakyat agar mampu berjuang bagi hak-hak mereka. Konsep ini merupakan
suatu pilihan yang didasari oleh keyakinan bahwa supremasi hukum yang disyaratkan
dalam membangun Indonesia sebagai negara hukum, tidak mutlak dibenahi oleh kaum
elit dan mereka yang berada di dalam struktur kenegaraan. Supremasi hukum dapat
dibenahi melalui potensi yang ada di masyarakat.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxix
Tidak banyak orang yang tahu bahwa bantuan hukum adalah bagian dari tugas
seorang advokat. Profesi ini dikenal sebagai profesi yang mulia atau officium
nobile105karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar
belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosio-ekonomi, kaya/miskin, keyakinan
politik, gender maupun ideologi.
Tidak dapat dipungkiri terdakwa yang ditawari bantuan hukum ada yang
menyatakan keinginannya untuk menghadapi perkara hukumnya sendiri tanpa bantuan
advokat karena beberapa sebab, yaitu anggapan bila memakai jasa advokat
membutuhkan waktu lebih lama terhadap proses peradilan, misalnya advokat sering
mengajukan eksepsi atau mempermasalahkan surat dakwaan atau perbuatan terdakwa
sudah jelas sehingga tidak ragu lagi akan posisi hukumnya.
Namun di sisi lain, perlindungan terhadap advokat dalam rangka memberikan
perlindungan hukum guna menciptakan law enforcement dalam Undang-Undang
Advokat itu sendiri belum memadai. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak satupun yang mengatur tentang larangan mengintimidasi, mengintervensi
dan tindakan lain yang mengganggu proses bantuan hukum yang diberikan Advokat.
Ketiadaan ketentuan larangan mengintimidasi, mengintervensi dan tindakan
lain yang mengganggu proses bantuan hukum yang diberikan Advokat memberikan peluang bagi Advokat untuk bekerja sambil menyelamatkan dirinya. Ini memberikan
dampak penyimpangan terhadap proses penegakan hukum.
Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan untuk mengangkat beberapa permasalahan hukum dengan rumusan kalimat:
a. Apakah yang dimaksud dengan bantuan hukum?
b. Apakah hak dan kewajiban yang timbul dalam pemberian kuasa?
c. Bagaimanakah perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa
dalam pemberian bantuan hukum?
BANTUAN HUKUM
1. Bantuan Hukum dalam Penanganan Perkara
Istilah bantuan hukum boleh dikatakan masih merupakan hal yang baru bagi
bangsa Indonesia. Masyarakat baru mengenal dan mendengarnya di sekitar tahun tujuh
105Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1995, h.10
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxx
puluhan.106 Aliran lembaga bantuan hukum yang berkembang di negara kita pada
hakikatnya tidak luput dari arus perkembangan bantuan hukum yang terdapat pada
negara-negara yang sudah maju. Di dunia Barat pada umumnya, pengertian, bantuan
hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda.
Legal aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang
yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma, bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang
tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin. Dengan demikian motivasi utama
dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan
dan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta hukum.107
Legal assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid.
Karena pada legal assistance, di samping mengandung makna dan tujuan memberi jasa
bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokat,
yang memberi bantuan baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi, maupun
pemberian bantuan kepada rakyat yang miskin secara cuma-Cuma.108
Bentuk ketiga adalah legal service, barangkali dalam bahasa Indonesia, legal
service dapat kita terjemahkan dengan perkataan "pelayanan hukum". Pada umumnya
kebanyakan orang lebih cenderung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makna legal service dibandingkan dengan konsep dan tujuan legal aid atau legal
assistance. Karena pada konsep dan ide legal service terkandung makna dan tujuan
memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan
menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa
bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang
menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan.
Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang
memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak
hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap
anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin. Di samping untuk
menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam operasionalnya, lebih cenderung untuk menyelesaikan
setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian.
Dalam tinjauan ini akan dicoba memperlihatkan masalah bantuan hukum
sesuai dengan apa yang dijumpai dalam kaidah hukum positif di Indonesia. Apakah
hukum positif kita telah mengenal bantuan hukum, khususnya bantuan hukum bagi
mereka yang sedang berhadapan dengan pemeriksaan perkara mulai dari taraf
penyidikan sampai ke tingkat proses pemeriksaan peradilan.
106Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia Citra, Idealisme dan
Kepribadian, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, h.10 107M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h.333 108Ibid.
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxi
Bantuan hukum yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara, hukum positif
telah mengenal dua fase perkembangan di bidang bantuan hukum dalam perkara-
perkara pidana:
1. Bantuan Hukum yang Dirumuskan dalam Pasal 250 HIR, sesuai dengan
ketentuan Pasal 250 HIR, bantuan hukum yang diatur di dalam dapat dikatakan
sekalipun dasar bantuan hukum pada pokoknya hanya tercantum pada pasal 250, tidak berarti adanya pembatasan hak terdakwa mendapatkan bantuan hukum,
namun HIR hanya memperkenankan bantuan hukum kepada terdakwa dalam
proses pemeriksaan persidangan pengadilan. Sedang kepada tersangka pada
proses tingkat pemeriksaan penyidikan, HIR belum memberi hak untuk mendapat
bantuan hukum.
Demikian juga "kewajiban" bagi pejabat peradilan untuk menunjuk penunjuk
Penasihat Hukum, hanya terbatas pada tindak pidana yang diancam dengan
hukuman mati. Di luar tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, tidak
kewajiban bagi pengadilan untuk menunjuk Penasihat Hukum memberi bantuan
hukum kepada terdakwa.
2. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman, diatur suatu ketentuan tentang bantuan hukum
yang jauh lebih luas dengan apa yang dijumpai dalam HIR. Pada Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 terdapat satu bab yang khusus memuat tentang bantuan
hukum, yang diatur dalam pasal 37 sampai dengan pasal 40.
Pada penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana
dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dapat
dibaca landasan pemikiran pembuat undang-undang tentang makna bantuan hukum, yang pada pokoknya menentukan bahwa seseorang yang terkena perkara
mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum. ini dianggap perlu karena ia
wajib diberi perlindungan sewajarnya. Perlu diingat ketentuan pasal 8, di mana
seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai keputusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan yang tetap.
Karena, pentingnya, supaya diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan
hukum. Demikian bunyi penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 tahun
1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang
memberi gagasan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara, berhak
memperoleh bantuan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxii
Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, dapat disimpulkan telah menetapkan, hak bagi setiap
orang yang tersangkut urusan perkara untuk memperoleh bantuan hukum. Ketentuan ini
memperlihatkan, asas bantuan hukum telah diakui sebagai hal yang penting seperti yang
dijelaskan pada penjelasan Pasal 35. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 belum sampai kepada taraf yang meletakkan asas "wajib" memperoleh bantuan hukum. Masih bertaraf "hak"
mendapatkan bantuan hukum.
Namun sekalipun asas memperoleh bantuan hukum bagi orang yang tersangkut
perkara baru merupakan hak, tetapi hak memperoleh bantuan hukum dalam perkara
pidana. Kalau diperhatikan lebih lanjut ketentuan bantuan hukum yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 telah dibenarkan memperoleh bantuan hukum sejak saat dilakukan
penangkapan atau penahanan. Tetapi sifat hak memperoleh bantuan hukum pada taraf
penangkapan atau penahanan, baru bersifat "hak menghubungi dan meminta bantuan
Penasihat Hukum".
Bagaimana cara menghubungi dan cara meminta bantuan Penasihat Hukum Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 belum mengaturnya. Jika diperhatikan penjelasan Pasal 36, hanya berisi
pengaturan umum saja. Belum mengatur tata cara hubungan dan permintaan bantuan
Penasihat Hukum, seperti yang dapat dibaca "Sesuai dengan sila perikemanusiaan maka
seorang tertuduh harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan
selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah.109
Karena itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga dan
Penasihat Hukumnya, terutama sejak ia ditangkap/ditahan. Tetapi hubungan ini dengan
sendirinya tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan yang dimulai dengan
penyidikan. Untuk itu penyidik dan Penuntut Umum dapat melakukan pengawasan terhadap hubungan tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara
pidana". Dari penjelasan Pasal 36 di atas, terutama kalimat alinea terakhir, memang
menegaskan bahwa hubungan dan pengawasan antara tersangka/terdakwa dengan
Penasihat Hukum akan diatur lebih lanjut dalam Hukum Acara Pidana. Malah Pasal 38
sendiri telah mempertegas lagi tentang apa yang disebut pada penjelasan pasal 36.
Pasal 38 menentukan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 35, 36, dan 37
tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, ketentuan
bantuan hukum yang terdapat pada Bab VII Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970
sebagai dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan
dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, baru merupakan landasan dan
109Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam
Teori dan Praktek, Cet.I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h.3
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxiii
asas umum, belum memuat aturan tata cara pelaksanaannya. Dan ketentuan umum ini
terkatung-katung selama lebih kurang sepuluh tahun. Sehingga dalam masa periode
yang tak menentu ini, sering terjadi saling pertentangan pendapat antara para pemberi
bantuan hukum (pengacara, advokat) pada satu pihak dengan para aparat penegak
hukum (Polri dan penuntut umum) pada pihak lain. Para Penasihat Hukum mendesak
kepada para instansi penegak hukum untuk memberi hak seperti yang ditegaskan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004, yakni dapat mengikuti jalannya pemeriksaan tersangka sejak
penyidikan. Pada pihak lain instansi penyidik bertahan tidak memperkenankan dengan
alasan peraturan pelaksanaan dan tata cara pemberian bantuan hukum yang dimaksud
Pasal 35 dan 36 belum diatur.
Akan tetapi dengan adanya aturan umum yang terdapat pada Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, telah
membawa rangsangan bagi anggota masyarakat, terutama dari kalangan profesi hukum
clan perguruan tinggi untuk menuntut dan mengembangkan lembaga-lembaga bantuan
hukum. Gerakan lembaga-lembaga bantuan hukum yang berkembang tadi, merupakan aliran yang lebih menitik-beratkan konsep dan program bantuan hukum ke arah
:pelayanan hukum bagi rakyat miskin yang tidak berpunya dengan jalan memberi
bantuan secara cuma-cuma, menyadarkan hak-hak asasi manusia yang buta hukum,
yang bertemakan penegakan hukum dan sekaligus penegakan hukum.
Ketentuan pasal-pasal bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP merupakan
pelaksana daripada aturan umum yang digariskan dalam Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang terdapat pada Bab VII, Pasal 35 sampai dengan Pasal 38.
Sebagai peraturan pelaksana, pasal-pasal KUHAP merupakan penjabaran dari ketentuan
pokok tersebut. Oleh karena itu, landasan dan orientasi pasal-pasal KUHAP tentang
bantuan bertitik tolak dari ketentuan pokok yang digariskan pada Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
Seperti halnya pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana
dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dicabut
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, KUHAP tidak begitu jelas memberi
definisi bantuan hukum. Tidak dijumpai penjelasan yang membedakan pengertian
bantuan hukum seperti apa yang dikembangkan pada negara-negara yang sudah maju.
Siapa yang dimaksud dengan Penasihat Hukum yang berhak memberi bantuan hukum
tersebut? Apakah hanya mereka yang tergolong pada kelompok Peradin atau pokrol?
kedua, apakah arti Penasihat Hukum yang dimaksud dalam ketentuan ini sama dengan
pengertian legal assistance atau legal service, atau legal aid.
Dengan demikian, KUHAP sendiri belum memadai dan belum dekat sekali
dengan rakyat yang memerlukan pelayanan bantuan hukum. Bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP, lebih dekat kepada mereka yang kaya dan mampu memberi
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxiv
imbalan jasa kepada yang berprofesi sebagai advokat atau pengacara. Supaya bantuan
hukum akrab dengan rakyat kecil yang tidak mampu membayar imbalan jasa, harus
terdapat suatu ketentuan yang menegaskan adanya "kewajiban hukum" yang bersifat
imperatif memberi bantuan hukum kepada setiap anggota masyarakat tanpa kecuali.
Sedang yang diatur pada pasal 56 KUHAP hanya menegaskan hak tersangka atau
terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Sehingga bentuk bantuan hukum yang
diatur dalam KUHAP masih bersifat diskriminatif antara orang yang kaya dan yang
miskin.
Masalah lain dari pengertian bantuan hukum dalam rumusan KUHAP ialah:
Penasihat Hukum yang memberi bantuan hukum ialah seseorang yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
2. Pejabat yang Berwenang Memberikan Bantuan Hukum
Sejarah hukum di Indonesia merupakan peninggalan kolonial Belanda. Pada
waktu itu, peraturan dan perundang-undangan begitu banyak. Oleh karena itu, pada
akhirnya dibuatlah Peraturan umum mengenai Perundang-undangan. Untuk Indonesia (Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesia) Staatsblad 1847 Nomor 23 yang
diumumkan pada tanggal 30 April 1847.110 Inilah Dasar-dasar dan Pokok-pokok Hukum
di Indonesia yang menganut “Sistim Hukum Eropa Kontinental” yang pada akhir-akhir
ini masyarakat hukum kurang memperhatikannya, bahkan cenderung melupakannya.
Indonesia memperoleh kemerdekaan tahun 1945 dengan Undang-undang
Dasar yang bersifat singkat dan supel, yaitu hanya memuat 37 Pasal; sedangkan pasal-
pasal lainnya hanya memuat Peralihan dan Tambahan. Aturan Peralihan Undang-
undang Dasar 1945, Pasal II menyebutkan "Segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini.
Kita mengetahui bahwa keadilan yang hakiki sulit dicapai, kendati demikian
dalam. kehidupan sehari-hari kita harus selalu mencoba secara maksimal untuk mencapainya. Sebagai suatu negara hukum yang berdasarkan konstitusi kita tentunya
mendambakan bahwa segala aspek kehidupan di dalam masyarakat dapat diatur dengan
undang-undang dan persoalan-persoalan yang timbul dapat diselesaikan secara hukum
baik melalui pengadilan, arbitrase maupun melalui negosiasi dan mediasi atau yang
sekarang lebih dikenal dengan istilah "Alternative Dispute Resolution" sehingga semua
persoalan diharapkan dapat diselesaikan secara adil berdasarkan landasan hukum yang
menyertainya.
Untuk mencapai keadilan tersebut hanya dimungkinkan kalau saja para
penegak hukum telah siap mental dan dapat bersikap profesional untuk
melaksanakannya. Sebagaimana. kita ketahui bersama para penegak hukum kita belum
110Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII,
?Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.49
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxv
semua dapat bersikap profesional sehingga mengakibatkan tersendat-sendatnya
penegakan hukum di negara kita.
Berbagai peristiwa telah menandai tersendat-sendatnya penegakan hukum
seperti kasus Gandhi Memorial School, kaburnya Edy Tansil dari Lembaga
Pemasyarakatan Cipinang, hakim dilempari sepatu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
advokat dipukuli massa di Pengadilan Negeri Bekasi, pemeriksaan ulang perkara Marsinah di Pengadilan Negeri Surabaya, dan contoh-contoh peristiwa lain. Peran
undang-undang; badan peradilan,
Di sisi lain tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui badan peradilan,
persoalan-persoalan dapat diselesaikan baik melalui pengadilan maupun diselesaikan di
luar pengadilan. Untuk itu, peran para penegak hukum sangatlah vital di dalam, konteks
suatu. negara hukum.
Sering anggota masyarakat yang mengalami masalah atau problem tidak sadar
bahwa untuk memecahkan masalah tersebut diperlukan jasa Seorang advokat dan
biasanya kalau dia menyadarinya persoalan itu sudah menjadi rumit. Jarang sekali
anggota masyarakat berkonsultasi kepada seorang advokat, terkecuali diketahuinya
secara pasti alasan mengapa dia harus datang kepada seorang advokat dan minta jasa
seorang advokat. Oleh karena itu, di dalam memenuhi kebutuhan akan jasa advokat dari masyarakat diperlukan beberapa kualifikasi yang memadai agar seorang advokat dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.
Kebutuhan akan jasa hukum dari seorang advokat dapat berupa nasehat
hukum, konsultasi hukum, pendapat hukum, legal audit, pembelaan baik di luar maupun
di dalam pengadilan serta. pendampingan di dalam perkara-perkara pidana atau tidak
menutup kemungkinan dalam arbitrase perdagangan dan perburuhan.
Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam rangka memasuki era perdagangan
bebas, kebutuhan akan jasa advokat khusus advokat yang bergerak di bidang hukum
bisnis, investment law, cross-border acquisition dan merger sedemikian meningkat.
Sehingga dunia bisnis membutuhkan dan menuntut kualitas advokat yang lebih
profesional dan berwawasan internasional. Kita kenal advokat yang bergerak di bidang hukum bisnis sebagai apa. yang
menamakan dirinya konsultan hukum. Perkembangan akan kebutuhan konsultan hukum
bisnis adalah suatu kenyataan sebagai akibat dari perkembangan zaman. Persoalannya
sekarang adalah apakah konsultan hukum ini termasuk dalam profesi advokat ataukah
akan dipisahkan sebagai profesi tersendiri. Ada yang berpendapat bahwa konsultan
hukum. bukanlah suatu profesi yang notabene sebenarnya pekerjaan tersebut sudah
termasuk dalam profesi advokat sebagaimana dapat dilihat dari definisi "advocate"
menurut Black's Law Dictionary.111
111Ropaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, Cet.I, Gramedia, Jakarta, 2001,
h.11
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxvi
Juga kenyataan di negara kita sudah lama berpraktik pengacara praktek yang
menamakan dirinya pada jaman kolonial sebagai procureur dan pertanyaannya sekarang
apakah pekerjaan procureur akan diatur sendiri dan diawasi oleh organisasi tersendiri.
Adapun advokat itu sendiri harus kualifikatif dan mempunyai karakter substantive,
yaitu dia harus merupakan seorang diplomat dan inovatif dan dapat dipercaya.
Tentunya, kualitas tersebut akan merupakan suatu yang sangat ampuh bagi seorang advokat dan dapat dikatakan bahwa seorang advokat dibentuk oleh kondisi dan
karakteristik yang demikian itu. Masyarakat tentunya sangat membutuhkan advokat
dengan kualitas dan hal ini dapat dijaga dan diawasi oleh suatu asosiasi advokat yang
berwibawa dan berani.
Suatu standar profesi hukum yang memenuhi karakteristik dan kualffikasi
seperti di atas, hal yang tidak kalah penting adalah terjaminnya independensi profesi
advokat. Karena. tanpa adanya independensi profesi, seorang advokat akan sulit
membela kliennya dengan baik. Pengawasan terhadap advokat itu paling ideal kalau ada
organisasi asosiasi advokat yang kuat dan berwibawa di mana semua pengawasan
anggota dan putusan serta sanksi terhadap anggota yang melanggar kode etik advokat
dapat mengikat anggotanya dan didengar oleh birokrasi.
Dalam pada itu, kedudukan hakim di dalam sistem hukum belum dijamin, demikian pula belum adanya kebebasan profesi advokat sebagai komplimen terhadap
independensi badan peradilan telah menyebabkan penegakan hukum (law enforcement)
di negara kita belum berjalan semestinya sehingga pencapaian rule of law menjadi
tersendat-sendat. Sementara cita-cita demokrasi: dan penegakan hak asasi manusia
barulah bisa dicapai kalau terdapat rule of law. Apa yang terjadi sekarang adalah
penyelesaian masalah acapkali dilakukan secara politis ataupun melalui jalur kekuasaan
ketimbang diselesaikan melalui pengadilan secara. hukum.
Selain karakteristik dan kualitas advokat, diperlukan oleh masyarakat juga
integritas seorang advokat diperlukan dalam menjalankan tugasnya. Termasuk di
dalamnya pengawasan terhadap dirinya (disciplinary supervision) khususnya tentang
perilaku dan hubungannya dengan kliennya karena tanpa adanya pengawasan asosiasi advokat maka di dalam tugasnya dapat terjadi perbuatan atau sikap, yang menyimpang
dari pada hakekat dari profesi advokat yang notabene sangat diperlukan masyarakat.
Pengawasan terhadap profesi advokat ini dan segala tingkah laku dan sikapnya
tidak cukup dilakukan oleh birokrasi tetapi sebaiknya diselenggarakan oleh organisasi
profesi yang menaungi dan mengawasi perilaku dan sikap advokat. Untuk itu,
diperlukan suatu perangkat peraturan atau etika profesi untuk mengatur perilaku dan
sikap, yang korektif dari seorang advokat sebagaimana halnya juga etika profesi
mengatur hubungan antara advokat dengan kliennya, hubungan dengan rekannya,
hubungan dengan pengadilan, martabat advokat, imunitas advokat, bagaimana seorang
advokat harus berpraktik, honor advokat, bagaimana menyelesaikan pelanggaran kode
etik dan kualifikasi serta syarat untuk menjadi advokat.
Ketentuan hukum yang berkaitan dengan kedudukan advokat dalam proses penyidikan hanyalah dijelaskan dalam pasal 50 hingga pasal 74 KUHAP. Di mana
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxvii
dalam ketentuan tersebut memberikan hak kepada tersangka guna diperlakukan sama
dalam proses penegakan hukum. Hal ini bersesuaian dengan adanya asas equality
before the law, bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan.
Pasal 50 KUHAP berkenaan dengan hak tersangka atas hak tersangka guna
memperoleh pemeriksaan untuk diadili sesegera mungkin. Hal ini bersesuaian dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hak tersangka sebagaimana tersebut dalam pasal 50 hingga pasal 74 KUHAP dimaksud
akan terselenggara dengan baik, bilamana dibantu oleh advokat selaku
Penasihat hukum.
Untuk itu kedudukan seorang advokat adalah salah satu pilar dari sisi hak-hak
tersangka dalam rangka proses law enforcement. Seorang advokat harus benar-benar
melakukan pembelaan sesuai dengan hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam
undang-undang. Sebab di sisi lain tersangka akan diserang semaksimal mungkin oleh
Jaksa Penuntut Umum guna dijerat sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan hasil
pemeriksaan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) penyidik.
Adapun hakim sebagai catur wangsa terakhir akan mengadili berdasar
pembuktian yang diajukan oleh Penuntut Umum dan pembelaan advokat selaku Penasihat Hukum. Sehingga proses peradilan tersebut sesungguhnya adalah benar-benar
berimbang, mengingat hak tersangka dalam proses penyidikan hingga persidangan
selalu memperoleh bantuan hukum dan advokat.
Sejak awal dari proses penyidikan, tersangka didampingi oleh Penasihat
Hukum. Pada saat tahap penuntutan, terdakwa juga mendapat bantuan hukum dari
Penasihat Hukum. Tahap terakhir dalam pemeriksaan persidanganpun terdakwa juga
mendapatkan bantuan hukum. Sehingga posisi hakim adalah mempertimbangkan
pembuktian Penuntut Umum dan pembelaan Penasihat Hukumnya.
Dengan demikian kedudukan advokat selaku Penasihat Hukum dalam proses
law enforcement tidak dibenarkan ambigu (mendua), ia hanya bertugas untuk
melakukan pembelaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembelaan Penasihat Hukum terhadap terdakwa terlepas kepada terbukti tidaknya
kesalahan terdakwa.
Sehingga yang dimaksud dengan law enforcement dalam konteks pembelaan
tersangka/terdakwa, pada posisi advokat selaku Penasihat Hukum tidak dibenarkan
membantu penyidik ataupun Penuntut Umum. Artinya ketika hak-hak tersangka telah
diberikan secara penuh tidak terkecuali bantuan hukum dari advokat, maka hakim tidak
akan setengah hati untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan berat ringannya
kesalahan tersangka/terdakwa.
Menyimak dari pemahaman Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang di dalamnya
menegaskan hak dari Tersangka atau Terdakwa didampingi Penasihat Hukum apabila
tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana 15 tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasihat Hukum sendiri, di mana Pejabat
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxviii
yang bersangkutan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi
mereka. Di mana ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dipandang dari pendekatan strict
law atau formalitas legal thinking mengandung beberapa aspek permasalahan hukum,
antara lain :
1. Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), di mana bagi setiap
Tersangka atau Terdakwa berhak didampingi Penasihat Hukum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dan/atau
tidak boleh bertentangan dengan "deklarasi universal" yang menegaskan
hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi Tersangka atau Terdakwa
merupakan sesuatu yang inherent pada diri manusia, dan konsekuensi logisnya
bagi Penegak Hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan
nilai HAM.
2. Pemenuhan hak ini oleh Penegak Hukum dalam proses peradilan pada semua
tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari Pejabat yang bersangkutan apabila
tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan :
a. Diancam dengan pidana mati atau 15 ( limabelas ) tahun lebih, atau
b. Bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 ( lima ) tahun atau
lebih yang tidak mempunyai Penasihat Hukum sendiri. Jika kedua syarat di atas terpenuhi, maka Pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat
Hukum bagi mereka. Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini
tentu kehadiran dan keberadaan Penasihat Hukum mendampingi tersangka
bersifat imperatif, sehingga mengabaikannya mengakibatkan hasil pemeriksaan
atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi hukum.
3. Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat
menjadi salah satu patokan Miranda Rule atau Miranda Principle.112 Apabila
pemeriksaan/penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan perkara Tersangka/
Terdakwa di persidangan tidak didampingi Penasihat Hukum maka sesuai
dengan Miranda Rule, hasil penyidikan tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).
Standar Miranda Rule inilah yang ditegakkan dalam putusan Mahkamah
Agung No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993 yang menyatakan "apabila
syarat-syarat permintaan dan atau hak Tersangka/Terdakwa tidak terpenuhi seperti
halnya penyidik tidak menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka sejak awal
penyidikan, tuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima ".
Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan Miranda Rule seperti
dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada
Tersangka/Terdakwa harus diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas)
tahun atau lebih atau yang tidak mampu diancam dengan pidana 5 ( lima )
112M. Yahya Harahap, Op.Cit., h.328
Volume 11, No.1 Mei 2011 clxxxix
tahun atau lebih yang tidak punya Penasihat Hukum sendiri, maka pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan harus didampingi Penasihat
Hukum;
2. Apabila Tersangka/Terdakwa tidak mampu menyediakan Penasihat Hukum
sendiri, Pejabat yang bersangkutan pada setiap tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan dibebani kewajiban untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka/ Terdakwa tersebut. Pemeriksaan penyidikan yang tersangkanya
tidak didampingi Penasihat Hukum, sesuai dengan kerangka pasal 115
KUHAP, maka hasil pemeriksaan penyidikan tersebut adalah tidak sah atau
batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum acara (undue process);
Demikian gambaran sekilas penerapan yang harus ditegakkan dari sudut
formalistic legal thinking tentang Miranda Rule yang telah diadopsi ke dalam pasal 56
ayat (1) KUHAP. Perlu diketahui tujuan pokok yang ingin dicapai atas penegakan
Miranda Rule dalam proses peradilan seperti dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP
adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka/
Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum mendampingi Tersangka sejak dari
proses penyidikan di tingkat Kepolisian dimaksudkan dapat berperan melakukan
kontrol, sehingga pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman. Namun jika dipandang dari sudut pendekatan berdasarkan kepentingan umum
(public interest) tentu akan berbeda dan bahkan selamanya cenderung berbeda atau
cenderung pula berbenturan. Untuk mengatasi hal itu peran dan kemampuan Hakim saat
memutuskan perkara sangat penting dan menentukan dalam melihat perlunya,
keseimbangan dalam penegakan hukum yang menyangkut antara kepentingan hak asasi
manusia yang bersifat individual dengan kepentingan umum (public interest) yang
berorientasi pada perlunya ada, rasa aman dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat.
Sejalan dengan salah satu tujuan utama dari hukum pidana itu sendiri, dan kita
semua tahu bahwa hukum pidana merupakan hukum publik yang bersifat imperatif yang
mengatur perilaku individu dan masyarakat tentang perbuatan mana yang boleh
dilakukan dan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dengan disertai pemberian sanksi yang tegas bagi siapa yang melanggarnya. Dimana pelaksanaan hukum tersebut
dapat dipaksakan kepada semua subyek hukum dengan maksud agar tercipta suasana
yang kondusif dalam tata hubungan antar individu dalam masyarakat agar tercipta
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang teratur, tertib dan aman.
Pelanggaran Miranda Rule dalam praktik Peradilan dapat terjadi pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan mulai dari tingkat Penyidikan oleh pihak
Kepolisian selaku Penyidik, proses Penuntutan di Kejaksaan selaku Penuntut Umum
dan oleh pihak Pengadilan selaku pemeriksa dan pemutus perkara yang bersangkutan.
Pasal 56 ayat (1) KUHAP telah mewajibkan kepada Pejabat yang bersangkutan untuk
menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka/Terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan.
Adapun pengertian "Pejabat Yang bersangkutan" dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah pejabat dalam lingkup pengertian dari The Criminal Justice System
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxc
yang dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan terhadap diri Tersangka dan/atau Terdakwa,
jadi di sini yang dimaksud pejabat yang bersangkutan adalah :
a. Pejabat selaku Penyidik di Kepolisian;
b. Pejabat selaku Jaksa/Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri dalam hal ini adalah
Kepala Kejaksaan Negeri; dan c. Pejabat pengadilan di mana perkara terdakwa diperiksa dan diputuskan, dalam
hal ini adalah Ketua Pengadilan.
Dengan satu pengertian Penyidik wajib menunjuk Penasihat Hukum ketika
Tersangka ada dalam proses penyidikan dan demi hukum dan batas kewenangan yang
dimiliki Surat Penunjukan Penasihat Hukum tersebut dengan sendirinya berakhir jika
penyidikan tidak diperlukan lagi terhadap diri Tersangka, kemudian setelah perkaranya
dilimpahkan ke Kejaksaan (P.21) Jaksa/Penuntut Umum dalam hal ini Kepala
Kejaksaan Negeri wajib pula menunjuk Penasihat Hukum bagi tersangka/terdakwa, hal
ini dimaksudkan siapa tahu oleh pihak Jaksa/Penuntut Umum masih diperlukan
pemeriksaan tambahan terhadap diri Tersangka yang perlu didampingi Penasihat
Hukum, dan selanjutnya demi hukum dan batas kewenangan yang dimiliki Surat
Penunjukan Penasihat Hukum tersebut dengan sendirinya berakhir pula jika berkas perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan.
Kemudian pejabat pengadilan bersangkutan dalam hal ini Ketua Pengadilan
wajib pula menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa, begitu seterusnya jika
Terdakwa masih melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan negeri berupa
Banding dan Kasasi.
Kewajiban Pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum pada
suatu tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut tidak berlaku/gugur dalam,
hal-hal sebagai berikut:
1. Sebelum Pemeriksaan dimulai Tersangka / Terdakwa telah mempunyai
Penasihat Hukum sendiri yang telah ia tunjuk sendiri atau atas tunjukan dari
keluarga tersangka tersebut; 2. Tersangka atau Terdakwa tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari
5 (lima) tahun;
Sedangkan jika sudah terjadi Penunjukan Penasihat Hukum oleh Pejabat yang
bersangkutan, Surat Penunjukan tersebut dapat berakhir bila :
1. Pemeriksaan terhadap Tersangka/Terdakwa tersebut telah selesai, sehingga
dengan sendirinya Surat Penunjukan tersebut telah berakhir.
2. Setelah adanya Penunjukan Penasihat Hukum oleh Pejabat yang berwenang,
misalnya kepada. Penasihat Hukum A, namun Tersangka/Terdakwa dan/atau
keluarganya menunjuk sendiri Penasihat Hukum B untuk mendampingi
Tersangka/Terdakwa tersebut.
3. Ketika Penasihat Hukum melakukan pendampingan terhadap Tersangka yang
didasarkan Surat penunjukan dari Penyidik di sana telah terjadi hubungan hukum secara langsung antara Tersangka dengan Penasihat Hukum yaitu
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxci
dalam bentuk telah ditandatanganinya Surat Kuasa Khusus dari Tersangka
kepada Penasihat Hukum bersangkutan sehingga pada saat Surat kuasa khusus
dari Tersangka diterima oleh Penasihat Hukum, maka Surat penunjukan yang
dimiliki Penasihat Hukum dari penyidik seketika itu berakhir selanjutnya
pejabat di Kejaksaan dan pejabat di Pengadilan . tidak wajib lagi menunjuk
Penasihat Hukum bagi Terdakwa; Ketika Penasihat Hukum akan melakukan pendampingan terhadap diri
Tersangka yang didasarkan Surat penunjukan dari Penyidik, ternyata Tersangka
menolak untuk didampingi Penasihat Hukum, maka Penyidik membuat berita acara
dan/atau membuat Surat pernyataan dari Tersangka yang bersangkutan yang isinya
Tersangka menolak adanya Penasihat Hukum dalam perkara yang dihadapinya dan surat
pernyataan penolakan dari Tersangka tersebut diketahui dan turut ditandatangani oleh
Penasihat Hukum yang bersangkutan.
Konsekuensinya keberadaan berita acara atau Surat pernyataan tersebut yang
dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan menghapuskan kewajiban pejabat
yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa, maka pejabat
Kejaksaan dan pejabat Pengadilan tidak perlu lagi menunjuk Penasihat Hukum bagi
Tersangka/Terdakwa bersangkutan kecuali jika yang bersangkutan memintanya.
HAK DAN KEWAJIBAN HUKUM PEMBERIAN KUASA
1. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa
Sehubungan dengan wewenang yang diberikan kepada pemegang kuasa untuk
melakukan suatu perbuatan hukum guna mengikatkan pihak pemberi kuasa dengan
pihak ketiga, maka diisyaratkan bahwa perlu adanya perincian masalah-masalah yang
akan dikuasakan. Dalam hubungan ini ada pendapat yang menyatakan, bahwa itu tidak
lain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian di kemudian hari apabila
pemegang kuasa melakukan perbuatan-perbuatan hukum di luar batas-batas
wewenangnya.113
Pendapat lain juga menyebutkan, bahwa kewenangan pihak pemegang kuasa
harus disebutkan secara tegas dalam surat kuasa itu, misalnya kewajiban-kewajiban apa
saja yang harus dilakukan oleh pemegang kuasa, maka berlakunya surat kuasa itu batal
dan sebagainya. Sebenarnya hal ini untuk menghindari perbuatan surat kuasa secara
tidak benar atau untuk obyek yang menyimpang dari undang-undang.
Masih berkisar pada wewenang pemegang kuasa ini, ada pendapat lain yang
mengatakan, bahwa ada baiknya untuk menjamin kepastian hukum, maka harus
disebutkan secara tegas dan terperinci tentang wewenang yang akan diberikan, sebab ini
berhubungan dengan pertanggungan jawab pemegang kuasa kelak dikemudian
113Subekti I Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,
h.153.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcii
hari. Jadi perincian masalah-masalah yang akan dikuasakan itu (misalnya kuasa khusus)
adalah menyangkut hak dan kewajiban pemegang kuasa dalam menjalankan
kuasanya,114 sehingga tidak merugikannya.
Adanya alasan penting lainnya sehingga ditekankan bahwa perlu ada rumusan
yang jelas dan tegas pada waktu dilakukan pemberian kuasa. Apabila timbul
perselisihan di kemudian hari, diharapkan mampu ditarik garis pemisah tentang siapakah yang telah melakukan pelanggaran atas surat kuasa itu, sehingga akan dapat
dengan mudah untuk menentukan pihak mana yang telah melakukan kesalahan.
Sedangkan pendapat lain mensinyalir, bahwa supaya kepentingan pihak
pemberi kuasa dapat terjamin dari tindakan pemegang kuasa yang melanggar batas-
batas kewenangannya, juga dapat menghindari salah tafsir sehingga tidak menimbulkan
konflik didalam pemberian kuasa itu, jadi patut diperhatikan, bahwa wewenang pihak
pemegang kuasa adalah sejauh mana yang termuat dengan jelas dan terperinci dalam
surat kuasa. Ia tidak dibenarkan untuk bertindak yang melampaui wewenangnya,115 dan
ini terjadi resikonya ia harus mempertanggung jawabkan tindakannya itu.
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan tersebut berikut ini dibeberkan
rangkuman permasalahannya, yaitu :
- Bahwa pada prinsipnya wewenang pihak pemegang kuasa dikehendaki untuk dirumuskan dengan jelas dan tegas didalam suatu pemberian kuasa, dan ini
bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian akibat perbuatan-
perbuatan hukum pemegang kuasa diluar batas-batas kewenangannya.
- Perincian masalah-masalah yang dikuasakan dalam surat kuasa sebenarnya
mempertegas kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang
kuasa, disamping itu untuk mencegah pembuatan surat kuasa yang
menyimpang dari undang-undang.
- Perincian wewenang yang diberikan adalah berkaitan dengan pertanggungan
jawab pihak pemegang kuasa, sehingga dapat menghindari perselisihan
dikemudian hari, dan menjamin kepentingan pihak pemberi kuasa dari
tindakan pemegang kuasa yang melampaui batas kewenangannya. - Perincian wewenang dalam pemberian kuasa itu juga bertujuan untuk
mencegah pihak pemegang kuasa itu agar tidak dirugikan apabila ia
memberikan pertanggungan jawab.
2. Hak dan Kewajiban Penerima Kuasa
114Subekti I, Loc. Cit., 115Yahya Harahap, Loc. Cit.,
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxciii
Dengan dilimpahkannya wewenang kepada pihak yang diberi kuasa untuk
melakukan perbuatan-perbuatan bagi kepentingan pihak pemberi kuasa,116 maka
pelimpahan wewenang ini juga didalamnya terkandung kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan atau dipenuhi, walaupun kewajiban-kewajiban ini tidak tersurat atau
disebutkan dengan jelas dalam pemberian kuasa.
Dalam hubungan ini, rumusan KUHPerdata mengisyaratkan ada beberapa kewajiban yang disebabkan kepada pihak pemegang kuasa didalam menyelenggarakan
urusan yang dikuasakan. Kewajiban-kewajiban ini adalah merupakan bagian penting
yang tidak dapat terelakan atau dikesampingkan begitu saja, tapi harus dipahami dan
diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme pemberi kuasa, terutama
pihak pemegang kuasa itu sendiri.
Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan antara lain : si kuasa
diwajibkan selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung
segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak
dilaksanakannya kuasa tersebut. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang
sudah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi kuasa meninggal, jika dengan
tidak segera menyelesaikannya dapat timbul suatu kerugian (pasal 1800).117
Masih dalam kaitan dengan kewajiban-kewajiban pihak pemegang kuasa, bahwa si kuasa juga bertanggung jawab atas kelalaian dalam menjalankan tugasnya,
yaitu apabila ia kurang waspada seperti yang dapat diharapkan dari padanya.
Pertanggungan jawab ini dapat diperlunak, apabila si kuasa tidak mendapat upah.118
Kewajiban untuk mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja jelas tidak dapat dipungkiri, dan perbuatan lain yang berupa
kelalaian dalam menjalankan kuasanya, sehingga dengan demikian tercermin bahwa
kewajiban seorang pemegang kuasa dengan pertanggung jawabannya menjadi amat
penting dalam lalu lintas hubungan hukum.
Jadi antara pembuatan yang dilakukan dengan sengaja dan adanya kelalaian,
maka keduanya tidak luput dari jangkauan pasal tersebut diatas, kecuali dalam realitas
bahwa praktek pemberian kuasa itu dilakukan dengan cuma-cuma, tetapi dapat diamati bahwa praktek pemberian kuasa dewasa ini menunjukkan lebih banyak memberikan
upah.
Kewajiban lain bagi pemegang kuasa, adalah memberikan laporan,119 maksud
dari pada laporan ini menunjukkan bahwa ia telah menjalankan kuasanya sebagaimana
yang dikehendaki dan sebagai suatu bukti yang menandakan ia memenuhi kewajiban
yang dibebankan pada dirinya, tetapi semuanya ini terlepas dari apakah laporan itu
benar-benar merupakan laporan sebagai seorang yang bertindak dalam kedudukan
116Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 155. 117 Subekti I, Op.Cit., h.146 118 Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit. 119Subekti I, Op. Cit, h. 147.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxciv
mewakili pihak lain, atau laporan itu hanya bersifat fiktif, artinya laporan yang
diberikan tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya dihadapi.
Namun keseluruhan laporan akan diberikan pada waktu berakhirnya pemberian
kuasa, dengan memberikan perhitungan terhadap segala sesuatu yang telah diterimanya
berdasarkan kekuasaan yang dilimpahkan, semua yang menjadi urusan akan
dipertanggung jawabkan. Sesungguhnya laporan semacam ini memang sudah menjadi tanggung jawab seorang pemegang kuasa, dan ini secara tersurat telah dirumuskan
dalam pasal 1802 KUHPerdata, antara lain menyebutkan si kuasa diwajibkan
memberikan laporan tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan
kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan
kuasanya, sekalipun yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi
kuasa.120
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, SH, maksud dari ketentuan
tersebut yang belakangan ini, ialah bahwa si kuasa tidak boleh membayar
kembali uang itu melainkan harus menunggu perintah dari si pemberi kuasa,
dinyatakan tidak praktis, bahwa orang ketiga yang menuntut pembayaran
kembali uang yang terlanjur dibayarkan tetapi sebetulnya tidak diwajibkan,
tidak dapat menegur si kuasa melainkan hanya dapat menegur si pemberi kuasa, karena sudah dengan sendirinya dapat disimpulkan dari sifat
perwakilan, yang membentuk suatu perhubungan langsung antara si pemberi
kuasa dengan pihak ketiga.121
Bagian lain dari pemegang kuasa juga menyangkut tanggung jawabnya
terhadap penunjukan pihak lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya,
dinamakan “hak substitusi”, 122 yaitu si pemegang kuasa diperkenankan untuk
menunjuk orang lain untuk melakukan kuasanya, dan kalaun orang yang ditunjuk itu
ternyata tidak mampu melakukan tugasnya, maka si kuasa bertanggung jawab penuh
atas kesalahannya.123
Akibat dari hak substitusi ini ialah bahwa antara pemberian kuasa baru hanya dapat
dipersoalkan apakah ada perhubungan hukum langsung antara si pemberi kuasa semula dari orang yang ditunjuk itu.124 Tetapi dalam kaitan dengan persoalan di atas Prof.
Dr.R.Wirjono Projodikoro, SH, masih mempertanyakan apakah sebaliknya orang yang
ditunjuk itu, juga langsung menegur si pemberi kuasa,125 agaknya masalah ini masih
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sarjana.
120Ibid., 121Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 156. 122Subekti I, Loc. Cit., 123Wirjono Projodikoro, Loc.Cit., 124Ibid, h. 157. 125Ibid.,
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcv
Pendapat yang satu seperti Hofmann dan Vollmar mengatakan bahwa orang
yang ditunjuk langsung itu dapat menegur si pemberi kuasa,126 oleh karena adanya
perhubungan ini berakibatkan bahwa orang tersebut tidak hanya mempunyai kewajiban
saja terhadap si pemberi kuasa, melainkan juga memiliki hak, sedangkan pendapat yang
lain seperti Van Brakel dan Asser berpendirian orang yang ditunjuk langsung itu tidak
dapat menegur si pemberi kuasa, justru oleh karena tidak disebutkan dalam pasal tersebut, dan pendapat kedua ini menurut Wirjono Projodikoro adalah lebih memuaskan
karena pada pokoknya tidak ada perhubungan langsung antara si pemberi kuasa dan
orang yang ditunjuk oleh si kuasa.127
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan kalangan sarjana tersebut, dapat
diberi komentar bahwa ketentuan yuridis yang dipakai sebagai pegangan terutama
menyangkut persoalan di atas, maka jelas bahwa orang yang ditunjuk langsung itu tidak
dapat menegur pihak pemberi kuasa, karena pada dasarnya orang yang ditunjuk ini
dalam melaksanakan kuasa yang diberikan pihak pemegang kuasa berkedudukan
sebagai pengganti, ia lebih banyak berhubungan dengan pihak pemegang kuasa itu
sendiri, hubungan ini bersifat langsung sedangkan dengan si pemberi kuasa
menunjukkan tidak ada hubungan sama sekali, atau boleh disebut hubungan yang
bersifat tidak langsung.
Oleh karenanya, pendapat kalangan sarjana seperti yang dikemukakan di atas
yang membolehkan orang yang ditunjuk dapat menegur pihak pemberi kuasa tidak
dapat dibenarkan, mengingat bahwa didalam rumusan perundangan yang mengatur soal
yang diperbincangkan ini, tidak mengisyaratkan dengan jelas dan tegas atau dalam
pengertian bahwa tidak diatur sama sekali, sehingga lebih tepat kalau pendapat tersebut
dijadikan landasan dalam menyimak dan memecahkan persoalan yang bersangkutan,
dan memang pendapat tersebut setidak-tidaknya lebih memuaskan dan juga dalam
literatur tidak begitu mendapat bantahan.
Jadi dapat dikatakan bahwa rumusan pasal-pasal di atas lebih menitik beratkan
pertanggungan jawab secara individu atau perorangan, walaupun dalam pemberian
kuasa itu dikehendaki beberapa orang yang berkedudukan sebagai pemegang kuasa.
Kewajiban lain si pemegang kuasa menurut pasal 1805 KUHPerdata
menyebutkan ; si kuasa harus membayar bunga atas uang yang dipergunakan atau
dipakainya untuk kepentingan sendiri, terhitung mulai saat ia dihitung mulai ia memakai
uang itu dan mengenai uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan,
bunga itu dihitung mulai hari ia dinyatakan lalai.128
126Ibid., 127Ibid., 128Subekti I, Op. Cit, h. 148.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcvi
Kewajiban-kewajiban pemegang kuasa juga tercantum dalam pasal 1806
KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa penerima kuasa yang telah memberitahukan
kepada pihak ketiga dengan siapa ia mengadakan perjanjian dalam kedudukannya
sebagai kuasa, tidaklah bertanggung jawab tentang apa yang terjadi diluar batas kuasa
nya, kecuali jika ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.129
Rumusan pasal tersebut di atas pada pokoknya menyinggung tanggung jawab seorang pemegang kuasa yang berkisar pada kewenangan yang dimilikinya. Ia tidak
bertanggung jawab terhadap masalah-masalah yang timbul diluar batas kuasanya,
kecuali dalam kenyataan menunjukkan bahwa ia memang secara langsung menjalankan
kuasanya diluar wewenang yang telah digariskan dalam pemberian kuasa, untuk hal ini
secara yuridis tetap bertanggung jawab sebagaimana lazimnya.
Dengan demikian pokok pembahasan tentang kewajiban-kewajiban pihak
pemegang kuasa, yang secara yuridis diatur dengan jelas dalam beberapa rumusan
pasal-pasal KUHPerdata sebagaimana telah dikemukakan di atas, sehingga setidak-
tidaknya memberikan gambaran ruang lingkup tentang kewajiban-kewajiban seorang
pemegang kuasa selama ia belum dibebaskan diri melaksanakan kuasanya.
Kewajiban yang dimulai dari menanggung segala biaya kelalaian-kelalaian
yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, memberikan laporan, membayar bunga, mengganti kerugian dan kewajiban-kewajiban lainnya, semua yang menjadi tanggung
jawab seorang pemegang kuasa ini sudah dirumuskan dalam pasal 1801 sampai dengan
1806 KUHPerdata, dan dalam hal ini dipakai sebagai landasan yuridis, guna menyimak
persoalan yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban didalam suatu perjanjian
pemberian kuasa.
Pada prinsipnya pihak pemegang kuasa mempunyai tanggung jawab terhadap
pelimpahan wewenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengikat
pihak pemberi kuasa dengan pihak ketiga,130 dalam kuasa umum maupun khusus
masalah pertanggung jawaban ini meliputi segala sesuatu yang dikuasakan, tetapi dalam
prakteknya agaknya kedua macam kuasa ini tidak dibedakan masalah tanggung
jawabnya, ini masih berkaitan dengan ketentuan yuridis yang dimuat dalam KUHPerdata, dan juga tidak membedakan dengan tugas masing-masing kuasa dengan
pertanggung jawabannya, perumusan KUHPerdata hanya secara umum dalam mengatur
soal ini.
Sejauh mana tanggung jawab pihak pemegang kuasa dalam menjalankan itu
pada prinsipnya pemegang kuasa bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dikuasakan,
129Suryodiningrat R.M., Perikatan – Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. II,
Tarsito, Bandung, 1991, h. 102. 130Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 151.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcvii
dan pemegang kuasa bertindak atas nama si pemberi kuasa,131 misalnya mencari
seorang patner dalam usaha bersama dan sebagainya, yang jelas pertanggungan jawab
itu dibatasi pada wewenang yang dilimpahkan.
Namun tindakan pemegang kuasa yang mewakili pihak pemberi kuasa itu,
sekiranya melebihi batas-batas kewenangan sebagaimana yang diberikan kepadanya,132
maka ia juga harus memberikan pertanggungan jawab terhadap pokok-pokok masalah yang dikuasakan sepanjang yang menjadi wewenangnya itu.
Sejalan dengan pendapat di atas kalangan lain juga mengatakan bahwa
pemegang kuasa bertanggung jawab penuh atas perbuatan-perbuatan itu yang dilakukan
dengan sengaja itu. Sedangkan pendapat lain mengatakan pemegang kuasa bertanggung
jawab sesuai dengan masalah-masalah yang dikuasakan. Ia tidak bertanggung jawab
terhadap akibat yang timbul dari hubungan hukum yang telah dilakukan,133 misalnya
adanya penipuan oleh pihak ketiga. Dan pertanggungan jawab seperti itu adalah atas
kehendak yuridis, juga merupakan pertanggungan jawab yang bersifat etis.
Dalam pemberian kuasa , diperkenankan juga untuk menunjuk beberapa orang
kuasa mewakili pihak yang memberikan kuasa.134 Untuk itu pihak-pihak yang mewakili
ini tidak dapat melepaskan diri dari beban pertanggung jawaban dalam konteks ini
masih mengandung beberapa alternatif, ini menurut pendapat yang berkembang dikalangan praktisi hukum.
Biasanya dalam pemberian kuasa, apalagi terdapat beberapa pihak yang
bertindak sebagai kuasa mewakili, maka sudah disebutkan masing-masing tanggung
jawab terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan, pertanggungan jawab ini tegasnya
lebih menekankan kepada individu, sebab ia yang bertindak dalam menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan pemberi kuasa.135
Berbeda dengan jawaban yang diberikan kalangan praktisi hukum lainnya,
dalam hal ini ada yang berpendapat, bahwa pertanggungan jawab itu baik secara
individu maupun bersama-sama jadi harus dipisahkan dalam mempertanggung
jawabkan wewenang yang diberikan, dan dalam pernyataan dalam pemberian kuasa itu
telah ditegaskan bahwa masing-masing individu memiliki wewenang untuk mewakili, maka itu jelas bahwa ia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikuasakan,
begitu pula sebaliknya, pendapat lain mengatakan kasus seperti itu adalah
131Yahya Harahap, Op. Cit, h. 306. 132Ibid, h. 309
133Qirom Syamsudin Meliala, Pokok - pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, 1985, h. 83. 134Subekti I, Loc. Cit, 135Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit, h. 82.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcviii
pertanggungan jawab secara perikatan tanggung menanggung,136 atau secara kolektif
bersama-sama.
Bahwa didalam pemberian kuasa dikenal juga adanya hak substitusi,137 maka
pertanggungan jawab itu harus ditentukan secara tegas.138 Baik itu individu maupun
bersama-sama, tapi pendapat ini lebih menekankan pertanggungan jawab yang bersifat
kolektif atau bersama-sama, kalangan praktisi hukum lain juga berpendapat, bahwa pertanggungan jawab pemegang kuasa yang terdiri dari beberapa pihak yang
berkedudukan sebagai kuasa yang mewakili adalah bersifat kolektif atau bersama-sama,
kecuali dalam surat kuasa itu ditegaskan bersifat individu.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban ini, maka atas kehendak pemberi kuasa
dapat saja pemberi kuasa menarik kembali kuasa yang telah dilimpahkan dan sementara
dilaksanakan pihak pemegang kuasa semula, dan dalam hal ini ketentuan yuridis
(KUHPerdata) juga memperkenankan pemberi kuasa untuk melaksanakan
pengangkatan seorang pemegang kuasa baru dalam menyelenggarakan kepentingan-
kepentingannya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.139
Terhadap masalah ini, maka pihak pemegang kuasa lama hanya mempunyai
kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan hukum yang telah dilakukan
sesuai dengan pelimpahan wewenang itu, dan dengan adanya pengangkatan kuasa baru, berarti pertanggung jawaban secara otomatis dilimpahkan kepada pemegang kuasa baru
tersebut.
Pemegang kuasa lama harus mempertanggungjawabkan kuasanya selama
dalam mengurus kepentingan-kepentingan pihak pemberi kuasa, meskipun ada
pengangkatan kuasa baru, ia bertanggung jawab sejauh wewenang yang diberikan dan
telah dilakukan sebelum ada pengangkatan kuasa baru tersebut. Dengan demikian ia
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan pihak pemberi kuasa, apabila kuasa
baru belum menjalankan kuasanya itu, dengan pengangkatan baru, maka tanggung
jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada pemegang kuasa yang bersangkutan. Memang
penarikan kembali kuasa yang dibenarkan oleh ketentuan yuridis, tapi berlakunya surat
kuasa itu harus ditegaskan, dalam konteks ini, pemegang kuasa yang sudah menggunakan kuasa itu serta melakukan kewajiban-kewajiban, kemudian dicabut, ia
tetap bertanggung jawab dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan,140 ia juga tidak
dapat luput dari tanggung jawabnya, apabila ia tidak bertindak di luar batas-batas
kewenangannya.
136Suryodiningrat, Perikatan – Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. II,
Tarsito, Bandung, 1991, h. 102-103. 137Ibid, h. 101. 138Yahya Harahap, Op. Cit, h. 321. 139Subekti I, Loc. Cit, 140Yahya Harahap, Loc. Cit,.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cxcix
Masalah lain yang berhubungan erat adalah dengan meninggalnya pihak
pemegang kuasa, ada pendapat mengatakan, secara yuridis menunjukkan berakhirnya
pemberian kuasa 141 atau tepatnya hubungan hukum itu putus, dan dengan sendirinya
tidak ada beban pertanggungan jawab, tapi sebaliknya apabila ada kelalaian dan
kerugian yang timbul dalam pemberian kuasa itu, berarti ahli warisnya yang
mempertanggung jawabkan.
Sedangkan kalangan lain mengisyaratkan, bahwa sesuai dengan ketentuan
hukum perdata, ahli waris harus bertanggung jawab atas kelalaian dan kerugian yang
timbul dalam pemberian kuasa meninggal, pertanggung jawaban ini ditujukan kepada
ahli waris yang mengetahui maupun yang tidak mengetahui adanya pemberian kuasa
itu. Menurut hukum gugurnya pertanggungan jawab ini apabila pemegang kuasa
meninggal.142 Tapi masih dipertanyakan lagi apakah para ahli waris mengetahui adanya
pemberian kuasa itu, namun yang dijelaskan pendapat ini menekankan bahwa
pertanggungjawaban mesti harus dialihkan kepada segenap ahli warisnya, apabila
pemberi kuasa itu mengakibatkan timbulnya kerugian-kerugian bagi pihak pemberi
kuasa.143
PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT
1. Kewajiban Hukum Advokat
Tentang kewajiban dari seorang Advokat dalam menjalankan tugasnya tidak
terlepas dari ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yaitu
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 serta undang-undang terkait yang mengatur
tentang tugas seorang Advokat, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kehakiman.
Pada pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 ditegaskan bahwa
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang
menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada
kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini melahirkan
konsekuensi yuridis bahwa apapun pernyataan dan pendapat seorang Advokat dalam rangka membela klientnya tidak dapat dijadikan dasar bahwa seorang Advokat telah
melakukan tindak pidana ataupun perbuatan melawan hukum dalam perkara perdata.
Walaupun Pasal 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah mengatur
tentang hak advokat dalam memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik
dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut
yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Namun ketentuan ini tidak diikuti dengan kewajiban dari
pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut. Sehingga
141Subekti I, Op. Cit, h. 153. 142Yahya Harahap, Op. Cit, h. 314. 143Ibid,.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cc
ketentuan ini hanyalah merupakan isapan jembol belaka, dan tidak lebih hanya sekedar
hiburan untuk menyejukkan hati seorang advokat dalam menjalankan tugasnya.
Advokat dalam menjalankan profesinya berdasarkan pasal 18 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik
dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut
yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Klientnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sayangnya ketentuan ini tidak diatur secara imperatif, artinya bagi pihak
terkait yang dapat memberikan informasi, data dan dokumen tidak dibarengi dengan
pemberian sanksi hukum bilamana pihak terkait tersebut tidak memberikan informasi,
data ataupun dokumen. Seharusnya seorang Advokat dalam menjalankan tugasnya
dibekali dengan kekuasaan untuk melaporkan atau memanggil pihak kepolisian guna
melaporkan pihak terkait tersebut karena menghalang-halangi tugas-tugas Advokat.
Untuk itu, sesungguhnya kedudukan pasal 18 Undang-Undang Advokat
tersebut hanyalah sekedar lip service yang tidak menimbulkan akibat hukum apapun
bilamana pihak terkait yang dapat memberikan informasi, data ataupun dokumen tidak
melaksanakan kewajibannya.
Kewajiban lain dari seorang Advokat berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan
perlakuan terhadap Klient berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras,
atau latar belakang sosial dan budaya. Disamping itu Advokat tidak dapat diidentikkan
dengan Klientnya dalam membela perkara Klient oleh pihak yang berwenang dan/atau
masyarakat.
Dalam kedudukannya sebagai seorang Advokat, oleh karena ia banyak
mengetahui keadaan yang berhubungan dengan keberadaan klient, maka Advokat
berdasarkan pasal 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 wajib merahasiakan
segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Klientnya karena hubungan
profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. Untuk kepentingan tersebut,
maka Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klient, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan
perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
Guna kemurnian penanganan perkara klient tersebut, maka Advokat
berdasarkan pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dilarang memegang
jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. Di
samping itu Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian
sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan
kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Untuk itu, Advokat yang menjadi
pejabat negara, tidak diperkenankan melaksanakan tugas profesi Advokat selama
memangku jabatan tersebut.
2. Perlindungan Hukum dalam Undang-Undang Advokat
Volume 11, No.1 Mei 2011 cci
Sesungguhnya hal terpenting dalam penanganan perkara klient adalah
menyangkut pembuktian akan kebenaran perkara yang ditangani oleh seorang Advokat.
Ketika seorang Advokat dapat memenangkan perkara yang ditanganinya, maka tingkat
prestise ia akan semakin tinggi, sebaliknya bilamana perkara yang ditangani terlalu
sering kalah, maka masyarakat akan memberikan penilaian negatif terhadap kualitas
keadvokatannya, sehingga lambat laun prestisenya akan semakin menurun yang pada gilirannya tidak akan mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam memberikan
konsultasi atau bantuan hukum.
Dalam rangka peningkatan kualitas advokat yang memberikan dampak positif
terhadap tingkat prestise seorang advokat, hal terpenting sebagaimana dikemukakan di
atas adalah kuantitas memenangkan perkara. Hal ini bergantung kepada kemampuan
advokat dalam menganalisa kasus-perkasus, yang ditunjukkan oleh kemampuannya
dalam melakukan legal audit dan legal opinion.
Kemampuan advokat dalam melakukan legal audit akan memungkinkan
advokat menemukan fakta hukum. Dari fakta hukum tersebut akan dapat ditentukan
kepastian hukum akan perkara yang ditanganinya, yaitu perkara tersebut dapat
ditentukan sebagai perkara hukum atau non hukum. Bilamana merupakan perkara
hukum ataupun perkara non hukum secara legal opinion dapat ditentukan secara pasti tentang tindakan hukum yang harus dilakukan oleh seorang advokat.
Fakta hukum dapat dihimpun dari bukti-bukti serta saksi dalam perkara
tersebut, karenanya seorang advokat akan dapat menentukan dan menilai keberadaan
perkara yang sedang ditanganinya tentang kemungkinan dapat dimenangkan atau tidak.
Namun adalah merupakan pekerjaan yang tidak mudah guna menghimpun bukti
ataupun saksi tersebut. Berbeda halnya jika bukti ataupun saksi tersebut berpihak pada
klient yang kita bantu.
Pekerjaan menghimpun bukti-bukti ataupun saksi-saksi akan menjadi sulit,
bilamana bukti-bukti ataupun saksi-saksi tersebut tidak berada dalam penguasaan atau
tidak berpihak pada klient yang ditangani oleh advokat dimaksud. Misalnya bukti-bukti
perkara tersebut berhubungan dengan pihak ketiga, baik pihak ketiga tersebut berupa perorangan ataupun institusi. Hal ini dikarenakan ketika bukti-bukti ataupun saksi-saksi
tersebut berada ataupun merupakan pihak ketiga, maka kita harus mengikuti prosedur
permohonan yang dikehendaki oleh pihak ketiga itu.
Kendati demikian kebebasan Advokat tersebut berdasarkan pasal 15 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 dibatasi yaitu bahwa kebebasan tersebut haruslah
dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Bilamana seorang Advokat telah melaksanakan kebebasan tersebut dengan berpegang
pada kode etik profesi, maka ia berdasarkan pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tersebut dijamin dan diberikan perlindungan hukum yang cukup dalam bentuk
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan
tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klient dalam sidang
pengadilan.
Volume 11, No.1 Mei 2011 ccii
Kesulitan lain dari seorang advokat dalam menghimpun bukti-bukti ataupun
saksi tersebut akan muncul bilamana upaya pengumpulan bukti dan saksi itu
menyangkut perkara rawan menimbulkan pertikaian, baik perdata maupun pidana.
Maka seorang advokat kerapkali mendapatkan ancaman untuk tidak memberikan jasa
ataupun bantuan hukum. Hal ini berbeda dengan keberadaan penyidik dalam rangka
pengumpulan bukti ataupun saksi, seorang penyidik lebih-lebih polisi telah dibekali dengan senjata api untuk melakukan perlawanan terhadap siapapun yang dianggap
merintangi proses penyidikan tersebut. Bahkan lebih bagus lagi fasilitas yang diberikan
kepada penyidik dalam rangka pengumpulan bukti tersebut ia dibekali dengan fasilitas
pemanggilan saksi yang bilamana seorang saksi yang dipanggil tidak memenuhi
panggilan itu, saksi tersebut diancam dengan pidana dalam pasal 216 KUHP.
Sehingga acapkali seorang advokat selalu dihadapkan kepada kesulitan dalam
mengumpulkan bukti-bukti yang membawa dampak kalahnya perkara yang ia tangani.
Oleh karenanya yang diperlukan advokat adalah perlindungan hukum atas pengumpulan
bukti dalam penanganan perkara, bilamana ini merupakan sebuah fasilitas, maka
kualitas penanganan perkara akan lebih baik.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik atas hasil pembahasan tulisan ini adalah sebagai
berikut, yaitu:
a. Bantuan hukum tiada lain adalah pemberian bantuan di bidang jasa dalam lingkup
hukum, bantuan hukum tersebut dapat berupa konsultasi, selaku konsultan hukum,
ataupun selaku Penasihat Hukum. Adapun bantuan hukum tersebut hanya dapat
diberikan oleh advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat. Bantuan hukum tersebut diberikan dengan tanpa diskriminasi;
b. Hak dan kewajiban yang timbul dalam pemberian kuasa antara seorang advokat
dengan klientnya adalah muncul bilamana keduanya telah melakukan kesepakatan
di bidang pemberian jasa bantuan hukum. Bilamana kesepakatan tersebut telah
tercapai, maka klilent berhak mendapat jasa hukum dari seorang advokat dan seketika itu pula advokat berhak untuk menerima fee atau honorariumnya;
c. Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian bantuan
hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas tidak
dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam
rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban
dan sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan.
Volume 11, No.1 Mei 2011 cciii
top related