pergantian nama batavia menjadi jakarta sebagai bentuk
Post on 20-Nov-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Universitas Indonesia 1
Pergantian Nama Batavia Menjadi Jakarta Sebagai Bentuk Propaganda
Jepang pada Awal Pendudukan Jepang di Indonesia
Ekawati Alia Ramadhani
Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Depok
E-mail: ekawati.alia@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini membahas pergantian nama Batavia menjadi Jakarta yang dilakukan
pemerintahan militer Jepang pada tanggal 10 Desember 1942. Pemerintahan
militer Jepang menggunakan peran pers untuk melakukan propagandanya.
Pemerintah militer Jepang menggunakan surat kabar Asia Raya dan Tjahaja
sebagai media yang digunakan untuk melakukan propaganda. Tujuan pergantian
nama tersebut adalah untuk mencapai konsep “Kemakmuran Asia Timur Raya”
(Dai – Tōa Kyōeiken). Analisis yang dilakukan berdasarkan pada propaganda
yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan. Dari hasil
analisis tersebut, terlihat bahwa pergantian nama tersebut merupakan suatu bentuk
propaganda.
Kata Kunci : Pergantian Nama, Propaganda, Pers, Pemerintahan Militer
Jepang, Pendudukan Jepang di Indonesia
Abstract
This research examine the retitling of Batavia to Jakarta done by Japanese military
government on 10 December 1942. Japanese military government used the role of
the press to perform its propaganda. Japanese military government used
newspaper Asia Raya and Tjahaja as the media to perform the propaganda. The
purpose of the retitling was to achieve the concept of “Greater East Asia Co-
Prosperity Sphere” (Dai – Tōa Kyōeiken). The analysis was conducted based on
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
2
Universitas Indonesia
propaganda stated by Harold D. Lasswell and Abraham Kaplan. From the result of
the analysis, it appears that the retitling is a form of propaganda.
Keywords : Retitling, Propaganda, Press, Japanese Military Government,
Japanese Occupation in Indonesia
Pendahuluan
Pendudukan pemerintahan militer Jepang merupakan lanjutan dari
pendudukan pemerintahan Belanda dalam sejarah kolonialisasi di Indonesia.
Zaman penjajahan Belanda yang selama 350 tahun berlangsung akhirnya usai
setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942 di
Kalijati1. Dengan berakhirnya pemeritahan Belanda di Hindia-Belanda, maka
pemerintahan militer Jepang mengambil alih pemerintahan di Hindia-Belanda.
Pada tanggal 7 Maret 1942, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan
Osamu Seirei 2 No. 1 yang berisi bahwa balatentara Jepang akan segera
melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah yang
telah ditempati. Dengan undang-undang tersebut, maka pemerintahan sementara
dipegang oleh pemerintahan militer Jepang. Susunan pemerintahan militer Jepang
sendiri terdiri dari Gunshireikan (Panglima Tentara), Saikō Shikikan (Panglima
Tertinggi), lalu Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer). Gunshireikan
menetapkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan, yang diumumkan dalam
Kan Pō (Berita Pemerintah), sebuah majalah pemerintahan resmi yang
dikeluarkan oleh Gunseikanbu (Badan Pemerintahan Militer) 3 . Gunseikanbu
terdiri dari delapan bu (Departemen), yaitu Sōmubu (Departemen Urusan Umum),
Naimubu (Departemen Urusan Umum), Keimubu (Departemen Kepolisian),
Sendenbu (Departemen Propaganda), Sangyōbu (Departemen Perusahaan, Industri,
1Rosihan Anwar, Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925 – 1950, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hal. 92. 2 Osamu Seirei: Undang-undang yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenambelas (Pemerintah militer Angkatan Darat untuk Jawa-Madura). Osamu sendiri merupakan kode dari Tentara Keenambelas yang berarti “to settle” atau “to restrain”. 3 Ibid.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
3
Universitas Indonesia
dan Kerajinan Tangan), Kōtsūbu (Departemen Lalulintas), Shihōbu (Departemen
Kehakiman), dan Zaimubu (Departemen Keuangan)4.
Sebelum Belanda menyerah kepada pemerintahan militer Jepang, Batavia
telah diduduki oleh Jepang pada tanggal 5 Maret 1942 karena Belanda
mengumumkan bahwa Batavia merupakan “kota terbuka”, yang artinya adalah
Batavia tidak akan dipertahankan oleh Belanda 5 . Seperti halnya Belanda,
pemerintahan militer Jepang pun memusatkan pemerintahannya di Batavia dengan
mengubah Stadsgemeente Batavia (Kotamadya Batavia) menjadi Batavia
Tokubetsushi (Kota Khusus Batavia), lalu disahkan dengan keputusan yang
dikeluarkan oleh Gunseikan pada 8 Agustus 19426.
Meskipun penjajahan Belanda sudah berakhir dan pemerintahan militer
Jepang menggantikannya dengan pemerintahan yang berbeda, karena masih
melekatnya rasa kolonialisasi di hati rakyat Indonesia, mereka masih pasif
terhadap kebijakan-kebijakan dan ajakan-ajakan yang dikeluarkan oleh Jepang.
Oleh karena itu, untuk menyita hati rakyat (minshin ha’aku) dan
mengindoktrinisasi dan menjinakkan mereka (senbu kōsaku), pemerintahan
militer Jepang membentuk Sendenbu (Departemen Propaganda) dalam naungan
Gunseikanbu pada Agustus 1942. Departemen ini bertanggungjawab atas
propaganda serta informasi yang menyangkut pemerintahan sipil7.
Pada tanggal 8 Desember 1942, pemerintahan militer Jepang membuat
perayaan bertajuk “Hari Pembangunan Asia Raya”. Pada tanggal 20 November
1942, Badan Propaganda Barisan Pemuda mengumumkan adanya perayaan
tersebut8. Sejak tanggal tersebut, berita mengenai perayaan tersebut diberitakan
secara luas melalui surat kabar-surat kabar beserta Kan Pō (Berita Pemerintah).
Setelah acara tersebut selesai berlangsung, terbit maklumat mengenai pergantian
nama Batavia menjadi Jakarta yang dikeluarkan oleh Gunseikanbu berdasarkan
4 Asia Raya No. 190, 3 Desember 2602, hal. 1. 5 Pusponegoro dan Notosusanto, op.cit, 3. 6 Kan Pō No. 3, (Batavia: Gunseikanbu, 1942), hal. 10. 7 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: PT Grasindo, 1993), hal. 229. 8 Asia Raya No. 180, 21 November 2602, hal. 2.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
4
Universitas Indonesia
acara “Hari Pembangunan Asia Raya” pada tanggal 10 Desember 19429 yang
isinya sebagai berikut.
MAKLOEMAT Nama “Batavia” diganti dengan “Djakarta”
Beberapa ratoes tahoen jang laloe, daerah “Batavia” terkenal pada rakjat
Nippon dengan nama “Djakarta”, tetapi nama itoe dioebah oleh pemerintah Belanda dahoeloe dengan “Batavia”.
Sedjak Balatentara Dai Nippon mendarat di Djawa, soedah dioesahakan soepaja nama itoe diganti dan baroe-baroe ini dari Pemerintah Agoeng di Tokio soedah didapat izin oentoek mengoebah nama “Batavia” itoe.
Berhoeboeng dengan itoe, moelai tanggal 8 Desember, jaitoe “Hari Pembangoenan Asia Raja”, nama “Batavia” diganti dengan “Djakarta”.
Djakarta, tanggal 10, boelan 12, tahoen 2602.
Gunseikanbu.10
Dalam menyebarkan maklumat tersebut, pemerintah militer Jepang
menggunakan media surat kabar. Maklumat tersebut diterbitkan di surat kabar
Asia Raya pada tanggal 11 Desember 1942. Selain di surat kabar Asia Raya yang
merupakan surat kabar yang terbit di Jakarta, maklumat yang sama juga
diterbitkan sehari setelahnya di surat kabar Tjahaja, surat kabar yang terbit di
Bandung.
Kota ini pun sebelumnya telah mengalami perubahan nama beberapa kali.
Pada abad ke-12, daerah ini sudah dikenal sebagai Pelabuhan Kalapa yang
merupakan sebuah kota yang sangat besar dengan pelabuhan kerajaan Sunda yang
terpenting dan terbaik11. Pada tahun 1527, Kalapa berada di tangan Fadhillah
masuk bagian Kesultanan Banten dan namanya berganti menjadi Jayakarta12. Pada
tahun 1916, Jan Pieterszoon Coen dari Vereenigde Oost Indische Companie
(VOC) merebut Jayakarta13. Sejak itu, Jayakarta diubah menjadi Stad Batavia
(Kota Batavia) sebagai pusat kedudukan VOC di Indonesia14.
9 Kan Pō No. 9, (Batavia: Gunseikanbu, 1942), hal. 3 dan 5. 10 Ibid, hal. 5. 11 Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 419. 12 Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III Edisi Pemutakhiran, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 66-67. 13 Pusponegoro dan Notosusanto, op. cit., 5. 14 G.A. Warmansjah, Drs. Sudiyo, Drs. Alwi Djamaluddin, Drs. Herman Djana, Sejarah Revolusi Kemerdekan (1945-1949) DKI Jakarta (Jakarta: Proyek IDSN,1979), hal. 5.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
5
Universitas Indonesia
Pergantian nama Batavia menjadi Jakarta oleh pemerintahan militer Jepang
untuk menarik simpati rakyat Indonesia berkaitan dengan propaganda, seperti
pengertian propaganda yang dirumuskan oleh Harold D. Lasswell, yaitu teknik
untuk memengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya
(representasi dalam hal ini berarti kegiatan atau berbicara untuk suatu
kelompok)15.
Dari latar belakang di atas, masalah yang penulis ambil untuk skripsi ini
adalah pergantian nama Batavia menjadi Jakarta sebagai bentuk propaganda oleh
pemerintahan militer Jepang di Jawa. Penulis ingin mengetahui apakah pergantian
nama tersebut merupakan suatu bentuk propaganda atau tidak, dilihat dari definisi
propaganda dan simbol-simbol politik yang dikemukakan oleh Harold D.
Lasswell dan Abraham Kaplan dalam buku Power and Society. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisis pergantian nama
Batavia menjadi Jakarta sebagai bentuk propaganda oleh pemerintahan militer
Jepang di Jawa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis.
Sumber data yang digunakan penulis adalah surat kabar Asia Raya dan
Tjahaja yang diterbitkan pada tanggal 20 November 1942 hingga 19 Desember
1942. Untuk mendukung penulisan ini, penulis juga menggunakan buku-buku
mengenai propaganda melalui buku Power and Society oleh Harold D. Lasswell
dan Abraham Kaplan. Selain itu, skripsi ini ditulis dengan melihat studi terdahulu
mengenai propaganda yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang dari dua
buku, yaitu Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan
Jawa 1942-1945 oleh Aiko Kurasawa dan The Thought War: Japanese Imperial
Propaganda oleh Barak Kushner.
Pembahasan
Menurut Harold D. Lasswell, propaganda adalah teknik untuk
mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya
(representasi dalam hal ini berarti kegiatan atau berbicara untuk suatu kelompok)16.
15 Drs. R.A. Santoso Sastropoetro, Propaganda: Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hal. 31. 16 Sastropoetro, op. cit., 31.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
6
Universitas Indonesia
Secara politik, propaganda terdiri dari simbol-simbol politik yang dimanipulasi
demi kontrol opini publik. Tipe-tipe dari simbol-simbol politik dapat berupa
konstitusi, piagam, hukum, perjanjian, dan lain-lain. Selain itu, simbol-simbol
politik juga bisa berupa hal-hal seperti program, polemik, dan slogan partai;
pidato, editorial, forum pada topik kontroversial; dan teori dan filosofi politik.
Merriam juga menambahkan bentuk lain dari simbol-simbol politik, yaitu seperti
hari dan periode peringatan; tempat umum dan monumental apparatus; musik dan
lagu; desain artistik pada bendera, dekorasi, pahatan, dan seragam; cerita dan
sejarah; upacara; dan demonstrasi massa dengan parade, orasi, dan musik.
Simbol-simbol politik tersebut dapat diklasifikasikan sebagai propaganda,
apabila efektif dengan fase-fase sebagai berikut:
1. Diperhatikan (attention), yaitu hanya dengan sedikit pergeseran fokus
perhatian, propaganda dapat mengubah opini. Pengulangan yang
sering dan tegas cukup untuk membangkitkan respon yang diinginkan;
2. Dimengerti (comprehension), yaitu simbol yang digunakan pada
propaganda dapat dimengerti. Keefektifan propaganda bergantung
kepada makna dari simbol-simbol, bukan pada tanda-tanda saja.
Selain itu, keefektifan propaganda juga bergantung kepada
kerentantan terhadap berbagai penafsiran sehingga membuat daya
tarik yang serentak untuk kecenderungan heterogen;
3. Dinikmati (enjoyment) secara positif maupun negatif. Propagandis
harus menyampaikan dengan cara yang akan membangkitkan
tanggapan yang menguntungkan untuk dirinya serta untuk kebijakan
yang dipropagandakan;
4. Dievaluasi (evaluation), yaitu rujukan dari simbol dinilai kembali
dalam hal identifikasi, tuntutan, dan harapan yang dirumuskan oleh
simbol, seperti bagaimana simbol tersebut bereaksi dalam perspektif
baru kepada seseorang, kebijakan, dan situasi yang dirujuk oleh
simbol tersebut; dan
5. Ditindak (action). Respon pada situasi tertentu dapat
diinternalisasikan, namun efek dari simbol dapat diperpanjang ke
lingkungan tidak hanya dengan cara mengeksternalisasi respon,
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
7
Universitas Indonesia
namun juga memodifikasinya sehingga dapat mengubah respon di
masa depan 17.
Terdapat tujuh teknik yang dapat dilakukan dalam kegiatan yang dapat
dilakukan dalam kegiatan propaganda dalam interaksi sosial. Ketujuh teknik
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Name-calling (cap buruk), yaitu pemberian sebutan atau julukan
dalam arti buruk dengan maksud untuk menurunkan derajat, nama
baik seseorang atau prestise suatu ide di hadapan umum;
2. Glittering generalities (pembajikan), yaitu suatu teknik propaganda
dengan menonjolkan gagasan yang berupa sanjungan-sanjungan
agung, seperti penggunaan kalimat “demi keadilan dan kebenaran”
atau “demi membela kaum tertindas” dan sebagainya;
3. Transfer (pengalihan), yaitu propaganda yang menggunakan teknik
pemakaian pengaruh dari seseorang tokoh yang paling berwibawa di
lingkungan tertentu;
4. Testimonials (kesaksian), yaitu cara menggunakan nama orang
terkemuka yang mempunyai otoritas dan prestise sosial tinggi dalam
upaya meyakinkan sesuatu;
5. Plain-folk (merakyat), yaitu cara propaganda dengan jalan memberi
identifikasi terhadap ide;
6. Card-stacking (mengatur keadaan), yaitu propaganda dengan cara
menonjolkan hal-hal baiknya saja, sehingga publik hanya dapat
melihat dari satu sisi saja; dan
7. Bandwagon Technique (pengumpulan), yaitu propaganda yang
dilakukan dengan cara menggembar-gemborkan sukses yang dicapai
oleh seseorang atau suatu lembaga, atau suatu organisasi18.
Pemerintah Militer Jepang melahirkan sebuah konsep “Kemakmuran Asia
Timur Raya” (Dai – Tōa Kyōeiken) yang digunakan sebagai alat utama untuk
merangsang rakyat Jepang agar mau ikut berjuang pada masa perang. Konsep ini
17 Lasswell dan Kaplan, op. cit., 111-113. 18 Soenarjo, op. cit., 34-35.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
8
Universitas Indonesia
juga didengung-dengungkan di daerah-daerah pendudukan Jepang19, salah satunya
Hindia Belanda. Untuk memperoleh dukungan bagi usaha perang Jepang dari
unsur-unsur nasionalis, Jepang menekankan tujuan “pembebasan rakyat Asia”20.
Salah satu cara yang digunakan Jepang untuk memperoleh dukungan adalah
propaganda. Inti dari pesan propaganda yang disampaikan Jepang adalah Jepang
merupakan negara dan ras yang paling modern di Asia dan dapat memimpin Asia
dalam melewati abad ke-2021.
Propaganda Jepang pun terdiri dari campuran pesan-pesan yang
dikembangkan oleh staf-staf profesional. Jepang sadar akan pentingnya teknik
propaganda sebagai usaha untuk menyita hati rakyat (minshin ha’aku) dan
mengindoktrinisasi dan menjinakkan mereka (senbu kōsaku), sehingga pada
pendudukan pemerintahan militer Jepang di Jawa, dibentuk Sendenbu
(Departemen Propaganda)22. Sendenbu bertanggung jawab atas propaganda serta
informasi yang ditujukan kepada penduduk sipil di Jawa, termasuk orang
Indonesia, Indo-Eropa, minoritas Asia, dan Jepang23.
Staf dari Sendenbu tidak hanya berasal dari Jepang, namun Sendenbu juga
merekrut staf lokal. Staf lokal ini terbagi menjadi berbagai kategori, yaitu adalah
orang Indonesia yang direkrut atas dasar karir sebelum perang, orientasi politik,
kedudukan dalam masyarakat tradisional, sifat karismatik dan agitatif, serta
kemampuan berpidato. Selain itu, orang Indonesia direkrut menurut kedudukan
mereka sebelumnya seperti guru sekolah, dan mereka yang memiliki pengalaman
dalam gerakan anti-Belanda. Beberapa diantara staf Sendenbu lokal adalah
Muhammad Yamin yang merupakan Sanyo (Penasehat) Sendenbu, Sitti
Noerdjannah, Chairul Saleh, dan Sukarni24.
Pemerintahan militer Jepang menggunakan peran pers dalam
menyampaikan propagandanya. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua
media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi 19 Ken’Ichi Goto, Jepang dan Pergerakan Nasional Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor, 1998), hal. 84. 20 Mitsuo Nakamura. “General Imamura and the Early Period of Japanese Occupation.” Indonesia 10 (1970). 21 Barak Kushner, The Thought War: Japanese Imperial Propaganda, (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2006), hal. 20. 22 Aiko, op. cit., 229. 23 Ibid, hal. 229-230. 24 Ibid, hal. 233-234.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
9
Universitas Indonesia
memancarkan/menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan
seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Dalam pengertian sempit,
pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses
percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan,
dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak25.
Pers mempunyai peran penting sebagai alat perubahan sosial dan
pembaharuan masyarakat. Sebagai agen perubahan sosial, pers memiliki tugas
memperluas cakrawala pandangan, memusatkan perhatian khalayak dengan
pesan-pesan yang ditulisnya; menumbuhkan aspirasi; dan menciptakan suasana
membangun26.
Dalam proses komunikasi melalui media, terdapat lima komponen yang
terlibat, yaitu penyampai, pesan, saluran, penerima, dan efek. Pers hanya sebagai
saluran bagi pernyataan umum. Yang bertindak sebagai penyampai merupakan
individu yang bekerja pada surat kabar, majalah, studio radio, televisi, dan
sebagainya, sehingga ia tidak menampilkan atau mencantumkan namanya. Namun
ada juga orang yang menyebutkan namanya dalam rubrik tertentu, seperti
kolumnis. Kolumnis dapat digolongkan sebagai opinion leader atau pembentuk
pendapat umum. Namanya sudah merupakan jaminan bagi mutu tulisannya,
sehingga tulisan tersebut sering dijadikan pedoman bagi pembacanya27.
Setelah pemerintahan militer Jepang menguasai Hindia Belanda dengan
Angkatan Darat keenambelas sebagai pemerintah di Jawa-Madura, banyak
undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang untuk
mendukung pemerintahannya. Pemerintahan militer Jepang mulai memperhatikan
pers sebagai sarana pendukung kebijaksanaan di daerah pendudukannya karena
mereka merasakan bahwa masyarakat masih kurang memahami peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, pada 13 Mei 1942, Dinas Pers
Balatentara Jepang (Hodohan) mengeluarkan sebuah maklumat agar segala
sesuatu yang akan dicetak harus dikirim terlebih dahulu ke kantor sensor28.
25 Rachmadi, op. cit., 9-10. 26 Ibid, hal. 17-18. 27 Ibid, hal 10.11. 28 A. Latief, Pers Di Indonesia Di Zaman Pendudukan Jepang, (Surabaya: Karya Anda, 1980), hal. 15.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
10
Universitas Indonesia
Pada tanggal 3 April 1942, pemerintahan militer Jepang di Jawa Barat
mengundang para Hoofdredacteur (Pemimpin Redaksi) untuk memberikan
penjelasan mengenai kebijaksanaan pers yang akan diberlakukan, yaitu bahwa
setiap daerah hanya diperbolehkan terbit satu surat kabar saja dengan
menggunakan bahasa Indonesia29. Dengan adanya kebijaksanaan tersebut, maka di
Bandung terbit surat kabar bernama Tjahaja. Lalu pada tanggal 29 April 1942,
Pemerintah Militer Jepang menerbitkan surat kabar Asia Raya. Peredaran surat
kabar-surat kabar tersebut pun dibatasi sampai wilayah kekuasaan pembesar
Pemerintah Militer Jepang saja, seperti surat kabar Tjahaja yang hanya
diperbolehkan untuk beredar di seluruh wilayah Jawa Barat30.
Pada tanggal 20 November 1942 di surat kabar Asia Raya, Badan
Propaganda Barisan Pemuda mengumumkan bahwa beberapa minggu lagi,
tepatnya pada tanggal 8 Desember 1942 akan diadakan perayaan hari permulaan
bangunnya Asia Timur Raya31. Perayaan tersebut kemudian dinamakan sebagai
Hari Pembangunan Asia Raya. Hari tersebut dimaksudkan untuk memperingati
permulaan perang dan menyebarkan arti perayaan tersebut kepada pemuda
maupun anak-anak hingga ke pelosok negeri. Oleh karena itu, sebagai anggota
dari Asia Raya, Indonesia turut merayakan hari tersebut32.
Setelah perayaan Hari Pembangunan Asia Raya selesai berlangsung,
diterbitkan maklumat mengenai pergantian nama Batavia menjadi Jakarta.
Maklumat tersebut dikeluarkan oleh Gunseikanbu pada tanggal 10 Desember
194233. Momentum Hari Pembangunan Asia Raya digunakan dalam menerbitkan
maklumat di atas. Dalam maklumat tersebut disebutkan bahwa nama Batavia
diganti dengan Jakarta sejak tanggal 8 Desember 1942 yang merupakan Hari
Pembangunan Asia Raya. Telah disebutkan sebelumnya bahwa propaganda terdiri
dari simbol-simbol politik yang dimanipulasi demi kontrol opini publik. Dalam
hal ini, simbol-simbol politik yang Jepang gunakan hari dan periode peringatan,
yaitu Hari Pembangunan Asia Raya yang dirayakan pada tanggal 8 Desember
1942.
29 Muhammad Koerdi, Seumur Jagung, (Bandung: Sumur Bandung, 1983), hal. 42. 30 Adinegoro, Pers di Masa Pendudukan Djepang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1951), hal. 15. 31 Asia Raya No. 180, 21 November 2602, hal. 2 32 Asia Raya No. 179, 20 November 2602, hal. 1 33 Kan Pō No. 9, (Batavia: Gunseikanbu, 1942), hal. 3 dan 5.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
11
Universitas Indonesia
Setelah acara tersebut selesai berlangsung, diterbitkan maklumat mengenai
pergantian nama Batavia menjadi Jakarta oleh Gunseikanbu. Dalam hal tersebut,
maklumat pergantian nama Batavia menjadi Jakarta merupakan salah satu bentuk
dari simbol politik, serupa dengan piagam yang dikemukakan oleh Lasswell.
Untuk mendapatkan perhatian (attention) dari rakyat Jawa, pemerintahan
militer Jepang menyebarluaskan maklumat ini melalui surat kabar-surat kabar
yang ada di pulau Jawa, seperti surat kabar Asia Raya pada tanggal 11 Desember
1942 dan surat kabar Tjahaja pada tanggal 12 Desember 1942. Pengulangan dari
maklumat ini dilakukan dengan adanya artikel-artikel yang membahas mengenai
pergantian nama tersebut di edisi-edisi setelah maklumat tersebut diterbitkan.
Agar maklumat tersebut dimengerti (comprehension), pemerintahan militer
Jepang memberikan pemahaman bahwa pergantian nama tersebut atas dasar nama
Jakarta yang diubah menjadi Batavia sebelumnya oleh pemerintah Belanda.
Pergantian tersebut juga berasal dari usaha yang dilakukan oleh Balatentara Dai
Nippon dan diizinkan oleh pemerintah di Tokyo. Pemahaman tersebut dapat
mengakibatkan penafsiran yang berbeda dari pembacanya, seperti pemerintah
Belanda yang mengganti nama Jakarta menjadi Batavia untuk kepentingan
pemerintahan Belanda, juga penafsiran bahwa pergantian nama tersebut
merupakan suatu maksud baik dari pemerintah militer Jepang karena mereka telah
mengusahakan hal tersebut. Penafsiran seperti itu dapat memberikan keuntungan
terhadap pemerintah militer Jepang agar masyarakat yang mengetahui maklumat
tersebut bersimpati terhadap pemerintah militer Jepang.
Pembaca maklumat ini dapat menikmati isi dari maklumat tersebut
(enjoyment) secara positif maupun negatif. Dalam hal ini, pemerintahan militer
Jepang memberikan kenyamanan atas kembalinya nama Jakarta yang dahulunya
pernah menjadi nama dari kota mereka sebelum diubah oleh pemerintah Belanda
dengan nama Batavia. Dengan pergantian nama tersebut, maka masyarakat dapat
kembali mewujudkan adat istiadat timur yang dahulu pernah ditinggalkan karena
adanya pemerintahan Belanda.
Isi dari maklumat tersebut dapat dievaluasi (evaluation), bahwa pergantian
nama Batavia menjadi Jakarta merupakan sebuah harapan yang diberikan oleh
Balatentara Dai Nippon, khususnya dari pemerintah di Tokyo, bagi rakyat
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
12
Universitas Indonesia
setempat saat itu. Masyarakat dapat memberikan simpatinya terhadap pemerintah
militer Jepang yang telah mengusahakan pergantian nama tersebut.
Dalam maklumat tersebut, terdapat teknik propaganda glittering generalities
(pembajikan) pada Balatentara Dai Nippon karena tertulis bahwa mereka yang
mengusahakan pergantian nama Batavia menjadi Jakarta yang selanjutnya
disetujui oleh pemerintah di Tokyo. Selain itu, terdapat teknik name-calling (cap
buruk) terhadap pemerintah Belanda karena sebelumnya mengubah nama kota
tersebut menjadi Batavia. Ada juga teknik transfer atau pemakaian pengaruh dari
pemerintah agung di Tokyo karena dituliskan telah memberikan izin pergantian
nama Batavia menjadi Jakarta dan teknik bandwagon terhadap Balatentara Dai
Nippon yang telah mengusahakan pergantian nama tersebut.
Dari analisis di atas, terlihat bahwa maklumat tersebut mengandung pesan
propaganda. Pesan propaganda dalam maklumat tersebut diinformasikan melalui
surat kabar Asia Raya dan Tjahaja yang merupakan pers. Hal tersebut sesuai
dengan peran pers, yaitu untuk memperluas cakrawala pandangan, memusatkan
perhatian khalayak, menumbuhhkan aspirasi, dan menciptakan suasana
membangun, digunakan oleh pemerintah militer Jepang demi mencapai tujuan
propagandanya.
Pada surat kabar Asia Raya dan Tjahaja, tidak hanya maklumat pergantian
nama Batavia menjadi Jakarta saja yang diterbitkan. Ada juga artikel-artikel yang
mendukung pergantian nama tersebut dengan menceritakan sejarah Jakarta, lalu
bagaimana Belanda menduduki Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia.
Artikel-artikel tersebut merupakan salah satu bentuk dari simbol politik, yaitu
story and history (cerita dan sejarah).
Salah satu artikel yang membahas mengenai hal tersebut diterbitkan pada
surat kabar Asia Raya tanggal 16, 17, dan 19 Desember 1942. Artikel yang
diterbitkan dalam tiga bagian ini berjudul “Jakarta” dan ditulis oleh Muhammad
Yamin. Artikel ini menceritakan sejarah Jakarta sejak sebelum tahun 1500 hingga
artikel tersebut diterbitkan.
Dengan artikel tersebut, penulis menginginkan pembaca artikel tersebut
untuk memperhatikan (attention) bahwa dengan adanya pergantian nama Batavia
menjadi Jakarta, orang-orang Indonesia dapat kembali mewujudkan adat istiadat
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
13
Universitas Indonesia
Timur. Pengulangan terhadap kata “timur” mengidentifikasikan bahwa hal
tersebut merupakan hal yang ingin ditekankan untuk membangkitkan respon yang
diinginkan.
Penulis dalam artikel ini menginginkan pembaca untuk memahami
(comprehension) bahwa dengan penulis mengatakan bahwa pergantian nama
Batavia menjadi Jakarta mengandung tujuan yang sama tingginya dengan maksud
peperangan suci Dai Nippon untuk mendirikan Tanah Air Indonesia Baru dalam
lingkungan kemakmuran bersama. Hal tersebut dapat memicu penafsiran bahwa
orang-orang Indonesia juga harus berusaha untuk pemerintah militer Jepang
sebagai timbal balik.
Dari sisi kenyamanan (enjoyment), dituliskan bahwa orang Indonesia dapat
kembali kepada dasar Indonesia. Selain itu orang Indonesia dapat mewujudkan
adat istiadat timur yang dahulu dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda.
Pembaca dapat mengevaluasi (evaluation) bahwa dampak dari pergantian
nama Batavia menjadi Jakarta adalah orang Indonesia dapat kembali mewujudkan
adat istiadat timur yang telah ditinggalkan karena pemerintahan Belanda sudah
berakhir. Pembaca juga dapat menyadari bahwa dengan berakhirnya pemerintahan
Belanda, orang Indonesia dapat bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang
untuk mewujudkan Asia Raya dalam lingkungan kemakmuran bersama.
Tindakan (action) yang diharapkan dari pergantian nama tersebut adalah
selain agar rakyat menginternalisasi atau meyakini pergantian nama tersebut
sebagai hal yang dinanti-nanti, rakyat juga merespon pergantian nama tersebut
sebagai ajakan untuk ikut serta dalam mencapai konsep Kemakmuran Asia Timur
Raya. Pemerintahan militer Jepang sudah dengan jelas mengharapkan agar
pemuda-pemuda, sasaran utama dari acara perayaan Hari Pembangunan Asia
Raya, untuk turut serta untuk mengakhiri perang Pasifik dengan
memenangkannya bersama balatentara Jepang. Mengakhiri perang Pasifik dapat
dimaknai sebagai turut sertanya pemuda-pemuda dalam peperangan yang akan
dihadapi bersama balatentara Jepang.
Dalam artikel tersebut juga terdapat teknik-teknik yang dapat dilakukan
dalam kegiatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan propaganda dalam interaksi
sosial. Terdapat name-calling (cap buruk) terhadap Belanda yang disebut sebagai
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
14
Universitas Indonesia
Pemerintah Jajahan. Sebutan tersebut dimaksudkan untuk menurunkan derajat
Belanda di mata pembaca artikel tersebut.
Terdapat glittering generalities (pembajikan) pada Balatentara Dai Nippon
yang melakukan pertukaran nama tersebut dengan tujuan yang sama tingginya
dengan maksud peperangan suci Dai Nippon. Pembajikan tersebut dimaksudkan
untuk menonjolkan gagasan pergantian nama Batavia menjadi Jakarta yang
bertujuan untuk membangun masyarakat baru secara Timur.
Kesuksesan Balatentara Dai Nippon juga dituliskan dalam artikel tersebut,
yaitu berupa kemenangan di udara, di darat, dan di laut. Hal tersebut merupakan
bandwagon technique (pengumpulan), yaitu menggembar-gemborkan sukses yang
dicapai oleh seseorang atau suatu lembaga.
Di kolom yang sama dengan maklumat pergantian nama Batavia menjadi
Jakarta di surat kabar Tjahaja, terdapat artikel yang mencantumkan pendapat
positif dari tokoh-tokoh nasionalis Indonesia mengenai pergantian nama tersebut,
seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. M. Mansur.
Artikel tersebut berjudul “Nama Batavia lenyap, Jakarta timbul kembali!
Masyarakat Indonesia menyambut dengan gembira”. Berikut adalah testimoni dari
mereka.
Ir. Soekarno: “Semenjak dari tahun 2587 (1927) kita kaum nasionalis Indonesia berjuang untuk nama Jakarta itu. Saya anjurkan supaya buat seluruh Jakarta dan Jatinegara dipakai nama Jakarta Raya”
Drs. Moh. Hatta: “Perubahan nama itu memang kita harap-harapkan. Kita
tentu merasa senang menerima pengakuan Jakarta itu kembali!” Ki Hajar Dewantara: “Nama Jakarta dikembalikan kepada kita, memang
itulah yang kita harapkan!” K.H. M. Mansur: “Perubahan itu memang cocok dengan keinginan kita!”34
Keempat tokoh tersebut merupakan Empat Serangkai, pucuk pimpinan
rakyat di masa pendudukan pemerintahan militer Jepang35. Ir. Soekarno, presiden
pertama Republik Indonesia36, pada saat itu merupakan orang yang memiliki
kemampuan untuk menghimpun dan mengerahkan massa. Hal tersebut
34 Tjahaja, 11 Desember 2602, hal. 1. 35 Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 10, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988), hal. 148. 36 Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 15, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988), hal. 311.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
15
Universitas Indonesia
dimanfaatkan pemerintahan militer Jepang demi kepentingannya, lalu membentuk
Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan menjadikan Empat Serangkai, tokoh-tokoh
pemimpin organisasi tersebut, sebagai boneka. Namun, mereka telah bertekad
untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa secara legal menurut Undang-
undang Dasar Jepang37.
Selain Ir. Soekarno, terdapat tokoh lain yaitu Drs. Moh. Hatta yang
merupakan pemikir, politikus, dan negarawan38 yang pada masa pemerintahan
militer Jepang bekerja sebagai penasehat pemerintah 39 . K.H.M. Mansur
merupakan salah satu tokoh besar Muhammadiyah dan menjabat sebagai ketua
Pengurus Besar organisasi Islam tersebut sejak 1937 hingga 194340. Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H.M. Mansur disebut dalam surat
kabar Asia Raya sebagai pemimpin-pemimpin Indonesia41.
Selain tokoh-tokoh nasionalis diatas, dalam artikel tersebut juga
dicantumkan pendapat dari Sanusi Pane, yang dalam artikel tersebut disebutkan
bahwa ia merupakan seorang ahli penyelidik sejarah Indonesia. Pendapatnya
adalah sebagai berikut.
“Tindakan ini bagus sekali, karena sesuai dengan kehendak umum. Ini membuktikan kehendak akan mendirikan kebudayaan baru diatas dasar kebudayaan yang lama (renaissance). Jakarta dulu dimusnahkan oleh Jan Pieterszoon Coen yang juga memusnahkan hampir seantero rakyat Banda, sekaliannya untuk kepentingan kompeni Belanda.
Sekarang Jakarta berdiri kembali. Hal ini membuktikan bulan Dai Nippon sungguh-sungguh hendak melakukan cita-cita kemakmuran bersama.”
Terdapat teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam kegiatan yang dapat
dilakukan dalam kegiatan propaganda dalam interaksi sosial pada artikel-artikel
tersebut, yaitu transfer, yaitu menggunakan teknik pemakaian pengaruh dari
seseorang tokoh yang paling berwibawa di lingkungan tertentu, dan testimonial,
yaitu menggunakan nama orang terkemuka yang mempunyai otoritas dan prestise
sosial tinggi dalam upaya meyakinkan sesuatu. Tokoh-tokoh yang digunakan
pengaruhnya adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan
37 Ibid, hal. 313-314. 38 Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 6, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988), hal. 363. 39 Ibid, hal. 366. 40 Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 10, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988), hal. 148. 41 Asia Raya No. 180, 21 November 2602, hal. 2
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
16
Universitas Indonesia
K.H.M. Mansur yang disebut dalam surat kabar Asia Raya sebagai pemimpin-
pemimpin Indonesia42. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang memiliki otoritas
dan prestise sosial tinggi. Dengan hal tersebut, mereka dapat mempengaruhi
orang-orang dengan opini yang terdapat pada artikel di surat kabar Tjahaja.
Dengan menggunakan opini dari tokoh-tokoh di atas, pergantian nama
Batavia menjadi Jakarta diperhatikan (attention) oleh pembaca. Adanya empat
opini dari empat tokoh yang menunjukkan kebahagiaan dalam menyambut
pergantian nama Batavia menjadi Jakarta merupakan sebuah bentuk pengulangan,
sehingga opini tersebut dapat membangkitkan respon yang diinginkan, yaitu agar
pembaca yakin dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh tersebut. Mereka
juga dapat turut bahagia terhadap pergantian nama tersebut.
Masyarakat dapat memahami (comprehension) opini-opini di atas bahwa
pergantian nama tersebut merupakan hal yang telah diperjuangkan sejak dulu.
Opini-opini tersebut menyebutkan bahwa pergantian nama tersebut merupakan
suatu hal yang diharapkan. Pernyataan bahwa Jakarta dulu dimusnahkan oleh
pemerintah Belanda dapat membentuk penafsiran bahwa pemerintahan Belanda
merupakan musuh bagi orang Indonesia.
Masyarakat sebagai dapat menikmati (enjoyment) pergantian nama tersebut
seperti bagaimana tokoh-tokoh diatas menyampaikan opini mereka. Dalam
menyampaikan opini mereka, mereka menyebutkan bahwa pergantian nama
tersebut merupakan hal yang diharapkan. Dengan hal tersebut, pembaca juga
dapat merasakan harapan yang disampaikan dalam opini tersebut.
Masyarakat juga dapat mengevaluasi (evaluation) bahwa pergantian nama
Batavia menjadi Jakarta merupakan suatu hal yang penting bagi mereka dan patut
untuk diharapkan karena tokoh-tokoh penting di bangsanya mengharapkan hal
tersebut. Pembaca juga dapat mengevaluasi bahwa mereka dapat memercayai
pemerintah militer Jepang dalam mencapai kemakmuran bersama karena bukti
usaha mereka dalam pergantian nama Batavia menjadi Jakarta.
Tindakan (action) yang diharapkan dari pergantian nama tersebut adalah
selain agar rakyat menginternalisasi atau meyakini pergantian nama tersebut
merupakan suatu kehendak umum, rakyat juga merespon pergantian nama
42 Asia Raya No. 180, 21 November 2602, hal. 2
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
17
Universitas Indonesia
tersebut sebagai ajakan untuk ikut serta dalam mencapai konsep Kemakmuran
Asia Timur Raya. Dengan disebutkan bahwa pergantian nama Batavia menjadi
Jakarta merupakan bentuk dari kesungguhan pemerintah militer Jepang dalam
melakukan cita-cita kemakmuran bersama, maka diharapkan akan timbal balik
dari orang Indonesia untuk memberikan kesungguhannya untuk bersama-sama
mencapai cita-cita kemakmuran.
Pada opini yang ditulis oleh Sanusi Pane, terdapat name-calling (cap buruk)
terhadap Belanda, yaitu bahwa Jakarta dulu dimusnahkan oleh Jan Pieterszoon
Coen. Pemusnahan tersebut dilakukan untuk kepentingan kompeni Belanda.
Terdapat juga glittering generalities (pembajikan), terhadap pemerintah
militer Jepang. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan bahwa dengan berdirinya
Jakarta kembali, pemerintah militer Jepang bersungguh-sungguh akan mencapai
kemakmuran bersama.
Artikel-artikel tersebut memperlihatkan peran Sendenbu dalam membentuk
opini masyarakat mengenai pergantian nama Batavia menjadi Jakarta, terutama
pada partisipasi staf lokal dari Sendenbu. Kedua tokoh yang menulis artikel-
artikel di atas, yaitu Muhammad Yamin dan Sanusi Pane, merupakan staf lokal
dari Sendenbu. Muhammad Yamin merupakan Sanyo (penasehat) dari Sendenbu
yang aktif dalam pergerakan nasionalis anti-Belanda dalam organisasi politik
dimulai melalui Partai Indonesia (Partindo) yang didirikan43. Sanusi Pane juga
merupakan seorang staf lokal dari Sendenbu44. Ia merupakan sastrawan angkatan
Pujangga Baru yang menulis puisi dan drama yang lebih berorientasi pada
kebudayaan dunia timur, baik Indonesia lama maupun India45.
Artikel-artikel tersebut diterbitkan pada surat kabar Asia Raya dan Tjahaja,
surat kabar yang lahir dari pengaturan-pengaturan yang dilakukan pemerintah
militer Jepang terhadap pers. Salah satu media yang digunakan Sendenbu dalam
menjalankan skema propaganda yang telah disusun adalah dengan menggunakan
surat kabar. Dengan menyebutkan nama dari penulis artikel tersebut, mereka
dapat digolongkan sebagai opinion leader atau pembentuk pendapat umum.,
karena nama mereka dapat dijadikan jaminan bagi mutu tulisannya. Dalam hal
43 Aiko, op.cit., 233. 44 Aiko, op.cit., 234. 45 Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 12, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988), hal. 114.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
18
Universitas Indonesia
tersebut, terlihat bahwa Sendenbu menggunakan peran pers dalam pembentukan
opini masyarakat dalam hal pergantian nama Batavia menjadi Jakarta.
Kedua staf-staf lokal Sendenbu membuat artikel yang berisi pendapat
mereka mengenai pergantian nama Batavia menjadi Jakarta. Masyarakat
menyadari bahwa pergantian nama tersebut merupakan suatu harapan yang
dinanti-nanti. Selain itu mereka dapat mengetahui dari surat kabar-surat kabar
tersebut bahwa pergantian nama tersebut merupakan hasil dari kerja keras
pemerintah militer Jepang. Dengan demikian, pergantian nama Batavia menjadi
Jakarta merupakan bentuk propaganda, sesuai dengan teori propaganda menurut
Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan.
Kesimpulan
Skripsi ini membahas tentang pergantian nama Batavia menjadi Jakarta
sebagai bentuk propaganda Jepang pada awal pendudukan pemerintah militer
Jepang di Indonesia. Maklumat mengenai pergantian nama Batavia menjadi
Jakarta merupakan suatu simbol politik yang digunakan Jepang untuk melakukan
propaganda Kemakmuran Asia Timur Raya. Simbol tersebut dapat diidentifikasi
sebagai propaganda apabila diperhatikan (attention), dimengerti (comprehension),
dinikmati (enjoyment), dievaluasi (evaluation), dan dilakukan (action). Dari
kelima hal tersebut, maklumat tersebut teridentifikasi mengandung hal-hal
tersebut berdasarkan analisis yang penulis lakukan. Selain itu, maklumat tersebut
mengandung beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam kegiatan yang dapat
dilakukan dalam kegiatan propaganda dalam interaksi sosial, yaitu teknik
glittering generalities (pembajikan) terhadap balatentara Jepang, teknik name-
calling (cap buruk) terhadap Belanda, teknik transfer atau pemakaian pengaruh
dari pemerintah agung di Tokyo, dan teknik bandwagon terhadap Balatentara Dai
Nippon.
Dalam mendukung maklumat tersebut, terdapat artikel-artikel yang
diterbitkan di surat kabar Asia Raya dan Tjahaja. Artikel-artikel tersebut juga
merupakan suatu simbol politik, yaitu cerita dan sejarah. Artikel tersebut juga
terdidentifikasi merupakan sebuah propaganda berdasarkan analisis yang penulis
lakukan melalui identifikasi simbol-simbol politik dan teknik-teknik yang
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
19
Universitas Indonesia
dilakukan dalam propaganda, yaitu teknik name calling (cap buruk) terhadap
Belanda dan teknik glittering generalities (pembajikan) terhadap pemerintah
militer Jepang. Dalam artikel pada surat kabar Tjahaja, terdapat opini-opini dari
tokoh-tokoh nasional, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro,
dan K.H.M. Mansur. Dari opini-opini tersebut, penilis melihat adanya teknik
transfer dan teknik testimonial dalam artikel tersebut.
Artikel-artikel tersebut dibuat oleh Muhammad Yamin dan Sanusi Pane.
Muhammad Yamin dan Sanusi Pane sendiri merupakan staf lokal dari Sendenbu.
Dengan adanya artikel yang ditulis oleh kedua orang tersebut, terlihat adanya
peran staf lokal Sendenbu untuk menggunakan peran pers dalam pembentukan
opini masyarakat. Dengan analisis-analisis diatas, terlihat bahwa pergantian nama
tersebut merupakan suatu bentuk propaganda yang dilakukan oleh pemerintah
militer Jepang.
Daftar Pustaka
Buku
Adinegoro. Pers di Masa Pendudukan Djepang, Jakarta: Balai Pustaka, 1951.
Anwar, H. Rosihan. Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925 – 1950,
Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
Enam Boelan Pemerintahan: Bala Tentara Dai Nippon, Jakarta: Penerbit Oesaha
Baru “Penjiar”, 1942.
Goto, Ken’Ichi. Jepang dan Pergerakan Nasional Indonesia, Jakarta: Yayasan
Obor, 1998.
Koerdi, Muhammad. Seumur Jagung, Bandung: Sumur Bandung, 1983.
Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di
Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: PT Grasindo, 1993.
Kushner, Barak. The Thought War: Japanese Imperial Propaganda, Honolulu:
University of Hawai’I Press, 2006.
Lasswell, Harold D. dan Abraham Kaplan. Power and Society, Connecticut: Yale
University Press, 1950.
Latief, A. Pers Di Indonesia Di Zaman Pendudukan Jepang, Surabaya: Karya
Anda, 1980.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
20
Universitas Indonesia
Muljana, Slamet. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan
jilid I. Yogyakarta: LKiS, 2008.
Notosusanto, Nugroho. Tentara PETA pada Zaman Pendudukan Jepang di
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1979.
Pusponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional
Indonesia II Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
------------. Sejarah Nasional Indonesia III Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai
Pustaka, 2008.
------------, Sejarah Nasional Indonesia IV Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai
Pustaka, 2008.
------------, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Rachmadi, F. Perbandingan Sistem Pers, Jakarta: PT Gramedia, 1990.
Sastropoetro, Drs. R.A. Santoso. Propaganda: Salah Satu Bentuk Komunikasi
Massa, Bandung: Penerbit Alumni, 1991.
Warmansjah, G.A., et al. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) DKI
Jakarta, Jakarta: Proyek IDSN, 1979.
Jurnal
Fellows, Erwin W. “’Propaganda:’ History of a Word.” American Speeches
34:3(1959): 182-189.
Goto, Ken’ichi. “Modern Japan and Indonesia: The Dynamics and Legacy of
Wartime Rule” Indonesia and the War: Myths and Realities (1996): 536-
552.
Han Bin Siong. “The Japanese Occupation of Indonesia and the Administration of
Justice Today: Myths and Realities.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 154:3 (1998): 416-456.
Kurasawa, Aiko. “Propaganda Media on Java under the Japanese 1942-1945.”
Indonesia 44(1987): 59-116.
Lasker, Bruno. “Propaganda as an Instrument of National Policy” Pacific Affairs
10:2 (1937): 152-160.
Lebra, Joyce C. “The Significance of the Japanese Military Model for Southeast
Asia” Pacific Affairs 48:2 (1975): 215-229.
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
21
Universitas Indonesia
Nakamura, Mitsuo. “General Imamura and the Early Period of Japanese
Occupation.” Indonesia 10 (1970): 1-26.
Kamus dan Ensiklopedia
Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 7, Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988.
Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 10, Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988.
Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 15, Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988.
Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 17, Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1988.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa: edisi keempat, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Koran dan Majalah
Asia Raya tahun 1942
Kan Pō No. 3 tahun 1942
Tjahaja tahun 1942
Pergantian Nama ..., Ekawati Alia Ramadhani, FIB UI, 2016
top related