peraturan standar minimum untuk tindakan non penahanan
Post on 06-Nov-2015
14 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
PERATURAN STANDAR MINIMUM
UNTUK TINDAKAN NON-PENAHANAN
(PERATURAN TOKYO)
Disahkan oleh resolusi Majelis Umum 45/110 tanggal 14 Desember 1990
I. PRINSIP UMUM
1. Tujuan Dasar
Peraturan Standar Minimum ini menetapkan seperakat prinsip dasar
untuk memajukan penggunaan tindakan-tindakan non-penahanan, maupun
pengamanan minimum bagi orang-orang yang dikenai tindakan alternatif terhadap
pemanjaraan.
Peraturan ini dimaksud untuk memajukan ketertiban masyarakat yang
lebih besar dalam mengelolah pengadilan pidana, khususnya perlakuan terhadap
pelaku kejahatan, maupun untuk memajukan rasa tanggung jawab terhadap
masyarakat diantara pelaku kejahatan.
Peraturan itu akan dilaksanakan dengan memperhitungan kondisi Politik,
Ekonomi, Sosial dan Budaya di setiap negara dan maksud serta tujuan dari sistem
pengadilan pidananya.
1.4. Ketika melaksanakan peraturan itu, negara-negara Anggota akan berusaha
memastikan suatu keseimbangan yang layak antara hak masing-masing pelaku
kejahatan, hak dari para korban, dan kepedulian masyarakat akan keamanan umum
dan pencegahan kejahatan.
1.5. Negara-negara Anggota akan mengembangkan tindak-tindakan non-
penahanan dalam sistem hukum mereka untuk memberikan opsisi-opsisi lain, dan
dengan demikian mengurangi penggunaan pemenjaraan, dan untuk merasionalkan
kebijakan pengadilan pidana, dengan memperhitungan kepatuhan kepada Hak Asasi
Manusia, kebutuhan akan keadilan sosial dan kebutuhan rehabilitasi dari pelaku
kejahatan.
-
2. Ruang-Lingkup Tindakan non-penahanan
2.1. Ketentuan-ketentuan yang relevan dari Peraturan ini berlaku bagi semua
orang yang dikenai penuntutan, pengadilan atau pelaksanaan suatu hukum, pada
setiap tahap pelaksanaan keadilan pidana. Untuk kepentingan Peraturan itu, orang-
orang ini diacu sebagai pelaku kejahatan, tidak peduli apakah mereka dicurigai, dituduh atau dijatuhi hukuman.
2.2. Peraturan itu berlaku tanpa suatu diskriminasi atas dasar ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya, asal usul nasional atau
sosial, kekayaan, status kelahiran atau lainnya.
2.3. Untuk memberikan keluwesan lebih besar sesuai dengan sifat dan beratnya
pelaku kejahatan, dengan kepribadian dan latar belakang dari orang yang melakukan
kejahatan dan dengan perlidungan masyarakat serta untuk menghindari penggunaan
pemenjaraan yang tidak perlu, sistem peradilan pidana harus memberikan tindakan
non-penjaraan yang berjangkauan luas, dari pengaturan pra-pengadilan sampai
pasca-hukuman. Jumlah dan jenis tindakan non-penahanan yang tersedia seharusnya
ditetapkan sedemikian rupa sehingga penghukuman yang konsisten tetap
dimungkinkan.
2.4. Perkembangan dari tindakan-tindakan non-penahanan baru harus didorong
dan dipantau dengan ketat dan penggunaannya dievaluasi secara sistematik.
2.5. Pertimbangan akan diberikan untuk menangani para pelaku kejahatan dalam
masyarakat sambil menghindari sejauh mungkin penggunaan tata cara formal atau
persidangan oleh suatu pengadilan, sesuai dengan pengamanan hukum dan peraturan
hukum.
2.6. Tindakan non-penahanan seharusnya digunakan sesuai dengan prinsip
intervensi minimum.
2.7. Penggunaan tindakan non-penahanan seharusnya merupakan bagian dari
gerakan kearah depenalisasi dan dekriminalisasi dan bukan mencampuri atau
memperlambat usaha ke arah itu.
3. Pengamanan Hukum
3.1. Pengenalan, definisi dan penerapan tindakan non-penahanan harus
ditetapkan oleh hukum.
3.2. Seleksi mengenai suatu tindakan non-penahanan didasarkan pada suatu
penilaian kreteria yang ada berkenanan dengan sifat maupun beratnya kejahatan,
-
kepribadian dan latar belakang pelaku kejahatan, maksud
dijatuhkannya hukuman dan hak para korban.
3.3. Kebijaksanaan oleh pengadilan atau badan idenpenden berwenang lainnya
yang kompeten akan dilaksanakan pada suatu tahapan prosedur dengan memastikan
pertanggungjawaban penuh dan hanya sesuai dengan aturan hukum.
3.4. Tindakan non-penahanan yang menetapkan suatu kewajiban kepada pelaku
kejahatan, yang diterapkan sebelum atau menggantikan pemeriksaan resmi atau
sidang pengadilan, memerlukan persetujuan dari pelaku kejahatan.
3.5. Keputusan tentang pemberlakukan tindakan non-penahanan tunduk pada
peninjauan oleh pengadilan atau badan idenpenden lainnya yang kompeten,
berdasarkan permohonan oleh pelaku kejahatan.
3.6. Pelaku kejahatan berhak mengajukan suatu permohonan atau keluhan
kepada pengadilan atau badan idenpenden berwenang lainnya yang kompeten
mengenai masalah-masalah yang menyangku hak-hak pribadinya dalam
pelaksanaan tindakan non-penahanan.
3.7. Instrumen yang memadai disediakan untuk jalan lain dan, kalau mungkin,
perbaikan dari suatu keluahan yang berkaitan dengan ketidak-patuhan dengan Hak
Asasi Manusia yang diakui secara internasional.
3.8. Tindakan non-penahanan tidak akan menyangkut percobaan medis atau
psikologis atau resiko kerugian fisik atau mental yang tidak pada tempatnya,
terhadap pelaku kejahatan.
3.9. Martabat pelaku kejahatan yang berada dibawah tindakan non-penahanan
dilindungi sepanjang waktu.
3.10. Dalam melaksanan tindakan non-penahanan, hak pelaku kejahatan tidak
boleh dibatasi lebih lanjut dari yang telah diberikan oleh badan berwenang yang
kompeten yang mengubah keputusan asilnya.
3.11. Dalam melaksanakan tindakan non-penahanan, hak privasi dari pelaku
kejahatan akan dihormati, sebagaimana juga hak privasi dari keluarga pelaku
kejahatan.
3.12. Catatan pribadi pelaku kejahatan akan dirahasiakan dengan ketat dan
tertutup terhadap pihak-pihak ketiga. Akses kepada catatan-catatan tersebut dibatasi
kepada orang-orang yang secara langsung berkepentingan dengan menetapkan kasus
pelaku kejahatan atau kepada orang-orang lain yang diberi wewenang dengan
semestinya.
-
4. Clausula Penyelamatan
4.1. Tidak satupun dalam Peraturan ini akan ditafsirkan sebagai menghalangi
penerapan Peraturan Standar Minimum untuk perlakuan terhadap Narapidana,
Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pelaksanaan
peradilan anak, Kumpulan Prinsip Bagi Perlindungan Semua Orang Dalam Segala
Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan atau suatu instrumen dan Standar Hak Asasi
Manusia lainnya yang diakui oleh masyarakat internasional dan yang berkaitan
dengan perlakukan terhadap pelaku kejahatan serta perlindungan hak-hak asasi
mereka.
II TAHAP PRA-PERADILAN
5. Penetapan Pra-Peradilan
5.1. Bilamana patut dan sesuai dengan sistem hukum, polisi, badan penuntut
atau badan lainnya yang mengenai kasus-kasus pidana harus diberi wewenang untuk
memebebaskan orang yang melakukan kesalahan karena mereka menganggap
bahwa tidaklah perlu melanjutkan kasus itu demi kepentingan melindungi
masyarakat, pencegahan kejahatan atau dimajukannya penghormatan terhadap
hukum dan hak para korban. Untuk keperluan memutuskan kelayakan untuk
membebaskan atau penentuan acara kerja, seperangkat kreteria yang sudah
ditetapkan akan dikembangkan dalam setiap sistem hukum. Untuk kasus-kasus
ringan jaksa dapat menetapkan tindakan non-penahanan yang sesuai, sebagaimana
layaknya.
6. Dihindarinya penahanan pra-pengadilan
6.1. Penahanan pra-pengadilan digunakan sebagai suatu sarana terakhir dalam
acara kerja pidana, dengan memberi perhatian yang layak untuk penyelidikan
terhadap pelaku kejahatan yang dinyatakan dan untuk perlindungan kepada
masyarakat dan korban.
6.2. Alternatif kepada penahanan pra-pengadilan akan digunakan pada tahap
sedini mungkin, penahanan pra-pengadilan berlangsung tidak lebih lama ketimbang
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan berdasarkan
peraturan 5.1. dan dilaksanakan secara manusiawi dan dengan menghormati
martabat umat manusia yang hakiki.
-
6.3. Pelaku kejahatan akan mempunyai hak untuk mengajukan
banding kepada suatu otoritas pengadilan atau otoritas mandiri lain yang kompeten
dalam kasus-kasus dimana penahanan pra-pengadilan digunakan.
III. TAHAP PENGADILAN DAN DIJATUHKANNYA HUKUMAN
7. Laporan penyelidikan masyarakat
7.1. Kalau dimungkinkan dibuat laporan penyelidikan masyarakat, otoritas
pengadilan dapat menarik manfaat dari suatu laporan yang dipersiapkan oleh
seseorang atau suatu badan yang kompenten dan berwenang. Laporan itu haruslah
berisi informasi masyarakat tentang pelaku kejahatan yang berkaitan dengan pola
kejahatan dan pelaku kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini yang dilakukan orang
tersebut, laporan itu juga harus menganggung informasi dan rekomendasi yang
relevan dengan prosedur dijatuhakannya hukuman. Laporan itu haruslah aktual,
obyektif dan tidak berkecenderungan, dengan suatu ungkapan pendapat yang
diidentifikasi dengan jelas.
8. Disposisi Pemberian Hukuman
8.1. Pengadilan yang berwenang, yang mempunyai sederajat tindakan non-
penahanan, dalam mengambil keputusan haruslah mempertimbangkan kebutuhan
rehabilitasi dari pelaku kejahatan, perlindungan masyarakat dan kepentinga-
kepentingan korban, yang seharusnya diajak berkonsultasi apabila perlu.
8.2. Ototitas yang menjatuhi hukuman dapat menyelesaikan kasus-kasus
dengan jalan berikut ini:
a) Saksi lisan, seperti misalnya tegoran, mengomeli dan peringatan;
b) Pembebasan bersyarat
c) Hukuman status;
d) Saksi ekonomi dan hukuman moneter, seperti misalnya denda dan denda-
harian;
e) Penyitaan atau suatu perintah mengambil alih;
-
f) Restitusi kepada korban atau suatu perintah kompensasi;
g) Hukuman yang ditunda atau ditangguhkan;
h) Percobaan dan supervisi pengadilan;
i) Suatu perintah pelayanan masyarakat;
j) Acuan kepada pusat perawatan;
k) Tahanan rumah;
l) Suatu cara lain dari perlakuan non-kelembagaan;
m) Beberapa kombinasi dari tindakan-tindakan yang tercantum diatas.
IV. TAHAP PASCA DIJATUHINYA HUKUMAN
9. Disposisi Pasca dijatuhinya hukuman
9.1. Otoritas yang kompeten akan mempunyai alternatif pasca pemberian
hukuman yang luas untuk menghindari institusionalisasi dan untuk membantu
pelaku kejahatan dalam integrasi mereka kembali secepatnya ke dalam mas,
9.2. Disposisi pasca dijatuhinya hukuman dapat mencangkup :
a)Cuti dan rumah persinggahan;
b)Kerja atau pembebasan pendidikan;
c)Berbagai bentuk pembebasan bermasyarakat;
d)Remisi;
e)Pengampunan.
9.3. Keputusan tentang diposisi pasca pemberian hukuman, kecuali dalam hal
pengampunan, tunduk pada peninjauan kembali oleh suatu otoritas pengadilan atau
otoritas idenpenden lain yang kompeten atas permohonan pelaku kejahatan.
-
9.4. Setiap bentuk pembebasan dari suatu lembaga ke suatu
program tindakan non-penahanan akan dipertimbangkan secepat mungkin.
V. PELAKSANAAN TINDAKAN NON-PENAHANAN
10.Pengawasan
10.1. Maksud pengawasan adalah untuk mengurangi pengurangannya kejahatan
dan untuk membantu integrasi pelaku kejahatan ke dalam masyarakat dengan cara
yang mengurangi kemungkinan kembalinya kejahatan.
10.2. Kalau suatu tindakan non-penahanan mengakibatkan adanya pengawasan,
maka pengawasan itu akan dilaksanakan oleh suatu otoritas yang kompeten
dibawah syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.
10.3. Dalam rangka suatu tindakan non-penahanan tertentu, jenis pengawasan
dan perlakukan yang paling sesuai harus ditetapkan bagi setiap kasus yang
tertujuan untuk membantu pelaku kejahatan untuk menimbulkan pengaruh pada
kejahatan yang dilakukannya. Pengawasan dan perlakuan haruslah ditinjau secara
berkala dan disesuaikan sepenuhnya.
10.4. Pelaku kejahatan, apabila diperlukan seharusnya diberikan bantuan
psikologi, sosial dan material dan dengan kesempatan untuk memperkuat kaitan-
kaitan dengan masyarakat dan memudahkan integrasi mereka ke dalam
masyarakat.
11.Jangka waktu
11.1. Lamanya suatu tindakan non-penahanan tidak melebihi jangka waktu
yang ditetapkan oleh otoritas kompeten sesuai dengan undang-undang.
11.2. Ketentuan dapat diambil untuk diakhirinya tindakan itu lebih awal kalau
pelaku kejahatan telah memberikan tanggapan yang menguntungkan pada tindakan
itu.
12.Syarat-syarat
-
12.1. Kalau pengusaha yang kompeten menetapkan syarat-syarat
yang harus dipatuhi oleh pelaku kejahatan, maka otoritas itu seharusnya
memperhitungkan kebutuhan masyarakat maupun kebutuhan dan hak pelaku
kejahatan maupun korban.
12.2. Syarat-syarat yang harus dipatuhi bersifat praktis, tepat dan sedikit
mungkin, dan ditujukan untuk mengurangi kemungkinan si pelaku kejahatan
terjerumus lagi ke perilaku pidana dan mengingkatkan kesempatan bagi pelaku
kejahatan untuk berintegrasi dengan masyarakat, dengan memperhitungkan
kebutuhan dari korban.
12.3. Pada awal penerapan suatu tindakan non-penahanan, pelaku kejahatan
akan menerima penjelasan secara lisan dan tertulis, mengenai syarat-syarat yang
mengatur penerapan tindakan itu, termasuk kewajiban dan hak pelaku kejahatan.
12.4. Syarat-syarat itu dapat dirubah oleh otoritas yang kompeten berdasarkan
ketentuan-ketentuan menurut undang-undang yang berlaku, sesuai dengan
kemajuan yang dicapai oleh pelaku kejahatan.
13. Proses Perlakukan
13.1. Dalam rangka suatu tindakan non-penahanan tertentu, pada kasus-kasus
yang sesuai, berbagai program, seperti kerja kasus, terapi kelompok, program di
tempat tinggal dan perlakukan khusus terhadap berbagai kategori pelaku kejahatan
seharusnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan para pelaku kejahatan
secara lebih efektif.
13.2. Perlakukan harus dilakukan oleh para petugas profesional yang telah
mendapat latihan yang sesuai dan mempunyai pengalaman praktis.
13.3. Apabila dibutuskan bahwa perlakukan adalah perlu, usaha seharusnya
dilakukan untuk memahami latar belakang, kepribadian, bakat, kecerdasaan, nilai
pelaku kejahatan dan, secara khusus keadaan-keadaan yang menyebabkan
dilakukannya kejahatan.
13.4. Otoritas yang kompeten dapat melibatkan masyarakat dan sistem-sistem
dukungan sosial dan merepkan tindakan non-penahanan.
13.5. Pengusaha yang bermuatan kasus dipertahankan sejauh hal itu dapat
dilakukan pada tingkat yang terkendali untuk memastikan pelaksanaan program-
program perlakuan secara efektif.
13.6. Untuk setiap pelaku kejahatan, suatu catatan kasus akan dibuat dan
disimpan oleh otoritas yang kompeten.
-
14.Disiplin dan Pelanggaran Syarat
14.1. Pelanggaran terhadap suatu syarat yang seharusnya dipatuhi oleh pelaku
kejahatan dapat mengakibatkan perubahan atau pencabutan tindakan non-
penahanan.
14.2. Perubahan atau pencabutan tindakan non-penahanan akan dilakukan oleh
petugas yang kompeten, ini akan dilakukan hanya setelah suatu pemeriksaan yang
teliti mengenai fakta-fakta yang dikemukakan baik oleh pejabat yang melakukan
pengawasan maupun oleh pelaku kejahatan
14.3. Kegagalan suatu tindakan non-penahanan seharusnya tidak secara
otomatis menyebabkan diperlakukannya suatu tindakan penahanan.
14.4. Dalam hal modifikasi atau pencabutan tindakan non-penahanan, otoritas
yang kompeten akan berusaha menetapkan suatu tindakan non-penahanan
alternatif yang sesuai. Hukuman penjara dapat dikenakan hanya dalam keadaan
tidak adanya alternatif yang sesuai.
14.5. Kekuasaan untuk menangkap dan menahan pelaku kejahatan dibawah
pengawasan dalam kasus-kasus dimana terjadi pelanggaran kondisi akan
ditetapkan dengan undang-undang.
14.6. Tentang modifikasi atau pencabutan tindakan non-penahanan, pelaku
kejahatan mempunyai hak untuk mengajukan banding kepada otoritas mandiri
yang kompeten lainnya.
IV. STAFF
15.Rekrutmen
15.1. Tidak akan ada diskriminasi dalam rekrutmen staff atas dasar ras, warna
kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain,
kebangsaan atau asal-usul sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Kebijakan mengenai rekrutmen staff seharusnya mempertimbangan kebijakan-
kebijakan nasional mengenai tindakan penegasan dan mencerminkan
keanekaragaman dari pelaku kejahatan yang hendak diawasi.
-
15.2. Orang-orang yang ditunjuk untuk menerapkan tindakan non-
penahanan haruslah secara pribadi sesuai dan, dimana mungkin, telah mendapat
latihan profesional dan pengalaman praktis yang memadai. Kualifikasi tersebut
harus dispesifikasi secara jelas.
15.3. Untuk memastikan dan tetap menggunakan staff profesional yang
memenuhi syarat, status pelayanan yang tepat, gaji yang memadai dan tunjungan
yang sepadan dengan sifat pekerjaan harus dipastikan dan kesempatan haruslah
disediakan bagi pertumbuhan profesional dan perkembangan karir.
16.Latihan Staff
16.1. Tujuan latihan haruslah memperjelas tanggungjawab bagi staff
berkenanan dengan rehabilitasi pelaku kejahatan, memastikan hak pelaku
kejahatan dan melindungi masyarakat. Latihan juga memberikan kepada staff suatu
pemahaman mengenai kebutuhan untuk bekerjasama dan mengkooridnasikan
kegiatan dengan instansi-instansi terkait.
16.2. Sebelum memasuki tugas, staff haruslah diberi latihan yang mencakup
petunjuk mengenai sifat dari tindakan non-penahanan, maksud pengawasan dan
berbagai modalitas mengenai menerapkan tindakan non-penahanan.
16.3. Setelah memasuki tugas, staff haruslah mempertahankan dan
memperbaiki pengetahuan dan kapasitas profesional mereka dengan menghadiri
latihan selama tugas dan kursus-kursus penyelenggara. Fasilitas yang memadai
haruslah disediakan untuk keperluan tersebut.
VII. RELAWAN DAN SUMBER DAYA MASYARAKAT LAINNYA
17.Partisipasi masyarakat.
17.1. Partisipasi masyarakat seharusnya didorong karena hal itu merupakan
suatu sumber utama dan salah satu faktor yang paling penting dalam
memperbaiki hubungan antara pelaku kejahatan yang menjalani tindakan non-
penahanan dan keluarga serta masyarakat. Partisipasi masyarakat haruslah
melengkapi usaha dari pelaksanaan peradilan pidana.
-
17.2. Partisipasi masyarakat harulah dianggap sebagai suatu
kesempatan bagi para anggota masyarakat untuk memberi sumbangan kepada
perlindungan masyarakat mereka.
18.Pemahaman dan Kerjasama masyarakat
18.1. Instansi pemerintah, sektor swasta dan masyarakat umum seharusnya
didorong untuk mendukung organisasi-organisasi sukarela yang memajukan
tindakan-tindakan non-penahanan.
18.2. Konferensi, seminar, simposium dan kegiatan-kegiatan lain seharusnya
diselenggarakan secara teratur untuk memacu kesadaran mengenai kebutuhan akan
partisipasi masyarakat dalam penerapan tindakan-tindakan non-penahanan.
18.3. Semua bentuk media massa haruslah digunakan untuk membantu
menciptakan suatu sikap masyarakat yang konstruktif, yang menuju kegiatan-
kegiatan yang konduktif dengan menerapkan perlakuan non-penahanan yang lebih
luas dan integrasi sosial dari para pelaku kejahatan.
18.4. Setiap usaha haruslah diambil untuk memberi informasi kepada
masyarakat mengenai arti penting dari peranannya dalam pelaksanaan tindakan-
tindakan non-penahanan.
19. Relawan
19.1. Relawan seharusnya disaring dan d rekrut dengan teliti atas dasar bakat
dan minat mereka dalam pekerjaan yang bersangkutan. Mereka akan dilatih dengan
benar untuk tanggung jawab khusus yang hendak mereka pikul dan haruslah
mempunyai akses kepada dukungan konseling dari, serta kesempatan untuk
berkonsultasi dengan, otoritas yang berwenang.
19.2. Para relawan seharusnya mendorong para pelaku kejahatan dan keluarga
mereka untuk mengembanngkan hubungan-hubungan yang bermanfaat dengan
masyarakat dan ruang-lingkup kontak yang lebih luas dengan menyediakan
konseling dan bentuk-bentuk bantuan yang layak sesuai dengan kapasitas mereka
dan kebutuhan para pelaku kejahatan.
19.3. Para relawan haruslah diasuransikan terhadap kecelakaan, cedera dan
pertanggungjawaban publik apabila melaksanakan tugas mereka. Mereka akan
memperoleh pembayaran kembali atas pengeluarkan yang diberikan wewenang
yang timbul selama mereka bekerja. Pengakuan publik seharusnya diberikan
-
kepada mereka atas pelayanan yang mereka berikan untuk
kesejahteraan masyarakat.
VIII. PENELITIAN, PERENCANAAN, FORMULASI KEBIJAKAN DAN
EVALUASI
20. Penelitian dan Perencanaan
20.1. Sebagai suatu aspek terpenting dari proses perencanaan, seharusnya
diupayakan untuk melibatkan masyarakat maupun badan-badan swasta dalam
melaksanakan dan melakukan promosi penelitian mengenai perlakuan non-
penahanan terhadap para pelaku kejahatan.
20.2. Penelitian tentang masalah yang dihadapi para klien, praktisi, masyarakat
dan pembuatan kebijakan haruslah dilaksanakan secara teratur.
20.3. Mekanisme penelitian dan informasi seharusnya dimasukan kedalam
sistem peradilan untuk koleksi dan analisis data dan statistik tentang pelaksanaan
perlakuan non-penahanan bagi para pelaku kejahatan.
21 Formulasi kebijakan dan perkembangan program
21.1. Program bagi tindakan non-penahanan haruslah direncanakan dan
dilaksanakan secara sistematis sebagai suatu bagian tak terpisahkan dari sistem
peradilan pidana dalam rangka proses pembangunan nasional.
21.2. Evaluasi secara teratur seharusnya diadakan dengan tujuan untuk
melaksanakan tindakan non-penahanan secara lebih efektif.
21.3. Tinjauan berkala seharusnya dilakukan untuk menilai tujuan, berfungsinya
dan kedayagunaan tindakan-tindakan non-penahanan.
22 Hubungan dengan instansi dan kegiatan terkait
22.1 Mekanisme yang sesuai seharusnya dikembangkan diberbagai tindakan
untuk menfasilitasi terbentuknya hubungan antara dinas-dinas yang
-
bertanggungjawab atas tindakan non-penahanan, cabang lain dari
sistem peradilan pidana, perkembangan sosial dan instansi-instansi kesejahteraan,
di bidang-bidang seperti kesehatan, perumahan, pendidikan, dan tenaga kerja, dan
media massa.
23 Kerjasama Internasional
23.1. Seharusnya dilakukan usaha untuk memajukan kerjasama ilmiah antara
negara-negara dibidang perlakuan non-kelembagaan. Penelitian, latihan, bantuan
teknik dan petukaran informasi di antara negara-negara anggota mengenai tindakan
non-penahanan haruslah diperkuat, lewat lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk pencegahan kejahatan dan perlakukan terhadap pelaku kejahatan,
bekerjasama erat dengan Cabang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana dari
Pusat Perkembangan Sosial dan Unsuran Kemanusian Sekretariat Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
23.2. Studi-studi perbandingan dan keselarasan ketentuan-ketentuan legislatif
haruslah dilanjutkan untuk memperluas jangkuan dari pilihan-pilihan non-
kelembagaan memfasiliasi penerapannya melampaui perbatasan-perbatasan
nasional, sesuai dengan modal perjanjian tentang pengailihan pengawasan terhadap
para pelaku kejahatan yang dijatuhi hukuman bersyarat atau dibebaskan bersyarat.
top related