peraturan standar minimum untuk tindakan non penahanan

13
PERATURAN STANDAR MINIMUM UNTUK TINDAKAN NON-PENAHANAN (PERATURAN TOKYO) Disahkan oleh resolusi Majelis Umum 45/110 tanggal 14 Desember 1990 I. PRINSIP UMUM 1. Tujuan Dasar Peraturan Standar Minimum ini menetapkan seperakat prinsip dasar untuk memajukan penggunaan tindakan-tindakan non-penahanan, maupun pengamanan minimum bagi orang-orang yang dikenai tindakan alternatif terhadap pemanjaraan. Peraturan ini dimaksud untuk memajukan ketertiban masyarakat yang lebih besar dalam mengelolah pengadilan pidana, khususnya perlakuan terhadap pelaku kejahatan, maupun untuk memajukan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat diantara pelaku kejahatan. Peraturan itu akan dilaksanakan dengan memperhitungan kondisi Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya di setiap negara dan maksud serta tujuan dari sistem pengadilan pidananya. 1.4. Ketika melaksanakan peraturan itu, negara-negara Anggota akan berusaha memastikan suatu keseimbangan yang layak antara hak masing-masing pelaku kejahatan, hak dari para korban, dan kepedulian masyarakat akan keamanan umum dan pencegahan kejahatan. 1.5. Negara-negara Anggota akan mengembangkan tindak-tindakan non- penahanan dalam sistem hukum mereka untuk memberikan opsisi-opsisi lain, dan dengan demikian mengurangi penggunaan pemenjaraan, dan untuk merasionalkan kebijakan pengadilan pidana, dengan memperhitungan kepatuhan kepada Hak Asasi Manusia, kebutuhan akan keadilan sosial dan kebutuhan rehabilitasi dari pelaku kejahatan.

Upload: denny-septiviant

Post on 06-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Peraturan Standar Minimum Untuk Tindakan Non Penahanan

TRANSCRIPT

  • PERATURAN STANDAR MINIMUM

    UNTUK TINDAKAN NON-PENAHANAN

    (PERATURAN TOKYO)

    Disahkan oleh resolusi Majelis Umum 45/110 tanggal 14 Desember 1990

    I. PRINSIP UMUM

    1. Tujuan Dasar

    Peraturan Standar Minimum ini menetapkan seperakat prinsip dasar

    untuk memajukan penggunaan tindakan-tindakan non-penahanan, maupun

    pengamanan minimum bagi orang-orang yang dikenai tindakan alternatif terhadap

    pemanjaraan.

    Peraturan ini dimaksud untuk memajukan ketertiban masyarakat yang

    lebih besar dalam mengelolah pengadilan pidana, khususnya perlakuan terhadap

    pelaku kejahatan, maupun untuk memajukan rasa tanggung jawab terhadap

    masyarakat diantara pelaku kejahatan.

    Peraturan itu akan dilaksanakan dengan memperhitungan kondisi Politik,

    Ekonomi, Sosial dan Budaya di setiap negara dan maksud serta tujuan dari sistem

    pengadilan pidananya.

    1.4. Ketika melaksanakan peraturan itu, negara-negara Anggota akan berusaha

    memastikan suatu keseimbangan yang layak antara hak masing-masing pelaku

    kejahatan, hak dari para korban, dan kepedulian masyarakat akan keamanan umum

    dan pencegahan kejahatan.

    1.5. Negara-negara Anggota akan mengembangkan tindak-tindakan non-

    penahanan dalam sistem hukum mereka untuk memberikan opsisi-opsisi lain, dan

    dengan demikian mengurangi penggunaan pemenjaraan, dan untuk merasionalkan

    kebijakan pengadilan pidana, dengan memperhitungan kepatuhan kepada Hak Asasi

    Manusia, kebutuhan akan keadilan sosial dan kebutuhan rehabilitasi dari pelaku

    kejahatan.

  • 2. Ruang-Lingkup Tindakan non-penahanan

    2.1. Ketentuan-ketentuan yang relevan dari Peraturan ini berlaku bagi semua

    orang yang dikenai penuntutan, pengadilan atau pelaksanaan suatu hukum, pada

    setiap tahap pelaksanaan keadilan pidana. Untuk kepentingan Peraturan itu, orang-

    orang ini diacu sebagai pelaku kejahatan, tidak peduli apakah mereka dicurigai, dituduh atau dijatuhi hukuman.

    2.2. Peraturan itu berlaku tanpa suatu diskriminasi atas dasar ras, warna kulit,

    jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya, asal usul nasional atau

    sosial, kekayaan, status kelahiran atau lainnya.

    2.3. Untuk memberikan keluwesan lebih besar sesuai dengan sifat dan beratnya

    pelaku kejahatan, dengan kepribadian dan latar belakang dari orang yang melakukan

    kejahatan dan dengan perlidungan masyarakat serta untuk menghindari penggunaan

    pemenjaraan yang tidak perlu, sistem peradilan pidana harus memberikan tindakan

    non-penjaraan yang berjangkauan luas, dari pengaturan pra-pengadilan sampai

    pasca-hukuman. Jumlah dan jenis tindakan non-penahanan yang tersedia seharusnya

    ditetapkan sedemikian rupa sehingga penghukuman yang konsisten tetap

    dimungkinkan.

    2.4. Perkembangan dari tindakan-tindakan non-penahanan baru harus didorong

    dan dipantau dengan ketat dan penggunaannya dievaluasi secara sistematik.

    2.5. Pertimbangan akan diberikan untuk menangani para pelaku kejahatan dalam

    masyarakat sambil menghindari sejauh mungkin penggunaan tata cara formal atau

    persidangan oleh suatu pengadilan, sesuai dengan pengamanan hukum dan peraturan

    hukum.

    2.6. Tindakan non-penahanan seharusnya digunakan sesuai dengan prinsip

    intervensi minimum.

    2.7. Penggunaan tindakan non-penahanan seharusnya merupakan bagian dari

    gerakan kearah depenalisasi dan dekriminalisasi dan bukan mencampuri atau

    memperlambat usaha ke arah itu.

    3. Pengamanan Hukum

    3.1. Pengenalan, definisi dan penerapan tindakan non-penahanan harus

    ditetapkan oleh hukum.

    3.2. Seleksi mengenai suatu tindakan non-penahanan didasarkan pada suatu

    penilaian kreteria yang ada berkenanan dengan sifat maupun beratnya kejahatan,

  • kepribadian dan latar belakang pelaku kejahatan, maksud

    dijatuhkannya hukuman dan hak para korban.

    3.3. Kebijaksanaan oleh pengadilan atau badan idenpenden berwenang lainnya

    yang kompeten akan dilaksanakan pada suatu tahapan prosedur dengan memastikan

    pertanggungjawaban penuh dan hanya sesuai dengan aturan hukum.

    3.4. Tindakan non-penahanan yang menetapkan suatu kewajiban kepada pelaku

    kejahatan, yang diterapkan sebelum atau menggantikan pemeriksaan resmi atau

    sidang pengadilan, memerlukan persetujuan dari pelaku kejahatan.

    3.5. Keputusan tentang pemberlakukan tindakan non-penahanan tunduk pada

    peninjauan oleh pengadilan atau badan idenpenden lainnya yang kompeten,

    berdasarkan permohonan oleh pelaku kejahatan.

    3.6. Pelaku kejahatan berhak mengajukan suatu permohonan atau keluhan

    kepada pengadilan atau badan idenpenden berwenang lainnya yang kompeten

    mengenai masalah-masalah yang menyangku hak-hak pribadinya dalam

    pelaksanaan tindakan non-penahanan.

    3.7. Instrumen yang memadai disediakan untuk jalan lain dan, kalau mungkin,

    perbaikan dari suatu keluahan yang berkaitan dengan ketidak-patuhan dengan Hak

    Asasi Manusia yang diakui secara internasional.

    3.8. Tindakan non-penahanan tidak akan menyangkut percobaan medis atau

    psikologis atau resiko kerugian fisik atau mental yang tidak pada tempatnya,

    terhadap pelaku kejahatan.

    3.9. Martabat pelaku kejahatan yang berada dibawah tindakan non-penahanan

    dilindungi sepanjang waktu.

    3.10. Dalam melaksanan tindakan non-penahanan, hak pelaku kejahatan tidak

    boleh dibatasi lebih lanjut dari yang telah diberikan oleh badan berwenang yang

    kompeten yang mengubah keputusan asilnya.

    3.11. Dalam melaksanakan tindakan non-penahanan, hak privasi dari pelaku

    kejahatan akan dihormati, sebagaimana juga hak privasi dari keluarga pelaku

    kejahatan.

    3.12. Catatan pribadi pelaku kejahatan akan dirahasiakan dengan ketat dan

    tertutup terhadap pihak-pihak ketiga. Akses kepada catatan-catatan tersebut dibatasi

    kepada orang-orang yang secara langsung berkepentingan dengan menetapkan kasus

    pelaku kejahatan atau kepada orang-orang lain yang diberi wewenang dengan

    semestinya.

  • 4. Clausula Penyelamatan

    4.1. Tidak satupun dalam Peraturan ini akan ditafsirkan sebagai menghalangi

    penerapan Peraturan Standar Minimum untuk perlakuan terhadap Narapidana,

    Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pelaksanaan

    peradilan anak, Kumpulan Prinsip Bagi Perlindungan Semua Orang Dalam Segala

    Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan atau suatu instrumen dan Standar Hak Asasi

    Manusia lainnya yang diakui oleh masyarakat internasional dan yang berkaitan

    dengan perlakukan terhadap pelaku kejahatan serta perlindungan hak-hak asasi

    mereka.

    II TAHAP PRA-PERADILAN

    5. Penetapan Pra-Peradilan

    5.1. Bilamana patut dan sesuai dengan sistem hukum, polisi, badan penuntut

    atau badan lainnya yang mengenai kasus-kasus pidana harus diberi wewenang untuk

    memebebaskan orang yang melakukan kesalahan karena mereka menganggap

    bahwa tidaklah perlu melanjutkan kasus itu demi kepentingan melindungi

    masyarakat, pencegahan kejahatan atau dimajukannya penghormatan terhadap

    hukum dan hak para korban. Untuk keperluan memutuskan kelayakan untuk

    membebaskan atau penentuan acara kerja, seperangkat kreteria yang sudah

    ditetapkan akan dikembangkan dalam setiap sistem hukum. Untuk kasus-kasus

    ringan jaksa dapat menetapkan tindakan non-penahanan yang sesuai, sebagaimana

    layaknya.

    6. Dihindarinya penahanan pra-pengadilan

    6.1. Penahanan pra-pengadilan digunakan sebagai suatu sarana terakhir dalam

    acara kerja pidana, dengan memberi perhatian yang layak untuk penyelidikan

    terhadap pelaku kejahatan yang dinyatakan dan untuk perlindungan kepada

    masyarakat dan korban.

    6.2. Alternatif kepada penahanan pra-pengadilan akan digunakan pada tahap

    sedini mungkin, penahanan pra-pengadilan berlangsung tidak lebih lama ketimbang

    yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan berdasarkan

    peraturan 5.1. dan dilaksanakan secara manusiawi dan dengan menghormati

    martabat umat manusia yang hakiki.

  • 6.3. Pelaku kejahatan akan mempunyai hak untuk mengajukan

    banding kepada suatu otoritas pengadilan atau otoritas mandiri lain yang kompeten

    dalam kasus-kasus dimana penahanan pra-pengadilan digunakan.

    III. TAHAP PENGADILAN DAN DIJATUHKANNYA HUKUMAN

    7. Laporan penyelidikan masyarakat

    7.1. Kalau dimungkinkan dibuat laporan penyelidikan masyarakat, otoritas

    pengadilan dapat menarik manfaat dari suatu laporan yang dipersiapkan oleh

    seseorang atau suatu badan yang kompenten dan berwenang. Laporan itu haruslah

    berisi informasi masyarakat tentang pelaku kejahatan yang berkaitan dengan pola

    kejahatan dan pelaku kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini yang dilakukan orang

    tersebut, laporan itu juga harus menganggung informasi dan rekomendasi yang

    relevan dengan prosedur dijatuhakannya hukuman. Laporan itu haruslah aktual,

    obyektif dan tidak berkecenderungan, dengan suatu ungkapan pendapat yang

    diidentifikasi dengan jelas.

    8. Disposisi Pemberian Hukuman

    8.1. Pengadilan yang berwenang, yang mempunyai sederajat tindakan non-

    penahanan, dalam mengambil keputusan haruslah mempertimbangkan kebutuhan

    rehabilitasi dari pelaku kejahatan, perlindungan masyarakat dan kepentinga-

    kepentingan korban, yang seharusnya diajak berkonsultasi apabila perlu.

    8.2. Ototitas yang menjatuhi hukuman dapat menyelesaikan kasus-kasus

    dengan jalan berikut ini:

    a) Saksi lisan, seperti misalnya tegoran, mengomeli dan peringatan;

    b) Pembebasan bersyarat

    c) Hukuman status;

    d) Saksi ekonomi dan hukuman moneter, seperti misalnya denda dan denda-

    harian;

    e) Penyitaan atau suatu perintah mengambil alih;

  • f) Restitusi kepada korban atau suatu perintah kompensasi;

    g) Hukuman yang ditunda atau ditangguhkan;

    h) Percobaan dan supervisi pengadilan;

    i) Suatu perintah pelayanan masyarakat;

    j) Acuan kepada pusat perawatan;

    k) Tahanan rumah;

    l) Suatu cara lain dari perlakuan non-kelembagaan;

    m) Beberapa kombinasi dari tindakan-tindakan yang tercantum diatas.

    IV. TAHAP PASCA DIJATUHINYA HUKUMAN

    9. Disposisi Pasca dijatuhinya hukuman

    9.1. Otoritas yang kompeten akan mempunyai alternatif pasca pemberian

    hukuman yang luas untuk menghindari institusionalisasi dan untuk membantu

    pelaku kejahatan dalam integrasi mereka kembali secepatnya ke dalam mas,

    9.2. Disposisi pasca dijatuhinya hukuman dapat mencangkup :

    a)Cuti dan rumah persinggahan;

    b)Kerja atau pembebasan pendidikan;

    c)Berbagai bentuk pembebasan bermasyarakat;

    d)Remisi;

    e)Pengampunan.

    9.3. Keputusan tentang diposisi pasca pemberian hukuman, kecuali dalam hal

    pengampunan, tunduk pada peninjauan kembali oleh suatu otoritas pengadilan atau

    otoritas idenpenden lain yang kompeten atas permohonan pelaku kejahatan.

  • 9.4. Setiap bentuk pembebasan dari suatu lembaga ke suatu

    program tindakan non-penahanan akan dipertimbangkan secepat mungkin.

    V. PELAKSANAAN TINDAKAN NON-PENAHANAN

    10.Pengawasan

    10.1. Maksud pengawasan adalah untuk mengurangi pengurangannya kejahatan

    dan untuk membantu integrasi pelaku kejahatan ke dalam masyarakat dengan cara

    yang mengurangi kemungkinan kembalinya kejahatan.

    10.2. Kalau suatu tindakan non-penahanan mengakibatkan adanya pengawasan,

    maka pengawasan itu akan dilaksanakan oleh suatu otoritas yang kompeten

    dibawah syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.

    10.3. Dalam rangka suatu tindakan non-penahanan tertentu, jenis pengawasan

    dan perlakukan yang paling sesuai harus ditetapkan bagi setiap kasus yang

    tertujuan untuk membantu pelaku kejahatan untuk menimbulkan pengaruh pada

    kejahatan yang dilakukannya. Pengawasan dan perlakuan haruslah ditinjau secara

    berkala dan disesuaikan sepenuhnya.

    10.4. Pelaku kejahatan, apabila diperlukan seharusnya diberikan bantuan

    psikologi, sosial dan material dan dengan kesempatan untuk memperkuat kaitan-

    kaitan dengan masyarakat dan memudahkan integrasi mereka ke dalam

    masyarakat.

    11.Jangka waktu

    11.1. Lamanya suatu tindakan non-penahanan tidak melebihi jangka waktu

    yang ditetapkan oleh otoritas kompeten sesuai dengan undang-undang.

    11.2. Ketentuan dapat diambil untuk diakhirinya tindakan itu lebih awal kalau

    pelaku kejahatan telah memberikan tanggapan yang menguntungkan pada tindakan

    itu.

    12.Syarat-syarat

  • 12.1. Kalau pengusaha yang kompeten menetapkan syarat-syarat

    yang harus dipatuhi oleh pelaku kejahatan, maka otoritas itu seharusnya

    memperhitungkan kebutuhan masyarakat maupun kebutuhan dan hak pelaku

    kejahatan maupun korban.

    12.2. Syarat-syarat yang harus dipatuhi bersifat praktis, tepat dan sedikit

    mungkin, dan ditujukan untuk mengurangi kemungkinan si pelaku kejahatan

    terjerumus lagi ke perilaku pidana dan mengingkatkan kesempatan bagi pelaku

    kejahatan untuk berintegrasi dengan masyarakat, dengan memperhitungkan

    kebutuhan dari korban.

    12.3. Pada awal penerapan suatu tindakan non-penahanan, pelaku kejahatan

    akan menerima penjelasan secara lisan dan tertulis, mengenai syarat-syarat yang

    mengatur penerapan tindakan itu, termasuk kewajiban dan hak pelaku kejahatan.

    12.4. Syarat-syarat itu dapat dirubah oleh otoritas yang kompeten berdasarkan

    ketentuan-ketentuan menurut undang-undang yang berlaku, sesuai dengan

    kemajuan yang dicapai oleh pelaku kejahatan.

    13. Proses Perlakukan

    13.1. Dalam rangka suatu tindakan non-penahanan tertentu, pada kasus-kasus

    yang sesuai, berbagai program, seperti kerja kasus, terapi kelompok, program di

    tempat tinggal dan perlakukan khusus terhadap berbagai kategori pelaku kejahatan

    seharusnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan para pelaku kejahatan

    secara lebih efektif.

    13.2. Perlakukan harus dilakukan oleh para petugas profesional yang telah

    mendapat latihan yang sesuai dan mempunyai pengalaman praktis.

    13.3. Apabila dibutuskan bahwa perlakukan adalah perlu, usaha seharusnya

    dilakukan untuk memahami latar belakang, kepribadian, bakat, kecerdasaan, nilai

    pelaku kejahatan dan, secara khusus keadaan-keadaan yang menyebabkan

    dilakukannya kejahatan.

    13.4. Otoritas yang kompeten dapat melibatkan masyarakat dan sistem-sistem

    dukungan sosial dan merepkan tindakan non-penahanan.

    13.5. Pengusaha yang bermuatan kasus dipertahankan sejauh hal itu dapat

    dilakukan pada tingkat yang terkendali untuk memastikan pelaksanaan program-

    program perlakuan secara efektif.

    13.6. Untuk setiap pelaku kejahatan, suatu catatan kasus akan dibuat dan

    disimpan oleh otoritas yang kompeten.

  • 14.Disiplin dan Pelanggaran Syarat

    14.1. Pelanggaran terhadap suatu syarat yang seharusnya dipatuhi oleh pelaku

    kejahatan dapat mengakibatkan perubahan atau pencabutan tindakan non-

    penahanan.

    14.2. Perubahan atau pencabutan tindakan non-penahanan akan dilakukan oleh

    petugas yang kompeten, ini akan dilakukan hanya setelah suatu pemeriksaan yang

    teliti mengenai fakta-fakta yang dikemukakan baik oleh pejabat yang melakukan

    pengawasan maupun oleh pelaku kejahatan

    14.3. Kegagalan suatu tindakan non-penahanan seharusnya tidak secara

    otomatis menyebabkan diperlakukannya suatu tindakan penahanan.

    14.4. Dalam hal modifikasi atau pencabutan tindakan non-penahanan, otoritas

    yang kompeten akan berusaha menetapkan suatu tindakan non-penahanan

    alternatif yang sesuai. Hukuman penjara dapat dikenakan hanya dalam keadaan

    tidak adanya alternatif yang sesuai.

    14.5. Kekuasaan untuk menangkap dan menahan pelaku kejahatan dibawah

    pengawasan dalam kasus-kasus dimana terjadi pelanggaran kondisi akan

    ditetapkan dengan undang-undang.

    14.6. Tentang modifikasi atau pencabutan tindakan non-penahanan, pelaku

    kejahatan mempunyai hak untuk mengajukan banding kepada otoritas mandiri

    yang kompeten lainnya.

    IV. STAFF

    15.Rekrutmen

    15.1. Tidak akan ada diskriminasi dalam rekrutmen staff atas dasar ras, warna

    kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain,

    kebangsaan atau asal-usul sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

    Kebijakan mengenai rekrutmen staff seharusnya mempertimbangan kebijakan-

    kebijakan nasional mengenai tindakan penegasan dan mencerminkan

    keanekaragaman dari pelaku kejahatan yang hendak diawasi.

  • 15.2. Orang-orang yang ditunjuk untuk menerapkan tindakan non-

    penahanan haruslah secara pribadi sesuai dan, dimana mungkin, telah mendapat

    latihan profesional dan pengalaman praktis yang memadai. Kualifikasi tersebut

    harus dispesifikasi secara jelas.

    15.3. Untuk memastikan dan tetap menggunakan staff profesional yang

    memenuhi syarat, status pelayanan yang tepat, gaji yang memadai dan tunjungan

    yang sepadan dengan sifat pekerjaan harus dipastikan dan kesempatan haruslah

    disediakan bagi pertumbuhan profesional dan perkembangan karir.

    16.Latihan Staff

    16.1. Tujuan latihan haruslah memperjelas tanggungjawab bagi staff

    berkenanan dengan rehabilitasi pelaku kejahatan, memastikan hak pelaku

    kejahatan dan melindungi masyarakat. Latihan juga memberikan kepada staff suatu

    pemahaman mengenai kebutuhan untuk bekerjasama dan mengkooridnasikan

    kegiatan dengan instansi-instansi terkait.

    16.2. Sebelum memasuki tugas, staff haruslah diberi latihan yang mencakup

    petunjuk mengenai sifat dari tindakan non-penahanan, maksud pengawasan dan

    berbagai modalitas mengenai menerapkan tindakan non-penahanan.

    16.3. Setelah memasuki tugas, staff haruslah mempertahankan dan

    memperbaiki pengetahuan dan kapasitas profesional mereka dengan menghadiri

    latihan selama tugas dan kursus-kursus penyelenggara. Fasilitas yang memadai

    haruslah disediakan untuk keperluan tersebut.

    VII. RELAWAN DAN SUMBER DAYA MASYARAKAT LAINNYA

    17.Partisipasi masyarakat.

    17.1. Partisipasi masyarakat seharusnya didorong karena hal itu merupakan

    suatu sumber utama dan salah satu faktor yang paling penting dalam

    memperbaiki hubungan antara pelaku kejahatan yang menjalani tindakan non-

    penahanan dan keluarga serta masyarakat. Partisipasi masyarakat haruslah

    melengkapi usaha dari pelaksanaan peradilan pidana.

  • 17.2. Partisipasi masyarakat harulah dianggap sebagai suatu

    kesempatan bagi para anggota masyarakat untuk memberi sumbangan kepada

    perlindungan masyarakat mereka.

    18.Pemahaman dan Kerjasama masyarakat

    18.1. Instansi pemerintah, sektor swasta dan masyarakat umum seharusnya

    didorong untuk mendukung organisasi-organisasi sukarela yang memajukan

    tindakan-tindakan non-penahanan.

    18.2. Konferensi, seminar, simposium dan kegiatan-kegiatan lain seharusnya

    diselenggarakan secara teratur untuk memacu kesadaran mengenai kebutuhan akan

    partisipasi masyarakat dalam penerapan tindakan-tindakan non-penahanan.

    18.3. Semua bentuk media massa haruslah digunakan untuk membantu

    menciptakan suatu sikap masyarakat yang konstruktif, yang menuju kegiatan-

    kegiatan yang konduktif dengan menerapkan perlakuan non-penahanan yang lebih

    luas dan integrasi sosial dari para pelaku kejahatan.

    18.4. Setiap usaha haruslah diambil untuk memberi informasi kepada

    masyarakat mengenai arti penting dari peranannya dalam pelaksanaan tindakan-

    tindakan non-penahanan.

    19. Relawan

    19.1. Relawan seharusnya disaring dan d rekrut dengan teliti atas dasar bakat

    dan minat mereka dalam pekerjaan yang bersangkutan. Mereka akan dilatih dengan

    benar untuk tanggung jawab khusus yang hendak mereka pikul dan haruslah

    mempunyai akses kepada dukungan konseling dari, serta kesempatan untuk

    berkonsultasi dengan, otoritas yang berwenang.

    19.2. Para relawan seharusnya mendorong para pelaku kejahatan dan keluarga

    mereka untuk mengembanngkan hubungan-hubungan yang bermanfaat dengan

    masyarakat dan ruang-lingkup kontak yang lebih luas dengan menyediakan

    konseling dan bentuk-bentuk bantuan yang layak sesuai dengan kapasitas mereka

    dan kebutuhan para pelaku kejahatan.

    19.3. Para relawan haruslah diasuransikan terhadap kecelakaan, cedera dan

    pertanggungjawaban publik apabila melaksanakan tugas mereka. Mereka akan

    memperoleh pembayaran kembali atas pengeluarkan yang diberikan wewenang

    yang timbul selama mereka bekerja. Pengakuan publik seharusnya diberikan

  • kepada mereka atas pelayanan yang mereka berikan untuk

    kesejahteraan masyarakat.

    VIII. PENELITIAN, PERENCANAAN, FORMULASI KEBIJAKAN DAN

    EVALUASI

    20. Penelitian dan Perencanaan

    20.1. Sebagai suatu aspek terpenting dari proses perencanaan, seharusnya

    diupayakan untuk melibatkan masyarakat maupun badan-badan swasta dalam

    melaksanakan dan melakukan promosi penelitian mengenai perlakuan non-

    penahanan terhadap para pelaku kejahatan.

    20.2. Penelitian tentang masalah yang dihadapi para klien, praktisi, masyarakat

    dan pembuatan kebijakan haruslah dilaksanakan secara teratur.

    20.3. Mekanisme penelitian dan informasi seharusnya dimasukan kedalam

    sistem peradilan untuk koleksi dan analisis data dan statistik tentang pelaksanaan

    perlakuan non-penahanan bagi para pelaku kejahatan.

    21 Formulasi kebijakan dan perkembangan program

    21.1. Program bagi tindakan non-penahanan haruslah direncanakan dan

    dilaksanakan secara sistematis sebagai suatu bagian tak terpisahkan dari sistem

    peradilan pidana dalam rangka proses pembangunan nasional.

    21.2. Evaluasi secara teratur seharusnya diadakan dengan tujuan untuk

    melaksanakan tindakan non-penahanan secara lebih efektif.

    21.3. Tinjauan berkala seharusnya dilakukan untuk menilai tujuan, berfungsinya

    dan kedayagunaan tindakan-tindakan non-penahanan.

    22 Hubungan dengan instansi dan kegiatan terkait

    22.1 Mekanisme yang sesuai seharusnya dikembangkan diberbagai tindakan

    untuk menfasilitasi terbentuknya hubungan antara dinas-dinas yang

  • bertanggungjawab atas tindakan non-penahanan, cabang lain dari

    sistem peradilan pidana, perkembangan sosial dan instansi-instansi kesejahteraan,

    di bidang-bidang seperti kesehatan, perumahan, pendidikan, dan tenaga kerja, dan

    media massa.

    23 Kerjasama Internasional

    23.1. Seharusnya dilakukan usaha untuk memajukan kerjasama ilmiah antara

    negara-negara dibidang perlakuan non-kelembagaan. Penelitian, latihan, bantuan

    teknik dan petukaran informasi di antara negara-negara anggota mengenai tindakan

    non-penahanan haruslah diperkuat, lewat lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-

    Bangsa untuk pencegahan kejahatan dan perlakukan terhadap pelaku kejahatan,

    bekerjasama erat dengan Cabang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana dari

    Pusat Perkembangan Sosial dan Unsuran Kemanusian Sekretariat Perserikatan

    Bangsa-Bangsa.

    23.2. Studi-studi perbandingan dan keselarasan ketentuan-ketentuan legislatif

    haruslah dilanjutkan untuk memperluas jangkuan dari pilihan-pilihan non-

    kelembagaan memfasiliasi penerapannya melampaui perbatasan-perbatasan

    nasional, sesuai dengan modal perjanjian tentang pengailihan pengawasan terhadap

    para pelaku kejahatan yang dijatuhi hukuman bersyarat atau dibebaskan bersyarat.