pengolahan citra digital
Post on 13-Jul-2016
44 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA DIGITAL PEGINDERAAN JAUH
(GEP 640)
Tugas 5Topik: Klasifikasi dan Analisis Perubahan Wilayah Kota Semarang Tahun 2002 dan 2015
Menggunakan Citra Landsat 7 dan 8
Dibuat oleh:
MUHAMMAD MUHAIMIN
15/387554/PGE/08245
PROGRAM PASCASARJANA PENGINDERAAN JAUHFAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2015i
DAFTAR ISI
HalamanCover ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- i
Daftar Isi ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- ii
Daftar Tabel --------------------------------------------------------------------------------------------------------------- iii
Daftar Gambar ------------------------------------------------------------------------------------------------------------ ivBab I Pendahuluan ------------------------------------------------------------------------------------------------------- 1
1.1. Latar Belakang --------------------------------------------------------------------------------------------- 11.2. Tujuan Praktikum
------------------------------------------------------------------------------------------ 1
1.3. Alat dan Bahan Praktikum -------------------------------------------------------------------------------- 2
Bab II Tinjauan Pustaka ------------------------------------------------------------------------------------------------- 3Bab III Metodologi ------------------------------------------------------------------------------------------------------- 10
3.1. Langkah Kerja --------------------------------------------------------------------------------------------- 10
3.2. Cara Kerja -------------------------------------------------------------------------------------------------- 11
Bab IV Pembahasan ------------------------------------------------------------------------------------------------------ 15
Kesimpulan --------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 31
Daftar Pustaka ------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 32
ii
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 1 Luas Wilayah Kota Semarang 3
Tabel 2 Pertimbangan pemilihan kelas pada klasifikasi Landsat 7 tahun 2002 dan Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah
18
Tabel 3 Perubahan area Pada Citra Landsat 7 Tahun 2002 dan Landsat 8 Tahun 2015 Wilayah Jawa Tengah
30
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Model kurva bimodal yang menggunakan dua objek dengan nilai spektral yang bertampalan (sumber: Swain dan Davis, 1978) 6
Gambar 2
Prinsip klasifikasi multispetral. Histogram setiap saluran menunjukkan kecenderungan yang berbeda dalam merepresentasikan pertampalan nilai piksel-pikselnya. Satu kurva yang seharusnya mewakili satu objek bias merupakan perwujudan dua objek atau lebih karena kesamaan respon spektral penggunaan seluruh saluran dalam koordinat kartesius (x, y dan z) mempermudah pembedaan gugus-gugus piksel (Danoedoro P., 2012).
7
Gambar 3 Konsep klasifikasi Maximum Likelihood (Gabriel, 2005) 9
Gambar 4 Diagram alir proses klasifikasi secara terselia (supervised classification) (Gao, 2010) 10
Gambar 5 Tampilan ROI Tool 12Gambar 6 Maximum Likelihood Parameters 14
Gambar 7 Hasil klasifikasi supervised Landsat 7 tahun 2002 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah dengan metode Maximum Likelihood 15
Gambar 8 Hasil klasifikasi supervised Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah dengan metode Maximum Likelihood 16
Gambar 9 Citra Landsat 7 tahun 2002 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah komposit standar False Color 19
Gambar 10 Citra Landsat 7 tahun 2002 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah hasil klasifikasi supervised menggunakan metode Maximum Likelihood 19
Gambar 11 Citra Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah komposit standar False Color 20
Gambar 12 Citra Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah hasil klasifikasi supervised menggunakan metode Maximum Likelihood 20
Gambar 13 n–D Visualiser klasifikasi citra Landsat 7 tahun 2002 wilayah Semarang 21Gambar 14 n–D Visualiser klasifikasi citra Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang 22
Gambar 15 Komparasi dua citra yang wilayahnya sama (Semarang) dengan rentang waktu dari tahun 2002 sampai 2015 25
Gambar 16 Hasil Change Detection Perairan Dalam 26Gambar 17 Hasil Change Detection Perairan Dangkal 26Gambar 18 Hasil Change Detection Lahan Terbuka 27Gambar 19 Hasil Change Detection Lahan Terbangun 27Gambar 20 Hasil Change Detection Vegetasi Kerapatan Tinggi 28Gambar 21 Hasil Change Detection Vegetasi Kerapatan Rendah 28Gambar 22
iv
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang telah
dilaksanakan akan berpengaruh cukup besar terhadap perubahan tatanan lingkungan berupa
menurunnya kualitas lingkungan, degradasi lingkungan/ kerusakan lingkungan serta
berkurangnya sumberdaya alam atau perubahan tata guna lahan. Kerja praktek ini berjudul
“Klasifikasi dan Analisis Perubahan Wilayah Kota Semarang Tahun 2002 dan 2015
Menggunakan Citra Landsat 7 dan 8. Pelaksanaan analisis perubahan penutup lahan
dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh (inderaja). Identifikasi peta perubahan
penutup lahan dilakukan dengan menggunakan citra Landsat 7 tahun 2002 dan citra
Landsat 8 tahun 2015. Metode Maximum Likelihood Classification (Supervised
Classification) merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Proses melakukan
klasifikasi menggunakan software Envi 5.1
1.2. Tujuan Praktikum dan Manfaat Praktikum
Tujuan dan manfaat dalam praktikum Pengolahan dan Analisis Citra Digital
Penginderaan Jauh tentang klasifikasi dan Analisis Perubahan Wilayah Kota Semarang
Tahun 2002 dan 2015 Menggunakan Citra Landsat 7 dan 8 ini antara lain:
a. Tujuan dari kerja praktek ini adalah
1) Memahami konsep Land Cover dan Land Use2) Mengerti dan memahami langkah-langkah dalam proses menganalisis
perubahan Land Use/ Land Cover menggunakan citra satelit b. Manfaat kerja praktek ini adalah
1) Mengetahui perubahan tutupan lahan daerah Kota Semarang dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2015
2) Mengerti dan memahami langkah dalam melakukan proses klasifikasi terbimbing pada suatu citra
1
1.3. Alat dan Bahan PraktikumAlat dan bahan yang dibutuhkan dalam praktikum Pengolahan dan Analisis
Citra Digital Penginderaan Jauh tentang klasifikasi dan Analisis Perubahan Wilayah Kota Semarang Tahun 2002 dan 2015 Menggunakan Citra Landsat 7 dan 8 ini antara lain:a. PC ASUS X555b. Printer dan Kertas A4c. Citra Landsat 7 (pada tahun 2002) dan 8 (pada tahun 2015) wilayah Kota
Semarang d. Software ENVI 5.1e. Acrgis 10.2
2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Kota Semarang
Luas Kota Semarang adalah 373,70 Km2. Secara administratif Kota Semarang terbagi menjadi 16
Kecamatan dan 177 Kelurahan dari 16 Kecamatan yang ada, terdapat 2 Kecamatan yang mempunyai wilayah
terluas yaitu Kecamatan Mijen, dengan luas wilayah 57,55 Km2 dan Kecamatan Gunungpati, dengan luas
wilayah 54,11 Km2. Kedua kecamatan terletak di bagian selatan yang merupakan wilayah perbukitan yang
sebagian besar wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan perkebunan, sedangkan kecamatan yang
mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan Semarang Selatan, dengan luas wilayah 5,93 Km2 dan
Kecamatan Semarang Tengah, dengan luas wilayah 6,14 Km2 (Peraturan Walikota Semarang, 2014 dan
Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2012).
Tabel 1. Luas Wilayah Kota SemarangNo Kecamatan Jumlah Kelurahan Luas (Km2)1 Mijen 14 57,552 Gunungpati 16 54,113 Banyumanik 11 25,694 Gajahmungkur 8 9,075 Semarang Selatan 10 5,936 Candisari 7 6,547 Tembalang 12 44,208 Pedurungan 12 20,729 Genuk 13 27,3910 Gayamsari 7 6,1811 Semarang Timur 10 7,7012 Semarang Utara 9 10,9713 Semarang Tengah 15 6,1414 Semarang Barat 16 21,7415 Tugu 7 31,7816 Ngaliyan 10 37,99
Total 177 373,70Sumber: Semarang Dalam Angka 2012. BPS Kota Semarang
Batas wilayah administratif Kota Semarang sebelah barat adalah Kabupaten Kendal, sebelah timur
dengan Kabupaten Demak, sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang dan sebelah utara dibatasi oleh Laut
Jawa dengan panjang garis pantai mencapai 13,6 kilometer. Letak dan kondisi geografis, Kota Semarang
memiliki posisi astronomi di antara garis 6o50’ – 7o10’ Lintang Selatan dan garis 109 o35’ – 110 o50’ Bujur
Timur. Kota Semarang memiliki posisi geostrategis karena berada pada jalur lalu lintas ekonomi pulau Jawa
dan merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang yaitu 3
koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang
dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/ Grobogan dan Barat
menuju Kabupaten Kendal. Perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Semarang sangat berperan
terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur kereta api dan jalan) serta transport udara
yang merupakan potensi bagi simpul transportasi Regional Jawa Tengah dan Kota Transit Regional Jawa
Tengah (Peraturan Walikota Semarang, 2014 dan Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2012).
Perkembangan Kota Semarang berkembang menjadi kota yang memfokuskan pada perdagangan dan
jasa. Berdasarkan lokasinya, kawasan perdagangan dan jasa di Kota Semarang terletak menyebar dan pada
umumnya berada di sepanjang jalan-jalan utama. Kawasan perdagangan modern, terutama terdapat di
Kawasan Simpanglima yang merupakan urat nadi perekonomian Kota Semarang. Kawasan itu terdapat tiga
pusat perbelanjaan, yaitu Matahari, Living Plaza (ex-Ramayana) dan Mall Ciputra, serta PKL-PKL yang
berada di sepanjang trotoar. Kawasan perdagangan jasa terdapat di sepanjang Jl. Pandanaran dengan adanya
kawasan pusat oleh-oleh khas Semarang dan pertokoan lainnya serta di sepanjang Jl. Gajahmada. Kawasan
perdagangan jasa dapat dijumpai di Jl. Pemuda dengan adanya DP mall, Paragon City dan Sri Ratu serta
kawasan perkantoran. Kawasan perdagangan terdapat di sepanjang Jl. MT Haryono dengan adanya Java
Supermall, Sri Ratu, ruko dan pertokoan. Kawasan jasa dan perkantoran dapat dijumpai di sepanjang Jl.
Pahlawan dengan adanya kantor-kantor dan bank-bank. Pasar-pasar tradisional seperti Pasar Johar di
kawasan Kota Lama semakin menambah aktivitas perdagangan di Kota Semarang (Peraturan Walikota
Semarang, 2014 dan Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2012).
Penggunaan lahan di Kota Semarang meliputi penggunaan lahan sawah, lahan non sawah dan lahan
kering. Penggunaan lahan sawah terdiri dari irigasi teknis (198 Km2), setengah teknis (530 Km2), irigasi
sederhana/ irigasi desa/ non PU (45 Km2), tadah hujan (2,031 Km2), dan yang tidak diusahakan (267 Km2).
Penggunaan lahan sawah dan lahan non sawah meliputi lahan pekarangan (38%), ladang (21%), tegalan
(14%), lainnya (11%), perkebunan (5%), tambak dan kayu-kayuan (4%), padang rumput (2%), tidak
diusahakan (1%). Sedangkan lahan kering meliputi pekarangan dan bangunan (42%), padang gembala (5%),
tambak/ rawa, tegalan dan kebun (27%), tambak/kolam, lainnya/ tanah kering (26%). Penggunaan lahan,
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah, rencana pola pemanfaatan ruang meliputi: Kawasan lindung yakni kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam
dan sumberdaya buatan dan Kawasan Budidaya yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
4
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya
buatan (Peraturan Walikota Semarang, 2014 dan Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2012).
2.2. Klasifikasi Citra
Asumsi paling awal dalam klasifikasi multispektral adalah bahwa setiap objek dapat dibedakan dari
yang lain berdasarkan nilai spektralnya. Klasifikasi multispektral mengasumsikan:
a) resolusi spasial tinggi, di mana setiap piksel merupakun piksel murni yang tersusun atas satu macam
objek penutup lahan,
b) piksel-piksel yang menyusun satu jenis penutup lahan mempunyai kesamaan spektral,
c) setiap penutup lahan yang berbeda juga mempunyai perbedaan spektral yang signifikan
Fakta yang diperoleh melalui penelitian eksperimental menunjukkan bahwa setiap objek cenderung
memberikan pola respons spektral yang spesifik. Semakin sempit dan banyak saluran yang digunakan,
semakin teliti hasil klasifikasi multispektral. Seperti halnya operasi lain dalam pengolahan Citra, klasifikasi
multispektral membutuhkan informasi statistik citra setiap saluran. Semakin banyak informasi statistik yang
dibutuhkan, semakin rumit algoritmanya dan semakin lama proses eksekusi klasifikasinya. Algoritma yang
lebih rumit akan memberikan hasil yang lebih teliti (Danoedoro P., 2012).
Mempermudah pemahaman konsep mengenai klasifikasi multispektral, sebagai contoh berikut.
Misalkan ada suatu kelompok yang terdiri atas 26 mahasiswa dalam kelas, dimana masing-masing
mahasiswa bernama A, B, C, D, Z. Kelompok mahasiswa ini dapat dikelompokkan lagi menjadi grup-grup
yang lebih kecil berdasarkan kriteria tertentu. Apabila pengelompokan itu atas dasar umur (misalnya <20
tahun, 20-23 tahun, 23-26 tahun, >26 tahun) maka setiap grup hanya terisi oleh beberapa anggota, bisa jadi
A, B, dan C mengelompok menjadi satu pada grup <26 tahun. Apabila kriteria berat badan yang digunakan,
ada kemungkinan A dan F mengelompok menjadi satu, sedangkan B, C, G dan X masuk ke grup yang lain.
Begitu seterusnya sehingga apabila kriteria lain yang diterapkan, para mahasiswa terkelompokkan dengan
cara yang berbeda. Apabila beberapa macam kriteria diterapkan sekaligus maka pengelompokan akhir
dihasilkan, dimana setiap grup terdiri atas anggota yang benar-benar sejenis ditinjau dari berbagai kriteria itu
(Danoedoro P., 2012).
Contoh di atas dapat diterapkan pada sistem multispektral, di mana suatu wilayah terekam pada
beberapa saluran spektral sekaligus. Apabila masing-masing saluran dievaluasi histogramnya maka setiap
histogram bersifat multimodal, yang merupakan gabungan dari berbagai objek pada wilayah itu dan masing-
5
masing objek membentuk kurva normal. "Pemotongan" (slicing) histogram setiap saluran berdasarkan
interval-interval nilai piksel akan menghasilkan beberapa kelas objek. Jumlah kelas objek yang terbentuk dan
jenis objek yang termasuk anggota (kalau beberapa objek mempunyai nilai piksel sama) pada setiap interval
tidak sama pada semua saluran. Penggunaan nilai spektral pada beberapa saluran sekaligus dapat membantu
pengelompokan objek secara lebih baik. Nilai piksel pada berbagai saluran itu menggantikan kriteria umur,
berat badan dan kriteria lainnya pada contoh di atas (Danoedoro P., 2012).
Pada Gambar 1 menyajikan kurva bimodal. Objek homogen cenderung membentuk satu kurva
normal. Gambar itu menyajikan dua objek yang mempunyai pertampalan (overlap) nilai spektral. Pada
gambar itu terlihat bahwa ada bagian kurva yang murni milik objek A, murni milik objek B dan bagian
pertampalan, yaitu A yang diinterpretasikan sebagai B atau justru sebaliknya. Melalui teknik pemilahan
tingkat kecerahan A dan B dapat dipilah (dan diberi warna yang berbeda) dengan cara tepat membagi kedua
kurva pada perpotongan keduanya. Dapat dilakukan dengan mengambil wilayah yang murni A atau yang
murni B dan 'menyerahkan' sisanya kepada kelas yang lain (kelas 'peralihan', misalnya). Masalah-masalah
seperti inilah yang umum dijumpai pada klasifikasi multispektral. Pada kenyataannya, kurva histogram objek
tidak bimodal, melainkan multimodal. Begitu banyak objek dengan nilai spektral yang bermacam-macam.
Satu sama lain saling bertampalan, bahkan kadang-kadang berimpit. Hanya saja, susunan pertampalan dan
perimpitan mereka berbeda dari satu saluran ke saluran lain (Danoedoro P., 2012).
Gambar 1. Model kurva bimodal yang menggunakan dua objek dengan nilai spektral yang bertampalan (sumber: Swain dan Davis, 1978)
Cara kerja algoritma klasifikasi multispetral pada prinsipnya adalah menandai setiap jenis objek
hingga terlihat berbeda satu dari yang lain. Berdasarkan ciri-ciri nilai spektralnya sekaligus pada beberapa
saluran. Melalui feature space, pengelompokan objek ini dapat dilihat secara visual. Cara kerja algoritma
klasifikasi adalah menerjemahkan kenampakan visual menjadi parameter-parameter statistik yang dimengerti
oleh komputer dan kemudian diekskusi (Danoedoro P., 2012).
6
Gambar 2. Prinsip klasifikasi multispetral. Histogram setiap saluran menunjukkan kecenderungan yang berbeda dalam merepresentasikan pertampalan nilai piksel-pikselnya. Satu kurva yang seharusnya mewakili satu objek bias merupakan perwujudan dua objek atau lebih karena kesamaan respon spektral penggunaan seluruh saluran dalam koordinat kartesius (x, y dan z) mempermudah pembedaan gugus-gugus piksel (Danoedoro P., 2012).
Secara ringkas, algoritma klasifikasi sederhana memuat langkah-langkah sebagai berikut.
a) menentukan nilai spektral representatif setiap objek dengan cara sampling. Nilai rerata setiap sampel akan dijadikan pegangan untuk pengenalan objek,
b) menempatkan nilai representatif objek (sampel) pada diagram multidimensional,c) menentukan batas toleransi berupa jarak spektral dari nilai representatif. Artinya, vektor piksel yang
terhitung pada posisi di luar jarak ini akan dikelaskan sebagai bukan objek yang dimaksud,d) pengambilan keputusan berupa penghitungan seluruh nilai piksel dan memasukkan ke kelas yang
tersedia, selama mereka lebih pendek atau sama dengan jarak toleransi masing-masing objek dan mengkelaskan. Sebagai 'tak terklasifikasi' selama mereka tidak masuk kelas manapun. Piksel yang bersangkutan akan ditandai sebagai kelas A, apabila jarak spektral piksel adalah yang terdekat dibandingkan jarak spektral ke kelas lain.
Klasifikasi citra merupakan proses pengelompokan piksel pada suatu citra ke dalam sejumlah class
(kelas), sehingga setiap kelas dapat menggambarkan suatu entitas dengan ciri-ciri tertentu. Klasifikasi citra
bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau peta tematik yang berisikan bagian-bagian yang menyatakan
suatu obyek atau tema, dimana suatu warna mewakili suatu objek tertentu. Contoh objek yang berkaitan
dengan permukaan bumi antara lain air, hutan, sawah, kota, jalan, dan lain-lain. Sedangkan pada citra satelit
meteorologi, proses klasifikasi dapat menghasilkan peta awan yang memperlihatkan distribusi awan di atas
7
suatu wilayah setiap obyek pada gambar memiliki simbol yang unik yang dapat dinyatakan dengan warna
atau pola tertentu. Klasifikasi citra, pada awalnya dimulai dengan interpretasi visual atau interpretasi citra
secara manual untuk mengidentifikasi kelompok piksel yang homogen yang mewakili beragam bentuk atau
kelas liputan lahan yang diinginkan. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Mukhaiyar R., 2010, Richards J. A., 1986 dan
Arifin A. Z., 2001-2002).
Secara umum, algoritma klasifikasi dapat dibagi menjadi supervised (terawasi) dan unsupervised (tak
terawasi). Pemilihannya bergantung pada ketersediaan data awal pada citra itu. Analisa cluster merupakan
suatu bentuk pengenalan pola yang berkaitan dengan pembelajaran secara unsupervised, dimana jumlah pola
kelas tidak diketahui. Proses clustering melakukan pembagian data set dengan mengelompokkan seluruh
piksel pada feature space (ruang ciri) ke dalam sejumlah cluster secara alami (Richards J. A., 1986 dan
Arifin A. Z., 2001-2002).
Metode supervised mengharuskan adanya training set, tetapi training set untuk setiap kelas ini sering
belum diketahui. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya menentukan jumlah kelas yang sebenarnya terdapat
pada citra itu disamping kesulitan untuk mencari lokasi-lokasi mana yang dapat dianggap paling
mewakilinya. Fenomena ini mendorong para peneliti dalam bidang pengenalan pola (pattern recognition)
untuk terus berusaha menghasilkan algoritma yang mampu mendeteksi jumlah cluster ini secara otomatis
(James, et al. 2000 dan Arifin A. Z., 2001 dan 2002).
2.3. Klasifikasi Maximum Likelihood
Klasifikasi maksimum likelihood (klasifikasi kemungkinan maksimum) merupakan klasifikasi
terbimbing secara parametik paling populer saat ini untuk klasifikasi penutup/ penggunaan lahan dengan data
satelit inderaja (Mukhaiyar R., 2010). Pengkelas kemiripan maksimum (maximum likelihood) mengevaluasi
secara kuantitatif varian atau korelasi pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi piksel yang
tidak dikenal. Melakukan hal ini, dibuat suatu asumsi bahwa agihan mega titiknya yang membentuk data
latihan kategori bersifat normal (agihan normal). Asumsi normalitasnya wajar bagi agihan spektral yang
lazim. Agihan suatu pola tanggapan kategori dapat diuraikan secara lengkap dengan vektor rerata dan
kovarian matrik (yang memberikan varian dan koreksi). Diketahuinya parameter ini, dapat menghitung
probabilitas statistik suatu nilai piksel tertentu sebagai suatu warga kelas kategori tutupan lahan tertentu.
Konsep klasifikasi maximum likelihood ditampilkan pada Gambar 3. Likelihood Lk didefinisikan sebagai
kemungkinan sebuah pixel masuk kelas k (Arhatin, 2007)
8
Lk = P(k/X) = P(k)*(X/k) iƩP(i)*P(X/i)
Keterangan:
P(k) : prior probability pada kelas kP(X/k) : probability density function nilai x dari kelas k
Pada kasus data terdistribusi normal, metode maximum likelihood dapat dirumuskan sebgai berikut:
Keterangan:
n : jumlah kanalX : nilai pixel pada sejumlah kanalLk(X) : kemungkinan X masuk ke kelas kµk : mean faktor pada kelas kƩk : variance-covariance matrix pada kelas kǀƩkǀ : determinan pada Ʃkt : transpose matrix
Gambar 3. Konsep klasifikasi Maximum Likelihood (Gabriel, 2005)
9
BAB IIIMETODOLOGI
3.1. Langkah Kerja
Langkah kerja yang dilakukan sebagai berikut :
Gambar 4. Diagram alir proses klasifikasi secara terselia (supervised classification) (Gao, 2010)
10
3.2. Cara Kerja
Klasifikasi Supervised digunakan untuk mengelompokkan piksel dalam data set menjadi
kelas-kelas yang berkorespondensi dengan kelas training yang telah didefinisikan oleh
pengguna. Kelas training merupakan grup-grup piksel (ROIs = Regions of Interest) atau spektral
individual. Memilih kelas sebagai area yang representatif atau materi-materi yang ingin
dipetakan sebagai output. ROIs sebaiknya homogen. Separability dari ROIs dapat diuji dengan
mengekspor ke n-D Visualizer dan melihat distribusi dari titik-titik dalam setiap ROI
(seharusnya mengelompok dan rapat) dan melihat overlap antara kelas (seharusnya tidak
overlap).
Instruksi lebih detil dapat dilihat pada Exporting ROIs to the n-D Visualizer. Hasil dari
nilai separability antara pasangan ROI dapat dilihat pada Computing ROI Separability. Teknik
klasifikasi supervised (terbimbing) termasuk Parallelepiped, Minimum Distance, Mahalanobis
Distance, Maximum Likelihood, Spectral Angle Mapper (SAM) dan Binary Encoding, serta
termasuk Neural Net.
Langkah-langkah klasifikasi Supervised:
1. Menetapkan Region of Interest (ROI)
Regions of interest (ROIs) merupakan bagian dari citra, area grafis yang dipilih atau
dengan cara lain seperti thresholding. Regions dapat berupa bentuk irregular dan secara khusus
digunakan untuk ekstraksi statistic untuk klasifikasi, masking dan operasi lainnya. ENVI
mengijinkan untuk memilih kombinasi dari poligon, titik atau vektor sebagai sebuah region of
interest. Multiple region of interest dapat ditetapkan dan digambarkan pada jendela Image,
Scroll atau Zoom. Regions of interest dapat dikembangkan dari pixel yang berdekatan yang
masuk dalam nilai threshold pada pixel tertentu.
11
a. Memilih dari salah satu berikut ini: • menu pada Image Window, tambahkan ROIs dengan memilih Overlay
Region of Interest or Tools Region of Interest ROI Tool • buat group tampilan citra dimana akan ditambahkan ROIs dan memilih Basic
Tools Region of Interest ROI Tool dari menu bar utama ENVI. c. Dialog ROI Tool muncul.
Gambar 5. Tampilan ROI Tool
c. Memilih dan tetapkan, apakah ROI akan ditempatkan pada Image Window, Scroll Window, atau Zoom Window. Pada dialog ROI Tool pilih toggle button Image, Scroll, atau Zoom. Meng-off-kan pemilihan ROI pilih toggle button Off.
d. Gambarlah ROIs sebagai training area. Berikut ini tipe ROI yang tersedia dalam ENVI: • Polygon • Polyline • Point • Rectangle • Ellipse • Multi-Part (donut)
2. Menguji ROI dengan n-D Visualizer
Gunakan Export ROIs to n-D Visualizer untuk mengekspor ROI terpilih, sehingga
dapat dilihat distribusi titik-titik dalam ROIs dan antar ROIs. Pilihan ini sangat berguna untuk
mengetahui separability kelas-kelas dimana ROIs digunakan sebagai masukan klasifikasi
supervised.
a. Memilih satu dari langkah berikut ini: • pada dialog ROI Tools, memilih File Export ROIs to n-D Visualizer. • dari menu bar utama ENVI, pilih Basic Tools Regions of Interest
Export ROIs to n-D Visualizer. 12
b. Ketika dialog Select Input Data File muncul, pilih input file yang berasosiasi dengan ROIs dan klik OK. Dialog n-D Visualizer Input ROIs muncul.
c. Memilih ROI yang akan diekspor dengan klik pada nama ROI. Memilih semua ROIs, klik Select All Items.
d. Klik OK. Jendela n-D Visualizer dan dialog n-D Controls muncul. e. Klik pada nomor saluran untuk memilih saluran yang diinginkan. f. Klik Start. Piksel-piksel pada ROIs terpilih akan muncul pada jendela n-D
Visualizer dengan warna yang sama dengan ROIs. g. Memilih Options Export Class or Export All untuk mengekspor kembali piksel-
piksel berwarna pada dialog ROI Tool sehingga dapat diimpor kedalam klasifikasi.
3. Menghitung separability ROI
Pilihan Compute ROI Separability akan menghitung spectral separability antara
pasangan ROI terpilih untuk input file yang diberikan. Laporan separability yang akan
dihasilkan adalah separability Jeffries-Matusita. Nilai tersebut mempunyai rentang dari 0
sampai dengan 2 dan mengindikasikan sebaik apa pasangan ROI terpilih terpisahkan secara
statistik. Nilai lebih dari 1,9 mengindikasikan bahwa pasangan ROI mempunyai separability
yang baik. Pasangan ROI dengan nilai separability lebih rendah, sebaiknya diubah separability
dengan mengedit ROIs atau memilih ROIs baru. Pasangan ROI dengan nilai separability yang
sangat rendah (kurang dari 1), sebaiknya digabungkan dalam satu ROI.
a. Memilih salah satu berikut ini :• pada dialog ROI Tools, pilih Options Compute ROI Separability, atau • dari menu bar Image Window, pilih Tools Regions of Interest Compute
ROI Separability. • dari menu bar utama ENVI, pilih Basic Tools Region of Interest Compute
ROI Separability. b. Ketika dilog pemilihan file muncul, pilih input file dan melakukan spectral
subsetting jika diperlukan. c. Pada dialog, memilih ROIs untuk perhitungan separability. d. Klik OK. Separability dihitung dan dilaporkan dalam dialog report. Nilai Jeffries-
Matusita dilaporkan setiap pasangan ROI. Pada bagian akhir laporan menunjukkan nilai separability pasangan ROI dari yang paling rendah separability-nya sampai dengan yang paling tinggi separability-nya.
13
4. Melakukan proses klasifikasi a. Menetapkan kelas training menggunakan dialog Region of Interest atau
Endmember Collection. b. Memilih Classification Supervised metode yang diinginkan. c. Ketika dialog Classification Input File muncul, memilih input file dan subsetting
atau masking (jika diperlukan). Dialog Classification Parameter muncul. Variasi pilihan dialog tergantung pada jenis klasifikasi apa yang dipilih.
Gambar 6. Maximum Likelihood Parameters
14
BAB IVPEMBAHASAN
Klasifikasi supervised Landsat 7 tahun 2002 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah
Setelah melakukan proses klasifikasi supervised dengan metode Maximum Likelihood
diperoleh hasil klasifikasi yang disajikan pada Gambar
LEGENDA
PERAIRAN DALAMPERAIRAN DANGKAL
LAHAN TERBUKALAHAN TERBANGUN
VEGETASI KERAPATAN TINGGIVEGETASI KERAPATAN
RENDAHGambar 7. Hasil klasifikasi supervised Landsat 7 tahun 2002 wilayah Semarang Provinsi Jawa
Tengah dengan metode Maximum Likelihood
Pada klasifikasi ini dibagi menjadi 6 kelas yaitu: Perairan dalam, Perairan dangkal, Lahan
terbuka, Lahan terbangun, Vegetasi kerapatan tinggi dan Vegetasi kerapatan rendah
15
Klasifikasi supervised Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah
Setelah melakukan proses klasifikasi supervised dengan metode Maximum Likelihood
diperoleh hasil klasifikasi yang disajikan pada Gambar
LEGENDA
PERAIRAN DALAMPERAIRAN DANGKAL
LAHAN TERBUKALAHAN TERBANGUN
VEGETASI KERAPATAN TINGGIVEGETASI KERAPATAN
RENDAHGambar 8. Hasil klasifikasi supervised Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang Provinsi Jawa
Tengah dengan metode Maximum Likelihood
Pada klasifikasi ini dibagi menjadi 6 kelas yaitu: Perairan dalam, Perairan dangkal, Lahan
terbuka, Lahan terbangun, Vegetasi kerapatan tinggi dan Vegetasi kerapatan rendah
16
Pertimbangan Pemilihan Kelas
Secara umum pertimbangan dalam pemilihan kelas untuk klasifikasi supervised
berdasarkan hasil kenampakan tutupan lahan citra landsat 7 dan 8 dengan komposit band standar
false color. Selain itu pemilihan kelas berdasarkan kenampakan tutupan lahan di citra.
Pertimbangan pemilihan kelas di tiap klasifikasi yaitu:
1. Resolusi spasial landsat yang rendah sehingga setiap piksel banyak yang tergeneralisasi dengan objek lain sehingga pemberian kelas kategori klasifikasi bersifat umum tidak spesifik
2. Variasi objek yang terekam pada citra
Pada klasifikasi supervised menggunakan Landsat 7 tahun 2002 dan Landsat 8 tahun
2015 pada wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah, pertama kali proses klasifikasi membagi
menjadi 6 kategori yaitu perairan dalam, perairan dangkal, lahan terbuka, lahan terbangun,
vegetasi kerapatan tinggi dan vegetasi kerapatan rendah. Pada proses peng-klasifikasi interpreter
menggunakan citra komposit standar false color.
17
Tabel 2. Pertimbangan pemilihan kelas pada klasifikasi Landsat 7 tahun 2002 dan Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah
No Nama Kelas Warna Pertimbangan Pemilihan kelas
1 PERAIRAN DALAM
Pada kelas perairan dalam ini yang termasuk didalamnya adalah laut dalam, hal ini dikarenakan kenampakan objek perairan dalam pada citra terlihat biru tua dan terletak jauh dari daratan (asosiasi, semakin jauh dari daratan kedalaman laut bertambah dan material suspensi sedikit).
2 PERAIRAN DANGKAL
Pada kelas peairan dangkal dalam hal ini yang termasuk didalamnya adalah laut dangkal, perairan dekat pantai, sungai dan tambak, hal ini dikarenakan kenampakan objek perairan dangkal pada citra terlihat biru muda dan terletak dekat dengan daratan sedangkan tambak terlihat bentuknya kotak-kotak (asosia, semakin dekat dengan daratan maka laut semakin dangkal dan material suspensi semakin banyak)
3 LAHAN TERBUKA
Meskipun area lahan kosong tidak banyak, namun kenampakannya sangat jelas. Sehingga mudah diinterpretasi dan masuk dalam kelas klasifikasi.
4 LAHAN TERBANGUN
Kelas lahan terbangun mayoritas terdapat di pinggir laut dan beberapa di tengah, sehingga kelas lahan terbangun ini dipertimbangkan untuk menjadi satu kelas. Kategori dari lahan terbangun terdiri dari perumahan, industri dan jalan
5VEGETASI
KERAPATAN TINGGI
Pada daerah Semarang terdapat area vegetasi kerapatan tinggi, meski tidak mendominasi. Cukup sulit untuk diidentifikasi, hal yang dapat menunjukkan yaitu asosiasi dekat dengan gunung, tekstur yang rapat, rona dan warna yang pekat
6VEGETASI
KERAPATAN RENDAH
Kelas vegetasi kerapatan rendah dipilih dikarenakan masih cukup banyak dijumpai objek vegetasi yang jarang dan berasosiasi dengan lahan terbuka pada daerah citra ini.
18
LEGENDAPERAIRAN DALAM
PERAIRAN DANGKALLAHAN TERBUKA
LAHAN TERBANGUNVEGETASI KERAPATAN TINGGI
VEGETASI KERAPATAN RENDAHGambar 9. Citra Landsat 7 tahun 2002
wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah komposit standar False Color
Gambar 10. Citra Landsat 7 tahun 2002 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah hasil klasifikasi supervised menggunakan metode Maximum Likelihood
19
LEGENDAPERAIRAN DALAM
PERAIRAN DANGKALLAHAN TERBUKA
LAHAN TERBANGUNVEGETASI KERAPATAN TINGGI
VEGETASI KERAPATAN RENDAHGambar 11. Citra Landsat 8 tahun 2015
wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah komposit standar False Color
Gambar 12. Citra Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah hasil klasifikasi supervised menggunakan metode Maximum Likelihood
20
n-D Visualiser memvisualisasikan dalam
hal pengambilan objek. Pengambilan sampel
untuk Kota Semarang pada tahun 2002 dapat
dilihat persebaran titik-titik nilai piksel. Titik
rona yellow (lahan terbangun) dan white (lahan
terbuka) lebih bersifat menyebar dan saling
bersinggungan, artinya bahwa nilai spektral
yellow (lahan terbangun) hampir sama dengan
white (lahan terbuka), sedangkan vegetasi
kerapatan tinggi (green 3), vegetasi kerapatan
rendah (green 1), perairan dalam (blue 3) dan
perairan dangkal (blue 1) bersifat mengelompok
dan tidak bersinggungan
Gambar 13. n–D Visualiser klasifikasi citra Landsat 7 tahun 2002 wilayah Semarang
ROI Name: (Jeffries-Matusita, Transformed Divergence) PERAIRAN DALAM [Blue3] 1095 points: PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 1153 points: (1.99903611 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 1261 points: (2.00000000 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 732 points: (2.00000000 2.00000000) LAHAN TERBUKA [White] 879 points: (2.00000000 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 973 points: (1.99999944 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 1153 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 1095 points: (1.99903611 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 1261 points: (1.99996320 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 732 points: (1.99908522 2.00000000) LAHAN TERBUKA [White] 879 points: (1.99987861 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 973 points: (1.99585722 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 1261 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 1095 points: (2.00000000 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 1153 points: (1.99996320 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 732 points: (1.94385160 2.00000000) LAHAN TERBUKA [White] 879 points: (1.99999952 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 973 points: (2.00000000 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 732 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 1095 points: (2.00000000 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 1153 points: (1.99908522 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 1261 points: (1.94385160 2.00000000) LAHAN TERBUKA [White] 879 points: (1.99726188 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 973 points: (1.99974750 2.00000000)
21
LAHAN TERBUKA [White] 879 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 1095 points: (2.00000000 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 1153 points: (1.99987861 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 1261 points: (1.99999952 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 732 points: (1.99726188 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 973 points: (1.92557332 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 973 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 1095 points: (1.99999944 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 1153 points: (1.99585722 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 1261 points: (2.00000000 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 732 points: (1.99974750 2.00000000) LAHAN TERBUKA [White] 879 points: (1.92557332 2.00000000)
separability Jeffries-Matusita, nilai tersebut mempunyai rentang dari 0 sampai dengan
2 dan mengindikasikan sebaik apa pasangan ROI terpilih terpisahkan secara statistik. Nilai
lebih dari 1,9 mengindikasikan bahwa pasangan ROI mempunyai separability yang baik
n-D Visualiser memvisualisasikan dalam hal
pengambilan objek. Pengambilan sampel untuk
Kota Semarang pada tahun 2015 dapat dilihat
persebaran titik-titik nilai piksel. Titik rona
lahan terbangun (yellow), lahan terbuka (white)
vegetasi kerapatan tinggi (green 3), vegetasi
kerapatan rendah (green 1), perairan dalam
(blue 3) dan perairan dangkal (blue 1) bersifat
mengelompok dan bersinggungan
Gambar 14. n–D Visualiser klasifikasi citra Landsat 8 tahun 2015 wilayah Semarang
PERAIRAN DALAM [Blue3] 942 points: PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 958 points: (1.98328139 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 853 points: (2.00000000 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 850 points: (2.00000000 2.00000000) LAHAN TERBUKA [White] 655 points: (2.00000000 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 633 points: (1.99995628 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 958 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 942 points: (1.98328139 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 853 points: (2.00000000 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 850 points: (2.00000000 2.00000000) LAHAN TERBUKA [White] 655 points: (2.00000000 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 633 points: (1.99717001 2.00000000)
22
VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 853 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 942 points: (2.00000000 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 958 points: (2.00000000 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 850 points: (1.96103639 1.99995681) LAHAN TERBUKA [White] 655 points: (1.99999998 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 633 points: (1.99987026 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 850 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 942 points: (2.00000000 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 958 points: (2.00000000 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 853 points: (1.96103639 1.99995681) LAHAN TERBUKA [White] 655 points: (1.99998951 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 633 points: (1.99996126 2.00000000)
LAHAN TERBUKA [White] 655 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 942 points: (2.00000000 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 958 points: (2.00000000 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 853 points: (1.99999998 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 850 points: (1.99998951 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 633 points: (1.98149624 2.00000000) LAHAN TERBANGUN [Yellow] 633 points: PERAIRAN DALAM [Blue3] 942 points: (1.99995628 2.00000000) PERAIRAN DANGKAL [Blue1] 958 points: (1.99717001 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN TINGGI [Green3] 853 points: (1.99987026 2.00000000) VEGETASI KERAPATAN RENDAH [Green1] 850 points: (1.99996126 2.00000000) LAHAN TERBUKA [White] 655 points: (1.98149624 2.00000000)
separability Jeffries-Matusita, nilai tersebut mempunyai rentang dari 0 sampai dengan
2 dan mengindikasikan sebaik apa pasangan ROI terpilih terpisahkan secara statistik. Nilai
lebih dari 1,9 mengindikasikan bahwa pasangan ROI mempunyai separability yang baik
23
Change Detection Pada Citra Landsat 7 Tahun 20012 dan Citra Landsat 8 Tahun 2015
Pada Wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah
Setelah dilakukan klasifikasi dilakukan Change detection antara 2 citra untuk megetahui
perubahan area dan dalam perubahan menggunakan citra satelit dilakukan untuk menentukan
laju atau tingkat perubahan lahan setiap waktu. Deteksi perubahan adalah suatu teknik
menggunakan teknologi penginderaan jauh dalam menentukan deteksi perubahan pada obyek
diantara dua atau lebih periode waktu. Deteksi perubahan merupakan sebuah proses penting
untuk monitoring dan mengelola sumber daya alam dan pembangunan daerah karena teknik ini
mampu menyediakan analisis distribusi spasial secara kualitatif di wilayah tertentu.
Change detection adalah proses mengidentifikasi perbedaan keadaan suatu objek atau
fenomena dengan mengamati pada waktu yang berbeda. Pada dasarnya, melibatkan kemampuan
untuk mengukur efek sementara menggunakan set-data multi temporal. Salah satu aplikasi utama
data diperoleh dari peginderaan jauh dari objek bumi yang mengorbit secara berulang pada
interval pendek dan kualitas gambar yang konsisten (Anderson, 1977, Ingram et al., 1981,
Nelson, 1983, Singh, 1984). Change detection berfungsi dalam aplikasi yang beragam seperti
analisis perubahan penggunaan lahan, pemantauan ladang berpindah, penilaian deforestasi, studi
perubahan fenologi vegetasi, perubahan musiman dalam produksi padang rumput, penilaian
kerusakan, deteksi stress tanaman, pemantauan dan pengukuran bencana salju meleleh analisis
termal dan perubahan lingkungan (Adeniyi, 1980).
24
Hasil perubahan objek yang dinamis
- Perairan dangkal pada citra landsat
wilayah Semarang tahun 2015 terdapat
kapal
- Bagian gunung pada citra landsat wilayah
Semarang tahun 2015 terdapat
Hasil perubahan objek yang statis atau
lambat
- Lahan terbuka menjadi lahan terbangun
dan menjadi vegetasi kerapatan rendah
- Vegetasi kerapatan rendah menjadi
vegetasi kerapatan tinggi karena faktor
pertumbuhan vegetasi yang relative lama
(13 tahun)
Gambar 15. Komparasi dua citra yang wilayahnya sama (Semarang) dengan rentang waktu dari tahun 2002 sampai 2015
LEGENDA
PERAIRAN DALAMPERAIRAN DANGKAL
LAHAN TERBUKALAHAN TERBANGUN
VEGETASI KERAPATAN TINGGIVEGETASI KERAPATAN RENDAH
25
Pada Gambar 16 hasil change detection perairan dalam terjadi perubahan dari tahun 2002 sampai di tahun 2015. Pada tahun 2002 merupakan perairan dalam menjadi perairan dangkal pada tahun 2015 dan ada objek kapal pada tahun 2015 yang terekam pada citra pada tahun 2015
Gambar 16. Hasil Change Detection Perairan Dalam
Pada Gambar 17 hasil change detection perairan dangkal terjadi perubahan dari tahun 2002 sampai di tahun 2015. Pada tahun 2002 merupakan perairan dangkal menjadi lahan terbangun dan vegetasi kerapatan rendah pada tahun 2015. Asumsi interpreter pada vegetasi kerapatan rendah adalah mangrove atau alga.
Gambar 17. Hasil Change Detection Perairan Dangkal
26
Pada Gambar 18 hasil change detection lahan terbuka terjadi perubahan dari tahun 2002 sampai di tahun 2015. Pada tahun 2002 merupakan lahan terbuka dan terjadi perubahan pada citra di tahun 2015 yaitu lahan terbangun, vegetasi kerapatan rendah dan perairan dangkal. Asumsi interpreter pada perubahan lahan terbuka menjadi lahan terbangun adalah perkembangan dari kota yang pesat dan dengan jangka waktu yang panjang 13 tahun. Pada perubahan lahan terbuka menjadi vegetasi kerapatan rendah adalah sifat vegetasi yang selalu tumbuh. Pada perubahan lahan terbuka menjadi perairan dangkal asumsi interpreter adalah tambak karena pola dari citra standar false color terlihat berbentuk persegi dan mengelompok dan berasosiasi dengan laut.
Gambar 18. Hasil Change Detection Lahan Terbuka
Pada Gambar 19 hasil change detection perairan dalam terjadi perubahan dari tahun 2002 sampai di tahun 2015. Pada tahun 2002 merupakan lahan terbangun menjadi lahan terbuka, vegetasi kerapatan rendah dan perairan dangkal pada tahun 2015. Perubahan ini terjadi karena lahan terbangun berdekatan dengan vegetasi pada tahun 2002 vegetasi belum ada atau masih kecil dan pada tahun 2015 sudah mulai besar dan menutupi bagian lahan yang terbangun (nilai spectral vegetasi kerapatan rendah lebih dominan sehingga klasifikasi dikenali sebagai objek vegetasi kerapatan rendah. Pada objek lahan terbangun yang berubah menjadi lahan terbuka adanya alih fungsi lahan dan kesamaan nilai spectral dengan lahan terbangun, hal ini dapat terjadi. Pada perubahan lahan terbangun menjadi perairan dangkal hal ini mendasari bahwa letaknya berasosiasi dengan laut dan objek tersebut adalah tambak
Gambar 19. Hasil Change Detection Lahan Terbangun
27
Pada Gambar 20 hasil change detection vegetasi kerapatan tinggi terjadi perubahan dari tahun 2002 sampai di tahun 2015. Pada tahun 2002 merupakan vegetasi kerapatan tinggi menjadi lahan terbangun dan terbuka asumsinya ada alih fungsi lahan dan pembukaan lahan, tetapi pada wilayah yang dilingkari merah merupakan awan dan bayangan yang ikut terklasifikasi sebagai lahan terbangun, karena kedekatan nilai spectral dengan lahan terbagun
Gambar 20. Hasil Change Detection Vegetasi Kerapatan Tinggi
Pada Gambar 21 hasil change detection perairan dalam terjadi perubahan dari tahun 2002 sampai di tahun 2015. Pada tahun 2002 merupakan vegetasi kerapatan rendah terjadi perubahan pada tahun 2015 menjadi lahan terbuka, terbangun dan vegetasi kerapatan tinggi serta perairan dangkal. Pada perubahan vegetasi kerapatan rendah menjadi lahan terbuka merupakan hasil dari perubahan lahan persawahan yang sudah di panen. Pada perubahan dari vegetasi kerapatan rendah menjadi lahan terbangun merupakan hasil dari perkembangan kota. Pada perubahan vegetasi kerapatan rendah menjadi kerapatan tinggi karena proses pertumbuhan vegetasi. Pada perubahan vegetasi kerapatan rendah menjadi perairan dangkal asumsi interpreter adalah lahan difungsikan sebagai tambak.
Gambar 21. Hasil Change Detection Vegetasi Kerapatan Rendah
28
Hasil praktikum change detection dapat mendeteksi perubahan pada suatu area dan
luasan hasil klasifikasi yang berubah pada wilayah Semarang Provinsi Jawa Tengah tahun 2002
dengan tahun 2015 terjadi perubahan sebagai berikut:
1. Perairan dalam sebenarnya memiliki luas 37.164.600 m2 dari hasil perubahan yang didapat,
terjadi perubahan total seluas 46.078.200 m2
2. Perairan dangkal memiliki luas 58.635.900 m2 dari hasil perubahan yang didapat, terjadi perubahan total seluas 58.114.800 m2
3. Vegetasi kerapatan tinggi memiliki luas 86.427.900 m2 dari hasil perubahan total seluas 24.109.200 m2
4. Vegetasi kerapatan rendah memiliki luas 167.308.200 m2 dari hasil perubahan total seluas 187.348.500 m2
5. Lahan terbuka memiliki luas 38934000 m2 dari hasil perubahan total seluas 207.936.900 m2
6. Lahan terbangun memiliki luas 241167600 m2 dari hasil perubahan total seluas 106.050.600 m2
Perubahan area Pada Citra Landsat 7 Tahun 2002 dan Landsat 8 Tahun 2015 Wilayah Jawa Tengah disajikan pada Tabel 3
29
Tabel 3. Perubahan area Pada Citra Landsat 7 Tahun 2002 dan Landsat 8 Tahun 2015 Wilayah Jawa Tengah
No Penutup Lahan
2002
Perairan dalam (m2)
Perairan dangkal
(m2)
Vegetasi kerapatan tinggi (m2)
Vegetasi kerapatan
rendah (m2)
Lahan terbuka (m2)
Lahan terbangun
(m2)
Row total (m2)
Class total (m2)
1
2015
Perairan dalam (m2) 35343900 1819800 0 0 0 900 37164600 37164600
2 Perairan dangkal (m2) 10536300 41518800 0 610200 4540500 1430100 58635900 58635900
3Vegetasi
kerapatan tinggi (m2)
0 190800 19146600 54640800 11703600 746100 86427900 86427900
4Vegetasi
kerapatan rendah (m2)
0 1579500 1653300 75181500 78314400 10579500 167308200 167308200
5 Lahan terbuka (m2) 0 83700 537300 15825600 20342700 2144700 38934000 38934000
6 Lahan terbangun (m2) 198000 12922200 2772000 41090400 93035700 91149300 241167600 24116760
7 Class total (m2) 46078200 58114800 24109200 187348500 207936900 106050600
8 Class changes (m2) 10734300 16596000 4962600 112167000 187594200 14901300
9 Image difference (m2) -8913600 521100 62318700 -20040300 -169002900 135117000
Tabel 4. Equivalent class pairings
NO PENUTUP LAHAN POIN2002 2015
1 Perairan Dalam 1095 9422 Perairan Dangkal 1153 9583 Vegetasi Kerapatan Tinggi 1261 8534 Vegetasi Kerapatan Rendah 732 8505 Lahan Terbuka 879 6556 Lahan Terbangun 973 633
30
KESIMPULAN
1. Klasifikasi multispektral adalah metode mengelompokkan informasi yang ada dalam
citra dengan parameter-parameter tetentu.
2. Terdapat 2 jenis umum klasifikasi multispektral, terkontrol (tersselia) dan tidak
terbimbing hasil yang didapatkan akan berbeda satu sama lain
3. Klasifikasi terbimbing dikontrol oleh ruang sampel yang membentuk suatu fungsi
dan range nilai kelas
4. Klasifikasi tidak terbimbing dibuat berdasarkan pengelompokan data dalam gugus-
gugus yang memiliki kesamaan karakter berupa nilai piksel.
5. Klasifikasi memberikan tampilan yang baik tentang perbedaan nilai sehingga
memudahkan dalam ekstraksi informasi yang berdasarkan interpretasi visual
6. Syarat kebaikan sampel adalah homogenitas mewakili setiap kondisi serta kuantitas
yang mewadahi
7. Klasifikasi tidak terbimbing memiliki kekurangan dimana tampilan visual kurang
memberikan kemudahan interpretasi karena tidak ada kontrol secara logis.
8. Change detection adalah proses mengidentifikasi perbedaan keadaan suatu objek
atau fenomena dengan mengamati pada waktu yang berbeda. Pada dasarnya,
melibatkan kemampuan untuk mengukur efek sementara menggunakan set-data multi
temporal
31
DAFTAR PUSTAKA
Adeniyi, P. O., 1980, Land-use change analysis using sequential aerial photography and computer technique. Photogrammetric Enginering and Remote Sensing, 46, 1447-1464.
Anderson, J. R., 1977, Land use and land cover changes. A framework for monitoring. Journal of Research by the Geological Survey, 5, 143-153.
Arifin A.Z. 2001. Algoritma Clustering Fuzzy Hibrida untuk Klasifikasi Citra Penginderaan jauh, Pra-Proseding Seminar Nasional Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis,
Universitas Gadjah Mada, 7 April 2001.Arifin A.Z., & Murni A., 2001. Algoritma Clustering Adaptif untuk Klasifikasi Citra
Penginderaan Jauh Multispektral, Proseding Seminar Nasional Kecerdasan Komputasional II ICIS, Vol. 2, No. 1, Universitas Indonesia, 16 Oktober 2001.Arifin A.Z., & Murni A., 2002, Disain dan Implementasi Perangkat Lunak Klasifikasi Citra
Inderaja Multispektral secara Unsupervised, Jurnal Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Vol. 2, No. 1, Universitas Indonesia, Mei 2002.
Danoedoro P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. YogyakartaDanoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital: Teori dan Aplikasinya dalam Bidang
Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.Farda, Noor Muhammad. 2009. Petunjuk Praktikum Digital Pemrosesan Citra Digital.
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.Ingram, K., Knapp, E., & Robinson, J. W., 1981, Change detection technique development for
improved urbanized area delineation, technical memorandum CSCITM-81/6087,Computer Sciences Corporation, Silver Springs, Maryland, U.S.A.
James J. Simpson, Timothy J McIntire, dan Matthew Sienko, An Improved Hybrid Clustering Algorithm for Natural Scenes, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 38, No.2, Maret 2000.
John. A. Richards, Remote Sensing Digital Image Analysis, An Introduction, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 1986.
Mukhaiyar R. Jurnal Teknologi Informasi & Pendidikan Issn: 2086 – 4981 Vol. 2 No. 1 September 2010. Klasifikasi Penggunaan Lahan dari Data Remote Sensing. Jurusan
Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri PadangNelson, R. F., 1983, Detecting forest canopy change due to insect activity using Landsat MSS.
Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 49, 1303-1 3 14.Peraturan Walikota Semarang Nomor 18 Tahun 2014, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kota Semarang 2015 dan Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2012Singh, A,, 1984, Tropical forest monitoring using digital Landsat data in northeastern India.
Ph.D. thesis, University of Reading, Reading, England.
32
Thomas M Lillesand and Ralph W Kiefer. 1979. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
33
top related