pengaturan konsumsi dalam prespektif hukum islam (studi atas
Post on 05-Jul-2015
579 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ABSTRAK
Sistem ekonomi muncul karena adanya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga terbentuklah aktifitas-aktifitas ekonomi, diantaranya adalah produksi, distribusi dan konsumsi. Konsumsi merupakan aktifitas yang penting bahkan bisa dikatakan sangat penting dalam peranannya. Segala aktifitas tersebut khususnya perilaku konsumen tidak bisa lepas dari aturan dan tuntutan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Dalam Islam perilaku konsumsi tidak dibatasi pada kebutuhan hidupnya dan kesenangan-kesenangan yang menekankan pada aspek materialnya saja, akan tetapi harus ada keseimbangan antara aspek material dan aspek spiritual. Aktifitas konsumsi menurut Yūsuf al-Qaradāwī, bahwa norma-norma dasar yang menjadi landasan dalam perilaku konsumsi termasuk menghindari sifat kikir atau bakhil, tidak boleh melakukan kemubaziran dan harus menanamkan sifat kasederhanaan. Yang menjadi masalah disini bagaimana dengan implementasi dari norma-norma yang dikemukakan oleh Yūsuf al-Qaradāwī.
Di dalam analisis data, digunakan cara berpikir induksi yakni kerangka dari pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī secara parsial dalam hal perilaku konsumsi sehingga bisa ditarik kesimpulan secara umum dalam pemikirannya tentang perilaku konsumsi tersebut sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini normatif.
Dan implementasi dalam pemikirannya yang tidak kikir atau bakhil yaitu memberikan infak baik wajib maupun sunnah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya, untuk masyarakat maupun untuk fi sabilillah (di jalan Allah). Tidak mubazir berarti tidak membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang tanpa ada kemaslahatan dan untuk sesuatu yang diharamkan, termasuk dalam membelanjakan hartanya dengan berlebih-lebihan yaitu melebihi batas dalam hal yang halal. Dan yang terakhir adalah kesederhanaan yang harus ditanamkan dalam setiap kehidupan keseharian manusia, yaitu bersikap tengah-tengah antara sikap bakhil, sikap mubazir serta sikap berlebih-lebihan termasuk juga sikap kemewahan. Implementasi inilah yang harus ada pada setiap orang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Harta merupakan parameter sumber-sumber alam yang merupakan nikmat
Allah, alat-alat perlengkapan dan kesenangan. Harta bukanlah sesuatu yang buruk
xvi
dan bukan juga sesuatu yang menjijikkan, tetapi harta adalah sesuatu yang baik
dan juga sebagai alat yang membantu kehidupan manusia.
Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan adanya
manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Dalam hidup
bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak,
untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.1
Sistem ekonomi muncul karena adanya upaya manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pemenuhan hidup yang sangat bervariasi melahirkan
berbagai macam sistem kehidupan termasuk sistem ekonomi. Sistem ekonomi
diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia pada berbagai jenis barang
terutama barang kebutuhan pokok.
Maka menjadi semakin jelas ruang lingkup dari bidang garapan ekonomi,
mengingat segala hal yang terdapat di dalamnya adalah merupakan kajian bagi
salah satu sektor perilaku manusia yang berhubungan dengan aspek penting
dalam ekonomi yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi, dan serupa dengan apa
yang disampaikan oleh seorang ekonomi neo klasik Lord Robin, bahwa ekonomi
merupakan kajian tentang perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-
tujuan dan alat-alat pemuas yang mengandung pilihan di dalam penggunaannya.2
1 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: UII Pres, 2000), hlm. 11.
2 Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Ekonomi, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 6.
xvii
Maka pengertian yang muncul kemudian adalah kegitan itu tidak hanya selalu
mengacu pada aspek material yang kemudian disebut-sebut sebagai obyek
kegiatan ekonomi belaka, namun lebih dari itu bahwa pengertian kegitan
ekonomi juga mencakup aspek moral, yaitu aspek perilaku manusia yang tidak
hanya dibatasi oleh pengertian kekayaan material saja, kendati pada pengertian
umum ekonomi itu menyangkut akan barang dan jasa yang bersifat material.
Hal ini mengandung isyarat bahwa manusia yang ada pada dasarnya
merupakan decision maker dalam banyak hal termasuk setiap perilakunya akan
dipengaruhi oleh nilai-nilai dan emosionalnya,3 tarik-menarik antara nilai dan
emosional inilah yang mewarnai perilaku manusia dalam mengambil keputusan
pada setiap aktifitas hidupnya,4 bagaimana bangsa-bangsa bertindak untuk
menjaga perdamaian, bagaimana individu berhubungan dengan individu lain dan
bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, kesemuanya merupakan
nilai yang meliputi persoalan moralitas, yaitu persoalan baik dan buruk.
Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan syari’at Islam secara
keseluruhan (kaffah). Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah mahdah saja yang
menyangkut hubungan vertikal antara manusia dan pencipta-Nya, tapi juga
3 Amitai Etzioni, Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru, alih bahasa Tjun Suryaman, cet. I (Bandung: PT Rosda Karya, 1992), hlm. V.
4 Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafidudin, dkk., cet. I (Jakarta: Rabbani Pres, 1997), hlm. 15.
xviii
menyangkut semua bentuk aktifitas yang berimplikasi sosial,5 yang aktifitas
tersebut disertai berbagi aturan dan tuntutan sebagaimana yang dituangkan dalam
Fiqh Muamalat, agar dalam aktifitas tersebut tidak semata-mata mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan etika dan moral,
tanpa sedikitpun melibatkan suansa reliji dan sosial.
Konsumsi merupakan salah satu penggunaan dan pemanfaatan sumber
daya atau barang-barang yang ada atau anugrah-anugrah yang Allah berikan
kepada manusia untuk digunakan. Dalam melakukan konsumsi manusia diberi
kebebasan, namun dalam kebebasanya itu harus berpijak pada aturan-aturan
konsumsi (perilaku-perilaku konsumsi) yang telah diatur dalam ajaran Islam.
Dalam ekonomi konvensional, perilaku ekonomi (konsumsi) diartikan
sebagai teori yang mempertimbangkan pemaksimalan daya guna, dan yang
memaksimalkan adalah manusia ekonomi (homo economicus), tujuan tunggalnya
adalah untuk mendapatkan derajat tertinggi dari perolehan ekonomi, yang
menjadi stimulus dalam hal ini adalah perasaan akan uang.6 Etika filosofi yang
tercermin, berhubungan dengan “keberhasilan ekonomi” diartikan secara umum
bahwa keberhasilan dalam mendapatkan uang adalah nilai tambah dari kebaikan
5 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, alih bahasa Dewi Nurjuliati, dkk., cet. I (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995), hlm. 195.
6 Monzer Kahf, A Contribution to The Theory of Consumer Behavior in Islamic Society in Islamic Economic (Jedda: King Abdul Aziz University), hlm. 21.
xix
ekonomi.7 Pendekatan ini memandang bahwa nilai moral tindakan pribadi dapat
ditentukan hanya oleh akibat dan konsekuensi dari tindakan tersebut, yaitu suatu
tindakan yang dinilai etis jika tindakan tersebut menghasilkan manfaat atau dapat
menguntungkan bagi sebagian besar orang.
Dari asumsi inilah penyusun menganggap bahwa persoalan kritis yang
kemudian muncul dalam ekonomi mengenai teori konsumsi, misalnya dalam
teori utilitarianisme, yang dalam teori ini terkait dengan penentuan terhadap nilai
tindakan etis yang dilakukan dengan cara mengukur sejauh mana manfaat atau
utilitas yang akan diperoleh serta sejauh mana tindakan itu dapat dilakukan.
Dalam kesempatan ini, adalah Yūsuf al-Qaradāwī seorang ulama
mujaddid dan mujtahid di penghujung abad ke-20 ini, selalu memberikan
sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan. Ia selalu mencoba
“membumikan” ajaran Islam dan menggaris bawahi aspek maslahah dalam
penentuan hukum Islam. Dalam kapasitasnya sebagai ulama tafsir-hadis, ia juga
mengetengahkan pemikirannya tentang ekonomi Islam yang mencakup semua
aktifitas ekonomi. Adapun pemikirannya dalam bidang konsumsi, bahwa seorang
konsumen dalam berkonsumsi hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
yang diperlukan, jadi konsumen tahu kapan ia harus membelanjakan atau
memanfaatkan hasil produksi. Perilaku-perilaku tersebut terikat oleh norma dan
7 Choirudin Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam, Sebuah Perspektif Lingkungan Global,”‘Ulumul Qur’an,” Vol. 3/VII/1997, hlm. 21.
xx
etika, meskipun Allah telah memberikan kebebasan sehingga konsumen tidak
bebas mutlak dalam membelanjakan hartanya.
Dalam hal konsumi menurut Yūsuf al-Qaradāwī, Islam menggariskan
bahwa membelanjakan harta tidak boleh melampaui batas yang diperlukan,
begitu pula dengan sebaliknya membelanjakan harta yang terlalu hemat bukan
karena tidak mampu tapi karena bakhil. Islam mengajarkan agar para konsumen
bersikap sederhana.8 Mengenai konsumsi, Yūsuf al-Qaradāwī hanya
mengemukakan tiga konsep yang dalam setiap konsepnya mengandung arti lebih
dari satu. Untuk itu, arti apakah yang sebenarnya terkandung dalam setiap
konsepnyaa. Sebab itulah penyusun memilih Yūsuf al-Qaradāwī untuk dikaji
pemikirannya, khususnya dalam perilaku konsumsi.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan pada paparan di atas maka dapat ditarik pokok masalah,
yaitu:
1. Bagaimanakah konsep pengaturan perilaku konsumsi menurut pemikiran
Yūsuf al-Qaradāwī?
2. Bagaimana implementasi dari konsep pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī?
8 Yūsuf al-Qaradāwī, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zaenal Abidin dan Dahlia Husin, cet.I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 148.
xxi
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menggambarkan pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tentang pengaturan perilaku
konsumsi.
2. Memberikan penjelasan tentang implementasi dari konsep pemikiran Yūsuf
al-Qaradāwī.
Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain:
1. Penelitian ini akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap
kajian pemikiran ekonomi Islam.
2. Kajian ini akan bermanfaat bagi siapa saja yang tertarik dengan kajian
ekonomi Islam, khususnya dalam melihat perkembangan pemikiran
intelektual muslim tentang konsumsi.
D. Telaah Pustaka
Penelitian mengenai pengaturan konsumsi secara khusus jarang sekali
dilakukan. Hal ini disebabklan oleh anggapan bahwa konsep konsumsi hanyalah
suatu kegiatan pemanfaatan barang-barang hasil produksi dan kecenderungan
hanya sebatas materialistik belaka yaitu sebagai “pelampiasan” pemenuhan
kebutuhan hidup manusia semata. Selain dari pada itu, kecenderungan yang lain
adalah konsumsi hanya dianggap sebagai sebagian kecil dari dua substansi
pemanfaatan kekayaan lainnya yaitu produksi dan distribusi. Sehingga dari
xxii
beberapa referensi yang membahas tentang sistem ekonomi Islam, konsumsi dan
segala pengaturannya hanyalah dipaparkan dalam bagian dari bab saja.
Monzer Kahf9 misalnya, di dalam bukunya “Ekonomi Islam”,
memasukkan pengaturan konsumsi dan etikanya dalam Islam kedalam bab teori
konsumsi. Pembahasannya lebih ditekankan pada penanggulangan isu-isu pokok
mengenai teori perilaku konsumen dan konsep-konsep barang-barang konsumen.
Ia menjelaskan bahwa unsur-unsur pokok dari rasionalisme perilaku konsumen
meliputi konsep keberhasilan, skala waktu perilaku konsumen, dan konsep harta.
Di dalam konsep harta inilah dipaparkan etika konsumsi dalam Islam.
Demikian juga halnya dengan Abdul Manan,10 di dalam bukunya “Teori
dan Praktek Ekonomi Islam”, ia menganalisis bahwasanya perintah Islam
mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar yaitu prinsip keadilan,
prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, dan prinsip
moralitas. Kemudian ia melanjutkan dengan menggolongkan kebutuhan-
kebutuhan manusia dengan urutan prioritas sesuai dengan tuntutan Islam.
Dalam pernyataan yang tegas, Sunarto11 menekankan bahwa pengaturan
konsumsi dan hubungannya dengan produk konsumen melibatkan masalah
kepercayaan yang tinggi, maka sangatlah penting bahwa perilaku tersebut harus
dilingkupi dengan etika. Pembahasan ini kemudian ia jelaskan secara detail di
9 Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, alih bahasa Machnun Husein, cet. I (Yogyakarat: Aditya Media, 2000), hlm. 19-40.
10 Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Nastangin (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm, 45.
11 Sunarto, Perilaku Konsumen (Yogyakarta: Amus, 2003), hlm, 2.
xxiii
dalam disiplin ilmu perilaku konsumen (consumer behavior) baik secara teoritis
maupun aplikatif.
Dalam sebuah tesis, karya Rahman Qadir yang menelaah pemikiran
Yūsuf al-Qaradāwī tentang zakat profesi,12 juga empat skripsi yang menelaah dan
mengalisis pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī, yaitu karya Rahmawati yang berjudul
Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Ekonomi Islam, tahun 200013
penelitian ini menitik beratkan pada etika yang di dalamnya meliputi nilai moral,
akhlak dan perannya dalam kegiatan ekonomi Islam. Skripsi karya Sartono yang
berjudul Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu.14
Penelitian ini menfokuskan pada metode penggalian dan penetapan hukum zakat
madu yang dilakukan oleh Yūsuf al-Qaradāwī Skripsi karya Achmad Subhan
tahun 2002 yang berjudul Konsep Pengelolaan Zakat Sebagai Sarana
Pemberdayaan Ekonomi Umat.15 Skripsi ini mengkaji tentang konsep pengelolaan
zakat dan relevansinya dalam konteks ke-Indonesia-an dan skripsi karya Bahri
Asnawi yang berjudul Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Atas pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tahun 2003.16 Skripsi ini membahas
12 Rahman Qadir, Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Profesi, tesis tidak diterbitkan, IAIN Suann Kalijaga Yogyakarta.
13 Rahmawati, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Etika Ekonomi Islam, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.
14 Sartono, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
15 Achmad Subkhan, Konsep Pengelolaan Zakat Sebagai Sarana Pemberdayaan Ekonomi Umat (Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dan Relevansinya dalam Konteks ke-Indonesia-an, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2000.
16 Bahri Asnawi, Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī), Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
xxiv
tentang kemiskinan dan solusi pengentasan kemiskisan yang dikonsep oleh Yūsuf
al-Qaradāwī.
Uraian di atas menunjukan bahwa skripsi berjudul ”Pengaturan Konsumsi
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī) ini
secara khusus belum pernah ada yang membahas dalam suatu karya ilmiah.
E. Kerangka Teoretik
Al-Qur’an pada dasarnya memberikan otonomi yang luas bentuk free will
dan free choice kepada manusia untuk menentukan nasib dan corak hari
depannya, tetapi dengan tekanan yang kuat agar ia mematuhi hukum-hukum
moral tentang masalah baik dan buruk demi kelestarian eksistensinya di dunia ini.
Manusia beriman haruslah memberikan arah moral bagi setiap perubahan
sosial. Manusia beriman sebagai konsekuensi logisnya adalah manusia yang
berdiri paling depan dalam memberikan alternatif moral bagi suatu perubahan.
Setelah ia lebih dahulu memelopori kehidupan bermoral itu. Keberadaan manusia
bertauhid ditentukan oleh intensitas amal kebaikannya terhadap umat manusia
secara keseluruhan yang terwujud dalam bentuk keadilan, persamaan,
persaudaraan dan kedamaian dalam masyarakat.17
Begitu pula dalam hal konsumsi ketika seorang muslim sedang
menkonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rizki, ia merasa telah memnuhi
17 Ahmad Syarif Ma’arif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi) (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 23.
xxv
perintah Allah dan yakin bahwa semua yang dikonsumsi asalnya dari Allah dan
kesudahannya berakhir kepada Allah. Meskipun Allah telah memberikan
kebebasan, manusia harus berlaku adil dan seimbang dalam berkonsumsi yang
semuanya itu harus di pertanggungjawabkan kepada Allah.
Mengenai pentingnya pemanfaatan kekayaan, Islam memberi banyak
penekanan pada upaya pengaturan dan penggunaan kekayaan tersebut. Dalam
Islam, tidak ada perbedaan antara pengeluaran belanja yang bersifat spiritual
maupun duniawi, berbeda dengan agama lain, ada perbuatan-perbutan yang
dianggap sebagai perbuatan religius atau spiritual, sementara perbuatan lainnya
non religius atau keduniawian. Islam tidak membuat perbedaan seperti itu antara
jenis keperluan yang satu dengan yang lainnya, karena sebagaimana dipahami
kepatuhan dan ketaatan kepada Allah-lah kaum muslimin menafkahkan harta
mereka misalnya: kepada para janda, anak-anak yatim dan orang-orang miskin
sama halnya seperti kerelaan mereka berbelanja untuk menafkahkan dirinya
sendiri, anak-anak, orang tua dan kaum kerabat.
Pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting karena terdapat
perbedaan antara ekonomi modern dan ekonomi Islam, dalam hal konsumsi
terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan yang diperlukan
oleh seseorang.
xxvi
F. Metode Penelitian
Suatu hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian adalah
metodologinya, skripsi sebagai karya ilmiah tidak dapat dilepaskan dari
metodologi ilmiah. Metode yang digunakan adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research),
yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.18
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik yaitu pemaparan yang
diawali dengan menggambarkan konsep yang dikemukakan oleh Yūsuf al-
Qaradāwī tentang pengaturan konsumsi yang kemudian memberikan
pembahasan dan analisa terhadap pemikirannya.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan datanya dengan menelusuri buku-buku dan tulisan-
tulisan dalam bentuk lain yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data yang
penyusun gunakan dalam kajian ini terdiri dari sumber primer dan sekunder.
Adapun data dari sumber primer tersebut antara lain: Daur al-Qiyām wa al-
Akhlāq fī al-Islām.19 Sedangkan sumber bantuan tambahan (sekunder) adalah
18 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), hlm. 9.
19Yūsuf al-Qaradāwī, Daur al-Qiyām wa al-Akhlāq fī al-Islām, cet. I (Kairo: Maktabah Wahbah, 1415 H/1995 M).
xxvii
al-Fatwā Baina al-Indibat wa at-Tasayyub, Fiqh az-Zakat, dan kajian-kajian
yang membantu tentang konsumsi.
4. Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis dengan cara berpikir induksi, yaitu
penyusun mangawali dari pemikiran tokoh yang sifatnya khusus (perilaku
konsumsi), kemudian dari yang khusus tersebut ditarik kesimpulan secara
umum.
5. Pendekatan Masalah
Karena penyusun membahas pemikiran tokoh dengan cara
mengumpulkan pemikiran-pemikiran dan konsep-konsepnya dan
diorientasikan pada nilai-nilai yang ada dalam obyek pembahasan, maka
penyusun menggunakan pendekatan normatif.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan pokok-pokok
pembahasan secara sistematik yang berisi pendahuluan, pembahasan, dan
penutup yang terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah diadakannya penelitian, pokok masalah yang menjadi dasar dan dicari
jawabannya, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka untuk menelaah
xxviii
buku-buku yang berkaitan dengan topik kajian yang telah dilakukan orang lain
yang menjadi obyek penelitian, kerangka teoretik yang menjelaskan teori dan
dijadikan sebagai landasan pembahasan, metode penelitian yang menerangkan
metode-metode yang digunakan, dan sistematika pembahasan yang mengatur
urut-urutan pembahasan. Bab ini diuraikan sebagai gambaran mendasar yang
menentukan isi penelitian.
Bab kedua membahas secara rinci gambaran umum tentang konsumsi
dengan sub-sub: konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dan perilaku
konsumsi dalam Islam dan prioritas dalam konsumsi. Pembahasan ini sangat
penting karena untuk memberikan gambaran awal mengenai konsep konsumsi.
Bab ketiga menjelaskan dan memaparkan pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī
yang meliputi: kehidupan dan aktifitas ilmiah Yūsuf al-Qaradāwī serta
pemikirannya tentang konsumsi. Pada bab ini difokuskan pada pemikiran Yūsuf
al-Qaradāwī sebagai obyek kajian penelitian, dan ini berhubungan erat dengan
bab-bab sebelumnya serta merupakan jawaban dari pokok masalah yang pertama.
Bab keempat, setelah diuraikan pada bab-bab sebelumnya mengenai
gambaran pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tentang konsumsi yang menjadi obyek
penelitian, maka pada bab ini dilakukan analisis terhadap konsep pemikiran dan
implementasinya sebagai jawaban atas pokok masalah yang kedua.
xxix
Bab kelima merupakan penutup yang menjelaskan kesimpulan dari
pembahasan dan saran-saran, kemudian ditutup dengan daftar pustaka dan
lampiran-lampiran penting lainnya.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG KONSUMSI
A. Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Konvensional
Penjelasan tentang perilaku konsumsi berkaitan dengan hukum
permintaan yang menyebutkan bahwa jika harga suatu barang naik maka cateris
paribus jumlah yang diminta konsumen terhadap barang tersebut akan turun,
demikian juga sebaliknya bila harga tersebut turun maka jumlah yang diminta
konsumen tersebut akan naik.20
Teori perilaku konsumsi yang digunakan dalam ekonomi modern adalah
teori utility, yang membahas tentang kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh
seseorang dari mengkonsumsikan barang-barang.21 Pada dasarnya ada dua
pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan perilaku konsumen, yaitu
pendekatan marginal utility dan pendekatan indifference.
Pendekatan marginal utility bertitik tolak pada anggapan yang berarti
bahwa kepuasan setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan
lain. Dengan adanya teori pendekatan ini konsumen selalu berusaha mencapai
20 Boediono, Ekonomi Mikro (Yogyakarta: BPFE, 1997), hlm. 17.
21 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, cet. XII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 152.
xxx
kepuasan total yang maksimum. Sedangkan pendekatan indifference ini,
pendekatan yang memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen bisa
diukur. Karena barang-barang yang dikonsumsi mempunyai dan menghasilkan
tingkat kepuasan yang sama. Anggapan yang diperlukan dalam pendekatan
indifference ini adalah bahwa tingkat kepuasan konsumen bisa dikatakan lebih
tinggi atau lebih rendah tanpa menyatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah.22
Perilaku konsumsi di atas berupaya untuk mencapai kepuasan maksimum
yang hanya akan dibatasi oleh jumlah anggaran keuangan yang dimilikinya.
Dengan kata lain konsumen dapat mengkonsumsi apa saja sepanjang
anggarannya memadai untuk itu, serta konsumen cenderung menghabiskan
anggarannya demi mengejar kepuasan tertinggi yang bisa dicapainya demi
mengejar kepuasan maksimum.
Dalam suatu masyarakat primitif, konsumsi sangat sederhana karena
kebutuhannya juga sangat sederhana. Tetapi dalam peradaban modern telah
menghancurkan kesederhanaan manis akan kebutuhan-kebutuhan. Peradaban
materialistik dunia barat kelihatanya memperoleh kesenangan khusus dengan
membuat bermacam-macam dan banyak kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan
oleh manusia. Sehingga kesejahteraan seseorang pun nyaris diukur dengan
bermacam-macam sifat kebutuhan.
B. Perilaku Konsumsi dalam Islam
Pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya para ahli
ekonomi yang mepertunjukan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan
22 Boediono, Ekonomi, hlm. 18.
xxxi
prinsip produksi dan konsumsi. Para ahli ekonomi, dapat dianggap kompeten
untuk mengembangkan hukum-hukum, nilai-nilai dan distribusi atau hampir
setiap cabang lain dari subyek tersebut. Perbedaan antara ekonomi modern dan
ekonomi Islam dalam hal konsumsi adalah terletak pada cara pendekatannya
dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran
materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.
Islam adalah agama yang dalam ajarannya terdapat aturan-aturan
mengenai segenap perilaku manusia. Begitu pula dalam masalah konsumsi,
manusia diatur supaya dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang
membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya.
Konsumsi merupakan salah satu penggunaan dan pemanfataan sumber
daya atau barang-barang yang ada atau yang telah tersedia di alam dunia ini.
Penggunaan dan pemanfaatan sumber daya dalam Islam diatur supaya digunakan
secara baik.
Dalam al-Qur’an petunjuk mengenai konsumsi dideskripsikan secara jelas
mengenai penggunaan barang-barang yang baik dan bermanfaat serta melarang
adanya pemborosan dan pengeluaran terhadap hal-hal yang tidak penting,
sebagaimana ayat yang berbunyi :
23الطيبات. لكم أحل قل لهم أحل ماذا يسألونك
24رزقناكم. ما طيبات من كلوا امنوا الذين أيها يا
23 Al-Maidah (5): 4.
24 Al-Baqarah (2): 172.
xxxii
25طيبا. حالال الله رزقكم مما فكلوا
Dengan kata lain al-Qur’an menetapkan satu kata terhadap prinsip-prinsip
umum yang mengatur penggunaan dalam suatu masyarakat muslim untuk
memanfaatkan (konsumsi) kekayaan mereka pada hal-hal yang dianggap baik dan
menyenangkan, 26 dan sebaliknya, al-Qur’an telah menetapkan ketentuan atau
aturan-aturan tegas tentang apakah barang itu sesuai atau dibolehkan bagi
mereka, karena keleluasaan untuk menentukan tingkat kesucian atas penggunaan
barang-barang, khususnya makanan sepenuhnya diserahkan kepada kaum
muslimin itu sendiri.
Menurut Mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan
oleh lima prinsip, yaitu: prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip
kesederhanaan, prinsip kemurahan hati dan prinsip moralitas.27
1. Prinsip keadilan
Firman Allah:
وال طيب**ا حالال األرض فى مم**ا كل**وا الن**اس ياايه**ا
28مبين عدو لكم . إنه الشيطان خطوات تتبعوا
25 An-Nahl (16): 114.
26Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeryono, Nastangin, cet. II (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 19.
27 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), hlm. 45.
28 Al- Baqarah (2): 168.
xxxiii
Prinsip ini mengandung arti ganda, baik mengenai mencari rizki
secara halal dan yang dilarang menurut hukum. Barang-barang yang baik
adalah segala sesuatu yang bersifat menyenangkan, manis, baik, enak
dipandang mata, harum dan lezat.29
Hal ini diperkuat oleh ayat :
نعم**ة واش**كروا طيب**ا حالال الل**ه رزقكم مم**ا فكلوا
30. تعبدون إياه كنتم إن الله
2. Prinsip kebersihan
Islam mengajarkan barang yang dikonsumsikan harus bersih dan suci,
sesuai dengan firman Allah SWT:
لهم يح**ل و المنك**ر عن وينهاهم بالمعروف يأمرهم
عنهم ويض***ع الخب***ائث عليهم يح***رم و الطيب***ات
31. عليهم كانت التي واألغالل إصرهم
Hal ini diperkuat oleh ayat :
. إن**ه الش**يطان خط**وات تتبعوا وال الله رزقكم مما كلوا
عدو لكم
32مبين
Kebebasan yang diberikan Islam dalam pemanfaatan atau
pembelanjaan harta untuk membeli barang-barang yang baik dan yang halal
29 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 19.30
? An-Nahl (16): 114.
31 Al-A’raf (7): 157.
32 Al-An’am (6): 142.
xxxiv
demi kepentingan hidup manusia agar tidak melanggar batas-batas kesucian
yang telah ditetapkan.
Dengan demikian tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan
dan diminum dalam semua keadaan. Jadi semua yang diperbolehkan makan
dan minum itu adalah yang bersih dan bermanfaat.
3. Prinsip kesederhanaan
Islam menetapkan satu jalan tengah antara dua hidup yang ekstrim
yaitu antara paham materialisme dan kezuhudan. Di satu sisi dilarang
membelanjakan harta secara berlebih-lebihan semata-mata menuruti hawa
nafsu, di sisi lain juga dilarang berbuat menjauhkan diri dari kesenangan
menikmati barang yang baik dan halal di dalam kehidupan. Sebagaimana
dalam firman Allah SWT. :
الل**ه أح**ل م**ا طيب**ات تحرم**وا ال امنوا الذين أيها يا
33المعتدين يحب ال الله إن تعتدوا وال لكم
34تسرفوا وال واشربوا وكلوا
Menurut Muhammad, arti penting dari ayat ini adalah kenyataan
bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh,
begitu pula bila perut diisi secara berlebihan tentunya akan berpengaruh pada
pencernaan dalam perutnya.35
33 Al-Maidah (5): 87.
34 Al-A’raf (7) : 31.
35 Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Prespektif Islam, cet. I (Yogyakarta: BPFE, 2004), hlm. 166.
xxxv
4. Prinsip kemurahan hati
Dalam Islam diperintahkan agar dalam mengkonsumsi suatu barang
yang halal, yang telah disediakan Allah karena kemurahan hati-Nya, selama
dimaksudkan untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang baik dengan
tujuan menunaikan perintah-Nya dengan keimanan yang kuat dalam
tuntunannya. Maka dalam hal ini terdapat peralihan berangsur yang sifatnya
elastis dan memperhitungkan barang yang dikonsumsinya. Terdapat
pengecualian terhadap barang yang merusak kesejahteraan diri maupun
kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT:
وم**ا الخ**نزير ولحم وال**دم الميت**ة عليكم ح**رم إنما
إثم فال عاد وال باغ غير اضطر فمن الله لغير به اهل
36. رحيم غفور الله إن عليه
5. Prinsip moralitas
Prinsip yang terakhir ini adalah prinsip penting yang menjelaskan
tentang kondisi moralitas bagi seorang konsumen muslim dalam melakukan
aktifitas ekonomi, konsumsi terhadap makanan bertujuan untuk keuntungan
langsung tetapi juga bagaimana tujuan akhirnya, yakni untuk meningkatkan
nilai-nilai moral dan spiritual. Hal ini penting karena Islam menghendaki
perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang bahagia.
Prinsip ini didasarkan pada kaidah al-Qur’an, bahwa seseorang akan
merasakan sedikit kenikmatan atau keuntungan yang diperoleh dari minum-
minuman keras dan makan-makanan yang terlarang lainnya, disebabkan hal
36 Al-Baqarah (2): 173.
xxxvi
tersebut dilarang dan karena adanya bahaya yang mungkin timbul lebih besar
dari pada kenikmatan atau keuntungan yang mungkin diperolehnya.
C. Prioritas dalam Konsumsi
Islam mengajarkan bahwa manusia selama hidupnya akan mengalami
tahapan-tahapan dalam kehidupan. Secara umum tahapan kehidupan dapat
dikelompokkan menjadi dua tahapan yaitu dunia dan akherat. Oleh karena itu
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mencapai kebahagiaan di dunia
dan di akherat. Hal ini berarti pada saat seseorang melakukan konsumsi harus
memperhatikan ajaran-ajaran Islam yang memiliki nilai dunia dan akherat.
Meskipun barang-barang yang dikonsumsikan barang yang halal dan
bersih, akan tetapi dalam mengkonsumsi tidak boleh melakukan permintaan
terhadap semua barang yang ada untuk dikonsumsi, sehingga menyebabkan
pendapatannya habis, dengan kata lain pengeluaran tidak seimbang dengan
pendapatannya. Dan harus diingat bahwa manusia mempunyai kebutuhan jangka
pendek (dunia) dan kebutuhan jangka panjang (akherat) yang sangat penting dan
harus dipenuhi.
Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat digolongkan pada tiga golongan
yaitu keperluan, yang meliputi semua hal yang diperlukan untuk memenuhi
segala kebutuhan yang harus dipenuhi, kesenangan sebagai komoditi yang
penggunaannya menambah efisiensi pekerja, akan tetapi tidak seimbang dengan
biaya komoditi tersebut, dan kemewahan yang menunjukan kepada komoditi
serta jasa yang penggunaannya tidak menambah efisiensi seseorang bahkan
mungkin bisa menguranginya.
xxxvii
Dalam ekonomi konvensional, permintaan konsumen cenderung kearah
kebutuhan duniawi yang dapat menyebabkan kebutuhan akherat yang lebih kecil
dari yang seharusnya dapat dilakukan atau mungkin tidak dapat terpenuhi sama
sekali. Seperti penjelasan yang berada pada halaman 17, bahwa konsumen dapat
mengkonsumsi apa saja sepanjang anggarannya memadai untuk itu, dan
cenderung untuk menghabiskan anggarannya demi mengejar kepuasan
maksimum. Akan tetapi dalam pandangan Islam hal tersebut sangat tidak efisien.
Oleh karena itu konsumen harus benar-benar mengetahui akan adanya pilihan-
pilihan kebutuhan yang harus dipilih, agar kebutuhan-kebutuhan yang lebih
penting dapat terpenuhi lebih dahulu.
Berkaitan dengan masalah ekonomi pendapat seseorang dialokasikan pada
beberapa bentuk pengeluaran yaitu konsumsi, tabungan dan sebagian dari
pendapatan tersebut dikurangkan untuk infak dan sadaqah, maka dengan
demikian besar pendapatan yang dapat dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan
hidup manusia harus seimbang.37
Dalam pandangan al-Qur’an, pembelanjaan atau pengeluaran konsumsi
biasanya menggunakan kata dengan istilah “infak”. Pengeluaran infak diharapkan
akan mendatanagkan maslahah bagi diri sendiri maupun bagi orang lain atau
masyarakat. Dalam pandangan pemikiran kata infak oleh para ahli tafsir diartikan
secara berbeda antara arti satu dengan arti yang lain. Ada yang mengartikan
bahwa infak dalam al-Qur’an adalah peneluaran yang berupa zakat yang wajib,
37 Seimbang mengandung arti sama besar tetapi terpenuhi kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau prioritasnya.
xxxviii
sadaqah sunnah maupun nafkah atas keluarganya. Dan sebagian yang lain
mengartikan bahwa infak adalah mencakup pengeluaran wajib maupun sunnah.
Dengan kata lain kata infak mencakup nafkah atau konsumsi untuk diri
sendiri dan keluarga, nafkah (zakat atau sadaqah) untuk kemakmuran masyarakat
nafkah untuk perjuangan di jalan Allah.38
1. Konsumsi untuk diri sendiri dan keluarga
Konsumsi untuk diri sendiri meliputi kebutuhan-kebutuhan pokok
yang harus dipenuhi dan kebutuhan fungsional yang terpenuhi setelah
memenuhi kebutuhan pokok, fungsional ini tidak bersifat primer, tetapi
merupakan kasenanagan dan kelengkapan.
Dalam memenuhi kebutuhan pokok para konsumen tidak
diperbolehkan mengkonsumsi semua barang yang ada karena pemenuhan
kebutuhan dalam ajaran Islam harus sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan dan seimbang antara pendapatan dengan pengeluaran. Sehingga
tidak ada kata berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut.
Begitu juga para konsumen tidak dibenarkan untuk melakukan sikap
terlalu menghemat baik untuk kepentingan diri maupun keluarga, padahal
sebenarnya mampu untuk mengeluarkan nafkah tersebut sehingga kebutuhan
pokoknya kurang terpenuhi. Hal ini merupakan sifat kikir atau bakhil yang
harus dihindari, sebagaimana sabda Nabi SAW.
38 Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam, hlm. 177.
xxxix
ت**وعي وال هك**ذا و هكذا أنفحي أو أنضحي أو أنفقي
39 عليك الله فيحصى تحصى وال عليك الله فيوعى
2. Tabungan
Masa depan bagi manusia merupakan sesuatu yang belum tentu, oleh
karena itu manusia harus mempersiapkan masa depannya. Dalam hal ini yaitu
manusia harus memenuhi kebutuhan jangka pendek (dunia) dan jangka
panjang (akherat). Dalam ekonomi, penyiapan untuk masa depan bagi
manusia dapat dilakukan dengan melalui tabungan atau menabung.
Menabung merupakan aktifitas menyimpan sebagian pendapatan yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting dan mendadak
untuk masa yang akan datang.
Dalam hal menabung atau menyimpan harta ada tiga alternatif yang
dapat dilakukan, yaitu:40
a. Memegang kekayaanya dalam bentuk uang kas.
Pola pertama ini sangat dilarang dalam Islam, karena harta yang
dipegangnya akan habis dimakan zakat dan harta tersebut tidak produktif
yang mengakibatkan terganggunya siklus ekonomi.
b. Memegang tabungan dalam bentuk aset tanpa berproduksi.
Pola kedua ini boleh dilakukan, dengan catatan mengikuti cara-
cara yang dianjurkan dan dibolehkan oleh ajaran Islam. Contoh pola ini
adalah deposito bank syari’ah, perhiasan atau dalam bentuk rumah.
39 Al-Imām Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, (ttp.: Dar al-Fikr, t.t.), VI: 346. Hadis ini diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar.
40 Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam, hlm. 180.
xl
c. Menginvestasikan ke proyek atau usaha yang menguntungkan dan tidak
dilarang dalam ajaran Islam.
Pola ketiga ini adalah pola yang sangat dianjurkan karena pola ini
akan sangat membantu aliran uang secara baik dan menyebabkan kondisi
kesehatan ekonomi.
3. Konsumsi untuk masyarakat (sebagai tanggung jawab sosial)
Dalam ajaran Islam konsumsi yang dimaksudkan untuk masyarakat
atau sebagai tanggung jawab sosial adalah kewajiban untuk mengeluarkan
sadaqah dan atau zakat. Karena hal ini merupakan pelaksanaan dalam
menjaga stabilitas dan keseimbangan ekonomi.
Zakat merupakan suatu input bagi upaya investasi yang dilakukan
oleh umat Islam. Dalam pengertian ini zakat dapat diwujudkan dalam bentuk
uang atau sebagai modal sehingga arus perekonomian tidak tersumbat. Oleh
karena itu dalam Islam penumpukan terhadap harta atau harta-harta tidak
diproduksikan sangat dilarang, sebab dapat menghambat bahkan bisa
menutup arus peredaran, dan juga akan mendorong manusia cenderung pada
sifat-sifat menyimpang dari ajaran Islam, seperti: tamak, rakus, tidak zakat,
tidak sadaqah, dan sejenisnya.
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN YŪSUF AL-QARADĀWĪ
TENTANG KONSUMSI
xli
A. Biografi Yūsuf al-Qaradāwī
1. Kelahiran dan Pendidikan Yūsuf al-Qaradāwī
Nama lengkap Yūsuf al-Qaradāwī adalah Muhammad Yūsuf al-
Qaradāwī, ia lahir pada tanggal 9 September 1926 di sebuah desa kecil di
Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta. Ia berasal dari keluarga yang
taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketika usia dua tahun, ayahnya
meninggal dunia yang kemudian diasuh oleh pamannya yang keluarganya
pun taat menjalankan ajaran Islam, ia diasuh sebagaimana layaknya terhadap
anak kandungnya sendiri. Sehingga Yūsuf al-Qaradāwī menganggapnya
sebagai orang tuanya sendiri, maka tidak heran kalau Yūsuf al-Qaradāwī
menjadi seorang yang kuat beragama.41
Kecerdasan Yūsuf al-Qaradāwī sudah mulai tampak sejak usianya
terhitung sangat belia, ketika usianya lima tahun ia dididik menghafalkan al-
Qur’an secara intensif oleh pamannya dan pada usianya yang kesepuluh
sudah hafal al-Qur’an dengan fasih. Karena kemahirannya dalam bidang al-
Qur’an pada masa remajanya ia terbiasa dipanggil oleh orang-orang dengan
sebutan Syekh Qaradāwī. Dan dengan kemahirannya serta suaranya yang
merdu, ia selalu ditunjuk untuk menjadi imam pada salat jahriyyah (salat
yang mengeraskan bacaannya).42
Dalam pendidikan, Yūsuf al-Qaradāwī telah lulus dari Ma’had Tanta,
selama empat tahun. Kemudian di Ma’had Sanawi yang diselesaikan dalam
41 Ensiklopesdi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), V: 1448, artikel “al-Qaradāwī, Yūsuf ”.
42 Ibid.
xlii
waktu lima tahun. Yūsuf al-Qaradāwī kemudian melanjutkan pendidikannya
ke Universitas Al-Azhar Cairo, beliau mengambil Fakultas Ushuludin,
jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 dengan predikat terbaik.
Pada tahun 1957 Yūsuf al-Qaradāwī masuk ke Ma’had al-Buhus ad-
Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah sehingga mendapatkan diploma tinggi di
bidang bahasa dan sastra. Di jurusan ini pun ia lulus dengan peringkat
pertama di antara 500 mahasiswa. Kemudian melanjutkan studinya ke
lembaga tinggi riset dan penelitian masalah-masalah Islam dan
perkembangannya, selama tiga tahun. Dan pada saat yang sama ia mengikuti
kuliah pada program pasca sarjana (Dirāsāt al-'Ūlā) di Universitas yang sama
dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis, berhasil diselesaikan pada tahun
1960. Setelah itu Yūsuf al-Qaradāwī melanjutkan program doktor yang
selesai dalam dua tahun, gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972
dengan disertasi “Zakat Dan Dampaknya Dalam Penanggulangan
Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah
buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa
modern.
Yūsuf al-Qaradāwī terlambat dalam meraih gelar doktor dari yang
diperkirakan semula karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya
rezim yang berkuasa saat itu. Pada tahun 1961 beliau menuju Qatar, di sana
Yūsuf al-Qaradāwī sempat mendirikan fakultas Syari’ah di Universitas
Qatar. Pada saat yang sama Yūsuf al-Qaradāwī mendirikan Pusat Kajian
Sejarah dan Sunnah Nabi.
xliii
Sebab yang lain yaitu pada tahun 1968-1970, Yūsuf al-Qaradāwī
ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan
Ikhwanul Muslimin.43 Setelah keluar dari tahanan, beliau hijrah ke Daha,
Qatar yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalan hidupnya, Yūsuf al-Qaradāwī pernah mengenyam
pendidikan penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, ia
masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya
dalam pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun. Pada April tahun 1956, ia
ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober Yūsuf al-
Qaradāwī kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.44
2. Aktifitas Ilmiah Yūsuf al-Qaradāwī
Yūsuf al-Qaradāwī adalah seorang tokoh umat Islam yang sangat
menonjol di zaman ini, ia pernah berprofesi sebagai penceramah dan pengajar
di berbagai masjid. Selain itu al-Qaradāwī menjadi pengawas pada Akademi
Para Imam, lembaga yang berada di bawah Kementerian Wakaf di Mesir.
Setelah itu al-Qaradāwī pindak ke urusan bagian Administrasi Umum untuk
Masalah-masalah Budaya Islam di Al-Azhar. Di tempat ini beliau bertugas
untuk mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang menyangkut
teknis pada bidang dakwah.45
43 Al-Ikhwan al-Muslimun: sebuah gerakan yang didirikan pada bulan Maret 1928 di Kairo, Mesir oleh al-Imam al-Hasan al-Banna yang bertujuan untuk mempromosikan Islam sejati dan meluncurkan perjuangan melawan dominasi asing. David Commins, “Hasan al-Banna (1906-1949), para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 133.
44 Yūsuf al-Qaradāwī, "Tentang Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9 Juli 2004.45
xliv
Dalam bidang dakwah, Yūsuf al-Qaradāwī aktif manyampaikan
pesan-pesan keagamaan mulai program khusus di radio dan televisi Qatar,
antara lain melalui acara mingguan yang diisi dengan tanya jawab tentang
keagamaan.
Yūsuf al-Qaradāwī mulai aktif dakwahnya sejak masa remajanya,
yaitu sejak masih duduk di sekolah menengah pertama di Tanta. Saat itu ia
masih berumur enam belas tahun. Memulai dakwahnya dari desanya yang
kemudian di lingkungan sekitarnya. Dalam dakwahnya banyak menggunakan
sarana yang bervariasi di antaranya adalah dari mimbar sebagai sarana
tradisional yang memiliki jejak sejarah panjang, yakni dari masjid-masjid,
dari masjidlah Yūsuf al-Qaradāwī menyampaikan khutbah dan pelajaran-
pelajarannya, menyampaikan nasehat dan fatwa-fatwanya. Hingga kini Yūsuf
al-Qaradāwī menjadi khatib tetap di Masjid Umar bin Khathab yang
pelaksanaannya langsung di televisi Qatar.46
Al-Qaradāwī juga telah menjadikan media sebagai mimbar
dakwahnya, diantaranya radio-radio, yang dalam penyampaiannya ada yang
berhubungan dengan Tafsir al-Qur’an, ada yang berkenaan dengan
keterangan-keterangn tentang Hadis, ada juga yang berhubungan nasehat-
nasehat tentang moral, ada pula yang berhubungan dengan tanya jawab
masalah agama secara umum; di televisi, diantaranya dalam acara Hadyu al-
Islam yang ditayangkan setiap hari jum’at di stasiun televisi di Qatar yang
465 Ishom Talimah, Manhaj Fiqh Yūsuf al-Qaradāwī, alih bahasa Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001), hlm. 4.
6 Ibid., hlm. 10.
xlv
berlangsung sampai sekarang, ada yang di televisi global yang di dalamnya
bercampur antara kebaikan dan kejahatan, program siaran ini bernama asy-
Syarī’ah wal Hayāh (syari’ah dan kehidupan). Di televisi al-Jazirah, al-
Qaradāwī dianggap sebagai acara yang paling sukses, ada pula di acara
televisi di Dubai yang acara ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepadanya yang dijawab tanpa persiapan sebelumnya. Ini semua
menggambarkan kedalaman ilmu pengetahuanm Yūsuf al-Qaradāwī. Hingga
sebuah surat kabarnya yang terbit di mesir memberikanya gelar sebagai
“ensiklopedi berjalan”. Bisa dikatakan tidak ada satu stasiun televisi pun yang
ada di wilayah Arab yang tidak menyiarkan ceramah-ceramah Yūsuf al-
Qaradāwī.47
Selain itu Yūsuf al-Qaradāwī juga menyebarkan dakwahnya melalui
media cetak. Tulisan-tulisan tersebar di berbagai majalah, surat kabar. Media
terakhir yang dijadikan sarana dakwah adalah media internet.48
3. Karya-karya Yūsuf al-Qaradāwī 49
Sebagai seorang ilmuwan dan da’i, Yūsuf al-Qaradāwī juga aktif
menulis artikel keagamaan di berbagai media cetak. Aktif melakukan
penelitian tentang Islam di berbagai dunia Islam maupun di luar dunia Islam.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, ia banyak menulis
buku-buku dalam berbagai masalah pengetahuan Islam, jelas tidak
mengherankan sekiranya mendapatkan predikat seorang mufti Islam dewasa
47 Ibid., hlm. 12.
48 Ibid.
49 Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449-1450.
xlvi
ini. Di antara karya-karyanya yang paling populer di kalangan perguruan
tinggi dan pesantren ialah:
a. Al-Halāl wa al- Harām fi al-Islām (tentang masalah yang halal dan haram
dalam Islam)
b. Fiqh az-Zakāh (berbagai masalah zakat dan hukumnya)
c. Al-Ibadah fi al-Islām (hal ihwal ibadah dalam Islam)
d. An-Nas wa al-Haqq (tentang manusia dan kebenaran)
e. Al-Iman wa al-Hayah (mengenai keimanan dan kehidupan)
f. Al-Hulul al-Mustauradah (paham hulul [Tuhan mengambil tempat pada
diri manusia] yang diimpor dari non Islam)
g. Al-Hill al-Islām (kebebasan Islam)
h. Syarī’ah al-Islām Sālihha li at-Tatbīq fi Kulli Zamānin wa Makānin
(mengenai syari’at islam, elastisitas dan kesesuaian dalam penerapannya
pada setiap masa dan tempat)
i. Al-Ijtihād fi asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah (ijtihad dalam syari’at Islam)
j. Fiqh as-Siyam (fikih puasa).
4. Metode Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī
Yūsuf al-Qaradāwī adalah seorang pemikir produk sejarah.50 Oleh
karena itu, untuk membaca pemikirannya, aspek historis yang mengitarinya
tidak dapat dilepas begitu saja, namun jelas pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī 50 Dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual, istilah
pemikiran merupakan sesuatu yang ambisius, dapat diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu, ia dapat diterapkan kepada seorang philosopher, thinker, scholar/intelektual, yang merujuk kepada figure pelajar. Lihat A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember 1998, hlm. 58.
xlvii
tidak dapat dilepas dari pemikiran Islamnya. Sikap moderat sering dilekatkan
pada pribadi Yūsuf al-Qaradāwī. Sikap moderat tersebut tidak dapat
diabaikan, karena hampir dalam semua karya Yūsuf al-Qaradāwī selalu
mengedepankan prinsip al-Wasatiyah al-Islamiyah (Islam pertengahan).
Corak pemikiran pertama yang bisa ditangkap dengan jelas dari pemahaman
Yūsuf al-Qaradāwī adalah pemahaman fiqhnya yang mampu menggabungkan
antara fiqh dan hadis. Ciri seperti ini merupakan ciri yang tidak pernah lepas
dari tulisan-tulisannya secara keseluruhan.
Sebagai ulama yang memiliki kepekaan apresiasi tinggi terhadap al-
Qur’an dan as-Sunah, Yūsuf al-Qaradāwī telah berhasil dengan sangat jenius
menangkap ruh dan semangat ajaran kedua sumber hukum Islam tersebut.
Fleksibelitasnya, kedalaman dan ketajamannya dalam menangkap ajaran
Islam sangat membantunya untuk selalu bersikap arif dan bijak, namun pada
saat yang sama ia pun sangat kuat dalam mempertahankan pendapat-
pendapatnya yang digalinya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Yūsuf al-
Qaradāwī dengan gencar mengedepankan Islam yang toleran serta kelebihan-
kelebihannya oleh umat-umat lain diluar agama Islam. Ia juga sangat berhati-
hati dan sangat selektif terhadap berbagai propoganda pemikiran Barat atau
Timur, termasuk dari karangan umat Islam sendiri, Yūsuf al-Qaradāwī tidak
pernah terjebak dalam dikotomi Barat dan Timur.51
Dalam masalah ijtihad, Yūsuf al-Qaradāwī merupakan seorang ulama
kontemporer yang menyuarakan bahwa menjadi seorang ulama mujtahid
51 Sri Vira Chandra, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili, No. 25, Th. VII (31 Mei 2000), hlm. 80.
xlviii
yang berwawasan luas dan berpikir obyektif, ulama harus lebih banyak
membaca dan menelaah buku-buku agama yang ditulis oleh orang non Islam
serta membaca kritik-kritik pihak lawan Islam.52
Yūsuf al-Qaradāwī adalah salah seorang dari sedikit ulama yang tak
jemu mengembalikan identitas umat melalui tulisan-tulisannya. Keresahan
menyaksikan tragedi perpecahan umat dan galau akan kebodohan umat
terhadap ajaran Islam menjadi titik tolak sikapnya mengembangkan budaya
menulis. Sekali lagi, Yūsuf al-Qaradāwī berkeyakinan bahwa mengambil
jalan pertengahan (sikap moderat) adalah yang terbaik dan yang paling sesuai
dengan warisan nilai Islam. Dan cara menyebarkan opini itu adalah melalui
tulisan.53
Menanggapi adanya golongan yang menolak pembaharuan, termasuk
pembaharuan hukum Islam. Yūsuf al-Qaradāwī berkomentar bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak mengerti jiwa dan cita-cita Islam dan tidak
memahami parsialitas dalam kerangka global. Menurutnya, golongan modern
ekstrem yang menginginkan bahwa semua yang berbau kuno harus
dihapuskan meskipun telah mengakar dengan budaya masyarakat, sama
dengan golongan di atas yang tidak memahami jiwa dan cita-cita Islam yang
sebenarnya. Yang diinginkannya adalah pembaharuan yang tetap berada di
bawah naungan Islam. Pembaharuan hukum Islam, menurutnya bukan berarti
ijtihad semata, karena ijtihad lebih ditekankan pada bidang pemikiran dan
52 Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449.
53 Yūsuf al-Qaradāwī, Umat Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain), alih bahasa Yogi P. Izza, (Solo: Intermedia, 2001), hlm. 327.
xlix
bersifat ilmiah, sedangkan pembaharuan harus meliputi bidang pemikiran
sikap mental dan sikap bertindak yakni ilmu, iman dan amal.54
Dalam metode ijtihad yang ditempuh oleh Yūsuf al-Qaradāwī dalam
berfatwa ini ditegaskan atas beberapa prinsip sebagai berikut: 55
a. Tidak fanatik dan tidak taqlid.
Ini merupakan prinsip pertama, yaitu terlepas dari fanatisme
mazhab dan taqlid buta terhadap siapa pun, baik kepada ulama terdahulu
maupun ulama setelahnya. Karena telah dikatakan “tidaklah berbuat
taqlid kecuali orang fanatik atau orang tolol”. Pada hakekatnya tidak
fanatik dan tidak taqlid bukanlah menodai mereka, akan tetapi merupakan
penghormatan sepenuhnya kepada para imam dan fuqaha kita. Bahkan
mengikuti metode dan cara mereka, melaksanakan pesan mereka agar kita
tidak taqlid kepada mereka atau kepada orang lain, dan mengambil
sesuatu dari sumber tempat mereka mengambil.
Sikap ini tidak mutlak dimiliki oleh seorang ulama yang
independen dalam pemahaman yang telah mencapai derajat mujtahid
seperti imam-imam terdahulu, namun cukup bagi seorang ulama yang
independen dalam sikap ini beberapa hal berikut:
1) Tidak mengemukakan pendapat atau keputusan yang tidak ada dalil
yang kuat atau dalil yang tidak kontradiktif dan tidak menjadi seperti
sebagian orang yang mendukung satu pendapat tertentu karena
54 Ibid.
55 Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer (Fatawa Mu’asirah), alih bahasa As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), I: 21.
l
pendapat tersebut merupakan pendapat mazhabnya yang tanpa melihat
dalil atau bukti kebenarannya.
2) Mampu melakukan tarjih di antara berbagai pendapat yang berbeda
atau berlawanan dengan mempertimbangkan dalil-dalil dan
argumentasi masing-masing serta memperhatikan sandaran mereka,
baik dari dalil naqli maupun aqli.
3) Mampu berijtihad secara parsial, yaitu ijtihad untuk menentukan
masalah-masalah tertentu, terlebih masalah yang belum diputuskan
oleh para ulama terdahulu dan mampu menetapkan hukum dengan
cara menggalinya dari nas-nas umum yang sahih atau
mengqiyaskannya kepada masalah yang serupa yang ada nas
hukumnya atau juga dengan menggunakan kaidah istihsan,56
maslahah mursalah,57 atau dengan cara yang lainnya.
b. Mempermudah, tidak mempersulit.
Hal ini dasarkan atas dua alasan. Alasan pertama mengenai
masalah taharah dan tayamum, dalam surat al-Maidah Allah berfirman:
56 Istihsan dalam pengertian umum ialah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedang menurut istilah ahli ushul, berarti pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy (qiyas yang illatnya samar-samar yang ada pada pokok, yang kemudian dipetik dari padanya), atau dalil kully kepada hukum lakhsis. Ini disebabkan ada dalil yang menyebabkan mujtahid menyalahkan cara berpikirnya, dan mementingkan pemindahannya. Karena itu jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada nas hukumnya, ada dua cara pembahasan yang berlawanan, yaitu: a) dari segi zahir yang berkehendak adanya suatu hukum, dan b) dari segi zahir yang berkehendak adanya suatu hukum lain. Dalam hal ini, pada diri mujtahid telah terdapat dalil yang lebih mendahulukan pandangan khafiy. Kemudian karena berpindahnya kepada yang zahir (nyata), maka hal ini menurut syara', disebut Istihsan. A. Hanafi, Ushul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1975), hlm. 142.
57 Maslahah Mursalah menurut bahasa adalah kebaikan yang tersebar. Menurut istilah adalah perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat Islam atau untuk menarik manfaat dan menolak kerusakan seperti kesempitan, sedangkan tidak terdapat dalil syara' pun yang menunjukkan ada atau tidak adanya hukum tersebut, Ibid.
li
يري**د ولكن ح**رج من عليكم ليجع**ل الله مايريد
58تشكرون. لعلكم عليكم نعمته وليتم ليطهركم
Dalam surat al-Baqarah ayat 185 juga dijelaskan mengenai pemberian
dispensasi kepada orang sakit serta musafir untuk berbuka, firman Allah:
59العسر بكم يريد وال اليسر بكم الله يريد
Selain kedua ayat di atas, disebutkan pula di dalam surat an-Nisa’ ayat 28
yang membicarakan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, yakni
Allah memberikan kemurahan untuk mengawini budak-budak wanita
yang beriman bagi orang yang tidak mampu kawin dengan wanita
merdeka.
ضعيفا االنسان وخلق عنكم يخفف ان الله 60يريد
Dan di dalam surat al-Hajj ayat 78 juga disebutkan berkaitan dengan hal
ini Nabi SAW pun bersabda
61.تنفروا وال وبشروا تعسروا وال يسروا
Alasan yang kedua yaitu karakteristik zaman yang terus tambah,
dimana zaman sekarang menggambarkan sikap hidup materialisme yang
lebih dominan dari pada spiritualisme, individualisme lebih dominan dari
pada kebersamaan (sosialisme), pragmatisme lebih dominan dari pada
akhlak. Maka sudah seharusnya bagi ahli fatwa untuk memberikan
58 Al-Maidah (5): 6.
59 Al-Baqarah (2): 185. 60 An-Nisa’ (4): 28.
61 Al-Imām Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hambal, (ttp.: Dar al-Fikr, t.t.),
IV: 417. Hadis dari Abu Burdah dari ayahnya dari kakeknya.
lii
kemudahan kepada mereka sesuai dengan kemampuannya, dan banyak
memberikan rukhsoh (yang meringankan) dari pada ‘azimah (yang keras
atau berat) agar mereka makin gemar dalam menjalankan agama dan
mengokohkan kakinya dijalan yang lurus.
c. Berbicara dengan bahasa aktual.
Yaitu berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah
dicerna oleh masyarakat penerima fatwa, dengan menjauhi istilah-istilah
yang sukar dimengerti atau ungkapan-ungkapan yang aneh, sebagaimana
yang Allah firmankan:
62 لهم ليبين قومه بلسان إال رسول من ارسلنا وما
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang mufti dalam
penguasaan bahasa, antara lain:
1) Berbicara secara rasional dan tidak berlebihan
2) Tidak menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti
3) Menyebutkan hukum disertai hikmah dan sebab ketentuan
hukumnya (‘illat) yang dikaitkan dengan epistimilogi Islam.
d. Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
Prinsip keempat yang digunakan adalah tidak menyibukkan
dirinya dalam masyarakat kecuali dengan sesuatu yang bermanfaat bagi
mereka. Hal ini harus dipatuhi oleh seorang mufti, yang terkadang dan
bahkan sering terjadi seorang mufti mendapatkan pertanyaan-pertanyaan
yang tidak serius, bahkan cenderung berupa ejekan. Seorang mufti harus
62 Ibrahim (14): 4.
liii
pandai mensikapi masalah tersebut, dengan cara mengesampingkan
pertanyaan tersebut dan bahkan tidak menghiraukan sama sekali. Sebab
hal itu dapat menimbulkan bahaya yang tidak membawa manfaat, dapat
meruntuhkan, dapat memecah, tidak membangun dan tidak
mempersatukan umat.
e. Bersikap moderat: antara memperlonggar dan memperkuat.
Prinsip kelima yang digunakan adalah bersikap moderat
(pertengahan) antara tafrit (memperingan) dengan ifrat (memperkuat).
Seorang mufti tidak menginginkan masyarakatnya hendak melepaskan
ikatan-ikatan hukum yang telah tetap dengan alasan menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman seperti yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengabdikan pada modernisasi. Selain itu juga tidak ingin
masyarakatnya hendak membakukan dan membekukan fatwa-fatwa,
perkataan dan ungkapan-ungkapan terdahulu karena menganggap suci
segala sesuatu yang dulu.
f. Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan.
Seorang mufti dalam menjawab pertanyaan dituntut untuk
memberikan keterangan dan penjelasan, karena dengan begitu orang yang
bodoh menjadi mengerti, orang yang lupa menjadi sadar, orang yang ragu
menjadi mantap, orang yang bimbang menjadi yakin, orang yang pandai
menjadi bertambah ilmunya, dan orang yang beriman semakin bertambah
imannya.
liv
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufti
dalam memberikan keterangan dan penjelasan adalah sebagai berikut:63
a. Fatwa tidak ada artinya jika tidak disertai dalil. Karena keindahan dan
ruh fatwa itu terletak pada dalil itu sendiri.
b. Menyebutkan hikmah dan sebab hukum.
c. Mengkomparasikan sikap dan pandangan Islam dengan sesuatu yang
di luar Islam.
d. Memberikan pengantar atau pendahuluan ketika hendak menjelaskan
hukum yang dirasa aneh atau asing.
e. Memberikan alternatif lain untuk hukum yang diharamkan.
f. Menghubungkan sesuatu yang telah ditentukan dengan sesuatu yang
lain dalam hukum Islam. Dengan demikian dapat dilihat secara jelas
keadilan, kebaikan dan keunggulan syari’at Islam.
g. Tidak wajib dijawab atas pertanyaan yang tidak ada urgensinya dan
tidak membawa manfaat sama sekali.
Dalam bidang ekonomi Islam,64 Yūsuf al-Qaradāwī tidak lama
menfokuskan terhadap masalah ekonomi Islam baik secara teoritis maupun
praktis. Dari sisi teoritis telah banyak disampaikan ceramah dan pelatihan
tentang ekonomi Islam dan mengarang beberapa buku tentang ekonomi Islam
yang banyak tersebar di beberapa negara Islam. Dari sudut praktis Yūsuf al-
Qaradāwī merupakan sosok pendukung utama pendirian bank-bank Islam,
63 Yūsuf al-Qaradāwī, Konsep dan Praktek Fatwa Kontemporer, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, cet. I (Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 1996), hlm. 110.
64 Ishom Talimah, Manhaj Fiqh, hlm. 15.
lv
baik sebelum bank itu berdiri maupun setelahnya. Dalam kitabnya bai’ al-
murabahah, ia berkata “sesungguhnya kepedulian saya terhadap ekonomi
Islam merupakan gambaran kepedulian saya terhadap salah satu sisi syari’ah
Islam dan usaha-usaha penerapannya di dalam segala lapangan kehidupan
serta usaha menjadikannya sebagai pengganti hukum-hukum positif yang ada
saat ini.”
Selain hal di atas, dalam pengambilan hadis yang digunakan oleh
Yūsuf al-Qaradāwī lebih mengunggulkan hadis yang mengandung ketentuan
hukum yang meringankan dari pada hadis yang mengandung ketentuan
hukum yang memberatkan. Karena prinsip-prinsip hukum Islam adalah
meringankan, bukan memberatkan.65
B. Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Konsumsi
1. Tidak kikir atau bakhil
Harta yang ada di dalam semesta ini adalah anugrah yang diberikan
Allah SWT. kepada manusia. Dan setiap manusia mempunyai hak yang
disahkan menurut Islam untuk memiliki harta, namun kepemilikan harta itu
bukanlah tujuan tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah
untuk mewujudkan kemaslahatan umum.
Perintah diwajibkan untuk membelanjakan harta tercantum setelah
anjuran beriman kepada Allah dan nabi-Nya. Kombinasi antara iman dan
infak banyak terdapat di dalam ayat al-Qur’an, sebagaiman firman Allah :
65 Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 235.
lvi
رزقن**اهم ومم**ا الص**لوة ويقيم**ون ب**الغيب يؤمنون الذين66. ينفقون
Dalam membelanjakan harta, Islam menggariskan bahwa tidak boleh
melampaui batas, misalnya dalam menafkahkan hartanya untuk orang
banyak dalam jumlah lebih besar dari pada nafkah pribadinya dan sebaliknya
dalam membelanjakan harta tidak boleh terlalu menghemat baik untuk
kepentingan diri maupun keluarganya. Sebagaimana firman Allah:
البسط كل والتبسطها عنقك الى مغلولة يدك والتجعل
فتقعد
67 محسورا ملوما
Allah melarang makhluknya menjerat leher dengan cara hidup terlalu
hemat sebagaimana telah melarang hidup boros dan berfoya-foya. Dalam hal
ini tidak hanya terbatas pada pakaian, tetapi mencakup juga sandang, pangan,
papan dan segala kebutuhan pokok.
Adapun dalam membelanjakan harta menurut Yūsuf al-Qaradāwī ada
beberapa sasaran, yaitu sebagai berikut:68
a. Fi sabilillah.
Bentuk membelanjakan harta atau menafkahkan harta fi sabilillah
(di jalan Allah) terdapat bermacam-macam bentuk variasi:
66 Al-Baqarah (2): 3
67 Al-Isra’ (17): 29.
68 Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai & Moral Dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 214.
lvii
1) Dalam bentuk perintah dan peringatan. Allah
memerintah kita supaya jangan menjatuhkan diri kedalam kebinasaan.
Dalam artian menyibukkan diri dengan kepentingan pribadi dengan
mengabaikan problematika umat. Dalam firman Allah disebutkan:
69 التهلكة الى بأيديكم والتلقوا الله سبيل فى وانفقوا2) Dalam bentuk pengingkaran seperti dalam firman Allah:
الس**موات م**يراث ولل**ه الله سبيل فى تنفقوا اال ومالكم70واألرض
3) Dalam bentuk anjuran dengan pokok yang baik, seperti diungkapkan
dalam ayat:
كمثل الله سبيل فى اموالهم ينفقون الذين مثل
حب**ة مائ**ة سنبلة كل فى سنابل سبع انبتت حبة
71عليم واسع والله يشاء لمن يضاعف والله
4) Dalam bentuk ancaman yang keras dengan sanksi Allah dan azab-Nya
yang pedih, seperti diungkap dalam ayat yang artinya :
ينفقونه**ا وال والفض**ة ال**ذهب يك**نزون وال**ذين
. ي**وم اليم بع**ذاب فبش**رهم الل**ه س**بيل فى
69 Al-Baqarah (2): 195.
70 Al-Hadid (57): 10.
71 Al-Baqarah (2): 261, lihat juga ayat 245.
lviii
و جب**اههم بها فتكوى جهنم نار في عليها يحمى
ألنفس**كم ك**نزتم م**ا ه**ذا وظه**ورهم جن**وبهم
72تكنزون كنتم ما فذوقوا
Dari ayat-ayat di atas maka pengalokasian nafkah yang wajib
dibelanjakan hendaknya diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan.
Mengenai berapa nafkah yang dikeluarkan, seperti dalam firman
Allah menjelaskan.
73 العفو قل ينفقون ماذا ...
Kata al-‘afwu bermakna kelebihan dari kebutuhan
74تعول بمن وابدأ غنى ظهر عن ماكان الصدقة خير
Menurut sebagian ulama dalam mengartikan menafkahkan harta di
jalan Allah berarti semua amal yang mendekatkan diri kepada Allah
secara umum. Sedangkan menurut empat mazhab, bahwa di jalan Allah
72 Al-Taubah (9): 34-35.
73 Al-Baqarah (2): 219.
74 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalānī, Fathul Bāri (Bi Syarhi Sahīh al-Bukhārī), (ttp.: Salafiyah, t.t.), hlm. 294, hadis nomor 1426, “Kitāb az-Zakāh,” “Bāb Lā Sadaqata Illā ‘an Zahri Ganiyyi.” Hadis ini sahih dan diriwayatkan dari Abu Hurairah.
lix
dibatasi pada masalah-masalah yang dihubungi dengan jihad saja, yaitu
perjuangan yang ikut bertempur dimedia perang.75
Adapun pendapat Yūsuf al-Qaradāwī mengenai arti nafkah “di
jalan Allah” diperluas, sehingga akan meliputi segala masalah yang baik,
dan tidak dipersempit pada masalah-masalah yang ada hubungannya
dengan jihad, misalnya untuk militer dan perlengkapannya saja. Arti jihad
terhadap itu sangat luas, jihad tidak hanya dengan pedang atau
perlengakapan militer lainnya, akan tetapi dengan pena atau lidah sudah
termasuk bagian dari jihad, dibidang ekonomi, politik, pendidikan atau
sosial pun termasuk bagian dari jihad..76
Dengan demikian arti jihad dalam ekonomi khususnya konsumsi
termasuk berusaha dan mencegah untuk tidak bakhil atau kikir, juga
termasuk berfoya-foya dan melakukan kemubadziran.
b. Untuk diri dan keluarga.
Bentuk nafkah yang kedua adalah nafkah untuk diri sendiri dan
keluarga yang ditanggungnya. Sudah seharusnya menjadi kewajiban bagi
diri manusia yang telah dikaruniai oleh Allah sebagai makhluk yang
paling sempurna ciptaan-Nya dibanding makhluk-makhluk yang lain
untuk menjaga mempertahankan hidup sebagai rasa syukur, bukan hanya
pada diri sendiri tetapi termasuk keluarganya. Seorang muslim tidak
diperbolehkan mengharamkan harta halal dan harta yang baik untuk
75 Yūsuf al-Qaradāwī, Fatawa Qardawi: Permasalahan, Pemecahan & Hikmah, alih bahasa Abdurahman Ali Bauzir, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), hlm. 169.
76 Ibid,. hlm. 170.
lx
dikonsumsi bagi dan keluarganya, padahal sudah jelas mampu
mendapatkannya. Perintah diwajibkannya manusia untuk menikmati
kenikmatan yang halal, seperti makanan, minuman dan perhiasan, dalam
al-Qur’an diterangkan secara global
من والطيب**ات لعب**اده أخ**رج ال**تي الله زينة حرم من قل77 الرزق
Dalam hal ini juga tidak membenarkan kesengsaraan yang
disengaja dijalani, dengan alasan untuk beribadah atau untuk menghemat
uang karena hal tersebut termasuk sikap yang membinasakan kehidupan
manusia.
Kehidupan istri dan anak-anaknya merupakan bagian dari
kehidupan diri sendiri yang sudah sepantasnya untuk diberi nafkah, dan
bukan hanya sekedar nafkah tetapi nafkah yang baik.
المقترقدره على و قدره الموسع على ومتعوهن
78 المحسنين على حقا بالمعروف متاعا
Bukan hanya nafkah baik yang harus diberikan, namun termasuk
membangun rumah yang luas dan nyaman. Dalam pembangunan rumah
ini seseorang harus mempunyai sikap yang sama dalam memberikan dan
mengkonsumsi nafkah yang diberikan, yaitu sikap tidak boros atau
mubazir.
77 Al-A’raf (7): 32.
78 Al-Baqarah (2): 236.
lxi
Keindahan dalam rumah bukan berarti mendorong untuk bersikap
boros, karena keindahan ini sifatnya relatif yaitu tergantung pada tempat
dan waktu.
2. Tidak mubazir
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk
memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di
jalan Allah. Dengan kata lain, bahwa Islam adalah agama yang memerangi
kekikiran dan kebakhilan.
Mubazir adalah menghambur-hamburkan uang tanpa ada
kemaslahatan atau tanpa mendapatkan pahala. Di dalam kamus, tabzir artinya
“pemborosan dan penghamburan harta”.
Menurut sebagian orang, menghambur-hamburkan uang selalu
berkaitan dengan sikap boros dalam membelanjakan barang yang haram.
Pendapat lain bahwa menghambur-hamburkan berkaitan dengan
membelanjakan barang haram. Tapi pendapat yang paling kuat adalah,
menghambur-hamburkan uang itu berkaitan dengan segala jenis
pembelanjaan yang tidak diizinkan oleh syari’at, baik untuk kepentingan
agama maupun kepentingan dunia.
Betapa banyak ditemukan bahwa mannusia membenjakan hartanya
untuk membeli minuman keras, narkotika, dan barang memabukkan lainnya,
sedang ia hidup dalam kamiskinan.
Sikap mubazir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik
kemaslahatan pribadi ataupun kemaslahatan orang lain. Lain halnya jika harta
lxii
atau uang itu dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala,
dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Dan pola hidup
sederhana tidak hanya dituntut dalam kehidupan pribadi akan tetapi pola
hidup sederhana juga dituntut dalam kehidupan bernegara.
Sikap boros termasuk sikap yang merusak harta, meremehkan, atau
kurang merawatnya sehingga rusak dan binasa. Perbuatan ini termasuk
kriteria menghambur-hamburkan uang yang dilarang contohnya adalah
menelantarkan hewan hingga kelaparan atau sakit, menelantarkan tanaman
hingga rusak, menelantarkan biji-bijian, makanan atau buah-buahan hingga
rusak dimakan bakteri atau serangga dan membiarkan bangunan rusak
dimakan usia. Termasuk menelantarkan tanaman tanah perkebunan tanpa
ditanami, menelantarkan sumber daya hewani padahal kulit, susu atau bagian
lainnya bisa dimanfaatkan, dan lain-lain.79 Islam tidak hanya menentang sikap
berlebih-lebihan dalam beribadah seperti puasa, sholat, membaca al-Qur’an,
bangun malam sehingga menggangu kesehatan badan karena, Islam adalah
agama yang memperhatikan kesehatan badan dengan cara menunjukkan pola
hidup sederhana.
3. Kesederhanaan
Islam mewajibkan setiap orang mambelanjakan harta miliknya untuk
memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di
jalan Allah dengan sikap sederhana, dalam firman Allah :
79 Yūsuf al-Qaradāwī, Norma & Etika, hlm. 157.
lxiii
وك**ان يق**تروا ولم يس**رفوا لم انفق**وا إذا وال**ذين80 قواما ذلك بين
Sikap sederhana semakin ditekankan ketika pemasukan seseorang
sangat minim, dengan cara menahan atau mengurangi pengeluarannya.
Kesederhanaan dalam konsumsi ini berlaku bagi siapa saja dan untuk siapa
saja.
Pada prinsipnya setiap individu dalam syari’at Islam bebas untuk
mengkonsumsi rizki yang baik dan yang dihalalkan Allah, tapi dengan syarat
tidak membahayakan diri, keluarga atau pun masyarakat. Kebebasan yang
diberikan Allah bukan berarti dengan semauanya sendiri untuk
membelanjakan hartanya tanpa melihat batasan-batasan yang telah disebutkan
di depan, yang bisa mengakibatkan seseorang berhutang.
Menurut Yūsuf al-Qaradāwī bukan cuma sikap sederhana yang harus
diterapkan tapi termasuk menghindari dari sikap kemewahan. Kemewahan
merupakan sikap yang dilarang karena menenggelamkan diri dalam
kenikmatan dan bermegah-megahan.
. كريم وال بارد يحموم. ال من وظل وحميم سموم في
81 مترفين ذلك قبل كانوا إنهم
80 Al-Furqan (25): 67
81 Al-Waqi’ah (56): 42-45.
lxiv
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang hidup mewah
dalam perspektif al-Qur’an dianggap sebagai musuh dalam setiap risalah,
lawan setiap gerakan perbaikan dan kemajuan. Kemewahan di sini yaitu
terlampau berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana
hiburan, serta segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari berbagai jenis
makanan dan minuman serta apa saja yang memadai rumah dari perabot dan
hiasan, seni dan patung serta berbagai peralatan dari emas dan perak dan
sejenisnya.
Dalam Islam kemewahan merupakan faktor utama dari kerusakan dan
kehancuran bagi diri sendiri dan masyarakat, sementara standar kemewahan
antara seorang dengan orang lain sangat berbeda dan tergantung pada
pendapatan masing-masing. Walaupun standar kemewahan terkait dengan
pendapatan individu, namun Islam menetapkan beberapa jenis barang yang
tergolong sebagai tanda kemewahan, di antaranya adalah:82
a. Cawan emas dan perak.
Cawan emas dan perak ini tidak hanya untuk makan dan minum,
akan tetapi cawan emas dan perak ini termasuk untuk perhiasan rumah,
terutama patung-patung perak dan emas.
يجرج**ر فإنم**ا فض**ة او ذهب من اناء في شرب من
بطنه في
83جهنم نار
82 Yūsuf al-Qaradāwī, Norma & Etika, hlm 153.
83 Muslim, Jāmī’ as-Sahīh, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), V:135, “Kitāb al-Libās wa az-Zīnati,” “Bāb Tahrīm Isti’māl Inā’ az-zahabi wa al-Fidoh.” Menurut Turmuzi hadis ini hasan sahih,
lxv
b. Kasur dari bahan kain sutra murni.
Selain dilarang memakai cawan emas dan perak Nabi SAW. juga
melarang memakai sutra atau duduk di atasnya. Diberitahukan kepada
Nabi oleh sahabat:
انية فى نشرب ان وسلم عليه الله صلى النبي نهانا
الحري**ر لبس وعن فيه**ا، نأك**ل وان والفض**ة الذهب
والديباج
84عليه نجلس وان
c. Gelang emas dan pakaian sutra bagi laki-laki.
Termasuk pena emas, jam tangan dari emas, korek api dan emas
dan sejenisnya.
Yūsuf al-Qaradāwī menekankan kesederhanaan dalam hal
konsumsi tidak hanya pada seseorang dan keluarganya, namun
kesederhanaan dalam pembelanjaan ditekankan pada kepentingan
masyarakat atau umum dan dalam pembelanjaan negara.85
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN YŪSUF AL-QARADĀWĪ
diriwayatkan dari Ummi Salamah.
84 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), VII:45, “Kitāb al-Libās,” “Bāb Iftirāsy al-Harīr.” Hadis ini diriwayatkan dari Khuzaifah.
85 Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 278.
lxvi
TENTANG KONSUMSI
A. Perilaku Konsumsi dan Implementasinya
Tujuan Islam (maqasid asy-syari’ah) adalah bukan semata-mata bersifat
materi, sebaliknya tujuan itu didasarkan pada konsep-konsepnya sendiri mengenai
kesejahteraan (falah) dan kehidupan yang baik (hayat tayyibah) yang memberikan
nilai sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi dan menuntut
suatu kapuasan yang seimbang baik dalam kebutuhan materi maupun rohani.
Keimanan merupakan urutan pertama dalam syari’ah karena memberikan
cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian yaitu perilaku,
gaya hidup, selera dan prefensi manusia, sikap-sikap terhadap manusia, sumber
daya dan lingkungannya. Keimanan tersebut didasarkan pada tiga prinsip
fundamental, yaitu: tauhid (keesaan tuhan), khalifah (perwakilan) dan ‘adalah
(keadilan). Prinsip-prinsip ini tidak hanya membentuk pandangan dunia Islam,
tetapi juga membentuk ujung tombak maqasid. Menurut al-Ģazali, yang termasuk
maqasid asy-syari’ah adalah segala sesuatu yang dianggap penting bagi manusia
untuk melindungi dan memperkaya keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan
harta benda.
Harta adalah salah satu unsur kekuatan umat dan salah satu pilar
kebangkitannya. Dengan harta, umat bisa merealisasikan rencananya, bertambah
pamasukannya dan menaikkan tingkat penghasilan penduduknya. Bahkan
pemilikan harta dan pemanfaatan sumber daya alam punya peran besar dalam
lxvii
mewujudkan kesejahteraan di dalam kehidupan umat, kendati demikian harta juga
menjadi ancaman bahaya bagi umat dan generasinya.86
Harta merupakan tujuan syari’ah yang berada pada urutan terakhir karena
harta bukanlah merupakan tujuan itu sendiri, melainkan harta adalah sebuah alat
untuk merealisasikan kesejahteraan manusia. Harta tidaklah dapat mewujudkan
kesejahteraan kecuali dialokasikan secara efisien dan didistribusikan secara adil.
Dalam pemenuhan kebutuhan yang merata akan menjadikan semua generasi
mampu memberikan sumbangan yang besar ke arah realisasi dalam mengejar
falah dan kehidupan yang baik.
Dalam firman Allah:
في**ه مس**تخلفين جعلكم مما وأنفقوا ورسوله بالله آمنوا... 87
Konsekuensinya bahwa harta yang telah dipegang atau sudah menjadi
miliknya harus diinfakkan atau dinafkahkan, karena harta adalah milik Allah dan
manusia hanya sebagai pemegang amanat untuk memanfaatkan atau
membelanjakan harta yang sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan atau
menurut hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah.
Karena penyusun membahas tentang pemikiran tokoh yaitu Yūsuf al-
Qaradāwī tentang konsumsi dimana telah dikeluarkan beberapa prinsip yang telah
dipaparkan di bab sebelumnya, yang kemudian pada bab ini penyusun mencoba
manganalisis terhadap prinsip-prinsip Yūsuf al-Qaradāwī tersebut.
86 Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam,alih bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 109.
87
? Al-Hadīd (57): 7
lxviii
1. Tidak Kikir atau Bakhil
Manusia adalah makhluk yang memiliki fitroh mencintai harta benda.
88 لشديد الخير لحب وإنه
Sifat tersebut terlihat pada manusia yang suka mngumpulkan harta. Hal
itulah yang menjadikan Islam untuk menetapkan aturan-aturan mengenai harta.
Pendefinisian bakhil pada intinya sama, namun dalam penjelasan tersebut
ada yang secara rinci dan ada yang secara global. Menurut Yūsuf al-Qaradāwī,
bakhil adalah tidak memberikan infaq baik wajib maupun sunnah, baik untuk diri
sendiri maupun untuk keluarga, untuk masyarakat maupun fi sabilillah (di jalan
Allah). Sedangkan menurut Afzalurrahman, kebakhilan adalah manakala
seseorang tidak menafkahkan hartanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya
sesuai kebutuhan masing-masing dan manakala seseorang tidak menafkahkan
hartanya untuk tujuan kebaikan dan kedermawanan.
Kebakhilan bisa jadi tidak memberikan infak untuk kebutuhan yang wajib
dipenuhi sebagai kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan, atau dari
salah satu dari ketiganya tidak terpenuhi. Atau bisa jadi kebutuhan tersebut
terpenuhi dengan jumlah yang sangat minim, sehingga kebutuhan tersebut kurang
walaupun sebenarnya mereka mampu untuk memenuhinya. Dan masih banyak
contoh-contoh yang lainnya, seperti tidak menunaikan zakat, ini yang sifatnya
wajib apalagi yang sifatnya sunnah, seperti membiarkan tetangganya menangis
karena kelaparan. Dilihat dari perilaku-perilaku yang seharusnya mereka lakukan
88 Al-Ādiyāt (100): 8.
lxix
adalah perilaku yang diperbolehkan dan dihalalkan. Dan pada umumnya Islam
menganggap perilaku yang tidak seharusnya mereka lakukan atau kebakhilan
tersebut sebagai suatu kejahatan.
Dengan tidak membelanjakan harta yang telah dikaruniakan dan
dianugrahkan oleh Allah berarti mereka melakukan tiga kesalahan.
a. Tidak bersyukur kepada Allah.
Dengan tidak membelanjakan harta yang dikaruniakan oleh Allah
untuk diri sendiri, kerabat dan teman-teman berarti mereka tidak bersyukur
kepada Allah. Dalam al-Qur'an manusia diingatkan bahwa penggunaan
kekayaan yang sebaik-baiknya adalah kekayaan yang dibelanjakan, bukan
kekayaan yang disimpan atau ditimbun. Orang-orang yang menimbun
hartanya berarti berarti mereka termasuk orang yang tidak bersyukur, karena
mereka tidak menggunakan hartanya untuk tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan tidak memberikan sebagian harta mereka kepada masyarakat
berarti mereka telah mencabut hak-hak masyarakat untuk memanfaatkannya.
Sehingga timbul penyalahgunaan karunia Allah yang diperuntukkan untuk
kemaslahatan umat manusia.
b. Menyembunyikan harta mereka dari masyarakat.
Mereka menyangka bahwa tindakan kebakhilan ini baik buat mereka,
sedangkan di dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa perbuatan tersebut buruk
dan tidak mendatangkan manfaat. Dengan tidak menafkahkan harta mereka
sebenarnya mereka telah mengabaikan bahwasanya bagi masyarakat
pemanfaatan harta tersebut sangat penting dalam proses produksi. Dengan
lxx
demikian, berarti mereka memboroskan kekayaan masyarakat umum yang
sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kekayaan selanjutnya.
c. Dengan menyembunyikan harta mereka berarti mereka telah
merendahkan tingkat penggunaan dan dengan demikian turut mengurangi
tingkat produksi dan kesempatan kerja dalam masyarakat.
Jika kebakhilan merajalela di masyarakat, sehingga masyarakat
melakukan penimbunan harta, kemudian tidak ada yang bersedia menjadi
konsumen, sehingga daya beli masyarakat berkurang, tidak ada yang bersedekah
sehingga orang miskin terlantar dan bertambah, maka cepat atau lambat roda
perekonomian akan berhenti.
Kebakhilan sangatlah merugikan suatu bangsa, produksi yang selalu
berjalan untuk konsumsi akan berhenti dan tidak menghasilkan apa-apa, yang
kemudian mengalami kerugian dan bisa mengakibatkan matinya suatu bangsa.
Menurut Keynes, bahwa konsumsi dapat meningkat jika pertumbuhan
tenaga kerja meningkat. Dan dapat disimpulkan bahwa pengurangan dalam
konsumsi atau kebakhilan dapat menyebabkan menurunnya kesempatan kerja.
2. Tidak Mubazir
Mubazir adalah membelanjakan harta di dalam hal yang tanpa ada
kemaslahatan dan hal yang diharamkan. Mubazir dalam Islam sangatlah dilarang,
disamping menyia-nyiakan harta juga dapat menghilangkan kemaslahatan harta
bagi diri pribadi maupun bagi masyarakat lain. Konsep tidak mubazir ini
mengandung arti bahwa sesuatu yang dikonsumsi harus bersih dan suci, supaya
lxxi
tidak meninggalkan moral, karena Islam selalu menjunjung tinggi nilai-nilai
moral. Menurut Yūsuf al-Qaradāwī terdapat tiga hal dalam membelanjakan harta:
a. Membelanjakan harta untuk hal atau sesuatu yang dilarang oleh
agama
Sebagai seorang Muslim, harus berhati-hati dalam segala hal karena
dalam setiap perilaku akan menimbulkan dampak, baik positif maupun
negatif yang akan diterima baik oleh dirinya maupun oleh orang lain, dan
dalam setiap perilaku akan dipertanggungjawabkan, termasuk dalam perilaku
konsumsi.
Dalam membelanjakan harta yang harus diperhatikan adalah kualitas
barangnya, barang tersebut dapat menimbulkan dampak yang baik atau buruk.
Selain dari kualitas barang, yang juga harus diperhatikan adalah dari segi
kuantitas dari barang tersebut, yang dalam mengkonsumsinya tidak boleh
kurang ataupun lebih dari yang diperlukan.
Salah satu contoh membelanjakan harta untuk sesuatu yang dilarang
oleh agama adalah membelanjakan hartanya untuk mendapatkan barang yang
memabukkan, seperti minuman keras, narkotika, dan sejenisnya, walaupun
dalam mengkonsumsi barang tersebut sedikit dan tidak mengakibatkan si
peminum atau pemakai mabuk, namun dalam agama tetap dilarang karena
merusak sesuatu yang harus dijaga yaitu merusak tubuh dan akal, contoh lain
adalah judi.
b. Membelanjakan harta untuk sesuatu yang diperbolehkan oleh agama
lxxii
Dalam hal ini membelanjakan harta untuk memenuhi kebutuhan yang
sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dan barang tersebut baik serta halal
untuk dikonsumsi, sesuatu yang baik dan halal itulah yang dibolehkan oleh
agama, selama tidak meninggalkan tanggung jawab yang lebih besar
c. Membelanjakan harta untuk hal yang dimubahkan oleh agama
Pembelanjaan harta di sini mempunyai sifat untuk menyenangkan hati
yang tidak lepas dari sesuatu yang baik dan halal, tidak berlebih-lebihan dan
juga tidak terlalu berhemat. Dengan kata lain membelanjakan harta yang
sesuai dengan pandapatannya, supaya terjadi keseimbangan antara
pendapatan dengan pengeluaran.
Selain pembelanjaan yang sesuai dengan pendapatan dalam
pembelanjaan harta di sini berkaitan dengan kebiasannya. Jika dilihat dari
membelanjakan harta dengan kebiasaannya belum tentu seimbang.
Menurut Jumhur membelanjakan harta dengan cara kebaiasaannya
termasuk dari menunjukkan sikap boros, karena dalam kebiasaan yang
dilakukan oleh seseorang dalam membelanjakan harta sangat berbeda-beda.
Tetapi menurut pengikut Imam Syafi’i, membelanjakan harta sesuai dengan
kebiasaannya tidak termasuk dari perbuatan yang boros.
Pemborosan menurut Afzalurrahman mengandung tiga arti:89
a. Membelanjakan harta untuk hal-hal yang diharamkan, seperti judi,
minuman keras, dan sejenisnya, apalagi dalam jumlah yang sangat banyak.
89 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang,
lxxiii
b. Pengeluaran yang berlebih-lebihan untuk barang-barang yang halal, baik
di dalam maupun di luar batas kemampuan seseorang.
c. Pengeluaran untuk tujuan-tujuan amal saleh tetapi dilakukan semata-mata
untuk riya' atau pamer.
Untuk mencegah pemborosan harta, Islam memerintahkan kaum muslim
agar tidak menyerahkan milik mereka pada orang yang tidak bijaksana serta
belum dewasa.
90 قياما لكم الله جعل التى اموالكم السفهآء تؤتوا وال
Ini memberikan indikasi bahwa sesungguhnya seluruh kekayaan
dimaksudkan untuk dimanfaatkan dan sama sekali tidak boleh dihambur-
hamburkan atau di serahkan pada orang-orang yang berakal lemah, baik orang
yang belum dewasa maupun orang dewasa yang bisa jadi salah dalam
memanfaatkan harta tersebut.
3. Kesederhanaan
Sikap sederhana adalah sikap tengah-tengah antara sikap bakhil dan sikap
berlebihan. Setiap manusia mempunyai kestandaran dalam kehidupannya,
misalnya dalam standar kehidupan itu sendiri dan standar pendapatan. Standar
kehidupan lebih mengacu pada cita-cita yang tinggi serta prinsip yang mengatur
kehidupan seseorang, misalnya membantu dan menolong orang miskin.
Sedangkan standar pendapatan mengacu pada jumlah minimum dari kebutuhan
dan kesenangan yang dianggap mutlak oleh seseorang. Mungkin seseorang
90 An-Nisa' (4): 5.
lxxiv
mempunyai standar kehidupan yang tinggi, akan tetapi standar pendapatannya
rendah. Dan untuk memperbaiki standar-standar tersebut seseorang mutlak
diperlukan usaha-usaha yang simultan, namun pada zaman ini setiap usaha yang
dilakukan seseorang hanya untuk meningkatkan standar pendapatannya tanpa
memeperhatikan standar hidupnya.
Islam secara fundamental menentang kecenderungan masyarakat yang
lebih mementingkan untuk mencapai dan memperbaiki standar pendapatan
dengan mengabaikan standar kehidupannya. Padahal standar pendapatan sama
pentingnya dengan standar kehidupan, dengan demikian kedua standar tersebut
harus jalan bersamaan. Sebab jika standar pendapatan meningkat dengan tanpa
meningkatkan dan memperbaiki standar kehidupan, maka hal tersebut akan
menjadikan seseorang bersikap mementingkan diri sendiri, jahat, dan sejenisnya.
Dan dapat dikatakan bahwa perbaikan standar pendapatan bukanlah tujuan satu-
satunya jalan, yang karenanya semua hal lain dalam hidup ini harus dikorbankan.
Islam tidak menuntut orang untuk menolak kesenangan dan segala yang baik
dalam hidup ini.
وال لكم الل**ه أحل ما طيبات تحرموا ال امنوا الذين أيها يا
تعتدوا
91المعتدين يحب ال الله إن
Islam hanya memerintahkan untuk bersikap sederhana (tidak berlebihan)
di dalam menikmati kesenangan duniawi dan menjauhi sikap kebakhilan dan
91 Al-Maidah (5): 87.
lxxv
pemborosan, serta menikmati segala yang baik dalam hidup tanpa bersikap
amoral dan curang. Dengan kata lain, boleh menikmati standar pandapatan yang
segala tinggi sepanjang standar kehidupan masih tetap tinggi.
Standar pendapatan yang meningkat sehingga lebih besar daripada
pengeluarannya, sangat dianjurkan pada mereka untuk ditabung, yang nantinya
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting dan mendadak
serta dapat digunakan untuk masa yang akan datang atau masa depannya. Dalam
menabung juga seseorang tidak boleh melakukan dengan cara berlebihan,
sehingga dapat menyebabkan kurangnya kebutuhan sekarang. Sikap sederhana
bukan hanya ditekankan pada pemenuhan kebutuhan saja, namun termasuk juga
dalam menabung. Bahkan dalam sedekahpun harus memberikan yang terbaik,
bukan bersikap royal yakni terlalu mengulurkannya, atau melakukannya untuk
tujuan pamer atau untuk membuat orang terkesan.
Keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran ini sangat penting. Hal
ini berlaku bagi semua orang, baik yang mampu maupun miskin untuk
mengeluarkan hartanya sesuai dengan kemampuannya. Orang yang mampu atau
kaya dapat mempertahankan standar hidupnya secara layak (baik dalam
kebutuhan dan kesenangan) meskipun dengan kondisi penghasilan yang kurang.
Sementara orang miskin dapat mempertahankan standar hidup yang wajar (terdiri
dari kebutuhan-kebutuhan dan sedikit kesenangannya) dengan sedikit
kekayaannya.
Pengeluaran untuk tiap kebutuhan bagi setiap orang berbeda, berdasarkan
tanggung jawab ekonomi masing-masing, baik untuk keluarganya yang kecil
lxxvi
maupun untuk keluarganya yang besar. Sepanjang pengeluarannya tidak boros
dan tidak pula kikir, namun menyesuaikan dengan pendapatan yang diterimanya.
Pada hakekatnya ajaran Islam bertujuan menggugah orang agar
mengeluarkan harta yang mereka miliki sesuai dengan kemampuan mereka.
Pengeluaran yang tidak boleh melebihi pendapatan yang diperolehnya, sebab
dapat membawa pada pemborosan. Juga dilarang membelanjakan hartanya jauh
di bawah kemampuannya, yang dapat menyeret mereka pada kekikiran. Sikap
sederhana dalam mengeluarkan harta dapat memperlancar sirkulasi kekayaan
sebagai akibat dari penimbunan harta dan dapat memperkuat kekuatan ekonomi.
Maskawih memberikan batasan-batasan sifat sederhana, antara lain:
adanya rasa malu, tenang (dapat mengendalikan hawa nafsu atau keinginan),
dermawan, puas (tidak berlebihan), loyal (tidak kikir), serta berperilaku mulia.92
Batasan ini mengandung asumsi bahwa setiap individu pada dasarnya berhak
mendapatkan kehidupan yang menyenangkan.
Selain dari pemikiran-pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī yang telah
disebutkan di atas, Yūsuf al-Qaradāwī juga memasukkan konsepnya yaitu
kemewahan yang harus dihindari dan dijauhi. Kemewahan merupakan faktor
utama dari kerusakan dan kehancuran, selain merusak individu, sikap bermegah-
megah juga merusak masyarakat. Merusak individu karena yang dikejar dari
kemegahan hidup di dunia ini tidak lebih daripada kepuasan nafsu birahi dan
kepuasan perut, dan bisa melalaikan dari norma dan etika mulia. Merusak
92 Ibnu Maskawih, Tahdzib al-Akhlaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1985), hlm. 304.
lxxvii
masyarakat karena golongan minoritas yang hidup mewah menindas hak-hak
asasi golongan mayoritas dengan kemewahannya.
Menurut Muhammad, dalam memenuhi kebutuhan barang mewah,
seseorang harus memperhatikan keadaan masyarakat sekelilingnya. Bila
masyarakat sekelilingnya bertaraf hidup rendah, maka penggunaan barang
mewah dilarang. Selain kehidupan mewah yang tidak memberikan manfaat bagi
lingkungan sosial (masyarakat) tidak perlu diajarkan.93
BAB V
PENUTUP
93 Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004), hlm. 173.
lxxviii
A. Kesimpulan
1. Konsep pengaturan perilaku konsumsi menurut perilaku Yūsuf al-
Qaradāwī diantaranya adalah tidak bersikap kikir atau bakhil, tidak mubazir
dan kesederhanaan.
2. Implementasi dari pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dalam
penyusunan skripsi ini adalah implementasi teoritis, dalam pemikirannya
yang tidak kikir atau bakhil berarti memberikan infak baik wajib maupun
sunnah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya, untuk
masyarakat maupun untuk fi sabilillah (di jalan Allah). Tidak kikir atau
bakhil ini dimaksudkan agar manusia bersikap adil dalam menggunakan
hartanya. Tidak mubazir berarti tidak membelanjakan hartanya untuk sesuatu
yang tanpa ada kemaslahatan dan untuk sesuatu yang diharamkan, termasuk
dalam membelanjakan hartanya dengan berlebih-lebihan yaitu melebihi batas
dalam hal yang halal. Dan yang terakhir adalah Kesederhanaan yang harus
ditanamkan dalam setiap kehidupan keseharian manusia, yaitu bersikap
tengah-tengah antara sikap bakhil, sikap mubazir serta sikap berlebih-lebihan
termasuk juga sikap kemewahan. Membelanjakn harta untuk kebutuhan dan
kesenangan dalam Islam tidak dilarang, namun dalam kebutuhan dan
kesenangan tersebut harus sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan
yang dibutuhkan.
B. Saran
lxxix
1. Pembahasan mengenai perilaku konsumsi yang telah dirumuskan
oleh Yūsuf al-Qaradāwī di dalam skripsi ini sangat simple, sangat mudah
dipahami dan mudah jika rumusan konsep pemikirannya untuk diamalkan di
dalam kehidupan kesehariannya, sehingga dalam kesehariannya akan selalu
bersikap sederhana.
2. Pembahasan mengenai konsumsi dalam wacana di dalam skripsi
ini mungkin jauh dari kesempurnaan untuk disajikan secara utuh dan
komprehensif. Penyusun menyadari, tentunya banyak yang tercecer dan
tertinggal, karenanya penyusun mengharapkan untuk kajian berikutnya
dikemudian hari dapat mengambil apa yang dirasa kurang, dan akan sangat
berguna untuk dapat memenuhi apa yang penyusun harapkan sebelumnya,
yakni mengkaji permasalahan konsumsi dalam wacana ekonomi Islam dalam
kajian yang lebih utuh dan komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok Al-Qur’an
Al-Qur’an al-Karim
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama, 1992.
B. Kelompok Hadis
Al-Asqalānī, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bāri (Bi Syarhi Sahīh al-Bukhārī), ttp. : Salafiyah, t.t.
lxxx
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ibn Hanbal, Al-Imam Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, ttp.: Dar al-Fikr, t.t.
Muslim, Jami’ as-Sahih, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
C. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeryono, Nastangin, cet. II, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Pres, 2000.
Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, alih bahasa Machnun Husein, cet. I, Yogyakarata : Aditya Media, 2000.
--------, A Contribution to The Theory of Consumer Behavior in Islamic Society in Islamic Economic, Jedda : King Abdul Aziz University.
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Nastangin, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, cet. I Yogyakarta: BPFE, 2004.
Maskawih, Ibnu, Tahdzib al-Akhlaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1985.
Al-Qaradāwī, Yūsuf, Fatwa-fatwa Kontemporer (Fatawa Mu’asirah), alih bahasa Drs. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996), I.
----, Konsep dan Praktek Fatwa Kontemporer, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, cet. I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996.
----, Daur al-Qiyām wa al-Akhlāq fī al-Islām, cet. I, Kairo : Maktabah Wahbah, 1415 H/1995 M.
----, Fatawa al-Qaradāwī: Permasalahan, Pemecahan & Hikmah, alih bahasa Abdurahman Ali Bauzir, cet. I, Surabaya: Risalah Gusti, 1993.
----, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafidudin, dkk., cet. I, Jakarta: Rabbani Pres, 1997.
lxxxi
----, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zaenal Abidin dan Dahlia Husin, cet.I, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Qadir, Rahman, Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Profesi, tesis tidak diterbitkan, IAIN Suann Kalijaga Yogyakarta.
Rahmawati, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Etika Ekonomi Islam, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.
Sartono, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yūsuf al-Qaradāwī, alih bahasa Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2001.
D. Kelompok Buku-buku Lain
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, alih bahasa Dewi Nurjuliati, dkk., cet. I, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995.
Assyaukanie, A. Luthfi, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, Ulumul Qur’an: Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember 1998.
Asnawi, Bahri Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī), Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
Boediono, Ekonomi Mikro, Yogyakarta: BPFE, 1997.
Commins, David, “Hasan Al-Banna (1906-1949), Para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1995.
Chandra, Sri Vira, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili: Meniti Jalan Menuju Mardatillah.
Ensiklopedi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), V: 1448, artikel “al-Qaradāwī, Yūsuf “.
Etzioni, Amitai, Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru, alih bahasa Tjun Suryaman, cet. I, Bandung: PT Rosda Karya, 1992.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1990.
Ma’arif, Ahmad Syarif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka, 1985.
lxxxii
Al-Qaradāwī, Yūsuf, Umat Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain), alih bahasa Yogi P. Izza, Solo: Intermedia, 2001.
----, "Tentang Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9 Juli 2004.
Raharjo, Dawam, Islam dan Transformasi Ekonomi, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999.
Sunarto, Perilaku Konsumen, Yogyakarta : Amus, 2003.
Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Mikroekonomi, cet. XII, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Subkhan, Achmad, Konsep Pengelolaan Zakat Sebagai Sarana Pemberdayaan Ekonomi Umat (Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dan Relevansinya dalam Konteks ke-Indonesia-an, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2000.
Yusuf, Choirudin Fuad, “Etika Bisnis Islam, Sebuah Perspektif Lingkungan Global,” ‘Ulumul Qur’an, Vol. 3/VII/1997.
Lampiran IIBIOGRAFI ULAMA
Al-BukhariAl-Bukhori lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H. Nama lengkapnya Abu
Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Barzibah al-Bukhori. Pada umur 10 tahun, dia sudah mulai menghafal hadis. Dia adalah orang yang pertama menyusun kitab sahih, yang kemudian jejaknya diikuti ulama-ulama lain sesudahnya. Kitab tersebut bernama al-Jami’ as-Sahih, yang terkenal dengan Sahih al-Bukhori.
Muhammad Abdul MannanMuhammad Abdul Mannan memperoleh master dan doktornya dari
universitas Michigan, Amerika Serikat dan memiliki pengalaman bertahun-tahun sebagai pengajar dan peneliti di universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Abdul Mannan sangat terkenal atas karyanya di bidang Islam dan keuangan secara umum.
lxxxiii
Yūsuf al- QaradāwīYūsuf al- Qaradāwī, ia lahir pada tanggal 9 September 1926. Pendidikan
formalnya dimulai dari masuk Ma’had Tanta, selama empat tahun, kemudian di Ma’had Sanawi yang diselesaikan dalam waktu lima tahun. Yūsuf al-Qaradāwī kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar Cairo, beliau mengambil Fakultas Ushuludin, jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972.
AfzalurrahmanAfzalurrahman adalah seorang cendikiawan muslim dan ahli ekonomi yang
terkemuka di dunia. Saat ini dia menjabat sebagai Deputy Secretary General dari The Muslim School Trust, London.
MuhammadMuhammad lahir di Pati pada tanggal 10 April 1966 M. Gelar kesarjanaannya
diperoleh di IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) pada tahun 1990 M. Gelar master diperoleh pada program Magister Studi Islam, konsentrasi pada Ilmu Ekonomi Islam, di Universitas Islam Indonesia pada tahun 1999 M. Dan saat ini dia sedang menyelesaikan program doktoral pada bidang yang masa dengan program magisternya yaitu Ilmu Ekonomi di Universitas Islam Indonesia.
Lampiran I TERJEMAHAN
BAB II
FN Hlm Terjemah4
5
6
9
19
19
19
20
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka ?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagi kamu yang baik”.
Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu.
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.
lxxxiv
11
12
13
14
15
17
20
20
20
21
22
22
23
27
Maka makanlah yang halal lagi baik dan rezki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya saja menyembah.
Yang menyuruh mereka mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban belenggu yang ada pada mereka.
Makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kamu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika (disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berinfaqlah atau bermurah hatilah atau berdermalah dan janganlah kamu bakhil, maka Allah akan bakhil kepadamu dan janganlah kamu perhitungan maka Allah akan perhitungan denganmu.
BAB III
FN Hlm Terjemah18
19
20
39
39
40
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak memberikan kamu dan menyempurnakan nimatNya bagimu supaya kamu bersyukur.
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Allah hendak memberikan keinginan kepadamu dan manusia
lxxxv
21
22
6
27
29
30
31
32
33
40
41
44
45
45
46
46
46
47
dijadikan bersifat lemah.
Mudahkanlah dan jangan kalian dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat jera.
Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ģaib, yang mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena kaum itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian harta bendamu) pada jalan Allah padahal Allahlah yang mempusakai (menguasai) langit dan bumi.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak itu kedalam neraka jahannam lalu dibakar dengannya bersama dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.
Apa yang mereka nafkahkan, katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”.
lxxxvi
34
37
38
40
41
43
44
47
48
49
51
52
53
53
Sebaik-baik sadaqah adalah dari harta yang nampak cukup (melebihi kebutuhan) dan nampak pada orang yang memberi bahan makanan pokok. Katakanlah “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulalah yang mengharamkan) rezki yang baik”.
Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka, orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.
Dalam (siksaan) angin yang sangat panas dan air yang panas yang mendidih dan dalam raungan asap yang hitam tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah.
Orang yang minum dengan bejana perak sesungguhnya menggelegak dalam perutnya api neraka jahannam.Nabi SAW. melarang kami untuk minum dari bejana emas dan perak, untuk makan padanya, untuk memakai kain sutera dan pakaian yang terbuat dari campuran sutera serta untuk duduk diatasnya.
BAB IV
FN Hlm Terjemah2
3
4
56
59
62
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.
Dan sesungguhnya di sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada di dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
lxxxvii
6 64
kehidupan.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
lxxxviii
top related