pengaruh konsentrasi sukrosa dan bap (benzil amino
Post on 12-Jan-2017
240 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ��
�
PENGARUH KONSENTRASI SUKROSA DAN BAP (Benzil Amino Purine)
DALAM MEDIA MURASHIGE SKOOG (MS) TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN KANDUNGAN RESERPIN KALUS PULE PANDAK
(Rauvolfia verticillata Lour.)
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh
Doddy Zakaria
NIM. M0405067
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ���
�
PENGESAHAN
SKRIPSI
PENGARUH KONSENTRASI SUKROSA DAN BAP (Benzil Amino Purine)
DALAM MEDIA MURASHIGE SKOOG (MS) TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN KANDUNGAN RESERPIN KALUS PULE PANDAK
(Rauvolfia verticillata Lour.)
Oleh:
Doddy Zakaria
NIM M0405067
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji
pada tanggal 27 Oktober 2010
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Surakarta, ..............................
Penguji I Penguji II
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Widya Mudyantini, M.Si.
NIP. 195708201985031004 NIP. 197305051999032001
Penguji III Penguji IV
Solichatun, M.Si. Dra. Endang Anggarwulan, M.Si.
NIP. 197102211997022001 NIP. 195003201978032001
Mengesahkan
A.n. Dekan FMIPA Ketua Jurusan Biologi
Pembantu Dekan I
Ir. Ari Handono Ramelan, MSc., Ph.D Dra. Endang Anggarwulan, M.Si.
NIP. 196008091986121001 NIP. 195003201978032001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ����
�
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya
sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka
gelar kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan atau dicabut.
Surakarta, Oktober 2010
Doddy Zakaria
NIM M0405067
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ���
�
PENGARUH KONSENTRASI SUKROSA DAN BAP (Benzil Amino Purine)
DALAM MEDIA MURASHIGE SKOOG (MS) TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN KANDUNGAN RESERPIN KALUS PULE PANDAK (Rauvolfia
verticillata Lour.)
DODDY ZAKARIA
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
ABSTRAK
Pule pandak adalah salah satu tanaman obat yang ada di Indonesia. Saat ini,
kebutuhan bahan baku obat pule pandak semakin meningkat yang menyebabkan laju
pemanenan terjadi lebih cepat dari laju kemampuan alam untuk memulihkan
populasinya. Nilai manfaat dan ekonomi yang tinggi berakibat tingkat kelangkaan
yang semakin tinggi pula. Berdasarkan hal itu perlu dilakukan usaha untuk
mengurangi tekanan terhadap populasi pule pandak di alam serta memenuhi
permintaan bahan baku obat. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah dengan melakukan teknik kultur in vitro.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi sukrosa
dan BAP (Benzil Amino Purine) dalam media terhadap pertumbuhan dan kandungan
reserpin kalus pule pandak secara in vitro.
Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 2 faktor perlakuan yaitu penambahan sukrosa dan BAP pada media MS
dengan rincian 0; 15; 30; dan 35 g/L untuk sukrosa dan 0; 1; dan 2 ppm untuk BAP,
sehingga di hasilkan 12 macam perlakuan. Data yang diambil berupa data kualitatif
yaitu warna dan tekstur kalus, serta data kuantitatif meliputi berat basah, berat kering,
dan kandungan reserpin kalus. Analisis kandungan reserpin dilakukan dengan
spektrofotometer UV-VIS. Analisis data kuantitatif menggunakan ANAVA dan
dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukkan kalus yang terbentuk bertekstur kompak dengan
warna hijau keputihan, hijau kekuningan, dan hijau. Pemberian perlakuan
berpengaruh signifikan terhadap berat basah dan berat kering kalus, tetapi tidak
berpengaruh terhadap kandungan reserpin kalus. Perlakuan paling optimal bagi
pertumbuhan kalus adalah penambahan ke dalam media 35 g sukrosa dan 2 ppm
BAP.
Kata kunci : Kultur in vitro, pule pandak, sukrosa, BAP, reserpin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ��
�
THE EFFECT OF SUCROSE AND BAP (BENZIL AMINO PURINE)
CONCENTRATION IN MURASHIGE SKOOG (MS) MEDIUM ON
GROWTH AND RESERPINE CONTENT OF PULE PANDAK (Rauvolfia
verticillata Lour.) CALLUS
DODDY ZAKARIA
Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas Maret University, Surakarta
ABSTRACT
One of the medicinal plants in Indonesia is the pule pandak. Today, the needs
for raw materials of pule pandak drug increasingly that makes the rate of harvesting
occurs faster than the rate of natural ability to restore its population. Value of high
economic benefits and result make higher levels of scarcity as well. Based on this, it
is necessary to activity to reduce pressure on natural populations in pule pandak and
meet the demand for raw materials. One way to overcome this problem by perform in
vitro culture techniques.
The aim of this research was to determine the effect of sucrose and BAP
concentration in media on callus growth and pule pandak (R. verticillata Lour). callus
reserpin content by in vitro.
The method was used completely randomized design (CRD) with 2 factors by
addition of sucrose and BAP in MS medium with the following details of 0, 15, 30,
and 35 g / l for sucrose, and 0, 1 and 2 ppm for BAP, so it was got 12 kinds of
treatment. The collected data was qualitative data like the color and texture of the
callus and quantitative data covering the fresh weight, dry weight, and reserpin
content callus. Reserpin content analysis was done by UV-VIS spectrophotometer.
Quantitative data analysis used ANOVA and then was followed by DMRT 5%.
The results showed that the compact callus with green textured. The effect on
the treatment of fresh weight and dry weight of callus were significantly, but it did
not give effect on callus reserpin content. Most optimal treatment into the media for
callus growth was the addition of 35 g sucrose and 2 ppm BAP.
Key words: culture in vitro, Rauvolfia verticillata, sucrose, BAP, reserpin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ���
�
MOTTO
“Humankind cannot gain anything without first giving something in return. To
obtain, something of equal value must be lost”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ����
�
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
Ibu, Ibu, Ibu
Ayah
Saudaraku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user �����
�
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas nikmat, hidayah dan limpahan
rahmatNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi
yang berjudul “Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan BAP dalam Media Murashige
Skoog (MS) terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Reserpin Kalus Pule Pandak
(Rauvolfia verticillata L.)”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan strata 1 (S1) pada jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Proses penelitian dan penyusunan skripsi ini merupakan bagian dari proses
belajar yang tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu dalam kesempatan
ini penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin
penelitian untuk keperluan skripsi.
2. Dra. Endang Anggarwulan, M.Si, selaku ketua jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret,
sekaligus sebagai dosen pembimbing II yang telah memberi ijin penelitian,
petunjuk, saran, dan motivasi hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
3. Solichatun, M.Si. selaku dosen pembimbing I, yang telah memberi petunjuk,
saran, dan motivasi.
4. Widya Mudyantini, M.Si. selaku dosen penelaah I yang telah memberi
petunjuk dan saran.
5. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.d selaku dosen penelaah II yang telah memberi
petunjuk dan saran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ���
�
6. Elisa Herawati, M.Eng. selaku pembimbing akademik yang telah memberi
pengarahan serta motivasi.
7. Dosen jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ilmu, pengarahan serta
motivasi, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepala dan staf Laboratorium Pusat MIPA, serta Kepala dan staf Sub
Laboratorium Biologi, Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberi ijin untuk melakukan penelitian di laboratorium
dan membantu penulis dalam melakukan penelitian di laboratorium.
9. Para sahabatku yang telah memberikan bantuan baik berupa motivasi, ilmu
dan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman
Biologi MIPA UNS, khususnya angkatan 2005, yang baik secara langsung
maupun tidak langsung turut membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.
10. Keluargaku tercinta, yang secara total memberi dukungan baik moril maupun
materiil sehingga penulis mampu menyelesaikan skirpsi ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Surakarta, Oktober 2010
Doddy Zakaria
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ��
�
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ iii
ABSTRAK .............................................................................................. iv
ABSTRACT ............................................................................................ v
HALAMAN MOTTO ............................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ viii
DAFTAR ISI ........................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................ xv
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................. 1
B. PERUMUSAN MASALAH ....................................................... 6
C. TUJUAN PENELITIAN ............................................................. 6
D. MANFAAT PENELITIAN ......................................................... 6
BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................ 7
A. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 7
1. PULE PANDAK..................................................................... 7
2. KULTUR IN VITRO.............................................................. 11
3. PERTUMBUHAN TANAMAN ............................................ 15
4. ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) ..................................... 16
5. SUKROSA ............................................................................. 17
B. KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................... 18
C. HIPOTESIS ................................................................................. 20
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................ 21
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ................................... 21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ���
�
B. ALAT DAN BAHAN ................................................................. 21
1. ALAT...................................................................................... 21
2. BAHAN .................................................................................. 22
C. CARA KERJA ............................................................................ 23
1. RANCANGAN PERCOBAAN ............................................. 23
2. CARA KERJA ........................................................................ 24
D. ANALISIS DATA ....................................................................... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 29
A. PERTUMBUHAN KALUS PADA MEDIA INISIASI .............. 29
B. PERTUMBUHAN KALUS PADA MEDIA PERLAKUAN .... 30
C. BIOMASSA KALUS .................................................................. 34
D. KANDUNGAN RESERPIN KALUS ......................................... 40
BAB V. PENUTUP ................................................................................ 46
A. KESIMPULAN ........................................................................... 46
B. SARAN ....................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 47
LAMPIRAN ........................................................................................... 54
RIWAYAT HIDUP PENULIS .............................................................. 59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ����
�
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Warna dan tekstur kalus pule pandak pada media perlakuan ... 30
Tabel 2. Rata-rata berat basah (mg) kalus Pule Pandak usia 7 minggu .. 35
Tabel 3. Rata-rata berat kering (mg) kalus Pule Pandak usia 7 minggu . 38
Tabel 4. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) kalus pule pandak .......... 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user �����
�
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Morfologi tanaman Pule Pandak ........................................ 8
Gambar 2. Struktur bangun reserpin .................................................... 10
Gambar 3. Jalur biosintesis reserpin .................................................... 11
Gambar 4. Struktur BAP ...................................................................... 17
Gambar 5. Struktur bangun sukrosa .................................................... 18
Gambar 6. Alur kerangka pemikiran ................................................... 19
Gambar 7. Morfologi kalus Pule Pandak usia 7 minggu ..................... 31
Gambar 8. Rata-rata berat basah (mg) ................................................ 35
Gambar 9. Siklus sel ........................................................................... 37
Gambar 10. Rata-rata berat kering (mg) ............................................... 38
Gambar 11. Rata–rata konsentrasi reserpin (ppm) ................................ 41
Gambar 12. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) pada perlakuan
sukrosa tunggal (0 ppm BAP) .......................................... 42
Gambar 13. Hubungan sukrosa dan reserpin ........................................ 43
Gambar 14. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) pada perlakuan
BAP tunggal (0 g sukrosa) ................................................ 44
Gambar 15. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) pada perlakuan
Kombinasi ......................................................................... 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ����
�
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Komposisi media MS (Murashige Skoog) ......................... 51
Lampiran 2. Analisis data (berat basah, berat kering,
dan kandungan reserpin kalus) .......................................... 52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ���
�
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Kepanjangan
BAP 6-Benzilaminopurin
MS Murashige Skoog
RAL Rancangan Acak Lengkap
ANAVA Analisis Varian
DMRT Duncan's Multiple Range Test
ZPT Zat Pengatur Tumbuh
AIM Alkaloid Indol Monoterpenoid
TDC Tryptophan Decarboxylase
CPR Sitokrom P-450 Reduktase
SLS Sekologanin Sintase
atm Atmosphere
LAF Laminar Air Flow
NAA 1-Naphthalene Acetic Acid
G2 Gap 2
ATP Adenosine Triphosphate
UV-VIS Ultra Violet – Visible
sp speciosa
ppm part per million
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1 �
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan tanaman sebagai obat sudah seumur dengan peradaban
manusia. Tumbuhan adalah gudang bahan kimia yang memiliki sejuta manfaat
termasuk untuk obat berbagai penyakit. Kemampuan meracik tumbuhan
berkhasiat obat merupakan warisan turun-temurun dimasyarakat. Di hutan tropis
Indonesia terdapat sekitar 30.000 spesies tumbuhan. Dari jumlah tersebut sekitar
9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, tetapi baru 200 spesies yang telah
dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri obat tradisional. Peluang
pengembangan budidaya tanaman obat-obatan masih sangat terbuka luas sejalan
dengan semakin berkembangnya industri jamu, obat herbal, fitofarmaka, dan
kosmetika tradisional (Lubis, 1983).
Tanaman obat didefinisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh
dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan, atau ramuan
obat-obatan. Departemen Kesehatan RI mendefinisikan Tanaman Obat Indonesia
seperti yang tercantum dalam SK Menkes No. 149/SK/Menkes/IV/1978, yaitu :
1. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat atau
jamu.
2. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan
baku obat (prekusor).
3. Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman
tersebut digunakan sebagai obat (Kartasapoetra, 1992).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2 �
Penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami peningkatan
dengan adanya isu back to nature dan krisis berkepanjangan yang mengakibatkan
turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal
harganya. Obat bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping
yang membahayakan. Pendapat itu belum tentu benar karena untuk mengetahui
manfaat dan efek samping obat tersebut secara pasti perlu dilakukan penelitian, uji
praklinis dan uji klinis (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Salah satu tanaman obat yang ada di Indonesia adalah pule pandak
(Rauvolfia verticillata Lour.). Menurut Thien An dan Ziegler (2001), tanaman ini
tergolong tanaman yang hampir punah. Tanaman ini mengandung beberapa
senyawa kimia, antara lain alkaloid, ekitamin, ekiserin, ajmalin, isoreserpilin, dan
sarpagin. Pule pandak merupakan tanaman yang mengandung alkoloid reserpine
yang berfungsi sebagai obat anti hipertensi (tekanan darah tinggi) dan obat
penenang.
Kebutuhan bahan baku obat pule pandak untuk industri jamu dan farmasi
semakin meningkat yang menyebabkan laju pemanenan terjadi lebih cepat dari
laju kemampuan alam untuk memulihkan populasinya. Nilai manfaat dan
ekonomi pule pandak yang tinggi berakibat tingkat kelangkaan yang semakin
tinggi pula. Berdasarkan hal itu perlu dilakukan suatu usaha untuk mengurangi
tekanan terhadap populasi pule pandak di alam serta memenuhi permintaan bahan
baku obat yang berasal dari pule pandak (Sandra, 2002). Salah satu cara untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan teknik kultur in vitro.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3 �
Perbanyakan tanaman dengan kultur in vitro dalam waktu yang singkat dari
bahan tanaman yang sangat terbatas dapat dihasilkan bibit dalam jumlah yang
banyak. Keberhasilan tersebut mendorong dimanfaatkannya kultur in vitro sebagai
teknologi perbanyakan yang banyak memberikan keunggulan daripada cara
konvensional (Mariska dan Purnamaningsih, 2001). Kultur in vitro merupakan
suatu teknik mengisolasi bagian hidup tanaman (eksplan), kemudian
menumbuhkannya secara aseptik pada media yang telah ditentukan komposisi
nutriennya (Suryowinoto, 2000). Teknik kultur in vitro selain digunakan untuk
perbanyakan tanaman, juga digunakan untuk memproduksi senyawa metabolit
sekunder yang menjadi sumber bahan obat (Aprianita, 2003).
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral,
vitamin, dan hormon, dan juga bahan tambahan lain seperti agar dan gula. Zat
pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya
maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur in vitro yang dilakukan.
Media yang sudah dibuat ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Media yang digunakan harus disterilkan terlebih dahulu dengan autoklaf (Yusnita,
2003).
Kalus yang didapatkan dari proses kultur sudah dapat diambil senyawa
metabolit sekundernya. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
tumbuhan dapat berupa terpenoid, poliketida, saponin, dan poliasetilen (senyawa
tanpa nitrogen), dapat pula berupa alkaloid, amina, cyanogenic, dan glukosida
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4 �
(komponen yang mengandung nitrogen). Senyawa metabolit sekunder merupakan
senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktifitas dan berfungsi
sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan penyakit untuk tumbuhan itu sendiri
atau lingkungannya (library.usu.ac.id, 2008).
Kultur in vitro banyak menggunakan hormon pertumbuhan baik berupa
auksin, sitokinin, maupun hormon pertumbuhan lainnya. Kombinasi auksin dan
sitokinin diketahui dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan eksplan
pada kultur in vitro. Auksin berperan pada pembentangan sel, sedangkan sitokinin
merangsang pembelahan sel. Interaksi kedua ZPT tersebut akan meningkatkan
jumlah dan ukuran sel dalam jaringan (Wareing dan Phillips, 1981).
Optimalisasi produksi metabolit sekunder dengan manipulasi media dapat
dilakukan dengan cara manipulasi faktor fisik dan optimalisasi elemen nutrisinya
(Choi et al., 1994 dalam Mulabagal dan Tsay, 2004). Penambahan sumber karbon
pada media kultur dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder. Menurut
Manuhara (1995) kandungan alkaloid vinkristin pacar air (Impatiens balsamina)
meningkat setelah penambahan sumber karbon berupa sukrosa pada media kultur.
Penambahan kombinasi sukrosa dan glukosa juga dapat meningkatkan kandungan
senyawa metabolit sekunder som jawa (Talinum paniculatum) (Suskendriyati,
2003).
Sumber karbohidrat dan energi yang biasa digunakan konsentrasinya
berkisar 2–3%. Konsentrasi sukrosa (4–10 %) lebih tinggi dari normal (3 %)
dalam media kultur jaringan mendorong pembentukan organ-organ penyimpanan
dalam beberapa spesies. Pembentukan umbi pada tulip (Tulipa sp) terjadi pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5 �
sukrosa 4–6% dan Lilium sp 9%. Peningkatan sukrosa mendorong terbentuknya
umbi secara in vitro pada kentang (Solanum tuberosum) (Dantu dan Bhojwani,
1995).
Beberapa penelitian untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder
pule pandak dengan memanipulasi konsentrasi sukrosa pada media tumbuh telah
dilakukan para peneliti. Menurut Irmawati (2007), peningkatan sukrosa dalam
media MS cenderung meningkatkan pertumbuhan kalus dan kandungan reserpin
kalus pule pandak. Irmawati melakukan penelitian dengan 5 macam konsentrasi
sukrosa, yaitu 0, 10, 20, 30, dan 40 gram. Penambahan sukrosa sampai
konsentrasi 30 gram dapat meningkatkan kandungan reserpin. Pemberian sukrosa
diatas 30 gram tidak meningkatkan kandungan reserpin, tetapi menurunkan
kandungan reserpin pule pandak (Irmawati, 2007).
Peningkatan reserpin pule pandak juga dapat dilakukan dengan penambahan
ZPT ke dalam media tumbuh. Salah satu ZPT yang dapat digunakan adalah
sitokinin. Menurut Wingler dalam Sulandjari (2008), sitokinin berperan
meningkatkan enzim fotosintesis yaitu hidroksipirufat reduktase. Berbagai
pengaruh sitokinin terhadap proses metabolisme menunjukkan bahwa sitokinin
memainkan peran penting dalam sintesis asam amino, asam nukleat, dan protein.
Peningkatan produksi asam amino yang merupakan prekusor metabolit sekunder
akan meningkatkan kandungan metabolit sekunder pada tanaman. Berdasarkan
uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian kultur in vitro mengenai pengaruh
konsentrasi sukrosa dan sitokinin dalam media tumbuh terhadap pertumbuhan dan
kandungan reserpin pule pandak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6 �
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dibuat
suatu rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi sukrosa dan BAP terhadap pertumbuhan
kalus pule pandak (R. verticillata Lour.) ?
2. Bagaimana pengaruh konsentrasi sukrosa dan BAP terhadap kandungan
reserpin kalus pule pandak (R. verticillata Lour.) ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini sebagai
berikut :
1. Mengetahui pengaruh konsentrasi sukrosa dan BAP terhadap pertumbuhan
kalus pule pandak (R. verticillata Lour.).
2. Mengetahui pengaruh konsentrasi sukrosa dan BAP terhadap kandungan
reserpin kalus pule pandak (R. verticillata Lour.).
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh konsentrasi sukrosa dan
BAP terhadap pertumbuhan kalus pule pandak serta pengaruhnya terhadap
kandungan reserpin kalus pule pandak (R. verticillata Lour.).
2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam usaha peningkatan
kandungan reserpin pule pandak secara in vitro.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7 �
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pule Pandak (R. verticillata Lour.)
a. Klasifikasi
Menurut Van Steenis (1987), pule pandak diklasifikasikan sebagai
berikut:
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Classis : Dicolyledonae
Ordo : Apocynales
Familia : Apocynaceae
Genus : Rauvolfia
Species : Rauvolfia verticillata Lour.
b. Morfologi
Rauvolfia verticillata merupakan tanaman semak tahunan, yang
dapat tumbuh sampai 1 m. Batangnya berkayu, berbentuk bulat, dan
memiliki permukaan kasar. Daunnya tunggal, berbentuk lanset, dengan
ujung runcing, pangkal meruncing, dan tepi rata. Daun pule memiliki
panjang 10-15 cm dan lebar 3-7,5 cm, dengan pertulangan menyirip dan
warnanya hijau kekuningan atau hijau (de Padua et al, 1999).
Bunganya bersifat majemuk, berbentuk payung, berada diujung
cabang, berwarna jingga, dengan kelopak bertaju lima dan daun mahkota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8 �
lima. Buahnya berbentuk batu, dengan panjang ± 8 mm dan diameter ± 5
mm, berwarna hijau ketika masih muda dan setelah tua menjadi abu-abu.
Bijinya berbentuk bulat pipih, berwarna putih. Akarnya tunggang,
berbentuk bulat, dan berwarna kuning muda (de Padua et al, 1999).
Morfologi pule pandak dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi tanaman Pule Pandak (Derek, 2009)
c. Ekologi dan Distribusi
Pule pandak hidup dengan baik pada daerah terbuka, baik didataran
rendah maupun didataran tinggi. Tanaman ini banyak ditemukan di hutan
Dipterocarpaceae, hutan bambu, disepanjang aliran sungai dan juga pada
lahan pertanian. Di alam, umumnya pule pandak tumbuh pada tanah
berlempung atau berbatu kapur. Tanaman ini dapat diperbanyak secara
konvensional dengan biji atau dengan stek (LIPI, 1999). Menurut de Padua
(1999) pule pandak tersebar luas hingga India, Srilanka, Laos, Myanmar,
Thailand, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9 �
Di pulau Jawa ditemukan dua spesies Rauvolfia, yaitu R. serpentina
Benth dan R. verticillata Lour. Jenis R. verticillata L. ditemukan juga di
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Bali. Di hutan Pringgodani,
Tawangmangu pada ketinggian 1.300 m dpl ditemukan R.verticillata L. Di
hutan Tekil, Wonogiri didapatkan R.verticillata L. dan R.serpentina Benth
pada 300 m diatas permukaan laut (Sulandjari, 2008).
d. Kandungan Kimia dan Khasiat
Kandungan senyawa kimia pule pandak adalah reserpin, ajmalin,
isoreserpilin, dan sarpagin. Akar dan batang tanaman pule dimanfaatkan
sebagai obat darah tinggi, malaria, dan tipus (de Padua et al, 1999).
Menurut Purnamaningsih (1998), tanaman ini digunakan sebagai bahan
obat untuk mengatasi perut kembung, menghilangkan pegal-pegal, dan
melancarkan peredaran darah.
Kandungan alkaloid yang utama pada pule pandak adalah reserpin.
Struktur bangun reserpin dapat dilihat pada Gambar 2. Reserpin adalah
obat alami yang telah digunakan selama berabad-abad di India. Di Cina,
reserpin digunakan untuk mengatasi batuk dan sebagai antihipertensi
(Zumaidar, 2000). Sebagai antihipertensi, reserpin bekerja dengan
mengontrol impuls syaraf di sepanjang saluran syaraf jantung. Reserpin
dapat menurunkan konsentrasi bahan kimia yang dapat menyebabkan
tekanan darah naik (Forney, 1999; Thomson, 1998). Reserpin termasuk
golongan obat penghambat simpatetik. Golongan obat ini bekerja dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10 �
menghambat aktivitas saraf simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita
beraktivitas ) (Mambo, 2007).
Penghambat saraf adrenergik meliputi reserpin, guanetidin dan
guanadrel. Reserpin bekerja dengan menghambat uptake dan memecah
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) di ujung vesikel. Efek yang
ditimbulkan adalah penurunan curah jantung dan resistensi perifer. Efek
samping reserpin antara lain depresi mental, penurunan ambang kejang,
bradikardia, hipotensi ortostatik, dan hiperasiditas lambung yang dapat
mengeksaserbasi ulkus lambung (sectiocadaveris.wordpress.com, 2010).
Gambar 2. Struktur bangun reserpin (Anonim, 2009)
Reserpin termasuk alkaloid dalam kelompok Alkaloid Indol
Monoterpenoid (AIM). Menurut St-Pierre (1999) dan Endt (2002), AIM
terbentuk melalui jalur mevalonat dan shikimat. Pada jalur shikimat,
triptofan yang terbentuk melalui reaksi dekarboksilasi yang dikatalisis oleh
triptofan dekarboksilase (TDC) kemudian triptamin dapat digunakan
sebagai substrat dari enzim striktosidin sintase. Pada jalur mevalonat,
sekologanin terbentuk dari katalisis oleh enzim geraniol 10 hidroksilase
dan enzim sitokrom P-450 reduktase (CPR) akan mengkatalisis geraniol
menjadi 10-hidroksil-geraniol dan kemudian membentuk loganin. Loganin
dengan katalisis enzim sekologanin sintase (SLS) akan membentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11 �
monoterpen sekologanin. Kondensasi dari triptamin dengan sekologanin
akan membentuk striktosidin yang merupakan prekursor utama alkaloid
indol monoterpenoid, yang salah satunya adalah reserpin. Sintesis tersebut
melibatkan enzim striktosidin sintase (Kutchan, 1995; Shanks et al., 1998).
Jalur biosintesis reserpin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Jalur biosintesis reserpin (Kutchan, 1995; Shanks et al., 1998)
2. Kultur In Vitro
a. Definisi dan Manfaat
Kultur in vitro merupakan suatu teknik mengisolasi bagian hidup
tanaman (eksplan), kemudian menumbuhkannya secara aseptik pada media
yang telah ditentukan komposisi nutriennya (Suryowinoto, 2000). Bagian
tanaman yang masih muda dengan keadaan sel yang aktif membelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12 �
merupakan bagian tanaman yang paling baik untuk eksplan (Aryati dkk,
2005). Teknik ini berkembang dari konsep totipotensi sel yang dikenal
dengan teori sel Schwann (1893). Teori ini mengemukakan bahwa setiap
sel hidup dari organisme multiseluler mampu berkembang dengan
sendirinya jika kondisi eksternal dipenuhi. Haberlandt pada tahun 1902
mengemukakan konsep kultur sel dan pertama kali melakukan isolasi sel
tanaman secara in vitro dalam media buatan.
Bagian tanaman yang masih muda / juvenil merupakan bagian
tanaman yang paling baik untuk eksplan karena sel–selnya masih aktif
membelah (Debergh dan Zimmerman, 1991). Menurut Debergh dan
Zimmerman (1991), manfaat kultur in vitro adalah :
1. Perbanyakan tanaman dalam waktu yang singkat
2. Mengkloning suatu tanaman
3. Mendapatkan varietas unggul
4. Mendapatkan senyawa metabolit sekunder dalam jumlah yang besar
dengan waktu yang singkat (Debergh dan Zimmerman, 1991).
b. Media Kultur
Pelaksanaan teknik kultur in vitro memerlukan berbagai prasyarat
untuk mendukung kehidupan jaringan yang dibiakkan. Syarat yang paling
esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril. Media adalah tempat
bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung
kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang
diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya. Ada dua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13 �
penggolongan media tumbuh berdasarkan strukturnya, yaitu media padat
dan media cair. Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti
agar. Nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair adalah nutrisi yang
dilarutkan di air. Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi
selalu bergerak, tergantung kebutuhan (Gunawan, 1987).
Berbagai komposisi media tumbuh telah dikembangkan. Dari sekian
banyak komposisi media yang telah berkembang, media dasar Murashige
dan Skoog (MS) merupakan media dasar yang paling banyak digunakan,
baik untuk tanaman herba maupun berkayu (Sukmadjaja dan Mariska,
2003). Media MS yang dikembangkan Murashige-Skoog untuk kultur
jaringan tembakau digunakan secara luas untuk kultivasi kalus pada agar
dan kultur suspensi sel pada media cair (Wetter dan Constabel, 1991).
Menurut Gunawan dalam Prahardini (1993), media dasar MS dan
modifikasi konsentrasi persenyawaannya dengan penambahan auksin dan
sitokinin merupakan media tumbuh yang biasa digunakan untuk inisiasi
kalus. Auksin berinteraksi dengan sitokinin sedemikian rupa sehingga
penggunaannya secara bersama-sama harus mempertimbangkan kadar
maupun perbandingannya dalam media (Wetherell, 1992).
c. Pertumbuhan kalus
Kalus merupakan massa sel yang terbentuk dari sel yang membelah
terus menerus tapi tidak terdiferensiasi (Walton et al., 1999). Kalus terdiri
dari jaringan meristematis yang berasal dari perlakuan tanaman. Kalus
merupakan wujud dediferensiasi sel yang merupakan reversi sel hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14 �
yang telah terdiferensiasi menjadi sel yang tidak terdiferensiasi. Pada
kultur in vitro, menginduksi terbentuknya kalus merupakan langkah
penting, selanjutnya diusahakan agar terjadi diferensiasi sel sehingga
terbentuk akar dan tunas (Suryowinoto, 2000).
Menurut Ramawat (1999), kurva pertumbuhan kalus sangat penting
dalam penelitian produk sekunder tanaman secara in vitro. Pengamatan
pertumbuhan kalus akan memberikan informasi hubungan pertumbuhan
dan sintesis produk sekunder serta akumulasinya. Hal ini bermanfaat
dalam tujuan eksperimen untuk produksi sekunder dan pemanenan
jaringan pada waktu tertentu, untuk analisis produk sekunder dan
mengatur pertumbuhan serta memindahkan sel-sel ke dalam media
induksi. Menurut Ramawat (1999), kalus yang stabil memiliki kurva
pertumbuhan sigmoid dengan tiga fase pertumbuhan, yaitu :
1. Lag fase
2. Eksponential fase
3. Stationer fase
d. Produksi Metabolit Sekunder Melalui Kultur In Vitro
Pada awalnya, teknik kultur in vitro hanya digunakan dalam usaha
perbanyakan tanaman. Semakin majunya ilmu pengetahuan, teknik in vitro
lebih diarahkan untuk mempelajari aspek biokimia dan fisiologi tanaman
sebagai alternatif memperoleh senyawa obat (Scragg, 1997; Wattimena
dalam Ernawati, 1992). Kultur in vitro berpotensi sebagai sarana penghasil
senyawa metabolit sekunder, terutama senyawa obat. Hal ini disebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15 �
dengan kultur in vitro dapat dihasilkan senyawa spesifik dalam jumlah
yang banyak bila dibandingkan tanaman utuh (Dalimoenthe, 1987; Kurz
dan Constabel, 1979).
Kultur in vitro dapat mengakumulasi metabolit sekunder hanya
dalam kondisi yang spesifik. Usaha untuk memaksimalkan produksi dan
akumulasi metabolit sekunder melalui kultur in vitro dilakukan dengan
manipulasi media, seleksi klon, penambahan prekusor, dan teknik elisitasi
(Mulabagal dan Tsay, 2004).
3. Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang
mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan menentukan
hasil tanaman. Pertambahan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan
merupakan hasil dari pertambahan ukuran bagian-bagian sel yang dihasilkan
oleh pertambahan ukuran sel (Sitompul dan Guritno, 1995). Pertumbuhan
adalah suatu peristiwa penting yang menandai kehidupan suatu organisme.
Secara sederhana pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan massa, berat
atau volume yang tidak dapat balik (Devlin. 1975). Kecepatan pertumbuhan
dapat diukur dengan beberapa cara antara lain mengukur tinggi tanaman, luas
daun, lebar daun, berat basah dan berat kering masing-masing organ seperti
akar, batang, dan daun (Noggle dan Fritz, 1983).
Pada kultur in vitro, pertumbuhan suatu tanaman meliputi tumbuh dan
berkembang (diferensiasi) dari sel-sel atau jaringan. Sel-sel yang mengalami
pembelahan secara terus menerus akan membentuk suatu massa yang disebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16 �
kalus. Kalus kemudian akan terdiferensiasi membentuk tunas atau akar, yang
akhirnya akan membentuk tanaman lengkap kembali (Winata, 1992).
Pertumbuhan dan organogenesis secara in vitro sangat tergantung pada
interaksi antara ZPT endogen dan ZPT eksogen yang ditambahkan ke dalam
media (Hendaryono dan Wijayani, 2002).
4. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Widyastuti dan
Tjokrokusumo, 2002). Pertumbuhan dan morfogenesis jaringan yang
dikulturkan diatur oleh interaksi dan keseimbangan antara ZPT eksogen dan
ZPT endogen (Katuuk, 1989). Menurut Wareing dan Phillips (1981), auksin
berperan pada pembentangan sel, sedangkan sitokinin merangsang pembelahan
sel. Interaksi kedua ZPT tersebut akan meningkatkan jumlah dan ukuran sel
dalam jaringan. Sitokinin bila berinteraksi dengan auksin dapat merangsang
mitosis dalam jaringan meristematik (Fahn, 1989).
Kinetin merupakan contoh kelompok sitokinin sintetis yang sering
digunakan dalam kultur in vitro (Moore, 1989). Kinetin belum ditemukan pada
tumbuhan dan bukan merupakan bahan aktif dari jaringan floem, namun
diketahui bahwa benziladenin atau ribosidanya ditemukan pada tumbuhan
(Salisbury dan Ross, 1995).
Sitokinin dihasilkan dari jaringan-jaringan meristematik tanaman yang
merupakan tempat terbentuknya asam nukleat dan protein dengan sangat aktif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17 �
Pada tanaman, sitokinin dibentuk dari penambahan IPP sebagai rantai panjang
dari cincin adenin (Wattimena, 1988).
Sitokinin memiliki rantai samping yang kaya akan karbon dan hidrogen,
menempel pada nitrogen yang menonjol dari puncak cincin purin. Sitokinin
dapat ditemukan dalam bentuk nukleosida yang gugus ribosidanya melekat
pada atom nitrogen pada kedudukan 9. ZPT yang tergolong dalam sitokinin
adalah BAP atau BA. BAP memiliki rumus bangun C12H11N5 dan titik lebur
230-233°C. Struktur bangun BAP ditunjukkan pada Gambar 4. Pada kultur
jaringan, BAP digunakan untuk memacu pertumbuhan tunas. Penggunaan BAP
bersama dengan golongan auksin yang seimbang akan memacu pembentukan
kalus (Wattimena, 1988).
Gambar 4. Struktur BAP (Anonim, 2009)
5. Sukrosa
Sukrosa menurut Gautheret dalam Wattimena, (1987) merupakan jenis
karbohidrat yang paling baik selanjutnya diikuti oleh glukosa, maltosa dan
rafinosa. Karbohidrat merupakan sumber karbon dan energi. Senyawa organik
tersebut selain sebagai bahan baku yang menghasilkan energi dalam proses
respirasi juga sebagai bahan pembentuk sel–sel baru. Pemberian sukrosa,
glukosa, fruktosa dan gula sebagai sumber karbohidrat dalam media tumbuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18 �
memberikan hasil yang lebih baik terhadap tinggi plantlet (Widiastoety dan
Bahar, 1995).
Sukrosa juga berfungsi sebagai pengatur tekanan osmotik media.
Penambahan mannitol bersamaan dengan sukrosa 1% meningkatkan berat
subang (Lilium speciosum) (Gerrits dan De Klerk, 1992). Disamping
penambahan sukrosa, tekanan osmotik yang tinggi pada media yang
disebabkan oleh adanya zat penghambat pertumbuhan dapat mendorong
pembentukan subang (Ginzburg dan Ziv, 1973). Struktur bangun sukrosa dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur bangun sukrosa (Anonim, 2009)
B. Kerangka Pemikiran
Sukrosa merupakan salah satu komponen penting pada media kultur in vitro.
Sukrosa berperan sebagai sumber karbon, sumber energi bagi tumbuhan, dan juga
sebagai bahan pembentuk sel–sel baru. Pemberian sukrosa pada media kultur
diharapkan dapat memacu pertumbuhan serta produksi reserpin kalus pule
pandak. ZPT dalam media kultur berperan dalam memacu pembelahan sel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19 �
Pembelahan sel yang terjadi akan memacu pertumbuhan kalus dan produksi
metabolit sekunder.
Manipulasi media kultur diharapkan dapat memacu pertumbuhan dan
perkembangan kalus pule pandak serta memacu pembentukan senyawa metabolit
sekunder reserpin yang terkandung pada kalus pule pandak. Secara skematis
kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Alur kerangka pemikiran
Pule Pandak
(Rauvolfia verticillata
Induksi kalus
Eksplan
Variasi konsentrasi
sukrosa
Kalus
Media Perlakuaan
Pertumbuhan kalus dan
Produksi Reserpin Meningkat
Variasi konsentrasi
BAP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20 �
C. Hipotesis
Pada penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
pemberian sukrosa dan BAP dalam media kultur pada konsentrsi optimal akan
memacu pertumbuhan khususnya pada berat basah dan berat kering serta memacu
pembentukan reserpin kalus pule pandak (R. verticillata Lour).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21 �
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Juni
2010. Penelitian dilakukan di Sub Lab Biologi UPT Laboratorium Pusat MIPA
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat untuk
sterilisasi, pembuatan media, penanaman eksplan, dan analisis reserpin.
a. Sterilisasi
Sterilisasi alat dan media digunakan autoklaf dengan pengaturan suhu
121ºC dan tekanan 1,5 atm. Sterilisasi pada saat penanaman menggunakan
bunsen burner. Alat–alat yang sudah diautoklaf disimpan dalam rak.
b. Pembuatan media
Alat–alat yang digunakan dalam pembuatan media antara lain hot plate,
magnetic stirrer, gelas beker, erlenmeyer, pipet volume, drag ball, pipet
tetes, spatula, timbangan analitik, pH meter, aluminum foil, dan botol
kultur.
c. Penanaman eksplan
Alat yang digunakan untuk penanaman eksplan meliputi botol kultur yang
sudah berisi media, cawan petri, alat–alat diseksi, erlenmeyer, aluminum
foil, dan bunsen burner. Alat–alat ini sebelumnya sudah disterilkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22 �
terlebih dahulu menggunakan autoklaf. Penanaman eksplan dilakukan di
dalam laminar air flow yang sudah disterilkan terlebih dahulu dengan
alkohol dan sinar UV.
d. Analisis reserpin
Alat yang digunakan antara lain vortek, mortar, pesle, kertas saring, tabung
reaksi, pipet volume, water batch, corong kaca, dan spektrofotometer UV-
VIS (Shimadzu UV-160 IPC).
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi bahan tanaman sumber
eksplan dan bahan kimia.
a. Bahan Tanaman
Sebagai sumber eksplan adalah daun muda, yaitu daun ke-2 atau ke-3 dari
pucuk tanaman R.verticillata Lour.
b. Bahan Kimia
1) Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi eksplan menggunakan aquades steril, sabun cair, alkohol
70%, anti bacteria, fungisida, Natrium Hipoklorit, dan Tween 20.
2) Pembuatan Media
Komposisi media MS tercantum dalam lampiran 1, bahan pemadat
berupa agar, HCL 1 N, KOH 1 N, aquades, sukrosa, dan ZPT.
3) Analisis Reserpin
Etanol, Aquabides, Sodium Nitrit 0,3%, Asam Sulfamat 5%, dan
Reserpin murni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23 �
C. Cara kerja
1. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama berupa variasi konsentrasi
BAP dengan 3 macam konsentrasi dan faktor kedua berupa variasi konsentrasi
sukrosa dengan 4 macam konsentrasi, sehingga dihasilkan 12 perlakuan.
Masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan tersebut adalah sebagai
berikut :
B0S0 : pemberian BAP 0 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B0S1 : pemberian BAP 0 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B0S2 : pemberian BAP 0 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B0S3 : pemberian BAP 0 mg/l + Sukrosa 35 g/l
B1S0 : pemberian BAP 1 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B1S1 : pemberian BAP 1 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B1S2 : pemberian BAP 1 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B1S3 : pemberian BAP 1 mg/l + Sukrosa 35 g/l
B2S0 : pemberian BAP 2 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B2S1 : pemberian BAP 2 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B2S2 : pemberian BAP 2 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B2S3 : pemberian BAP 2 mg/l + Sukrosa 35 g/l
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24 �
2. Cara kerja
a. Tahap persiapan
1) Sterilisasi alat
• Alat yang akan digunakan dicuci dengan sabun cair kemudian
dibilas dengan air mengalir, setelah itu bagian yang terbuka
dihadapkan ke bawah. Botol yang sudah kering ditutup dengan
aluminum foil, lalu bagian tengah tutup ditepuk-tepuk secara
perlahan agar tutup lebih rapat.
• Alat–alat yang akan disterilkan dibungkus dengan kertas. Beberapa
erlenmeyer diisi dengan aquades untuk membuat aquades steril.
Semua alat yang sudah terbungkus dimasukkan dalam keranjang,
kemudian keranjang dimasukkan dalam autoklaf. Autoklaf diatur
dengan suhu 121° C, tekanan 1,5 atm selama 30 menit. Setelah
sterilisasi selesai, peralatan disimpan dalam oven atau rak.
2) Pembuatan Larutan Stok Media MS
• Bahan-bahan kimia untuk stok media MS ditimbang, kemudian
dilarutkan dalam 50 ml aquades dalam gelas beker dan diaduk
dengan magnetic stirrer. Setelah bahan larut volume ditetapkan
hingga 100 ml, kemudian dilarutkan dimasukkan dalam botol stok
dan diberi label.
• Pembuatan FeEDTA, setelah Na2EDTA dilarutkan ditambahkan
Fe2SO4 yang telah digerus. Setelah larut, volume ditetapkan hingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25 �
100 ml, kemudian dimasukkan dalam botol stok ditutup dengan
aluminum foil, lalu disimpan pada tempat gelap.
3) Pembuatan media
� Media Inisiasi Kalus
• Sukrosa sebanyak 30 g dimasukkan ke dalam gelas beker,
kemudian satu per satu larutan stok ditambahkan sesuai dengan
volume yang sudah ditentukan.
• Ditambahkan aquades 1/3 bagian dan distirer agar homogen.
• Setelah homogen, ph larutan diukur apakah sudah mencapai 5,6-
6 atau belum, jika ph kurang dari 5,6-6 ditambahkan KOH
sampai ph 5,6-6 dan jika ph lebih dari 5,6-6 maka ditambahkan
HCl sampai ph 5,6-6,
• Setelah ph sesuai, ditambahkan NAA dan kinetin, masing-
masing 2 mg.
• Ditambahkan 7 g agar, kemudian ditambahkan aquades sampai
volumenya 1 liter, kemudian dipanaskan hingga mendidih.
• Media dituangkan kedalam botol kultur kemudian botol ditutup
dengan aluminum foil.
• Botol berisi media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121ºC
tekanan 1,5 atm selama 15 menit.
� Media perlakuan
Pembuatan media perlakuan menggunakan langkah yang sama
dengan pembuatan media inisiasi kalus, tetapi ZPT diganti dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26 �
faktor perlakuan yang sudah ditetapkan. Faktor perlakuan tersebut
adalah penambahan sukrosa dan BAP dengan variasi konsentrasi.
b. Tahap sterilisasi eksplan
Eksplan yang akan ditanam harus disterilisasi terlebih dahulu untuk
menghindarai adanya kontaminasi. Pertama bahan tanaman dicuci dengan
sabun, kemudian dibilas dengan aquades. Eksplan direndam dalam alkohol
96 % selama 30 detik, kemudian dibilas dengan aquades steril. Terakhir,
eksplan direndam dengan larutan clorox selama 5 menit kemudian dibilas
dengan aquades steril hingga bersih (pembilasan terakhir dilakukan di
dalam LAF).
c. Tahap penanaman pada media inisiasi kalus
Eksplan yang telah disterilisasi ditanam pada media inisiasi kalus
yaitu media MS dengan penambahan NAA 2 mg/l + kinetin 2 mg/l.
Penanaman eksplan dilakukan dalam laminar air flow yang telah
disterilkan. Eksplan daun pule pandak diletakkan pada cawan petri,
dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm. Potongan daun ditanam dalam
media, melewati api bunsen, yang berguna untuk memperkecil peluang
terjadinya kontaminasi. Botol yang berisi eksplan ditutup dengan
aluminum foil.
d. Tahap pemeliharaan
Eksplan yang sudah ditanam kemudian diinkubasi dalam ruang
inkubasi, untuk mencegah kontaminasi botol-botol disemprot dengan
alkohol 70% minimal tiga kali dalam seminggu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27 �
e. Tahap penanaman kalus pada media perlakuan
Kalus yang diperoleh dari media inisiasi (kalus berumur 45 hari)
dipindahkan ke dalam media perlakuan yaitu media MS dengan
penambahan faktor perlakuan dengan menggunakan pinset steril di dalam
laminar air flow. Botol-botol kultur yang telah berisi kalus diinkubasi pada
suhu kamar (25-27° C) dan diberi cahaya berupa lampu neon 10 watt
di dalam inkubasi.
f. Tahap pengamatan
Eksplan yang telah ditanam kemudian diamati perkembangannya tiap
hari. Hal-hal yang perlu diamati antara lain jumlah eksplan yang
terkontaminasi jamur maupun bakteri, morfologi kalus, dan juga diamati
waktu kalus terbentuk. Diakhir inkubasi (14 hari setelah penanaman)
diamati berat basah dan berat kering kalus.
Pengukuran berat basah kalus dilakukan dengan membandingkan
berat botol beserta media diawal dengan berat botol beserta media dan
eksplan pada akhir pengamatan. Berat kering kalus diukur dengan
menimbang kalus yang dikeringkan dalam inkubator 60-70 º C sampai
beratnya konstan.
g. Analisis Kadar Reserpin
Kalus yang telah dikeringkan digerus dengan menggunakan mortar
sampai berbentuk serbuk halus. Serbuk kalus dimasukkan dalam tabung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28 �
reaksi sebanyak 100 mg, ditambahkan pelarut etanol p.a sebanyak 100 ml
lalu divortek, kemudian ditambahkan akuabides sampai volume 100 ml.
Larutan disaring dan ditambahkan sodium nitrit 0,3% sebanyak 1 ml,
kemudian diendapkan dalam water batch yang bersuhu 55° C selama 30
menit. Larutan didinginkan dan ditambahkan asam sulfamat 5% sebanyak
0,5 ml. Ekstrak yang diperoleh kemudian diukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 399
nm dengan larutan pembanding reserpin murni (Singh et al., 2004).
Singh et al. (2004), mengkonversi kadar reserpin (mg/l pelarut) hasil
spektrofotometer menjadi bentuk mg/g kalus kering, dengan rumus :
R = S x V
B
Dimana,
R : kadar reserpin (mg/g) berat kering kalus
S : kadar reserpin sampel hasil spektrofotometer (mg/l) pelarut
V : volume pelarut (l)
B : berat serbuk kalus yang dispektrofotometer (g)
D. Analisis data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif.
Data kualitatif berupa morfologi kalus disajikan secara deskriptif. Data kuantitatif
berupa berat basah, berat kering, dan kandungan reserpin kalus. Data kuantitatif
dianalisis secara statistik dengan ANAVA untuk mengetahui pengaruh pemberian
BAP dan sukrosa terhadap berat basah, berat kering, dan kandungan reserpin
kalus. Bila ada perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29 �
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Kalus pada Media Inisiasi
Kalus adalah sekumpulan sel amorphous (tidak berbentuk atau belum
terdiferensiasi) yang terbentuk dari sel-sel yang membelah terus menerus secara in
vitro. Kalus dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti akar, batang dan daun.
Kalus berasal dari pembelahan berkali-kali sel-sel parenkim disekitar berkas
pengangkut dan beberapa elemen penyusun berkas pengangkut kecuali xilem.
Pada teknik kultur jaringan (in vitro), kalus dapat diinduksi dengan
menambahkan zat pengatur tumbuh yang sesuai pada media kultur, misalnya
auksin dan sitokinin yang disesuaikan. Jika konsentrasi auksin lebih besar
daripada sitokinin maka akar akan terbentuk, sedangkan jika konsentrasi sitokinin
yang lebih besar maka yang terbentuk adalah tunas. Alam (2010), dalam
penelitiannya mengutarakan bahwa penggunaan sitokinin BAP yang optimum
dapat meningkatkan frekuensi induksi tunas Ricinus communis. Induksi kalus
dalam teknik kultur jaringan tanaman diperlukan untuk memunculkan keragaman
sel somatik di dalam kultur in vitro dan meregenerasikan sel tersebut menjadi
embrio somatik.
Media induksi kalus yang digunakan dalam penelitian ini adalah media
dasar MS dengan penambahan NAA dan Kinetin sebanyak 2 ppm. Pemilihan ZPT
tersebut karena kombinasi auksin dan sitokinin dalam media kultur dapat memacu
pertumbuhan kalus. Hal ini berdasarkan pendapat Wareing dan Phillips (1981),
yang mengatakan bahwa, kombinasi auksin dan sitokinin diketahui dapat
29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30 �
mempercepat pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada kultur in vitro.
Auksin berperan pada pembentangan sel, sedangkan sitokinin merangsang
pembelahan sel. Interaksi kedua ZPT tersebut akan meningkatkan jumlah dan
ukuran sel dalam jaringan (Wareing dan Phillips, 1981).
B. Pertumbuhan Kalus pada Media Perlakuan
Kalus hasil inisiasi kemudian disubkultur ke media perlakuan. Pada
penelitian ini media perlakuan adalah media MS dengan penambahan faktor
perlakuan berupa sukrosa dan BAP. Setelah diinkubasi selama 1 minggu, diamati
warna dan tekstur dari kalus. Data warna dan tekstur kalus disajikan pada Tabel 1
dan Gambar 7.
Tabel 1. Warna dan tekstur kalus pule pandak pada media perlakuan
Perlakuan Morfologi Kalus
Warna Tekstur
B0S0 Hijau keputihan Kompak
B0S1 Hijau Kompak
B0S2 Hijau kekuningan Kompak
B0S3 Hijau Kompak
B1S0 Hijau keputihan Kompak
B1S1 Hijau Kompak
B1S2 Hijau Kompak
B1S3 Hijau Kompak
B2S0 Hijau keputihan Kompak
B2S1 Hijau kekuningan Kompak
B2S2 Hijau Kompak
B2S3 Hijau Kompak
Keterangan :
B : BAP S : Sukrosa
B0 : 0 ppm S0 : 0 gram
B1 : 1 ppm S1 : 25 gram
B2 : 2 ppm S2 : 30 gram
S3 : 35 gram
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31 �
B0 B1 B2
S0
S1
S2
S3
Gambar 7. Morfologi kalus Pule Pandak usia 7 minggu
Keterangan :
B : BAP, B0 : 0 ppm, S0 : 0 gram, B1 : 1 ppm,
S : Sukrosa, S1 : 25 gram, B2 : 2 ppm, S2 : 30 gram, S3 : 35 gram
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32 �
Dari warna kalus yang diamati, ada beberapa warna yang muncul, yaitu
hijau keputihan, hijau kekuningan, dan hijau. Menurut George dan Sherrington
(1984) perbedaan tekstur, warna, dan banyak kalus yang dihasilkan terjadi karena
eksplan yang digunakan berasal dari tumbuhan atau bagian yang berbeda dan
akibat masa pengambilan eksplan yang berbeda sehingga memberikan
perkembangan hasil yang tidak sama. Eksplan yang diambil dari bagian yang
masih muda / juvenile, akan menghasilkan kalus yang lebih baik dari pada kalus
yang dihasilkan dari eksplan yang berasal dari bagian tanaman yang sudah
dewasa, karena bagian tanaman yang masih muda memiliki sel-sel yang lebih
aktif melakukan pembelahan bila dibandingkan dengan sel-sel pada bagian
tanaman yang sudah dewasa. Mitra dan Chaturvedi (1972) melaporkan bahwa
jaringan batang Citrus grandis menghasilkan kalus yang berwarna putih
kehijauan, padat dan bergranul kecil apabila tingkat pertumbuhan dalam medium
adalah lambat, sedangkan kalus dengan tingkat pertumbuhan yang cepat
menghasilkan kalus yang rapuh dan mudah hancur.
Warna putih merupakan warna awal saat kalus mulai mengalami inisiasi.
Menurut Wiedenfeld (1997), penggunaan BA dalam konsentrasi yang lebih tinggi
(BA 0.2-1 mg/l) selain mengurangi diamater dan bobot segar kalus, juga
menurunkan kualitas kalus yang dapat dilihat dari perubahan struktur dan warna
kalus, yaitu cenderung menjadi lebih kompak dan berwarna putih kekuningan.
Menurut Wiedenfeld (1997), struktur kalus yang kompak dan terjadi perubahan
warna kekuningan atau kehijaun, mengindikasikan terjadinya diferensiasi sel.
Kalus berwarna putih merupakan kalus yang belum mengalami penuaan, hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33 �
kemungkinan disebabkan karena keberadaan BAP dalam media. Menurut
Watimena (1987), sitokinin berperan dalam memperlambat proses senesensi sel
dengan menghambat perombakan butir-butir klorofil dan protein dalam sel.
Perubahan warna kalus menjadi hijau mengindikasikan terjadi perubahan
fase yaitu fase meristenoid. Menurut Schwarz et al. (2005), fase meristenoid
merupakan suatu fase dimana terjadi suatu proses determinasi, yaitu perubahan
dari induksi sel ke diferensiasi sel. Adanya nutrisi dalam jumlah yang cukup dan
seimbang serta tersedianya sitokinin dalam jumlah yang optimun maka tunas akan
terbentuk, sebaliknya ketidak seimbangan auksin dan sitokinin akan menekan
pertumbuhan tunas dan merangsang pertumbuhan akar (Wattimena, 1988).
Pengamatan menunjukkan bahwa kalus pada perlakuan 0 g/l dan 15 g/l
sukrosa memiliki warna keputihan, hal ini kemungkinan disebabkan karena
kurangnya sumber energi pada media sehingga kalus berkembang secara lambat.
Pada perlakuan 30 g/l dan 35 g/l sukrosa didapatkan warna kekuningan dan hijau.
Perbedaan warna ini disebabkan perbedaan pigmen hijau atau klorofil yang
terkandung di dalam kalus.
Pada pengamatan terhadap tekstur kalus diketahui bahwa semua kalus
yang terbentuk memiliki tekstur yang kompak. Secara umum tekstur kalus ada 2
macam yaitu kompak dan remah. Kalus dikatakan kompak jika memiliki struktur
sel yang rapat, padat, sulit untuk dipisahkan, dan mempunyai vakuola yang besar
dalam sel-selnya. Zhao et al (2001) berpendapat bahwa kalus yang kompak
terbentuk oleh NAA (auksin) yang tidak menginduksi sintesis enzim selulase dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34 �
pektinase yang memiliki aktivitas lisis terhadap lamella tengah sehingga ikatan
antar sel tidak renggang dan memberikan struktur sel yang kompak.
Kalus yang remah memiliki susunan sel yang longgar sehingga mudah
dipisahkan dan selnya bersifat meristematik serta aktif membelah (Street, 1993).
Sel-sel yang berstruktur remah cenderung berbentuk tidak teratur, relatif kecil
ukurannya, inti selnya besar, dan sitoplasmanya masih kental. Terbentuknya kalus
bertekstur remah dipicu oleh keberadaan auksin endogen yang diproduksi secara
internal oleh eksplan (Steven dan Sussex, 1994).
C. Biomassa Kalus
Bahan atau biomassa tanaman dapat digunakan untuk menggambarkan dan
mempelajari pertumbuhan tanaman. Biomassa tanaman relatif mudah diukur dan
merupakan indikator pertumbuhan tanaman. Berat basah tanaman dapat
menunjukkan aktivitas metabolisme tanaman dan nilai berat basah tanaman
dipengaruhi oleh kandungan air jaringan, unsur hara, dan hasil metabolisme
(Sitompul dan Guritno, 1995). Adanya penambahan berat basah disebabkan oleh
adanya absorbsi air dari media ke dalam sel-sel tunas (Dodds dan Roberts, 1995).
Pengukuran berat basah kalus sangat tergantung pada kandungan air dalam
kalus. Perbedaan berat basah antar kalus disebabkan oleh perbedaan kemampuan
tiap jaringan dalam menyimpan air dan unsur hara, dalam hal ini meliputi difusi,
osmosis, dan pengaturan tekanan turgor sel (Sriyanti, 2000). Berat basah kalus
diukur dengan mengurangi berat botol beserta kalus diakhir dengan berat botol
tanpa kalus diawal. Hasil pengamatan terhadap berat basah kalus disajikan dalam
Tabel 2 dan Gambar 8.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35 �
Tabel 2. Rata-rata berat basah (mg) kalus Pule Pandak usia 7 minggu
Biomassa Perlakuan S0 S1 S2 S3
Berat
Basah (mg)
B0 231,66bc
240,33bc
243,33bc
224,00bc
B1 205,33ab
236,66bc
243,66bc
248,66bc
B2 171,00a 223,00
bc 242,66
bc 263,66
c
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT 95%.
Keterangan :
B : BAP S : Sukrosa
B0 : 0 ppm S0 : 0 gram
B1 : 1 ppm S1 : 25 gram
B2 : 2 ppm S2 : 30 gram
S3 : 35 gram
�
��
���
���
���
���
���
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
Gambar 8. Rata-rata berat basah (mg)
Keterangan :
B0S0 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B0S1 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B0S2 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B0S3 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 35 g/l
B1S0 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B1S1 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B1S2 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B1S3 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 35 g/l
B2S0 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B2S1 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B2S2 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B2S3 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 35 g/l
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36 �
Hasil uji ANAVA (lampiran) menunjukkan pemberian perlakuan
memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap berat basah kalus, Data yang
didapatkan menunjukkan bahwa peningkatan berat basah sejalan dengan
peningkatan konsentrasi faktor perlakuan. Hal ini disebabkan karena keberadaan
sukrosa dan BAP dalam media memacu metabolisme di dalam eksplan, sehingga
pertumbuhan kalus akan meningkat.
Sukrosa memiliki beberapa peran penting dalam media, yaitu sebagai
sumber karbon, sumber energi, pengatur tekanan osmotik, mengatur stabilisasi
membran, dan berperan sebagai pelindung terhadap stress (Lipavska dan
Konradova, 2004; Tomaz et al., 2001). Peran sukrosa dalam mengatur tekanan
osmotik mempengaruhi kemampuan jaringan dalam penyerapan air dari media ke
dalam kalus. Menurut Srilestari (2005), pada media yang banyak mengandung
sukrosa akan lebih pekat dari pada yang sedikit mengandung sukrosa. Media
dengan konsentrasi pekat berarti banyak terdapat molekul-molekul, sehingga arah
gerakan difusi adalah ke tempat yang kekurangan molekul atau yang
berkonsentrasi rendah. Keadaan demikian menyebabkan sel-sel pada jaringan
eksplan yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan sukrosa tinggi dapat
lebih cepat menerima unsur-unsur hara yang diperlukan bagi perkembangannya.
Pada akhirnya jika kemampuan kalus untuk menyerap air meningkat maka berat
kalus juga akan ikut bertambah.
Pemberian BAP pada media berpengaruh terhadap berat basah kalus.
Peningkatan konsentrasi BAP mempengaruhi peningkatan berat basah kalus. Dari
penelitian diketahui bahwa perlakuan 35 g/l sukrosa + 2 ppm BAP memberi hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37 �
yang terbaik, sedangkan berat basah terkecil terdapat pada perlakuan 0 g/l sukrosa
+ 2 ppm BAP.
Berat basah kalus juga dipengaruhi keberadaan BAP dalam media. Fosket
dalam Salisburry dan Ross (1995) menyatakan bahwa sitokinin mendorong
pembelahan sel dengan cara meningkatkan peralihan dari G2 ke fase mitosis
dalam siklus sel, siklus sel dapat dilihat pada Gambar 10. Sitokinin juga
meningkatkan laju sintesis protein baik struktural maupun fungsional, sehingga
akan meningkatkan proses metabolisme sel. Metabolisme yang tinggi mendorong
penyerapan air dan hara dari media sehingga meningkatkan laju fotosintesis yang
berpengaruh terhadap biomassa tanaman, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
berat basah tanaman. Toosi dan Dilmagani (2010), menyatakan pemberian 0,5
BAP pada media tumbuh merupakan perlakuan yang paling optimum untuk
meningkatkan proliferasi tanaman kacang Persia (Juglans regia L.).
Gambar 9. Siklus sel (Anonim, 2009)
Berat kering merupakan parameter pertumbuhan yang digunakan sebagai
ukuran global pertumbuhan tanaman dengan segala peristiwa yang dialaminya.
Berat kering diukur dengan cara melakukan pengeringan untuk menghilangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38 �
kadar air dan menghentikan aktivitas metabolisme dalam bahan hingga diperoleh
berat yang konstan. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), bahan kering tanaman
dipandang sebagai manifestasi dari semua proses dan peristiwa yang terjadi dalam
pertumbuhan tanaman. Produksi tanaman biasanya lebih akurat dinyatakan
dengan ukuran berat kering dari pada dengan berat basah, karena berat basah
sangat dipengaruhi oleh kondisi kelembaban. Hasil pengamatan terhadap berat
kering kalus disajikan dalam Tabel 3 dan Gambar 9.
Tabel 3. Rata-rata berat kering (mg) kalus Pule Pandak usia 7 minggu
Biomassa Perlakuan S0 S1 S2 S3
Berat
Kering (mg)
B0 11,33bc
11,66bc
12,00bc
11,00bc
B1 10,00ab
11,66bc
12,00bc
12,33bc
B2 8,33a 11,00
bc 12,00
bc 13,00
c
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT 95%.
Keterangan :
B : BAP S : Sukrosa
B0 : 0 ppm S0 : 0 gram
B1 : 1 ppm S1 : 25 gram
B2 : 2 ppm S2 : 30 gram
S3 : 35 gram
�
�
�
��
��
�
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
Gambar 10. Rata-rata berat kering (mg)
Keterangan :
B0S0 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 0 g/l B0S1 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B0S2 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 30 g/l B0S3 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 35 g/l
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39 �
B1S0 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 0 g/l B1S1 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B1S2 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 30 g/l B1S3 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 35 g/l
B2S0 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 0 g/l B2S1 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B2S2 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 30 g/l B2S3 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 35 g/l
Hasil uji ANAVA terhadap berat kering kalus menunjukkan pemberian
perlakuan berpengaruh signifikan terhadap berat kering kalus. Rata-rata berat
kering tertinggi terdapat pada perlakuan 2 ppm BAP + 35 g/ l sukrosa, sedangkan
berat kering terendah pada perlakuan 2 ppm BAP + 0 g/l sukrosa.
Keberhasilan kultur jaringan bergantung pada media yang digunakan.
Media kultur tidak hanya menyediakan unsur hara dan vitamin, tetapi juga
karbohidrat yang umunya berupa gula. Gula merupakan sumber karbon yang sama
dengan karbon yang biasanya didapatkan tanaman dari udara berupa CO2
(Herwinaldo, 2010). Menurut George dan Sherington (1984), sukrosa merupakan
sumber karbon penting yang digunakan sebagai penyusun sel. Sukrosa yang
cukup dalam media menyebabkan pembelahan, pembesaran, dan diferensiasi sel
dapat berjalan dengan baik. Ketersediaan sukrosa yang besar dalam media
memungkinkan terjadinya cukup energi serta bahan-bahan penting untuk
pertumbuhan dan pembentukan biomassa.
Seperti halnya berat basah, berat kering kalus mengalami peningkatan
sejalan dengan peningkatan konsentrasi sukrosa dalam media. Sitompul dan
Guritno (1995), menjelaskan selain untuk metabolisme sukrosa juga diubah
menjadi bahan esensial seperti bahan dinding sel, protein dan bahan lainnya yang
diperlukan untuk pertumbuhan. Di dalam tubuh tumbuhan, sukrosa akan
terhidrolisi menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa akan diproses melalui
glikolisis dan siklus Krebs menghasilkan energi berupa ATP dan NADH,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40 �
sedangkan fruktosa berperan sebagai antioksidan dalam menjaga stabilisasi
membran (Strum, 1999; van den Endel dan Vallumu, 2009).
D. Kandungan Reserpin Kalus
Kandungan senyawa kimia pule pandak adalah reserpin, ajmalin,
isoreserpilin, dan sarpagin (de Padua et al, 1999). Menurut Purnamaningsih
(1998), kandungan alkaloid utama pule pandak adalah reserpin. Hasil pengamatan
terhadap kandungan reserpin kalus pule pandak disajikan pada Tabel 3 dan
Gambar 11.
Tabel 4. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) kalus pule pandak
Perlakuan S0 S1 S2 S3
Reserpin
(ppm)
B0 68,63 65,02 70,12 57,98
B1 53,40 61,83 68,04 68,29
B2 45,10 62,06 65,14 73,59
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT 95%.
Keterangan :
B : BAP S : Sukrosa
B0 : 0 ppm S0 : 0 gram
B1 : 1 ppm S1 : 25 gram
B2 : 2 ppm S2 : 30 gram
S3 : 35 gram
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41 �
�
��
��
��
�
��
�
��
��
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
Gambar 11. Rata–rata kandungan reserpin (ppm) kalus pule pandak
Keterangan :
B0S0 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B0S1 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B0S2 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B0S3 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 35 g/l
B1S0 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B1S1 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B1S2 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B1S3 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 35 g/l
B2S0 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B2S1 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B2S2 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B2S3 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 35 g/l
Hasil analisis data (lampiran) menunjukkan pemberian perlakuan tidak
berpengaruh signifikan terhadap kandungan reserpin kalus pule pandak.
Kandungan reserpin tertinggi terdapat pada perlakuan 35 g/l sukrosa + 2 ppm
BAP, sedangkan konsentrasi terendah terdapat pada perlakuan 0 g/l sukrosa + 2
ppm BAP.
Pada perlakuan sukrosa tunggal (0 ppm BAP), reserpin tertinggi terdapat
pada penambahan 30 g sukrosa pada media sedangkan terendah pada penambahan
35 g sukrosa. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) pada perlakuan sukrosa tunggal
(0 ppm BAP) dapat dilihat pada Gambar 12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42 �
�
��
��
��
�
��
�
��
��
���� ���� ���� ����
Gambar 12. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) pada perlakuan sukrosa tunggal
(0 ppm BAP)
Keterangan :
B0S0 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B0S1 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B0S2 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B0S3 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 35 g/l
Sukrosa selain berfungsi sebagai sumber energi dan sumber karbon bagi
eksplan juga mempunyai pengaruh terhadap pembentukan senyawa metabolit
sekunder dalam penelitian ini berupa reserpin. Sukrosa berperan dalam
pembentukan triptofan yang merupakan prekursor pembentuk reserpin. Secara
singkat hubungan sukrosa dan reserpin dapat dilihat pada Gambar 13.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43 �
Reserpin
Sukrosa Triptofan Tirosin Penilalanin
Glukosa Antranilat Prepenate
Fruktosa 1,6 bifosfat khorismat
Eritros 4-pospate
3- fosfogliserat DAHP Sikimat
Piruvat
Asetil CoA
Siklus Krebs
Gambar 13. Hubungan sukrosa dan reserpin
�
��
��
��
�
��
�
��
��
���� ���� ����
Gambar 14. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) pada perlakuan BAP tunggal
(0 g sukrosa)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44 �
Keterangan :
B0S0 : BAP 0 mg/l + Sukrosa 0 g/l B1S0 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 0 g/l
B2S0 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 0 g/l
Pada perlakuan BAP tunggal (0 g sukrosa), reserpin tertinggi terdapat pada
penambahan 0 ppm BAP, sedangkan terendah pada penambahan 2 ppm BAP.
Rata-rata kandungan reserpin (ppm) pada perlakuan BAP tunggal (0 g sukrosa)
dapat dilihat pada Gambar 14. Kandungan reserpin pada 0 ppm BAP
menunjukkan hasil tertinggi daripada perlakuan lainnya disebabkan pada
perlakuan tersebut eksplan mengalami stress atau cekaman, karena kurangnya
sumber gula pada media. Kandungan reserpin semakin menurun sejalan dengan
penambahan konsentrasi BAP. Hal ini disebabkan karena BAP mempunyai fungsi
untuk memacu pembelahan sel, sehingga secara perlahan cekaman yang dialami
eksplan akan berkurang. Akibatnya produksi reserpin yang berfungsi sebagai
respon tanaman terhadap cekaman akan menurun.
Kandungan reserpin selain dipengaruhi oleh sukrosa juga dipengaruhi
beberapa faktor lainnya, salah satu faktor yang mempengaruhi kandungan reserpin
adalah adanya cekaman yang dialami oleh eksplan. Pemberian stress pada kultur
dapat mempengaruhi produksi metabolit sekunder. Kejadian yang mungkin timbul
karena perlakuan tersebut kemungkinan akan terbentuknya senyawa baru yang
tidak terdapat dalam tumbuhan asal (de novo synthesis), akan tetapi umumnya
memberikan hasil yang menguntungkan. Jenis stress yang umum ditemukan pada
kultur jaringan antara lain, kekurangan air, kekurangan cahaya, kekurangan nutrisi
(mineral), suhu di atas atau di bawah optimal. Eksplan yang mengalami cekaman
akan melakukan respon dengan memproduksi senyawa metabolit sekunder.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45 �
�
�
��
�
�
�
��
��
�
�
���� ���� ���� ���� ���� ����
Gambar 15. Rata-rata kandungan reserpin (ppm) pada perlakuan kombinasi
Keterangan :
B1S1 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 25 g/l B1S2 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 30 g/l
B1S3 : BAP 1 mg/l + Sukrosa 35 g/l B2S1 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 25 g/l
B2S2 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 30 g/l B2S3 : BAP 2 mg/l + Sukrosa 35 g/l
Pada perlakuan kombinasi, reserpin terbanyak terdapat pada penambahan
2 ppm BAP + 35 g sukrosa. Hasil ini dapat terjadi karena kebutuhan sukrosa bagi
pertumbuhan kalus yang terdapat pada media sudah optimal, sehingga sebagian
sukrosa akan terakumulasi membentuk reserpin. Meskipun jumlah sukrosa akan
berlimpah, dengan adanya BAP yang memacu pembelahan sel maka
keseimbangan reserpin akan terjaga, sehingga kandungan reserpin tidak
mengalami penurunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46 �
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut
1. Pemberian perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus pule
pandak, yang ditunjukkan melalui hasil signifikan pada analisis data
terhadap berat basah dan berat kering kalus.
2. Pemberian perlakuan tidak berpengaruh signifikan terhadap kandungan
reserpin kalus.
3. Perlakuan terbaik bagi pertumbuhan kalus adalah pemberian 35 g/L
sukrosa + 2 ppm BAP pada media tumbuh.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian kultur in vitro lebih lanjut untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi sukrosa di atas 35 g, misalnya 37,5 g dan 40 g,
terhadap pertumbuhan dan kandungan reserpin kalus pule pandak. Untuk
konsentrasi di bawah 35 g, dapat digunakan konsentrasi 32,5 g sukrosa.
top related