pembentukan konsep moral dan etika menurut kh. ma....
Post on 27-Oct-2020
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
PEMBENTUKAN KONSEP MORAL DAN ETIKA MENURUT
KH. MA. SAHAL MAHFUDH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
LUTFI KHAKIM
NIM: 23010-15-0259
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
ii
iii
PEMBENTUKAN KONSEP MORAL DAN ETIKA MENURUT
KH. MA. SAHAL MAHFUDH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
LUTFI KHAKIM
NIM: 23010-15-0259
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
iv
v
vi
vii
MOTTO
خير ما أعطي الناس خلق حسه
“Pemberian terbaik yang diberikan kepada manusia adalah akhlak yang baik”
(HR At-Tirmidzi)
ما مه شيء أثقل في ميزان المؤمه يوم القيامة مه خلق حسه
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat pada timbangan (kebajikan) seorang
mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang mulia”
(HR At-Tirmidzi)
viii
PERSEMBAHAN
Puja puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang mana telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Ibuunda Siti Munawaroh yang mampu merawat dan mendidik dari
kecil hingga dewasa, yang tak pernah kenal kata bosan untuk
membimbing dan menuntun dalam pendidikan.
2. Ayah Muhammad Syaifudin kepala keluarga dan tulang punggung
keluarga kecil kami, yang tak kenal lelah mencari nafkah untuk
keluarga tercinta.
3. Saudari kandung saya Nilal Izzah yang mana beliau selalu
mendampingi bersama-sama dalam keluarga yang harmonis.
4. Saudari Isti Nur Halimah yang selalu mensuport dan mendorong dalam
kesuksesan dalam kependidikan.
5. Bapak Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag selaku dosen pembimbing dalam
penelitian saya yang telah membimbing dan mendidik dengan
pengarahan yang sangat baik.
6. Sahabt-sahabat Punokawan setiap hari dalam perkuliahan yang slalu
bersama-sama terus kita eratkan solidaritas kita hingga kelak nanti.
7. Sahabat-sahabt Touring CB guyub rukun itu kunci dalam perjalanan
tertib berlalu lintas.
ix
8. Sahabt-sahat PSHT yang mengajarkan saya yang tak pernah putus asa
dan berani dalam kejujuran takut dalam kesalahan.
9. Sahabt-sahabt MAKHAD Putra pertama kali hidup dijenjang
perguruan tinggi distulah proses awal mengetahui ilmu pengetahuan
dengan kakak-kakak pengurus tahun 2015-2016.
10. Sahabt-sahabt PPL di MTs Aswaja Tengaran dalam pelatihan
pembelajaran lapangan yang tak semudah dibelakang dibandingkan
didepan.
11. Sahabat-sahabt KKN susah lelah senang yang dihadapi bersama-sama
dengan ke ikhlasan dalam hati.
12. Sahabat-sahabat FTIk angkatan 2015 jurusan pendidikan agama islam
yang sama-sama maju berjuang demi menuntut ilmu dan mendapatkan
gelar sarjana pendidikan
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. penulis panjatkan kepada Allah
Swt yang selalu memberikan nikmat, kaunia, taufik, serta hidayahnya kepada
penulis sehinggap penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
Pembentukan Konsep Moral dan Etika dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam
Menurut Pandangan KH. MA. Sahal Mahfudh.
Tak lupa Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi
agung Muhammad Saw, kepada keluarga, sahabat, serta para pengikutnya yang
selalu setia dan menjadikannya suri tauladan yang mana beliaulah satu-satunya
umat manusia yang dapat penyempurna umat manusia dengan ajarannya agama
Islam.
Penulisan skripsi ini pun tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Prof Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
2. Dekan FTIK IAIN Salatiga Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag., dan Sekaligus
pembimbing skripsi yang telah membimbing dengan ikhlas, mengarahkan,
dan meluangkan waktunya untuk penulis sehingga skripsi ini
terselesaikan.
3. Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga, Dra. Siti Asdiqoh, M.Si.
4. Ibu Khulatul Lutfiah, M.Pd.I. selaku dosen pembimbing akademik yang
membimbing dan membina dari awal kuliah hingga saat ini.
xi
5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan,
serta karyawan IAIN Salatiga sehingga penulis dapat menyelesaikan
jenjang pendidikan S1.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya, serta para pembaca pada umumnya. Dan perlu disadari
bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna.
Salatiga, 02 September 2019
Lutfi Khakim
Nim: 23010150259
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN LOGO ......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
DEKLARASI ................................................................................................... v
MOTTO ........................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
ABSTRAK ....................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 6
E. Kajian Pustaka ........................................................................... 7
F. Penegasan Istilah ....................................................................... 9
G. Metode Penelitian ...................................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ................................................................ 20
xiii
BAB II BIOGRAFI KH. MA. SAHAL MAHFUDH................................... 21
A. Biografi Tokoh .......................................................................... 21
B. Setting Sosial ............................................................................. 26
C. Karya-karya KH. MA. Sahal Mahfudh ..................................... 39
BAB III LANDASAN TEORI ...................................................................... 43
A. Moral ......................................................................................... 43
B. Etika ........................................................................................... 52
BAB IV PEMBAHASAN .............................................................................. 58
A. Pembentukan Konsep Moral dan Etika ..................................... 58
1. Unsur Dalam Pembentukan Karakter .................................. 58
2. Proses Pembentukan Karakter ............................................. 59
B. Konsep Pendidikan .................................................................... 63
C. Moral Pendidikan ...................................................................... 66
1. Tahap-tahap Perkembangan Moral ...................................... 67
2. Interaksi Dalam Sosial ......................................................... 71
3. Posisi dan Peran sosial ......................................................... 72
D. Etika pendidikan ........................................................................ 74
E. Agama Islam .............................................................................. 80
xiv
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 83
A. Kesimpulan ................................................................................ 83
B. Saran .......................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
ABSTRAK
Khakim, Lutfi. 2019. Pembentukan Moral dan Etika Menurut KH. MA. Sahal
Mahfudh. Skripsi, Salatiga: Program studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri
Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag.
Kata Kunci: Pembentukan konsep Moral dan Etika Menurut KH. MA. Sahal
Mahfudh.
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui
pemikiran menurut KH. MA. Sahal Mahfudh tentang pembentukan konsep moral
dan etika dalam buku Nuansa Fiqh Sosial.
Jenis penelitian ini adalah Library research atau dengan kata lain disebut
studi pustaka, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca, memahami dan mencatat serta mengolah
bahan penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dengan mengumpulkan data yang
didapat dari sumber kepustakaan berupa buku, jurnal, serta pendukung dari
sumber lainnya, sehingga diperoleh informasi yang jelas mengenai pembentukan
moral dan etika menurut KH. MA. Sahal Mahfudh. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pembentukan moral dan etika telah meletakkan dasar-dasar untuk
menetukan tingkah laku yang baik dan buruk. Ia tidak mendasarkan konsep al-
ma‟ruf (yang baik) dan al-munkar (yang buruk) semata-mata pada rasio, nafsu,
instuisi. Pengalaman-pengalaman yang muncul lewat panca indra yang
mengalami perubahan. Tetapi ia telah memberikan sumber yang tetap, yang
menentukan tingkah laku moral yang tetap dan universal, yaitu Al-Qur’an dan
sunnah, dasar-dasar itu menyangkut kehidupan komunitas bangsa. Dalam konteks
sosial, Islam memberi dasar pada manusia. Manusia dengan kekuatan imannya
akan mengembangkan sikap saling menghargai hak-hak pribadi satu sama lain,
terhadap peraturan-peraturan dan suatau pembatasan yang berlaku pada dirinya.
Setiap individu memandang dirinya bertanggung jawab dan memiliki kewajiban
kepada masyarakatnya. Ia di atas landasan nilai spiritual, mengembangkan sikap
saling mempercayai satu sama lain. Dalam hal ini merumuskan baku tentang
moral dan etika pembangunan yang didukung oleh nilai-nilai agama,
pertimbangan efektivitas dan efisiensi dengan penerapan teknik dan teknologi
dalam pelaksanaan pembangunan atau pembentukan, merupakan rangsangan yang
kuat bagi tumbuhnya kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perumusan itu diharapkan menjadi acuan bagi masyarakat dalam berperilaku
pembangunan dan pembentukan yang etis, tidak menumbuhkan kecemburuan
kesenjangan dan tidak kepedulian sosial.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam pendidikan agama Islam moral dan etika merupakan
istilah yang menunjukan kepada aplikasi nilai-nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku. Walaupun istilah moral dapat menunjuk
kepada moral baik atau moral buruk, namun dalam aplikasinya orang
dikatakan bermoral jika mengaplikasikan nilai-niai kebaikan dalam
perilakunya. Sementara orang yang berperilaku buruk seperti egois, tidak
amanah, tidak bertanggungjawab, dan individualis, dikatakan sebagai
orang yang tidak bermoral (Sunarti, 2005: 1).
Pada hakekatnya perilaku moral dan etika berkaitan dengan
hakekat martabat manusia itu sendiri sebagai makhluk mulia di muka bumi
ini. Hakekat dan martabat yang ditunjukan dalam berbagai aspek
kehidupan, diantaranya adalah dalam pembentukan hubungan yang
harmonis antar sesama dan pembangun tatanan masyarakat yang tertib dan
beradab.
Kondisi tersebut pada hakekatnya akan berdampak terhadap
kebahagiaan individu serta kesejahteraan masyarakat luas. Dalam
kehidupan bermasyarakat, aspek atau nilai-nilai moral sangat dibutuhkan
untuk digunakan sebagai panduan dalam perumusan aturan-aturan yang
mengatur kehidupan.
2
Pengabaian nilai moral dan etika yang menyebabkan perilaku yang
tidak bermoral, lambat larut akan membentuk budaya dan peradaban yang
menunjukan penurunan hakekat dan martabat manusia. Menyadari penting
dan mendesaknya pendidikan moral, maka pendidikan Islam mempunyai
peran mendasar bagi terwujudnya perilaku manusia yang bermoral dan
beretika.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berasaskan ajaran atau
tuntunan agama Islam dalam usaha membina dan membentuk pribadi-
pribadi muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, cinta dan kasih sayang
kepada kedua orang tua serta sesamanya, memberi kemaslahatan bagi diri
dan masyarakat pada umumnya (Rahman, 2002: 35-37).
Menurut An-Nahlawi (T.Th: 45) bahwa pendidikan Islam adalah
pengembangan pikiran manusia dan penataan tingkah laku serta moral dan
etika yang berdasarkan pada agama Islam, dengan maksud mewujudkan
ajaran Islam didalam kehidupan individu dan masyarakat yakni dalam
seluruh lapangan kehidupan.
Sedangkan tujuan pendidikan moral dan etika dimaksudkan
sebagai wahana sosialisasi moral-moral yang patut dimiliki oleh manusia
agar menjadikan mereka makhluk yang mulia di muka bumi. Pendidikan
moral dan etika diharapkan mampu membentuk insan-insan yang mampu
menjadi khalifah di muka bumi. Menurut (Sunarti, 2005: 6-7) pendidikan
3
moral dan etika memiliki tujuan agar anak dibekali moral secara sejak
pada dini antara lain yaitu:
1. Mengetahui berbagai moral dan etika manusia.
2. Dapat mengartikan dan menjelaskan berbagai moral dan etika
manusia.
3. Menunjukkan contoh perilaku bermoral dan beretika dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Memahami sisi baik menjalankan perilaku bermoral dan beretika.
5. Memahami dampak buruk bagi manusia yang tidak menjalankan
moral dan etika yang baik.
6. Melaksanakan perilaku bermoral dan beretika dalam kehidupan
sehari-hari.
Metode yang dipakai dalam membentuk moral dan etika anak-anak
tentu berbeda dengan metode yang digunakan untuk orang dewasa. Karena
anak kecil bukanlah orang dewasa yang kecil, kemampuan dan
pengalamannya masih terbatas. Maka dibutuhkan metode yang mampu
menopang dalam pembentukan moral anak. Ritme yang tepat harus
diberikan kepada anak di masa kecilnya. Agar tidak terlalu bersemangat
atau sebaliknya malas, sehingga rasa ketertarikannya tumbuh.
Di dalam Pendidikan etika adalah jiwa dari pendidikan Islam dan
mencapai suatu etika yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari
pendidikan. Sebagaimana utusan Rasulullah Muhammad SAW sebagai
penyempurna etika (Bustami A Gani dan Djohar Bahry, 1987: 1).
4
Allah telah menganugerahkan akal pikiran kepada manusia sebagai
suatu penghormatan, membebaninya dengan kewajiban hukum dan
memberinya kebebasan memilih antara mengerjakan atau meninggalkan
perintah Allah di bawah kendali akal pikirannya. Sedangkan pada diri
manusia itu sebenarnya telah dibekali oleh Allah suatu alat penyaring
(filter) yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
( Afifudin, 1987: 16)
Memiliki moral dan etika sangatlah urgen bagi manusia. Urgensi
moral dan etika ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan
perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat, bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa atau
bernegara. Moral dan Etika adalah mustika hidup yang membedakan
makhluk manusia dari makhluk hewani.
Bahwasannya moral dan etika adalah kelakuan yang
mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang
dilaksanakan sebagai pengawas (Soerjono Soekanto, 1982: 77). Jika etika
telah lenyap dari diri masing-masing manusia, kehidupan ini akan kacau
balau, masyarakat menjadi berantakan. Begitu banyaknya hal yang dapat
menyebabkan kemerosotan etika (dekadensi moral) yang dapat
menimbulkan etika buruk atau perilaku tercela ( Mohammad Daud Ali,
2000: 10).
5
Selain itu, moral dan etika menyangkut kegiatan-kegiatan manusia
yang dipandang sebagai baik dan buruknya seseoran. Benar atau salah,
tepat atau tidak tepat, atau menyangkut cara orang bertingkah laku dalam
hubungan dengan orang lain (Franz, 1987: 14 ).
Dengan demikian moral dan etika adalah sebuah pengetahuan budi
pekerti yang membedakan antara mahkluk hidup lainnya. Dan yang
menjadi tolak ukur manusia baik dan buruk nya seseorang yang
menyangkut perilaku terhadap orang lain atau tingkah laku dalam
bermasyarakat.
B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka peneliti mengajukan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses pembentukan moral dan etika menurut
KH. MA. Sahal Mahfudh?
2. Apa konsep moral dan etika menurut KH. MA. Sahal
Mahfudh?
6
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari
diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pembentukan konsep moral dan etika menurut
KH. MA. Sahal Mahfudh?
2. Untuk mendeskripsikan pembentukan konsep moral dan etika
melalui kisah KH. MA. Sahal Mahfudh?
D. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini, diharapkan penulis dapat membawa
kepribadian moral dan etika yang baik. Adapun manfaat yang ingin
dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memperluas pemikiran di dalam pendidikan agama Islam pada
umumnya dan pembentukan konsep moral dan etika dalam
perspektif pendidikan agama islam melalui kisah KH. M.A
Sahal Mahfudh dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi
dalam masyarakat yang baik.
7
2. Manfaat Praktis
a. Masyarakat agar selalu menjaga lingkungan yang kondusif baik
terhadap anak.
b. Orang tua sebagai contoh bermoral dan beretika dalam memberi
bimbingan terhadap anak.
E. Kajian pustaka
Kajian pustaka yang peneliti gunakan dengan cara menelaah hasil
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian antara lain
sebagai berikut:
1. Skripsi yang ditulis oleh Aprilita Arum Ayuning Tyas jurusan
Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika
UNIVERSITAS Muhammadiyah Surakarta tahun 2016.
Adapun penelitian ini membahas tentang Pembentukan Konsep
Diri Mahasiswa Luar Jawa Konsep diri merupakan aspek
penting yang ada dalam diri manusia sebagai penggambaran
diri baik secara fisik, psikologis maupun psikis. Konsep diri
sebagai acuan individu untuk berinteraksi serta beradaptasi
dengan lingkungannya. Dengan adanya lingkungan baru,
seperti mahasiswa yang berasal dari luar jawa di Universitas
Muhammadiyah Surakarta, membuat perubahan konsep diri
yang baru dalam dirinya untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Persamaan peneliti tersebut dengan peneliti ini
8
adalah sama-sama mengkaji tentang pembentukan konsep diri.
Namun titik perbedaanya adalah peneliti tersebut hanya
membahas tentang pembentukan konsep diri mahasiswsa,
sedangkan penelitian penulis itu pembentukan konsep moral
dan etika menurut KH. MA. Sahal Mahfudh.
2. Tesis yang ditulis Rifqi Nurdiansyah program studi hukum
Islam konsentrasi hukum Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2016 dengan judul Pemikiran Fiqh Sosial
KH. MA. Sahal Mahfudh yang membahas tentang fiqh Sosial
adalah kerangka berpikir metodologis dalam merespon
kebutuhan mendasar di masyarakat upaya pemberdayaan aspek
keluarga yang menjadi asas dasar keluarga disebuah
masyarakat. Persamaan penelitian tersebut sama-sama
penelitian kepustakaan yang mengkaji Pemikiran Fiqh Sosial
KH. MA. Sahal Mahfudh. Titik perbedaanya adalah tesis
tersebut menjelaskan biografi dan pemikiranya, sedangkan
penelitian penulis membahas tentang pembentukan konsep
moral dan etika menurut KH. MA. Sahal Mahfudh
3. Skripsi yang ditulis Ahmad Sirayudin jurusan Filsafat Agama
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2015 dengan judul Konsep Etika Sosial
Hamka yang membahas tentang konsep etika secara teoritis dan
konsep etika secara praktis. Etika teoritis hamka menjelaskan
9
bangunan konsep yang dimulai dari struktur eksitensial
manusia, sebab manusia berangkat dari manusia itu sendiri.
Sementara etika praktisnya, etika hamka dapat diterapkan pada
hampir semua aspek kehidupan manusia. Hal ini bertujuan,
setiap tindakan manusia kelak dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah yang harus di isi dengan perbuatan-perbuatan
baik. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis
sama membahas tentang etika dan sama-sama menggunakan
metode kepustakaan. Perbedaannya adalah penelitian tersebut
lebih mengkerucut pada etika sosial sedangkan penilitian
penulis lebih mengkerucut pada proses menuju kepribadian
etika yang baik.
F. Penegasan istilah
Untuk menghindari berbagai penafsiran dari pengertian judul di
atas, maka terlebih dahulu penulis akan menjelaskan beberapa istilah yang
terdapat dalam judul penelitian di atas.
1. Pembentukan konsep Moral dan Etika menurut KH. MA. Sahal
Mahfudh.
Pembentukan merupakan perubah saat individu tersebut berada di
lingkungan tertentu. Seperti dilingkungan yang baru, butuh penyesuaian
diri yaitu adaptasi. Adaptasi dengan lingkungan serta membangun
interaksi sosial dengan individu lain akan menumbuhkan konsep diri yang
baru. Seperti yang dikatakan oleh Cooley 1964 dalam Sarito W. Sarwono
10
(2009: 53) bahwa pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh orang lain
dalam proses interaksi sosial yang dilakukan dengan satu individu.
Konsep merupakan sekumpulan mengenai keyakinan dan persepsi
diri tentang diri sendiri yang terorganisasi. Berbicara mengenai konsep,
peran merupakan aspek penting dalam individu. Konsep sebagai bagian
dari anggota sosial yang dibentuk dari proses komunikasi. Pembentukan
diri muncul dari komunikasi yang dilakukan dengan orang lain dengan
diawali adanya adaptasi serta interaksi sosial dengan antar individu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Julia T. Wood (2013: 46) bahwa
wawasan paling mendasar mengenai diri adalah diri bukan bawaan sejak
lahir, tetapi diri berkembang karena adanya proses komunikasi dengan
individu lain serta keikutsertaan diri berpartisipasi di lingkungan sosial.
Moral berasal dari kata mores (bahsa latin) yang berarti tata cara
dalam kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmastiti, 1991). Dewey
mengatakan bahwa mora sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-
nilai sosial (Grinder, 1978). Sedangkan baron dkk. (1980) mengatakan
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau benar. Oleh Magnis-Suseno
(1987) di katakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya
manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia di lihat
dari segi kebaikannya sebagai manusia (Asri Budiningsih, 2008 : 24).
11
Menurut KH. M.A Sahal Mahfudh suatu budi pekerti yang telah
ada sejak adanya kehidupan manusia. Persoalan baik buruk sejak
beradaban tingkat awal, meskipun ukuran yang dipakai berbeda-beda (KH.
M.A. Sahal mahfudh, 1994 : 182).
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” dalam bentuk tunggal
yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang
kebiasaan, adat akhlak, perasaan, dan cara berfikir. Etika merupakan
dunianya filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan
berkenaan dengan persoalan baik dan buruk. Etika dibedakan dalam tiga
pengertian utama, yakni: ilmu tentang apa yang baik dan kewajiban moral,
kumpulan asas atau nilai yang berkembang dengan akhlak, dan nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
(Safarina, 2015 : 2).
agama islam adalah komponen paling penting hubungan antara
manusia dan agama islam adalah pengawan manusia. Tujuan agama
adalah melindungi, menjaga serta merawat agama, kehidupan, akal budi
dan akal pikir, anak cucu serta sifat juga merawat persamaan serta
kebebasan. Melindungi, menjaga dan merawat lingkungan adalah tujuan
utama dari hubungan dimaksud. Jika situasi lingkungan semakin terus
memburuk maka pada akhirnya kehidupan tidak akan ada lagi tentu saja
agama pun tidak akan ada lagi (Alief Theria Wasim, 2005 : 78).
12
Pendidikan adalah suatu hal membentuk kepribadian seseorang
melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan
nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik dan jujur, bertanggung
jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Thomas
Lickona, 1991), hal ini dapat dikaitkan dengan takdib, yaitu pengenalan
dan afirmasi atau aktualisasi hasil pengenalan (Aneess, 2010: 99). Di
dalam ilmu pendidikan yang dimaksud pendidik ialah semua yang
mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan
kebudayaan. Orang sebagai kelompok pendidik banyak macamnya, tetapi
pada dasarnnya semua orang. Yang dikenal dalam ilmu pendidikan adalah
orang tua murid, guru-guru disekolah, dan tokoh-tokoh atau figur
masyarakat. Dalam prespektif Islam, orang tua (ayah dan ibu) adalah
pendidik yang paling bertanggung jawab (Tafsir, 2010 : 171).
Pengertian agama bila ditinjau secara deskriptif sebagaimana yang
telah diungkapkan oleh George Galloway adalah sebagai keyakinan
manusia terhadap kekuatan yang melampui dirinya kemana ia mencari
pemuas kebutuhan emosional dan mendapat ketergantungan hidup yang
diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian. Agama
merupakan sebuah kebutuhan fitrah manusia, fitrah keagamaan yang ada
dalam diri manusia. Naluri beragama merupakan fitrah sejak lahir di
samping naluri-naluri lainnya, seperti: untuk mempertahankan diri dan
mengembangkan keturunan, maka agama merupakan naluri (fitrah)
manusia yang dibawa sejak lahir.
13
Agama Islam adalah agama terakhir, agama keseimbangan dunia
akhirat, agama yang tidak mempertentangkan iman dan ilmu, bahkan
menurut sunnah Rasulullah, agama yang mewajibkan manusia baik pria
maupun wanita. Allah SWT telah mewahyukan agama ini dalam nilai
kesempurnaan yang tinggi, kesempurnaan yang mana meliputi segi-segi
fundamental tentang duniawi dan ukhrowi guna menghantarkan manusia
kepada kebahagiaan lahir dan batin serta dunia dan akhirat (Muhammad
Daud Ali, 1998 : 46).
Berdasarkan penjelasan di atas penulis berpendapat bahwa
pembentukan konsep moral dan etika menurut KH. MA. Sahal Mahfudh
adalah suatu hal yang membangun diri sendiri bagi seseorang, yang di
awali melalui interaksi komunikasi, lingkungan dan budaya, untuk menuju
kebaikannya manusia. Disini memiliki kompenen penting sehubungan
akal pikir manusia dan agama, untuk menjaga keseimbangan dunia dan
akhirat.
2. Kisah Teladan
Yang dimaksud dengan kisah teladan di sini adalah cerita tentang
kisah KH. M.A Sahal Mahfudh yang terdapat di dalam buku Nuansa Fiqh
Sosial.
Nilai-nilai moralitas yang dapat dipetik antara lain shidiq
(kejujuran), amanah (dapat dipercaya), fatonah (kecerdasan), tabligh
(merealisasikan dan menyampaikan kebaikan kepada orang lain),
14
kedermawanan, keberanian, sikap itsar (mengutamakan orang lain),
ukhuwah/persahabatan. Karakter moral dan etika dimaknai sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan demikian yang dimaksud judul di atas adalah suatu proses
pembentukan moral dan etika modernisasi untuk membimbing atau
mengarahkan sikap, budi pekerti dan perbuatan anak remaja melalui kisah-
kisah kehidupan KH. M.A. Sahal Mahfudh yang terdapat di dalam
pembelajaran Nuansa Fiqh Sosial dengan mengaplikasikan nilai-nilai
moral dan etika yang terkandung di dalamnya, diantaranya shidiq
(kejujuran), amanah (dapat dipercaya), fatonah (kecerdasan), tabligh
(merealisasikan dan menyampaikan kebaikan kepada orang lain),
kedermawanan, keberanian, sikap itsar (mengutamakan orang lain),
ukhuwah kebersamaan dilingkup yang lebih baik dalam budi pekerti,
tabiat atau watak kepribadian.
Dengan demikian, analisis pribadi pembentukan moral dan etika
haruslah membentuk sikap jujur, dipercaya, cerdas, menyampaikan dalam
artian, perkataan dan perbuatan seseorang yang selaras yang dimulai dari
sikap yang mendorong hingga menuju kebajikan atau kebaikan.
15
G. Metode Penelitian
1. Desain penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research). Yaitu dalam bentuk penelitian
ini peneliti menelusuri secara mendalam dan terprogram. Dengan
pengumpulan data dan informasi dengan bantuan buku, jurnal, artikel
karangan KH. M.A. Sahal Mahfudh yang berkaitan dengan pemikirannya
tentang pembentukan konsep moral dan etika, yang ada di perpustakaan
dan materi pustaka yang lain. Sebagai bahan parameter analisis
perbandingan yang dimaksud library research adalah penelaah
kepustakaan yakni penelitian yang berusaha mencari teori-teori, konsep-
konsep generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitinya
yang akan dilakukan.
2. Metode Penentuan Subjek
Sumber data dalam penelitan adalah “subjek dari mana data
diperoleh” (Arikunto, 1998 : 114). Dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua jenis sumber data, yaitu:
a. Sumber data primer
Data primer berupa data atau informasi yang diperoleh dari
penelitian tersebut secara langsung dengan meliputi buku dan jurnal, yaitu:
buku Kepribadian Anak, Dasar Konsep Pendidikan Moral, Tahap-tahap
Perkembangan Moral, Etika Dasar, Nuansa Fiqh Sosial, Antara konsep
16
dan Implemetasi, Pembelajaran Moral, Etika Pendidikan, pendidikan
karakter perspektif islam, jurnal dan artikel.
b. Sumber data skunder
Data sekunder merupakan data yang tersimpan dalam arsip yang
biasa terbuka bagi semua peneliti dengan persyaratan yang sama. Data ini
sudah dikumpulkan oleh bagian pengarsipan Penelitian ini merupakan
penelitian purposive, sehingga subjek yang diambil sesuai tujuan
penelitian. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah remaja
modernisasi individu. Peneliti mengambil jumlah keseluruhan subjek yang
mempengaruhi tujuan penelitian. Yaitu: Moral dan etika adalah sesuatu
yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan karakter dan watak
manusia atau sesuatu yang berhubungan dengan perbedaan antara baik dan
buruk. Menurut Hamzah Ya‟qub yang dimaksud dengan moral ialah
sesuai dengan ide-ide yang umum dan diterima tentang tindakan manusia,
mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan
yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu.
Kemudian istilah lain yang sinonim dengan moral adalah etika.
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang juga berarti adat kebiasaan.
Secara filosofis esensi makna dari dua istilah (moral, etika) itu dapat
dibedakan. Menurut Frans Magnis Suseno yang dimaksud dengan moral
adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, patokan-patokan, lisan atau
17
tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia
menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika adalah filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral.
Dengan demikian etika adalah ilmu pengetahuan tentang moral
(kesusilaan).
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa etika adalah ilmu
pengetahuan tentang moral (kesusilaan). Setiap orang memiliki
moralitasnya sendiri-sendiri, namun tidak semua orang perlu melakukan
pemikiran secara kritis terhadap moralitas yang menjadi kegiatan etika.
3. Metode Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data sangat diperlukan agar data yang
diperoleh relevan untuk mengkaji hipotesis. Pada langkah ini penulis
menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi, yaitu pengumpulan
data yang relevan dengan fokus penelitian yang penulis laksanakan ini
berbentuk konsep, teori dan preposisi yang bisa terdapat pada buku-buku,
majalah, jurnal, ataupun arsip-arsip lainnya.
Dalam mengumpulkan data ini, penelitian ini memakai penelitian
kepustakaan (library research) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Menganalisis data untuk identifikasi dan mengelompokan serta
mengklarifikasi sesuai dengan pembentukan konsep moral dan etika
menurut KH. MA. Sahal Mahfudh.
18
b. Mempelajari dan menelaah kajian dalam buku, jurnal, artikel
sumber.
c. Memahami sumber-sumber buku baik primer dan sekunder dalam
pembentukan konsep moral dan etika menurut Kh. MA. Sahal
Mahfudh.
Penelitian disini dilakukan untuk pembentukan konsep moral dan
etika, untuk mengetahui kelebihan manusia yang dikarenakan akal dan
pikirannya berbeda dengan mahkluk lainnya. Dan manusia mempunyai
estetik dan etik yang mampu mengangkat hakekat dan martabat seseorang.
4. Metode Analisis Data
Pengumpulan dan analisis data penelitian kajian pustaka (library
research), analisis data adalah proses klarifikasi berupa pengkelompokan
dan pengkategorian yang bener-bener valid untuk penelitian setelah data-
data terkumpul secara sistemati, maka langkah selanjutnya adalah analisa
data (analisa teks). Dalam menganalisa data, penulis menggunakan kajian
isi (content analysis) yaitu penelitian yang dilakukan terhadap informasi,
yang dilakukan dalam pendokumenan dalam jurnal, artikel.
Metode kajian isi digunakan untuk menganalisis perspektif buku
Nuansa Fiqih Sosial mengenai pembentukan konsep moral dan etika
menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, maka penulis memiliki pendekatan
sebagai berikut:
19
a. Pendekatan deskriptif dalam ide para tokoh, peneliti uraikan
sebagaimana adanya dengan maksud untuk memahami pembentukan
konsep moral dan etika.
b. Analisis yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana kebenarannya
bermoral dan beretika seperti yang dijelaskan dalam buku Nuansa
Fiqih Sosial.
c. Kesimpulannya, langkah terakhir dalam penelitian ini adalah
menarik tentang seseorang bermoral dan beretika, sehingga dapat
diperoleh hasil penilitian sebagai jawaban dari permasalahan yang
dijadikan sebagai permasalahan penelitian ini.
5. Metode Dokumentasi
Dalam penyususunan ini, penulis dokumentasi mengartikan
metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang akan diperoleh melalui penelusuran dokumen dari jurnal, buku, dan
sosial media. Objek penelitian ini berupa buku Nuansa Fiqh Sosial.
Melalui metode dokumetasi ini, penulis menggunakan untuk
memperoleh data dalam menganalisis buku tersebut dan memperoleh
pendukung buku, jurnal, artikel, majalah dan buku-buku yang terkait.
20
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka membuat
sitematika pembahasan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas
tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penilitian, kajian pustaka, penegasan penelitian, metode penelitian,
sistematika penulisan.
BAB II : BIOGRAFI PENGARANG BUKU NUANSA
FIQIH SOSIAL. Dalam bab ini membahas tentang biografi KH. MA.
SAHAL MAHFUDH.
BAB III : LANDASAN TEORI. Dalam bab ini membahas
tentang definisi pembentukan konsep moral dan ettika menurut KH. MA.
SAHAL MAHFUDH dan didukung oleh buku, jurnal, artikel.
BAB IV : PEMBAHASAN. Berisi tentang analisis
pembentukan konsep moral dan etika yang diterangkan pada buku Nuansa
Fiqih Sosial, dengan didukung buku, jurnal, artikel, majalah, dan lainnya
yang menjelaskan tentang pembentukan konsep moral dan etika.
BAB V : PENUTUP. Pada bab ini berisi kesimpulan dan
saran.
21
BAB II
BIOGRAFI
A. Biografi tokoh
KH. Ma. Sahal Mahfudh. Nama lengkapnya adalah Muhammad
Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abd. Salam Al-Hajaini, lahir di Kajen,
Margoyoso Kabupaten Pati, pada tanggal 17 Desember 1937 sampai
meninggalnya beliau pada tanggal 24 Januari 2014 pada umur 76 tahun di
pati.
Kehidupan yang sejak kecil sampai sekarang, KH. Sahal tidak
lepas dari pesantren, hidupnya memang di pesantren, lahir di pesantren,
besar di pesantren, belajar di pesantren, dan berkembang sampai saat ini di
pesantren. KH. Sahal berada di lingkungan yang mendalami tradisi
penguasaan khazanah klasiknya (kitab kuning), mengedepankan harmoni
sosial dan sopan santun (tawadhu‟), serta jauh dari kesan menonjolkan
diri. Sejak kecil ia diasuh bapak ibunya dengan penuh kasih saying.
Saudaranya berjumlah enam, yaitu M. Hasyim, Hj Muzayyanah (istri KH
Mansur, pengasuh PP An-Nur Lasem dan cucu KH. Abdussalam Kajen),
Salamah (istri KH Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri KH
Abdullah Salam), Hj Fadhilah (istri KH Rodhi Sholeh Jakarta, wakil Ra’is
Am PBNU sejak 1984), Hj Kodijah (istri KH Maddah, pengasuh PP
Assuniyah-Jember yang juga cucu KH Nawawi, adik kandung KH
Abdussalam, kakek KH Sahal).
22
Sejak KH. MA. Sahal Mahfudh masih kecil Kepakaran beliau
suatu jenis pengetahuan agama („ulumuddin) dalam dunia pesantren,
secara alamiah terdistribusi dengan mereka yang saling melengkapi sejak
mula terbentuknya komunitas pesantren. Dalam sejarah perkembangannya
seoalah ada konsensus yang tak pernah dirapatkan, bahkwa seorang kyai
yang berspesialisasi dengan ilmu itu. Dengan pola distribusi, dimana
masing-masing kyai menguasai ilmu yang disukai dan dipilihnya hingga
pakar derajat, maka kesinambungan keilmuan pesantren terjaga hingga
kini, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Sejak santri Sahal seperti terprogram untuk menguasai ilmu fiqh,
Bahasa Arab, dan ilmu kemasyarakatan yang memang digemarinya. Ia
mendapat pendidikan oleh ayahnya, KH. Mahfudh, lalu nyantri kepada
kyai Muhajir di kota Kediri dan kyai Zubair di Sarang, Lasem, namun
sangat dipengaruhi oleh ke kyaian pamannya sendiri, KH. Abdullah
Salam. Di Kajen sebuah kawasan yang historis amat kaya dengan tradisi
pesantren, kyai Sahal mengemban tugas untuk mengawasi kesinambungan
pengajaran ilmu fiqh, Bahasa Arab, dan ilmu kemasyarakatan. Sudah tentu
tugas itu tidak dibebankan kepada kyai sahal sendiri, namun karena
kepakarannya di tiga bidang itu, ia bisa disebut “panglima” yang
bertanggung jawab atas jalannya pengawasan itu.
23
Namun kepakaran kyai Sahal itu diuji oleh sebuah situasi ekonomi
politik yang timpang. Kajen, desa kecil di mana di dalamnya terdapat lebih
dari 15 pesantren, merupakan desa yang tak tersedia sejengkal pun sawah
maupun lahan perkebunan, namun dijejali penduduk miskin yang hidup
dari kerajinan “krupuk tayamum”. Sangat tidak menarik secara ekonomis,
namun disitu pula agama diuji untuk bereksperimentasi, berdialog dengan
kenyataan yang timpang.
Maka sebuah perjumpaan dialektik antara agama dan kenyataan
harus terjadi. Penghindaran perjumpaan dengan semangat realitas sosial
akan membuat agama stagnan dan segera kehilangan relevansi
kemanusiaannya. Dalam jagat pesantren, ilmu fiqh yang dimiliki kyai
Sahal tidak dapat di elakkan merupakan bagian ilmu yang paling besar
tantangannya. Pergulatan kyai Sahal untuk mengoprasikan fiqh, dilakukan
anatra lain melalui forum (Bahtsul Masail) ditingkat MWC NU kecamatan
Margoyoso. Forum ini sangat produktifdan efektif, hampir-hampir
menjadi pengadilan rakyat karena masalah yang digelar tak hanya masalah
keagamaan, tetapi masalah ekonomi, kebudayaan, bahkan politik. Berawal
dari (Bahtsul Masail) tingkat kecamatan itu, sebuah keputusan penting
tentang nasib petani pernah dihasilkan, ketika muktamar NU di krapyak
memutuskan bahwa tebu rakyat intensifikasi (TRI) merupakan tranksaksi
ekonomi yang tidak sah (mu‟amalah fasidah), dan karena itu haram
diterapkan. Pencarian relevansi fiqh tidak berhenti di dalam ruang bahtsul
masail, tetapi bergulir menjadi program kemasyarakatan, seperti pada
24
program pemanfaatan dana zakat untuk kegiatan produktif di pati dan biro
pengembangan masyarakat dari pesantren di kajen sendiri dan desa di
sekitarnya.
Ditingkat itu saja, tampak tugas seorang kyai, seperti kyai Sahal,
tidak sekedar mengawal keberlangsungan pengajaran yang telah
dikuasainya, tetapi juga di tuntut penyegaran atasnya. Menyadari hal itu,
berarti meyakini ada sesuatu “doktrin” dan “tradisi” yang harus dirombak.
Dalam bahasa fiqh nya, diperlukan tajdid. Bahwasannya tajdid
mempunyai daerah lingkup yang sangat terbatas artinya kualitas tajdid
mesti dinilai dari konteks historisitas dan lokalitasnya. Dengan teropong
seperti ini, kelompok keagamaan yang paling konservatif pun pasti
melakukan takdid. Sekecil apapun bentuk tajdid yang telah dilakukan.
Dalam kapasitas yang masih bisa diperdebatkan, kyai Sahal, tak
dapat dibantah, merupakan eksponen penting pembaruan di tubuh
pesantren. Ia terlibat langsung dalam sebagai kegiatan halaqah, yang
tujuan utamanya bisa di sederhankan sebagai suatu upaya mencari jalan
baru bagi penetapan fiqh secara konstektual (Jamal Ma’mur Asmani, 2007
: 12).
Secara spesifik, marilah kita lihat kontribusi kyai Sahal dalam
diskursus di atas, lewat penglihatan terhadap beberapa tulisannya dalam
buku ini. Lingkungan kyai Sahal adalah masyarakat pesantren yang
mengakui madzhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali), namun
25
ternyata dalam tindakannya bersikeras pada Syafi’i saja. Kyai Sahal
mengkritik kecendrungan ini. Salah satu keberatannya, Syafi’i dalam hal
yang tidak ditegaskan oleh nash, secara metodologis menekankan qiyas,
sehingga kurang menekankan masalah. Dalam hal posisi ini, kyai Sahal
tampaknya telah memilih jalan lain dalam ber-fiqh. Jalan yang merupakan
pilihannya yang lebih dominan, meski dalam banyak hal ia tetap berada
dijalur konstektualisasi teks fiqh Syafi’iyah. Bagi kyai Sahal, kepentingan
umum harus menjadi pertimbangan terdepan dalam proses pengambilan
keputusan hukum. Agar kepentingan umum tetap terjaga, seorang
mujtahid harus memiliki kepekaan sosial. Dengan prinsip ini, kyai Sahal
dalam berbagai kasus mampu memilah, mana yang memang kepentingan
umumdan yang mana kepentingan kelompok atau kpentingan semata.
Dengan prinsip ini banyak proses bermasyarakat dan berbegara yang perlu
dipertanyakan keabsahannya. Dalam hal soal pajak misalnya, kyai Sahal
secara halus mengemukakan bahwa dalam banyak prosesnya masyarakat
sering tidak tahu dikemanakan uang itu ? Dengan pertanyaan ini, ia
sebenarnya sedang berbicara soal pentingnya kontrol dan partisipasi
masyarakat secara penub dalam proses bernegara.
Memang, para fuqaha kini dihadapkan pada pertanyaan yang
jawaban kongretnya teramat sulit dicari dalam rumusan-rumusan baku
yang telah mereka pegang selama ini. Soal negara bangsa, asuransi, bank,
pajak, kb, kepemimpinan lingkungan dll, jika masyarakat selalu ditunda
26
jawabannya masyarakat fiqh akan gamang. Pada titik inilah relevansi
keinginan meneropong secara kritis apa yang dilakukan kyai Sahal.
B. Setting Sosial
Masyarakat pesantren, di manapun, mulanya adalah masyarakat
fiqh. Yang merupakan praktikal dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits, adalah
landasan normatif dalam berperilaku, baik individu maupun masyarakat.
Dalam posisi demikian, seseorang mustahil melihat perubahan yang cukup
berarti di dalam kehidupan komunitas pesantren. Posisi teguh fiqh paling
tidak demikian umat menempatkannya karena ia dibangun dari “tambatan”
yang mustahil diruntuhkan. Tambatan itu bertaut pada wahyu yang
transendental serta sabda dan contoh nabi, yang menjadi dermaga terakhir
dari pencarian seluruh imajinasi manusia dalam memaknai kehidupan. Tak
ada dermaga lain di seberang wahyu dan kenabian. Semua bentuk
eksperimentasi, baik pemikiran maupun tindakan sosial, harus tunduk pada
“kata akhir” keduanya. Inilah imam Syafi’i dibakukan menjadi usul fiqh
yang kemudian melahirkan kaida-kaidah fiqh (qawa‟id al-fiqhiyah) yang
dari sana dijabarkan menjadi putusan-putusan bagi permasalahan
kehidupan: sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan seterusnya. Inilah
yang oleh para penganut sistem “hierarki yudisial” kemudian disebut
sebagai madzhab.
Tak dapat dipungkir, hierarki yudisial dalam sistem bermadzhab
itu begitu mapan, karena ia berimpian dengan hierarki lain berupa
“wewenang” atau sering kali disebut “kekuasaaan” yudisial. Memang
27
demikianlah jamaknya, bahwa hierarki sitem harus disertai hierarki
wewenang.
Dengan demikian, kebutuhan sistem ajaran terjaga dari guncangan
perkembangan zaman yang sering menjadi sumber krisis dalam setiap
sistem atau pradigma ilmu. Hierarki-hierarki itulah yang di jaga secara
berkesinambungan, seperti yang tercermin dalam “Tradisi Pesantren” dan
dalam manifestasi modernnya diwujudkan secara nyata dalam struktur
organisasi Nahdhatul ulama disemua levelnya, mengemban tugas menjaga
keutuhan sistem dan ajaran termasuk hierarkinya, dan karena itu
berhadapan dengan denyut nadi kehidupan umat. Tugas itu tampaknya
dapat diemban secara baiik, meskipun anarki “perkembangan zaman”,
terutama semenjak modern lanjut yang dimulai sejak masa orde baru
menggedor-gedor lembaga itu.
Paling tidak citra ketegaran mempertahankan keutuhan ajaran itu
masih tercermin dalam sikap-sikap salah satu pendiri Nahdhatul Ulanma,
Almarhum KH. Bisri Syansuri yang digambarkan oleh Abdurahman
Wahid sebagai “Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat”. Itu artinya, lebih dari dua
pertiga usianya, Nahdhatul Ulama dikawal langsung oleh generasi pendiri
dengan keteguhan tak tergoyahkan dalam menjalankan tradisi fiqh.
Namun saat pasca kyai Bisri menunjukkan fenomena baru
dalam Nahdhatul Ulama yang tulisan ini hanya dibatasi pada tradisi ber-
Fiqhnya. Regenerasi Nahdhatul Ulama dari generasi pendiri ke generasi
28
penerus, di ikuti pula dengan “regenerasi pemikiran”, yang ditunjukan
antara lain oleh pergeseran yang cukup penting dalam memandang fiqh.
Dengan semakin meningkatnya “anarki pemikiran” sosial politik di
Indonesia, maka kehidupan dan pemikiran fiqh di Nahdhatul Ulama
mengalami pergeseran dari fiqh sebagai Paradigma “kebenaran ortodoksi”
menjadi Paradigma “pemaknaan sosial”. Jika yang pertama menunjukkan
realitas pada kebenaran fiqh, maka yang kedua menggunakan fiqh sebagai
“counter discourse” dalam belantara politik pemaknaan yang telah
berlangsung. Jika yang pertama memperlihatkan watak “Hitam Putih”
dalam memandang realitas, maka yang kedua memperlihatkan wataknya
yang “bernuansa”, dan kadang-kadang rumit dalam menyikapi realitas.
Ada lima ciri menonjol dari pradigma fiqh baru itu. pertama, selalu
di upayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk
mencari konteksnya yang baru. Kedua, makna bermadzhab berubah dari
bermadzhab secara tekstual “madzhab qauli” ke bermadzhab metodologis
“madzhab manhaji”. Ketiga, verifikasi makna ajaran yang pokok (ushul)
dan mana yang cabang (furu‟). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika
sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan
metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan
sosial.fiqh dengan demikian, telah mengemban tugas baru sebagai
perangkat hermeneutika, yang implikasinya sangat besar dalam kehidupan,
dan karena itu memunculkan problem metodologis yang besar pula.sifat
fiqh sebagai perangkat hermeneutika ini di satu sisi mempunyai watak
29
relavitas yang sangat tinggi karena ia harus mengakomodasikan pluralitas
realitas dengan demikian pluralitas kebenran, dan karena itu ia harus
melunakan kepastian normatif yang berdimensi ke abadian, dari hukum
agama yang bertumpu pada rasionaltas Tuhan, problem metodologis
menjadi serius, terutama karena tradisi fqh yang berkembang di dalam
Nahdhatul Ulama adalah tradisi madzhab Syafi’i.
Sebagai mana telah disinggung di atas, syafi’i menempatkan
wahyu Al-Qur’an, sehingga rasionalitas sosial harus tunduk padanya
secara menyeluruh., Al-Qur’an dalam rumusan syafi’i, telah meliputi
segala sesuatu, tentang yang ada dan yang akan ada, ilmu tentang segala
sesuatu, yang ada dan yang akan ada petunjuk pada kebenaran yang (haqq)
dan cahay di dalam segala sesuatu, yang ada dan yang akan ada. Kebaikan
tak dapat di raih tanpa bantuan Al-Qur’an. Sunnah dalam hal ini berposisi
sebagai pelaksanaan teks Al-Qur’an oleh Rasulullah, seperti yang di
kehendaki Allah. Memang ada sunnah teks tanpa Al-Qur’an. Sunnah
seperti ini dipertimbangan sahih tidaknya. Jika sunnah itu sahih, maka bisa
digunakan sebagai hujah. Dengan pula hal nya atsar (ijma’ sahabat) yang
sahih dan jelas “dalalahnya”, dan tidak ada atsar lain yang me-nasakhnya
atau yang berbeda dengannya, dianggap syariat. Psosisi Al-Qur’an, sunnah
dan ijma’, seperti itulah yang akan melindungi manusia dari kesalahan .
tidak ada jalan lain untukmengetahui salah dan benar teks tanpa teks Al-
Qur’an dan sunnah.
30
Tidak ada hak untuk memutuskan sesuatu halal atau haram tanpa
petunjuk nyata dari Al-Qur’an dan sunnah. Tidak boleh menyatakan
sesuatu karena sesuatu itu dianggap baik secara objektif. Jika adsa
kemungkinan itu, maka harus ditempuhqiyas dengan mencari
“yuriprudensi” yang ada.. jiika setiap orang melakukan sesuatu tanpa ada
(qiyas) maka yang terjadi adalah anarki.
Rasionalitas manusia diterima dan mendapatkan tempat dala ushul
Syafi’i asal mengalir dari sumber-sumber keagamaan, yakni Al-Qur’an,
sunnah dan ijma’. Ijtihad dilakukan dengan persyaratan bagi orang yang
mengetahui dalil-dalilnya, dari Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ yang di
operasionalkan dengan qiyas. Qiyas artinya menganalogkan dengan apa
yang sudah ada di dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Selain itu tidak
diperbolehkan. Dengan demikian, maka ushul Syafi’i menolak. Jika harus
di lakukan, maka harus mengacu yang sudah ada di dalam Al-Qur’an,
sunnah dan ijtima’. Tanpa acuan pada preseden yang sudah ada akan
terjatuh pada mengada-ngadakan sesuatu tanpa preseden tidak ada tempat
bagi ra‟yu kecuali berdasarkan pada qiyas.
Dalam logika ushul Syafi’i, semua itu tetap berjalan karena Al-
Qur’an, sunnah, dan ijtima’ yang sudah lengkap. Problem metodologis
seperti ini lalu terasa menjadi kendala bagi ulama NU dalam
mengembangkan fiqh dengan muatan hermeneutika dan berdimensi sosial
itu. Memang NU juga mengakui keabsahan madzhab empat (Maliki,
Hambali, Hanafi, dan Syafi’i) sebagai rumpun fiqh Ahlussnah Wal
31
Jama’ah. namun pengakuan itu tidak dengan sendirinya merekomendasi
penggunaannya secara elektik, karena ada rambu-rambu larangan yang
memerlukan syarat-syarat tersendiri untuk menembusnya.
Perkembangan sosial, politik, ekonomi, da kebudayaan di
Indonesia yang sangat cepat bukanlah ada dengan sendirinya, melainkan
suatu proses pemaknaan yang terus menerus dan menurut Clifford Geertz
bersifat anarkis.
Mitos “permanensi” dibantah oleh perkembangan yang begitu
cepat. Dalam kasus Indonesia kontemporer, cepatnya perkembangan itu
menempatkan agama berada di bawah bayang-bayang kontrol negara. Hal
ini tentu saja sangat mengejutkan agama, karena secara “teoritik”
negaralah yang seharusnya berada dibawah bayang-bayang kontrol agama.
Atau maksimal hubungan negara-negara itu diletakkan sejajar, dalam
pengertian keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri yang masing-
masing tidak boleh saling mengintervensi. Ketika “konsensi” terakhir itu
saja tidak dapat dilaksanakan, maka yang terjadi kemudian adalah
benturan yang tidak jarang berlangsung secara keras. Negara yang coba
merengkuh wilayah agama, dihadapi dengan kemutlakan agama sebagai
representasi keabadian. Ketika pada tahun 1984 Nahdhatul Ulama
menyatakan kembali ke khittah 1926, anatara lain dapat di baca sebagai
mundurnya agama dari pembenturan tanpa akhir dengan negara, yang
mulai secara terbuka memperkenalkan idiologi negara pancasila.
32
Bagi Nahdhatul Ulama proses penerimaan idiologi pancasila itu
berjalan lancar belaka, ketika kerangka fiqh baru tersebut mulai diterima
oleh kalangan mudanya. Telah di sebutkan di atas, titik masuk bagi
perubahan pradigma fiqh di dalam Nahdhatul Ulama antara lain adalah
interpretasi ulang dalam mengaji teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya
yang baru. Jalan ini membuka banyak kemungkinan interpretasi teks-teks
fiqh lama dalam pemecahan masalah-masalah baru. Misalnya, terobosan
bagi kontroversi tentang keluarga berencana, bank, termasuk dalam
masalah ke absahan negara bangsa modern.
Penerimaan pancasila adalah dalam kerangka terobosan model ini.
Model ini memperoleh keuntungan dari realitas teksfiqh yang plural. Teks-
teks derivatif fiqh Syafi’i (Syafi’iyah) sering membuka beberapa alternatif
pilihan putusan hukum. Meski valid sebagai metodologi terobosan, namun
hal ini tak sepi dari hal kritik, karena kesan di bawanya adalah kesan
legitimatif dan konformistik terhadap perkembngan sosial. Fiqh tak lagi di
kuaai dan di kendalikan oleh realitas lain yang lebih “ganas” bernama
negara. Ada benarnya jika secara parodis di katakan: : “tentaralah yang
mulai, ahli fiqh hanya mengikuti.”
Model lain adalah verifikasi nama ajaran yang pokok dan mana
yang cabang. Penataan ini mungkin lebih dapat membuka banyak
kemungkinan perkembangan pemikiran fiqh, meskipun untuk itu harus
merangkul ushul fiqh diluar ushul Syafi’i, karena ushul Syafi’i tidak dapat
di terobos lagi, kecuali dengan qiyas. Bagi kalangan penjaga “ortodoksi”
33
Syafi’iyah, munculnya term-term baru, seperti maqashid asy-syariah,
merupakan sesuatu yang relatif asing, karena memang bukan tradisi
Syafi’i. Term-term itu diperkenalkan oleh asy-syatibi (w. 790/1388),
seorang ulama fiqh dari andalusia spanyol, abad ke-8 H./14 M.
Sebelumnya itu telah digunakan oleh Al-Ghazali.
Munculnya asy-Syatibi di dalam wacana fiqh Indonesia
kontemporer bisa di pandang sebagai fenomena yang menarik jika di lihat
dari pararelisme watak sosial politik yang melatar belakanginya,
menyangkut problem hubungan agama negara. Bahwa di dalam
masyarakat manapun dimana fakta islam muncul, negara menuntut untuk
dirinya wewenang agama dan bertujuan mengeneralisasi penerapan hukum
“illahiah”. Delapan abad setelah kelahiran, konflik permanen antara
anspirasi umat yang karena wewenang “illahiah” (baca: agama, sayariat)
yang menyatu bersama “syaukah” (baca: negara) ini pada kenyataannya
lebih mengundang problem karena kecendrungannya untuk berwatak
totalitarian atas kehidupan individu maupun sosial.
Pemikiran KH. M.A Sahal Mahfudh ulama berbasis tradisional
yang berwawasan maju ini banyak mengembangkan fiqih sosial dan fiqih
kontekstual. Masalah-masalah mu’amalat, khususnya masalah sosial
banyak menjadi sorotan pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh, tidak hanya
fiqih ibadah dalam arti sempit seperti kebanyakan ulama lainnya.
Pengembangan ibadah sosial yang bersifat horizontal dalam arti luas
tampaknya menjadi konsen utamanya. Fiqih kontekstual yang
34
dikembangkan KH. MA. Sahal Mahfudh pun bukan berarti bentuk baru
yang menyimpang dari fiqih yang telah ada, tetapi merupakan
pengembangan fiqih itu sendiri yang dihubungkan dengan kontek
dinamika kehidupan nyata di masyarakat yang terus berkembang, sehingga
tidak semata-mata normatif tapi bersifat kontekstual.
Pendekatan yang sering dipakai KH. MA. Sahal Mahfudh adalah
pendekatan mashlahah atau kemaslahatan. Fiqih di mata KH. MA. Sahal
Mahfudh tidak saja memberikan keputusan halal dan haram secara
normatif namun juga jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi
umat. Dalam pemikiran Islam di Indonesia, KH. MA. Sahal Mahfudh
memang dipandang sebagai tokoh yang banyak menyumbangkan
pemikiran dalam bidang hukum Islam.
KH. MA Sahal Mahfudh selalu mengkritik mainstream pemikiran
yang berkembang (setidaknya dikalangan NU dan pesantren). Bagi KH.
MA. Sahal Mahfudh, pemahaman terhadap kitab-kitab fiqih klasik sudah
seharusnya didekati dengan kerangka metodologis secara proporsional
agar bisa dicapai pemahaman yang kontekstual dan sesuai dengan tuntutan
realitas sosial.
KH. MA. Sahal Mahfudh berujar, “Fiqh harus dihadirkan sebagai
etika sosial, bukan hukum positif negara. Inilah yang selama ini
mendorong saya untuk mengembangkan fiqih yang bernuansa sosial. Ia
35
tidak hanya bicara soal halal-haram, yang kental dengan nuansa
individual atau pun menghadirkan fiqih sebagai hukum positif negara.
Oleh karena itu, KH. MA. Sahal Mahfudh selalu mengkritik kaum
tradisionalis literalis dan fundamentalis yang selalu memutlakkan fiqih
secara tekstual. Bagi KH. MA. Sahal Mahfudh, kritik dapat dilontarkan
dan dialamatkan kepada siapa pun termasuk kepada gurunya sendiri.
Beliau merasa gusar atas pendapat ulama NU yang tidak mau
memperhatikan dimensi ruang dan waktu yang telah mengantarkan
produk-produk hukum Islam. Tak pelak, alasan inilah yang menjadikan
KH. MA. Sahal Mahfudh merelakan diri bergabung bersama gerbong
pemikir- pemikir produktif muda NU dalam forum halaqah (sarasehan)
untuk merumuskan kerangka teoritik berfiqih yang lebih produktif dan
matching bahkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Salah satu hasil konkrit dari forum halaqah tersebut ialah
munculnya istilah bermazhab secara manhajiy dan timbulnya gagasan
untuk mempopulerkan pada tahun 1987 (gagasan awal), dan tahun 1998
atas dukungan KH. MA. Sahal Mahfudh dan KH Imron Hamzah, maka
diadakan seminar dengan tema “Telaah Kitab Secara Kontekstual” di
Pondok Pesantren Watu Congol, Muntilan, Magelang. Kendati begitu,
pada pertengahan Oktober 1989 sejatinya telah diselenggarakan halaqah
(diskusi terbatas) mengenai “Masa Depan NU”. Dan, salah satu
pembicaranya ialah alm. A. Qodri Azizi menegaskan perlunya redefisi
bermazhab yang kemudian dicetuskan istilah bermazhab fi al-manhaj
36
(mengikuti metodologinya). Pada akhirnya, narasi ini dideklarasikan
pada tahun 1992 di Bandar Lampung dalam sebuah forum Musyawarah
Nasional.
Untuk lebih memahami alur pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh,
berikut ini akan penulis kemukakan secara singkat beberapa pemikiran
hukum yang merupakan produk ijtihadnya. Jika menggunakan perspektif
John L. Esposito -sebagaimana dikutip Sumanto al-Qurtuby- pemikiran
beliau ini termasuk kategori social histories approach. Yakni, seorang
kyai yang merespon persoalan-persoalan waqi‟iyah yang aktual dan
berupaya menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat dengan tanpa
meninggalkan keotentikkan teks-teks klasik (kitab kuning) dan nilai
historisnya. Tapi, juga mempertimbangkan dinamika yang terjadi dalam
masyarakat yang sangat dinamis.
Sedangkan kata Mujamil Qomar, pemikiran KH. MA. Sahal
Mahfudh ini bisa dipahami sebagai ekletik, responsif, integralisti, dan
divergen. Epistemologi fiqih sosial yang digeluti KH. MA. Sahal
Mahfudh itu akhirnya menghasilkan pemikiran-pemikiran maju, dinamis,
solutif, dan berdimensi sosial kemasyarakatan, yakni:
1. Ahlussunah Wal Jama’ah
Ahlussunah Waljama’ah menurut KH. MA. Sahal Mahfudh harus
dikembang kan supaya tidak sempit. Sikap warga aswaja yang hanya
mencukup-kan apa yang telah diketahui dan dipelajari serta tidak mau
37
berdialog dengan keilmuan dan teknokrat yang lain, jelas akan
merugikan pengembangan wawasannya. Aswaja harus dikembangkan
secara mendalam dari sudut pandang berbagai ilmu, khususnya ilmu
sosial. Sehingga, aswaja bisa direintrodusasi secara rasional, sistematis,
dan kontekstual sesuai dengan transformasi kultural yang sedang
berproses.
2. Pengembangan Wawasan
Perubahan di masyarakat menghendaki perubahan wawasan.
Perubahan wawasan itu menjadi amat penting karena sangat
mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku yang dapat menumbuhkan
kemauan, kepekaan, dan ketrampilan melihat masalah. Bahkan, pada
akhirnya bisa merumuskan pemecah masalah sendiri. Perubahan
wawasan tersebut akan makin berarti jika ditopang dengan penguasaan
Islam secara mendalam. Konsekuensinya, kemampuan penguasaan
ajaran Islam secara utuh sangat diperlukan. Pengembangan dinamika
keilmuan merupakan jawaban atas tantangan-tantangan yang muncul
akibat adanya arus globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Pengembangan dinamika keilmuan ini harus mampu menjadi
sarana pemandu transformasi sosial dan sekaligus sebagai sara
kontekstualisasi ajaran Islam dalam tata kehidupan masyarakat. Sebab,
keilmuan seseorang yang berkembang secara dinamis, menyebabkan
pemiliknya memiliki sikap yang supel, luwes dan visi jauh ke depan
yang mampu menyeseuakikan denga perubahan apapun bentuknya.
38
3. Kesadaran Pluralisme
Pelaksana keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi
suatu pemerintahan yang tidak perlu berlabel Islam. Sebab, realitas
bangsa menunjukkan adanya pluralitas dari berbagai macam etnis dan
agama. Ini sangat memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi
Islam untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan
perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak
berlawanan dengan moralitas Islam. Sekaligus menanggalkan cara-cara
tradisional, seperti keterkaitan masa dengan simbol-simbol Islam secara
emosional semata.
KH. MA. Sahal Mahfudh berharap, Islam jangan ditonjolkan lewat
simbol-simbol yang membuat umat semakin fanatik. Yang diperlukan
oleh Islam adalah penerapan atau tindakan nyata dalam kehidupan
sehari-hari, baik kehidupan individual maupun sosial.
Islam jutru lebih menghendaki suatu aksi yang mampu men-
sejahterakan masyarakat luas tanpa sekat- sekat agama, suku, ras dan
lain sebagainya sebagai realisasi dari misinya rahmah lil ‟alamin
daripada simbol-simbol yang mendangkalkan Islam itu sendiri.
4. Pengentasan Dari Kemiskinan
Mengentaskan kemiskinan harus melalui kerja terencana,
terprogram, sistematis dan kontinyu. Kemiskinan adalah sebabakibat.
Penyebab kemiskinan harus ditutup. Kalau penyebabnya tidak ada
39
sumber penghasilan, maka harus diberi alat untuk mendapatkan
penghasilan. Tidak cukup hanya diberi hal-hal yang sifatnya konsumtif,
hal ini membuat masyarakat menjadi pasif, boros, dan tidak punya
kemauan kuat. Untuk itu, perlu terus dimotivasi agar punya keinginan
dan kemauan kuat untuk berusaha, dibimbing, diarahkan, diberi
ketrampilan khusus, dan diberi modal usaha dengan perencanaan dan
pengawasan kontinyu.
5. Manajemen Dakwah
Dakwah, bagi KH. MA. Sahal Mahfudh, parameternya adalah
perubahan sikap perilaku, mental, kondisi riil ekonomi, pendidikan dan
budayanya. Walau dakwah hanya diukur dari lucunya mubaligh dan
pengunjungnya yang banyak, maka dakwah Islam tidak banyak
manfaatnya bagi peningkatan kualitas dan ekonomi umat. Untuk itu,
perlu ada dakwah progresif yang mencoba melakukan proyeksi dan
kontekstualisasi ajaran agama Islam dalam proses transformasi sosial.
Hal ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial mubaligh agar mampu
melakukan pendekatan kebutuhan yang disertai sumber nilai Islam.
C. Karya-karya KH. MA. Sahal Mahfudh
KH. MA. Sahal Mahfudh adalah seorang pakar fiqih (hukum
Islam), yang sejak menjadi santri seolah sudah terprogram untuk
menguasai spesifikasi ilmu tertentu yaitu dalam bidang ilmu ushul
fiqih, bahasa arab dan ilmu kemasyarakatan. Namun KH. MA. Sahal
40
Mahfudh juga mampu memberikan solusi permasalahan umat yang tak
hanya terkait dengan tiga bidang tersebut, contohnya dalam bidang
kesehatan dan beliau menemukan suatu bagian tersendiri dalam fiqih.
Dalam bidang kesehatan KH. MA. Sahal Mahfudh mendapat
penghargaan dari WHO dengan gagasannya mendirikan taman gizi
yang digerakkan para santri untuk menangani anak-anak balita (hampir
seperti Posyandu). Selain itu juga mendirikan balai kesehatan yang
sekarang berkembang menjadi Rumah Sakit Islam.
Berbicara tentang karya beliau, pada bagian fiqih beliau menulis
seperti al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fiqih,
al-Barokatu al-Jumu‟ah ini berbicara tentang gramatika Arab.
Sedangkan karya KH. MA Sahal Mahfudh yang berbentuk tulisan
lainnya:
a. Buku (kumpulan makalah yang diterbitkan):
1) Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Diantarna, Surabaya,
2000)
2) Pesantren Mencari Makna, (Pustaka Ciganjur, Jakarta, 1999)
3) Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfadz al-Lumd, (Thoha Putra,
Semarang, 1999)
4) Dialog Dengan KH. MA. Sahal Mahfudh (Solusi Problematika
Umat), (Ampel, Surabaya, 2003)
41
Buku ini berisi tentang segala persoalan problematika aktual dan
jawabannya yang tengah terjadi di masyarakat. Sehingga kehadiran
buku ini menjadi baru diruangan pembaca. Kelengkapan isi dalam
penulisan buku bukanlah tidak penting, karena berbobot tidaknya
sebuah buku, pembaca bisa menyambut dengan baik terhadap
kehadiran buku juga tergantung kepada isi buku. Tetapi
kadangkadang, lengkap bukan berarti menjadi sebuah ukuran bahwa
buku itu berkualitas, lain dari hal itu tergantung juga kepada siapa
penulisnya. Berbicara penulis berarti bicara soal keilmuan yang
dimiliki si penulis buku. Buku dialog Dengan KH. MA. Sahal
Mahfudh (Solusi Problematika Umat) ditulis oleh orang yang tidak
mungkin diragukan lagi keilmuannya (ke-aliman-nya). Beliau adalah
tokoh masyarakat, ulama, pengasuh pondok pesantren besar, ilmuan,
dan Rois Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU).
KH. MA. Sahal Mahfudh. Sosok yang tidak asing lagi di
Indonesia, khususnya bagi warga nahdliyyin. Buku yang diterbitkan
pertama kali pada tahun 2003, terasa dibutuhkan dan dicari oleh
masyarakat sehingga buku itu didesain ulang dan dicetak kembali
yang kini tampil dihadapan pembaca. Buku ini mengupas tuntas
tentang panduan ibadah mulai dari mahdlah dan ghairu mahdlah.
Misalnya bab tentang problematika bersuci, salat, puasa dan
Ramadhan, zakat dan pemberdayaan ekonomi umat, haji, rumah
42
tangga, tuntunan ibadah dan rekayasa tekonologi, akidah-akhlak,
menggunakan kitab suci, makanan hingga etika sosial.
Beberapa persoalan dalam buku ini adalah pertanyaan-
pertanyaan yang selalu muncul di masyarakat yang terkadang
diangap sepele dan tidak dicarikan jawabannya. Oleh KH. MA.
Sahal Mahfudh, sebagai sosok kiai yang selalu mempunyai
kepedulian untuk memberikan jawaban setiap pertanyaan yang ada
sebagai bentuk tanggung jawab dirinya sebagai orang yang
ditokohkan oleh masyarakat untuk menjawab beberapa lontaran
permasalahan yang muncul.
43
BAB III
LANDASAN TEORI
A. Moral
Moral, manusia pada dasarnya adalah makhluk terbaik dari sekian
makhluk yang diciptakan oleh Allah. Manusia oleh Allah diberi
kehormatan atau karamah, bahkan lebih dari itu ia diangkat sebagai
“khalifah Allah” di atas bumi ini. Kemuliaan manusia ditandai dengan
pemberiannya yang sangat bermakna tinggi, sehingga menjadikan manusia
dapat menguasai alam ini. Pemberian itu berupa “akal dan pikiran” yang
mampu mengangkat harkat dan derajat manusia. Dengan akal pikiran,
manusia dapat menerima, mencari, dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kelebihan manusia, disamping akal pikirannya, juga karena nafsu
dan perasaan. Manusia dengan nafsunya mempunyai semangat, etos, dan
sikap emosional lain yang positif. Manusia dengan intuisinya mempunya
daya estetik dan etik yang juga mampu mengangkat harkat dan derajatnya.
Sebagai khalifah Allah, manusia pada dasarnya telah dibekali
dengan tiga potensi yaitu, akal pikiran, nafsu, dan perasaan. Dengan bekal
inilah manusia mampu menjalankan ke khalifahan untuk dirinya sendiri
dan untuk orang lain, kelompok maupun orang per-orang.
44
Masalahnya adalah seberapa jauh manusia melaksanakan
kemampuannya itu. Hal ini akan banyak dipengaruhi oleh kemampuan
mewujudkan keseimbangan antara tiga potensi tersebut, ketika diperankan
dalam sikap dan perilaku ke khalifahan. Keseimbangan dimaksud
memerlukan ukuran-ukuran tertentu, berkaitan dengan situasi dan kondisi
lingkungan manusia, baik alam maupun komunitas yang berpengaruh
besar dan akan menjadi pertimbangan. Bila keseimbangan itu hanya
diukur dengan subjektivitasnya itu sendiri, justru sering menimbulkan
kerawanan tertentu dan tidak mustahil mengakibatkan keresahan pada
dirinya sendiri.
Biasanya ukuran-ukuran itu dipengaruhi oleh budaya, lingkungan,
dan ajaran agama sehingga terjadi perbedaan penilaian antara satu daerah
dengan daerah lain. Suatau perbuatan dinilai baik di satu derah, belum
pasti dinilai sama di daerah lain. Hal ini akan bergantung pada
kesepakatan sosial yang terjadi, baik atas pengaruh budaya, lingkungan,
maupun ajaran agama dan kepercayaan di masyarakat. Oleh karenanya,
ukuran-ukuran itu sering bergeser akibat perubahan sosial yang terjadi.
Kecuali tolak ukur yang bersumber dari ajaran agama yang dogmatik,
maka ukuran ini bersifat permanen.
Meskipun penilaian moral dan etika didasarkan hanya pada
tindakan dan amal perbuatan manusia, namun tindakan dan perilaku
seseorang pada dasarnya muncul atas dorongan batiniyahnya yang sering
juga didukung oleh tekanan-tekanan lingkungan. Dorongan-dorongan
45
instiktif dalam dirinya, misalnya ingin berkuasa, ingin berkelamin, dan
lain sebagainya, menumbuhkan kecendrungan berperilaku etis atau
sebaliknya, akan sering bergantung pada dukungan lingkungan.
Islam telah meletakkan dasar-dasar untuk mentukan tingkah laku
yang baik dan buruk. Ia tidak mendasarkan konsep al-ma‟ruf (yang baik)
dan al-munkar (yang buruk) semata-mata pada rasio,nafsu, instuisi. Dan
pengalaman-pengalaman yang muncul lewat pada panca indra yang
mengalami perubahan. Tetapi ia telah memberikan sumber yang tetap,
yang menentukan tingkah laku moral yang tetap dan universal, yaitu Al-
Qur’an dan sunnah, dasa-dasar itu menyangkut kehidupan komunitas
bangsa.
Dalam konteks sosial, Islam memberi dasar pada manusia.
Manusia dengan kekuatan imannya akan mengembangkan sikap saling
menghargai hak-hak pribadi satu sama lain, terhadap peraturan-peraturan
dan suatau pembatasan yang berlaku pada dirinya. Setiap individu
memandang dirinya bertanggung jawab dan memiliki kewajiban kepada
masyarakatnya.
Ia di atas landasan nilai spiritual, mengembangkan sikap saling
mempercayai satu sama lain. Dalam hal ini merumuskan baku tentang
moral dan etika pembangunan yang didukung oleh nilai-nilai agama,
pertimbangan efektivitas dan efisiensi dengan penerapan teknik dan
teknologi dalam pelaksanaan pembangunan atau pembentukan, merupakan
46
rangsangan yang kuat bagi tumbuhnya kesadaran bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Perumusan itu diharapkan menjadi acuan bagi
masyarakat dalam berperilaku pembangunan dan pembentukan yang etis,
tidak menumbuhkan kecemburuan kesenjangan dan tidak kepedulian
sosial.
Manusia Indonesia membangun dan membentuk kultur dan
peradaban yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari kesadaran
egonya yang dijiwai oleh spirit dan pengalaman keagamaan,
membutuhkan sosok penampilan atau personifikasi yang jelas. Di atas
sosok kepribadian itu, dikembangkan dan di dirikan tingkah laku moral
serta sikap budaya Indonesia sehari-hari sebagai moral dasar yang paling
utama dalam proses pembangunan masyarakat.
Masyarakat didirikan di atas ketetapan hati para pendukungnya
untuk tetap bertahan dalam cara, jalan, dan pesan Allah, sebagai
perwujudan suatu kultur dan peradaban yang sehat dan berakar kokoh
dalam kesejarahan, sekaligus yang berpenampilan kerahmatan didalam
susunan dan tata kemasyarakatan itu sendiri (KH.MA. Sahal Mahfudh,
1994 : 191).
Menurut Lilie, kata moral berasal dari kata mores yang berarti tata
cara kehidupanatau adat istiadat (Pratidarmanastiti, 1991). Dewey
mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-
nilai susila (Grinder, 1978). Sedangkan Baron,dkk. (1980) mengatakan
47
moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan
yang membicarakan salah dan benar. Oleh Magnis Suseno (1987)
dikatakan bahwa kata moral selalu mengacupada baik buruknya manusia
sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan mausia
dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai oleh
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang menurut Magnis Suseno,
sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Ia mengartikan moralitas
sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah.
Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar
akan kewajiban dan tanggung jawab dan bukan karena ia mencari
keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-
betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (Franz
Magnis Suseno, 1987).
Penalaran moral merekalah yang mencerminkan perbedaan
kematangan moral tersebut. Penalaran moral dipandang sebagai struktur
pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang
apa yang baik atau yang buruk tetapi tentang bagaimana seorang berpikir
sampai pada keputusan bahwa sesuatau baik atau buruk (Kohlberg, 1977 :
1981).
48
Penalaran-penalaran inilah yang menjadi indikator dari tingkatan
atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu
tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan
tidakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa
sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa penalaran
moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal
perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang
bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntunan,
hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal
yang baik (Asri Budiningsih, 2008 : 27).
Tahap-tahap perkembangan penelaran moral tidak dapat berbalik.
Yaitu, bahwa suatau tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak
mungkin kembali mundur ketahapan dibawahnya (Kohlberg, 1977 : 1980).
Misalnya, seseorang yang telah berada pada tahap 5 (lima) tidak akan
kembali pada tahap 4 (empat). Tendensi gerakan umum, proses
perkembangan morall cukup jelas. Yaitu gerak maju dari tahap 1 (satu) ke
tahap berikutnya dan gerak maju itu bersifat proses. Dewey berpendapat
bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan
universal pendidikan moral. Adapun tahapan-tahapan moral menurut
Kohlberg yang disarikan oleh Hadirman (1987) sebagai berikut:
49
1. Tahap I : patuh pada aturan untuk menghindarkan hukuman.
2. Tahap II : menyesuaikan diri untuk mendapatkan ganjaran,
kebaikan nyadibalas dan seterusnya.
3. Tahap III : menyesuaikan diri untuk menghindarkan ketidak
setujuan, ketidak senangan orang lain.
4. Tahap IV : menyesuaikan diri umtuk menghindarkan
penilaian oleh otoritas resmi dan rasa diri bersalah atas di
akibatkannya.
5. Tahap V : menyesuaikan diri untuk memelihara rasa hormat
dari orang netral yang bernilai dari sudut pandang
kesejahteraan masyarakat.
6. Tahap VI : menyesuaikan diri untuk menghindari atas
penghukuman diri sendiri.
Melihat tahapan-tahapan tersebut tampak bahwa seseorang tetap
mengarahkan dirinya pada prinsip moral universal, yaitu keadilan dan
kesalingan, hanya saja kongretisasinya berbeda-beda sesuai dengan
perkembangan kognitif orang yang bersangkutan pada masing-masing
tahap. Menurut Kohlberg perkembangan penalaran moral ini berlangsung
setahap demi setahapdan tidak pernah meloncat. Perkembangan penalaran
moral dapat berakhir pada tahap manapun, maka peranan pendidikan
adalah menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi
seseorang untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi. terutama seseorang
yang memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapnya sekarang dan
50
ia mempunyai peluang untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap
yang telah di lampauinya.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis berpendapat bahwa terdapat
sejumlah tahapan-tahapan perkembangan penalaran moral yang dicirikan
sebagai pola struktur pemikiran moral, terlepas dari isinya. Ada perbedaan
kualitatif pada masing-masing strukturnya atau cara berfikir yang berbeda
yang mempunyai fungsi dasar dalam proses perkembangan. Semua
struktur yang berbeda ini membentuk urutan tetap dan konsisten dalam
proses perkembangan moral (Asri Budiningsih 2008 : 33).
Moral memiliki keterkaitan dengan kepedulian seseorang dengan
yang lainnya. Moral tidak hanya berhubungan dengan tingkah laku, namun
juga mengarahkan seseorang untuk dapat berbuat baik kepada orang lain.
Moral juga melibatkan jalinan emos, kognisi dan tindakan yang tidak
dapat dipisahkan. (Anwar Rosihin, 2010 : 17).
Dalam hal memberikan definisi moral, pandangan berbeda di
ungkapkan oleh howard, bahwa moral merupakan patokan perilaku benar
dan salah yang dapat dijadikan pedoman bagi pribadi seseorang. Moral
juga menjadi pribadi seseorang. Moral juga menjadi pedoman dalam
berinteraksi dengan orang lain. Baik dan buruk perbuatan seseorang dapat
diukur dari nilai moral. Disamping itu, moral juga menuntut seseorang
untuk melaksanakan apa yang sebaiknya dilakukan, walaupun sebenarnya
51
tidak harus dilakukan. Nilai-nilai moral terbagi menjadi dua kategori, yaitu
universal non universal (Thomas Lickona 1991 : 62).
Pada hakekatnya moral seseorang sangat berkaitan dengan
pengetahuan moral dan moralitas itu sendiri. Jika dikaitkan dengan
moralitas atau perbuatan, maka ukurannya adalah dari sisi baik dan buruk.
Moral juga lebih bersifat dalam dataran realitas dan mucul dalam tingkah
laku yang berkembang di masyarakat. Dan yang dijadikan barometer
moral adalah norma-norma dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang
serta berlangsung di masyarakat. Moral juga dipahami untuk memberikan
batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai baik dan buruk, serta
benar dan salah jika dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari dikatakan
bahwa orang tersebut bermoral, maka tingkah laku orang tersebut baik
(Nata Abuddin, 2014: 78).
Moral dan etika, dalam Al-Qur’an disebut “akhlak” yang berarti
budi pekerti atau tata susila, sebenarnya sudah ada sejak adanya kehidupan
manusia. Persoalan “baik buruk” telah muncul sejak peradaban tingkat
awal, meskipun ukuran yang di pakai berbeda-beda. Kadang diukur
dengan akal pikiran yang sederhana tanpa melibatkan perasaan atau
sebaliknya, atau hanya dengan penilaian perasaan dan malahan hanya
dengan nafsu. Penilaian atas baik buruk tindakan dan amal perbuatan
manusia dengan ukuran-ukuran serta nilai-nilai tertentu itulah yang disebut
moral atau etika ( KH. MA Sahal Mahfudh, 1994 : 183).
52
Dengan penjelasan diatas penulis menganalisis. Moral yaitu Suatu
tindakan yang mana di jadikan tolak ukur untuk mengetahui baik dan
buruk seseorang yang tidak bisa di ukur melalui akal pikiran yang cerdas,
melainkan sikap budi pekerti.
B. Etika
Etika dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa etika
diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan apa
yang hak dan kewajiban moral. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan
memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan moral secara kritis.
Etika berasal dari bahasa yunani ethos (kata tunggal) yang berarti
tempat tinggal, padang rumput kandang, kebiasaan, adat, watak sikap, cara
berpikir. Bentuk jamaknya adalah etha yang berarti adat istiadat. Dalam
hal ini, kata etika sama pengertiannya dengan moral. Moral berasal dari
kata latin mos bentuk tunggal, atau mores bentuk jamak yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, tingkah laku, watak, akhlak, cara hidup (Nata Abuddin,
2012 : 2).
Menurut Bertenz ada dua pengertian etika: sebagai praktis dan
sebagai refleksi. Sebagai praktis, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma
moral yang baik yang di praktikkan. Etika sebagai praktissama artinya
dengan moral atau moralitas yaitu apa yang harusdilakukan, tidak boleh
dilakukan, pantas dilakukan, dan sebagainya. Etika sebagai refleksi adalah
pemikiran moral. Adapun menurut burhanuddin salam, istilah etika berasal
dari kata latin, yaitu: ethic sedangkan dalam bahasa greek, ethikos yaitu a
53
body of moral principle or value ethic. Arti sebenarnya adalah kebiasaan
(K. Berthenz, 2007 : 22).
Dalam pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah
yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (pada saat itu). Beriringnya
waktu etika itu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan manusia. Perkembangan etika tidak lepas dari substansinya
bahwa etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau
tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang dinilai
buruk. Istilah lain dari etika, yaitu moral, asusila, budi pekerti, akhlak etika
merupakan ilmu bukan sebuah ajaran. Etika dalam bahasa arab disebut
“akhlak”, merupakan jamak dari kata “khuluq” yang berarti adat
kebiasaan, watak, adab dalam agama, istilah etika diartikan sebagai suatau
perbuatan standar yang memimpin individu, etika adalah suatu study
mengenai perbuatan yang sah dan benar dan moral yangdilakukan
seseorang (Ya’kub Hamzah, 1993 : 12).
Etika adalah cabang filosofi yang berkaitan dengan
pemikirandengan pemikiran tentang benar dan sala. Simorangkir menilai
etika adalah hasil usaha yang sistematik yang menggunakan rasio untuk
menafsirkan pengalaman moral individu dan untuk menetapkan aturan
dalam mengendalikan perilaku manusia serta nilai-nilai yang berbobot
untuk bisa dijadikan pedoman hidup. Satyanugraha mendefinisikan etika
sebagai nilai-nilai norma moral dalam suatau masyarakat sebagai ilmu,
etika juga bisa diartikan pemikiran moral yang mempelajari tentang apa
54
yng harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan (Choirul Huda, 1997
: 64).
Etika bagi seseorang terwujud dalam kesadaran moral yang
memuat keyakinan benar dan tidak benar. Perasaan yang muncul bahwa ia
akan salah melakukan sesuatu yang diyakininyantidak benardari norma-
norma moral dan menghargai diri bila ia meninggalkannya. Tindakan yang
diambil olehnya harus pertanggung jawabkan pada diri sendiri. Begitu
juga dengan sikapnya terhadap orang lain bila pekerjaan tersebut
mengganggu atau sebaliknya mendapatkan pujian.
Etika diartikan sebagai seperangkat prinsip moral yang
membedakan apa yang benar dan apa ynag salah. Etika adalah bidang
normatif, karena menentukan dan menyarankan apa yang seharusnya
orang lakukan atau tindakan (Choirul Huda, 1997 : 64).
Setiap manusia melakukan tindakan. Menurut pendapat ini,
petimbangan moral dan etika yang menentukan tindakan atau perilaku
seseorang. Setiap orang akan mempertimbangkan akibat dari tindakannya
apakah baik atau buruk, benar atau salah, berakibat lebih baik atau lebih
buruk, pantas atau tidak pantas.
Dalam hal ini dilakukan pada suatau momen dan situasi. Jadi, ada
pendapat bahwa moral dan etika itu situasional. Tindakan itu adalah
pilihan, dan pilihan itu memerlukan prosespengambilan keputusan yang
dipandu oleh subjective judgment (pertimbangan pribadi). Jadi, ada proses
evaluasi moral. Yang menjadi dasar utama dalam memutuskan pilihan dan
55
tindakan apa yang dilakukan seseorang merujuk kepada komitmen,
prinsip, nilai, dan aturan yang berlaku pada saat dan situasi itu. Memang,
tidak ada tindakan yang dilandasi moral yang hanya ditentukan oleh situasi
tanpa diwarnai komitmen pada suatu prinsip. Prinsip disisni diartiikan
sebagai tujuan dalam arti luas yang membantu menentukan keputusan
nyata dan kriteria normatif yang membawa situasi nyata.
Moral dan Etika adalah aturan mengenai sikap perilaku dan
tindakan manusia yang hidup di masyarakat. Etika ini juga bisa sebagai
seperangkat prinsip moral yang membedakan antara baik dan yang buruk.
Dalam masyarakat kita tidak hidup sendiri sehingga harus ada aturan yang
dilaksanakan setiap orang agar kehidupan bermasyarakat berjalan dengan
aman, nikmat, dan harmonis. Tanpa antara ini, kehidupan bisa seperti di
rimba yang kuat akan menang dan yang lemah akan tertindas. Maka harus
meningkatkan aspek moral dan etikanya dan penegakan kode etik .
Seperti diketahui secara mendasar bahwa, etika merupakan cabang
falsafah dan sekaligus suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan. Dilihat
dari cabang falsafah, etika membahas sistem-sistem pemikiran yang
mendasar mengenai ajaran dan pandangan moral. Sebagia cabang ilmu,
etika membahas bagaimana dan mengapa seseorang mengikuti suatu
ajaran tertentu. Sebagai ilmu, etika dikategorikan menjadi dua jenis: etika
umum dan etika khusus. Etika umum mengkaji prinsip-prinsip umum yang
berlaku bagi setiap tindakan manusia (Hj. Safarina, 2015 : 19).
56
Dalam falsafah barat dan timur, aliran-aliran pemikiran tampak
beragam. Tetapi, pada dasarnya falsafah tersebut memepelajari asas-asas
tindakan dan perbuatan manusia, serta system nilai yang terkandung di
dalamnya. Etika khusus dibagi menjadi dua jenis, yakni, etika individual
dan etika sosial. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap
dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta
panggilan nurani, kwajiban dan tanggung jawab terhadap tuhannya.
Sedangkan, etika sosial mengkaji tentang kewajiban serta norma-norma
sosial yang sepatutnya yang ditaati dalam konteks interaksi antara individu
atau antar manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial meliputi
beberapa cabang secara khusus lagi, seperti etika keluarga, etika profesi,
etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika jurnalistik, dan etika
politik (Herman Khaeron, 2013 : 15).
Etika akan berjalan secara murni tergantung pada mekanisme
kendali dari dalam diri individu sendiri dan bukan oleh adanya kendali
dari luar, di sini terlihat kebenaran adanya penyatuan etika dengan agama.
Nilai-nilai agama, baik yang berupa nilai etik maupun non etik, akan
berjalan atas dorongan kesadaran dalam diri individu, suatu mekanisme
kendali internal yang bersumber pada keimanan dan ketakwaan (KH. MA.
Sahal Mahfudh, 1994 : 186)
Bahwasannya moral dan etika di sini penulis mengajak memahami
mengenai arti moral dan etika. Moral merupakan aturan-aturan normatif
dalam Islam dinamakan “akhlak” yang berlaku dalam suatu masyarakat
57
tertentu yang terbatas dalam ruang dan waktu. Penerapan tata nilai moral
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat merupakan bidang kajian
antroplogi, sedangkan etika merupakan bidang kajian falsafah. Realitas
moral dalam masyarakat dijelaskan melalui study kritis yang dibidangi
oleh etika. Jadi, study kritis terhadap moralitas merupakan bidang etika,
sehingga moral adalah objek material dari etika. Jadi, moral merupakan
seperangkat tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai tanpa dibarengi dan
bahkan terkesan menjauhi kritis. sedangkan etika, sebaliknya bertugas
untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa lalu yang
sudah baku dalam masyarakat.
Etika akan berjalan secara murni tergantung pada mekanisme
kendali dari dalam diri individu sendiri dan bukan oleh adanya kendali
dari luar, di sini terlihat kebenaran adanya penyatuan etika dengan agama.
Nilai-nilai agama, baik yang berupa nilai etik maupun non etik, akan
berjalan atas dorongan kesadaran dalam diri individu, suatu mekanisme
kendali internal yang bersumber pada keimanan dan ketakwaan (KH. MA.
Sahal Mahfudh, 1994 : 186)
Etika yaitu suatu sikap atau perilaku yang mana bisa dinilai benar
atau salah. Dan tahu menempatkan posisi yang benar atau salah, hal
tersebut yang menjadikan kebiasaan stiap harinya.
58
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pembentukan konsep moral dan etika menurut KH. MA. Sahal
Mahfudh.
1. Unsur dalam pembentukan moral dan etika
Pembentukan merupakan perubah saat individu tersebut berada di
lingkungan tertentu. Seperti dilingkungan yang baru, butuh
penyesuaian diri yaitu adaptasi. Adaptasi dengan lingkungan serta
membangun interaksi sosial dengan individu lain akan menumbuhkan
konsep diri yang baru. Rupanya perjalanan hidup telah mengubah
semua sifat baik keburuk atau bahkan sebaliknya. Semua itu ada
beberapa faktor yang menjadikan berubahnya sifatnya tersebut yaitu,
ekonomi, keluarga, lingkungan dimana tempat tinggal, dan mungkin
pendidikan yang ia dapat dari seseorang yang ditangkap dalam
fikirnya, unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran
karena pikiran yang di dalamnya terdapat seluruh program yang
terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya.
Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya
membentuk pola fikir yang bisa mempengaruhi perilakunya (Prof. Dr.
H. Ahmad Tafsir, 2011 : 17).
59
2. Proses pembentukan moral dan etika
manusia pada dasarnya adalah makhluk terbaik dari sekian
makhluk yang diciptakan oleh Allah. Manusia oleh Allah diberi
kehormatan atau karamah, bahkan lebih dari itu ia diangkat sebagai
“khalifah Allah” di atas bumi ini. Kemuliaan manusia ditandai dengan
pemberiannya yang sangat bermakna tinggi, sehingga menjadikan
manusia dapat menguasai alam ini. Pemberian itu berupa “akal dan
pikiran” yang mampu mengangkat harkat dan derajat manusia. Dengan
akal pikiran, manusia dapat menerima, mencari, dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelebihan manusia, disamping akal pikirannya, juga karena nafsu
dan perasaan. Manusia dengan nafsunya mempunyai semangat, etos,
dan sikap emosional lain yang positif. Manusia dengan intuisinya
mempunya daya estetik dan etik yang juga mampu mengangkat harkat
dan derajatnya.
Sebagai khalifah Allah, manusia pada dasarnya telah dibekali
dengan tiga potensi yaitu, akal pikiran, nafsu, dan perasaan. Dengan
bekal inilah manusia mampu menjalankan ke khalifahan untuk dirinya
sendiri dan untuk orang lain, kelompok maupun orang per-orang (KH.
MA. Sahal Mahfudh, 1994 : 182).
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin
sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh
sehingga fikiran bawah sadar masih terbuka dan menerima apa saja
60
informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada
penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari
itulah pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun.
Pondasi tersebut adalah kepecayaan tertentu dan konsep diri. Jika
sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka
seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan
itu penderitaan. Namun, jika kedua orang tua selalu menghormati
dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan
menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan
berdampak ketika sudah tumbuh dewasa (Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir,
2011 : 18).
Semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat,
sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya
menambah pengetahuan yang akan menghantarkan seseorang
memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis
dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah peran fikiran sadar semakin
menjadi dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan
terhadap informasi yang masuk melalui fikiran sadar menjadi ketat
sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indra
dapat mudah dan langsung diterima oleh fikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang
sistem kepercayaan dan pola fikir yang terbentuk, maka semakin jelas
tindakan, kebiasaan, dan karakter unik dari masing-masing individu.
61
Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memliki sistem
kepercayaan, citra diri, dan kebiasaan. Jika sistem kepercayaan benar
dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka
kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan.
Sebaliknya, jika sitem tidak selaras karakternya tidak baik, dan konsep
dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi permasalahan dan
penderitaan.
Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari
anak-anak memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat,
dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka
selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Oleh
karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat
mereka belajar berjalan dan jatuh mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi,
bangkit lagi, sampai akhirnya meraka bisa berjalan seperti orang
dewasa yang sudah bisa berjalan dengan lancar (Prof. Dr. H. Ahmad
Tafsir, 2011 : 19).
Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka
mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Diantara
mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya, mereka
putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi setelah mengetahui
bahwa nilai yang didapatkannya berada dibawah rata-rata dan orang
tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-
anak bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk
62
ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk
berkembang di kelak kemudian hari.
Beberapa faktor penting yang dampak pada pembentukan karakter
seseorang di samping ada faktor lain yaitu: makanan, teman, orang
tua, dan tujuan merupakan faktor terkuat dalam mewarnai karakter
seseorang. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa
pembentukan karakter menggambarkan.
a. Merupakan suatu proses yang terus menerus dilakukan untuk
membentuk watak, dan sifat-sifat kejiwaan yang berlandaskan pada
semangat pengabdian dan kebersamaan.
b. Menyempurnakan karakter yang ada untuk mewujudkan karakter
yang diharapkan.
c. Membina dan menilai karakter sehingga menampilkan karakter
yang kondusif dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara yang dilandasi dengan nilai-nilai dan falsafah hidup
(Prof Dr. H. Ahmad Tafsir, 2011 : 20).
Suatu pembentukan karakter, yaitu sebuah pondasi awal dimana
seseorang menuju kepribadian yang lebih baik lagi dari sebelumnya,
Semua hal itu berpengaruh dalam suatu lingkungan anak yang
menghantarkan kepribadian.
63
B. Konsep Pendidikan
Konsep merupakan sekumpulan mengenai keyakinan dan persepsi
diri tentang diri sendiri yang terorganisasi. Berbicara mengenai konsep,
peran merupakan aspek penting dalam individu. Konsep sebagai bagian
dari anggota sosial yang dibentuk dari proses komunikasi.
Pembentukan diri muncul dari komunikasi yang dilakukan dengan
orang lain dengan diawali adanya adaptasi serta interaksi sosial dengan
antar individu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Julia T. Wood (2013:
46) bahwa wawasan paling mendasar mengenai diri adalah diri bukan
bawaan sejak lahir, tetapi diri berkembang karena adanya proses
komunikasi dengan individu lain serta keikutsertaan diri berpartisipasi di
lingkungan sosial.
Dasar konsep pendidikan moral terdiri dari kata dasar, konsep
pendidikan dan moral. Dasar artinya: alas lapisan terbawah. Dapat
ditegaskan bahwa yang dimaksud dasar konsep disini adalah alas atau
pondamen yang dijadikan rancangan untuk menggambarkan atau
mendeskripsikan dasar konsep yang dijadikan bahan pembelajaran (Prof.
Dr. Hamid Darmadi, 2009 : 1).
Makna dasar konsep pendidikan adalah bertujuan untuk membantu
peserta didik untuk mengenali nilai-nilai dan menempatkannya secara
integral dalam konteks keseluruhan hidupnya. Pendidikan semacam ini
semakin penting dan menempati posisi sentral karena tingkat kadar
64
persatuan dan kesatuan terutama yang berkaitan dengan kesadaran akan
nilai-nilai dalam masyarakat akhir ini semakin cenderung pudar.
Tidak jarang orang kurang dapat menghargai pribadi, hak asasi,
dan adat istiadat orang lain. Peristiwa serupa ini hanya akan mendatangkan
konflik. Akhirnya terjadilah pertentangan antar kelompok, golongan, dan
lain sebagainya yang seharusnya tidak perlu terjadi. Bukankah ada pepatah
yang mengatakan: dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung:.
Dalam masa transisi dan derasnya arus informasi budaya sekarang
ini, pendidikan moral bukan sesuatu yang dapat ditambahkan atau boleh
dikaitkan pada pendidikan begitu saja, melainkan sesuatu yang hakiki dan
bahkan menduduki tempat yang amat sentral dan setrategis dalam
pendidikan sehingga perlu dirancang secara khusus agar dapat
mentransferkan makna pendidikan nilai moral yang hakiki menuju
peradaban bangsa (Prof. Dr. Hamid Darmadi, 2009 : 6).
Tujuan dasar konsep pendidikan. Dasar konsep pendidikan disini
untuk memberikan pengetahuan tentang dasar konsep pendidikan pada
umumnya dan dasar-dasar serta konsep-konsep pendidikan pancasila
khususnya.
1. Memperoleh kejelasan minimal dan gambaran tentang ruang lingkup
program minimal dan dan dapat melakukan kegiatan belajarnya secara
terarah, sehingga kemampuan untuk memahami materi bahan belajar
dapat lebih ditingkatkan.
65
2. Sebagai buku teks yang melengkapi dalam pendidikan. Kehadiran
sebuah buku itu wajib untuk penunjang, yang merupakan kebutuhan
yang tidak bisa ditawar lagi. Dengan menggunakan buku peserta didik
diharapkan belajar mandiri secara aktif dan melakukan kajian lanjutan
atau kajian kepustakaan untuk pengayaan. Melalui buku tersebut akan
disajikan berbagai konsep disertai contoh-contoh dan tugas yang dapat
membantu para peserta didik untuk menguasai materi pelajran dengan
baik.
3. Sebagai pedoman pengembangan bahan atau materi. Pengembangan
buku teks ini selain sebagai bahan belajar terdapat juga di dalamnya
diuraikan tentang cara pengembangan materi di tingkat sekolah (Prof.
Dr. Hamid Darmadi, 2009 : 13).
Setelah pembentukan karakter dalam suatu pondasi, selanjutnya
menuju konsep atau rancangan untuk menggambarkan kepribadian. Hal
tersebut untuk membantu penempatan keseluruhan hidup, untuk
mengetahui posisi yang berkaitan dengan kesadaran akal fikir dalam
bersosial.
66
C. Moral
Menurut KH. M.A Sahal Mahfudh suatu budi pekerti yang telah
ada sejak adanya kehidupan manusia. Persoalan baik buruk sejak
beradaban tingkat awal, meskipun ukuran yang dipakai berbeda-beda (KH.
M.A. Sahal mahfudh, 1994 : 182).
Penilaian perasaan dan malahan hanya dengan nafsu. Penilaian
baik buruk atas tindakan dan amal perbuatan manusia dengan ukuran-
ukuran tertentu itulah yang disebut moral. Biasanya ukuran-ukuran itu
dipengaruhi oleh budaya, lingkungan, dan ajaran agama, sehingga terjadi
perbedaan penilaian antara satu daerah dengan daerah lain. Suatu
perbuatan dinilai baik disuatu daerah, belum pasti dinilai sama di daerah
lain. Hal ini akan bergantung pada kesepakatan sosial yang terjad, baik
atas pengaruh budaya, lingkungan, maupun ajaran agama dan kepercayaan
yang ada di masyarakat. Oleh karenanya, ukuran-ukuran itu sering
bergeser akibat perubahan sosial yang terjadi. Kecuali tolak ukur yang
bersumber dari ajaran agama yang dogmatik, maka ukuran ini bersifat
permanen ( KH. MA. Sahal Mahfudh,1994 : 183).
Moral dalam konteks sosial, Islam memberi dasar kepada manusia.
Manusia dengan kekuatan imannya akan mengembangkan sikap saling
menghargai hak-hak pribadi satu sama lain, terhadap peraturan-peraturan
dan suatu pembatasan yang berlaku bagi dirinya. Setiap individu
memandang dirinya bertanggung jawab dan memiliki kewajiban kepada
masyarakatnya.
67
Manusia khususnya Indonesia membangun kultur ataupun
membentuk peradaban yang pada dasarnya merupakan perkembangan dari
kesadaran egonya yang dijiwai oleh spirit dan pengalaman keagamaan,
membutuhkan sosok penampilan personifikasi yang jelas. Di atas sosok
kepribadian itu dikembangkan dan didirikan tingkah laku moral serta sikap
budaya sehari-hari, itu sebagai modal dasar yang paling utama dalam
proses pengembangan masyarakat (KH. MA. Sahal Mahfudh, 1994 : 190).
Moral berasal dari kata mores (bahsa latin) yang berarti tata cara
dalam kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmastiti, 1991). Dewey
mengatakan bahwa mora sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-
nilai sosial (Grinder, 1978). Sedangkan baron dkk. (1980) mengatakan
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau benar. Oleh Magnis-Suseno
(1987) di katakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya
manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia di lihat
dari segi kebaikannya sebagai manusia (Asri Budiningsih, 2008 : 24).
1. Tahap tahap perkembangan moral
a. Tingkat pra konvensional
Pada tingkat ini seorang sangat tanggap terhadap aturan-
aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk tetapi ia
menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi
kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya.
Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain
68
adalah mengindari hukuman atau mencapai maksimalisasi
kenikmatan.
Tahap 1: Orientasi hukuman dan keptuhan
Pada tahap ini, baik atau baik buruknya suatu tindakan
ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan
arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari
hukuman dan kepatuhan buta terhadap penguasa dinilai baik pada
dirinya.
Tahap 2: Orientasi instrumentalistis
Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain.
Hubungan antara manusia dipandang seperti hubungan dagang.
Unsur-unsur keterbukaan, tukar-menukar merupakan prinsip
tindakan dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik. Prinsip
tersebut adalah, “kamu mencakar punggungku dan aku akan
mengganti cakar pula punggungmu”.
b. Tingkat konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang
individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya
sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini terisolasi.
Maka itu, kecenderungan orang pada tahap ini adalah
69
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan
mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau
pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut,
pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini terdiri
dari dua tahap:
Tahap 3: Orientasi kerukunan atau orientasi good boy - nice
girl
Pada tahap ini orang berpandangan bahwa tingkah laku
yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-
orang lain serta diakui oleh orang lain. Orang cenderung
bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga
mendapat pengakuan sebagai “orang baik”. Tujuan utamanya,
demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus
berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat
atau bangsanya.
Tahap 4: Orientasi ketertiban masyarakat.
Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya
untuk menjaga tertib legal. Orientasi seseorang adalah otoritas,
peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku
yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum,
menghormati otoritas, dan menjaga tertib sosial merupakan
tindakan moral yang baik pada dirinya.
c. Tingkat pasca-konvensional atau tingkat otonom
70
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagai subjek hukum
dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar
bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan
kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan
martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan
yang muncul pada tahap ini adalah rasa bersalah dan menjadi
ukuran keputusan moral adalah hati nurani. Tingkat ini terdiri dari
dua tahap:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial
Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan
sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan
demikian orang ini menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan
pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yang jelas untuk
mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di
samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional.
Tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi.
Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal
tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat
pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi
hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum
menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.
Tahap 6: Orientasi prinsip etis universal
71
Pada tahap ini orang tidak memandang dirinya sebagai subjek
hukum, tetapi juga pribadi yang harus dihormati. Respect for
person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang benar adalah
tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara
hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak,
misalnya; cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri. Di
dasar lubuk hati terdapa prinsip universal yaitu keadilan,
kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terhadap martabat
manusia sebagai pribadi.
2. Interaksi dalam sosial
Pada umumnya seseorang menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, baik lngkungan fisik, psikis maupun rohaniah.
Menyesuaikan diri berarti mengubah diri sesuai dengan situasi
lingkungan, tetapi juga mengubah diri sesuai dengan keadaan dirinya.
Di dalam situasi sosial di mana terdapat saling hubungan di antara
manusia satu dengan lainnya, terdapat tata hubungan, tingkah laku dan
sikap di antara anggota-anggotanya.
Kelompok sosial yaitu sebagai suatu kesatuan sosial yang terdiri
dari dua atau lebih dari satu, individu yang mengadakan interaksi
sosial cukup intensif dan teratur, di antara mereka sudah terdapat
pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu yang khas bagi
kesatuan sosial tersebut (Asri Budiningsih, 2008 : 57).
72
3. posisi dan peran sosial
Setiap interaksi di dalam kelompok sosial terdapat tata hubungan
tingkah laku dan sikap di antara anggotanya. Sumbangan seorang
anggota bagi kelompoknya adalah apa yang dilakukannya agar terjadi
tata hubungan dan memelihara tata hubungan tersebut. Inilah peran
seseorang dalam kelompoknya. Secara umum, peran penyangkut
hubungan tingkah laku seseorang terhadap tata hubungan, tata
hubungan sosialnya. Peran seseorang menggambarkan konsistensi
tingkah lakunya terhadap tata hubungan yang relatif stabil dengan
orang-orang lain dalam kelompok sosialnya. Untuk memahami tata
hubungan peran dalam kelompok sosial perlu mengetahui bagaimana
pengaruh antara anggota kelompok satu dengan lainnya. Pengaruh
seseorang terhadap orang lain berhubungan dengan posisinya dalam
kelompok.
Langkah-langkah pelaksanaan pendidikan moral yang diajarkan
dengan menggunakan metode diskusi berdasarkan pendekatan, dan
siswa harus memikirkan kembali pertimbangan yang dikemukakan
dan dipertimbangkan yang diajukan oleh teman-temannya. Guru
mengarahkan diskusi agar siswa menemukan pertimbangan moral
yang dianggap baik menurut pemikirannya. Siswa meringkas seluruh
pertimbangan moral yang muncul, kemudian memilih salah satu
73
pertimbangan moral tersebut yang dianggap menarik baginya
(Laurence Kohlberg, 1995 : 118).
Berdasarkan beberapa hal, seperti faktor yang tidak dapat dikontrol
misalnya umur, jenis kelamin. Posisi-posisi lain diperoleh berdasarkan
prestasi atau hasil kerja. Posisi lain diperoleh karena berhubungan
dengan kelompok, atau karena bernasib baik. Masyarakat yang
berbeda-beda akan berbeda juga mendudukan seseorang pada suatu
posisi. Posisi di tempatkan sesuai dengan fungsinya. Posisi hanya
memiliki arti hubungan dengan posisi lainnya, karena dalam setiap
posisi selalu terkandung tata hubungan yang timbal balik (Asri
Budiningsih, 2008 : 61).
Pendekatan perkembangan dalam moral bertujuan cara mengubah
berpikir seorang dalam mendapatkan keputusan perilaku
moralitasnya. Landasan utama pengembangan program kerjanya
adalah meningkatkan perkembangan moral seseorang. Guru
membantu siswa meningkatkan tahap pemikiran moral seseorang
mengarah penalaran yang lebih tinggi. Perkembangan tingkat
pertimbangan moral dipengaruhi oleh:
1. lingkungan sosial
2. perkembangan kognitif
3. empati
4. konflik kognitif
74
Hal tersebut berpengaruh terhadap tumbuhnya perkembangan
tingkat perkembangan moral sebagai hasil proses interaksi antara
struktur kognitif dan lingkungan seseorang (Dr. Sjarkawi, 2006 : 51).
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa posisi moral terbentuk
lebih baik yaitu bersosial. Yang mana penempatan seseorang ke dalam
kelompok masyarakat sehubungan dengan sumbangan yang
ditentukan bagi suatu tata hubungan dengan orang lain yang juga
sudah menempati tempat dalam kelompok masyarakat, untuk
mengetahui posisi seseorang dalam berperilaku baik maupun buruk.
D. Etika dan Pendidikan
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” dalam bentuk tunggal
yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang
kebiasaan, adat akhlak, perasaan, dan cara berfikir. Etika merupakan
dunianya filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan
berkenaan dengan persoalan baik dan buruk. Etika dibedakan dalam tiga
pengertian utama, yakni: ilmu tentang apa yang baik dan kewajiban moral,
kumpulan asas atau nilai yang berkembang dengan akhlak, dan nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
(Safarina, 2015 : 2).
terkait dengan terminologi etika. Terdapat istilah lain yang identik dengan
kata ini, yaitu: “Susila” (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-
dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik. Perlu diperhatikan
bahwa ada tiga kata yang hampir sama yaitu etika, moral dan etika. Secara
75
etimologi, etika dapat disamakan dengan moral. Namun, moral lebih
kepada rasa dan karsa manusia dalam melakukan segala hal dalam
kehidupannya. Jadi moral lebih kepada dorongan untuk mentaati etika.
Etika pada dasarnya mengamati realitas moral secara kritis, dan etika tidak
memberikan ajaran melainkan kebiasaan, nilai, norma dan pandangan-
pandangan moral secara kritis. Jadi singkatnya, bahwa moralitas
menekankan pada cara anda melakukan sesuatu” sedangkan etika lebih
kepada mengapa untuk melakukan sesuatu itu harus menggunakan cara
tersebut (Jurnal Jaffray, Vol. 12, No. 2 2012.
http://www.sttjaffray.ac.id.pdf.).
Sifat dasar etika adalah sifat kritis, dikarenakan etika bertugas:
a. untuk mempermasalahkan norma yang dipandang berlaku.
Diselidiknya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu
membenarkan kenyataan yang dituntut oleh norma itu terhadap
norma yang dapat berlaku.
b. etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya, artinya norma
yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis
dengan sendirinya akan kehilangan hakikatnya.
c. etika juga mempermasalahkan juga hak setiap institusi, seperti
orang tua, sekolah, negara, dan agama, untuk memberikan perintah
atau larangan yang mesti ditaati.
d. etika memberikan bekal kepada manusia untuk mengambil sikap
yang rasional terhadap semua norma.
76
e. etika menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab bagi
seorang ahli dan bagi siapa yang tidak mau dibingungkan oleh
norma yang ada.
Etika sering dinamakan filsafat moral. Etika merupakan cabang
filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia dalam kaitannya dengan
tujuan utama hidupnya. Etika mengkaji baik buruk atau benar tidaknya
tingkah laku dan tindakan manusia, dan sekaligus menyoroti kewajiban-
kewajiban manusia. Etika mempermasalahkan bagaimana manusia
semestinya berbuat dan bertindak. Tindakan manusia itu sendiri ditentukan
beragam norma. Etika membantu manusia untuk menetukan sikap
terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya mencapai
kesadaran moral yang otonom.
Etika menyelidiki dasar norma moral. Dalam etika biasanya
dibedakan antara etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif
memberi gambaran dari gejala kesadaran moral dari norma dan konsep
etis. Etika normatif tidaklagi berbicara tentang gejala, melainkan tentang
apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan manusia. Dalam etika
normatif, norma dinilai dan setiap manusia ditentukan (Safarina, 2015 : 6).
Penilaian moral bersifat rasional dan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan objektif serta disadari sebagai berlaku umum, bagaimana
dapat diterangkan bahwa kesatuan pendapat sering tidak tercapai ?
Misalnya dalam hal pengguguran isi kandungan, korupsi, pelakuan
terhadap mereka yang kecanduan obat bius, terapi juga dalam kasus-kasus
77
konkret, misalnya apakah orang yang pernah menipu kita, secara moral
wajib kita maafkan dan bahkan diberi kesempatan sekali lagi, sering tidak
disepakati sikap mana yang wajib kita ambil.
Kiranya ada tiga alasan mengapa kesatuan pendapat etika sering
sulit tercapai ?
1. masalah yang kita hadapi, misalnya di bidang kedokteran atau
bisnis, sering sangat kompleks. Mereka yang berselisih faham
sering tidak mempunyai pandangan ilmiah yang berbeda. Jadi
pebedaan penilaian etika timbul karena masalah yang dinilai
dipandang secara berbeda pula.
2. Kita sering tidak mendekati masalah yang kita hadapi secara
rasional dan objektif, melainkan secara emosional atau dari
segi kepentingan pribadi. Kalau kita kena sendiri kita suka
untuk berasionalisasi, jadi kita mencari alasan dan
pertimbangan yang nampaknya sangat etik tetapi sebenarnya
hanya melindungi kepentingan kita pribadi.
3. Terjadi juga bahwa seorang secara terbuka tidak bersedia untuk
bertindak dengan baik, adil dan jujur, jadi orang menolak
bertindak secara etik, orang yang seperti itu selalu mau menang
sendiri dengan cara bagaimanapun.
Dalam etika dikatakan bahwa kesatuan faham etik hanya dapat
tercapai apabila kita bersedia untuk menempati suatu titik pangkal
beretika, dengan titik pangkal yang dimaksud bahwa orang harus dulu
78
bersedia untuk mengambil sikap etik, baru tercapailah kesatuan pendapat
hanya dapat berhasil kalau syarat-syarat tertentu terpenuhi. Semua pihak
harus berada dalam keadaan bebas dalam paksaan maupun tekanan,
mereka bersedia untuk tidak mencari keuntungan dan kepentingan sendiri,
akhirnya setelah itu kita bisa mengetahui sebab-sebab permasalahan yang
memperlambat menuju orang yang ber-etik (Franz Magnis Suseno, 1987 :
76).
Etika merupakan tindakan manusia. Dalam norma yang dinilai
setiap manusia ditentukan tempat tinggal yang biasa menyoroti berbuat
dan bertindak, untuk menetukan sikap terhadap semua norma supaya
mencapai kesadaran akal fikir dalam memposisikan diri.
Pendidikan adalah suatu hal membentuk kepribadian seseorang
melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan
nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik dan jujur, bertanggung
jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, hal ini dapat dikaitkan
dengan takdib, yaitu pengenalan dan afirmasi atau aktualisasi hasil
pengenalan.
Pendidikan karakter karakter dalam sudut pandang Islam. Dalam
Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Dan
pentingnya komparasi antara akal dan wahyu dalam menentukan nilai-
nilai moral terbuka untuk diperbedakan. Bagi kebanyakan muslim segala
79
yang dianggap halal dan haram dalam islam, dipahami sebagai keputusan
allah tentang benar dan baik. Dalam islam terdapat tiga nilai utamanya
yaitu, akhlak, adab, dan keteladanan.
Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari’ah dan
ajaran islam secara umum. Sedangkan adab merujuk kepada sikap yang
dihubungkan dengan tingkah laku yang baik dan keteladanan merujuk
kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang muslim yang baik
mengikuti keteladanan nabi Muhammad Saw. ketiga nilai inilah yang
menjadi pilar pendidikan karakter agama islam.
Di dalam ilmu pendidikan yang dimaksud pendidik ialah semua yang
mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan
kebudayaan. Orang sebagai kelompok pendidik banyak macamnya, tetapi
pada dasarnnya semua orang. Yang dikenal dalam ilmu pendidikan adalah
orang tua murid, guru-guru disekolah, dan tokoh-tokoh atau figur
masyarakat. Dalam prespektif Islam, orang tua (ayah dan ibu) adalah
pendidik yang paling bertanggung jawab (Tafsir, 2010 : 171).
Suatu kompenen pendidikan Islam adalah kurikulum. Ia mengandung
materi yang diajarkan secara sistematis dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Bahan-bahan yang disajikan dalam proses pendidikan dalam
sistem pendidikan. Kurikulum merupakan bahan-bahan pendidikan atau
ilmu pengetahuan, yang diproses dalam sitem pendidikan Islam, ia juga
menjadi salah satu bahan masukan yang mengandung fungsi sebagai alat
pencapai tujuan pendidikan.
80
Kompenen penting dalam pendidikan islam yang sekaligus merupakan
ruang lingkup pendidikan islam adalah metode. Dalam pandangan
filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan, jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk
menyampaikan bahan atau materi pendidikan islam kepada anak didik
agar terwujud kepribadian muslim (Ubhiyati, 2005 : 133).
Suatu pendidikan salah satu hal penting untuk mempengaruhi
perkembangan seseorang yang dapat ditempuh melalui ajaran dan ajakan,
yang menggunakan metode pendekatan diri untuk merangkul dan
mendororng menuju ilmu pengetahuan.
E. Agama Islam
Agama Islam adalah komponen paling penting hubungan antara
manusia dan agama Islam adalah pengawan manusia. Tujuan agama
adalah melindungi, menjaga serta merawat agama, kehidupan, akal budi
dan akal pikir, anak cucu serta sifat juga merawat persamaan serta
kebebasan. Melindungi, menjaga dan merawat lingkungan adalah tujuan
utama dari hubungan dimaksud. Jika situasi lingkungan semakin terus
memburuk maka pada akhirnya kehidupan tidak akan ada lagi tentu saja
agama pun tidak akan ada lagi (Alief Theria Wasim, 2005 : 78).
Agama bila ditinjau secara deskriptif sebagaimana keyakinan
manusia terhadap kekuatan emosianal dan mendapat ketergantungan hidup
yang di deskripsikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian.
81
Agama Islam adalah agama terakhir, agama keseimbangan dunia
akhirat, agama yang tidak mempertentangkan iman dan ilmu, bahkan
menurut sunnah Rosulullah, agama yang mewajibkan manusia baik pria
maupun wanita. Allah SWT telah mewahyukan agama ini dalam dalam
nilai kesempurnaan yang tinggi, kesempurnaan yang mana meliputi segi-
segi fundamental tentang duniawi dan ukhrowi guna menghantarkan
manusia kepada kebahagiaan lahir batin dan dunia akhirat (Nasrudin
Razaq, 1987 : 7).
Islam diturunkan ke bumi oleh dzat Allah SWT dzat yang maha
adil melalui para rasul-nya, risalah Islam datang sebagai akumulasi dari
ajaran-ajaran yang telah ada yang disampaikan oleh para rasul sebelum
Muhammad saw. salah satu ajaran yang fundamental dalam Islam adalah
prinsip keadilan. Prinsip keadilan dinyatakan secara tegas dalam banyak
ayat Al-Qur’an, seperti prinsip keadilan dalam kehidupan keluarga berupa
perintah menegakkan keadilan, kebaikan, berbuat baik kepada keluarga.
Islam adalah agama Allah SWT yang turunkan kepada nabi
Muhammad saw supaya beliau dapat menyerukan kepada seluruh manusia
agar manusia dapat mempercayai wahyu itu dan mengamalkan segala
ajaran dan peraturan-peraturannya. Inti dari ajaran agama Islam sendiri
adalah keyakinan terhadap adanya dzat yang maha segalanya.
Agama memiliki peraturan yang mutlak berlaku dengan segenap
manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh
sang pencipta dalam semesta sehingga peraturan yang dibuat betul-betul
82
adil, secara terperinci, agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari
aspek keagamaan, kejiwaan, kemasyarakatan, hakekat kemanusiaan, asal
usulnya, moral. Aspek agama menyadarkan manusia, siapa penciptanya
yang menjadikan faktor keimanan (M. Amin Syukur, 2000 : 25).
Agama Islam di sini menjadi hal penting dalam dunia pendidikan
Islam. Sebagaimana agama Islam keseimbangan dalam pengetahuan dunia
dan akhirat. Agama Islam memiliki kesempurnaan, yang mana agama
Islam adalah agama penyempurna bagi agama-agama sebelumnya dan
menyaring segala hal kekurangan dari agama sebelumnya.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dari buku NUANSA
FIQH SOSIAL dari pengarang KH. MA. Sahal Mahfudh, berdasarkan
keseluruhan pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembentukan konsep moral dan etika menurut KH. MA. Sahal
Mahfudh.
a. Proses pembentukan moral dan etika
manusia pada dasarnya adalah makhluk terbaik dari sekian
makhluk yang diciptakan oleh Allah. Manusia oleh Allah diberi
kehormatan atau karamah, bahkan lebih dari itu ia diangkat sebagai
“khalifah Allah” di atas bumi ini. Kemuliaan manusia ditandai
dengan pemberiannya yang sangat bermakna tinggi, sehingga
menjadikan manusia dapat menguasai alam ini. Pemberian itu berupa
“akal dan pikiran” yang mampu mengangkat harkat dan derajat
manusia. Dengan akal pikiran, manusia dapat menerima, mencari, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelebihan
manusia, disamping akal pikirannya, juga karena nafsu dan perasaan.
84
Manusia dengan nafsunya mempunyai semangat, etos, dan sikap
emosional lain yang positif. Manusia dengan intuisinya mempunya
daya estetik dan etik yang juga mampu mengangkat harkat dan
derajatnya.
Biasanya ukuran-ukuran itu dipengaruhi oleh budaya,
lingkungan, dan ajaran agama sehingga terjadi perbedaan penilaian
antara satu daerah dengan daerah lain. Suatau perbuatan dinilai baik di
satu derah, belum pasti dinilai sama di daerah lain. Hal ini akan
bergantung pada kesepakatan sosial yang terjadi, baik atas pengaruh
budaya, lingkungan, maupun ajaran agama dan kepercayaan di
masyarakat. Oleh karenanya, ukuran-ukuran itu sering bergeser akibat
perubahan sosial yang terjadi.
b. Konsep moral dan etika
Islam telah meletakkan dasar-dasar untuk mentukan tingkah laku
yang baik dan buruk. Ia tidak mendasarkan konsep al-ma‟ruf (yang
baik) dan al-munkar (yang buruk) semata-mata pada rasio,nafsu,
instuisi. Dan pengalaman-pengalaman yang muncul lewat pada panca
indra yang mengalami perubahan. Tetapi ia telah memberikan sumber
yang tetap, yang menentukan tingkah laku moral yang tetap dan
universal, yaitu Al-Qur’an dan sunnah, dasa-dasar itu menyangkut
kehidupan komunitas bangsa.
85
Dalam konteks sosial, Islam memberi dasar pada manusia.
Manusia dengan kekuatan imannya akan mengembangkan sikap
saling menghargai hak-hak pribadi satu sama lain, terhadap peraturan-
peraturan dan suatau pembatasan yang berlaku pada dirinya. Setiap
individu memandang dirinya bertanggung jawab dan memiliki
kewajiban kepada masyarakatnya.
Ia di atas landasan nilai spiritual, mengembangkan sikap saling
mempercayai satu sama lain. Dalam hal ini merumuskan baku tentang
moral dan etika pembangunan yang didukung oleh nilai-nilai agama,
pertimbangan efektivitas dan efisiensi dengan penerapan teknik dan
teknologi dalam pelaksanaan pembangunan atau pembentukan,
merupakan rangsangan yang kuat bagi tumbuhnya kesadaran
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perumusan itu diharapkan
menjadi acuan bagi masyarakat dalam berperilaku pembangunan dan
pembentukan yang etis, tidak menumbuhkan kecemburuan
kesenjangan dan tidak kepedulian sosial.
86
B. Saran
1. Guru
Untuk menanamkan etika dan moral bagi pendidik ke peserta
didik bangunlah diri sendiri terlebih dahulu, bagaimana beretika yang
baik dalam bersosial. Dengan berjalannya waktu secara tidak langsung
pendidik mencotohkan sikap etika yang baik dengan menempatkan
siapa dan dengan siapa ia beretika, mengetahui posisi dan tempatnya.
2. Orang tua
Dalam peran orang tua kepada anak, harus pandai-pandai dalam
pengawasan sang anak dalam pergaulan dalam sosialnya sehari-hari.
Orang tua adalah pendidik etika yang paling utama dalam pengarahan
suatu hal yang baik dan memberikan contoh yang baik pula terhadap
anak, supaya anak bisa bercermin terhadap orang tuanya.
Penelitian ini mungkin kurang kesempurnaan dan perlu
ditindaklanjuti oleh para ahli, dalam menggali dan mengembangkan
pemikiran para tokoh islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihin. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2007. Antara Konsep dan Implimentasi. Surabaya:
Khalista
Azis Wahap dan Kosasih Jahiri, 1996. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Jakarta:
Jl. Pintu Satu Senayan.
Barnadib, Sutari Imamam. 1994. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode.
Yogyakarta: Andi offset.
Budiningsih, Asri. 2008. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
Cremers, A. 1995. Taha-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Darmadi, Hamid. 2009. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfa Beta.
Daroeso, B. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang:
Aneka Ilmu.
E. Mulyasa. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Idris, Z. 1982. Dasar-dasar Kependidikan. Padang: Angkasa Raya.
Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak Bangsa di
Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Kohlberg, lawrence. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta:
Kanisius.
Lickona, Thomas. 2012. Pendidikan Karakter . Bantul:Kreasi Wacana.
Lickona, Thomas. 2012. Pendidikan Karakter. Bantul: Kreasi Wacana.
Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKIS.
Maidiantius Tanyid, Etika dalam Pendidikan: Kajian Etis Tentang Krisis Moral
Berdampak pada Pendidikan, Jurnal Jaffray, Vol. 12, No. 2 2012.
http://www.sttjaffray.ac.id.pdf.
Majid, Abdul. 2011. Pendidikan karakter perspektif islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mu’in, F. 2011. Pendidikan Karakter Kontruksi Teoretik dan Praktik. Jogjakarta:
Ar-ruzz Media.
Mujib, A. & Mudzakkir, J. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pedagogia.
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawwuf. Jakarta: Grafindo.
Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kencana.
Nata, Abuddin. 2014. Akhlak Tasawuf dan Karakkter Mulia. Jakarta: Rajawali
Pers.
Ramaliyus. 2010 .Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Safarina. 2015. Etika Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Samani, Muchlas. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
Suryabrata, Sumardi. 2013. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.
Suseno, Franz magniz. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Suwito. 2004. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawaih. Yogyakarta: Remaja
Rosdakarya
Suwito. 2004. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih. Yogyakarta: PT
Remaja Rosda Karya.
RIWAYAT HIDUP
Lutfi Khakim. Lahir di Dusun Glinggang Desa
Jatiharjo Kecamatan Pulokulon Kota Purwodadi
Kabupaten Grobogan pada tanggal 03 Maret 1997.
Anak kedua dari dua bersaudara dan dari pasangan
Bp. Muhammad Saifudfudin dan Ibu Siti
munawaroh. Di sini peneliti menyelesaikan
pendidikan taman kana-kanak di Miftahul Ulum 1
Pojok pada tanggal 28 Juni 2003. Pada itu juga
peniliti melanjutkan pendidikan di SD Miftahul Ulum 1 Pojok dan tamat pada 20
Juni 2009. Kemudian melanjutkan pendidikan Mts Tajul Ulum Brabo dan tamat
pada 02 Juni 2012. Dan selanjutnya peneliti menruskan pendidikannya di MA
Tajul Ulum Brabo dan tamat pada 15 Mei 2015. Pada tahun 2015 peneliti
melanjutkan pendidikan dijenjang perguruan tinggi IAIN Salatiga Prodo PAI atau
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama
Islam Negri Salatiga. Peneliti menyelesaikan kuliah S1 Pada tahun 2019.
top related