pembaruan pendidikan islam kh. a. wahid...
Post on 06-Feb-2018
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM
KH. A. WAHID HASYIM (Menteri Agama RI 1949-1952)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Oleh
MULYANTI
NIM: 106011000116
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM
KH. A. WAHID HASYIM
(Menteri Agama RI 1949-1952)
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Oleh:
Mulyanti
NIM: 106011000116
Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag
NIP: 19580707 1987031005
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-078
UIN JAKARTA FORM (FR) Tgl. Terbit : 08 Juli 2010
FITK No. Revisi: : 002 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Mulyanti
Tempat/ Tgl. Lahir : Jakarta, 25 Mei 1989
NIM : 106011000116
Jurusan/ Prodi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : “Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid
Hasyim (Menteri Agama RI 1949-1952)”
Dosen Pembimbing : Dr. H. Abd. Madjid Khon, M. Ag
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, 03 Maret 2011
Mahasiswa Ybs.
Materai 6000
Mulyanti
NIM 106011000116
ii
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid Hasyim
(Menteri Agama RI 1949-1952)”, ditulis oleh Mulyanti (1060110000116) di bawah
bimbingan Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag. Skripsi ini mendeksripsikan mengenai
Pembaruan yang dilakukan KH. A. Wahid Hasyim dalam rangka memajukan
pendidikan Islam di Indonesia ketika menjabat sebagai Menteri Agama RI.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriftif dan
pendekatan historis, melalui kajian pustaka (kualitatif) yakni mencari data dari
berbagai buku-buku referensi dan wawancara.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui, mengidentifikasi dan
mengungkap usaha-usaha pembaruan yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim
dalam pendidikan Islam pada masanya.
Hasil penelitian yang ditemukan terdapat banyak pembaruan yang dilakukan
KH. A. Wahid Hasyim dalam memajukan pendidikan agama Islam yang sampai
sekarang kita rasakan, seperti masuknya pelajaran agama di sekolah-sekolah umum,
masuknya pelajaran umum di Madrasah, mendirikan lembaga pendidikan keguruan;
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan terlebih lagi terciptanya Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian sekarang menjadi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) dan kemudian sebagian berubah menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) yang banyak memberikan manfaat terhadap pembaruan pendidikan
Islam di Nusantara.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya.
Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini,
baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan
dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Disamping itu, izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Bapak Prof. Dr. H. Dede
Rosyada, M.A, serta para pembantu dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Bahrissalim, M.Ag, dan
Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Sapiudin Shidiq, M.Ag,
beserta seluruh staffnya.
3. Bapak Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag, yang telah meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu
dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan
dapat bermanfaat dikemudian hari.
5. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis haturkan
dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua penulis yang
tercinta, Ayahanda H. Mursan Ubab dan Ibunda Hj. Ani Hasan serta kakak
dan adik penulis yang dengan segala pengorbanannya tak akan pernah penulis
lupakan atas jasa-jasa mereka. Doa restu, nasihat dan petunjuk dari mereka
iv
kiranya merupakan dorongan moril yang paling efektif bagi kelanjutan studi
penulis hingga saat ini.
6. Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim, terkhusus Bapak KH. Salahuddin
Wahid (Gus Sholah) yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk
mendapatkan informasi mengenai biografi dan pemikiran dari KH. A. Wahid
Hasyim yang mendukung penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan
kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian
skripsi ini.
8. Kawan-kawanku Mahasiswa UIN khususnya kawan-kawan seperjuangan
Jurusan Pendidikan Agama Islam 2006 Kelas C dan peminatan Sejarah, Jaka
Lelana, Ephee, Fuzie, Hasmidar, Yunie, Lesti, Ida Afandi, beserta kawan-
kawan jejaring sosial (Facebook, Twitter, Yahoo), yang selalu memberikan
support kepada penulis.
9. Seseorang terdekat dan terkasih, suami dari penulis: Muhammad Arif, yang
selalu mendukung penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala
dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal a’lamin.
Jakarta, 03 Maret 2011
Mulyanti
v
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Permasalahan ................................................................................... 6
1. Identifikasi Masalah ................................................................. 6
2. Pembatasan Masalah ................................................................ 6
3. Perumusan masalah .................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat ......................................................................... 7
D. Metodologi Penelitian ...................................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pembaruan
1. Pengertian Pembaruan ............................................................ 10
2. Pengertian Kaum Pembaru ..................................................... 13
3. Peran Kaum Pembaru ............................................................. 17
4. Gagasan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
Abad 20 .................................................................................. 19
5. Faktor-faktor Pendukung Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia Abad 20 .................................................................. 24
B. Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam .................................................. 25
2. Tujuan pendidikan Islam ........................................................ 27
3. Fungsi Pendidikan Islam ........................................................ 32
vi
BAB III BIOGRAFI KH. A. WAHID HASYIM
A. Latar Belakang Keluarga ............................................................... 35
B. Pendidikan Wahid Hasyim ............................................................ 37
C. Ciri Fisik dan Kepribadian Wahid Hasyim .................................... 40
D. Aktivitas Sosial dan Politik Wahid Hasyim .................................. 43
E. Pemikiran KH. A. Wahid Hasyim.................................................. 47
1. Bidang Agama ......................................................................... 47
2. Bidang Sosial ........................................................................... 49
3. Bidang Pendidikan................................................................... 51
4. Bidang Politik .......................................................................... 58
BAB IV PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A. WAHID HASYIM
A. Pembaruan Pendidikan Islam
1. Mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri ............... 62
2. Memasukkan Pendidikan Agama di Sekolah Umum .............. 73
3. Pendidikan Guru Agama ......................................................... 78
B. Respon Terhadap Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid
Hasyim ........................................................................................... 83
1. Pemikiran Pendidikan Islam .................................................... 83
2. Respon Masyarakat ................................................................. 91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 93
B. Saran ............................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 96
LAMPIRAN
vii
Daftar Tabel
Tabel 1 Jumlah IAIN se-Indonesia .......................................................................................... 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan
hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan
konsep-konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan
modern. Dalam lingkup pemikiran pendidikan Islam, kita temukan tokoh-
tokoh besar dengan ide-idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi
dan kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia.
Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah
posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan
kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan
oleh mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu
adalah lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang maju dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu
pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau
melalui jalur dakwah mereka.
Umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia merupakan hal penting
dalam pembangunan Indonesia. Peningkatan taraf hidup umat Islam
merupakan upaya meningkatan sebagian besar taraf hidup bangsa Indonesia.
Dengan demikian, potensi umat Islam dalam mendukung pembangunan
2
bangsa Indonesia sangat besar sekali. Begitu pula dengan dunia pendidikan
dan pengetahuan, pendidikan Islam merupakan sumber dasar yang tidak kecil
artinya bagi pendidikan Nasional. Itu berarti bahwa pendidikan Islam di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pendidikan Nasional.1
Demikian dalam kaitan pembangunan bangsa, pendidikan agama pada
hakikatnya merupakan bangunan dasar dari moral bangsa. Ketentraman hidup
sehari-hari di dalam masyarakat tidak hanya semata-mata ditentukan oleh
ketentuan hukum semata, tetapi juga dan terutama didasarkan atas ikatan
moral nilai-nilai kesusilaan serta sopan santun yang didukung dan dihayati
bersama oleh seluruh masyarakat.
Peranan agama menjadi demikian penting bagi tata kehidupan pribadi
maupun masyarakat (kelompok), maka dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya haruslah bertumpu di atas landasan keagamaan yang
kokoh. Jalan untuk mewujudkannya tidak bisa dengan jalan lain kecuali
hanyalah dengan menempatkan pendidikan agama sebagai faktor dasar yang
paling penting.2
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan telah
membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Agar
mampu berperan di masa yang akan datang maka diperlukannya peningkatan
kualitas sumber daya manusianya.
Dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan
memegang peran yang sangat penting. Salah satu peran penting pendidikan
adalah menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan
perubahan zaman agar tidak terjadi kesenjangan antara realitas dan idealitas.
Berkenaan dengan hal tersebut umat Islam telah mengenal berbagai jenis
macam ilmu pengetahuan baik itu ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu
umum. Dan Islam pada hakikatnya tidak mengenal diskriminasi atau sikap
membeda-bedakan di dalam segala hal juga dalam lapangan ilmu
pengetahuan.
1 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 183
2 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan
Aksi), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 102
3
Pada masa kolonial sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam
dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar. Bahkan,
pemerintah kolonial telah melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi
bahkan mematikan sekolah-sekolah partikelir dengan mengeluarkan peraturan
yang terkenal wilde schoolen ordonantie pada tahun 1933. Berbeda ketika
masa penjajahan Jepang. Dunia pendidikan secara umum (tidak hanya
pendidikan Islam) terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya
diperintahkan gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti paksa (romusha),
bernyanyi dan lain sebagainya. Hal ini diperuntukkan agar kekuatan umat
Islam dan Nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur
Raya yang dipimpin oleh Jepang. Namun yang masih agak beruntung adalah
madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang
bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan pondok
pesantren masih dapat berjalan agak wajar.3
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah dan pondok pesantren
sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh
dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh
rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi
penerus. Oleh karena itu, madrasah dan pondok pesantren pada waktu itu
lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.4 Dengan melihat sikap
bangsa Indonesia tersebut, menjadikan bangsa ini memiliki rendahnya
kualitas sumber daya manusia di kalangan umat Islam di masa itu.
Bangsa Indonesia di masa awal kemerdekaan kerap kali masih
mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anak mereka harus ditujukan pada
maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”. Akibatnya,
kurangnya kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk ikut
berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern. Dan harus
dipahami bahwa Indonesia yang pada saat itu sedang membangun
3 Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidkan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet.IX, h.
152 4 Djamaliddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, Februari, 1998), h. 23.
4
membutuhkan tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu pengetahuan
umum lainnya. Juga sebaliknya, pembangunan yang sedang berlangsung juga
membutuhkan agama agar terhindar dari dekadensi moral.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah ada di masa sebelumnya
sampai pada saat itu di biarkan hidup meskipun dalam keadaan yang sangat
sederhana dan hidup apa adanya. Kalaupun pada masa itu ada perhatian,
hanyalah sebatas dorongan moral seperti pada:
a. Maklumat BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) 22
Desember 1945 No. 15 Berita RI tahun No. 4 dan No. 5 halaman 20
kolom 1 (agar pendidikan di langgar-langgar dan madrasah berjalan terus
dan diperpesat).
b. Keputusan BPKNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat
perhatian dan bantIan dari pemerintah).
c. Laporan Panitia Penyelidik Pengajaran RI tanggal 2 Mei 1946
(Pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah dipandang
perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi bantuan berupa
biaya sesuai dengan keputusan BPKNIP.5
Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada baru hanya sebatas
madrasah dan pondok pesantren. Umat Islam belum memiliki sekolah yang
mengajarkan dan memelihara pendidikan agama Islam dengan dasar
pengetahuan setingkat universitas yang nantinya akan melahirkan sarjana
yang menguasai dua lapangan ilmu sekaligus yaitu ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum. Sementara, kelompok minoritas (non-muslim) sudah
mempunyainya, dalam bentuk sekolah-sekolah tinggi pada masa itu.6
Selanjutnya pendidikan Islam mengalami modernisasi lanjutan dimana
sebelumnya sudah banyak madarasah dan pondok pesantren di Indonesia
yang didirikan para tokoh pembaru pendidikan Islam sebelum kemerdekaan
untuk selanjutnya dihadirkannya setelah lima bulan Indonesia merdeka
tepatnya pada tanggal 3 Januari 1946 dengan berdirinya Departemen Agama.
Walau pada masa itu dipandang motivasi pendiriannya bernuansa politis, tapi
lembaga ini menjadi salah satu pelaku pembaruan pendidikan Islam yang
5 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah…, h. 22.
6 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU? Konsepsi
tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), h. 90.
5
paling penting. Karena salah satu bidang garapan Departemen Agama adalah
bidang pendidikan Islam.
Pembinaan pendidikan Agama tersebut yang secara formal institusional
di percayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayan oleh karena itu dikeluarkanlah berbagai peraturan
bersama berupa kebijakan antar kedua departemen tersebut untuk mengelola
pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.7
Selanjutnya, peranan Departemen Agama menjadi sangat penting dalam
melakukan pembaruan di bidang pendidikan Islam berkaitan dengan
kekurangan-kekurangan di masa itu karena pembangunan bangsa, pendidikan
agama pada hakikatnya merupakan bangunan dasar dari moral bangsa. Untuk
kemudian muncul berbagai kebijakan-kebijakan baru sebagai pembaruan dari
pendidikan Agama Islam yang dilakukan oleh Departemen Agama.
Kemudian hadir KH. A. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama RI yang
menjabat pada tahun 1949-1952 untuk melakukan pembaruan di bidang
pendidikan agama Islam sebagai salah satu bidang garapan Departemen
Agama.
Semenjak KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama,
pendirian madrasah di pesantren-pesantren (sebagai simbol dari pendidikan
Islam) semakin menemukan momentumnya.8
Kemudian atas dasar kesimpatikan penulis terhadap KH. A. Wahid
Hasyim dan rasa ingin tahu yang mendalam tentang pembaruan yang
dilakukannya dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia maka penulis
bermaksud untuk menulisnya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A.WAHID HASYIM (Menteri
Agama RI 1949-1952).
7 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Maret, 1999), h.76-77. 8 Hanun, Sejarah…, h. 189
6
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
diidentifikasi masalah diantaranya yaitu:
a. Pendidikan agama sebagai faktor dasar yang paling penting dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
b. Banyaknya kebijakan-kebijakan dari kolonial Belanda dan Jepang yang
pada saat itu yang sangat merugikan pendidikan Islam.
c. Pendidikan Islam pada masa awal kemerdekaan (Orde Lama) kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Padahal madrasah dan pondok
pesantren sebagai cermin dari pendidikan Islam sudah banyak terdapat di
Indonesia.
d. Pendidikan Islam di masa itu diyakini hanya mampu melahirkan generasi
yang hanya mampu di bidang agama saja dan tidak mampu melahirkan
generasi yang mampu di bidang agama dan umum.
e. Pentingnya peran Departemen Agama pada masa itu secara maksimal
dalam membangun kembali pendidikan Islam menjadi lebih baik lagi.
2. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas maka penulis merasa perlu membatasi
pembahasan pada tiga permasalahan yaitu:
Pembaruan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah upaya untuk
melakukan perubahan dengan pembaruan dalam pendidikan Islam ke arah
yang lebih berkualitas sesuai dengan tuntunan zaman dengan tetap
berpedoman pada asas-asas keislaman.
Pendidikan Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pendidikan
Islam yang ditangani oleh Departemen Agama meliputi berdirinya Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Kurikulum/Pengajaran Agama di
sekolah-sekolah umum, dan Pendidikan Guru Agama (PGA).
Pembaruan Pendidikan Islam yang dilakukan KH. A. Wahid Hasyim
selama menjabat Menteri Agama RI Tahun 1949-1952.
7
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut : Bagaimana pembaruan pendidikan Islam KH. A.
Wahid Hasyim dalam pendidikan Islam di Indonesia ketika menjabat sebagai
Menteri Agama 1949-1952?
C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menngungkap usaha-
usaha pembaruan yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim dalam
pendidikan Islam di Indonesia pada masanya.
Manfaat yang diambil dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambahkan pembendaharaan
kepustakaan bagi UIN Jakarta, khususnya mengenai kontribusi KH. A.
Wahid Hasyim dalam pembaruan pendidikan Islam.
2. Secara pragmatis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber bagi generasi
muda Indonesia dalam melanjutkan cita-cita KH. A. Wahid Hasyim.
3. Menumbuhkan semangat berusaha untuk lebih memajukan pendidikan
Islam.
D. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deksriptif
yaitu penenlitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan
sejelas mungkin tanpa ada perlakuan dari obyek yang diteliti.9 Dan untuk
mengkaji riwayat hidup atau biografi Wahid Hasyim serta aktifitas-
aktifitasnya yang berkaitan dengan pendidikan, peneliti menggunakan
pendekatan historis.10
9 Kountur Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM,
2003), h.105 10
M. Subana dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Pustaka Setia,
2005), cet. 2, h. 88
8
Dengan metode di atas penulis akan menggambarkan mengenai gagasan
pemikiran KH. A.Wahid Hasyim dalam pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia.
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data akurat dalam penulisan ini, penulis
menggunakan beberapa teknik pengumpulan data:
a. Studi Dokumentasi
Menginventaris hasil pemikiran KH. A.Wahid Hasyim yang tertuang
dalam karya pemikirannya maupun dalam literatur lain yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
b. Wawancara
Yaitu melakukan dialog atau tanya jawab secara lisan dengan dua
orang atau lebih dengan bertatapan muka secara langsung informasi-
informasi atau keterangan.11
Hal ini dilakukan untuk memperoleh
informasi objektif dari yang diwawancarai. Wawancara dilakukan
kepada bagian dari keluarga KH. A. Wahid Hasyim yaitu Salahuddin
Wahid (anak ketiga dari Wahid Hasyim).
2. Teknik Pengolahan Data
Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya dilakukan
pengolahan data, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk
menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Langkah-langkah pengolahan
data melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data
Data yang terkumpul diperiksa kembali apakah masih terdapat
kekurangan atau ada yang tidak cocok dengan masalah penelitian.
b. Klasifikasi Data
Klasifikasi data dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai
dengan pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisa.
11
S. Nasution, Metode Research, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), Cet. Ke-8, h. 113
9
c. Penyusunan Data
Penyusunan data dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan
data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan
permasalahan.
3. Teknik Analisa Data
Teknik analisisnya menggunakan Content Analisys yaitu menarik
kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan
secara objektif dan sistematis.
Seluruh data akan dibahas dan dianalisis secara analisa kualitatif dengan
melalui proses:
a. Reduksi Data
Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan
terperinci. Laporan yang disusun kemudian direduksi, dirangkum, dipilih hal-
hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting dan dicarikan temanya.
b. Display Data
Data yang telah diperoleh diklasifikasikan menurut pokok permasalahan
dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk
melihat hubungan suatu data dengan data yang lainnya.
c. Mengambil Kesimpulan/Verifikasi
Peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses
melalui reduksi dan display data. 12
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
merujuk pada “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”.
Sedangkan kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an dan terjemahnya, berasal dari
terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2010.
12
S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 1988),
h. 129-130
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pembaruan
1. Pengertian Pembaruan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembaruan berasal dari kata
“Baru” yang artinya proses, cara, perbuatan membarui, dan proses
mengembangkan kebudayaan terutama di lapangan teknologi dan ekonomi.1
Sedangkan kata modern diartikan sebagai terbaru, mutakhir, sikap dan cara
berpikir serta cara bertidak sesuai dengan tuntutan zaman.2
Dalam bahasa Arab, yang memiliki kesepadanan makna dengan kata
pembaruan adalah tajdîd ( ديدجت ), maknanya antara lain: renewal, innovation,
reorganization, reform, dan modernization.3 Kata tersebut berasal dari kata
kerja ( اديدجت دجي د - د دج - )4 yang berarti to renew, to modernize
5, yaitu
memperbarui atau memodernkan. Tajdîd bisa juga diartikan sebagai islah
(memperbaiki) dan reformasi (menyusun kembali) sehingga gerakan
pembaruan disebut pula gerakan tajdîd, gerakan islah, maupun gerakan
reformasi.
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 109 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, h.751
3 J. Milten Cowan (ed.) Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New
York: t.t, 1971), h.114 4 Ibrahim Anis, al-Mu‟jam al-Wasit, Juz I, (Kairo: t.t, 1972), h. 109
5 Noah Webster, Webster‟s New Twentieth Century Dictionary of English Language,
(The United States of America: William Collin Publisher, INC, 1980), h. 186
11
Istilah pembaruan atau tajdîd dalam sebuah hadis:
ا سليواى اتي داود الوهزي اخثزا اتي وهة اخثزي سعيد اتي ايىب عي شزاحيل حدث
اتي يزيد هعافزي عي اتي علقوح عي اتى هزيزج فيوا اعلن عي رسىل اهلل ص.م قال:اى
األ 6هاعلى رأس كل ها ئح سح هي يجدد لها دي وحاهلل يثعث لهذ
“Telah menceritakan kepada kami Sulaimân ibn Dâwud al-Mahriyyu
telah mengabarkan kepada kami ibn Wahb telah mengabarkan kepadaku
Sa‟îd ibn Abî Ayyûb dari Syarâhîl ibn Yazîd al-Mu‟âfiriyi dari „Alqamah
dari Abî Hurairah, sejauh yang aku tahu, dari Rasulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya Allah akan membengkitkan untuk umat ini pada
setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbarui agamanya.”
(hadis riwayat Abû Dâwud).
Sedangkan menurut Harun Nasution, pembaruan atau modernisasi dalam
masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
mengubah paham-paham, adat istiadat, isntitusi-institusi lama dan
sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh
perubahan dan keadaan, terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.7
Selanjutnya kata modern erat kaitannya dengan kata modernisasi yang
berarti pembaruan atau tajdîd dalam bahasa Arabnya (jadi lebih pada
prosesnya). Menurut Harun Nasution, modernisme dalam Islam lebih
digunakan kata pembaruan dalam arti memperbarui hal-hal lama yang
dianggap menyeleweng dari yang sebenarnya. Hal ini disebabkan istilah
modernism sendiri dianggap mengandung arti negatif disamping arti
positifnya. Yang dimaksud Harun Nasution dalam arti negatif di sini ialah
kecenderungan adanya konotasi Barat yang ada pada kata itu, karena dapat
6 Abû Dâwud Sulaimân ibn al-Asy‟ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud, hadis no. 4291,
(Beirut: Dâr ibn Hazm, 1988), h. 647 7 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), Cet. Ke-10, h.11
12
muncul kesan bahwa gerakan modernisme diilhami dari modernism yang
tumbuh di Barat.8
Sedangkan, menurut Arkoun, istilah modernitas berasal dari bahasa latin,
yaitu “modernus”. Kata ini pertama kali dipakai di dunia Kristen pada masa
antara tahun 490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi
lama ke periode Masehi. Modernitas masa klasik Eropa sendiri telah berjalan
abad ke-16 hingga tahun 1950-an. Begitupun menurut ahli sejarah kenamaan,
Arnold Toynbee, mengatakan bahwa modernitas telah mulai menjelang akhir
abad ke-15 Masehi.9
Bila dilihat dari beberapa pendapat di atas, memang pembaruan identik
dengan modernisasi dan reformasi. Dari semua itu, tergantung muatan yang
diberikan masing-masing pakar. Namun yang terpenting kandungan yang
tersirat dari simbol tersebut, selalu mengandung aplikasi ke arah perbaikan.
M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa di dalam pembaruan terdapat
syarat pokok tertentu. Permbaruan dapat terlaksana akibat pemahaman dan
penghayatan nilai-nilai al-Qur‟an, serta kemampuan memanfaatkan dan
menyesuaikan diri dengan hukum-hukum sejarah (lihat: Q.S. 33:62 ; 35:43).
Dari ayat-ayat al-Qur‟an tersebut dipahami bahwa pembaruan baru dapat
terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok: (a) adanya nilai atau ide; dan (b)
adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut.10
Jika dilihat dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa pembaruan adalah suatu proses perubahan ke arah perbaikan dalam
rangka memperbaiki tatanan atau sistem lama yang dianggap tidak relevan
lagi baik berupa fisik maupun mentalitasnya, agar dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman sekarang ini.
Kaitannya dengan pengertian pembaruan pendidikan Islam dalam skripsi
ini berarti upaya untuk melakukan perubahan dengan pembaruan dalam
8 Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), Cet. I, h. 350 9 Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta:
Paramadina, 1998), Cet. I, h. 43 10
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), Cet.II, h. 245-246
13
pendidikan Islam ke arah yang lebih berkualitas sesuai dengan tuntunan
zaman dengan tetap berpedoman pada al-Qur‟an dan Sunnah.
2. Pengertian Kaum Pembaru
Berbicara tentang pembaruan tidak akan terlepas dari orang yang
melakukan pembaruan itu sendiri. Pembaru adalah sebutan bagi orang yang
melakukan pembaruan.
Seorang pembaru, menurut Abdul Hakim bin Amir Abdat, haruslah
seorang yang berilmu dan memahami betul ilmu agama secara zahir maupun
batin. Selain itu, dia juga harus senantiasa menghidupkan dan mengajak umat
kepada al-Quran dan sunnah. Dan dalam amaliyahnya bersih dari syirik dan
bid‟ah.11
Dr. Mochtar Pobotinggi merumuskan bahwa kaum pembaru adalah
anggota masyarakat yang lebih mampu menyatakan perasaan dalam ucapan
yang jelas (bijak).12
Sementara itu, Dr. Taufik Abdullah menyatakan bahwa
kaum pembaru bukanlah kedudukan yang diangkat, dan juga bukan
berdasarkan pilihan orang banyak. Pembaru adalah bagaimana seseorang
yang mau menghubungkan dirinya dengan cita-cita dan nilai. Karenanya
pembaru pemikiran itu dibimbing oleh suatu misi tertentu. Seseorang kaum
modernis dituntut untuk dapat menganalisis permasalahan masyarakat secara
jujur dan objektif, apa adanya tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Penilaian
yang jujur dan objektif itu diharapkan akan lahir analisis-analisis yang
bermanfaat bagi masyarakat.13
Istilah kaum pembaru atau kaum modernis sebagaimana diungkapkan
dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran:
11
Abdul Hakim bin Amir Abdat, al-Masâil; Masalah-masalah Agama, vol.2, (Jakarta:
Darul Qalam, 2001), h. 171 12
Mochtar Pobotinggi, Kaum Intelektual Pemimpin dan Aliran-aliran Idiologi di
Indonesia sebelum Revolusi dalam Peristiwa, (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 40 13
Taufik Abdullah, Misi Intelektual, dalam Panji Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1981), h. 13
14
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (serayal berkata), “Ya Tuhan Kami, tidaklah
Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau. Maka
lindungilah kami dari azab neraka” (Q.S. Ali Imran: 190-191).14
Kata ( ابأللبا ) al-Albâb adalah bentuk jamak dari (لب) lub yaitu “saripati”
sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang
dinamai lub. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni,
yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut idea yang dapat melahirkan
kerancuan dalam berpikir. Orang yang merenungkan tentang fenomena alam
raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan
kekuasaan Allah swt.15
Di dalam al-Qur‟an masih banyak ayat yang
memanggil daya observasi ulil albab, supaya memperhatikan apa yang terjadi
dalam lingkungannya, dari lingkungan yang dekat, sampai pada lingkungan
yang luas di ruang angkasa.
Dan salah satu ayat al-Qur‟an lainnya yang menyangkut pembaruan yang
dilakukan dengan perubahan dan pelakunya adalah yang dirumuskan dalam
firman Allah: … sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum
(masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada
diri mereka (sikap mental mereka)… (Q.S. 13:11).
14
Kementerian Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan
Penyelengara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 2010), h. 96 15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet.I, Jilid 2, h.291
15
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dalam pembaruan
dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah
Allah swt. dan kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya
adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Allah terjadi secara pasti melalui
hukum-hukum masyarakat yang diterapkannya. Hukum-hukum tersebut tidak
memilih atau membedakan antara satu masyarakat atau kelompok lain.16
Menurut Ziadudin Sardar bahwa yang dimaksud dengan kaum pembaru
adalah golongan Muslim berpendidikan yang memiliki kelebihan istimewa
menyangkut nilai-nilai budaya dan karenanya dapat dijadikan pemimpin.
Orang-orang yang berependidikan saja tidak dengan sendirinya dapat disebut
pembaru, sebab mereka sering tidak begitu tahu tentang hal-hal lain di luar
masalah teknik mesin, akuntansi dan obat-obatan. Cara pemikiran yang
menandai pada pembaru itu bukanlah cabang ilmu atau teologi melainkan
ideologi. Suatu ideologi mengungkapkan pandangan dunia serta nilai-nilai
budaya mereka. Pembaru adalah golongan masyarakat pendidikan yang
pegangannya atas ideologi Islam tak diragukan lagi. Individu semacam itu
sulit untuk dicari.17
Ahmad Watik Praktiknya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
pembaru adalah orang-orang yang karena pendidikannya, baik formal
maupun informal, mempunyai perilaku cendekiawan. Kecendekiawanan
tersebut tercemin dan merespons lingkungan hidupnya dengan sifat kritis,
kreatif, objektif, analitis dan bertanggung jawab, karena sikap
kecendekiawanan itu. Ia mempunyai wawasan yang tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu. Belum tentu seorang yang ilmuwan atau akademikus adalah
seorang cendekiawan atau pembaru pemikiran. Selain itu, kategori
cendekiawan atau pembaru dapat pula dimasukkan budayawan, seniman,
ulama atau siapa pun yang mempunyai perilaku cendekiawan di atas.
Cendekiawan Muslim, secara tentatif dan sederhana dapat dilukiskan sebagai
Muslim yang mempunyai kualitas perilaku pembaru pemikiran seperti
16
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur‟an…, h. 246 17
Ziaudin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjelang Informasi, (Bandung:
Mizan, 1996), h. 88
16
tersebut di atas, bermain dan senantiasa Committed pada Dienul Islam sebagai
pandangan hidupnya. Ulil albâb yang diungkapkan oleh al-Qur‟an merupakan
gambaran yang paling tepat untuk melukiskan sifat-sifat cendekiawan
Muslim.18
Berdasarkan ungkapan Praktiknya di atas, setiap orang dapat
dikategorikan sebagai pembaru dengan tidak dibatasi jenjang pendidikan
formal, asal mereka mempunyai pandangan dan wawasan luas, yang
diekspresikan sewaktu melihat, menafsirkan, dan merespons berbagai
masalah kehidupan disekitarnya. Kemampuan tersebut lebih berarti bagi
kehidupan di sekitarnya, apabila mereka memiliki sifat kritis, kreatif, objektif,
analitis dan penuh tanggung jawab atas segala aktifitas yang dilakukan. Sifat-
sifat yang dimiliki tersebut tidak hanya diperuntukkan pada masalah sosial,
melainkan juga pada masalah agama. Mereka mampu menafsirkan ayat-ayat
Allah dengan berusaha mengaplikasikan dalam berbagai sektor kehidupan.
Di samping itu para pembaru harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:19
a. Pikiran yang jernih
b. Wawasan yang luas
c. Sikap yang konsisten
d. Kemampuan menganalisa hal-hal mana yang melampaui batas dan yang
akan mengantarkan kepada tujuan
e. Mampu memelihara keseimbangan
f. Memiliki kekuatan berpikir
g. Berani dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman
h. Memiliki kemampuan memimpin
i. Memiliki kemampuan berijtihad
j. Memiliki kemampuan untuk membagun dan membina masyarakat
k. Dapat membedakan ajaran Islam dan ajaran jahiliyah
l. Seorang Muslim yang rnemiliki keimanam, pandangan, pemahaman, dan
perasaan yang benar tentang Islam.
Selain itu, menurut Imam al-Suyûtî, sebagaimana dikutip oleh Syamsu
al-Haq, bahwa seorang pembaru adalah orang yang hidup di tengah berbagai
18
Amin Rais, Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: CV.Rajawali,
1989), h. 3-4 19
Abul A‟la Maududi, Mujaz Tarikh Tajdid al-Din wa Ihyaihi, terjemahan H.D.
Kahmad dan Afif Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 43
17
golongan. Dirinya dikenal karena ilmu yang dimilikinya, dan senantiasa
menolong sunnah melalui ucapannya.20
Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa yang dimaksudkan dengan
kaum pembaru adalah seorang Muslim yang karena pendidikannya, baik
melalui jalur pendidikan formal maupun non-formal, mempunyai kedalaman
berbagai disiplin keilmuan, keluasan pandangan yang disertai kebijakan dan
keadilan, sehingga bisa bergerak dalam multidimensi aktivitas kehidupan
masyarakat; tidak terbenam dan terbawa arus perubahan, kemajuan dan
perkembangan zaman. Namun, mengarahkan perubahan masyarakat dengan
mengubah pola pikir masyarakat dari tradisi berpikir konvensional yang jauh
tertinggal dari kemajuan zaman dengan pola pikir yang berorientasi kepada
kemajuan mengikuti perkembangan zaman yang berdasarkan nilai-nilai
Islam.
3. Peran Kaum Pembaru
Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar
kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran"
dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu
drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam
bahasa Inggrisnya, memang diambil dari kata dramaturgy atau seni teater.
Dalam seni teater seorang aktor diberi peran yang harus dimainkan sesuai
dengan plot-nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya.
Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti
pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di
masyarakat.21
20
Abî al-Tayyib Muhammad Syamsu al-Haq, „Aunu al-Ma‟bûd Syarhu Sunan Abî
Dâwud, vol. II, (Madinah al-Munawarah: Maktabat al-Salafiyah, 1969), h. 386 21
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, h.854
18
Dalam bahasa Inggris kata “peran” atau “role” di dalam kamus oxford
dictionary diartikan : Actor‟s part; one‟s task or function. Yang berarti aktor;
tugas seseorang atau fungsi.22
Jadi, peran adalah hal-hal yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki
posisi penting dalam masyarakat untuk tercapainya suatu tujuan.
Menurut Imam Bawani dan Isa Anshari ada tiga peran yang bisa
dilakukan oleh pembaru, pertama, melalui “kaderisasi”, kedua, melalui “kerja
kemanusiaan,” dan ketiga, melalui “konsepsi keilmuan”. Ketiga peran
tersebut dilandasi dan dinapasi oleh prinsip-prinsip ajaran Islam. Lebih lanjut
Imam Bawani dan Isa Anshari mengatakan bahwa “peran pertama,
merupakan upaya pembaru pemikiran untuk mencetak kader-kader umat yang
mampu berbuat bagi kepentingan Islam dalam kehidupan di masa mendatang,
dan peran ini berkaitan dengan “pendidikan”. Untuk berhasilnya kaderisasi
tersebut diperlukan penggarapan yang serius, perencanaan yang matang, dan
waktu yang cukup panjang, serta dapat dilakukan melalui wadah lembaga
pendidikan formal maupun nonformal.”23
Peran pembaru pemikiran yang kedua, menurut Imam Bawani dan Isa
Anshari, adalah untuk mendarmabaktikan dirinya dalam proses perjalanan
kehidupan, melibatkan diri secara langsung dalam aktifitas bermasyarakat,
dengan segala kemampuan yang dimiliki. Mereka mencoba mengubah
tatanan dan praktik kehidupan yang tidak mencerminkan kebebasan, keadilan
dan kebenaran, kemudian menggantinya dengan tatanan yang membawa
keharmonisan hidup dalam masyarakat secara sempurna yang bisa dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk merealisasikan peran tersebut,
dibutuhkan kecakapan dan kecekatan bertindak.24
Peran ketiga, dari pembaru menurut Imam Bawani dan Isa Anshari
adalah untuk merubah praktik kehidupan yang tidak benar dan
22
The New Oxford Illustrated Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1982),h.
1466 23
Fuad Anshari, Prinsip-prinsip Dasar Konsep Sosial Islami, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1984), h. 37 24
Fuad, Prinsip-prinsip …, h. 37
19
meluruskannya ke jalan yang benar, mengemukakan gagasan kreatif
mengenai berbagai sektor pembangunan, menemukan dan mengembangkan
konsep ilmiah tentang kebudayaan dan peradaban, sehingga dapat membuka
cakrawala berpikir masyarakat, menyadarkan untuk mengikuti dan
menerapkan dalam kehidupan menuju kemajuan, kesejahteraan dan
kemakmuran bersama yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam.25
Menurut Edward Mortinor peran pembaru direlevankan dengan peran
seorang Muslim semata-mata, yaitu membantu orang yang membutuhkan dan
membangun masyarakat di mana hukum Tuhan diberlakukan.26
Menurut Ali Shariati peranan kaum pembaru adalah membangkitkan dan
membangun masyarakat yang terletak dalam usahanya, dalam kehidupannya
yang selalu dinamik.27
Berdasarkan beberapa pendapat tentang peran kaum pembaru di atas,
Penulis menyimpulkan bahwa tugas pembaru adalah membawa masyarakat
ke arah kemajuan dalam rangka membebaskan dari belenggu kehidupan, dan
mengajak bersama-sama untuk mengangkat dan mempertahankan eksistensi
kemanusiaan, mengubah tatanan kehidupan dan praktik kehidupan yang tidak
benar menjadi benar, mengubah tradisi berpikir konvensional yang jauh
tertinggal dari kemajuan zaman, menjadi pola pikir yang menuju
kesejahteraan, ketentraman dan kemakmuran bersama yang berdasarkan nilai-
nilai Islam.
4. Gagasan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20
Timbulnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia baik dalam bidang
agama, sosial, dan pendidikan di awali dan dilatarbelakangi oleh pembaruan
pemikiran Islam yang timbul di belahan dunia Islam lainnya, terutama oleh
pembaruan pemikiran Islam yang timbul di Mesir, Turki, dan India. Latar
25
Fuad, Prinsip-prinsip …, h. 37 26
Edward Mortinor, Islam and Power, Terj. Islam dan Kekuasaan, Oleh Rahmani
Astuti, (Bandung: Mizan, 1984), h. 383 27
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Penterjemah: M. Amien Rais, (Jakarta:
Rajawali, 1987), h. 260
20
belakang pembaruan yang timbul di Mesir dimulai sejak kedatangan
Napoleon ke Mesir.
Mesir yang mempunyai Kairo sebagai ibukota dengan Universitas al-
Azhar yang didirikan pada abad kesepuluh, merupakan pusat peradaban Islam
dan kekuatan politik yang besar pengaruhnya di dunia Islam pada masa
lampau. Sultan-sultan Mesir turut berperang dalam mengalahkan kaum salib
dan dapat mematahkan kekuatan Hulagu di „Ain Jalut sehingga Mesir, Afrika
Utara, dan Spanyol Islam selamat dari kehancuran sebagaimana dialami dunia
Islam di bagian Timur. Di samping itu, mulai dari abad keenam belas Mesir
merupakan bagian dari kerajaan Turki „Utsmani dan mengikuti dari dekat
kemajuan-kemajuan yang dicapai kerajaan ini di Eropa. Mesir sadar akan
kelemahan dunia Barat dibandingkan dengan supremasi dunia Islam zaman
itu.
Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga Negara besar di dunia Islam
abad-abad keenam belas sampai abad kedelapan belas, ketika Eropa, Inggris
dan Prancis belum muncul sebagai negara yang berpengaruh dalam politik
internasional. Bahkan kerajaan „Utsmani menguasai daratan Eropa dari
Istanbul sampai ke pintu gerbang kota Wina.
Adapun India, dengan berdirinya di sana kerajaan Mughal, merupakan
negara kedua dari tiga negara besar tersebut di atas. Delhi merupakan pusat
kekuasaan dan kebudayaan Islam di dunia Islam bagian Timur.28
Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan pemimpin modernisasi di Timur
Tengah itu kemudian mempengaruhi pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia
dan timbullah pula di kalangan kita usaha-usaha modernisasi yang dimulai
pada permulaan abad kedua puluh ini.29
Gagasan tentang pembaruan pendidikan Islam mempunyai akar historis
dalam gagasan tentang pembaruan pendidikan dan institusi Islam secara
keseluruhan. Dengan kata lain, pembaruan pendidikan Islam tidak bisa
dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaruan Islam.
28
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996),
Cet. IV, h. 151-152 29
Harun Nasution, Islam Rasional…, h. 185
21
Kerangka dasar yang berada dibalik pembaruan Islam secara keseluruhan
adalah bahwa pembaruan pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan
prasyarat bagi kebangkitan umat Muslim di masa modern. Oleh karena itu,
pemikiran dan kelembagaan Islam ─termasuk pendidikan— haruslah
diperbarui. Mempertahankan pemikiran dan kelembagaan Islam “tradisional”
hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan umat Muslim dalam
berhadapan dengan kemajuan dunia modern.30
Pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi. Dalam konteks
ini, pendidikan di negara-negara yang tengah menjalankan program
modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal,
dan arena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program
modernisasi. Karena itulah pendidikan harus diperbarui atau dimodernisasi,
sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya.
Seperti halnya umat Islam di negara-negara Timur Tengah, perlawanan
terhadap kolonialisme telah mendorong umat Islam untuk mengadakan
berbagai pembaruan. Gerakan pembaruan ini tidak mungkin berjalan bila
tidak diikuti perubahan di bidang pendidikan. Dengan otomatis perubahan
Islam berjalan seiring dengan pembaruan pendidikan Islam. Fenomena ini
berlaku di seluruh negara-negara Islam, termasuk Indonesia.31
Gagasan pembaruan yang menemukan momentumnya sejak awal abad
ke-20, telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan
agama, perubahan, maupun pencerahan dengan munculnya beberapa tokoh-
tokoh pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Para pembaru itu banyak
bergerak di bidang organisasi sosial, pendidikan dan politik. Diantaranya
Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Thaher Jalaluddin, Haji Karim
Amirullah, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa, Zainuddin Labai al-
Yunusi, yang kesemuanya berasal dari Minangkabau.
Di jawa muncul tokoh H. Ahmad Dahlan, dengan gerakan
Muhammadiyah, H. Hasan, dengan gerakan Persatuan Islam (Persis), Haji
30
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), Cet. Ke-2, h. 31 31
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 155
22
Abdul Halim dengan gerakan Perserikatan Ulama, KH. Hasyim Asy‟ari
dengan organisasi Nahdlatul Ulama. Tokoh-tokoh ini semuanya banyak
bergerak di bidang pendidikan. Muncullah upaya-upaya untuk memperbarui
pendidikan Islam di Indonesia.
Ada beberapa indikasi pendidikan Islam sebelum dimasuki oleh ide-ide
pembaruan:
a. Pendidikan yang bersifat nonklasikal. Pendidikan ini tidak dibatasi atau
ditentukan lamanya belajar seseorang berdasarkan tahun. Jadi seseorang
bisa tinggal di suatu pesantren, satu tahun atau dua tahun, atau boleh jadi
beberapa bulan saja, bahkan mungkin juga belasan tahun.
b. Mata pelajaran adalah semata-mata pelajaran agama yang bersumber dari
kitab-kitab klasik. Tidak diajarkan mata pelajaran umum.
c. Metode yang digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan, dan
muzakarah.
d. Tidak mementingkan ijazah sebagai bukti yang bersangkutan telah
menyelesaikan atau menamatkan pelajarannya.
e. Tradisi kehidupan pesantren amat dominan di kalangan santri dan kiai.
Ciri dari tradisi itu adalah antara lain kentalnya hubungan antara kiai dan
santri. Hubungan bathin ini berlangsung terus sepanjang masa. Kontak-
kontak pribadi itulah yang terpelihara sepanjang masa. Santri yang telah
menyelesaikan pelajaran di suatu pesantren bisa jadi pindah ke pesantren
lain atau mendirikan pesantren baru, namun kontak pribadinya dengan
kiai, di mana dia pernah berguru masih tetap terpelihara.
Dipandang dari sudut masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke
dalam dunia pendidikan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperbarui.
Pertama, metode yang tidak puas hanya dengan metode tradisional pesantren
saja, tetapi diperlukan metode-metode baru yang lebih merangsang untuk
berpikir. Kedua, isi atau materi pelajaran sudah perlu diperbarui, tidak hanya
mengandalkan mata pelajaran agama semata-mata yang bersumber dari kitab-
kitab klasik. Ketiga, manajemen. Manajemen pendidikan adalah keterkaitan
antara sistem lembaga pendidikan dengan bidang-bidang lainnya di
23
pesantren.32
Ketiga macam ini adalah merupakan tuntutan terhadap kebutuhan
dunia pendidikan Islam di kala itu. Dengan demikian, jika ide-ide pembaruan
itu diterapkan dalam dunia pendidikan Islam, maka merupakan salah satu
jalan menuju perbaikan pendidikan Islam di Indonesia.
Secara ideal, pendidikan Islam berfungsi dalam mempersiapkan Sumber
Daya Manusia yang berkualitas tinggi, baik dalam penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi maupun dalam hal karakter, sikap moral,
penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Singkatnya, pendidikan Islam
secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan anak didik yang berilmu,
berteknologi, berketerampilan tinggi, dan sekaligus beriman dan beramal
shaleh.
Dalam rangka perwujudan fungsi idealnya untuk peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia tersebut, sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa
mengorientasikan diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang
muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi dari perubahan.
5. Faktor-faktor Pendukung Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
Abad 20
Steenbrink, menyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi
pembaruan pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20, yaitu:
a. Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran untuk kembali ke al-Qur‟an
dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan
kebudayaan yang ada. Tema sentralnya adalah menolak taklid. Dengan
kembali ke al-Qur‟an dan Sunnah mengakibatkan perubahan dalam
bermacam-macam kebiasaan agama.
b. Dorongan kedua, adalah sifat perlawanan Nasional terhadap penguasa
kolonial Belanda.
c. Dorongan ketiga, adalah adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk
memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi.
32
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana:2007), h. 57-58
24
d. Dorongan keempat, berasal dari pembaruan pendidikan Islam. Dalam
bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam, tidak puas dengan
metode tradisional dalam mempelajari al-Qur‟an dan studi agama.33
Usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam di Indonesia yang telah
dimulai sejak awal abad ke-20. Dimotivasi oleh kondisi intern umat Islam
maupun faktor ekstern. Dari uraian yang dikemukakan terdahulu dapat
dimaklumi bahwa pembaruan itu terkonsentrasi kepada dua hal yaitu
sistemnya, dan materi pelajaran. Sistemnya yang ada pada mulanya sebelum
masuk ide-ide pembaruan adalah sistem klasikal. Materi pelajaran sebelum
masuk ide-ide pembaruan terpusat kepada mata pelajaran agama melulu,
dengan berpedoman kepada kitab-kitab klasik, dan setelah diinspirasi oleh
ide-ide pembaruan mata pelajarannya telah berimbang antara ilmu-ilmu
agama dengan ilmu-ilmu umum.34
B. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum membahas pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu penulis
mengemukakan pengertian pendidikan secara umum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan berasal dari kata
“didik” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang artinya proses
perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses,
perbuatan, cara mendidik.35
Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani yaitu paedagogie
yang berarti “pendidikan‟ dan paedagogia yang berarti “pergaulan dengan
anak-anak.” Sedangkan orang yang tugasnya membimbing atau mendidik
dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos. Istilah
paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing,
memimpin).36
33
Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 26-28 34
Haidar, Sejarah …, h. 49 35
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, h. 232 36
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 17
25
Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan secara sadar
oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama.37
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasaan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan
negara.38
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah suatu proses kegiatan bimbingan sikap dan tata laku baik jasmani
maupun rohani yang dilakukan secara sadar dan terencana yang dilakukan
oleh pendidik kepada seseorang atau sekelompok orang melalui pengajaran
atau pelatihan dengan tujuan membentuk kepribadian yang utama.
Mengacu pada pembahasan yang dimaksud, bahwa yang dimaksud
pendidikan di sini adalah pendidikan Islam, Zuhairini dkk, mengatakan
bahwa pendidikan Islam adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis
dalam membantu anak didik mereka supaya sesuai dengan ajaran Islam.39
H. M. Arifin berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh
hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek
kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.40
Menurut Ahmad D.
37
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma‟arif,
1980), Cet. Ke-4, h. 19 38 Kementerian Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Nasional, 2003), h.3 39
Zuhairini, dkk., Metodik Pendidikan Agama Dilengkapi dengan Sistem Modul dan
Permainan Simulasi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1977) h. 77 40
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet. Ke-1, h.8
26
Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam.41
Menurut Abdul Rachman Saleh, pendidikan Islam merupakan usaha
sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan
segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu
mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi
dalam pengabdiannya kepada Allah.42
Sedangkan pengertian pendidikan Islam yang tercantum dalam GBPP
PAI Departemen Pendidikan Nasional adalah:
upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertakwa dan
berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber
utamanya kitab suci al-Qur‟an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan
dan pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman, dibarengi tuntutan
untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannnya dengan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud
kesatuan dan persatuan bangsa.43
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam
adalah suatu proses kegiatan bimbingan sikap dan tata laku baik jasmani
maupun rohani yang dilakukan secara sadar dan terencana yang dilakukan
oleh pendidik kepada seseorang atau sekelompok orang melalui pengajaran
atau pelatihan berdasarkan hukum-hukum Islam dengan tujuan agar mampu
mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi
dalam pengabdiannya kepada Allah.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab
dinyatakan dengan istilah ghayat, ahdaf, atau maqasid. Sedangkan dalam
bahasa Inggris dinyatakan dengan istilah goal, purpose, objective, atau aim.
41
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma‟arif,
1980), Cet. Ke-4, h. 23 42
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta: PT.
Gemawaindu Pancaperkasa, 2000), Cet. Ke-1, h. 2 43
Departemen Pendidikan Nasional, GBPP Pendidikan Agama Islam SMP, h. 2
27
Secara umum istilah-istilah itu mengandung pengertian yang sama, yaitu
perbuatan yang diarahkan kepada suatu target tertentu atau arah yang hendak
dicapai melalui serangkai upaya atau aktivitas.
Sedangkan secara istilah, Zakiah Darajat mengemukakan bahwa tujuan
adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan
selesai dilaksanakan.44
Dan menurut M. Arifin, tujuan itu menunjukkan
kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak
dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.45
Meskipun terdapat keragaman tentang definisi tujuan, namun pada
pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk
mencapai atau meraih suatu maksud tertentu.
Tujuan pendidikan agama Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia
dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang
selalu bertakwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang bahagia di
dunia dan di akhirat.46
Menurut Mahmud Yunus bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah
mendidik anak-anak, pemuda-pemudi ataupun orang dewasa supaya menjadi
seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia,
sehingga ia menjadi salah seorang masyarakat yang sanggup hidup di atas
kakinya sendiri.47
Selanjutnya, dalam penerapannya pada pendidikan Islam, tujuan
pendidikan Islam dibagi menjadi tiga poin, yaitu:
A. Tujuan Akhir
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku
umum karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran
mutlak dan universal. Dalam pendidikan Islam, tujuan akhir ini pada akhirnya
44
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 29 45
M. Arifin, Ilmu…, h. 54 46
Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama bagi Anak Putus Sekolah,
(Jakarta: Binbaga Islam, 2003), h. 10 47
Mahmud Yunus, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: al-Hidayah, 1974),
h.11
28
sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk ciptaan
Allah, yaitu:
1. Menjadi Hamba Allah
Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu
semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Firman Allah swt.,:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
menyembah-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat:56).48
2. Mengantarkan anak didik menjadi khalifah fi al-Ardh (pemimpin di
bumi) dan melestarikannya, lebih jauh lagi mewujudkan rahmat bagi
alam sekitarnya sesuai dengan tujuan penciptaannya. Firman Allah swt.,:
...
“ Dan (ingatlah) Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”…” (Q.S. al-Baqarah: 30)49
3. Memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat, baik secara individu maupun sosial. Firman Allah swt.,:
...
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan
bagianmu di dunia”... (Q.S. al-Qasas: 77)50
Ketiga tujuan akhir itu pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan, karena pencapaian tujuan yang satu memerlukan
48
Kementerian Agama RI, al-Qur‟an …, h. 756 49
Kementerian Agama RI, al-Qur‟an …, h.6 50
Kementerian Agama RI, al-Qur‟an …, h.556
29
pencapaian tujuan yang lain, bahkan secara ideal ketiga-tiganya harus dicapai
secara bersamaan melalui proses pencapaian yang seimbang.
Ketiga tujuan tertinggi tersebut, berdasarkan pengalaman aktivitas
pendidikan dari masa ke masa, belum pernah tercapai seluruhnya baik secara
individu maupun kolektif. Apalagi kebahagiaan dunia dan akhirat, kedua hal
itu sulit diketahui tingkat pencapaiannya secara empirik.
Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa tujuan akhir tersebut diyakini
sebagai sesuatu yang ideal dan dapat memotivasi usaha pendidikan dan
bahkan dapat menjadikan aktivitas pendidikan lebih bermakna.
B. Tujuan Umum
Tidak berbeda jauh dengan tujuan akhir, tujuan umum pun belum diukur
secara empirik taraf pencapaiannya. Salah satu formulasi tujuan umum
pendidikan adalah rumusan yang dibuat oleh Konferensi Pendidikan Islam
Internasional yang pertama di Mekkah pada tahun 1977, yang menyatakan:
Education should aim balanced growth of the total personality of man
through the training of men‟s spirit, intellect, the rational self, feelings,
and bodily sense. There fore, education should cater for the growth of
man in all its aspect, spirituall, intellectual, imaginative, physical,
linguistic, both individuality and collectively and motivate all these
aspect toward goodness the attainment of profection. The ultimate aim of
Islamic education lies in the realization of complete submission to Allah
on the level of individual, the community, and humanity at large. (sic).51
Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang
menyeluruh secara seimbang melaui latihan kejiwaan, akal pikiran,
kecerdasan, perasaan, dan panca indera. Oleh karena itu, pendidikan harus
mencakup kehidupan manusia dalam segala aspeknya baik spiritual,
intelektual, imajinatif, jasmaniah, keilmiahannya, dan bahasanya baik secara
individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan
dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada
perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi,
komunitas, maupun seluruh umat manusia.
51
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, h.57
30
Sedangkan menurut Zuhairini dkk., Tujuan umumnya ialah membimbing
peserta didik agar menjadi seorang muslim sejati beriman teguh, beramal
saleh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama dan
negara.52
C. Tujuan Khusus
Tujuan khusus adalah pengkususan atau operasionalisasi tujuan akhir dan
tujuan umum (pendidikan Islam). Tujuan khusus bersifat relatif sehingga
dimungkinkan untuk diadakan perubahan jika diperlukan sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan akhir dan
tujuan umum itu. 53
Pengkhususan tujuan tersebut dapat didasarkan pada:
1. Kultur dan cita-cita suatu bangsa
Setiap bangsa umumnya memiliki tradisi dan budaya sendiri-
sendiri. Perbedaan antara berbagai bangsa inilah yang
memungkinkan adanya perbedaan cita-cita, sehingga terjadi pula
perbedaan dalam merusmuskan tujuan yang dikehendaki di bidang
pendidikan.
2. Minat, bakat, dan kesanggupan anak didik
Islam mengakui perbedaan individu dalam hal minat, bakat, dan
kemampuan. Untuk mencapai prestasi sebagaimana yang
diharapkan, kesusaian tujuan khusus dengan minat, bakat, dan
kemampuan anak didik sangat menentukan.
3. Tuntutan situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu
Apabila tujuan khusus pendidikan tidak mempertimbangkan
faktor situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu, maka
pendidikan akan kurang memiliki daya guna. Dasar pertimbangan ini
52
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Edisi 1,
Cet. Ke-2, h. 47 53
Abu Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
Media, 1992), h. 63-70
31
sangat penting terutama bagi perencanaan pendidikan. Dalam hal ini,
harus mengantisipasi perkembangan di masa depan.54
Untuk melengkapi uraian di atas, ada baiknya kita simak juga rumusan
tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para ilmuwan Muslim,
yaitu:
a. Imam Ghazali, berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling
utama adalah untuk beribadah dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah dan mencapai insan yang tujuannya kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Najid, mengatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan
mengusahakan penghidupan.
c. Musthafa Amin, mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
mempersiapkan seseorang bagi amalan dunia dan akhirat. 55
d. Athiyah al-Abrasyi, merumuskan tujuan pendidikan Islam ke dalam lima
pokok, yaitu:
1. Pembentukan akhlak al-karimah.
2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi
pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama dan ilmu akan dapat
membawa manusia kepada kesempurnaan.
4. Menumbuhkan ruh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk
mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu.
5. Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga
mudah untuk mencari rezeki.56
Kalau diperhatikan rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh para pemikir pendidikan Islam tersebut, ternyata tujuan
pendidikan Islam bukanlah hanya sekedar berorientasi mencari kesenangan
dunia atau materi semata, tetapi menyangkut masalah duniawi dan ukhrawi
yang seimbang.
54
Abu Ahmadi, Islam…, hal. 63-70 55
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), cet. Ke-4, h. 71-72 56
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Dar al-Fikr, t.t), h. 34
32
3. Fungsi Pendidikan Islam
Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas pendidikan yang dimaksud berjalan dengan baik dan
lancar penyediaan fasilitas dalam arti dan tujuan yang bersifat struktural dan
institusional, yaitu terbentuknya struktur organisasi yang mengatur perjalanan
proses pendidikan, baik vertikal maupun horizontal, dan melembagakan
struktur organisasi untuk menjamin proses pendidikan yang konsisten,
berkesinambungan dan dapat mengikuti perkembangan zaman.57
Namun demikian, secara institusional, lembaga-lembaga pendidikan
Islam berfungsi melakukan proses transmisi dan transformasi nilai-nilai
kebudayaan Islam dari generasi ke generasi, serta nilai-nilai kemanusiaan dan
peradaban manusia secara selektif, demi kesinambungan hidup Islam dan
umat Islam. Proses transmisi dan transformasi kultural itu dapat berlangsung
dengan baik, apabila didukung oleh proses pendidikan yang terorganisasi dan
terlembaga dengan baik pula.
Pendidikan Islam, dengan bertitik tolak dari prinsip iman- Islam- ihsan
atau akidah- ibadah- akhlak untuk menuju suatu sasaran kemuliaan manusia
dan budaya yang diridhai oleh Allah SWT setidak-tidaknya memiliki fungsi-
fungsi berikut ini:
a. Individualisasi nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat
manusia muttaqin (manusia taqwa) dalam bersikap, berpikir dan
berperilaku.
b. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat Islam.
c. Rekayasa kultur Islam demi terbentuk dan berkembangnya peradaban
Islam.
d. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi dan
keterampilan demi terbentuknya para manajer dan manusia
profesional.
57
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasional, (Bandung: Tri Genda karya, 1993), h.136
33
e. Pengembangan intelektual Muslim yang mampu mencari,
mengembangkan serta memelihara ilmu dan teknologi.
f. Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi,
fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olahraga,
kesehatan, dan sebagainya.
g. Pengembangan kualitas Muslim dan warga sebagai anggota dan
Pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.58
Sedangkan fungsi pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah:
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta
didik kepada Allah swt yang telah ditanamkan dalam lingkungan
keluarga.
b. Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan
hidup didunia dan akhirat.
c. Penyesuaian mental, yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungannya
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah
lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan
dan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan
pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari dirinya dan
menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
f. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang
secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan
bagi orang lain. 59
Jadi, fungsi pendidikan Islam adalah untuk membina dan menanamkan
nilai-nilai Islam kepada peserta didik menuju terbentuknya pribadi muslim
yang sejati serta memiliki berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam
hubungannya dengan Tuhan, dengan manusia dan alam sekitar.
58
Jusuf A. Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 95-96 59
Fadlan Mudhafir, Crisis in Muslim Education, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2000), h.
50
34
BAB III
BIOGRAFI KH. A. WAHID HASYIM
A. Latar Belakang Keluarga
KH. A. Wahid Hasyim dilahirkan pada hari Jum’at, tanggal 5 Rabi’ul
Awwal 1333 H (1 Juni 1914 M) di Tebuireng, Jombang (Jawa Timur). Wahid
Hasyim datang dari keluarga yang sangat dihormati. Ayahnya adalah KH.
Hasyim Asy’ari, seorang ulama kharismatis yang terkenal ahli dalam bidang
hadits dan tafsir. Bagi kalangan santri di Jawa dan pulau-pulau lain, nama
Hasyim Asy’ari sangat dikenal luas dan dihormati. Bukan saja karena dia adalah
pendiri dan sekaligus Kyai pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa
Timur. Tapi, karena ilmunya memang sangat dalam, pengaruh KH. Hasyim
Asy’ari makin meluas karena banyak santrinya yang kemudian mendirikan
pesantren setelah berguru dengan beliau.
KH. M. Hasyim Asy’ari lahir dari keluarga elit Kyai Jawa pada 24 Dzul
Qa’dah 1287 H/14 Februari 1871 di desa Gedang, sekitar dua kilometer sebelah
utara Jombang.1 Ayahnya, Asy’ari adalah seorang pendiri Pesantren Keras di
Jombang sementara kakeknya, Kyai Usman, adalah Kyai terkenal dan pendiri
pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19 dan sementara itu
moyangnya, Kyai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambak Beras, Jombang.
1 Solichin Salam, KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Besar Indonesia, (Jakarta: Depot
Pengajaran Muhammadiyah, 1962), h. 19
35
KH. Hasyim Asy’ari memiliki lebih dari satu istri. Tapi istri yang
melahirkan Wahid Hasyim, adalah Nafiqah putri Kyai Ilyas, pemimpin
Pesantren Sewulan Madiun. Ini berarti dari kedua jalur, Wahid Hasyim adalah
keturunan Kyai. Meski bukan satu-satunya yang membentuk kepribadiannya,
faktor genealogis ini menjadi cukup penting untuk memahami pribadi Wahid
Hasyim, khususnya dalam hal kekentalannya dengan tradisi pesantren dan
kecerdasannya yang luar biasa.2 Ibarat pepatah “buah jatuh tak jauh dari
pohonnya”, itulah barangkali ungkapan yang sesuai untuk Wahid Hasyim.
Ibu dari Wahid Hasyim juga sangat berperan dalam mendidik sang putra.
Ibunya, Nafiqah, adalah seorang ulama dan juga sekaligus menjabat sebagai
penghulu pemerintah. Jabatan penghulu pada saat itu sudah merupakan salah
satu jabatan yang terpandang. Sebagai putri seorang Kyai sekaligus bangsawan,
Nafiqah adalah sosok terpelajar yang menguasai pengetahuan hokum dan
agama, sebuah prestasi yang teramat langka untuk generasi seangkatannya.
Nafiqah juga lancar berbahasa Belanda yang dianggap bahasa pengantar dalam
mengikuti jenjang karirnya dan ia juga mempunyai banyak teman dari kalangan
orang elit.
Wahid Hasyim adalah anak kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dan
Nafiqah. Nama aslinya adalah Abdul Wahid, tapi ketika menginjak dewasa dia
lebih suka menulis namanya dengan A. Wahid dan ditambah nama ayahnya
dibelakangnya, sehingga menjadi A. Wahid Hasyim. Dan kemudian hari, dia
lebih dikenal dengan Wahid Hasyim.
Ada cerita menarik sekitar masa bayi Wahid Hasyim. Ibunya setiap kali
mengandung selalu payah. Kepayahan tersebut dirasakan lebih parah ketika dia
mengandung Wahid Hasyim, sehingga dia khawatir jika bayi yang sedang
dikandungnya itu tidak sempurna. Dalam suasana seperti itu, dia bernazar:
seandainya bayinya itu selamat dan tidak kurang suatu apapun, dia akan bawa
berkunjung ke Kyai Kholil, di Bangkalan, Madura, yang juga guru KH. Hasyim
Asy’ari. Tradisi nazar memang suatu hal yang biasa dalam tradisi pesantren,
2 Saiful Umam, “KH. Wahid Hasyim: Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi”, dalam
Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik,
(Jakarta: INIS, PPIM, dan Balitbang Depag RI, 1998), h. 99
36
begitu juga mengunjungi rumah kyai terkenal. Nazar ini dilaksanakan ibunya
ketika Wahid Hasyim berusia sekitar 3 (tiga) bulan. Ketika mereka sampai di
rumah Kyai Kholil, hari telah malam dan turun hujan. Namun apa yang terjadi?
Mereka tidak diperbolehkan masuk ke rumah tapi juga tidak diijinkan pergi dari
situ. Mereka diminta untuk tetap di depan rumah sambil kehujanan. Ketika hujan
makin deras, sang Ibu meletakkan anaknya di lantai halaman rumah Kiyai
Kholil, agar terlindung dari hujan, karena khawatir anaknya yang masih kecil itu
akan sakit. Tapi Kiyai Kholil melarang hal ini dan memerintahkan sang Ibu
untuk mengambil kembali anaknya. Kejadian ini diyakini sebagai pertanda
bahwa sang bayi akan menjadi orang yang luar biasa.3
Wahid Hasyim mengakhiri masa lajangnya pada usia sekitar 25 tahun
dengan menikahi Sholehah binti KH. Bisyri Syamsuri seorang pendiri dan
pemimpin Pesantren Denanyar Jombang serta salah satu pendiri Nahdlatul
Ulama dan pernah juga menjadi Rais Aam PBNU. Dari perkawinan ini Wahid
Hasyim dikaruniai 6 anak, 4 putra dan 2 putri. Masing-masing adalah
Abdurrahman Ad-Dachil (sekarang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur), Aisyah, Salahuddin al-Ayyubi, Umar, Chadijah, dan Hasyim.
Sangat disayangkan, Wahid Hasyim tidak sempat mendidik anak-anaknya lebih
lama karena ia meninggal dunia dalam usia relatif muda, 39 tahun, tepatnya pada
19 April 1953, saat perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat
pengurus Nahdlatul Ulama. Bahkan anak bungsunya lahir setelah Wahid Hasyim
meninggal. Namun kecerdasannya yang luar biasa dan kepandaiannya
berorganisasi paling tidak diwarisi oleh anak sulungnya yang pernah menjadi
Ketua Umum PBNU namun beliau juga telah wafat pada 31 Desember 2009
yang lalu.
B. Pendidikan Wahid Hasyim
Sebagai anak seorang kiyai terkenal, Wahid Hasyim tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan pesantren yang sarat dengan nilai-nilai
3 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A .Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan Alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 141
37
keagamaan. Pendidikan dasarnya dilalui di lingkungan rumahnya. Sejak usia 5
tahun, Wahid Hasyim sudah belajar al-Qur’an yang dibimbing langsung oleh
ayahnya. Wahid Hasyim juga menempuh pendidikan madrasah. Saat itu
memang sudah ada sekolah modern yang diperkenalkan pertama kali oleh
pemerintah penjajah dan diikuti organisasi-organisasi Islam, seperti
Muhammadiyah. Tapi mereka yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di
lembaga pendidikan modern tersebut masih sangat terbatas. Selain itu, jenis
pendidikan tersebut, ketika Wahid Hasyim kecil, belum menyentuh pesantren.
Tidak aneh bila dia tidak pernah duduk di bangku sekolah umum dan hanya
belajar di madrasah yang ada di lingkungan pesantren orangtuanya pada pagi
hari ditambah belajar langsung dengan ayahnya di malam hari. Kegiatan ini
dijalaninya sampai usia 12 (dua belas) tahun.
Sebagai anak tokoh, Wahid Hasyim tidak pernah mengeyam pendidikan di
bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. dia lebih banyak belajar secara
otodidak. Selain belajar di madrasah, dia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab
dan buku berbahasa Arab. Wahid Hasyim mendalami syair-syair berbahasa Arab
dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik.
Kitab-kitab klasik yang dipakai di pesantren, seperti Fath al-Qarib
(kemenangan bagi yang dekat) dan al-Minhaj al-Qowim (jalan yang lurus),
sudah beliau pelajari di usia 7(tujuh) tahun. Buku tentang kesusastraan, seperti
Diwan asy-Syu’ara (kumpulan penyair dan syair-syairnya), juga dilahapnya.4
Wahid Hasyim kecil adalah anak yang sangat cerdas dan gemar membaca.
Dia tidak pernah mondok dalam pengertian yang sebenarnya, sebagaimana
kebiasaan anak-anak kiyai saat itu dan bahkan sampai sekarang. Dia memang
sempat mondok di pondok Siwalan Pandji, Sidoarjo, tahun 1927, tapi hanya
dalam hitungan hari. Demikian pula yang terjadi ketika dia mencoba mondok di
Lirboyo, Kediri. Tapi berkat kecerdasan dan kegemarannya membaca, dia
belajar banyak hal secara otodidak. Jadi, meski tidak pernah mondok, pada usia
4 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), Cet. I, h. 34-35
38
16 (enam belas) tahun dia sudah mampu mengajar beberapa kitab, seperti al-
Durar al-Bahiya dan Kafrawi.
Belajar secara otodidak juga dia lakukan dalam bidang-bidang lain.
Misalnya, meski dia tidak pernah belajar di sekolah umum, Wahid Hasyim
sudah bisa baca tulis huruf Latin. Demikian pula dalam bahasa Belanda dan
Inggris. Dia belajar sendiri ketiga bidang tersebut dengan jalan berlangganan
majalah-majalah dan membaca buku-buku yang ditulis dalam huruf Latin, baik
berbahasa Melayu, Belanda dan Inggris. Di antara majalah yang dia
berlangganan adalah Penjebar Semangat, Daulat Rakjat, Pandji Pustaka,
Sumber Pengetahuan, di samping majalah-majalah berbahasa Arab, seperti
Ummul Qurra dan Shautul Hijaz.
Dalam usia 15 (lima belas) tahun, Wahid Hasyim betul-betul mulai
keranjingan membaca. Dan karena hobinya inilah matanya menjadi agak rusak
sehingga harus memakai kacamata. Namun hal itu tidak mengurangi
kebiasaannya membaca, bahkan makin bertambah. Beruntung, dia adalah anak
seorang kiyai yang terkenal yang secara ekonomi berkecukupan, sehingga
kebiasaannya ini tentu saja tidak menjadi masalah. Bagi banyak orang, dalam
masa itu, mendapatkan bacaan-bacaan seperti tersebut di atas jelas bukan suatu
hal yang mudah dan murah. Tapi dia bisa mendapatkannya secara berkala. Dan
pengaruh banyak membaca ini ternyata cukup besar terhadap sikap dan tingkah
laku Wahid Hasyim dalam kehidupan sehari-hari.5
Dengan bermodalkan pengetahuan yang dia miliki, Wahid Hasyim muda
pun telah berpikir secara sistematis untuk memecahkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan umat, dengan melakukan studi komperatif dengan berbagai
tingkatan kehidupan di luar umat Islam. Sehingga membuat Wahid Hasyim bisa
berpikir modern pada zamannya dan mampu berperan aktif dalam pembangunan
Indonesia. Sebagai anak seorang anak pengasuh pesantren yang berpengaruh,
5 Saiful Umam, “KH. Wahid Hasyim: …, h. 101
39
Wahid Hasyim mempunyai posisi yang strategis untuk mengarahkan
perkembangan pendidikan pesanntren-pesantren di Jawa.6
Ketika berusia 18 tahun Wahid Hasyim ke Mekkah bersama pamannya,
Muhammad Ilyas. Kepergiannya disamping untuk menunaikan ibadah haji dan
juga juga untuk menuntut ilmu. Muhammad Ilyas juga merupakan anak yang
cerdas, sehingga KH. Hasyim Asy’ari banyak berharap kepada keduanya.
Bahkan keduanya sejak di Tebuireng sudah saling bersaing masalah pelajaran.
Namun belum begitu lama di Makkah, Wahid Hasyim sudah kembali ke tanah
air, sementara pamannya tetap tinggal disana sendirian.
Dari beberapa literatur yang ada, tak begitu jelas siapa yang membina
Wahid Hasyim selama di Mekkah. Namun dia termasuk sosok yang pandai
bergaul. Sehingga kawannya cukup banyak yang datang dari berbagai
mancanegara. Dan hal itu pun otomatis mempunyai dampak yang cukup positif
dalam meningkatkan cakrawala berpikirnya. Selama dia di Mekkah dia tidak
mengalami kesulitan, baik membaca literatur maupun berkomunikasi dengan
sesamanya.7 Hal ini dikarenakan sebelumnya dia sudah gemar membaca buku-
buku dan majalah-majalah dengan berbagai bahasanya.
C. Ciri Fisik dan Kepribadian Wahid Hasyim
Wahid Hasyim bertubuh agak pendek, sedikit gemuk dengan kulit sawo
matang dan berhidung mancung. Lehernya sedikit pendek dan dadanya bidang,
dengan tahi lalat di dada, bahu kiri sebelah atas, dan salah satu ujung jarinya.8
Sejak kecil Wahid Hasyim sudah mengenal dan meresapi kehidupan
pesantren yang berorientasi ingin memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Di
lingkungan pesantren dia menyaksikan kehidupan santri yang sederhana,
bergotong royong tetapi penuh aktifitas belajar untuk mencapai cita-cita. Sejak
usia kanak-kanak Wahid Hasyim bias menempatkan diri dengan teman yang
6 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES), 1982, hal.105 7 Zamakhsyari, Tradisi…, h. 106
8 Saifullah Ma’shum (ed.), Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung:
Mizan, 1998), Cet. I, h.307
40
sebayanya, bermain bersama dengan anak tetangga sekitar pesantren. Pada
sewaktu ketika keluarganya mempunyai hajat (baik resepsi untuk
pesantren/keluarga dengan menyediakan makanan dalam jumlah besar), dia
selalu mengajak teman-temannya untuk ikut menikmati. Sebaliknya, dia juga
selalu menghadiri resepsi yang diselenggarakan oleh tetangga dekatnya atau
kerabat lain yang mempunyai hajat, baik dengan teman sebayanya maupun
dengan orang tuanya. Walaupun dengan demikian waktu untuk bermain sangat
sedikit jika dibandingkan dengan waktu belajar. Seolah-olah kehidupannya
diwarnai kedisiplinan belajar di pesantren.
Cara Wahid Hasyim untuk mengatasi mengantuk ketika asyik membaca
yaitu dengan cara mandi dan berwudhu.9 Ini dikarenakan bacaan tersebut
mendesak untuk dipahami.
Selain pandai dan gemar membaca, Wahid Hasyim juga dikenal peramah
dan pandai mengambil hati orang. Dia juga suka bergaul dengan siapa saja,
tanpa memandang keturunan, pangkat dan jabatan dan suka menolong kawan.
Hidupnya sederhana, ilmunya mendalam, dan cara berpikirnya moderat.
Karena itu menjadi mudah baginya untuk melakukan sesuatu dalam kondisi apa
pun. Tidak menjadi soal baginya kalau suatu waktu harus mengenakan kain
pantalon, atau jas berdasi tanpa mengenakan kopiah hitam, sementara di
kesempatan yang lain dia mesti mengenakan kain sarung atau baju takwa. Ketika
berada din Jombang, untuk menunjang aktifitasnya sehari-hari, KH. A. Wahid
Hasyim memiliki kendaraan pribadi mobil merk Chevrolet Cabriolet berwarna
putih. Sedangkan di Jakarta, dia biasa menyetir sendiri mobil Fiatnya.
Salah satu kebiasaan yang melekat pada diri Wahid Hasyim adalah
kegemaran berkirim surat kepada kawan-kawannya. Berkirim surat menjadi
salah satu media silaturahim yang dipilih di kala yang bersangkutan tidak
banyak kesempatan untuk bersilaturahim secara langsung. Surat-surat itu
umumnya berisi pandangan politik, arah perjuangan, dan cita-citanya. Segalanya
ditulis dengan bahasa yang menarik, lancar, dan tak lupa dibumbui humor segar.
9 A. Sarwani, Metode dan Teknik Membaca, (Jakarta: Panitia Diklatran Patinas Dep.
Tenaga Kerja dan Dep. Agama RI, 1976), h. 4-5
41
Wahid Hasyim terkenal memiliki cita rasa humor yang tinggi. Kepada
siapa saja dia bias melemparkan joke-joke segar, untuk mencairkan suasana
sehingga komunikasi bisa berjalan lancar dan akrab. Kepada sopirnya hal yang
sama juga berlaku.
“Wah ini ikan gurame, Rasyad!” serunya kepada sopirnya, Rasyad. “Ente
tahu, orang yang suka makan gurame otaknya akan bertambah cerdas. Percaya
apa tidak?” ujar Wahid Hasyim.
“Saya percaya. Tentu saja menjadi cerdas karena orang selalu berpikir,
bagaimana mendapatkan uang agar bias makan ikan gurame setiap hari…,”
jawab Rasyad setengah berseloroh. Serentak meledaklah tawa mereka. Mereka
setuju karena ikan gurame dikenal lezat.
Di mata keluarga, Wahid Hasyim adalah sosok ayah yang sangat baik. Di
tengah-tengah kesibukan beliau, sempat mengajar mengaji, nyisirin anak
perempuannya, mengajak jalan-jalan, mengantar sekolah. Seperti umumnya
seorang ayah. Pada waktu itu Kota tak begitu besar, lalu lintas sangat lengang.
Beliau adalah orang yang sibuk bahkan super sibuk, dari pagi sampai malam
menerima tamu, ganti-ganti kegiatan. Tapi menyempatkan diri untuk anak-
anaknya. Jadi, beliau adalah ayah yang sangat baik. Beliau juga seorang yang
cerdas secara intelektual dan spiritual. Beliau selalu berpuasa, kecuali pada hari-
hari tertentu yang tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Beliau hafal al-Qur’an.
Hidupnya relatif sederhana.10
Di mata H.M. Isa Anshary, salah satu pimpinan Persatuan Islam (Persis)
saat itu, Wahid Hasyim adalah sosok pemimpin yang tenang dan dapat
menyatukan berbagai aspirasi. Dia adalah organisator yang ulung, pandai dan
bijaksana dalam memainkan “kartu” perjuangan. Kalau M. Natsir, di mata Isa
Anshary, memiliki kejernihan dan ketajaman analisa, maka Wahid Hasyim
memiliki pengetahuan dan kemampuan berorganisasi. Salah satu kebiasaan baik
Wahid Hasyim yang dicatat Isa Anshary adalah dia selalu membalas surat-surat
yang diterima dari siapa saja dan menyimpannya dengan rapi.
10
Wawancara Pribadi dengan Salahuddin Wahid (Gus Sholah) adalah anak ke-3 dari
Wahid Hasyim, Tgl. 03 November 2010 di Kediaman Responden
42
D. Aktivitas Sosial dan Politik Wahid Hasyim
Setelah pulang dari Mekkah, Wahid Hasyim memulai aktifitasnya di dunia
pendidikan, yaitu di pesantren Tebuireng. Secara berhati-hati dia menguasai dan
mengembangkan ide-idenya tentang pengembangan pendidikan Islam. Di
samping itu, dia juga banyak melakukan perjalanan dalam rangka studi
komperatif tentang berbagai model pendidikan yang berkembang di lingkungan
pesantren maupun di sekolah-sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah
kolonial. Dia juga banyak menggunakan waktunya untuk menulis di Suara NU
yang berbahasa Melayu, khususnya menyuarakan liku-liku pendidikan Islam di
dunia. Di majalah Soeloeh NU, dimana dia yang menjadi penerbit sekaligus
pemimpinya, juga milik umat Islam waktu itu, di halaman depan sering
membahas persoalan-persoalan tentang pendidikan Islam untuk
menyebarluaskan ide-ide pembaruan dalam pendidikan Islam.
Wahid Hasyim lebih tepat jika disebut sebagai wartawan dari pada
menyebutnya sebagai pengarang buku. Dalam dunia kewartawanan dia
mempunyai kedudukan yang tidak dapat diabaikan karena kecekatannya dan
kecepatannya dia menuliskan buah-buah pikiran yang berharga, yang
kebanyakan tidak dapat disangkal kebenarannya. Bahkan kadang-kadang
sesudah beberapa waktu kemudian barulah diakui orang kebenaran pendapat dan
kebenaran peninjauan Wahid Hasyim dalam suatu masalah. Dia menulis hampir
dalam segala bidang agama, baik mengenai sejarah maupun hukum, bidang
politik, terutama yang mengenai dunia keIslaman, tetapi juga banyak bersangkut
paut dengan kebangsaan Indonesia dalam bidang pendidikan dan pengajaran,,
dalam soal-soal mengenai perjuangan dan organisasi umat Islam, mengenai
mistik, sosial sekitar persoalan kewanitaan, dan sebagainya. Karangan-karangan
itu tersiar dalam berbagai harian, majalah, dan surat kabar, mulai sejak zaman
Belanda, zaman Jepang, zaman revolusi, dan zaman pembangunan. Kadang-
kadang karangan itu hanya ditulis sebagai kata pendahuluan dari sebuah buku
yang akan diterbitkan orang lain, tetapi isinya sangat luas dan berharga untuk
43
dijadikan bahan pemikiran. Begitu juga terkadang dia menulis khutbah-khutbah
panjang atau sekedar sambutan-sambutan dalam sebuah acara penting.11
Pengaruh lain yang datang dari kesukaan membaca sejak kecil adalah
partisipasi aktif Wahid Hasyim dalam dunia pergerakan. Sebagaimana diketahui,
pada masa itu telah tumbuh dan berkembang berbagai perkumpulan, seperti Budi
utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan NU. Hal ini terjadi
khususnya setelah diikrarkannya Sumpah pemuda 1928. Salah satu hal penting
yang dipahami Wahid Hasyim dari munculnya berbagai perkumpulan saat itu
adalah pentingnya berorganisasi. Dengan berorganisasi, sekelompok manusia
disatukan berdasarkan latar belakang dan tujuan yang sama dan selanjutnya
secara bersama-sama berusaha mencapai tujuan tersebut. Hal inilah yang
kemudian mendorong Wahid Hasyim mendidrikan Ikatan Pelajar-pelajar Islam
pada 1936. Meski sifatnya lokal, anggotanya mencapai lebih dari 300 orang.
Tujuan utama pembentukan organisasi ini adalah, untuk memasyarakatkan
budaya baca di kalangan para anggotanya. Dari organisasi kecil ini Wahid
Hasyim melanjutkan keterlibatannya dalam organisasi-organisasi berskala
Nasional, seperti NU dan Masyumi.12
Di usia 20-an tahun, Wahid Hasyim sudah menghabiskan waktunya untuk
aktifitas Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh, antara lain, ayahandanya,
KH. Hasyim Asy’ari. Meski anak sang pendiri, tapi karir di ormas terbesar
pengikutnya ini beliau rintis dari bawah, dari ranting Tebuireng sampai menjadi
Ketua Pendidikan Ma’arif NU. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi dan
berubah menjadi partai politik, tahun 1950, Wahid Hasyim terpilih sebagai
Ketua Biro Politik NU.13
Pada 1939 NU masuk menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia) yang kemudian berganti nama menjadi Masyumi (Majelis Syura
Muslimin Indonesia) berdiri pada 1937 dalam kongres Islam adalah federasi
organisasi-organisasi Islam yang sangat anti kolonial dan non-koperatif terhadap
11
Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 192 12
Saiful Umam, “KH. Wahid Hasyim: …, h. 105 13
Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh …, h. 35
44
penjajah. Sedangkan Masyumi sendiri pertama kali didirikan pada Oktober
1943.14
Pos pertama yang diduduki Wahid Hasyim ketika NU bergabung dengan
Masyumi adalah sebagai Wakil Ketua Masyumi, sementara Ketua Masyumi saat
itu dijabat ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari. Karena KH. Hasyim Asy’ari tetap
memilih di Jombang, memimpin pondok pesantrennya, maka yang menjalankan
tugas sehari-hari adalah Wakil Ketua yaitu Wahid Hasyim.
Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang, Wahid Hasyim menjadi
Wakil Kepala Kantor Urusan Agama Pusat, Shumubu. Sekali lagi, di sini yang
menjabat sebagai kepalanya adalah KH. Hasyim Asy’ari.
Shumubu dapat dikatakan kelanjutan dari Kantoor vor Inlandse Zaken
(Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda. Lembaga Shumubu pertama kali
dipimpin orang jepang, Kol. Horie, kemudian digantikan Hoesain
Djajadiningrat. Sesuai dengan perubahan kebijakan Jepang yang lebih
konsiliatori terhadap kalangan Islam, lembaga ini mengalami reorganisasi; KH.
Hasyim Asy’ari kemudian diangkat sebagai Kepala Shumubu.
Karir Wahid Hasyim dalam pentas politik Nasional terus melejit. Dalam
usianya yang masih muda, beberapa jabatan penting telah disandang, baik
kepengurusan NU maupun Masyumi. Bahkan ketika Jepang membentuk badan
yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
pada tanggal 7 Desember 1944, Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota
termuda setelah BPH. Bintoro, dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim
berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun. Sebagai tokoh muda, dia juga
diangkat menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dia juga
merupakan tokoh termuda dari Sembilan tokoh Nasional yang menandatangani
Piagam Djakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi
negara.15
14
Untuk lebih mengetahui sejarah dari MIAI dan Masyumi, Lihat Deliar Noer, Partai
Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: PT Pustaka Grafiti, 1987), Cet.I, h.26-28&45-71 15
Saifullah Ma’shum (ed.), Karisma Ulama: …, h. 311-312
45
Setelah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
dibentuk sebagai ganti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), hanya dua wakil Islam yang duduk di sana. Mereka adalah
Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo (wakil dari Muhammadiyah) dan
berhasil turut menyelamatkan persatuan bangsa Indonesia dari perpecahan
karena perbedaan aspirasi tentang dasar negara.
Di dalam kabinet pertama, dibentuk presiden Soekarno pada September
1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam
Kabinet Sjahrir tahun 1946.
Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dan berdirinya RIS, dalam Kabinet
Hatta tahun 1950, dia diangkat menjadi Menteri Agama, tepatnya pada tanggal
20 Desember 1949. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya
selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Langkah pertama yang diambil Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
adalah menentukan di mana kantor kementerian tersebut. Karena memang belum
punya gedung, dia akhirnya menyewa ruangan di Hotel Des Indes di Jl. Gajah
Mada Jakarta (yang sekarang menjadi Duta Merlin). Dikamar No.4 hotel
tersebut, Wahid Hasyim memulai tugasnya sebagai Menteri Agama. Sekitar
sebulan kemudian, berkat jasa Menteri Dalam Negeri, Anak Agung Gde Agung,
kantor kementerian ini pindah ke sebuah paviliun di Jl. Merdeka Utara No.7.
Meski ruangannya tidak besar, dia cukup memadai mengingat personil
mengingat personil Kementerian Agama RIS waktu itu hanya tujuh orang,
termasuk Menteri.
Dalam urusan kementerian ini pun, paling tidak dia sudah memiliki
pengalaman pada masa Jepang. Namun, keberadaan Wahid Hasyim sebagai
Menteri Agama pada masa kemerdekaan menjadi khusus, jika dilihat dari
konteks situasi saat itu dan apa yang dihasilkan Wahid Hasyim dalam
kapasitasnya sebagai Menteri Agama.
Ada dua hal yang dianggap dua concerns utama Wahid Hasyim ketika dia
menjabat Menteri Agama. Pertama, pemantapan peran lembaga ini dalam
konteks Negara dan bangsa, sehingga dia tidak dicurigai sebagai departemen
46
orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen-
departemen teknis lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya
menguasai ilmu pengetahuan umum dan Islam secara seimbang. Dari perhatian
kedua ini, kita dapat melihat dari lahirnya Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN)─yang di kemudian hari berkembang menjadi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN)─sebagai lembaga pendidikan tinggi agama yang modern,
dan pengajaran pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Selain kedua hal
tersebut tentu masih banyak kebijakan-kebijakan penting Wahid Hasyim selaku
Menteri Agama.
Jika pada umumnya kematangan prestasi dan karir seseorang baru dimulai
pada usia 40, Wahid Hasyim justru telah merengkuhnya pada usia di bawah itu.
E. Pemikiran KH. A. Wahid Hasyim
1. Bidang Agama
Wahid Hasyim seorang yang fanatik kepada Islam dan cara kehidupannya
sudah diketahui banyak orang. Bahkan dia sendiri menganjurkan sifat fanatik ini
kepada pemuda-pemuda Islam dan menyuruh mempergunakannya dengan tidak
segan-segan dan malu-malu sebagaimana tertulis dalam salah satu karangannya
yang berjudul “Fanatisme Fanatisme”.16
Meski Kementerian Agama sudah berdiri pada tahun 1946, tapi goyangan
terhadap kementerian ini terus melaju di era Wahid Hasyim menjadi menterinya.
Berbagai argumen tentang tidak pentingnya kementerian ini bergulir terus.
Tapi Wahid Hasyim, dengan berbagai argumentasinya, berusaha
mempertahankan dan mengembangkan Kementerian Agama.
Bagi mereka yang tak setuju dengan Kementerian Agama, punya
argumentasi bahwa Negara tidak mengurusi soal-soal agama. Argumen ini
dijawab oleh Wahid Hasyim, bahwa, meski Negara kita bukan Negara agama.
“Hanya negara Ateis yang melepaskan diri dari agama,” paparnya. Departemen
ini penting, menurut Wahid Hasyim, untuk mengurusi masalah-masalah
16
Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU? Konsepsi
tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), h. 42-43
47
keumatan. Dari pernyataan terakhir ini, Wahid Hasyim menegaskan bahwa
Kementerian Agama bukanlah Kementerian bagi umat Islam saja, tapi bagi
semua pemeluk agama.
Ada juga yang mengkritik bahwa lebih banyak mengurusi kepentingan
umat Islam. Hal ini dengan mudah dijawab oleh Wahid Hasyim, bahwa jumlah
umat Islam di Indonesia itu mayoritas, karena itu wajar bila pemerintah
memberikan perhatian lebih kepada mereka.
Ketika menjabat sebagai Menteri Agama, salah satu pemikiran dia dalam
hal keagamaan misalnya memindahkan pusat peribadatan agama budha dari
Candi Borobudur ke Candi Mendut. Akhirnya candi Borobudur hanya berperan
sebagi monumen kebesaran budaya bangsa dan sebagai tempat rekreasi.
Dalam bidang ibadah, Wahid Hasyim menetapkan kebijakan bahwa
pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya ditangani pemerintah, yakni oleh Bagian
Urusan Haji dari Kementerian Agama. Dalam pelaksanaannya, bagian ini
bekerjasama dengan Yayasan PHI (Perjalanan Haji Indonesia). Lembaga
terakhir ini merupakan hasil dari resolusi Kongres Muslimin Indonesia pada
Desember 1949. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penyelenggaraan ibadah
haji dan juga menyelamatkan calon jamaah dari tipuan pihak-pihak tertentu yang
ingin mengeksploitasi mereka. Penipuan pernah terjadi pada 1949 terhadap
jamaah haji dari Jawa Barat. Banyak dari mereka yang terlantar ketika di Arab
dan kemudian menimbulkan kekacauan.
Kemudian ditetapkan juga beberapa persyaratan yang harus dipenuhi calon
jamaah haji. Antara lain, di samping harus berbadan sehat dan sudah baligh,
mereka juga harus mengetahui ilmu agama Islam, khususnya berkaitan dengan
ibadah haji. Mereka juga harus mempunyai bekal yang cukup, tidak hanya bagi
yang hendak melaksanakan ibadah haji tapi juga bagi keluarga yang
ditinggalkan, yang menjadi tanggungjawab mereka. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan menjual harta kekayaan yang menjadi gantungan hidup, demi
melaksanakan haji. Selain itu, ada juga persyaratan bahwa calon jamaah haji
tidak boleh buta huruf. Untuk ukuran saat itu, ketika tingkat buta huruf masih
tinggi di kalangan umat Islam Indonesia, persyaratan ini menimbulkan kesan
48
menghambat orang yang ingin pergi haji. Tetapi Wahid Hasyim memiliki alasan
sendiri. Dengan mencantumkan syarat-syarat ini, dia ingin mendorong umat
Islam untuk belajar yang pada gilirannya nanti akan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Memang, suli mengetahui apakah syarat-syarat tersebut
dilaksanakan secara penuh. Kebijakan yang diambil Wahid Hasyim tersebut
jelas menunjukkan bahwa dia mempunyai keinginan kuat untuk meningkatkan
kualitas umat Islam. 17
Selain berkaitan ibadah haji ini, satu lagi kebijakan Wahid Hasyim yang
perlu dicatat ketika menjadi Menteri Agama adalah dimulainya pelaksanaan
perayaan hari besar Islam secara kenegaraan, tepatnya adalah Peringatan Maulid
Nabi yang diadakan di Istana Negara pada 2 Januari 1950. Sejak saat itu,
peringatan tersebut selalu diadakan di tempat yang sama dan dihadiri Kepala
Negara.
2. Bidang Sosial
Pada 22 Desember 1951, sebuah majalah ibu kota memuat artikel yang
secara keras mengeritik para tokoh Islam. Penulisnya adalah Ma’mun Bingung.
Di bawah judul tulisan “Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya, tetapi
Pemimpin-pemimpinnya Tidak Tahu”, Ma’mun Bingung menguraikan dua
peristiwa yang dinilai mengandung isyarat penting.
Peristiwa pertama adalah adanya konferensi yang dihadiri para professor
Kristen se-Asia yang berlangsung di Priangan. Dan kedua, peristiwa peletakan
batu pertama pembangunan kampus Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta yang dilakukan oleh presiden (rektor) universitas negeri itu, Prof.
Dr. Sardjito. Dalam pertemuan Professor se-Asia, secara terbuka disampaikan
rencana menjadikan Indonesia sebagai negara Kristen. Sedangkan dalam
kegiatan peletakan batu pertama kampus UGM, ada seseorang tokoh yang
mengusulkan sesuatu yang dinilai aneh. Karena kampus UGM terletak di antara
17
Laporan Sejarah Departemen Agama (Jakarta: Proyek Penelitian Keagamaan
Departemen Agama RI, 1980/1981), h. 48
49
Candi Borobudur dan Candi Prambanan, maka demikian, usulnya, kelak dia
harus bias menjelmakan (reinkernasi) kedua candi itu.
Dalam tulisan itu Ma’mun Bingung tidak memprotes ide menjadikan
Indonesia sebagai negara Kristen atau kampus UGM sebagai jelmaan Candi
Borobudur atau candi Prambanan. “Di dalam negara demokrasi seperti
Indonesia, tiap-tiap orang boleh berbicara apa yang dikehendaki, boleh
mengemukakan pendapat dan pikiran dengan sebebas-bebasnya asal di dalam
bebas-batas undang-undang,” demikian tulisnya.
“Hanya kepada umat Islam yang menurut hukum demokrasi mempunyai
hak hidup dan mengeluarkan pikiran, kami mengeluarkan kritik ini. Terutama
kepada para pemimpin Islam. Kami menyesal karena adanya peristiwa demikian
itu tidak ada seorang pun dari pemimpin tergerak hatinya untuk menunjukkan
kepada umat Islam di Indonesia agar jangan tetap dalam tidur nyenyaknya dan
mabuk politik yang membahayakan,” kata Ma’mun Bingung melalui
tulisannya.18
Siapa Ma’mun Bingung, penulis artikel pedas itu? Dia tidak lain adalah
KH. A. Wahid Hasyim. Nama Ma’mun Bingung merupakan salah satu saja dari
sekian nama samara yang dipakainya ketika menulis artikel.
Cuplikan pendek artikel itu, setidak-tidaknya menampakkan tiga hal
mendasar yang memperlihatkan sosok penulisnya. Pertama, betapa KH. A.
Wahid Hasyim memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan paham
dan bersikap proporsional dalam menyikapi setiap persoalan yang dihadapi.
Kedua, besarnya kepedulian terhadap peningkatan kualitas hidup umat Islam.
Dan ketiga adalah sikap kritisnya yang tak pernah padam meskipun menyangkut
umat Islam sendiri. Melalui tulisannya, kita menangkap getaran keprihatinan
yang sangat dari dari KH. A. Wahid Hasyim, setiap dia menyaksikan kondisi
umat Islam pada saat itu. Sungguh aneh di mata Wahid Hasyim. Banyak
pemimpin Islam waktu itu yang secara verbal sering menggembar-gemborkan
perjuangan Islam melalui berbagai jalur, terutama jalur politik, justru
18
Artikel ini dimuat dalam Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h 125-
129
50
membiarkan umat Islam hidup dalam kualitas serba memprihatinkan.
Menurutnya, banyak orang membawa bendera Islam untuk kepentingan yang
sebenarnya bertolak belakang dengan semangat Islam.
3. Bidang Pendidikan
Dalam pemikirannya di bidang pendidikan, Wahid Hasyim memulainya
dari perubahan secara perlahan-lahan pada Pondok Pesantren Tebuireng.
Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari
pada tahun 1899 M ini pada awalnya hanya berupa sebuah bedeng berbentuk
bujur sangkar, dibagi menjadi dua ruangan. Bagian belakang berfungsi sebagai
tempat tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lainnya untuk tempat
shalat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang.
Pendidikan semula berlangsung secara pengajian sorogan dan bandongan.
Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun
masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami
penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk adanya tambahan
pelajaran umum yang meliputi Bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan berhitung.
Sebagaimana diketahui, memang pada dasarnya pesantren memiliki kultur
yang khas yang berbeda dengan budaya sekitarnya─dan cara pengajarannya
yang unik. Sang kyai, yang biasanya adalah pendiri sekaligus pemilik pesantren,
membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan klasik berbahasa Arab (dikenal
dengan sebutan “Kitab Kuning”), sementara para santri mendengarkan sambil
member catatan pada kitab yang sedang dibaca. Metode ini disebut bandongan
atau layanan kolektif. Selain itu, para santri juga ditugaskan membaca kitab,
sementara kyai atau ustadz yang sudah mumpuni menyimak sambil mengoreksi
dan mengevaluasi bacaan dan performance seorang santri. Metode ini dikenal
dengan istilah sorogan atau layanan individual. Kegiatan belajar-mengajar
tersebut berlangsung tanpa adanya penjenjangan kelas dan kurikulum yang ketat,
dan biasanya dengan memisahkan jenis kelamin siswa19
, antara laki-laki dengan
perempuan. Selain itu, jumlah teks klasik yang diterima di pesantren sebagai
19
Mastuki HS., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), cet.II, h.3
51
ortodoks (al-kutub al-mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang
bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah;
hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya
baru, namun kandungannya tidak berubah.
Melihat itu semua, ada kekhawatiran akan adanya kemunduran atau
kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan
Islam. Karena materi yang diajarkan hanyalah materi-materi dan ilmu-ilmu
keagamaan. Anak didik atau santri akan lebih senang mengikuti pemikiran
ulama terdahulu dari pada berusaha melahirkan penemuan-penemuan baru,
mereka terpesona terhadap buah pikiran masa lampau sehingga merasa cukup
dengan apa yang sudah ada, dan pada akhirnya mereka tidak mampu untuk
memunculkan gagasan-gagasan keagamaan yang cemerlang.20
Guna meningkatkan pendidikan di Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari telah
menunjuk kepada Wahid Hasyim dan Muhammad Ilyas (sebelumnya telah
diutus untuk belajar di Mekkah) untuk mengembangkan pendidikan di
Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk
mengadakan pembaruan dalam tiga bidang yakni: a) memperluas pengetahuan
para santri, b) memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah,
dan c) meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif. Karena
disadari, bahwa pendidikan menentukan adanya objek yang menjadi
permasalahan, dan membawa suatu proses kearah tercapainya tujuan yang telah
terlebih dahulu ditetapkan.
Dengan keadaan seperti tersebut di atas , sebagai orang yang ditunjuk
untuk melanjutkan usaha pendidikan yang dibangun oleh ayahandanya, Wahid
Hasyim kemudian mengajukan beberapa usulan pembaruan pendidikan di
Pondok Pesantren Tebuireng. Di antaranya mengenai metode yang digunakan
dalam proses belajar mengajar dan tujuan atau harapan santri belajar di
pesantren dan pengenalan mata pelajaran dari Barat.
Mendudukkan para santri dalam posisi sejajar, atau bahkan bila mungkin
lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak
20
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet.I, h.121
52
usia muda. Wahid Hasyim tidak ingin melihat santri berkedudukkan rendah
dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu
pengetahuan, dia berkiprah langsung membina pondok pesantren asuhan
ayahandanya.
Keterbukaan terhadap segala hal yang baru dan pemikiran yang cukup
maju dari Wahid Hasyim dapat dilihat ketika beliau mengusulkan adanya
perubahan kurikulum di pondok pesantren. Ide yang ditawarkan adalah
memasukkannya ilmu pengetahuan “sekuler” dalam kurikulum pesantren. Hal
ini dimaksudkan agar santri tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga
menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat. Dengan dikuasainya kedua
ilmu tersebut, santri, dalam pandangan Wahid Hasyim akan menjadi manusia
yang sempurna.21
Meski tidak pernah mengeyam pendidikan modern, wawasan berpikir
Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga sebagai hasil dari
luasnya bacaan dia, sebagaimana telah disinggung pada latar belakang
pendidikan beliau di atas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-
kegiatan sosial dan pendidikan. Pada 1935 misalnya, bersama KH. Ilyas─yang
kemudian juga menjadi Menteri Agama─ Wahid Hasyim mendirikan Madrasah
Nizhamiyah yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tapi juga ilmu-ilmu
umum, termasuk bahasa Belanda dan Inggris. Apa yang dilakukan Wahid
Hasyim bersama teman karibnya ini jelas merupakan inovasi baru bagi kalangan
pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap hal tabu oleh pesantren
karena dipandang identik dengan Barat atau penjajah yang memperkenalkan
ilmu tersebut ke Indonesia. Kebencian mendalam terhadap penjajah membuat
pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti memakai
dasi dan topi, di samping ilmu pengetahuan umum tersebut. Tidak
mengherankan bila Wahid Hasyim, khususnya, dan pesantren Tebuireng,
umumnya, mendapat kritikan banyak pesantren karena langkah baru tadi.
Namun Wahid Hasyim dengan yakin melanjutkan usahanya ini, karena dia
21
Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 72; lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979), h. 63 dan 268
53
melihat bahwa tidak semua yang datang dari Barat itu jelek atau tercela, apalagi
dalam hal ilmu pengetahuan.
Usaha Wahid Hasyim ini juga dapat dilihat sebagai pengaruh dari
perkembangan pendidikan saat itu. Sejak diperkenalkannya “politik etis” oleh
Belanda─yang kemudian memberikan kesempatan belajar bagi sebagian kecil
masyarakat Indonesia─dan didorong semangat pembaruan yang berasal dari
Timur Tengah, umat Islam Indonesia pada akhir abad 19 dan awal abad 20 mulai
mengembangkan sistem pendidikan moderen. Para pengelola pendidikan Islam
tidak hanya mengubah pendidikan tradisional, seperti pesantren, ke bentuk
madrasah atau pendidikan klasikal; sebagian mereka mengembangkan sistem
pendidikan Barat yang dimuati nilai-nilai Islam, seperti dilakukan
Muhammadiyah. Pada 1930-an telah dijumpai banyak sekolah moderen Islam
yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum ditambah dengan pelajaran-
pelajaran agama. Hal inilah yang tampaknya ikut mempengaruhi Wahid Hasyim
mendirikan Madrasah Nizhamiyah di atas.
Dalam intitusi baru yang didirikan Wahid Hasyim ini, dia menggunakan
ruang kelas dengan kurikulum 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.
Pelajaran sekuler yang diajarkan di Madrasah Nizhamiyah adalah aritmatika,
sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam. Sebagai tambahan, santri diajari
pelajaran bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris dan Belanda. Keterampilan
mengetik juga diberikan untuk meningkatkan kualitas keterampilan santri.
Mengenai keefektifan metode yang digunakan di pesantren, Wahid
Hasyim mengusulkan untuk mengadopsi sistem tutorial, sebagai ganti dari
metode bandongan. Menurutnya, metode bandongan sudah sangat tidak efektif
dalam mengembangkan inisiatif santri. Hal ini disebabkan di mana metode
bandongan diterapkan, santri dating hanya untuk mendengar, menulis dan
menghafal pelajaran yang diberikan; tidak ada kesempatan bagi santri untuk
mengajukan pertanyaan atau bahkan mendiskusikan pelajaran. Wahid Hasyim
secara jelas menyimpulkan bahwa metode bandongan membuat santri pasif.
Wahid Hasyim juga mencoba untuk mengoreksi harapan santri belajar di
pesantren. Dia mengusulkan agar kebanyakan para santri yang datang ke
54
pesantren tidak berharap menjadi ulama. Oleh karena itu, mereka tidak perlu
menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam mengakumulasikan ilmu agama
melalui teks-teks Arab. Mereka dapat memperoleh ilmu agama dari buku-buku
yang ditulis dengan huruf Latin, dan menghabiskan sisa waktunya untuk
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dibarengi kemampuan menguasai
keterampilan yang berguna secara langsung di tengah masyarakat di mana
mereka berada. Hanya sebagian kecil saja yang memang disiapkan menjadi
ulama yang diajari bahasa Arab dan karya-karya klasik.
Langkah yang diambil, di samping untuk latihan mengoperasionalkan ilmu
pengetahuan juga untuk mencoba menjajaki kondisi pendidikan yang sebenarnya
sedang berkembang di masyarakat Islam pada waktu itu. Selanjutnya usaha
meningkatkan ilmu pengetahuan, Wahid Hasyim merintis perpustakaan pribadi
yang dipenuhi koleksi buku-buku agama dan ilmu pengetahuan umum. Dia juga
berlangganan majalah-majalah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang
mengungkap masalah-masalah agama, pendidikan, politik dan kehidupan yang
dialami oleh berbagai umat Islam di dunia.22
Semua buku dan majalah yang beliau punyai ditempatkan dalam
perpustakaan dan beliau menganjurkan kepada santrinya untuk membacanya.
Apa yang dilakukan Wahid Hasyim ini adalah untuk mendukung idenya bahwa
umat Islam, khususnya generasi muda, harus banyak membaca.
Di samping itu, pada tahun 1936 didirikanlah Ikatan Pelajar-pelajar Islam
(IKPI) yang dipimpin oleh Wahid Hasyim sendiri.
Bahkan ketika Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama (1949-1952)
banyak hal pembaruan dalam usaha dan jasa di bidang pendidikan dan
pengajaran Islam, yang kebetulan pada waktu itu yang menjadi penghubung
pendidikan agama kantor Pusat Kementerian Agama adalah Mahmud Yunus. Di
antara jasa-jasanya itu adalah sebagai berikut:
a. Mengeluarkan peraturan tentang: susunan dan tugas kewajiban Kantor
Pusat Kementerian Agama, Jawatan Pendidikan Agama dan Jawatan
22
Zamakhsyari, Tradisi…, h. 106
55
Penerangan Agama. (Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1951 tanggal
12 januari 1951).
b. Mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri PPK dan Menteri Agama
tentang: Pendidikan Agama di sekolah-sekolah Negeri dan Partikelir pada
20 Januari 1951.
c. Menyusun top formasi pegawai Kantor Pendidikan Agama di Propinsi-
propinsi dan Kabupaten-kabupaten seluruh Indonesia (pada tanggal 27
Januari 1951).
d. Mendirikan kantor-kantor pendidikan agama di propinsi-propinsi dan
kabupaten-kabupaten seluruh Indonesia (pada tanggal 30 Januari 1951).
e. Mendirikan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri di Kotaraja
(Aceh) pada tanggal 13 Februari 1951.
f. Mendirikan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri di Bukit Tinggi
(Sumatera Tengah) pada tanggal 31 Februari 1951.
g. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Tanjung Pinang
(Sumatera Tengah) pada tanggal 31 Mei 1951.
h. Mengusahakan keluarnya Putusan Menteri PPK dan persetujuan Menteri
Agama tentang penghargaan ijazah-ijazah madrasah (pada tanggal 17 Juli
1951).
i. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Kotaraja (pada
tanggal 14 Agustus 1951).
j. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Padang (pada
tanggal 16 Agustus 1951).
k. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Banjarmasin (pada
tanggal 16 Agustus 1951).
l. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Jakarta (pada
tanggal 16 Agustus 1951).
m. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Tanjung Karang
(Sumatera Selatan) pada tanggal 16 Agustus 1951).
n. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Bandung (pada
tanggal 02 Agustus 1951).
56
o. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan (pada
tanggal 08 Agustus 1951).
p. Mendirikan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri di Bandung
(pada tanggal 02 Agustus 1951).
q. Menetapkan rencana pendidikan Islam di sekolah-sekolah Rakyat dari
kelas IV—VI (pada tanggal 06 Mei 1951).
r. Menetapkan rencana pelajaran agama Islam di Sekolah-sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (pada tanggal 31 Agustus 1951).
s. Mengeluarkan peraturan bersama Menteri PPK dan Menteri Agama
tentang peraturan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di
Yogyakarta (pada tanggal 21 Oktober 1951).
t. Dan lain-lain, yang berhubungan dengan pendidikan agama.
Maksud dari itu semua, bahwa beliau juga menyadari, sejak sistem
pendidikan Nasional mengadopsi sistem Barat yang memfokuskan pendidikan
pada pelajaran sekuler, banyak hal yang hilang dari pendidikan terutama yang
berkaitan dengan nilai dan moral. Hal ini menjadi perhatiannya karena,
pendidikan yang menjadi motor penggerak kemajuan Indonesia tidak hanya
persoalan perkembangan akal atau badan dan keterampilan belaka, akan tetapi
juga persoalan perkembangan spirit yang hanya dapat dicapai melalui
pendidikan agama. Oleh karena itu, beliau menekankan bahwa sistem
pendidikan Nasional harus memasukkan pelajaran agama dan harus diberikan
secara seimbang dengan pelajaran umum. Perdebatan mengenai apakah
pelajaran agama harus diberikan di sekolah pemerintah (Negeri) atau tidak,
akhirnya mengeluarkan SK bersama antara Kementrian Agama dengan
Kementrian Pendidikan yang menyatakan bahwa pelajaran agama harus
diberikan sejak kelas IV, dan sekolah menengah selama dua jam dalam
seminggunya. Berkat usaha Wahid Hasyim dalam kabinet, pemerintah
mengeluarkan peraturan tertanggal 21 Januari 1951 yang mewajibkan pelajaran
agama harus diajarkan di sekolah “sekuler”.
Pendeknya, pada masa Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama dan
Mahmud Yunus sebagai Penghubung Pendidikan Agama, banyaklah usaha-
57
usaha yang dilaksanakan untuk kemajuan pendidikan agama seluruh Indonesia.
Pada masa itulah (1951), lahir SGHA dan PGA di luar pulau Jawa, dengan
rencana pelajaran yang sama; dan pada masa itu, lahirlah persatuan rencana
pelajaran agama di sekolah-Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (rencana Panitia,
kemudian disahkan oleh Menteri Agama dan Menteri PPK). 23
Pada masa itu, 1951, telah ada jawatan Pendidikan Agama yang
berkedudukan di Yogyakarta. Sebab itulah diadakan Penghubung Pendidikan
Agama di Pusat Kementerian Agama di Jakarta yang dikepalai oleh Mahmud
Yunus.
4. Bidang Politik
Ketika Wahid Hasyim menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini mengadakan dua kali
rapat. Pertama, tanggal 28 Mei sampai 1 Juni 1945 dan kedua pada 10-17 Juli
1945. Dalam siding pertama, badan ini membicarakan dasar-dasar negara
Indonesia yang akan lahir. Dalam rapat ini, Wahid Hasyim adalah salah satu
peserta yang menghendaki agar negara yang akan dibentuk berdasarkan Islam
mengingat Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia. Mereka dikenal
dengan golongan Islam. Sementara itu, sebagian peserta lain menghendaki agar
negara yang akan dibentuk tidak berdasarkan pada agama tertentu karena adanya
fakta bahwa selain umat Islam terdapat pula penganut agama lain di nusantara
ini. Yang terakhir ini dikenal dengan golongan Nasional─meski sebagian besar
anggota golongan ini juga beragama Islam. Rapat ini berakhir dengan
dibentuknya Panitia Sembilan, dimana Wahid Hasyim menjadi salah satu
anggotanya, yang bertugas merumuskan hasil akhir berdasarkan usulan-usulan
peserta sidang. Panitia inia akhirnya berhasil merumuskan rancangan
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang kemudian lebih dikenal sebagai
Piagam Jakarta. Dalam piagam tersebut, tercantum satu kalimat yang di
23
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1995), h. 369-371
58
kemudian hari menimbulkan kontroversi, yakni sila pertama: “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Rapat kedua yang mestinya membicarakan isi Undang-Undang Dasar
sempat diawali perdebatan sekitar Piagam Jakarta tersebut tadi. Sekali lagi,
Wahid Hasyim yang menjadi bagian dari mereka mengusulkan agar negara
berdasarkan Islam dan Presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang gigih
mengusulkan agar Indonesia menjadi negara yang berdasarkan Islam. Namun
Islam bukanlah harga mati bagi dia. Ini terbukti ketika pada suatu hari setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, Wahid hasyim tanpa
berbelit-belit dapat menerima usulan yang diajukan Mohammad Hatta agar
segala rumusan yang memuat Islam secara eksplisit dihapuskan dari Pembukaan
Undang-Undang Dasar, karena disinyalir ada keberatan dari penduduk Indonesia
bagian Timur yang tidak ingin bergabung dengan Indonesia merdeka jika
berdasarkan Islam.24
Apa yang dilakukan Wahid Hasyim kemudian justru adalah bagaimana
menempatkan aspirasi kalangan agama, tidak hanya Islam, dalam negara
Indonesia modern melalui institusi Kementerian Agama.
Sama halnya ketika Wahid Hasyim berada di tubuh organisasi yang
dinaunginya, NU. Setelah NU keluar dari Masyumi, Wahid Hasyim menulis
sepucuk surat kepada PB Masyumi yang menyatakan alasan betapa pentingnya
Masyumi mengubah struktur organisasi menjadi sebuah federasi. Dengan
struktur demikian, semua organisasi yang berdasarkan Islam dapat menjadi
anggotanya dan dapat dipersatukan kembali potensi umat Islam dalam
melakukan perjuangan. Namun seruan itu ternyata tidak ditanggapi, tetapi justru
hal tersebut mendapat respon positif dari Paartai Sarikat Islam Indonesia dan
Partai Perti (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah).
24
Memang terjadi perbedaan pendapat, apakah Wahid Hasyim hadir dalam rapat tanggal 18
Agustus 1945 itu. Prawoto mengatakan tidak karena Wahid Hasyim sedang berada di luar
Jakarta, sementara Hatta yakin dia ada dalam rapat tersebut. Lihat Deliar Noer, Partai Islam …,
h. 39-43
59
Kemudian dibentuklah badan persiapan federasi. Dalam rapat badan
persiapan federasi, disetujui federasi itu dinamakan Liga Muslimin Indonesia.
Peresmiannya dilakukan di serambi Gedung Parlemen Pejambon (sekarang
Gedung Kemenlu) pada 30 Agustus 1952, bertepatan dengan hari wukuf di
Arafah pada musim haji tahun itu. Menurut anggaran dasarnya, federasi ini
dibentuk untuk mewujudkan masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum
Allah dan Rasulullah. Untuk mewujudkan tujuan itu, federasi ini berusaha
mengatur rencana bersama mengenai langkah-langkah besar bagi kepentingan
umat Islam di Indonesia dalam segala lapangan kehidupan.
60
BAB IV
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM
KH. A. WAHID HASYIM
A. Pembaruan Pendidikan Islam
Wahid Hasyim adalah seorang yang memberikan perhatian besar
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Latar belakang pendidikan
pesantren yang ia miliki ditambah dengan bacaannya yang luas, sebagaimana
telah diketahui dalam biografi beliau, menjadikan Wahid Hasyim sebagai
pribadi yang sadar akan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan, agama
dan umum sekaligus. Beliau sangat memahami bahwa Indonesia yang sedang
membangun membutuhkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu
pengetahuan umum. Sebaliknya, pembangunan yang sedang berlangsung juga
membutuhkan agama agar terhindar dari dekadensi moral.
Dalam kesempatan lain, dia mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan
tidak boleh dikurung perasaan keagaamaan yang sempit. “Tiap-tiap Muslim
sejati… memandang pengetahuan dari sudut logika semata-mata; perasaan
dan batin dalam lapangan mencari pengetahuan dan mengadu kebenaran
harus dikesampingkan.” Demikian pula, ilmu harus bebas dari pertimbangan-
pertimbangan politik.1
1 Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan Alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 813-814
61
Untuk mewujudkan hal tersebut, ada tiga hal yang dilakukan Wahid
Hasyim ketika menjabat Menteri Agama. Pertama, lahirlah Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAIN) pada tahun 1950—yang kemudian hari berkembang
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada tahun 1960—sebagai
lembaga pendidikan tinggi agama yang modern. Kedua, memasukkan
kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Ketiga, mendirikan
Pendidikan Guru Agama—sebagai konsekuensi dari adanya pengajaran
agama di sekolah-sekolah umum.
Wahid Hasyim memberikan kontribusi pembaruan dalam pendidikan
Islam dari ketiga hal di atas; mendirikan PTAIN, memasukkan pendidikan
agama di sekolah umum, dan mendirikan PGA di kancah pendidikan nasional
ketika menjabat sebagai Menteri Agama.
1. Mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
Keinginan sebagian pemimpin Islam di negeri ini untuk memiliki
lembaga perguruan tinggi sendiri sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai Islam
sudah tumbuh menjelang periode akhir era kolonialisme, lebih-lebih setelah
melihat kiprah para tamatan lembaga perguruan tinggi yang diprakarsai
pemerintah penjajah.
Kota Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan pusat pemerintahan
Republik Indonesia, diberi penghargaan dengan menetapkan Kota
Yogyakarta sebagai kota universitas. Karena telah didirikanlah di Yogyakarta
Universitas Gajah Mada yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950. Sehubungan dengan itu kepada
umat Islam diberikan pemerintah pula Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) yang dinegerikan dari Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia
(UII) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950 dan di
tanda tangani oleh Presiden RI bertanggal 14 Agustus 1950. Sedangkan
peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan No. K/I/14641
62
Tahun 1951 (Agama) dan No. 28665/ Kab. Tahun 1951 (Pendidikan
tertanggal 1 September 1951).
PTAIN berasal dari fakultas Agama dari Universitas Islam Indonesia
(UII) di Yogyakarta. Dengan demikian Universitas Islam Indonesia (UII)
tidak mempunyai fakultas Agama lagi. Hanya tersisa fakultas Hukum,
fakultas Ekonomi dan fakultas Paedagogik (Pendidikan).
a. Sejarah Berdirinya
Salah satu jasa Wahid Hasyim selama dia menjadi Menteri Agama ialah
menerima pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam
Kementerian Agama. Sejarahnya adalah sebagai berikut:
Pada petengahan tahun 1950, dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No.34/1950 tanggal 14 Agustus 1950, dimulailah langkah-
langkah pertama untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN).
Kemudian atas keputusan Kabinet dibentuklah suatu panitia bernama
Panitia Perguruan Tinggi Agama, kemudian diganti dengan nama Panitia
Perguruan Tinggi Islam, diketuai oleh KH. Faturrahman Kafrawi (mantan
Menteri Agama RI) dan terdiri dari 11 anggota yaitu:
1. KH. Fathurrahman Kafrawi sebagai Ketua
2. Prof. Drs. Abdullah Sigit sebagai Anggota
3. Prof. Mr. A. G. Pringgidigdo sebagai Anggota
4. Muchtar Yahya sebagai Anggota
5. Prof. Abd. Kahar Muzakkir sebagai Anggota
6. Mahmud Yunus sebagai Anggota
7. KH. Faried Ma’ruf sebagai Anggota
8. KH. Abdullah Efendi sebagai Anggota
9. Prof. Mr. Notosusanto sebagai Anggota
10. Mr. Rusbandi sebagai Anggota
11. M. Sulaiman sebagai Anggota
63
Dalam waktu tiga setengah bulan panitia tersebut menyusun Rencana
Peraturan yang selanjutnya mendapat pengesahan dari Kementerian Agama
dan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Dan berkenaan
dengan hal itu disusun pula rencana calon-calon anggota Dewan Pengawas
(Dewan Kurator) dan calon-calon pendidiknya.
Kemudian KH. Fathurrahman Kafrawi diberikan tugas oleh Wahid
Hasyim selaku Menteri Agama, untuk melaksanakan segala persiapan
penyelenggaraan keperluan Perguruaan Tinggi Agama Islam Negeri ini.
Diantara hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah:
a. Gedung perkuliahan,
b. Sekretariat,
c. Perlengkapan,
d. Dosen,
e. Dewan Kurator (Dewan Penasehat),
f. Kegiatan pendaftaran dan lainnya. 2
Dana yang dikeluarkan untuk melaksanakan pendirian PTAIN ini
bukanlah jumlah yang kecil pada saat itu sebesar Rp. 548.500 (Lima ratus
empat puluh delapan ribu lima ratus rupiah). Barulah pada bulan September
1951 telah selesai dibangun gedung untuk PTAIN di Yogyakarta. Gedung
tersebut telah dilengkapi dengan kebutuhan yang sesuai pada masanya. Dan
untuk mengisi koleksi perpustakaan PTAIN maka disediakan 2.000 buah
judul buku.
Mulailah dibuka penerimaan pendaftaran mahasiswa pada tanggal 1 Juli
1951 sampai dengan 25 Agustus 1951 dan terkumpul 100 calon mahasiswa.
Namun sehubungan dengan belum tersedianya Ketua Fakultas dan Dosen,
maka para calon mahasiswa tersebut diadakan “penyaringan” oleh Panitia
Ujian yang diketuai oleh Hertog Jojonegoro dan beranggotakan 11 orang.
Calon mahasiswa yang berasal dari Sekolah Menengah Atas atau yang
sederajat, seperti SGHA, SMA Negeri atau yang dipersamakan dengan
2 Aboebakar, Sejarah Hidup …, h. 665
64
Sekolah Kejuruan Sejarah SGA, STM, serta Madrasah Menengah Tinggi
dengan terlebih dahulu dilaksanakan ujian.
Untuk memberikan jalan bagi pelajar-pelajar lulusan Madrasah
Menengah Atas (Tinggi) yang berminat ke PTAIN namun tingkat
pengetahuan umumnya kurang memadai, disediakan sekolah persiapan
dengan menempuh ujian masuk dengan mata pelajaran: Pengetahuan Agama
Islam, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Bumi, Sejarah Umum dan
Indonesia. Mata pelajaran di Sekolah Persiapan sama dengan mata pelajaran
yang diberikan di SMA Negeri kelas III jurusan Sastra (A) ditambah dengan
pelajaran Agama Islam.
PTAIN pada tanggal 26 September 1951 telah resmi dibuka dan dihadiri
oleh Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama dengan menyampaikan pidato
yang berjudul “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”.3 Pelaksanaan
penyelengaraannya diatur bersama oleh Menteri Agama dan Menteri PP&K
tertanggal 21 Oktober 1951 yang ditandatangani oleh A. Wahid Hasyim dan
Mr. Wongsonegoro.
b. Latar Belakang Berdirinya
Dalam sebuah sambutan Wahid Hasyim ketika membuka PTAIN ini dia
menyebutkan: jika pada saat ini (baca: saat pembukaan itu) mungkin timbul
pertanyaan yang disebabkan karena adanya dugaan, seakan-akan dengan
pembukaan PTAIN ini terdapat maksud bahwa golongan Islam lebih
diperhatikan melebihi golongan agama lainnya, maka hal tersebut tidaklah
benar. Karena untuk golongan Islam sekolah agama yang mengajajarkan dan
memelihara pendidikan agama dengan dasar pengetahuan yang bernilai
universitas belumlah ada di Indonesia. Wahid Hasyim menegaskan bahwa
walaupun PTAIN ini memakai nama suatu agama tertentu, yaitu Islam, tetapi
diantara tenaga-tenaga yang memajukannya baik di kalangan pengajar
maupun pelajarnya terdapat orang-orang dari macam-macam golongan
3 Naskah Pidato ini dimuat dalam Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim;
Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, (Jakarta: Inti
Sarana Aksara, 1985), h.84-90
65
agama. Maka perasaan saling menghargai dan kerja sama yang baik itu dapat
dipelihara.4
Selanjutnya masih dalam sambutannya ketika meresmikan perguruan
tinggi ini, Wahid Hasyim menjelaskan bahwa pendirian lembaga ini dilatar
belakangi beberapa hal. Antara lain, keprihatinan dia akan rendahnya kualitas
sumber daya manusia di kalangan umat Islam. Padahal, mereka adalah
kelompok terbesar. Karena kelemahan kualitas yang mereka hadapi,
kelompok mayoritas ini tidak mampu menyukseskan pembangunan yang
dilakukan dalam waktu yang cepat. Selain itu, pendirian ini juga didorong
oleh fakta bahwa umat Islam belum memiliki sekolah yang mengajarkan dan
memelihara pendidikan agama Islam dengan dasar pengetahuan setingkat
universitas. Sementara kelompok minoritas sudah memilikinya, dalam bentuk
Sekolah-sekolah Tinggi Theologia.
Disamping kedua latar belakang tersebut, dia juga mengemukakan bahwa
dalam masyarakat saat itu dijumpai dua pimpinan Islam. Pertama, pemimpin
politik Islam yang umumnya berpendidikan Barat tapi tidak punya
pengetahuan agama yang cukup. Kedua, pemimpin agama Islam, yakni para
ulama yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan umum dan politik.
Sebab itu, Wahid Hasyim mengharapkan bahwa Perguruan Tinggi Agama
Islam tersebut mampu melahirkan cendekiawan yang tidak hanya mendalami
ilmu pengetahuan agama dan umum serta takwanya kepada Allah, tetapi juga
memahami persoalan-persoalan politik. Dengan demikian, tidak akan terjadi
adanya ulama yang karena tidak sadar, menundukkan ilmu pengetahuan pada
politik.5
Dalam pandangan Islam bahwa ilmu pengetahuan tidaklah dianggap
sebagai satu syarat hidup yang dapat berdiri sendiri. Disamping pengetahuan,
diletakkan syarat lain yaitu takwa dalam artian takut kepada Allah dan
menjaga diri dari kesalahan. Kedua syarat hidup tersebut haruslah lengkap,
bahkan ketakwaan harus melebihi pengetahuan itu sendiri. Sebab jika ilmu
4 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h.82
5 Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 812-818
66
pengetahuan yang tidak disertai dengan ketakwaan maka akan menyebabkan
ketidakseimbangan dalam hidup.6
Jadi dengan hadirnya PTAIN yang dilatarbelakangi dari beberapa hal
tersebut menjadikan PTAIN kelak menghasilkan generasi yang
berpengetahuan luas serta memiliki ketakwaan kepada Allah swt. Sehingga
terhindar dari dekadensi moral.
c. Tujuan
Dari latar belakang berdirinya PTAIN yang telah dikemukakan terdapat
tujuan didirikannya PTAIN. Tujuan PTAIN adalah untuk memberikan
pengajaran tinggi dan menjadi pusat memperkembangkan dan memperdalam
ilmu pengetahuan tentang agama Islam dan untuk tujuan tersebut diletakkan
asas untuk membentuk manusia susila dan cakap serta mempunyai kesadaran
dalam bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia dan
dunia umumnya atas dasar Pancasila, Kebudayaan, Kebangsaan Indonesia
dan kenyataan.
Masyarakat sangat mengharapkan dengan adanya PTAIN ini kelak dapat
menghasilkan orang-orang pandai dan ulama yang memiliki ketakwaan,
perasaan takut kepada Allah swt dan dengan sendirinya menimbulkan rasa
tanggung jawab kepada-Nya lebih besar dari pada segala pertanggung
jawaban terhadap lainnya, dengan demikian maka akan mucul sikap jujur
serta berani membela kebenaran.7
Pada Pasal 2 dari Peraturan Pemerintah No.34 tahun 1950, bahwa
Perguruan Tinggi Agama Islam bermaksud untuk memberikan pelajaran
tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu
pengetahuan tentang Agama Islam.
Di samping tujuan ideal di atas, dibentuknya PTAIN tidak luput dari
tujuan praktis, yakni untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan tenaga ahli
dalam bidang ilmu agama Islam. Dapat dimaklumi bahwa pada ketika itu
6 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h. 87
7 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h. 89
67
telah banyak lulusan tingkat menengah sekolah atau madrasah yang belum
tersalurkan minat studi mereka ke tingkat perguruan tinggi disebabkan
lembaganya sebelum berdiri PTAIN belum ada. Selain dari itu kebutuhan
tenaga ahli dalam bidang agama yang dapat menyahuti perkembangan zaman
amat diperlukan dalam rangka membangun Indonesia yang baru merdeka. Di
sisi lain, selama ini sebelum berdirinya PTAIN masyarakat Indonesia yang
ingin memperdalam ilmu pengetahuan keagamaannya mesti berangkat ke luar
negeri ke Mesir atau ke Saudi Arabia. Selain itu PTAIN ini juga dapat
diharapkan menjadi pusat untuk mengembangkan ilmu-ilmu keIslaman
seperti halnya al-Azhar di Kairo Mesir.
d. Kurikulum
PTAIN yang berdirinya diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 1950, baru beroperasi secara praktis pada tahun 1951.
Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah
mahasiswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan
fakultasnya adalah KH. Muhammad Adnan.
PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan
lama belajar 4 tahun pada tingkat Bakalaureat dan Doktoral. Mata pelajaran
agama didampingi mata pelajaran umum terutama berkenaan dengan jurusan.
Mahasiswa jurusan Tarbiyah diberikan pengetahuan umum mengenai ilmu
pendidikan, dan begitu juga jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan
umum yang sesuai dengan jurusannya.
Dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri P.P.K pada
Peraturan Pemerintah No.34/1950 tanggal 14 Agustus 1950 pasal 1 tersebut
demikian:
1. Pelajaran PTAIN lamanya 4 tahun mempunyai susunan bertingkat-tingkat
yang bulat terdiri atas:
a. Tingkat pertama bernama Propaedeus selama 1 tahun yang diakhiri
dengan ujian Propaedeus.
68
b. Tingkat kedua jenis Kandidat dan berjenis Bacalaureat selama
sedikitnya satu tahun yang masing-masing diakhiri dengan ujian
Kandidat dan Bakalaureat.
c. Tingkat ketiga bernama Doktoral selama dua tahun yang diakhiri
dengan ujian Doktoral.
2. Tingkat pelajaran Bakalaureat dan tingkat pelajaran Doktoral masing-
masing mempunyai jurusan Tarbiyah, jurusan Qadha dan jurusan Dakwah.
Sedangkan dalam pasal 3 ditegaskan, bahwa Pelajaran tingkat Propaedeus
terdiri atas mata pelajaran: Bahasa Arab, Pengantar Ilmu Agama, Fiqh dan
Usul Fiqh, Tafsir, Hadits, dan Ilmu Kalam. Pelajaran tingkat Kandidat terdiri
atas mata pelajaran: Bahasa Arab, Mantiq, Filsafat, Akhlak, Tasawuf, dan
Perbandingan Agama. Dan Pelajaran tingkat Doktoral terdapat:
a. Jurusan Tarbiyah terdiri atas: Bahasa Arab, Tafsir, Hadits, Ilmu
Pendidikan dan Pengajaran dan Satu mata pelajaran pilihan: Ilmu
Kalam, Ilmu Filsafat, Akhlak, dan Tasawuf.
b. Jurusan Qadha terdiri atas: Pengantar Hukum, Fiqh dan Ushul Fiqh,
Tafsir, Asas-asas Hukum Publik dan Hukum Privat, dan Satu mata
pelajaran pilihan: Ethnologi, Sosiologi, Ekonomi, dan Bahasa Arab.
c. Jurusan Dakwah terdiri atas: Bahasa Arab, Fiqh dan Ushul Fiqh, Tafsir,
Hadits, Dakwah dan Satu mata pelajaran pilhan: Tarikh Islam, Sejarah
Kebudayaan Islam, Ilmu Jiwa, dan Sosiologi.
Selain daripada itu pada PTAIN diberi juga pengajaran dalam mata
pelajaran yang bersifat umum untuk memberikan dasar dan kesadaran akan
pendirian hidup yang luas dan kuat kepada para mahasiswa selaras dengan
tugas dan tujuannya.
Dan pada pasal 4 ditegaskan, bahwa mereka yang lulus dalam:
1. Ujian Bakalaureat memperoleh sebutan Bakalaureat Ilmu Pengetahuan
Agama Islam.
2. Ujian Doktoral memperoleh sebutan Doktorandus Ilmu Pengetahuan
Agama Islam.
69
Keunggulan pada Perguruan Tinggi Agama Islam adalah ciri khas yang
menandai perguruan tinggi agama Islam terlihat secara jelas pada beban studi
yang ditawarkan kepada mahasiswa dan produk yang dihasilkannya. Sebagai
wahana pengembangan sumber daya Manusia (SDM), perguruan tinggi
agama Islam secara konsisten berupaya menghasilkan produk yang memiliki
berbagai kompetensi. Diantaranya kompetensi akademik yang berkaitan
dengan metodologi keilmuan, kompetensi professional yang menyangkut
dengan kemampuan penerapan ilmu dan teknologi dalam realitas kehidupan,
kompetensi intelektual yang berkaitan dengan kepekaan terhadap persoalan
yang berkembang.8
Pada masa Orde Lama, kurikulum nasional dalam hal ini UU RI No. 21
tahun 1950 tentang pendidikan dan pengajaran masih bersifat umum. Aturan-
aturan yang terdapat di dalamnya masih tertuju pada setiap jenjang
pendidikan secara nasional. Sehingga jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah
Dasar hingga Perguruan Tinggi belum memiliki aturan/perundang-undangan
yang lebih spesifik.
Dengan demikian, kurikulum PTAIN pada masa Orde Lama sesungguhnya
masih merupakan “perpanjangan tangan” dari pesantren-pesantren yang ada
pada waktu itu. Hal ini disamping karena kesamaan materi yang diberikan,
juga karena figur-figur yang terlibat dalam proses pendirian perguruan tinggi
ini pun masih tergolong orang-orang pesantren.
d. Perkembangannya
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950 tentang pengembangan Fakultas
Agama dari Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN). Guna melaksanakan peraturan ini dibentuklah
Panitia Perguruan Tinggi Islam, beranggotakan sebelas orang dan diketuai
oleh KH. Faturrahman Kafrawi, yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu
yang berkaitan dengan pembukaan perguruaan tinggi tersebut. Dalam waktu
8 Syahrin Hararap (ed.), H.A. Yakub Matondang: Perguruan Tinggi Islam sebagai Subyek
dan Obyek Moral Akademik di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Tiara Kencana, 1998), h. 4
70
yang tidak terlalu lama, tepatnya pada 15 September 1951, lembaga ini resmi
dibuka dengan nama PTAIN dan berkedudukan di Yogyakarta.
Pendirian PTAIN ini merupakan salah satu peninggalan Wahid Hasyim
paling penting. Lembaga ini kemudian berkembang menjadi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN) yang sekarang
berjumlah 14 di seluruh Indonesia, dan mampu menyerap lebih dari 15 persen
dari keseluruhan mahasiswa Indonesia.
Bertepatan pada ulang tahun (Dies Natalis) ke IX Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri pada tanggal 26 September 1959 berdasarkan Ketetapan
Menteri Muda Agama No. 41 Tahun 1959 dibentuklah suatu panitia dengan
nama “Panitia Perbaikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri” yang
diketuai Prof. Mr. RHA. Soenarjo.
Setelah mengadakan sidang beberapa kali, maka disepakatilah bahwa
PTAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dengan ADIA9 yang
berkedudukan di Jakarta digabungkan menjadi Institut Agama Islam Negeri
“Al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukmiyah”. Keputusan panitia tersebut disetujui
oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia No.11 Tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam
Negeri yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1960.10
Dalam perekembangan berikutnya penggabungan kedua lembaga
perguruan tinggi tersebut diberi nama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini
berkembang menjadi 16 fakultas yang tersebar di beberapa kota seperti
Banjarmasin, Palembang, Surabaya, Serang, Aceh, Jambi, dan Padang.
Hingga sampai sekarang ini perkembangan IAIN maupun UIN semakin
meningkat sejalan dengan respon positif masyarakat terhadap produk yang
9 ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) adalah realisasi dari Departemen Agama yang
bertugas untuk menyiapkan tenaga-tenaga guru agama dalam rangka kesuksesan pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah-sekolah. Didirikan pada tanggal 15 Mei 1957 di Jakarta
tepatnya 12 kilometer dari Jakarta arah ke Selatan berdasarkan ketetapan Menteri Agama
Nomor 1 Tahun 1957 tertanggal 1 Januari 1957 yang dipimpin oleh Mahmud Yunus. 10
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 125-126
71
dihasilkan dari Pendidikan Tinggi Islam ini.11
Dari data yang didapatkan
sampai pada tahun 1973 telah berdiri 14 IAIN di seluruh Indonesia yaitu:
Tabel 1
Jumlah IAIN se-Indonesia
No. Nama Lokasi Tahun
Berdiri
Jumlah
Fakultas
Landasan
Hukum
1 IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 1960 8
Peraturan
Presiden No.
11/1960
2 IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 1963 10
SK Menag No.
49/1963
3 IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 1963 6 SK Menag No.
89/1963
4 IAIN Raden
Fattah Palembang 1964 6
SK Menag No.
87/1964
5 IAIN Antasari Banjarmasin 1964 9 SK Menag No.
89/1964
6 IAIN Alauddin Ujung
Pandang 1965 13
SK Menag No.
79/1965
7 IAIN Sunan
Ampel Surabaya 1965 18
SK Menag No.
20/1965
8 IAIN Imam
Bonjol Padang 1966 8
SK Menag No.
77/ 1966
9
IAIN Sultan
Thaha
Saefuddin
Jambi 1967 4
SK Menag No.
84/ 1967
10 IAIN Sunan
Gunung Jati Bandung 1968 7
SK Menag No.
57/ 1968
11
Direkttori Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri tahun 2000/2001, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, h. 4
72
11 IAIN Raden
Intan
Tanjung
Karang 1968 5
SK Menag No.
189/1968
12 IAIN Wali
Songo Semarang 1970 7
SK Menag No.
31/1970
13 IAIN Sultan
Syarif Qosim Pekanbaru 1970 3
SK Menag No.
194/1970
14 IAIN Sumatera
Utara Medan 1973 4
SK Menag No.
97/1973
Selanjutnya, upaya-upaya peningkatan IAIN terus dilaksanakan. Di
antaranya upaya peningkatan pendanaan, peningkatan peranan organisasi
IAIN, kurikulum peningkatan mutu dosen, penigkatan sarana fisik.
Kemudian dengan dilakukannya upaya-upaya peningkatan IAIN,
selanjutnya dalam perkembangan IAIN menjadi UIN telah dimulai sejak
tahun 2002 telah terjadi perubahan bagi sebagian IAIN menjadi UIN, yaitu
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2002 Tanggal 20 Mei
2002. Seterusnya diikuti oleh beberapa IAIN menjadi UIN, yaitu UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Qasim Pekanbaru, UIN Alauddin Makassar,
dan UIN Sunan Gunung Jati Bandung.
2. Memasukkan Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Pelajaran agama di sekolah umum dapat dikategorikan sebagai bagian dari
pendidikan Islam, dalam kaitannya dengan tujuan mengembangkan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah swt. Kategori sebagai pendidikan Islam ini
terutama dilihat dari pengertian pendidikan Islam dari sudut filosofinya,
bahwa esensi pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan pribadi
muslim yang memahami ajaran agamanya dan dapat mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari sebagai pengabdian kepada Allah, Sang Pencipta.
Peningkatan iman dan takwa merupakan unsur dari tujuan pendidikan
nasional, mempunyai makna yang sangat dalam bagi pembentukan manusia
73
Indonesia seutuhnya. Keimanan dan ketakwaan tidak dapat terwujud tanpa
agama, karena hanya agamalah yang dapat menuntun manusia Indonesia
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
Demikian dalam kaitan pembangunan bangsa, pendidikan agama pada
hakikatnya merupakan bangunan bawah dari moral bangsa. Ketentraman
hidup sehari-hari didalam masyarakat tidak hanya semata-mata ditentukan
oleh ketentuan hukum semata tetapi juga dan terutama didasarkan atas ikatan
moral nilai-nilai kesusilaan serta sopan santun yang didukung dan dihayati
bersama oleh seluruh masyarakat.
Terwujudnya kehidupan masyarakat yang berpegang pada moralitas tidak
bisa lain kecuali dengan pendidikan, khususnya pendidikan agama. Sebab
moralitas yang mempunyai daya ikat masyarakat bersumber dari agama,
nilai-nilai agama dan norma-norma agama. Agama yang berdimensi kedalam
pada kehidupan manusia membentuk daya tahan untuk menghadapi sikap dan
tingkah laku yang tidak sesuai dengan ucapan dan batinnya.
Peranan agama demikian penting bagi tata kehidupan pribadi maupun
masyarakat, maka dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
haruslah bertumpu di atas landasan keagamaan yang kokoh. Jalan untuk
mewujudkannya tidak bisa lain kecuali hanyalah dengan menempatkan
pendidikan agama sebagai faktor dasar yang paling penting.12
Pendidikan agama dewasa ini merupakan bagian dari kurikulum wajib
yang diselenggarakan di sekolah umum pada semua jenjang pendidikan.
Dalam sistem pendidikan nasional pendidikan agama memiliki fungsi yang
sangat fundamental terutama bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional,
yaitu untuk membentuk watak dan kepribadian siswa yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia. Karena itu, pendidikan agama tidak semata-
mata diarahkan kepada transfer of knowledge pada tataran kognitif semata,
tetapi meliputi ranah pendidikan, termasuk aspek afektif dan psikomotorik.
12
Abdul Rachman Shaleh, “Aktualisasi Politik Pendidikan di Lingkungan Departemen
Agama”, Pidato Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Bid. Pendidikan Agama
BALITBANG Agama Depag”, (Jakarta: BALITBANG Agama Depag, 1999), h. 11
74
Dengan demikian, muara dari seluruh proses pendidikan agama adalah
terbentuknya penghayatan, sikap, dan perilaku sebagai seorang Muslim yang
beriman dan mampu mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-
hari. Sosok pribadi demikian yang menjadi tujuan dari penyelenggaraan
pendidikan Islam.
Menurut Abudin Nata pendidikan agama secara sederhana adalah
pendidikan yang materinya terdiri dari pengetahuan agama seperti
tauhid/akidah, fiqih, al-Qur’an, ibadah, dan akhlak yang ditujukan untuk
menghasilkan anak didik yang berjiwa agamis (religius) yang terlihat dari
akidahnya yang kuat, kepatuhannya dalam menjalankan ibadah, akhlaknya
mulia, kepedulian sosialnya tinggi serta gemar membaca al-Qur’an.13
Oleh
karena itu, jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan Islam, maka pendidikan
agama haruslah mengantarkan peserta didik kepada terbinanya tiga aspek.
Pertama, aspek keimanan mencakup seluruh arkanul iman. Kedua, aspek
ibadah, mencakup seluruh arkanul Islam. Ketiga, aspek akhlak, mencakup
akhlakul karimah. Untuk tujuan itulah pendidikan agama diarahkan pada
terbentuknya manusia Indonesia beridentitas dan berkepribadian Pancalilais,
moralitas agamis yang kondusif serta ketegaran dan keteguhan pribadi dalam
menghadapi pasang surut pembangunan bangsa.
Wahid Hasyim dikenal sebagai seorang yang mencurahkan perhatiannya
dalam menyeimbangkan pengetahuan umum dan agama. Selain mendirikan
PTAIN, hal tersebut juga diimplementasikan dalam bentuk lain, yakni
memberikan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Menyusul
ditetapkannya UU Pendidikan No. 4/1950, Menteri Pendidikan Pengajaran
dan Kebudayaan dan Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Bersama pada
1951, yang intinya menegaskan bahwa pelajaran agama harus diajarkan di
sekolah-sekolah umum. Selain itu, keputusan bersama ini juga menyatakan
bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari
Kementerian Agama dianggap telah memenuhi wajib belajar.
13
Abudin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2006), h. 28
75
Keputusan No.1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan) dan No.
K.I/651. Tanggal 20 Januari 1951 (Agama) merupakan realisasi dari UU
Pokok Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Ayat 2: Cara menyelenggarakan
pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan bersama-
sama dengan Menteri Agama.
Keputusan tersebut terdiri dari 11 pasal, yang intinya adalah:
Pendidikan Agama diberikan di sekolah rendah dan lanjutan. Di sekolah
rendah pendidikan agama dimulai di kelas 4 sebanyak 2 jam dalam 1
minggu. Sedangkan di lingkungan istimewa pendidikan agama dapat
dimulai pada kelas satu dan lamanya belajar tidak boleh lebih dari 4 jam
seminggu. Di sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas baik di sekolah-
sekolah umum maupun sekolah-sekolah vak diberikan pendidikan agama 2
jam tiap-tiap minggu. Pendidikan agama yang diberikan sesuai agama
murid dan jumlah murid yang mengikuti pelajaran agama dalam satu kelas
sekurang-kurangnya sepuluh orang untuk agama tertentu. Selama
berlangsung pendidikan agama, murid yang beragama lain boleh
meninggalkan kelas. Guru-guru agama diangkat oleh Menteri Agama dan
begitu juga pembiayaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Bahan pelajaran ditetapkan oleh Kementerian Agama setelah mendapat
persetujuan dari Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Dengan dimasukkannya pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah
umum ini menunjukkan bukti betapa Wahid Hasyim menganggap pentingnya
pendidikan ketuhanan/agama.
Menurut Wahid Hasyim pada dasarnya setiap manusia adalah makhluk
yang beragama. Jika didapati ada manusia yang menganggap bahwa agama
itu tidak penting dan menganggap dirinya sebagai penentang agama, maka
pada hakikatnya hati orang tersebut selalu merasa kosong dan telah menukar
agamanya, dari yang lama kepada agama yang baru bernama anti-agama.
Wahid Hasyim menegaskan bahwa di Belanda yang dahulu menjadi
“kiblat”nya sebagian kaum terpelajar bangsa Indonesia, kini kurang dari 84%
sekolah-sekolah rendah diisi dengan pendidikan agama. Akan tetapi di
76
Indonesia, orang masih berkeras kepala menganggap bahwa pendidikan
agama itu akan menghambat kemajuan.14
Menurut Azyumardi Azra bahwa Islam sebagai agama universal dan
berlaku sepanjang zaman, bukan hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga
urusan dunia. Demikian pula Islam mengatur ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan Tuhan, dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keduniaan. Islam
mengatur keduanya secara integrated.15
Jika di dalam bidang keilmuan dirumuskan upaya peintegrasian yang
menyatu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, maka penyatuan itu
hendaknya tidak hanya mencakup dengan memasukkan mata pelajaran agama
ke sekolah-sekolah umum dan mata pelajaran umum ke pesantren dan
madrasah karena hal tersebut tidak sesuai dengan konsep pendidikan yang
memperhatikan pengembangan seluruh aspek-aspek manusia dalam satu
kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadinya dikotonomi.
Kemudian dalam rangka kesatuan sistem agar secara teknis tidak ada
dikotonomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum diwujudkan
melalui kebijaksanaan Wahid Hasyim untuk memasukkan tujuh mata
pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu mata pelajaran membaca-menulis
(latin), berhitung, Bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olahraga.
Kebijaksanaan tersebut, kemudian lahir Undang-Undang No. 4 Tahun
1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dalam
Pasal 10 Ayat 2 disebutkan bahwa: “Belajar di sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban
belajar”. 16
Selanjutnya kebijakan tersebut berkembang ketika KH. Moh. Ilyas
menjadi Menteri Agama setelah Wahid Hasyim yaitu dengan
memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 tahun. Tujuannya
14
Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h. 27 15
Azyumardi Azra, dalam Abudin Nata et.al., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. viii 16
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan Aksi),
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 26
77
diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa, yaitu untuk kemajuan di bidang
ekonomi, industri dan trasmigrasi dengan kurikulum yang menyelaraskan tiga
perkembangan, yaitu perkembangan otak, perkembangan hati dan
keterampilan tangan atau Three H (heart, head, hand).
3. Pendidikan Guru Agama (PGA)
a. Latar Belakang
Keberadaan dan peran guru dalam suatu proses pendidikan sangat penting.
Sebab guru berperan besar dalam menentukan berhasil tidaknya proses
pendidikan yang dijalankan. Abuddin Nata mengistilahkan guru sebagai salah
satu komponen pendidikan yang terpenting dari suatu sistem pendidikan17
secara keseluruhan. Dengan demikian, keberadaan dan peran guru dalam
upaya melahirkan manusia yang tangguh baik secara intelektual maupun
moral dan spiritual sangatlah diharapkan keberadaannya.
Oleh karena itu, guru sebagai faktor pendidikan yang sangat penting sebab
di tangan guru lahir metode, kurikulum, alat pembelajaran lainnya akan hidup
dan berperan. Ibrat manusia yang mengendalikan senjata itulah yang
menentukan bukan senjatanya (the man behind the gun). Atas asumsi itulah
maka salah satu yang paling pokok dibenahi oleh pemerintah di dalam
membenahi dunia pendidikan adalah guru dalam hal ini guru agama.
Munculnya lembaga pendidikan guru agama ini, didasari kebutuhan yang
meningkat dengan berdiri dan berkembangnya lembaga pendidikan yang
membutuhkan guru-guru baru.
Pendirian Pendidikan Guru Agama (PGA) di lingkungan Departemen
Agama didorong oleh tugas untuk memenuhi dan merealisir rekomendasi
BPKNIP dan Panitia Penyelidik Pengajaran mengenai pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah umum.
Tugas menyiapkan calon guru agama di sekolah umum menjadi semakin
mendesak, setelah ditetapkannya UU No. 20 tahun 1950 tentang Dasar-dasar
17
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: Grasindo, 2001), cet. 1, h. 132
78
Pendidikan dan Pengaajaran di sekolah. Pasal 20 ayat 1 dan 2 dalam Undang-
Undang tersebut menentukan bahwa dalam sekolah-sekolah negeri diadakan
pelajaran agama. Orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan
mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
b. Sejarah
Sejarah munculnya Pendidikan Guru Agama (PGA), akarnya sudah
dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan khususnya di wilayah
Minangkabau, tetapi dengan pendirian PGA oleh Departemen Agama,
kelanjutan lembaga pendidikan Islam di Indonesia mendapat jaminan yang
lebih strategis.
Mengingat semakin besarnya tugas penanganan masalah pendidikan Islam,
maka bagian pendidikan dalam Departemen Agama dikembangkan menjadi
Jawatan Pendidikan Agama pada tahun 1950 (ketika Wahid Hasyim sebagai
Menteri Agama). Badan ini memiliki peran yang sangat penting dan strategis
di lingkungan Departemen Agama mengingat tugas pengembangan
pendidikan merupakan lahan garapan yang sangat luas dan menantang.
Beberapa tokoh yang pernah menjabat posisi ini adalah Drs. Abdullah Sigit,
Mahmud Yunus, Fakih Usman dan Arifin Tamyang. Hampir semua
perubahan dan pengembangan pendidikan agama pada masa pemerintahan
Orde Lama tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Jawatan itu
kemudian disetuji oleh Menteri Agama.18
Sejarah PGA pada masa Orde Lama bermula dari program Departemen
Agama yang ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggungjawab
bagian pendidikan.
Pada tahun 1950 itu pula, bagian dari Departemen Agama tersebut
membuka dua lembaga pendidikan yang dapat dikatakan sebagai lembaga
profesional keguruan:
1. Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Terdiri dari dua jenjang:
18
Maskum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 1999), h. 125
79
a. Jenjang jangka panjang yang ditempuh selama 5 tahun19
dan
diperuntukkan bagi siswa tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI),
b. Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun dan
diperuntukkan bagi tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Madrasah Tsanawiyah (MTs).
2. Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI) ditempuh selama 4 tahun dan
diperuntukkan bagi tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Madrasah Tsanawiyah (MTs). Terdiri dari 4 bagian:
a. Bagian A mencetak guru kesusastraan,
b. Bagian B mencetak guru ilmu alam dan ilmu pasti,
c. Bagian C mencetak guru agama, dan
d. Bagian D mencetak tenaga administrasi peradilan agama.20
Bagi calon guru agama pada sekolah umum ditekankan untuk memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang sama dengan guru umum (lulus Sekolah
Guru Bantu) di samping memiliki pengetahuan ilmu agama. Hal ini
dimaksudkan agar calon-calon guru agama tidak merasa rendah diri dan
diremehkan oleh guru umum di sekolahnya. Di samping itu, dimaksudkan
agar guru agama mempunyai pengetahuan yang luas sehingga dapat
mengajarkan agama melalui pendekatan ilmu pengetahuan umum. Dengan
kata lain, ilmu agama yang diajarkan sejalan dengan ilmu umum dan tidak
menimbulkan pertentangan antara agama dan umum.
Dengan adanya rencana dua lembaga ini yang diajukan oleh Drs. Sigit
secara tegas membedakan kemampuan yang harus dimiliki oleh calon guru
agama pada sekolah umum dan calon guru untuk madrasah.
19
Mata pelajaran selain agama juga diberikan. Pelajaran umum yang diberikan setingkat
dengan Sekolah Guru Bantu (SGB) ditambah ilmu agama dan bahasa Arab. Jika di SGB lama
belajar 4 tahun maka di SGAI lama belajar 5 tahun. Dengan langkah ini guru agama
diharapkan mempunyai kemampuan seperti guru umum lulusan SGB ditambah kemampuan
khusus agama (SGB Plus). Lihat: Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di
Indonesia, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005), h. 141 20
Maskum, Madrasah;…, h. 124
80
Mula-mula rencana ini hanya dijalankan di daerah Yogyakarta saja.
Barulah setelah Kementrian Agama RI di Yogyakarta digabung dengan
Kementrian Agama RIS di Jakarta dalam Negara kesatuan RI berdasarkan
Keputusan Bersama Menteri Agama No. 10 A.11/2/2175 tanggal 10 Agustus
1950, maka Menteri Agama Wahid Hasyim ketika itu hendak menjalankan
rencana tersebut ke seluruh Indonesia. Ini tercermin dalam Surat Edaran
Menteri Agama No. 277/C/C-9 tanggal 15 Agustus 1950 yang menganjurkan
agar setiap daerah karesidenan di Indonesia membuka Sekolah Guru Agama
Islam (SGAI), dengan perubahan nama, yaitu SGAI diubah menjadi
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Guru Hakim Agama Islam
(SGHAI) diubah menjadi Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA).
Pengaruh surat edaran ini ternyata sangat besar, terbukti kemudian PGA
berkembang pesat dan dapat dijumpai, tidak hanya di tiap Karesidenan, tapi
hampir tiap kabupaten. PGA tersebut adalah:
a. PGAN di Tanjung Pinang, Sumatera Tengah didirikan pada 31 Mei 1951.
b. PGAN di Kotaraja, Aceh didirikan pada 14 Agustus 1951.
c. PGAN di Padang didirikan pada 16 Agustus 1951.
d. PGAN di Banjarmasin didirikan pada 16 Agustus 1951.
e. PGAN di Tanjung Karang, Sumatera Selatan didirikan pada 16 Agustus
1951.
f. PGAN di Bandung didirikan pada 2 Agustus 1951.
g. PGAN di Pamekasan didirikan pada 8 Agustus 1951.
Dengan hadirnya PGA ini diharapkan dapat menghasilkan guru agama
yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya sebagai tenaga
profesional.
Sedangkan seorang yang professional memiliki ciri:
1. Memiliki keahlian di bidang yang dikerjakannya.
2. Menggunakan waktunya untuk bekerja dalam bidang pekerjaannya.
3. Hidup dari pekerjaannya tersebut.
81
4. Pekerjaan tersebut bukanlah sebagai hobi.21
Dengan makin banyaknya lulusan PGA—di samping Madrasah Aliyah,
tentu saja—yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi,
maka semakin banyak pula kebutuhan akan IAIN, karena bagaimanapun
IAIN merupakan tempat yang tepat bagi mereka.22
Untuk pembinaan dan
pengembangannya mereka berhimpun dalam satu wadah Peratuan Pendidikan
Guru-Guru Agama seluruh Indonesia.
c. Perkembangan
Ketika Jawatan Pendidikan Agama dipegang oleh Arifin Tameyang (1952-
1958), di bawah Menteri Agama Fakih Usman, struktur lembaga keguruan
Pendidikan Guru Agama (PGA) ditata ulang yang terkesan mengurangi
eksistensi PGA tersebut. Pendidikan Guru Agama (PGA) yang semula
ditempuh cukup dengan 5 tahun, dirubah menjadi 6 tahun yang terdiri dari 4
tahun tingkat Pertama dan 2 tahun tingkat Atas. Kebijakan Arifin juga
menegaskan dihapuskannya PGA jangka pendek 2 tahun. Jadi untuk
mencetak guru agama hanya disediakan Pendidikan Guru Agama 6 tahun.
Sementara itu, perubahan drastis juga terjadi pada Sekolah Guru dan Hakim
Agama (SGHA) dirubah menjadi Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN),
yang tidak lagi membuka jurusan keguruan seperti guru kesusasteraan dan
guru ilmu alam.23
Berikut rencana dari Arifin Tameyang:
1. PGA jangka pendek (2 tahun) dan PGA jangka panjang 5 tahun
dihapuskan (Penetapan Menteri Agama tanggal 21 Nopember 1953).
Sebagai gantinya PGA tersebut diubah menjadi 6 tahun yang terdiri dari
Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) 4 tahun dan Pendidikan Guru
Agama Atas (PGAA) 2 tahun.
2. SGHA dihapuskan (Penetapan Menteri Agama tanggal 9 Mei 1954)
terutama bagian A, B, dan C. Bagian D dianggap masih diperlukan.
Sebagai ganti dari bagian D didirikan Pendidikan Hakim Islam (PHI) yang
21
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam …, h. 76 22
Zamakhsyari Dhofier, “KH. Wahid Hasyim, Rantai Penghubung Peradaban Pesantren
dengan Peradaban Indonesia Modern ”, dalam Prisma, No. 8, 1984, h. 78 23
Maskum, Madrasah;…, h. 125
82
lama belajarnya 3 tahun dengan murid-murid pilihan dari Pendidikan Guru
Agama Pertama (PGAP) 4 tahun. Kalau SGHA tadinya 4 buah, PHI
tinggal 1 buah di Yogyakarta.
Atas diberlakukannya hal tersebut, Mahmud Yunus mensiyalir bahwa
adanya penurunan mutu lulusan PGA belakangan ini (1957) dibandingkan
dengan lulusan PGA yang terdahulu.24
Pendapat ini ada benarnya bila ditilik bahwa kalau dalam rencana Drs.
Sigit dibedakan secara tegas antara kurikulum PGA dan SGHA bagian C
karena masing-masing mempunyai spesifikasi khusus yang harus disiapkan,
sedangkan dalam rencana Arifin kurikulumnya disamakan. Hal itu yang
berakibat adanya mata pelajaran tertentu di SGHA bagian C dihapuskan
padahal berguna untuk menunjang tugasnya.
Saat sekarang ini tidak ada lagi sekolah-sekolah dinas25
yang disebutkan di
atas. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Departemen Agama
menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang diberlakukan secara
nasional.
B. Respon Terhadap Pembaruan Pendidikan Islam KH. A.
Wahid Hasyim
1. Pemikiran Pendidikan Islam
a. Pentingnya Ilmu Agama dan Umum
Bangsa Indonesia di masa awal kemerdekaan kerap kali masih
mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anak mereka harus ditujukan
pada maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”.
Akibatnya, kurangnya kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa,
24
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1995), h. 365 25
Sekolah-sekolah dinas yang dimaksud adalah lembaga-lembaga pendidikan keguruan;
PGAP/PGAA dan PHIN, yang kemudian setelah lulus dari sekolah tersebut diangkat menjadi
pegawai negeri dan karena itu murid-murid di kedua sekolah dinas ini harus berikatan dinas
sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1951. Namun karena kekurangan
anggaran Negara sejak tahun 1969 tidak lagi disediakan ikatan dinas.
83
untuk ikut berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat
modern.
Menurut Wahid Hasyim bahwa untuk menjadikan orang beragama
tidaklah perlu orang tersebut diharuskan (ditentukan) mempunyai ilmu
agama terlalu dalam dan luas. Sebaliknya, seorang yang
berpengetahuan agama tidak semua menjadi orang yang beragama
dengan baik. Karena sering kali didapati seseorang yang tidak
berpengetahuan agama dengan luas dan mendalam, kemudian beragama
lebih sempurna dari orang yang berpengetahuan agama, dalam arti yang
luas dan mendalam. Juga sebaliknya, sering didapati orang yang sangat
mengerti ilmu-ilmu agama yang mendalam, perbuatannya tidak
memberikan nama baik sebagaimana seharusnya seorang yang
beragama.
Oleh karena itu, pengetahuan tidak boleh dikungkung oleh perasaan
keagamaan yang sempit, tiap-tiap Muslim sejati, sebagai seorang
demokrat memandang pengetahuan dari sudut logika semata-mata;
perasaan dan batin dalam lapangan mencari pengetahuan dan mengadu
kebenaran, harus dikesampingkan. Tiap-tiap Muslim diajar oleh al-
Qur’an berlaku tenang di dalam menghadapi lawannya dalam menguji
argumen dan alasan serta dalil. Sampai pun yang sudah dilewati batas
kesopanan, harus tetap dihadapi dengan tenang, agar tidak merusakkan
persoalan.
Bukan saja pengetahuan harus bebas dari kungkungan perasaan
keagamaan yang sempit, tetapi juga menurut pandangan Islam ilmu
harus bebas dari pertimbangan-pertimbangan politik. Dengan
mengutamakan ilmu sebagai dasar hidup itu, serta menundukkan politik
pada pengetahuan, maka perjuangan hidup ummat Islam, walaupun dari
sudut bersifat individualitis (perseorangan lawan perseorangan), tetapi
dari lain sudut dialaskan pada persaudaraan yang mewajibkan tiap-tiap
individu (perseorangan Muslim) memandang sesama individunya
tidaklah sebagai lawan, tetapi saudara.
84
Berkali-kali Wahid Hasyim menegaskan pentingnya ilmu
pengetahuan, atau dalam bahasa Wahid Hasyim, logika atau akal. Dia
mengatakan bahwa Islam bukan saja menghargai akal dan otak yang
sehat, tetapi menganjurkan orang supaya menyelidiki, memikirkan dan
mengupas segala ajaran Islam.26
Lebih jauh dia mengatakan.
Dalam Islam… logika adalah pokok yang penting bagi menentukan
benar atau salah. Suatu hal atau suatu kejadian atau suatu peristiwa
yang menurut logika tidak dapat diterima, di dalam anggapan Islam
tidak bisa juga diterima. …Islam tidak mengakui segala yang tidak
tunduk pada logika.27
Namun, Wahid Hasyim juga mengingatkan akan
keterbatasan akal. Karena itu, meski tidak harus dikungkung agama,
ilmu pengetahuan tetap harus dilengkapi dengan agama. Dengan agama
itulah, menurut Wahid Hasyim, manusia bisa membedakan antara akal
sehat dan hawa nafsu.28
“Kemajuan otak yang tidak disertai dengan
kemajuan budi pekerti atau takwa telah menyebabkan nilai dan
pandangan manusia jadi berubah banyak, tidak ke atas tapi ke
bawah.”29
Menurut Wahid Hasyim, Islam memandang bahwa ilmu
pengetahuan tidaklah dianggap sebagai satu syarat hidup yang dapat
berdiri sendiri. Di samping pengetahuan, diletakkan syarat lain yaitu
takwa, dan takwa ditafsirkan menjaga diri dengan arti takut dengan
Allah, juga takwa ditafsirkan menjaga diri dari kesalahan. Dua syarat
hidup tersebut, ilmu pengetahuan dan takwa dalam pandangan Islam
tiada mungkin dijauhkan, dan harus sama-sama cukup lengkap. Bahkan
Islam memandang lebih condong pada takwa dari pada kepada ilmu.
Ilmu sebagai buah otak, haruslah diimbangi dengan takwa sebagai isi
hati. Kemajuan otak yang tidak disertai dengan kemajuan (atau
naiknya) budi pekerti atau takwa, telah menyebabkan nilai dan
26
Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 681 27
Aboebakar, Sejarah Hidup …, h. 634 28
Aboebakar, Sejarah Hidup …, h. 687-688 29
Aboebakar, Sejarah Hidup …, h. 815
85
pandangan manusia jadi berubah banyak, bukannya ke atas, tetapi ke
bawah, sehingga sesuatu kejahatan kecil seperti merusakkan
jiwa/nyawa seseorang, dianggap perbuatan jahat, tetapi merusakkan
jiwa/nyawa satu bangsa seluruh negeri, tidaklah dianggap kejahatan,
bahkan orang yang membuatnya mendapat penghormatan dan nama.
b. Perguruan Tinggi Islam
Dalam pembukaan PTAIN, Wahid Hasyim menyampaikan pidatonya,
mengungkapkan bahwa dia sangat bergembira sekali dengan hadirnya
PTAIN ini, karena akan menambah tenaga kehidupan kepada umat Islam
Indonesia dan dia juga menegaskan seandainyapun dia bukanlah seorang
Muslim sekalipun hanya berbangsa Indonesia dia akan tetap bergembira
dan berbesar hati dengan pembukaan Perguruan Tinggi Agama Islam ini.
Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, karena umat Islam
Indonesia adalah golongan terbesar dari pada bangsa Indonesia, dan
bukanlah rahasia lagi, bahwa tenaga kehidupan mereka ukuran-ukuran
sekarang (baca: saat itu) lemah sekali. Maka satu langkah untuk
menambah tenaga kehidupan mereka, pasti akan disambut dengan gembira
oleh tiap-tiap putra bangsa Indonesia yang demokrat, walaupun bukan
Muslim. Kedua, karena umat Islam Indonesia sebagai golongan terbesar di
dalam keadaan seperti sekarang (baca: saat itu), tidak mungkin
dibangunkan sebagai jembatan untuk membangun rakyat dan negara
dengan cepat dan tepat. Kecuali dengan cara-cara yang dapat
menggerakkan jiwanya dengan jitu. Ketiga, karena dengan usaha
menyempurnakan pendidikan tinggi bagi umat Islam Indonesia sebagai
golongan terbesar dari bangsa Indonesia, akan tercegahlah suatu bahaya
yang hingga kini mengancam, walaupun banyak tidak disadari orang.
Yaitu bahaya terbelahnya generasi bangsa.
Dalam hubungan ini, dalam pidatonya tersebut Wahid Hasyim
menegaskan bahwa perguruan tinggi ini kelak dapat menghasilkan
manusia cerdik pandai dan ulama yang mempunyai takwa, perasaan takut
pada Allah swt dan dengan sendirinya menimbulkan rasa tanggung jawab
86
pada kehadirat-Nya lebih besar dari pada segala pertanggungjawaban yang
lainnya; dan dengan demikian lalu sikap jujur serta berani membela
kebenaran, menunjukkan politik kepada ilmu pengetahuan sebagaimana
halnya ulama-ulama yang benar adalah ulama-ulama seperti itu.
Dari pandangannya itu dapat disimpulkan bahwa Wahid Hasyim
adalah sosok yang moderat, dalam pengertian tidak menganggap salah satu
ilmu lebih unggul daripada lainnya, atau akal lebih utama daripada akhlak.
Moderasi tersebut diimplementasikan dalam beberapa kebijakannya
sebagai Menteri Agama. Salah satu implementasi dari pandangannya ini
adalah keputusannya untuk mendirikan sebuah perguruaan tinggi Islam
yang baik. Dari pendidikan ini diharapkan akan lahir sarjana yang
mengusai dua lapangan ilmu sekaligus yaitu ilmu agama dan umum.
Lembaga pendidikan yang beliau bayangkan adalah tempat untuk
mempelajari Islam dengan menggunakan sistem pendidikan modern yang
menekankan pentingnya rasionalitas.
c. Prinsip Pendidik
Dalam perspektif pendidikan Islam keberadaan dan peranan guru
merupakan suatu keharusan yang tak dapat diingkari. Peran dan tanggung
jawab guru dalam proses pendidikan yang berkualitas tidak hanya sebatas
menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi guru juga harus
memiliki kepribadian luhur yang dapat memberikan contoh atau
ketauladanan bagi murid-muridnya. Keteladanan seorang guru merupakan
sifat dasar dari kegiatan pembelajaran.30
Tauladan dipandang sebagai suatu
cara yang ampuh untuk membina akhlak dan menanamkan prinsip-prinsip
terpuji pada jiwa anak didik.
Menjadi seorang guru agama yang baik juga harus memenuhi
beberapa persyaratan tertentu. Dalam hal ini, Athiyah al-Abrasyi
menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang guru
agama, yaitu:
30
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), cet.1, h. 127
87
1. Memiliki ilmu agama yang cukup luas, memahami dan
mengamalkannya.
2. Memiliki sifat zuhud, yaitu niat mengajar semata-mata mencari
keridhaan Allah swt.
3. Bersih jasmani dan rohani, guru agama harus menampilkan kebersihan
pakaian, tempat tinggal, dan lingkungan (bersih jasmani) dan juga
terhindar dari sifat iri, degki, permusuhan, dosa kecil dan besar (bersih
rohani).
4. Memiliki sifat pemaaf dan penyabar, serta sifat-sifat terpuji lainnya.
Guru agama harus berkepribadian yang baik, memiliki harga diri, sabar,
dan dapat menahan diri dari marah.
5. Guru agama tidak asal mengajar saja, tetapi harus mengethaui tabiat,
adat, kebiasaan, dan kemampuan berpikir agar dapat menentukan bahan
pelajaran yang tepat bagi mereka.31
Menurut Wahid Hasyim beberapa prinsip pendidikan yang harus
diterapkan oleh seorang pendidik dalam mendidik yaitu:
a. Percaya kepada diri sendiri atau prinsip kemandirian.
b. Kesabaran.
c. Pendidikan adalah proses bukan serta merta menjadi hasil.
d. Keberanian.
e. Prinsip tanggung jawab dalam menjalankan tugas. 32
Dengan demikian, tidak akan lahir murid yang berbudi luhur dari guru
yang tidak mempunyai kepribadian luhur juga. Sebab guru adalah orang
yang digugu dan ditiru sehingga kepribadiaannya akan diteladani dan
ditiru oleh anak didiknya.
d. Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa
Dalam sebuah tulisan Wahid Hasyim yang berjudul ”Kemajuan Bahasa
Berarti Kemajuan Bangsa”, dia mengungkapkan bahwa pada saat itu
31
M. Athiyah al-Abrasyi, At-Tarbiyatul Islamiyah, Terj. dari Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam, Oleh Bustami a. Ghani dan Djohar Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),
Cet. I, h. 136 32
Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 850
88
muncul fenomena dimana putra-putri bangsa ini sangat ”tergila-gila” pada
bahasa asing sehingga bahasa ”Ibu” mereka lupakan.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kemajuan bahasa berarti
kemajuan bangsa ini. Namun Wahid Hasyim sangat menyayangkan
dengan sikap generasi bangsa yang melupakan bahasa Indonesia dalam
percakapan sehari-hari dengan sesama bangsa Indonesia. Hal ini bukanlah
menunjukkan bahwa Wahid Hasyim tidak setuju kepada mereka yang
belajar bahasa asing, karena Wahid Hasyim sangat mendukung kepada
mereka yang belajar bahasa asing dan dituntut untuk memiliki kepandaian
dalam berbagai ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Akan tetapi
Wahid Hasyim menginginkan selama kita belajar itu, bangsa Indonesia
harus tetap beranggapan dan percaya bahwa sebagai anak bangsa, kita juga
memiliki bahasa sendiri.
Suatu ketika dalam sebuah rapat, Ki Hajar Dewantara berkata: ”tidaklah
saya merasa heran jika melihat seorang dari bangsa ini berjalan beriringan
dengan orang asing, kemudian bercakap-cakap menggunakan bahasa asing
itu pula. Tetapi saya sangat heran melihat seorang dari bangsa ini yang
berjalan beriringan dengan bangsanya, kemudian bercakap-cakap, dan
percakapannya itu bukanlah memakai bahasa Indonesia, tetapi
menggunakan bahasa orang lain.”
Dalam sejarah dunia, Wahid Hasyim menyebutkan nama Nevile
Chamberlain seorang Perdana Menteri Kerajaan Inggris yang cinta kepada
perdamaian dan nama Adolf Hilter yang juga merupakan seorang pemuka
Jerman. Ketika keduanya bertemu dalam sebuah pertemuan Internasional,
masing-masing menggunakan bahasa bangsanya sendiri. Adolf Hilter
dengan bahasa Jermannya sedang Nevile Chamberlain juga dengan
memakai bahasa Inggrisnya. Pada hal ini diketahui masing-masing dari
keduanya bisa dan pandai berbahasa; Chamberlain pandai berbahasa
Jerman dan Hilter pun sangat lancar berbahasa Inggris. Karena itu
walaupun dalam pertemuan tersebut masing-masing kedua orang tersebut
89
mengerti bahasa yang dipergunakan namun tetap tidak meninggalkan juru
bahasa dan perundingan berjalan melalui perantaraan juru bahasa tersebut.
Dari hal di atas menurut Wahid Hasyim terdapat teladan dari mereka
yang mengerti dengan harga sebuah bahasa dan menunjukkan sikap saling
menghormati terhadap bahasa mereka masing-masing.
Jadi, dalam hal ini Wahid Hasyim menegaskan betapa pentingnya arti
sebuah bahasa dan dia berpesan hendaklah percakapan yang kita lakukan
sehari-hari kepada sesama bangsa ini dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Dengan begitu menurut Wahid Hasyim akan terhindar dari
kerusakan bahasa Indonesia yang pada masa itu sudah banyak terjadi dan
belum terwujudnya sebuah kamus dalam bahasa Indonesia yang lengkap
pada masa itu.
Namun untuk menghindari kesalahpahaman atas penegasannya
tersebut, Wahid Hasyim mengungkapkan bahwa maksud dari
pemikirannya tersebut bukanlah memaknai cara yang sama dipergunakan
di Turki; Qur’an diganti dengan bahasa tanah air Indonesia, azan diganti
dengan bahasa ”Ibu”, dan doa shalat disalin dengan bahasa persatuan.
Dengan tidak seperti itu, biarkan Qur’an dengan bahasa Arab yang fasih,
azan dan shalat tetap sama sesuai dengan tuntunannya karena hal tersebut
merupakan hubungan antara makhluk dengan Tuhan, sedangkan Wahid
Hasyim hanya menghendaki hubungan manusia dengan manusia; dalam
hal ini bangsa Indonesia dengan sesama bangsa Indonesia. 33
Dari beberapa pendapatnya menunjukkan bahwa Wahid Hasyim
merupakan seseorang yang sangat memberikan perhatian lebih terhadap
pendidikan khususnya pendidikan Islam pada zamannya. Segala
kebijakan-kebijakan penting yang berkaitan langsung demi pembaruan
pendidikan Islam yang dia lakukan merupakan realisasi dari pemikiran-
pemikirannya di atas. Sehingga ada tiga hal pembaruan pendidikan Islam
yang sangat menonjol ketika dia memipin Kementerian Agama RI yaitu
dengan mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam, memasukkan
33
Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h. 65-69
90
pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan umum di sekolah
madrasah agar seimbang, dan menyiapkan guru-guru agama untuk
ditempatkan di sekolah-sekolah umum.
2. Respon Masyarakat
Pembaruan pendidikan yang digagas oleh Wahid Hasyim tersebut tidak
luput dari kritik yang tajam dari para ulama dan masyarakat. Ide pembaruan
Wahid Hasyim sering menjadi sasaran kritik yang dilontarkan oleh para
ulama sebagai upaya mencampuradukkan ajaran agama yang suci dengan
ilmu-ilmu keduniawian, yang mana ilmu-ilmu sekuler tersebut masih
dianggap sebagai produk bangsa kolonial. Pada akhirnya, walaupun memakan
waktu yang lumayan cukup lama, Wahid Hasyim mampu meyakinkan
mereka akan manfaat yang dapat diperoleh dengan ide pembaruannya
tersebut. Setiap ada kesempatan, dia selalu menggunakannya untuk
menjelaskan tujuan dan keuntungan dari ide pembaruannya. Sebagai bukti, ia
menunjukkan hasil yang positif dari sistem baru yang dia gagas tersebut,
menunjukkan kemampuan yang dimiliki oleh para siswa, termasuk
penguasaan ilmu agama dan sekuler sekaligus kemampuan berbahasa asing
santri yang belajar di Madrasah Nidzamiyah. Melalui upaya penyadaran
tersebut, kyai dan masyarakat secara perlahan dapat memahami dan
menerima gagasan Wahid Hasyim tersebut.
Sebagai bukti penerimaan ide pembaruan pendidikan Wahid Hasyim,
jumlah siswa yang ingin belajar di Pondok Pesantren Tebuireng dan
Madrasah Nidzamiyah meningkat secara drastis─jumlah siswa Tebuireng
sebanyak dua ribu, jumlah tersebut adalah sepuluh kali lipat dari jumlah siswa
yang belajar di Tebuireng sepuluh tahun yang lalu. Perubahan yang terjadi di
Tebuireng menjadikannya sebagai pusat pendidikan bagi kader Nahdlatul
Ulama. Indikasi lain penerimaan ide pembaruan Wahid Hasyim adalah
banyaknya para kyai yang mengadopsi sistem tersebut. Di samping
mempertahankan sistem pesantren, mereka juga mendirikan madrasah yang
memuat ilmu agama dan umum.
91
Adapun nama KH. A. Wahid Hasyim di Universitas Islam Negeri Jakarta
akan diabadikan sebagai nama gerbang masuk atau keluar Kampus UIN
Jakarta. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Jakarta mengatakan bahwa
pengabadian nama ketiga tokoh agama (selain Wahid Hasyim; Prof. Dr.
Harun Nasution dan Prof. Dr. HM Rasyidi) selain untuk menghormati jasa-
jasa mereka, juga sebagai bentuk al-muhafadhatu ‘alâ qadimi al-shâlih wa
al-akhdzu bi al-jadîdî al-ashlah (memelihara yang lama yang baik dan
mengambil yang baru yang lebih baik).34
Nama Wahid Hasyim kini banyak dikenang oleh masyarakat Indonesia. Di
samping sebagai pahlawan Nasional, ada beberapa lembaga pendidikan dan
lembaga sosial yang menggunakan namanya sebagai ciri bahwa lembaga
tersebut dikelola oleh umat Islam, sekaligus mengenang jasa-jasa Wahid
Hasyim. Bahkan di Jakarta, terdapat jalan KH. A. Wahid Hasyim yang
menghubungkan pasar Tanah Abang dan Taman Cut Mutia. Namun jalan itu
pendek, sependek umur nama pemiliknya. Tetapi jalan yang membelah
jantung kota Jakarta itu penting bagi kehidupan Jakarta, sepenting nama itu
dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia.
34
Nanang Syaikhu, “ Harun Nasution diusulkan Menjadi Nama Auditorium
Utama”, dalam Berita UIN, Jakarta, April 2010, h. 7
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian hasil pengkajian dan pembahasan skripsi ini, maka penulis
dapat menarik beberapa kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah
penelitian, bahwa:
Wahid Hasyim adalah seseorang yang memiliki jiwa kepedulian yang
cukup modern terhadap pendidikan kaum Muslimin di Indonesia, khususnya
dari kalangan masyarakat tradisional. Diantara bentuk kepeduliannya adalah:
Perhatian Wahid Hasyim dalam memasukkan ilmu pengetahuan umum
dan agama agar seimbang juga diimplementasikan dalam bentuk lain ketika
menjadi Menteri Agama, yakni memberikan pelajaran agama di sekolah-
sekolah umum dan pelajaran umum di Madrasah melalui Keputusan
No.1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan) dan No. K.I/651.
Tanggal 20 Januari 1951 (Agama) yang merupakan realisasi dari UU Pokok
Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Ayat 2.
Kemudian atas dasar keputusan UU No. 20 tahun 1950 tentang Dasar-
dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah umum maka dibentuklah
lembaga pendidikan yang menghasilkan guru-guru Agama professional
melalui pendirian Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Guru Hakim
Agama (SGHA) pada tahun 1950.
93
Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia kemudian berlanjut dengan
pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950 ini merupakan salah satu peninggalan
Wahid Hasyim paling penting ketika menjadi Menteri Agama. Lembaga ini
kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang
berjumlah 14 tempat di seluruh Indonesia, dan kemudian beberapa IAIN telah
berkembang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa Wahid Hasyim adalah orang
yang sangat luar biasa pada masanya. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan
seadanya yang dimiliki dia tidak pernah merasa “minder” untuk mewujudkan
apa yang ada dipikirannya dengan bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi.
Semenjak pembaruan pemikiran yang dilakukannya selama menjadi
Menteri Agama, dunia pendidikan Islam di Indonesia semakin lebih
berkembang lagi dan memberikan warna tersendiri pada masanya. Dan jasa-
jasanya sangat patut untuk diteladani para generasi penerus bangsa.
B. Saran
Penulis adalah manusia yang tak luput dari kealpaan dan sangat
menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam penulisan ini. Maka penulis
memberikan saran untuk para pembaca umumnya dan peneliti khususnya,
diantaranya sebagai berikut:
Dengan diungkapnya beberapa hal dari pembaruan pemikiran Wahid
Hasyim oleh peneliti hal ini juga ditujukan kepada lembaga Pemerintah yang
menangani pendidikan Islam diharapkan agar dapat lebih memperhatikan
kembali dan memperbarui kembali hal-hal yang sudah berkembang dalam
pendidikan Islam sehingga terkesan tidak “mandeg” dalam perkembangannya
seperti halnya yang dilakukan oleh Wahid Hasyim.
Dan untuk para pembaca yang berkecimpung dalam organisasi yang
pernah di naungi KH. A. Wahid Hasyim, yaitu Nahdlatul Ulama, penulis
memberikan saran agar selalu memperhatikan dan mengoreksi hasil
penelitian ini untuk kemudian dapat memberi tahu penulis jika terdapat
94
kesalahpahaman. Dan hendaknya senantiasa mengingat jasa-jasa KH. A.
Wahid Hasyim khususnya dalam bidang pendidikan untuk kemudian
diteladani para pemuda NU.
Pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan oleh Wahid Hasyim
tidaklah berhenti pada penelitian ini saja. Karena masih banyaknya hal-hal
yang belum terungkap dari penelitian ini yang jika diungkap lebih banyak lagi
oleh peneliti lainnya maka akan menambah wawasan para pembaca.
95
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, Cet. I, 2002.
__________, Misi Intelektual, dalam Panji Masyarakat, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1981.
Ahmadi, Abu, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya
Media, 1992.
Al-Abrasyi, M. Athiyah, At-Tarbiyatul Islamiyah, Terj. Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam, Oleh Bustami a. Ghani dan Djohar Bahri, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Al-Haq, Abî al-Tayyib Muhammad Syamsu, „Aunu al-Ma’bûd Syarhu Sunan Abî
Dâwud, vol. II, Madinah al-Munawarah: Maktabat al-Salafiyah, 1969.
Anis, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasit, Juz I, Kairo: t.t, 1972.
Anshari, Fuad, Prinsip-prinsip Dasar Konsep Sosial Islami, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1984.
Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, 2005.
Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-1, 2003.
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1997.
Atjeh, Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,
Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-2, 2000.
Cowan, J. Milten (ed.) dan Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, New
York: t.t, 1971.
Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Agustus, 2007.
Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama bagi Anak Putus Sekolah,
Jakarta: Binbaga Islam, 2003.
96
____________, Laporan Sejarah Departemen Agama, Jakarta: Proyek Penelitian
Keagamaan Departemen Agama RI, 1980/1981.
___________, Direktori Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri tahun 2000/2001,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI.
Departemen Pendidikan Nasional, GBPP Pendidikan Agama Islam SMP.
____________, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka,
Cet. II, 2002.
Dhofier, Zamakhsyari, KH. Wahid Hasyim, Rantai Penghubung Peradaban
Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern , Prisma, No. 8, 1984.
____________, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1982.
Djamaliddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta pendidikan Islam, Bandung, Pustaka
Setia, Februari, 1998.
Faisal, Jusuf A. Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani, 1995.
Hakim, Abdul, al-Masâil; Masalah-masalah Agama, vol.2.
Hararap, Syahrin (ed.), H.A. Yakub Matondang: Perguruan Tinggi Islam sebagai
Subyek dan Obyek Moral Akademik di Era Globalisasi, Yogyakarta: Tiara
Kencana, 1998
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Maret, 1999.
HS., Mastuki, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2005.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan
Penyelengara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 2010.
Maududi, Abul A‟la, Mujaz Tarikh Tajdid al-Din wa Ihyaihi, terjemahan H.D.
Kahmad dan Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma‟arif,
Cet. Ke-4, 1980.
Maskum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 1999.
97
Ma‟shum, Saifullah, Karisma Ulama (Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU), Bandung:
Mizan, 1998
Mudhafir, Fadlan, Crisis in Muslim Education, Jakarta: al-Mawardi Prima, 2000.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasional, Bandung: Tri Genda Karya, 1993.
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya,
cet.1, 2007.
Mohammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Bandung:
Gema Insani, 2006.
Mortinor, Edward, Islam and Power, Terj. Islam dan Kekuasaan, Oleh: Rahmani
Astuti, Bandung: Mizan, 1984.
Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, Cet.
IV, 1996.
________, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, Cet. Ke-10, 1994.
Nasution, S., Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
_______, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1988.
Nata, Abudin, et.al., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
________, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: UIN Jakarta Press,
2006.
________, Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta:
Grasindo, cet. 1, 2001.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pustaka
Grafiti, Cet.I, 1987.
Oxford, Team, The New Oxford Illustrated Dictionary, Oxford: Oxford University
Press, 1982.
Putro, Suadi, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta:
Paramadina, 1998.
Pobotinggi, Mochtar, Kaum Intelektual Pemimpin dan Aliran-aliran Idiologi di
Indonesia sebelum Revolusi dalam Peristiwa, Jakarta: LP3ES, 1992.
98
Rahim, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 2005.
Rais, Amin, Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: CV.Rajawali,
1989.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, cet. Ke-IV, 2004.
Rony, Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM,
2003.
Salam, Solichin, KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Besar Indonesia, Jakarta: Depot
Pengajaran Muhammadiyah, 1962.
Sanusi, Buntaran dkk. (ed.), KH. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU?
Konsepsi tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, Jakarta: Inti Sarana
Aksara, 1985.
Sardar, Ziaudin, Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjelang Informasi, Bandung:
Mizan, 1996.
Sarwani, Metode dan Teknik Membaca, Jakarta: Panitia Diklatran Patinas Dep.
Tenaga Kerja dan Dep. Agama RI, 1976.
Shaleh, Abdul Rachman, Aktualisasi Politik Pendidikan di Lingkungan Departemen
Agama, Jakarta: Balitbang Agama, 1999.
__________, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan Aksi), Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006.
__________, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta: PT. Gemawaindu
Pancaperkasa, Cet. Ke-1, 2000.
Shariati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, Terjemahan M. Amien Rais, Jakarta:
Rajawali, 1987.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet.II, 1992.
__________, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Ciputat:
Lentera Hati, Cet.I, Jilid 2, 2000.
Subana, M. dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: Pustaka Setia,
cet. 2, 2005.
Sulaimân, Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, Beirut: Dâr ibn Hazm, 1988.
99
Steenbrink, Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986.
Syaikhu, Nanang, “ Harun Nasution diusulkan Menjadi Nama Auditorium Utama”,
dalam Berita UIN, Jakarta, April 2010.
Umam, Saiful, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik, Jakarta: INIS,
PPIM, dan Balitbang Depag RI, 1998.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta: Direktorat
Jendral Pendidikan Nasional, 2003.
Wahid, Salahuddin, Wawancara, Jakarta, 03 November 2010.
Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of English Language,
The United States of America: William Collin Publisher, INC, 1980.
Yunus, Mahmud, Metode Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: al-Hidayah, 1974.
_______, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya,
1995.
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidkan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet.IX, 2008.
_______, Metodik Pendidikan Agama Dilengkapi dengan Sistem Modul dan
Permainan Simulasi, Surabaya: Usaha Nasional, 1977.
_______, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Edisi 1, Cet. Ke-II, 1995.
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Responden : KH. Salahuddin al-Ayyubi/Wahid
Jabatan : Anak KH.A. Wahid Hasyim
Hari/Tanggal : Rabu, 03 November 2010
Tempat : Kediaman Responden
1. Berapa lama Anda merasakan hidup bersama Ayah Anda (KH. A.Wahid
Hasyim)?
2. Bagaimana kehidupan keluarga KH. A. Wahid Hasyim pada saat beliau
masih hidup? Bagaimana interaksi antara beliau dengan anak-anaknya?
3. Sosok kepribadian KH. A. Wahid Hasyim di mata anak-anaknya sebagai
seorang Ayah yang sangat baik dan bagaimana jika di mata orang lain
sebagai pemimpin?
4. Bagaimana cara KH. A. Wahid Hasyim mendidik anak-anaknya? Apakah
terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya?
5. Dalam hal apa saja KH. A. Wahid Hasyim menuangkan pemikirannya?
6. Dalam hal agama, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim?
7. Dalam hal sosial, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim? Alasan apa
yang mendasari pemikiran sosial Beliau?
8. Dalam hal pendidikan, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim? Tahun
1950-1952 KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama,
bagaimana peranan Beliau dalam hal melakukan pembaruan di bidang
pendidikan Islam. Adakah perbedaannya?
9. Bagaimana respon dari masyarakat terhadap pemikiran-pemikiran
Beliau?
10. KH. A.Wahid Hasyim adalah pahlawan Nasional, jasa-jasa apa saja yang
menjadikan hal tersebut?
11. Keteladanan apa saja yang dapat dijadikan contoh kepada generasi muda
Indonesia dari perjuangan-perjuangan atau jasa-jasa Beliau?
HASIL WAWANCARA
Nama Responden : KH. Salahuddin al-Ayyubi/Wahid
Jabatan : Anak KH. A. Wahid Hasyim
Hari/Tanggal : Rabu, 03 November 2010
Tempat : Kediaman Responden
1. Tanya: Berapa lama Anda merasakan hidup bersama Ayah Anda (KH.
A.Wahid Hasyim)?
Jawab : Tidak lama yah, 10 tahun setengah atau sekitar 10 tahun 7
bulanlah.
2. Tanya: Bagaimana kehidupan keluarga KH. A. Wahid Hasyim pada saat
beliau masih hidup? Bagaimana interaksi antara beliau dengan anak-
anaknya?
Jawab : Seperti keluarga yang lain, tidak ada sesuatu yang berbeda. Di
tengah-tengah kesibukan beliau, sempat mengajar mengaji, nyisirin
kakak saya (Ibu Aisyah), mengajak jalan-jalan, mengantar sekolah.
Seperti umumnya seorang ayah. Pada waktu itu Kota tak begitu besar,
lalu lintas sangat lengang. Beliau adalah orang yang sibuk bahkan super
sibuk, dari pagi sampai malam menerima tamu, ganti-ganti kegiatan.
Tapi menyempatkan diri untuk anak-anaknya. Jadi, beliau adalah ayah
yang sangat baik.
Beliau juga seorang yang cerdas secara intelektual dan spiritual. Beliau
selalu berpuasa, kecuali pada hari-hari tertentu yang tidak diperbolehkan
untuk berpuasa. Beliau hafal al-Qur’an. Hidupnya relatif sederhana.
3. Tanya : Sosok kepribadian KH. A. Wahid Hasyim di mata anak-anaknya
sebagai seorang Ayah yang sangat baik dan bagaimana jika di mata orang
lain sebagai pemimpin?
Jawab : Sangat luar biasa. Tapi karena saya mengenal beliau begitu
singkat (saya masih anak-anak), jadi saya mengenal beliau dari tulisan-
tulisan. Saya jadi teringat ketika pada tahun 74, saya pergi haji bertemu
dengan salah seorang santri Tebuireng yang pernah belajar kepada Ayah
saya. Melihat saya, dia menangis. Karena saya sangat mirip sekali
dengan Ayah, tekenang pendidikannya dan kebaikannya. Saya juga
diceritakan oleh Mertua saya, Bapak Saifuddin Zuhri. Pada waktu itu,
ayah sering di Jakarta atau di Jogya dan Pak Saifuddin ikut kegiatan
pergerakan dengan Ayah, sedangkan Ibu Saifuddin di Purworejo. Sering
sekali Ibu Saifuddin Zuhri menerima kiriman uang yang
mengatasnamakan Bapak Saifuddin Zuhri, dan ternyata Bapak Saifuddin
Zuhri tidak mengirimkan uang itu. Namun belakangan baru diketahui itu
berasal dari Ayah. Ini menunjukkan bahwa Ayah sangat memperhatikan
kehidupan anak buahnya (baca: muridnya) sampai seperti itu. Dalam hal
ini putra/i-nya kalah termasuk Gus Dur pun kalah.
Orang secara umum ada tiga tipe: Pertama, pekerja, Kedua
mengandalkan proses, Ketiga pemikir. Pak Wahid ini tipe pekerja
sekaligus pemikir. Dengan pemikirannya kemudian beliau
mewujudkannya dalam hal yang nyata sesuai dengan pemikirannya.
4. Tanya : Bagaimana cara KH. A. Wahid Hasyim mendidik anak-
anaknya? Apakah terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya?
Jawab: Tidak. Dahulu itu saat kami kecil, kami tinggal di Jl. Jawa
No.112, perempatan Cokroaminoto dan Kusuma Atmaja. Kami belajar di
sekolah KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Sekolah ini bukan
sekolah Islam bahkan banyak guru yang PKI. Kemudian rumah kami
pindah ke Taman Matraman dan kemudian disekolahkan di PERWARI
(Persatuan Wanita Republik Indonesia), terletak di Jl. Salemba Tengah
tepatnya depan Universitas Indonesia, Salemba, yang sekali lagi bukan
sekolah Islam. Dan itu menunjukkan bahwa beliau ingin kami bergaul
dengan semua orang dari berbagai unsur di dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk ini, dan ingin kami tidak memiliki sekat-sekat itu, ingin
kami memiliki kedekatan dalam bergaul dan bersaing dengan sehat.
Kemudian beliau meninggal, pendidikan diteruskan oleh Ibu. Dan pada
dasarnya Ibu-lah yang mendidik kami, tapi saya pikir Ibu pun
mendapatkan nilai-nilai yang ditanamkan dari Ayah. Itu saya yakin. Nah,
itu cetakannya kami semua menjadi seperti sekarang ini. Sama tapi
berbeda. Kami diajari untuk bergaul dengan siapa saja tanpa memandang
tinggi-rendah, agama, suku, dan etnis, kami juga diajari bertanggung
jawab, tidak mengejar jabatan, berani memperjuangkan keyakinan,
kejujuran, dan tidak mendahulukan kepentingan pribadi di atas
kepentingan orang banyak. Tapi tentunya satu sama lain berbeda dalam
menangkap nilai-nilai itu, mana yang dianggap paling utama.
5. Tanya : Dalam hal apa saja KH. A. Wahid Hasyim menuangkan
pemikirannya?
Jawab : Melaui media, beliau mendirikan majalah Gema Muslimin.
Tulisannya terkumpul dalam bukunya Aboebakar Atjeh “Karangan
Tersiar”. Jadi, karya beliau hanya tertuang dalam media-media saja tidak
ada satu buku yang khusus. Karya-karya beliau hanya berupa tulisan-
tulisan pendek, makalah, atau pidato-pidato tapi itu sangat banyak sekali.
Tapi jika dikumpulkan menjadi satu kesatuan yang relatif utuh. Dan Pak
Wahid ini pandai mencari anak-anak muda NU yang memiliki potensi
untuk kemudian dikembangkan dan dibina. Seperti yang pernah
diceritakan oleh Bapak Saifuddin Zuhri, mertua saya, pernah menulis di
majalah Anshor kemudian disurati oleh Ayah bahwa ingin bertemu.
Kemudian keduaanya bertemu di stasiun Purwokerto, diajaklah oleh
Ayah untuk ikut ke Jakarta. Jadi, ini menunjukkan bahwa ada upaya
khusus untuk mencari bibit yang baik kemudian dibina menjadi orang.
Itu menurut saya sangat luar biasa. Beliau tidak takut tersaingi oleh anak
buah yang dibina beliau.
6. Tanya : Dalam hal agama, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim?
Jawab : Pemikiran agama misalnya dalam masalah fiqih, aqidah, tasawuf
mengikuti NU. Walaupun Ayah tidak konservatif cukup progresif sampai
pada titik tertentu. Kalau pemikiran politik, Anda bisa baca di buku
“Dialog Gus Dur dan Gus Sholah Mengenai Pandangan Politik
Keislaman Sang Ayah”.
7. Tanya : Dalam hal sosial, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim?
Alasan apa yang mendasari pemikiran sosial Beliau?
Jawab : Mendirikan Yayasan Muamanah NU, dahulu memiliki
percetakan, letaknya di Jl. Juanda samping rel kereta api. Untuk
menghidupkan NU dananya berasal dari Yayasan itu. Beliau orang yang
mempunyai konsep sekaligus mewujudkan konsepnya. Jadi, menurut
saya kemampuan berorganisasinya tinggi. Dari situ, Yayasan tersebut
menghasilkan uang untuk membiayai berbagai kegiatan di NU. Yamunu
(Yayasan Muamanah NU) itu spektakuler, namun hilang sekitar tahun
70’an. Kalau diluar NU, ikut mendirikan Universitas Islam Indonesia,
mendirikan Universitas Islam Sumatera Utara, mendirikan PTAIN
bersama dengan sejumlah tokoh. Hubungan dengan kawan-kawan atau
orang-orang sesama Islam itu baik sekali, dengan orang non Islam pun
baik juga. Saya ingat ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, beliau
itu menentang, setelah itu beliau dating sendiri ke Pak Natsir untuk
menyampaikan berita itu. Jadi, beliau menjaga hubungan baik dengan
siapapun juga.
8. Tanya : Dalam hal pendidikan, apa saja pemikiran KH. A. Wahid
Hasyim? Tahun 1950-1952 KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai
Menteri Agama, bagaimana peranan Beliau dalam hal melakukan
pembaruan di bidang pendidikan Islam. Adakah perbedaannya?
Jawab : Saya kurang tahu, mungkin Anda bisa membaca di literatur
yang ada begitu. Selain PTAIN, UII dan UISU itu yang saya tahu. Beliau
juga sangat mendorong dan memberikan kesempatan kepada kaum
wanita untuk belajar. Dan menganggap bahwa antara pendidikan agama
dan non agama itu sama pentingnya.
9. Tanya : Bagaimana respon dari masyarakat terhadap pemikiran-
pemikiran Beliau?
Jawab : Saya kurang tahu pasti, saya katakan tadi bahwa beliau ini
adalah orang yang berpikir progresif, mestinya ada juga respon yang
menolak. Mungkin bisa Anda baca di buku “Mengapa Saya Memilih
NU?”
10. Tanya : KH. A.Wahid Hasyim adalah pahlawan Nasional, jasa-jasa apa
saja yang menjadikan hal tersebut?
Jawab : Boleh dikatakan, beliaulah yang mewakili NU dalam kancah
pergerakan kemerdekaan, beliau dan beberapa lainnya, mungkin beliau
termasuk yang menonjol karena dua hal: Pertama, karena kemampuan,
Kedua karena Pak Wahid putranya Hadratusyaikh yang mewakili beliau
di Shumubu pada waktu itu. Pak Wahid juga menjadi salah satu anggota
Panitia Sembilan, yang merumuskan pembukaan Undang-Undang Dasar
yang merupakan ruh bangsa Indonesia. Tetapi saya pun mengakui
dibandingkan Bung Karno atau Bung Hatta, beliau masih di bawahnya:
Pertama, usia beliau jauh berbeda, Kedua beliau tidak belajar ilmu non
agama (khususnya politik) seintens mereka berdua, sehingga masih di
bawah Bung Karno dan Bung Hatta dalam segi pemikiran. Kelihatan
sekali dalam pembendaharaan kata-katanya, dan sekolah mereka juga
berbeda dengan beliau.
11. Tanya : Keteladanan apa saja yang dapat dijadikan contoh kepada
generasi muda Indonesia dari perjuangan-perjuangan atau jasa-jasa
Beliau?
Jawab : Percaya dirinya itu luar biasa sekali pada usia semuda itu beliau
menjadi ketua MIAI pada usia 23 dengan pendidikan “madrasah
kampung”lah. Tidak mudah, orang lain mungkin dibayang-bayangi
dengan rasa minder tapi beliau tidak. Karakternya luar biasa, saya tidak
melihat ada yang kurang. Beliau berani, pekerja keras, bertanggung
jawab, ingin maju, pamrihnya kecil, komunikasinya bagus, tidak
ambisius posisi, karena kedudukan atau posisi itu bukanlah suatu hal
yang penting yang terpenting kerjanya. Tidak takut tersaingi oleh anak
buah. Itu menurut saya sangat luar biasa.
Jakarta, 23 November 2010
Mengetahui,
KH. Salahuddin Wahid
i
Pedoman Transliterasi
1. Konsonan
ق z = ز a = أ = q
س b = ب = s ك = k
ش t = ت = sy ل = l
ص ts = ث = sh م = m
ض j = ج = dh ن = n
ط h = ح = th و = w
خ = kh ظ = zh ه = h
ع d = د ي ‘ = = y
ذ = dz غ = g
ر = r ف = f
2. Vokal
Vokal (a) panjang = â, contoh: قال = qâla
Vokal (i) panjang = î, contoh: قيل = qî al
Vokal (u) panjang = û, contoh: دون = dûna
Diftong
au = ― و
ai = ― ي
top related