pembaruan keagamaan dalam ah

62
LAPORAN KEMUHAMMADIYAHAN ‘PEMBARUAN KEAGAMAAN DALAM MUHAMMADIYAH’ Di susun oleh: Rizki Dwi Sukardi Rhafaela Mutiara Virgina Pembimbing: dr. Yose Rizal, SKM. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN 1

Upload: rizki-sukardi

Post on 05-Jul-2015

202 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

LAPORAN KEMUHAMMADIYAHAN

‘PEMBARUAN KEAGAMAAN DALAM MUHAMMADIYAH’

Di susun oleh:

Rizki Dwi Sukardi

Rhafaela Mutiara Virgina

Pembimbing: dr. Yose Rizal, SKM.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

1

Page 2: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah

yang diberikan olehNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Kemuhammadiyahan ini

untuk menunjang proses belajar di Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan Program Studi

Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan juga

banyak menemui berbagai macam hambatan dan kesulitan karena masih terbatasnya ilmu

pengetahuan yang penulis miliki, namun berkat adanya bimbingan, bantuan serta pengarahan

dari berbagai pihak maka, penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Oleh

karena itu dengan seusainya penyusunan laporan Kemuhammadiyahan ini penulis

mengucapakan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang

telah membantu dalam menyelesaikan laporan Kemuhammadiyahan ini terutama kepada yang

terhormat:

1. dr. Yose Rizal, SKM. selaku dosen mata kuliah Kemuhammadiyahan yang telah

memberikan bimbingan, bantuan serta pengarahan.

2. Rekan-rekan mahasiswa program studi pendidikan dokter Universitas Muhammadiyah

Jakarta.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis

mengharapakan saran dan kritik dari semua pihak guna menyempurnakan laporan dan semoga

laporan ini berguna bagi pembaca pada umumnya dan mahasiswa kedokteran pada khususnya.

Wassalamualakum Wr Wb.

Jakarta, Februari 2011

Penulis

2

Page 3: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN 3

1.1 Latar Belakang 3

1.2 Tujuan 4

BAB II PEMBAHASAN

2. Pembaruan Keagamaan dalam Muhammadiyah 5

2.1 Pemikiran tentang Ijtihad 6

2.2 Bidang Aqidah

10

2.3 Bidang Akhlaq 26

2.4 Bidang Syari’ah 32

BAB III PENUTUP

3. Kesimpulan 39

DAFTAR PUSTAKA 41

3

Page 4: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama

organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat

dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Atau seperti yang

dikatakan oleh H. Djarnawi Hadikusuma, penisbahan nama tersebut mengandung pengertian

sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung

organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu

Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang

ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani

kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan

benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Kemudian tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M,

Muhammadiyah didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji

Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta. Dengan tujuan

utamanya adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.

Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah

tertentu dengan alasan adaptasi.

Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan

merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan.

Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun

1903, Kyai Ahmad Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan

pembaruan itu diperoleh Kyai Ahmad Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia

yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari

Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah

4

Page 5: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil

Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal

kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya

para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai

Ahmad Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Ahmad Dahlan justru membawa ide

dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.

1.2 Tujuan

Menjelaskan mengenai Pembaruan Keagamaan dalam Muhammadiyah

5

Page 6: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

BAB II

PEMBAHASAN

2. Pembaruan Keagamaan dalam Muhammadiyah

Munculnya Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan dengan predikat

“modernis” pada awal abad ke-20 M dipandang sebagai kemajuan besar bagi umat Islam

Indonesia. Misi utama organisasi ini adalah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Misi tersebut ssuai dengan perintah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104. Yaitu untuk

mengembalikan umat islam kepada ajaran yang sebenarnya (al-Qur’an dan as-Sunnah) melalui

perbaikan cara berfikir, penanaman kesadaran dan rasa bangga terhadap ajaran islam. Usaha

tersebut disertai dengan seperangkat amal usaha sosial yang kelihatan tampil berbeda dari

kebiasaan umat Islam sebelumnya. Semua usaha itu kemudian smakin memperjelas visi

organisasi ini sebagai “gerakan pembaruan” (tajdid).

Identitas gerakan tajdid juga disertai dengan pemikiran keagamaan yang berbeda dari

khazanah pemahaman Islam yang telah lama berkembang dan diwariskan secara turun-temurun.

Perbedaan tersebut bukan hanya terletak pada substansi pemikiran atau pemahaman keagamaan

itu saja, melainkan secara teknis orang-orang yang merumuskan pemikiran itu juga berbeda.

Lembaga yang dibentuk untuk menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan

pemikiran atau pemahaman keagamaan dalam Muhammadiyah adalah Majlis Tarjih. Yaitu suatu

badan atau lembaga yang mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:

1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.

2. Menyusun tuntunan Aqidah, Akhlak, Ibadah dan Mu’amalah Duniawiyah.

3. Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun dari tarjih sendiri.

4. Menyalurkan perbedaan pendapat dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih

maslahat.

5. Mempertinggi mutu ulama

6

Page 7: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

6. Hal-hal lain dalam keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan persyarikatan.

Beradasarkan rincian tugas-tugas dari Majlis Tarjih Muhammadiyah diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa majlis ini merupakan badan yang berkompeten dalam merumuskan

pemahaman keagamaan di Muhammadiyah sebagai dasar gerakan organisasinya. Dari sini pula

dapat diketahui bahwa pemahaman keagamaan di Muhammadiyah secara garis besarnya meliputi

bidang; Aqidah, Akhlaq dan Syari’ah. Di bidang Syari’ah mencakup dua bidang, yaitu Ibadah

dan Mu’amalah.

Karena Majlis Tarjih mrupakan badan yang memiliki kewenangan mempelajari,

merumuskan dan memfatwakan masalah-masalah agama, maka badan ini juga sekaligus

merupakan Lembaga Ijtihad bagi Muhammadiyah. Dengan demikian, maka pembahasan

mengenai pemahaman keagamaan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari pembahasan

mengenai masalah ijtihad. Karena pada dasarnya pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh

Majlis Tarjih itu juga merupakan hasil ijtihadnya.

2.1 Pemikiran Tentang Ijtihad

Di kalangan para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai persoalan ijtihad.

Perbedaan itu muncul karena adanya perbedaan pemahaman tentang Syari’ah yang menjadi

lapangan ijtihad itu sendiri. Ulama yang berpikiran holistik dan integral berpendapat bahwa

ijtihad bukan hanya terbatas pada bidang Fiqh saja, melainkan juga meliputi berbagai bidang

ilmu, termasuk bidang Teologi, Filsafat dan Tasawuf. Pendapat ini kelihatannya mirip dengan

pendapat ulama Salaf yang berpendapat bahwa Syari’ah meliputi ketiga unsur. Pertama, hal-hal

yang berkenaan dengan unsur-unsur keimanan (Aqidah). Kedua, hal-hal yang berkenaan dengan

perbuatan moral (Akhlaq). Ketiga, hal-hal yang berkenaan dengan perbuatan atau tingkah laku

orang dewasa (Syari’ah dalam pengertian hokum Fiqh). Sementara di kalangan ahli Ushul Fiqh

yang berpendapat bahwa ijtihad hanya terbatas pada lapangan Fiqh saja. Kelihatannya mewarisi

pendapat ulama Khalaf yang berpendapat bahwa Syari’ah dimaksudkan hanya terbatas pada

persoalan-persoalan yang berkenaan dengan tingkah laku atau perbuatan orang dewasa yang

biasa disebut hokum ‘amali.

Kedua pendapat tersebut sebenarnya masih dapat dikompromikan. Dengan alasan para

ulama Ushul Fiqh yang berpendapat bahwa ijtihad hamya terbatas dalam lapangan Fiqh,

7

Page 8: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

sebenarnya ini merupakan ijtihad dalam lapangan hokum yang bersifat praktis (‘amali).

Sedangkan ijtihad yang dilakukan oleh ulama di luar kalangan Fuqaha (Ahli Fiqh) adalah ijtihad

yang berkenaan dengan masalah-masalah teoritis (‘ilmi), oleh karena secara tidak langsung

berhubungan dengan perbuatan atau tingkah laku mukallaf.

Fakhruddin ar-Razi, sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rahmat, memberikan pengertian

bahwa ijtihad adalah sebagai pengerahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak

mendatangkan calaan. Dengan perkataan “apa saja”, maka berarti ijtihad mencakup masalah

Fiqh, Ilmu Kalam, dan Tasawuf. Sementara asy-Syaukani dengan memahami kata ‘amali

menandaskan bahwa kata ‘amali mengandung pengertian pada pengerahan kemampuan dalam

menghasilkan hokum ‘ilmi (teoritis), yang tidak disebut di kalangan Fuqaha, tetapi disebut

ijtihad dikalangan ahli Ilmu Kalam. Dari sini kelihatan jelas bahwa asy-Syaukani mengakui

adanya ijtihad di kalangan Mutakallimin. Pembahasan mengenai cakupan lapangan ijtihad ini

penting untuk dijelaskan, karena pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang selalu

dinisbahkan kepada pemikiran ulama Salaf itu. Sehingga dalam hal ini tentu terdapat juga

beberapa karakteristik yang sama antara pemahaman keagamaan Muhammadiyah dalam

pemikiran Salaf.

Ide tentang ijtihad memang telah menjadi agenda tersendiri dalam gerakan

Muhammadiyah. Karena sebagaimana diketahui bahwa ketika Muhammadiyah lahir, keyakinan

tentang tertutupnya pintu ijtihad telah menjadi bagian dalam kehidupan umat Islam. Agaknya,

hal ini merupakan konsekunsi logis dari kerakan tajdid yang dikumandangkannya. Apalagi

setelah identitas tajdid itu secara lebih jelas dirumuskan dalam Muktamar Tarjih ke-22 di

Malang, Jawa Timur, pada tahun 1989. Perumusan mengenai pengertian tajdid yang melingkupi

kedua pengertian istilah itu, secara pelaksanaannya yang melibatkan aktualisasi akal secara

optimal dengan didasari al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah, mengisyaratkan bahwa ijtihad

dalam Muhammadiyah dapat dilakukan bukan hanya pada kasus-kasus yang telah disebut secara

ekplisit di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang belum memiliki pengertian dan maksud yang

jelas. Akan tetapi ijtihad juga dimaksudkan pada kasus-kasus yang belum disinggung secara

ekplisit oleh kedua sumber ajaran Islam yang utama itu.

Pada kasus yang pertama, ijtihad dilakukan dengan menafsirkan kembali al-Qur’an

maupun al-Hadits, disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang secara kontekstual.

8

Page 9: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Sedangkan pada kasus yang kedua perlu pengarahan kemampuan akal yang optimal. Meskipun

keduanya, baik ijtihad melalui penafsiran kembali secara kontekstual maupun merumuskan

hukum-hukum secara analogis atau mencari persesuaian ‘illah, sama-sama memerlukan

aktualisasi akal, namun pada cara yang kedua pnggunaan akan diharapkan lebih intensif.

Dari kedua cara ijtihad dalam penyelesaian kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa akal

memegang peranan penting dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Mengenai peranan akal

ini juga telah diformulasikan baik dalam rumusan tajdid maupun dalam Manhaj Tarjih.

Walaupun sebenarnya dengan perkataan “yang dijiwai ajaran Islam”, mengesankan adanya

keterbatasan akal dalam penyelesaian masalah-masalah yang muncul. Dengan demikian, maka

kehendak nash harus didahulukan daripada akal.

Namun, sebagaimana dikemukakan dalam Manhaj Tarjih, bahwa benturan aktualisasi

akal dalam ijtihad hanya apabila berhadapan dengan masalah-masalah bersifat ta’abuddi.

Walaupun dalam Manhaj Tarjih tersebut tidak jelas apa yang dimaksud dengan masalah

ta’abuddi itu, namun dapat diduga bahwa hal tersebut adalah yang berkenaan dengan masalah

ibadah dalam arti khusus. Yaitu segala bentuk ibadah yang telah ditentukan oleh nash tentang

cara pelaksanaannya, yang kemudian sering disebut Ibadah Mahdhah. Sedangkan masalah-

masalah yang tidak bersifat ta’abuddi adalah hal-hal yang berkenaan dengan Mu’amalah

Duniawiyah. Yaitu segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi, seperti perkara-

perkara, pekerjaan-pekerjaan, urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan

manusia.

Apalagi jika makna ijtihad dalam Muhammadiyah itu dilihat dari tujuan dan dimenji

tajdid. Di situ semakin jelas bahwa cakupan ijtihad Muhammadiyah mempunyai jangkauan yang

luas. Bahkan klihatan lebih luas dari Ulama Salaf seprti halnya Ibn Taimiyah, yang

mengisyaratkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang Tasawuf.

Pemikiran tentang ijtihad memiliki cakupan luas itu kelihatan merupakan konsekuensi

logis dari pandangannya tentang islam yang integral dan holistik, setidak-tidaknya apabila

ditinjau dari Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) organisasi ini. Namun demikian,

dikalangan anggota atau bahkan tokoh-tokoh Muhammadiyah masih terdapat perbedaan

pendapat tentang ijtihad.

9

Page 10: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

M. Amin Rais misalnya, ia menyetujui adanya kontekstualisasi interpretasi dalam ijtihad,

dengan catatan harus tetap bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun ia tidak sependapat

dengan adanya upaya untuk menjadikan sebuah hokum yang telah qath’I dalam al-Qur’an untuk

disesuaikan panafsirannya dengan praktik kehidupan modern. Pendapat serupa juga

dikemukakan oleh A. Mukti Ali, ia menyatakan bahwa untuk menghadapi dunia yang serba

berubah ini, teks al-Qur’an dan al-Hadits harus dipahami dengan memperhatikan keadaan di

sekitarnya. Lebih jauh ia menegaskan bahwa memahami agama secara kontekstual merupakan

keharusan. Sebagian warga Muhammadiyah, bahkan ada yang menginginkan agar ijtihad dalam

Muhammadiyah dilakukan secara menyeluruh, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.

Namun sebagian warga Muhammadiyah juga masih ada yang berpendapat bahwa ijtihad

itu hanya terbatas pada bidang Fiqh saja. Sedangkan bidang Aqidah termasuk termasuk masalah

yang tidak boleh diijtihadkan lagi, apalagi jika dikaji secara rasional. Akan tetapi pendapat ini

kelihatannya bertentangan dengan Manhaj Tarjih yang menyatakan bahwa dalam masalah

Aqidah (Tauhid) hanya digunakan dalil-dalil mutawir. Pernyataan ini secara implisit

mengisyaratkan adanya ijtihad juga dalam bidang Aqidah, hanya sifatnya yang berbeda dari

ijtihad-ijtihad dalam bidang lainnya. Ijtihad dalam bidang Aqidah ini kelihatannya lebih bersifat

“purifikatif”. Sementara ijtihad dalam bidang Fiqh atau bidang Mu’amalah Duniawiyah boleh

jadi bersifat “eksploratif”.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ijtihad dalam Muhammadiyah mencakup

bidang-bidang agama secara keseluruhan, yaitu meliputi bidang Aqidah (purifikatif), Akhlaq,

Ibadah, dan Mu’amalah Duniawiyah (eksploratif). Dengan adanya cakupan yang luas itu,

dimungkinkan dapat membrikan peluang yang besar bagi Muhammadiyah untuk lebih dinamis

dalam gerakannya, terutama gerakan sosialnya. Karena pada dasarnya pemikiran tentang ijtihad

adalah merupakan upaya meresponi masalah-masalah umat yang muncul akibat kemajuan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi. Kompleksitas persoalan-persoalan umat itulah yang mau tidak mau

memerlukan pendekatan inter-disipliner dalam penyelesaiannya. Pendekatan ini kelihatannya

telah ditawarkan Muhammadiyah, melalui lembaga Ijtihad Jama’i (Majlis Tarjih) yang

melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu. Secara substansial, mekanisme ijtihad

semacam ini secara tidak langsung merupakan upaya reinterpretasi dan reaktualisasi ajaran islam

itu sendiri.

10

Page 11: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Jika dilihat dari kacamata historis, pemikiran ijtihad Muhammadiyah merupakan langkah

pembaharuan yang tidak ditemukan pada kurun waktu klasik. Perkembangan ijtihad pada waktu

itu hanya dimonopoli oleh kalangan Ulama Fiqh. Oleh sebab itu, maka ijtihad-pun hanya

terbatas pada lapangan Fiqh saja. Di samping itu, mekanisme ijtihad hanya menjadi otoritas bagi

seorang mujtahid secara pribadi atau disebut juga ijtihad fardli.

2.2 Bidang Aqidah

Aqidah merupakan salah satu aspek ajaran islam yang paling pokok. Bahkan ajaran ini

diyakini sebagai titik awal seseorang dalam meyakini kebenaran Islam. Hasan al-Banna

memberikan pengertian tentang Aqidah sebagai berikut : “Aqaid (bentuk jamak dari aqidah)

adalah perkara-perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), dan mendatangkan

ketentraman jiwa(mu) serta menjadikan keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan

keragu-raguan. Sedangkan Abu Bakar Jabir al-Jazairi memberikan pengertian Aqidah adalah:

“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia

berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. (Kebenaran itu) terpatri dalam hati manusia serta diyakini

kebenaran dan keberadaannya (secara pasti) dan menolak segala sesuatu yang bertentangan

dengan kebenaran itu.

Berdasarkan dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Aqidah merupakan

keyakinan hati tentang kebenaran yang diperoleh melalui akal, fitrah (potensi dasar), dan wahyu,

di mana keyakinan itu dapat mendatangkan ketenangan. Kebenaran yang diyakini itu dapat

diperoleh melalui akal, karena ia merupakan alat untuk menguji kebenaran, dan juga dengan

fitrah (potensi dasar), seperti panca indera atau fungsi-fungsi jiwa lainnya. Demikian juga

dengan wahyu sebagai pedoman untuk menentukan, mana yang benar dan mana yang salah.

Seperti tentang adanya tuhan, misalnya. Setiap manusia memiliki fitrah ber-Tuhan. Dengan

panca indera dan akalnya, ia dapat membuktikan kebenaran adanya Tuhan itu. Tetapi hanya

wahyulah yang dapat menunjukan “siapa” Tuhan yang sebenarnya. Definisi atau pengertian

tentang Tuhan hanya akan benar jika Tuhan sendiri yang memberitahukan “keadaan” dan

“keberadaan-Nya”.

Pengertian tentang Tuhan yang dirumuskan berdasarkan kemampuan akal fikiran

manusia sendiri hanya akan menimbulkan perbedaan yang berkepanjangan. Dan yang lebih

11

Page 12: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

hakiki lagi adalah bahwa hal tersebut tidak akan pernah menyentuh pada hakikat Tuhan yang

sebenarnya. Sebab relativitas institusi manusia tersebut akan menghasilkan buah pemikiran yang

relatif pula.

Aqidah merupakan dasar pokok keyakinan beragama. Oleh sebab itu ia menjadi titik awal

dalam membahas tentang keimanan. Pembahasan masalah Aqidah ini pada umumnya meliputi

persoalan-persoalan sebagai berikut:

Pertama, Illahiyyah. Yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah),

seperti Wujud Allah, Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, Af’al Allah, Kehendak dan Ketentuan

Allah, dan lain-lain.

Kedua, Nubbuwwah. Yaitu pembahasan mengenai segala sesuatu yang berkenaan dengan

Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, keramat, dan lain-

lain.

Ketiga, Ruhaniyah. Yaitu pembahasan tentang segala yang berhubungan dengan alam

meta-fisik seperti; Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, ruh atau nyawa manusia, dan lain-lain.

Keempat, Sam’iyah. Yaitu pembahasan tentang segala yang hanya dapat diketahui lewat

sam’i (mendengar berita dari dalil naqli berupa al-Qur’an dan Sunnah Rasul), seperti; Alam

Barzakh, Akhirat, Azab Kubur, Surga, Neraka, dan lain-lain.

Pokok-pokok Aqidah yang secara global mencakup empat hal tersebut. Walaupun telah

diberitakan melalui wahyu, namun tidak begitu saja dapat diterima oleh sebagian manusia, untuk

menjadi keyakinan mereka secara penuh. Hal ini dikarenakan adanya karunia Allah yang lain,

berupa akal yang memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk membuktikan kebenaran wahyu

Allah itu sehingga keyakinannya menjadi kuat terhadap kebenaran wahyu itu sendiri. Dari usaha

pembuktian kebenaran wahyu melalui akal ini, muncullah apa yang disebut dengan Ilmu Kalam

atau Teologi. Yaitu ilmu yang berusaha menetapkan keyakinan (Aqidah) dan menjelaskan ajaran

yang dibawa oleh para Nabi.

Baik Ilmu Kalam maupun Teologi, keduanya mempunyai konotasi pengertian yang sama,

sebagaimana dikemukakan di atas. Kedua istilah itu muncul dari adanya debat kata yang

bermuatan filosofis untuk saling membuktikan dan mempertahankan keyakinan (Aqidah)

12

Page 13: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

masing-masing. Dari sini dapat diketahui bahwa akal telah turut berperan penting dalam

menegakkan dasar-dasar keyakinan (Aqidah) Islam. Sebagai akibat dari munculnya debat

teologis ini, akhirnya muncullah corak baru Aqidah Islam yang dialektis.

Secara historis corak Aqidah Islam yang berkembang di kalangan umat Islam

terpolarisasi ke dalam dua kelompok. Pertama, Aqidah Salaf. Yaitu corak Aqidah yang dibangun

semata-mata berdasarkan informasi wahyu, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, tanpa interpretasi

filosofis yang mewarnainya. Aqidah ini dianut oleh kaum Muslimin pada masa awal, yaitu masa

Nabi, sahabat, dan tabi’in yang hidup hingga abad ketiga hijriyah. Kelompok ini sering disebut

dengan kelompok as-Salaf ash-Shalih. Sedangkan para penganut Aqidah yang serupa itu, tetapi

hidup setelah tiga kurun pertama disebut Salafiah. Ciri utama Aqidah Salaf ini adalah berdasar

sepenuhnya pada nash. Oleh sebab itu rumusan Aqidahnya sangat sederhana, karena belum

diwarnai oleh debat kalamiyah atau teologis.

Kedua, Aqidah Islam yang dibangun atas campur tangan pemikiran filosofis. Kelompok

ini secara garis besar diwakili al-Qadariyah dan al-Jabbariyah. Kedua aliran ini muncul seiring

dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam keluar Jazirah Arab, sehingga ajaran Islam mulai

bersentuhan dengan ajaran-ajaran non-Islam, seperti filsafat Yunani, system kepercayaan Majusi,

Atheis, dan lain-lain. Sengguhpun kedua aliran ini (al-Qadariyah dan al-Jabbariyah) dalam

sejarah Islam secara formal tidak memperoleh bentuk dan mampu bertahan lama, namun masing-

masing telah menjadi pondasi bagi munculnya dua aliran teologi yang besar berikutnya. Al-

Qadariyah menjadi dasar pemikiran teologi Mu’tazilah, sementara al-Jabbariyah menjadi

pondasi pemikiran teologi Asy’ariyah.

Kedua aliran teologi yang terakhir inilah yang secara intensif mewarisi tradisi debat

teologis yang hingga sekarang tidak terselesaikan. Tema-tema teologis yang dipersoalkan

terutama berkisar tentang perbuatan manusia (af’al al-‘ibad), sifat Tuhan serta Qadha dan Qadar

Tuhan. Bagi Aqidah Salaf yang dengan tegas menolak segala bentuk pemikiran teologis, seperti

al-Khawarij, al-Mu’tazilah, dan lain-lain, bukan berarti paham ini dapat terlepas dari tema-tema

teologis yang diperdebatkan di kalangan teolog aliran itu. Bagaimanapun juga perdebatan

teologis yang menyangkut tema-tema Aqidah itu pada akhirnya juga dapat mendudukkan Aqidah

Salaf pada suatu kutub tertentu. Beberapa pendapat mengelompokkan bahwa Aqidah Kaum Salaf

serupa dengan teologi al-‘Asy’riyah yang dibangun di atas pondasi al-Jabbariyah itu. Terutama

13

Page 14: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

dapat dilihat dalam tiga persoalan, yaitu: perbuatan manusia (af’al al-‘ibad), sifat-sifat Tuhan

serta Qadha dan Qadar. Pada gilirannya Aqidah Salaf juga dikategorikan ke dalam Aqidah yang

bercorak al-Jabbariyah. Sebab Kaum Salaf berkeyakinan bahwa perbuatan manusia tidak bebas,

Allah berkehendak mutlak dan mengisbatkan sifat-sifat Allah.

Akan tetapi pengelompokan semacam ini kelihatannya tidak begitu cepat. Karena dalam

berbagai hal, Aqidah Salaf tidak dapat dikategorikan bercorak al-Jabbariyah secara mutlak, dan

tidak pula bercorak al-Qadariyah secara keseluruhan. Beberapa karakteristik yang mendasari

Aqidah Salaf itu diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, persoalan Aqidah tidak termasuk

bidang ijtihad. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah tertutupnya kemungkinan adanya

perumusan Aqidah melalui pandangan pemikiran filosofis, diperkuat dengan kenisbian akal

dalam masalah Aqidah yang diakui oleh Kaum Salaf. Pada hal penggunaan akal yang optimal

merupakan unsur penting dalam ber-ijtihad. Dengan kata lain, persoalan-persoalan Aqidah hanya

dapat diterima secara “teken for granted”, tanpa perlu komentar dari akal manusia.

Kedua, menolak ta’wil. Bila kalangan Mutakallimin menghendaki dijadikannya rasio

sebagai dasar penakwilan sehingga mengalahkan kehendak syara’, maka Kaum Salaf menolak

ta’wil semacam itu, karena dianggap dapat mengakibatkan peniadaan (isi) nash. Pada umumnya

kalangan Salaf menggunakan ta’wil dalam arti tafsir, yaitu menerangkan arti kata atau kalimat

sehingga jelas pengertiannya. Menurut Ibn Taimiyah, ta’wil seperti itulah yang dikenal di

kalangan ahli tafsir Salaf. Sedangkan ta’wil al-‘aqli seperti yang dikenal di kalangan teolog

masih dipertanyakan keabsahannya.

Persoalan ta’wil ini selalu muncul, terutama dalam memahami ayat-ayat yang

menjelaskan tentang sifat-sifat jasmaniah yang digambarkan dalam al-Qur’an. Dalam hal ini

Kaum Salaf menrimanya dengan arti apa adanya, seperti Tuhan mempunyai mata, muka, tangan,

dan lain-lain secara literal tanpa mempertanyakan hakikat sifat tersebut (billa kaifa). Mereka

menolak kemampuan manusia untuk dapat mengetahui hakikat Sifat Allah, seperti dikatakan

oleh Ibn Taimiyah: “La ya’lamu kaifa Allah illa Allah. Falla ya’lamu Huwa illa Huwa (tidak ada

yang tahu bagaimana Allah kecuali Allah, maka tidak ada yang mengetahui hakikat-Nya

melainkan Dia sendiri).

14

Page 15: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Ketiga, membatasi akal dari memikirkan persoalan yang bukan bidangnya. Menurut

Aqidah Salaf, akal merupakan media pengetahuan yang terbatas yang tidak mampu menjangkau

masalah-masalah ghaib, melainkan hanya gambaran semata. Kaum Salaf mengimani hal-hal

yang ghaib yang diberikan oleh nash, tanpa mencoba memikirkan hakikat yang sebenarnya,

karena hal itu berada di luar jangkauan akal. Kaum Salaf tidak mengunggulkan akal, tidak

menuhankannya, dan tidak menganggapnya cukup dan berdiri sendiri, tetapi mereka

menempatkan akal sesuai kedudukannya. Mereka menempatkan akal pada batas-batas

wilayahnya, seperti dalam pemikiran akal, dalam masalah-masalah hukum (Fiqh Amaliyah) dan

dalam ilmu-ilmu yang bersifat kebendaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

manusia.

Dari sini dapat dilihat bahwa Kaum Salaf bersikap tawaquf (mengembalikan sesuatu

kepada nash tanpa mempersoalkannya) terhadap hal-hal yang berkenaan dengan masalah

Aqidah. Sementara terhadap persoalan-persoalan di luar Aqidah bersikap kritis dalam

menggunakan segala kemampuan akalnya secara sungguh-sungguh. Di sisi lain, keteguhan kaum

Salaf dalam memegang dan mengamalkan nash tanpa menyangkal hakikatnya, dapat membuka

kemungkinan harapan yang tinggi untuk berfikir, beramal, dan beribadah menurut keridhaan

Allah.

Kaum Salaf pada ketiga kurun pertama --masa Nabi, sahabat, dan Tabi’in—Abu

Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibn Taimiyah, Muhammad Ibn Abdul

Wahab, dan lain-lain. Mereka adalah generasi Salafiah yang memiliki iltizam (komitmen) tinggi

terhadap Aqidah Salaf, di samping mempunyai kesungguhan dalam mengembangkan potensi

akal sebagai karunia Allah pula.

Melalui mereka Aqidah Salaf dipertahankan dan dihidupkan kembali setelah kurun waktu

perdebatan teologis di kalangan ahli kalam, dan diwariskan kembali kepada generasi berikutnya,

teerutama melalui karya-karya mereka yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Salah satu

yang menamakan diri mewarisi Aqidah Salaf itu adalah Muhammadiyah. Sebuah organisasi

dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar yang secara normatif merujuk langsung kepada al-

Qur’an dan as-Sunnah. Pengakuan ini setidaknya dapat dipahami berdasarkan pernyataan

sebagaimana yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT).

15

Page 16: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

“Kemudian daripada itu, maka kalangan umat yang terdahulu (Salaf), yaitu yang terjamin

keselamatannya. Mereka telah sependapat atas kepercayaan bahwa seluruh alam kejadian itu

mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidakadaan dan mempunyai sifat akan

punah. Mereka berpendapat bahwa memperdalam ilmu pengetahuan tentang alam untuk

mendapatkan pengertian tentang Allah adalah wajib menurut ajaran agama. Demikianlah, maka

kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar itu.”

Penjelasan diatas walaupun tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Muhammadiyah

beraqidah sebagaimana Aqidah Salaf, namun dengan adanya kata kunci, “Wa ha nasyra’u fi

bayani ushuli al-aqaidi al-shahihati” menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan al-‘aqaidi al-

shahihati itu adalah Aqidah Salaf.

Bila dilihat dari susunan pokok Aqidah seperti yang dijelaskan dalam Himpunan Putusan

Tarjih, sistematikanya juga tidak berbeda dari apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah dalam

Majmu’-nya, yaitu terdiri dari:

1. Iman kepada Allah

2. Iman kepada Malaikat

3. Iman kepada Kitab

4. Iman kepada Rasul

5. Iman kepada Hari Akhirat

6. Iman kepada Qadha dan Qadar.

Bedasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Aqidah Muhammadiyah mirip

dengan apa yang telah menjadi keyakinan Kaum Salaf. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat

yang dikemukakan oleh K.H. Mas Mansyur, sebagaimana dikitup oleh Yusram Asrofi, bahwa

dalam masalah Teologi (Aqidah), Kyai Dahlan kembali kepada Ulama Salaf. Dalam hal ini Kyai

Dahlan nampaknya lebih dekat kepada Rasyid Ridha.

Perumusan pokok-pokok Aqidah Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari kondisi

paham keagamaan yang berkembang di ketika Muhammadiyah lahir. Paham syirik, takhayul, dan

khurafat merupakan perwujudan penyimpangan Aqidah Islam yang dipegangi umat Islam.

Bentuk-bentuk penyimpangan Aqidah itu muncul karena rujukan dasar ajaran sebagai sumber

Aqidah itu tidak tepat. Orang lebih suka merujuk kepada pendapat atau kitab-kitab karangan

16

Page 17: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

ulama, kyai, syekh, atau bahkan para pujangga kerajaan daripada langsung mempelajari dan

mengambil hujah dari al-Qur’an dan al-Hadits.

Pengambilan sumber ajaran yang bersifat sekunder tersebut bukan hanya memiliki

kemungkinan penyimpangan dalam bidang Ibadah, tetapi hal yang lebih fatal juga akan terjadi

dalam bidang Aqidah. Pada hal Aqidah merupakan pondasi utama dalam agama, karena pada

dasarnya perbuatan atau amaliyah hanyalah merupakan wujud nyata dari ssuatu yang

diyakininya. Tidak benarmya Aqidah seseorang dapat mengancam eksistensi amal ibadahnya.

Sebaliknya juga, amal ibadah yang baik merupakan pancaran Aqidah yang benar.

Aqidah Muhammadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi dari gerakannya. Formulasi

Aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada sumber utama ajaran Islam itu

dinamakan al-Aqidah ash-Shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran

teologis. Karakteristik Aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan sebagai

berikut:

Pertama, nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) sebagai dasar rujukan. Semangat kembali

kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umum pada setiap gerakan

pembaruan. Karena diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada kedua sumber

utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga

menjadikan hal ini sebagai tema sentral gerakannya, terlebih-lebih dalam masalah Aqidah,

seperti dinyatakan:

“Inilah pokok-pokok Aqidah benar itu, yang terdapat dalam al-Qur’an dan dikuatkan dengan

pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”

Berdasar pernyataan diatas, jelaslah bahwa sember Aqidah Muhammadiyah adalah al-

Qur’an dan as-Sunnah yang dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir. Ketentuan ini juga

dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut:

- Di dalam masalah Aqidah (Tauhid) hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir.

Dalil-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhsiskan dengan Hadits Ahad, kecuali dalam

bidang Aqidah.

17

Page 18: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

- Dalam memahami nash, makna dzahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang Aqidah

dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.

Ketentuan-ketentuan diatas jelas menggambarkan bahwa secara tegas Aqidah

Muhammadiyah bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang

terdapat dalam aliran-aliran teologi pada umumnya. Sebagai konsekuensi dari penolakannya

terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi

mengundang perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaquf

seperti halnya Kaum Salaf.

Kedua, keterbatasan peranan akala dalam soal Aqidah. Muhammadiyah termasuk

kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah Aqidah. Formulasi tentang posisi akal

itu sebagai berikut:

“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal dalam hal

kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan

hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.”

Selanjutnya, dirumuskan pula dalam Manhaj Tarjih sebagai berikut: Dalam bidang

ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, pemahamannya

dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, mesikipun diakui

bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki

kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.

Jika kedua pernyataan diatas diperhatikan, terlihat bahwa keduanya saling menguatkan

atas kenisbian akal terhadap persoalan Aqidah. Tetapi akal memiliki kemungkinan peran yang

lebih besar terhadap bidang-bidang lain, seperti bidang Ibadah dan Mu’amalah Duniawiyah. Hal

ini berarti bahwa kemungkinan peran akal untuk melakukan interpretasi yang sesuai dengan

tuntutan situasi dan kondisi lebih dituntut kepada bidang-bidang selain Aqidah.

Sungguhpun Muhammadiyah telah meletakan akal sebagai landasan operasional dalam

memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana pesan Kyai Dahlan, bahwa untuk memahami

al-Qur’an manusia harus dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling pokok, yakni akal.

Dan akal hanya dapat berguna dan berkembang dengan menggunakan metode berfikir Ilmu

18

Page 19: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Mantiq atau logika. Hal ini tidak mencakup seluruh aspek bahasan dalam Islam. Akan tetapi ada

hal-hal yang berada di luar jangkauan akal. Dan oleh sebab itu, maka argument-argumen teologis

yang cenderung filosofis tidak menjadi dasar Aqidah Muhammadiyah.

Ketiga, kecenderungan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Mengenai

manusia, apakah ia bebas dalam menenukan perbuatannya, atau apakah perbuatan manusia itu

diciptakan Tuhan, sikap Muhammadiyah dapat dilihat dalam rumusan berikut ini:

”Adapun segala yang dilakukan manusia itu, semuanya atas Qadha dan Qadar-Nya, sedang

manusia sendiri hanya dapat beriktiar. Dengan demikian, maka segala ketentuan adalah dari

Allah dan usaha adalah bagian manusia, Perbuatan manusia ditilik dari segi kuasanya

dinamakan hasil usaha sendiri, tetapi ditilik dari segi kekuasaan Allah, perbuatan manusia itu

adalah ciptaan Allah”.

Secara garis besarnya, pernyataan diatas dapat dikelompokkan menjadi dua persoalan

pokok. Pertama, perbuatan telah ditentukan oleh Allah, dan manusia hanya dapat ber-ikhtiar.

Kedua, jika ditinjau dari sisi manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila ditinjau dari

sisi Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.

Pada pokok persoalan yang pertama, kelihatan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan

dalam berbuat, walaupun diformulasikan juga dalam kata ikhtiar atau juga kasb. Bagaimanapun

juga, baik ikhtiar maupun kasb, dalam rumusan itu tetap menggambarkan kelemahan manusia.

Dan oleh sebab itu, maka baik ikhtiar maupun kasb tidak akan member pengaruh kepada

ketentuan Allah (Qadha dan Qadar). Dengan kata lain, paham seperti ini menggambarkan

adanya kehendak mutlak Tuhan untuk menentukan segala perbuatan manusia.

Pernyataan tersebut beralasan pada dalil yang dikemukakan, yaitu Surat ash-Shaffat: 96

dan al-Qashash: 69 yang artinya:

“Allah yang telah mnjadikan kamu dan segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S ash-Shaffat: 96)

“Dan Allah itu yang telah menjadikan apa yang telah Ia kehendaki dan yang Dia pilih. Tidak

ada pilihan bagi mereka, Maha Suci Allah, dan Maha Luhut dari pada apa yang mereka

sekutukan.” (Q.S al-Qashash: 69)

19

Page 20: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Akan tetapi pada persoalan pokok yang kedua, kelihatan adanya pandangan yang

mendua. Yaitu satu sisi manusia dipandang sebagai makhluk mukhyar. Artinya memiliki

kebebasan untuk menerima atau menolak ungkapan kasban lahu (hasil usaha sendiri). Sementara

pada sisi lain, manusia juga dipandang sebagai makhluk musayar. Artinya tidak memiliki

kebebasan untuk menerima atau menolak, tetapi harus menerima, dengan ungkapan khalqan

(ciptaan Allah).

Sebagai pendukung pandangan yang pertama, yaitu manusia sebagai makhluk mukhayar,

kelihatannya menunjuk kepada surat al-Balad: 10 yang artinya (”dan Kami telah menunjukkan

kepada manusia dua jalan.”). Sedangkan untuk pandangan yang kedua, yaitu manusia sebagai

mahkluk musayar menunjuk kepada dua dalil yang menyatakan kehendak mutlak Tuhan,

sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Dari alasan-alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang mukhayar-nya manusia

dalam perbuatannya, dapat diambil pengertian bahwa manusia mmiliki kehendak bebas dalam

menentukan perbuatannya. Kesimpulan ini menjadi mungkin oleh karena Muhammadiyah

sendiri tidak menjelaskan tentang ikhtiar atau juga kasb itu yang sebenarnya. Sedangkan pada

Surat al-Balad: 10, yang artinya: (”dan Kami telah menunjukkan kepada manusia dua jalan.”).

Kelihatan bahwa Allah member kebebasan kepada manusia untuk memilih dan berbuat pada

salah satu dari dua jalan, yaitu jalan kebajikan dan jalan kejahatan. Pada ayat lain yang artinya:

(“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula

yang inkar.” (Al-Insan: 3)).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak tepat apabila dikatakan bahwa dalam masalah

perbuatan manusia Aqidah Muhammadiyah cenderung kepada paham Asy’aruyah. Dan dengan

demikian, maka Muhammadiyah termasuk ke dalam kutub Jabbariyah. Kesimidakpulan bahwa

Aqidah Muhammadiyah cenderung kepada paham Asy’ariyah dalam masalah perbuatan manusia

ini hanya mungkin apabila tanpa memandang dalil tentang kasb yang dikemukakan oleh

Muhammadiyah, tetapi hanya bersandar pada rumusan umum yang terdapat dalam Himpunan

Putusan Tarjih.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa tidak adanya penjelasan tentang ikhtiar dan

kasb secara rinci seperti halnya dalam aliran teologi itu. Justru karena konsistenti

20

Page 21: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Muhammadiyah terhadap paham Salaf-nya sehingga enggan memberikan rumusan secara

filosifis. Karena dengan rumusan semacam itu hanya akan menggiring Muhammadiyah kepada

paham teologi tertentu. Dan apabila demikian halnya, maka semangat merujuk kepada ajaran

Islam yang sebenarnya (al-Qur’an dan as-Sunnah) tidak akan mempunyai makna apa-apa.

Sementara, banyak ayat al-Qur’an menunjukkan secara proporsional atas adanya kecenderungan

untuk menimbulkan dua sikap: Jabbariyah atau Qadariyah.

Keempat, percaya kepada Qadha dan Qadar. Kata Qadha adalah bentuk masdar dari kata

kerja Qadha yang berarti ketentuan atau keputusan. Sedangkan Qadar berasal dari kata Qadara

yang berarti ukuran atau juga ketentuan. Jika kedua kata tersebut dilihat maknanya secara

Lughawi kelihatannya antara keduanya tidak terdapat perbedaan secara mendasar. Oleh sebab

itu, dalam memberikan pengertian kedua kata tersebut di kalangan ulama ada yang

membedakannya dan ada pula yang menyamakannya.

Bagi yang membedakan pengertian Qadha dan Qadar itu, pengertian Qadha adalah

penciptaan segala sesuai dengan Ilmu dan Iradah-Nya. Sedangkan Qadar adalah Ilmu Allah

tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya pada masa yang akan datang.

Adapun ulama yang berpendapat bahwa istilah Qadha dan Qadar itu mempunyai pengertian

sama. Qadha dan Qadar adalah segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang

ditetapkan secara pasti oleh Allah untuk segala yang ada (wujud), yang mengikat antara sebab

dan akibat segala sesuatu yang terjadi.

Baik pengertian Qadha dan Qadar itu dibedakan atau disamakan, kelihatannya tidak

terdapat perbedaan pengertian secara tegas, karena pada intinya semua menggambarkan

kekuasaan Allah terhadap segala makhluk-Nya, apakah itu berupa ilmu, ketentuan, peraturan-

Nya dan lain-lain.

Dalam Aqidah Muhammadiyah, Qadha dan Qadar diyakini sebagai salah satu pokok

Aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti formulasi yang diberikan

hadits mengenai pengertian Islam, Iman, dan Ihsan. Perumusan keyakinan Muhammadiyah

terhadap Qadha dan Qadar itu, yang artinya:

“Kita wajib percaya bahwa Allah-lah yang telah menciptakan segala sesuatu. Dan Dia telah

menyuruh dan melarang. Dan perintah Allah adalah kepastian yang telah ditentukan. Dan

21

Page 22: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

bahwasanya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Dia menciptakan segala kejadian

dan mengatur segala yang ada dengan pengetahuan, ketentuan, kebijaksanaan, dan kehendak-

Nya. Adapun segala yang dilakukan manusia itu semuanya atas Qadha dan Qadar-Nya.”

Dari rumusan di atas dapat dilihat bahwa pengertian Qadha dan Qadar dalam Aqidah

Muhammadiyah cenderung sama. Artinya Muhammadiyah tidak memberikan perbedaan

pengertian antara keduanya. Meskipun begitu, Muhammadiyah juga tidak memberikan

pengertian Qadha dan Qadar itu secara jelas. Hal itu dapat dilihat dari pemaknaan Qadha dan

Qadar tersebut saling bergantian. Selain itu, bila melihat perumusan dan pemaknaan Qadha dan

Qadar tersebut dapat dikatakan bahwa pengertiannya tidak berbeda dari apa yang dikemukakan

oleh ulama yang tidak membedakan antara keduanya, sebagai mana dijelaskan diatas.

Keyakinan terhadap Qadha dan Qadar dalam Muhammadiyah erat sekali kaitannya

dengan ketentuan, ukuran, serta kepastian segala makhluk yang diciptakan Allah. Termasuk di

dalamnya perbuatan manusia yang dalam rumusan disebutkan, “Adapun segala yang dilakukan

manusia itu semuanya atas Qadha dan Qadar-Nya.” Apalagi dalam perumusan tentang

perbuatan manusia itu secara eksplisit dimasukkan dalam persoalan Qadha dan Qadar. Maka

terdapat kemungkinan bahwa hal itu sekaligus dimaksudkan untuk menjembatani perbuatan

manusia itu sendiri agar sejalan dengan keyakinan Qadha dan Qadar.

Tinjauan sepintas, bila persoalan Qadha dan Qadar dihubungkan dengan perbuatan

manusia, maka walaupun manusia diberi kesempatan ber-ikhtiar, namun ikhtiar itu juga

merupakan ketentuan Allah. Dengan demikian, walaupun manusia ber-ikhtiar, maka yang

berlaku tetaplah kehendak mutlak Allah.

Tetapi bila menelusuri dalil-dalil keyakinan tentang Qadha dan Qadar itu, di antaranya

ada yang menyinggung tentang Sunnatullah, yang tercantum dalam dalil no. 63, Surat al-Ahzab:

38, yang artinya:

“Sama sekali tiada rasa sempit bagi nabi terhadap apa yang ditentukan oleh Allah. Demikianlah

Sunnah Allah (hukum Qadrat-Iradat) terhadap orang-orang yang lampau sebelumnya. Dan

hukum Allah itu ketentuan yang pasti” (Q.S al-Ahzab: 38)

22

Page 23: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Maka menjadi tidak tepat untuk menyimpulkan bahwa dalam masalah Qadha dan Qadar,

Muhammadiyah cenderung secara simetris terhadap salah satu aliran teologi tertentu, terutama

Asy’ariyah yang bercorak Jabariyah.

Walaupun konsep tentang Sunnatullah yang diberi makna sinonim dengan hukum

Qadrat-Iradat Allah, numun juga belum dijelaskan maksud yang sebenarnya, sehingga hal ini

akan menungundang penafsiran yang berbeda, baik di kalangan non-Muhammadiyah. Seperti

K.H Mas Mansyur, kelihatannya ia menghubungkan Qadha dan Qadar dengan Sunnah Allah.

Menurutnya, ketidaktahuan manusia tentang apa yang menjadi ketentuan Allah terhadap dirinya

menjadi besar bagi manusia untuk bersikap sesuai dengan Sunnah Allah. Artinya, jika manusia

taat kepada Allah, maka kebahagiaan yang akan ditemuinya, demikian pula sebaliknya. Ia

mengungkapkan sebagai berikut: “Apa Qadha dan Qadar yang tergenggam ileh Tuhan, tidaklah

kita sebagai makhluk dapat mengetahui. Tidaklah kita tahu akan sifat isinya, melainkan tahu

kita akan kebiasaan dan ketentuannya perjalanan Qadha dan Qadar di dalam sunnah-Nya, yang

berlaku atas makhluk seluruhnnya. Artinya, kita bisa melihat kenyataannya, tetapi tidak mungkin

menduga-duga apa hakikat yang sebenarnya.”.

Senada dengan K.H Mas Mansyur, H.A. Malik Ahmad, walaupun ia memisahkan antara

pengertian Qadha dan Qadar, namun kelihatannya keduanya merupakan rangkaian dari Sunnah

Allah atau balasan yang diterima seseorang dari hasil pekerjaan yang diterimanya. Sedangkan

Qadar adalah merupakan ketetapan, ketentuan-ketentuan, perundang-undangan dan peraturan

(nizam) yang telah dibuat Tuhan untuk seluruh alam ini. Qadha adalah nizam tetap diadakan

Tuhan untuk segala yang wujud, peraturan, undang-undang umum, Sunnah (ketentuan) yang

menghubungkan sebab-musabab. Sehubungan dengan itu, maka Qadar Tuhan bagi manusia

bukan dalam bentuk penetapan perbuatan, melainkan ketentuan-ketentuan dalam perbuatan dan

manusia bebas memilih perbuatannya, untuk kemudian dapat menerima balasan sesuai dengan

hukum sebab akibat. Sedangkan Tuhan memiliki kekuasaan yang dapat membalas sesuai dengan

perbuatan yang dilakukan oleh manusia, baik atau buruk.

Dalam pandangan H.A. Malik Ahmad, kelihatannya kekuasaan mutlak Tuhan adalah

merupakan potensi Tuhan. Sementara dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Sunnatullah, yaitu

23

Page 24: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

hukum sebab akibat yang diciptakan-Nya. Pandangan ini menampakkan kecenderungannya

kepada Mu’tazilah. Namun karena kekuasaan mutlak Tuhan masih diakui sebagai batas terakhir

dari perbuatan yang dilakukan manusia, maka pendapat ini tidak dapat dikatakan senada dengan

keyakinan Mu’tazilah, walaupun jelas berbeda dari Asy’ariyah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan para tokoh

Muhammadiyah untuk mengaitkan masalah Qadha dan Qadar dengan Sunnatullah, agaknya

tidak bertentangan dengan apa yang dirumuskan dalam pokok-pokok Aqidah Muhammadiyah.

Karena perumusan tersebut bersifat umum, sehingga kemungkinan untuk cenderung kepada

paham Sunnatullah tidak dapat dibatasi. Di samping itu, karena adanya rujukan dalil tersebut,

kelihatannya semakin memperkuat adanya paham Sunnatullah. Akan tetapi, paham Sunnatullah

yang berkembang dalam Muhammadiyah tidaklah sebebas sebagaimana yang berkembang di

kalangan Mu’tazilah. Karena baik dari Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan tokoh-

tokohnya tidak menyatakan bahwa Sunnatullah merupakan salah satu pembatas bagi kemutlakan

kehendak Tuhan. Dengan demikian, berarti Muhammadiyah masih tetap berkeyakinan bahwa

sesungguhnya Allah telah membuat ketentuan-ketentuan bagi makhluk-Nya, tetapi tidak ada

halangan bagi Allah untuk membuat ketentuan lain yang hakikatnya tidak diketahui oleh

manusia.

Bila pandangan tentang Sunnatullah ini dikaitkan dengan ikhtiar manusia, kelihatannya

paham tentang Sunnatullah itu dimaksudkan untuk memberikan kedinamisan manusia dalam

berbuat, dengan tanpa dihantui oleh kecemasan. Karena ketentuan yang sudah ada sehingga

manusia tidak terjebak ke dalam paham fatalism atau sikap Jabbariyah. Kecenderungan seperti

ini terlihat dari ungkapan K.H. Mas Mansyur yang menyatakan bahwa ketidaktahuan terhadap

ketentuan dan aturan Allah menjadi dasar atas keharusan untuk berbuat sesuai dengan

Sunnatullah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Padangan semacam ini juga dikemukakan

oleh Hamka. Menurutnya, manusia memiliki kebebasan dalam lingkungan Qadrat-Iradat Tuhan.

Qadrat-Iradat Tuhan terpecah kepada beberapa jalan yang dinamai Sunnatullah, atau

kadang-kadang dinamai “sebab-akibat”, di mana ketentuan-ketentuan ini tidak semuanya

diketahui oleh manusia, karena hal itu merupakan rahasia Tuhan. Manusia dengan akal yang

diberikan oleh Tuhan dapat berusaha dengan bebas (Ikhtiar) untuk mencapai rahasia-rahasia

Tuhan tersebut (Sunnatullah).

24

Page 25: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Kelima, mengitsbatkan (menetapkan) sifat-sifat Tuhan. Dalam kajian teologis terdapat

dua kelompok aliran yang memiliki pandangan berbeda terhadap sifat-sifat Tuhan, yaitu

kelompok yang menolak adanya sifat-sifat Tuhan dan kelompok yang menganut paham

Sifatiyah. Kelompok pertama dipelopori oleh teologi Mu’tazilah, sementara kelompok kedua

oleh Asy’ariyah.

Seperti pada aspek-aspek teologis lainnya, sebagaimana telah dijelaskan di atas, kedua

kelompok ini masing-masing terus mempertahankan pendapat mereka dengan mengemukakan

argumen-argumen yang bersifat filosofis. Selanjutnya, pandangan terhadap sifat-sifat Tuhan

dengan argumentasi filosofis inilah yang banyak mewarnai Aqidah umat Islam.

Aqidah Muhammadiyah tentang sifat-sifat Tuhan selengkapnya dijelaskan pada urutan

pertama pokok-pokok Iman yang telah dirumuskan sebagai berikut:

“Wajib kita percaya akan Allah Tuhan kita. Dan dialah Tuhan yang sebenarnya, yang

menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya. Dialah yang pertama tanpa

permulaan dan yang akhir tanpa penghabisan. Tiada sesuatu yang menyamai-Nya. Yang Esa

tentang Ketuhanan-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Yang hidup dan pasti ada dan

mengadakan segala yang ada. Yang mendengar dan melihat. Dan Dialah yang berkuasa atas

segala sesuatu. Perihal-Nya apabila menghendaki sesuatu Ia sabdakan “jadilah”! maka jadilah

sesuatu itu. Dan Dia mengetahui segala yang mereka kerjakan. Yang bersabda dan memiliki

segala sifat kesempurnaan. Yang Suci dari sifat mustahil dan segala kekurangan. Dialah yang

menjadikan sesuatu menurut kemauan dan kehendak-Nya. Segala sesuatu ada di tangan-Nya

dan kepada-Nya akan kembali.”

Seperti halnya pada aspek-aspek Aqidah lainnya, pandangan Muhammadiyah mengenai

sifat-sifat Tuhan-pun juga tidak dijelaskan secara mendetail. Bila memperhatikan rumusan

diatas, dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah termasuk golongan Sifatiyah (yang

mengitsbatkan sifat-sifat Allah). Secara substansial perumusan tersebut menggambarkan

kecenderungan pada paham Asy’ariyah, atau boleh jadi dalam hal ini Muhammadiyah

mengambil sistematika sifat-sifat wajib Tuhan yang dirumuskan oleh Asy’ariyah.

Kecenderungan itu dapat dilihat pada rumusan sifat-sifat wajib Tuhan yang berjumlah tiga belas,

25

Page 26: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

dimana hal itu juga dapat dilihat dengan jelas pada buku-buku pelajaran Aqidah yang diajarkan

di sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Tetapi dengan memandang substansi dan sistematika itu belum cukup alasan untuk untuk

mengatakan bahwa dalam persoalan sifat-sifat Tuhan, Muhammadiyah berpaham Asy’ariyah.

Hal ini dikarenakan adanya aspek lain yang lebih penting, yang sering menjadi topic perdebatan

di kalangan ahli kalam, yaitu hubungan antara sifat dengan Dzat Tuhan. Dalam hal ini jelas

bahwa Asy’ariyah terlibat perdebatan yang sengit dengan Mu’tazilah untuk menentukan pada

kutub mana ia berpijak. Sementara itu, Muhammadiyah kelihatannya menghindari perdebatan

tersebut. Dengan sikap seperti ini, terlihat bahwa masalah menentukan sifat-sifat Tuhan,

Muhammadiyah tetap konsisten dengan metode kaum Salaf, yaitu cukup mengimani secara bulat

apa yang diberikan oleh nash, tanpa mempersoalkan lebih lanjut. Karena di samping hal ini

bukan bidang akal (rasio), Muhammadiyah juga berkeyakinan bahwa akal tidak mungkin

menjangkau hakikat sifat-sifat Tuhan itu, sebagaimana dirumuskan dalam pokok-pokok

Aqidahnya yang artinya:

“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal dalam hal

kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan

hubungannya dengan sifat-sifat Allah yang ada pada-Nya.”

Untuk mengetahui lebih jauh tentang sifat-sifat Tuhan dalam Aqidah Muhammadiyah,

akan lebih lengkap jika melihat pula pendapat-pendapat para tokoh Muhammadiyah seperti K.H.

Mas Mansyur, Hamka, dan H.A. Malik Ahmad. Dalam masalah ini K.H. Mas Mansyur

berpendapat bahwa masalah-masalah Sifat-sifat Tuhan itu tidak perlu diketahui dan dibahas

secara mendalam, sehingga jika seseorang ditanya tentang hakikat sifat dan Dzat Tuhan, maka

jawabannya adalah “tidak tahu”, tetapi dengan cukup tunduk kepada Syari’at. Artinya meyakini

apa yang dibawa dan diberikan oleh nash.

Sejalan dengan itu, Hamka juga berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan tidak perlu

dipermasalahkan dengan panjang lebar. Sikap Hamka dalam hal ini adalah tunduk dan menyerah

serta menerima dengan baik tanpa mencari tafsir tentang sifat-sifat Allah, tidak tasybih

(menyerupakan Tuhan dengan alam), tidak ditakwilkan dan tidak tajsim (member tubuh pada

tuhan).

26

Page 27: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Sedangkan H.A. Malik Ahmad menyatakan bahwa Dzat Allah Maha Sempurna lagi

Maha Mulia, tidak layak diotak-atik dengan pembicaraan yang panjang lebar. Menurutnya,

kewajiban orang Islam dalam mengimani pokok-pokok Aqidah, sedangkan hakikat yang lebih

mendalam hanya Allah yang mengetahui. Selanjutnya, ia membantah bahwa pembahasan yang

ditujukan untuk mencari hubungan antara Dzat dan Sifat Tuhan adalah pembicaraan yang

dipengaruhi oleh pikiran-pikiran di luar Islam. Oleh sebab itu, membicarakannya adalah

perbuatan bid’ah.

Pendapat-pendapat tersebut dari para tokoh Muhammadiyah tersebut nampaknya semakin

memperkuat kecenderungan Aqidah Muhammadiyah, terutama dalam masalah sifat-sifat Tuhan,

kepada Aqidah kaum Salaf, walaupun dalam formulasinya lebih mirip dengan paham

Asy’ariyah. Dengan demikian, akan mendapat kesulitan secara metodologis bila disimpulkan

bahwa dalam masalah sifat-sifat Tuhan, Muhammadiyah berpaham Asy’ariyah. Kesimpulan

yang mendekati kebenaran agaknya, dalam keyakinan tentang sifat-sifat Tuhan, Muhammadiyah

tetap cenderung kepada Aqidah Salaf dengan sedikit “inovasi”, terutama dalam sistematika Sifat-

sifat Tuhan dari paham Asy’ariyah.

2.3 Bidang Akhlaq

Akhlaq merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang terpenting pula. Banyak al-Qur’an

maupun al-Hadits yang membicarakan masalah Akhlaq ini, meskipun dalam redaksi yang

berbeda-beda, tetapi dalam konotasi yang sama.

“Sesungguhnya Engkau (Mukammad) benar-benar berakhlaq mulia” (Surat al-Qalam: 4).

“Siapa saja yang berprilaku (berbuat kebaikan) apakah ia laki-laki maupun perempuan,

sedangkan ia seorang yang beriman, maka kami pasti akan memberikan kehidupan yang baik”

(Surat al-Nahl: 97).

“Sesungguhnya aku ini diutus menjadi Rasul untuk memperbaiki budi pekerti (Akhlaq) yang

mulia; pada riwayat lain dengan perkataan; Akhlaq yang shalih” (Hadits al-Hakim dan Baihaqi

dari Abu Hurairah).

“Orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik Akhlaq-nya” (Hadits riwayat al-

Tirmidzi)

27

Page 28: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Secara etimologis, kata Akhlaq adalah bentuk jamak dari kata mufrad; khuluqun, yang

berarti “tabi’at”, budi pekerti, atau juga perangai. Adapun pengertian Akhlaq sebagaimana

dikemukakan oleh al-Ghazali adalah:

“Akhlaq (perangai) adalah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri manusia, yang

menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia dengan mudah dan tidak perlu

berfikir.”

Tingkah laku atau perbuatan yang muncul dari Akhlaq (perangai) itu boleh jadi tingkah

laku yang baik atau juga tingkah laku yang jahat. Tetapi yang dikehendaki oleh ajaran Islam

tentunya tingkah laku yang baik, yang berdasarkan ajaran Islam itu sendiri.

Pada prinsipnya tingkah laku (Akhlaq dalam pengertian luas) seorang Muslim itu

semestinya merupakan pencerminan dari keimanannya atau jiwa tauhidnya. Hal itu karena

“iman” tidak cukup hanya sekedar mengetahui dan membenarkan dalam hati saja. Walaupun

para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan tingkah laku (perbuatan) itu dalam kaitannya

dengan iman, apakah termasuk secara langsung ke dalam bagian Iman atau sebagai bukti Iman.

Yang jelas, mereka tidak ada yang menolak bahwa tingkah laku (perbuatan) mempunyai

hubungan yang erat dengan Iman. Bukti yang jelas untuk hal itu adalah banyaknya ayat al-

Qur’an maupun Hadits Rasul yang dalam menyatakan Iman selalu dibarengi dengan amal shaleh.

Dari sini dapat dikatakan bahwa Iman yang baik (benar) dapat mencerminkan tingkah laku

(Akhlaq) yang baik, sedangkan Iman yang tidak baik (tidak benar) dapat pula dilihat melalui

tingkah lakunya yang menyimpang (Akhlaq Mazmumah).

Mengingat pentingnya Akhlaq dalam kaitannya dalam keimanan seseorang, maka

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, juga dengan tegas

menempatkan Akhlaq sebagai salah satu sendi dasar keyakinan beragamanya. Dalam Matan

Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dijelaskan: Muhammadiyah bekerja untuk

tegaknya nilai-nilai Akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran al-Qur’an dan

Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.

Secara eksplisit, dalam pernyataan diatas menunjukkan bahwa Muhammadiyah

menjadikan tegaknya Akhlaq merupakan garis perjuangannya yang kedua setelah Aqidah,

dengan tidak mengesampingkan aspek-aspek lain, seperti Ibadah dan Mu’amalah. Karena

28

Page 29: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

bagaimanapun juga keduanya mengandung unsur-unsur perilaku baik dan buruk sebagai standar

diterima amal oleh Allah s.w.t. Jadi pada hakikatnya Akhlaq merupakan tingkah laku (action)

ibadah yang sebaik-baiknya sebagai pencerminan Aqidah yang diyakininya.

Mengenai Muhammadiyah menjadikan Akhlaq sebagai garis perjuangannya, hal ini

selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga tidak dapat dipisahkan dari akar historis yang

melatarbelakangi kelahirannya. Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang Islam,

melemahnya jiwa santun terhadap kaum dhu’afa, penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap

orang yang dianggap suci dan lain-lain, adalah bentuk-bentuk realisasi tidak tegaknya ajaran

Akhlaq al-Karimah dari ajaran Islam.

Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan dari Akhlaq al-Karimah seperti dikehendaki

oleh ajaran Islam yang sebenarnya itu bila dilihat berdasarkan pengertian Akhlaq yang

dikemukakan oleh al-Ghazali, hal itu berkaitan dengan kebiasaan jiwa yang dialami oleh umat

Islam Jawa khususnya, di mana Muhammadiyah lahir. Suatu contoh adalah kebiasaan untuk

berlaku atau berbuat ikut-ikutan dengan kyai tertentu, orang tua, atau nenek moyang, seperti

kegiatan “Selamatan” (Jawa: Slametan) dengan berbagai macam bentuknya, Grebeg dan lain-

lain. Dalam pandangan Islam, perbuatan ikut-ikutan itu disebut taqlid buta yang pada gilirannya

dapat memasuki jenjang sosio-kultural. Kebiasaan semacam ini dianggap sebagai praktek

peninggalan nenek moyang yang terus dipertahankan, yang dianggap tidak hormat terhadap para

leluhur itu bagi orang yang meninggalkannya. Bahkan lebih dari itu, ia akan mendapat celaka

dan bala-bencana jika meninggalkannya, Doktrin semacam ini muncul diluar kesadaran, dan

anehnya tidak ada orang yang mempertanyakan keabsahannya menurut ajaran agama yang

diyakininya (Islam).

Di lain pihak, para tokoh agama (kyai) dengan berbagai motivasinya sengaja

menciptakan sikap kepatuhan dari pada pendukungnya, sehingga muncul rasa hormat yang

berlebih-lebihan kepada sang guru (kyai). Hal ini bukan hanya berlangsung semasa hidupnya

sang tokoh atau guru itu, bahkan setelah wafatnya pun ia tetap dikuduskan dan kuburnya

dikeramatkan. Mereka beramai-ramai mengunjunginya, minta do’a restu dari kekuatan ruh yang

telah meninggal itu.

29

Page 30: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

Sikap-sikap semacam ini bukan hanya melibatkan aktivitas lahiriyah saja, akan tetapi

yang lebih berbahaya adalah keterlibatan kebiasaan jiwa yang dengan yakin dan patuh terhadap

perbuatan-perbuatan tersebut, tanpa dibolehkan bertanya atau berkomentar. Dari sinilah

munculnya akhlaq yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, terutama dengan karakteristiknya

yang kritis, dinamis, optimis dan lain-lain.

Untuk menghidupkan Akhlaq yang Islami itu, maka Muhammadiyah berusaha

memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan

menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah ash-

Shahihah, membersihkan jiwa dari keyakinan syirik, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya

semata-mata kepada Allah, bukan kepada yang lain-Nya, membina jiwa dinamis dan mandiri.

Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh dan inferioritas

berangsur-angsur habis, membiasakan berkurban, baik harta, fikiran, dan jiwa untuk

mempertahankan keyakinan sehingga timbul pula kecintaan terhadap keyakinan itu. Kemudian

membuna ukhuwah antara sesama Muslim yang disemangati oleh surat Ali Imran ayat 103, yang

artinya:

“’Berpegangteguhlah kamu sekalian dengan tali Allah (Agama Allah) dan jangan berpecah

belah.’ Kemudian memupuk jiwa santun serta kasih sayang terhadap kaum dhu’afa dengan

membiasakan mempertemukan antara teori dan praktik, ilmu dan amal.”

Dalam konteks masa awal munculnya gerakan ini, tema-tema di atas merupakan hal yang

baru, yang telah diwarnai oleh pemahaman baru atas ajaran akhlaq dalam Islam itu sendiri.

Pemahaman baru itu kelihatannya dimaksudkan agar sejalan dengan identitas yang disandang

oleh gerakan ini, yaitu “gerakan modernis.” Selain itu, interpretasi baru ajaran akhlaq dalam

Islam yang dikemukakan oleh Muhammadiyah tersebut bila dilihat secara sosio-historis, juga

merupakan suatu solusi terhadap kondisi kehidupan umat Islam yang secara internal didominasi

oleh kehidupan Sufisme dengan tarekat sebagai lembaganya. Sementara secara eksternal umat

Islam tertindas oleh kaum penjajah.

Strategi yang ditempuh oleh Muhammadiyah dalam menghadapi kedua kondisi itu

terlebih dahulu dengan menghidupkan kembali jiwa umat Islam dengan menegakkan Akhlaq al-

Karimah berdasarkan ajaran yang sebenarnya. Sebab hanya dengan cara demikian tantangan dari

30

Page 31: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

luar akan diatasi secara berangsur-angsur. Tidak ada cara lain yang ditempuh oleh

Muhammadiyah untuk menegakkan Akhlaq Islam itu selain harus berhadapan dengan pahan Sufi

dan lembaga tarekatnya yang memandang rendah terhadap kehidupan duniawi. Dengan itu, maka

Muhammadiyah sejak dari awal telah menolak paham ini dan berusaha meluruskannya. Karena

dalam tahap tertentu paham ini telah memiliki andil besar dalam perkembangan Islam di

Nusantara. Bahkan ia diakui sebagai bentuk “pengalaman spiritualis Islam” yang telah tersistem.

Persoalan yang mengganjal bagi Muhammadiyah tentu bukan hanya istilah Tasawuf itu

saja yang tidak ditemukan dalam ajaran dasar Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian

ia merupakan kata yang muncul kemudian, dan bahkan bukan berasal dari Islam. Bahkan tema-

tema yang terdapat dalam Tasawuf seperti: syathahat, ittihad, wihdatul wujud, dan lain-lain juga

tidak ditemukan dalam ajaran dasar Islam, bahkan dianggap bertentangan. Namun demikian,

beberapa tema Tasawuf seperti: zuhud, qana’ah, ikhlas, dan lain-lain masih tetap diakui dalam

ruang lingkup Akhlaq al-Karimah. Agaknya, dengan itulah maka Hamka memberikan

kesimpulan tentang Tasawuf itu terkesan moderat. Menurutnya, Tasawuf hanyalah suatu ikhtiar

yang setengahnya diizinkan oleh agama, dan setengahnya secara tidak sadar telah tergelincir dari

agama, atau karena terasa enaknya ajaran agama lain dan terikut dengan tanpa diingat. Dalam hal

ini, Hamka kelihatan menerima Tasawuf walaupun hanya dalam batas pengertian seperti yang

dikemukakan al-Junaid, yaitu “Tasawuf ialah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk

kepada budi perangai yang terpuji.” Lebih tegas lagi, ia mengemukakan dalam bukunya sebagai

berikut: “Buku ini kita namai “Tasawuf”, ialah menuruti maksud Tasawuf yang asli,

sebagaimana kata al-Junaid, yaitu “keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi

pekerti yang terpuji,” dengan keterangan “modern.” Kita tegakkan kembali maksud semua dari

Tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala

kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang terlebih dari keperluan untuk kesentosaan

diri.

Akan tetapi keengganan Muhammadiyah untuk menerima Tasawuf sebagai bentuk

spiritualitas Islam atau gambaran Akhlaq al-Karimah yang tersistem itu, tentu tidak hanya

terhenti pada maksud dan tujuan Tasawuf seperti semula. Boleh jadi apabila Tasawuf

sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Junaid dan Hamka itu masih dapat diterima oleh

Muhammadiyah. Namun apabila telah sampai kepada system (manhaj) dari Tasawuf

31

Page 32: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

sebagaimana yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan sejarahnya, di mana banyak

ditemukan penyelewengan dari dasar-dasar nash, maka Muhammadiyah dengan tegas

menolaknya. Karena dalam pandangan Muhammadiyah, hal semacam ini dinilai sebagai

perbuatan yang mengada-ada. Dan dengan demikian, maka termasuk dalam kategori bid’ah.

Untuk melengkapi pandangan Muhammadiyah mengenai Tasawuf itu, ada baiknya

dikemukakan pandangan dari para tokoh lainnya, seperti Dr. Simuh, yang dikenal sebagai pakar

dalam bidang Tasawuf. Namun ia menolak Tasawuf sebagai bentuk spiritualitas Islam. Karena

Tasawuf lebih menekankan aspek spiritual kasyfi, tidak syar’i. Dalam bahasa awam, Tasawuf

lebih mementingkan hablun min Allah dan menjauhkan diri dari hablun min an-nas. Dari

pandangan ini dapat dilihat bahwa aspek syar’i yang cenderung ditinggalkan oleh Tasawuf dan

sikap isolasi diri dari hubungan sesama manusia menjadi alasan bagi Muhammadiyah untuk

tidak menerima Tasawuf.

Sedangkan H.A. Mukti Ali, ia bersikap moderat terhadap Tasawuf, asalkan spiritualitas

Tasawuf itu merupakan pengalaman langsung dari ikhsan. Tetapi ia mengingatkan, jika

seandainya Tasawuf akan dijadikan referensi yang longgar, hendaknya Muhammadiyah jangan

mengamalkan Tasawuf sebagaimana dikenal oleh kalangan umum. Sebaliknya, Tasawuf dalam

bentuk amalan kongkrit. Selanjutnya Mukti Ali menambahkan bahwa amal usaha

Muhammadiyah sendiri sebenarnya merupakan bukti spiritualitas Muhammadiyah.

Jika dikaji secara historis, sebenarnya Muhammadiyah telah memiliki pola kehidupan

spiritual yang berakar dari para tokoh dan warga Muhammadiyah dalam periode awal. Namun

pengalaman kehidupan spiritual itu dilebur dalam kehidupan kongkrit, tanpa harus

melembagakan dalam tharekat yang eksklusif dari yang lain. Dan pengalaman spiritual itu lebih

mencerminkan Akhlaq, baik bersifat individu maupun kolektif, seperti keshalehan pribadi

sekaligus keshalehan sosial. Itulah ciri khas Tasawuf Muhammadiyah.

Menurut analisis Prof. Farid Ma’ruf yang disampaikan dalam ceramahnya pada acara

peringatan Milad Akademi Tabligh Muhammadiyah (1960), yang selanjutnya dibukukan dengan

judul Analisa Akhlaq dalam Perkembangan Muhammadiyah, dinyatakan bahwa Kyai Dahlan

dan para pemimpin Muhammadiyah ketika itu, seperti K.H. Mas Mansyur, Ki Bagus

Hadikusuma, dan lain-lain, mereka semua berakhlaq bijaksana, perwira, berani, adil, dermawan,

32

Page 33: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

ikhlas, tabah, dan tidak putus asa, cinta kepada Allah s.w.t., dan kasih sayang kepada

masyarakat.

Demikianlah pemahaman Muhammadiyah mengenai Akhlaq yang menjadi sendi dasar

kedua dari pahamnya tentang islam, setelah Aqidah, sekaligus menjadi keyakinan yang

diperjuangkan dalam gerakannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah

dalam pahamnya mengenai Akhlaq, organisasi tetap berpegang pada nilai-nilai nash. Sepintas

lalu hal ini kelihatan kaku jika dibandingkan dengan cakupan Akhlaq yang begitu luas, sehingga

Tasawuf-pun termasuk di dalamnya, bahkan kedua istilah ini sering dipersamakan. Dalam hal ini

Muhammadiyah menghindari penggunaan istilah Tasawuf dan tetap menggunakan istilah

Akhlaq. Karena secara syar’i istilah yang terakhir ini banyak dijumpai dalam nash secara

eksplisit. Selain itu istilah Akhlaq tidak mempunyai tendensi makna yang melemahkan.

Sementara istilah Tasawuf selain tidak ditemukan dalam nash, jika dilihat secara historis, ia

memiliki kecenderungan besar terhadap sifat-sifat yang melemahkan.

2.4 Bidang Syari’ah

Dalam pengertian umum, Syari’ah berarti keseluruhan tata kehidupan dalam Islam, yaitu

sejumlah ketentuan hukum dan aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,

hubungan antara sesama manusia dengan makhluk lain (alam). Sedangkan dalam pengertian

khusus, Syari’ah berkonotasi kepada Fiqh. Yaitu sejumlah ketetapan hukum yang dihasilkan

orang muslim melalui pemahamannya terhadap prinsip-prinsip al-Qur’an dan as-Sunnah.

Syari’ah dalam konotasi Fiqh ini secara teknis ada kalanya berkenaan dengan ketentuan-

ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, yang disebut ibadah, dan ada kalanya

berkenaan dengan hubungan sesama manusia, yang disebut Mu’amalah, atau dalam istilah

Muhammadiyah disebut Mu’amalah duniawi. Sebagai pemahaman Syari’ah yang bersifat global,

Fiqh memiliki beberapa corak, karena ia merupakan hasil ijtihad para Mujtahid yang mempunyai

latar belakang pengetahuan atau ilmu yang berbeda-beda.

Dalam sejarah, dikenal beberapa mazhab dalam Fiqh, di antaranya adalah: mazhab

Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi’I, Ja’fari (di kalangan Syi’ah), dan lain-lain. Pada umumnya

mazhab-mazhab dalam Fiqh seperti yang disebut ini masih memiliki banyak pengikut hingga

sekarang. Kaum Muslimin ada yang menyatakan diri mengikuti mazhab tertentu dan

33

Page 34: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

menganggap talfiq bila didapati seseorang mangamalkan suatu perbuatan Ibadah di luar pendapat

yang diyakininya. Namun di antara kaum Muslimin ada juga yang menyatakan tidak bermazhab.

Bagi kelompok terakhir ini, dalam masalah hukum baik yang menyangkut persoalan Ibadah

maupun Mu’amalah, mereka merujuk langsung kepada sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan as-

Sunnah. Salah satu yang termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammadiyah.

Untuk mengetahui paham Muhammadiyah tentang Syari’ah dalam konotasi Fiqh ini,

dalam hal ini akan ditelusuri kepahamannya mengenai Ibadah dan Mu’amalah yang mana

keduanya merupakan bahasan pokok dalam Fiqh itu sendiri.

Pertama, Ibadah. Yang dimaksud dengan Ibadah dalam bahasan ini adalah Ibadah dalam

pengertiannya yang khusus, yaitu aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual langsung antara

hamba dengan Tuhannya yang aturan dan tata caranya secara terperinci telah ditentukan dalam

al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahasan ini perlu diarahkan kepada persoalan Ibadah dalam pengertian

yang khusus, karena dalam pengertiannya yang luas secara umum telah disinggung dalam

berbagai tema yang telah diuraikan terdahulu dan akan dijelaskan kembali dalam bahasan

mengenai Mu’amalah dan amal usaha Muhammadiyah dalam uraian berikutnya.

Muhammadiyah dalam rumusan tentang Ibadah juga membaginya menjadi dua, seperti

tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih, yaitu:

“Ibadah ialah ber-taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan mentaati segala

perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengamalkan segala apa yang

diizinkan oleh Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus.”

a. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah

b. Yang Khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah

dan cara-caranya tertentu.

Maksud Ibadah khusus sebagaimana yang diuraikan pengertiannya oleh Muhammadiyah,

kelihatannya menunjuk kepada beberapa jenis Ibadah yang secara eksplisit ditemukan dasar

hukumnya dalam nash mengenai tatacara pelaksanaannya, seperti Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji.

Para ulama dari berbagai Mazhab Fiqh tidak berbeda pendapat atas hukum wajibnya

pelaksanaan Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji itu. Karena secara qath’i persoalan tersebut

34

Page 35: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

ditemukan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah secara jelas. Akan tetapi mengenai masalah-

masalah tertentu yang tidak secara eksplisit ditemukan dalilnya dalam nash, maka para ulama

berijtihad untuk menentukan baik hukum maupum maupun tatacara pelaksanaannya.

Dari masalah yang berifat Ijtihadi inilah perbedaan pendapat antara sesama pengikut

mazhab dengan yang tidak bermazhab menjadi meruncing. Pertentangan pendapat bukan lagi

berkisar pada ada atau tidaknya suatu perkara ibadah itu ditemukan dalam nash, akan tetapi

sudah menginjak kepada metode pemahaman. Misalnya lebih mendahulukan pendapat imam

mazhab dari pada meneliti terlebih dahulu dalil nash. Mengenai tingkat kehujahan suatu dalil,

misalanya mendahulukan ayat dari pada Hadits, atau juga tingkat keshahihan dan kemaqbulan

suatu Hadits dan lain-lain. Sikap Muhammadiyah dalam masalah Ibadah ini, tidak berada dari

pandangannya terhadap dasar -dasar agama secara keseluruhan, yaitu dengan menjadikan al-

Qur’an dan as-Sunnah sebagai rujukan langsung. Pernyataan yang berkenaan dengan hal ini

berbunyi: Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a). al-Qur’an: Kitab Allah

yang diwahyukan kepada Muhammad s.a.w. b). Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan

ajaran-ajaran al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad s.a.w. dengan menggunakan akal-

fikiran sesuai dengan ajaran Islam.

Selanjutnya, dalam Manhaj Tarjih disebutkan sebagai berikut: Di dalam ber-istidlal,

dasar utamanya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Ijtihad dan Istinbat atas dasar

illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash dapat dilakukan sepanjang tidak

menyangkut bidang ta’abbudi dan memang merupakan hal yang dihajatkan dalam memenuhi

kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima ijtihad termasuk qiyas

sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung.

Berdasarkan pernyataan diatas, jelaslah bahwa dalam persoalan ibadah Muhammadiyah

mendasarkan secara ketat kepada nash dengan menolak ijtihad dan qiyas. Dan oleh sebab itu, ia

cenderung menolak inovasi atau tambahan baik menyangkut status hukumnya maupun tata

caranya. Persoalan ta’abbudi itu semuanya hanya dipaham berdasarkan bunyi teks nash itu.

Mengenai sikap Muhammadiyah terhadap Fiqh dalam menetapkan hukum, dinyatakan

sebagai berikut: Tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat imam-

35

Page 36: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

imam mazhab dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan

jiwa al-Qur’an dan as-Sunnah atau dasar –dasar yang lain yang dipandang kuat.

Kutipan itu menunjukkan bahwa sikap Muhammadiyah terhadap pendapat para imam

mazhab dalam menetapkan hukum-terutama yang ijtihadi-tidak diartikan bahwa Muhammadiyah

menolak pendapat para imam mazhab, tetapi juga sebaliknya bukan berarti Muhammadiyah

hanya memilik-milih pendapat Imam Mazhab yang dianggap cermat. Boleh jadi apa yang

diputuskan oleh Muhammadiyah pada akhirnya berbeda atau di luar dari apa yang telah

diputuskkan oleh para imam mazhab, atau juga boleh jadi sama dengan pendapat mereka, atau

salah satu di antara mereka.

Salah satu pendapat Muhammadiyah yang berbeda dari pendapat para imam mazhab

adalah mengenai jumlah hitungan raka’at Shalat Tarawih. Dalam hal ini Muhammadiyah

berpendapat bahwa jumlah raka’at Shalat Tarawih adalah 8 raka’at, di luar Shalat Witir 3

raka’at. Sedangkan Jumhur Ulama berpendapat bahwa jumlah raka’at Shalat Tarawih lebih dari

8 raka’at. Imam Syafi’i, mayoritas ulama Hanafiah dan Hanabilah serta sebagian ulama

Malikiah berpendapat bahwa jumlah raka’at Shalat Tarawih 20 raka’at, bahkan Imam Malik

berpendapat 36 raka’at, selain witir.

Adapun pendapat Muhammadiyah yang sama dengan pendapat para imam mazhab di

antaranya adalah Qunut Witir. Dalam hal ini Muhammadiyah berpendapat sama dengan

Hanafiah dan Hanabilah, yaitu dengan men-tawaqquf-kan dalil. Tentang Qunut Shubuh,

pendapat Muhammadiyah juga sama dengan Hanafiah, yaitu tidak setuju menjadikan Qunut

sebagai bagian khusus dalam Shalat Shubuh. Tentang at-talaffuz an-niyah, pendapat

Muhammadiyah sama dengan pendapat Malikiah, yaitu dengan tidak me-lafaz-kan niat pada

permulaan melaksanakan Ibadah, dan mengenai at-ta’awwudz, pendapat Muhammadiyah sama

dengan pendapat Syafi’iyah, yaitu dengan membaca at-ta’awwudz di awal membaca surat al-

Fatihah ketika Shalat pada raka’at pertama, dan lain-lain.

Walaupun pendapat Muhammadiyah dalam beberapa masalah memiliki kesamaan

dengan pendapat para imam mahzab, namun tidak dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah

mengikuti pendapat imam mahzab itu. Hal itu karena pada setiap keputusan yang diambil oleh

Muhammadiyah selalu disertai secara langsung dalil yang mendasarinya, baik dari al-Qur’an

36

Page 37: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

maupun as-Sunnah. Di samping itu, tidak satupun pendapat imam mahzab dicantumkan sebagai

penjelasan maupun dasar rujukan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam masalah Ibadah-dalam arti

khusus-Muhammadiyah bersikap ketat terhadap dalil-dalil yang digunakannya. Namun karena

dalam persoalan Ibadah, terutama cabang-cabangnya, masih terdapat hal-hal yang

diperselisihkan. Sementara masing-masing memiliki dasar yang dipegangi, maka dalam hal ini

Muhammadiyah bersikap terbuka untuk menerima dan menjadikan dasar yang dinilai paling

kuat. Gambaran tentang sikap itu dijelaskan sebagai berikut: Berprinsip terbuka dan toleran, dan

tidak beranggapan bahwa hanya keputusan Majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil

atas dasar dalil-dalil yang dipandang paling kuat yang didapatkan ketika keputusan diambil. Dan

koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat diberikan dalil-dalil yang lebih kuat.

Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan merubah keputusan yang pernah ditetapkan.

Dari penjelasan di atas terlihat adanya iklim yang kondusif dalam paham

Muhammadiyah. Terutama masalah Ibadah, untuk menerima perubahan walaupun dalam taraf

pencarian dasar-dasar yang lebih kuat dan bukan bersifat inovatif terhadap perintah formal

Ibadah.

Kedua, Mu’amalah. Bagian kedua dari bahasan mengenai Syari’ah dalam konotasi Fiqh

adalah Mu’amalah, yaitu tata hubungan antara manusia dengan sesamanya dalam lalu-lintas

pergaulan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya

Mu’amalah merupakan hal-hal yang menyangkut hak-hak makhluk (huquq al-‘ibad). Dan oleh

karena itu, maka ketentuan-ketentuannya tidak terperinci seperti dalam ketentuan-ketentuan

Ibadah, tetapi diberikan diberikan dalam ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, yang

menggariskan suatu pola untuk dikembangkan lebih lanjut guna mewujudkan kemaslahatan dan

menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat, serta menjamin hak dan kewajiban masing-

masing individu yang berkepentingan secara adil.

Adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat umum pada persoalan Mu’amalah ini

memungkinkan adanya perumusan tata cara baru yang dihasilkan oleh manusia untuk

kemaslahatan hidup. Berkenaan dengan ini, para Ahli Fiqh menetapkan kaidah hukum bahwa

asal dari segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia

37

Page 38: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

(Mu’amalah) adalah boleh, kecuali apabila dalil ada dalil yang menunjukkan atas terlarangnya.

Namun demikian, adanya beberapa bentuk Mu’amalah yang mempunyai nilai ta’abbudi seperti

diakui oleh al-Syathibi, mengisyaratkan adanya kemungkinan persoalan Mu’amalah yang

memiliki aturan rinci dari nash. Dengan demikian, maka keharusan ijtihad dalam Mu’amalah

inipun juga memiliki batas-batas tertentu, walaupun tidak seketat dalam masalah Ibadah. Dengan

kata lain, ruang lingkup ijtihad untuk memperoleh hukum atau tata cara dalam ber-mu’amalah

diizinkan oleh Syari’at Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan jiwa Syari’at

Islam itu sendiri. Jiwa dan prinsip hukum Islam dalam Syari’at Islam seperti: “Dar’u al-mafasid

wa jalbu al-munafi’.” bersifat permanen, konstan dan tidak berubah dengan berubahnya

kehidupan manusia. Sedangkan peristiwa hukum, teknis dan cabang-cabangnya akan mengalami

perubahan bersama berkembangnya zaman.

Dengan tetapnya prinsip hukum itu pada satu sisidan kemungkinan berkembangnya

teknis dan cabang-cabangnya pada sisi lain, akan memberikan harapan bagi terbuka-lebarnya

perubahan, modernisasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan secara leluasa, namun tetap dalam

control norma hukum yang ketat dan kuat. Agaknya, dari aspek Mu’amalah inilah yang

memberikan kesempatan umat Islam untuk memperoleh kemajuan yang seluas-luasnya.

Pemikiran Muhammadiyah dalam bidang Mu’amalah tidak berbeda dari prinsip-prinsip

yang telah dijelaskan di atas. Istilah Mu’amalah di kalangan Muhammadiyah kadang-kadang

disebut Mu’amalah duniawi. Secara jelas, Muhammadiyah memberikan uraian mengenai hal ini

dalam Himpunan Putusan Tarjih, sebagai berikut:

Yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah s.a.w., “kamu lebih tahu urusan

duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-

perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan

manusia).

Pernyataan ini terkesan dikotomis-sekularistik bila dipahami secara parsial dari konteks

yang lain, karena dengan ungkapan “perkara-perkara atau urusan-urusan yang tidak menjadi

tugas diutusnya para Nabi,” akan memunculkan pemahaman yang memisahkan tindakan

manusia terlepas dari konteks Ibadah. Namun kelihatannya paham Muhammadiyah mengenai

Mu’amalah Duniawiyah itu tidak demikian halnya. Ungkapan tersebut tidak lebih dari hanya

38

Page 39: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

sekedar untuk menjelaskan dan memahami secara sistematis antara persoalan Mu’amalah yang

bersifat ta’abbudi --memiliki petunjuk rinci dari nash-- dan yang tidak bersifat --hanya ada

petunjuk secara umum, atau bahkan tidak sama sekali petunjuk dari nash-- namun semuanya

adalah persoalan Ibadah dan memiliki aspek Ibadah dalam pengertiannya secara umum.

Sehubungan dengan itu, maka Muhammadiyah menjelaskan hal tersebut dalam Matan

Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKHC)-nya sebagai berikut: Muhammadiyah bekerja untuk

terlaksananya Mu’amalah Duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan

berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah

kepada Allah s.w.t.

39

Page 40: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

BAB III

PENUTUP

3. Kesimpulan

Misi utama Muhammadiyah adalah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Yaitu untuk mengembalikan umat Islam pada ajaran yang sebenarnya (al-Qur’an dan as-Sunnah)

melalui perbaikan cara berfikir, penanaman kesadaran dan rasa bangga terhadap ajaran Islam.

Disertai dengan seperangkat amal usaha sosial yang kelihatan tampil berbeda dari kebiasaan

umat Islam sebelumnya. Visi dari Muhammadiyah: Gerakan pembaruan (tajdid). Di kalangan

para ulama perbedaan pendapat mengenai persoalan ijtihad. Karena adanya perbedaan

pemahaman tentang syari’ah yang menjadi lapangan ijtihad itu sendiri. Ulama yang berpikiran

holistik dan integral berpendapat bahwa ijtihad bukan hanya terbatas pada bidang fiqh saja,

melainkan juga bidang ilmu, bidang Teologi, filsafat dan Tasawuf. Ulama salaf, berpendapat

bahwa syari’ah meliputi unsur keimanan (Aqidah), perbuatan moral (Akhlaq), perbuatan /

tingkah laku (Syari’ah dalam pengertian hukum Fiqh). Dilihat dari kaca mata historis,

perkembangan ijtihad pada waktu itu hanya dimonopoli oleh kalangan Fiqh saja.

Muhammadiyah melakukan langkah pembaruan yang tidak ditemukan pada kurun waktu klasik.

Pemikiran tentang Ijtihad

M. Amin Rais dan A. Mukti Ali menyetujui adanya kontekstualisasi interpretasi dalam

ijtihad, dengan catatan harus tetap bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun ia tidak

sependapat dengan adanya upaya untuk menjadikan sebuah hukum yang telah qath’i dalam A-

Qur’an untuk disesuaikan penafsirannya dengan praktik kehidupan modern. Sebagian warga

Muhammadiyah, bahkan ada yang menginginkan agar ijtihad dalam Muhammadiyah dilakukan

secara menyeluruh, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.

Bidang Aqidah

40

Page 41: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

1. Nash (al-Qur’an dan as-Sunnah)

2. Keterbatasan peranan akal dalam dalam soal aqidah.

3. Kecendrungan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia.

4. Percaya kepada Qada dan Qadar.Mengitsbatkan.

5. Mengitsbatkan (menetapkan) Sifat-sifat Tuhan.

Bidang Akhlaq

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai Akhlaq mulia dengan berpedoman

kepada ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan

manusia.

Bidang syariah

Syari’ah menenai “ibadah dan muamalah”

- Ibadah: aturan ilahi yang mengatur hub. Ritual langsung antara hamba dengan Tuhannya

yang aturan dan tata caranya ditentukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

- Mu’amalah: tata hub. Antara manusia dengan sesamanya.

41

Page 42: Pembaruan Keagamaan Dalam ah

DAFTAR PUSTAKA

42