pelaksanaan bilateral investment treaties (b it) d alam...
Post on 23-Apr-2018
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pelaksanaan Bilateral Investment Treaties (BIT) Dalam Penanaman Modal Asing diIndonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal
Oleh
Citra Mutiara Virjinia1
110120120014
ABSTRAK
Dibuatnya Bilateral Investment Treaties (BIT) merupakan salah satu cara yangdilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara lain untuk menunjang pelaksanaanpenanaman modal asing di Indonesia dengan harapan akan terciptanya keadaan yang salingmenguntungkan bagi kedua negara, terlebih lagi dengan adanya prinsip-prinsip mengenaistandard of treatment di dalam suatu BIT yang diharapkan dapat memberikan perlindunganbagi kedua belah pihak. Permasalahan yang timbul adalah ketiika didalam pelaksanaan BITtersebut kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal menjadi tidak seimbangdengan negara pemilik modal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatanjuridis normatif dengan melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum dan menggunakanmetode deskriptif analitis. Ekspropriasi tidak langsung menjadi hal yang dapat dilakukan olehpemerintah Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan asingyang beroperasi di Indonesia, dengan demikian diharapkan akan mengurangi kerugian-kerugian yang dialami oleh Indonesia dalam pelaksanaan penanaman modal asing tersebutsehingga kesejahteraan rakyat akan dapat terwujud.
ABSTRACT
Bilateral Investment Treaties made (BIT) is one way in which the Indonesian governmentwith other countries to support the implementation of foreign investment in Indonesia withthe hope of creating a mutually beneficial situation for both countries, especially with theprinciples of the standard of treatment in a BIT that is expected to provide protection for bothparties. The problems that arise in the implementation of the BIT is kika the Indonesianposition as the capital of the recipient countries become unbalanced with the state capitalowners. This research was conducted by using a normative juridical approach to conduct astudy of the principles of law and using descriptive methods. Expropriation is not directly anissue that can be done by the Indonesian government in controlling the foreign companiesoperating in Indonesia, thus expected to reduce losses suffered by Indonesia in theimplementation of foreign investment so that the welfare of the people will be realized.
1 Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis) Fakultas Hukum Universitas PadjadjaranBandung, Angkatan 2012.
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaturan mengenai penanaman modal asing ini dahulu diatur dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri karena semakin berkembangnya zaman dan undang-undang
tersebut dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan pembangunan
dan perkembangan hukum nasional, maka kedua undang-undang tersebut diubah
menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-
undang tersebut menyatukan pengaturan mengenai penanam modal asing dan
penanam modal dalam negeri. Dengan kata lain tidak ada lagi perbedaan ketentuan
antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri. Undang-
Undang Penanaman Modal ini dimaksud untuk memberikan kepastian hukum.2
Pembuatan Undang-undang penanaman modal yang baru ini merupakan
realisasi dari kesepakatan keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO), dengan pemberlakuan prinsip-prinsip perdagangan yang terdapat
dalam GATT/WTO yang antara lain prinsip non diskriminasi dan prinsip perlakuan
yang sama (National Treatment). Dengan diberlakukannya prinsip-prinsip tersebut
maka Undang-Undang Penanaman Modal yang baru sifatnya sangatlah liberal.
Liberalisasi perdagangan bebas yang berkaitan dengan penanaman modal
mengakibatkan dampak yang besar bagi pelaksanaan penanaman modal asing di
2 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2010, hlm. 21.
Indonesia. Hal ini dikarenakan di satu sisi Indonesia harus membuat peraturan-
peraturan yang sesuai dengan aturan-aturan yang diberlakukan bagi para seluruh
anggota WTO. Akan tetapi di sisi lain Indonesia juga harus membuat peraturan-
peraturan yang tidak boleh bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45.
Pada dasarnya penanaman modal asing yang dilakukan di Indonesia
diharapkan dapat meningkatkan perekonomian negara dan selain itu juga dapat
mensejahterakan rakyat. Akan tetapi liberalisasi penanaman modal yang terjadi saat
ini pada kenyataannya memberikan perlindungan yang setinggi-tingginya pada
pemilik modal asing atau perusahaan multinasional, dan memberikan hak yang sangat
sempit kepada negara penerima modal (host state) untuk dapat mengatur dan
mengendalikan keberlangsungan penanaman modal asing ini.
Dari pemaparan di atas dapat terlihat bahwa Indonesia sebagai negara
penerima modal, memiliki hak yang sangat tidak seimbang di dalam pelaksanaan
penanaman modal asing ini. Hal ini terlihat pada negara pemilik modal memiliki
peranan yang lebih dominan dibandingkan Indonesia sebagai negara penerima modal
yang pada kenyataannya seharusnya baik home state maupun host state memiliki hak
yang seimbang sehingga tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lain.
Perjanjian BIT ini pada dasarnya dibuat untuk memberikan perlindungan bagi
home state agar dalam pelaksanaan penanaman modal di host state, kepentingan-
kepentingan dari investor asing tersebut tetap diperhatikan dengan adanya perlakuan
standar bagi investor asing oleh host state. Di sisi lain bagi host state, BIT dibuat
untuk menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya di negara tersebut.
Dengan semakin banyak investor yang masuk diharapakan pembangunan ekonomi di
negara tersebut akan semakin meningkat. Dengan demikian keberadaan BIT ini
diharapkan dapat memberikan keuntungan baik bagi host state maupun home state.
Meskipun keberadaan penanaman modal asing bagi negara berkembang dapat
membantu negara tersebut untuk melakukan pembangunan di negaranya dengan
begitu diharapkan adanya penanaman modal asing dapat meningkatkan kesejahteraan
bagi rakyatnya. Meskipun penanaman modal asing tersebut dapat memberikan
dampak poitif bagi host state, terdapat juga resiko-resiko yang dapat terjadi dan pada
akhirnya bukan menciptakan kesejahteraan bagi host state tetapi justru semakin
membuat host state bergantung kepada home state. Hal tersebut dapat terjadi apabila
host state tersebut belum siap untuk menghadapi adanya penanaman modal asing baik
dari segi hukum yang tersedia di host state sampai pada sumberdaya manusia.
Seperti yang kita ketahui bahwa hampir semua host state merupakan negara
berkembang dan sebaliknya home state merupakan negara maju yang mempunyai
kedudukan yang lebih kuat dibandingkan host state. Apabila hal tersebut terjadi maka
pengaturan-pengaturan dalam penanaman modal asing tersebut cenderung akan lebih
menguntungkan home state dengan begitu maka tentu saja kerugian akan dialami oleh
host state. Semakin maraknya investor asing yang menanamkan modalnya di satu sisi
juga justru akan membuat host state smekain bergantung akan keberadaan home state
apabila host state tersebut belum siap terhadap adanya penanaman modal asing.
Selain itu juga adanya kedudukan yang tidak seimbang antara host state dan
home state dapat berakibat pada regulasi-regulasi yang dibuat dalam host state justru
mementingkan home state sehingga dengan begitu kepentingan dari host state itu
sendiri menjadi terabaikan.
Permasalahan lain yang muncul adalah, ketika pelaksanaaan penanaman
modal asing sudah sampai pada tahap pembuatan perjanjian kerjasama. Seperti yang
kita ketahui, saat ini banyak perusahaan-perusahaan multinasional yang menanamkan
modalnya di Indonesia dan melakukan kerja sama baik dengan instansi-instansi
pemerintah, BUMN maupun dengan perusahaan swasta nasional. Seperti yang sudah
dipaparkan sebelumnya bahwa terlihat ketidakseimbangan hak-hak yang dimiliki
antara home state dan host state, maka pada tahap perjanjian ini akan terlihat
pelaksanaan penanaman modal asing ini lebih menguntungkan kepada host state atau
home state.
Seperti yang dikutip oleh Sornarajah, 3 Another feature of bilateral investment
treaties is that they are made between unequal partners, they entrench an inequality
that has always attended this area of international law, they are usually agreed
between a capital exporting developed state and a developing country state keen to
attract capital from that state.
Dari pendapat di atas dapat terlihat bahwa ketidakseimbangan memang terjadi
dalam pelaksanaan penanaman modal asing. Terlebih lagi karena negara berkembang
membutuhkan modal dari negara maju, sehingga akan berlomba-lomba untuk menarik
penanam modal asing. Sehingga negara yang sedang berkembang akan patuh kepada
keinginan-keinginan dari negara maju sebagai penanam modal.
Begitu juga halnya dengan Indonesia sebaga negara berkembang yang sedang
membutuhkan modal untuk pembangunan nasional, akan senantiasa patuh terhadap
arus liberalisasi sebagai akibat dari turut serta ke dalam perdagangan internasional
Lebih lanjut lagi di Insonesia sampai saat ini terdapat sekitar 66 perjanjian
bilateral yang sudah ditandatangani, akan tetapi di dalam pelakasanaannya, tentu saja
terdapat kendala-kendala yang mengakibatkan terjadinya konflik antara Indonesia
dengan negara penanam modal. Terdapt beberapa kasusyang pada kenyataannya
pemerintah Indonesia digugat oleh penanam modal asing dikarenakan menurut pihak
3 M. Sornarajah, The International Law On Foreign Investment, Third edition, Cambridge University,Singapore, 2011,, hlm 177.
penanam modal asing tersebut kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia
merugikan mereka.
Salah satu kasus yang terjadi, yaitu ketika perusahaan Inggris yang bergerak di
bidang Batubara yaitu Churchill Mining, menggugat pemerintah Provinsi Kutai Timur
di Badan Arbitrase Internasional (ICSID). Hal tersebut terjadi dikarenakan
Pemerintah Kutai Timur tidak memberikan izin kepada perusahaan tersebut untuk
memperluas wilayah usaha batubara perusahaannya. Hal tersebut mengakibat’kan
perusahaan tersebut merugi, sehingga berdampak pada digugattnya pemerintah Kutai
Timur di ICSID. Kemudian ICSID menerima gugatan Churchill Mining dan
pemerintah Indonesia terancam membayar denda pada Churchill Mining sebesar US$
1M.
Kasus lain yang terjadi, yaitu mengenai kasus PT. Newmont Nusa Tenggara
yang juga menggugat pemerintah Indonesia berkaitan dengan dikeluarkannya
kebijakan pemerintah mengenai pengenaan bea ekspor biji timah. Kebijakan ini
dilakukan pemerintah sebagai tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai basis
pengelolaan mineral hilirisasi yang juga diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun
2009 (UU Minerba). Pemberlakuan kebijakan tersebut diperuntukkan secara merata
terhadap seluruh perusahaan baik perusahaan asing maupun dalam negeri. Akan tetapi
dikarenakan adanya kebijakan tersebut menimbulkan kerugian bagi PT. Newmont
Nusa Tenggara, kemudian perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat yang bekerja
sama dengan Perusashaan yang berasal dari Belanda tersebut mengajukan gugatan
terhadap pemerintah Indonesia melalui ICSID.
.Digugatmya Indonesia oleh para investor asing yang dalam hal ini berasal
dari negara penanam modal tentu saja, mengakibatkan kerugian bagi Indonesia.
Seharusnya dengan adanya perjanjian BIT dapat memberikan juga perlindungan bagi
Indonesia sebagai negara penerima modal. Hal ini dikarenakan adanya perjanjian BIT
tersebut untukmemberikan perlindungan dan promosi diantara negara yang telah
menandatangani perjanjian tersebut.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka beberapa
permasalahan yang perlu mendapat jawaban dan akan diuraikan pada pembahasan
selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal dalam
perjanjian bilateral penanaman modal asing berdasarkan standard of
treatment?
2. Bagaimana upaya Indonesia sebagai negara penerima modal terhadap
perusahaan penanam modal asing yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam
BIT dan merugikan negara berdasarkan undang-undang No. 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal?
II. METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis normatif, yaitu suatu metode pendekatan yang menitikberatkan pada penelitian
terhadap data sekunder dengan didukung oleh data-data kepustakaan sebagai sumber
utama, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku, peraturran perundang-
undangan serta tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang
diteliti dalam hal ini adalah asas keseimbangan dalam perjanjian bilateral dalam
penanaman modal asing di Indonesia. Dilihat dari spesifikasinya, penelitian ini
termasuk deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan dan menganalisis
permasalahan yang berhubungan dengan penanaman modal khususnya penanaman
modal asing dan kontrak perjanjian di Indonesia. Kemudian untuk mengetahui dan
memahami bagaimana pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia dapat
memberikan manfaat sebesar-besranya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
serta untuk membantu pembangunan nasional seperti yang diamanatkan oleh UUD
1945.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN
PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Pada dasarnya pemerintah Indonesia menyadari bahwa penanaman modal
asing berperan penting dalam modernisasi perekonomian dan pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan. Oleh sebab ittu kebijakan penanaman modal asing yang dibuat
oleh pemerintah Indonesia sangatlah penting dalam rangka pembangunan ekonomi di
Indonesia.
Kebijakan pemerintah Indonesia dallam penanaman modal asing ini, sangatlah
terasa terutama pada masa orde baru tepatnya pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto (1966-1998), hal tersebut dapat terlihat dari dibuatnya Undang-undang No.1
Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian diganti menjadi
Undang-undang 11 Tahun 1970. Dibuatnya undang-undang mengenai penanaman
modal asing tersebut ialah sebagai salah satu cara pemerintah Indonesia untuk
menarik para penanam modal asing untuk menanamnkan modalnya di Indonesia.
Selain itu juga adanya undang-undang No. 11 Tahun 1970 Tentang
Penannaman Modal Asing tersebut juga didukung oleh kebijakan pemerintah pada
bidang ekonomi makro yang kondusif dan juga kondisi politik yang stabil
mengakibatkan meningkatnnya penanaman modal asing pada era orde baru.4
Selama tahun 1960-1970, kebijakan penananman modal asing yang dibuat
oleh pemerintah Indonesia terfokus pada sektor minyak dan gas alam, sedangkan
pada tahun 1980-1990 pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk
melibelarisasi pasar domestik untuk membantu perkembangan penanaman modal
asing pada sektor manufaktur dan pelayanan untuk mengurangi ketergantungan
Indonesia terhadap sektor utama. 5
4 Arumugam Rajenthran, “Indonesia: An overview of the legal framework for foreign directinvestment”, Economics and Finance, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2002, hlm.4.
5 Tulus T.H. Tambunan, Inward FDI in Indonesia and Policy Context, Vale Columbia Center onsustainable International Investment (A joint Center of Columbia Law School And The Earth Institute ofColumbia University), 2013, hlm. 2
Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 9 Ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS/1966 Tentang pembaharuan kebijaksanaan Landasan Ekonomi
Keuangan dan Pembangunan yang menyatakan bahwa:6
“Pembangunan ekonomi terutama berarti mengolah kekuatan ekonomi
potensiil menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan
teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan
pengetahuan berorganisasi dan manajemen”
Sedangkan pada Pasal 10 Ketetapan MPRS tersebut menyatakan bahwa:
“Penanggulangann kemerosotan ekonomi serta pembangunan lebih lanjut dari
potensi ekonomi harus didasarkan pada kemampuan serta kesanggupan rakyat
Indonesia sendiri. Akan tetapi azas ini tidak boleh menimbulkan keseganan untuk
memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia di luat
negeri, selama segala bantuan itu benar-benar diabdikan kepada kepentingan
ekonomi rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri.”
Berikutnya dalam Pasal 29 TAP MPRS yang sama menjelaskan mengenai
pengertian dari pembangunan ekonomi, adalah sebagai berikut:
“Pembangunan ekonomi adalah pembangunan dari para potensi-potensi
ekonomi. Oleh karena potensi ekonomi terdapat di daerah-daerah maka
pembangunan nasional adalah identik dengan pembangunan daerah.”
Dari beberapa Pasal yang terdapat dalam Ketetapan MPRS tersebut, dapat kita
lihat bahwa pada saat itu pemerintah Indonesia mempunyai batasan-batasan mengenai
faktor apa saja yang dapat dijadikan landasan bagi pemerintah Indonesaia dalam hal
membuat kebijakan ekonomi negara Indonesia. Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh
pemerintah Indonesia diharapkan tetap memperhatikam kepentingan rakyat Indonesia.
Lebih lanjut lagi, dalam ketetapan MPRS tersebut penanaman modal asing merupakan
salah satu cara bagi pemerintah Indonesia untuk membantu pembangunan ekonomi.
Berkaitan dengan hal tersebut tentu saja dalam mebuat suatu kebijakan mengenai
penanaman modal asing, pemerintah Indonesia sudah seharusnya tetap
6 Sunaryati Hartono, Op Cit, hlm. 29
memperhatikan kepentinan rakyatnya sehingga tidak membuat negara Indonesia
menjadi negara yang bergantung pada negara lain.
Peluang dan kesempatan masuknya penanaman modal, telah memberi
implikasi bagi Indonesia menjadi semakin terbuka bagi para pelaku bisnis asing,
secara langsung atau tidak langsung.7 Setelah menanti cukup lama akhirnya ketentuan
investasi yang selama 40 tahun diatur oleh dua undang-undang yang berbeda, yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal asing dan Undang-
Undang No. 6 Tahun 1968 Tentang penanaman Dalam Negeri, dicabut dan diganti
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang
dinyatakan berlaku seak diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Tahun 2007 Nomor 67 Pada Tanggal 26 April 2007.8
Perubahan pengaturan terhadap Undang-Undang Penanaman Modal ini
memakan waktu yang relatif lama dikarenakan, seperti yang kita adanya penyatuan
pengaturan mmengenai penanaman modal asing dang penanaman modal dalam negeri
ini tentu saja menimbulkan berbagai macam akibbat hukum yang berbeda pula. Salah
satunya adalah dengan disatukan penyatuan pengaturan mengenai penanaman modal
asing dan peanaman modal dalam negeri berakibat pada adanya perlakuan yang sama
antara penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Perlakuan yang dama
tersebut tentu saja mengakibatkannya adanya pro dan kontra dari berbgai macam
pihak terhadap adanya undang-undang penanaman modal yang baru tersebut.
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang telah
mencabut ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 dan juga mencabut Undang-
Undang No. 6 Tahun 1968. Di dalam Undang-Undang penanaman modal yang baru
7 Maria S.W Sumarjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta,2008, Hlm. 22.
8Sentosa Sembiring, Opcit, Hlm. 126
ini terdapat beberapa pengertian mengenai penanam modal asing, penanaman modal
asing dan juga modal asing adalah sebagai berikut :
1. penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan
usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal
di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan
oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam
negeri.
3. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan
warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau
badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki
oleh pihak asing.
Penentuan bidang usaha untuk penanaman modal asing bersifat dinamis
karena setiap waktu dapat berubah yang disesuaikan dengan kondisi bangsa dan
negara.9 Sebagai contoh pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman
Modal Asing, terdapat bidang usaha tertentu yang dilarang bagi para investor asing
secara penuh. Akan tetapi dalam perkembangannya bidang usaha yang dahulu
tertutup untuk para investor asing ternyata saatini dapat dilakukan oleh investor asing
dengan syarat harus dilakukan kerja sama dengan warga negara Indonesia atau badan
usaha Indonesia.
Selain memberikan perlakuan yang sama pada penanam modal yang berasal
dari negara manapun, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 juga menyatakan bahwa
9 Idem, hlm. 177
pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi kecuali diatur lain oleh Undang-
undang. Dalam hal pemerintah melakukan nasionalisasi maka pemerintah akan
memberikan kompensasi yang jumlahnya disesuaikan berdasarkan harga pasar.
B. PERANAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BIT) DALAM
PENANAMAN MODAL ASING
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan BIT dalam
penanaman modal asing berperan penting dalam perlindungan terhadap penanam
modal asing yang menanamkan modalnya di negara penerima modal. Begitu juga
sebaliknya, BIT juga dapat melindungi negara penerima modal dalam pelaksanaan
penanaman modal asing ini. Seperti halnya juga di Indonesia, sejak masa orde baru
dan diundangkannya undang-undang tentang penanaman modal asing yaitu Undang-
Undang 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing maka Indonesia sebagai
negara berkembang semakin gencar untuk membuat BIT guna meningkatkan
penanaman modal asing di Indonesia.
Pada saat ini Indonesia telah memiliki perjanjian bilateral dengan 67 negara,
beberapa perjanjian sedang pada tahap renegosiasi dan bebrapa perjanjian mengalami
kesulitan untuk dilaksanakan. Berikut uraian mengenai perjanjian BIT yang telah
dilakukan oleh Indonesia dengan negara lain:10
a. P4M (BIT) Indonesia-Slovakia, perjanjian tersebut ditandatangani pada
tanggal 12 Juli 1994 dan telah diratifikasi sejak keputusan presiden No.66
tanggal 22 September 1994. Permasalahan utama dalam perjanjian tersebut
yaitu mengenai perpajakan.
10 www.bkpm.go.id
b. P4M Indonesia-Swiss, ditandatangani 6 Juni 1974 dan telah diratifikasi
dengan keputusan presiden No.9 Tahun 1976 tanggal 2 Maret 1976.
Permasalahan utama mengenai perjanjian tersebut yaitu mengenai
masalah: a. Definisi investasi-investor, b. Perpajakan-subrogasi-
expropriation, c. Dispute Setllement-transfer.
c. P4M Indonesia-Kanada, ditandatangani tanggal 16 Maret 1973 dan telah
diratiifikasi dengan keputusan Presiden No. 30 Tahun 1973. Permasalahan
utama perjanjian tersebut, yaitu mengenai: Preamble, Definisi investasi,
definisi investor, Liberalisasi Annex I dan II, Performances requirements,
Movement, Transparency, Dispute Setllement, perpajakan.
d. P4M Indonesia-Ceko, ditandatangani tanggal 17 September 1998 dan telah
diratifikasi dengan keputusan presiden no.50 Tahun 1999 tanggal 20 Mei
1999. Permasalahan utama dalam yang terdapat dalam perjanjian tersebut
yaitu mengenai exception on national Treatment, perpajakan, transfer dan
temporary safeguards measures.
e. P4M Indonesia-Prancis, ditandatangani tanggal 14 uni 1973 dan telah
diratifikasi dengan keputusan Presiden No. 10 Tahun 1975 Tanggal 10
April 1975. Permasalahan utama yang dbahas dalam perjanjian tersebut
yaitu mengenai definisi investasi, perpajakan dan subrogasi.
f. P4M Indonesia-USA, diitandatangani tanggal 7 Januari 1967 dan
diratifikasi dengan keputusan presiden No. 97 Tahun 1967 tanggal 3 Juli
1967. Permasalahan utama yang dibahas dalam perjanjian tersebut yaitu
mengenai pelaksanaan pertukaran informasi mengenai exploratory
meeting.
Apabila kita perhatikan lebih lanjut lagi, bahwa adanya BIT dalam penanaman
modal asing berfungsi untuk meningkatkan perekonomian dan juga pembangunan di
Indonesia. Dengan adanya BIT maka kepentingan dan hak dan kewajiban antara
Indonesia sebagai negara peneirma modal dan juga penanam modal asng tentu saja
dapat terlindungi. Hal ini tentu saja seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No.
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa penanaman
modal berfungsi untuk mensejahterakan rakyat.
Seperti yang kita ketahui bahwa, disepakatinya perjanjian BIT oleh
pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain adalah untuk memberikan
perlindungan bagi para investor yang berasal dari negara pemilik modal yang suah
mendatangani perjanjian tersebut. Akan tetapi apabila kita kaji lebih dalam lagi,
bahwa isi dari perjanjian-perjanjian BIT yang antara Indonesia dengan negara lain,
didalamnya mencakup mengenai para pihak yang menyepakati perjanian tersebut,
kemudian definisi mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam perjanjian tersebut,
ketentuan mengenai standard of treatment, larangan nasionalisasi sampai
penyelesesaian sengketa apabila terjadi sengktea antara investor dengan pemerntah
Indonesia dan juga antar kedua negara yang menyepakati perjanjian tersebut.
C. PELAKSANAAN BIT DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI
INDONESIA
Kesadaran akan pentingnya peranan perlindungan hukum terhadap
pelaksanaan penanaman modal asing, bedampak pada digantinya undang-undang
penanaman modal yang lama menjadi Undang-undang no. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal. Adanya undang-undang penanaman modal tidak serta merta
dirasa kurang guna mendukung pelaksanaan penanaman modal di Indonesia.
Dibutuhkan ketentuan-ketentuan yang lebih konkrit dan yang dapat memberikan
jaminan perlindungan baik terhadap para investor asing maupun negara Indonesia
sendiri. Oleh sebab itu dengan adanya BIT yang dibuat dan disepakati ooleh
Indonesia denga negara lain dapat memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa adanya BIT pada dasarnya
untuk menjamin hak dan kewajiban antara kedua negara yang menyepakati perjanjian
tersbut. Seperti halnya perjanjian BIT yang dibuat dan disepakati oleh pemerintah
Indonesia dengan negara lain, di dalamnya juga terdapat ketentuan-ketentuan
mengenai definisi-definisi terhadap terminologi yang digunakan dalam perjanjian
tersebut, hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan oleh kedua
negara, ruang lingkup, prinsip-prinsip mendasar yang diharuskan ada di dalam sebuah
BIT, penyelesaian sengketa dll.
Akan tetapi, pada kenyataannya keberadaan BIT dalam pelaksanaan
penanaman modal di Indonesia tidak selalu memberikan dampak yang baik bagi
negara. Berbagai ketentuan-ketentuan yang diatur dalam BIT yang diharapkan dapat
memberikan perlindungan bagi kedua negara, akan tetapi pada kenyataannya justru
berakibat pada kerugian yang dialami oleh salah satu negara. Dalam hal ini tidak
jarang, Indonesia sebagai negara penerima modal yang justru mengalami kerugian
tersebut.
di dalam pelaksanaan suatu BIT di Indonesia, terdapat permasalahan-
permasalahan mendasar yang berakibat pada kerugian yang tidak sedikit yang dialami
oleh Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya penanaman modal, memberikan
dampak yang baik pula bagi Indonesia. Tidak siap nya Indonesia terhadap semakin
banyaknya penanaman modal asing yang masuk menjadikan Indonesia semakin
bergantung terhadap penanaman modal asing. Penanaman modal asing yang awalnya
berfungsi sebagai pemicu untuk pembangunan Indonesia, berubah menjadi
ketergantungan terhadap penanaman modal asing.
Prinsip-prinsip standard of treatment yang terdapat dalam BIT yang dibuat
oleh Indonesia dengan negara lain, meupakan standard of treatment yang besifat
absolut. Prinsip standard of treatment yang bersifat absolut tersebut menyatakan
kewajiban unuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan mengenai fair and equitable
treatment, full protection and security, ketentuan yanng berhubungan dengan
ekspropriarsi merupakan standar yang absolut dalam sebuah BIT.
Selanjutnya, prinsip-prinsip tersebut sepeti yang sudah dibahas sebelumnya
pada dasarnya sangat melindungi para investor yang menanamkan modalnya di
Indonesia. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip terebut dapat berakibat pada
wanprestasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan tentu saja akan merugikan
Indonesia. Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut dapat terlihat bahwa Indonesia
tidak dapat bertindak sesuai atau demi kepentingan rakyat.
Pada dasarnya dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, pemerintah
Indonesia masih tetap dapat membela kepentingan publik. Terkait dengan digugatnya
pemerintah Indonesia oleh para investor asing mengenai dikeluarkannya kebijakan
yang merugikan para investor asing. Peradilan Internasional telah melakukan
interpretasi mengenai penerapan prinsip fair and equitable treatment dalam
penanaman modal asing. Terdapat 4 prinsip penting dalam Fair and equitabe
treatment, yaitu:
1) The principle of reasonableness
2) The principle of nondiscrimination
3) The principle of concistency
4) The princciple of transparency
5) The principle of due process
Pada prinsip reasonableness, negara penerima modal dalam membuat suatu
kebijakan diharuskan memiliki alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang jelas.
Berdasarkan prinsip tersebut, dalam kasus Pemerintah Indonesia dengan PT.
Newmont NusaTenggara dan juga PT. Churchill Mining. Prinsip tersebut harus
selayaknya dapat dibuktikan oleh pemerintah Indonesia. Bahwa alasan dan tujuan
jelas dari pemerintah Indonesia atas kebijakan terssebut adalah jelas dan dapat
diterima. Meskipun bagi para investor, pemerintah Indonesia tidak memiliki alasan
yang kuat atas dibuatnya kebijakan tersebut. Selain itu juga apabila tujuan atau alasan
dari dibuatnya suatu kebijakan tersebut adalah berdasarkan pada tujuan politik atau
lainnya maka kebijakan tersebut tidak akan dibenarkan
Pada prinsip Non-diskriminasi, pada dasarnya prinsip ini sudah tercantum
dalam national treatment dan most favoured nation. Pada dasarnya prinsip non
diskriminasi tersebut dapat dikesampingkanatas dasar alasan yang benar-benar untuk
kepentingan publik dan pemerintah Indonesia dapat membuktikan hal-hal tersebut.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa perusahaan multinasional
mempunyai peran yang cukup penting dalam penanaman modal. Hal ini dikarenakan
perusahaan tersebut merupakan pelaku yang terjun langsung dalam pelaksanaan
penanaman modal asing. Perusahaan multinasional dan penanaman modal asing
merupakan suatu hal yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai kaitan sama lain.
Pentingnya keberadaan perusahaan multinasional dalam penanaman modal
asing di Indonesia, maka pemerintah Indonesia membuat ketentuan mengenai daftar
bidang yang terbuka dan tertutup bagi perusahaan multinasional yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia. Lebih lanjut lagi meskipun Indonesia
membutuhkan penanaman modal asing guna pembangunan, Indonesia mempunyai
ketentuan-ketentuan mengenai negative list.
Pada dasarnya dengan adanya negative list tersebut maka pemerintah
Indonesia tetap melindungi bidang-bidang usaha penting sehingga pengelolaanya
tetap dikuasai oleh pemerintah Indonesia atau oleh perusahaan dalam negeri. Hal
tersebut dilakukan guna tetap menciptakan pembangunan yang merata bagi rakyat
Indonesia sehingga dalam hal ini tidak saja hanya perusahaan multinasional yang
dapat mendapatkan keuntungan dari adanaya penanaman modal akan tetapi juga
perusahaan-perushaaan dalam negeri mempunyai hak sama.
Adanya posisi tawar menawar antara perusahaan multinasional dan negara
penerima modal ini karena masing-masing ingin mendapatkan keuntngan yang
maksimum. Perundingan antara perusahaan-perusahaan dan negara berkembang ini
mengikuti pola yang disebut the obsolecing bargain pattern. Perusahaan-perusahaan
multinasional mempunyai posisi tawar yang lebih kuat terhadap suatu penanaman
modal dan disisi lain juga mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari negara
penerima modal.
Keadaaan negara Indonesia sebagai negara berkembang yang membutuhkan
modal dan menerima modal dari para penanam modal yang berasal dari negara maju,
membuat posisi tawar menawar atau bargaining position antara Indonesia dengan
perusahaan multinasional menjadi tidak seimbang. Pada dasarnya Indonesia sebagai
negara penerima modal sudah memfasilitasi serta menjamin kepastian hukum untuk
memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan multinasional yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia. Kemudahan maupun kepastian hukum yang
dijamin oleh pemerintah Indonesia tesrebut terdapat dalam Undang-Undang no. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan juga untuk pengaturan lebih khusus
terdapat dalam BIT yang dibuat dan ditandatangani oleh Indonesia dengan negara-
negara pemilik modal.
Pada kenyataanya lemahnya posisi Indonesia sebagai negara penerima modal
membuat konflik-konflik yang terjadi antara Indonesia dengan perusahaan
multinasional yang beroperasi di Indonesia menjadi sangat merugikan Indonesia. Hal
ini karena Hampir semua konflik yang terjadi antara Indonesia dengan perusahaan
multinasional tersebut justru dimenangkan oleh perusahaan multinasional.
Terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para investor yang
merugikan Indonesia, pada saat ini juga Indonesia sedang melakukan proses re-
negosiasi terhadap perjanjan BIT yang telah dibuat dengan negara-negara lain. Hal
tersebuttentu saja merupakan langah yang baik karena, isi dari BIT yang saat ini
masih berlaku di Indonesia sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan Indonesia. Selain
itu juga penghentian perjanjian BIT merupakan hal yang cukup ditakuti juga oleh para
investor. Hal tersebut tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa dengan dilakukannya
penghentian perjanjian BIT oleh Indonesia terhadap BIT yang dilakukannya dengan
negara lainn makan akan berdampak juga pada posisi investor-investor asing yang
berasal dari negara tersebut. Ketegasan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia
dalam hal penanaman modal asing ini sangatlah penting, agar tetap terciptanya
keadaan yang seimbang dan saling menguntungkan baik bagi Indonesia sebaga negara
penerima modal maupun bagi negara-negara lain sebagai negara pemilik modal.
D. PENUTUP
1. Kedudukan Indonesia dalam perjanjian BIT yang telah dibuat dengan negara-
negara lain berdasarkan prinsip-prinsip standard of treatment adalah tidak
seimbang, dengan kata lain kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal
adalah lemah dibandingkan dengan negara-negara pemilik modal. Hal tersebut
dikarenakan ketentuan mengenai standard of treatment di dalam sebuah BIT pada
kenyataannya lebih mennguntungkan bagi negara pemilik modal dan berdampak
pada kerugian yang dialami oleh Indonesia sebagai negara penerima modal.
2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap
perusahaan multinasional yang merugikan Indonesia berdasarkan Undang-Undang
no. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal adalah dilakukannya ekspropriasi
terhadap perusahaan tersebut. Dalam hal ini ekspropriasi yang dapat dilakukan
oleh pemerintah Indonesia bukanlah ekspropriasi yang bersifat langsung, Akan
tetapi ekspropriasi tidak langsung yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan
pemerintah yang secara tidak langsung mengatur mengenai peralihan penguasaaan
terhadap perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. An an Chandrawulan, S.H., LL.M sebagai ketua komisi pembimbing
2. Dr. Hj. Sinta Dewi, S.H., LL.M sebagai anggota komisi pembimbing
DAFTAR PUSTAKA
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2010.
M. Sornarajah, The International Law On Foreign Investment, Third edition, Cambridge University,
Singapore, 2011.
Arumugam Rajenthran, “Indonesia: An overview of the legal framework for foreign direct
investment”, Economics and Finance, Institute of Southeast Asian Studies,
Singapore, 2002.
Tulus T.H. Tambunan, Inward FDI in Indonesia and Policy Context, Vale Columbia Center
on sustainable International Investment (A joint Center of Columbia Law School
And The Earth Institute of Columbia University), 2013.
Maria S.W Sumarjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta,
2008.
top related